ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA ( STUDI KASUS : KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA BARAT DAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA TENTANG ENAM DESA )
AZIZ HASYIM
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya dengan judul :
ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA (Studi Kasus : Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Tentang Enam Desa)
Merupakan gagasan dan hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2010
Aziz Hasyim NRP H 152 070 151
ABSTRACT
AZIZ HASYIM. The Analysis Conflict of Regional Conflict in Maluku Utara Province (A Case Study : The Conflict Seizing Territory between West Halmahera District and North Halmahera District about Six Villages). The Supervision of ARYA HADI DHARMAWAN and BAMBANG JUANDA.
The implementation of regional autonomy, through a process of spatial segregation, in essence is an attempt to strengthen the relationship between local government and local communities within the framework of the growth of democratic life. This goal will be achieved when three conditions of area segregation are fulfilled to support an operational regional segregations areas. The finding shows however that the expansion of areas is driven mainly by political considerations rather than lokal aspiration. Eventually, this condition stimulate rejection of citizens, even cause of social conflict due to the occurrence of seizing territory, as the case of seizing territory the six villages between West Halmahera District and North Halmahera district. This research used Qualitative Descriptive Analysis as approach in which the data obtained through interviews, Focus Group Discussion and Quetionnaire. The study found that seizing territory conflicts of six villages caused an imbalance in administrative management, political life system and democratic, also imbalance in public service. This imbalance occurs because the region of siz villages which is administratively in dispute belongs to administrative region of North Halmahera District. However, government services is provided by governments of West Halmahera District. The main conclusions of this study is that the conflicting territories of six villages became a multifaceted problemtic of local authonomy of these areas, because the process of splitting or merging of six villages into Malifut Sub district North Halmahera District has actually been rejected by residents of six villages but is was not addressed properly by the government of Maluku and further by the North Maluku Provincial Government.
Keyword : The Segregations of Region, People’s Aspirations, Regional Conflicts, The Imbalance.
RINGKASAN
AZIZ HASYIM. Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara (Studi Kasus: Konflik Perebutan Wilayah antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang Enam Desa). Dibawah Komisi Pembimbing ARYA HADI DHARMAWAN dan BAMBANG JUANDA.
Pelaksanaan otonomi daerah, melalui proses pemekaran wilayah pada dasarnya merupakan upaya untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Tujuan ini akan dicapai ketika tiga hal penting dalam mendorong pemekaran wilayah turut dipertimbangkan. Realitas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah sejauh ini lebih mengedepankan pertimbangan politik daripada aspirasi masyarakat.
Kondisi
ini
pada
akhirnya
mendorong
penolakan
warga,
bahkan
pemekaran/penggabungan wilayah juga seringkali menyebabkan konflik sosial, karena terjadinya perebutan wilayah.
Permasalahan ini dapat terlihat pada konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tentang wilayah enam desa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Deskriptif Kualitatif. Dimana dalam penelitian ini data yang diperoleh adalah melalui wawancara, Fokus Group Diskusi dan Kuesioner. Studi ini menemukan bahwa konflik perebutan wilayah enam desa menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan administrasi wilayah, tata kehidupan politik dan demokrasi, juga ketidak-seimbangan atau ketimpangan dalam pelayanan publik.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena wilayah enam desa sengketa yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Halmahera Utara, namun pelayanan pemerintah selama ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Kesimpulan utama yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa konflik perebutan wilayah enam desa terjadi karena proses pemekaran dan/atau penggabungan wilayah enam desa di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara mendapatkan penolakan warga. Namun
penolakan ini tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari
pemerintah daerah Kabupaten
Maluku Utara dan selanjutnya oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Dengan tidak ditanggapi secara serius penolakan masyarakat atas penggabungan wilayah enam desa untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut dan kemudian menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara, maka mengakibatkan konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara atas wilayah enam desa. Perebutan wilayah enam desa oleh kedua kabupaten dilandasi oleh berbagai alasan, diantaranya alasan kedekatan emosional, alasan historis, identitas wilayah dan aspek rentang kendali.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara atas enam desa lebih pada permasalahan perebutan sumberdaya alam yang dikelolah oleh sebuah perusahaan tambang PT. NHM, yang wilayah konsesinya mencakup sebagian wilayah enam desa.
Kata Kunci: Pemekaran Wilayah, Aspirasi Masyarakat, Konflik Wilayah, Ketimpangan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
ANALISIS KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DI PROVINSI MALUKU UTARA (Studi Kasus : Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang Enam Desa)
AZIZ HASYIM
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc
Judul Tesis
: Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara ( Studi Kasus : Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Tentang Enam Desa)
Nama
: Aziz Hasyim
NRP
: H 152 070 151
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Ketua
Anggota Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 11 Juni 2010
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis tentang Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara ( Studi Kasus Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Tentang Enam Desa). Dilandasi sebuah kesadaran akan kenyataan yang seringkali menghiasi pandangan kita tentang telah memudarnya kohesifitas sosial dikalangan masyarakat dan terlebih pada kalangan elite, maka dalam sebuah perenungan panjang pada akhirnya mengantarkan penulis untuk melakukan penulisan tesis dengan judul sebagaimana diatas. Pemilihan judul tersebut bukan tanpa alasan yang mendasarinya, namun penulis meyakini bahwa dampak dari konflik perebutan wilayah pada aras apapun sesungguhnya akan menjadikan rakyat/masyarakat sebagai korbannya. Fakta ini dapat dilihat pada konflik horizontal di Provinsi Maluku Utara tahun 1999, dimana konflik berawal dari konflik tentang batas wilayah. Melihat urgensitas dari konflik perebutan wilayah, terutama di Maluku Utara yang tentunya sudah memiliki benih-benih konflik sebelumnya, maka upaya serius untuk mengantisipasi terjadinya gejolak baru, dengan titik awal konflik perebutan wilayah antara kedua pemerintah kabupaten harus segera diselesaikan permasalahannya. Menyadari bahwa, sampai mengantarkan pada sebuah kesepakatan akan perjalanan intelektual yang ditempuh oleh penulis dan kini telah di derivasi menjadi sebuah catatan ilmiah (Baca: Tesis), penulis sadar bahwa berbagai pihak turut member kontribusi yang sangat signifikan dalam penulisan tesis ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika pada kesempatan ini penulis berkeinginan kuat untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,MS, yang telah bersedia menjadi Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan oleh penulis berkat arahan dari mereka. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada teman-teman PWD angkatan 2007, yang sejak masuk di Sekolah Pascasarjana IPB hingga saat ini senantiasa berada dalam ikatan sosial kapital (Modal Sosial) yang kuat. Harapan besar, semoga kekompakan dan rasa kekeluargaan tersebut tetap terpelihara selamanya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan Forum Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara dan
Halmahera Barat yang dengan kesediaan meluangkan waktu untuk berdiskusi terkait penyempurnaan tesis ini. Khusus kepada keluarga penulis yang dengan ketulusan dan keikhlasan dalam memberi dukungan moril dan materiil, Mama Tercinta Djaniba Saleh, Papa Tercinta Idrus Hasyim, Ci Ida, Saldi, Nur Safirah, Ko Is, kemudian keponakan-keponakan kecil “ Alfarizi dan Malka Tita” yang selalu melepaskan rasa kangennya dibalik telepon genggam dengan sering menanyakan kapan paman pulang “Paman Pigi Pe Lama Sampe….”. Motivasi dari mereka semua memberikan kekuatan tersendiri bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Tak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan di wisma perjuangan Halmahera Barat Bogor, Bang Dula, Lafdi, Ulis, Aldi, Bang Olan, Aji dan Aris yang selalu bersama dalam kondisi suka dan duka serta memberi motivasi antar sesama agar dapat menyelesaikan studi di IPB. Dukungan mereka juga sangat berarti bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Pada akhirnya penulis hanya berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat, baik bagi diri penulis secara personal maupun bagi masyarakat dan daerah. Penulisan tesis ini mungkin masih jauh dari harapan sebagian besar masyarakat, namun harus disadari bahwa disitulah letak keterbatasan penulis sebagai mahluk paripurna yang tidak sempurna. Karena sesungguhnya yang hak dan sempurna hanya milik Allah SWT. Yakin, Usaha, Sampai.
Bogor, Juli 2010 Penulis
Aziz Hasyim
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Guruapin Kecamatan Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan pada tanggal 20 Januari 1979 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Penulis lahir dari pasangan yang diikat janji suci oleh Allah SWT dengan Ayahanda tercinta Idrus Hasyim dan Ibunda Tercinta Djaniba Saleh. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar dan SMP ditamatkan di tempat kelahiran dan melanjutkan SMA pada Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Ternate dan tamat pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang studi S1 pada Universitas Khairun Ternate dan meraih gelar sarjana pada tahun 2003. Tamat dari S1 penulis bekerja pada sebuah LSM lokal Yayasana Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Maluku Utara. Berkat keuletan dan ketekunan, penulis pada tahun 2007 dipercayakan oleh pendiri lembaga FOSHAL untuk menjadi Direktur Lembaga. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang studi S2 di Institut Pertanian Bogor, tepatnya pada program studi Ilmu-ilmu perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………..
ix
Daftar Isi …………………………………………………………………………….
Xii
Daftar Tabel ………………………………………………………………………
xvi
Daftar Gambar ………………………………………………………………………
xvii
Daftar Lampiran …………………………………………………………………….
Xviii
I. Pendahuluan 1.1.Latar Belakang
1
1.2.Rumusan Masalah
4
1.3.Tujuan penelitian
12
1.4.Manfaat Penelitian
13
1.5.Hipotesis Penelitian
13
II. Tinjauan Pustaka 2.1.Otonomi Daerah
15
2.2.Konflik Yang Berkaitan Dengan Pemekaran Wilayah
21
2.2.1. Konflik Horizontal dan Vertikal
25
2.3.Pemekaran Wilayah dan Pembangunan Daerah
27
2.4.Kerangka Pemikiran
29
III. Metodologi Penelitian 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian
32
3.2.Pemilihan Sampel
32
3.3.Metode Pengumpulan Data
33
3.4.Instrumen Pengukuran Data
34
3.5.Metode Analisis
35
IV. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.Letak Geografis
36
4.1.1. Keadaan Goegrafis Kabupaten Halmahera Barat
37
4.1.2. Keadaan Geografis Jailolo Timur Halmahera Barat
38
4.1.3. Keadaan Geografis Kabupaten Halmahera Utara
39
4.1.4. Keadaan Geografis Kao Teluk Halmahera Utara
40
4.2.Keadaan Demografi 4.2.1. Keadaan Demografi Kabupaten Halmahera Barat
41
4.2.2. Keadaan Demografi Kabupaten Halmahera Utara
41
4.2.3. Mata Pencaharian Penduduk
42
4.2.4. Keadaan Sarana dan Prasarana
42
4.3. Gambaran Singkat Kec. Jailolo Timur dan Kao Teluk 4.3.1. Kecamatan Jailolo Timur
43
4.3.2. Kecamatan Kao Teluk
44
V. Konflik dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa 5.1.Sejarah konflik dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa
45
5.2.Issu Penolakan Masyarakat Enam Desa 5.2.1. Pelayanan Publik
47
5.2.2. Fasilitas Kesehatan
48
5.2.3. Fasilitas Pendidikan
50
5.3.Pandangan Masy. Enam Desa Penggabungan Ke Kecamatan Malifut
53
5.4.Derajat Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa
57
5.4.1. Demonstrasi
59
5.4.2. Provokasi
59
5.4.3. Huru Hara
59
5.4.4. Perang/Pemberontakan
60
5.5.Skala Konflik
61
5.6.Aktor Konflik
62
5.6.1. Negara
63
5.6.2. Masyarakat
64
5.7.Keadaan Pasca Konflik
64
VI. Konflik Dalam Sejarah Maluku Utara 6.1.Rangkaian Konflik Maluku Utara
67
6.1.1. Sejarah Konflik Agama
69
6.1.2. Sejarah Konflik Ekonomi
70
6.1.3. Sejarah Konflik Etnis
70
6.1.4. Konflik Laten Yang Masih terpelihara
72
VII. Sejarah Pemekaran dan Penggabungan Wilayah 7.1. Kronologi Pemekaran/Penggabungan Wilayah Tiga Kecamatan
VIII.
7.1.1. Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan
74
7.1.2. Pembentukan Kec. Malifut Kab. Halmahera Utara
74
7.1.3. Pembentukan Kec. Jailolo Timur Kab. Halmahera Barat
77
7.1.4. Pembentukan Kec. Kao Teluk Kab. Halmahera Utara
78
7.1.5. Sejarah Penggaabungan 11 Desa ke Kecamatan Malifut
78
7.1.6. Dinamika Pembentukan Tiga Kecamatan
82
Analisis Konflik dan Kekacauan Wilayah
8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah
90
8.2.
Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Ekonomi Politik SDA
91
8.3.
Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Administrasi Wilayah
94
8.4.
Pemekaran dan Penggabungan Wilayah enam desa menimbulkan konflik sosial
96
8.5.
Kontroversi pembentukan Kecamatan Malifut
96
8.6.
Penolakan masyarakat enam desa yang dikalim sebagai wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara
98
8.6.1. Dampak pemekaran wilayah yang sarat dengan konflik sosial
101
8.6.2. Identitas wilayah yang hilang
101
8.6.3. Kekacauan Administrasi wilayah
102
8.6.4. Kekacauan demokrasi dan tata kehidupan politik
104
8.6.5. Kekacauan rentang kendali
106
IX. Konseptualisasi Pemekaran Dan Penggabungan Wilayah di Enam Desa 9.1. Konseptualisasi pemekaran wilayah di enam desa
107
9.2. Solusi Pemekaran Wilayah ke depan
107
9.3. Solusi Ekonomi wilayah
108
9.4. Solusi Pelayanan publik
109
9.5. Solusi sosial budaya
110
9.6. Solusi admnistrasi wilayah
110
9.7. Ikhtisar X.
111
Penutup 10.1.
Kesimpulan
114
10.2.
Saran
114
Daftar Pustaka
118
Lampiran – Lampiran
121
DAFTAR TABEL 3.1. Sebaran dan Jumlah Responden
33
4.1. Pembentukan Kecamatan Jailolo Timur dan Kao Teluk
44
5.1. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Utara
49
5.2. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat
50
5.3. Fasilitas Pendidikan Kabupaten Halmahera Barat
51
5.4. Jumlah Sarana Pendidikan Menurut Kecamatan di Halmahera Barat
51
5.5. Fasilitas Pendidikan Kabupaten Halmahera Utara
52
5.6. Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kedua Kabupaten
53
5.7. Jumlah KK Masyarakat Enam Desa di Kabupaten Halmahera Barat
56
5.8. Derajat Konflik dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa
58
7.1. Kronologi Pembentukan Kecamatan Malifut
75
7.2. Posisi Enam Desa Sengketa
81
7.3. Dinamika Terbentuknya Tiga Kecamatan
83
8.1. Waktu Tempuh Beberapa Kota ke Wilayah Enam Desa
99
8.2. Keberpihakan Politik Masyarakat Enam Desa pada Pemilhan Gubernur
105
DAFTAR GAMBAR 2.1.
Diagram Alur Pemikiran
31
4.1.1. Peta Keadaan Geografis Kabupaten Halmahera Barat
37
4.1.2. Peta Keadaan Geografis Kecamatan Jailolo Timur Kab. HALBAR
38
4.1.3. Peta Keadaan Geografis Kabupaten Halmahera Utara
39
4.1.4. Peta Keadaan Geografis Kecamatan Kao Teluk Kab. HALUT
40
5.1.
Enam Desa di Wilayah Kecamatan Malifut yang Mengalami Disorientasi dan Membentuk Kecamatan Kao Teluk dan Jailolo Timur
5.2.
54
Persentase Keberpihakan Masyarakat Masing-Masing Desa di Enam Desa
56
7.1.
Kronologis Penggabungan 11 Desa ke Kecamatan Malifut
80
7.2.
Peta Kabupaetn Maluku Utara
84
7.3.
Peta Proses Transmigrasi Lokal Masyarakat Makian Pulau ke Daratan Halmahera
85
7.4.
Peta Terbentuknya Kecamatan Makian Malifut
86
7.5.
Peta Terbentuknya Kec. Jailolo Timur dan Kao Teluk
88
9.1.
Peta Provinsi Maluku Utara
116
9.2.
Peta Lokasi Penelitian
117
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia
menjadi semakin menarik setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut pada akhirnya mendorong daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah secara signifikan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah berlangsung secara massif. Realitas menunjukkan bahwa untuk upaya melakukan pemekaran wilayah sesungguhnya tidak didasari pada ide dan gagasan substansi dari pemekaran itu sendiri namun lebih mengedepankan aspek politik untuk menghadirkan “raja-raja” baru di daerah. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan pemekaran wilayah pada taraf tertentu turut memberi kontribusi terjadinya konflik sosial. Secara umum, kajian perencanaan dan pengembangan wilayah merupakan bidang yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalahmasalah pembangunan serta aspek-aspek politik, manajemen dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, dan istilah sejenisnya, banyak dipergunakan. Ketidakkonsistenan istilah tersebut seringkali menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Walaupun, secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah, namun pengertian wilayah sangat penting diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan/atau pengembangan kawasan (Rustiadi, et al. 2009). Salah satu program pembangunan yang dimaksudkan adalah kebijakan pemekaran wilayah yang dibangun dengan landasan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dapat dikatakan – secara teori perencanaan pengembangan wilayah - bahwa kebijakan otonomi daerah memiliki semangat untuk membangun
2
keberimbangan pembangunan antar wilayah atau desa-kota, namun fakta menunjukkan bahwa ide dan gagasan dasar pemekaran wilayah cenderung mengalami
kesalahan
pemaknaannya,
sehingga
tujuan
mensejahterakaan
masyarakat mengalami kemandekan, bahkan cenderung gagal total. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran adalah untuk mensejahterakan rakyat melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan kepada publik. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan berbagai permasalahan karena kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya
(sosial,
ekonomi,
keuangan
dan
kemampuan
bertahan
dalam
perkembangannya), sehingga menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah (Juanda, 2008). Memberbicarakan gagasan tentang pemekaran wilayah, maka tidak terlepas dari istilah tentang ruang. Dalam studi tentang wilayah, yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada diatasnya maupun yang ada dibawahnya sepanjang manusia bisa menjangkaunya (Tarigan, 2005 dalam Agusniar 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah pemerintahan akan dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada memiliki kemampuan yang cukup untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa mandiri menuju kemandirian bersama (Rasyid 1996 dalam Agusniar 2006). Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan semangat inilah, maka interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru akan terbangun secara memadai, sehingga masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara
3
lebih baik sebagai warga negara. Kondisi ini akan tercapai manakala tiga persyaratan pemekaran wilayah menjadi hal penting yang dipertimbangkan dalam melakukan pemekaran wilayah. Tiga persyaratan yang dimaksud adalah, syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik wilayah. Manakala ketiga syarat ini diabaikan
dalam
gagasan
pemekaran
wilayah,
maka
dapat
dipastikan
pemekaran/penggabungan wilayah akan melahirkan permasalahan baru ditengahtengah masyarakat. Disadari, bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali, sehingga dibutuhkan upaya serius pemerintah untuk menyikapi hal tersebut dengan berbagai kebijakan, diantaranya adalah moratorium pemekaran wilayah. Lebih lanjut, pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali
pemerintah
sehingga
meningkatkan
efektifitas
penyelenggaraan
pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Secara umum desentralisasi (baca: Otonomi) diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat daerah terhadap pelayanan publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik bila dibandingkan diatur secara langsung oleh pemerintah pusat (OECD, 1999). Desentralisasi juga memberikan peluang bagi persaingan sehat antar daerah, tentu saja dengan jaring-jaring pengaman bagi tercapainya persyaratan minimum daerah-daerah yang dipandang masih belum mampu menyejajarkan diri dalam suatu level of playing field (Basri, 2002). Hal ini dimaksudkan, sehingga menjadi jelas bahwa tujuan dari desentralisasi (baca:Otonomi) adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah (Smith, 1995). Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah seyogyanya menekankan keberpihakan pada dinamika politik lokal. Kesadaran ini seharusnya terbangun karena ide dan gagasan pemekaran wilayah cenderung membawa akibat ikutan.
4
Salah satu diantaranya yang sering terjadi adalah konflik wilayah atau teritori. Selain itu berbagai konflik lainnya, yakni penolakan masyarakat atas penggabungan yang terkadang mengabaikan aspek-aspek modal sosial dan modal alam. Dalam kajian perencanaan pengembangan wilayah modal sosial sangat penting dipertimbangkan selain modal lainnya. Hal ini dimaksudkan, karena determinan modal sosial seperti jaringan kerja, norma dan rasa percaya akan mempengaruhi kinerja secara positif. Selanjutnya, pemekaran dan/ atau penggabungan wilayah dalam perspektif perencanaan pengembangan wilayah dimasukkan
dalam
kajian
wilayah
administratif-politis,
yakni
wilayah
perencanaan/pengelolaan yang memiliki landasan yuridis-politis yang paling kuat. Konsep ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam suatu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Secara historis, pembentukan wilayahwilayah administratif pada mulanya sangat memperhatikan kesatuan sistem sosial, ekonomi dan ekologinya (Rustiadi, et al. 2009). Pada
hakikatnya
pemekaran
atau
penggabungan
wilayah
harus
mengedepankan aspek-aspek normatif yang telah ditetapkan sehingga tidak menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengantarkan pada konflik dan disintegrasi bangsa. Pada konteks itu, dibutuhkan sebuah kajian mendalam tentang analisis konflik perebutan wilayah yang terjadi akibat pemekaran wilayah sehingga dapat dirumuskan strategi untuk mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai konflik perebutan wilayah.
1.2
Rumusan Masalah Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah merupakan sebuah langkah
yang dilakukan guna memperpendek rentang kendali serta meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Namun tak jarang gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah mengalami kendala yang sangat signifikan. Kondisi ini dapat dilihat pada sering terjadinya protes warga masyarakat pasca pemekaran atau penggabungan dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa penolakan maupun
5
protes yang terjadi lebih dikarenakan ide atau gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah cenderung didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu tanpa adanya keterlibatan masyarakat. Realitas tersebut dapat dilihat pada konflik perebutan wilayah antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa. Perebutan wilayah ini terjadi akibat proses pemekaran dan penggabungan wilayah yang tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara baik. Permasalahan perebutan wilayah antara kedua kabupaten tersebut menyebabkan berbagai ketimpangan, diantaranya faktor pelayanan publik. Ketimpangan pelayanan publik yang dimaksudkan adalah enam desa secara administratif berada dalam wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, akan tetapi pelayanan publik juga dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang, bahwa tujuan otonomi adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan
pelaksanaan
pembangunan
perekonomian
daerah,
percepatan
pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi baik antara pemerintah pusat dan daerah, maupun sesama pemerintah daerah. Namun, harus jujur dikatakan bahwa ide pemekaran dan penggabungan wilayah yang luhur terkadang tercoreng oleh arogansi pemerintah daerah. Hal mana, dapat terlihat pada berbagai permasalahan pemekaran wilayah yang sampai saat ini banyak yang belum terselesaikan. Kelambanan ini selain dari lemahnya pengambilan keputusan pada level elite lokal (baca: Gubernur) yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, juga dikarenakan pertimbangan politik yang dominan. Pada aras ini rakyatlah yang kemudian dikorbankan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan
Pembentukan
dan
Kriteria
Pemekaran,
Penghapusan
dan
Penggabungan Daerah, tujuan pemekaran adalah memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendemokratisasi masyarakat, efisiensi pemerintahan dan dukungan pembangunan potensi ekonomi rakyat.
6
Namun dalam implementasinya, berbagai tujuan mulia tersebut belum tercapai secara maksimal. Hal mana dapat dilihat pada evaluasi penyelenggaraan pemerintahaan di daerah-daerah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri akhir tahun 2005, yang menjelaskan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah pemekaran belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran (Laporan Depdagri, 2006; Dikutip Malia 2009). Kenyataan tersebut selain disebabkan oleh beberapa kendala tekhnis administrasi dan fasilitas pendukung pelayanan yang belum memadai, juga terbatasnya komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan sistem dan pelaksanaan pelayanan publik yang transparan, accountable, dan professional. Hal lain yang mungkin sangat mempengaruhi permasalahan ini adalah saat daerahdaerah tersebut dikaji untuk persiapan pemekaran, pertimbangan utama yang didorong adalah potensi daerah dan alasan politis lainnya. Sehingga relatif mengabaikan indikator-indikator atau pertimbangan prinsip lainnya. Dengan alasan-alasan inilah, maka untuk memperketat kelulusan pembentukan dan penggabungan wilayah atau daerah, dengan substansi pengaturan persyaratan administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan, PP nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan
pembentukan
dan
kriteria
pemekaran,
penghapusan
dan
penggabungan daerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah (Laporan Depdagri, 2006 Dalam Malia 2009). Sebenarnya banyak aspek yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemekaran wilayah, namun sepertinya motivasi kalkulasi secara politik yang seringkali menjadi alasan dominan. Bahkan tak jarang persetujuan terhadap adanya pemekaran wilayah diberikan untuk meredam konflik. Hal lainnya adalah otonomi seringkali menjadi suatu komoditas yang bisa diperdagangkan untuk memberikan kekuasaan pada daerah tertentu. Meskipun tidak semua kasus, namun pada beberapa kasus pemekaran wilayah, memang benar menjadi tuntutan masyarakat akan perlunya otonomi daerah, tetapi tetap saja, pada faktanya kaum elite di daerah yang diuntungkan. Implikasi lanjutannya adalah masyarakat tidak
7
pernah menjadi sejahtera serta perkembangan ekonomi wilayahpun menjadi tersendat-sendat (Sayori, 2009). Disadari bahwa
banyak
permasalahan
yang
melingkupi gagasan
pemekaran wilayah, namun tak jarang pemekaran wilayah juga membawa dampak atau manfaat yang signifikan atas kesejahteraan masyarakat tatkala dikelolah secara baik. Salah satu manfaat pemekaran wilayah itu sendiri adalah adanya efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya alam yang meningkat, dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga dapat meningkatkan jumlah penerimaan daerah serta mempermudah alokasialokasi penggunaan dana untuk kepentingan publik (Juanda, 2007). Secara teoritik, gagasan tentang pemekaran dan penggabungan wilayah, membawa harapan-harapan indah tentang eksistensi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Namun, manakala ditelusuri lebih jauh, ternyata pemekaran wilayah juga mampu mendorong terjadinya konflik sosial, konflik pengelolaan sumberdaya alam serta batas wilayah. Kondisi ini mestinya mendapat perhatian serius semua komponen terutama pemerintah untuk merumuskan solusi kritis atas permasalahan ini, sehingga konflik-konflik yang dimaksudkan tidak terlaksana ketika gagasan pemekaran wilayah itu dijalankan. Dapat dipahami bahwa konflik yang merupakan implikasi dan sering menyertai gagasan pemekaran wilayah, dikarenakan adanya perbedaan signifikan atas ide otonomi itu sendiri atau lebih jelasnya disebut salah sasaran. Fisher et.al (2000), memaknai konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sementara Rubin et al. (1994 dan 2004), menyatakan bahwa konflik merupakan perbedaan kepentingan atau keyakinan yang nyata, sehingga aspirasi pihak-pihak yang terlibat tidak dapat dicapai secara simultan. Selanjutnya, pandangan ini juga dikemukakan oleh Sarwono (2001) dalam Shaliza (2004), bahwa konflik merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil, bahkan antar bangsa dan negara. Pemekaran wilayah seringkali membawa akibat ikutan,misalnya konflik teritori dan/atau agraria oleh masyarakat. Konflik dalam konteks ini dapat
8
dipastikan bermuara pada kekerasan fisik antar masyarakat. Hoult (1996; dikutip Wiradi, 2000), mengatakan bahwa adanya aspek kekerasan di dalam konflik. Menurutnya, sebagai suatu gejala sosial, konflik agraria merupakan suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya terhadap objek yang sama, yaitu tanah atau yang berhubungan dengan tanah (air, tanaman dan tambang) juga udara. Konflik yang terjadi di Indonesia memang disebabkan oleh banyak hal. Namun
harus
jujur
diakui
bahwa
kebanyakan
konflik
yang
ada,
kecenderungannya terjadi atas alasan alokasi sumber daya yang tidak berimbang, sehingga pada akhirnya berbagai tuntutan muncul, mulai dari responnya dalam bentuk separatisme, referendum hingga pemekaran wilayah. Namun, dapat dikatakan bahwa secara substansi semua itu terjadi karena ketidakmampuan mengelolah perbedaan sebagai sesuatu yang sunnatullah belum memadai. Banyak orang yang menduga bahwa penyebab konflik adalah ras, jenis kelamin dan kebudayaan (Shaliza, 2004). Namun, Sarwono (2001) dalam (Shaliza, 2004) , melihat hubungan antar individu atau antar kelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting. Hal ini senada dengan temuan Fisher et al. (2000), dimana konflik dapat terjadi karena adanya ketidakeseimbangan antara hubungan-hubungan yang ada di masyarakat, misalnya kesenjangan sosial, kurang meratanya kemakmuran, akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya dan ketidakseimbangan kekuasaan, yang pada akhirnya menimbulkan masalahmasalah diskriminasi, kemiskinan, pengangguran, penindasan dan kejahatan. Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat, seringkali dipicu oleh permasalahan “sepele”, halmana dapat dilihat pada kerusuhan di Ambon (19 Januari 1999). Kerusuhan Ambon dipicu oleh adanya “pemalakan” penumpang angkutan kota terhadap sopir angkutan kota, yang kemudian berkembang menjadi perkelahian antar geng. Konflik kemudian meluas menjadi perkelahian antar kampung, antar penduduk asli setempat dengan pendatang, antar kelompok etnis dan agama. Adanya kesenjangan sosial antar golongan dan kelompok, memudahkan timbulnya konflik secara terbuka. Walaupun secara fisik mereka itu bertetangga dekat, namun secara sosial ada jarak diantara mereka, ekspresi dan
9
relasi yang terjadi adalah permusuhan dan kecurigaan yang menjurus pada perkelahian. Selain berbagai konflik yang muncul akibat dari pemekaran wilayah yang telah tergambarkan diatas, banyak konflik lain yang terjadi. Misalnya resistensi penolakan masyarakat lokal atas pemekaran dan penggabungan wilayah. Juga konflik pada level negara dalam konteks perebutan wilayah. Fenomena ketegangan yang terjadi baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten – kota, juga antar kabupaten dan kabupaten sering mewarnai konflik wilayah akibat pemekaran wilayah yang tidak melalui sebuah tahapan pengkajian secara sistematis. Tentunya konflik yang terjadi di berbagai daerah itu memiliki isu yang tidak jauh berbeda, yakni isu harga diri masyarakat, teritori, historis, etnokomunal, ideologi dan kedekatan emosional serta isu-isu ikutan lainnya. Dengan kompleksitasnya permasalahan pemekaran wilayah, sebagaimana berbagai isu yang dijelaskan diatas, maka pada konteks itu dibutuhkan pemahaman tentang manajemen pengelolaan konflik yang baik. Sehingga dapat merumuskan solusi kritis atas kompleksitasnya permasalahan yang menyertai pemekara wilayah. Salah contoh kasus implikasi pemekaran dan penggabungan wilayah yang menimbulkan konflik sosial adalah terdapat di Provinsi Maluku Utara. Provinsi dengan usia yang masih belia ini mengawali penataan dirinya sebagai sebuah provinsi dengan konflik di penghujung tahun 1999. Dapat dikatakan bahwa, konflik ini terjadi akibat dari pengabaian aspirasi masyarakat dalam melakukan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan reaksi masyarakat dengan terus memprotes kebijakan dimaksud, namun aspirasi yang disampaikan berlalu dengan sendirinya, sehingga puncaknya memunculkan ketegangan sosial di level masyarakat dan berakhir dengan terjadinya konflik horizontal. Konflik ini bermula dari ketegangan antar warga masyarakat yang digabungkan kedalam sebuah kecamatan baru yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara, sebagai konsekuensi dari kebijakan transmigrasi lokal penduduk, atau yang lebih dikenal dengan kebijakan “bedol” kecamatan (Ruray. S. B, 2007.).
10
Kasus yang dimaksudkan adalah dalam konflik batas wilayah antara masyarakat Kecamatan Kao dan masyarakat Kecamatan Malifut. Konflik ini kemudian berlanjut menjadi konflik etnis, yakni antara etnis Kao dan etnis Makian. Selanjutnya, karena tidak adanya proses penyelesaian yang baik, konflik kemudian terjadi dengan issu agama pada tahun 1999. Selanjutnya kondisi mulai membaik, namun pada tahun 2003, konflik terjadi lagi, yakni konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tentang wilayah enam desa yang juga telah dipermasalahkan saat pembentukan Kecamatan Malifut. Permasalahan ini sesungguhnya sudah memakan waktu yang sangat panjang, bahkan telah melahirkan konflik sosial dipenghujung tahun 1999, namun berbagai peristiwa yang terjadi dan telah memakan korban jiwa ini, belum terselesaikan secara baik dan bijaksana. Disinyalir bahwa banyaknya kepentingan elite politik lokal atas konflik perebutan wilayah ini, mengakibatkan tidak ada keinginan kuat pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan ini. Konflik perebutan wilayah antara kedua kabupaten diatas berawal dengan terjadinya program bedol pulau yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara pada tahun 1975. Program bedol pulau tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat makian pulau untuk melakukan transmigrasi lokal ke daratan halmahera bagian utara Kabupaten Maluku Utara. Selanjutnya, setelah proses transmigrasi lokal tersebut dilakukan, wilayah Kecamatan Makian Pulau dinyatakan ditutup oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara dari hunian masyarakat karena ancaman gunung berapi kie besi. Sejak menempati wilayah adat Kao di Halmahera bagian utara tersebut, masyarakat Makian Pulau tidak memiliki status kependudukan yang jelas, yakni apakah sebagai penduduk Kecamatan Kao karena menempati wilayah Kecamatan Kao atau masih menjadi penduduk Kecamatan Makian Pulau? Ketidak-jelasan status kependudukan ini pada akhirnya mendorong masyarakat makian pulau untuk memperjuangkan status kependudukannya dengan menyampaikan aspirasi tentang pembentukan Kecamatan Malifut. Aspirasi masyarakat Makian Pulau mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga lahirlah Peraturan Pemerintah (PP)
11
No. 42 tahun 1999 Tentang Pembentukan Kecamatan Malifut. Sayangnya, pembentukan Kecamatan Malifut tidak hanya membawahi 16 (enam belas) desa eks Kecamatan Makian Pulau, melainkan mengambil 6 (enam) desa dari wilayah Kecamatan Jailolo dan 5 (lima) desa dari wilayah Kecamatan Kao. Akibat pemekaran Kecamatan Malifut dengan menggabungkan enam desa wilayah Kecamatan Jailolo dan lima desa wilayah Kecamatan Kao tersebut, maka penolakan masyarakat di enam dan lima desa kemudian terjadi. Penolakan masyarakat tersebut lebih disebabkan karena ketidak-inginan untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut. Namun, penolakan masyarakat enam dan lima desa tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemerintah, maka konflik tentang batas wilayah terjadi dan selanjutnya mengakibatkan konflik etnis dan agama di Provinsi Maluku Utara tahun 1999. Selain dampak terjadinya konflik sosial akibat tidak atau lamban merespon aspirasi masyarakat enam dan lima desa, dampak selanjutnya adalah masyarakat enam dan lima desa menolak mendapat pelayanan dari Kecamatan Malifut. Masyarakat lima desa mendapat pelayanan dari Kecamatan Kao karena menyatakan sikap tetap menjadi bagian dari Kecamatan Kao, sementara masyarakat enam desa mendapat pelayanan dari Kecamatan Jailolo. Walaupun demikian realitasnya secara administratif enam dan lima desa adalah bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Malifut. Penolakan masyarakat kembali muncul pada tahun 2003, dimana keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Namun penolakan ini hanya terjadi pada masyarakat enam desa. Penolakan masyarakat enam desa terjadi karena penegasan undangundang tersebut adalah Kecamatan Malifut merupakan bagian wilayah administratif pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, dengan demikian enam desa yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Malifut harus menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara. Penolakan masyarakat enam desa ini didasari bahwa sejak awal mereka telah menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut dan tetap menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo, sehingga masyarakat menganggap bahwa sangat realistis
12
jika enam desa menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah Kabupaten Halmahera Barat memberikan pelayanan kepada masyarakat enam desa. Disinilah titik awal konflik perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara terjadi. Dengan kompleksitas permasalahan, sebagaimana penjelasan diatas, maka dibutuhkan penelitian tentang analisis konflik perebutan wilayah dua kabupaten di Provinsi Maluku Utara dengan studi kasus konflik perebuatan wilayah antara dua kabupaten atas enam desa. Penelitian ini juga diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian dibawah ini : 1. Mengapa masyarakat enam desa menolak untuk bergabung dengan wilayah pemerintah Kabupaten Halmahera Utara maupun Kabupaten Halmahera Barat? 2. Apakah penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa berlangsung secara alamiah? Ataukah dikonstruksi? dan apa alasan penolakannya. 3. Bagimanakah strategi pengembangan kawasan (pemekaran wilayah) yang ditempuh terkait dengan masalah penolakan masyarakat enam desa?
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengamati dinamika
kebijakan pemekaran dan penggabungan wilayah dengan resistensi masyarakat lokal yang belakangan hampir terjadi diberbagai daerah. Terutama polemik masyarakat enam desa dengan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. Sehingga dapat menganalisis akar persoalan yang sebenarnya dan menawarkan solusi konkrit atas penyelesaian masalah tersebut. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji faktor-faktor yang menjadi sumber penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara serta
13
sikap tegas kedua pemerintah untuk mempertahankan eksistensi wilayah enam desa tersebut sehingga tetap berada dalam wilayahnya 2. Melakukan penelaahan bentuk-bentuk penolakan, sehingga dapat disimpulkan apakah penolakan tersebut alamiah atau direkayasa serta apa alasan penolakan tersebut. 3. Menelaah strategi pengembangan kawasan (pemekaran wilayah) yang ditempuh terkait dengan masalah penolakan masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara.
1.4
Manfaat Penelitian Diharapkan suatu studi dapat memberikan manfaat yang signifikan dan
mampu memberikan dampak secara langsung terhadap obyek yang diteliti atas rekomendasi penelitian. Pada konteks itu, maka secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah konflik wilayah yang terjadi antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar bagi penentu kebijakan dalam merumuskan solusi-solusi penyelesaian konflik wilayah lainnya serta membangun kembali nilai-nilai sosial masyarakat yang telah mengalami keretakan akibat terjadinya konflik. Terutama di Provinsi Maluku Utara.
1.5
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka untuk lebih mengarahkan
penelitian ini, penulis mencoba mendekati akar permasalahan dengan menyusun beberapa hipotesis, sehingga memudahkan untuk mengarahkan fokus penenlitian dan mencari jawaban atas permasalahan diatas. Adapun hipotesis yang dimaksud sebagai berikut : -
Pelayanan publik, aspek sejarah dan kedekatan emosional yang mendasari masyarakat enam desa melakukan penolakan untuk bergabung, baik dengan Kabupaten Halmahera Utara maupun dengan Kabupaten
14
Halmahera Barat. sumberdaya alam, menjadi salah satu faktor penyebab kedua kabupaten dengan tegas mempertahankan enam desa masuk dalam wilayahnya. -
Penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara maupun Kabupaten Halmahera Barat adalah sebuah konstruksi elite lokal untuk kepentingan tertentu, bukan penolakan yang berlangsung secara alamiah. Dengan berbagai alasan masyarakat seperti wilayah adat, kedekatan emosional dan sejarah serta pelayanan.
-
Keterlibatan multi pihak dalam mengelola pemekaran dan penggabungan wilayah di daerah yang rentan dengan konflik akan menghasilkan strategi pengelolaan pemekaran dan penggabungan wilayah yang baik dan berjalan lancar.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autos = sendiri, dan
nomos = Undang-Undang. Dengan demikian otonomi berarti perundangan sendiri (Izelf Wetgeving). Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian tentang otonomi, salah satunya adalah, Manan (1994) dalam Agusniar (2006) dan Malia (2009), mendefinisikan otonomi sebagai kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, sehingga otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan kewenangan serta tanggungjawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manifestasi desentralisasi. Pemberian otonomi kepada daerah menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelolah pembangunan di daerahnya. Kreativitas, inovasi dan kemandirian diharapkan akan dimiliki oleh setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat. Hal penting lain adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa implementasi otonomi daerah harus lebih berorientasi pada upaya pemberdayaan daerah dalam konteks kewilayahan (territorial), struktur tata pemerintahan melalui pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang dimiliki dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan negara. Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih berorientasi pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga lebih berpartisipasi dalam pembangunan (Malia, 2009). Otonomi daerah di Indonesia bukan merupakan suatu konsep baru, karena sejak republik ini didirikan, otonomi daerah sudah menjadi bahan pemikiran para The Founding Fathers kita. Hal ini terbukti dengan dituangkannya masalah otonomi daerah dalam UUD 1945, yang ditindaklanjuti dengan berbagai undang-
16
undang sejak tahun 1958 hingga tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 22 Tentang Otonomi Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam implementasinya selama ini kita tidak pernah mampu melaksanakan otonomi daerah secara nyata (Riyadi dan Bratakusuma, 2003). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa ada beberapa permasalahan yang perlu dipahami dalam penerapan otonomi daerah, yaitu : 1. Harus memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu sistem pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan secara utuh. Ini berarti bahwa otonomi adalah sub-sistem dalam sistem ketatanegaraan dan merupakan sistem yang utuh dalam pemerintahan. Artinya, seluas apapun otonomi daerah diterapkan tidak akan pernah lepas dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Perlu dipahami bahwa untuk dapat melaksanakan otonomi daerah secara baik dan benar diperlukan adanya political will (kemauan politik) dari semua pihak, baik pemerintah pusat, masyarakat maupun pemerintah daerah. Kemauan politik ini sangat penting, karena diyakini dapat mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda kedalam suatu wadah pemahaman yang berorientasi pada satu tujuan. Dengan kemauan politik ini pula diharapkan pemikiran-pemikiran parsial, primordial dan rasial (Etnosentris) dan separatisme dapat terbendung, bahkan dapat diakomodasi secara optimal menjadi suatu kekuatan yang besar bagi proses pembangunan. 3. Perlu adanya komitmen bersama untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa terjadinya negara kesatuan yang sentralistik ternyata banyak menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak
mengarah
kepada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
secara
berkelanjutan. Sentralisasi kekuasaan tidak memberikan insentif kepada daerahdaerah untuk meningkatkan produktivitasnya, maupun dalam memelihara sumberdaya dasar wilayah kearah berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan adanya wacana desentralisasi, dimana kekuasaan pusat yang dilimpahkan kepada daerahdaerah otonom diharapkan akan memperbaiki kinerja ekonomi secara lebih produktif dan berkelanjutan di masa depan (Anwar, 2000).
17
Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa semangat baru bagi daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan meningkatkan pelayanan publik secara lebih baik. Namun banyak kasus menunjukkan bahwa berbagai harapan ini tidak berjalan secara mulus, atau dengan lain perkataan bahwa pemekaran wilayah yang menjadi tuntutan masyarakat lokal, hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang (baca: elite lokal). Agusniar (2006), mengatakan bahwa distribusi dampak pemekaran wilayah (manfaat) berdasarkan persepsi stakeholders menunjukkan masih adanya ketidakmerataan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pihak pemerintah daerah dan pengusaha besar yang dinilai sebagai penerima manfaat terbesar dari adanya pemekaran,
sementara
pengusaha
kecil/menengah,
masyarakat
asli
dan
transmigran dinilai sebagai pihak yang relatif kecil menerima manfaat dari pemekaran wilayah. Kondisi ini mengharuskan bahwa, hendaknya pemekaran wilayah dimasukkan indikator ketersediaan sumberdaya manusia agar pemekaran wilayah dapat dikelolah oleh orang-orang yang ahli dibidangnya. Sementara, Juanda (2008) menjelaskan bahwa pemekaran wilayah juga akan berdampak pada pengurangan secara nominal (riil) porsi DAU daerah. Hal ini akan membebani APBN jika masih diberlakukan kebijakan hold harmlees atau dana penyeimbang atau penyesuaian. Selain itu, pemekaran juga akan berdampak terhadap keuangan negara. Diantaranya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang prasarana pemerintahan serta pembangunan instansi vertikal. Tetapi jika pemekaran daerah atau wilayah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka akan mendorong peningkatan APBN. Hal lainnya pemekaran wilayah juga membawa benefit bagi daerah, diantaranya : a) mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelolah potensi sumberdaya wilayah secara arif, b) partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat, c) efisiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestariaannya, d) akumulasi dari nilai tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, e) prinsip keadilan
18
dalam kesejahteraan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga ketahanan nasional semakin kuat. Lebih lanjut, Juanda (2008) mengatakan bahwa otonomi daerah memberikan peluang untuk terjadinya pembentukan daerah otonom baru. Tujuan dari pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran adalah untuk mensejahterakan
rakyat
melalui
peningkatan
efisiensi
dan
efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan masalah, terutama kurang memperhatikan faktor ekonomi dan keuangan sehingga dapat menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah. Hal lain yang mendorong terjadinya kontra-produktif atas gagasan pemekaran wilayah adalah dikarenakan proses pemekaran (dominan via DPRD langsung), indikator kinerja pembangunan daerah (faktor ekonomi dan keuangan) terlebih faktor sosial (aspirasi masyarakat) belum signifikan dipertimbangkan, sehingga menjadi wajar jika kinerja daerah hasil pemekaran kurang baik, bahkan terkadang menimbulkan permasalahan konflik sosial. Menurut Sayori (2009) seyogyanya pemekaran wilayah yang akan dilaksanakan diberbagai daerah di Indonesia tidak sekedar bertujuan untuk memperoleh dana DAU dan DAK yang lebih besar dari pemerintah pusat, tetapi harus dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya, sehingga dana dari pendapatan asli daerah merupakan penerimaan terbesar untuk dapat menggerakkan pertumbuhan daerah yang akan dimekarkan. Rasyid (1996) dalam Agusniar (2006) menjelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah pemerintahan akan dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada memiliki kemampuan
yang
cukup
untuk
memaksimalkan
fungsi-fungsi
pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan tersebut akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemandirian bersama.
19
Lebih lanjut dijelaskan oleh Rasyid (1996) bahwa terdapat tiga pola dalam pembentukan wilayah pemerintahan di daerah selama ini, yaitu : 1.
Pembentukan wilayah-wilayah pemerintahan sekaligus menjadi daerah otonom (Provinsi, Kabupaten/Kota) dengan persyaratan yang cukup objektif seperti jumlah penduduk dan potensi ekonomi (terutama terlihat seperti di Jawa dan Sumatera).
2.
Pembentukan wilayah-wilayah administratif dan daerah otonom berdasarkan pertimbangan politis dengan jumlah penduduk relatif kecil tapi memiliki potensi ekonomi yang besar (seperti terlihat di Papua) serta potensi ekonomi dan penduduk yang sedikit tetapi secara historis dipandang khas (salah satu contohnya adalah Maluku Utara).
3.
Pembentukan wilayah admistrasi pemerintah tanpa disertai pembentukan daerah otonom seperti lazim terjadi untuk pembentukan wilayah. Sementara menurut Dharmawan (2008) dalam perspektif ketata-negaraan,
kebijakan Otonomi Daerah (OTDA), pada taraf tertentu juga ikut memberikan kontribusi dalam memperburuk konflik sosial. Peristiwa konflik sosial yang berlangsung di Indonesia selama 10 tahun terakhir menunjukkan adanya titik berat yang nyata pada basis materialism, yakni konflik sosial yang digerakkan oleh gerakan sosial klasik yang sepenuhnya berorientasikan pada gugatan rasa keadilan materiil. Secara konkrit, konflik sosial yang mewujud dalam bentuk tuntutan pemenuhan kebutuhan demi
menjaga kelangsungan kehidupan
masyarakat. Dalam evaluasi Depdagri (Departemen Dalam Negeri RI) tahun 2005 di 2 Provinsi, 40 Kabupaten dan 15 Kota baru dalam Juanda (2008), dijelaskan bahwa terdapat 87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan pembiayaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D) kepada daerah otonom baru. Selain itu, 79% daerah otonom baru belum memiliki batas wilayah yang jelas dan terdapat 91,23% daerah otonom baru yang belum memiliki atau mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan kondisi ini (Tuerah, 2006), menjelaskan bahwa perlu dilakukan evaluasi kabupaten/kota baru, serta daerah induk dalam waktu 5 (lima) tahun, jika ditemukan daerah-daerah pemekaran yang tidak dapat
20
menunjukkan perbaikan dalam pelayanan publik dan ekonomi daerah, perlu dipertimbangkan diberi insentif untuk penggabungan. Pernyataan tersebut di dukung oleh fakta sebagian besar daerah pemekaran justru membebani keuangan negara. Hasil evaluasi juga menunjukkan lebih dari 80% daerah pemekaran belum dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat sehingga disimpulkan bahwa pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai tujuan otonomi daerah. Di samping belum dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk daerah setempat, di sisi lain pemekaran daerah justru menimbulkan konflik keruangan seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat, perebutan Pulau Berhala antara Provinsi Riau Kepulauan dan Provinsi Jambi, perebutan salah satu pulau di kepulauan seribu antara Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten (Harmantyo,2007). Sementara Farida (2010) mengemukakan bahwa salah satu yang melatarbelakangi suatu daerah di mekarkan adalah adanya bentukan atau rekayasa dari sekelompok elite untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan alasan tersebut, pemekaran bisa saja bukan merupakan keinginan dari masyarakat, bahkan bisa dikatakan belum dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan. Tetapi keinginan untuk memekarkan wilayah, lebih karena keinginan dari kelompokkelompok tertentu untuk tujuan kelompok. Lebih lanjut Farida (2010) mengatakan bahwa didalam alasan rekayasa tersebut, tidak hanya satu elite yang muncul, ada yang bertentangan atau pun saling mendukung. Setiap elite yang ikut merekayasa suatu pemekaran, pada akhirnya akan mencapai suatu kesepakatan sehingga masing-masing elite mendapatkan tujuannya masing-masing. Terutama sekali adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih. Pemerintah merupakan salah satu elite yang mempunyai kemampuan untuk merekayasa suatu pemekaran. Pemerintah yang dimaksudkan disini, tidak hanya pemerintah didalam artian organisasi, tetapi juga pemerintah dari sudut pandang masing-masing individu. Walaupun terdapat elite-elite lain yang ikut berperan, namun sebagian besar mereka adalah elite yang pro dengan pemerintah, atau dapat dikatakan elite yang mendapat dukungan dari pemerintah. Mereka adalah para tokoh masyarakat
21
dan adat yang sebelumnya merupakan mantan pejabat di daerah ataupun mantan pegawai negeri sipil. Sehingga apa yang menjadi kepentingan mereka tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Selain itu, karena alasan tidak ingin membuang kesempatan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat, maka banyak hal kemudian direkayasa untuk melakukan pemekaran wilayah. Diantaranya rekayasa perkantoran pemerintahan, jumlah penduduk dan penentuan lokasi pemerintahan dan ibukota yang tergesa-gesa pada akhirnya menjadi permasalahan pasca pemekaran (Farida, 2010). Berbagai persoalan tersebut merupakan sebagian permasalahan yang menyangkut pelaksanaan prinsip desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah. Sebagaimana diketahui mengiringi dinamika politik yang berkembang sejak awal era reformasi khususnya berkaitan dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memekarkan diri membentuk daerah otonom baru. Untuk itu pemerintah menerbitkan PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah yang mengatur antara lain tentang instrumen prosedural dan instrument persyaratan pemekaran daerah (Harmantyo, 2007)
2.2.
Konflik Yang Berkaitan Dengan Pemekaran Wilayah Pemekaran daerah tidak dapat dilepaskan dari persoalan menarik garis
batas wilayah. Penetapan garis batas antar dua daerah otonom memerlukan pertimbangan berbagai aspek agar tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dapat tercapai. Salah satu aspek adalah konflik keruangan. Dalam tataran negara, batas wilayah teritorial negara mencerminkan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat di atasnya (sovereignty right). Dengan mengacu prinsip tersebut maka garis batas wilayah menjadi faktor penting dalam pemekaran daerah. Garis batas menunjukkan kedaulatan dan hak berdaulat dalam lingkup tugas dan kewajiban yang diatur dalam undang undang (Harmantyo, 2007) Berdasarkan hasil evaluasi Depdagri (Departemen Dalam Negeri RI) ditemukan 79% daerah pemekaran belum memiliki batas wilayah yang jelas. Hal ini berarti bahwa potensi konflik keruangan akibat garis batas wilayah yang belum jelas antar daerah otonom di Indonesia relatif tinggi. Daerah daerah otonom
22
tersebut sebagian besar tersebar pada provinsi-provinsi yang memiliki wilayah paling luas dengan kepadatan penduduk rendah seperti di sumatra, kalimantan, sulawesi, maluku dan papua. Lain halnya dengan suatu daerah otonom baik provinsi atau kabupaten yang hanya memiliki batas laut dengan tetangganya, seperti Provinsi Bali, tentunya memiliki sumber potensi konflik keruangan relatif kecil sehingga secara relatif memiliki peluang keberhasilan lebih besar dalam pelaksanaan otonomi daerah karena intensitas interaksi keruangan relatif lebih terbatas dibanding interaksi yang melewati garis batas daratan (Harmantyo, 2007) Kondisi ini sangat tidak berbanding lurus bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, semisal Provinsi DKI Jakarta yang memiliki garis atas darat dengan Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat, yang tentunya memiliki sumber konflik yang potensial terjadi dalam konteks pemekaran daerah, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mencegah atau mengurangi intensitasnya (Harmantyo,2007) Harus jujur dikatakan bahwa daerah-daerah pemekaran yang ada saat ini mayoritas bermasalah. Bahkan persyaratan jumlah kecamatan pun dipermainkan oleh daerah-daerah tertentu. Banyak yang secara sengaja memecah-mecah kecamatan yang telah ada menjadi sejumlah kecamatan sekedar untuk memenuhi persyaratan tuntutan undang-undang. Lebih bermasalah, karena pemerintah pusat cenderung mendiamkan saja atau tidak mengambil tindakan atas manipulasi pemecahan wilayah kecamatan tersebut, sehingga terdapat beberapa daerah pemekaran yang kalau ditilik dari jumlah penduduk dan potensi PAD mereka sangat kecil, namun pada akhirnya diloloskan oleh DPR (Ratnawati, 2009). Kasus pemekaran daerah secara besar-besaran di era ‘reformasi’ saat ini menunjukkan bagaimana masa depan daerah dan masyarakatnya, bahkan masa depan negara dan bangsa Indonesia dipertaruhkan oleh para politisi yang mungkin sebagian kurang berwawasan kenegaraan dan tidak mempunyai kompetensi atau keahlian yang cukup untuk menentukan suatu daerah layak/tidak untuk dimekarkan.
Memang benar bahwa provinsi-provinsi pemekaran seperti
Gorontalo, Banten dan Maluku Utara bisa dikatakan ‘cukup sukses’ membawa misi pemekaran untuk peningkatan pelayanan publik, memperpendek rentang
23
kendali dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Memang benar juga bahwa sebagian kabupaten/kota pemekaran di kalimantan menuai hasil pemekaran. Namun jumlah daerah pemekaran yang relatif sukses tidak sebanding dengan sekitar 80% daerah pemekaran yang bermasalah karena dugaan kasus-kasus korupsi DAU, rekrutmen pegawai daerah pemekaran yang tidak fair (berbau kroniisme, kekeluargaan dan sukuisme (nepotisme),
serta
politik uang),
munculnya bisnis-bisnis dadakan pejabat daerah/politisi lokal atau keluarganya, konflik tapal batas wilayah (yang tidak jarang
tumpang tindih dengan
kepentingan elite politik tertentu), konflik asset daerah, konflik lokasi ibukota baru, konflik antar elit lokal , konflik horizontal turut mewarnai permasalahan pemekaran wilayah (Ratnawati, 2009). Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan otonomi daerah yang lahir pasca reformasi mempertontonkan banyak persoalan, antara lain, seperti masalah koordinasi antar pemerintah daerah kota/kabupaten dengan pemerintah provinsi. Munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, meluasnya praktik KKN, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan yang rendah, kenaikan pajak dan retribusi yang membebani masyarakat dan dunia usaha, serta meningkatnya berbagai bentuk konflik yang ada di daerah merupakan beberapa persoalan yang menjadi pembicaraan banyak pihak terkait pelaksanaan otonomi daerah. Permasalahan yang terjadi tidak lepas dari undang-undang tentang pemerintah daerah yang masih dalam proses transisi menuju konsepsi otonomi daerah secara ideal dan permanen. Kenyataan inilah yang pada akhirnya membuat permasalahan yang terjadi di daerah belum dapat dijawab dengan baik. Contoh kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diselenggarakan secara langsung, yang merupakan produk baru dari UU Nomor 32 tahun 2004, merupakan bentuk konkret dari desentralisasi politik. Spirit pilkada langsung sebagai bentuk upaya untuk menciptakan kepemimpinan lebih baik di daerah, lebih sering berubah menjadi ladang konflik politik baru dan bahkan juga menjurus menjadi konflik sosial. Fakta menunjukkan bahwa tidak banyak daerah yang mampu melaksanakan pilkada secara damai dan
24
bermartabat. Keinginan untuk menjalankan amanah tentang desentralisasi kekuasaan tersebut juga telah membawa pendekatan baru bernama pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah merupakan salah satu ide cemerlang untuk mempercepat pertumbuhan daerah. Pemekaran juga dimaksudkan untuk memperkuat basis pelaksanaan tugas-tugas pemerintah di daerah. Namun kehendak ini belum terlihat secara konkrit dalam implementasi hakikat pemekaran wilayah yang sesungguhnya. Sebagaimana diketahui, bahwa otonomi daerah berkehendak untuk memberikan kewenangan pengelolaan pemerintahan kepada daerah, maka pemekaran wilayah memiliki maksud agar pusat kewenangan tersebut terletak di tempat yang tidak terlalu berada jauh dari keberadaan basis masyarakat. Sehingga pemekaran wilayah memiliki maksud agar perhatian pemerintah dapat dilakukan secara lebih efektif, efisien dan berkualitas. Satu hal yang menjadi konsekuensi dari pemekaran wilayah adalah pembagian kewenangan atas sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan anggaran. Konsekuensi dari pemekaran tersebut seringkali membuat pelaksanaan pemekaran wilayah memiliki dampak ikutan berupa konflik kepentingan. Sangat mungkin terjadi pula bahwa pemekaran wilayah hanya ditujukan untuk kepentingan sekelompok elit di daerah, supaya memiliki kekuasaan yang tidak bisa didapatkan apabila daerah tersebut tidak dimekarkan. Menurut Nurbadri (2008), pemekaran wilayah dapat menyebabkan konflik batas wilayah dan konflik ini cenderung menimbulkan konflik horizontal antar warga, yang mengakibatkan tindakan anarkis dan destruktif, sehingga konflik batas wilayah antar daerah membawa efek yang negatif dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh kasus konflik batas wilayah antara Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo yang dipengaruhi oleh faktor hukum dan faktor non hukum. Terdapat dua faktor hukum, yaitu pertama subtansi hukum, yang disebabkan oleh proses pembentukan undang-undang yang terlalu tergesa-gesa, kaburnya pengaturan tentang batas wilayah, dan kedua kurangnya sosialisasi undang-undang pemekaran wilayah. Selanjutnya adalah struktur hukum
25
yang belum jelas karena perubahan undang-undang yang terlalu singkat. Faktor non hukum, yaitu sosial budaya, ekonomi, politik dan pendekatan pelayanan.
2.2.1. Konflik Horizontal dan Vertikal Ide dan gagasan pemekaran wilayah sebagaimana dijelaskan oleh banyak ahli, bahwa cenderung menimbulkan konflik horizontal dan vertikal. Hal ini dapat dilihat, pada beberapa daerah yang menjemput pemekaran wilayah dengan menguatnya gejolak sosial atau konflik horizontal. Salah satu yang dapat dijadikan contoh kasus adalah Provinsi Maluku Utara, yang ditetapkan sebagai Provinsi pada akhir tahun 1999, dan bersamaan dengan itu pula, dipenghujung tahun yang sama terjadi konflik sosial yang menelan banyak korban jiwa. Kejadian ini berawal dari konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial (Husen dan Oesman, 2005) Selain konflik horizontal yang sering menghiasi ruang pemekaran wilayah, konflik yang tak kalah menarik dan cenderung menyertai ide atau gagasan pemekaran wilayah adalah konflik vertikal, konflik ini terjadi, baik antara pemerintah atau penguasa dengan warga masyarakat. Selain pemerintah dengan warga, juga yang sering terjadi adalah pemerintah dengan pemerintah atau bahkan pengusaha dengan masyarakat setempat (Husen dan Oesman, 2005) Berkaitan dengan konflik horizontal – vertikal tersebut, Dharmawan (2008) menjelaskan bahwa konflik sosial dapat berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas sosial”, dan “sektor swasta”. Konflik sosial dapat berlangsung didalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruang kekuasaan. Lebih lanjut Dharmawan (2008), mengemukakan bahwa konflik sosial antar pemangku kekuasan dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh
26
negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. 2.
Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah kasus “Pencemaran Teluk Buyat” yang memperhadapkan masyarakat lokal dengan perusahaan swasta asing di sulawesi utara diawal dekade 2000an.
3.
Konflik sosial yang berlangsung antara swasta dan negara atau sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah/ negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan. Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin
kompleks,
manakala
unsur-unsur
pembentuk
sebuah
kekuasaan
tidak
merepresentasikan struktur sosial dengan atribut atau identitas sosial yang homogen. Diruang kekuasaan Negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent maupun manifest. Dalam perspektif ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen
pemerintahan
akibat
olah-kewenangan
dalam
pengendalian
pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “ konflik kewenangan “ tersebut mengemuka sejak rezim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai konsekuensi dari otonomi daerah. Konflik sosial horizontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu. Lebih lanjut Dharmawan (2008), menjelaskan bahwa diruang kekuasaan masyarakat sipil, juga berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang berbeda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi yang dianut masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang
27
nyata. Beberapa contoh atas konflik ini bisa disebutkan antara lain, tawuran antar warga yang yang dipicu oleh hal-hal yang dalam kehidupan normal dianggap sederhana, seperti masalah batas wilayah administratif yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi otonomi daerah. Sementara itu, diruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal seperti ras, etnisitas dan religiusitas. Selanjutnya Dharmawan (2008) bahwa konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut ahmadiyah versus non-ahmadiyah) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung diruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling beraneka warna (karena diverse-nya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera dan kerusakan) di Indonesia. Sementara itu diruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga bisa di picu oleh karena kesalahan negara dalam mengambil kebijakan dalam pemihakan kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM (usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang merasuki kawasan-kawasan yang sesungguhnya bukan lahan bermain mereka. Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini (Dharmawan 2008).
2.3. Pemekaran Wilayah dan Pembangunan Daerah. Pemekaran wilayah yang semangat kehadirannya didorong oleh adanya kesenjangan pembangunan yang terjadi antara pusat-daerah, pada hakikatnya mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat atas harapan hadirnya perubahan. Namun terkadang harapan-harapan atas pembangunan yang pesat ternyata tidak berbanding-lurus dengan kebutuhan masyarakat, melainkan
28
tuntutan dan keinginan elite politik lokal. Kondisi ini dikarenakan indikator pembangunan hanya menggunakan PDB atau PDB perkapita saja. Ada banyak pendapat yang kemudian menjadi kesepahaman bersama, bahwa perkembangan yang tidak lain adalah perkembangan wilayah sebagai dampak dari pembangunan tidak lagi hanya diukur dari kenaikan PDB atau PDB perkapitanya saja. Misra (1981-b) dan Todaro (1981) dalam Indraprahasta (2009), mengemukakan bahwa perkembangan sebenarnya adalah tidak lain, yakni keberhasilan seseorang dalam mencapai nilai budaya yang lebih tinggi. Secara teoritik, menurut Riyadi (2002) dalam Indraprahasta (2009), mengemukakan bahwa pembangunan dalam perspektif pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga suatu kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Lebih lanjut, menurut Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa telah terjadi evolusi strategi pembangunan dari masa ke masa, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan pada pemenuhan kebutuhan dasar, pertumbuhan dan lingkungan hidup, sampai pembangunan yang berkelanjutan. Sementara dari penelitian terdahulu, Agusniar (2006), mengemukakan bahwa pemekaran wilayah berdampak positif pada pertumbuhann ekonomi daerah – studi kasus pemekaran Kabupaten Aceh Singkil-, laju pertumbuhan PDRB sebelum pemekaran yang terus menurun, mengalami peningkatan setelah adanya pemekaran. Selanjutnya Sihombing (2006),- studi kasus Kabupaten Humbang Hasundutan-, mengemukakan bahwa pemekaran berdampak pada perubahan perekonomian daerah yang lebih baik. Selain itu dengan pemekaran wilayah, rentang kendali semakin pendek sehingga pemerintah daerah lebih memahami potensi dan permasalahan masyarakat. Sebaliknya masyarakatpun semakin baik menyampaikan aspirasi dan permasalahannya. Dengan demikian demokratisasi semakin terlaksana di tengah-tengah masyarakat dan pelayanan kepada masyarakatpun bisa ditingkatkan.
29
Sementara Tuerah (2006), mengatakan bahwa tujuan pemekaran daerah untuk dapat memberikan pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) yang lebih baik kepada masyarakat, ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Pemekaran daerah belum dapat dimanfaatkan oleh daerah pemekaran untuk memperbaiki kondisi ekonomi daerah semakin baik dan berkembang. Besarnya dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat untuk daerah-daerah pemekaran belum diikuti dengan peningkatan pelayanan publik.
2.4.
Kerangka Pemikiran Pemekaran wilayah merupakan sebuah langkah yang signifikan ditengah
arus demokrasi dan tuntutan otonomi daerah yang begitu kuat. Namun seyogyanya
memekarkan
sebuah
wilayah
semestinya
tidak
sekedar
mempertimbangkan aspek politik semata, melainkan semua dimensi harus dipertimbangkan, sehingga semangat pemekaran wilayah yang intinya untuk memperpendek rentang kendali dan terlebihnya untuk mendorong kesejahteraan masyarakat benar-benar terwujud. Dalam isu-isu pemekaran dan penggabungan wilayah juga, menjadi penting, penentuan jelas batas wilayah, sehingga polemikpolemik yang tidak mendasarkan pada aturan – aturan yang telah ditetapkan dapat terselesaikan secara baik. Kebijakan pemerintahan di tingkat provinsi – sebagai wakil pemeritah pusat di daerah – seyogyanya memiliki sensitivitas terhadap persoalan-persoalan yang timbul di tingkat kabupaten/kota, sehingga peranan pemerintah provinsi dapat terlihat dengan jelas. Hal ini dapat diwujudkan manakala komponen apparatus pemerintah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi memiliki kapasitas yang memadai. Pada konteks inilah, menjadi penting untuk dilakukan penguatan kapasistas bagi apparatus birokrasi di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, sehingga memiliki kepekaan yang tinggi atas tuntutan masyarakat. Dengan demikian pada gilirannya akan mencerminkan wajah pemerintahan yang kredibel dan bertanggungjawab atas nasib rakyat. Sebagaimana tujuan pemekaran wilayah, yang salah satunya adalah untuk memperpendek rentang kendali, maka pemerintah pusat mendesentralisasikan
30
kewenangannya kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya secara mandiri. Semangat ini terlihat jelas pada upaya desentaralisasi administratif yang didasarkan pada argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Namun realitas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah dengan tujuan mulianya, yakni memperpendek rentang kendali untuk meningkatkan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat, ternyata cenderung membawa akibat ikutan dalam bentuk konflik. Umumnya konflik yang terjadi akibat pemekaran wilayah adalah; konflik batas wilayah, identitas etnis/ideologi, sumberdaya alam dan konflik dengan alasan-alasan, seperti alasan emosional, historis dan kepemilikan tanah adat/budaya dan hegemoni kekuasaan. Konflik-konflik ini jika tidak diantisipasi secara baik dan bijaksana, maka dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih besar dengan korban, sudah tentu adalah masyarakat yang sesungguhnya menaruh harapan besar bahwa pemekaran akan membawa kesejahteraan dan bukan konflik. Dengan kondisi ini, maka menjadi sebuah keniscayaan untuk dirumuskan strategi pemekaran wilayah yang lebih baik dan beradab, yang benar-benar dapat membawa kesejahteraan masyarakat sebagaimana hakikat pemekaran wilayah itu sendiri. Strategi ini penting dan segera dirumuskan sehingga dapat di implementasikan ditengah menguatnya tuntutan daerah-daerah yang ingin memekarakan diri. Terutama di implementasikan pada daerah-daerah yang rentan terhadap konflik. Namun, upaya untuk mengimplementasikan strategi yang dimaksud, tentunya dibutuhkan pemahaman akan substansi permasalahan, sehingga dalam merumuskan strategi pemekaran dan atau upaya melakukan resolusi konflik akibat pemekaran wilayah benar-benar tepat sasaran. Menurut Dharmawan (2008), bahwa secara umum strategi resolusi konflik sepantasnya harus dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan
31
peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan solusi-tindakan rasional untuk mengatasi konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu menghapuskan akar persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada konteks itu, maka penelitian ini dilakukan dengan membangun sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut : Kerangka Pemikiran Pemekaran/Penggabungan wilayah Enam Desa
Protes Masyarakat Enam Desa
Alamiah
Rekayasa Ingin Menjadi bagian wilayah Kab. Halbar
- Alasan Historis - Kedekatan Emosional - Pelayanan Publik
Menolak menjadi bagian wilayah Kab. Halut
Karena ada sumberdaya alam di wilayah enam desa
Konflik Perebutan Wilayah dua kabupaten
- Menganalisis alasan penolakan, apakah penolakan tersebut alamiah ataukah rekayasa - Bagaimana pengelolaan administrasi wilayah - Bagaimana strategi pengembangan wilayah enam desa terkait konflik perebutan dua kabupaten kaitannya dengan sumberdaya alam
-
sejarah penolakan Derajat penolakan Skala penolakan Aktor
- Penolakan pespektif ekonomi politik sumberdaya alam - Penolakan pespektif - administrasi wilayah - Penolakan perspektif sosio historis dan budaya wilayah
- Kekacauan administrasi wilayah - Kekacauan demokrasi dan tata kehidupan politik - Kekacauan pelayanan publik
Gambar. 2.1. Diagram Alir Pemikiran
32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 6 (desa) yang diperebutkan oleh Kabupaten
Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara, yang meliputi desa Pasir Putih, Bobane Igo, Akelamo Kao, Ake Sahu dan Dum-Dum. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yang dimulai pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2009.
3.2.
Pemilihan Sampel Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan prosedur penarikan
contoh dengan tekhnik Quota sampling, yakni prosedur dimana peneliti mengklasifikasi
populasi
berdasarkan
kriteria-kriteria
tertentu,
kemudian
menentukan proposisi atau kuota sampel dari masing-masing klasifikasi tersebut. Tehnik ini dipilih untuk memastikan bahwa beberapa karakteristik populasi terwakili dalam contoh yang dipilih. Tujuan tehnik ini sama dengan stratified sampling, suatu tekhnik penarikan contoh berpeluang ( Juanda, 2007). Dalam penelitian ini responden yang ditetapkan sebagai berikut : 1. Unsur Pemerintah (Provinsi, Halbar dan Halut) 2. Unsur Stakeholder (Tokoh Masyarakat, Agama, Adat, Pemuda dan Universitas) 3. Unsur masyarakat Umum
Untuk mengetahui terwakilinya sebaran populasi, maka strategi yang digunakan dalam menentukan responden dalah berdasarkan keterwakilan masingmasing desa. Dengan jumlah responden sebanyak 148 responden dari keterwakilan pemerintah daerah 30 orang, unsur stakeholders 58 orang dan masyarakat umum di masing-masing desa sebanyak 60 (enam puluh) orang. Untuk lebih memberikan penjelsan yang sistematis tentang keterwakilan masing-
33
masing responden, maka dibawah ini akan digambarkan tabel yang menjelaskan sebaran dan jumlah responden yang akan diambil. Adapun tabel dimaksud sebagai berikut:
Tabel. 3.1. Sebaran dan Jumlah Responden No
Kelompok Responden
1
Unsur Pemerintah Daerah :
Jumlah
Keterangan
-
Eksekutif dan Legislatif Halut
10 Orang
@ 5 (lima) Orang
-
Eksekutif dan Legislatif Halbar
10 Orang
@ 5 (Lima) Orang
-
Eksekutif
10 Orang
@ 5 (Lima) Orang
dan
Legislatif
Provinsi 2
3
4
3.3.
Unsur Stakeholders : -
Tokoh Masyarakat
12 Orang
2 Org Per Desa X Enam
-
Tokoh Agama
12 Orang
SDA
-
Tokoh Adat
12 Orang
SDA
-
Tokoh Pemuda
12 Orang
SDA
-
Universitas
10 Orang
Unkhair Dan UMMU
Unsur Masyarakat Umum -
Desa Bobane Igo
10 Orang
Data diambil melalui Fokus
-
Desa Tetewang
10 Orang
Group
-
Desa Akelamo Kao
10 Orang
menggunakan
-
Desa Pasir Putih
10 Orang
pertanyaan yang terdapat dlm
-
Desa Ake Sahu
10 Orang
kuesione
-
Desa Dum-Dum
10 Orang
Total Responden
Diskusi
dengan bahann
148 Responden
Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data primer dan sekunder, maka dalam penelitian ini
digunakan rancangan survei dan studi dokumen. Metode paling umum digunakan untuk mengumpulkan data primer adalah dengan menggunakan rancangan survei. Survei merupakan suatu tekhnik penelitian, yang mana informasi dari suatu contoh responden dikumpulkan, biasanya, dengan menggunakan kuesioner atau dapat juga dengan wawancara.
34
Selanjutnya menyusun suatu kuesioner merupakan aspek penting dalam mengembangkan rancangan penelitian dengan menggunakan survei (Juanda, 2007). Selain itu data juga didapatkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti, baik perorangan maupun organisasi atau data yang didapatkan oleh peneliti dilapangan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah dipublikasi. Misalnya peneliti ingin mendapatkan data penduduk, pendapatan nasional, maka semuannya sudah tersedia di Badan Pusat Statistik (Juanda, 2007). Dengan perkataan lain, data sekunder adalah data yang didapatkan peneliti dari studi dokumen.
3.4.
Instrument Pengukuran Data Instrument pengukuran data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner, wawancara, observasi lapang dan FGD. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang dibagikan kepada responden untuk diisi dan kemudian dikembalikan pada peneliti. Pengisian kuesioner diawasi oleh peneliti, tetapi dapat juga tanpa pengawasan jika pertanyaan kuesionernya sudah sangat jelas. Penggunaan instrument ini relatif praktis untuk mendapatkan keterangan dari responden, terutama yang tempatnya tersebar cukup luas (Juanda, 2007). Wawancara adalah pengumpulan data dengan bertanya-jawab langsung antara peneliti dengan responden. Wawancara merupakan alat yang baik untuk meneliti ; pendapat, keyakinan, motivasi, perasaan dan proyeksi seseorang terhadap masa depan. Hasil suatu wawancara terletak pada kemampuan seorang pewawancara (Juanda, 2007). Observasi adalah salah satu instrument pengumpulan data dengan cara pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis mengenai gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti. Instrument ini sering digunakan dalam penelitian social dan ekonomi atau dalam bidang antropologi, terutama untuk penelitian yang objeknya tidak dapat diajak wawancara, atau walaupun objeknya manusia namun tujuan penyelidikan di rahasiakan ( Juanda, 2007 ).
35
3.5.
Metode Analisis Dalam penelitian ini, model analisis yang digunakan adalah metode
analisis deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan secara akurat dan sistematis fakta-fakta serta hubungan antar fenomena.
36
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Letak Geografis Wilayah enam desa secara administratif berada dalam wilayah
pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara (Pemkab Halut). Di bagian utara, berbatasan dengan ibukota Kabupaten Halmahera Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur dan laut halmahera, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Barat dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan. Lokasi enam desa yang di sengketakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara (Pemkab Halut) dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat (Pemkab Halbar) dapat diakses melalui sarana angkutan laut dan darat. Dari Kota Ternate, enam desa dapat dicapai melalui sarana angkutan laut melalui Kota Sofifi (ibukota provinsi) dengan menggunakan transportasi jenis speedboat dan atau kapal (kayu) motor, yang ditempuh kurang lebih dalam 30 menit. Dari Kota Sofifi, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang mobil roda empat selama kurang lebih 1 hingga 2 jam. Perjalanan darat dari arah Kota Sofifi menuju enam desa menyusuri jalan raya yang letaknya cenderung ke pesisir pantai bagian barat sehingga perjalanan akan melintasi desa-desa Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat dan Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Topografi kawasan pesisir/perairan yang membentuk “teluk” (kao) pada kenyataannya merupakan sebuah teluk/perairan
yang “mengikat” sekaligus
memisahkan Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Timur. Namun masyarakat Maluku Utara telah terbiasa menyebut kawasan itu sebagai “teluk kao”. Label ini, dengan demikian, tidak hanya disematkan pada sebuah topografi alam yakni “teluk”, tetapi juga sekaligus menunjuk wilayah administratif yang dahulunya dikenal sebagai Kecamatan Kao. Kecamatan Malifut yang ada saat ini pun sebelumnya termasuk dalam kawasan Kecamatan Kao, yang berarti kawasan teluk kao juga mencakup hingga
37
desa-desa yang kini termasuk dalam Kecamatan Malifut. Hal itu berarti bahwa wilayah enam desa secara topografi berada dalam kawasan teluk kao.
4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Halmahera Barat
Sumber : BAPPEDA Halmahera Barat, 2007
Gambar.4.1. Peta Kabupaten Halmahera Barat Wilayah Kabupaten Halmahera Barat berada pada posisi kordinat: 10 - 30 LU dan 1250 sampai 1280 BT. Secara Geografis & Administratif, batas wilayah Kabupaten Halmahera Barat adalah : a. Sebelah Utara berbatasan dengan samudra pasifik dan Kabupaten Halmahera Utara. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Tidore Kepulauan.
38
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Utara. d. Sebelah Barat berbatasan dengan laut Maluku.
Luas wilayah Kabupaten Halmahera Barat berdasarkan Amandemen UUD 1945 hasil revisi pertama s/d keempat cetakan I, tahun 2007 adalah 2.897,58 km2, sedangkan (sumber data: Bappeda Kabupaten Halbar, 2007) 2.357,88 km.
4.1.2. Keadaan Geografis Kec. Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat
Sumber : BAPPEDA Kab. Halmahera Barat, 2007
Gambar.4.1.2. Peta Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat Letak geografis wilayah Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat berada antara 00 46’ 39’’ - 10 17’11’’ LU dan membujur dari 1270 22’27’’ BT - 1270 43’39’’ BT. Batas wilayah Kecamatan Jailolo Timur adalah : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Tobelo b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan. c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.
39
Luas wilayah Kecamatan Jailolo Timur 43.981 Ha (sumber data: KODIM 1501/Ternate, 2007), dengan luas wilayah masing-masing Desa yaitu : Dum-dum 11.130.0 Ha, Akesahu / Gamsungi 6.942 Ha, Akelamo Kao 10.069 Ha, Tetewang 3.741 Ha, Bobane Igo 11.130 Ha, dan Pasir Putih 969 Ha.
4.1.3. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Halmahera Utara
Sumber : BAPPEDA Kab. Halmahera Utara, 2007
Gambar.4.1.3. Peta Kabupaten Halmahera Utara Wilayah Kabupaten Halmahera Utara berada pada posisi kordinat: 10 57’ 20 0’ LU dan 1280 17’ -- 128018’ BT. Itu berarti Wilayah Kabupaten Halmahera Utara berada di belahan bumi bagian Utara dan belahan bumi bagian Timur. Secara Geografis & Administratif, batas wilayah Kabupaten Halmahera Utara, adalah: a. Sebelah Utara berbatasan dengan samudera pasifik; b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wasilei Kabupaten Halmahera Timur;
40
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat; dan d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda, Kecamatan Ibu, Kecamatan Sahu, dan Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.
Luas wilayah Kabupaten Halmahera Utara berdasarkan Amandemen UUD 1945 hasil revisi pertama s/d keempat cetakan I, tahun 2007 adalah 10.497,72 km2, sedangkan (sumber data: Bappeda Kabupaten Halut, 2007) + 24.983,32 km2 yang meliputi wilayah laut: 19.536,02 km2 (78 %), wilayah daratan: 5.447,30 km2 (22 %) dan berjarak 138 mil laut dari Ternate/Ibukota Provinsi Maluku Utara.
4.1.4. Keadaan Geografis Kec. Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara.
Sumber : BAPPEDA Halmahera Utara, 2007
Gambar.4.1.4. Peta Kec. Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara Batas wilayah kecamatan Kao Teluk adalah : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara.
41
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. c. Sebelah Timur Berbatasan dengan Kecamatan Wasilei Kabupaten Halmahera Timur. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jailolo, Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
Kedua kabupaten ini memiliki tipologi lingkungan yang khas, dimana tidak hanya memiliki alam pegunungan tetapi juga memiliki areal pesisir pantai (coastal area) dengan berbagai sumberdaya alam yang prospektif untuk dikembangkan. Keunikan
willayah
ini,
memerlukan
perencanaan,
pemanfaatan
dan
pengendalian yang terarah dan dapat digunakan sebagai dasar pembangunan wilayah ini. 4.2.
Keadaan Demografi
4.2.1. Keadaan Demografi Kabupaten Halmahera Barat Berdasarkan amandemen UUD 1945 hasil revisi pertama s/d keempat cetakan I tahun 2007, sebanyak 94.705 jiwa, namun
sudah mengalami
peningkatan sesuai dengan hasil pendataan penduduk Kabupaten Halmahera Barat (sumber data : Catatan Sipil Kab. Halmahera Barat, 2008), 105.206 jiwa. Jumlah penduduk yang tetap mempertahankan Kecamatan Jailolo Timur sebagai kecamatannya adalah 3.458 jiwa. Sedangkan hak pilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2007 sebanyak 1.936 jiwa yang memilih ke KPUD Kabupaten Halmahera Barat. 4.2.2. Keadaan Demografi Kabupaten Halmahera Utara Berdasarkan amandemen UUD 1945 hasil revisi pertama s/d keempat cetakan I tahun 2007, sebanyak 181.968 jiwa, namun sudah mengalami peningkatan penduduk sesuai dengan hasil pendataan penduduk Kabupaten Halmahera Utara tahun 2007 (sumber data: Catatan Sipil dan KB, 2007) adalah 221.558 jiwa dan jumlah penduduk 11 Desa di Kecamatan Kao Teluk secara
42
keseluruhan adalah 6.911 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 3.505 jiwa dan perempuan 3.406 jiwa sedangkan hak pilih pada enam desa pada pemilihan Gubernur tahun 2007 sebanyak 699 yang memilih ke Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara. 4.2.3. Mata Pencaharian Penduduk Wilayah enam desa memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup melimpah, salah satunya adalah potensi perikanan. Dengan potensi yang ada sebagian besar penduduk enam desa memilih profesi untuk menjadi nelayan sebagai mata pencahariannya. Sebelum masuknya perusahaan tambang di Provinsi Maluku Utara dengan lokasi eksplorasi di wilayah enam desa, penduduk setempat sangat sejahtera dengan pendapatan dari hasil perikanan. Misalnya produksi ikan teri yang sangat tinggi. Namun kondisi ini kemudian berubah ketika perairan dikawasan teluk kao yang merupakan bagian dari wilayah enam desa mengalami pencemaran tailing, sehingga produktivitas mengalami penurunan drastis, bahkan sampai saat ini hasil tangkapan di teluk kao tidak dikonsumsi oleh penduduk, karena disinyalir telah tercermar. Dengan kondisi perairan yang telah tercermar, maka mempengaruhi hasil tangkapan dan pada akhirnya mengharuskan masyarakat untuk mengalihkan mata pencahariannya, sebagaimana penduduk desa Pasir Putih, Tetewang dan Bobane Igo, kembali fokus dengan mata pencaharian sebagai petani cengkih, sementara masyarakat Akelamo Kao, sebagiannya masih tetap bergelut dengan profesi sebagai nelayan, namun sebagiannya menjadi petani cengkih, begitu juga dengan penduduk Ake Sahu dan Dum-Dum yang sebagiannya menjadi petani sementara sebagian lainnya menjadi buruh tambang. 4.2.4. Keadaan Sarana dan Prasarana Semenjak daerah Dati II Kabupaten Maluku Utara berubah status menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Maluku Utara, maka Kabupaten Maluku Utara di alihkan menjadi Kabupaten Halmahera Barat dan guna mendukung pemekaran sebuah kabupaten menjadi provinsi, maka lahirlah Undang-undang No. 1 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera
43
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan. Setelah pemekaran Kabupaten Halmahera Utara kemajuan dari aspek sarana dan prasarana masih sangat minim, bila dibandingkan dengan Kabupaten Halmahera Barat, karena sebagai kabupaten induk tentunya Kabupaten Halmahera Barat memiliki sarana dan prasarana yang sudah memadai. Berbeda dengan Kabupaten Halmahera Utara dengan kapasitas sarana yang belum memadai (masih minim) seperti; sarana pendidikan, ekonomi, kesehatan, pemerintahan, pembangunan dan lainnya. 4.3.
Gambaran Singkat Pembentukan Kec. Jailolo Timur Dan Kao Teluk.
4.3.1. Kecamatan Jailolo Timur Kecamatan Jailolo Timur merupakan representatif dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat, sebagai perpanjangan tangan untuk mengurangi rentang kendali antara pemerintah kabupaten dan desa dalam proses pelayanan sehari-sehari. Pada dasarnya, awal perjuangan pemekaran Kecamatan Jailolo Timur adalah desakan secara kolektif masyarakat enam desa yang tersinggung ketika, masyarakat menghadiri acara pengresmian Kecamatan Jailolo Selatan di Sidangoli pada tahun 2003, dengan desa-desa yang tidak melibatkan enam desa di dalamnya. Sehingga ada kejelasan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bahwa enam desa, semenjak di keluarkan PP No. 42 tahun 1999, sah untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut, namun pengakuan masyarakat bahwa asal usul wilayah enam desa dari tanjung tabobo, sehingga desa Dum-Dum, Akesahu/Gamsungi, Akelamo Kao, Tetewang, Bobane Igo dan Pasir Putih adalah sah wilayah jailolo yang di politisir oleh elit-elit tertentu. disinilah awal perjuangan hingga diakomodir oleh pemerintah dan dimekarkan enam desa menjadi Kecamatan Jailolo Timur pada tahun 2005, sampai saat ini. Adapun desa-desa yang berada di Kecamatan Jailolo Maupun Kecamatan Kao sebelum di keluarkan PP No. 42 tahun 1999 adalah dengan Ibukota Kecamatan Jailolo adalah desa Jailolo dengan jumlah 45 desa. Dengan desa yang kemudian masuk menjadi wilayah Kecamatan Jailolo Timur sebagai berikut: 1. Desa Pasir Putih;
2. Desa Bobane Igo;
3. Desa Tetewang;
4. Desa Akelamo Kao;
5. Desa Gamsungi;
6. Desa Dum-Dum;
44
4.3.2. Kecamatan Kao Teluk Ibukota Kecamatan Kao Teluk adalah desa Dum-Dum dengan jumlah 11 desa. Nama-nama desa yang masuk wilayah Kecamatan Kao Teluk adalah : 1. Desa Pasir Putih;
2. Desa Bobane Igo; 3. Desa Tetewang;
4. Desa Akelamo Kao;
5. Desa Akesahu/Gamsungi; 6. Desa Dum-Dum;
7. DesaTabanoma;
8. Desa Makaeling;
10. Desa Baru Madehe;
11. Desa Kuntum Mekar;
9. Desa Tiwor
Untuk memberikan penjelasan lebih detail, maka di bawah ini akan dibuatkan gambaran tentang terbentuknya Kecamatan Jailolo Timur yang wilayahnya meliputi enam desa sengketa oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Kecamatan Kao Teluk oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara beserta desa-desa yang menjadi bagian dari wilayah kedua Kecamatan tersebut. Adapun tabel tersebut sebagai berikut : Tabel. 4.1. Pembentukan Kec. Jailolo Timur dan Kao Teluk Tahun
2005-2006
Kec. Jailolo Timur Kab.
Kec. Kao Teluk
Halbar
Kab. Halut
Melalui Perda No. 6
Melalui Perda No.2 Tahun 2006,
Tahun 2005, Pemda
Pemda Kab. Halmahera Utara
Kabupaten Halmahera
membentuk Kec. Kao Teluk
Barat membentuk Kec.
dengan wilayahnya meliputi 11
Jailolo Timur dengan
desa, sebagai berikut: Desa Pasir
wilayahnya meliputi 6
Putih,Bobane Igo, Tetewang,
(enam) desa yang
Akelamo Kao, Gamsungi/Ake
menolak bergabung ke
Sahu, Dum-Dum,Tabanoma,
Kec. Malifut sebagai
Maka eling, Tiwor, Baru
berikut: Pasir Putih,
Madehe dan Kuntum Mekar.
Bobane Igo, Tetewang,
Sebelumnya lima desa yg
Akelamo Raya,
menolak bergabung ke Kec.
Gamsungi/Ake Sahu dan Dum- Malifut adalaah Desa Tabobo, Dum
Balisosang, Sosol/Malifut, Wangeotak dan desa Gayok
Sumber : Data Primer, 2009
45
BAB V KONFLIK DAN RESISTENSI PENOLAKAN MASYARAKAT ENAM DESA 5.1. Sejarah Konflik Dan Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa Pada zaman kerajaan sampai menjadi kabupaten, wilayah Maluku Utara memiliki 4 (Empat) KPS 1, yakni KPS Bacan, KPS Sanana, KPS Jailolo dan KPS Tobelo. Sebagimana diketahui bahwa batas KPS Tobelo dan Jailolo adalah Tanjung Tabobo Loloda. Dengan demikian maka wilayah enam desa adalah merupakan bagian dari KPS Jailolo. Sebelum PP 42 tahun 1999 di keluarkan oleh pemerintah, di era tahun 1970-an, tepatnya pada tahun 1975 di wilayah Kabupaten Maluku Utara di adakan trasmigrasi lokal, yaitu penduduk dari berapa desa di Kecamatan Makian Pulau, yakni (1. Desa Ngofakiaha; 2. Desa Ngofagita; 3. Desa Samsuma; 4. Desa Tahane; 5. Desa Matse; 6. Desa Tiowor; 7. Desa Bobawa; 8. Desa Talapao; 9. Desa Tafasoho; 10. Desa Sabale; 11. Desa Ngofabobawa; 12. Desa Malapa; 13. Desa Mailoa; 14. Desa Peleri; 15. Desa Tagono; 16. Desa Soma) yang dipindahkan ke wilayah Kecamatan Kao, sebagai akibat bahaya meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara. Perpindahan ini dilakukan secara bedol kecamatan atau mengangkat semua sarana dan prasarana baik perangkat pemerintahan maupun masyarakat untuk dipindahkan ke daratan Halmahera yang merupakan bagian dari tanah adat masyarakat Kao secara total. Sejak mendiami wilayah baru di daratan Halmahera masyarakat Makian Pulau telah menjalin hubungan baik dengan warga disekitarnya, termasuk dengan masyarakat Kao, kondisi ini terpelihara dengan baik karena diantara masyarakat sudah ada ikatan kekeluargaan akibat perkawinan yang terjalin antar komunitas. Selain itu masyarakat Makian yang terkenal dengan keuletannya dalam bekerja di sektor pertanian memanfaatkan lahan pertanian yang ada di sekitar, sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun kondisi yang sudah terjalin secara baik ini pada akhirnya harus sirna ditelan zaman akibat kepentingan 1
Kepala Pemerintahan Setempat (KPS)/Pembantu Bupati yang membawahi beberapa Kecamatan pada zaman dulu
46
elite politik lokal untuk kekuasaan dan penguasaan dengan mendorong sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kecamatan Malifut dan selanjutnya akan diperjuangankan menjadi Kabupaten Malifut masa depan. Selanjutnya dalam rangka pembentukan dan penataan beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara, maka Kecamatan Malifut di bentuk dengan jumlah 27 (dua puluh tujuh) desa yang berasal dari desa-desa transmigrasi lokal Kecamatan Makian Pulau, sebagian desa dari Kecamatan Kao serta sebagian desa dari Kecamatan Jailolo. Desa-desa yang merupakan desa dari Kecamatan Makian Pulau adalah, desa Ngofakiaha, Ngofagita, Samsuma, Tahane, Matse, Tiowor, Bobawa, Talapao, Tafasoho, Sabale, Ngofabobawa, Malapa, Mailoa, Peleri, Tagono dan Desa Soma. Sementara desa yang merupakan desadesa Kecamatan Kao adalah Desa Tabobo, Balisosang, Sosol/Malifut, Wangeotak dan desa Gayok. Sementara desa yang merupakan desa dari Kecamatan Jailolo adalah desa Bobane Igo, Tetewang, Pasir Putih, Akelamo Kao, Gamsungi/Ake Sahu dan Desa Dum-Dum. Dengan terbentuknya Kecamatan Malifut, maka secara otomatis penantian panjang selama kurang lebih 25 tahun tidak memiliki status penduduk yang tidak jelas pun ikut berakhir. Namun berakhirnya ketidakjelasan status masyarakat malifut dengan hadirnya PP No. 42 Tahun 1999, justru memunculkan polemik berkepanjangan, yakni penolakan masyarakat enam desa (eks. Kecamatan Jailolo) untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut. Hal yang sama pula ditunjukkan oleh masyarakat lima desa (eks. Kecamatan Kao). Penolakan ini dilakukan dengan alasan proses penggabungan wilayah enam dan lima desa tidak melalui sebuah mekanisme pemekaran dan atau penggabungan wilayah yakni jaring aspirasi masyarakat. Bahkan jauh sebelum itu, penolakan masyarakat untuk bergabung ke Kecamatan Makian Malifut sudah dilakukan dan sampai mengirimkan delegasinya untuk melakukan konsultasi ke Jakarta pada tahun 1998, namun tidak membuahkan hasil yang signifikan, melainkan pemerintah memaksakan mengeluarkan PP No. 42 tahun 1999 dengan memasukkan desa-desa yang dimaksudkan diatas.
47
Alasan lain dilakukannya penolakan adalah terjadi pencaplokan ganda tanah masyarakat Kao. Artinya sebagai masyarakat tempatan masyarakat Malifut harus menjadi bagian dari Kecamatan Kao dan/atau Kecamatan Jailolo, bukan menjadi wilayah otonom baru untuk menancapkan kekuasaannya di tanah yang bukan miliknya dan kemudian memerintah penduduk asli setempat. Alasan ini berkaitan erat dengan rencana menjadikan Kecamatan Malifut sebagai kabupaten di masa mendatang. Berbagai permasalahan inilah yang pada akhirnya menambah potensi skala penolakan sehingga tepatnya di penghujung tahun 1999 terjadi konflik komunal di Provinsi Maluku Utara dengan mengusir secara paksa penduduk Makian Malifut keluar dari daratan Halmahera. Karena langkah untuk meredam konflik terlambat dilakukan oleh aparat keamanan dan negara, maka konflik-pun kemudian berlanjut menjadi konflik dengan tidak lagi membawa isu teritorial melainkan isu etnis dan pada akhirnya agama. Dan tak dapat dielakkan bahwa banjir darahpun kemudian mengaliri daratan Halmahera dan seluruh pelosok desa di Jazirah Almamlakatul Mulkiyah (negeri para raja-raja).
5.2.
Issu Penolakan/Konflik Masyarakat Enam Desa
5.2.1. Pelayanan Publik Dengan melakukan wawancara dan observasi lapang ditemukan berbagai data bahwa sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara, maka kedua pemerintah daerah yakni pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat membangun kesepakatan secara tertulis – namun tidak dalam bentuk PERDA – tentang pengelolaan wilayah enam desa. kesepakatannya adalah sebelum permasalahan tapal batas enam desa antara pemerintah daerah Kabupaten Hamahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara terselesaikan,
maka pengelolaan wilayah enam desa
dikendalikan sebagaimana biasa, artinya pengelolaannya tetap dipercayakan kepada kabupaten induk, yakni Kabupaten Halmahera Barat. Dengan demikian, maka segala bentuk pelayanan pemerintahan dilaksankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat.
48
Kondisi ini dapat dilihat pada akses pembuatan KTP oleh masyarakat di enam desa yang hampir kurang lebih 80 % (hasil wawancara) memiliki KTP domisili Kabupaten Halmahera Barat, walaupun terdapat sebagian masyarakat yang juga memiliki KTP Kabupaten Halmahera Utara, tetapi hal itu lebih karena untuk akses pelayanan kesehatan di Kabupaten Halmahera Utara dan juga bantuan-bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara melalui dana community development dari PT. NHM berupa, seng rumah, semen dan beras. Sikap dari pemerintah Kabupaten Halmahera Utara inilah yang kemudian dinyatakan membuat polarisasi pilihan masyarakat enam desa yang semula secara total berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat atau Jailolo. Sebagai manifestasi pelayanan pemerintahan di enam desa, maka pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat membangun sebuah kantor camat di Jailolo Timur dengan ibukotanya di desa Akelamo Kao, dan membangun SD, SMP dan SMA di Bobane Igo. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara yang membangun Kantor Camat Kao Teluk di Dum-Dum yang juga adalah ibukota kecamatannya. Selain itu berbagai pelayanan pemerintahan dilakukan juga oleh kedua kabupaten, diantaranya pelayanan kesehatan, pendidikan dan sarana fasilitas publik lainnya. 5.2.2. Fasilitas Kesehatan Sarana kesehatan merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk. Karena disadari begitu pentingnya aspek kesehatan, maka pemerintah pada berbagai level selalu memberi perhatian khusus pada dimensi ini. Tak terkecuali kedua pemerintah daerah, yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat di enam desa. Pelayanan dalam bidang kesehatan ini dilakukan sebagai bagian dari perwujudan keberpihakan kedua pemerintah daerah Kabupaten atas masyarakat di wilayah enam desa sengketa. Pelayanan kesehatan yang dilakukan kepada masyarakat
dengan
membangun berbagai sarana infrastruktur di wilayah enam desa. Realitas ini mencerminkan adanya ketimpangan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat.
49
Hal ini dikarenakan, Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat juga turut memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat enam desa melalui pembangunan fasilitas kesehatan. Padahal faktanya wilayah ini adalah bagian dari wilayah administratif pemerintah
Kabupaten
Halmahera
Utara,
sehingga
alokasi
dana-dana
perimbangan dari pusat sudah tentu terdistribusi kepada pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Data-data dibawah memberikan penjelasan atas ketimpangan pelayanan tersebut, sebagai berikut : Tabel.5.1. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Utara, 2007 No
Kecamatan
Rumah
Poliklinik
Puskesmas
Sakit
Puskesmas
Posyandu
Pembantu
1
Tobelo
1
2
1
1
24
2
Tobelo Tengah
-
-
-
-
12
3
Tobelo Utara
-
-
-
2
10
4
Tobelo Selatan
-
-
1
3
10
5
Tobelo Timur
-
-
-
2
9
6
Tobelo Barat
-
1
-
3
9
7
Galela
-
-
1
1
7
8
Galela Utara
-
-
1
3
12
9
Galela Selatan
-
-
-
1
7
10
Galela Barat
-
-
-
1
9
11
Kao
-
-
1
2
16
12
Kao Utara
-
-
-
2
6
13
Kao Barat
-
-
-
2
20
14
Kao Teluk
-
-
-
2
6
15
Malifut
-
-
1
2
22
16
Loloda Utara
-
-
-
6
15
17
Loloda Kepulauan
-
-
1
2
10
18
Morotai Selatan
1
-
1
3
15
19
Morotai timur
-
-
-
3
7
20
Morotai selatan Barat
-
-
1
5
19
21
Morotai Utara
-
-
1
2
12
22
Morotai Jaya
-
-
3
11
2
3
51
268
Jumlah
10
Sumber : Dinas Kesehatan Halmahera Utara, 2007 Penyediaan dan penyebaran fasilitas kesehatan di wilayah Kabupaten Halmahera Utara diperlukan guna menunjang pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan wilayah Kabupaten Halmahera Utara cukup luas, sehingga akses
50
pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah enam desa sengketa sangat jauh. Fasilitas-fasilitas tersebar dengan jumlah sarana kesehatan yang terdapat di Kabupaten Halmahera Utara adalah 10 unit puskesmas, 51 unit puskesmas pembantu, 268 unit Posyandu,3 unit poliklinik/balai pengobatan dan 2 unit rumah sakit. Fasilitas Rumah sakit terdapat 2 buah, 1 di Kecamatan Tobelo dan 1 di Kecamatan Morotai Selatan. Tabel. 5.2. Bidang Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat 2008 No
Kecamatan
Puskesmas
Pustu
BKIA
Posyandu
1
Jailolo
1
3
-
32
2
Jailolo Selatan
1
3
-
22
3
Jailolo Timur
1
1
-
12
4
Sahu
1
1
-
19
5
Sahu Timur
1
2
-
12
6
Ibu Utara
-
-
-
43
7
Ibu
1
5
-
-
8
Ibu Selatan
1
1
-
-
9
Loloda
1
4
-
31
Jumlah
8
20
-
171
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat,2008
Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa presentase keberpihakan pelayanan kesehatan di enam desa lebih tinggi dilaksankan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan banyaknya fasilitas 14 yang terbagi dari 1 puskesmas, 1 pustu dan 12 posyandu, sementara Kabupaten Halmahera Utara dengan jumlah 8 unit yang terbagi 2 puskesmas pembantu dan 6 posyandu. 5.2.3. Fasilitas Pendidikan Pendidikan merupakan sektor yang memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan. Pendidikan yang bermutu merupakan jaminan atas terbentuknya kualitas generasi mendatang yang handal dan berkualitas, sehingga mampu melaksanakan program pembangunan yang memiliki konsep dan target untuk mensejahterakan masyarakat seutuhnya. Upaya untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, maka pemerintah dituntut untuk mengalokasikan anggaran pendidikan yang signifikan sehingga mampu membiayai pembangunan
51
fasilitas pendidikan dan juga para tenaga pengajarnya, serta memberikan penguatan kapasitas para staf pengajar. Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan keberpihakan kedua pemerintah kabupaten dalam dunia pendidikan di wilayah enam desa sengketa.
Tabel. 5.3. Jumlah Guru Kabupaten Halmahera Barat Untuk Enam Desa No
Kecamatan
SD
MI
SLTP
MTs
1
Jailolo
419
9
152
24
2
Jailolo Selatan
521
17
51
34
3
Jailolo Timur
14
12
-
-
4
Sahu
98
-
91
-
5
Sahu Timur
116
-
-
-
6
Ibu Utara
81
-
-
-
7
Ibu
87
-
88
-
8
Ibu Selatan
77
-
-
-
9
Loloda
124
-
38
-
Jumlah
1.537
38
458
58
Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008
Tabel. 5.4. Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Halmahera Barat No
Kecamatan
TK
SD
SLTP
SLTA
1
Jailolo
15
9
11
4
2
Jailolo Selatan
1
25
10
2
3
Jailolo Timur
-
9
-
1
4
Sahu
7
14
8
6
5
Sahu Timur
6
13
-
-
6
Ibu Utara
-
12
-
-
7
Ibu
5
14
8
2
8
Ibu Selatan
3
10
-
-
9
Loloda
2
25
4
1
Jumlah
39
154
41
16
Sumber : Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kab. Halmahera Barat,2008
52
Tabel. 5.5. Fasilitas Pendidikan Kab. Halmahera Utara Untuk Enam Desa Jenis Fasilitas Pendidikan No
Kecamatan
SD/MI N
SMP/MTs
S
N
S
SMA/K/MA
Poltek/PT
N
N
S
S
1
Tobelo
9
11
1
6
3
6
-
2
2
Tobelo Tengah
3
3
1
-
-
-
-
-
3
Tobelo Utara
5
3
2
1
-
1
-
-
4
Tobelo Selatan
5
8
2
-
1
-
-
5
Tobelo Timur
4
3
-
-
-
-
-
-
6
Tobelo Barat
6
-
1
1
-
-
-
-
7
Galela
5
4
1
2
1
1
-
-
8
Galela Selatan
5
4
1
2
1
-
-
9
Galela Barat
4
6
2
1
-
2
-
-
10
Galela Utara
11
1
2
1
-
-
-
-
11
Kao
9
3
1
-
1
-
-
-
12
Kao Utara
6
5
1
2
-
1
-
-
13
Kao Barat
12
3
2
1
-
-
-
-
14
Kao Teluk
7
-
1
-
-
-
-
-
15
Malifut
17
1
1
1
2
1
-
-
16
Morotai Selatan
15
5
3
1
1
3
-
-
17
Morotai Timur
6
3
-
3
-
2
-
-
18
Morotai Selatan Brt
15
8
2
2
-
1
-
-
19
Morotai Utara
8
3
1
1
1
1
-
-
20
Morotai Jaya
6
4
1
-
-
-
-
-
21
Loloda Utara
10
8
1
3
-
1
-
-
22
Loloda Kepulauan
9
2
1
2
-
1
-
-
177
88
Jumlah
28
30
11
21
-
2
Sumber :Dinas Pendidikan Kab. Halmahera Utara, 2007 Ket : N = Negeri; S = Swasta
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa keberpihakan atas dunia pendidikan di enam desa lebih signifikan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Hal ini dapat dilihat dengan sebaran fasilitas pendidikan yang ada di lokasi penelitian sebagaimana secara jelas termaktub dalam data diatas.
53
5.3.
Pandangan Masyarakat Enam Desa Dengan Penggabungan Wilayah Menjadi Bagian Kecamatan Malifut. Dari data lapang yang ditemukan melalui wawancara, dari 108 responden
masyarakat enam desa yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian, terlihat semua responden berpandangan bahwa pemekaran dan/atau penggabungan wilayah penting dilakukan karena untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, namun
harus
melalui
tahapan-tahapan
terutama
mendengarkan
aspirasi
masyarakat. Terlebih untuk penggabungan dan/atau pemekaran wilayah dalam lingkup enam desa. Karena dalam rangka mengantisipasi gejolak sosial yang ditimbulkan akibat pemekaran dan/atau penggabungan yang mengabaikan aspirasi masyarakat setempat. Selanjutnya dari data yang diambil melalui wawancara mendalam dengan para responden terutama dengan para tokoh perjuangan pembebasan enam desa di simpulkan bahwa dari jumlah enam desa yang berada di Kecamatan Kao Teluk dan Kecamatan Jailolo Timur, dapat diklasifikasikan bahwa 4 desa memiliki kecenderungan lebih besar bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat dan 2 desa bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Tabel dibawah ini dapat menjelaskan kondisi dimaksud. Tabel. 5.6. Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kedua Kabupaten Desa Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao/Raya Ake Sahu/Gamsungi Dum-Dum Jumlah Total Sumber : Hasi FGD, 2009
Perkiraan Jumlah KK Yang Pro Halbar Yang Pro Halut 30 63 409 33 73 25 162 38 50 20 41 69 765 248
Jumlah KK 93 442 98 200 70 110 1.013
Asumsi : setiap saat bisa berubah pilihan masyarakat enam desa ke kedua kabupaten dan cenderung memiliki data yang berbeda-beda antara yang pro dan kontra.
54
Dari data diatas, dibawah ini digambarkan grafik keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing kabupaten.
Yang Pro Halbar
Yang Pro Halut
450 400
jumlah KK
350 300 250 200 150 100 50 0
Nama-Nama Desa di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Gambar. 5.1. Enam Desa di Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara yang Mengalami Dualisme Orientasi dan Membentuk Kecamatan Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara dan Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat yang Realitas Menunujukkan Secara Fisik Masih Tetap Berada di Wilayah Kecamatan Malifut.
Dari data diatas menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam pengelolaan administratif wilayah, tata kehidupan demokrasi dan politik serta pelayanan publik antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini dikarenakan wilayah enam desa secara administratif adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara, namun keberpihakan masyarakat enam desa lebih banyak ke Kabupaten Halmahera Barat. Pada sisi yang lain pelayanan pemerintahan juga dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Penolakan masyarakat enam desa sesungguhnya pada penggabungan wilayah enam desa menjadi bagian Kecamatan Malifut dengan alasan bahwa penggabungan enam desa hanyalah kepentingan elite politik lokal dan penguasaan sumberdaya alam serta alasan ikutan lainnya seperti kedekatan emosional dan harga diri serta masa depan generasi. Isu yang juga menjadi alasan kuat bagi
55
masyarakat enam desa dan terutama lima desa eks wilayah Kecamatan Kao yang menolak bergabung ke Kecamatan Malifut tetapi menerima bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara adalah isu atas identitas wilayah yang dianggap oleh mereka sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh pemerintah. Data diatas apabila di persentasikan maka keberpihakan masyarakat enam desa ke masing-masing Kabupaten sebagai berikut :
Gambar.5.2. Persentase Keberpihakan Masyarakat Masing-Masing Desa di Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Adapun sebaran masyarakat yang memilih untuk bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat maupun yang berkeinginan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara sebagaimana data diatas dilandasi oleh berbagai alasan, namun alasan-alasan penolakan tersebut lebih dialamatkan pada keengganan masyarakat untuk tidak menjadi bagian dari Kecamatan Malifut. Alasan-alasan dimaksud diantaranya sebagai berikut : •
Emosional, yakni karena dibesarkan oleh Jailolo, maka ingin tetap bergabung di Kecamatan Jailolo
•
Alasan Historis, yakni karena merupakan bagian dari Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Jailolo.
56
•
Pencaplokan ganda, yakni sebagai penduduk asli mereka telah kehilangan identitas wilayah juga kehilangan identitas harga diri.
•
Skenario
pembentukan
Kabupaten
Malifut,
yakni
adanya
upaya
pemerintah dengan memindahkan Kecamatan Makian Pulau ke daratan halmahera adalah merupakan langkah awal untuk selanjutnya mendirikan sebuah abupaten baru dengan nama malifut •
Sosio-Kultural, yakni masih kuatnya sentimen etnis dan masa depan generasi ( adanya kekhawatiran adanya hegemoni atas suku asli)
•
Tuntutan PP No. 42 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003
Selain data diatas terdapat data sekunder yang diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat tentang keberpihakan masyarakat enam desa yang berkeinginan menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, tetapi berada dalam wilayah Kecamatan Kao Teluk. Data dimaksud, sebagai berikut : Tabel. 5.7. Keberpihakan Masyarakat Enam Desa ke Kabupaten Halmahera Utara Desa
Jumlah KK
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah Jiwa
Pasir Putih
56
123
117
240
Bobane Igo
100
198
199
397
Tetewang
139
250
237
487
Akelamo Kao
110
186
178
364
Ake Sahu/Gamsungi
75
157
133
290
Dum – Dum
75
140
131
271
Jumlah
555
1054
995
2049
Sumber : Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2008
Data diatas menunjukkan terjadinya peningkatan keberpihakan masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbeda dengan data yang didapatkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Realitas tersebut menunjukkan terjadinya ketimpangan yang sangat signifikan, terutama dalam proses pendataan penduduk.
57
5.4.
Derajat konflik dan resistensi penolakan masyarakat enam desa Penelitian yang berkaitan dengan konflik, sangat menjadi penting untuk
mengkaji berbagai aspek yang dipandang menjadi variabel penentu dalam mendorong terjadinya konflik, sehingga dapat merumuskan berbagai langkah konkrit dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan pertarungan wilayah di kawasan studi. Salah satu diantaranya yang harus dikaji adalah derajat konflik itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, sehingga dapat mengetahui secara jelas variabelvariabel dari derajat konflik seperti demonstrasi, provokasi, huru-hara dan perang sudah berlangsung sejauhmana. Pada konteks, konflik perebutan wilayah enam desa yang disengketakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, derajat konfliknya meliputi aksi-aksi yang mengarah pada kekerasan, sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ekonomi, serta aspek-aspek lainnya. Sebagaimana kasus pemblokiran jalan di wilayah dum-dum yang mengakibatkan terjadinya kemandekan aktivitas masyarakat yang menuju dan keluar dari kota Tobelo ibukota Kabupaten Halmahera Utara, serta aksi pemogokan para sopir angkutan umumTobelo dengan terminal pertama di wilayah Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat berpindah ke Terminal Kota Sofifi Ibukota Provinsi Maluku Utara. Pemogokan ini diawali dengan sikap perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh sebagian sopir di sidangoli kepada para sopir angkutan umum dari tobelo – cerita seorang informan-. Dimana perlakuan ini juga terkait dengan konflik perebutan wilayah enam desa antara kedua kabupaten. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes sipil masyarakat kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang dianggap tetap berjuang mempertahankan wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayahnya. Selain itu disinyalir bahwa bentuk-bentuk perlakuan tidak adil juga datang dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Dampak dari konflik perebutan wilayah atas enam desa, sesungguhnya sangat signifikan – walaupun hanya berlangsung sesuai dengan momentum -. Dengan demikian, agar konflik perebutan wilayah dan penolakan warga diwilayah enam desa sengketa dapat berakhir, maka dibutuhkan solusi strategis guna
58
menjembatani proses penyelesaian konflik ini. Karena di khawatirkan, apabila konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak segera diselesaikan, maka akan berimplikasi secara signifikan pada aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi, politik, keamanan serta aspek sosial. Terutama pada aspek pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya pemerintah Provinsi Maluku Utara memfasilitasi kedua pemerintah kabupaten untuk membicarakan solusi penyelesaian konflik perebuatan wilayah ini, namun belum menghasilkan keputusan yang dapat menghentikan aksi-aksi penolakan masyarakat enam desa. Tabel. 5.8. Derajat Konflik/Resistensi Penolakan Masyarakat Enam Desa,2009 Tahun 1999
Demonstrasi Protes masyarakat enam & lima desa atas penggabungan ke Kec. Malifut
1999-2000
2000-2002 2003-2005
Provokasi
Huru-Hara
Antar masyarakat Asli sendiri saling memprovokasi untuk menolak bergabung ke kec. Malifut
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (masih secara total)
2006-2007
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut mengalami polarisasi pilihan)
Antar sesama masy. Saling provokasi utk menggunakan pilihan politik pada pemilu Gubernur tahun 2007
2008-2009
Penolakan masy. Enam desa utk bergabung ke Kab. Halut (sudah mengalami polarisasi pilihan)
Antar sesama masy. Saling provokasi menggunakan pilihan politik pada pemilu legislatif dan melalui dana Comdev oleh Pemda Halut
Sumber : Data Primer, 2009
Perang
Suku Kao Melawan Suku Makian dan Ummat Islam Melawan ummat Kristen Pemblokiran jalan utama menuju Tobelo (Halut) dilakukan masyarakat, sehingga terjadi ketegangan antar warga yg berdemo dengan masy, yang ke Tobelo dan keluar dari Tobelo Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan yang menetukan pilihan utk ke Halut Ketegangan antara masy. yang memilih menjadi jiwa pilih Halbar dan untuk ke Halut. Jarak antar TPS hanya 300 meter
59
5.4.1.
Demonstrasi Demonstrasi masyarakat enam desa dengan tuntutan menolak bergabung
dengan Kecamatan Malifut telah berlangsung lama, yakni dimulai sejak adanya upaya paksa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memasukkan enam desa ke Kecamatan Malifut melalui PP No 42 Tahun 1999, gerakan ini berlangsung mulai dari tahun 1998 dan tidak hanya dilakukan dalam wilayah enam desa, melainkan aksi demonstrasi juga dilakukan di depan kantor Bupati Maluku Utara dan selanjutnya sampai ke pemerintah pusat. Namun upaya keras ini tidak membuahkan hasil yang signifikan. Walaupun demikian upaya-upaya kritis terus dilakukan oleh masyarkat enam desa untuk tetap menolak bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat – setelah adanya polarisasi pilihan masyarakat -, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 2003 tentang pemekaran kabupaten dalam lingkup Provinsi Maluku Utara.
5.4.2.
Provokasi Permasalahan enam desa tak lepas dari upaya-upaya provokatif yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu tokoh kunci perjuangan enam desa (baca: bendahara tim perjuangan enam desa) mengatakan bahwa bentuk-bentuk provokasi yang dilakukan adalah dengan caracara memberikan bantuan ke masyarakat enam desa sebagai bentuk menarik perhatian masyarakat untuk bergabung dengan kabupaten tertentu. Kondisi ini cenderung dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan memanfaatkan dana commdev dari NHM, selanjutnya di level masyarakat terdapat tokoh-tokoh tertentu yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat, baik dengan cara-cara yang sedikit memaksa sampai pada cara-cara persuasif. 5.4.3. Huru-Hara Derajat konflik dan/atau resistensi penolakan ini juga terjadi pada wilayah enam desa. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pemisahan perkampungan yang
60
semula satu perkampungan atau desa kemudian harus berpisah karena perbedaan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Misalnya pada desa Akelamo Kao, telah terjadi dua perkampungan yakni masyarakat Akelamo Kao yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan desa Togosi perkampungan masyarakat yang memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Hal yang sama juga terjadi pada desa Dum-dum. Dimana sebagian masyarakat yang memilih bergabung ke Kabuapetn Halmahera Barat dan masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara pemetaan domisilinya sangat jelas. Juga yang terjadi di desa Tetewang adanya pemisahan perkampungan yang walaupun tidak berjauhan, tetapi lebih untuk memberikan kejelasan bahwa wilayah ini adalah masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halamhera Barat dan pada wilayah lainnya masyarakat yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai bentuk pemisahan ini terjadi bermula dari terjadinya huru-hara, baik yang menyangkut dengan pilihan untuk bergabung maupun saat terjadi pembagian bantuan. Sehingga cara ini ditempuh guna memberikan kejelasan keberpihakan masyarakat.
5.4.4. Perang/Pemberontakan Derajat konflik dan/atau penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa terkait dengan keengganan bergabung dengan Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke kedua kabupaten ini juga berbuntut pada konflik. Halmana kondisi ini dapat dilihat pada konflik komunal yang terjadi di Provinsi Maluku Utara tahun 1999, dimana konflik terjadi akibat dari keengganan digabungkannya masyarakat lima desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Kao dan enam desa yang sebelumnya merupakan desa-desa Kecamatan Jailolo ke Kecamatan Malifut. Bahkan dalam hasil wawancara ditemukan bahwa konflik di Provinsi Maluku Utara yang berawal dari wilayah ini telah diskenariokan. Hal ini karena dalam pertemuan para tokoh – tidak diketahui dari mana saja asal para tokoh-tokoh dimaksud - di enam desa melahirkan perjanjian bahwa dari enam desa hanya empat desa yang harus dikorbankan 2 desa diantaranya akan dilindungi yakni desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dan hal ini terbukti
61
ketika konflik menerjang wilayah Maluku Utara kawasan utara dan barat halmahera, hampir semua perkampungan muslim diratakan dengan tanah kecuali kedua desa tersebut diatas. Skenario
ini
dilakukan
dalam
kerangka
mengukuhkan
kenginan
masyarakat untuk tetap tidak mau bergabung dengan Kecamatan Malifut karena dianggap sebagai kecamatan yang lahir dengan membawa sebuah persoalan besar yakni konflik komunnal di Maluku Utara. Oleh karena itu, maka persoalan enam desa proses penyelesaiannya tidak mesti dengan cara – cara pemaksaan karena akan menimbulkan konflik babak baru di Maluku Utara. Dapat dikatakan bahwa dengan memaksakan enam desa yang dari sisi prosentase 4 (empat) desa lebih besar masyarakatnya memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara yang secara otomatis memaksa mereka untuk mengakui untuk menjadi bagian dari desa-desa Kecamatan Malifut, maka akan sangat berpotensi untuk terjadinya gesekan dan gejolak sosial yang dapat mengantarkan pada konflik komunnal. Selain itu jika dipaksakan untuk menggabungkan dengan Kabupaten Halmahera Barat, maka hal ini akan bersentuhan dengan wibawa pemerintah yang telah memproduk 2 (dua) keputusan yakni PP No. 42 dan UU No. 1. Sehingga akan sangat sulit untuk merumuskan langkah solutifnya ditengah arogansi masingmasing pemerintah di berbagai level pemerintahan daerah dewasa ini. Dalam pada itu dibutuhkan sebuah kajian mendalam guna merumuskan sebuah kebijakan yang strategis dan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama kepentingan masyarakat di enam desa. Karena fakta lapangan menunjukkan bahwa sangat sulit memaksakan wilayah enam desa untuk bergabung ke Kecamatan Malifut dan selanjutnya ke Kabupaten Halmahera Utara, karena wilayah lima desa yang notabene adalah wilayah Kabupaten Halmahera Utara sendiri-pun pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak mampu mempengaruhi masyarakatnya untuk bersedia bergabung dengan Kecamatan Malifut. 5.5.
Skala Konflik Resistensi penolakan masyarakat enam desa dan konflik perebutan wilayah
enam desa sudah mencapai skala konflik yang tidak sekedar konflik antar desa
62
saja, tetapi sudah pada level konflik desa dan kabupaten bahkan yang lebih tragis adalah konflik antar kabupaten. Hal mana konflik masyarakat dengan masyarakat dapat terlihat dengan hadirnya perkampungan baru dan juga adanya dua pemerintahan desa di masing-masing desa dalam wilayah enam desa. Pada level konflik desa (masyarakat) dan kabupaten adalah dapat dilihat pada polarisasi keberpihakan masyarakat untuk bergabung dengan kedua kabupaten. Selanjutnya konflik dalam skala kabupaten dengan kabupaten – dalam hal ini konflik di level pemerintahan – dapat dilihat pada ketiadaan keinginan kuat menyelesaikan permasalahan enam desa dengan landasan an-sich memikirkan kepentingan rakyat. Melainkan hal yang terjadi adalah arogansi masing-masing pemerintahan untuk tetap mempertahankan wilayah enam desa masuk menjadi bagian dari wilayahnya. Dalam mana dapat terlihat pada upaya pemerintah provinsi dalam memfasilitasi permasalahan ini, dihadiri oleh salah satu pemerintah kabupaten, maka pemrintah kabupaten lainnya tidak hadir. Dapat dikatakan (melalui hasil wawancara) bahwa konflik di level kabupaten dengan kabupaten adalah pertentangan (perebutan) sumberdaya alam pertambangan yang dikelolah oleh PT. NHM, dengan sebagian wilayah konsesinya adalah wilayah enam desa yang merupakan bagian dari teluk kao Kabupaten Halmahera Utara. Tetapi konflik ini tidak terjadi untuk konflik di level masyarakat. Sebab, konflik yang terjadi di level masyarakat merupakan konflik dengan alasan identitas wilayah yang dicaplok oleh masyarakat eks eksodus dan alasan historis maupun kedekatan emosional serta berbagai alasan lainnya seperti eks KPS Jailolo.
5.6.
Aktor Konflik Setiap konflik atau gejolak sosial yang muncul seringkali ditimbulkan oleh
tidak terakomodasinya kepentingan berbagai pihak yang berkonflik atau yang lebih dikenal dengan aktor konflik. Dalam konteks konflik wilayah enam desa aktor konflik yang dikaji dalam penelitian ini adalah masyarakat dan negara. Dengan sedikit melibatkan aktor konflik swasta secara tidak langsung (baca: perusahaan NHM). Jadi konflik wilayah antara Pemerintah Kabupaten Halmahera
63
Barat dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sebenarnya adalah konflik multi-level. Artinya, sebab-musabab konflik di level pemerintah daerah dan di level masyarakat, berbeda dan seringkali tidak saling berhubungan satu sama lain.
5.6.1. Negara Secara teoritik konflik memiliki aktor konflik dan dalam berbagai konflik kecederungan negara dalam menjadi aktor konflik sangat signifikan. Dalam konteks perebuatan wilayah enam desa, aktor konflik di level negara adalah pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melawan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kedua pemerintah kabupaten, baik melalui pertemuan yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara, maupun pertemuan yang diinisiasi oleh kedua kabupaten sendiri untuk proses penyelesaian permasalahan ini, namun hingga kini tak kunjung selesai. Kondisi ini kemudian memunculkan berbagai pernyataan di level masyarakat bahwa baik pemerintah provinsi maupun kedua kabupaten tidak memiliki keinginan kuat untuk segera menyelesaikan permasalahan ini, bahkan cenderung menjadikan wilayah ini (baca: enam desa) sebagai wilayah yang ditinggalkan sebagai “Bom Waktu” yang dalam waktu tertentu dapat meledak dan memunculkan gejolak sosial. Hingga kini belum ada satu penelitian pun yang dapat secara jelas menemukan motif inti dari permasalahan konflik kepentingan kedua kabupaten ini, tapi kecenderungan besarnya adalah eksistensi PT. NHM dengan wilayah konsensinya yang terletak di sebagian wilayah enam desa, sehingga membuat kedua pemerintah kabupaten bersikeras untuk mengambil alih pengelolaan pemerintahan wilayah tersebut. Dengan kondisi seperti diatas, maka sepatutnya segera dirumuskan sebuah langkah solusi guna mengantisipasi berbagai gejolak sosial yang ditimbulkan akibat berlarutnya penyelasaian masalah enam desa. Perumusan strategi penyelesaian konflik perebutan wilayah enam desa ini sangatlah penting, mengingat konflik di Maluku Utara yang kemudian mengakibatkan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, baik dikalangan kaum muslim maupun nasrani berawal dari konflik wilayah yang juga melibatkan enam desa didalamnya.
64
5.6.2. Masyarakat Masyarakat enam desa dalam kasus konflik perebuatan wilayah enam desa oleh kedua kabupaten yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara adalah aktor konflik yang hanya bermain pada level tuntutan pengembalian harga diri sebagai penduduk setempat dan juga pada aspek kedekatan emosional dan historis. Karena itu dapat dilihat pada materi tuntutan masyarkat enam desa yang hanya memiliki tuntutan untuk tidak bergabung dengan Kecamatan Malifut sebagaimana yang dipaksakan melalui PP No. 42 tahun 1999. Masyarakat enam desa tidak pernah menyentuh wilayah sumberdaya alam yang di kelolah oleh PT. NHM, karena dari sisi mata pencaharian masyarakat hanya sebagian masyarakat Akelamo Kao yang menjadi buruh tambang di PT. NHM, itu pun hanya menjadi buruh liar. Upaya masyarakat atas tuntutan mereka tidak bergabung ini nampak jelas dengan tuntutan mereka pada tahun 1998 di pemerintah Kabupaten Maluku Utara dan pemerintah pusat, tahun 2004 dengan pemerintah pusat dan tahun 2007 juga dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2007 juga tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bertemu dengan tim perjuangan enam desa versi pemerintah Kabupaten Halmahera Utara di Jakarta. Namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang maksimal, karena oleh pemerintah pusat isyu konflik tersebut dikembalikan ke daerah dengan alasan bahwa hal ini adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh pemerintah daerah yakni pemrintah Provinsi Maluku Utara. Namun hal dan perlakuan yang sama juga ditemukan oleh masyarkat enam desa ketika bertemu dengan pemerintah provinsi, dimana argumentasinya adalah nanti disampaikan ke pemerintah
pusat.
Alasan-alasan
inilah
yang
pada
akhirnya
membuat
permasalahan konflik wilayah enam desa oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara hingga detik ini belum terselesaikan dengan baik.
5.7.
Keadaan Pasca konflik Konflik yang melanda Maluku Utara di penghujung tahun 1999, perlahan
mulai mengalami situasi yang kondusif. Halmana dinamika konflik yang terjadi
65
dalam perebutan wilayah enam desa juga mengalami hal yang sama. Namun kondisi ini belum sepenuhnya dapat dikatakan normal, manakala perebutan wilayah ini tidak dengan segera terselesaikan secara bijaksana. Walaupun demikian, kesadaran masyarakat mulai tumbuh, bahwa konflik yang terjadi beberapa waktu lalu adalah bagian dari design elite lokal yang tak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan perang antar agama. Keraguan akan issu perang antar agama dan justifikasi bahwa konflik ini di design adalah dapat dilihat, pada kondisi 2 (dua) desa muslim yang berada di wilayah enam desa yang abai dari amukan massa. Desa yang dimaksud adalah desa Bobane Igo dan desa Akelamo Kao. Dari hasil observasi lapang, ditemukan bahwa jauh sebelum konflik ini terjadi telah terjadi pertemuan beberapa elite lokal di wilayah enam desa untuk menskenariokan konflik di wilayah utara Halmahera. Pertemuan itu menemukan kesepakatan bahwa 2 (dua) desa muslim diatas akan dilindungi. Hal mana, kondisi ini diciptakan untuk membangun gugatan kolektif masyarkat bahwa dampak dari hadirnya Kecamatan Malifut melahirkan konflik di Maluku Utara, sehingga masyarakat tidak respek dan memprotes eksistensi Kecamatan Malifut. Skenario ini didasari kecurigaan adanya kecenderungan untuk membentuk Kabupaten Malifut di masa depan, sehingga oleh penduduk setempat dianggap sebagai bentuk pencaplokan ganda yang dilakukan oleh masyarakat pendatang/tempatan. Pada konteks itu, maka menjadi penting untuk dirumuskan strategi penyelesaian konflik wilayah enam desa secara segera. Karena walaupun protes dan gejolak sosial belum mencuat secara jelas – letupannya masih dalam skala yang relatif kecil-, namun dapat dikatakan bahwa bukan tidak mungkin konflik sebagaiman terjadi pada penghujung tahun 1999 tidak akan terjadi kembali. Realitas itu dapat dilihat pada tingginya polarisasi masyarakat dalam menentukan pilihan bergabung ke kedua kabupaten. Data lapang menunjukkan bahwa dari 6 (enam) desa yang diperebutkan oleh dua kabupaten terdapat 2 (dua) desa yang sebagian masyarakatnya memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara dan 4 (empat) desa sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Bahkan dari hasil investigasi Badan Intelejen
66
Negara (BIN) menunjukkan bahwa 85% masyarakat memilihi ke Kabupaten Halmahera Barat dan 15 % masyarakat memilih bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara.
67
BAB VI KONFLIK DALAM SEJARAH MALUKU UTARA
6.1.
Rangkaian Konflik Maluku Utara Konflik di Maluku Utara adalah sebuah konflik yang punya rangkaian
panjang dalam sejarah konflik di Indonesia. Konflik tersebut berakar dari sejarah awal kelahiran kerajaan-kerajaan tua di Maluku Utara. Saat itu, di masa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257), usai era Momole, sudah ada perseteruan laten antar klan raja/penguasa, baik di internal kerajaan maupun antar kerajaan. Bahkan Naida, juru tulis Kesultanan Ternate, yang menulis tentang mitos lahirnya rajaraja Moloku Kieraha, juga sudah mengungkap benih-benih perpecahan itu. (lihat P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878 Dalam Jalil 2009 ). Dapat dikatakan bahwa akar konflik yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di Maluku Utara disebabkan oleh beberapa hal : Pertama ; kuatnya hegemoni kekuasaan dari kerajaan tertentu terhadap kerajaan lainnya atau dengan bahasa lainnya adalah tuntutan kehormatan dari kerajaan satu dengan lainnya. Kedua ; upaya untuk melakukan ekspansi wilayah. Ketiga : Sumberdaya alam dan kepemilikan tanah adat. Tetapi pada dasarnya konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh motif ekonomi dan arogansi antar kerajaan, hal mana terlihat dalam konflik yang terjadi antara Ternate dan Tidore, dimana Ternate bersekutu dengan belanda dan Tidore dengan Portugis. Terlepas dari motif diatas, yang patut disadari adalah strategi yang diterapkan penjajah melalui devide et impera. Sehingga menciptakan konflik antar kerajaan di Moloku Kie Raha. Intensitas konflik antar kerajaan ini sempat meredah semasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi raja di Ternate (1322-1331), dan mengundang rajaraja di Maluku Utara, minus raja Loloda untuk melaksanakan sebuah konferensi. Dalam konferensi raja-raja di pulau Moti, mereka sepakat mengakhiri permusuhan antar sesama serta membentuk sebuah konfederasi longgar yang kemudian dikenal dengan Konfederasi Moloku Kie raha atau persekutuan empat raja di Maluku.
68
Konferensi ini kemudian dikenal dengan nama Moti Statenbond (1322). Sidang Arif Malamo, sesuai kesepakatan antar raja dalam konferensi itu, ditunjuk sebagai pemimpin konfederasi longgar atau “Kolano Ma-Dopolo”. Konfederasi longgar ini hanya berumur 72 tahun, karena kemudian dibatalkan sepihak oleh kerajaan Ternate, namun persekutuan ini telah menghasilkan sesuatu yang fundamental, yakni ikatan kultural masyarakat Maluku Utara. Ikatan ini, yang di kemudian hari coba ditautkan lagi dengan perkawinan antar keluarga raja-raja di Maluku Utara, menjadi pengikat yang diakui semua etnik di seluruh wilayah Maluku—termasuk Ambon dan Seram. Dari sini rumusan tentang penyelesaian beragam konflik coba diatasi. Francoise Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S. Keijzer, Amsterdam, 1862) dalam (Jalil 2009). Sayangnya, keserakahan anak negeri dalam konteks kekuasaan dan penguasaan sumber-sumber ekonomi, serta kuatnya arogansi antar kerajaan, yang dicirikan dengan keunggulan kerajaan tertentu, serta datangnya para pedagang Eropa, baik Spanyol maupun Portugis, membuat perpecahan antar kerajaan makin menguat. Di masa Khairun Jamil (1536-1570) memerintah, dia mampu mengembalikan harkat kerajaan Ternate kembali ke posisi yang disegani. Dia juga membuka dialog dan diplomasi dengan Portugis. Momen diplomatic ini kemudian dipakai oleh Gubernur Portugis Admiral de Mosquita, memerintahkan Antonio Pimentel, orang dekatnya, untuk membunuh Sultan Khairun yang dianggapnya penghalang dalam upaya mengembang misi, god, gospel, and glory (14 Pebruari 1570). Selanjutnya dengan pembunuhan terhadap Khairun memicu Babullah Datu Syah – Putra Khairun - mengobarkan apa yang diistilahkannya dengan perang suci melawan kolonialis Portugis dan sekutu-sekutu mereka, hal ini memunculkan benih konflik agama, ketika dia menyatukan raja-raja di Maluku Utara, dan Kolano Katarabumi, raja Jailolo, memerangi Portugis dan penduduk yang telah dinasranikan di seantero Halmahera. Mereka diusir dari Mamuya, Galela, dan terpaksa terkurung di benteng Nostra Senhora del Rosario, atau benteng Gammalamo, Ternate.
69
6.1.1. Sejarah Konflik Agama Pengusiran bangsa Portugis dari Ternate, di malam Natal, setelah terkurung selama lima tahun, dan gubernur Nuno Pereira de Ateyda, pada tanggal 24 desember 1575, mengibarkan bendera putih di petala benteng Gammalamo, markas besar Portugis dan satu-satunya benteng yang belum jatuh—perang Ternate-Portugis berakhir. Portugis keluar meninggalkan Ternate, bersama-sama komunitas nasrani lokal yang ikut bersama Portugis, tanpa senjata. Dengan pengusiran secara paksa inilah, benih-benih konflik dengan simbol-simbol agama mulai terbangun di Maluku Utara. Bahkan Ternate pernah memainkan peran penting di kawasan timur nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Sebagai kerajaan primus interpares dari kerajaan-kerajaan Islam di Maluku —bersama kerajaan Tidore, Bacan, dan Jailolo, wilayah kekuasaan Ternate pada era Sultan Baabullah (1570-1583) pernah membentang dari Mindanao (sekarang bagian dari Filipina) di utara sampai Bima di selatan. Ke barat meliputi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara (Alhadar. S. 2009). Selanjutnya, konflik dengan isyu agama kembali terjadi pada tahun 1999 – 2000 dengan berbagai isyu, dan salah satu diantaranya adalah isyu agama – walaupun masih terdapat berbagai perdebatan -. Tapi fakta menunjukkan bahwa konflik yang kemudian berakibat pada pembantaian ummat muslim oleh ummat kristen di Togoliua dan daerah lainnya membuat sebagian besar masyarakat sulit untuk tidak menyatakan bahwa ini adalah konflik agama. Artinya, bahwa konflik yang terjadi merupakan berbagai akumulasi dari berbagai kepentingan benar adanya, tetapi kehancuran bangunan seperti tempat ibadah, dan yel-yel yang diteriakkan pada saat konflik terjadi adalah merupakan bukti bahwa ada sebuah grand scenario untuk melakukan kristenisasi di daratan Halmahera – terutama yang penduduknya mayoritas ummat kristen -.
70
6.1.2. Sejarah Konflik Ekonomi Mangunwijaya, dalam novel sejarah “Ikan-ikan Hiu Ido Homa,” mendeskripsikan, betapa keserakahan raja-raja yang berkaitan dengan kehormatan dan sumber – sumber ekonomi dan kekuasaan sesudah Sultan Babullah, membuat rakyat begitu menderita, dan mewariskan dendam yang diturunkan secara turuntemurun dalam bentuk pepata-pepiti kuno, yang menyimpan arti mendalam. Selain sepak terjang para raja dan kerajaan di wilayah ini dalam berebut sumberdaya ekonomi, kolonialisme selama kurang lebih 350 tahun, baik oleh Portugis, Spanyol, apa lagi Belanda, telah memporak-porandakan bangunan sosial yang sudah terbangun kurang lebih 200 tahun itu. Lewat politik devide et impera, mereka masuk dan merubah tatanan sosial budaya, sehingga relasi-relasi sosial menjadi terganggu (lihat E Katoppo dalam, Nuku, kaitjil Paparangan, 1957) dalam (Jalil R. 2009). Konflik ini kemudian terbangkitkan kembali, sejalan dengan keluarnya PP No. 42 Tahun 1999, dalam mana masyarakat Kao menganggap bahwa wilayah tersebut adalah merupakan bagian dari tanah adat yang dimilikinya. Sehingga konflik berlanjut dengan isyu tentang batas wilayah. Fakta menunjukkan bahwa dalam daerah ini terdapat sebuah perusahaan tambang, yakni PT NHM, sebuah perusahaan yang melakukan aktivitas pengelolaan sumberdaya alam.
6.1.3. Sejarah Konflik Etnis Konflik dengan isyu etnis dalam sejarah Maluku Utara merupakan konflik yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang. Konflik ini terjadi sebagai akibat dari tuntutan rasa hormat antar kerajaan dan keinginan untuk melakukan penguasaan dan ekspansi wilayah diantara kerajaan. Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate. Bahkan konflik juga berlangsung dengan kerajaan lainnya, dengan Kerajaan Makian (Kerajaan Bacan) dan Kerajaan Moti (Kerajaan Jailolo), hampir semua konflik yang terbangun pada masa itu, lebih didasarkan kuatnya hegemoni Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore untuk menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Sehingga mengakibatkan
71
konflik atau perang saudara yang berkepanjangan atas nama rasa hormat, kepemilikan tanah, sumberdaya alam dan etno-nasionalisme (etnis) tak dapat terhindarkan. Perang dalam kurun waktu yang panjang, dengan waktu beberapa ratus tahun telah meninggalkan benih-benih konflik bagi generasi saat ini. Hal ini karena, konflik telah meninggalkan bekas-bekas yang belum juga hilang karena tersimpan dalam hikayat-hikayat perang para raja dan menjadi cerita turuntemurun serta terpendam dalam kesadaran basis anak-anak keturunan di Moloku Kie Raha (Syahidussyahar (2007)). Selanjutnya, dengan masih terpendamnya konflik masa lalu dengan isyu etnis, maka di Maluku Utara etnonasionalisme kemudian menjadi sebuah keyakinan - jika tidak dibilang sebagai ideologi -. Masyarakat secara sosial terpolarisasi begitu kuat kedalam kelompok – kelompok suku dan bangsa mereka. Hal ini kemudian menjadi sebuah identitas yang khas bagi masyarakat Maluku Utara pada satu sisi, akan tetapi pada sisi lainnya meninggalkan ancaman yang begitu dahsyat jika tidak dikelola secara baik. Konflik Maluku Utara sejak november 1999 adalah sebuah bukti bahwa jika etnonasionalisme dijadikan komoditas politik maka akan memicu konflik antar kelompok. Dalam mana dapat dilihat bahwa konflik yang berawal dengan isyu batas wilayah pada penghujung tahun 1999 ini, kemudian menuju pada sebuah titik konflik dengan isyu etnis, yakni antara suku Kao dan suku Makian. Terdapat dugaan kuat bahwa konflik ini juga diakibatkan adanya kecemburuan sosial. Hal mana realitas sosial menujukkan bahwa masyarakat Makian yang merupakan suku yang terkenal bekerja keras telah mampu mengantarkan mereka untuk menguasa sumber – sumber kekuasaan dan ekonomi. Dapat dilihat bahwa kemajuan pertanian suku Makian saat berada di wilayah Kao berkembang dengan pesat, ditambah rekruitmen tenaga kerja yang cederung didominasi oleh etnis ini – belum dapat dibuktikan – pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial yang begitu mendalam, sehingga dengan membangun isyu batas wilayah, konflik untuk melakukan pengusiran komunitas ini pada wilayah tersebut kemudian terjadi. Kerusuhan dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial
72
kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal. Melemahnya sosial kapital, kemudian dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator) melalui beragam cara. Masalah yang menumpuk, baik implikasi dari konflik Maluku Utara, konflik sosial budaya, ekonomi maupun masalah yang disebabkan oleh dinamika masyarakat dalam era otonomisasi, pada dasarnya potensial memicu konflik baru di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda identitas asalnya di Maluku Utara. Sehingga sekarang dan ke depan pembangunan perdamaian menjadi sebuah keniscayaan. Realitas masalah di atas memerlukan intervensi yang tepat guna dan berdaya guna agar potensi dimaksud bisa diminimalisasi sehingga tidak teraktualisasi menjadi konflik yang terbuka. Dibutuhkan sebuah proses rehabilitasi sosial secara berkelanjutan, di semua sektor dalam kehidupan masyarakat.
6.1.4. Konflik Laten Yang Masih Terpelihara Konflik di Maluku Utara memiliki sejarah panjang dan sangat kompleks, namun sampai saat ini, konflik yang cenderung masih tetap terpelihara adalah konflik dengan membangun isyu etnonasionalisme (etnis). Kondisi ini sangat jelas terlihat pada momentum suksesi kepala daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Menguatnya issu-issu etnis ini, disebabkan karena semangat etnonasionalisme sering dijadikan sebagi komoditas politik. Simbol-simbol ini begitu menguat dalam konteks Maluku Utara, sebuah sikap yang dalam hemat sebagian orang adalah bentuk pembodohan terhadap masyarakat, namun faka ini tak dapat dielakkan, karena terbukti terjadi di daerah ini. Dapat di lihat pada pemilihan gubernur di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2007, yang berakibat pada berlarutnya keputusan pelantikan. Dalam mana konflik ini pun tak luput dengan isyu etnis, dimana terjadi pembakaran dan mobilisasi massa dari masing-masing calon gubernur dengan dominan isyu etnis tertentu. Menjadi tugas semua elemen yang pro perdamaian di Maluku Utara, adalah mencoba mengidentifikasi isu-isu, masalah dan kebutuhan stakeholder serta masyarakat untuk pembangunan perdamaian di berbagai bidang, di berbagai tingkatan, dalam mendukung penguatan proses perencanaan yang sensitif terhadap
73
krisis dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Termasuk melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya untuk membangun kembali kearifan lokal dalam membangun perdamaian di Maluku Utara. Karena bangunan kearifan lokal ini yang paling hancur akibat hempasan kerusuhan, Ahmad & Oesman (2000).
74
BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH
7.1.
Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan
7.1.1. Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan Pemekaran kecamatan di Kabupaten Maluku Utara, sebagaimana terjadi pada pembentukan Kecamatan Malifut yang melibatkan beberapa desa di dua kecamatan, yakni enam desa Kecamatan Jailolo dan lima desa Kecamatan Kao pada faktanya mendapatkan penolakan masyarakat yang sanga kuat. Namun realitas juga menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat untuk menolak bergabung ke Kecamatan Malifut tidak mendapat tanggapan yang signifikan dari pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara. Dengan kondisi ini (baca: penolakan masyarakat yang tidak mendapat respon yang baik), maka pada akhirnya memunculkan konflik sosial di penghujung tahun 1999 di Maluku Utara. Hal lainnya adalah dengan adanya penolakan masyarakat terutama pada masyarakat enam desa untuk tidak bergabung, baik dengan Kecamatan Malifut maupun Kabupaten Halmahera Utara, sehingga pada akhirnya atas aspirasi masyarakat pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat membentuk Kecamatan Jailolo Timur dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara membentuk Kecamatan Kao Teluk.
7.1.2. Sejarah Pembentukan Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Pembentukan Kecamatan Malifut melalui PP Nomor 42 1999, dengan melibatkan beberapa desa dari Kecamatan Jailolo dan beberapa desa Kecamatan Kao meninggalkan masalah yang belum terselesaikan dengan baik. Kecamatan ini terbentuk setelah pada tahun 1970-an oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara dilaksanakan program transmigrasi lokal (translok) dalam bentuk bedol kecamatan, sehingga Kecamatan Makian Pulau dengan secara dipaksakan oleh pemerintah saat itu untuk meninggalkan Pulau Makian dengan alasan ancaman gunung berapi.
75
Upaya pemindahan masyarakat ini berhasil dilakukan dan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara, masyarakat Kecamatan Makian Pulau ditempatkan di daratan halmahera bagian utara, dimana wilayah itu menjadi bagian dari wilayah adat suku Kao, yang juga merupakan bagian dari wilayah ibukota Kecamatan Kao. karena dalam sudut pandang masyarakata Kao, wilayah tersebut masih menjadi bagian dari tanah adat suku Kao yang dipinjamkan untuk sementara kepada masyarakat Makian yang di evakuasi oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara karena ancaman gunung berapi Kie Besi. Dalam perjalanan waktu kurang-lebih 25 tahun, masyarakat makian pulau yang tidak mengetahui eksistensi kewargaannya, maka pada tahap selanjutnya, yakni tepatnya pada tanggal 26 Mei tahun 1999 Kecamatan Malifut terbentuk dengan keluarnya PP No. 42 tahun 1999 dengan desa-desa meliputi 16 desa dari Kecamatan Makian Pulau, 6 desa dari Kecamatan Jailolo dan 5 desa dari Kecamatan Kao. Dengan terbentuknya Kecamatan Malifut, maka dalam pandangan masyarakat Kao, hal itu merupakan bentuk pencaplokan atas tanah adat mereka, karena wilayah Malifut adalah bagian dari tanah adat Kao. Untuk menjelaskannya secara rinci dibawah ini dibuatkan gambar sebagai berikut : Tabel.7.1. Kronologi Pembentukan Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara. Wilayah Administrasi Kecamatan Kao
Sebelum 1999
Kecamatan Jailolo
Merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Utara
Kecamatan Malifut
Belum Terbentuk Kecamatan Malifut
Menjadi Bagian Kabupaten Maluku Utara
Sumber : Data Primer,2009
1999-2003 Keluar PP No. 42 Tahun 1999. Sebagian wilayah Kecamatan Kao menjadi wil. Malifut. Keluar PP No. 42 Tahun 1999. Sebagian wilayah Kec. Jailolo menjadi wil. Malifut Terbentuknya Kecamatan Malifut melalui PP No. 42 Tahun 1999 dengan 5 desa ex- Kec. Kao, 6 desa ex- Kec.Jailolo dan 16 desa ex- dari Kec. Makian Pulau
2003-skrng Menjadi bagian dari wilayah Kab. Halmahera Utara
Bagian dari wilayah Kab. Halmahera Barat, yang merupakan perpindahan wilayah kab. Induk (Maluku Utara) ke Jailolo Bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara
76
Selanjutnya, pada tahun 2001, berbagai upaya dilakukan untuk resolusi konflik, mulai dari menggunakan pendekatan persuasif dengan mempertemukan tokoh-tokoh adat, agama dan pemuda di masing-masing komunitas sampai pada kebijakan penyelesaian yang sedikit represif oleh kekuatan negara, dengan memberlakukan darurat sipil di Provinsi Maluku Utara. Namun kebijakankebijakan tersebut belum memberikan hasil yang maksimal, terbukti masih adanya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kekuatan negara yang pada akhirnya terjadi kontak baik fisik maupun bersenjata antara masyarakat sipil dan aparat keamanan. hal ini karena trust yang terbangun selama ini telah dihancukan akibat konflik. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ada melemah. Namun, kondisi ini perlahan mulai membaik, dimana pada penghujung tahun 2001 sampai 2002 kesadaran masyarakat mulai membaik, sehingga konflik pun kemudian berakhir, hal itu dibuktikan dengan telah kembalinya sebagian masyarakat (pengungsi) ke tempat asalnya masing-masing. Bersamaan dengan itu, pada tahun 2003 sebagai konsekuensi dari pemekaran Provinsi Maluku Utara, maka di mekarkan beberapa kabupaten, diantaranya adalah Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Dengan terbentuknya kabupaten tersebut, konflik dengan issu tentang batas wilayah kedua kabupaten pun ikut berlangsung, hal mana wilayah yang di perebutkan adalah merupakan bagian dari titik awal konflik komunal yang berlangsung di daerah ini beberapa waktu lalu. Konflik ini pun kemudian berlangsung sampai saat ini dan belum ada sebuah rekonstruksi model penyelesaian konflik. Konflik demi konflik ini terjadi, karena, pada dasarnya pembentukan Kecamatan Malifut mendapat tanggapan yang tidak baik dari desa-desa yang digabungkan, baik 5 desa Kecamatan Kao yang tetap berkeinginan bergabung dengan kecamatan induk (baca: Kao) maupun 6 desa yang juga berkeinginan tetap bergabung dengan Kecamatan Jailolo, namun pemerintah tetap mempertahankan dan memaksakan 11 desa menjadi bagian dari Kecamatan Malifut, di tengah menguatnya protes dari desa-desa bersangkutan.
77
7.1.3. Sejarah Pembentukan Wilayah Kecamatan Jailolo Timur Kabupaten Halmahera Barat Sebagaimana dijelaskan sebelumnya ( Bab V) bahwa sejak zaman kerajaan sampai menjadi kabupaten, wilayah Maluku Utara memiliki 4 (Empat) KPS (Kecamatan), yakni KPS Bacan, KPS Sanana, KPS Jailolo dan KPS Tobelo. Batas KPS Tobelo dan Jailolo adalah Tanjung Tabobo Loloda. Dengan demikian maka wilayah enam desa adalah merupakan bagian dari KPS Jailolo. Sebelum PP 42 tahun 1999 dikeluarkan oleh pemerintah, di era tahun 1970-an,atau lebih tepatnya pada tahun 1975 di wilayah Kabupaten Maluku Utara diadakan trasmigrasi lokal, yaitu penduduk dari berapa desa di Kecamatan Makian Pulau dipindahkan ke daratan halmahera. Dengan adanya program bedol kecamatan (pemindahan total), maka kemudian lahirlah sebuah PP (baca: PP 42) tentang pembentukan Kecamatan Malifut. Terbentuknya kecamatan ini mendapat protes yang sangat luar biasa besarnya. Dalam mana beberapa desa yang dimasukkan sebagai bagian Kecamatan Malifut tidak enggan bergabung dengan kecamatan yang dibentuk dengan PP Nomor 42 tahun 1999 tersebut. Adapun desa-desa yang menolak, diantaranya adalah enam desa yang disengketakan kedua kabupaten. Atas dasar inilah, maka tuntutan masyarakat untuk di bentuk sebuah kecamatan baru yang secara otomatis menggabungkan wilayah enam desa untuk menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo dan selanjutnya menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Tuntutan ini mendapat respon baik dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat, sehingga melalui DPRD dilahirkan sebuah produk hukum yang melindungi wilayah enam desa dengan PERDA No. 6 Tahun 2005 tentang pembentukan Kecamatan Jailolo Timur. Pembentukan kecamatan ini didasai oleh alasan historis, kedekatan emosional dan pelayanan pemerintahan. Dengan kondisi kekacauan pengelolaan wilayah enam desa yang sesungguhnya menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut, maka pemda Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya mengeluarkan sebuah PERDA No. 2 Tahun 2006 tentang pemisahan 11 desa dalam wilayah malifut dan melakukan pembentukan Kecamatan Kao Teluk. Wilayah Kecamatan Kao Teluk meliputi wilayah enam
78
desa yang disengketakan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara.
7.1.4. Sejarah Pembentukan Wilayah Kecamatan Kao Teluk di Kabupaten Halmahera Utara Sebagaimana Kabupaten Halmahera Barat, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dalam meresponi pengelolaan wilayah enam desa yang semakin mengalami kekacauan, maka untuk memberikan kejelasan atas status wilayah enam desa sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Malifut dan selanjutnya adalah bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, sehingga dilahirkan sebuah PERDA No.2 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Kao Teluk. Berbeda dengan pemerintah Kabupaten Halmahera Barat, yang hanya memiliki enam desa dalam wilayah Kecamatan Jailolo Timur, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara memasukkan 11 desa sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Kao Teluk. Alasan pembentukan Kecamatan Kao Teluk adalah karena wilayah enam desa merupakan bagian dari Kecamatan Malifut yang dibentuk melalui PP nomor 42 Tahun 1999, sehingga ketika keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten di Provinsi Maluku Utara, yang selanjutnya memasukkan Kecamatan Malifut sebagian bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, maka dengan sendirinya wilayah enam desa secara de jure adalah bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Berbeda dengan Kecamatan Jailolo Timur yang wilayahnya hanya meliputi enam desa, Kecamatan Kao Teluk yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, memiliki wilayah meliputi enam desa sengketa dan lima desa yang di mekarkan, yakni desa Tabanoma, Maka Eling, Tiowor, Baru Madehe dan Kuntum Mekar.
7.1.5. Sejarah Penggabungan 11 Desa dalam Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Sebagimana dijelaskan diatas, bahwa terbentuknya Kecamatan Malifut sesuai dengan PP No.42 Tahun 1999 dengan melibatkan desa - desa yang tidak termasuk dalam bagian desa-desa Kecamatan Makian Pulau – dengan jumlah 16
79
desa – telah menimbulkan protes yang signifikan dari masyarakat. Namun, protes ini tidak (belum) mendapatkan tanggapan yang serius dari para pengambil kebijakan. Realitas ini mengakibatkan protes memasuki fase yang lebih kompleks, yakni konflik horizontal dengan berbagai issu. Hal ini dapat dilihat dengan konflik yang terjadi di penghujung tahun 1999 lalu di Provinsi Maluku Utara. Konflik juga belakangan terjadi antar kabupaten. Ketika keluarnya UU No.1 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Kecenderungan konflik terus berlangsung, kali ini konflik antara pemerintah Kabupaten Halmahera
Barat
dan
pemerintah
Kabupaten
Halmahera
Utara
dalam
memperebutkan wilayah enam desa. Dimana terdapat klaim masing-masing kabupaten terhadap enam desa. Secara adiministratif, wilayah enam desa – eks desa Kecamatan Jailolodalam Undang-Undang No. 01 tahun 2003 adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara, sebagai konsekuensi dari Kecamatan Malifut dimasukkan menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Namun sebagian besar masyarakat enam desa tetap memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat. Tidak berlebihan tuntutatn ini, karena realitas menunjukkan pelayanan publik selama ini dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Berbeda dengan masyarakat enam desa, masyarakat lima desa tetap memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara, tetapi bukan menjadi bagian dari Kecamatan Malifut melainkan bagian dari Kecamatan Kao. Letak perbedaan cara pandang dari masyarakt enam desa dan lima desa adalah karena enam desa adalah eks wilayah Kecamatan Jailolo yang tentunya lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat. Sementara masyarakat lima desa tetap berkeinginan untuk bergabung dengan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, dengan alasan bahwa mereka sejak awal menjadi bagian dari Kecamatan Kao, dan menolak menjadi bagian Kecamatan Malifut. Penolakan ini terkait dengan berbagai alasanalasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk memberikan penjelasan atas kronologis penggabungan wilayah sebelas desa (11 Desa), dibawah ini digambarkan alur pemekaran dan penggabungan 11 desa ke Kecamatan Malifut sebagai berikut:
80
5 Desa ex. Kecamatan Kao. Kab. Halut
6 Desa ex. Kecamatan Jailolo Kab. Halbar
Wilayah yang mendapatkan pelayanan publik dari Kab. Halbar
Kecamatan Malifut Kab. Halut
Gambar.7.1. Kronologis Penggabungan 11 Desa ke Kecamatan Malifut Keterangan gambar : -
Gambar Hitam Tebal adalah wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara Gambar garis terputus adalah wilayah pelayanan publik Kabupaten Halbar Gambar dengan tulisan merah adalah desa ex.wilayah Jailolo Gambar dengan tulisan biru adalah desa ex.wilayah kao
Gambar diatas menjelaskan bahwa 11 (sebelas) desa yang terdiri dari 5 (lima) desa eks. Kecamatan Kao dan 6 (enam) desa eks. Kecamatan Jailolo, setelah dikeluarkan PP No.42 Tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Malifut, maka secara administratif telah menjadi desa-desa dalam wilayah kecamatan Malifut. Walaupun dalam pembentukan kecamatan secara de jure 11 (sebelas) desa ditetapkan sebagai bagian dari Kecamatan Malifut, namun realitas menunjukkan bahwa terdapat protes yang signifikan dari masyarakat 11 (sebelas) desa yang menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut. Dengan adanya protes yang berlangsung sejak awal atas ketidaksediaan bergabung dengan Kecamatan Malifut, maka saat keluarnya UU No. 1 Tahun 2003, yang memasukkan Kecamatan Malifut sebagai bagian dari Kabupaten Halmahera Utara juga menghadapi protes yang sangat signifikan dari masyarakat. karena secara otomatis 11 (sebelas) desa juga ikut bergabung dengan kabupaten dimaksud. Namun pada aksi protes ini, tidak secara universal dilakukan oleh
81
masyarakat di 11 (sebelas) desa, karena yang melakukan protes penolakan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara hanya dilakukan oleh masyarakat di enam desa. Sedangkan masyarakat lima desa tetap berkeinginan untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara, sekalipun tetap menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut. Untuk jelasnya, dibawah ini digambarkan posisi masing-masing desa sebagai berikut:
Tabel. 7.2. Posisi Enam Desa Sengketa di Kec. Malifut Kab. Halmahera Utara Tahun
Kab. Maluku Utara
Sebelum 1999
Wilayah enam desa sengketa merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara sebelum keluarnya PP. No. 42 Tahun 1999 yang kemudian menggabungkan wilayah ini sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Maluku Utara Kabupaten Maluku Utara meningkat statusnya menjadi Provinsi Maluku Utara dengan ibukota sementara Kota Ternate dan definitive Kota Sofifi, selanjutnya Kab. Maluku Utara dipindahkan ke Jailolo dan menjadi Kabupaten Halmahera Barat
1999-skrng
Kab. Halmahera Barat Kabupaten Halmahera Barat belum terbentuk, ia masih menjadi bagian dari Kabupaten Maluku Utara, dengan wilayah beberapa Kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Jailolo yang wilayahnya mencakup enam desa sengketa Secara politik, keinginan masyarakat enam desa adalah bergabung ke Kab. Halmahera Barat, dengan alasan kedekatan emosional dan historis sebagai bagian dari wilayah Kec. Jailolo, serta alasan pelayanan yang dilakukan oleh Pemda Kab. Halmahera Barat
Kab. Halmahera Utara Kabupaten Halmahera Utara belum terbentuk, ia masih menjadi bagian dari Kabupaten Maluku Utara, dengan wilayah beberapa Kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Kao
Realitas administrasi enam desa sengketa adalah bagian dari wilayah Kec. Malifut sesuai PP dan UU, dimana wilayah Kec. Malifut adalah merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara
Sumber : Data Primer
Dengan kondisi kekacauan pengelolaan wilayah yang terjadi sebagaimana dijelaskan diatas, maka oleh masing-masing pemerintah daerah, baik pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Utara menginisiasi untuk membentuk kecamatan baru di wilayah enam desa. sebagaimana terlihat dalam produk hukum masing-masing pemerintah daerah. Pemerintah
Kabupaten Halmahera Barat
dengan Perda No. 6 Tahun 2005 tentang pembentukan Kecamatan Jailolo Timur
82
dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan Perda Nomor 2 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Kao Teluk. 7.1.6. Dinamika Pembentukan Wilayah Kecamatan Malifut, Kecamatan Jailolo Timur dan Kecamatan Kao Teluk Sebagai
konsekuensi
logis dari lahirnya
undang-undang
tentang
pembentukan kabupaten di Provinsi Maluku Utara, tentunya tuntutan setiap kabupaten harus menyiapkan segala kesiapan yang berkaitan dengan saran dan prasarana pendukung hadirnya sebuah kabupaten. Di antaranya adalah syarat kecukupan kecamatan sebuah kabupaten. Namun untuk konteks dimaksud, Kecamatan Malifut jauh telah terbentuk sebelum pemekaran itu terjadi. Berbeda dengan Kecamatan Jailolo Timur dan Kecamatan Kao Teluk, yang lahir akibat pertarungan elite di kedua pemerintah kabupaten, dengan tujuan untuk menancapkan legitimasi kepemilikannya atas wilayah tersebut. Sebagaimana telah banyak diuraikan diatas, bahwa Kecamatan Malifut lahir akibat adanya program bedol kecamatan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara atas Kecamatan Makian Pulau pada tahun 1975 dengan alasan ancaman gunung berapi. Namun, pada sisi yang lain, pemindahan masyarakat dari wilayah Kecamatan Makian Pulau ke daratan Halmahera bagian utara juga merupakan kepentingan elite lokal untuk menjadikan wilayah Halmahera bagian utara (tepatnya wilayah Kao) yang ditempati oleh masyarakat Makian Pulau yang kemudian menjadikan Kecamatan Malifut sebagai sebuah Kabupaten baru di masa mendatang. Untuk
menjelaskan
hal dimaksud secara
lebih
terperinci,
akan
digambarkan dinamika lahirnya Kecamatan Malifut, Jailolo Timur dan Kao Teluk sebagaimana table 7.3 dan Peta di bawah ini yang mengilustrasikan dinamika dan proses terbentuknya tiga kecamatan tersebut.
83
Tabel. 7.3. Dinamika Terbentuknya Tiga Kecamatan Tahun Pra 1999
Malifut
Jailolo Timur
Kao Teluk
Kecamatan Malifut
Kecamatan Jailolo
Kecamatan Kao Teluk
belum terbentuk,
Timur belum terbentuk,
belum terbentuk, ia
sebagian besar desa-
ia merupakan bagian
merupakan bagian dari
desanya menjadi bagian
dari Kecamatan Jailolo
wilayah Kecamatan Kao
dari Kecamatan Makian
Kabupaten
Kabupaten Maluku Utara
Pulau yang terpisah dari
Maluku Utara
pulau Halmahera, dan menjadi bagian dari administrative Kab. Maluku Utara 1999 – 2000
Terbentuk Kec. Malifut
Kec. Jailolo Timur
Kec. Kao Teluk belum
dgn penduduk yang
belum terbentuk ,ia
terbentuk, ia menjadi
berasal dari 16 desa
menjadi bagian dari
bagian dari wilayah Kec.
Kec. Makian pulau,
wilayah Kec. Malifut
Malifut Kab. Maluku
6desa Kec. Jailolo dan 5
Kab. Maluku Utara
Utara sesuai dengan PP
desa Kecamatan Kao.
sesuai dengan PP No.
No. 42 Tahun 1999
dan Kecamatan Makian
42 Tahun 1999 dengan
dengan memasukkan
Pulau dinyatakan di
memasukkan enam
enam desa didalamnya.
tutup oleh Pemda Kab
desa didalamnya.
Disinilah kekisruhan
Maluku Utara
Disinilah kekisruhan
identitas wilayah terjadi
identitas wilayah terjadi 2000-Skrng
Kecamatan Malifut
Pada tahun 2005 keluar
Tahun 2006 terbentuk
sudah terbentuk.pada
perda tentang
Kec. Kao Teluk, dengan
tahun 2003 Kec. Makian
pembentukan Kec.
desanya adalah 11 desa
pulau kembali dibuka
Jailolo Timur dengan
yang menolak bergabung
oleh Pemda Provinsi
desa-desanya adalah
dgn Kec. Malifut
Maluku Utara dan
enam desa yang semula
Kabupaten Halut. Desa-
berada dlm wilayah
menjadi desa-desa dari
desa tersebut adalah
Kab. Halmahera Selatan.
Kecamatan Jailolo
enam desa ex.
Kondisi ini
yakni kemudian
Kec.Jailolo Kab. Halbar
memunculkan pemikiran
diperebutkan kedua
dan lima desa ex. Kec.
bahwa pemindahan
Kabupaten Halbar dan
Kao Kabupaten Halut
masyarakat Makian
Halut
Pulau ke Halmahera pada adalah kepentingan elite lokal
Sumber : Data Primer
84
Data diatas menunujukkan bahwa dinamika pemekaran wilayah yang terjadi di tiga kecamatan dari tahun ke tahun menunjukkan terjadinya arogansi masing-masing pemerintah daerah di kedua kabupaten, terutama pembentukan Kecamatan Jailolo Timur yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Dimana kebijakan pembentukan kecamatan tersebut telah melanggar aturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, karena realitas menunjukkan bahwa wilayah enam desa secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Untuk lebih jelas di bawah ini digambarkan kronologisnya dengan peta sebagai berikut :
Sumber : Google Maps 2010
Gambar. 7.2. Peta Kabupaten Maluku Utara Peta Provinsi Maluku Utara, yang juga merupakan peta wilayah Kabupaten Maluku Utara sebelum di mekarkan menjadi provinsi. Pada tahun 1975 melalui kebijakan “bedol pulau”, pemerintah Kabupaten Maluku Utara melakukan transmigrasi lokal masyarakat Kecamatan Makian Pulau ke daratan Halmahera bagian utara, lebih tepatnya dalam wilayah adat Kao. Kebijakan pemindahan masyarakat Makian Pulau ke daratan Halmahera bagian utara ini, pada awalnya ditentang oleh masyarakat, namun upaya pemindahan terus dilakukan oleh
85
pemerintah dengan salah satu alasannya adalah wilayah Kecamatan Makian Pulau yang memiliki gunung berapi dapat memberikan ancaman bagi masyakat setempat, sehingga wilayah ini akan ditutup oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara. Dengan dasar inilah, maka masyarakat Makian Pulau pada akhirnya meninggalkan wilayah yang telah ditempatinya sejak ratusan tahun itu menuju wilayah baru di Halmahera bagian utara. Peta di bawah ini memberikan penjelasan proses transmigrasi lokal masyarakat Kecamatan Makian Pulau Kabupaten Maluku Utara ke daratan Halmahera.
Sumber : Google Maps 2010
Gambar. 7.3. Peta Proses Transmigrasi Lokal Masyarakat Makian Pulau ke Daratan Halmahera Pada awalnya kebijakan “bedol pulau” dengan memindahkan masyarakat Kecamatan Makian Pulau ke daratan Halmahera telah di tentang oleh masyarakat, namun negara (baca: pemerintah Kabupaten Maluku Utara) secara paksa
86
mendesak masyarakat Kecamatan Makian Pulau untuk meninggalkan Pulau Makian. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa keberadaan masyarakat Makian Pulau di wilayah adat suku Kao sangat harmonis pada awalnya, namun semuanya menjadi malapetaka ketika pada tahun 1998 muncul issu pembentukan Kecamatan Makian Malifut. Kondisi ini kemudian memunculkan protes masyarakat setempat, namun dalam dinamika rezim orde baru dimana negara sangat berkuasa dan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat, maka pada tahun 1999 Kecamatan Makian Malifut terbentuk setelah tidak memiliki status kependudukan yang tidak jelas selama range waktu 1975-1998. Tragisnya pembentukan Kecamatan Makian Malifut tidak saja dengan desa-desa eks Kecamatan Makian Pulau yang telah dinyatakan di tutup oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara, tetapi menggabungkan lagi dengan 6 (enam) desa yang merupakan bagian Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara –kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara- dan 5 (lima) desa bagian dari Kecamatan Kao Kabupaten Maluku Utara - menjadi Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara-. Realitas tersebut dapat di lihat pada peta di bawah ini :
Sumber : Google Maps 2010
Gambar. 7.4. Peta Kronologis Terbentuknya Kecamatan Makian Malifut
87
Selanjutnya, dampak dari keengganan masyarakat enam desa untuk bergabung ke Kecamatan Makian Malifut, maka pada tahun 2003, saat keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara, dimana enam desa selanjutnya digabungkan dengan Kabupaten Halmahera Utara, karena Kecamatan Malifut merupakan bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Penggabungan ini kemudian memunculkan protes masyarakat enam desa, setelah beberapa tahun proses protes masyarakat atas penggabungan mereka ke Kecamatan Malifut terhenti akibat konflik yang melanda Provinsi Maluku Utara. Penolakan masyarakat untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara, dilandasi oleh berbagai alasan. Diantaranya adalah : alasan emosional, historis dan kedekatan wialayah. Realitas menunjukkan bahwa protes ini tidak ditanggapi secara baik oleh pemerintah daerah Provinsi Maluku Utara, maka aspirasi masyarakat enam desa kemudian disampaikan ke pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Menyikapi aspirasi masyarakat enam desa yang tidak bersedia mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara, maka pada tahun 2005 pemerintah Kabupaten Halmahera Barat menerbitkan PERDA no. 6 tahun 2005 tentang pembentukan Kecamatan Jailolo Timur, yang
desa-desanya sebagai berikut : desa Pasir Putih, Bobane Igo,
Tetewang, Akelamo Raya, Ake Sahu/ Gamsungi dan Dum-Dum. Sejalan dengan sikap pemerintah Kabupaten Halmahera Barat yang menerbitkan PERDA No. 6 tahun 2005, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara atas dasar amanah PP No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Makian Malifut Kabupaten Maluku Utara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran kabupaten/kota di Povinsi Maluku Utara, yang menjelaskan bahwa wilayah enam desa adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara, maka pemerintah Kabupaten Halmahera Utara menerbitkan PERDA Nomor 2 tahun 2006 tentang pemekaran dan penggabungan wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara dengan membentuk salah satu kecamatan, yakni Kecamatan Kao Teluk dengan desa-desanya sebagai berikut: desa Pasir Putih, Bobane Igo, Tetewang, Akelamo Raya, Ake Sahu/
88
Gamsungi dan Dum-Dum, dan desa Tabanoma,Maka Eling, Tiowor, Baru Madehe dan Kuntum Mekar. Dengan demikian wilayah enam desa berada dalam 2(dua) wilayah kecamatan dan selanjutnya menjadi bagian dari 2 (dua) wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Halmana dapat dilihat pada peta dibawah ini :
Sumber : Google Maps 2010
Gambar. 7. 5. Peta Terbentuknya Kecamatan Jailolo Timur dan Kecamatan Kao Teluk Peta diatas memberikan penjelasan bahwa pada awalnya wilayah Kecamatan Malifut adalah bagian wilayah Kecamatan Kao dan sebagian wilayah Kecamatan Jailolo. Namun akibat dari penolakan masyarakat enam dan lima desa, maka wilayah ini kemudian dimekarkan oleh kedua kabupaten dengan berbagai alasan yang menyertainya. Sehingga di bentuk Kecamatan Jailolo Timur dan Kecamatan Kao Teluk yang wilayahnya meliputi wilayah enam desa. Realitas menunjukkan bahwa sebelum terbentuknya kedua kecamatan, baik wilayah Kecamatan Jailolo Timur dan Kecamatan Kao Teluk adalah bagian dari Kecamatan Malifut sesuai PP Nomor 42 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
89
1 tahun 2003. Akibat dari proses pemekaran dan/penggabungan wilayah yang berlangsung tidak secara sistematis, maka pada akhirnya menjadikan wilayah enam desa di perebutkan oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara.
90
BAB VIII ANALISIS KONFLIK DAN KEKACAUAN WILAYAH DI ENAM DESA
8.1. Penolakan Masyarakat Enam Desa dari Perspektif Sosio-Budaya dan Historis Wilayah Wilayah enam desa dalam perspektif historis merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo yang merupakan raja Halmahera, namun wilayah ini kemudian menjadi
bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan
Ternate. Dimana dalam Jalil (2009), dijelaskan bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore pada masa kejayaannya menguasai kerajaan-kerajaan mini di Moloku Kie Raha. Kesultanan Ternate dan Tidore juga dikenal sangat berhasrat untuk melakukan ekspansi atas wilayah kekuasaannya. Upaya ekspansi ini didasari karena harga diri dan penguasaan atas sumberdaya alam, sehingga tetap mempertahankan eksistensinya. Secara sosial, masyarakat enam desa memiliki kedekatan hubungan emosional dengan masyarakat Jailolo (di wilayah Kabupaten Halmahera Barat), sehingga saat penggabungan mereka ke dalam wilayah Kecamatan Malifut yang nota-bene sebagian besar masyarakatnya berasal dari Kecamatan Makian Pulau memunculkan ketersinggungan nilai-nilai budaya. Ketersinggungan ini terjadi karena masyarakat Makian Pulau yang dalam sejarahnya merupakan Kerajaan Makian yang kemudian berpindah ke bacan dan menjadi Kerajaan Bacan. Selain itu, masyarakat Makian juga merupakan salah satu etnis non-austronesia atau etnis yang tidak termasuk dalam 9 (sembilan) etnis yang mendiami wilayah pulau Halmahera, sehingga penggabungan masyarakat enam desa menjadi bagian dari wilayah
Kecamatan
Malifut
(Kabupaten
Halmahera
Utara),
merupakan
pencaplokan atas harga diri dan identitas wilayah masyarakat yang telah mereka tempati sejak lama. Secara budaya, sebenarnya masyarakat di enam desa masih memiliki kedekatan nilai-nilai kebudayaan dengan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara, karena realitas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di wilayah enam desa adalah masyarakat etnis Tobelo Boeng dan Kao Pagu selain
91
masyarakat Tobaru dan pendatang lainnya. Dari sisi kedekatan emosional masyarakat enam desa lebih dekat dengan masyarakat Jailolo, tetapi harus disadari bahwa batas administrasi wilayah tidak akan membatasi batas budaya, karena itu, tidak menjadi signifikan konflik perebutan wilayah oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara ini harus terjadi. Hal ini ditegaskan oleh seorang informan, sebagai berikut: Menurut, JB (50 tahun)…., bahwa secara admnistratif wilayah enam desa dalam pendekatan historis adalah ex. Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Jailolo, namun dengan keluarnya PP No. 42 tahun 1999, maka wilayah enam desa menjadi bagian dalam wilayah Kecamatan Malifut, dengan demikian, wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayah administrtaif Kabupaten Halmahera Utara. Ditinjau dari aspek kebudayaan sebagain besar masyarakat di enam desa secara budaya, masih memiliki kedekatan nilai budaya di beberapa wilayah Kabupaten Halmahera Utara, karena sebagian besar penduduk di enam desa adalah masyarkat yang berasala dari suku Pagu dan Tobelo, selain suku Gorap dan Tobaru serta suku pendatang lainnya. Selain itu, bahwa masyarakat enam desa memiliki hubungan kedekatan emosional dengan Jailolo tidak dapat dipungkiri, hal itu karena masyarakat diwilayah ini sangat lama berhubungan dengan masyarakat di Jailolo saat masih menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Jailolo. Sehingga kalaupun terdapat keinginan bahwa masyarakat enam desa lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Barat ataupun sebaliknya, sesungguhnya tidak harus menjadi permasalahan signifikan. Akan tetapi harus disadari bahwa batas admnistratif tidak akan dapat membatasi batas budaya, karena nilai budaya akan menembus ruang dan waktu. Sehingga untuk konteks konflik perebutan wilayah enam desa, hanya dibutuhkan niat baik dari semua komponen terutama Pemerintah Provinsi untuk dapat segera menyelesaikan permasalahan ini.
8.2. Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Wilayah enam desa dengan dualisme status kewilayahan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, yaitu tambang emas. Wilayah konsesi PT. NHM yang juga meliputi sebagian wilayah enam desa sehingga sebagian masyarakat Maluku Utara menganggap bahwa konflik perebutan wilayah ini karena adanya sumberdaya alam yang di kelolah PT. NHM di kawasan ini. Namun argumentasi ini dibantah oleh masyarakat di wilayah enam desa sebagai berikut : 1. Penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung ke dalam wilayah Kecamatan Malifut dan kemudian ke Kabupaten Halmahera Utara adalah bukan persoalan penguasaan sumberdaya alam, terutama tambang emas. Persoalaan penguasaan sumberdaya hanya terjadi pada level pemerintah
92
daerah masing-masing karena untuk kepentingan pendapatan daerah. Di level masyarakat, penolakan terjadi karena menyangkut harga diri dan identitas wilayah yang ingin digabungkan dengan wilayah yang sejak awal telah dilakukan penolakan. Hal ini dinyatakan oleh seorang informan sebagai berikut: Menurut, MA (29 Tahun)….., penolakan masyarakat enam desa, terutama pada masyarakat di Bobane Igo adalah penolakan yang berlangsung secara alamiah. Karena sejak awal ketika pembentukan Kecamatan Malifut melalui PP No. 42 Tahun 1999 penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat enam desa, namun penolakan ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, sehingga yang terjadi seperti saat ini. Mengaitkan penolakan masyarakat enam desa dengan kepentingan sumber daya alam sangat sulit, karena penolakan ini sudah berlangsung sejak lama. Kalaupun kepentingan SDA itu ada, maka hanya pada konteks antara Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara.
2. Di wilayah Kecamatan Malifut, telah beroperasi sejak lama sebuah perusahaan tambang emas (PT.NHM), dengan wilayah konsesi meliputi wilayah enam desa. Sebagaimana lazimnya sebuah perusahaan yang harus membayar royalti kepada pemerintah daerah, maka sebagai pemilik wilayah yang legitimate pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang menerima dana royalti tersebut. Tetapi pada faktanya sejak berdirinya kabupaten, wilayah enam desa pelayanan pemerintahan dan publik dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Hal inilah yang juga turut menjadi alasan kuat bagi masyarakat enam desa melakukan penolakan bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Bahwa terdapat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara di wilayah enam desa adalah benar adanya, namun pelayanan ini berlangsung setelah pelayanan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat sudah dilaksanakan. Hal ini dijelaskan oleh informan sebagai berikut: Menurut, Zulkifli…(32 tahun)…. Konflik perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara sesungguhnya adalah konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam yang dikelolah oleh salah satu perusahaan tambang emas (PT. Nusa Halmahera Minerals), yang eksistensinya berada dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara dengan wilayah konsesinya meliputi wilayah enam desa sengketa.bahwa terdapat issue tentang identitas wilayah dan lainnya, semua itu hanyalah issue ikutan dari kepentingan utama konflik perebutan wilayah enam desa tersebut.konflik perebutan wilayah ini juga terkait dengan perebutan royalty dari pihak PT. NHM untuk meningkatkan pendapatan dari daerah yang selama ini diperolah oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara sebagai pemilik wilayah eksplorasi tambang emas.
93
3. Secara subtantif penolakan masyarakat enam desa yang sesungguhnya bukan pada aspek penguasaan sumberdaya alam, juga bukan pada posisi enam desa dalam wilayah pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, namun penolakan itu lebih pada keengganan masyarakat enam desa untuk bergabung dalam wilayah Kecamatan Malifut. Penolakan ini menjadi meningkat saat keluarnya UndangUndang No. 1 Tahun 2003 dengan posisi Kecamatan Malifut sebagai bagian dari Kabupaten Halmahera Utara yang secara otomatis wilayah enam desa menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini dijelaskan oleh informan sebagai berikut: Menurut, CU…(49 Tahun),……penolakan masyarakat enam desa sesungguhnya adalah menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut sebagai issue awal, penolakan bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara adalah merupakan penolakan dimana wilayah Kecamatan Malifut digabungkan dengan Kabupaten Halmahera Utara, sehingga secara otomatis wilayah enam desa yang secara administrative merupakan wilayah Kecamatan Malifut juga harus berada dalam wilayah administrasi pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Karenanya, konflik perebutan wilayah ini tidak akan terjadi, manakala enam desa tetap berada dalam wilayah Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, sebagaimana pada eksistensi awalnya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat lebih pada alasan menjembatani keinginan dan aspirasi masyarakat enam desa yang tetap berkeinginan diberikan pelayanan pemerintah oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. Jika pada akhirnya kisruh atas enam desa ini berakhir dengan tetap berada dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara, pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dengan ikhlas melepaskan wilayah ini, tapi apakah masyarakat tidak lagi memprotes persoalan penggabungan wilayah enam desa ini?
4. Penolakan warga enam desa dikonstruksi karena berkaitan dengan sumber pembiayaan daerah dari usaha pertambangan PT. (NHM). dalam hal ini PT NHM/kawasan tambang emas itu di kehendaki oleh kedua pemerintah kabupaten, yakni pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara untuk dimiliki salah satu dari kedua kabupaten tersebut. Agar proses akuisisi kawasan itu terlihat berlangsung lancar, maka digunakan justifikasi konflik sosial berupa penolakan masyarakat di enam desa ke kedua kabupaten. Hal ini dinyatakan oleh seorang informan sebagai berikut: Menurut, ZA …(54 tahun)…….penolakan warga enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara pada awalnya adalah keinginan masyarakat enam desa secara alamiah, namun bergabungnnya sebagian masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara adalah konstruksi elite, salah satunya melalui dan Community Development dari PT.NHM melalui Pemerintah Daerah
94
Kabupaten Halmahera Utara. Kalaupun terdapat konflik perebutan wilayah atas enam desa oleh Kabuapten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara yang menyangkut dengan sumberdaya alam, sebagaimana issue yang menjadi konsumsi masyarakat terdidik (Intelektual),maka hal tersebut hanya terjadi pada konflik Negara versus Negara dan bukan pada konflik masyarakat versus masyarakat.
8.3. Penolakan Masyarakat Enam Desa Perspektif Administrasi Wilayah Keluarnya PP No. 42 Tahun 1999 dengan menggabungkan enam desa wilayah Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Barat ke dalam wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Maluku Utara dan kemudian menjadi wilayah Kabupaten Halmahera Utara menyebabkan berbagai permasalahan kemudian terjadi, diantaranya sebagai berikut : 1. Penolakan warga enam desa yang berada di Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara untuk menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara menyebabkan terjadinya identitas kependudukan ganda dari warga, yakni warga/penduduk setempat memiliki KTP dari Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. KTP Kabupaten Halmahera Barat diperoleh, karena Kabupaten Halmahera Barat mengklaim bahwa kawasan itu adalah bagian dari wilayahnya. Klaim ini dikarenakan, pemerintah Kabupaten Halmahera Barat menganggap bahwa secara historis wilayah enam desa yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara adalah bagian dari KPS ( Kepala Pemerintahan Setempat Jailolo). Selain itu, KTP diberikan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan alasan karena menjembatani aspirasi masyarakat enam desa yang tetap ingin menjadi bagian dan berkeinginan mendapatkan pelayanan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. 2. KTP Kabupaten Halmahera Utara diperoleh warga, karena secara peraturan, pemerintah Kabupaten Halmahera Utara adalah pemerintah daerah yang legitimate menurut PP No. 42 Tahun 1999 yang menggabungkan wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut, dimana warga di enam desa sudah sejak awal menolak untuk bergabung, serta Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 yang memasukkan wilayah Kecamatan Malifut sebagai
95
bagian dari wilayah administratif Kabupaten Halmahera Utara. Sehingga secara otomatis enam desa kemudian sah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara. 3. Kepemilikan dua KTP oleh masyarakat enam desa juga mengakibatkan terjadinya double penyaluran aspirasi politik masyarakat enam desa, dimana sebagian masyarakat enam desa sebagaimana data keberpihakan politik diatas menunjukkan bahwa terdapat pilihan politik masyarakat enam desa di dua kabupaten pada tahun 2007 saat pemilihan Gubernur dan kondisi yang sama terjadi pada tahun 2009 saat pemilhan legislative dan pemilihan presiden. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan tata kehidupan politik dan demokrasi. Karena daftar pemilih dengan jumlah 2.635 jiwa pilih mengalami pembengkakan, sebab secara politik tidak mungkin dihitung dengan pembagian berapa jumlah pemilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan berapa jumlah pemilih ke Kabupaten Halmahera Utara dari 2.635 jiwa pilih tersebut. Sebagaimana data menunjukkan bahwa 1.936 yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat dan 699 yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara. Melainkan jumlah pemilih yang sama digunakan oleh Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara, sehingga dipastikan terjadi peningkatan jumlah jiwa pilih di wilayah enam desa pada setiap momentum politik lokal. Konsekuensi logis atas permasalahan yang menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan administrasi wilayah tersebut, maka mengakibatkan terjadinya kekacauan tata kehidupan demokrasi dan politik, karena seseorang dihitung ganda (memiliki dua suara) untuk Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat sekalipun warga hanya menggunakan hak suaranya hanya sekali pada/untuk satu TPS. 4. Pelayanan publik dilakukan oleh kedua kabupaten secara bersama-sama. Fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana ibadah dan infrastruktur lainnya (pembangunan fisik), bahkan fasilitas pelayanan pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa juga pembangunannya dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten. Sehingga yang terjadi adalah terdapat dualisme penguasaan wilayah yang terjadi di wilayah enam desa sengketa. Realitas menunjukkan
96
bahwa wilayah enam desa memiliki dua pusat pemerintahan, yakni Kantor Camat Kao Teluk dan Jailolo Timur. Pada tingkat desa juga terjadi hal yang sama, yakni setiap desa memiliki dua kepala desa yang mewakili masingmasing kabupaten.
8.4. Pemekaran dan Penggabungan Wilayah Enam Desa Menimbulkan Konflik Sosial. Realitas menunjukkan bahwa pemekaran dan penggabungan wilayah beberapa desa termasuk didalamnya adalah enam desa untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut pada akhirnya menimbulkan konflik sosial pada tahun 1999. Konflik ini bermula karena perebutan batas wilayah antara masyarakat kao (penduduk asli) dengan masyarakat makian (penduduk eksodus dari Pulau Makian). Perebutan batas wilayah ini dikarenakan beberapa desa digabungkan secara paksa oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara masih kabupaten) untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut. Akibat konflik perebutan wilayah yang tidak mendapat respon penyelesaian secara signifikan dari pemerintah daerah, maka konflik kemudian meningkat menjadi konflik antar etnis, yakni antara etnis Kao dan etnis Makian. Konflik kemudian berlanjut dengan issu agama, pada konflik dengan issu agama banyak jatuh korban akibat terjadinya perang berdarah pada penghujung tahun 1999 di Maluku Utara. (Data jumlah korban akibat konflik Horizontal tidak ditemukan).
8.5. Kontroversi Pembentukan Kecamatan Malifut Pembentukan Kecamatan Malifut sesungguhnya berawal dari adanya trasmigrasi lokal masyarakat makian pulau akibat kebijakan “bedol pulau” Kecamatan Makian Pulau yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara pada Tahun 1975 dengan alasan ancaman gunung berapi Kie Besi (nama gunung Makian). Sebagaimana diketahui oleh sebagian besar masyarakat Maluku Utara bahwa program transmigrasi lokal ini dilaksanakan dengan cara-cara pemaksaan. Dalam mana masyarakat dipaksa naik ke kapal dengan todongan senjata dari aparat negara. Kondisi ini terjadi dikarenakan masyarakat Kecamatan
97
Makian Pulau sudah sejak awal menolak untuk dipindahkan dari tanah asal mereka di pulau makian ke daratah halmahera bagian utara yang belakangan menjadi Kabupaten Halmahera Utara. Selanjutnya, akibat cara-cara pemaksaan yang dilakukan oleh aparat negara (baca: pemerintah dan militer), maka masyarakat Kecamatan Makian Pulau pun kemudian di pindahkan secara total ke wilayah pe’tuan’an adat Kao Kecamatan Kao Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Utara. Sebagaimana lazimnya hubungan silaturrahmi antar sesama manusia, pada awalnya masyarakatk Kao dan Makian Pulau hidup rukun dan damai karena mereka diterima dengan baik oleh penduduk asli (suku Kao). Namun hubungan baik ini mengalami keretakan akibat munculnya gagasan untuk menjadikan wilayah tempatan masyarakat makian pulau sebagai sebuah kecamatan baru pada tahun 1999. Munculnya ide ini diakibatkan oleh tidak adanya kejelasan status kependudukan masyarakat makian pulau setelah dipindahkan ke daratan halmahera bagian utara pada tahun 1975 hingga 1999. Karena dengan kepindahan masyarakat Kecamatan Makian Pulau, maka bersamaan dengan itu Kecamatan Makian
Pulau
dinyatakan
sebagai
pulau
tertutup/kosong.
Selanjutnya,
sebagaimana diketahui bahwa keinginan untuk membentuk Kecamatan Makian Malifut pada Tahun 1999 sudah sejak awal telah mendapat penolakan yang sangat kuat dari masyarakat, terutama masyarakat enam desa (eks Kecamatan Jailolo) dan lima desa (eks Kecamatan Kao) yang akan digabungkan sebagai bagian dari Kecamatan Makian Malifut. Namun penolakan ini – sekali lagi – tidak mendapat tanggapan yang signifikan dari pemerintah Kabupaten Maluku Utara, sehingga pada akhirnya melahirkan konflik sosial di penghujung tahun 1999 dengan berbagai alasan dan issu. Penolakan penggabungan wilayah enam desa dan lima desa oleh masyarakatnya tersebut pada awalnya berlangsung secara alamiah karena dengan alasan emosional dan historis serta alasan ikutan lainnya seperti dibesarkan oleh Kecamatan Jailolo oleh enam desa dan lima desa yang dibesarkan oleh Kecamatan Kao. Namun dalam perjalanannya, masyarakat di enam desa yang semula
98
menolak secara total bergabung dengan Kecamatan Malifut dan secara otomatis dengan
Kabupaten
Halmahera
Utara,
ternyata
sebagian
masyarakatnya
belakangan memilih bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Namun bergabungannya mereka ke Kabupaten Halmahera Utara tidak berada didalam wilayah atau sebagai bagian dari Kecamatan Malifut melainkan menjadi bagian dalam wilayah Kecamatan Kao Teluk – sebuah kecamatan yang dibentuk oleh pemerintah
Kabupaten
Halmahera
Utara
setelah
timbulnya
kontroversi
kepemilikan wilayah enam desa, sama halnya juga dengan Kecamatan Jailolo Timur yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat-. Keberpihakan sebagian masyarakat enam desa yang semula menolak bergabung, namun pada akhirnya ingin bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara disinyalir akibat dari iming-iming dana community development yang disiapkan atau diberikan oleh salah satu perusahaan asing besar PT. NHM ke Kabupaten Halmahera Utara. 8.6. Penolakan Masyarakat Enam Desa Yang di Klaim Sebagai Wilayah Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara Fakta menujukkan bahwa komunitas masyarakat yang berada di teluk kao, terdiri dari komunitas suku Tobelo (berada di desa Tetewang, Pasir Putih dan sebagian di Bobane Igo, sedangkan sebagian sisanya adalah masyarakat Bobane Igo yang berasal dari suku Gorap dan Makian). Komunitas suku Tobaru (berada di desa Akelamo Kao dan sebagian lagi berada di desa Tabobo dan Dum Dum Pantai), sedangkan Dum Dum Barat dan Akesahu/Gamsungi adalah komunitas suku Pagu (Kecamatan Kao). Sampai saat ini setiap acara adat, masyarakat yang ada di teluk kao tetap melaksanakan acaranya secara bersama – sama dengan komunitas masyarakat suku pagu kao, tobelo boeng yang berada di wilayah Kecamatan Kao dan Tobelo. Dengan demikian maka wilayah dari desa Bobane Igo sampai Desa Dum Dum adalah wilayah adat Tobelo dan Galela/Tobaru atau dikenal dengan masyarakat Hibualamo yang berada di teluk kao. Walaupun demikian, sejak awal masyarakat enam desa secara emosional dan historis memiliki kedekatan dengan masyarakat Jailolo. Hal ini dikarenakan,
99
bahwa masyarakat dan wilayah enam desa adalah bagian dari KPS ( Kepala Pemerintahan Setempat) Jailolo. Sehingga pelayanan pemerintahan selama ini dilakukan oleh Kecamatan Jailolo Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Masyarakat pesisir pantai teluk kao sebagaimana dikemukakan di atas, bukanlah sebuah masyarakat yang homogen secara sosial dan budaya. Mereka hidup di dalam keragaman etnik dan dengan demikian budaya. Masyarakat di kawasan ini terdiri atas orang Makian dan orang Kao serta diselingi etnik-etnik lainnya di Maluku Utara. Desa-desa di pesisir Kecamatan Kao Teluk dan/atau Kecamatan Jailolo Timur sekurangnya terdapat tiga bahasa yang digunakan oleh setiap warga tempatan sebagai bahasa pendukung, yaitu bahasa Tobelo, bahasa Modole, dan bahasa Makian. Sementara dari segi agama yang dianut adalah agama Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Dari sisi spatial wilayah atau geografis, masyarakat enam desa memiliki kedekatan interaksi spatial yang lebih dekat dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Barat di Jailolo apabila dibandingkan dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Utara di Tobelo. Bahkan sangat dekat jika dibandingkan dengan Ibukota Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini pada akhirnya mendorong mobilitas masyarakat di wilayah enam desa lebih banyak melalui Kota Sofifi. Untuk memberikan penjelasan atas hal tersebut, di bawah ini digambarkan tabel tentang waktu tempuh dari wilayah enam desa menuju beberapa kota, sebagai berikut : Tabel. 8.1. Waktu Tempuh Beberapa Kota ke Wilayah Enam Desa Desa Pasir Putih
Kota Ternate ± 1 ½ jam
Ibukota Halbar (Jailolo) ± 2 jam
Ibukota Halut (Tobelo) ± 3 ½ jam
Kota Sofifi (Ibukota Prov. Malut) ± 1 jam
Bobane Igo
± 1 ½ jam
± 2 jam
± 3 ½ jam
± 1 jam
Tetewang
± 2 jam
± 2 jam
± 3 ½ jam
± 1 jam
Akelamo Kao/Raya
± 3 jam
± 2 ½ jam
± 3 jam
± 2 jam
Gamsungi/Ake Sahu
± 3½ jam
± 2 ½ jam
± 3 jam
± 2 jam
Dum-Dum
± 3½ jam
± 2 ½ jam
± 3 jam
± 2 jam
Sumber : Data Primer
100
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa secara realitas jarak interaksi spatial masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara lebih jauh bilamana dibandingkan dengan interaksi secara spatial masyarakat ke Kabupaten Halmahera Barat. Namun jika dibandingkan interaksi spatial masyarakat enam desa ke kedua kabupaten dengan Kota Sofifi ( Ibukota Provinsi Maluku Utara), maka lebih dekat interaksinya ke Kota Sofifi. Kondisi ini diasumsikan waktu tempuh dalam keadaan normal dengan menggunakan transportasi darat (mobil) dan transportasi laut (speedboat). Transportasi laut hanya untuk interaksi dari/dan dengan Kota Ternate. Dengan demikian, agar realistis diharapkan sebaiknya enam desa bergabung dan/atau digabungkan dengan Kota Sofifi ( tidak ke Halmahera Barat maupun ke Halmahera Utara). Realitas juga menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi atau mobilitas transaksi ekonomi, baik dalam memasarkan hasil-hasil sumberdaya alam maupun pemenuhan kebutuhan sumber bahan makanan pokok, masyarakat enam desa lebih banyak melakukan transaksi ekonomi di Kota Ternate. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan transportasi menuju Ternate lancar dengan biaya yang relatif terjangkau serta berbagai kebutuhan yang diiperlukan dapat dipenuhi. Dalam perspektif ekonomi wilayah, suatu daerah akan mengalami kemajuan bila terjadinya interaksi secara spatial yang signifikan dengan daerah sentral. Dengan lain perkataan, suatu daerah hinterland akan mengalami keberimbangan pembangunan antar wilayah, bilamana akses ke wilayah sentral – hinterland mengalami peningkatan yang signifikan. Sementara dari sisi politik, masyarakat enam desa secara politik melakukan dan menentukakan sikap politiknya ke Kabupaten Halmahera Barat. Fakta ini tidak dapat dipungkiri, dalam mana dapat dilihat pada keberpihakan masyarakat enam desa pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2004 yang secara total menjadi bagian dari pemilih Kabupaten Halmahera Barat. Selanjutnya realitas juga menunjukkan bahwa pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2007 masyarakat enam desa melakukan hal yang sama yakni sebagian besar masyarakat masih tetap menjadi pemilih di Kabupaten Halmahera Barat, walaupun sebagiannya sudah menentukkan sikap
101
politiknya ke Kabupaten Halmahera Utara. Kondisi ini terus berlanjut hingga pada pemilihan legislatif pada tahun 2009, dimana masyarakat enam desa masih terpola keberadaan sikap politiknya, sehingga di wilayah enam desa terjadi pembagian dua TPS, yakni TPS untuk masyarakat yang memilih sebagai pemilih di Kabupaten Halmahera Barat dan TPS untuk Pemilih yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan kekacauan demokrasi yang sangat signifikan.
8.6.1. Dampak Pemekaran Wilayah Yang Sarat Dengan Konflik Sosial Realitas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah seringkali membawa akibat yang sangat signifikan. Akibat yang turut menghiasi pemekaran wilayah adalah konflik wilayah, bahkan dapat mengakibatkan konflik sosial. Salah satu daerah yang mengalami pemekaran dan/atau penggabungan wilayah dengan berakhir konflik sosial adalah pemekaran dan penggabungan wilayah lima dan enam desa di Provinsi Maluku Utara. Konflik ini terjadi karena masyarakat menganggap prosesnya tidak secara sistematis dan mengabaikan aspirasi masyarakat setempat. Beberapa hal yang juga mewarnai dinamika pemekaran wilayah adalah sebagai berikut : 8.6.2. Identitas Wilayah Yang Hilang Sebagai konsekuensi dari lahirnya PP Nomor 42 tahun 1999, maka secara otomatis masyarakat Kecamatan Makian Pulau yang menunggu waktu kuranglebih 25 tahun pada akhirnya memiliki status kewargaan yang jelas. Namun dengan kehadiran Kecamatan Malifut, pada sisi yang lain di pandang oleh masyarakat di wilayah enam desa sebagai bentuk pencaplokan atas tanah miliknya yang sudah sejak lama ditempati dibawah wilayah pemerintah Kecamatan Jailolo. Sehingga mengakibatkan masyarakat enam desa melakukan protes, protes ini berlangsung karena eksistensi Kecamatan Malifut yang turut menggabungkan enam desa sebagai bagian dari kecamatan baru tersebut. Dalam pandangan masyarakat, bahwa sebagai penduduk asli dan yang memiliki wilayah adat, upaya menggabungkan mereka dalam Kecamatan Malifut
102
adalah sebuah pencerabutan nilai identitas mereka. Dengan demikian pemaksaan PP nomor 42 tahun 1999 dianggap tidak representatif, karena tidak mendengarkan aspirasi mereka. Karena itu, pemerintah diharapkan untuk melepaskan arogansinya untuk segera menyelesaikan sengketa wilayah ini, sehingga konflik yang terjadi di wilayah ini dapat dengan segera berakhir. Jika tidak, dapat dipastikan tuntutan atas hak tanah adat yang telah dicaplok akan terus dilakukan oleh masyarakat di wilayah enam desa dan lima desa. Dan bukan tidak mungkin akan mengantarkan pada konflik sosial yang jauh lebih besar. Hal ini dikarenakan masyarakat malifut adalah merupakan salah satu etnis terbesar di wilayah provinsi Maluku Utara.
8.6.3. Kekacauan Administrasi Wilayah Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dengan kehadiran Kecamatan Malifut yang melibatkan enam desa kedalam wilayahnya, maka sejalan dengan itu muncul berbagai permasalahan dalam pengelolaan administrasi wilayah. Hal ini dikarenakan, masyarakat enam desa sesuai PP Nomor 42 Tahun 1999 adalah bagian dari wilayah Kecamatan Malifut menolak untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut, yang selanjutnya bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Hal lainnya enam desa adalah bagian wilayah Kecamatan Malifut dan selanjutnya Kabupaten Halmahera Utara, namun pelayanan pemerintahan selama ini lebih dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Sebagaimana terlihat dalam pelayanan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan sarana pendukung pelayanan pemerintahan lainnya. Hal lainnya adalah pelayanan dalam bentuk pembuatan KTP (3000 blanko KTP), pengurusan akte kelahiran (3000 blanko akte kelahiran), dan masyarakat enam desa pun menerima jatah beras raskin dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Hal lainnya adalah, bantuan untuk pembangunan gereja di desa dum-dum. Selain karena alasan kesepakatan antara kedua kabupaten, pelayanan pemerintahan ini dilaksanakan karena aspirasi masyarakat sangat kuat untuk bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat, sehingga pemerintah Kabupaten Halmahera barat mengganggap penting untuk melakukan pelayanan. Bahkan dalam (MP, 27 Maret
103
2006), Bupati Halmahera Barat mengatakan jika permasalahan enam desa tidak mengalami titik temu, maka dipersilahkan warga enam desa untuk memilih bergabung ke kabupaten mana antar dua kabupaten dimaksud. Dengan realitas ini, maka selanjutnya terjadi kekacauan pengelolaan administrasi pemerintahan. Dalam mana antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera
Barat
dan pemerintah daerah
Kabupaten Halmahera Utara
menyepakati bahwa sebelum terselesaikannya masalah enam desa, maka pengelolaan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat, walaupun undang-undang mengisyaratkan bahwa wilayah ini adalah bagian dari kabuapaten Halmahera Utara. Namun sampai saat ini konflik perebutan wilayah antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara atas enam desa belum juga kunjung terselesaikan. Selanjutnya dengan tidak jelasnya proses penyelesaian permasalahan enam desa, maka dengan dasar arogansi masing-masing pemerintah daerah, maka dilahirkan PERDA masing-masing pemerintahan untuk pembentukan kecamatan. Ironi-nya, kecamatan yang dibentuk memiliki desa-desa yang sama. Sebagaimana terlihat jelas pada Kecamatan Jailolo Timur dengan Ibukota Kecamatan di desa Akelamo Kao (raya) dengan desa-desanya adalah enam desa dan Kecamatan Kao Teluk dengan desa-desanya adalah 5 (lima) desa Kecamatan Malifut dan enam desa eks. Kecamatan Jailolo. Tentunya, dengan kondisi ini pada akhirnya membuat ketimpangan pengelolaan wilayah yang sangat luar biasa, namun tragisnya belum ada respon yang signifikan atas penyelsaian sengketa wilayah ini, baik oleh pemerintah Provinsi Maluku Utara maupun pemerintah pusat. Berbagai spekulasi yang dialamatkan atas lambanya proses penyelesaian sengketa wilayah ini. Namun satu hal yang mencuat adalah kesulitannya pemrintah Provinsi Maluku Utara merumuskan strategi penyelesaian masalah ini. Hal ini dikarenakan begitu kompleksnya permasalahn ikutan dalam kasus perebutan wilayah ini. Diantaranya, telah terpolarisasinya pilihan masyarakat – sebelumnya seluruh masyarakat enam desa berkeinginan bergabung ke Halbar -, akibat telah ada skenario dari masing-,masing pemerintah daerah, misalnya pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan iming-iming dana community
104
development yang memberikan bantuan SENG dan SEMEN, sementara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan cara meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di enam desa. Hal lainnya adalah adanya arogansi pemerintah daerah untuk mempertahankan eksistensi PP nomor 42 tahun 1999 dan Undangundang Nomor 1 tahun 2003 yang secara jelas telah ditolak oleh masyarakat enam desa dengan penggabungan mereka ke dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Alasan terakhir yang disebutkan itu tentunya sangat dipahami. Karena jika pemerintah Provinsi Maluku Utara berkeinginan untuk menggabungkan masyarakat enam desa ke dalam wilayah Kabupaten Halmahera Barat, maka jauh sebelumnya telah dilakukan, yakni sejak masyarakat belum mengalami polarisasi pilihan. Namun pada sisi yang lain, jika tetap memaksakan enam desa kedalam wilayah malifut dan selanjutnya menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, maka dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial baru. Asumsi yang digunakan adalah konflik di Maluku Utara tahun 1999 terjadi berawal dari konflik wilayah atau batas wilayah antara suku kao dan makian yang juga melibatkan wilayah enam desa yang diperebutkan hari ini.
8.6.4. Kekacauan Demokrasi dan Tata Kehidupan Politik Wilayah enam desa dalam berbagai momentum politik lokal, baik itu ditingkat kabupaten dalam konteks pemilihan bupati dan pemilihan anggota legislative, maupun di level provinsi, baik yang menyangkut pemilihan gubernur ataupun anggota legislatif selalu memunculkan permasalahan atas status pemilih masyarakat enam desa. Dalam mana masing-masing daerah mengklaim bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih pada Kabupaten Halmahera Barat, sementara pemerintah Kabupaten Halmahera Utara juga mengklaim bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih untuk wilayahnya. Kedua kabupaten ini memperebutkan pemilih enam desa dengan alasannya masing-masing. Baik alasan administratif maupun alasan keinginan masyarakat itu sendiri. Kasus pemilihan bupati dan wakil bupati pada tahun 2004 lalu, dimana masyarakat enam desa dimasukkan oleh KPUD sebagai pemilih untuk Kabupaten
105
Halmahera Barat, sekalipun pada faktanya wilayah enam desa adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Pada tahun 2004, aspirasi masyarakat enam desa secara total tersalurkan pada pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Halmahera Barat. Namun kondisi ini berubah ketika pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2007 serta pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009, dimana KPUD Kabupaten Halmahera Utara juga bersikeras bahwa masyarakat enam desa harus menjadi pemilih pada kabupaten Halmahera Utara. Polemik ini berakhir dengan penentuan 2 (dua) TPS di masing-masing desa, yakni 1 (satu) TPS untuk masyarakat yang memilih ke Kabupaten Halmahera Utara dan 1 (satu) TPS yang memilih ke Kabupaten Halmahera Barat. Jarak antar TPS hanya 300 meter, sehingga dengan kondisi ini sangat rentan atas terjadinya konflik antar masyarakat. Sebagai fakta bahwa masyarakat enam desa yang merupakan wilayah Kabupaten Halmahera Utara juga menjadi pemilih di Kabupaten Halmahera Barat adalah dengan data pada pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Tahun 2007 sebagai berikut :
Tabel.8.2. Data keberpihakan masyarakat enam Desa berdasarkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2007 Pemerintahan yang di Inginkan
Jumlah Penduduk No
1 2 3 4 5 6
Nama Desa
Pasir Putih Bobane Igo Tetewang Akelamo Kao Akesahu Dum-Dum Jumlah
Jmlh KK 115 408 265 234 96 108 1.126
L
P
246 933 447 632 225 270 2.753
209 917 378 648 118 273 2.541
Jmlh Jiwa 445 1.850 823 1.290 343 543 5.294
Hak Pilih 121 1.186 265 712 238 217 2.739
Halbar
Halut
Abstain
31 1.024 170 474 134 103 1.936
78 91 95 217 104 114 699
12 71 21 104
Sumber ; KODIM 1501/ Ternate
Dengan realitas yang terjadi, maka berbagai pelanggaran atas demokarasi dan kehidupan berpolitik di level lokal sangat tidak sehat. Dalam mana, dapat dilihat dengan fenomena ini, dipastikan bahwa akan terjadi over jumlah jiwa pemilih di wilayah enam desa. Dimana diasumsikan, masyarakat enam desa yang
106
hanya memiliki pemilih sebesar 5-6 ribu jumlah jiwa pilih akan membengkak menjadi 10-12 jumlah jiwa pilih. Karena tentunya akan terdistribusi sesuai jumlah pemilih yang terdapat pada DPT untuk Kabupaten Halmahera Utara dan jumlah yang sama juga untuk Kabupaten Halmahera Barat. Karena telah terjadi pembengkakan suara yang legal. Sungguh sebuah pelanggaran atas demokrasi.
8.6.5. Kekacauan Rentang Kendali Salah satu hakikat dari pemekaran dan/atau penggabungan wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Sehingga dalam kerangka mendorong ide dan gagasan pemekaran/penggabungan wilayah seyogyanya mempertimbangkan berbagai aspek. Salah satu diantaranya adalah aspek rentang kendali. Dari data yang ditemukan melalui wawancara mendalam – disebabkan data riil tentang jarak belum tetrsedia – penggabungan enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan konsekuensi keluarnya PP 42 tentang pembentukan Kecamatan Malifut dengan menggabungkan wilayah enam desa didalamnya dapat dikatakan sangat mengabaikan aspek rentang kendali, sehingga alasan ini juga yang kemudian mencuat ke permukaan dengan adanya resistensi penolakan untuk bergabung.
107
BAB IX KONSEPTUALISASI PEMEKARAN/PENGGABUNGAN WILAYAH DI ENAM DESA
9.1.
Konseptualisasi Pemekaran Wilayah di Enam Desa Sebagaimana pada bab-bab sebelumnya telah diuraikan bahwa pemekaran
dan penggabungan wilayah seringkali membawa akibat ikutan berupa konflik, baik horizontal maupun vertical. Dalam mana dapat dilihat pada konflik perebutan wilayah yang meliputi batas wilayah, sumberdaya alam, dan alasan-alasan historis serta emosional. Berbagai permasalahan ini kemudian membuat banyak masyarakat yang mempertanyakan urgensi pemekaran dan penggabungan wilayah, bahkan sebagian lagi menggugatnya. Realitas menunjukkan bahwa pada wilayah enam desa konflik yang terjadi mengakibatkan kekacauan dalam pelayanan pemerintahan. Dimana terlihat bahwa secara hokum wilayah enam desa adalah bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Halamhera Utara, namun dalam pelayanan pemerintahan juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Misalnya, pelayanan publik, Pembuatan KTP, akte kelahiran, pembagian beras raskin, dll. Selain itu, terdapat kekacauan demokrasi dan tata kehidupan politik. 9.2.
Solusi Pemekaran Wilayah Kedepan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, dapat dikatakan
bahwa permasalahan pemekaran dan penggabungan wilayah di enam desa sangat kompleks sehingga dibutuhkan strategi pemekaran dan penggabungan wilayah yang lebih bijaksana dalam rangka mengatisipasi terjadi konflik sosial. Kasus pemekaran dan penggabungan wilayah di enam desa dalam konteks pembentukan Kecamatan Malifut, harus jujur dikatakan bahwa proses pemekaran dan penggabungan wilayah tidak melalui sebuah mekanisme yang memadai dalam melakukan jaring aspirasi masyarakat, sehingga pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih besar dengan socia cost
yang juga sangat mahal.
Dengan demikian, diharapkan kedepan, proses pemekaran dan/atau penggabungan
108
wilayah, seyogyanya melihat aspek penting yang telah diamanatkan oleh aturan perundang-undangan sehingga pemekaran dan/atau penggabungan wilayah benarbenar mewakili aspirasi masyarakat dan bukan keinginan dan kepentingan elite politik lokal.
9.3.
Solusi Ekonomi Wilayah Dalam
perspektif
pembangunan
ekonomi
wilayah,
pemekaran
dan/penggabungan wilayah merupakan sebuah solusi untuk membuka akses kawasan-kawasan hinterland dalam melakukan interaksi spatial dengan wilayah sentral. Kondisi ini di design sehingga wilayah hinterland tidak mengalami keterbelakangan yang semakin parah dan proses migrasi desa-kota tidak berlangsung secara signifikan. Hal lain yang mendorong pemekaran dan/ penggabungan wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan mendorong kesejahteraan masyarakat, sehingga aspek spatial seperti kedekatan kewilayahan menjadi hal penting untuk dipertimbangkan. Sebagaimana dijelaskan pada tabel diatas, dapat dikatakan bahwa pemekaran dan/atau penggabungan wilayah di enam desa sangat mengabaikan aspek kedekatan kewilayahan. Dengan berbagai permasalahan dimaksud, diharapkan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah kedepan harus melihat aspek spatial wilayah dan mobilitas transaksi ekonomi dan keterbukaan akses wilayah yang dimekarkan dengan wilayah sentral. Harapan ideal ini tentunya akan terwujud, jika proses pemekaran dan penggabungan wilayah yang dilaksanakan memenuhi kaidah-kaidah pemekaran wilayah yang sesungguhnya atau dengan lain perkataan tidak sematamata mengedepankan pertimbangan politik. Pada konteks sengketa wilayah enam desa antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, cita-cita ideal ini akan dapat diwujudkan, jika semua elemen kritis di Maluku Utara berkeinginan kuat untuk mendorong pemerintah, baik pemerintah provinsi maupun kedua kabupaten yang bersengketa atas enam desa sehingga secara bijak dan duduk
109
bersama mendudukan substansi permasalahannya dan merumuskan solusi yang baik dan bijaksana bagi masyarakat.
9.4.
Solusi Pelayanan Publik Peningkatan pelayanan publik merupakan salah satu issu yang seringkali
menghiasi gagasan pemekaran wilayah. Namun aspek ini menjadi tidak dapat diwujudakn oleh pemerintah ketika suatu daerah mengalami kekacauan dalam pengelolaan administrasi wilayah. Bahkan akibat dari persoalan ini pemerintah daerah seringkali dianggap tidak berhasil dalam melakukan proses pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana hasil evaluasi Depdagri (Departemen Dalam Negeri RI), bahwa dari 100% daerah yang telah dimekarkan oleh pemerintah 85 % diantaranya belum mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka kedepan diharapakan proses pemekaran dan penggabungan suatu wilayah harus berlangsung secara sistematis sehingga proses pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah juga tepat sasaran dan dapat diwujudkan secara baik. Kasus perebutan wilayah enam desa adalah contoh jelas, dimana satu wilayah mendapatkan pelayanan publik dari dua kabupaten, sebuah proses pelayanan publik yang sangat tumpang tindih. Hal ini terjadi akibat dari keengganan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan salah satu kabupaten dari kedua kabupaten yang dimaksud, sementara sebagaimana perintah Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang masyarakat enam desa adalah bagian dari kabupaten yang ditolak tersebut. Dengan terjadinya kekacauan pelayanan publik dan pengelolaan administrasi wilayah sebagaimana digambarkan, maka seyogyanya wiilayah enam desa di gabungkan dengan Kota Sofifi Ibukota Provinsi Maluku Utara, guna menghentikan proses terjadinya kekacauan dalam berbagai dimensi pelayanan publik. Sekalipun solusi ini sebenarnya belum teruji, namun layak untuk dicoba.
110
9.5.
Solusi Sosial – Budaya Di dalam melakukan pemekaran dan/atau penggabungan suatu wilayah,
sebagai langkah antisipasi terjadinya protes masyarakat, maka diperlukan strategi jaring aspirasi masyarakat guna mengetahui jelas kemana aspirasi masyarakat akan diperjuangkan. Selain itu jaring aspirasi menjadi penting dilakukan guna mengetahui alasan-alasan subtantif masyarakat seperti alasan emosional, historis dan alasan sebagai bagian dari suatu daerah sebelumnya. Kondisi ini sangat urgen, dimana fakta menunjukkan bahwa pengabaian atas aspirasi masyarakat dalam melakukan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah seperti yang terjadi pada penggabungan wilayah enam desa ke Kecamatan Malifut pada akhirnya memunculkan permasalahan yang tak kunjung terselesaikan sampai saat ini. Bahkan akibat dari mengabaikan aspirasi masyarakat dalam proses penggabungan wilayah tersebut pada akhirnya memunculkan konflik sosial di Provinsi Maluku Utara pada tahun 1999. Dengan dasar alasan itulah, maka pemekaran dan/atau penggabungan wilayah kedepan haruslah mempertimbangkan aspek sosial-budaya masyarakat setempat, misalkan aspek kedekatan emosional, aspek historis dan identitas wilayah.
9.6.
Solusi Administrasi Wilayah Pemekaran wilayah pada hakikatnya untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dan/atau memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan pemerintah. Atas dasar itulah, maka dalam melakukan pemekaran wilayah aspek rentang kendali menjadi salah satu aspek penting untuk dipertimbangkan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat mengakses wilayah inti. Dengan kondisi ini, maka batas administrasi suatu wilayah yang dimekarkan haruslah memiliki kejelasan, sehingga pemerintah dalam melakukan pengelolaan administrasi wilayah tidak mengalami kesulitan akibat proses pemekaran dan/penggabungan wilayah yang tidak berlangsung secara sistematis. Salah satu strategi terbaik untuk melakukan pemekaran dan
111
penggabungan wilayah adalah perlu mentaati aturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara (baca: Pemerintah). Fakta menunjukkan bahwa akibat proses pelaksanaan pemekaran wilayah yang tidak mempertimbangkan persyaratan yang telaah ditetapkan secara baik oleh Undang-Undang semisal syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik wilayah,
maka
kebanyakan
daerah
pemekaran/penggabungan
wilayah
memunculkan pemasalahan konflik batas wilayah. Realitas itu dapat ditujukkan dalam konflik perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Dengan konflik perebutan wilayah antara kedua kabupaten tersebut, maka pengelolaan administrasi wilayah mengalami kekacauan. Halmana suatu wilayah (baca: enam desa konflik) berada di dalam wilayah dua kabupaten yang berbeda, yakni enam desa versi Kabupaten Halmahera Barat dengan nama Kecamatan Jailolo Timur dan Enam desa versi Kabupaten Halmahera Utara dengan nama Kecamatan Kao Teluk. Dengan fakta di atas, maka kedepan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah haruslah dilakukan secara sistematis dengan tetap merujuk pada syaratsyarat pemekaran dan penggabungan wilayah yang telah secara jelas dan sistematis
di
amanatkan
oleh
aturan
perundang-undangan
dan
bukan
mempertimbangkan aspek politik semata.
9.7.
Ikhtisar Pemekaran dan/penggabungan wilayah pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun tujuan luhur pemekaran ini seringkali tercoreng akibat arogansi pemerintah (elite kekuasaan) dengan melakukan rekayasa atas pemekaran/penggabungan suatu wilayah untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Hal lain adalah dalam melakukan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah, pemerintah seringkali mengabaikan aspirasi masyarakat sehingga pada akhirnya mengakibatkan permaslahan setelah pemekaran/penggabungan wilayah itu terjadi.
112
Kondisi yang dimaksudkan dapat dilihat pada perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara. Konflik perebutan wilayah ini terjadi akibat masyarakat enam desa yang merupakan wilayah Kabupaten Halmahera Utara sesuai PP No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Malifut dan Undang-Undang No. 1 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten di Provinsi Maluku Utara menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut dan secara otomatis menolak bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara. Penolakan masyarakat enam desa ini diakibatkan oleh aspirasi masyarakat yang diabaikan dalam proses pemekaran dan/atau penggabungan wilayah enam desa ke Kecamatan Malifut pada tahun 1999. Berbagai aspek yang menjadi alasan penolakan masyarakat enam desa, diantaranya adalah aspek kedekatan emosional (karena dibesarkan oleh jailolo) aspek historis (karena wilayah KPS Jailolo) dan aspek identitas wilayah. Hal lainnya adalah walaupun selama ini masyarakat enam desa adalah bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, namun pelayanan pemerintahan dan pelayanan publik dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Juga fakta mencatat bahwa dari sisi rentang kendali wilayah enam desa lebih dekat dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Barat (Kota Jailolo) bila dibandingkan dengan Ibukota Kabupaten Halmahera Utara (Kota Tobelo). Bentuk penolakan yang juga ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat enam desa untuk tidak bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara adalah berbagai bantuan yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat enam desa dan lebih memilih bantuan berupa raskin dan pembangunan sarana peribadatan serta bantuan lainnya dari pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. Bukti lain dari penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa atas keengganan bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara adalah dengan jelas terlihat sebaran keberpihakan masyarakat enam desa yang lebih banyak ke Kabupaten Halmahera Barat bila dibandingkan dengan Kabupaten Halmahera Utara. Dimana keberpihakan masyarakat enam desa ini didasari alasan sosial-budaya, semisal kedekatan emosional, historis dan identitas wilayah.
113
Selain itu keberpihakan politik enam desa, baik pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada Tahun 2004, Gubernur dan Wakil Gubernur pada tahun 2007 dan pemilihan legislatif tahun 2009 sebagian besar masyarakat enam desa menjadi pemilih di Kabupaten Halmahera Barat. Kondisi ini pada akhirnya meninmbulkan kekacauan kehidupan politik dan demokrasi di Provinsi Maluku Utara. Dengan kondisi carut-marutnya permasalahan enam desa ini, maka diharapkan adanya solusi terbaik guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi di enam desa, karena dikhawatirkan akan mendorong terjadinya gejolak sosial di Wilayah tersebut. Namun solusi kritis tersebut membutuhkan pengkajian kritis, karena memaksakan wilayah enam desa untuk tetap bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara, maka pemerintah akan dianggap menyulut kembali api dendam yang pernah terjadi dipenghujung tahun 1999, namun jika dipaksakan bergabung dalam wilayah Kabupaten Halmahera Barat, maka pemerintah harus merevisi PP No. 42 tahun 1999 dan UU No. 1 tahun 2003, karena jika tidak maka pemerintah dinyatakan telah melanggar kedua aturan perundang-undangan tersebut. Dengan berbagai pertimbangan itulah, maka terkesan Pemerintah Provinsi Maluku Utara berada dalam posisi yang dilematis untuk mengkonstruksi solusi penyelesaian konflik wilayah yang terjadi antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten
Halmahera
Utara.
Terdapat
sebuah
solusi
alternatif
dalam
menyelesaikan konflik wilayah enam desa antara kedua kabupaten tersebut, yakni dengan menggabungkan wilayah enam desa menjadi bagian dari Kota Sofifi (Ibukota Provinsi Maluku Utara).
114
BAB X PENUTUP
10.1. KESIMPULAN Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa proses pemekaran dan penggabungan wilayah, baik enam desa dan lima desa tidak berlangsung secara sistematis dan merujuk aturan normatif yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Halmana dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pemekaran dan penggabungan wilayah enam desa ke dalam Kecamatan Malifut adalah keinginan elite politik lokal dan bukan merupakan keinginan masyarakat setempat. Karena aspek yang dominan adalah aspek politik (terutama ekonomi-politik sumberdaya alam tambang) semata sehingga aspirasi masyarakat terabaikan. 2. Factor pendorong utama masyarakat enam desa menolak bergabung ke Kecamatan Malifut maupun Kabupaten Halmahera Utara adalah karena masalah harga diri dan masa depan generasi serta aspek sosio-kultural masyarakat. Penolakan ke Kabupaten Halmahera Utara adalah keinginan masyarakat enam desa dikatakan sebagai dorongan secara alamiah, tetapi keberpihakan sebagian masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara adalah konstruksi elite, yang disana-sini diperalat (berdalih) melalui bantuan-bantuan sosial. 3. Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah yang menimbulkan konflik adalah akibat karena tidak dipenuhinya persyaratan administratif, teknis dan fisik wilayah. Selain itu juga, pemekaran lebih mengedepankan pertimbangan politik daripada sosial-budaya.
10.2. SARAN Dari kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka peneliti menyarankan beberapa hal penting untuk mempercepat proses penyelesaian permasalahan enam desa, yakni :
115
1. Diharapakan
Pemekaran
mempertimbangkan
dan/atau
aspirasi
penggabungan
masyarakat
dan
wilayah
bukan
harus
semata-mata
pertimbangan politik, sehingga tidak menimbulakan permasalahan di level masyarakat. 2. Pemerintah Provinsi Maluku Utara diharapkan pro-aktif dalam mendorong penyelesaian masalah perebutan wilayah enam desa dengan strategi menggelar “JAJAK PENDAPAT, sehingga diketahui pasti kemana keinginan masyarakat untuk bergabung atau melakukan peninjauan kembali PP No. 42 Tahun 1999 untuk di revisi pasal yang berkaitan dengan enam desa penggabungan enam desa kedalam wilayah Malifut. 3. Diharapkan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah pada daerah yang rentan terhadap konflik harus memikirkan aspek historis, emosional dan batas fisik alam secara alamiah, sehingga dapat meminimalisir potensi konflik perebuatan wilayah dan sumberdaya alam. Serta konflik dengan alasan identitas etnis dan idielogi.
116
Gambar. 9.1. Peta Provinsi Maluku Utara
117
Gambar. 9.2. Peta Lokasi Penelitian
POSI-POSI RAU MOROTAI SELATAN BARAT
Bere-Bere MOROTAI UTARA
MOROTAI SELATAN
Kabupaten Halmahera Utara Kabupaten Halmahera Barat Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kabupaten Halmahera Tengah Kabupaten Halmahera Selatan Kabupaten Halmahera Timur Kabupaten Kepulauan Sula
DARUBA
LOLODA UTARA
P. DOI
GALELA LOLODA
Galela
Tobelo
Kedi Tongute Sungi IBU Susupu SAHU KAO
TOBELO SELATAN WASILE
MALIFUT
JAILOLO Jailolo
P. TERNATE
MABA WASILE SELATAN
Sidangoli
TERNATE UTARA JAILOLO TERNATE SELATAN SELATAN
TERNATE PULAU
TIDORE WEDA
MABA SELATAN
OBA PATANI GEBE OBA SELATAN
MAKIAN
P. GEBE KAYOA
BACAN BARAT Indari BACAN Labuha Babang
TALIABU BARAT Bobong
Dofa
GANE BARAT GANE TIMUR
BACAN TIMUR
MANGOLI BARAT Waitina
Loseng TALIABU TIMUR
Sanana
Kabau
SANANA
SULABESI BARAT
Keterangan : Lokasi penelitian
MANGOLI TIMUR
Laiwui OBI BOBO WOOI WAYALOAR OBI SELATAN
Wayaloar
118
DAFTAR PUSTAKA Anwar, A. 2000. Perspektif Otonomi Daerah dan Federasi dalam pembangunan Indonesia di masa depan (makalah semiloka nasional pembangunan wilayah dalam perspektif otonomi daerah dan federasi). Kerjasama PPs IPB dan BPS. Jakarta Ahmad H Kasman & Oesman H (2000). Damai Yang Terkoyak ; Catatan Kelam Dari Bumi Halmahera. Pustaka Podium. Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah Dan Kesejahteraan Masyarakat ; studi kasus di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis IPB 2006 Alhadar. S. (2009). Sejarah dan Tradisi syi’ah Ternate. Roeslyblog’s Weblog ; Menuju
Maluku
Utara yang
Damai dan
Bersih dari
Korupsi.
www.roeslyblog’sworldpress.com. Basri, F., 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta Bahri Ruray. S. 2007. Menjemput Perubahan ; Sepotong Interupsi Untuk Maluku Utara. Pustaka FOSHAL dan KALAMATA Institute Maluku Utara. Dharmawan, A. H. 2008. Bahan Kuliah Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat Pedesaan. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB DJalil. R. (2009). Konflik Dalam Sejarah Maluku Utara ; sebuah upaya membangun perdamaian permanen. www. roeslyblog’sworldspress.com Effendi A dan Rustiadi E, 2000. Perspektif Pembangunan Tata Ruang (Spatial) Wilayah Perdesaan dalam rangka Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sekolah pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor; Bogor. Fisher, S, et al. 2000. Mengelola Konflik : Ketrampilan dan strategi untuk bertindak. Jakarta : The British Council Firmansyah, H. 2004. Studi Konflik Perkebunan Kopi Rakyat Dalam Kawasan Hutan Lindung Di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Tesis IPB 2004
119
Farida, A. 2010. Pertarungan Gagasan Dan Kekuasaan Dalam Pemekaran Wilayah ( Studi Kasus: Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi). Tesis IPB 2010 Program Studi Sosiologi Pedesaan. Husen MR dan Oesman H, 2005. Potret Gelisah Negeri Pinggiran ; Perspektif Kritis Atas Maluku Utara. Pustaka FOSHAL Maluku Utara Harmantyo D, 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan ; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia ( MAKARA, SAINS. Vol.11.No.1,April 2007: 16-22). Heryawan A. 2009 . Otonomi Daerah Dan Pemekaran Wilayah Tanpa Anarki ; artikel dalam Tepas Ahmad Heryawan blog.com Ilyas A. Effendi, 2005. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Konflik Social Di Keluarahan Margasari Kecamatan Margacinta Kota Bandung. Tesis IPB 2005 Indraprahasta G, S. 2009, Strategi Pengembangan Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus; Kabupaten Bandung Barat). Tesis IPB 2009 Juanda, B. 2007. Manfaat dan biaya pemekaran daerah serta implikasinya terhadap APBN. Jurnal ekonomi, volume xxv, edisi oktober 2007 _________
2008,
Dampak
Pemekaran
Terhadap
APBN
dan
Kinerja
Perekonomian Daerah. Bahan Kuliah Teori dan Kebijakan Pembangunan, Bogor ; IPB Malia, R. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah (studi kasus di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat). Tesis IPB 2009. Malik, et al. 2003. Menyeimbang Kekuatan, Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik Atas Sumber Daya Alam. Jakarta. Penerbit Yayasan Kemala, 2003 Nurbadri, N (2008) Konflik Batas Wilayah Di Era Otonomi Daerah Dan Upaya Penyelesaiannya (Studi Kasus Konflik Batas Wilayah Antara Kabupaten Tebo Dengan Kabupaten Bungo). Masters thesis, Universitas Diponegoro.
120
OECD, 1999, Fiscal Desentralization-Benchmarking the Policies of Fiscal Design, Working Document, Prepared for the FDI Meeting 9th March 1999, Paris. Directorate for financial, fiscal and enterprise affairs, fiscal affairs Pruitt, D.G & Rubin J. Z. 2004. Teori Konflik Sosial ; Pustaka Pelajar Rubin, J. Z et.al. 1994. Social conflict escalation, stalemate and settlement. New York : Mc Graw-Hill, Inc Rustiadi. E. Et al. 2007. Perencanaan Pengembangan Wilayah. IPB Press Ratnawati Tri, 2009. Problematika Pemekaran dan Prospek Otonomi Daerah (Pusat Penelitian Politik LIPI). Syahidussyahar (2007). Konflik Dalam Sejarah Kekuasaan Para Raja Dan Sultan Di Moloku Kie Raha. Roeslyblog’sworldspress.com Sayori, N. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadapa Perekonomian Wilayah Kepulauan Dan Pengembangan Pariwisata Bahari ( studi kasus di Kabupaten raja ampat, Provinsi Papua Barat). Tesis IPB 2009. Shaliza F, 2004. Dinamika Konflik Antar Komunitas Dan Transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara komunitas nelayan parit III dan melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau). Tesis IPB 2004. Smith, B.C., 1995, Decentralization ; The Territorial Dimension of the State, London, Asia Publishing House. Sihombing, M, 2006. Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Pelayanan Publik Di Kabupaten Humbang
Hasundutan.
Proceeding
workshop
nasional
penguatan pelaksanaan kebijakan desentratlisasi fiscal di Jakarta 6-7 desember 2006. Departemen keuangan. Setda Kabupaten Halbar (2007). Halmahera Barat Dalam Angka Setda Kabupaten Halut (2006). Halmahera Utara Dalam Angka. Tuerah, N. 2006. Analisis Dampak Pemekaran daerah terhadap pelayanan public. Proceeding
workshop
nasional
penguatan
pelaksanaan
kebijakan
desentratlisasi fiscal di Jakarta 6-7 desember 2006. Departemen keuangan. Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta ; insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar
121
Lampiran.1. Hasil Kuesioner No
Pertanyaan
Jawaban Responden % Ya Tidak Lainnya 100
1
1
2
2
89,87
10, 13
3
3
13,51
86,49
4
4
83,1
16,89
5
5
100
6
6
16,89
83,1
7
7
79,73
20,27
8
8
79,73
13,51
6,76
9
9
100
10
10
28,38
64,86
6,76
11
11
86,49
13,51
12
12
72,97
27,02
Keterangan Tetapi pemekaran wilayah harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Sebab pemekaran bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 89,87% menganggap dikonstruksi elite, sementara 10,13% menyatakan tidak dikonstruksi melainkan karena musibah ancaman gunung berapi 13,51% menganggap bahwa telah sesuai, tetapi 86,49% menganggap tidak sesuai, karena sejak awal telah dilakukan penolakan oleh warga enam desa 83,1% mengatakan semata-mata alasan emosional dan sejarah, tetapi 16,89 mengatakan bahwa telah dikonstruksi oleh Pemda Halbar utk kepentingan penguasaan SDA Sudah, langkah itu ditempuh Pemda Provinsi Maluku Utara dengan model mempertemukan kedua Pemda, namun tdk menghasilkan sesuatu yang memadai 16,89% mengatakan dikonstruksi oleh pemda Halbar dengan alasan penguasaan SDA, tetapi 83,1% menganggap bhw tidak diintervensi, melainkan secara alamiah 79,73% mengatakan bahwa pelayanan berjalan dengan baik, tetapi 20,27 menganggap bhw tidak berjalan secara baik, karena terjadi ketimpangan dalam pengelolaan wilayah 79,73% mengatakan bahwa pelayanan dilakukan oleh Halbar, namun 13, 51 mengatakan bahwa pelayanan juga dilakukan oleh Pemda Halut, sementara 6,76% mengatakan tidak tahu 100% mengatakan ada, tetapi 39,86 menyarakan agar semua pihak kembali patuh pada aturan perundangundangan dan 60,14% mengatakan kembalikan wilayah enam desa sebagai bagian dari wilayah Jailolo atau dengan solusi alternative menjadi bagian Kota Sofifi 28,38 %mengatakan memiliki kaitan dengan SDA, tetapi 64,86% mengatakan bahwa karena alasan emosional, sejarah dan aspirasi masyarakat. Sementara 6,76% mengatakan bahwa tidak tahu 86,49% mengatakan bahwa konflik terjadi pada dua arah, yakni penolakan warga enam desa ke Kab. Halut serta Konflik perebuatan wilayah kedua Kabupaten. Sementara 13,51 mengatakan bahwa konflik hanya terjadi pada penolakan warga ke kedua Kabupaten (Halbar & Halut) 72,97 % mengatakan penolakan warga enam desa terjadi sejak digabungkannya wilayah ini menjadi bagian dari Kecamatan Malifut, namun 27,02% menganggap bahwa perebutan wilayah ini terjadi sejak terbentuknya Kabupaten Halbar dan Kab. Halut.
122
Lampiran. 2. Strategi penyelesaian konflik wilayah enam desa No 1
Strategi Jajak Pendapat
Peluang Masyarakat dapat menggunakan haknya untuk memilih bergabung dengan kabupaten mana yang diharapkannya, sehingga diketahui pasti keberpihakan masyarakat enam desa ke kedua kabupaten.
2
Menggabungkan enam desa dengan Kota Sofifi
3
Kota Mandiri Terpadu
4
Judical Review
Dari aspek rentang kendali enam desa lebih dekat dengan Kota Sofifi, selain itu mobilitas masyarakat enam desa dalam melakukan interaksi spatial dengan Kota Ternate, lebih banyak melalui pelabuhan Kota Sofifi. Pengendalian pelayanan, baik pemerintahan dan publik dilakukan langsung oleh pemerintah daerah, sehingga konflik wilayah enam desa antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmaharea dapat diakhiri Tuntutan masyarakat enam desa semakin menguat untuk menolak bergabung dengan salah satu kabupaten, serta konflik wilayah enam desa juga sudah menjadi issu krusial
Resiko Identitas wilayah akan bermasalah, sehingga langkah antisipasi yang didorong adalah membangun konsensus bersama antar masyarakat. Konsensus yang dimaksud adalah ketika jumlah masyarakat lebih banyak memilih ke salah satu kabupaten, maka masyarakat yang memilih kabupaten lain harus menerima secara bijak untuk mengikuti jumlah masyarakat yang lebih dominan. Tidak ada jaminan kedua kabupaten yang bersengketa untuk mengakhiri polemik enam desa. Bahkan sangat mungkin wilayah enam desa akan di perebutkan oleh tiga pemerintah daerah Tidak jelas wilayah enam desa berada dalam wilayah administrative kabupaten atau kota mana.
Mengubah beberapa lembaran Negara, terutama PP No.42 tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 1 tahun 2003.
123
Draft Kuesioner A. Identitas Responden Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Status Perkawinan
: ………………………(Menikah/Belum Menikah)
Alamat
:
Desa/
Kec/Kab………………............................ Pendidikan Terakhir
:…………………….. (Tamat/Tidak tamat)
Jumlah anggota Keluarga : ……………………. Orang a. Anak-anak
:…………………….. Orang
b. Dewasa Pekerjaan
:…………………….. Orang :
1. Pegawai Negeri 2. Wiraswasta (bidang) 3. Petani 4. Petambak 5. Nelayan 6. Lainnya……….
B. Pertanyaan Responden :
1. Menurut anda apakah pemekaran dan/atau penggabungan wilayah penting? a. Penting
(jelaskan alasan)
b. Tidak penting
(alasan)
c. Lainnya
(alasan)
2. Menurut anda, apakah penggabungan enam desa kekecamatan malifut adalah konstruksi elite ?
a. Ya (alasannya)
b. Tidak
c. Lainnya…..
124
3. Menurut anda apakah penggabungan wilayah enam desa ke kecamatan malifut yang ditetapkan melalui PP No.42 Tahun 1999 telah sesuai dengan aspirasi masyarakat dan memenuhi syarat penggabungan wilayah? a. Sangat Sesuai b. Cukup Sesuai c. Tidak sesuai d. Lainnya……. 4. Apakah penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara adalah semata-mata karena alasan emosional dan sejarah? a. Ya b. Tidak c. Lainnya….. 5. Apakah sudah ada langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk menyikapi aksi protes yang dilakukan oleh warga enam desa? a. Sudah ada
(jelaskan
apa
modelnya,
bagaimana
hasilnya) b. Tidak ada c. Lainnya…… 6. Menurut anda, apakah aksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa terdapat intervensi (dikonstruksi) oleh elite tertentu? a. Ya, ada
(jelaskan bentuk intervensinya dan apa alasannya)
b. Tidak ada c. Lainnya …… 7. Menurut anda, bagaimana mekanisme pelayanan pemerintahan yang dilakukan terhadap masyarakat di enam desa dengan kondisi perebutan wilayah dan penolakan yang meningkat seperti ini? a. Berjalan dengan baik b. Cukup baik c. Kurang baik d. Lainnya………
125
8. Menurut bapak, apakah pelayanan pemerintahan atas enam desa selama ini dilakukan oleh Kabupaten Halbar? Padahal realitas menunjukkan bahwa wilayah ini masuk Kabupaten Halut? a. Ya b. Tidak c. Lainnya…. 9.
Menurut anda, apakah ada strategi terbaik untuk dapat menyelesaikan persoalan perebutan wilayah antara kedua pemda dan penolakan masyarakat? a. Ada
(Jelaskan apa model dan/atau strateginya)
b. Tidak ada c. Lainnya……. 10. Menurut anda efektifkah model yang digunakan dapat menyelesaikan persoalan tersebut? a. Sangat efektif
( Jelaskan alasannya)
b. Cukup efektif
(jelaskan alasannya)
c. Tidak efektif
(jelaskan alasannya)
d. Lainnya….. 11. Berbagai kalangan menduga bahwa perebutan wilayah enam desa yang terjadi antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara karena adanya sumber daya alam di wilayah tersebut. Bagaimana menurut bapak apakah hal itu benar? a. Sangat benar
d. Tidak Benar
b. Cukup benar
e. Lainnya….
c. Kurang benar 12. Menurut bapak, bagaimana sejarah penolakan dan konflik perebutan wilayah ini pertama kali terjadi? apakah sejak dilakukannya penggabungan wilayah enam desa? a. Ya b. Tidak
(Jelaskan sejarahnya) c. lainnya.