ANALISIS INTEGRASI PASAR KARET ALAM ANTARA PASAR FISIK DI INDONESIA DENGAN PASAR BERJANGKA DUNIA
WANTI FITRIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: ANALISIS INTEGRASI PASAR KARET ALAM ANTARA PASAR FISIK DI INDONESIA DENGAN PASAR BERJANGKA DUNIA merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2009
Wanti Fitrianti NRP. H353070151
ABSTRACT
WANTI FITRIANTI. The Analysis of Market Integration of Natural Rubber between Indonesian Spot Market and World Future Market (DEDI BUDIMAN HAKIM as a Chairman and NUNUNG NURYARTONO as a Member of the Advisory Committee). The price fluctuation was a major problem of natural rubber in the world market.It’s impact to Indonesian as a second producer and exporter of natural rubber. Future market is an effective risk management strategy available to minimize the effect of price fluctuation. But, until now the mechanism of natural rubber trade in Indonesia still on the spot market in determining prices with the tendency refers to the world future market price. Thus, relationship both market indicating the occurs market integration. The objectives of research are: (1) to analyze price integration and cointegration of natural rubber in Indonesian spot market and world future market, and (2) to analyze the sensitivity response and price variability of natural rubber in spot dan future market under particular shock. The analysis method use the Granger Causality, Impulse Response Function and Variance Decomposition based on the Vector Error Correction Model. The result of the research showed that the natural rubber market is intregrate and in the long run, cointegrate between Indonesian spot market and world future market was significant. The overall, respons magnitude is relatively small or less powerful in affecting the price form. In addition, SICOM and TOCOM can explain all the variability of natural rubber price in every market significantly. Keywords: natural rubber, spot market, future market
RINGKASAN
WANTI FITRIANTI. Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Indonesia merupakan negara produsen sekaligus pengekspor karet nomor dua terbesar di dunia. Karet alam sebagai komoditi strategis yang berorientasi pada pasar ekspor menjadikan harga karet alam Indonesia dipengaruhi dan ditentukan oleh perkembangan harga di luar negeri. Untuk itulah Indonesia memiliki kepentingan besar atas setiap perubahan harga karet. Pada kenyataannya, sampai sekarang mekanisme perdagangan karet alam Indonesia masih bertumpu pada perdagangan di pasar fisik dengan mekanisme penetapan harga karet alam kecenderungan mengacu pada harga karet yang terbentuk di bursa berjangka karet dunia untuk dijadikan bahan dasar pertimbangan dalam negosiasi harga karet, sehingga jika dilihat secara umum pergerakan harga karet alam domestik serarah dengan perkembangan harga karet di pasar berjangka dunia. Pergerakan harga tersebut mengindikasikan terjadinya integrasi namun tidak diketahui hubungan kointegrasi harga antara pasar fisik karet alam di Indonesia dengan pasar berjangka karet dunia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis hubungan integrasi dan kointegrasi harga karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia, (2) menganalisis respon sensitivitas harga karet alam di pasar fisik dan pasar berjangka dunia jika terjadi guncangan (shock) harga dari masing-masing pasar, dan (3) menganalisis kontribusi guncangan (shock) masingmasing pasar dalam menjelaskan variabilitas pembentukan harga karet alam baik di pasar fisik Indonesia maupun pasar berjangka dunia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data harian dari tahun 2000 sampai 2009. Untuk variabel harga karet alam jenis dikumpulkan berdasarkan nilai mata uang masing-masing,dimana Belawan (Rp/kg), SICOM (SGD/kg), CJCE dan TOCOM (Yen/kg), AFET (Baht/kg) dan SHFE(Yuan/kg). Selain variabel harga, juga dimasukkan variabel harga minyak mentah (USD/barrel) serta variabel nilai tukar masing-masing yaitu Rupiah, Dollar Singapura, Yen, Baht dan Yuan. Data deret waktu umumnya bersifat tidak stasioner sehingga alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan dengan model Vector Error Correction Model (VECM) karena adanya hubungan kointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar karet alam di pasar fisik Indonesia (Belawan) dengan pasar berjangka dunia (SICOM,CJCE, TOCOM, AFET dan SHFE), (2) secara keseluruhan magnitude dari respon yang diberikan relatif kecil terhadap guncangan harga karet alam baik di pasar fisik maupun bursa-bursa berjangka sehingga kurang kuat dalam mempengaruhi harga yang terbentuk, dan (3) bursa SICOM dan TOCOM menjadi sumber guncangan terbesar dalam menjelaskan variabilitas harga di pasar fisik dan bursa berjangka lainnya. Implikasi hasil penelitian ini antara lain: perlu menyiapkan perangkat dan lembaga-lembaga yang dapat mendukung untuk didirikannya bursa berjangka
untuk karet di Indonesia sehingga dapat meningkatkan bargaining power pelaku usaha karet di Indonesia terutama petani dan value added bagi Indonesia. Saran penelitian lanjutan ini: (1) untuk memperkuat gambaran integrasi spasial pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia sebaiknya dilakukan juga berdasarkan aliran barang, biaya transaksi perdagangan dan volume transaksi perdagangan, (2) untuk memberikan gambaran yang lebih representatif dalam menjelaskan hubungan integrasi spasial pasar karet alam perlu juga dilakukan kajian analisis integrasi pasar fisik negara produsen utama lainnya seperti Thailand dan Malaysia dalam hubungan integrasi dengan pasar berjangka, dan (3) kajian pasar fisik Indonesia dalam penelitian ini hanya berdasarkan harga FOB pasar Belawan, sebaiknya diperlukan juga hargaharga daerah penghasil karet lainnya seperti Palembang, Jambi dan Kalimantan Barat. Kata kunci: karet alam, pasar fisik, pasar berjangka
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS INTEGRASI PASAR KARET ALAM ANTARA PASAR FISIK DI INDONESIA DENGAN PASAR BERJANGKA DUNIA
WANTI FITRIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Tesis
: Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia
Nama Mahasiswa
: Wanti Fitrianti
Nomor Pokok
: H353070151
Mayor
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 19 Juli 2009
Tanggal Lulus: 4 September 2009
Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Prof. Dr. Ir. Kuntjoro (Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia”. Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian, berupa petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung hingga tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong. MS selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Penguji mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. 3. Teman-teman EPN angkatan 2007 (Mba Wiwiek, Mba Dian, Mas Roni, Mba Desi, Fitri, Mba Asri, Pak Zul, Mas Ferry, Pak Adi, Pak Narta dan Pak Suryadi) untuk kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan proses penulisan tesis ini.
4. Seluruh staf Mayor EPN (Mba Ruby, Mba Yani, Mba Aam, Ibu Kokom dan Pak Husen) yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi. 5. Teristimewa untuk kedua orang tuaku Ayahanda Drs. H. Supriadi, MAg dan Ibunda Dra. Hj. Hasanah, MAg, adik-adikku tercinta (Yeni Hurriyani, SPi, Muhammad Ikhwan, SH dan Muhammad Irfan), Mas Ambar Kurniawan, SP serta seluruh keluarga besar untuk semua dukungan dan doanya. 6. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB. Tesis ini penulis yakini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, September 2009
Wanti Fitrianti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 1 Juli 1985 dari Ayah Drs. H. Supriadi, MAg dan Ibu Dra. Hj. Hasanah, M.Ag. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 7 Pontianak dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura. Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2007. Penulis kemudian melanjutkan Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......…………………………………….........
xv
DAFTAR GAMBAR...................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................
xix
I. PENDAHULUAN…………………………………………......
1
1.1. Latar Belakang………………………………………..........
1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………..........
7
1.3. Tujuan Penelitian...................………………………...........
13
1.4. Ruang Lingkup Penelitian…………....................................
14
1.5. Keterbatasan Penelitian........................................................
14
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................
15
2.1. Tinjauan Teoritis...................................................................
15
2.1.1. Integrasi Pasar............................................................
15
2.1.2. Bursa Berjangka........................................................
25
2.1.3. Hubungan Harga Fisik dengan Harga Berjangka...................................................................
30
2.1.4. Metode Analisis Integrasi Pasar................................
34
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu...............................................
38
2.2.1. Studi Mengenai Integrasi Pasar Komoditas...............
38
2.2.2. Studi Mengenai Karet Alam......................................
41
2.2.3. Studi Mengenai Pasar Berjangka Komoditas............
45
2.2.4. Arah Pengembangan Studi Terdahulu dalam Penelitian........................................................
48
III. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................
49
3.1. Kerangka Pemikiran.............................................................
49
3.2. Konsep Model Analisis Integrasi Pasar................................
53
3.2.1. Stasioneritas Data.......................................................
56
3.2.2. Penentuan Lag Optimal..............................................
59
3.2.3. Uji Kointegrasi...........................................................
59
3.2.4. Uji Granger Causality................................................
64
3.2.5. Impulse Response Function........................................
65
3.2.6. Variance Decomposition.............................................
65
IV. METODE PENELITIAN............................................................
66
4.1. Jenis dan Sumber Data........................................................
66
4.2. Model Analisis.....................................................................
67
4.2.1. Uji Stasioneritas Data...............................................
68
4.2.2. Penentuan Lag Optimal.............................................
70
4.2.3. Stabilitas Model.........................................................
70
4.2.4. Uji Kointegrasi...........................................................
71
4.2.5. Estimasi Vector Error Correction Model..................
73
4.2.6. Uji Granger Causality...............................................
75
4.2.7. Impulse Response Function.......................................
76
4.2.8. Variance Decomposition............................................
76
V. GAMBARAN EKONOMI KARET ALAM...............................
78
5.1. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia........................
78
5.2. Pasar Karet Alam dan Karet Sintesis Dunia........................
81
5.3. Persetujuan Dalam Perdagangan Karet Alam Internasional..........................................................................
87
5.4. Perkembangan Ekonomi Karet Alam Indonesia.................
92
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................
103
6.1. Analisis Integrasi Spasial Karet TSR20 dan RSS3..............
104
6.1.1. Uji Stasioneritas..........................................................
105
6.1.2. Penentuan Lag Optimal..............................................
110
6.1.3. Pengujian Stabilitas VAR...........................................
112
6.1.4. Analisis Kointegrasi...................................................
113
6.1.5. Estimasi Vector Error Correction Model...................
115
xiii
VII.
6.1.6. Uji Granger Causality................................................
134
6.1.7. Impulse Response Function........................................
137
6.1.8. Variance Decomposition............................................
155
6.2. Implikasi Integrasi Spasial Karet TSR20 dan RSS3............
172
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................
183
7.1. Kesimpulan...........................................................................
183
7.2. Implikasi Kebijakan..............................................................
185
7.3. Saran Penelitian Lanjutan.....................................................
186
DAFTAR PUSTAKA..................................................................
187
LAMPIRAN..................................................................................
192
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor
1. Variabel Penelitian, Simbol Satuan, Waktu dan Sumber Data 2. Perkembangan Produksi Karet Alam Berdasarkan Produsen Utama DuniaTahun 1990-2007................................................. 3. Perkembangan Konsumsi Karet Alam Berdasarkan Negara Konsumen Tahun 1990-2007.................................................... 4. Luas Areal dan Produksi Karet di Indonesia Tahun 19672007........................................................................................... 5. Produksi dan Luasan Karet di Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2006................................................................. 6. Konsumsi Karet Dalam Negeri Tahun 2006-2010.................... 7. Ekspor Karet Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 20022007........................................................................................... 8. Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Tipe Produk....................................................................................... 9. Impor Karet Indonesia dari Negara Tujuan 2001-2005............ 10. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep Tanpa Tren untuk Jenis Karet TSR20..................................................................... 11. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dan Tren untuk Jenis Karet TSR20..................................................................... 12. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep Tanpa Tren untuk Jenis Karet RSS3....................................................................... 13. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dan Tren untuk Jenis Karet RSS3.......................................................................
Halaman
67
79
80
93
95 96
97
99 102
106
107
108
109
14. Kriteria Lag Optimal Karet TSR20..........................................
111
15. Kriteria Lag Optimal Karet RSS3.............................................
112
16. Uji Kointegrasi Johansen Jenis Karet TSR20...........................
114
17. Uji Kointegrasi Johansen Jenis Karet RSS3............................
115
18. Kointegrasi Jangka Panjang Jenis Karet TSR20.......................
117
19. Kointegrasi Jangka Pendek Jenis Karet TSR20........................
119
20. Kointegrasi Jangka Panjang Jenis Karet RSS3.........................
126
21. Kointegrasi Jangka Pendek Jenis Karet RSS3..........................
127
22. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 SICOM............
158
23. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 CJCE................
160
24. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 Pasar Belawan
162
25. Variance Decomposition Harga Karet RSS3 TOCOM.............
164
26. Variance Decomposition Harga Karet RSS3 AFET.................
166
27. Variance Decomposition Hargat Karet RSS3 SHFE................
169
28. Variance Decomposition Harga Karet RSS1 Belawan.............
171
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
2.
3.
Halaman Perkembangan Harga Karet Alam di Pasar Internasional Tahun 1994-2008.....................................................................
4
Pergerakan Harga Karet TSR20 di INDONESIA, SICOM dan CJCE..................................................................................
11
Pergerakan Harga Karet RSS3 di INDONESIA, TOCOM, AFET dan SHFE......................................................................
11
4.
Model Keseimbangan Integrasi Spasial Dua Pasar..................
5.
Hubungan Pasar Konvensional dan Bursa Berjangka..............
6.
Kerangka Pemikiran Penelitian................................................
7.
Pangsa Konsumsi Karet Alam dan Karet Sintesis..................
8.
Harga Karet Sintesis Jenis SBR dan Harga Karet Alam Jenis TSR20......................................................................................
22 27 53 85 86
9.
Jalur Tata Niaga Ekspor Karet.................................................
10.
Respon Harga Karet Alam Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa SICOM...........................................................................
139
Respon Harga Karet Alam di Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa CJCE..............................................................................
141
Respon Harga Karet Alam di Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Pasar Belawan..........................................................................
143
Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa TOCOM....................................................
147
Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa AFET..........................................................
149
11.
12
13.
14.
101
15.
16.
Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa SHFE......................................................... Respon Harga Karet Alam Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Pasar Belawan.....................................................
xviii
151
153
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Uji Stabilitas Lag Optimal Karet TSR20..........................
193
2. Hasil Uji Stabilitas Lag Optimal Karet RSS3............................
194
3. Hasil Uji Kointegrasi Karet TSR20...........................................
195
4. Hasil Uji Kointegrasi Karet RSS3.............................................
198
5. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model Karet TSR20...
202
6. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model Karet RSS3....
206
7. Hasil Uji Granger Causality…..................................................
209
8. Hasil Analisis Impulse Respone Karet TSR20...........................
218
9. Hasil Analisis Impulse Respon Karet RSS3...............................
221
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Komoditas karet alam
memiliki berbagai macam kegunaan
terutama sebagai bahan baku berbagai produk industri. Industri otomotif khususnya sektor industri pembuatan ban merupakan produk yang berbahan baku karet alam paling tinggi yakni berkisar 75 persen dan sisanya untuk produksi produk lainnya seperti benang karet, bahan jadi karet untuk industri otomotif, industri alas kaki, industri mobil, industri pesawat, kebutuhan kesehatan, properti/bangunan dan farmasi. Pada dasarnya, industri karet terbagi atas dua jenis yakni karet alam dan karet sintesis. Walaupun karet alam jumlah produksi dan konsumsinya di bawah karet sintetis, tetapi sesungguhnya karet alam belum dapat digantikan oleh karet sintetis. Keunggulan yang dimiliki karet alam sulit ditandingi oleh karet sintetis sehingga beberapa industri seperti ban radial tetap memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasokan karet alam. Bahkan, prospek perkaretan dunia diperkirakan akan
semakin cerah dengan semakin kuatnya kesadaran akan
lingkungan yang lebih sehat dan beberapa pabrik ban terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban “green tyres” yang kandungan karet alamnya lebih banyak (semula 30-40 persen menjadi 60-80 persen). Selain itu pula jumlah perusahaan industri polimer yang menggunakan bahan baku karet alam diperkirakan juga akan meningkat (Ditjenbun, 2008).
2
Makin pentingnya peranan karet alam dalam kebutuhan hidup manusia sehari-hari memicu perkembangan ekonomi karet alam dunia baik dari sisi produksi maupun konsumsi yang cenderung terus mengalami peningkatan. Produksi karet alam dunia dalam kurun waktu tahun 1995-2007 menunjukkan peningkatan sebesar 62 persen dari 6 040 ribu ton menjadi 9 782 ribu ton (IRSG, 2008). Peningkatan ini didorong oleh produksi karet Thailand, India dan Vietnam yang mengalami pertumbuhan produksi yang relatif tinggi, sedangkan Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif. Di pihak lain, Malaysia mengalami penurunan produksi yang disebabkan beberapa faktor antara lain semakin mahalnya upah tenaga kerja dan semakin meningkatnya persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain terutama kelapa sawit. Konsumsi agregat karet alam dunia meningkat hampir 64 persen selama periode tahun 1995-2007. Pada tahun 2007 tercatat konsumsi karet alam sekitar 9 833 ribu ton yang berarti lebih besar dari tingkat produksi pada tahun yang sama sebesar 9 782 ribu ton (IRSG, 2008). Konsumsi karet alam dunia yang meningkat terjadi karena didorong oleh perkembangan industri-industri barang jadi karet dunia. Peningkatan kebutuhan karet alam ini juga diperkuat oleh laju pertumbuhan konsumsi yang cukup signifikan seperti di RRC, India dan Malaysia yang disebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kawasan tersebut serta adanya relokasi industri barang jadi karet dari negara barat ke negara produsen karet alam. Bahkan menurut perkiraan International Rubber Study Group, proyeksi pada tahun 2020 permintaan dunia akan mencapai 10.9 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar 9 persen, sehingga akan terjadi
3
kekurangan pasokan karet bila produksi karet tidak mengalami pertumbuhan yang tinggi (diatas 9 persen). Walupun terjadi excess demand namun kenyataannya harga riil karet alam cenderung berfluktuasi pada kisaran harga yang menurun. Hal ini terkait dengan proses pembentukan harga karet alam yang merupakan hasil akumulasi dari faktor fundamendal dan faktor teknis antara lain lebih dipengaruhi oleh hasil interaksi kekuatan pasar (permintaan dan penawaran), cadangan (stock) karet alam, cuaca, pergerakan nilai tukar, rasio harga karet sintetis dan karet alam, aktivitas pasar berjangka, intervensi pasar serta perkembangan ekonomi negara konsumen (Khin et al. 2008). Melihat perkembangan harga karet alam dari tahun 1994-2008 memang menunjukkan tingkat fluktuasi harga yang cukup tinggi (Gambar 1). Puncak kenaikan harga karet alam terjadi pada awal tahun 1995 dan pertengahan tahun 2008 sedangkan penurunan harga karet alam mulai terjadi pada pertengahan tahun 1995 sampai awal tahun 2002. Penurunan harga yang terjadi pada awal tahun 1998 disebabkan krisis moneter yang dialami sebagian negara di kawasan Asia Tenggara, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen utama karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia) terdepresiasi dengan nilai mata uang US Dollar (USD). Hal ini berimplikasi meningkatnya permintaan karet alam dari negara konsumen karena harga karet dinilai lebih murah oleh negara konsumen, sedangkan dari sisi produsen secara tidak langsung kondisi ini membuat harga nominal karet alam yang diterima juga mengalami peningkatan. Faktor inilah yang memacu peningkatan produksi karet negara produsen.
Sumber: Gapkindo, 2008. Gambar 1. Perkembangan Harga Karet Alam di Pasar Internasional Periode Tahun 1994-2008
4
Namun demikian, karena peningkatan produksi pada negara produsen menyebabkan ekspor dari negara-negara produsen melebihi penyerapan konsumsi karet alam dunia hingga pada akhirnya mengakibatkan harga kembali turun. Harga terendah terjadi pada akhir tahun 2001 yakni mencapai 45.50 USC/kg dan perkembangan positif harga karet alam mulai terjadi kembali pada pertengahan tahun 2002. Bahkan, pertengahan tahun 2008 harga mencapai puncak tertinggi sepanjang sejarah harga karet alam yakni 329.75 USC/kg. Peningkatan harga yang terjadi pada karet alam ini lebih dikarenakan kenaikan harga minyak mentah dunia yang juga merupakan bahan baku pembuatan karet sintesis. Karet sintesis merupakan komoditas komplementer dan juga sebagai subsitusi karet alam sehingga ketika harga karet sintesis naik secara tidak langsung ikut mendorong peningkatan harga karet alam di pasar internasional. Kemudian pada akhir tahun 2008 harga karet kembali turun yang diakibatkan terjadinya krisis ekonomi global yang menyebabkan melemahnya industri otomotif sebagai basis utama industri karet alam. Hingga dampaknya secara nyata mengakibatkan permintaan karet alam dunia melemah dan menimbulkan trend harga yang cenderung menurun di pasar internasional pada kisaran harga 172.50 USC/kg pada bulan Oktober bahkan pada Desember 2008 harga karet alam hanya 112 USC/kg. Indonesia merupakan negara produsen sekaligus pengekspor karet nomor dua terbesar di dunia dengan luas areal tanaman perkebunan mencapai 3.4 juta ha pada tahun 2007. Hampir 86-88 persen produksi karet tersebut diperuntukkan untuk ekspor hingga menjadikan Indonesia menguasai 35 persen dari total pangsa
4
ekspor karet alam dunia. Akan tetapi pengembangan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencapai 85 persen dan menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa, sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik negara maupun perkebunan besar milik swasta. Hal inilah yang menjadikan pasokan karet alam Indonesia riskan terhadap jaminan mutu produk dan kontinuitas produksi. Karet alam sebagai komoditi strategis yang berorientasi pada pasar ekspor menjadikan harga karet alam Indonesia dipengaruhi dan ditentukan oleh perkembangan harga di luar negeri. Untuk itulah Indonesia memiliki kepentingan besar atas setiap perubahan harga karet alam. Ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan juga memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditas karet alam, padahal dalam persaingan komoditi yang sama di pasar internasional, Indonesia harus berkompetisi dengan sesama negara produsen karet alam yang memiliki keunggulan komparatif sama. Rendahnya harga karet saat ini dan cenderung berfluktuasi merupakan tantangan industri karet Indonesia. Apalagi kekuatan Indonesia dalam penetapan harga karet masih sangat lemah karena harga tidak hanya ditentukan oleh harga di tingkat industri berbahan dasar karet alam tetapi juga oleh konsumen akhir produk berbahan dasar karet alam. Hal ini dikarenakan ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor Indonesia masih terbatas dan umumnya masih didominasi produk primer (raw material) dan produk setengah jadi yakni sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk Ribbed Smoked Sheets (RSS).
4
Oleh karena itu salah satu untuk upaya untuk mengurangi risiko harga yakni melalui pasar berjangka komoditi. Namun, sampai saat ini perdagangan karet alam Indonesia masih bertumpu pada kegiatan di pasar fisik dengan keharusan untuk menyerahkan atau menerima secara fisik pada saat jatuh tempo dan belum menyentuh perdagangan dengan penyerahan berjangka secara resmi. Tidak berkembangnya pasar berjangka karet di Indonesia disinyalir terkait dengan keragaan sektor hulu industri karet yang didominasi oleh perkebunan rakyat dimana sangat riskan dalam jaminan mutu dan kontinuitas jumlah pasokan. Sedangkan untuk parameter perkembangan harga karet di dalam negeri mengacu pada
bursa komoditas karet di luar negeri, seperti Singapore Commodity
Exchange (SICOM), Tokyo Commodity Exchange (TOCOM),
Agricultural
Future Trading of Thailand (AFET) dan Shanghai Future Exchange (SHFE). Maka dari itu seiring berkembangnya pasar komoditas berjangka karet yang secara tidak langsung sangat mempengaruhi pasar fisik karet di Indonesia karena harga di pasar berjangka dapat digunakan sebagai dasar pergerakan dan sinyal harga karet di pasar fisik dimasa depan. Dengan demikian sangatlah penting untuk mengkaji lebih jauh mengenai pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet di dunia.
1.2. Perumusan Masalah Kondisi pasar karet alam dunia menunjukkan adanya fluktuasi dalam jumlah produksi (penawaran) dan konsumsi (permintaan) yang mengakibatkan harga karet alam cenderung berfluktuasi. Indonesia merupakan produsen karet nomor dua terbesar di dunia setelah Thailand. Namun ketidakmampuan industri
4
dalam negeri menyerap produk karet yakni baru sekitar 10-15 persen dari total produksi karet nasional menyebabkan hampir 86-88 persen produksi karet tersebut diperuntukkan untuk ekspor (Departemen Pertanian, 2007). Peran strategis karet alam dalam perekonomian menjadikan Indonesia memiliki kepentingan besar atas setiap perubahan harga karet alam. Apalagi kondisi umum sebagian besar usaha perkebunan karet yang masih berada pada industri hulu dirasakan kurang menguntungkan bagi pelaku usaha karet khususnya petani, karena harga komoditas primer cenderung fluktuatif dan rendah bila dibandingkan dengan produk industri hilir. Peningkatan fluktuasi harga komoditi karet tentunya akan dapat menyebabkan peningkatan resiko harga baik saat penurunan maupun peningkatan harga yang dapat berdampak pada menurunnya daya saing dan akhirnya menimbulkan pesimisme ekspor karena sebagai andalan ekspor dalam bentuk komoditi primer dalam realitasnya selalu menghadapi tren sirkuler harga yang cenderung menurun. Penerapan perdagangan berjangka komoditas memberikan manfaat untuk meminimumkan resiko fluktuasi harga serta pembentukkan harga juga dapat dilakukan secara efisien karena adanya transparansi harga sehingga membuat produsen dan konsumen diuntungkan dan dilindungi dari tindakan yang merugikan. Pada kenyataannya sampai sekarang mekanisme perdagangan karet alam Indonesia masih bertumpu pada perdagangan di pasar fisik dengan mekanisme penetapan harga karet alam Indonesia dengan kecenderungan mengacu pada harga karet yang terbentuk di Singapore Commodity Exchange (SICOM) dan Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) untuk dijadikan bahan dasar pertimbangan dalam negosiasi harga karet.
4
Pada dasarnya harga di pasar fisik memiliki keterkaitan dengan harga di pasar berjangka. Penetapan harga di pasar berjangka menggunakan harga fisik untuk memprediksikan harga kontrak setelah kemudian terbentuk maka harga kontrak berjangka akan menjadi acuan bagi harga di pasar berjangka, sementara harga di pasar berjangka (harga future) merupakan harga fisik di masa mendatang. Harga yang terjadi di pasar berjangka mencerminkan konsensus antara sejumlah besar pembeli dan penjual yang memiliki kesempatan sama untuk melakukan penjualan/pembelian di pasar. Harga itu tidak hanya mencerminkan keadaan pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari komoditi yang bersangkutan, tetapi
juga mencerminkan perkiraan pasokan/permintaan untuk
masa yang akan datang. Harga di pasar berjangka akan selalu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan informasi pasar yang terjadi. Hal itu penting bagi perencanaan produksi, processing, dan pemasaran komoditi sehingga mengurangi biaya operasional dan akhirnya memberi manfaat bagi ekonomi. Dengan demikian adanya pasar berjangka dapat membantu terintegrasinya pasar-pasar lokal ke dalam pasar nasional bahkan internasional. Implikasi lebih lanjut dari proses integrasi harga adalah pergerakan harga di satu pasar akan dikuti oleh pasar lainnya. Sebagaimana terlihat pada gambaran perkembangan harga karet alam di pasar berjangka karet dunia yang tampaknya diikuti oleh pola perkembangan harga karet di pasar fisik Indonesia. Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga karet alam baik untuk jenis karet TSR20 dan RSS3 di pasar domestik (dalam negeri) dan pada pasar berjangka relatif memiliki pergerakan harga yanga sama. Harga karet
4
alam yang berfluktuasi di pasar berjangka karet dunia membuat ikut berfluktuasinya harga karet alam di dalam negeri. Pola pergerakan harga tersebut dapat mengindikasikan kondisi pasar karet alam Indonesia terintegrasi secara spasial dengan pasar acuan (dalam hal ini adalah pasar berjangka dunia). Oleh karena itu untuk mengetahui kondisi pasar karet alam Indonesia dan pasar berjangka dunia dilakukan analisis integrasi pasar. Jika dilihat secara umum pergerakan harga karet alam domestik serarah dengan perkembangan harga karet di pasar berjangka dunia. Pergerakan harga karet di pasar berjangka dunia ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan wholesale price) melalui mekanisme pasar. Pergerakan harga tersebut mengindikasikan terjadinya integrasi namun tidak diketahui hubungan kointegrasi harga antara pasar fisik karet alam di Indonesia dengan pasar berjangka karet dunia. Oleh karena itu, perlu dianalisis hubungan kointegrasi harga pasar karet alam di Indonesia dan pasar berjangka dunia. Pola hubungan spasial antara dua pasar dapat bersifat hierarkis dan dapat pula bersifat simetris. Pola hubungan hierarkis ditunjukkan oleh adanya pasar sentral (pemimpin) dan pasar cabang (pengikut). Tingkat harga pasar cabang (pengikut) ditentukan searah oleh harga di pasar sentral (pemimpin), sedangkan harga di pasar sentral (pemimpin) tidak dapat dipengaruhi oleh harga di pasar cabang (pengikut). Pola hubungan simetris dicirikan oleh kesetaraan kekuatan, tidak ada pasar sentral (pemimpin) dan pasar cabang (pengikut). Harga di kedua pasar saling pengaruh mempengaruhi (Ravallion, 1986). Oleh karena itu, kekuatan atau ukuran relatif hubungan antarpasar spasial sangat menentukan terhadap proses pembentukan harga di masing-masing pasar.
4
3500
3000
USD/TON
2500
2000
1500
1000
500
SICOM
CJCE
Okt‐08
Jul‐08
Apr‐08
Jan‐08
Okt‐07
Jul‐07
Apr‐07
Jan‐07
Okt‐06
Jul‐06
Apr‐06
Jan‐06
Okt‐05
Jul‐05
Jan‐05
Apr‐05
0
INDONESIA
Sumber: IRSG, 2008. Gambar 2. Pergerakan Harga Karet Alam TSR20 di INDONESIA, SICOM dan CJCE 4,50
4,00
3,50
USD/TON
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
INDONESIA
TOCOM
AFET
Jan‐09
Nop‐08
Jul‐08
Sep‐08
Mei‐08
Jan‐08
Mar‐08
Nop‐07
Sep‐07
Jul‐07
Mei‐07
Mar‐07
Jan‐07
Nop‐06
Sep‐06
Jul‐06
Mei‐06
Jan‐06
Mar‐06
Nop‐05
Sep‐05
Jul‐05
Mei‐05
Mar‐05
Jan‐05
‐
SHFE
Sumber: IRSG, 2009. Gambar 3. Pergerakan Harga Karet Alam RSS3 di INDONESIA, TOCOM, AFET dan SHFE
4
Pasar karet juga banyak mengalami guncangan terutama oleh adanya krisis energi. Krisis energi yang menyebabkan resesi ekonomi terutama di negaranegara industri antara lain menyebabkan semakin menurunnya permintaan mobil. Sedangkan lebih dari 70 persen dari seluruh produksi karet dunia digunakan oleh industri otomotif. Apalagi industri karet sintesis yang merupakan produk subsitusi dan juga sebagai komplementer karet alam sebagian besar menggunakan minyak bumi, sehingga mudah mengalami guncangan sebagai akibat kenaikan harga minyak bumi. Hal inilah yang menjadikan pemicu harga karet di pasaran dunia secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh keadaan pasar minyak dan gas bumi karena menyebabkan permintaan pasaran karet alam mengalami penurunan. Perubahan nilai tukar akan sangat mempengaruhi harga karet alam baik di pasar Indonesia dan pasar berjangka dunia. Setiap perubahan nilai tukar akan mempengaruhi harga di negara pembeli jika tanpa perubahan harga di negara produsen serta berdampak pada permintaan spekulatif pada pasar berjangka karet. Untuk itu sangat penting mengetahui pengaruh perubahan nilai tukar dan harga minyak bumi terhadap keseimbangan harga karet alam di pasar fisik Indonesia dengan pasar berjangka karet dunia. Dengan demikian, pengukuran integrasi pasar karet alam di Indonesia dan pasar berjangka Internasional penting dilakukan karena hubungan spasial diantara keduanya sangat menentukan terhadap proses pembentukan harga di masingmasing pasar dan dapat memberikan gambaran mengenai dampak perkembangan harga yang diterima di pasar fisik Indonesia. Karena apabila pasar karet alam Indonesia tidak terintegrasi dengan pasar berjangka dunia, maka perkembangan
4
harga di pasar berjangka (kenaikan/penurunan) belum tentu berdampak nyata terhadap harga karet alam di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini secara spesifik sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah hubungan integrasi dan kointegrasi harga karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia.
2.
Bagaimanakah respon sensitivitas harga karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia jika terjadi guncangan (shock) harga dari masingmasing pasar.
3.
Bagaimanakah kontribusi guncangan (shock) masing-masing pasar dalam menjelaskan variabilitas pembentukan harga karet alam di pasar fisik Indonesia maupun pasar berjangka dunia.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis hubungan integrasi dan kointegrasi harga karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia.
2.
Menganalisis respon sensitivitas harga karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia jika terjadi guncangan (shock) harga dari masingmasing pasar.
3.
Menganalisis kontribusi guncangan (shock) masing-masing pasar dalam menjelaskan variabilitas pembentukan harga karet alam di pasar fisik Indonesia maupun pasar berjangka dunia.
4
1.4.Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini secara umum mengkaji keberadaan integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia. Adapun secara khusus ruang lingkup penelitian ini meliputi: (1) pasar fisik karet alam di Indonesia adalah Belawan (Medan) untuk jenis karet TSR20 dan RSS, dan (2) pasar berjangka dunia meliputi Singapore Commodity Exchange (SICOM), Central Japan Commodity Exchange (CJCE) untuk karet TSR20 dan Tokyo Commodity Exchange (TOCOM), Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) dan Shanghai Future Exchange (SHFE) untuk karet RSS3.
1.5.Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan studi ini diantaranya adalah: (1) integrasi pasar karet alam di pasar fisik dan pasar berjangka hanya ditinjau melalui hubungan harga dengan menganggap biaya transportasi konstan antar waktu, (2) harga pasar fisik di Indonesia hanya mencakup harga FOB pelabuhan Belawan (Medan) hal ini dilakukan karena wilayah tersebut merupakan sentra produksi sekaligus pelabuhan terbesar karet untuk jenis TSR20 dan RSS, (3) karena keterbatasan data harga yang digunakan dalam penelitian ini untuk jenis karet alam TSR20 dari November 2000-Maret 2009 sedangkan untuk jenis karet alam RSS3 menggunakan data dari Juni 2004-Maret 2009, dan (4) harga karet alam jenis RSS untuk Belawan dalam penelitian ini menggunakan jenis RSS1 dikarenakan keterbatasan data jenis karet RSS3 untuk pasar Indonesia, namun dengan sifat jenis karet RSS1 yang memiliki spesifikasi hampir sama dengan jenis karet RSS3 sehingga dianggap relevan digunakan dalam penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Integrasi Pasar Integrasi pasar merupakan keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. Muwanga dan Snyder (1997) dalam Adiyoga (2006) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pasar. Pasar akan berjalan secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan indikator efisiensi sistem pemasaran (Heytens 1986 dalam Adiyoga 2006). Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang
16
ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda. Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (1996) yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin dan Nurdiyani (2007) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor: 1. Segmentansi pasar Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan. 2. Integrasi jangka Pendek Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang.
17
Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan (trability/tradabilitas). Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditrasmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005). Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang berhubungan dengan perdagangan (Sexton, Kling dan Carman dalam Bernal 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya biayabiaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Spiller dan Huang dalam Bernal, 2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya. Kajian tentang integrasi pasar penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran pada pasar. Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi
18
oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan apabila arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran diatasnya, sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga. Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu: 1.
Integrasi Pasar Spasial Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara
pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga, dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Prilaku harga spasial dalam pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance. Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien. Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (The Law of One Price/LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2001 dalam Hutabarat 2006). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua hargaharga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan.
19
Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas. Prinsip-prinsip yang mendasari perbedaan harga diantara daerah menurut Tomek dan Robinson (1972) (dengan asumsi sebuah struktur pasar kompetitif termasuk komoditi yang homogen, informasi sempurna dan tidak ada rintangan yang mengganggu perdagangan) dapat diringkas sebagai berikut: a)
Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang melakukan perdagangan satu sama lain akan sama dengan biaya transfer yang dikeluarkan. Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain akan menjadi kurang dari atau sama dengan biaya transfer.
b) Perbedaan harga antara daerah tidak dapat melebihi dari biaya transfer. Alasan untuk hal ini sudah jelas karena jika pada saat perbedaan harga lebih besar daripada biaya transfer, para pembeli akan membeli komoditi dari pasar dengan harga yang rendah dan mengirimkannya ke pasar yang harganya lebih tinggi, pada akhirnya pergerakan harga barang dari pasar dengan harga yang lebih rendah ke yang lebih tinggi akan membawa pada kondisi keseimbangan baru. Dengan kata lain pola pembelian ini akan terus menerus berlangsung sampai tidak menguntungkan lagi untuk melakukan pengiriman komoditi antar pasar, karena itu perbedaan harga antar daerah tidak lagi melebihi biaya transfer (Tomek dan Robinson, 1972).
20
Untuk perdagangan internasional, dua pasar dengan terintegrasi spasial dapat terjadi jika harga untuk suatu komoditas yang secara terus-menerus diperdagangakan antar dua negara (ketika penyesuaian kelayakan untuk nilai tukar dan biaya-biaya transaksi) adalah sama seperti Dalil Harga Tunggal. Analisa empiris hubungan harga di pasar internasional telah banyak dikembangkan, tapi hasilnya beragam sehingga tidak mendapatkan dukungan yang kuat tentang Dalil Harga Tunggal (Officer et al. dalam Bernal, 2003). Hubungan harga secara geografis dapat dianalisa dengan menggunakan model
keseimbangan
spasial
(Spatial
Equilibrium
Model).
Model
ini
memungkinkan untuk mengestimasi net harga yang berlaku di tiap daerah dan kuantitas pertukaran komoditi di tiap daerah yang akan menjual atau membeli dari daerah lain. Model keseimbangan spasial sangat berguna dalam menganalisis hubungan harga antar daerah dan bentuk perdagangan di mana terdapat sejumlah daerah yang mengkonsumsi sekaligus berproduksi. Jika semua daerah menerima satu produsen surplus dan mengirimkannya secara tunggal ke daerah defisit, maka mengurangi biaya transfer dari harga pasar pusat produksi. Akan tetapi, jika masing-masing daerah memproduksi sekaligus mengkonsumsi komoditi yang diperdagangkan maka hal yang tidak selalu dapat ditentukan yakni daerah mana yang akan menyediakan kelebihan penawaran untuk dijual kepada daerah defisit dan yang akan meminta impor. Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi surplus dalam hal memproduksi karet alam sedangkan pasar di negara lain dalam penelitian ini
21
yakni dimisalkan Singapura berpotensi defisit atau dengan kata lain tidak memproduksi karet. Gambar 4 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PA yakni di pasar Indonesia (A) dan PB di pasar Singapura (B) dimana PA < PB. Pada harga diatas PA, pasar Indonesia akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Singapura apabila harga dibawah PB. Selanjutnya informasi dari kurva ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c. Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar A (PA). Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar A (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (Gambar 4). Grafik juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga.
22
a. Pasar A (Surplus)
b. Pasar B (Defisit)
c. Keseimbangan excess supply dan excess demand
Harga (P) Transfer Cost (t)
SB Excess Supply
PB ESA PA’
a
di pasar A (ESA)
PB
SA
PEB1
E
PE
b
c
d PEA1
PA
EDB
Excess Demand
PA
di pasar B (EDB)
DB Pt x
t DA
y 0
QA
QB
Sumber: Tomek dan Robinson, 1972. Gambar 4. Model Keseimbangan Integrasi Spasial Dua Pasar
QE1
QE2
Komoditi (Q)
23
Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar B (PB). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar B (titik d dikurang titik c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik bagian
panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai
kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PB jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar ab=cd) dapat dijual dari pasar A ke pasar B harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar A ke Pasar B melebihi atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka
24
total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PB menjadi PB1 pada pasar B (Singpura) dan menaikkan harga dari PA menjadi PA1 pada pasar A (Indonesia). Restriksi
perdagangan
akan
meningkatkan
biaya
transfer
yang
menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri (independence). 2.
Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan
pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien. Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga di simpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel
25
mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik/ simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972).
2.1.2. Pasar Berjangka Harga merupakan indikator utama dan kekuatan penggerak suatu sistem pasar bebas di setiap titik kunci dalam mata rantai tata niaga suatu produk. Dalam upaya menciptakan keseimbangan suatu lingkungan yang goyah, yang ditandai oleh sinyal-sinyal harga, maka risiko harga telah berkembang menjadi suatu isu yang besar sejak beberapa kurun waktu yang lalu. Kondisi ini selanjutnya memberi nilai terhadap tersedianya informasi yang tepat waktu dan akurat. Hal ini terjadi karena para pelaku pasar yang bermula berasal dari suatu sistem perekonomian yang direncanakan secara terpusat, telah bergeser kepada sistem berbasis pasar, dan organisasi terkait harus belajar menyiasati kondisi lingkungan harga yang tidak stabil. Faktor-faktor tersebut akan meningkatkan pentingnya praktek-praktek manajemen risiko bagi perusahaan
26
yang beroperasi dalam ekonomi pasar, sebagai suatu jalan untuk mengelola pergerakan harga yang sangat tajam dan yang telah mengakar dalam bisnis. Suatu terobosan teknologi yang menawarkan informasi global around-the-clock access atas kontrak-kontrak dunia yang paling aktif di dalam menjembatani masa sekarang dengan masa yang akan datang, serta mengembangkan perdagangan berjangka ke arah dan yang melampaui wawasan perdagangan komoditi pertanian menuju ke perdagangan keuangan dunia melalui pasar uang dunia, menjadi terasa sangat dibutuhkan. Pasar berjangka sebagai salah satu jenis pasar derivatif berbeda dengan pasar komoditi secara fisik, di pasar berjangka diperdagangkan kontrak berjangka atas komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyratannya secara standar dalam kontrak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan perkontrak, bulan penyerahan, tempat penyerahan dan persyaratan penyerahan. Hanya harga yang tidak ditetapkan dalam kontrak. Harga kontrak berjangka tersebut itulah yang dijadikan sebagai objek tawar menawar di pasar berjangka. Karena dalam perdagangan berjangka yang ditransaksikan adalah kontrak standar, maka para pelaku atau penjual dan pembeli setiap saat bisa masuk atau keluar secara mudah, selama kontrak tersebut belum jatuh tempo. Perdagangan berjangka juga merupakan bentuk lain dari kegiatan asuransi yang diciptakan berdasarkan mekanisme yang terjadi di pasar, yaitu dengan membentuk pasar bayangan atau pasar derivatif dari pasar komoditi fisiknya, dengan melakukan transaksi di dua pasar tersebut secara bersamaan dengan posisi yang berlawanan (jual dan beli) untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama. Dengan demikian, kedua pasar ini akan saling menutupi kerugian yang diderita
27
pada salah satu pasar. Jadi perdagangan berjangka merupakan suatu bentuk lain kegiatan yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan dunia usaha sebagai sarana lindung nilai (hedging) yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh timbulnya resiko kerugian yang disebabkan karena adanya fluktuasi harga serta sebagai sarana alternatif investasi bagi pihak yang bermaksud menginvestasikan modalnya di bursa berjangka. Pada awalnya fungsi bursa berjangka komoditi adalah prasarana pembentukan harga (price discovery) yang trasparan, sesuai dengan hukum pasar yaitu supply dan demand dan melindungi kepentingan pihak produsen dan konsumen/processor yakni pabrikan seperti terlihat pada Gambar 5.
Pasar Konvensional
Petani dan Produsen lain
Perusahaan
Harga
Perusahaan
Produsen
dan Barang
Pedagang
Pedagang Eceran dan Konsumen
Hedging Fluktuasi Harga
Badan Pengawas
Stock Barang
dan Komite
Bursa Komoditi Berjangka
Regulasi Pelaku Bursa
Spot Kontrak Kontrak Jual/ Beli
Future Kontrak Jual/Beli
Sumber: Ferlianto et al. 2008. Gambar 5. Hubungan Pasar Konvensional dan Bursa Berjangka
28
Produsen yakni petani menggunakan harga jual untuk pedoman perkiraan besarnya area penanaman, jumlah barang dan kualitas barang bahan baku yang dihasilkan. Sementara processor menggunakan harga pembelian bahan baku sebagai perkiraan biaya produksi, jumlah barang jadi/olahan, tingkat kualitas dan harga penjualan barang nantinya. Dewasa ini bursa tidak hanya sebagai sarana untuk memperdagangkan objek transaksi yang dimaksud, tetapi telah berkembang menjadi sebuah investasi/penanaman modal yang efektif bagi masyarakat pemodal (investor). Tujuannya adalah untuk memperoleh peluang mendapatkan keuntungan/nilai tambah dari selisih harga pembelian dan penjualan tanpa harus terkait langsung dengan fisik barang yang ditransaksikan. Perubahan dan fluktuasi harga yang terus menerus terjadi akibat tingginya aktivitas transaksi di lantai bursa, merupakan indikasi nyata adanya likuiditas yang tinggi, sehingga memungkinkan customer atau pemodal melakukan transaksi sesuai dengan keinginan untuk memperoleh laba. Peserta yang melakukan transaksi di pasar berjangka tidak membutuhkan barang, tetapi memanfaatkan pergerakan harga baik yang naik maupun yang turun untuk menghasilkan suatu keuntungan atau profit. Sedangkan untuk sistem perdagangan untuk menentukan harga dilantai bursa ada 2 cara yakni: a.
Free Call System yakni sistem transaksi yang tidak terkait dengan waktu. Contohnya perdagangan valuta asing, komoditi.
b.
Session Call System yakni sistem transaksi yang terkait oleh Contohnya komoditi dan saham.
waktu.
29
Sedangkan untuk kelebihan-kelebihan menanamkan investasi melalui bursa komoditi antara lain sebagai berikut ( Ferlianto et al. 2008): 1.
Komoditi bergerak mengikuti musim jenis tanam. Oleh karena itu lebih mudah diperkirakan arah pergerakannya. Pola musim tersebut mengikuti pola supply dan demand.
2.
Lebih mudah memahami/mengerti untuk memprediksikan harga yang akan berlaku pada waktu mendatang. Faktor-faktor yang saling mempengaruhi tidaklah serumit bursa-bursa jenis lain.
3.
Pergerakan harga komoditi tidak selalu terpengaruh kondisi
nilai
perbandingan mata uang asing (valas). 4.
Komoditi dikontrol oleh kekuatan supply dan demand tidak demikian yang terjadi pada bursa jenis lain.
5.
Komoditi lebih cenderung bergerak sendiri berdasarkan supply dan demand dari komoditi tersebut dalam jangka waktu tertentu, sedangkan burasa lain lebih bersifat kelompok.
6.
Bursa komoditi terus berlangsung karena sangat penting untuk kehidupan manusia. Penanaman tanaman jenis baru berlangsung setiap musim tanam sedangkan bursa jenis lain tidaklah demikian.
7.
Permintaan terhadap komoditi selalu ada sedangkan bursa jenis lain tidaklah demikian.
8.
Setiap tahun komoditi tidak berubah, ataupun jika bertambah, sedikit sekali (sangat jarang) sedangkan di bursa jenis lain perputarannya sangatlah cepat.
30
2.1.3. Hubungan Harga Fisik dengan Harga Berjangka Harga fisik (spot price) merupakan harga yang terjadi di pasar fisik untuk komoditi yang langsung diambil atau diantar pada tempat dan waktu tertentu. Harga tersebut terjadi atas kesepakatan bersama penjual dan pembeli, termasuk di dalamnya persyaratan penyerahan atau standar komoditi yang diperdagangkan. Harga fisik terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran sehingga bila terjadi perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran maka harga fisik akan berubah. Kenaikan permintaan oleh konsumen atau berkurangnya supply oleh produsen akan suatu komoditi akan menaikkan harga dan bila permintaan menurun atau supply meningkat akan terjadi kelebihan stok yang dapat menurunkan harga. Harga berjangka (future price) merupakan harga yang terjadi di bursa berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk dari harapan-harapan para pelaku bursa komoditas berdasarkan prediksi permintaan dan penawaran suatu komoditas di berbagai produsen dan konsumen komoditas yang bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak futures yaitu sebuah kontrak berjangka yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak untuk membeli ataupun menjual suatu asset finansial maupun nonfinansial tertentu yang penyerahannya dilakukan secara cash settlement di masa yang akan datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang (Rambey, 1999). Harga
fisik
dan
harga
berjangka
mempunyai
hubungan
saling
mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Pergerakan searah itulah yang dijadikan oleh hedger untuk melindungi
31
perdagangan komoditas di pasar fisik dengan cara mengambil posisi yang berlawanan antara pasar fisik dan berjangka. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga future untuk pasar fisik. Pengaruh perubahan harga berjangka terhadap harga fisik pada umumnya tergantung pada waktu penyerahan yang terjadi pada perdagangan berjangka. Harga berjangka akan terpengaruh kuat oleh harga fisik bila penyerahan hampir jatuh tempo, otomatis harga berjangka mencerminkan harga fisik. Sedangkan bila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum tentu berlaku di kemudian hari. Harga berjangka bisa juga terbentuk oleh harapan-harapan dari para pelaku bursa berjangka. Harga berjangka suatu komoditi pada saat tertentu merupakan proyeksi kekuatan permintaan dan penawaran suatu komoditi tertentu dari para penjual dan pembeli dan perubahan-perubahan pada harga berjangka sendiri merupakan perbaikan terus menerus dari perkiraan itu sendiri. Ancaman terjadinya kekeringan atau bahaya timbulnya penyakit tanaman bisa menyebabkan kegagalan panen, misalnya bisa mendorong kenaikan harga berjangka, sebelum kejadian yang sesungguhnya terjadi. Dalam bursa berjangka menawarkan kontrak berjangka yang spesifik, antara pasar fisik atau instrumen keuangan, akibatnya akan memunculkan perbedaan karakter yang mendasar antara harga pasar fisik dengan harga yang
32
terjadi di pasar berjangka (harga future). Perbedaan antara harga fisik dan harga berjangka (future) inilah yang dinamakan dengan basis. Basis merupakan salah satu konsep yang paling penting, yang sering digunakan oleh para hedger dalam melakukan lindung nilai mereka. Seorang hedger biasanya selalu lebih memperhatikan perubahan basis daripada perubahan harga. Pergerakan harga di pasar berjangka dengan pasar fisik pada dasarnya berjalan searah (paralel), walaupun pada saat-saat tertentu posisinya bisa mengecil dan membesar. Nilai basis yang diperoleh bisa negatif atau sering disebut pasar normal bisa pula positif atau sering disebut pasar tidak normal. Pada saat akan jatuh tempo terdapat kecenderungan harga berjangka mendekati harga fisik. Pasar normal ditandai dengan harga di pasar berjangka lebih tinggi dibandingkan harga di pasar fisik yang berarti basis ini negatif. Pasar normal juga dikenal dengan pasar at premium atau pasar contago. Pasar normal ditandai dengan penawaran di masa yang akan sangat sedikit, sedangkan permintaan sangatlah banyak. Contohnya sekarang musim panen dan pada bulan Maret musim paceklik/panen gagal. Akibatnya harga future menjadi sangat tinggi di bulan Maret dan bulan berikutnya. Pasar tidak normal ditandai dengan harga di pasar fisik lebih tinggi dari harga pada pasar berjangka yang berarti basis ini positif. Pasar tidak normal juga dikenal dengan pasar at discount atau pasar backwardation. Pasar tidak normal ditandai dengan penawaran di masa yang akan datang lebih besar dari permintaan. Misalnya sekarang musim paceklik, harga fisik sekarang sangat tinggi, tapi harga berjangka lebih rendah karena beberapa bulan kemudian akan terjadi musim panen/panen raya (Widjaya, 2002).
33
Ada beberapa variasi perubahan basis akibat pergerakan harga di pasar fisik dan berjangka yang mempengaruhi keuntungan/kerugian yang dialami hedger, yaitu (Rose, 1997): 1.
Penyempitan/penguatanan basis (nerrowing strengthening basis), terjadi bila: a) harga fisik turun dan harga berjangka turun dengan penurunan lebih besar dari pada harga fisik, dan b) harga fisik naik dan harga berjangka turun atau naik dengan kenaikan lebih kecil daripada harga fisik. Dalam keadaan normal market, penguatan basis lebih menguntungkan
pengambil posisi short atau selling pada bursa berjangka karena kerugian pada suatu pasar akan dikurangi oleh perolehan yang lebih besar pada pasar lainnya. Sebaliknya pengambil posisi long atau buying hedge akan dirugikan oleh adanya penguatan basis karena kerugian pada suatu pasar akan melebar perolehannya yang diterima pada pasar lainnya. 2. Pelebaran/pelemahan basis (widening weakening basis), terjadi bila: a) harga fisik naik dan harga berjangka naik dengan kenaikan lebih besar daripada harga fisik, dan b) harga fisik turun dan harga berjangka turun atau naik dengan penurunan lebih kecil daripada harga fisik. Dalam keadaan normal market, pelemahan basis lebih menguntungkan pengambil posisi long (buying hedge) pada bursa berjangka karena kerugian pada suatu pasar akan dikurangi oleh perolehan yang lebih besar pada pasar lainnya. Sebaliknya pengambil posisi short atau selling hedge akan dirugikan oleh adanya
34
pelemahan basis karena kerugian pada suatu pasar akan melebihi perolehan yang diterima pada pasar lainnya. 3.
Perfect hedge, terjadi bila: a) saat nilai basis selama periode hedging tidak berubah sehingga kerugian pada suatu pasar akan ditutupi oleh perolehan yang sama besar pada pasar lainnya, dan b) terjadi kenaikan atau penurunan harga-harga pada pasar fisik dan berjangka secara paralel pada basis yang sama. Namun perfect hedge jarang terjadi dalam perdagangan berjangka, karena biasanya basis berfluktuasi dan menimbulkan resiko.
2.1.4. Metode Analisis Integrasi Pasar Untuk
meneliti
integrasi
pasar,
beberapa
metode
telah
banyak
dikembangkan sejalan dengan perkembangan teknologi pengolahan data dan tersedianya data deret waktu. Metode-metode ini antara lain: 1) korelasi, dengan menghitung total sum square correlation antara harga yang bergerak bersamaan pada pasar yang diuji, 2) penguraian keragaman (variance decomposition), 3) hubungan antarpasar radial, 4) analisis kointegrasi, 5) model batas paritas, dan 6) kointegrasi ambang (threshold cointegration). Pemikiran-pemikiran ini, kecuali pendekatan korelasi menekankan tentang perlunya penggunaan pendekatan ekonometrika yang tepat untuk mengelola data deret waktu yang nonstasioner dan berkointegrasi. Integrasi pasar dalam jangka panjang mempunyai pengertian bahwa antara dua pasar terdapat hubungan yang erat dan stabil dalam jangka panjang melalui harga-harga di kedua tempat,
35
meskipun hubungan ini dapat terganggu oleh pengaruh jangka pendek. Dengan kata lain, kalau hubungan kointegrasi pasar ada, maka perkembangan harga di suatu pasar dapat diperkirakan dari perkembangan harga di pasar yang lain yang berkointegrasi (Hutabarat, 2006). Ravallion (1986) mengembangkan model integrasi pasar untuk pasar urban (sentral) yang berhubungan dengan pasar-pasar pedesaan (lokal), dimana harga pasar sentral mempengaruhi harga pasar lokal. Akan tetapi dalam pengembangan konsep kerangka kerja dilakukan melalui semua pasangan harga (bivariate price) pada area spasial. Tingkah laku harga spasial pada pasar regional/internasional adalah indikator yang penting yang menggambarkan keragaan pasar secara keseluruhan. Pasar tidak terintegrasi kemungkinan dikarenakan informasi harga tidak akurat yang disebabkan oleh keputusan produsen dalam memasarkan produknya terdistorsi, dan kontribusi dari pergerakan produk yang tidak efisien. Prosedur alternatif untuk mengevaluasi keterkaitan pasar secara spasial telah dikembangkan dalam kerangka kointegrasi oleh Engle dan Granger dalam Goodwin dan Schroeeder. The Law of One Price (LOP) yang merupakan persyaratan integrasi pasar akan tercapai jika harga-harga pasar berbeda hanya karena biaya transportasi Engle dan Granger (1987) mengembangkan uji kointegrasi dengan meregresikan suatu variabel nonstasioner terhadap variabel nonstasioner lainnya, kedua variabel akan terintegrasi pada ordo yng sama dan uji dari bentuk sisaan adalah stasioner. Jika bentuk sisaan stasioner dengan proses white noise, maka kedua variabel tersebut terkointegrasi dan mempunyai hubungan jangka panjang.
36
Aplikasi dari metode kointegrasi secara nyata dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar, paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP), hukum satu harga dan hipotesis arbitrase. Adapun prosedur untuk menguji sifatsifat kointegrasi dari sepasang data ekonomi deret waktu yang stasioner terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pendugaan parameter dari regresi kointegrasi dengan menggunakan teknik regresi OLS standar, adalah: et = P1t – α – ß P2t .......................................................................................(1) dimana et merupakan deret sisaan yang juga stasioner, α dan ß adalah parameter kointegrasi. Persamaan (1) ini digunakan untuk menguji sifat- sifat kointegrasi dari deret sisaan masing-masing variabel yang nonstasioner. Jika persamaan menghasilkan sisaan yang stasioner maka dapat dikatakan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi. Tahap selanjutnya dengan menggunakan hasil estimasi pertama, Engel dan Granger (1987) menyarankan penggunaan uji kointegrasi yang berbeda. Pengujian tersebut adalah: (1) Cointegration Regression Durbin Watson (CDRW), (2) Dickey Fuller (DF), (3) Augmented DF (ADF), (4) Restricted Vektor Autoregression (RVAR) (5) Augmented RVAR (ARVAR), (6) Unrestricted VAR (UVAR), dan (7) Augmented UVAR (AUVAR). Apabila terdapat hubungan kointegrasi, maka dapat diartikan bahwa walaupun jangka pendek peubah ini bergejolak satu sama lain, tetapi dalam jangka panjang mereka membentuk hubungan yang serta dalam suatu keseimbangan. Selanjutnya, menurut teori Granger hubungan kedua peubah dapat dimodifikasi menjadi Error Correction Model (ECM), diperkenalkan oleh Sargan yang
dikutip
Gujarati
(2003).
Teorema
ini
disebut
sebagai
Granger
37
Representation Theorem. ECM berfungsi menghubungkan prilaku jangka pendek dan jangka panjang kedua peubah dan dicatat sebagai berikut :
Δ P1t = a Δ P2t - b(P1t – ß P2t-1) + et ..........................................................(2) dimana et adalah sisaan dengan niai tengah nol dan ragam yang konstan. Parameter a merupakan efek jangka pendek perubahan P1t terhadap P2t, sementara itu ß ukuran keseimbangan jangka panjang antara P1t dan P2t, serta b adalah ukuran koreksi penyesuaian P2t dalam P1t, dituliskan ke dalam persamaan: P1t = ß P2t + vt ...........................................................................................(3) dimana (P1t – ß P2t) adalah sisaan dari hubungan jangka panjang yang divergen dan berhubungan dengan sisaan dari lag persamaan (3), tanda negatif memperlihatkan penyesuaian yang dilakukan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Hubungan jangka panjang ß dapat di duga dari persamaan (3) dan selanjutnya disubsitusikan pada persamaan (2) untuk mendapatkan penyesuaian jangka pendek. Uji kointegrasi yang dilakukan oleh Engle dan Granger dan tahap awal dikritik karena pengajuan tersebut menyarankan salah satu dari pasangan variabel harus eksogen meskipun uji ini merupakan metode yang mudah dilakukan. Namun ada beberapa kekurangan yang mendasar dari model Engel dan Granger adalah: tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple cointegration) serta prosedur estimasi Engel dan Granger terdiri dari dua tahap yang saling berkaitan.
38
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.2.1. Studi Mengenai Integrasi Pasar Komoditi Integrasi pasar di lokasi berbeda mengacu pada terdapatnya pergerakan serempak atau hubungan jangka panjang harga-harga (Golleti et al. 1995). Apabila pasar-pasar tidak terintegrasi dalam lokasi yang berjauhan antar waktu, menunjukkan bahwa ketidakefisienan pasar menyebabkan penetapan dan distorsi harga di pasar. Tingkat keefisienan antara pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Maka untuk meneliti integrasi pasar beberapa metode telah dikembangkan antara lain: (1) korelasi sepasang harga, (2) penguraian keragaman (variance decomposition), (3) hubungan antar pasar radial (radialinter-market), (4) analisis kointegrasi, (5) model batas paritas (parity bound model), dan (6) kointegrasi ambang (threshold cointegration) (Hutabarat, 2006). Dalam penelitian lainnya Jha et al. (2005) ada dua pendekatan untuk mengetahui tingkat integrasi pasar: (1) menggunakan teknik kointegrasi (Golleti (1994); Ravallion (1988); Dantwala (1993) serta Currey dan Hugo (1984), dan (2) menggunakan metode kointegrasi model Engle Granger variety (seperti Dercon (1995); Jha et al. 1997) serta menggunakan teknik Johansen maximum likelihood (seperti Wilson (2003). Berikut beberapa penelitian yang membahas analisis integrasi pasar komoditas. Adiyoga (2006) dalam penelitiannya membahas analisis integrasi pasar kentang di Indonesia dengan mengggunakan analisis korelasi dan analisis kointegrasi. Hasilnya menyatakan koefisien korelasi bukan indikator yang
39
konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain (tersegregasi) masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan (pasar ketiga). Hasil penelitian ini menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Selanjutnya Purwoto et al. (2002) menganalisis korelasi harga dan derajat integrasi spasial antara pasar dunia dan pasar domestik untuk komoditas pangan. Hasilnya menyebutkan bahwa dinamika harga beras, jagung dan kedelai tingkat pedagang besar, produsen maupun pengecer tidak mengikuti dinamika harga tingkat importir. Penelitian yang sama dilakukan Irawan dan Rosmayanti (2006) mengenai integrasi spasial dan integrasi vertikal antar pasar beras di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu dengan pendekatan uji kointegrasi Johansen, Vector Error
40
Correction Model dan uji Kausalitas Granger. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pasar beras Bengkulu adalah pasar yang terintegrasi spasial secara tidak sempurna, dimana jika terjadi guncangan di pasar kota Bengkulu hanya akan ditransmisikan ke pasar Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara tetapi tidak untuk pasar Rejang Lebong, dan (2) integrasi pasar vertikal di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan adalah tidak sempurna sedangkan keberadaan integrasi vertikal secara statistik dapat dibuktikan signifikan terjadi di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara. Temuan
lainnya dikemukakan Gonzalez dan Helfand (2001) dalam
menganalisis besar, pola dan tingkat integrasi pasar menggunakan data pasar beras Brazil menggunakan multivariate system dengan restriksi kointegrasi. Hasil temuannya menyatakan bahwa bivariat model tidak cukup untuk menangkap atau memahami dynamic spasial dari penyesuaian harga. Kemudian Dharmasena (2003) menggunakan Vector Autoregression (VAR) menguji integrasi pasar teh hitam dunia dan pembentukan harga di mana dalam aplikasinya juga menggunakan grafik, Impulse Response Function dan Forecast Error Decomposition Analyses. Hasilnya tidak terdapat integrasi antara pasar teh hitam dunia serta pembentukan harga juga tidak efisien antar pasar. Akan tetapi dalam jangka panjang Srilanka, Indonesia dan Malawi adalah price leader dalam bentuk USD dan uang lokal. Sedangkan penelitian untuk pasar hewan potong di Kanada dan Amerika dari 1988 sampai 2000 menggunakan kerangka LOP dan model VAR juga telah dilakukan oleh Vollrath dan Hallahan (2006). Hasilnya menemukan bahwa besarnya pengaruh harga di pasar Amerika pada harga di pasar Kanada
41
dibandingkan pasar Kanada pada Amerika dan hubungan keduanya sangat responsif terhadap perubahan nilai tukar.
2.2.2. Studi Mengenai Karet Alam Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai karet alam antara lain penelitian yang dilakukan Tety (2002) tentang penawaran dan permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan internasional, analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Hasil analisisnya dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor (AS, Jepang, Singapura dan Korea Selatan) adalah harga ekspor karet Indonesia, produksi, nilai tukar Rupiah terhadap USD, pajak ekspor dan jumlah ekspor karet bedakala ke masing-masing negara. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran karet alam negara-negara pesaing Indonesia dalam penelitian Tety yaitu Thailand dan Malaysia mengenai harga ekspor karet alam, produksi dan nilai tukar mata uang negara pengekspor. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku impor dari ke empat negara utama yaitu Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan Korea Selatan adalah harga impor karet alam, harga impor karet sintesis, nilai tukar, pendapatan perkapita masing-masing negara dan jumlah impor bedakala masingmasing negara. Untuk harga karet alam Internasional dipengaruhi oleh rasio total permintaan impor dan total penawaran ekspor serta harga karet internasional bedakala.
42
Penelitian mengenai dampak kebijakan perdagangan terhadap dinamika ekspor karet alam Indonesia ke negara-negara importir utama telah dilakukan Prabowo (2006) dengan menggunakan model ekonometrika dinamis yakni metode kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil analisisnya menyimpulkan perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan tren yang terus meningkat dimana telah terjadi pergeseran jenis karet alam yang diperdagangkan dari dominasi jenis mutu sit asap (RSS) menjadi karet jenis spesifikasi teknis (TSR) yang memiliki kualitas dan harga jual yang lebih rendah namun memiliki keunggulan dari segi pengemasan sehingga memudahkan industri pengolahan selaku konsumen. Pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap perubahan harga karet alam dunia namun tidak dapat ditrasmisikan dengan baik pada permintaan impor dan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand di pasar karet alam karena perubahan rasio harga yang inelastis. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia responsif terhadap perubahan harga ekspor karet alam pada jangka panjang. Prabowo juga menyatakan bahwa terjadinya distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam dimana perubahan pendapatan domestik bruto yang terjadi di negara importir efektif mempengaruhi arus perdagangan karet alam disisi importir dibandingkan dengan jika terjadi perubahan pada harga karet alam dunia. Sedangkan pada kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi dari sisi negara eksportir ternyata menunjukkan bahwa distorsi melalui
43
depresiasi mata uang dan inflasi lebih besar pengaruhnya untuk meningkatkan volume ekspor dari pada dengan pengenaan pajak. Penelitian yang berbeda dilakukan Anwar (2005) mengenai prospek karet alam Indonesia di pasar Internasional dengan menggunakan suatu analisis integrasi dan keragaan ekspor. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa prospek karet alam Indonesia di pasar Internasional terkait erat dengan efisiensi pasar yang ditunjukkan oleh integrasi pasar baik secara spasial ataupun vertikal. Pada integrasi
pasar spasial, pasar internasional karet alam RSS dan TSR tidak
terintegrasi secara penuh dan hukum satu harga (the law of one price) tidak berlaku, maka ketujuh pasar untuk RSS dan lima untuk TSR tidak dapat diperlakukan sebagai pasar tunggal/agregasi. Pada jangka panjang, pasar fisik/spot New York masih merupakan pasar referensi bagi negara-negara konsumen dan produsen baik untuk jenis karet RSS ataupun TSR. Pasar karet alam yang ada tidak terintegrasi secara penuh, hal tersebut disebabkan oleh harga karet alam yang terbentuk mengalami distorsi, baik pada pasar domestik ataupun pasar Internasional. Terdistorsinya harga karet alam disebabkan oleh adanya market power dari buyer (misalkan pabrik-pabrik ban besar), adanya sistem perdagangan langsung antara pabrik TSR dengan pabrik ban, adanya cadangan yang relatif besar (di produsen, konsumen dan afloat stock), biaya transportasi dan biaya transaksi pemasaran, serta perubahan konsenterasi pasar akibat pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian Anwar ini juga menyebutkan mengenai fluktuasi nilai tukar pada jangka pendek dan jangka panjang yang mempengaruhi harga karet alam. Pada jangka pendek, ekspor karet alam Indonesia dipengaruhi oleh harga
44
karet dunia dan nilai tukar (Rp/USD), terjadinya depresiasi Rp/USD meningkatkan harga domestik dan volume ekspor atau produksi, akan tetapi produksi itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti konsumsi karet domestik dan opportunity cost upah tenaga kerja. Selanjutnya Lim (2002) mengestimasi harga karet alam jangka pendek dan mengevaluasi pembentukan relatif 19 model dengan dasar 3 teknik peramalan yang berbeda dan 4 set informasi. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa model GARCH/ARCH umumnya lebih baik dari model simple regresi sederhana dan hasilnya potensial dan menguntungkan pelaku di pasar future karet alam. Berbeda dengan Lim (2002) kemudian Khin et al. (2008) menggunakan model ekonometrik untuk meramalkan harga bulanan dalam jangka pendek untuk harga karet SMR20 di pasar dunia. Spesifikasi model karet alam yang digunakan terdiri dari produksi, konsumsi, harga. Diantara tujuan penelitiannya
adalah
menentukan inter relationship antara produksi, konsumsi dan harga untuk dapat meramalkannya maka menggunakan model multivariate autoregressive-moving average (MARMA). Model umumnya menggunakan peramalan ex ante untuk periode Januari 2007 sampai Desember 2010, hasilnya memperlihatkan bahwa peramalan MARMA expost lebih efisien dalam kriteria statistik atau visualisasi proxinya mendekati harga aktual. Studi ini juga menyebutkan bahwa harga future pada pasar berjangka umumnya efisien dalam menentukan harga di pasar fisik. Kemudian Khawla (2006) meneliti 80 prilaku pelaku usaha industri karet di pasar berjangka Thailand yang terdiri dari petani, pengusaha, eksportir dan konsumen dimana hasilnya ditemukan bahwa 60 persen tidak melakukan
45
keputusan hedging di pasar berjangka dan hanya 40 persen saja yang menggunakan fasilitas hedging di pasar berjangka.
2.2.3. Studi Mengenai Pasar Berjangka Komoditas Suatu hal yang penting untuk prilaku harga yang baik yakni bagaimana harga terakhir dapat digunakan untuk memprediksi harga di masa depan. Hal ini berkaitan dengan bentuk umum yang dikenal dengan hipotesa pasar efisien. Menurut definisi Fama (1970), pasar dikatakan efisien jika selalu mencerminkan tersedianya informasi dalam hal bentuk informasi yang relevan mengenai perkembangan
harga. Hasil penelitiannya menyebutkan
jika bursa komoditi
dikatakan efisien secara informasi maka perubahan harga seharusnya mengikuti pola acak. Jika mengikuti pola harga acak artinya pasar efisien secara informasi bentuk lemah. Maka perubahan harga masa lalu tidak berhubungan dengan harga saat ini yang berarti harga saat ini dan telah mampu mencerminkan informasi peristiwa yang terjadi. Pasar dikatakan tidak efisien jika satu atau beberapa pelaku pasar dapat menikmati return yang tidak normal dalam jangka waktu yang cukup lama. Harga di pasar berjangka komoditas telah dilakukan oleh berbagai peneliti misalnya Cootner (1962) menemukan bahwa perubahan harga komoditi di pasar lebih acak daripada di pasar saham. Larson (1960) melakukan analisis korelasi untuk harga jagung dan saham di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan pada perubahan harga diantara keduanya. Namun, ditemukan beberapa bukti dari beberapa penelitian bahwa adanya keterkaitan harga komoditi di pasar fisik dan berjangka di Amerika. Seperti
46
penelitian yang dilakukan Smidt (1965) menggunakan analisis korelasi untuk menunjukkan bahwa perubahan harga harian kedelai di pasar berjangka Amerika Serikat secara statistik memperlihatkan adanya hubungan korelasi atau adanya keterkaitan dengan harga di pasar fisiknya. Sama dengan penelitian sebelumnya Brinegar (1970) menemukan adanya hubungan korelasi positif pada harga gandum, jagung dan gandum hitam di pasar fisik dan berjangka Amerika. Selanjutnya Stevenson (1970) menggunakan analisis korelasi untuk melihat perdagangan
jagung dan kedelai di Amerika Serikat pada bulan Juli
dengan menggunakan harga berjangka selama periode 1951-1968 dan menyimpulkan bahwa perubahan harga terjadi secara sistematis bukan secara acak. Kemudian Cargill dan Rausser (1969) menganalisis tentang berbagai kontrak future untuk tahun 1967, termasuk jagung, dan menyimpulkan bahwa perilaku harga komoditi adalah konsisten sehingga mencerminkan pasar yang efisien. Bahkan menurut Leuthold (1972) bahwa peramalan harga future yang efisien untuk harga fisik hanya pada tanggal terdekatnya. Sama dengan penelitian Leuthold (1972), Bessembinder et al. (1995), Bailey dan Chan (1993) serta Fama dan Perancis (1987), menyatakan bahwa harga kontrak future pertama di dekatnya dapat digunakan untuk proxy untuk harga fisik. Oleh karena itu, analisis berdasarkan harga future juga dapat digunakan sebagai dasar pergerakan antara harga future dan harga fisik. Salah satu keuntungan dari menggunakan harga future adalah harga yang didapatkan bisa menghindari masalah yang timbul ketika terjadi tumpang tindih kontrak yang digunakan, serta masalah yang berkaitan dengan volatilitas pada periode waktu pengiriman.
47
Wang dan Ke (2002) dalam studinya menguji tingkat efisiensi pasar berjangka untuk komoditi gandum dan kedelai di China serta kondisi pasar komoditas pertanian di pasar berjangka dan pasar fisik dengan menggunakan pendekatan kointegrasi Johansen. Hasilnya terdapat hubungan antara harga berjangka dan harga fisik pada kedelai dalam keseimbangan jangka panjang dan sangat lemah tingkat efisiensinya dalam jangka pendek sedangkan pasar berjangka gandum tidak efisien dikarenakan banyaknya spekulan dan intervensi pemerintah pada komoditas gandum. Sebuah pasar yang efisien adalah dimana harga selalu dapat sepenuhnya direfleksikan informasi yang ada dan tidak ada pedagang yang dapat keuntungan dan mengontrol informasi dalam bentuk pasar monopolistik. Dengan kata lain sebuah keefisienan pasar berjangka komoditi dapat memberikan signal pada harga di pasar spot dan mengeliminasi kerugian sehingga dimungkinkannya bahwa keuntungan dapat digaransi dalam proses perdagangan (Fama 1970 dalam Wang 2002). Selanjutnya Singh (1998) melihat dampak pasar berjangka Hessian di India sebagai leading dalam mengurangi volatilitas di pasar fisik Hessian. Hasilnya memperlihakan bahwa
pasar berjangka
dapat dijadikan kebijakan
alternatif dalam mengurangi ketidakpastian pasar pertanian. Pasar berjangka dapat memberikan informasi dan sebagai tempat penyimpanan yang tepat pada musim panen sehingga dapat menstabilkan harga fisik. Dalam penelitian lainnya Mashamaite dan Moholwa (2005) melakukan penelitian mengenai hubungan harga vertikal dan spasial dan perubahan prilaku harga di pasar berjangka menggunakan tes asimetri. Harga asimetri memberi
48
implikasi penting pada pasar berjangka. Pertama, model tradisional pada data time series yang memungkinkan adanya sedikit bias ketika peramalan harga berjangka, karena menggunakan asumsi harga simetri. Kedua, tes asimetri hasilnya memberikan informasi untuk peningkatan fungsi dan stabilitas harga berjangka pada limit harga dan margin kebijakan. Meyer (2003) menyatakan ekonomis sering menggunakan integrasi pasar untuk mendefinisikan tingkat transmisi harga antara hubungan pasar vertikal dan spasial sebagai
proxy efisiensi pasar. Namun dalam banyak studi evaluasi
mengenai integrasi harga hanya pada harga dan mengabaikan efek biaya transaksi. Penggunanaan penyesuaian harga menggunakan kerangka Vector Error Correction Model (VECM) belum cukup untuk menghitung efek biaya transaksi. Maka perluasan dari model VECM yakni menggunakan Threshold Vector Error Correction Model (TVECM) dapat memperlihatkan efek dari
biaya
transaksi dari transmisi harga tanpa langsung percaya pada data biaya transaksi.
2.2.4. Arah Pengembangan Studi Terdahulu dalam Penelitian Berdasarkan hasil studi terdahulu maka dalam penelitian ini selanjutnya dikembangkan arah studi pada “Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia”. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya mengetahui lebih jauh mengenai hubungan pasar fisik karet alam di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Pasar berjangka karet cukup berperan besar sebagai salah satu faktor pemicu fluktuasi harga karet dan pemberi sinyal harga pada pasar fisik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hubungan keterkaitan pasar berjangka karet alam dunia dengan pasar fisik karet alam di Indonesia.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Harga merupakan sinyal penting dalam pasar komoditas pertanian, hal ini dikarenakan harga produk di bidang pertanian cenderung fluktuatif. Seperti halnya yang terjadi pada harga karet alam yang cenderung fluktuatif bahkan mengarah pada tren penurunan harga. Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar terkait adanya fluktuasi harga karet alam mengingat komoditas ini memiliki peran strategis dalam perekonomian. Secara umum faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga karet secara langsung adalah besarnya jumlah permintaan, jumlah penawaran dan cadangan (stock) karet alam. Sedangkan secara tidak langsung faktor-faktor yang mempengaruhi adalah pertumbuhan ekonomi negara konsumen, rasio harga karet sintetik dengan karet alam, pergerakan nilai tukar mata uang negara-negara produsen dan konsumen karet alam serta aktivitas pasar berjangka (Khin et al. 2008). Namun terjadi ketidakseimbangan (imbalance) penawaran dan permintaan karet (surplus/defisit dari penawaran karet alam), dan berpengaruh terhadap cadangan (stock) karet alam dunia. Secara teoritis, harga diharapkan akan bereaksi dengan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan. Dimana kenaikan harga terjadi karena defisit penawaran dan turunnya harga karena surplus penawaran, akan tetapi hipotesis tersebut tidak didukung kenyataan yang ada saat ini dimana harga karet selalu dalam kondisi penurunan harga. Hal tersebut tentunya akan menyulitkan bagi pelaku pasar dalam mengambil keputusan.
50
Hal ini diperkuat Ng (1986) dalam Anwar (2005) yang menyatakan tidak berpengaruhnya surplus/defisit pasokan dan cadangan terhadap harga karet dunia, disebabkan oleh adanya imperfect knowledge terhadap penawaran dan permintaan global karet alam pada waktu tertentu (adanya senjang waktu karena masalah akses informasi) serta adanya kegiatan spekulasi dan hedging pada kegiatan pemasaran karet alam dunia seperti forward purchase, future contract, longterm arrangement, dan sebagainya. Pasar berjangka merupakan suatu alat manajemen resiko yang dapat mengurangi fluktuasi harga salah satunya karet selain itu harga juga dapat terbentuk dengan transparan. Hal ini dikarenakan pasar berjangka menyediakan suatu forum untuk bertukar informasi mengenai kondisi supply dan permintaan. Jika pasar berjangka efisien, maka harga berjangka harus sama dengan perkiraan atau ramalan dari harga fisik pada saat kontrak jatuh tempo. Dengan demikian adanya pasar berjangka dapat membantu terintegrasinya pasar-pasar lokal ke dalam pasar nasional bahkan internasional. Para pelaku pasar berjangka pasar juga tidak terbatas kepada para trader dan konsumen yang akan melakukan hedging untuk produk yang dijual dan dibeli. Bahkan, adanya spekulan yang memainkan peran penting dalam menyediakan banyak kebutuhan likuiditas di pasar berjangka, dan umumnya sebagai kelompok pengguna terbesar pasar berjangka untuk tujuan berinvestasi. Sebaliknya, para petani (produsen) jarang sekali aktif di pasar berjangka, akan tetapi dengan adanya pasar berjangka petani mendapat manfaat langsung dari keberadaan pasar berjangka dimana mempermudah akses informasi mengenai harga yang akan datang, dan didapatkan harga yang lebih tinggi karena harga terbentuk dari
51
kekuatan supply dan demand serta manfaat lainnya lebih diperoleh biaya rendah untuk pemasaran dan pengolahan (Shim, 2006). Kenyataannya, sampai sekarang perdagangan karet alam Indonesia masih bertumpu pada perdagangan di pasar fisik dengan mekanisme penetapan harga karet alam Indonesia dalam perdagangan langsung mengacu pada harga karet yang terbentuk di Singapore Commodity Exchange (SICOM) dan Tokyo Commodity Exchange (TOCOM)
untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
negosiasi harga karet. Bahkan, secara umum pola perkembangan harga karet di pasar fisik Indonesia mengikuti
perkembangan harga karet alam di
bursa
berjangka karet dunia. Hal ini mengindikasikan adanya pola integrasi spasial antara pasar karet alam Indonesia dan bursa karet dunia. Menurut Goletti (1995) dan Barret (1996), dua pasar dianggap terintegrasi apabila perubahan harga di satu pasar diwujudkan dalam respon harga yang sama pada pasar lainnya mengacu pada terdapatnya pergerakan serempak atau hubungan jangka panjang harga-harga. Selanjutnya Ardeni (1989) menyatakan pasar antar kawasan yang terintegrasi secara penuh jika harga dari pasar yang berbeda bergerak bersama dan perbedaan harga antara pasar tersebut sama besarnya dengan biaya transfer yang mencakup biaya transportasi dan biayabiaya transaksi. Selain itu harga karet alam akan sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah karena hampir lebih dari 70 persen dari seluruh produksi karet dunia digunakan oleh industri mobil. Apalagi industri karet sintesis yang merupakan produk komplementer maupun subsitusi karet alam sebagian besar menggunakan minyak bumi sehingga mudah mengalami guncangan sebagai akibat kenaikan
52
harga minyak bumi. Hal inilah yang menjadikan pemicu harga karet di pasaran dunia secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh keadaan pasar minyak dan gas bumi. Perubahan nilai tukar juga sangat mempengaruhi harga karet alam baik di pasar Indonesia dan pasar berjangka dunia. Dalam jangka pendek harga karet dapat naik/turun tergantung pergerakan mata uang. Secara arbitrase harga antara pasar relatif sama dan hanya beda karena biaya transportasi, akan tetapi pada kenyataannya harga bervariasi antar pasar jika dikonversi dalam mata uang yang sama sehingga dalam jangka panjang perubahan nilai tukar akan mempengaruhi permintaan dan penawaran karet alam sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada pembentukan harga karet alam. Dengan demikian penelusuran keberadaan integrasi pasar karet alam di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia tentunya akan memberikan gambaran mengenai dampak perkembangan harga yang diterima di pasar fisik Indonesia, sehingga dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar karet alam yang berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga, melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran karet alam untuk kepentingan kesejahteraan petani karet alam di Indonesia. Hal ini yang menjadi dasar untuk dilakukan penelitian yang berupaya mengungkap apakah sebenarnya karet alam di pasar fisik Indonesia terintegrasi dengan pasar berjangka dunia. Secara umum kerangka berfikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
53
Produksi
Harga Relatif
Harga Minyak
NR
SR/NR
Mentah
Harga Fisik NR
Harga Future NR
Pasar Dunia
Pasar Berjangka Dunia
Ekonomi Dunia
Integrasi Pasar Nilai Tukar
Konsumsi NR Harga Fisik NR Pasar Domestik
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan: Bagian yang diteliti adalah bagian yang dicetak tebal NR = Karet Alam dan SR = Karet Sintesis
3.2. Konsep Model Analisis Integrasi Pasar Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR). VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri serta nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh variabel tak bebas dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi restriksi yang sangat ketat untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. Restriksi-restriksi persamaan dilakukan dalam
54
struktural VAR apabila memang diperlukan dan didasarkan pada teori ekonomi yang relevan. Model VAR dibangun dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik, selain itu juga model VAR mampu menganalisis hubungan saling ketergantungan variabel time series. Vector Autoregression (VAR) pertama kali diperkenalkan oleh Sims (1980) atas kritikannya terhadap model simultan maupun struktural. Variabel yang digunakan pada analisis VAR merupakan suatu variabel endogen yang artinya, bahwa variabel yang digunakan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang ada dalam sistem persamaan (dependent). Istilah lain yang penting untuk dibicarakan adalah variabel eksogen, dimana variabel eksogen merupakan variabel dalam sistem persamaan yang dipengaruhi oleh variabel endogen dan tidak dipengaruhi sama sekali oleh sistem persamaan (independent). VAR biasanya digunakan untuk memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam system variabel tersebut. Pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena dalam analisis VAR mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersamaan dalam suatu model. Perbedaannya dengan model simultan biasa adalah dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau juga dipengaruhi oleh nilai masa lampau semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Disamping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen dalam model. Secara umum menurut Widarjono (2007) bentuk
55
VAR dengan n variabel endogen pada waktu ke t dapat dimodelkan sebagai berikut: p
p
p
i =1
i =1
i =1
Υ t = β 01 + ∑ β i1 Υ1t −i + ∑ α i1 Υ 2t −i + ... + ∑η i1 Υ nt −1 + ε 1t ............................(4) dimana:
Υt
= Vektor variabel endogen ( Υ1t , Υ 2 t , Υ nt ) berukuran n x 1
β0
= Vektor intersep berukuran n x 1
β i ,α i ,η i = Matrik parameter berkuran n x 1 εt
= Vektor sisaan (ε 1t , ε 2 t ,..... ε nt ) berukuran n x 1
Sedangkan persamaan VAR secara umum menurut Thomas (1999) sebagai berikut: Υt =
k
∑ Α i Υ t − I + ε t ...............................................................................(5)
i =1
dimana: Υ t = Vektor kolom dari pengamatan pada waktu t semua variabel dalam model Αt = Matrik parameter Κ = Ordo dari model VAR
Brooks (2003) menyatakan model VAR memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan dengan model derat waktu tunggal (univariate) ataupun model struktur persamaan simulatan. Keunggulannya antara lain: (1) peneliti tidak memerlukan penentuan variabel manakah yang merupakan variabel endogenous ataupun exogenous karena semuanya merupakan variabel endogenous, (2) VAR memperkenankan nilai dari variabel untuk bergantung lebih
daripada lag-nya sendiri, jadi VAR lebih fleksibel daripada model univariate AR,
56
yang selanjutnya dapat ditunjukkan sebagai suatu kasus restriksi dari model VAR. Oleh
karena
itu,
model
VAR
dapat
menawarkan
banyak
struktur,
mengimplikasikan bahwa VAR mampu untuk mendapatkan lebih banyak fitur dari data, dan (3) Model VAR tidak dilengkapi dengan contemporaneous terms pada Right Hand Side (RHS) dari persamaan, sehingga memungkinkan secara sederhana untuk dapat menggunkan OLS terpisah pada tiap persamaan. Peramalan yang dihasilkan oleh VAR lebih baik daripada model ”struktural tradisional”. Sedangkan kelemahannya antara lain: model VAR merupakan suatu a-teoritis (seperti model ARMA), sehingga penjelasan teoritis untuk mendukung spesifikasi dari model tentang hubungan antar variabel sangat sedikit.
3.2.1. Stasioneritas Data
Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Hal ini dikarenakan bahwa estimasi dengan data tidak stasioner akan menyebabkan timbulnya regresi lancung (spurious regression) (Gujarati, 2003). Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antar variabel (dilihat dari R _ squared yang tinggi) padahal bersifat contemporaneus (lemah dan tidak menunjukkan keberartian secara statistik). Agar regresi yang dihasilkan tidak rancu (meragukan) kita perlu merubah data tidak stasioner menjadi data stasioner. Oleh karena itu, pengujian terhadap kestasioneran data harus dilakukan. Data dikatakan telah stasioner apabila:
57
a. Rata-rata tetap tidak terpengaruh oleh waktu
Ε( y t ) = μ b. Varian data tetap untuk seluruh series data. Var (Y t ) = Ε [(Y t − μ ) 2
] =σ2
c. Kovarian data antar nilai waktu berbeda tergantung pada jarak nilai (time lag) bukan pada posisi waktu dimana kovarian dihitung. Ε(Y t − μ ) (Y t + k − μ ) = χ k Berdasarkan syarat diatas maka apabila suatu data series secara visual menunjukkan adanya kecenderungan trend naik atau turun kemungkinan besar data tersebut tidak stasioner. Hipotesis Pengujian: H0
: Data mengandung unit root (tidak stasioner)
H1
: Data tidak mengandung unit root (stasioner)
Stasionaritas merupakan syarat penting untuk memulai langkah estimasi model persamaan regresi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui pengujian terhadap ada tidaknya unit root dalam variabel. Ide dasar unit root test adalah bahwa proses tersebut mengikuti kaidah kemungkinan yang tidak berubah karena waktu atau proses berada pada keseimbangan secara statistik. Tetapi, data
time series seringkali menunjukkan bahwa nilai rata-rata dan variannya selalu berubah sepanjang waktu, atau terdapat unit root di dalamnya. Data yang memiliki unit root apabila digunakan akan menghasilkan apa yang dinamakan
spurios regression. Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah dengan melakukan diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat I(n).
58
Kestasioneran data melalui pendiferensialan belum cukup, sehingga perlu mempertimbangkan keberadaan hubungan jangka panjang dan jangka pendek dalam model. Data tidak stasioner dapat dijadikan menjadi data stasioner. Caranya dengan melakukan uji stasioneritas data pada tingkat diferensi data yang disebut juga dengan uji derajat integrasi. Jadi data yang tidak stasioner pada tingkat level akan diuji lagi pada tingkat diferen sampai menghasilkan data yang stasioner. Hal ini juga mengindikasikan hubungan antar variabel yang menunjukkan hubungan jangka pendek. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur unit root, salah satunya dengan menggunakan The Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Tiga asumsi dalam uji ADF adalah adanya konstanta, konstanta dan trend dan tanpa keduanya. Formulasi uji ADF adalah sebagai berikut: p
ΔYt = γ Y t −1 + ∑ β i Δ Y t −1+1 + et ...................................................................(6) i=2
p
ΔYt = α 0 + γYt −1 + ∑ β i ΔYt −1+1 + et ............................................................(7) 1= 2
p
ΔYt = α 0 + α 1T + γYt −1 + ∑ β i ΔYt −1+1 + et ..................................................(8) i =1
dimana: Y
= Variabel yang diamati
ΔYt = Yt – Yt-1 T
= Trend
Regresi pada persamaan 6 tidak memperhitungkan adanya unsur konstanta dan trend, persamaan 7 hanya memperhitungkan adanya konstanta, sedangkan persamaan 8 memperhitungkan unsur konstanta dan trend. Apabila series telah stasioner maka berarti telah memenuhi asumsi stasioner pada salah satu uji diatas.
59
Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak yakni dengan cara membandingkan antara nilai stastistik ADF dengan nilai kritisnya distribusi statistik Mackinnon. Nilai statistik ADF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien
γ Y t −1 pada persamaan (6) sampai (8). Jika nilai absolut statistik ADF lebih kecil secara absolut dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih besar secara absolut dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Hal krusial dalam uji ADF ini adalah menentukan panjangnya kelambanan. Panjangnya kelambanan bisa ditentukan berdasarkan AIC atau SIC.
3.2.2. Penentuan Lag Optimal Untuk menentukan lag optimal dari variabel-variabel yang diregresikan dalam persamaan dapat menggunakan analisis Akaike Information Criterion (AIC). Untuk memperoleh lag yang paling optimal, model yang digunakan harus diestimasi dengan tingkat lag yang berbeda-beda, kemudian dibandingkan nilai AIC nya. Nilai AIC terkecil merupakan tingkat lag yang optimal. Berikut persamaan AIC : AIC = -2ℓ/T + 2k/T....................................................................................(9) dimana ℓ merupakan log likehood, T dan k adalah jumlah observasi dan jumlah variabel yang beroperasi dalam persamaan.
3.2.3. Uji Kointegrasi Pendeteksian keberadaan kointegrasi sekarang banyak menggunakan uji kointegrasi yang dikembangkan oleh Johansen. Jika variabel-variabel tidak
60
terkointegrasi, maka dapat menerapkan VAR standar yang hasilnya akan identik dengan OLS, setelah memastikan variabel tersebut sudah stasioner pada derajat (ordo) yang sama. Jika pengujian membuktikan terdapat vektor kointegrasi, maka kita akan menerapkan ECM untuk single equation dan VECM untuk system
equation. Derivasi Vector Error Correction (VECM) didasarkan pada teorema Johansen (1988). Uji yang dikembangkan Johansen dapat digunakan untuk uji beberapa vektor. Ada tidaknya kointegrasi didasarkan pada uji Likelihood Ratio (LR). Jika nilai hitung LR lebih besar dari niali kritis LR menerima adanya kointegrasi sejumlah variabel dan sebaliknya jika nilai hitung LR lebih kecil dari nilai kritisnya maka tidak ada kointegrasi (Widarjono, 2007). Tidak seperti prosedur lainnya, metode Johansen mengintegrasikan persamaan dinamik jangka panjang dan jangka pendek dalam satu kesatuan. Lebih dari itu metode ini juga dapat menentukan jumlah vektor kointegrasi (jumlah persamaan keseimbangan jangka panjangnya). Informasi dari Hall dalam Sugema (2000) mengatakan penggunaan metode ini setidaknya akan menghadapi dua masalah praktis yakni: Pertama, uji statistik yang digunakan untuk menentukan jumlah persamaan kointegrasi dan estimasi koefisien jangka panjang sangat sensitif dengan penentuan jumlah lag yang dimasukkan ke dalam persamaan VARnya. Kedua, terjadinya multikolinearitas. Oleh karena itu penentuan dalam penentuan order lag yang digunakan sebelumnya akan dilakukan terlebih dahulu uji Ordo VAR berdasarkan criteria Schwarz Information Criterion, Hannan-
Quinn Information Criterion, Final Prediction Error atau Akaike Information Criterion.
61
Johansen dalam Enders (1995) mengembangkan prosedur kemungkinan maksimum (maximum likehood) untuk uji kointegrasi hubungan kointegrasi variabel ganda. Pendekatan multivarian Johansen diawali dengan pendefinisian suatu vektor dari n potensial peubah endogen Zt. Zt diasumsikan sebagai suatu sistem VAR yang tidak terestriksi dan memiliki sampai k-lags: Ζt = Α1 Ζt −1 + ..... + Αk Ζt − k + Φ Dt + μ + ε t ........................................... (10) dimana : Zt
= Vektor (px1) yang menunjukkan pengamatan ke-t pada variabel p tingkat level
Αi
= p x p koefisien matriks (matriks parameter)
µ
= Konstanta
Dt
= Matriks variabel nonstokastik seperti dami musiman (seasonal dummy) terhadap µ dan εt
k
= Jumlah lag
Ф
= (pxl) vektor koefisien untuk variabel nonstokastik
εt
= pxl vektor sebaran normal, independen dan identik berdistribusi berdasarkan proses Gaussian.
persamaan (10) dapat diformulasikan kembali ke dalam bentuk Vector
Error Correction Model (VECM) dengan mengurangkan Zt-1 dari kedua sisi persamaan menjadi : Δ Ζt = Γi Δ Ζt −1 + ..... + Γ k −1 Δ Ζt − k +1 + Π Ζt − k + Φ Dt + μ + ε t ...................(11)
dimana : Γi Π
= − ( I − Α1 − ..... − Αi ), (i = 1,..., k − 1) = − ( I − Α1 − ... − Αk ) = αβ
Δ Zt
= Vektor (p x 1) dari variabel terintegrasi dengan ordo nol
Γi ,.. Γk −1 , Π = Matrik koefisien
62
⎡ε yt ⎤ εt = ⎢ ⎥ ⎣ε xt ⎦
⎡α y 0 ⎤ α0 = ⎢ ⎥ ⎣⎢α y 0 ⎦
⎡Π y ⎤ Π=⎢ ⎥ ⎣0 ⎦
⎡ Γ yi ⎤ Γi = ⎢ ⎥ ⎣Γxi ⎦
Sistem persamaan yang dispesifikasi dalam persamaan (11) mengandung informasi baik penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang terhadap perubahan Zt. Simbol Ґi menggambarkan dinamika jangka pendek (SR) dan П adalah matriks koefisien jangka panjang (LR). Dalam penelitian ini, Π dapat difaktorisasi, sehingga
Π = αβ , ,
dimana
α merepresentasikan kecepatan
kecepatan penyesuaian terhadap disekuilibrium. β adalah matriks dari koefisien jangka panjang dan mengandung vektor kointegrasi. Penentuan berapa banyak vektor kointegrasi yang timbul di dalam β , konsekuensinya mengarah pada pengujian kointegrasi. Jika uji kointegrasi pada hubungan keseimbangan LR dipenuhi, maka terjadi integrasi pasar jangka panjang. Akan tetapi integrasi pasar SR (Short Run) dapat juga diuji dengan menggunakan VECM. VECM memasukkan hubungan beda kala pada spesifikasi dinamik harga antar pasar dalam jangka panjang ke dalam bentuk Error Correction Term (ECT). Model ECT dapat memperlihatkan bagaimana kecepatan perbedaan antar pasar mencapai keseimbangan. Johansen dan Juselius (1990) yang dikutip dalam Adiyoga (2006), menunjukkan bahwa setelah melakukan faktorisasi dan memecahkan masalah eigenvalue, maka dimungkinkan untuk menguji jumlah vektor kointegrasi yang signifikan dengan menggunakan dua uji yang berbeda. Pertama, uji penelusuran
trace test, λtrace (r), yang merupakan suatu likehood ratio test untuk mengetahui vector kointegrasi r terbanyak, dengan menggunakan persamaan: λtrace = T Σ ln (1-λi).................................................................................(12)
63
dimana T adalah jumlah observasi dan λtrace adalah eigenvalues. Kedua, uji
eigenvalue maksimal (maximum eigenvalue test, λmax), yang menguji relevansi kolom r+1 dalam β dengan menggunakan persamaan: λmax (r,r+1) = -T ln (1-λr+1)..................................................................(13) dengan mengetahui jumlah vektor kointegrasi (r), maka akan diketahui jumlah hubungan kointegrasi antara seri harga karet alam regional. Adanya kecendrungan bahwa trace test hampir selalu menerima adanya kointegrasi, maka pada kasus ini, kriteria penerimaan kointegrasi ditempuh berdasarkan maximum
eigenvalue test (Johansen dan Juselius, 1990). Mengikuti rekomendasi Maddala dan Kim (1998) dalam Adiyoga (2006), jumlah parameter yang diestimasi (derajat bebas) untuk pengujian maximum
eigenvalue akan dikoreksi. Namun hal ini dapat dipertimbangkan
kembali
berdasarkan tujuan analisis yang digunakan tanpa mengikuti rekomendasi tersebut. Untuk mengetahui jumlah vektor kointegrasi ada tiga kasus yang perlu dipertimbangkan yaitu : 1) jika rank Пi = 0, maka tidak ada informasi jangka panjang dan VAR di dalam levelnya cukup representasi, 2) jika Пi penuh, maka pt adalah stasioner dalam levelnya dan VAR dalam first
difference cukup representasi, dan 3) jika Пi adalah 0
64
3.2.4. Uji Granger Causality Dalam model VAR/VECM, karena semua variabel-variabel diperlakukan setara sebagai variabel endogen, maka variabel-variabel pada ruas sebelah kanan persamaan tidak selalu berarti merupakan variabel penentu bagi variabel di ruas sebelah kiri. Persamaan ini hanya menunjukkan adanya hubungan diantara variabel-variabel dalam persamaaan. Untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh dari sesuatu variabel terhadap variabel lain, serta sesuatu variabel dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel yang mana dalam persamaan, maka dalam mengatasi hal ini dapat dilakukan tes Granger Causality. Kausalitas dalam ekonometrika mengacu pada kemampuan untuk memprediksi Granger Causality (Thomas, 1997). Teorema Granger causality menyatakan, X menyebabkan (Granger cause) Y apabila nilai Y saat ini dapat diprediksi dengan lebih akurat melalui nilai X yang lampau, dibandingkan dengan tanpa menggunakan nilai X yang lampau tersebut. Metode ini memungkinkan setiap variabel diperlakukan secara simetris. Sehingga tidak ada pemilihan bahwa sesuatu variabel apakah eksogen atau endogen. Granger Test dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: yt = α 0 + α 1 y + α 2 y + α 3 yt −3 + β 1 xt −1 + β 2 xt − 2 + β 3 xt −3 + ε t t −1
t −2
...........(14)Apabila β1 = β 2 = β 3 = 0 maka x tidak mempengaruhi y. Sebaliknya, apabila ada koefisien β yang tidak bernilai nol maka x mempengaruhi y. Pada persamaan 14, x lebih merupakan variabel dependen dari y dan menentukan nilainilai y yang meliputi yt +1 , yt + 2 , y +3 .
65
3.2.5. Impulse Response Function
Analisis Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD) merupakan komponen dari inovasi akuntansi VAR. IRF dilakukan dengan menyederhanakan bentuk SVAR ke dalam bentuk Vector Moving Average (VMA), yang dituliskan sebagai berikut:
x
∞
t
= μ + ∑ φ (i)e ...............................................................................(15) i =0
t −i
Atau dapat dituliskan ke dalam persamaan : ⎡y ⎤ ⎢ t⎥ = ⎢⎣ z t ⎥⎦
⎡ y ⎤ ∞ ⎡φ11 (i) ⎢ z ⎥ + ∑ ⎢φ (i) ⎣ ⎦ i =0 ⎣ 21
φ12 (i ) ⎤ φ 22 (i ) ⎥⎦
i
⎡e yt −1 ⎤ ⎢ ⎥ ..........................................(16) ⎣e zt −1 ⎦
Impulse Response merupakan uji yang digunakan untuk melihat efek shock suatu standar deviasi dari variabel inovasi terhadap nilai sekarang (current time values) dan nilai yang akan datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam model. Shock (guncangan) pada suatu variabel tidak hanya berdampak langsung terhadap variabel itu sendiri tetapi juga ditrasmisikan terhadap semua variabel endogenous melaui struktur dinamik.
3.2.6. Variance Decomposition
Variance Decomposition (VD) digunakan untuk memberikan informasi untuk mengetahui berapa besar kontribusi dari masing-masing variabel inovasi terhadap variabel endogen yang diamati ketika terjadi shock. Dari hasil analisis
Variance Decomposition dapat diketahui seberapa besar perubahan suatu variabel berasal dari dirinya sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh variabel lain. sehingga diketahui sumber variasi suatu variabel.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini berdasarkan data sekunder yang bersumber dari laporan, jurnal, website dan dokumen yang dipublikasikan oleh lembaga dalam dan luar negeri. Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data harga karet alam, harga minyak mentah dan nilai tukar mata uang masing-masing negara terhadap USD. Data harga karet alam yang digunakan meliputi harga fisik FOB pelabuhan Belawan dan harga pasar berjangka di Singapore Commodity Exchange (SICOM), Tokyo Commodity Exchange (TOCOM), Central Japan Commodity Exchange (CJCE), Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) dan Shanghai Future Exchange (SHFE). Jenis harga karet alam yang digunakan adalah TSR20 dan RSS3. Data yang digunakan merupakan time series harian untuk jenis karet TSR20 dengan periode November tahun 2000 sampai Maret 2009 sedangkan untuk jenis karet RSS3 dengan periode Juni 2004 sampai Maret 2009. Data-data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), International Rubber Study Group (IRSG), Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo),World Bank, International Monetary Fund (IMF), Assosiation Natural Rubber Production Countries (ANRPC), Kantor Pemasaran Bersama (KPB PTPN), Departemen Perdagangan serta penelitian terdahulu dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan penelitian. Secara ringkas data-data variabel dan sumber variabel yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.
67
Tabel 1. Variabel Penelitian, Simbol Satuan, Waktu dan Sumber Data No.
Variabel
Simbol
Satuan
Sumber Data
1. 2.
Harga Karet TSR20 Belawan
BLW
Rp/Kg
KPB
Harga Karet TSR20 Singapura
SCM
Sgd/Kg
KPB
3.
Harga Karet TSR20 Jepang
CJE
Yen/Kg
KPB
4.
Harga Karet RSS1 Belawan
BLW
Rp/Kg
KPB
5.
Harga Karet RSS3 Tokyo
TCM
Yen/Kg
KPB
6.
Harga Karet RSS3 Thailand
AFET
Baht/Kg
KPB
7.
Harga Karet RSS3 Shanghai
SHFE
Yuan/Kg
KPB
8.
Harga Minyak Mentah
OIL
USD/Barrel
KPB
9.
Nilai Tukar Rupiah terhadap USD
RP
RP/USD
IMF
10.
Nilai Tukar SGD terhadap USD
SGD
SGD/USD
IMF
11.
Nilai Tukar YEN terhadap USD
YEN
YEN/USD
IMF
12
Nilai Tukar Baht terhadap USD
BAHT
BAHT/USD
IMF
13.
Nilai Tukar Yuan terhadap USD
YUAN
YUAN/USD
IMF
4.2. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pendekatan metode Vector Autoregression (VAR) untuk melihat integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia (SICOM, CJCE, TOCOM, dan AFET) dimana dengan model ini dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. Penelitian ini juga akan dilakukan menggunakan software Eviews 5.1. Pembentukan model VAR sangat terkait erat dengan masalah stasioner data dan kointegrasi antar variabel di dalamnya. Langkah pertama pembentukan model VAR adalah melakukan uji stasionaritas data. Jika data adalah stasioner pada tingkat level maka kita mempunyai model VAR biasa (unrestricted VAR). Sebaliknya, jika data tidak stasioner pada level tetapi stasioner pada proses diferensi data, maka harus diuji apakah data mempunyai hubungan dalam jangka
68
panjang atau tidak dengan melakukan uji kointegrasi. Apabila terdapat kointegrasi maka modelnya menjadi Vector Error Corection Model (VECM). Model VECM ini merupakan model yang terestriksi (restricted VAR) karena adanya kointegrasi yang menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR. Apabila data stasioner pada proses diferensi namun variabel tidak terkointegrasi maka disebut model VAR dengan data diferensi (VAR in difference) (Widarjono, 2007).
4.2.1. Uji Stasioneritas Data Tahap pertama yang harus dilakukan dalam mengestimasi model VAR dalah uji stasionaritas. Uji stasionaritas dalam penelitian ini menggunakan uji unit root Augmented Dickey Fuller. Uji unit root adalah pengujian terhadap data deret waktu untuk melihat apakah data sudah stasioner atau tidak. Kestasioneran masing-masing variabel diperlukan untuk mencegah terjadinya spurious regression. Adapun persamaannya dituliskan sebagai berikut: p
ΔPBLWt = α 0 + α 1T + χPBLWt −1 + ∑ β i ΔPBLWt −1 + ε t ..........................(17) i =1
p
ΔPSCM t = α 0 + α 1T + χPSCM t −1 + ∑ β i ΔPSCM t −1 + ε t .......................(18) i =1
p
ΔPCJEt = α 0 + α 1T + χPOCJEt −1 + ∑ β i ΔPCJEt −1 + ε t ..........................(19) i =1
p
ΔPTCM t = α 0 + α 1T + χPTCM t −1 + ∑ β i ΔPTCM t −1 + ε t ......................(20) i =1
p
ΔPAFETt = α 0 + α 1T + χPAFETt −1 + ∑ β i ΔPAFETt −1 + ε t .....................(21) i =1
p
ΔPSHFEt = α 0 + α 1T + χPSHFEt −1 + ∑ β i ΔPSHFEt −1 + ε t ....................(22) i =1
69
ΔPOILt
ΔERt
p
= α 0 + α 1T + χPOILt −1 + ∑ β i ΔPOILt −1 + ε t ............................(23) i =1
p
= α 0 + α 1T + χERt −1 + ∑ β i ΔERt −1 + ε t ....................................(24) i =1
dimana: Δ
= Operator perbedaan tingkat pertama
PBLWt = Harga riil karet alam di pasar Belawan periode t (Rp/kg) PBLWt-1 = Lag harga karet alam di pasar Indonesia periode t (Rp/kg) PSCMt = Harga riil karet alam di bursa SICOM periode t (SGD/kg) PSCMt-1 = Lag harga karet alam di bursa SICOM periode t (SGD/kg) PCJEt = Harga riil karet alam di bursa Jepang periode t (Yen/kg) PCJEt-1 = Lag harga karet alam di bursa Jepang periode t (Yen/kg) PTCMt = Harga riil karet alam di bursa TOCOM periode t (Yen/kg) PTCMt-1 = Lag harga karet alam di bursa TOCOM periode t (Yen/kg) PAFETt = Harga karet alam di bursa Thailand periode t (Baht/kg) PAFETt-1= Lag harga karet alam di bursa Thailand periode t (Baht/kg) PSHFEt = Harga karet alam di bursa Shanghai periode t (Yuan/kg) PSHFEt-1= Lag harga karet alam di bursa Shanghai periode t (Yuan/kg) POILt
= Harga riil minyak mentah di pasar dunia periode t (USD/barrel)
POILt-1 = Lag harga minyak mentah di pasar dunia periode t (USD/barrel) ERt
= Nilai tukar periode t
ERt-1
= Lag nilai tukar periode t
T
= Tren waktu
α 0 ,α1 , = Koefisien γ , βi
70
p
= Jumlah lag
εt
= Galat persamaan
Dimana persamaan diatas merupakan first difference dengan asumsi bahwa data time series sebelum melakukan first difference adalah nonstasioner, namun pengujian stasioneritas yang dilakukan akan tetap pada data awal sebelum diferensiasi. Kriteria ujinya adalah: jika | τhit| < | τtabel | maka terima H0, yang berarti bahwa data tersebut tidak stasioner dan perlu dilakukan diferensiasi dimulai dari tingkat 1. Penggunaan aplikasi program Eviews 5.1 mengkategorikan data tersebut stasioner atau tidak dengan membandingkan nilai mutlak MacKinnon critical dengan nilai ADF-statistiknya.
4.2.2. Penentuan Lag Optimal Penentuan lag optimal dari variabel yang diregresikan dalam persamaan ditujukan agar menghindari kemungkinan autokorelasi residual di dalam data
series. Untuk series data harga karet alam dalam penelitian ini menggunakan analisis Akaike Information Creitorion (AIC) pada suatu lag yang memiliki nilai AIC terkecil yang terdapat pada aplikasi Eviews 5.1.
4.2.3. Stabilitas Model Uji stabilitas VAR merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebelum melakukan analisis lebih lanjut. Hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan yang tidak stabil, maka analisis selanjutnya seperti Impulse Response dan Variance Decomposition
menjadi tidak valid.
71
Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic
polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1 (Lukepohl, 2002).
4.2.4. Uji Kointegrasi Sebagaimana dinyatakan oleh Engle–Granger (1987) keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR. Berkaitan dengan nilai itu, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi VAR adalah uji kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Pada langkah ini akan diketahui apakah model kita merupakan VAR tingkat diferensi jika tidak ada kointegrasi dan VECM bila terdapat kointegrasi (Widarjono, 2007). Uji kointegrasi adalah pengujian terhadap kombinasi linier variabelvariabel yang tidak stasioner untuk menganalisis hubungan jangka panjang. Alternatif uji kointegrasi yang sekarang banyak digunakan adalah uji kointegrasi yang dikembangkan oleh Johansen. Uji Johansen dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel (vektor). Pada penelitian ini uji kointegrasi akan dilakukan dengan menggunakan model unrestricted VAR dengan menggunakan persamaan: 1. Untuk jenis karet TSR20 PBLW t = β 01 + β 11 PBLW t −1 + ..... + β n1 PBLW t − p + α 11 SCM t −1 + ..... + α n1 PSCM t − p + λ11 PCJE t −1 + ..... + λ n1 PCJE t − p + ..... + χ 11 POILt −1 + ..... χ n1 POILt − p + φ11 ERt −1 ..... + φ n1 ERt − p + ε 1t ..( 25)
72
PSCM t = β 02 + β 12 PSCM t −1 + ..... + β n1 PSCM t − p + α 12 PBLWt −1 + ..... + α n1 PBLWt − p + λ12 PCJE t −1 + ..... + λ n 2 PCJE t − P + ..... + χ 12 POILt −1 + .....χ n1 POILt − p + φ12 ERt −1 ..... + φ n1 ERt − p + ε 2t ...(26) PCJE t = β 03 + β 13 PCJE t −1 + ..... + β n1 PCJE t − p + α 13 PBLW t −1 + ..... + α n1 PBLW t − p + χ 13 PSCM t −1 + ..... + χ n1 PSCM t − p + χ 13 POIL t −1 + ..... + ..... χ n1 POIL t − p + φ13 ER t −1 ..... + φ n1 ER t − p + ε 3t .......... .......... ........( 27 )
2. Untuk jenis karet RSS3 PBLWt = β 01 + β11 PBLWt −1 + .. + β n1 PBLWt − p + α11 PTCMt −1 + .. + α n1 PTCMt − p + λ11 PAFETt −1 + .. + λn1 PAFETt − p + .. + δ11 PSHFEt −1 + δ n1 PSHFEt − p + χ11POILt −1 + ...χ n1 POILt − p + φ11 ERt −1 ... + φn1 ERt − p + ε 1t ................(28)
PTCMt = β 02 + β12 PTCMt −1 + .. + β n1 PTCMt − p + α12 PBLWt −1 + .. + α n1 PBLWt − p + λ12 PAFETt −1 .. + λn1 PAFETt − p .. + δ12 PSHFEt −1 + .δ n1 PSHFEt − p +
χ12 POILt −1 .. + χ n1 POILt − p + φ12 ERt −1 ...+ φ 2ERt − p + ε 21t .....................( 29) PAFETt = β03 + β13 PAFETt −1 + .. + β n1 PAFETt − p + α13 PBLWt −1 + .. + α n1 PBLWt − p + λ13 PTCMt −1.. + λn1 PTCMt − p + δ13PSHFEt −1.. + δ1 PSHFEt − p +
χ13 POILt −1 + ... + ...χ n1 POILt − p + φ13ERt −1... + φn1 ERt − p + ε 3t ............(30) PSHFEt = β 04 + β14 PSHFEt −1 + .. + β n1 PSHFEt − p + α14 PBLWt −1 + .. + α n1 PBLWt − p + λ14 PAFETt −1 .. + λ14 PAFETt − p + δ14 PTCMt −1 .. + δ n1 PTCMt − p +
χ14 POILt −1 .. + χ n1 POILt − p + φ14 ERt −1 ...+ φn1 ERt − p + ε 4t ....................(31) dimana :
Pt, ER
= Vektor peubah tak bebas, meliputi harga karet di Indonesia, SICOM, TOCOM, CJCE, AFET, SHFE, Minyak Mentah dan Nilai Tukar
p
= Jumlah lag
ßn0
= Vektor intersep berukuran nx1
ßn1
= Matriks parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2,3,...
73
εt
= Galat berukuran n x 1
Selanjutnya Johansen Juselius (1990) dalam Brooks (2002), menyediakan
critical value untuk uji tersebut. Jika uji statistik lebih besar dari table Johansen critical value maka, tolak H0 yang berarti terdapat vektor/rank kointegrasi (r) antara variabel bebas. Hasil analisis rank kointegrasi dapat mengetahui hubungan jangka panjang untuk menjelaskan keseluruhan fenomena dalam model yang dianalisis. Asumsi yang digunakan dalam model ini merupakan unrestricted
inntersept. Pengujian hipotesis berdasarkan Trace Statistic dan Maximum Eigenvalue Statistic. Jika hasil statistik Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan 5 persen maka hipotesis nol ditolak. Prosedurnya sebagai berikut: H0 : r = 0 : nilai statistik Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan 5 persen tolak H0 dan uji dilanjutkan, H0 : r = 1 : nilai statistik Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan 5 persen tolak H0 dan uji dilanjutkan, H0 : r = 2 : nilai statistik Likelihood Ratio lebih kecil dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan 5 persen terima H0 dan terima Hipotesis alternatif dimana r = 2.
4.2.5. Estimasi Vector Error Correction Model
Vector Error Correction Model (VECM) digunakan di dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan
74
teoritis antar variabel. Adanya kointegrasi ini mengindikasikan menggunakan model VECM yang merupakan model VAR non struktural (restricted VAR). Spesifikasi VECM merestriksi hubungan prilaku jangka panjang antar variabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis di dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini dikenal error correction karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang akan di koreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek secara bertahap (Widarjono, 2007). Informasi jumlah persamaan kointegrasi dan asumsi yang digunakan tersebut merupakan suatu prasyarat utama dalam mengestimasi VECM sehingga perlu dilakukan uji kointegrasi terlebih dahulu. Tahapan ini akan meregresikan perubahan-perubahan variable harga pada deviasi beda kala dari harga-harga pada jangka pendek. Deviasi dari keseimbangan, sebagai refleksi dari koefisienkoefisien, akan membawa perubahan-perubahan pada keseimbangan antara variable-variabel kointegrasi. Koefisien-koefisien Error Correction Term (ECT) adalah ukuran kecepatan penyesuaian (speed adjustment) menuju keseimbangan jangka panjang antar pasar (Enders, 1995). Kecepatan
penyesuaian
ditunjukkan
oleh
nilai
absolute
yang
diinterpretasikan sebagai ketidakseimbangan antara harga aktual dengan tingkat keseimbangan jangka panjang. Semakin besar nilai koefisien mengindikasikan bahwa semakin cepatnya penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang dan sebaliknya. Gangguan perubahan harga periode sebelumnya pada beberapa pasar dalam model dapat diinterpretasikan sebagai penyesuaian jangka pendek,
75
sementara pasar ada dalam keseimbangan jangka panjang dengan pasar-pasar lainnya.
4.2.6. Uji Granger Causality Hubungan saling pengaruh antara suatu pasar dengan pasar lainnya dapat diketahui dari hubungan kausalitas. Analisis hubungan kausalitas harga karet TSR20 dan RSS3 di masing-masing pasar dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan VAR/VECM Granger Causality. Sebagai contoh, pengujian apakah harga SICOM (X) memiliki hubungan kausalitas terhadap harga Belawan (Y) dan maka persamaannya dapat dituliskan: k
k
j =1
j =1
k
k
j =1
j =1
Y t = ∑ α j Υ t − j + ∑ β j X t − j + et .................................................................(33)
X t = ∑ α j X t − j + ∑ β j Y t − j + et ...................................................................(34)
Artinya jika benar harga SICOM mempengaruhi/penyebab harga Belawan (Y), maka harga SICOM (X) dan lagnya akan memberikan kontribusi tambahan penjelasan terhadap variasi Yt. Sebaliknya jika benar harga Belawan (Y) mempengaruhi harga SICOM (X), maka harga belawan (Y) dan lagnya akan memberikan kontribusi tambahan penjelasan terhadap variasi harga SICOM (X). Uji kausalitas dilakukan dengan membandingkan nilai probability dengan taraf nyata yang digunakan. Jika nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka tolak H0, demikian sebaliknya jika nilai probability lebih besar maka terima H0. Hubungan kausalitas yang dapat diperoleh terbagi atas tiga
76
macam yakni: 1) hubungan kausalitas searah, 2) hubungan kausalitas dua arah, dan 3) tidak ada hubungan kausalitas.
4.2.6. Impulse Response Function Dalam model VAR secara individul koefisien sulit diinterpretasikan sehingga penggunaan impulse response merupakan analisis yang penting di dalam model VAR.
Impulse Response Function digunakan untuk melihat respon
variabel dependent jika terdapat guncangan atau inovasi variabel dependent sebesar satu standar deviasi. IRF dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya di sepanjang waktu. Impulse response yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui sensitivitas dinamik suatu variabel (harga Belawan, harga SICOM, harga CJCE, harga TOCOM, harga AFET dan harga SHFE) akibat adanya guncangan (shock) dari masing-masing pasar. Alat bantu analisis yang digunakan adalah Eviews 5.1.
4.2.7. Variance Decomposition Analisis Variance Decomposition (VD) digunakan untuk mencirikan struktur dinamis antar variabel di dalam model VAR. Pola VD dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas antara variabel dalam model VAR sehingga VD menjadi sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Pengurutan variabel dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan faktorisasi Choleski dengan ketentuan variabel tidak memiliki nilai korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan pada posisi yang paling belakang, sedangkan
77
variabel
yang
memiliki
korelasi
terhadap
variabel
lainnya
diletakkan
berdampingan satu sama lain. Analisis VD dilakukan untuk mengetahui berapa besar kontribusi masing-masing variabel harga Belawan, harga SICOM, harga CJCE, harga TOCOM, harga AFET dan harga SHFE terhadap masing-masing harga di pasar akibat adanya guncangan.
V.
5.1.
GAMBARAN UMUM EKONOMI KARET ALAM
Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia Perkembangan ekonomi karet alam dunia dari sisi produksi relatif terus
mengalami peningkatan. Produksi karet alam dunia pada tahun 2007 adalah sekitar 9.7 juta ton, atau meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama (20052007). Sementara itu selama periode 1990-2000, rata-rata laju pertumbuhan produksi karet alam dunia baru mencapai 3 persen per tahun. Periode berikutnya (2000-2005) pertumbuhan tingkat produksi menunjukkan peningkatan sebesar 6 persen seperti pada Tabel 2. Selama periode 2005-2007, Indonesia dan China mengalami pertumbuhan produksi karet alam relatif tinggi dibandingkan negara produsen lainnya yakni masing-masing sebesar 11 persen dan 20 persen. Sedangkan untuk pangsa produksi terbesar (produsen utama) pada tahun 1990 adalah Malaysia. Namun pada tahun berikutnya pertumbuhan produksi Malaysia mengalami pertumbuhan produksi negatif selama periode 1990-2000, di mana dari semula pangsa produksinya mencapai 24.8 persen turun menjadi 9 persen. Hal ini terjadi dikarenakan faktor harga karet yang sangat rendah dan adanya komoditas lain yaitu kelapa sawit yang dinilai jauh lebih menguntungkan. Namun dengan tingkat harga yang saat ini cukup baik, membuat perkebunan karet di Malaysia telah berproduksi kembali. Berikutnya mulai tahun 2000-2007 Thailand menjadi produsen terbesar pertama di dunia, baru kemudian posisi kedua diduduki Indonesia dan selanjutnya baru Malaysia. Pada Tabel 2 terlihat tahun 2007 Thailand menguasai pangsa
79
produksi karet dunia sebesar 31.2 persen, Indonesia sebesar 28.6 persen kemudian Malaysia menguasai 12.2 persen dari total produksi dunia. Tabel 2. Perkembangan Produksi Karet Alam Berdasarkan Produsen Utama Dunia Tahun 1990-2007 Produksi (000 ton)
Negara Produsen Thailand
Indonesia
Malaysia
India
China
Total Dunia
1990
2000
2005
Pertumbuhan/tahun (%)
2006
2007
1 271
2 346
2 937
3 137
3 056
(24.4)
(34.4)
(33.0)
(31.8)
(31.2)
1 262
1 556
2 271
2 637
2 797
(24.2)
(22.8)
(25.5)
(26.8)
(28.6)
1 291
615
1 126
1 283
1 199
(24.8)
(9.0)
(12.6)
(13.0)
(12.2)
324
629
771
853
806
(6.2)
(9.2)
(8.6)
(8.6)
(8.2)
264
445
428
533
600
(5.0)
(6.5)
(4.8)
(5.4)
(6.1)
5 210
6 810
8 892
9 846
9 782
1990-
2000-
2005-
2000
2005
2007
8.45
5.04
2.02
2.33
9.19
11.60
-5.24
16.6
3.24
9.41
4.52
2.27
8.86
2.92
20.09
3.07
6.11
5.00
Sumber: IRSG, 2008. Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa produksi Pertumbuhan konsumsi agregat karet alam dunia selama dekade (19902000) tumbuh rata-rata lebih dari 3 persen/tahun dan meningkat rata-rata sebesar 6.22 persen/tahun selama periode 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tahun 2007 konsumsi karet alam dunia mencapai 9.83 juta ton sedangkan produksi dunia sekitar 9.78 juta ton per tahun. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2000, dimana konsumsi dunia sebanyak 7.34 juta ton dengan produksi sebanyak 6.81 juta ton. Antara konsumsi dan produksi karet dunia semakin menunjukkan adanya defisit produksi, sehingga menjadi potensi bagi Indonesia untuk pengembangan budidaya karet di masa yang akan datang.
80
Peningkatan konsumsi karet alam dunia mengindikasikan terjadi peningkatan permintaan karet alam dunia. Permintaan karet alam dunia terjadi karena perkembangan industri-industri barang jadi karet dunia sehingga memberi pengaruh pada perkembangan pasar karet alam dunia. Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Karet Alam Berdasarkan Negara Konsumen Tahun 1990-2007 Konsumsi (000 ton)
Negara Konsumen
Amerika
1990
2000
2005
Pertumbuhan/tahun (%)
2006
2007
808
1 191
1 330
1 109
1 194
Serikat
(15.6)
(16.2)
(15.2)
(12.0)
(12.1)
Eropa
1 256
1 483
1 558
1 638
1 686
(24.2)
(20.2)
(17.8)
(17.7)
(17.1)
600
1 080
2 085
2 400
2 570
(11.6)
(14.7)
(23.8)
(26.0)
(26.1)
677
752
796
874
833
(13.0)
(10.2)
(9.1)
(9.48)
(8.5)
1 839
2834
2 976
4 069
3 549
(35.5)
(38.6)
(34.0)
(44.1)
(36.0)
5 180
7 340
8 745
9 216
9 833
China
Jepang
Lainnya
Total Dunia
1990-
2000-
2005-
2000
2005
2007
4.74
2.33
-5.11
1.81
1.01
4.10
8.00
18.61
11.63
1.11
1.17
2.32
5.41
1.00
9.63
4.17
3.82
6.22
Sumber: IRSG, 2008. Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa konsumsi Pertumbuhan konsumsi karet alam dunia tersebut antara lain terutama disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi karet alam China dan negara berkembang lainnya. Data IRSG tahun 2008 menunjukkan bahwa konsumsi karet alam China sebesar 2.57 juta ton dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 11.63 persen selama periode 2005-2007. Sedangkan pangsa konsumsinya mencapai 26.1 persen, baru kemudian Eropa 17.1 persen dan kemudian Amerika Serikat sebesar 12.1 persen.
81
Menurut Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), konsumsi karet China diprediksi akan mengalami kenaikan hingga 30 persen pada tahun 2020, sementara permintaan dari negara lainnya akan stabil atau menurun. Selama ini, sekitar 70 persen kebutuhan karet Cina dipenuhi Thailand. Pertumbuhan industri Cina yang sangat mengesankan terutama industri otomotif dan perkapalan membuat negara ini membutuhkan komoditas karet dalam jumlah yang besar, sehingga menempatkan China merupakan konsumen terbesar karet dunia saat ini. Melihat besarnya tingkat konsumsi karet alam yang tinggi di China memberi peluang bagi perluasan pasar karet alam dunia untuk menjadi sasaran baru bagi negara produsen utama karet alam untuk melakukan peningkatan ekspor. Sementara Amerika Serikat, Jepang, Eropa, India, dan Korea merupakan negara konsumen karet alam utama lainnya. Melihat kecenderungan konsumsi karet alam dunia, maka negara konsumen utama telah mengalami pergeseran dari kawasan Amerika–Eropa ke kawasan Asia Pasifik. Namun belakangan konsumsi karet alam mengalami penurunan pasca terjadinya krisis global pada akhir tahun 2008. Krisis global telah menyebabkan melemahnya industri otomotif yang dampaknya secara nyata pada penurunan konsumsi karet alam pada negara-negara konsumen utama seperti Amerika, Jepang dan China. Tercatat sampai akhir tahun 2008 konsumsi sedikit mengalami penurunan dari tahun 2007 yakni sebesar 9.7 juta ton dengan tingkat produksi sebesar 9.8 juta ton (IRSG, 2009). 5.2.
Pasar Karet Alam dan Karet Sintetis Dunia Karet alam secara global diperdagangkan pada pasar fisik dan berjangka
melalui broker atau dealer, tetapi ada juga perdagangan langsung antara pabrik
82
bahan baku di negara produsen dengan barang jadi (direct trade). Beberapa pasar karet alam terkemuka yang ada adalah: a) Singapore Commodity Exchange (SICOM) Perdagangan komoditi seperti karet, rempah, dan kelapa saat ini telah dilakukan sejak awal abad ke -19 untuk kawasan ini. Pasar ini berkembang sebagai pasar yang modern, didalamnya termasuk aktivitas offsheet dan paper trading untuk hedging dari segala jenis risiko yang mungkin timbul. Kegiatan tersebut menjadikan Singapura merupakan salah satu pusat perdagangan komoditi internasional yang penting, dimana pedagang besar (mega–trader) telah melakukan operasi di pasar ini. SICOM mempunyai keterkaitan yang erat dengan pusat perdagangan komoditi lainnya, seperti Tokyo, London, New York dan Chicago. Singapura sekarang dikenal sebagai pasar utama perdagangan berjangka karet dan pusat perdagangan karet terbesar di dunia. Perdagangan berjangka karet telah dilakukan sejak tahun 1920an. Fasilitas clearing untuk transaksi berjangka disediakan oleh Singapore International Chamber of Commerce Rubber Association. Kemudian diambil alih oleh Rubber Association of Singapore, yang diprivatisasi pada tahun 1992 sebagai RAS Commodity Exchange. Selanjutnya berubah nama menjadi Singapore Commodity Exchange (SICOM) pada bulan Februari 1994 agar bisa lebih merefleksikan misinya sebagai bursa komoditi dengan jangkauan yang luas. Misi dari SICOM adalah mengembangkan perdagangan komoditi primer di kawasan Asia (SICOM, 2004). Pada SICOM, karet jenis RSS 3 diperdagangkan secara fisik dan jenis karet jenis TSR 20 diperdagangkan secara berjangka. Dua jenis karet yang
83
diperdagangkan ini menjadi acuan negara-negara produsen karet di wilayah sekitarnya, terutama Indonesia. a) Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) TOCOM adalah pasar berjangka komoditi terbesar kedua di dunia dan terbesar di Jepang. TOCOM merupakan kontrak berjangka untuk komoditi minyak mentah, gasoline, minyak tanah, emas, perak, platinum, palladium dalam bentuk kontrak elektronik dan kontrak berjangka untuk karet pada trading floor. Kontrak berjangka untuk energi adalah pasar pertama yang berhasil untuk tingkat Asia dengan rekor 33 milyar lot pada tahun 2002 (TOCOM, 2004). TOCOM adalah organisasi nirlaba berdasarkan Commodity Exchange Law (1950), yang meregulasi pasar berjangka komoditi dan perdagangan opsi (option) di Jepang TOCOM didirikan pada bulan November 1984, melalui penggabungan Tokyo Textile Exchange, Tokyo Rubber Exchange dan the Tokyo Gold Exchange, dalam mewujudkan pasar berjangka yang lebih komprehensif di Jepang. TOCOM telah mengalami kemajuan yang pesat dalam 20 tahun terakhir. Karet alam yang diperdagangkan secara berjangka adalah RSS3. b) Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) didirikan pada tahun 2004 sebagai regulator pasar berjangka komoditas pertanian di Thailand, dengan adanya AFET akan didapat beberapa keuntungan seperti: adanya fasilitas hedging sebagai alat pengendalian resiko bagi produsen, prosesor dan pemakai komoditi yang bersangkutan, price discovery sebagai alat yang efektif untuk menentukan harga keseimbangan bagi pembeli dan penjual, serta pasar yang lebih efisien dan stabil. Sampai saat ini AFET memperdagangkan karet RSS3 dan white rice 5
84
persen. Pada tahun 2005 tercatat volume transaksi
perdagangan karet RSS3
mecapai 61406 dengan nilai 369 711 USD dan menjadi nilai perdagangan terbsar dibanding komodi lainnya yang juga diperdagangkan (Shim, 2006). c) Shanghai Futures Exchange (SHFE) Shanghai Futures Exchange (SHFE) mulai beroperasi pada tahun 2003, mempunyai fungsi hedging dan price discovery pada bursa berjangka untuk tembaga, aluminium dan karet alam. SHFE telah menjadi pusat rujukan harga karet di dunia. Hal tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi China yang pesat dan kebijakan pintu terbuka dalam industri karet asalkan kuota impor untuk karet alam dihapus, yang mana hal ini akan menjadi faktor positif bagi perkembangan bursa tersebut (Peng dalam Anwar 2005). Saat ini karet yang digunakan di industri terdiri atas karet alam dan karet sintetis. Penggunaan karet sintetis jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan karet alam seperti pada Gambar 7. Terlihat sejak tahun 2002-2007 bahwa pangsa (share) pemakaian karet sintesis selalu lebih besar dibandingkan pangsa pemakaian karet alam seperti misalnya, pada tahun 2007 pangsa pemakaian karet sintesis sebesar 57 persen sedangkan sisanya menggunakan karet alam. Walaupun karet alam jumlah produksi dan konsumsinya di bawah karet sintetis, tetapi sesungguhnya karet alam belum dapat digantikan oleh karet sintetis. Keunggulan yang dimuliki karet alam sulit ditandingi oleh karet sintetis. Adapun kelebihan-kelebihan yang dimiliki karet alam dibanding karet sintetik adalah: memiliki daya elastisitas atau daya lenting yang sempurna, memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahnannya mudah, mempunyai daya aus yang tinggi, tidak mudah padas, serta memiliki daya tahan yang tinggi terhadap
85
keretakan. Walaupun demikian, karet sintetis memiliki kelebihan seperti tahan terhadap berbagai zat kimia dan harganya yang cenderung bisa dipertahankan supaya tetap stabil (Penebar Swadaya, 2008).
70 60
share (%)
50 40 30 20 10 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Ka ret Sintetis
59
59
58
57
57
57
Ka ret Ala m
41
41
42
43
43
43
Sumber: IRSG, 2008. Gambar 7. Pangsa Konsumsi Karet Alam dan Karet Sintesis Harga dan supply karet alam selalu mengalami perubahan, bahkan kadangkadang harga berfluktuasi cukup tinggi. Harga bisa turun drastis sehingga dirasakan merugikan bagi para pelaku yang terlibat dalam usaha karet. Sedangkan karakteristik harga karet sintetis lebih stabil dan industrinya spesifik. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil nilai variansnya yang menunjukkan nilai karet sintesis (SBR) sebesar 0.22 yang berarti lebih kecil dibandingkan karet alam (TSR20) sebesar 0.39. Hasil ini membuktikan bahwa tingkat fluktuasi harga karet alam lebih tinggi dibandingkan tingkat fluktuasi pada harga karet sintesis seperti pada Gambar 8. Selain itu pula rantai pemasaran perdagangan karet sintetis lebih
86
pendek dibandingkan rantai pemasaran karet alam, hal ini dapat terjadi karena produsen dan konsumen negara serta perusahaan yang menghasilkan bahan baku karet sintesis terdapat dalam satu kawasan. Penyesuaian harga juga dipengaruhi oleh perubahan harga minyak mentah yang menjadi bahan dasar pembuatan karet sintetis.
2500
USD/TON
2000 1500 1000 500 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
SBR
1092
1263
1339
1607
1710
2012
TSR20
752
1004
1206
1386
1946
2152
Sumber: IRSG, 2008. Gambar 8. Harga Karet Sintesis Jenis SBR dan Harga Karet Alam Jenis TSR20 Namun, meskipun pasar karet alam lebih sedikit dibanding dengan pasar karet sintetis, namun produksi maupun konsumsi karet alam masih cukup besar. Salah satu kelebihan dari karet alam antara lain dilihat dari segi kestabilan harganya yang tidak terpengaruh secara langsung oleh harga minyak dunia. Tidak demikian halnya dengan harga karet sintetis yang terkena dampak langsung oleh kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.
87
5.3. Persetujuan dalam Perdagangan Karet Alam Internasional Karet alam adalah salah satu komoditi pertanian yang diperdagangkan di pasar komoditas dunia. Persetujuan dalam perdagangan karet alam Internasional umumnya dilakukan dalam rangka mengatasi fluktuasi harga. Perjanjian internasional mengenai karet alam, pertama kali dicetuskan oleh komisi perdagangan dan pembangunan perserikatan bangsa-bangsa UNCTAD (United Nations Commision for Trade and Development). Perjanjian tersebut lebih di kenal dengan sebutan International Natural Rubber Agreement (INRA) yang pertama kali disetujui pada tahun 1979. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk menstabilkan harga karet alam di pasar Internasional dalam jangka menengah atau jangka panjang sebagai dampak dari keseimbangan pertumbuhan permintaan dan penawaran. Instrumen yang dilakukan untuk mengintervensi pasar karet alam guna tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut adalah dengan menetapkan persediaan penyangga (buffer stock). Kapasitas buffer stock yang disetujui adalah sebesar 550 ribu ton. Pelepasan dan pembelian buffer stock didasarkan pada harga referensi yang disesuaikan dengan tren pasar dari harga karet alam (Prabowo, 2006). Untuk mengatur dan menjamin efektifitas pelaksanaan instrumen ini, dibentuklah organisasi karet alam internasional atau INRO (International Natural Rubber Organisation) yang beranggotakan negara-negara produsen/negara eksportir (Indonesia,
Malaysia,
Nigeria,
konsumen/importir (China;
Sri
Masyarakat
Lanka
dan
Eropa,
Thailand) yaitu:
dan
Austria,
negara Belgia-
Luxembourg, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris; Jepang; dan Amerika Serikat).
88
Menurunnya harga karet alam mulai yang terjadi sejak krisis moneter pada bulan Juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia) telah terdepresiasi dengan nilai mata uang US dollar. Pada mulanya, masyarakat perkaretan Indonesia mendapat keuntungan akibat terpuruknya nilai rupiah terhadap US dollar sampai 10 kali lipat (300-400 persen) dibandingkan dengan depresiasi negara-negara produsen karet utama lainnya, yaitu Thailand dan Malaysia (30-40 persen). Namun akibat peningkatan ekspor/supply yang melebihi kapasitas penyerapan konsumsi karet alam dunia menyebabkan harga karet alam semakin terpuruk. Pihak yang paling menderita akibat terus menurunnya harga karet di pasaran dunia adalah para petani karet, dan apabila permasalahan ini tidak diatasi, dikhawatirkan para petani tidak tertarik lagi untuk berusaha di bidang karet. Kemudian negara-negara eksportir karet alam yang tergabung dalam keanggotaan INRO pada tahun 1998 mengusulkan peningkatan harga referensi sebesar 5 persen, terkait dengan krisis ekonomi dan mata uang yang menimpa negara-negara kawasan produsen karet alam. Namun usulan tersebut ditolak negara-negara importir karena bertentangan dengan tren pasar sebagai dasar penentuan harga referensi. Sebagai tanggapan dari penolakan ini pada September 1999, tiga negara yaitu Malaysia, Thailand dan Sri Lanka memutuskan untuk menarik diri dari INRA. Pada bulan Desember 1999, dewan INRO akhirnya memutuskan untuk melikuidasi organisasi ini dan buffer stock yang dimiliki menjadi sekitar 140 ribu ton. Produsen kemudian mengambil alih cadangan untuk mengatur penjualannya sehingga anggota INRO bisa mendapat harga yang adil.
89
Dalam perkembangan selanjutnya, tugas dan tujuan dari INRO untuk menciptakan pembangunan pasar karet alam Internasional yang sehat, diambil alih oleh International Rubber Study Group (IRSG) yang menjadi forum kerja sama internasional untuk komoditas karet alam. Hal ini disebabkan International Natural Rubber Organization (INRO), yang saat itu diharapkan dapat mengatasi terus terpuruknya harga karet alam di pasaran internasional, ternyata tidak membawakan hasil dan bahkan harga semakin menurun. Sejak dibubarkannya INRO, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilisator harga. Bila terjadi fluktuasi harga, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi seperti INRO. Kemudian Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC), suatu organisasi yang anggotanya terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti INRO, juga tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam upaya mengatasi menurunnya harga karet alam, kemudian pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam bernama "International Rubber Consortium Limited (IRCo)". Kesepakatan pendirian IRCo telah tertuang dalam Memorandum of Undrstanding (MoU) yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand dan Menteri Primary Industries Malaysia tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema stabilisasi harga yang lain, yaitu Supply Management Scheme (SMS)
dan Agreed Export Tonnage Scheme
(AETS) sebagaimana disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing
yang
90
meliputi pembelian dan penjualan karet alam. Mekanisme beroperasinya IRCo, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya langkah-langkah Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001”, ketiga negara telah sepakat melaksanakan pengurangan produksi sebesar 4 persen setiap tahunnya dalam jangka waktu tertentu melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor sebesar 10 persen melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2002. 2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme SMS maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada tingkat harga yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan yang harus dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu diantaranya adalah melakukan pembelian karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartit antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 (sebelum ditandatanganinya Bali Declaration 2001) harga karet alam berkisar antara 46 USC/kg– 52 USC/kg. Setelah masing-masing negara anggota melaksanakan AETS (Agreed Export Tonnage Scheme) dan SMS (Supply Management Scheme), harga merangkak naik.
91
Pada bulan Januari 2002 mencapai 53.88 USC/kg dan pada bulan Agustus 2003 mencapai 83.06 USC/kg. Dengan ditandatanganinya MoU oleh tiga negara pada tanggal 8 Agustus 2002, harga merangkak naik dan pada bulan September 2002 harga mencapai 89.55 USC/kg. Pada bulan Maret 2003, harga mencapai tingkat tertinggi yaitu 96.50 USC/kg (sejak krisis moneter Juli 1997), kemudian menurun lagi, dan pada bulan April 2003 harga karet turun menjadi 81.00 USC/kg, namun pada bulan Mei 2003 menjadi 82.00 USC/kg. Setelah itu harga cenderung meningkat hingga pada tahun 2005 harga karet telah menyentuh 2.00 USC/ kg untuk SIR 20 di SICOM Singapura (Departemen Pertanian, 2007). Kemudian sejak terjadi krisis global akhir tahun 2008 membuat ITRC dan International Rubber Consortium Limited (IRCo) bertempat di Bangkok pada 28 dan 29 Oktober 2008 kembali menyepakati tiga langkah menstabilkan pasar antara lain, dua langkah jangka pendek yaitu Aggreed Export Tonnage Scheme (AETS) dan Strategic Market Operation (SMO), dan satu langkah jangka panjang Supply
Management
Scheme
(SMC).
Ketiga
skema
di
atas
akan
diimplementasikan ke upaya percepatan program peremajaan (accelerated replanting). Program pengurangan ekspor itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga. Secara total ITRC menyepakati pengurangan ekspor karet alam dari tiga negara itu sebesar 915 ribu ton selama tahun 2009 atau sekitar 16 persen dari volume ekspor tahun 2008 yang diperkirakan tidak jauh berbeda dari ekspor karet alam tahun 2007 yang sebanyak 5.5 juta ton.
Indonesia mengurangi ekspor
sebanyak 116 ribu ton, sedangkan Malaysia sebanyak 22 ribu ton dan terbesar Thailand sebanyak 132 ribu ton. Pengurangan ekspor 915 ribu ton selama tahun
92
2009 itu sendiri ditetapkan masing-masing sebanyak 700 ribu ton melalui skema kesepakatan ketiga negara (Agree Export Tonnage Scheme/AETS) dan 215 ribu ton dari peremajaan pohon karet di tiga negara tersebut. Sedangkan langkah urgen jangka pendek ada kesepakatan AETS dan jangka panjang dengan cara replanting, diversifikasi tanaman dalam negeri dan strategic market operation, yaitu operasi pasar apabila dibutuhkan. Faktanya eksportir karet di Indonesia pada kuartal I/2009 mengurangi volume ekspor sebanyak 197.423 ton atau 170 persen melebihi batas yang telah disepakati
tiga negara anggota ITRC
yakni sebanyak 116.000 ton. Dengan
demikian, volume ekspor selama kuartal I lebih rendah dari target yang ditetapkan. Padahal berdasarkan kesepakatan ITRC, Indonesia dapat mengekspor karet selama semester I tahun 2009 sebanyak 499.459 ton, tetapi realisasi ekspor hanya 418.037 ton. Pengurangan kuota ekspor tersebut antara lain bertujuan menyeimbangkan pasokan sehingga harga tidak jatuh dan diharapkan stabil. Selain mengurangi volume ekspor, ketiga negara juga sudah menyepakati batas harga jual/ekspor yang mana pihak Gapkindo selaku pihak yang diminta untuk mengawasi jalanya kesepakatan sudah meminta perusahaan anggotanya untuk tidak menjual karet di bawah 1.35 dolar AS per kg (Honggokusumo, 2009).
5.4.
Perkembangan Ekonomi Karet Alam Indonesia Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah
Thailand dengan produksi lebih dari 2 juta ton atau sebesar 26 persen dari total produksi karet alam dunia pada tahun 2007. Pertumbuhan yang pesat dari areal
93
perkebunan pada umumnya terkait erat dengan tingkat keuntungan pengusahaan dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan areal perkebunan ini. Selama kurun waktu 40 tahun (1967-2007), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat rata-rata 1.50 persen per tahun. Namun, pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (1.98 persen per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Karet di Indonesia Tahun 1967-2007 Luas Areal (000 ha)
Produksi (000 ton)
Tahun
Tahun
Kepemilikan 1967 PR
PBN
PBS Total
2007
1967
2007
1 616
2 899
500
2 190
(76)
(85)
(70.5)
(79.5)
222
239
112
277
(10.5)
(7)
(16)
(10)
291
276
96
288
(13.5)
(8)
(13.5)
(10.5)
2 131
3 414
709
2 755
Pertumbuhan/tahun (%) Luas Areal
Produksi
1.98
8.45
0.19
3.68
-0.13
5.00
1.50
7.20
Sumber: Departemen Pertanian, 2008. Keterangan (...) angka dalam kurung merupakan pangsa Tabel 4 ini juga memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan luas areal ratarata per tahun Perkebunan Swasta (PS) relatif lebih rendah bahkan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0.13 persen daripada laju pertumbuhan Perkebunan Besar milik Negara (PBN) apalagi dibandingkan dengan laju pertumbuhan areal Perkebunan Rakyat (PR). Namun jika dilihat dari sisi produksi pertumbuhan selama periode (19672007) Perkebunan Rakyat rata-rata sebesar 8.45 persen. Sedangkan Perkebunan
94
Negara mengalami pertumbuhan sebesar 3.68 persen dan Perkebunan Swasta sebesar 5.00 persen seperti pada Tabel 4. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (85 persen) dikembangkan secara swadaya murni dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288.039 ha dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial dan Swadaya Berbantuan. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan areal perkebunan karet rakyat yang menggunakan klon unggul yang produktivitasnya cukup tinggi. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada perkebunan rakyat (2.1 juta ton ). Namun tingkat produktivitas yang dimiliki Perkebunan Rakyat masih sangat rendah ( 796 kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara (1.039 kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini antara lain, disebabkan sebagian besar (>60 persen) tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13 persen dari total areal) (Departemen Pertanian, 2007). Untuk areal perkebunan karet di Indonesia tersebar terutama di sepanjang pulau Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Potensi peningkatan produksi karet nasional pada jangka menengah terdapat pada areal karet yang ada (exisiting) saat ini (2007) seluas 3.4 juta ha melalui upaya peremajaan dan rehabilitasi tanaman. Namun pada jangka panjang (2010-2025) pengembangan areal perkebunan karet dapat dilakukan pada wilayah-wilayah non-tradisional karet terutama di kawasan Indonesia Timur.
95
Distribusi perkebunan karet alam milik rakyat berdasarkan daerah tingkat propinsi diuraikan pada Tabel 5. Propinsi penghasil karet alam terbesar di Indonesia pada tahun 2006 terdapat pada propinsi Sumatera Selatan dengan total produksi 648 ribu ton dengan luas areal sebesar 517 ribu ha, disusul Sumatera Utara dengan total produksi sebesar 427 ribu ton dengan luas sebesar 456 ribu ha. Tabel 5. Produksi dan Luasan Karet di Indonesia Berdasarkan Propinsi Tahun 2006 Propinsi
Luasan (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (Kg/ha)
Sumatera Selatan
648 754
517 799
980
Sumatera Utara
456 986
427 872
1 057
Riau
369 911
350 808
1 045
Jambi
433 739
292 653
814
Kalimantan Barat
379 038
256 751
819
Kalimantan Tengah
255 657
189 372
986
Sumatra Barat
124 256
90 468
1 017
Kalimantan Selatan
129 946
104 216
1 012
Aceh
117 711
83 368
849
Bengkulu
71 334
49 980
921
Lampung
81 466
68 366
1 165
3 346 427
2 637 231
967
Total Indonesia
Sumber: Departemen Pertanian, 2007. Kondisi perkaretan Indonesia menunjukkan kurang lebih hampir 90 persen dari total produksi karet nasional ditujukan untuk ekspor dengan negara tujuan utama USA, China, Singapura, Jepang dan Jerman, sedangkan sisanya diserap oleh industri dalam negeri. Kebutuhan karet alam dalam negeri masih tergolong rendah dibanding dengan jumlah yang diproduksi setiap tahunnya. Terlihat konsumsi karet dalam negeri hanya mencapai 223 ribu ton pada tahun 2008 yang bersumber dari karet padat sedangkan yang bersumber dari latek pekat konsumsi
96
dalam negeri hanya mencapai 70 ribu ton pada tahun 2008 seperti tampak pada Tabel 6. Tabel 6. Konsumsi Karet dalam Negeri Tahun 2006-2010 Konsumsi karet dalam negeri (juta ton) 2006 2007 2008
Sumber
2009*)
2010*)
Bersumber dari karet padat •
Ban
0.19
0.20
0.22
0.24
0.25
•
Tabung pipa dll
0.04
0.05
0.05
0.05
0.07
•
Alas kaki
0.04
0.04
0.05
0.05
0.05
Bersumber dari latek pekat
0.06
0.07
0.07
0.08
0.09
Jumlah
0.33
0.36
0.39
0.42
0.46
Sumber: Gapkindo, 2008. Keterangan:* Angka sementara Meningkatnya kebutuhan akan karet alam dari negara - negara industri, sehingga mempengaruhi ekspor karet Indonesia ke negara-negara lainnya yang kebanyakan negara tujuan ekspor Indonesia
adalah negara produsen mobil.
Peningkatan permintaan karet alam juga terjadi karena adanya pengalihan karet sistetis akibat naiknya harga minyak dunia. Dalam periode enam tahun (2002-2007) industri produksi karet Indonesia mengalami perubahan yang lebih baik dilihat dari peningkatan total ekspor karet dari tahun ke tahun. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama karet alam Indonesia. Pada Tabel 7 menunjukkan sejak tahun 2002 ekspor ke Amerika Serikat sebesar 39.5 persen, Jepang sebesar 13.9 persen, China sebesar 3.1 persen dan Singapura mencapai 4.8 persen dari keseluruhan total ekspor karet Indonesia. Akan tetapi, tahun berikutnya ekspor ke Amerika terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2007 hanya sebesar 26.7 persen dari total ekpor yang dilakukan. Selanjutnya ekspor karet ke Jepang cenderung meningkat
tiap
97
tahunnya dan dapat diketahui ekspor pada tahun 2007 mencapai 16.5 persen. Untuk tujuan China juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi yakni mencapai 14.2 persen. Selanjutnya ekspor untuk tujuan Singapura sedikit mengalami peningkatan tiap tahunnya sebagaimana tercatat persentase ekspor mencapai 6.7 persen pada tahun 2007. Tabel 7. Ekspor Karet Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2002-2007 Negara
2002
2003
Volume Ekspor (ton ) 2004 2005 2006
2007
Amerika
591 162
598 260
627 868
669 120
590 946
644 270
(39.5)
(36.0)
(33.5)
(33.0)
(26.0)
(26.7)
207 984
228 899
225 214
260 604
357 539
397 776
(13.9)
(13.8)
(12.0)
(12.8)
(15.6)
(16.5)
46 221
107 725
197 538
249 791
337 222
341 821
(3.1)
(6.5)
(10.5)
(12.3)
(14.8)
(14.2)
72 486
79 020
85 591
115 084
135 406
161 254
(4.8)
(4.7)
(4.6)
(5.7)
(6.0)
(6.7)
62 348
73 292
71 808
61 974
82 100
80 809
(4.2)
(4.4)
(3.8)
(3.1)
(3.6)
(3.4)
69 608
76 893
76 794
74 813
90 593
93 091
(4.6)
(4.6)
(4.1)
(3.7)
(4.0)
(3.8)
447 482
496 831
589 448
592 395
629 191
687 755
(29.8)
(29.9)
(31.4)
(29.3)
(27.5)
(28.6)
1 497291
1 660 920
1 874 261
2 023781
2 285 997
2 406 776
Serikat Jepang
China
Singapura
Jerman
Korea
Lainnya Total
Sumber: Gapkindo, 2008. Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa ekspor Importir dari Amerika Serikat umumnya adalah pabrik ban, sedangkan importir di Singapura adalah traders atau packers yang akan menjual kembali karet tersebut ke negara lain. Perubahan lokasi industri barang karet yang terjadi di dunia, memberi dampak terhadap struktur dan wilayah pasar ekspor karet alam Indonesia. Peningkatan penguasaan Jepang dalam industri ban otomotif dunia,
98
perpindahan beberapa industri ban dan otomotif Jepang ke Amerika Utara dan Eropa Barat, perluasan dan perpindahan industri barang jadi ke negara produsen karet alam memberi andil terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian, mengakibatkan ekspor karet Indonesia yang banyak ditujukan ke Amerika Serikat mengalami penurunan karena adanya pengambilalihan industri ban di Amerika Serikat oleh Jepang. Thailand yang merupakan mitra dagang Jepang, untuk memasok kebutuhan karet alam sebagai bahan baku pembuatan ban, akan mengambil alih pasar Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas hasil produksi karet alam serta mencari pasar lain di dunia untuk mengantisipasi perubahan struktur pasar di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan negara produsen karet alam lainnya seperti Thailand dan Malaysia, ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas jenisnya dan pada umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw material) dan produk setengah jadi. Pada saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi pasar karet di Indonesia karena dinilai petani paling praktis dan menguntungkan. Bahan olah karet berupa lateks dan koagulum lapangan, baik yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat maupun perkebunan besar dapat diolah menjadi komoditi primer dalam berbagai jenis mutu. Lateks kebun dapat diolah menjadi jenis karet cair dalam bentuk lateks pekat dan lateks dadih serta karet padat dalam bentuk RSS, SIR 3L, SIR 3CV, SIR 3WF dan thin pale crepe yang tergolong karet jenis mutu tinggi (high grades). Sementara koagulum lapangan, yakni lateks yang membeku secara alami selanjutnya hanya dapat diolah menjadi
99
jenis karet padat yakni antara lain jenis mutu SIR10, SIR 20 dan brown crepe yang tergolong jenis karet mutu rendah (low grades). Oleh karena itu nilai ekspor yang dapat diraih tentu jauh di bawah negara yang sudah menghasilkan dan mengekspor beragam produk karet olahan. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan produk (product development) yang perlu difasilitasi untuk dikembangkan dan ditingkatkan pada masa yang akan datang. Adapun jenis produk ekspor karet Indonesia didominasi oleh jenis karet spesifikasi teknis (Standart Indonesian Rubber) dan jenis RSS (Ribbed Smoke Sheet) dari periode (2002-2007). Dimana ekspor SIR dengan porsi sekitar 88 persen dari total ekspor sedangkan jenis RSS sebesar 11.45 persen pada tahun 2007 seperti tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi Ekspor Karet Alam Indonesia Menurut Tipe Produk Tahun (Ton) Tipe 2002
Produk
2003
2004
2005
2006
2007
8 637
12 526
11 755
4 014
8 334
7 610
(0.57)
(0.75)
(0.63)
(0.19)
(0.36)
(0.32)
44 194
46 165
145 895
334 125
325 393
275 497
(2.95)
(2.78)
(7.78)
(16.51)
(14.23)
(11.45)
1 437 104
1 589 387
1 684 959
1 674 721
1 952 268
2 121 863
(95.98)
(95.69)
(89.89)
(82.75)
(85.40)
(88.16)
7 356
12 842
31 652
10 921
3 000
1 786
Lainnya
(0.49)
(0.77)
(1.68)
(0.54)
(0.13)
(0.07)
TOTAL
1 497 291
1 660 920
1 874 261
2 023781
2 285 998
2 406 756
Latex
RSS
SIR
Sumber: Gapkindo, 2008. Keterangan: (...) angka dalam kurung merupakan pangsa produksi Pada sisi tata niaga karet di Indonesia ternyata tidak hanya berlangsung di tangan petani saja, melainkan berlanjut ke pengelola karet yang lebih besar (dalam
100
hal ini para pembeli karet rakyat yang mengolahnya lebih lanjut atau rumahrumah asap). Sama halnya dengan bahan olah karet (bokar) dan latek yang dihasilkan perkebunan besar dan negara biasanya langsung di bawa ke pabrik pengolahan. Selanjutnya karet di bawa ke perusahaan-perusahaan eksportir atau perusahaan pengolah karet remiling dan pabrik karet remah oleh pedagang perantara seperti terlihat pada Gambar 9. Untuk perkebunan karet swasta atau perkebunan karet milik pemerintah produk karetnya biasanya memiliki jalur tata niaga yang bermuara pada tujuan ekspor pada pembeli luar negeri lewat perwakilan yang ada di Indonesia atau dapat langsung menjual pada industri bahan baku dalam negeri. Pada
perkebunan negara biasanya memasarkan hasil produk karetnya
melalui kantor pemasaran bersama baik yang berada di Medan, Jakarta dan Surabaya yang mana proses pembentukan harganya ditentukan berdasarkan lelang. Setelah itu dari proses lelang bisa juga transaksi langsung kepada pembeli luar negeri atau para eksportir melalui dealer dan perusahaan pengangkutan untuk kemudian dikirimkan pada negara importir seperti terlihat pada Gambar 9. Sedangkan untuk pelabuhan ekspor karet alam Indonesia sendiri yang utama digunakan adalah Belawan (Sumatera Utara) dengan ekspor sebesar 40 persen, Palembang (Sumatera Selatan) 25 persen, Padang (Sumatera Barat) 10 persen, Pontianak (Kalimantan Barat) 8 persen, Jambi 6 persen dan Surabaya (Jawa Timur) hanya sebesar 5 persen dari total keseluruhan ekspor.
101
Bahan olah karet rakyat (bokar)
Lateks kebun
Perkebunan besar Pabrik pengolahan PTP Swasta
Kantor Pemasaran Bersama
Medan
Industri
yang
menggunakan
Jakarta
Surabaya
Lelang
bahan baku karet dalam negeri
Pembelian
Eksportir
langsung
oleh
pihak luar negei/ perwakilan
Dealer
Perusahaaan pengangkutan
Importir
Industri yang menggunakan bahan baku karet di luar negeri (konsumen luar negeri)
Sumber: Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008. Gambar 9. Jalur Tata Niaga Ekspor Karet Walaupun Indonesia termasuk negara pengekspor karet mentah yang banyak diminati negara-negara industri, dikarenakan mulai banyaknya industri
102
yang mengolah karet sintetis di Indonesia secara tidak langsung Indonesia lebih banyak melakukan impor karet-karet sintetis seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Impor Karet Indonesia dari Negara Tujuan 2001-2005 Negara
2001
Volume Impor (000 USD) 2002 2003
2004
2005
Dunia
339 237
342 514
347 545
467 545
610 826
Jepang
120 821
104 995
100 211
157 352
179 848
Singapura
38 059
39 509
43 426
18 459
52 725
Korea
30 042
3 4601
34 387
49 684
61 529
Amerika Serikat
28 686
295 29
22 069
40 866
59 454
China
20 541
251 06
27 312
31 229
38 454
Thailand
17 553
203 85
25 908
54 039
78 254
Jerman
13 309
1 061
10 613
1 265
14 139
Sumber : Departemen Perdagangan, 2008. Dilihat dari periode lima tahun terakhir ini total nilai impor Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dimana impor karet sintetis Indonesia banyak berasal dari negara Jepang kemudian Singapura dan Amerika Serikat.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Permasalahan pasar yang masih dihadapi hingga sampai saat ini menunjukkan bahwa pasar pertanian tidak simetris (asimetris market) dimana elastisitas transmisi harga komoditas pertanian kecil sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh produsen (Enrique, 2008). Sedangkan salah satu faktor utama penentu pertumbuhan agribisnis perkebunan seperti karet alam ialah tingkat dan kepastian harga. Harga jual produk yang cukup tinggi merupakan rangsangan untuk berusaha. Harga jual produk yang tidak pasti merupakan faktor resiko berusaha yang tidak kondusif bagi kesehatan dan pertumbuhan perusahaan. Dengan perkataan lain, informasi harga yang aktual dan akurat esensial bagi pelaku agribisnis perkebunan karet. Harga komoditas karet alam di pasar domestik pada umumnya memiliki tingkat fluktuasi harga yang cukup tinggi. Salah satunya disebabkan oleh terintegrasinya pasar domestik dengan pasar internasional. Hal ini dapat dipahami karena komoditi karet alam berorientasi pada ekspor sehingga harga karet alam Indonesia dipengaruhi dan ditentukan oleh perkembangan harga di luar negeri. Tingkat integrasi pasar karet alam dapat diukur pada pasar dalam negeri (domestik) dan pasar berjangka sebagai pasar acuan dimana integrasi ini juga disebut integrasi spasial. Hal ini dapat dilakukan karena harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, walaupun tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga future untuk pasar fisik.
104
Keterpaduan pasar ini direfleksikan dalam keterkaitan harga (price linkages) antar pasar secara spasial karena harga mengandung informasi tentang kondisi pasar dan sekaligus menjadi salah satu variabel penyesuaian keseimbangan pasar. Contohnya peningkatan harga menunjukkan informasi bahwa telah terjadi kelebihan permintaan dan peningkatan harga merupakan mekanisme menuju tercapainya keseimbangan baru. Selanjutnya pola hubungan spasial antara dua pasar dapat bersifat hierarkis dan dapat pula bersifat simetris. Pola hubungan hierarkis ditunjukkan oleh adanya pasar sentral (pemimpin) dan pasar cabang (pengikut). Tingkat harga pasar cabang (pengikut) ditentukan searah oleh harga di pasar sentral (pemimpin), sedangkan harga di pasar sentral (pemimpin) tidak dapat dipengaruhi oleh harga di pasar cabang (pengikut). Pola hubungan simetris dicirikan oleh kesetaraan kekuatan, tidak ada pasar sentral (pemimpin) dan pasar cabang (pengikut). Harga di kedua pasar saling pengaruh mempengaruhi (Ravallion, 1986). Oleh karena itu pentingnya dilakukan kajian mengenai integrasi pasar agar diketahui secara pasti pola hubungan integrasi antara pasar fisik Indonesia (BELAWAN) dan pasar berjangka (SICOM, CJCE, TOCOM, AFET dan SHFE) apakah bersifat hierarkis (siapa pemimpin dan pengikut) ataupun bersifat simetris dalam rangka memperbaiki perindustrian karet Indonesia.
6.1. Analisis Integrasi Spasial Karet TSR20 dan RSS3 Integrasi pasar karet alam di Indonesia dan pasar berjangka dunia merupakan analisis integrasi pasar spasial yang dilihat melalui keseimbangan harga yang terjadi pada masing-masing pasar.
105
Analisis ini juga dilakukan dengan metode kointegrasi dan model Vector Error Corection Model (VECM). Model VECM merupakan model yang terestriksi (restricted VAR) karena adanya kointegrasi yang menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR. Untuk variabel harga karet alam jenis dikumpulkan berdasarkan nilai mata uang masing-masing, dimana Belawan(Rp/kg), SICOM (SGD/kg), CJCE dan TOCOM (Yen/kg), AFET (Baht/kg) dan SHFE (Yuan/kg). Selain variabel harga, juga dimasukkan variabel harga minyak mentah (USD/barrel) serta variabel nilai tukar masing-masing yaitu Rupiah, Dollar Singapura, Yen, Baht dan Yuan terhadap mata uang Dollar Amerika. Selanjutnya dalam analisis penelitian ini juga dilakukan dalam bentuk logaritma untuk memudahkan dalam menganalisisnya.
6.1.1. Uji Stasioneritas A. Jenis Karet TSR20 Tahapan pertama analisis integrasi adalah melakukan uji stasionaritas. Uji kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data time series, untuk melihat ada tidaknya akar unit yang terkandung diantara variabel sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varian dari data time series tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu. Pengujian akar unit variabel dalam model penelitian ini didasarkan pada Augmented Dickey Fuller (ADF) test pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan 2 cara yakni intersep tanpa tren dan intersep dengan tren. Hipotesis nol berarti terdapat unit root (non stasioner) sedangkan kebalikan dari
106
hipotesis tersebut berarti tidak terdapat unit root (stasioner). Kondisi diterima atau tidaknya hiotesis nol berdasarkan nilai mutlak Mackinnon dengan nilai ADF statistiknya. Data stasioner apabila nilai ADF statistic dari masing-masing variabel lebih kecil secara absolut dari MacKinnon Critical Value. Begitu pula sebaliknya jika nilai ADF statistiknya lebih besar secara absolut dari MacKinnon Critical Value maka data tersebut tidak stasioner. Hasil ringkasan uji stasioneritas dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Tabel 10. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep Tanpa Tren untuk Jenis Karet TSR20 Variabel
SCM CJE BLW OIL SGD YEN RP
Differenced
Nilai ADF Test Statistic
Intersep Tanpa Tren Nilai Kritis MacKinnon 1 persen
5 persen
10 persen
SCM(0)
-1.544748
-3.433207
-2.862688
-2.567427
SCM(1)
-10.83301
-3.433207
-2.862688
-2.567427
CJE(0)
-1.585712
-3.433184
-2.862678
-2.567422
CJE(1)
-12.93965
-3.433184
-2.862678
-2.567422
BLW(0)
-1.165958
-3.433207
-2.862688
-2.567427
BLW(1)
-11.25856
-3.433207
-2.862688
-2.567427
OIL(0)
-1.427354
-3.433210
-2.862689
-2.567428
OIL(1)
-8.107003
-3.433210
-2.862689
-2.567428
SGD(0)
-0.789500
-3.433184
-2.862678
-2.567422
SGD(1)
-15.96376
-3.433184
-2.862678
-2.567422
YEN(0)
-2.523407
-3.962287
-3.411885
-3.127839
YEN(1)
-34.29916
-3.962291
-3.411887
-3.127840
RP(0)
-2.474123
-3.433198
-2.862684
-2.567425
RP(1)
-9.354854
-3.433198
-2.862684
-2.567425
Kesimpulan Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa semua data yang digunakan dalam penelitian ini tidak stasioner pada level atau derajat nol, karena nilai ADF pada variabel-variabel tersebut lebih besar secara absolut dari nilai kritis MacKinnon pada saat dilakukan uji stasionaritas dengan menggunakan intersep tanpa tren.
107
Karena semua data tidak stasioner, maka dilanjutkan uji akar unit root pada first difference. Hasil uji tersebut terlihat bahwa hipotesis nol terdapat unit root yang ditolak pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen yang berarti semua data yang dipergunakan sudah stasioner pada first difference, karena ADF pada variabelvariabel tersebut lebih kecil secara absolut dari nilai kritis MacKinnon. Tabel 11. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dan Tren untuk Jenis Karet TSR20 Variabel
SCM CJE BLW OIL SGD YEN RP
Differenced
Nilai ADF Test Statistic
Intersep dan Tren Nilai Kritis MacKinnon 1 persen
5 persen
10 persen
SCM(0)
-0.836758
-3.962333
-3.411908
-3.127852
SCM(1)
-10.91381
-3.962333
-3.411908
-3.127852
CJE(0)
-0.280134
-3.962301
-3.411892
-3.127843
CJE(1)
-13.05305
-3.962301
-3.411892
-3.127843
BLW(0)
-1.791025
-3.962325
-3.411904
-3.127850
BLW(1)
-11.28290
-3.962333
-3.411908
-3.127852
OIL(0)
-2.314226
-3.962337
-3.411910
-3.127853
OIL(1)
-8.116060
-3.962337
-3.411910
-3.127853
SGD(0)
-2.826482
-3.962301
-3.411892
-3.127843
SGD(1)
-15.96236
-3.962301
-3.411892
-3.127843
YEN(0)
-2.523407
-3.962287
-3.411885
-3.127839
YEN(1)
-34.29916
-3.962291
-3.411887
-3.127840
RP(0)
-2.504871
-3.962321
-3.411902
-3.127848
RP(1)
-9.391966
-3.962321
-3.411902
-3.127848
Kesimpulan Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
Hasil uji unit root pada Tabel 11 dengan memasukkan intersep dan tren menunjukkan hasil pengujian pada tingkat level (I(0) semua variabel mengandung unit root sehingga tidak stasioner. Kemudian pengujian dilanjutkan pada first difference atau (I(1) yang menghasilkan semua variabel tidak lagi mengandung unit root atau sudah stasioner karena masing-masing nilai ADF statistiknya lebih
108
kecil secara absolut dari nilai kritisnya. Dengan demikian semua variabel yang digunakan adalah stasioner pada first difference atau (I(1). B. Jenis Karet RSS3 Hasil uji stasioneritas dengan menggunakan intersep tanpa tren dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep Tanpa Tren untuk Jenis Karet RSS3 Variabel TCM AFET SHFE BLW OIL YEN BAHT YUAN RP
Differenced
Nilai ADF Test Statistic
Intersep Tanpa Tren Nilai Kritis MacKinnon 1 persen
5 persen
10 persen
-1.556137
-3.435453
-2.863681
-2.567960
TCM(1)
-9.702816
-3.435453
-2.863681
-2.567960
AFET(0)
-1.847216
-3.435453
-2.863681
-2.567960
AFET(1)
-10.38534
-3.435453
-2.863681
-2.567960
SHFE(0)
-1.843771
-3.435484
-2.863695
-2.567967
SHFE(1)
-7.287140
-3.435484
-2.863695
-2.567967
BLW(0)
-1.551656
-3.435505
-2.863704
-2.567972
BLW(1)
-8.310113
-3.435505
-2.863704
-2.567972
OIL(0)
-2.011076
-3.435514
-2.863708
-2.567974
OIL(1)
-6.420937
-3.435514
-2.863708
-2.567974
YEN(0)
-0.931043
-3.435428
-2.863670
-2.567954
YEN(1)
-26.48125
-3.435428
-2.863670
-2.567954
BAHT(0)
-1.113267
-3.435428
-2.863670
-2.567954
BAHT(1)
-35.24166
-3.435436
-2.863674
-2.567956
YUAN(0)
1.767156
-3.435419
-2.863666
-2.567952
YUAN(1)
-34.91226
-3.435423
-2.863668
-2.567953
RP(0)
-0.880022
-3.435492
-2.863699
-2.567969
RP(1)
-7.734642
-3.435492
-2.863699
-2.567969
TCM(0)
Kesimpulan Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa semua data yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak stasioner pada level, karena nilai ADF pada variabel-
109
variabel tersebut lebih besar secara absolut dari nilai kritis MacKinnon. Karena semua data tidak stasioner, maka perlu dilanjutkan uji unit root
pada first
difference dan terlihat bahwa pada hipotesis nol terdapat unit root ditolak pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen yang berarti semua data yang dipergunakan dalam penelitian ini sudah stasioner. Sedangkan hasil uji unit root pada Tabel 13 dengan memasukkan intersep dan tren pada tingkat level (I(0) semua variabel mengandung unit root sehingga tidak stasioner. Tabel 13. Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dan Tren untuk Jenis Karet RSS3
Variabel
Differenced
Nilai ADF Test Statistic
Intersep dengan Tren Nilai Kritis MacKinnon 1 persen
5 persen
10 persen
-1.020080
-3.965524
-3.413469
-3.128777
TCM
TCM(0) TCM(1) AFET(0)
-9.790952
-3.965524
-3.413469
-3.128777
AFET
-1.512731
-3.965524
-3.413469
-3.128777
AFET(1) SHFE(0)
-10.44000
-3.965524
-3.413469
-3.128777
SHFE
-1.765715
-3.965567
-3.413490
-3.128790
SHFE(1) BLW(0)
-7.310374
-3.965567
-3.413490
-3.128790
BLW
-1.392519
-3.965598
-3.413505
-3.128799
BLW(1) OIL(0)
-8.354947
-3.965598
-3.413505
-3.128799
OIL
-1.527932
-3.965611
-3.413511
-3.128802
OIL(1) YEN(0)
-6.546905
-3.965611
-3.413511
-3.128802
YEN
-1.298879
-3.965488
-3.413451
-3.128767
YEN(1) BAHT(0)
-26.50539
-3.965488
-3.413451
-3.128767
BAHT
-0.643057
-3.965488
-3.413451
-3.128767
BAHT(1) YUAN(0)
-35.25215
-3.965500
-3.413457
-3.128770
YUAN
-2.010108
-3.965476
-3.413445
-3.128763
YUAN(1) RP(0)
-35.07301
-3.965482
-3.413448
-3.128765
RP
-1.321505
-3.965580
-3.413496
-3.128793
RP(1)
-7.852148
-3.965580
-3.413496
-3.128793
Kesimpulan Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
110
Kemudian pengujian dilanjutkan pada first difference atau I(I) yang menghasilkan semua variabel tidak lagi mengandung unit root atau stasioner karena masingmasing nilai ADF statistiknya lebih kecil secara absolut dari nilai kritisnya. Dengan demikian semua variabel yang digunakan adalah stasioner pada derajat 1 atau (I(1). Tahap selanjutnya adalah menguji hubungan kointegrasi antar variabel, namun sebelumnya menentukan panjang lag yang optimal dari persamaan.
6.1.2. Penentuan Lag Optimal A. Jenis Karet TSR20 Penentuan lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Untuk menetapkan lag yang optimal digunakan nilai dari Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Criteria (SC) dan Hannan-Quinn Information Criteria (HQ). Besarnya lag yang dipilih adalah lag yang menghasilkan kriteria paling kecil. Langkah penentuan lag optimal didahului penentuan lag maksimum dengan mempertimbangkan kriteria stabilitas sistem. Untuk menetapkan lag optimum dalam penelitian ini digunakan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Hasil dari perhitungan Akaike Information Criterion (AIC) pada Tabel 14 diperoleh lag optimum adalah lag 9. Hal ini terjadi karena pada perhitungan nilai AIC yang diperoleh memperlihatkan nilai minimum AIC pada saat lag 9. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lag optimum yang digunakan pada model jenis karet TSR20 adalah lag 9. Artinya bahwa semua variabel yang ada dalam model karet
111
ini saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi variabel-variabel tersebut saling berkaitan pada sembilan periode sebelumnya. Tabel 14. Kriteria Lag Optimal Karet TSR20 Lag
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
NA 22706.43 377.2491 92.48376 132.2966 45.83769 32.36966 9.414135 29.45557 21.84544* 13.40610
2.16e-07 5.56e-12 4.70e-12 4.54e-12 4.30e-12 4.25e-12 4.22e-12 4.24e-12 4.21e-12 4.20e-12* 4.21e-12
-6.834290 -17.40182 -17.56943 -17.60427 -17.65780 -17.67091 -17.67774 -17.67381 -17.67932 -17.68125* -17.67922
-6.794785 -17.33862 -17.48252 -17.49366 -17.52348* -17.51289 -17.49602 -17.46839 -17.45019 -17.42842 -17.40269
-6.819840 -17.37870 -17.53764 -17.56381 -17.60866 -17.61311* -17.61127 -17.59867 -17.59550 -17.58877 -17.57807
Keterangan:*Indikasi kriteria lag optimal LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion B.
Jenis Karet RSS3 Hasil dari perhitungan Akaike Information Criterion (AIC) untuk jenis
karet RSS3 pada Tabel 15 diperoleh lag optimum adalah lag 4. Hal ini terjadi karena pada perhitungan nilai AIC, nilai minimum AIC diperoleh saat lag 4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lag optimum yang digunakan pada model karet RSS3 adalah lag 4. Artinya bahwa semua variabel yang ada dalam model karet ini saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi variabel-variabel tersebut saling berkaitan pada empat periode sebelumnya.
112
Tabel 15. Kriteria Lag Optimal Karet RSS3 Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LR NA 10769.78 156.9146 54.55691 52.87492 18.59404 25.55463 34.11922 19.84326 38.99249 39.23897*
FPE 2.03e-11 3.02e-15 2.72e-15 2.67e-15 2.62e-15* 2.65e-15 2.66e-15 2.66e-15 2.68e-15 2.66e-15 2.64e-15
AIC -13.26726 -22.08339 -22.18658 -22.20561 -22.22340* -22.21281 -22.20808 -22.21060 -22.20121 -22.20803 -22.21517
SC -13.16733 -21.91684 -21.95341* -21.90582 -21.85698 -21.77977 -21.70842 -21.64432 -21.56832 -21.50851 -21.44903
HQ -13.22966 -22.02072 -22.09885* -22.09281 -22.08553 -22.04987 -22.02008 -21.99753 -21.96308 -21.94483 -21.92690
Keterangan: *Indikasi kriteria lag optimal
6.1.3. Pengujian Stabilitas VAR Setelah didapatkan lag optimal dari masing-masing hubungan antar variabel, langkah selanjutnya adalah menguji kestabilan data. Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, data tidak stabil berarti data yang digunakan untuk pendugaan model VAR kurang baik. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1 (Lukepohl, 2002). Hasil pengujian stabilitas VAR dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2 yang dapat disimpulkan bahwa model VAR baik untuk jenis karet alam TSR20 maupun RSS3 yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya karena semua nilai modulusnya kurang dari 1.
113
6.1.4. Analisis Kointegrasi A. Jenis Karet TSR20 Adanya
hubungan
kointegrasi
dalam
sebuah
sistem
persamaan
mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat Error Correction Model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value dan maksimum eigenvalue dengan critical value pada taraf nyata 5 persen. Jika trace statistic atau maksimum eigenvalue lebih besar dari critical value maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Sebelum uji kointegrasi Johansen dilakukan dengan menggunakan lag optimal, maka tahap pertama adalah menentukan asumsi tren deterministik. Dalam uji kointegrasi terdapat lima asumsi deterministic trend, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary berdasarkan pilihan lag optimal. Berdasarkan uji kointegrasi pada model karet TSR20 mempunyai tren linier. Hal ini didasarkan bentuk tren deterministiknya mengarah pada asumsi keempat pada kointegrasi tren linier, hal tersebut diperkuat juga dengan Akaike Information Criteria dan Schwarz Criteria yang menunjuk pada asumsi tersebut seperti terlihat pada Lampiran 3. Selanjutnya diuji adanya kointegrasi antar variabel dengan Johansen Test. Uji ini dilakukan untuk memeriksa rank dari matrik kointegrasi dan jumlah vektor kointegrasi.
114
Tabel 16. Uji Kointegrasi Johansen Jenis Karet TSR20 Hipotesis H0 Ha r=0 r=1 r=1 r=2 r=2 r=3 Hipotesis H0 Ha r=0 r=1 r=1 r=2 r=2 r=3
Trace Statistic
Nilai Kritis 5 Persen
147.9002 42.92233 11.80524
42.91525 25.87211 12.51798
Max-Eigen Statistic
Nilai Kritis 5 Persen
104.9779 31.11709 11.80524
25.82321 19.38704 12.51798
Berdasarkan nilai pada Tabel 16 dan Lampiran 3 dapat disimpulkan nilai trace statistic maupun maximum eigen value menolak H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=5 persen) adalah r=2, artinya terdapat 2 persamaan kointegrasi dan rank kointegrasi r=1 dengan demikian terdapat 1 persamaan yang dapat menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan. B. Jenis Karet RSS3 Berdasarkan uji kointegrasi Johansen dapat disimpulkan model jenis karet RSS3 memiliki bentuk tren linier. Hal ini terlihat pada bentuk tren deterministiknya yang mengarah pada asumsi keempat yaitu kointegrasi dengan tren linier, hal tersebut juga diperkuat dengan Akaike Information Criteria dan Schwarz Criteria yang menunjuk pada asumsi tersebut seperti terlihat pada Lampiran 4. Kemudian tahapan selanjutnya
dilakukan uji untuk memeriksa
vektor dan rank dari matrik kointegrasi. Berdasarkan nilai Tabel 17 dan Lampiran 8 dapat disimpulkan nilai trace statistic maupun maximum eigen value menolak H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=5 persen) adalah terdapat 3 persamaan kointegrasi dalam model karet RSS3. Adapun rank kointegrasi r=1, sehingga disimpulkan hanya terdapat 1
115
persamaan yang dapat menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan model karet ini. Tabel 17. Uji Kointegrasi Johansen Jenis Karet RSS3 Hipotesis H0 Ha
Trace Statistic
Nilai Kritis 5 Persen
r=0
r=1
282.7232
63.87610
r=1
r=2
104.2585
42.91525
r=2
r=3
37.82391
25.87211
r=3
r=4
8.348025
12.51798
Max-Eigen Statistic
Nilai Kritis 5 Persen
Hipotesis H0
Ha
r=0
r=1
178.4647
32.11832
r=1
r=2
66.43455
25.82321
r=2
r=3
29.47589
19.38704
r=3
r=4
8.348025
12.51798
6.1.5. Estimasi Vector Error Correction Model A. Jenis Karet TSR20 VAR yang mengandung kointegrasi adalah VAR yang terkendala (restricted VAR) yaitu adanya kointegrasi di dalam model. Dalam hal ini modelnya disebut dengan Vector Error Correction Model (VECM). Tabel 18 menunjukkan estimasi vektor kointegrasi keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi menggunakan metode Johansen dengan lag optimal 9, maka dihasilkan dua persamaan kointegrasi dalam sistem VECM. Adanya kointegrasi dalam sistem menunjukkan terjadinya hubungan struktural jangka panjang antara harga pasar Belawan, bursa SICOM dan bursa CJCE.
116
Pasar Belawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bursa Singapura (SICOM) sebesar -2.02 dan bursa CJCE -0.85. Artinya setiap kenaikan satu persen harga di pasar Belawan akan terjadi penurunan harga sebesar 2.02 persen di bursa SICOM dan juga akan terjadi penurunan harga di bursa CJCE sebesar 0.85 persen. Sebaliknya jika terjadi penurunan harga di pasar Belawan, dalam jangka panjang akan terjadi kenaikan harga di bursa SICOM dan bursa CJCE. Adanya fungsi bursa berjangka dapat menghindarkan kerugian dimana bisa mengambil dua posisi, yakni jual (short) ketika harga tinggi dan beli (long) pada saat harga ditawarkan rendah. Apalagi diperkuat berdasarkan hasil koefisien variannya yang membuktikan pasar fisik Belawan untuk karet TSR20 lebih besar yang berarti memiliki tingkat fluktuasi yang tinggi dibandingkan dua bursa lainnya. Nilai koefisien estimasi untuk harga karet bursa SICOM bernilai negatif dan elastis sedangkan untuk bursa CJCE nilai elastisitasnya negatif dan inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa harga di bursa SICOM lebih responsif dipengaruhi pasar Belawan. Hasil ini mempertegas bahwa dalam jangka panjang harga karet di pasar Belawan referensi bagi harga karet yang terbentuk bursa SICOM dan bursa CJCE di Jepang. Serta membuktikan bahwa harga di future market tidak akan berada di atas harga spot market melebihi biaya carrying cost antara spot market dan future market. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Terdapat 2 persamaan yang mengalami kointegrasi pada integrasi karet yakni bursa SICOM dan bursa CJCE. Dalam jangka panjang harga karet alam TSR20 untuk SICOM juga dipengaruhi oleh trend. Dari kedua
persamaan
117
tersebut
terdapat hubungan keseimbangan kointegrasi antara bursa SICOM
dengan pasar Belawan dan bursa Jepang dengan pasar Belawan Tabel 18. Kointegrasi Jangka Panjang Jenis Karet TSR20 Persamaan Kointegrasi Kointegrasi 1 Kointegrasi 2
SICOM 1.000000
0.000000
Variabel Harga Karet TSR20 CJCE BELAWAN TREND 0.000000
1.000000
-2.020722
0.000587
(0.21548)
(0.00015)
[-9.37791]*
[ 3.81806]*
-0.851867
1.60E-05
(0.06268)
(4.5E-05)
[-13.5902]*
[ 0.35741]
C 17.53473
3.019461
Keterangan: Angka dalam [ ] adalah nilai statistik *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Hal ini terjadi karena kedua bursa tersebut merupakan pasar berjangka yang secara tidak langsung penentuan harga mengacu pada harga di pasar fisik yakni Indonesia. Sampai sekarang pasokan karet alam yang ada di kedua bursa berasal dari karet alam Indonesia sehingga harga karet yang terbentuk di bursa tersebut dipengaruhi oleh harga pasar Indonesia (Belawan). Indonesia sebagai produsen terbesar kedua juga telah menjadi anggota konsortium negara terbesar produsen karet dunia (ITRC), bersama dengan Malaysia dan Thailand. ITRC membuat posisi Indonesia dalam pengendalian harga karet dunia menjadi semakin kuat. Pembentukan ITRC sebagai organisasi terbesar pasar karet dunia, tidak lepas dari struktur pasar karet sebelumnya yang dikuasai oleh beberapa konsumen karet dunia terutama di Eropa sehingga membuat pasar karet menjadi pasar oligopoli konsumen. Dengan demikian adanya ITRC terjadi keseimbangan baru pada struktur pasar karet dunia yang lebih adil.
118
Pasca terjadinya krisis global akhir tahun 2008 anggota ITRC melakukan penurunan ekspor yang dampaknya menaikkan harga jual. Terbukti dengan terus bergerak naiknya harga di pasar internasional setelah dikeluarkannya kesepakatan tersebut. Selain mengurangi volume ekspor, ketiga negara juga sudah menyepakati batas harga jual/ekspor. Bagi pihak Gapkindo sendiri
sudah
menetapkan dan meminta perusahaan anggotanya untuk tidak menjual karet di bawah 1.35 Dollar AS per kg. Estimasi output VECM selanjutnya adalah Error Corection Term (ECT). ECT menunjukkan kecepatan penyesuaian dilihat dari nilai absolut ECT, yang diinterpretasikan sebagai ketidakseimbangan antara harga aktual dengan tingkat keseimbangan jangka panjang (Enders, 1995). Semakin besar koefisien mengindikasikan cepatnya penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang dan sebaliknya. Dengan demikian gangguan perubahan harga periode sebelumnya pada beberapa pasar dalam model dapat diinterpretasikan sebagai penyesuaian jangka pendek pasar menuju keseimbangan jangka panjang dengan pasar-pasar lainnya. Berdasarkan Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa semua pasar nyata memiliki koefisien error correction yang mempengaruhi perubahan harga di masing-masing pasar. Pada bursa SICOM terdapat dua buah koreksi kesalahan yang signifikan pada taraf nyata 1 persen pada koreksi kesalahan 1 dan 2, masingmasing sebesar 0.0073 dan -0.014. Artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.0073 dan 0.014. Dapat pula diartikan bahwa setiap hari kesalahan dikoreksi sebesar 0.0073 dan 0.014 menuju keseimbangan jangka panjang.
119
Tabel 19. Kointegrasi Jangka Pendek Jenis Karet TSR20 Error Correction Kointegrasi 1
SICOM 0.007344 (0.00276) [ 2.65931]*
CJCE 0.003939 (0.00263) [ 1.49973]
BELAWAN 0.014121 (0.00252) [ 5.59614]*
Kointegrasi 2
-0.014257 (0.00564) [-2.52860]*
-0.039494 (0.00536) [-7.36509]*
0.036829 (0.00515) [ 7.14910]*
Keterangan: Angka dalam [ ] adalah nilai statistik *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Sedangkan untuk bursa CJCE hanya terdapat satu koreksi kesalahan yakni pada koreksi kesalahan kedua sebesar -0.039 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar -0.039. Dapat pula diartikan bahwa setiap hari kesalahan dikoreksi sebesar -0.039 menuju keseimbangan jangka panjang. Sedangkan pada pasar Belawan terdapat 2 buah koreksi kesalahan yang positif pada koreksi kesalahan 1 dan 2 masing-masing sebesar 0.014 dan 0.036. Artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.014 dan dan 0.036. Dapat pula diartikan bahwa setiap hari kesalahan dikoreksi sebesar 0.014 dan 0.036 menuju keseimbangan jangka panjang. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada pasar karet alam TSR20, koefisien ECT antara -0.03 sampai 0.036. Ini menggambarkan besaran penyesuaian karena perubahan harga pada jangka pendek periode harga sebelumnya terhadap perubahan harga masing-masing pasar. Hasil ini juga menunjukkan ternyata harga pasar Belawan lebih cepat melakukan penyesuaian dalam harga dibanding dua bursa lainnya. Akan tetapi walaupun besaran nilai
120
penyesuaiannya sangat kecil tetapi semua variabel nyata melakukan penyesuaian pada taraf nyata 5 persen. Hal ini mengindikasikan pentingnya hubungan kointegrasi jangka panjang pada proses penentuan harga karet TSR20 di pasar fisik dan pasar berjangka. Kemudian berdasarkan hasil kointegrasi jangka pendek juga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel seperti: 1. Kointegrasi Jangka Pendek Bursa SICOM Berdasarkan hasil kointegrasi jangka pendek yang dijelaskan pada Lampiran 5 perubahan harga di bursa SICOM dipengaruhi oleh perubahan hargaharga sebelumnya baik untuk harga di bursa SICOM itu sendiri maupun harga sebelumnya di bursa CJCE dan pasar Belawan. Hal ini berdasarkan persamaan jangka pendek dimana harga pada pasar SICOM menunjukkan signifikan positif dipengaruhi harganya sendiri pada lag 1 (1 hari sebelumnya ) pada taraf nyata 1 persen. Ini artinya, setiap kenaikan 1 persen harga di bursa SICOM pada 1 hari sebelumnya akan menaikkan harga di bursanya sendiri periode sekarang sebesar 0.128 persen. Sedangkan pada lag 3 dan 5 harga di bursa SICOM juga berpengaruh signifikan negatif terhadap dirinya sendiri pada taraf nyata 1 persen. Seperti pada lag 5 yang berarti setiap kenaikan harga di bursa SICOM sebesar 1 persen pada 5 periode sebelumnya akan menurunkan harga di bursa SICOM itu sendiri pada periode sekarang sebesar 0.08 persen. Namun pada lag 7 dan 8 bursa SICOM kembali berpengaruh signifikan positif terhadap dirinya dengan tingkat kenaikan yang lebih kecil hanya sebesar 0.04 persen. Bursa SICOM juga dipengaruhi oleh bursa CJCE pada lag 2, 3, 4, 5 dengan pengaruh signifikansi positif pada taraf nyata 1 persen. Baru kemudian pada lag 7 dan 8 berpengaruh dengan tingkat signifikansi negatif juga pada taraf
121
nyata 1 persen. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh lag yang berlawanan antara harga karet di bursa CJCE dan bursa SICOM terhadap pembentukan harga di bursa SICOM. Hal ini dapat dipahami karena ketika terjadi kenaikan harga bursa CJCE, dimana bursa ini juga merupakan salah satu pesaing, maka bursa SICOM akan mengatur keseimbangan transaksi jual dan beli agar terbentuk harga yang tepat dan bisa mengakomodasi kepentingan hedger, spekulan dan trader, sehingga para pelaku pasar tersebut akan tertarik untuk kembali bertransaksi di bursanya. Selain itu bursa SICOM juga dipengaruhi oleh harga sebelumnya di pasar Belawan pada periode lag 2 dan 3 dengan pengaruh positif. Contohnya pada lag 3, setiap kenaikan harga sebesar 1 persen 3 periode hari sebelumnya akan menaikkan harga di bursa SICOM periode sekarang sebesar 0.06 persen. Hal ini menegaskan kembali bahwa harga antara pasar berjangka (future) berhubungan dengan harga di pasar fisik. Penentuan harga SICOM mengacu pada harga di pasar fisik Belawan yang merupakan pemasok karet alam bagi SICOM. Sedangkan untuk harga minyak mentah juga berpengaruh signifikan positif tetapi dengan porsi pengaruh yang masih kecil terhadap pembentukan harga karet alam di bursa SICOM yakni apabila harga minyak mentah naik 1 persen maka akan terjadi kenaikan harga karet alam di bursa SICOM sebesar 0.004 persen. Untuk nilai tukar yang berpengaruh signifikan positif adalah Yen yang berarti apabila Yen menguat sebesar 1 persen maka akan menaikkan harga di bursa SICOM sebesar 0.017 persen sedangkan nilai tukar Rupiah bernilai signifikansi negatif
yang menunjukkan apabila terjadi penguatan nilai tukar
rupiah sebesar 1 persen akan menurunkan harga di bursa SICOM sebesar 0.01
122
persen. Sedangkan nilai tukar Singapura sendiri tidak terpengaruh apa-apa bagi harga karet alam di bursa SICOM. Hal ini dikarenakan bursa Singapura hanya sebagai tempat terjadinya transaksi jual beli. Penentuan harga SICOM lebih dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran negara pengekspor dan pengimpor karet alam. 2. Kointegrasi Jangka Pendek Bursa CJCE Hasil persamaan kointegrasi jangka pendek bursa Jepang (CJCE) dipengaruhi oleh harga sebelumnya oleh dirinya sendiri pada lag 2, dan 3 dengan pengaruh positif pada taraf nyata 1 persen seperti pada lag 2 apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen pada 2 periode hari sebelumnya maka akan menaikkan harga di bursa Jepang (CJCE) periode sekarang sebesar 0.06 persen. Sedangkan pengaruh bursa Singapura (SICOM) pada lag 1 berpengaruh positif pada taraf nyata 1 persen yakni apabila terjadi kenaikan sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya (1 hari sebelumnya) harga di bursa SICOM maka akan meningkatkan harga di bursa Jepang (CJCE) periode sekarang sebesar 0.22 persen. Temuan ini mengindikasikan bahwa penentuan harga bursa CJCE masih sangat dipengaruhi hingga mengacu dan mengikuti perkembangan harga yang terjadi bursa SICOM. Namun, pada lag 3 bursa SICOM berpengaruh signifikan negatif pada taraf nyata 10 persen. Artinya apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen pada harga di bursa SICOM pada 3 periode sebelumnya maka akan terjadi penurunan harga di bursa CJCE pada periode sekarang sebesar 0.04 persen. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa ternyata harga yang terbentuk di bursa CJCE tidak saja mengikuti pergerakan tren harga di bursa SICOM tapi juga
123
menjadikan pergerakan harga ini sebagai informasi untuk pembentukan harga yang bersaing dalam rangka menarik pelaku pasar. Sedangkan pasar Belawan tidak berpengaruh pada harga karet yang terbentuk di bursa CJCE. Dengan demikian dapat disimpulkan harga karet alam di bursa Jepang (CJCE) dipengaruhi oleh harga sebelumnya dirinya sendiri dan harga karet alam di bursa SICOM. Sedangkan harga minyak mentah juga berpengaruh signifikan positif pada taraf nyata 1 persen terhadap kenaikan harga di bursa Jepang (CJCE) dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 persen maka harga karet di bursa Jepang juga ikut naik sebesar 0.01 persen. Dari hasil ini diketahui bahwa pengaruh harga minyak mentah ternyata lebih besar terhadap pembentukan harga karet alam di bursa Jepang dibandingkan pada bursa SICOM. Selain itu harga karet di bursa Jepang (CJCE) juga dipengaruhi nilai tukar Yen dan Rupiah pada taraf nyata 1 persen. Untuk Yen berpengaruh positif. Artinya apabila Yen menguat sebesar 1 persen maka akan menaikkan harga karet di bursa Jepang (CJCE) sebesar 0.057 persen sedangkan untuk nilai tukar Rupiah berpengaruh negatif yang berarti apabila Rupiah menguat sebesar 1 persen maka harga karet alam di bursa Jepang (CJCE) akan mengalami penurunan 0.050 persen. Namun berbeda dengan nilai tukar Dollar Singapura yang ternyata tidak berpengaruh terhadap harga karet di bursa CJCE (Jepang). 3. Kointegrasi Jangka Pendek Pasar Belawan Temuan hasil persamaan kointegrasi bahwa pasar Belawan dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga dirinya sendiri
pada lag 1, 2 dan 6 dengan
signifikan negatif seperti pada lag 1 dapat interpretasikan apabila terjadi kenaikan harga karet alam sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya pada pasar Belawan
124
maka harga karet alam di pasar Belawan itu sendiri akan turun sebesar 0.16 persen pada periode sekarang. Pengaruh bursa SICOM yakni pada lag 1,2,3 dan 4 dengan tingkat signifikansi 1 persen bernilai positif seperti pada lag 1 dimana apabila terjadi kenaikan harga karet alam sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya (1 hari sebelumnya) pada bursa SICOM maka akan meningkatkan harga sebesar 0.19 persen di pasar Belawan. Sedangkan pengaruh bursa Jepang (CJCE) berada pada lag 1,3,4,7 dan 8 dengan taraf nyata 1 persen seperti pada lag 3 apabila terjadi kenaikan harga pada 3 hari sebelumnya sebesar 1 persen di bursa CJCE maka harga karet alam di pasar Belawan periode sekarang juga akan naik sebesar 0.09 persen. Hasil ini menguatkan memang sampai saat ini harga karet Indonesia (Belawan) memang masih mengacu pada pergerakan harga bursa SICOM dan CJCE dalam menentukan harga fisik dimasa yang akan datang. Untuk harga minyak mentah ternyata tidak berpengaruh nyata pada harga yang terbentuk di pasar Belawan. Dari hasil ini dapat disimpulkan harga karet yang terbentuk pada jangka pendek di pasar Belawan ditransmisikan langsung dari harga yang terbentuk di bursa SICOM maupun CJCE. Selanjutnya nilai tukar Dollar Singapura dan Yen berpengaruh negatif terhadap pembentukan harga karet alam di pasar Belawan. Hal ini berarti apabila terjadi penguatan nilai kedua mata uang tersebut maka akan menurunkan harga karet di pasar Belawan. Namun hal sebaliknya apabila nilai mata uang melemah (depresiasi) maka harga karet alam juga terdongkrak naik. Sedangkan pengaruh nilai tukar Rupiah bernilai positif dimana apabila Rupiah menguat sebesar 1 persen akan meningkatkan harga karet di pasar Belawan sebesar 0.04 persen.
125
Harga karet jenis TSR20 asal pasar Belawan (Indonesia) lebih responsif terhadap perubahan nilai tukar Dollar Singapura (SGD) dan Yen karena sebagian karet Indonesia di ekspor ke Singapura dan Jepang, sedangkan untuk Singapura sendiri juga merupakan pusat pelabuhan ekspor karet Indonesia ke luar negeri. Faktor inilah yang menjadi memicu secara tidak langsung harga karet alam Indonesia dipengaruhi oleh harga karet alam yang terbentuk di bursa Singapura (SICOM) dan bursa Jepang (CJCE). B. Jenis Karet RSS3 VAR yang mengandung kointegrasi adalah VAR yang terkendala (restricted VAR) yang berarti adanya kointegrasi di dalam model. Dalam hal ini modelnya disebut dengan Vector Error Correction Model (VECM). Tabel 20 menunjukkan estimasi vektor kointegrasi keseimbangan jangka panjang. Dengan menggunakan uji kointegrasi metode Johansen dengan lag optimal 4 maka terjadi tiga kointegrasi dalam sistem VECM. Terdapatnya kointegrasi dalam sistem, menunjukkan bahwa terjadi hubungan struktural jangka panjang antara variabel. Namun dalam jangka panjang ternyata pasar Belawan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bursa TOCOM sebesar -1.09, bursa AFET sebesar -1.09 dan bursa SHFE -1.63. Artinya setiap kenaikan satu persen harga di pasar Belawan maka akan terjadi penurunan harga sebesar 1.09 persen di bursa TOCOM, 1.09 persen di bursa AFET dan juga akan terjadi penurunan harga di bursa SHFE sebesar 1.63 persen. Akan tetapi, di bursa SHFE selain dipengaruhi harga di pasar Belawan juga dipengaruhi oleh adanya trend.
126
Nilai koefisien estimasi untuk harga pada semua bursa bernilai negatif dan elastis. Hal ini menunjukkan bahwa harga di setiap bursa lebih responsif dipengaruhi oleh pasar Belawan. Tabel 20. Kointegrasi Jangka Panjang Jenis Karet RSS3 Persamaan Kointegrasi Kointegrasi 1
Kointegrasi 2
Kointegrasi 3
TOCOM 1.000000
0.000000
0.000000
AFET 0.000000
1.000000
0.000000
Variabel Harga Karet RSS3 SHFE BELAWAN TREND 0.000000
0.000000
1.000000
-1.098576
0.000112
(0.05171)
(8.6E-05)
[-21.2460]*
[ 1.29206]
-1.090112
2.18E-05
(0.04540)
(7.6E-05)
[-24.0136]*
[ 0.28814]
-1.632721
0.000718
(0.16762)
(0.00028)
[-9.74039]*
[ 2.56360]*
C 5.357074
6.450385
12.70331
Keterangan : Angka dalam [ ] adalah nilai statistik *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Hasil ini membuktikan bahwa memang harga di future market tidak akan berada di atas harga spot melebihi biaya carrying cost antara spot market dan future market. Akan tetapi, dengan melakukan transaksi di pasar berjangka dan pasar fisik secara bersamaan dengan posisi yang berlawanan (jual dan beli) untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama akan memperoleh keuntungan. Karena, kedua pasar ini akan saling menutupi kerugian yang diderita pada salah satu pasar. Apalagi tingkat fluktusi pasar fisik lebih tinggi dibanding bursa berjangka AFET dan SHFE berdasarkan hasil koefisien variannya maka bursa berjangka bisa menjadi tempat untuk melakukan lindung nilai (hedging) dari fluktuasi harga. Namun, berbeda dengan bursa TOCOM yang memiliki tingkat fluktuasi yang paling tinggi dibanding pasar lainnya. Tingginya tingkat likuiditas
127
permintaan dan penawaran pada bursa ini menyebabkan harganya memiliki tingkat volatilitas yang tinggi. Bahkan tingkat fluktuasi ini justru dijadikan sarana investasi bagi para pelaku pasar terutama spekulan. Tahapan selanjutnya estimasi output VECM adalah vektor koreksi kesalahan. Tabel 21 menunjukkan bahwa terdapat tiga buah peubah koreksi kesalahan yang signifikan pada taraf nyata 1 persen terhadap bursa TOCOM yakni pada koreksi kesalahan 1,2 dan 3 masing-masing sebesar -0.22, 0.19 dan 0.04 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.22, 0.19 dan 0.04. Tabel 21. Kointegrasi Jangka Pendek Jenis Karet RSS3 Error Correction Kointegrasi 1
TOCOM -0.223420 (0.03248) [-6.87824]*
AFET 0.035751 (0.02737) [ 1.30639]
SHFE 0.033296 (0.02826) [ 1.17808]
BELAWAN 0.077418 (0.02033) [ 3.80778]*
Kointegrasi 2
0.198160 (0.03570) [ 5.55009]*
-0.078775 (0.03008) [-2.61875]*
0.001492 (0.03107) [ 0.04802]
0.022656 (0.02235) [ 1.01380]
Kointegrasi 3
0.043701 (0.00847) [ 5.15682]*
0.032919 (0.00714) [ 4.61068]*
-0.003391 (0.00737) [-0.45993]
-0.010451 (0.00530) [-1.97026]**
Keterangan: Angka dalam [ ] adalah nilai statistik *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645
Sedangkan untuk bursa AFET hanya terdapat dua peubah koreksi kesalahan yakni pada kointegrasi 2 dan kointegrasi 3 masing-masing sebesar -0.07 dan 0.03 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar -0.07 dan 0.03.
128
Seperti dua bursa lainnya pasar Belawan juga terdapat 2 buah peubah yang signifikan yakni pada koreksi kesalahan 1 dan 3 masing-masing sebesar 0.07 dan -0.01 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.07 dan 0.01. Dapat pula diartikan bahwa setiap hari kesalahan dikoreksi sebesar 0.07 dan 0.01. Sedangkan untuk bursa SHFE tidak terdapat peubah koreksi kesalahan. Implikasinya dapat diartikan pasar SHFE adalah pasar yang independent. Selanjutnya berdasarkan hasil kointegrasi jangka pendek juga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel seperti: 1. Hasil Kointegrasi Jangka Pendek bursa TOCOM Perubahan harga di bursa TOCOM dipengaruhi oleh perubahan hargaharga sebelumnya baik untuk harga di bursanya sendiri maupun harga sebelumnya di pasar lainnya. Hal ini berdasarkan persamaan jangka pendek dimana harga pada bursa TOCOM menunjukkan signifikan negatif dipengaruhi harga bursa TOCOM itu sendiri pada lag 1 dan 2 pada taraf nyata 1 persen. Seperti pada lag 1, setiap kenaikan 1 persen harga di bursa TOCOM pada lag 1 akan menurunkan harga di bursa TOCOM itu sendiri sebesar 0.107 persen. Dengan demikian dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh harga sebelumnya berpengaruh negatif atau sebaliknya pada pembentukan harga sekarang di bursa TOCOM. TOCOM juga dipengaruhi oleh harga karet alam di bursa AFET dengan pengaruh signifikansi positif pada lag 1 pada taraf nyata 1 persen. Artinya jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen di bursa AFET akan menaikkan harga karet alam di bursa TOCOM sebesar 0.173 persen. Hasil ini mengisyaratkan bahwa bursa TOCOM melihat pergerakan harga di bursa AFET untuk dijadikan
129
sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam penentuan pembentukan harga, hal ini dapat dipahami karena selain sebagai salah satu pesaing dalam bursa, dsisi lain juga disebabkan supply karet TOCOM sebagian besar berasal dari Thailand yang merupakan tempat bursa AFET. Karena itu bursa TOCOM masih dipengaruhi oleh perkembangan harga yang terjadi Thailand (AFET). Hal ini juga diperkuat penelitian Shigetomi (1995) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga karet Thailand menjadi objek untuk perdagangan karet TOCOM. Sedangkan harga karet bursa SHFE tidak berpengaruh pada harga karet di bursa TOCOM. Kemudian harga karet bursa TOCOM juga dipengaruhi oleh harga sebelumnya di pasar Belawan pada periode lag 1 pada taraf nyata 1 persen dengan pengaruh yang positif, yang berarti kenaikan harga sebesar 1 persen 1 periode hari sebelumnya akan menaikkan harga di bursa TOCOM sebesar 0.121 persen. Hal ini menegaskan kembali bahwa harga antara pasar berjangka (future) berhubungan dengan harga di pasar fisik sebagaimana dapat diketahui bursa TOCOM mengacu pada harga yang terjadi di pasar fisik Belawan dalam rangka menentukan harga. Sedangkan untuk harga minyak mentah juga berpengaruh signifikan positif dengan porsi pengaruh yang kecil dibandingkan pengaruh harga di pasar lainnya. Artinya ketika harga minyak mentah naik 1 persen maka akan terjadi kenaikan harga di bursa TOCOM sebesar 0.019 persen. Untuk nilai tukar yang berpengaruh signifikan positif adalah Yen, Baht, Yuan dan Rupiah. Untuk nilai tukar Yen apabila Yen menguat sebesar 1 persen maka akan menaikkan harga di bursa TOCOM sebesar 0.228 persen, untuk Yuan sebesar 0.069 persen dan nilai tukar Rupiah sebesar 0.046 persen. Namun sebaliknya nilai tukar Baht bernilai signifikansi negatif yang menunjukkan apabila
130
terjadi penguatan nilai tukar Baht sebesar 1 persen akan menurunkan harga di bursa TOCOM sebesar 0.23 persen. 2. Hasil Kointegrasi Jangka Pendek Bursa AFET Bursa AFET dalam jangka pendek dipengaruhi harga sebelumnya dirinya sendiri pada lag 4 dengan pengaruh positif pada taraf nyata 10 persen yang berarti
apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen pada 4 periode hari
sebelumnya akan menaikkan harga di bursa AFET sebesar 0.086 persen. Hasil ini menunjukkan harga sebelumnya di bursa AFET berdampak positif (sejalan) pada pembentukan bursa periode sekarang. Sedangkan pengaruh bursa TOCOM juga berada pada lag 4 akan tetapi berpengaruh negatif yakni apabila terjadi kenaikan sebesar 1 persen pada 4 periode sebelumnya maka akan menurunkan harga di AFET sebesar 0.073 persen pada periode sekarang. Selanjutnya pengaruh harga di pasar Belawan pada lag 1 dengan pengaruh positif pada taraf nyata 5 persen sebesar 0.079 yang berarti jika terjadi kenaikan harga di pasar Belawan 1 periode sebelumnya maka juga akan iringi kenaikan harga di bursa AFET sebesar 0.079 persen pada periode sekarang. Sedangkan bursa SHFE tidak berpengaruh pada bursa AFET. Hal ini berarti dalam jangka pendek terdapat hubungan antara bursa AFET, TOCOM dan Belawan. Harga minyak mentah juga berpengaruh signifikan positif terhadap kenaikan harga di bursa AFET. Dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 persen maka harga karet di bursa AFET juga ikut naik sebesar 0.011 persen.
131
Selain itu harga karet di bursa AFET juga dipengaruhi oleh nilai tukar Baht yang berpengaruh positif pada taraf nyata 10 persen. Apabila Baht menguat sebesar 1 persen maka akan menaikkan harga karet di AFET sebesar 0.06 persen. Selain itu pula harga karet alam di bursa AFET untuk jenis RSS3 juga dipengaruhi oleh nilai tukar Yen pada taraf nyata 10 persen. Untuk Yen akan terjadi penurunan harga sebesar 0.05 di bursa AFET apabila Yen menguat sebesar 1 persen. Namun nilai tukar Yuan berpengaruh positif terhadap harga karet di bursa AFET dimana apabila Yuan menguat sebesar 1 persen maka harga karet alam di bursa AFET juga akan meningkat sebesar 0.101. Sedangkan untuk nilai tukar Rupiah tidak berpengaruh terhadap harga karet yang terbentuk di bursa AFET. Dari hasil ini diketahui nilai tukar Yuan memiliki peran yang besar terhadap penentuan harga karet alam di AFET. Hal ini disebabkan eratnya hubungan perdagangan diantara bursa AFET dan SHFE sehingga ketika mata uang Yuan mengalami guncangan akibatnya juga pada harga yang diterima oleh pelaku pasar di AFET. 3. Hasil Kointegrasi Jangka Pendek Bursa SHFE Harga karet alam di bursa SHFE dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harganya sendiri pada lag 1 dengan signifikan negatif. Hasil ini dapat interpretasikan apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya pada bursanya sendiri maka harga karet alam di bursa SHFE akan turun sebesar 0.106 persen pada periode sekarang. Dengan demikian, dapat disimpulkan harga sebelumnya (lag) dirinya sendiri berdampak negatif atau berlawanan pada pembentukan harga periode sekarang di bursa SHFE. Sedangkan pengaruh harga karet di bursa AFET yakni pada lag 1 pada taraf nyata
132
1 persen dan lag 2 pada taraf nyata 10 persen yang bernilai positif seperti pada lag 1 dimana apabila terjadi kenaikan harga karet alam sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya akan meningkatkan harga sebesar 0.130 persen periode sekarang. Sedangkan pengaruh pasar Belawan pada lag 3 pada taraf nyata 1 persen dengan signifikansi positif dimana apabila terjadi kenaikan harga pada 3 hari sebelumnya maka harga sekarang juga akan naik sebesar 0.09 persen. Sedangkan harga di bursa TOCOM tidak mempunyai pengaruh terhadap pembentukan harga karet alam di bursa SHFE. Pengaruh bursa AFET dan pasar Belawan dikarenakan supply karet untuk bursa SHFE sendiri berasal dari kedua pasar tersebut yakni Thailand dan Indonesia. Sedangkan harga minyak mentah tidak berpengaruh pada harga yang terbentuk di bursa SHFE sedangkan nilai tukar Yuan, Baht dan Yen ternyata juga sama tidak mempengaruhi harga yang terbentuk di bursa SHFE, kecuali Rupiah sebesar 0.05 dengan pengaruh positif pada taraf nyata 1 persen. 4. Hasil Kointegrasi Jangka Pendek Pasar Belawan Harga karet alam pasar Belawan dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga di pasar Belawan sendiri pada lag 1 pada taraf nyata 1 persen dan lag 2, pada taraf nyata 10 persen dengan signifikan negatif. Seperti pada lag 1 dapat interpretasikan apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya maka harga karet alam di pasar Belawan akan turun sebesar 0.104 persen pada periode sekarang. Bursa TOCOM mempunyai pengaruh signifikansi positif terhadap harga karet alam di pasar Belawan yakni pada lag 1 dan lag 2 pada taraf nyata 1 persen.
133
Seperti pada lag 1 jika terjadi kenaikan sebesar 1 persen harga karet di bursa TOCOM maka akan mengakibatkan kenaikan harga di pasar Belawan sebesar 0.126 dan pada lag 2 harga akan mengalami kenaikan sebesar 0.07 persen. pada periode sekarang. Pengaruh bursa SHFE positif pada harga Belawan ada pada lag 1 dan 4 pada taraf nyata 10 persen. Hal ini dapat diartikan apabila terjadi kenaikan harga karet alam di bursa SHFE sebesar 1 persen pada 1 periode sebelumnya maka akan menyebabkan naiknya harga karet alam di pasar Belawan sebesar 0.046 persen sedangkan pada lag 2 akan naik sebesar 0.042 persen. Pengaruh bursa AFET terhadap perkembangan pembentukan harga di pasar Belawan juga cukup berarti yakni berada pada lag 1, 2 dan 3 tingkat signifikansi 1 persen bernilai positif seperti pada lag 1 dimana apabila terjadi kenaikan harga karet alam sebesar 1 persen pada bursa AFET pada 1 periode sebelumnya (1 hari sebelumnya) akan meningkatkan harga di pasar Belawan sebesar sebesar 0.107 persen. Berdasarkan nilai kointegrasi pada jangka pendek diketahui bahwa bursa AFET memiliki nilai tertinggi yang berarti pembentukan harga di Belawan sangat dipengaruhi oleh bursa AFET dibandingkan bursa lainnya. Hal ini dikarenakan Indonesia dan Thailand merupakan sama-sama negara produsen karet terbesar di dunia sehingga harga di kedua negara ini akan saling mempengaruhi. Hasil analisis kointegrasi jangka pendek harga minyak mentah berpengaruh positif pada harga karet di pasar Belawan pada taraf nyata 10 persen sebesar 0.04 yang dapat diinterpretasikan apabila terjadi kenaikan harga minyak sebesar 1 persen makajuga akan diiringi kenaikan harga karet di pasar Belawan
134
sebesar 0.004 persen. Nilai tukar juga berpengaruh terhadap pembentukan harga pasar Belawan. Pengaruh nilai Yen bernilai negatif dimana apabila terjadi penguatan nilai mata uang tersebut akan menurunkan harga karet di pasar Belawan. Sedangkan penguatan harga nilai tukar Rupiah juga akan menaikkan harga karet alam di Belawan. Untuk mata uang Baht dan Yuan ternyata tidak berpengaruh nyata pada perubahan harga karet yang terjadi di pasar Belawan.
6.1.6. Uji Granger Causality A. Jenis Karet TSR20 Untuk mengetahui variabel mana yang lebih berpengaruh terhadap perubahan variabel lainnya maka dilakukan analisis Granger causality. Uji kausalitas ini dilakukan dengan membandingkan nilai probability pada taraf nyata signifikan pada 1, 5 dan 10 persen. Jika nilai probability melebihi taraf nyata maka tolak H0, dan sebaliknya. Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini berarti tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi antara dua pasar/bursa yang dibandingkan dan sebaliknya hipotesis alternatif (H1) berarti terdapat hubungan saling mempengaruhi antara kedua pasar/bursa yang dibandingkan. Berdasarkan Lampiran 7 dapat diketahui pada lag 1 terlihat hubungan antara bursa SICOM dan bursa CJCE merupakan hubungan kausalitas searah. Hal ini menandakan bahwa harga bursa SICOM mempengaruhi harga yang terbentuk di bursa CJCE. Sebaliknya harga karet di bursa CJCE tidak mempengaruhi harga karet di bursa SICOM. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa bursa SICOM bergerak duluan baru kemudian pergerakan harganya diikuti pergerakan harga bursa CJCE.
135
Berbeda dengan hubungan dua bursa tersebut, hubungan harga di pasar Belawan dengan bursa SICOM justru hubungan kausalitas dua arah dimana antara pasar Belawan dan bursa SICOM saling mempengaruhi harga di masing- masing pasar. Begitupun hubungan antara Belawan dan CJCE juga saling mempengaruhi seperti pada Tabel 22 dan Lampiran 7. Pada lag 2, 3 dan 4 terdapat hubungan kausalitas dua arah (timbal balik) antara SICOM, CJCE dan Belawan. Hal ini mengindikasikan terjadi pergerakan harga yang bersamaan (simetris) di ketiga pasar tersebut. Selanjutnya pada lag 5, 6, 7, 8 dan 9 juga terdapat hubungan kausalitas dua arah antara bursa SICOM dan CJCE serta hubungan antara SICOM dan Belawan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pergerakan bersamaan antara SICOM dan CJCE serta antara SICOM dan Belawan. Namun berbeda dengan hubungan antara bursa CJCE dan Belawan yang hanya terdapat hubungan kausalitas searah. Bursa CJCE yang mempengaruhi pergerakan harga di Belawan sebaliknya Belawan tidak mempengaruhi pergerakan harga karet di CJCE. Hasil ini menandakan bahwa harga karet CJCE yang bergerak terlebih dahulu baru kemudian harga Belawan mengikuti pergerakan harga tersebut, sehingga dapat disimpulkan bursa CJCE pemimpin harga bagi harga karet di pasar Belawan. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa hubungan harga antara pasar fisik dan pasar berjangka karet TSR20 saling pengaruh dan mempengaruhi, sehingga dari hasil temuan ini secara langsung memperkuat temuan pada estimasi VECM. Selanjutnya nilai dari lag yang ada maksudnya terdapat pengaruh terhadap
masing-masing variabel harga namun dibutuhkan waktu bagi suatu
variabel harga untuk merespon pergerakan variabel harga lainnya.
136
B. Jenis Karet RSS3 Hasil uji Granger Causality jenis karet RSS3 pada Lampiran 11 dapat disimpulkan pada lag 1 hubungan antara bursa TOCOM, AFET dan SHFE merupakan kausalitas searah dimana hanya bursa TOCOM saja yang mempengaruhi pergerakan harga di bursa AFET dan SHFE. Sebalikanya bursa AFET maupun bursa SHFE tidak mempengaruhi harga bursa TOCOM. Hasil ini mengindikasikan bahwa bursa TOCOM yang bergerak duluan baru kemudian diikuti pergerakan harga bursa lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara pasar ini bersifat hierarkis dimana
bursa TOCOM
merupakan pemimpin pasar sedangkan AFET dan SHFE merupakan pasar pengikut. Berbeda dengan hubungan antara pasar Belawan, bursa TOCOM, dan AFET yang saling mempengaruhi atau juga bersifat kausalitas dua arah. Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa pasar bersifat simetris tidak ada pasar pemimpin maupun pengikut dan harga karet alam antar pasar bergerak bersamaan. Namun berbeda antara hubungan Belawan dan SHFE dimana hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah. Bursa SHFE saja yang mempengaruhi harga karet yang terbentuk di pasar Belawan namun sebaliknya harga karet yang terbentuk di pasar Belawan tidak mempengaruhi harga karet yang terbentuk di bursa SHFE. Dengan demikian pada lag 1 ini bursa SHFE sebagai pasar pemimpin karena bergerak duluan dan pasar Belawan sebagai pengikut. Pada lag 2 dan 3 hubungan antara pasar fisik Belawan dan bursa berjangka saling mempengaruhi atau dengan kata lain disebut juga memiliki hubungan kausalitas timbal balik atau dua arah. Dengan demikian hubungan antara pasar
137
tersebut bersifat simetris dimana antara pasar sama kekuatannya yang ditandai pergerakannnya harga yang terjadi juga sama. Selanjutnya pada lag 4 hubungan antara pasar berjangka bersifat dua arah dimana antar pasar saling mempengaruhi. Hasil ini juga mengindikasikan terjadi pergerakan harga yang serempak antara bursa berjangka pada harga karet alam sehingga hubungan ini disebut juga hubungan simetris. Sedangkan hubungan antara pasar Belawan dan bursa TOCOM dan SHFE juga dua arah yang berarti bersifat simetris. Namun berbeda dengan hubungan antara pasar Belawan dan AFET dimana hanya terdapat hubungan kausalitas searah yakni hanya bursa AFET yang mempengaruhi terbentuknya harga karet di Belawan sebaliknya harga karet Belawan tidak mempengaruhi terbentuknya harga di bursa AFET. Hubungan ini disebut juga hubungan yang bersifat hierarkis dimana bursa AFET sebagai pemimpin harga yang menandakan harganya bergerak duluan dan pasar Belawan sebagai pengikut dari setiap pergerakan harga AFET. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa hubungan harga antara pasar fisik dan pasar berjangka karet RSS3 saling pengaruh dan mempengaruhi. Selanjutnya nilai dari lag yang ada maksudnya terdapat pengaruh terhadap masing-masing variabel harga
namun dibutuhkan waktu bagi suatu variabel harga untuk
merespons pergerakan variabel harga lainnya.
6.1.7. Impulse Response Function A. Jenis Karet TSR20 Impulse Response Function mengkonfirmasi respon dari seluruh variabel terhadap shock satu standar deviasi pada variabel-variabel dalam sistem. Respon
138
karena adanya guncangan (shock) dari variabel harga di pasar fisik Belawan, harga di bursa SICOM, bursa CJCE, terhadap variabel harga dimasing-masing pasar baik fisik maupun berjangka akan dianalisis dengan respon impulse berdasarkan metode dekomposisi Cholesky dengan penyesuaian derajat bebas (Cholesky-degree of fredom adjusted). Guncangan (shock) sebesar satu standar deviasi dan lama periode analisis sampai hari ke 600 (2.5 tahun) dengan memperhatikan bahwa sampai periode tersebut telah mampu menggambarkan respon pergerakan yang telah mencapai titik kestabilan secara konsisten. Pergerakan impulse respon dari masing-masing variabel harga disajikan pada Gambar 10-12 dan selengkapnya pada Lampiran 8. 1. Respon Harga Masing-Masing Pasar terhadap Guncangan Harga SICOM Guncangan sebesar satu standar deviasi harga karet alam di bursa SICOM direspon positif harga karet di bursa SICOM sendiri yang nilainya meningkat dari awal periode sampai ke periode 20 sebesar 0.019. Memasuki periode selanjutnya setelah guncangan, respon bursa SICOM mulai menurun sampai periode jangka panjang. Pada periode 300 hanya direspon sebesar 0.0014. Besarnya respon tersebut dapat diartikan bahwa guncangan satu standar deviasi harga pada bursa SICOM direspon oleh harga di bursa SICOM sendiri dengan peningkatan sebesar 0.0014 seperti disajikan pada Gambar 10. Pada akhir periode hanya direspon sebesar 0.000059. Respon bursa CJCE terhadap guncangan satu standar deviasi harga di bursa SICOM juga direspon positif dari awal periode dan terus mengalami peningkatan sampai periode 20 yakni sebesar 0.014 dan akhirnya respon mengalami penurunan sampai periode jangka panjang.
139
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(SCM) to LOG(SCM) .020
.016
.012
.008
.004
.000 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(CJE) to LOG(SCM) .016
.012
.008
.004
.000 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(BLW ) to LOG(SCM) .020
.016
.012
.008
.004
.000 100
200
300
400
500
600
Gambar 10. Respon Harga Karet Alam di Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa SICOM Keterangan: Skala absis merupakan periode harian
140
Periode 300 respon harga bursa CJCE sebesar 0.0013. Selanjutnya pada akhir periode direspon 0.000057 seperti disajikan pada Gambar 10. Guncangan satu standar deviasi harga karet alam di bursa SICOM direspon harga karet alam di pasar Belawan dengan respon positif dari awal periode sampai periode 20 meningkat hingga 0.016. Kemudian respon selanjutnya menunjukkan penurunan secara perlahan-lahan secara konsisten. Respon mengalami penurunan sampai periode 300 sebesar 0.0014. Selanjutnya menurun kembali sampai akhir periode sebesar 0.000063 seperti disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan guncangan harga karet alam di bursa SICOM pada jangka pendek direspon positif dengan respon terbesar berasal dari SICOM sendiri, Belawan dan CJCE. Memasuki periode jangka panjang respon mengalami penurunan tetap masih direspon positif tetapi mengalami pergeseran dimana respon terbesar berasal dari Belawan, kemudian SICOM dan CJCE. Respon tersebut sejalan dengan temuan hubungan kointegrasi dan Granger causality bahwa harga di pasar SICOM, CJCE dan Belawan dipengaruhi pembentukan harga karet di bursa SICOM. 2. Respon Harga Masing-Masing Pasar terhadap Guncangan Harga CJCE Pola respon harga karet bursa SICOM terhadap guncangan satu standar deviasi harga di bursa CJCE dari awal periode direspon positif dan terus mengalami peningkatan sampai periode 20 sebesar 0.003. Namun setelah itu respon menunjukkan penurunan secara konsisten dengan arah negatif
dalam
jangka panjang hingga menuju titik stabilnya sebesar 0.0001 seperti disajikan pada Gambar 11.
141
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(SCM) to LOG(CJE) .004
.002
.000
-.002
-.004 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(CJE) to LOG(CJE) .016
.012
.008
.004
.000
-.004 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(BLW ) to LOG(CJE) .010 .008 .006 .004 .002 .000 -.002 -.004 100
200
300
400
500
600
Gambar 11. Respon Harga Karet Alam di Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa CJCE Keterangan: skala absis merupakan periode harian
142
Guncangan harga karet bursa CJCE sebesar satu standar deviasi direspon positif bursa CJCE sendiri dari awal periode sebesar 0.011 dan terus mengalami peningkatan sampai periode 6 sebesar 0.013. Setelah itu respon perlahan menurun sampai periode jangka panjang dan bernilai negatif sampai akhir periode. Gambar 11 menunjukkan dampak guncangan harga di bursa CJCE sebesar satu standar deviasi yang direspon negatif pasar Belawan, akan tetapi sangat kecil pada awal periode sebesar 0.0003 kemudian respon perlahan mulai naik secara fluktuatif sampai periode 40 ke arah positif sebesar 0.002. Setelah itu respon kembali mengalami penurunan ke arah negatif sampai akhir periode menjadi sebesar 0.000049. Dengan demikian berdasakan hasil ini dapat diketahui bahwa guncangan harga bursa CJCE pada periode jangka pendek direspon positif dengan respon terbesar berasal dari CJCE, Belawan dan SICOM kemudian pada jangka panjang respon mengalami penurunan sampai direspon negatif dengan respon terbesar secara berurutan berasal dari Belawan, SICOM dan CJCE. 3. Respon Harga Masing-masing Pasar terhadap Guncangan Harga Belawan Guncangan satu standar deviasi harga karet di pasar Belawan direspon positif pada awal periode oleh harga di pasar Belawan sendiri sampai periode 40 sebesar 0.0084. Kemudian respon mengalami penurunan secara berlahan dan konsisten sampai akhir periode hingga pada nilai negatif seperti disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 menunjukkan respon positif harga karet pada periode jangka pendek di bursa SICOM terhadap guncangan satu standar deviasi harga karet di pasar Belawan.
143
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(SCM) to LOG(BLW ) .005 .004 .003 .002 .001 .000 -.001 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(CJE) to LOG(BLW ) .006 .005 .004 .003 .002 .001 .000 -.001 100
200
300
400
500
600
Response of LOG(BLW ) to LOG(BLW ) .012
.008
.004
.000
100
200
300
400
500
600
Gambar 12. Respon Harga Karet Alam di Bursa SICOM, Bursa CJCE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Pasar Belawan Keterangan: skala absis merupakan periode harian
144
Dimana besar respon terus mengalami peningkatan dari awal periode dan mencapai puncaknya pada periode 40 sebesar 0.0.0040. Kemudian setelah itu respon terus menurun secara perlahan-lahan sampai periode jangka panjang, hingga sampai pada akhir periode menunjukkan respon negatif. Respon harga karet alam di bursa Jepang (CJCE) terhadap guncangan satu standar deviasi di pasar Belawan menunjukkan pola respon yang sama pada guncangan harga bursa SICOM. Awal periode direspon positif dan mencapai puncaknya pada periode 40 sebesar 0.0054. Setelah itu respon kembali menurun hingga periode jangka panjang bahkan pada akhir periode menunjukkan respon negatif seperti disajikan pada Gambar 12. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa guncangan yang berasal dari Belawan pada jangka pendek direspon positif dengan respon terbesar diberikan oleh Belawan sendiri, kemudian CJCE dan SICOM memasuki periode jangka panjang respon mengalami penurunan hingga kearah negatif dengan respon terbesar berasal dari Belawan, kemudian SICOM dan CJCE. Namun secara keseluruhan respon yang diberikan terhadap guncangan sama, meningkat pada awal periode dan mengalami penurunan pada akhir periode serta magnitude dari respon dinamik relatif kecil. Artinya guncangan harga karet alam di bursa-bursa dan pasar fisik direspon kecil atau kurang kuat dalam mempengaruhi harga yang terbentuk. Hal ini dikarenakan harga karet tidak saja dipengaruhi faktor harga saja namun lebih dipengaruhi kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi. Selain itu harga karet alam juga dipengaruhi harga karet sintesis sebagai pesaing karet
145
alam dan hasil produk- produk barang jadi karet. Oleh karena itu respon yang diberikan sangat kecil terhadap guncangan harga yang terjadi pada tiap pasar. Dalam jangka pendek dan panjang harga di pasar Belawan sangat merespon terhadap adanya guncangan di SICOM dan CJCE. Pekanya harga pasar Belawan lebih dipengaruhi besarnya ketergantungan pasar karet Belawan pada pasar luar negeri, karena memang sampai saat ini sebagian besar hasil produksi karet ditujukan untuk ekspor tujuan Singapura dan Jepang yang merupakan tempat bursa SICOM dan CJCE. B. Jenis Karet RSS3 Impulse Response Function mengkonfirmasi respon dinamis dari seluruh variabel terhadap shock satu standar deviasi pada variabel-variabel dalam sistem. Respon dinamik terjadi karena adanya guncangan (shock) dari variabel harga di pasar fisik Belawan, TOCOM, AFET dan SHFE terhadap variabel harga itu sendiri yang akan dianalisis dengan respon impulse berdasarkam metode dekomposisi Cholesky dengan penyesuaian derajat bebas (Cholesky-degree of fredom adjusted). Guncangan (shock) sebesar satu standar deviasi dan lama periode analisis sampai hari ke 300 (1.2 tahun) dengan memperhatikan bahwa sampai periode tersebut telah mampu menggambarkan respon pergerakan yang telah mencapai titik kestabilan secara konsisten. Pergerakan impulse respon dari masing-masing variabel harga disajikan pada Gambar 13-16 dan selengkapnya pada Lampiran 9. 1. Respon Harga di Masing-Masing Pasar terhadap Guncangan TOCOM Guncangan harga karet di bursa TOCOM sebesar satu standar deviasi direspon positif pada harga karet di bursa TOCOM itu sendiri dari awal periode
146
mencapai puncak tertinggi pada periode 1 sebesar 0.021. Selanjutnya respon menurun secara konsisten sampai periode jangka panjang seperti yang disajikan Gambar 13. Gambar 13 menunjukkan bahwa respon bursa AFET terhadap guncangan harga karet di bursa TOCOM sebesar satu standar deviasi direspon positif pada periode awal sebesar 0.014 dan meningkat sampai periode 4. Periode selanjutnya respon terjadi penurunan sampai akhir periode tetapi tetap direspon positif. Pada Gambar 13 menunjukkan guncangan harga karet alam pada bursa TOCOM sebesar satu standar deviasi direspon positif harga karet di bursa SHFE dari awal periode sebesar 0.0085 kemudian respon terus menunjukkan kenaikan sampai periode 10. Selanjutnya memasuki periode jangka panjang sampai akhir periode respon terus mengalami penurunan masih direspon positif. Guncangan harga karet di TOCOM satu standar deviasi yakni direspon negatif harga karet di bursa pasar Belawan dari awal periode 1 sebesar 0.00013. Periode berikutnya respon menunjukkan kenaikan hingga ke arah positif sampai periode jangka panjang seperti yang disajikan Gambar 13. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis ini diketahui bahwa dampak guncangan bursa TOCOM pada jangka pendek direspon positif dengan respon terbesar berasal dari TOCOM, baru kemudian berturut-turut AFET, Belawan dan SHFE selanjutnya memasuki periode jangka panjang respon juga mengalami penurunan tetapi tetap dengan arah positif dengan respon terbesar pertama berasal dari SHFE, kemudian AFET baru TOCOM dan Belawan.
147
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(TCM) to LOG(TCM)
Response of LOG(AFET) to LOG(TCM)
.024
.020
.020
.016
.016 .012 .012 .008 .008 .004
.004 .000
.000 50
100
150
200
250
300
50
Response of LOG(SHFE) to LOG(TCM)
100
150
200
250
300
Response of LOG(BLW) to LOG(TCM)
.016
.016
.012
.012
.008 .008 .004 .004
.000
.000
-.004 50
100
150
200
250
300
50
100
150
200
250
300
Gambar 13. Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa TOCOM Keterangan: skala absis merupakan periode harian
148
2. Respon Harga di Masing-Masing Pasar Guncangan AFET Pola respon harga karet di bursa AFET terhadap guncangan satu standar deviasi harga karet di bursa AFET sendiri direspon positif dari awal periode dan mencapai puncaknya pada periode 3 sebesar 0.0113. Kemudian respon terus menurun secara konsisten sampai periode akhir tetap dengan respon positif sebesar 0.00000441 seperti terlihat pada Gambar 14. Respon harga karet di bursa TOCOM seperti ditunjukkan pada Gambar 14 terhadap guncangan sebesar satu standar deviasi harga karet alam di bursa AFET mengarah positif dari awal periode dan mencapai puncak tertinggi pada periode 8 sebesar 0.0088 dan respon mengalami penurunan secara konsisten pada periode selanjutnya sampai akhir periode. Guncangan harga karet alam bursa AFET sebesar satu standar deviasi direspon positif bursa SHFE. Nilai respon yang terus meningkat mulai dari awal periode dan terus mengalami peningkatan hingga pada periode 9 sebesar 0.0062. Setelah itu respon menurun sampai akhir periode terlihat pada Gambar 14. Respon positif TOCOM dan SHFE terhadap guncangan AFET dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil ini dapat dipahami karena selama ini tujuan ekspor Thailand yang utama ke China dan Jepang sehingga secara langsung guncangan bursa TOCOM dan SHFE sangat berpengaruh terhadap harga karet yang terbentuk di AFET. Berdasarkan Gambar 14 menunjukkan pola respon positif pasar Belawan terhadap guncangan sebesar satu standar deviasi harga karet di bursa AFET mulai dari periode pertama kemudian mencapai puncaknya pada periode 10 sebesar 0.0075.
149
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(TCM) to LOG(AFET)
Response of LOG(AFET) to LOG(AFET)
.009
.012
.008 .010 .007 .006
.008
.005 .006 .004 .003
.004
.002 .002 .001 .000
.000 50
100
150
200
250
300
50
Response of LOG(SHFE) to LOG(AFET)
100
150
200
250
300
Response of LOG(BLW) to LOG(AFET)
.007
.008
.006
.007 .006
.005
.005 .004 .004 .003 .003 .002
.002
.001
.001
.000
.000 50
100
150
200
250
300
50
100
150
200
250
300
Gambar 14. Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa AFET Keterangan: skala absis merupakan periode harian
150
Berikutnya respon menunjukkan penurunan masih dengan arah positif sampai akhir periode menjadi hanya sebesar 0.00000469. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guncangan harga di bursa AFET direspon positif pada jangka pendek dengan respon terbesar berturut-turut dari AFET, TOCOM, Belawan dan SHFE, sedangkan periode jangka panjang respon tetap positif dengan respon terbesar secara berurutan dari SHFE, Belawan, AFET dan TOCOM. 3. Respon Harga di Masing-Masing Pasar terhadap Guncangan Harga SHFE Guncangan harga karet di bursa SHFE sebesar satu standar deviasi direspon positif oleh harga karet alam di bursa SHFE sendiri dari awal periode 1 sebesar 0.0159. Selanjutnya terlihat pada Gambar 15 respon menurun secara konsisten sampai akhir periode sebesar 0.0001. Gambar 15 menunjukkan guncangan harga karet di bursa SHFE sebesar satu standar deviasi direspon positif bursa TOCOM pada awal periode 2 sebesar 0.0005 selanjutnya respon meningkat secara konsisten mencapai puncak sampai periode 40 sebesar 0.0065. Sesudah itu respon kembali mengalami penurunan sampai akhir periode menjadi sebesar 0.000091. Guncangan harga SHFE sebesar satu standar deviasi direspon positif bursa AFET dari pada awal periode 2 sebesar 0.00015 dan mencapai puncaknya pada periode 40 sebesar 0.0065. Periode selanjutnya respon menunjukkan penurunan juga masih dengan arah positif sampai akhir periode sebesar 0.000096 seperti terlihat pada Gambar 15. Hal ini dapat dipahami karena sebesar 70 persen supply karet China berasal dari Thailand sehingga secara tidak langsung harga bursa AFET mempengaruhi pembentukan harga di bursa SHFE.
151
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(TCM) to LOG(SHFE)
Response of LOG(AFET) to LOG(SHFE)
.007
.007
.006
.006
.005
.005
.004
.004
.003
.003
.002
.002
.001
.001
.000
.000 50
100
150
200
250
300
50
Response of LOG(SHFE) to LOG(SHFE)
100
150
200
250
300
Response of LOG(BLW) to LOG(SHFE)
.020
.006 .005
.016
.004 .012 .003 .008 .002 .004
.001
.000
.000 50
100
150
200
250
300
50
100
150
200
250
300
Gambar 15. Respon Harga Karet Alam di Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Bursa SHFE Keterangan: skala absis merupakan periode harian
152
Contohya apabila Thailand menurunkan penawarannya pada bursa SHFE maka akan mengguncang harga karet bursa SHFE yang bisa berimplikasi pada kenaikan harga dan sebaliknya bisa mengakibatkan penurunan harga pada bursa AFET. Implikasinya para pelaku pasar terutama para traders akan melakukan aksi beli pada pasar yang menawarkan harga lebih rendah. Namun demikian dengan fenomena ini bursa AFET harus mampu mengatur supply agar tetap mampu membentuk harga dengan tepat sehingga bisa menarik bagi para pelaku pasar. Pola respon harga karet alam di pasar Belawan terhadap guncangan harga karet di bursa SHFE sebesar satu standar deviasi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 15 direspon positif dengan puncak pada periode 50 sebesar 0.0059. Selanjutnya respon memperlihatkan penurunan secara konsisten tetap pada arah positif sampai akhir periode sebesar 0.00010 seperti pada Gambar 15. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis ini didapatkan hasil bahwa guncangan yang berasal dari bursa SHFE direspon positif pada jangka pendek dengan respon terbesar berturut-turut berasal dari SHFE, TOCOM, AFET dan Belawan pada periode jangka panjang respon terbesar diberikan SHFE, dilanjutkan Belawan, AFET dan TOCOM. 4. Respon Harga Masing-Masing Pasar terhadap Guncangan Harga Belawan Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan bahwa guncangan harga karet di pasar Belawan direspon positif pasar Belawan sendiri dengan puncak pada periode pertama sebesar 0.013. Selanjutnya respon mengalami penurunan hingga sebesar 0.000089
pada periode 10. Bentuk respon bursa TOCOM terhadap
guncangan harga karet di pasar Belawan sebesar satu standar deviasi adalah direspon positif dari awal periode.
153
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG(TCM) to LOG(BLW)
Response of LOG(AFET) to LOG(BLW)
.002
.001
.001
.000
.000 -.001 -.001 -.002
-.002
-.003
-.003 50
100
150
200
250
300
50
Response of LOG(SHFE) to LOG(BLW)
100
150
200
250
300
Response of LOG(BLW) to LOG(BLW)
.002
.016
.001 .012 .000 .008
-.001 -.002
.004
-.003 .000 -.004 -.005
-.004 50
100
150
200
250
300
50
100
150
200
250
300
Gambar 16. Respon Harga Karet Alam Bursa TOCOM, Bursa AFET, Bursa SHFE dan Pasar Belawan terhadap Guncangan Harga Karet Alam Pasar Belawan Keterangan: skala absis merupakan periode harian
154
Kemudian mencapai puncaknya pada periode 4 sebesar 0.0003 seperti terlihat pada Gambar 16. Sesudah itu respon menunjukkan arah penurunan menunjuk arah negatif sampai akhir periode yakni hanya sebesar 0.000088. Guncangan harga karet alam pasar Belawan direspon positif bursa AFET dari awal periode hingga mencapai puncaknya pada periode 5 sebesar 0.00021. Kemudian respon mengalami penurunan ke arah negatif sampai akhir periode hanya sebesar 0.000035 seperti terlihat pada Gambar 16. Respon harga karet alam di bursa SHFE terhadap guncangan harga karet di Belawan sebesar satu standar deviasi terlihat pada Gambar 16 juga bernilai positif dari periode 2 sebesar 0.0002. Periode selanjutnya respon menunjukkan penurunan ke arah negatif secara konsisten sampai akhir periode sebesar 0.000041. Berdasarkan hasil analisis ini maka guncangan yang berasal dari Belawan direspon positif pada jangka pendek terbesar berasal dari Belawan, baru kemudian TOCOM, AFET dan SHFE sedangkan pada periode jangka panjang respon mengalami penurunan sampai ke arah negatif dengan respon terbesar secara berurutan berasal dari SHFE, Belawan, AFET dan TOCOM. Hasil ini juga sejalan dengan persamaan kointegrasi dan analisis Granger dimana bursa TOCOM, AFET, SHFE dan Belawan saling mempengaruhi pembentukan harga karet di pasar Belawan. Besarnya respon SHFE pada jangka panjang karena supply karet SHFE juga berasal dari Indonesia (Belawan). Secara keseluruhan walaupun magnitude respon yang diberikan sangat kecil terhadap setiap guncangan, namun dalam jangka pendek ternyata TOCOM merespon cukup besar dibandingkan pasar lainnya jika mendapat guncangan dari
155
masing-masing pasar. Hal ini dikarenakan sampai saat ini 100 persen supply karet alam TOCOM (Jepang) dipenuhi dari impor terutama berasal dari Thailand dan Indonesia ditambah lagi konsumsi pemakaian karet alamnya juga tinggi, inilah faktor yang menyebabkan respon yang besar diberikan TOCOM pada guncangan pasar produsen (Belawan dan AFET). Selain itu juga adanya persaingan antara bursa sehingga antar bursa saling mempengaruhi. Sedangkan dalam jangka panjang ternyata bursa SHFE memberikan respon paling besar pada setiap guncangan. Hal ini lebih dikarenakan besarnya kebutuhan karet alam SHFE dalam rangka memenuhi kebutuhan industri dalam negerinya (China), sehingga mengakibatkan besarnya ketergantungan pada karet impor. Selain itu bursa SHFE sebagai salah satu bursa yang memperdagangkan karet juga sangat dipengaruhi bursa lainnya dikarenakan antar bursa saling bersaing dalam harga. Implikasinya SHFE mempertimbangkan harga bursa lainnya dalam rangka membentuk harga yang bisa bersaing dan menarik pelaku pasar untuk bertransaksi di bursanya.
6.1.8. Variance Decomposition A. Jenis Karet TSR20 Dalam analisis ini akan dianalisis besar peran guncangan setiap variabel harga karet alam jenis TSR20 di pasar fisik (pasar Belawan), harga karet pasar berjangka (SICOM dan CJCE) dalam menjelaskan variabilitas variabel harga setiap pasar baik fisik maupun berjangka menggunakan variance decomposition yang disajikan pada Tabel 22-24.
156
1. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga SICOM Variabilitas harga bursa SICOM dalam jangka pendek (periode 1) dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri sebesar 100 persen. Kemudian kontribusinya mulai berkurang pada periode kedua menjadi sebesar 99.99 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh harga bursa Jepang (CJCE) dan harga Belawan seperti pada Tabel 22. Periode 10 variabilitas harga di bursa SICOM dijelaskan oleh guncangannya sendiri sebesar 95.63 persen, harga bursa Jepang (CJCE) sebesar 3.080 persen dan harga pasar Belawan sebesar 1.28 persen. Namun memasuki periode jangka panjang (periode 100) guncangan harga bursa Jepang dan pasar Belawan semakin meningkat menjelaskan variabilitas harga di bursa SICOM masing-masing sebesar 3.17 persen dan 4.099 persen. Selanjutnya dalam jangka panjang (periode 600) variabilitas harga SICOM dijelaskan oleh guncangannya sendiri sebesar 90.17 persen sedangkan guncangan harga bursa CJCE meningkat menjadi sebesar 6.29 persen dan kontribusi guncangan pasar Belawan mengalami sedikit penurunan menjadi sebesar 3.52 persen. Besarnya kontribusi bursa SICOM dalam menjelaskan pembentukan harga yang terjadi pada dirinya sendiri menandakan bursa ini sebagai pasar pemimpin karet TSR20. Bursa SICOM merupakan bursa terbesar dunia untuk jenis karet alam TSR20 dimana transaksi yang terjadi sangat likuid menjadikan informasi pergerakan harganya menjadi harga acuan bagi pasar-pasar lainnya. Alasan lainnya mudahnya akses informasi ditunjang infrastruktur yang baik membuat bursa SICOM diminati para pelaku pasar seperti hedger baik
157
produsen maupun konsumen dan spekulan, sehingga membuat bursa ini menjadi bursa terbesar dan memiliki kekuatan dalam mengendalikan harga karet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bursa SICOM merupakan acuan harga karet dunia, setiap pergerakan harga yang terjadi pada SICOM akan mempengaruhi pembentukan harga karet di pasar lainnya. Dalam dunia perdagangan karet Internasional bursa Singapura (SICOM) memang memiliki peran yang sangat penting. Negara ini memiliki letak yang strategis karena berdekatan dengan ketiga negara produsen karet alam terbesar di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand. Keunggulan lain Singapura adalah fasilitas pelabuhan dan sebagai pusat perdagangan Asia Tenggara. Urusan yang menyangkut pengapalan, asuransi serta fasilitas pembayaran tersedia dengan lengkap. Hubungan dengan semua pasar karet dimanca negara mudah dilakukan dari Singapura hingga sangat menentukan harga penjualan produk karet. Perkembangan harga karet yang berlaku di SICOM juga akan berpengaruh besar terhadap harga karet terutama di London dan New York. Pihak pembeli atau importir karet dan agen/dealer yang terdapat di Singapura adalah sumber yang mudah dihubungi setiap saat mampu melayani pembelian. Hal inilah yang menjadikan banyaknya pihak pembeli yang membeli bahan baku karet melalui bursa Singapura (SICOM). Bahkan, untuk kebutuhan pasokan bahan baku karet, perusahan-perusahaan ban luar negeri lebih memilih SICOM sebagai tempat untuk pembelian demi keamanan supply dari bahan baku yang dibutuhkan.
158
Tabel 22. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 SICOM Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600
LOG(SCM) 100.0000 99.99690 99.77057 98.97578 98.08851 96.97467 96.11572 95.74206 95.67190 95.63844 95.22485 94.98475 94.25665 93.44839 92.72173 92.11394 91.62475 91.24182 90.94889 90.72925 90.56744 90.45008 90.36611 90.30674 90.26522 90.23645 90.21667 90.20317 90.19402 90.18784 90.18370 90.18093 90.17908 90.17786 90.17704 90.17651 90.17616 90.17592 90.17577 90.17567
Guncangan (%) LOG(CJE) 0.000000 0.002092 0.132014 0.667093 1.353804 2.311989 2.973805 3.119611 3.120676 3.080534 2.484350 1.406522 1.633934 2.365974 3.178811 3.912271 4.518732 4.996336 5.360528 5.631698 5.829826 5.972340 6.073502 6.144497 6.193831 6.227820 6.251062 6.266852 6.277518 6.284686 6.289483 6.292680 6.294804 6.296211 6.297141 6.297753 6.298156 6.298421 6.298594 6.298708
LOG(BLW) 0.000000 0.001004 0.097416 0.357123 0.557690 0.713341 0.910477 1.138326 1.207420 1.281029 2.290799 3.608725 4.109416 4.185632 4.099460 3.973793 3.856515 3.761844 3.690582 3.639050 3.602731 3.577582 3.560393 3.548758 3.540944 3.535729 3.532264 3.529973 3.528463 3.527470 3.526819 3.526393 3.526115 3.525933 3.525815 3.525738 3.525688 3.525655 3.525634 3.525620
159
2. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga CJCE Tabel 23 menunjukkan variabilitas harga bursa Jepang (CJCE) dalam periode 1 dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri sebesar 77.52 persen. Selanjutnya peran guncangan harga bursa CJCE sendiri makin berkurang hingga pada periode 20 hanya sebesar 43.53 persen dan sisanya dijelaskan oleh harga bursa SICOM sebesar 52.20 persen dan harga pasar Belawan sebesar 4.26 persen. Namun dalam jangka panjang kontribusi guncangan SICOM dan Belawan meningkat dalam menjelaskan variabilitas harga di bursa Jepang (CJCE). Pada akhir periode (periode 600) variabilitas harga bursa CJCE dijelaskan oleh guncangannya sendiri hanya sebesar 17.74 persen, harga bursa SICOM sebesar 73.97 persen dan harga pasar belawan sebesar 8.27 persen. Hasil ini memberikan kesimpulan besarnya pengaruh bursa SICOM pada pembentukan harga yang terjadi di bursa CJCE. Hal ini membenarkan bahwa bursa SICOM sebagai pemimpin dan penentu dalam harga pasar karet alam jenis TSR20 sedangkan bursa Jepang (CJCE) sebagai (pengikut). Hubungan saling pengaruh ini dapat dipahami karena kedua bursa ini saling bersaing dalam harga dalam rangka menarik pelaku pasar maka dari itu perkembangan harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga yang terjadi di bursa SICOM. Sedangkan pengaruh pasar Belawan pada CJCE lebih dikarenakan supply karet untuk CJCE berasal dari Belawan. Dengan demikian secara langsung harga karet alam pasar Belawan juga akan ikut mempengaruhi pembentukan harga karet di bursa Jepang (CJCE).
160
Tabel 23. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 CJCE Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 460 480 500 520 540 560 580 600
LOG(SCM) 22.47545 32.20801 36.35777 37.78686 39.08564 39.70956 40.57395 41.67595 42.92868 44.17823 52.20263 61.29103 66.44672 69.54184 71.41270 72.53216 73.19007 73.56789 73.77874 73.89214 73.95008 73.97742 73.98854 73.99153 73.99082 73.98870 73.98631 73.98414 73.98235 73.98097 73.97993 73.97864 73.97826 73.97800 73.97782 73.97770 73.97761 73.97756 73.97752
Guncangan (%) LOG(CJE) 77.52455 67.76910 63.46718 61.79398 60.19682 59.21876 58.01138 56.66849 55.16240 53.69910 43.53277 31.25615 24.56914 21.00367 19.15204 18.22450 17.78778 17.60580 17.55081 17.55463 17.58186 17.61501 17.64615 17.67230 17.69291 17.70852 17.71999 17.72825 17.73409 17.73817 17.74099 17.74423 17.74512 17.74571 17.74611 17.74638 17.74655 17.74667 17.74675
LOG(BLW) 0.000000 0.022887 0.175055 0.419155 0.717540 1.071680 1.414666 1.655569 1.908924 2.122664 4.264604 7.452815 8.984139 9.454492 9.435254 9.243337 9.022154 8.826307 8.670452 8.553232 8.468053 8.407566 8.365318 8.336175 8.316268 8.302778 8.293694 8.287612 8.283557 8.280864 8.279082 8.277131 8.276623 8.276289 8.276071 8.275928 8.275834 8.275774 8.275734
161
3. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga Belawan Variabilitas harga pasar Belawan dalam jangka pendek (periode 1) dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri sebesar 99.67 persen. Selanjutnya peran guncangan harga pasar Belawan
sendiri mulai berkurang mulai
periode 2
menjadi sebesar 90.83 persen dan sisanya dijelaskan oleh harga bursa SICOM sebesar 7.95 persen dan harga bursa
Jepang (CJCE)
sebesar 1.21 persen,
kemudian pada periode 20 variabillitas harga di pasar Belawan kontribusi terbesar dipengaruhi oleh harga bursa SICOM 59.34 persen, harga bursa Jepang (CJCE) sebesar 14.90 persen, setelah itu baru dipengaruhi oleh guncangan dirinya persen 25.75 persen. Namun dalam jangka panjang peran guncangan bursa SICOM dan bursa Jepang (CJCE) makin meningkat dalam menjelaskan variabilitas harga di pasar Belawan. Dalam jangka panjang (periode 600) kontribusi guncangan harga SICOM dalam menjelaskan variabilitas harga Belawan menjadi sebesar 77.23 persen, guncangan dirinya sendiri sebesar 14.87 persen, guncangan yang berasal dari harga bursa Jepang (CJCE) menjadi sebesar 7.88 persen, seperti disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan hasil ini memberikan informasi bahwa harga bursa SICOM sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan harga di Belawan. Sedangkan kontribusi guncangan Belawan sendiri juga lebih besar dibandingkan kontribusi CJCE, dikarenakan Belawan merupakan pasar produsen sehingga memiliki kekuatan untuk menentukan harga. Sedangkan kontribusi terkecil berasal dari CJCE, yang juga merupakan salah satu pasar tujuan ekspor karet alam Indonesia.
162
Tabel 24. Variance Decomposition Harga Karet TSR20 Pasar Belawan Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600
Guncangan (%) LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) 0.249379 0.076277 99.67434 7.956785 1.211859 90.83136 18.50394 2.100404 79.39566 28.94805 3.639419 67.41253 36.94126 5.853705 57.20503 41.77591 7.560335 50.66376 44.87788 9.666458 45.45566 47.15718 11.77758 41.06524 48.53669 13.41231 38.05100 50.04766 14.34615 35.60619 59.34022 14.90609 25.75369 67.24634 10.62527 22.12839 71.52386 7.981243 20.49489 74.06024 6.804939 19.13482 75.55094 6.436543 18.01252 76.40291 6.461203 17.13588 76.87164 6.650171 16.47819 77.11642 6.885550 15.99803 77.23449 7.111398 15.65411 77.28372 7.305026 15.41125 77.29760 7.460726 15.24167 77.29488 7.580766 15.12435 77.28561 7.670565 15.04382 77.27485 7.736219 14.98893 77.26490 7.783362 14.95174 77.25661 7.816720 14.92667 77.25011 7.840040 14.90985 77.24520 7.856178 14.89862 77.24160 7.867251 14.89115 77.23902 7.874792 14.88619 77.23720 7.879897 14.88291 77.23593 7.883333 14.88074 77.23505 7.885636 14.87932 77.23445 7.887172 14.87838 77.23404 7.888194 14.87777 77.23377 7.888871 14.87736 77.23358 7.889319 14.87710 77.23346 7.889614 14.87693 77.23337 7.889808 14.87682 77.23332 7.889936 14.87674 Cholesky Ordering: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW)
163
Dengan demikian hasil ini membenarkan bahwa bursa Bursa Singapura (SICOM) pemimpin dan penentu dalam harga pasar karet alam jenis TSR20. Hal ini diperkuat oleh Abdurrahim (2006) yang menyatakan bahwa memang ada kecenderungan konsumen utama karet terutama yang berasal dari perusahaan ban Michelin dan Bridgestone lebih memilih Singapura sebagai dasar tempat pembelian bahan baku karet yang dibutuhkan. Selain itu juga memang lebih dari 50 persen perdagangan karet alam dunia ditangani oleh Singapura. B. Jenis Karet RSS3 Dalam analisis ini akan dianalisis besar peran setiap guncangan variabel harga karet di pasar fisik (pasar Belawan), harga karet pasar berjangka (TOCOM, AFET dan SHFE), dalam menjelaskan variabilitas variabel setiap pasar. Penggunaan analisis variance decomposition ini pula dapat diketahui pergeseran kontribusi dari masing-masing variabel terhadap harga baik harga di pasar fisik maupun harga yang terjadi di pasar berjangka yang disajikan pada Tabel 25-28. 1. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga TOCOM Variabilitas harga bursa TOCOM periode 1 dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri sebesar 100 persen kemudian variabilitasnya mulai berkurang pada periode kedua menjadi sebesar 97.72 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya. Selanjutnya pada periode ke 30 variabilitas harga TOCOM dijelaskan oleh guncangan bursa AFET sebesar 17.13 persen, bursa SHFE sebesar 6.98 persen, pasar Belawan sebesar 1.55 persen, serta sisanya baru dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 78.39 persen seperti pada Tabel 25.
164
Tabel 25. Variance Decomposition Harga Karet RSS3 TOCOM Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM) 100.0000 97.72738 95.18186 92.59337 90.80761 89.30204 87.97974 86.80488 85.75764 84.81176 78.39457 74.32346 71.16310 68.62074 66.60378 65.03829 63.84728 62.95622 62.29879 61.81940 61.47331 61.22560 61.04963 60.92544 60.83828 60.77742 60.73510 60.70578 60.68553 60.67159 60.66201 60.65544 60.65095 60.64788 60.64578 60.64435 60.64338 60.64272 60.64227
Guncangan (%) LOG(AFET) LOG(SHFE) 0.000000 0.000000 2.115580 0.030827 4.555856 0.163373 6.961938 0.364937 8.632530 0.496214 10.01174 0.623709 11.17806 0.767531 12.16536 0.928195 12.99944 1.101794 13.70907 1.289261 16.90727 3.819914 17.13797 6.987270 16.60916 10.12293 15.95883 12.87807 15.37672 15.14015 14.90749 16.92063 14.54761 18.28278 14.27936 19.30376 14.08308 20.05715 13.94135 20.60618 13.84002 21.00216 13.76817 21.28528 13.71756 21.48619 13.68210 21.62785 13.65738 21.72718 13.64022 21.79649 13.62834 21.84465 13.62015 21.87799 13.61452 21.90100 13.61065 21.91684 13.60800 21.92772 13.60619 21.93517 13.60495 21.94028 13.60411 21.94376 13.60353 21.94614 13.60314 21.94776 13.60288 21.94886 13.60269 21.94961 13.60257
21.95012
LOG(BLW) 0.000000 0.126208 0.098912 0.079751 0.063642 0.062515 0.074673 0.101558 0.141127 0.189910 0.878248 1.551300 2.104811 2.542359 2.879340 3.133587 3.322333 3.460659 3.560972 3.633075 3.684506 3.720948 3.746618 3.764607 3.777156 3.785875 3.791911 3.796078 3.798946 3.800917 3.802267 3.803191 3.803823 3.804254 3.804547 3.804747 3.804883 3.804976 3.805039
165
Dalam jangka panjang (periode 300) juga terjadi pergeseran kontribusi guncangan dalam menunjukkan variabilitas harga TOCOM yang dijelaskan guncangannya sendiri sebesar 60.64 persen sedangkan bursa AFET sebesar turun menjadi sebesar 13.60 persen,
bursa SHFE naik menjadi
21.95
kemudian
disusul pasar Belawan yang juga mengalami kenaikan menjadi 3.80 persen. Berarti dalam jangka panjang kontribusi terbesar yang menjelaskan panjang variabilitas harga di bursa TOCOM selain dijelaskan oleh dirinya sendiri juga dijelaskan oleh guncangan harga di bursa SHFE, kontribusi terbesar ketiga adalah harga bursa AFET baru pasar Belawan seperti terlihat pada Tabel 25. Hal ini membenarkan bahwa bursa TOCOM pemimpin dan lebih independent dalam menentukan harga karet alam jenis RSS3 karena kecilnya persentase kontribusi pasar lain terhadap harga yang terbentuk di TOCOM. Selain itu pula untuk pasar Jepang sebagian besar perdagangan karet alam juga dilakukan melalui direct trading antara processor/eksportir yang ada di negara produsen. Hasil ini diperkuat temuan Shigetomi (1995) bahwa banyak terdapat pembeli yang berasal dari industri otomotif terutama perusahaan ban yang ada di Jepang sendiri melakukan transaksi di TOCOM dalam rangka melakukan hedging untuk kontinuitas jaminan bahan baku karet. 2. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga AFET Variabilitas harga bursa AFET dalam periode 1 dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri yakni hanya sebesar 38.31 persen, dan sisanya dijelaskan oleh bursa TOCOM sebesar 61.68 persen. Periode 30 kontribusi bursa TOCOM sebesar 66.63 persen, bursa Shanghai (SHFE) sebesar 6.31 persen yang disajikan pada Tabel 26.
166
Tabel 26. Variance Decomposition Harga Karet RSS3 AFET Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 291 300
LOG(TCM) 61.68399 64.67484 64.91300 66.00919 66.65095 67.12859 67.49393 67.79181 68.02258 68.19938 68.17980 66.63444 64.67747 62.77605 61.12235 58.70790 57.89547 57.28673 56.83774 56.51076 56.27513 56.10683 55.98752 55.90349 55.84463 55.80360 55.77512 55.75542 55.74183 55.73248 55.72606 55.72167 55.71866 55.71661 55.71521 55.71426 55.71361 55.71356 55.71317
Guncangan (%) LOG(AFET) LOG(SHFE) 38.31601 0.000000 35.19078 0.003303 34.94486 0.019391 33.82253 0.075331 33.12026 0.153608 32.55707 0.252084 32.07829 0.372100 31.64292 0.509658 31.25096 0.664127 30.89030 0.834912 28.12480 3.235545 26.01398 6.313311 24.29325 9.431440 22.92636 12.22912 21.87375 14.56392 20.49760 17.85974 20.07116 18.94316 19.76331 19.74677 19.54291 20.33481 19.38623 20.76035 19.27553 21.06543 19.19775 21.28244 19.14334 21.43574 19.10546 21.54341 19.07917 21.61864 19.06100 21.67098 19.04846 21.70726 19.03984 21.73232 19.03392 21.74958 19.02987 21.76144 19.02710 21.76957 19.02520 21.77514 19.02391 21.77895 19.02303 21.78154 19.02243 21.78331 19.02203 21.78452 19.02175 21.78534 19.02173 21.78541 19.02156 21.78590
LOG(BLW) 0.000000 0.131072 0.122747 0.092950 0.075176 0.062253 0.055682 0.055613 0.062334 0.075401 0.459854 1.038273 1.597842 2.068468 2.439986 2.934753 3.090206 3.203190 3.284546 3.342667 3.383906 3.412991 3.433396 3.447644 3.457553 3.464418 3.469160 3.472427 3.474672 3.476211 3.477265 3.477985 3.478477 3.478812 3.479040 3.479196 3.479301 3.479310 3.479373
167
pasar Belawan 1.038 persen dan sisanya dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri sebesar 26.01 persen dalam menjelaskan variabilitas harga di bursa AFET. Dalam jangka panjang (periode 300) kontribusi guncangan sedikit mengalami pergeseran dalam menjelaskan variabilitas harga bursa AFET. Dimana kontribusi terbesar masih bursa TOCOM sebesar 55.71 dan kontribusi terbesar kedua adalah bursa SHFE sebesar 21.78 persen sedangkan dijelaskan oleh dirinya sendiri hanya sebesar 19.021 persen dan peran kontribusi pasar Belawan sebesar 3.47 persen seperti terlihat pada Tabel 26. Besarnya pengaruh bursa TOCOM dan SHFE terhadap pembentukan harga yang terjadi di AFET disebabkan kedua bursa sama-sama bersaing dalam perdagangan berjangka karet RSS3. Selain itu juga bursa AFET belum terlalu likuid bila dibandingkan bursa TOCOM dan SHFE. Karena itulah harga yang terbentuk di AFET sangat dipengaruhi oleh TOCOM dan SHFE. Terbukti temuan Khawla dan Chick (2007) bahwa hanya 11.5 persen pelaku usaha di bidang karet Thailand yang menggunakan
pasar berjangka,
sementara 88.5 persen dari produsen karetnya tidak menggunakan pasar berjangka. Adapun lokasi praktek untuk pasar berjangka antara lain 34.8 persen adalah Agricultural Futures Exchange Thailand (AFET), 32.6 persen di Tokyo Commodity Exchange (TOCOM), 21.7 persen di Singapura Commodity Exchange (SICOM), 8.7 persen di Shanghai Futures Exchange (SHFE) dan 2.2 persen di Central Japan Commodity Excahnge (CJCE). Hasil ini didukung fakta bahwa sebagian besar dari prosesor dan produsen karet sering menjual karet langsung ke industri ban dalam dan luar negeri.
168
Selain itu, temuan lainnya penelitian Khawla dan Chick menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang membatasi penggunaan pasar berjangka seperti terlalu banyak spekulasi dan manipulasi, kekurangan modal untuk perdagangan, dan kurangnya kepercayaan pada perdagangan dengan sistem berjangka. Sedangkan kontribusi Belawan sangat kecil sekali walaupun sama-sama produsen karet. Bursa AFET lebih besar dipengaruhi oleh harga yang terbentuk oleh bursa berjangka TOCOM dan SHFE. Hasil ini juga mengindikasikan kuatnya hubungan antar pasar berjangka dan sebagai penentu dalam harga pasar karet alam jenis RSS3. 3. Kontribusi Guncangan Variabilitas Harga SHFE Variabilitas harga karet alam bursa SHFE dalam periode 1 dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri hanya sebesar 75.63 persen, sisanya dijelaskan TOCOM sebesar 21.73 persen dan bursa AFET sebesar 2.62 persen. Selanjutnya peran guncangan harga bursa SHFE sendiri mulai berkurang menjadi sebesar 45.40 persen pada periode 20 sedangkan kontribusi guncangan harga bursa TOCOM mengalami kenaikan menjadi 45.04 persen, bursa AFET sebesar 8.38 persen dan pasar Belawan sebesar 1.16 persen. Dalam jangka panjang (periode 300) sebagaimana terlihat pada Tabel 27 variabilitas harga bursa SHFE dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri mengalami kenaikan kembali menjadi sebesar 51.78 persen sedangkan guncangan bursa TOCOM sebesar 36.89 persen, kontribusi bursa AFET turun menjadi sebesar 6.20 persen, dilanjutkan kontribusi guncangan harga pasar Belawan sebesar 5.12 persen seperti terlihat pada Tabel 27.
169
Tabel 27. Variance Decomposition Hargat Karet RSS3 SHFE Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM) 21.73566 24.15152 27.93870 31.69729 34.86908 37.26334 39.10792 40.50798 41.60086 42.46011 45.04812 44.16637 42.73372 41.38056 40.25572 39.37072 38.69567 38.19122 37.81994 37.54992 37.35549 37.21666 37.11825 37.04892 37.00036 36.96649 36.94297 36.92670 36.91547 36.90774 36.90244 36.89881 36.89632 36.89462 36.89347 36.89268 36.89214 36.89177 36.89153
Guncangan (%) LOG(AFET) LOG(SHFE) 2.629496 75.63484 4.051622 71.78575 5.034403 67.01740 5.924265 62.28381 6.460401 58.58994 6.901462 55.76981 7.252820 53.57848 7.516307 51.90273 7.717343 50.57767 7.874790 49.51331 8.382433 45.40864 8.186868 45.36540 7.811946 46.31756 7.435246 47.44401 7.116858 48.46822 6.867452 49.31149 6.679758 49.97126 6.541830 50.47175 6.442045 50.84355 6.370656 51.11553 6.320016 51.31213 6.284340 51.45285 6.259348 51.55277 6.241925 51.62324 6.229829 51.67265 6.221460 51.70713 6.215688 51.73108 6.211717 51.74765 6.208991 51.75909 6.207124 51.76696 6.205847 51.77236 6.204975 51.77607 6.204380 51.77860 6.203975 51.78033 6.203699 51.78151 6.203512 51.78231 6.203384 51.78286 6.203297 51.78323 6.203239 51.78349
LOG(BLW) 0.000000 0.011108 0.009495 0.094636 0.080583 0.065380 0.060779 0.072987 0.104124 0.151786 1.160804 2.281368 3.136777 3.740182 4.159203 4.450335 4.653311 4.795193 4.894466 4.963892 5.012371 5.046151 5.069630 5.085907 5.097161 5.104924 5.110266 5.113935 5.116451 5.118172 5.119348 5.120151 5.120699 5.121072 5.121326 5.121498 5.121615 5.121695 5.121749
170
Besarnya pengaruh bursa TOCOM dikarenakan bursa ini bursa yang terbesar untuk perdagangan karet RSS3 sehingga pergerakan harga yang terjadi di TOCOM akan sangat mempengaruhi harga yang terjadi di SHFE. Kedua bursa ini saling bersaing, apabila harga naik di bursa TOCOM maka kenaikan harga ini akan dijadikan acuan untuk menentukan harga yang dapat menarik pelaku pasar agar dapat bertransaksi di bursa SHFE. Besarnya kontribusi SHFE bagi dirinya sendiri dalam penentuan harga juga tidak terlepas dari kekuatan yang dimilikinya sebagai produsen sekaligus konsumsi terbesar dunia sehingga memiliki power dalam menentukan harga. Sedangkan pengaruh bursa AFET dan Belawan hampir sama tetapi sangat kecil hal ini menandakan kurang berpengaruhnya harga di kedua pasar ini terhadap harga di bursa SHFE. 4. Kontribusi Guncangan terhadap Variabilitas Harga Belawan Variabilitas harga bursa Belawan dalam periode 1 dijelaskan guncangan dirinya sendiri sebesar 99.31 persen sedangkan sisanya dijelaskan pasar lainnya. Selanjutnya peran guncangan harga pasar Belawan sendiri mulai terus berkurang sedangkan kontribusi guncangan variabel lainnya terus mengalami peningkatan. Pada periode 30 peran kontribusi guncangan harga bursa TOCOM sebesar 65.60 persen, bursa AFET sebesar 18.43 persen, bursa SHFE sebesar 4.79 persen, dan guncangan dirinya sendiri sebesar 11.15 persen. Dalam jangka panjang (periode 300) variabilitas harga Belawan dijelaskan oleh guncangan bursa TOCOM mengalami penurunan hanya menjadi sebesar 55.59 persen sedangkan bursa AFET turun menjadi 14.61 persen, bursa SHFE naik menjadi sebesar 20.83 persen dan kontribusi pasar Belawan sendiri.
171
Tabel 28. Variance Decomposition Harga Karet RSS1 Belawan Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
Guncangan (%) LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) 0.009655 0.242604 0.437537 99.31020 12.28250 1.383261 0.722301 85.61194 25.72639 3.679009 0.620016 69.97458 34.74425 6.341761 0.612951 58.30104 40.88493 8.309977 0.653921 50.15117 45.61058 9.845271 0.699019 43.84513 49.28862 11.08290 0.752996 38.87549 52.17207 12.10699 0.818947 34.90199 54.50397 12.97534 0.896631 31.62406 56.42353 13.72235 0.985515 28.86861 64.68321 17.60339 2.457834 15.25556 65.60966 18.43696 4.795562 11.15782 64.58382 18.16170 7.536429 9.718053 63.03459 17.54245 10.24441 9.178546 61.47662 16.89347 12.65373 8.976184 60.10592 16.32874 14.65816 8.907176 58.97980 15.87594 16.25279 8.891478 58.09280 15.52865 17.48249 8.896053 57.41398 15.26949 18.40951 8.907021 56.90532 15.07962 19.09636 8.918692 56.53032 14.94238 19.59835 8.928951 56.25744 14.84419 19.96114 8.937232 56.06098 14.77452 20.22090 8.943604 55.92079 14.72542 20.40543 8.948361 55.82151 14.69102 20.53562 8.951840 55.75166 14.66703 20.62696 8.954345 55.70278 14.65038 20.69072 8.956129 55.66873 14.63885 20.73503 8.957388 55.64511 14.63090 20.76571 8.958271 55.62878 14.62544 20.78690 8.958886 55.61753 14.62168 20.80148 8.959312 55.60979 14.61911 20.81149 8.959607 55.60448 14.61735 20.81836 8.959810 55.60085 14.61615 20.82305 8.959950 55.59836 14.61533 20.82626 8.960045 55.59667 14.61477 20.82845 8.960111 55.59551 14.61439 20.82994 8.960156 55.59472 14.61413 20.83096 8.960186 55.59419 14.61396 20.83165 8.960207 Cholesky Ordering: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW)
172
Berarti dalam jangka panjang variabilitas harga di pasar Belawan dijelaskan oleh guncangan semua variabel dengan kontribusi guncangan terbesar berasal dari bursa TOCOM baru disusul kemudian bursa SHFE seperti terlihat pada Tabel 28. Besarnya pengaruh TOCOM dan SHFE terhadap pembentukan harga di pasar Belawan dikarenakan kedua bursa ini merupakan bursa terbesar dunia dan sekaligus sebagai konsumen terbesar dunia untuk karet. Sehingga sebagai tujuan ekspor utama Indonesia karena itulah perannya sangat besar dalam menentukan harga karet. Sedangkan peran AFET juga dikarenakan sebagai pesaing dalam produksi karet sehingga ikut mempengaruhi harga karet di Indonesia. Hal ini membenarkan bahwa harga karet alam yang terbentuk di pasar Belawan di pengaruhi bursa luar negeri.
6.2. Implikasi Integrasi Spasial Karet TSR20 dan RSS3 A. Jenis Karet TRS20 Berdasarkan hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan integrasi antara harga karet alam jenis TSR 20 di pasar fisik Belawan dengan pasar berjangka (SICOM dan CJCE). Hubungan diantara kedua bentuk pasar tersebut saling mempengaruhi baik dalam jangka panjang dan jangka pendek. Pada periode jangka panjang terbukti bahwa harga karet pasar Belawan responsif mempengaruhi dan menjadi referensi bagi pembentukan harga karet di pasar berjangka SICOM dan CJCE. Hal ini mengindikasikan dalam periode jangka panjang dua pasar berjangka mengkoreksi dirinya sendiri dan cenderung melihat pergerakan harga yang terbentuk di pasar Belawan selaku pasar fisik dan sekaligus produsen terbesar kedua karet di dunia dalam menentukan harga.
173
Kemudian pada periode jangka pendek dalam hubungan persamaan kointegrasi menunjukkan jangka waktu respon (lag) terhadap pergerakan harga antar pasar. Lag pasar berjangka mempunyai pengaruh yang positif berarti akan terjadi kenaikan harga pada harga yang terbentuk sekarang pada pasar Belawan jika terjadi kenaikan harga di bursa berjangka SICOM dan CJCE pada hari sebelumnya sehingga hasil ini memperjelas bahwa selama ini harga karet yang terbentuk di pasar Belawan mengacu pada pergerakan harga yang terjadi di bursa SICOM dan bursa CJCE. Sedangkan pengaruh lag dirinya sendiri berpengaruh negatif yang juga berarti menurunkan harga pada periode sekarang apabila pada periode yang lalu mengalami kenaikan harga. Namun pengaruh lag pada masingmasing pasar berjangka berlawanan. Hal ini dapat dipahami misalnya saja ketika terjadi kenaikan harga bursa CJCE, dimana bursa ini juga merupakan salah satu pesaing dari bursa SICOM, maka bursa SICOM akan mengatur keseimbangan transaksi beli dan jual agar tercipta harga yang bersaing dalam rangka menarik pelaku pasar agar dapat bertransaksi kembali di bursanya. Namun harga karet bernilai elastis hanya pada periode jangka panjang dan inelastis pada jangka pendek. Hasil ini juga sama dengan temuan Prabowo (2006) dimana secara umum nilai elastisitas harga ekspor karet alam adalah inelastis pada jangka pendek dan elastis pada jangka panjang. Hasil ini menunjukkan bahwa komoditas karet alam merupakan produk tanaman keras hasil perkebunan. Komoditas perkebunan ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses produksinya dari penanaman sampai tanaman tersebut dapat menghasilkan sehingga usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kuantitas ekspor
174
melalui peningkatan produksi dalam jangka pendek sulit dilakukan tetapi memungkinkan dalam jangka panjang. Senada dengan temuan Ke et al. (2005) yang menyatakan karet alam memiliki karakteristik elastisitas harga untuk penawaran dan permintaan karet alam yang sangat kecil. Sesuai data dari 1981- 2004 untuk produksi karet China, dimana elastisitas harga dari pasokan alam karet hanya 0.1123 sedangkan elastisitas harga dari permintaan dari karet alam adalah -0.0786, dimana nilai elastisitasnya hampir nol. Hal ini dikarenakan output periode karet alam panjang yang disertai risiko tinggi. Periode untuk menghasilkan output minimal 6-7 tahun, masa produksinya lebih dari 30 tahun, dan selain itu pertumbuhan dan panen sangat dipengaruhi oleh faktor alam seperti cuaca. Karena itu kebijakan karet alam memiliki lag effect. Akibatnya, sering dari kebijakan produksi efeknya setelah beberapa tahun. Nilai elastisitasnya yang kecil juga menunjukkan apabila terjadi penurunan harga karet maka akan direspon dengan cepat, sebaliknya apabila terjadi kenaikan harga direspon lama bahkan tingkat kenaikan yang tidak proporsional dengan yang terjadi pada kenaikan pada produk turunannya. Dapat dipastikan bursa SICOM leading pada pasar karet TSR20 Hal ini juga dikarenakan bursa SICOM sangatlah likuid dibanding bursa CJCE sehingga secara tidak langsung bursa CJCE dan pasar Belawan mengacu pada harga SICOM dalam pembentukan harga yang diperkuat berdasarkan analisis Granger Causality dan Variance Decomposition. Harga minyak mentah juga mempunyai pengaruh terhadap pembentukan harga di pasar fisik maupun bursa berjangka yang bersifat inelastis atau nilainya
175
kurang dari 1. Hal ini senada dengan hasil penelitian Khin (2008) dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak sebesar 1 persen maka juga akan menaikkan harga karet di Malaysia sebesar 0.02 persen. Kenaikan harga ini dapat dipahami karena konsumsi terbesar karet alam adalah industi otomotif serta karet sintesis yang juga pesaing karet alam berbahan baku dari minyak mentah sehingga dengan demikian secara tidak langsung kenaikan harga minyak mempengaruhi kenaikan harga karet alam. Selain itu pula nilai tukar juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi harga karet TSR20. Untuk pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap harga yang terbentuk pada pasar Belawan dimana hasilnya penelitian Anwar (2004) yang depresiasi Rupiah
juga didukung
menyatakan bahwa dalam jangka pendek
terhadap USD akan meningkatkan harga ekspor/domestik,
tetapi dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian menuju keseimbangan sesuai perkembangan ekonomi negara-negara produsen dan konsumen karet alam. Sedangkan peningkatan harga
karet alam dunia akan meningkatkan harga
ekspor/domestik, sepanjang nilai tukar Rupiah dengan USD stabil serta depresiasi/apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sangat tergantung pada perkembangan ekonomi Indonesia, khususnya neraca perdagangan di tingkat suku bunga, serta kebijakan pemerintah yang terkait dengan hal tersebut. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis ini dapat digunakan sebagai acuan dan sinyal untuk menentukan harga karet Indonesia khususnya Belawan dimana berdasarkan pergerakan harga di masing-masing pasar diketahui pula bahwa bursa SICOM punya pengaruh yang kuat dalam menentukan harga dalam perdagangan karet dunia dibandingkan bursa CJCE.
176
Diketahui sampai sekarang ini
terjadinya asimetric information pada
usaha perkebunan karet menyebabkan petani hanya mendapatkan bagian harga yang relatif rendah. Sebagaimana Hakim (2009) menyatakan adanya kepemilikan informasi yang tidak seimbang (asymetric information) dan secara fungsional para pedagang melakukan aktivitas yang cenderung kolutif. Dengan kondisi ini tidak memungkinkan bagi petani mendapatkan harga yang lebih baik. Untuk harga karet alam harga saja di tingkat petani yakni hanya berkisar 60-75 persen dari harga FOB. Dengan kata lain rasio harga ditingkat petani (farm gate level) dengan harga di tingkat FOB lebih rendah. Apalagi ditambah sistem perdagangan karet yang cenderung oligopsoni di mana hanya dikuasai oleh perusahaan ban dunia karena memang lebih dari 70 persen konsumsi karet adalah perusahaan otomotif. Dengan demikian dengan diketahuinya informasi pergerakan harga di bursa SICOM dan CJCE dimungkinkannya tidak terdistorsinya harga karet yang terbentuk di Belawan (Indonesia). Implikasi lainnya dengan diketahuinya perkembangan harga di pasar internasional khususnya di bursa SICOM dan CJCE, maka para petani dan pedagang dapat mengitung konversi harga di tingkat petani setelah memperhitungkan: kadar karet kering, biaya angkut, mutu dan kebersihan/ karet. Serta para investor atau spekulator dalam melakukan transaksi beli dan jual dengan melihat pergerakan harga. Ketika ada kecenderungan harga komoditas yang semakin meningkat, investor dapat menjual kembali kontrak beli sehingga diperoleh margin keuntungan. Pergerakan harga yang ada juga merupakan sinyal bagi para pelaku pasar baik di bursa berjangka ataupun di pasar fisik. Kemampuan yang baik dalam melakukan analisis baik secara fundamental maupun teknikal pada bursa
177
berjangka dimungkinkannya para pelaku bursa/pasar dapat memperkirakan harga yang akan terjadi di masa yang akan datang. Analisis fundamental adalah analisis pasar berdasarkan berita-berita ataupun data perekonomian, bisnis, politik, keamanan dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pergerakan harga komoditas, saham, indeks saham, ataupun mata uang. Sedangkan analisis teknikal dilakukan berdasarkan grafik atau chart dari pergerakan harga komoditas yang diperdagangkan. Dari informasi analisis fundamental pula para pelaku usaha di bidang perkebunan karet baik dari petani, trader dan spekulan dapat mengetahui kapasitas serap pasar, jenis dan kualitas yang dibutuhkan oleh konsumen sehingga resiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran (excess supply) akan dapat diminimalisasi. B. Jenis Karet RSS3 Berdasarkan hasil diatas maka dapat disimpulkan
bahwa
terdapat
hubungan integrasi antara harga karet alam jenis RSS di pasar fisik Belawan dengan pasar berjangka (TOCOM, AFET dan SHFE). Hubungan diantara kedua bentuk pasar tersebut saling mempengaruhi baik dalam jangka panjang dan jangka pendek. Bursa TOCOM juga leading dalam harga karena sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga di bursa lainnya dan pasar Belawan. Hal ini dapat dipahami karena bursa TOCOM merupakan bursa karet terbesar dunia untuk jenis karet RSS3 sehingga menjadi acuan harga untuk pasar karet dunia ditambah lagi volume perdagangan yang terjadi di bursa TOCOM sangat likuid sehingga para trader, dan spekulan lebih memilih bursa TOCOM sebagai tempat berinvestasi dibanding bursa lainnya. Sebagai gambaran ketika para spekulator melakukan aksi
178
profit taking di bursa TOCOM mempunyai dampak yang besar terhadap turunnaiknya harga karet alam di pasar Internasional. Selain itu
terdapat hubungan saling mempengaruhi yang sangat kuat
antara bursa SHFE dan TOCOM hal ini dikarenakan dua negara tersebut merupakan konsumsi karet terbesar dan merupakan bursa yang saling bersaing pada saat ini serta dalam jangka panjang harga karet pasar Belawan juga merupakan harga acuan (referensi) untuk pembentukan harga di bursa berjangka. Dengan demikian dapat disimpulkan pasar future komoditi merupakan tempat yang paling efisien dalam pembentukan harga dan dapat jadikan patokan dalam perdagangan karet. Namun, penetapan harga di bursa juga harus memperhatikan infomasi pasar perdagangan fisik. Faktor kenaikan harga minyak mentah juga berpengaruh terhadap pembentukan harga karet terutama pada bursa SICOM, TOCOM dan AFET. Karet merupakan bahan baku ban, yang juga dapat diproduksi dari minyak mentah. Perkembangan harga minyak mentah yang berpengaruh terhadap permintaan terhadap karet sintetis sebagai substitusi karet alam. Bila harga minyak mentah naik, biaya produksi karet sintetis meningkat sehingga permintaan untuk karet sintetis berkurang dan untuk permintaan untuk karet alam naik. Selain itu faktor nilai tukar juga menjadi faktor yang ikut mempengaruhi harga karena perdagangan internasional karet alam biasanya dilakukan dalam Dolar Amerika. Oleh karena itu, fluktuasi dalam mata uang ekspor karet dari negara-negara, terhadap Dollar, memiliki pengaruh yang kuat pada harga karet. Apresiasi mata uang negara-negara ekspor karet alam terhadap Dollar membantu harga karet untuk meningkat dari segi Dollar. Di Indonesia, devaluasi Rupiah
179
telah membantu eksportir dalam negara untuk menjadi lebih kompetitif untuk menawarkan karet pada Dollar yang rendah. Namun, Yen Jepang yang memiliki hubungan yang berbeda dengan harga karet alam Bila Yen mengalami devaluasi, menunjukkan kecenderungan spekulan untuk berinvestasi di komoditas Yen. Ini membantu pergerakan harga karet future TOCOM. Ini berarti, dari devaluasi Yen mendukung untuk meningkatkan harga karet alam dan sebaliknya. Hal ini juga ditegaskan kembali oleh Honggokusumo, (2009) yang menyatakan tren harga karet yang terjadi di bursa Tokyo biasanya berlawanan dengan arah nilai tukar yen karena bahan baku utama ban kendaraan itu diperdagangkan secara global dalam Dollar AS. Selain dipengaruhi penguatan kurs yen, karet alam juga tertekan spekulasi kenaikan pengapalan dari Thailand yang merupakan produsen dan pengekspor terbesar bahan baku ban tersebut. Hasil ini juga di dukung penelitian Anwar (2004) yang menyebutkan bahwa Nilai tukar negara produsen utama termasuk Indonesia dengan mata uang konsumen (Dollar-AS, Yen- Jepang, Euro-Eropa dan Yuan-China) dapat mempengaruhi harga karet dunia yang terjadi di pasar-pasar utama karet alam. Semakin tinggi depresiasi nilai tukar efektif riil yang artinya semakin kompetitif nilai tukar, semakin tinggi volume ekspor komoditas suatu negara. Begitu juga semakin rendah harga ekspor komoditas ekspor suatu negara maka permintaan terhadap komoditas ekspornya juga akan semakin tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan hasil analisis ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan harga sebagaimana diketahui pergerakan harga di masing- masing pasar dan faktor yang mempengaruhinya dimana untuk jenis karet RSS harga di Indonesia sangat dipengaruhi harga karet yang terbentuk di
180
TOCOM. Senada dengan temuan pada jenis karet RSS3 pengaruh lag pasar berjangka mempunyai pengaruh positif pada harga pasar Belawan. Sedangkan pengaruh lag dirinya sendiri berpengaruh negatif. Namun pengaruh lag pada masing-masing pasar berjangka untuk jenis karet RSS3 juga berlawanan. Jadi, kesimpulan keseluruhan penelitian ini berdasarkan hubungan integrasi spasial antara dua jenis karet menunjukkan bahwa, informasi mengenai harga sangatlah penting dalam rangka meminimalisasi resiko fluktuasi dan menghindari terjadinya distorsi dengan harga Internasional. Dengan demikian pengembangan sistem dan pelayanan informasi pasar berbasis informasi teknologi mutlak dilakukan. Informasi yang tidak simetris antara produsen dan pedagang seringkali menyebabkan petani berada pada posisi yang dirugikan. Sebagaimana dikatakan Ismet (2009), bahwa pengembangan informasi harga dan pasar saat ini semakin vital dengan berkembangnya teknologi informasi yang cepat. Perkembangan ini harus diikuti dengan diterapkan sedini mungkin. Dasar utamanya adalah bahwa: (1) perdagangan perdagangan melalui teknologi informasi; (2) volume perdagangan telah banyak yang kini mengandalkan IT sebgai media transaksi dan tidak lagi melayani transaksi langsung; (4) pemasaran melalui IT sangat murah dan efisien serta menjangkau seluruh pasar dunia; dan (5) petani negara lain sudah banyak menggunakan IT dan petani Indonesia termasuk tertinggal. Apalagi jika ditelaah transaksi melalui pasar berjangka sangat membutuhkan dukungan jaringan komunikasi baik antar pelaku, antar pasar referensi, akses kepada pusat produksi untuk memproyeksi produksi dan pusat konsumen. Jaringan telekomunikasi yang tidak berkembang akan menghambat proses
181
penentuan harga dan waktu delivery yang akan disepakati. Akibatnya pasar berjangka komoditas pertanian tidak akan berkembang atau likuid. Perlu diketahui pasar berjangka berfungsi sebagai tempat pembentukan harga. Posisi petani sebagai penerima harga (price taker) memiliki kesulitan dalam mempengaruhi harga di pasar. Namun, dalam pasar berjangka, petani atau penjual dapat mengurangi resiko turun atau sharing resiko dengan pihak lain. Pelaku di pasar ini dapat melakukan hedging (lindung nilai) atas harga yang ditransaksikannya. Hedging dilakukan melalui pembelian di bursa berjangka baik membeli atau menjual di pasar fisik pada waktu yang akan datang (Pakasi (2006) dalam Hakim (2009). Selama ini harga jual barang komoditi mengacu pada bursa yang ada di luar negeri. Maka diharapkan juga dibangunnya bursa komoditi karet di Indonesia agar Indonesia bisa menjadi price maker dan bencmark (referensi) dalam perdagangan global komoditi karet. Oleh karena itu, pembenahan di bidang pemasaran harus dilakukan terutama pengembangan informasi harga karena menilik peluang untuk pengembangan usaha agribisnis karet cukup terbuka pada hampir semua subsistem, baik pada subsistem agribisnis hulu (on farm), maupun subsistem hilir. Selain itu agribisnis karet di Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang berpotensi untuk ditingkatkan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Hasil studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) tahun 1993 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil karet alam dengan tingkat daya saing tertinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia.
182
Dukungan sistem dan manajemen produksi yang efisien dan efektif, potensi yang dimiliki tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen karet alam nomor satu di dunia. Selain itu pula dalam aspek produksi, Indonesia memiliki kemampuan bersaing terutama dalam segmen produksi bahan olah karet (bokar) dibanding dengan negara-negara produsen utama karet alam lainnya. Pada tingkat harga dibawah USD 0.8 per kg, Malaysia sudah tidak mampu menutupi ongkos produksinya (taping-cost), dan Thailand sudah pada tingkat mendekati rugi. Sedangkan Indonesia pada level harga seperti ini, masih mampu memproduksi karet alamnya (Departemen Pertanian, 2007).
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar karet alam di pasar fisik Indonesia (Belawan) dengan pasar berjangka dunia (SICOM,CJCE, TOCOM, AFET dan SHFE). Artinya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara pergerakan harga di pasar fisik dan pasar berjangka dunia. Namun hubungan saling pengaruh antar pasar tidak ditransmisikan secara langsung karena adanya lag (masa waktu) untuk merespon setiap perubahan. 2. Secara keseluruhan respon yang diberikan setiap pasar terhadap guncangan relatif sama, meningkat pada awal periode dan menurun pada akhir periode. Akan tetapi, magnitude dari respon yang diberikan relatif kecil terhadap guncangan harga karet alam sehingga kurang kuat dalam mempengaruhi harga yang terbentuk baik di pasar fisik maupun bursa-bursa berjangka. 3. Untuk jenis karet TSR20 variabilitas harga di bursa SICOM dalam jangka panjang lebih banyak dijelaskan oleh dirinya sendiri (90.17 persen) sedangkan kontribusi harga bursa Jepang semakin berkurang (6.29 persen) sebaliknya kontribusi harga di pasar Belawan (3.52 persen). Sedangkan kontribusi terbesar yang menjelaskan variabilitas harga di bursa CJCE pada jangka panjang berturut-turut adalah harga bursa SICOM (73.97 persen), baru kemudian dijelaskan oleh guncangan dirinya sendiri (17.74 persen), setelah itu
184
kontribusi guncangan harga di pasar Belawan (8.27 persen). Variabilitas harga di pasar Belawan pada jangka panjang dijelaskan oleh guncangan semua variabel dengan kontribusi guncangan terbesar berasal dari bursa SICOM (77.23 persen), harga dirinya sendiri (14.87 persen) dan CJCE (7.88 persen). Untuk jenis karet RSS3 pada jangka panjang kontribusi terbesar yang menjelaskan panjang variabilitas harga di bursa TOCOM selain dijelaskan oleh dirinya sendiri (60.64 persen) juga dijelaskan oleh guncangan harga di bursa SHFE (21.95 persen), dan kontribusi terbesar ketiga adalah harga AFET (13.60 persen) baru kemudian harga pasar Belawan (3.80 persen). Selanjutnya variabilitas harga di bursa AFET paling banyak dipengaruhi oleh harga bursa TOCOM (55.71 persen) dan bursa SHFE (21.78 persen) sedangkan kontribusi bursa harga AFET sendiri (19.021 persen) dan harga pasar Belawan (3.47 persen). Untuk variabilitas harga di bursa SHFE lebih dijelaskan oleh guncangan harga dirinya sendiri (51.78 persen), harga di bursa TOCOM (36.89 persen), harga bursa AFET (6.20 persen) dan kontribusi harga Belawan hanya (5.12 persen). Serta variabilitas harga di pasar Belawan dijelaskan oleh guncangan semua variabel pasar baik bursa TOCOM, bursa AFET, SHFE dengan kontribusi guncangan terbesar berasal dari bursa TOCOM baru disusul kemudian bursa SHFE. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa SICOM dan TOCOM menjadi sumber guncangan terbesar
dalam menjelaskan
variabilitas harga di pasar fisik dan bursa berjangka lainnya sekaligus bursa yang sangat mempengaruhi pembentukan harga sehingga menjadi acuan untuk menetukan harga karet alam di setiap pasar.
185
7.2. Implikasi Kebijakan Beberapa implikasi kebijakan yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara umum dapat disimpulkan bahwa bursa berjangka (SICOM dan CJCE) untuk jenis karet TSR20 serta (TOCOM dan SHFE) untuk jenis karet RSS3 memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan harga di pasar fisik Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka memperbaiki struktur pasar industri perkaretan Indonesia perlu
dukungan pemerintah sebagai regulator untuk
menyiapkan perangkat dan lembaga-lembaga yang dapat mendukung didirikannya bursa berjangka karet di Indonesia sehingga dapat meningkatkan bargaining power dan value added pelaku usaha karet di Indonesia terutama petani. 2. Bagi traders dan petani pergerakan harga yang ada di pasar berjangka dapat dijadikan acuan untuk menentukan harga di masa yang akan datang sehingga dengan demikian dapat mengitung konversi harga di tingkat petani setelah memperhitungkan kadar karet kering, biaya angkut, mutu dan kebersihan/ karet. Selain itu juga diketahuinya akses informasi mengenai kondisi sebenarnya mengenai supply dan demand karet dari pasar berjangka sehingga bisa memperkirakan jumlah produksi, kapan menjual dan membeli. 3. Bagi para investor atau spekulator dalam melakukan transaksi beli dan jual dapat melihat pergerakan harga dari pasar berjangka sehingga menjadi petunjuk dalam melakukan transaksi. Ketika ada kecenderungan harga komoditas yang semakin meningkat, investor dapat menjual kembali kontrak beli sehingga diperoleh margin keuntungan.
186
7.3. Saran Penelitian Lanjutan Beberapa saran yang dapat disampaikan untuk penelitian lanjutan adalah sebagai berikut: 1. Dalam penelitian ini integrasi spasial hanya ditinjau dari sisi harga saja, maka untuk memperkuat gambaran integrasi spasial pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia sebaiknya dilakukan juga berdasarkan aliran barang, biaya transaksi perdagangan dan volume transaksi perdagangan. 2. Untuk memberikan gambaran yang lebih representatif dalam menjelaskan hubungan integrasi spasial pasar karet alam perlu juga dilakukan kajian analisis integrasi pasar fisik negara produsen utama lainnya seperti Thailand dan Malaysia dalam hubungan integrasi dengan pasar berjangka. 3. Kajian pasar fisik Indonesia dalam penelitian ini hanya berdasarkan harga FOB pasar Belawan, sebaiknya diperlukan juga harga-harga daerah penghasil karet lainnya seperti Palembang, Jambi dan Kalimantan Barat.
192
LAMPIRAN
193
Lampiran 1. Hasil Uji Stabilitas Lag Optimal Karet TSR20 Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) Exogenous variables: C LOG(OIL) LOG(SGD) LOG(YEN) LOG(RP) Lag specification: 1 9 Date: 07/04/09 Time: 14:25 Root 0.989166 0.983901 0.955491 0.815122 0.528956 - 0.545983i 0.528956 + 0.545983i 0.021957 + 0.748076i 0.021957 - 0.748076i -0.539323 + 0.511588i -0.539323 - 0.511588i -0.077472 + 0.712952i -0.077472 - 0.712952i -0.712659 0.705962 -0.606744 - 0.312598i -0.606744 + 0.312598i 0.487162 + 0.375431i 0.487162 - 0.375431i 0.435592 + 0.432219i 0.435592 - 0.432219i -0.575567 -0.398602 - 0.401720i -0.398602 + 0.401720i -0.154473 + 0.498682i -0.154473 - 0.498682i 0.173417 - 0.387389i 0.173417 + 0.387389i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.989166 0.983901 0.955491 0.815122 0.760192 0.760192 0.748398 0.748398 0.743365 0.743365 0.717149 0.717149 0.712659 0.705962 0.682537 0.682537 0.615041 0.615041 0.613639 0.613639 0.575567 0.565917 0.565917 0.522059 0.522059 0.424434 0.424434
194
Lampiran 2. Hasil Uji Stabilitas Lag Optimal Karet RSS3 Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) Exogenous variables: C LOG(OIL) LOG(YEN) LOG(BAHT) LOG(YUAN) LOG(RP) Lag specification: 1 4 Date: 07/04/09 Time: 15:36 Root 0.980690 0.965970 0.899187 0.827324 0.539913 -0.216551 - 0.423334i -0.216551 + 0.423334i -0.406115 0.134788 - 0.381841i 0.134788 + 0.381841i -0.035354 - 0.385142i -0.035354 + 0.385142i -0.298052 - 0.030750i -0.298052 + 0.030750i 0.187316 - 0.089790i 0.187316 + 0.089790i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.980690 0.965970 0.899187 0.827324 0.539913 0.475506 0.475506 0.406115 0.404933 0.404933 0.386761 0.386761 0.299634 0.299634 0.207724 0.207724
195
Lampiran 3. Hasil Uji Kointegrasi Karet TSR20 Date: 07/04/09 Time: 14:22 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Included observations: 2155 Series: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) Exogenous series: LOG(OIL) LOG(SGD) LOG(YEN) LOG(RP) Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 9 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 3 3
None Intercept No Trend 2 2
Linear Intercept No Trend 3 3
Linear Intercept Trend 2 2
Quadratic Intercept Trend 3 3
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 19089.66 19089.66 19091.13 19091.13 19140.07 19140.08 19141.05 19143.62 19147.83 19150.15 19150.63 19159.18 19150.46 19154.36 19154.36 19165.08
19091.43 19143.67 19159.20 19165.08
0 1 2 3
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -17.64145 -17.64145 -17.64003 -17.64003 -17.68267 -17.68174 -17.68078 -17.68225 -17.68430 -17.68459 -17.68411 -17.69019* -17.68117 -17.68201 -17.68201 -17.68917
-17.63752 -17.68044 -17.68928 -17.68917
0 1 2 3
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -17.42813 -17.42813 -17.41880 -17.41880 -17.45354* -17.44998 -17.44375 -17.44258 -17.43937 -17.43440 -17.43128 -17.43209 -17.42044 -17.41337 -17.41337 -17.41264
-17.40839 -17.43551 -17.42855 -17.41264
196
Lampiran 3. Lanjutan Date: 07/04/09 Time: 14:27 Sample (adjusted): 11/15/2000 2/17/2009 Included observations: 2155 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) Exogenous series: LOG(OIL) LOG(SGD) LOG(YEN) LOG(RP) Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 9 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2
0.047546 0.014336 0.005463
147.9002 42.92233 11.80524
42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0002 0.0656
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2
0.047546 0.014336 0.005463
104.9779 31.11709 11.80524
25.82321 19.38704 12.51798
0.0000 0.0006 0.0656
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LOG(SCM) 2.735272 -8.896046 -19.30818
LOG(CJE) 18.99526 0.474697 2.867615
LOG(BLW) -21.70866 17.57206 10.68922
@TREND(11/02/00) 0.001908 -0.005210 0.002872
197
Lampiran 3. Lanjutan Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LOG(SCM)) D(LOG(CJE)) D(LOG(BLW))
-0.000724 -0.002052 0.001963
1 Cointegrating Equation(s):
-0.001048 -0.001074 -0.000984
0.000742 -0.000170 -0.000258
Log likelihood
19143.62
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) @TREND(11/02/00) 1.000000 6.944559 -7.936563 0.000697 (0.68377) (0.79963) (0.00028) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(SCM)) -0.001981 (0.00081) D(LOG(CJE)) -0.005614 (0.00077) D(LOG(BLW)) 0.005371 (0.00074)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
19159.18
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW) @TREND(11/02/00) 1.000000 0.000000 -2.020722 0.000587 (0.21543) (0.00015) 0.000000 1.000000 -0.851867 1.60E-05 (0.06267) (4.5E-05) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(SCM)) 0.007344 -0.014257 (0.00276) (0.00564) D(LOG(CJE)) 0.003939 -0.039494 (0.00263) (0.00536) D(LOG(BLW)) 0.014121 0.036829 (0.00252) (0.00515)
198
Lampiran 4. Hasil Uji Kointegrasi Karet RSS3 Date: 07/04/09 Time: 15:37 Sample: 6/01/2004 3/20/2009 Included observations: 1233 Series: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) Exogenous series: LOG(OIL) LOG(YEN) LOG(BAHT) LOG(YUAN) LOG(RP) Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 4 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 4 4
None Intercept No Trend 4 4
Linear Intercept No Trend 4 4
Linear Intercept Trend 3 3
Quadratic Intercept Trend 4 4
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3 4
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 13665.55 13665.55 13668.97 13668.97 13752.68 13754.46 13756.22 13758.20 13785.33 13787.34 13788.85 13791.42 13796.58 13798.69 13800.09 13806.16 13800.42 13803.96 13803.96 13810.33
13672.17 13759.31 13792.27 13806.16 13810.33
0 1 2 3 4
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -22.06253 -22.06253 -22.06159 -22.06159 -22.19089 -22.19216 -22.19014 -22.19173 -22.23087 -22.23088 -22.23008 -22.23101 -22.23615 -22.23470 -22.23534 -22.24032* -22.22940 -22.22865 -22.22865 -22.23249
-22.06029 -22.18866 -22.22915 -22.23870 -22.23249
0 1 2 3 4
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -21.79691 -21.79691 -21.77937 -21.77937 -21.89207 -21.88919 -21.87472 -21.87216 -21.89885* -21.89056 -21.88146 -21.87409 -21.87093 -21.85703 -21.85352 -21.84605 -21.83098 -21.81363 -21.81363 -21.80087
-21.76147 -21.85664 -21.86393 -21.84028 -21.80087
199
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/04/09 Time: 15:37 Sample (adjusted): 6/08/2004 2/27/2009 Included observations: 1233 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) Exogenous series: LOG(OIL) LOG(YEN) LOG(BAHT) LOG(YUAN) LOG(RP) Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3
0.134753 0.052455 0.023622 0.006748
282.7232 104.2585 37.82391 8.348025
63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0000 0.0010 0.2246
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3
0.134753 0.052455 0.023622 0.006748
178.4647 66.43455 29.47589 8.348025
32.11832 25.82321 19.38704 12.51798
0.0000 0.0000 0.0012 0.2246
Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LOG(TCM) 53.08537 9.710842 0.811375 0.480181
LOG(AFET) -52.65304 27.09337 -3.626529 -2.542245
LOG(SHFE) -2.791775 -6.036715 12.41115 12.66061
LOG(BLW) 3.637562 -30.34663 -17.20198 -3.034190
@TREND(6/02/04) 0.002770 -0.002657 0.008920 -0.003994
200
Lampiran 4. Lanjutan Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LOG(TCM)) D(LOG(AFET)) D(LOG(SHFE)) D(LOG(BLW))
-0.004161 0.000820 0.000447 0.000942
1 Cointegrating Equation(s):
-0.000457 -0.000999 0.000963 0.002763
0.002363 0.002351 0.000295 0.000714
Log likelihood
13758.20
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) 1.000000 -0.991856 -0.052590 0.068523 (0.04986) (0.02579) (0.04891)
-0.000787 -0.000635 -0.001445 0.000214
@TREND(6/02/04) 5.22E-05 (2.6E-05)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(TCM)) -0.220902 (0.03213) D(LOG(AFET)) 0.043543 (0.02718) D(LOG(SHFE)) 0.023709 (0.02782) D(LOG(BLW)) 0.050012 (0.02045)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
13791.42
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) 1.000000 0.000000 -0.201835 -0.769037 (0.06014) (0.07144) 0.000000 1.000000 -0.150470 -0.844437 (0.05831) (0.06927) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(TCM)) -0.225337 0.206729 (0.03266) (0.03583) D(LOG(AFET)) 0.033844 -0.070249 (0.02758) (0.03027) D(LOG(SHFE)) 0.033056 0.002563 (0.02824) (0.03099) D(LOG(BLW)) 0.076839 0.025244 (0.02034) (0.02232)
@TREND(6/02/04) -3.33E-05 (6.3E-05) -8.62E-05 (6.1E-05)
201
Lampiran 4. Lanjutan 3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
13806.16
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW) 1.000000 0.000000 0.000000 -1.098576 (0.05166) 0.000000 1.000000 0.000000 -1.090112 (0.04536) 0.000000 0.000000 1.000000 -1.632721 (0.16749) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(TCM)) -0.223420 0.198160 (0.03246) (0.03567) D(LOG(AFET)) 0.035751 -0.078775 (0.02734) (0.03006) D(LOG(SHFE)) 0.033296 0.001492 (0.02824) (0.03104) D(LOG(BLW)) 0.077418 0.022656 (0.02031) (0.02233)
0.043701 (0.00847) 0.032919 (0.00713) -0.003391 (0.00737) -0.010451 (0.00530)
@TREND(6/02/04) 0.000112 (8.6E-05) 2.18E-05 (7.6E-05) 0.000718 (0.00028)
202
Lampiran 5. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model Karet TSR20 Vector Error Correction Estimates Date: 07/04/09 Time: 14:28 Sample (adjusted): 11/15/2000 2/17/2009 Included observations: 2155 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
LOG(SCM(-1))
1.000000
0.000000
LOG(CJE(-1))
0.000000
1.000000
LOG(BLW(-1))
-2.020722 (0.21548) [-9.37791]*
-0.851867 (0.06268) [-13.5902]*
@TREND(11/01/00)
0.000587 (0.00015) [ 3.81806]*
1.60E-05 (4.5E-05) [ 0.35741]
C
17.53473
3.019461
Error Correction:
D(LOG(SCM))
D(LOG(CJE))
D(LOG(BLW))
CointEq1
0.007344 (0.00276) [ 2.65931]*
0.003939 (0.00263) [ 1.49973]
0.014121 (0.00252) [ 5.59614]*
CointEq2
-0.014257 (0.00564) [-2.52860]*
-0.039494 (0.00536) [-7.36509]*
0.036829 (0.00515) [ 7.14910]*
D(LOG(SCM(-1)))
0.128222 (0.02489) [ 5.15255]*
0.222984 (0.02367) [ 9.42155]*
0.199939 (0.02274) [ 8.79351]*
D(LOG(SCM(-2)))
-0.005287 (0.02578) [-0.20511]
0.009503 (0.02451) [ 0.38764]
0.136951 (0.02355) [ 5.81515]*
D(LOG(SCM(-3)))
-0.090308 (0.02589) [-3.48795]*
-0.044278 (0.02462) [-1.79813]***
0.130033 (0.02366) [ 5.49670]*
D(LOG(SCM(-4)))
-0.032100 (0.02612)
0.012594 (0.02484)
0.074969 (0.02386)
203
Lampiran 5. Lanjutan [-1.22916]
[ 0.50706]
[ 3.14186]*
D(LOG(SCM(-5)))
-0.087082 (0.02613) [-3.33319]*
-0.034780 (0.02485) [-1.39974]
0.022182 (0.02387) [ 0.92925]
D(LOG(SCM(-6)))
-0.020989 (0.02618) [-0.80173]
0.019745 (0.02490) [ 0.79301]
0.000636 (0.02392) [ 0.02659]
D(LOG(SCM(-7)))
0.075106 (0.02610) [ 2.87757]*
0.026690 (0.02482) [ 1.07520]
0.014130 (0.02385) [ 0.59251]
D(LOG(SCM(-8)))
0.045580 (0.02614) [ 1.74402]***
0.012230 (0.02486) [ 0.49203]
-0.019859 (0.02388) [-0.83165]
D(LOG(SCM(-9)))
0.038512 (0.02612) [ 1.47435]
0.008353 (0.02484) [ 0.33623]
0.013887 (0.02387) [ 0.58184]
D(LOG(CJE(-1)))
0.022183 (0.02571) [ 0.86277]
0.020997 (0.02445) [ 0.85863]
0.148379 (0.02349) [ 6.31607]*
D(LOG(CJE(-2)))
0.090239 (0.02594) [ 3.47923]*
0.061893 (0.02467) [ 2.50913]*
0.045269 (0.02370) [ 1.91027]***
D(LOG(CJE(-3)))
0.118253 (0.02603) [ 4.54372]*
0.093865 (0.02475) [ 3.79221]*
0.098745 (0.02378) [ 4.15263]*
D(LOG(CJE(-4)))
0.064093 (0.02624) [ 2.44212]*
0.021508 (0.02496) [ 0.86170]
0.094091 (0.02398) [ 3.92386]*
D(LOG(CJE(-5)))
0.086625 (0.02636) [ 3.28645]*
0.041131 (0.02507) [ 1.64075]
0.033671 (0.02408) [ 1.39814]
D(LOG(CJE(-6)))
-0.006949 (0.02643) [-0.26296]
-0.018503 (0.02513) [-0.73619]
0.047076 (0.02415) [ 1.94966]***
204
Lampiran 5. Lanjutan D(LOG(CJE(-7)))
-0.072168 (0.02644) [-2.72958]*
-0.002747 (0.02515) [-0.10923]
0.073493 (0.02416) [ 3.04231]*
D(LOG(CJE(-8)))
-0.014728 (0.02654) [-0.55501]
0.009283 (0.02524) [ 0.36784]
0.066037 (0.02425) [ 2.72369]*
D(LOG(CJE(-9)))
-0.064928 (0.02634) [-2.46502]*
-0.006115 (0.02505) [-0.24410]
-0.007027 (0.02407) [-0.29199]
D(LOG(BLW(-1)))
0.003829 (0.02375) [ 0.16121]
-0.003326 (0.02259) [-0.14723]
-0.160173 (0.02170) [-7.38082]*
D(LOG(BLW(-2)))
0.057957 (0.02401) [ 2.41405]*
0.035282 (0.02283) [ 1.54520]
-0.107580 (0.02194) [-4.90436]*
D(LOG(BLW(-3)))
0.067433 (0.02407) [ 2.80178]*
0.027322 (0.02289) [ 1.19361]
-0.016378 (0.02199) [-0.74478]
D(LOG(BLW(-4)))
0.019175 (0.02404) [ 0.79747]
0.016400 (0.02287) [ 0.71718]
-0.026372 (0.02197) [-1.20043]
D(LOG(BLW(-5)))
0.011390 (0.02398) [ 0.47503]
0.027618 (0.02280) [ 1.21113]
0.023075 (0.02191) [ 1.05334]
D(LOG(BLW(-6)))
0.027467 (0.02363) [ 1.16213]
0.014154 (0.02248) [ 0.62967]
-0.039333 (0.02159) [-1.82143]***
D(LOG(BLW(-7)))
0.023610 (0.02289) [ 1.03162]
-0.016831 (0.02177) [-0.77326]
-0.026404 (0.02091) [-1.26269]
D(LOG(BLW(-8)))
-0.034439 (0.02231) [-1.54356]
0.002067 (0.02122) [ 0.09741]
0.039684 (0.02039) [ 1.94664]***
D(LOG(BLW(-9)))
-0.007243 (0.02072)
0.031302 (0.01970)
-0.013374 (0.01893)
205
Lampiran 5. Lanjutan [-0.34961]
[ 1.58867]
[-0.70653]
C
0.056890 (0.05616) [ 1.01305]
0.148169 (0.05341) [ 2.77422]*
-0.180030 (0.05131) [-3.50869]*
LOG(OIL)
0.004119 (0.00206) [ 2.00136]*
0.010485 (0.00196) [ 5.35668]*
-0.000910 (0.00188) [-0.48373]
LOG(SGD)
-0.009278 (0.00969) [-0.95717]
0.013720 (0.00922) [ 1.48824]
-0.016471 (0.00886) [-1.85987]*
LOG(YEN)
0.017659 (0.00808) [ 2.18580]*
0.057088 (0.00768) [ 7.42977]*
-0.052498 (0.00738) [-7.11194]*
LOG(RP)
-0.016563 (0.00785) [-2.10966]*
-0.050890 (0.00747) [-6.81545]*
0.048181 (0.00717) [ 6.71666]*
0.099652 0.085644 0.402452 0.013775 7.113825 6193.308 -5.716295 -5.626751 0.000323 0.014406
0.150320 0.137100 0.364027 0.013101 11.37073 6301.431 -5.816641 -5.727096 0.000163 0.014103
0.288767 0.277701 0.335970 0.012586 26.09532 6387.854 -5.896848 -5.807303 0.000490 0.014809
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
3.99E-12 3.80E-12 19159.18 -17.67905 -17.38935
206
Lampiran 6. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model Karet RSS3 Vector Error Correction Estimates Date: 07/04/09 Time: 15:38 Sample (adjusted): 6/08/2004 2/27/2009 Included observations: 1233 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
LOG(TCM(-1))
1.000000
0.000000
0.000000
LOG(AFET(-1))
0.000000
1.000000
0.000000
LOG(SHFE(-1))
0.000000
0.000000
1.000000
LOG(BLW(-1))
-1.098576 (0.05171) [-21.2460]*
-1.090112 (0.04540) [-24.0136]*
-1.632721 (0.16762) [-9.74039]*
@TREND(6/01/04)
0.000112 (8.6E-05) [ 1.29206]
2.18E-05 (7.6E-05) [ 0.28814]
0.000718 (0.00028) [ 2.56360]*
C
5.357074
6.450385
12.70331
Error Correction:
D(LOG(TCM))
CointEq1
-0.223420 (0.03248) [-6.87824]*
0.035751 (0.02737) [ 1.30639]
0.033296 (0.02826) [ 1.17808]
0.077418 (0.02033) [ 3.80778]*
CointEq2
0.198160 (0.03570) [ 5.55009]*
-0.078775 (0.03008) [-2.61875]*
0.001492 (0.03107) [ 0.04802]
0.022656 (0.02235) [ 1.01380]
CointEq3
0.043701 (0.00847) [ 5.15682]*
0.032919 (0.00714) [ 4.61068]*
-0.003391 (0.00737) [-0.45993]
-0.010451 (0.00530) [-1.97026]**
D(LOG(TCM(-1)))
-0.107718 (0.04726) [-2.27937]**
0.050541 (0.03982) [ 1.26939]
-0.059711 (0.04112) [-1.45216]
0.126945 (0.02958) [ 4.29157]*
D(LOG(TCM(-2)))
-0.112524 (0.04750) [-2.36917]*
-0.059019 (0.04002) [-1.47491]
-0.012869 (0.04133) [-0.31140]
0.070009 (0.02973) [ 2.35494]*
D(LOG(AFET)) D(LOG(SHFE)) D(LOG(BLW))
207
Lampiran 6. Lanjutan
D(LOG(TCM(-3)))
-0.040661 (0.04729) [-0.85978]
0.015237 (0.03984) [ 0.38242]
0.011672 (0.04115) [ 0.28366]
0.025063 (0.02960) [ 0.84667]
D(LOG(TCM(-4)))
-0.053015 (0.04564) [-1.16167]
-0.073030 (0.03845) [-1.89938]***
-0.024176 (0.03971) [-0.60884]
-0.023985 (0.02857) [-0.83967]
D(LOG(AFET(-1)))
0.173247 (0.05758) [ 3.00896]*
0.062786 (0.04851) [ 1.29431]
0.130589 (0.05010) [ 2.60668]*
0.107494 (0.03604) [ 2.98268]*
D(LOG(AFET(-2)))
0.075749 (0.05718) [ 1.32465]
0.053878 (0.04818) [ 1.11832]
0.092603 (0.04976) [ 1.86117]***
0.102936 (0.03579) [ 2.87588]*
D(LOG(AFET(-3)))
0.087521 (0.05682) [ 1.54038]
0.048083 (0.04787) [ 1.00447]
0.073687 (0.04944) [ 1.49052]
0.087044 (0.03556) [ 2.44755]*
D(LOG(AFET(-4)))
0.019898 (0.05517) [ 0.36067]
0.086519 (0.04648) [ 1.86138]***
0.021446 (0.04800) [ 0.44676]
0.028882 (0.03453) [ 0.83636]
D(LOG(SHFE(-1)))
-0.011619 (0.03824) [-0.30384]
-0.020779 (0.03222) [-0.64494]
-0.106839 (0.03327) [-3.21098]*
0.046603 (0.02394) [ 1.94698]***
D(LOG(SHFE(-2)))
0.022843 (0.03816) [ 0.59855]
-0.014180 (0.03215) [-0.44100]
-0.006102 (0.03321) [-0.18375]
-0.002402 (0.02389) [-0.10056]
D(LOG(SHFE(-3)))
0.032348 (0.03801) [ 0.85100]
0.009204 (0.03203) [ 0.28739]
-0.022825 (0.03307) [-0.69013]
0.014854 (0.02379) [ 0.62432]
D(LOG(SHFE(-4)))
0.029790 (0.03772) [ 0.78981]
0.034249 (0.03178) [ 1.07779]
0.047713 (0.03282) [ 1.45386]
0.042526 (0.02361) [ 1.80131]***
D(LOG(BLW(-1)))
0.121987 (0.04590) [ 2.65795]*
0.079632 (0.03867) [ 2.05943]**
0.045349 (0.03993) [ 1.13562]
-0.104092 (0.02873) [-3.62348]*
D(LOG(BLW(-2)))
0.012173 (0.04501)
-0.009121 (0.03792)
-0.007646 (0.03916)
-0.054751 (0.02817)
208
Lampiran 6. Lanjutan [ 0.27045]
[-0.24051]
[-0.19523]
[-1.94330]***
D(LOG(BLW(-3)))
0.042759 (0.04315) [ 0.99092]
-0.012085 (0.03636) [-0.33242]
0.097051 (0.03755) [ 2.58489]*
0.041280 (0.02701) [ 1.52836]
D(LOG(BLW(-4)))
0.010592 (0.03929) [ 0.26959]
-0.018260 (0.03310) [-0.55162]
0.002250 (0.03419) [ 0.06581]
-0.003788 (0.02459) [-0.15405]
C
-0.895788 (0.22480) [-3.98477]*
-0.087588 (0.18940) [-0.46245]
-0.360257 (0.19560) [-1.84181]***
-0.265401 (0.14071) [-1.88615]***
LOG(OIL)
0.019723 (0.00446) [ 4.41782]*
0.011352 (0.00376) [ 3.01803]*
0.004748 (0.00388) [ 1.22217]
0.004755 (0.00279) [ 1.70166]***
LOG(YEN)
0.228885 (0.03501) [ 6.53756]*
-0.052095 (0.02950) [-1.76610]***
-0.038821 (0.03046) [-1.27439]
-0.087928 (0.02191) [-4.01237]*
LOG(BAHT)
-0.231100 (0.03936) [-5.87126]*
0.060951 (0.03316) [ 1.83796]***
-0.012824 (0.03425) [-0.37444]
0.021251 (0.02464) [ 0.86254]
LOG(YUAN)
0.069563 (0.03359) [ 2.07100]**
0.102473 (0.02830) [ 3.62108]*
0.047059 (0.02923) [ 1.61019]
-0.026229 (0.02102) [-1.24756]
LOG(RP)
0.046795 (0.02507) [ 1.86679]***
-0.015719 (0.02112) [-0.74431]
0.051674 (0.02181) [ 2.36919]*
0.069496 (0.01569) [ 4.42924]*
0.096022 0.078062 0.539482 0.021133 5.346501 3018.676 -4.855923 -4.752167 -7.58E-05 0.022009
0.055579 0.036815 0.382938 0.017805 2.962084 3229.973 -5.198659 -5.094904 -3.57E-05 0.018142
0.059938 0.041262 0.408422 0.018387 3.209250 3190.253 -5.134230 -5.030475 -9.84E-05 0.018779
0.331684 0.318407 0.211362 0.013228 24.98039 3596.360 -5.792960 -5.689205 0.000235 0.016022
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
209
Lampiran 7. Hasil Uji Granger Causality A. Harga Jenis Karet TSR20 Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:21 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 1 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2164
1.24879 8.53345
0.26391 0.00352*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2164
8.92734 67.3605
0.00284* 3.8E-16*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2164
14.0064 21.7717
0.00019* 3.3E-06*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:24 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2163
2.41100 53.2652
0.08997*** 2.6E-23*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2163
2.51164 163.847
0.08137*** 5.7E-67*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2163
8.11219 143.934
0.00031* 2.1E-59*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
210
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:25 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 3 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2162
6.21389 34.2294
0.00034* 1.3E-21*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2162
4.20307 140.649
0.00565* 3.2E-83*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2162
6.20418 110.916
0.00034* 8.7E-67*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:25 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 4 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2161
11.9581 24.9043
1.3E-09* 3.5E-20*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2161
5.81294 123.557
0.00012* 5.0E-95*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2161
2.87562 98.1167
0.02169** 8.7E-77*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
211
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:26 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 5 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2160
10.1546 19.5588
1.3E-09* 4.3E-19*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2160
3.85924 105.636
0.00175* 7.E-100*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2160
1.84707 84.5520
0.10053 2.8E-81*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:27 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 6 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2159
11.1371 16.2137
2.9E-12* 2.5E-18*
LOG(BLW) does not Granger CauseLOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2159
3.93877 87.5539
0.00064* 2.1E-98*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2159
1.17046 69.0467
0.31920 8.5E-79*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
212
Lampiran 7. Lanjutan
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:27 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 7 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2158
9.25604 14.0320
2.5E-11* 6.7E-18*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2158
3.41087 75.1536
0.00125* 1.4E-97*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2158
0.90637 60.0226
0.50036 6.1E-79*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:28 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 8 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2157
8.08970 12.5600
8.2E-11* 9.4E-18*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2157
2.37371 66.4360
0.01523** 1.3E-97*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2157
0.51756 54.0647
0.84406 2.8E-80*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
213
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/04/09 Time: 14:39 Sample: 11/01/2000 3/20/2009 Lags: 9 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(CJE)
2156
7.15844 11.3136
2.7E-10* 1.9E-17*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SCM) LOG(SCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
2156
2.12388 58.4530
0.02468** 9.0E-96*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(CJE) LOG(CJE) does not Granger Cause LOG(BLW)
2156
0.42104 47.8212
0.92455 4.8E-79*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
214
Lampiran 7. Lanjutan B. Harga Jenis Karet RSS3 Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:32 Sample: 6/01/2004 3/20/2009 Lags: 1 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(AFET)
1238
0.09747 5.57970
0.75494 0.01832**
LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1238
2.48611 9.37797
0.11511 0.00224*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
1238
4.32617 48.9730
0.03774** 4.2E-12**
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1238
7.14207 9.59826
0.00763*** 0.00199*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(BLW)
1238
3.91349 66.0411
0.04812** 1.1E-15*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SHFE) LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(BLW)
1238
0.45444 24.4543
0.50036 8.7E-07*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
215
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:34 Sample: 6/01/2004 3/20/2009 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(AFET) does not Granger CauseLOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(AFET)
1237
11.3084 5.19176
1.4E-05* 0.00568*
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1237
2.46774 5.35375
0.08520*** 0.00484*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
1237
5.88008 137.023
0.00287* 1.9E-54*
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1237
4.72217 9.41206
0.00906* 8.8E-05*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(BLW)
1237
3.59901 131.765
0.02764** 1.4E-52*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SHFE) LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(BLW)
1237
8.53346 52.8511
0.00021* 9.5E-23*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
216
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/07/09 Time: 06:35 Sample: 6/01/2004 3/20/2009 Lags: 3 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(AFET) does not Granger CauseLOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(AFET)
1236
10.9007 3.94407
4.6E-07* 0.00817*
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1236
2.33605 6.38021
0.07218*** 0.00027*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
1236
4.74669 120.658
0.00269* 1.7E-68*
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1236
3.30123 9.61708
0.01972** 2.8E-06*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(BLW)
1236
2.39357 115.001
0.06689*** 1.2E-65*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SHFE) LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(BLW)
1236
4.59815 41.2020
0.00331* 2.3E-25*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
217
Lampiran 7. Lanjutan Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/04/09 Time: 15:46 Sample: 6/01/2004 3/20/2009 Lags: 4 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(AFET)
1235
10.1494 3.35069
4.4E-08* 0.00972*
LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1235
2.06268 6.57080
0.08351*** 3.1E-05*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(TCM) LOG(TCM) does not Granger Cause LOG(BLW)
1235
2.90272 101.314
0.02089** 1.4E-74*
LOG(SHFE) does not Granger CauseLOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(SHFE)
1235
2.77639 9.31746
0.02585** 2.0E-07*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(AFET) LOG(AFET) does not Granger Cause LOG(BLW)
1235
1.01497 97.6708
0.39842 3.4E-72*
LOG(BLW) does not Granger Cause LOG(SHFE) LOG(SHFE) does not Granger Cause LOG(BLW)
1235
6.01425 31.9180
8.6E-05* 2.5E-25*
Keterangan: *,**, dan *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen
218
Lampiran 8. Hasil Analisis Impulse Respon Karet TSR20 A. Respon Harga TSR20 terhadap Guncangan SICOM Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600
LOG(SCM)
LOG(CJE)
LOG(BLW)
0.013792 0.015746 0.016630 0.016766 0.017354 0.017307 0.017440 0.018325 0.019250 0.019487 0.019116 0.016530 0.014084 0.011919 0.010024 0.008382 0.006975 0.005779 0.004770 0.003925 0.003221 0.002637 0.002154 0.001757 0.001430 0.001163 0.000944 0.000766 0.000621 0.000503 0.000407 0.000329 0.000266 0.000215 0.000173 0.000140 0.000113 9.11E-05 7.34E-05 5.92E-05
0.006210 0.009244 0.010124 0.010552 0.011281 0.011542 0.012119 0.012760 0.013394 0.013851 0.014482 0.013091 0.011512 0.009999 0.008590 0.007310 0.006171 0.005175 0.004316 0.003582 0.002961 0.002440 0.002004 0.001642 0.001343 0.001096 0.000893 0.000726 0.000590 0.000479 0.000388 0.000315 0.000255 0.000206 0.000166 0.000135 0.000109 8.77E-05 7.07E-05 5.71E-05
0.000630 0.004696 0.007352 0.009834 0.011589 0.012347 0.012753 0.013520 0.014035 0.014712 0.016333 0.014884 0.013066 0.011313 0.009686 0.008218 0.006919 0.005789 0.004818 0.003993 0.003296 0.002712 0.002226 0.001822 0.001489 0.001214 0.000988 0.000804 0.000653 0.000530 0.000429 0.000348 0.000281 0.000227 0.000184 0.000148 0.000120 9.68E-05 7.81E-05 6.30E-05
Cholesky Ordering: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW)
219
Lampiran 8 . Lanjutan B. Respon Harga Karet TSR20 terhadap Guncngan Harga CJCE
Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600
LOG(SCM)
LOG(CJE)
LOG(BLW)
0.000000 9.57E-05 0.000968 0.002401 0.003345 0.004490 0.004554 0.003750 0.003488 0.003342 0.001864 -0.001408 -0.002981 -0.003594 -0.003698 -0.003535 -0.003239 -0.002888 -0.002525 -0.002177 -0.001856 -0.001569 -0.001099 -0.000912 -0.000754 -0.000622 -0.000511 -0.000419 -0.000342 -0.000279 -0.000228 -0.000185 -0.000151 -0.000122 -9.91E-05 -8.02E-05 -6.50E-05 -5.25E-05 -4.25E-05
0.011533 0.011310 0.011596 0.012534 0.012799 0.013265 0.013159 0.013008 0.012753 0.012556 0.009551 0.003949 0.000823 -0.000852 -0.001704 -0.002076 -0.002167 -0.002098 -0.001941 -0.001745 -0.001535 -0.001330 -0.000965 -0.000812 -0.000679 -0.000565 -0.000468 -0.000386 -0.000318 -0.000261 -0.000213 -0.000174 -0.000142 -0.000116 -9.40E-05 -7.63E-05 -6.19E-05 -5.02E-05 -4.06E-05
-0.000349 0.001816 0.002295 0.003618 0.005192 0.005875 0.007132 0.008188 0.008709 0.008508 0.006861 0.002475 -0.000167 -0.001601 -0.002310 -0.002582 -0.002594 -0.002457 -0.002244 -0.001997 -0.001745 -0.001504 -0.001084 -0.000910 -0.000759 -0.000630 -0.000521 -0.000430 -0.000353 -0.000289 -0.000237 -0.000193 -0.000157 -0.000128 -0.000104 -8.44E-05 -6.85E-05 -5.55E-05 -4.49E-05
Cholesky Ordering: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW)
220
Lampiran 8. Lanjutan C. Respon Harga Karet TSR20 terhadap Guncangan Belawan
Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600
LOG(SCM)
LOG(CJE)
0.000000 0.000000 6.63E-05 0.000297 0.000833 0.001001 0.001702 0.001630 0.001944 0.002189 0.002090 0.002758 0.002502 0.003136 0.002930 0.003176 0.002512 0.003505 0.002665 0.003621 0.003869 0.005123 0.004044 0.005439 0.003348 0.004554 0.002532 0.003484 0.001827 0.002549 0.001281 0.001818 0.000879 0.001274 0.000592 0.000881 0.000390 0.000601 0.000251 0.000404 0.000156 0.000268 9.18E-05 0.000174 4.97E-05 0.000109 2.24E-05 6.59E-05 5.39E-06 3.72E-05 -4.82E-06 1.84E-05 -1.05E-05 6.51E-06 -1.32E-05 -7.64E-07 -1.41E-05 -4.95E-06 -1.38E-05 -7.11E-06 -1.29E-05 -7.99E-06 -1.17E-05 -8.06E-06 -1.04E-05 -7.67E-06 -9.02E-06 -7.02E-06 -7.74E-06 -6.27E-06 -6.58E-06 -5.49E-06 -5.55E-06 -4.74E-06 -4.65E-06 -4.04E-06 -3.88E-06 -3.42E-06 -3.21E-06 -2.87E-06 Cholesky Ordering: LOG(SCM) LOG(CJE) LOG(BLW)
LOG(BLW) 0.012601 0.009871 0.008486 0.008667 0.008535 0.009034 0.008533 0.008411 0.009190 0.009016 0.008599 0.006991 0.005279 0.003842 0.002737 0.001921 0.001332 0.000914 0.000619 0.000414 0.000272 0.000174 0.000108 6.37E-05 3.45E-05 1.56E-05 3.80E-06 -3.28E-06 -7.22E-06 -9.12E-06 -9.72E-06 -9.55E-06 -8.93E-06 -8.09E-06 -7.16E-06 -6.23E-06 -5.35E-06 -4.55E-06 -3.84E-06 -3.21E-06
221
Lampiran 9. Hasil Impulse Response Karet RSS3 A. Respon Harga Karet RSS3 terhadap Guncangan TOCOM
Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM)
LOG(AFET)
LOG(SHFE)
LOG(BLW)
0.021118 0.019630 0.018727 0.019263 0.019278 0.018717 0.018185 0.017596 0.017022 0.016477 0.012308 0.009558 0.007519 0.005954 0.004737 0.003784 0.003033 0.002439 0.001967 0.001590 0.001288 0.001046 0.000850 0.000693 0.000565 0.000461 0.000377 0.000308 0.000253 0.000207 0.000170 0.000139 0.000114 9.37E-05 7.70E-05 6.32E-05 5.19E-05 4.27E-05 3.51E-05
0.014040 0.015849 0.015624 0.016856 0.016814 0.016609 0.016421 0.016195 0.015912 0.015625 0.012634 0.010036 0.007950 0.006307 0.005019 0.004007 0.003209 0.002578 0.002078 0.001678 0.001359 0.001103 0.000896 0.000730 0.000595 0.000486 0.000397 0.000325 0.000266 0.000218 0.000178 0.000146 0.000120 9.85E-05 8.09E-05 6.64E-05 5.46E-05 4.48E-05 3.69E-05
0.008548 0.008910 0.010910 0.012412 0.013474 0.013954 0.014295 0.014381 0.014414 0.014385 0.012652 0.010418 0.008418 0.006767 0.005439 0.004378 0.003531 0.002855 0.002313 0.001878 0.001527 0.001243 0.001014 0.000828 0.000677 0.000554 0.000453 0.000371 0.000304 0.000250 0.000205 0.000168 0.000138 0.000113 9.32E-05 7.66E-05 6.29E-05 5.17E-05 4.25E-05
-0.000130 0.006412 0.009893 0.011895 0.012819 0.013555 0.014043 0.014233 0.014331 0.014366 0.012887 0.010614 0.008518 0.006783 0.005397 0.004302 0.003439 0.002757 0.002217 0.001788 0.001445 0.001171 0.000950 0.000773 0.000629 0.000513 0.000419 0.000343 0.000280 0.000229 0.000188 0.000154 0.000126 0.000104 8.51E-05 6.99E-05 5.74E-05 4.72E-05 3.88E-05
Cholesky Ordering: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW)
222
Lampiran 9. Lanjutan B. Respon Harga Karet RSS3 terhadap Guncangan Harga AFET Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM)
LOG(AFET)
LOG(SHFE)
LOG(BLW)
0.000000 0.004242 0.006211 0.007759 0.008136 0.008490 0.008718 0.008804 0.008790 0.008725 0.006929 0.005073 0.003675 0.002667 0.001943 0.001421 0.001044 0.000770 0.000571 0.000426 0.000319 0.000240 0.000182 0.000139 0.000106 8.20E-05 6.35E-05 4.95E-05 3.88E-05 3.05E-05 2.41E-05 1.92E-05 1.53E-05 1.22E-05 9.81E-06 7.90E-06 6.38E-06 5.16E-06 4.19E-06
0.011066 0.011022 0.011350 0.011297 0.011197 0.010898 0.010641 0.010347 0.010057 0.009775 0.007302 0.005393 0.003950 0.002884 0.002107 0.001542 0.001132 0.000835 0.000618 0.000460 0.000344 0.000259 0.000196 0.000149 0.000114 8.78E-05 6.79E-05 5.28E-05 4.13E-05 3.25E-05 2.56E-05 2.03E-05 1.62E-05 1.29E-05 1.04E-05 8.35E-06 6.74E-06 5.45E-06 4.41E-06
0.002973 0.004091 0.004832 0.005533 0.005740 0.006002 0.006172 0.006202 0.006204 0.006190 0.005475 0.004393 0.003359 0.002514 0.001866 0.001384 0.001029 0.000767 0.000575 0.000433 0.000328 0.000250 0.000192 0.000148 0.000114 8.91E-05 6.98E-05 5.49E-05 4.34E-05 3.45E-05 2.75E-05 2.20E-05 1.76E-05 1.42E-05 1.15E-05 9.27E-06 7.52E-06 6.11E-06 4.97E-06
0.000652 0.002051 0.003904 0.005596 0.006262 0.006728 0.007071 0.007277 0.007420 0.007519 0.007114 0.005774 0.004405 0.003273 0.002406 0.001764 0.001294 0.000952 0.000703 0.000521 0.000389 0.000291 0.000219 0.000166 0.000127 9.69E-05 7.47E-05 5.79E-05 4.51E-05 3.53E-05 2.78E-05 2.20E-05 1.74E-05 1.39E-05 1.11E-05 8.92E-06 7.18E-06 5.80E-06 4.69E-06
Cholesky Ordering: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW)
223
Lampiran 9. Lanjutan C. Respon Harga Karet RSS3 terhadap Guncangan Harga SHFE
Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM)
LOG(AFET)
LOG(SHFE)
LOG(BLW)
0.000000 0.000512 0.001329 0.002023 0.002097 0.002318 0.002616 0.002905 0.003163 0.003416 0.005369 0.006306 0.006531 0.006321 0.005870 0.005303 0.004698 0.004102 0.003542 0.003033 0.002579 0.002182 0.001837 0.001541 0.001289 0.001076 0.000895 0.000744 0.000618 0.000512 0.000424 0.000351 0.000290 0.000239 0.000198 0.000163 0.000135 0.000111 9.14E-05
0.000000 0.000151 0.000429 0.000953 0.001337 0.001692 0.002046 0.002364 0.002667 0.002956 0.005098 0.006166 0.006503 0.006375 0.005975 0.005434 0.004837 0.004240 0.003672 0.003152 0.002685 0.002274 0.001917 0.001610 0.001348 0.001125 0.000938 0.000780 0.000647 0.000537 0.000444 0.000368 0.000304 0.000251 0.000207 0.000171 0.000141 0.000116 9.60E-05
0.015946 0.014103 0.014074 0.013599 0.013561 0.013413 0.013357 0.013256 0.013158 0.013066 0.012295 0.011502 0.010558 0.009502 0.008410 0.007343 0.006343 0.005432 0.004621 0.003909 0.003293 0.002763 0.002311 0.001929 0.001606 0.001335 0.001108 0.000918 0.000760 0.000629 0.000520 0.000430 0.000355 0.000293 0.000241 0.000199 0.000164 0.000135 0.000111
0.000875 0.001286 0.000965 0.001264 0.001472 0.001587 0.001727 0.001878 0.002038 0.002204 0.003890 0.005150 0.005791 0.005926 0.005719 0.005310 0.004799 0.004254 0.003716 0.003211 0.002750 0.002339 0.001979 0.001667 0.001399 0.001170 0.000976 0.000813 0.000676 0.000561 0.000465 0.000385 0.000318 0.000263 0.000217 0.000179 0.000148 0.000122 0.000101
224 Lampiran 9. Lanjutan D. Respon Harga Karet RSS3 terhadap Guncangan Harga Belawan
Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
LOG(TCM)
LOG(AFET)
LOG(SHFE)
LOG(BLW)
0.000000 0.001036 0.000393 0.000331 -0.000106 -0.000494 -0.000787 -0.001095 -0.001365 -0.001584 -0.002635 -0.002824 -0.002758 -0.002576 -0.002338 -0.002079 -0.001821 -0.001576 -0.001352 -0.001152 -0.000975 -0.000822 -0.000690 -0.000578 -0.000482 -0.000402 -0.000334 -0.000277 -0.000230 -0.000190 -0.000158 -0.000130 -0.000108 -8.88E-05 -7.33E-05 -6.05E-05 -4.99E-05 -4.11E-05 -3.39E-05
0.000000 0.000953 0.000633 0.000256 0.000213 -5.73E-05 -0.000256 -0.000455 -0.000656 -0.000842 -0.002116 -0.002612 -0.002703 -0.002591 -0.002383 -0.002135 -0.001879 -0.001632 -0.001404 -0.001198 -0.001016 -0.000858 -0.000721 -0.000604 -0.000505 -0.000421 -0.000350 -0.000291 -0.000241 -0.000200 -0.000165 -0.000137 -0.000113 -9.32E-05 -7.70E-05 -6.35E-05 -5.24E-05 -4.32E-05 -3.56E-05
0.000000 0.000265 -0.000149 0.001085 0.000364 -6.15E-05 -0.000396 -0.000789 -0.001171 -0.001504 -0.003590 -0.004122 -0.004009 -0.003658 -0.003237 -0.002814 -0.002419 -0.002062 -0.001747 -0.001473 -0.001237 -0.001036 -0.000865 -0.000720 -0.000599 -0.000497 -0.000412 -0.000342 -0.000283 -0.000234 -0.000193 -0.000159 -0.000132 -0.000109 -8.95E-05 -7.38E-05 -6.08E-05 -5.01E-05 -4.13E-05
0.013186 0.010624 0.009557 0.009623 0.008658 0.007655 0.006861 0.006052 0.005280 0.004581 8.92E-05 -0.001668 -0.002274 -0.002391 -0.002293 -0.002102 -0.001877 -0.001648 -0.001428 -0.001226 -0.001044 -0.000885 -0.000746 -0.000626 -0.000524 -0.000438 -0.000365 -0.000303 -0.000252 -0.000209 -0.000173 -0.000143 -0.000118 -9.77E-05 -8.07E-05 -6.66E-05 -5.49E-05 -4.53E-05 -3.73E-05
Cholesky Ordering: LOG(TCM) LOG(AFET) LOG(SHFE) LOG(BLW)