ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA (Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)
Oleh: Gandari Adianti
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA (Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, November 2005
Gandari Adianti NRP. A155030091
ABSTRAK GANDARI ADIANTI. 2005. Analisis Faktor-Faktor ya ng Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan HERMANTO SIREGAR.
Penelitian ini membahas tentang kemiskinan di DKI Jakarta secara spasial yaitu RW kumuh dan RW tidak kumuh. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan (2) menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) yaitu model regresi logit dengan data utama Susenas Kor 2004. Hasil utama penelitian ini adalah (1) angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak kumuh (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan mempergunakan peubah-peubah yang sama menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh) (3) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sudah banyak menyentuh faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan, namun pelaksanaannya belum dibedakan secara spasial serta masih menemui berbagai kendala. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi kemiskinan perlu menyesuaikan dengan lokasi tempat tinggal penduduk miskin. Demi keberhasilan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal. Kata kunci : kemiskinan, kumuh, penanggulangan kemiskinan
©Hak cipta milik Gandari Adianti, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA (Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)
Oleh: Gandari Adianti
Tesis Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul Tesis
Nama NRP
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Pemukiman Kumuh Dan Tidak Kumuh) : Gandari Adianti Aju Fatimah : A155030091
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Said Rusli,MA Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 28 Oktober 2005
Tanggal Lulus: ……………………....
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dengan telah selesainya tesis yang berjudul : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Tesis ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Magister di Program Studi Ilmuilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor. Tesis ini diselesaikan dengan atas bimbingan dan bant uan dari berbagai pihak terutama dari komisi pembimbing yang terdiri dari : 1.
Ir. Said Rusli, MA
2.
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Atas bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis, dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Ucapan terima kasih yang teramat dalam penulis sampaikan kepada bapak, mama serta teteh, aa, dan ade yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga diucapkan kepada dosen dan staf Program Studi PWD. Bagi teman-teman PWD angkatan 2003 terutama kepada keluarga Drabas (Iwan, Mimi, dan Afud) dan anggota BBC plus Om Bob diucapkan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan keikhlasan yang telah memberikan warna baru dalam hidup penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih bagi temanteman BPS Provinsi DKI Jakarta terutama Mita, Ari, Rini dan Rizal atas dukungan, pengertian serta keikhlasannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Akhir kata semoga penelitan yang sudah dilaksanakan bermanfaat bagi semua pihak.
Indraprasta Bogor, November 2005
Gandari Adianti
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 10 September 1968, anak ke enam dari delapan bersaudara dari Ayahanda Achmad Purna dan Ibunda Siti Djulaeha. Setelah selesai menamatkan SMA di SMAN 2 Bogor pada tahun 1987, penulis kemudian melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Pertanian diperoleh pada tahun 1992.
Gelar Sarjana
Pada tahun 2003, penulis mendapat
beasiswa dari Bappenas untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sejak tahun 1993 hingga sekarang penulis tercatat sebagai pegawai di lingkungan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………………………. Tujuan ………………………………………………………………….. Hipotesis ……………………………………………………………….. Manfaat ………………………………………………………………… TINJAUAN PUSTAKA Kedelai …………………………………………………………………. Fitoestrogen ……………………………………………………………. Isoflavon ……………………………………………………………….. Hormon Estrogen ………………………………………………………. Biologi Umum Tikus Putih (Rattus sp.) ................................................... Ovarium ………………… ……………………………………………... Uterus …………………………………………………………………... Kelenjar Mammae ……………………………………………………… Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) …………. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………….. Bahan dan Alat …………………………………………………………. Metode Penelitian ………………………………………………………. Rancangan Percobaan ………………………………………………….. Analisis Data …………………………………………………………… HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Korpus Luteum, Jumlah Titik Implantasi, Jumlah Anak dan Bobot Badan Anak ..…………………………………………………… Berat ovari, ? Berat dan Panjang Uterus ………………………………. Analisis Kelenjar Mammae (BKBL dan Aktivitas Sintesis) ................... Produksi Air Susu .................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….... DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… LAMPIRAN …………………………………………………………………..
ix x xi 1 3 3 3 4 5 5 8 10 12 13 14 15 17 17 17 20 20 21 23 27 28 31 32 36
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rata-rata jumlah korpus luteum, jumlah titik implantasi, jumlah anak,
22
dan bobot lahir anak dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari .…………………………………………………………………. 2
Rata-rata berat ovari dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g
23
bb/hari ………………………………………………………………….. 3
Rata-rata ? berat uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g
24
bb/hari ………………………………………………………………….. 4
Rata-rata panjang uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g
24
bb/hari ………………………………………………………………….. 5
Rata-rata BKBL kelenjar mammae dengan pemberian ekstrak kedelai 5
28
mg/100 g bb/hari ……………………………………………………….. 6
Analisis RNA kelenjar mammae induk tikus dengan pemberian ekstrak
28
kedelai 5 mg/100 g bb/hari …………………………………………….. 7
Rata-rata produksi susu total dan pertambahan bobot badan …………..
29
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Isoflavon bentuk aglikon ………………………………………………...
8
2
Estrogen alam ……………………………………………………………
9
3
Rataan Produksi susu (g) berdasarkan hari laktasi ……………………..
29
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis statistik korpus luteum ……………………………………….
36
2
Analisis statistik titik implantasi ……………………………………....
36
3
Analisis statistik jumlah anak …………………………………………
37
4
Analisis statistik bobot lahir anak …………………………………….
37
5
Analisis statistik berat ovari K 1 ………………………………………
38
6
Analisis statistik berat ovari K 2 ............................................................
38
7
Analisis statistik berat ovari K 3 ............................................................
39
8
Analisis statistik berat ovari total ……………………………………..
39
9
Analisis statistik ? berat uterus K 1 …………………………………..
40
10
Analisis statistik ? berat uterus K 2 …………………………………..
40
11
Analisis statistik ? berat uterus K 3 …………………………………..
41
12
Analisis statistik ? berat uterus total ...………………………………..
41
13
Analisis statistik panjang uterus kiri K 1 …………………………......
42
14
Analisis statistik panjang uterus kiri K 2 …………………………......
42
15
Analisis statistik panjang uterus kiri K 3 …………………………......
43
16
Analisis statistik panjang uterus kiri total ..………………………......
43
17
Analisis statistik panjang uterus kanan K 1 ………………………….
44
18
Analisis statistik panjang uterus kanan K 2 ………………………….
44
19
Analisis statistik panjang uterus kanan K 3 ………………………….
45
20
Analisis statistik panjang uterus kanan total ...……………………….
45
21
Analisis statistik BKBL K 1 ....................................................................
46
22
Analisis statistik BKBL K 2 ....................................................................
46
23
Analisis statistik BKBL K 3 ....................................................................
47
24
Analisis statistik BKBL total ..................................................................
47
25
Analisis RNA kelenjar mammae K 1 ………………………………….
48
26
Analisis RNA kelenjar mammae K 2 ………………………………….
48
27
Analisis RNA kelenjar mammae K 3 ………………………………….
49
28
Analisis RNA kelenjar mammae total ......…………………………….
49
29
Ekstrak kedelai ........................................................................................
50
30
Analisis isoflavon dengan HPLC ............................................................
51
31
Gambar ovari .............................................................................................
52
32
Gambar uterus ...........................................................................................
52
xi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk perkotaan atau urbanisasi disebabkan oleh tiga proses yaitu pertumbuhan alamiah, migrasi dari desa ke kota, dan klasifikasi ulang daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan. Urbanisasi dapat dikatakan sebagai produk dari pembangunan ekonomi, bukan hanya dari tingginya konsentrasi tenaga kerja di perkotaan tetapi juga karena pembangunan ekonomi mengubah gaya hidup perkotaan yang menciptakan kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa. DKI Jakarta tidak terlepas pula dari proses urbanisasi. Jumlah penduduk DKI Jakarta terus meningkat, pada tahun 1961 jumlah penduduk baru mencapai 2,9 juta jiwa kemudian meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 4,5 juta jiwa pada tahun 1971. Pada tahun 1980, jumlah penduduk telah mencapai 6,5 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 8,2 juta jiwa pada tahun 1990.
Hasil Sensus
Penduduk 2000 mencatat penduduk DKI Jakata sebesar 8,38 juta.
Peningkatan
penduduk yang sangat tinggi pada periode 1961-1970 lebih disebabkan pertumbuhan alamiah DKI Jakarta yang sangat tinggi. Pada periode 1967-1970 dan 1971-1975, tingkat fertilitas total (TFR) di DKI Jakarta mencapai 5,2 dan 4,8. Artinya setiap wanita pada usia subur di DKI Jakarta rata-rata akan melahirkan 5 orang anak (Riza l, 1999 unpublished report). Namun pada periode 1980-an, peran pertumbuhan alami dalam proses urbanisasi mengalami penurunan.
Hugo (1997) diacu dalam Rizal (1999)
menyebutkan bahwa pertumbuhan alami di Jakarta hanya mencapai 0,9 persen per tahun. Pada periode ini proses urbanisasi di DKI Jakarta banyak didorong oleh migrasi dari desa ke kota (rural to urban migration).
Pembangunan ekonomi
yang terpusat di DKI Jakata menjadi pemicu berpindahnya penduduk dari daerah lain ke DKI Jakarta. Tidak berkembangnya daerah lain dan lebih terbukanya kesempatan kerja di DKI Jakarta merupakan faktor pendorong dan penarik migrasi (push dan pull factor).
2
Urbanisasi yang tinggi yang tidak seimbang dengan daya dukung kota akan menyebabkan berbagai permasalahan. Salah satu daya dukung kota yang tidak tidak sebanding dengan tingkat urbanisasi adalah pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal di DKI Jakarta.
Sehingga penduduk yang tidak memperoleh
pekerjaan di sektor formal akan mencari pekerjaan di sektor informal.
Over
urbanization di DKI Jakarta telah mendorong pertumbuhan ekonomi sektor informal yang cukup tinggi.
Penduduk yang bekerja di sektor informal
mempunyai pendapatan yang rendah.
Hal ini karena upah di sektor formal
perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upah di sektor informal perkotaan (Kasliwal, 1995).
Yang terjadi selanjutnya adalah meningkatnya
penduduk miskin di perkotaan. Williamson (1975) menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai sumber daya ekonomi untuk hidup pada tingkat hidup yang memadai Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di perkotaan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin perkotaan baru mencapai 8,7 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 9,6 jiwa pada tahun 1996. Krisis ekonomi pada tahun 1997 telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin perkotaan naik dengan tajam menjadi 15,6 juta jiwa. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan oleh Pemerintah salah satunya adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemulihan ekonomi disertai dengan pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan telah dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan, bahkan pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 12,3 juta. Jumlah penduduk miskin di perkotaan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 25 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin di perkotaan hanya setengah dari jumlah penduduk miskin perdesaan. Namun masalah kemiskinan perkotaan menjadi sangat penting karena kemiskinan sering menjadi akar dari permasalahan sosial lainnya. Angka kriminalitas yang tinggi, kekurangan gizi balita yang parah serta tingkat
3
pendidikan yang rendah sering dikaitkan dengan angka kemiskinan yang tinggi di daerah tersebut. Masalah kemiskinan pun menjadi salah satu permasalahan utama di DKI Jakarta. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999 tercatat 283 ribu orang kemudian meningkat menjadi 288,9 ribu orang pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 294,1 ribu orang. Kemiskinan perkotaan baik di Jakarta maupun di kota lainnya sering dikaitkan dengan kawasan kumuh perkotaan.
Apabila ditelaah, salah satu
penyebab terbentuknya kawasan kumuh adalah migrasi desa kota yang sangat tinggi.
Namun keberadaan kawasan kumuh yang terus berlanjut sering
dihubungkan dengan lingkaran kemiskinan yang tidak putus di kawasan tersebut. Di DKI Jakarta, sebagai ibukota negara, terdapat kawasan kumuh yang cukup luas. Pada tahun 2000 sekitar 30 persen dari luas DKI Jakarta termasuk dalam kategori kumuh. Daerah kumuh ini tersebar di lima wilayah kota dan satu kabupaten di DKI Jakarta. Permukiman
kumuh
yang
selalu
dikaitkan
dengan
kemiskinan
menyebabkan Pemda DKI Jakarta selalu mengarahkan program pengentasan kemiskinan ke lokasi ini.
Pada kenyataanya penduduk miskin tidak hanya
terdapat di permukiman kumuh.
Agar kebijakan Pemda DKI Jakarta dalam
pengentasan kemiskinan lebih terarah, maka diperlukan data penelitian mengenai kemiskinan baik di lingkungan kumuh maupun tidak kumuh. Lebih lanjut analisis mengenai kemiskinan di DKI Jakarta perlu ditekankan pada identifikasi dari faktor- faktor yang berkaitan dengan kemiskinan agar dapat disusun kebijakan ekonomi yang layak. Jika kebijakan yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dapat diformulasikan dan dilaksanakan, maka pengetahuan yang lebih dalam tentang karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menjadi sangat penting (Rodriguez dan Smith, 1994 diacu dalam Ghazouani dan Goaied, 2001). Penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan masih tidak terlalu banyak. Oleh karena itu penelitian mengenai hal tersebut sangat berguna karena penyebab kemiskinan perlu dipahami dalam rangka menyusun kebijakan yang lebih efisien untuk mengurangi kemiskinan.
4
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh Pemda DKI Jakarta sangat kompleks salah satunya adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan ini merupakan akar dari permasalahan yang lainnya di DKI Jakarta. Tingkat pendidikan yang rendah, gizi buruk, pengangguran, dan kriminalitas sering dikatakan sebagai produk dari kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta selama 2 tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan seperti yang menurut kotamadya ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota Berdasarkan Garis Kemiskinan (Kemiskinan absolut) Tahun 2002-2003 2002 Kabupaten/Kota Kep Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
Penduduk Miskin (000 orang) 45,1 67,5 29,5 77,2 67,5 288,9
2003 Penduduk Miskin (%) 2,56 2,82 3,47 4,03 4,66 3,42
Penduduk Miskin (000 orang) 3,1 47,2 67,4 37,4 64,3 74,7 294,1
Penduduk Miskin (%) 15,64 2,54 2,77 4,26 3,20 5,31 3,42
Sumber : diolah dari data Susenas oleh BPS (2002,2003)
Moser, Gatehouse dan Garcia yang diacu dalam Irawan (2003) menyatakan bahwa kemiskinan sering dikaitkan dengan tiga ciri kehidupan perkotaan yang menonjol. Salah satunya adalah bahaya lingkungan atau environmental hazards yaitu lokasi pemukiman yang padat dan kumuh serta risiko terimbas ole h polusi. Ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan lingkungan kumuh. UN Habitat menyatakan bahwa salah satu penyebab berkembangnya kawasan kumuh adalah peningkatan kemiskinan di perkotaan.
Di Jakarta banyak dikenal kantong-
kantong kumis yaitu kumuh dan miskin. Perhatian Pemda DKI Jakarta pada kawasan kumuh ini sangat tinggi terutama dalam rangka pengentasan kemiskinan.
Beberapa tahun terakhir
5
Pemprov DKI Jakarta melakukan pengumpulan data penduduk miskin yang digunakan dalam program pengentasan kemiskinan, penentuan penduduk miskin tidak berdasarkan pada garis kemiskinan melainkan mengacu pada kriteria kemiskinan berdasarkan 7 kriteria yaitu (a) luas hunian < 8 m2 per kapita, (b) jenis lantai sebagian bukan keramik, teraso, tegel/ubin, atau semen, (c) tidak ada fasilitas air bersih, (d) tidak ada fasilitas jamban/WC, (e) konsumsi lauk pauk tidak bervariasi, (f) tidak mampu membeli pakaian minimal 1 (satu) stel setahun untuk setiap anggota rumahtangga dan (g) tidak memiliki asset rumahtagga. Data kemiskinan dengan menggunakan kriteria tersebut tersaji pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kotamadya di DKI Jakarta Berdasarkan 7 (tujuh) Kriteria Kemiskinan BPS Tahun 20002004 Kabupaten/Kotamadya Kep Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
2000 1.811 41.447 60.883 43.301 78.557 114.688 340.687
2002 2.297 31.887 59.356 35.872 59.794 102.118 291.324
2003 2.136 23.392 55.491 45.328 59.159 129.196 314.702
2004 1.860 25.504 102.957 68.599 55.915 116.063 370.898
Sumber : Hasil Pendataan Rumahtangga Miskin
Kriteria kemiskinan tersebut menekankan kondisi tempat tinggal sehingga lebih mempererat kaitan kemiskinan dengan permukiman kumuh. UN Habibat menyebutkan bahwa ciri-ciri permukiman kumuh adalah : kekurangan akses terhadap air bersih, kekurangan akses terhadap sanitasi dan infrastruktur lainnya, kualitas rumah yang tidak layak, dan kepadatan penduduk yang tinggi. Salah satu bentuk kebijakan pengentasan kemiskinan yang mengkaitkan kemiskinan dengan permukiman kumuh di DKI Jakarta tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4487 Tahun 1999 tentang program pembangunan terpadu dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan dan kumuh di beberapa kelurahan di Jakarta Utara. Selain itu berbagai program pengentasan kemiskinan lebih diarahkan pada permukiman kumuh salah satunya adalah Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Namun penduduk miskin tidak hanya tinggal di kawasan kumuh dan penduduk miskin secara relatif belum tentu pula miskin secara absolut.
Agar program
6
pengentasan lebih terarah, maka perlu lebih didalami karakteristik kemiskinan dan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Oleh karena itu menarik untuk dilakukan studi komparatif di permukiman kumuh dan permukiman tidak kumuh mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Beberapa hal yang akan ditelaah lebih lanjut adalah : 1.
Berapa angka kemiskinan yang dialami rumahtangga?
2.
Bagaimana karakteristik rumahtangga miskin?
3.
Berapa besar kedalaman dan keparahan kemiskinan dan tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi?
4.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan?
5.
Bagaimana program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan?
1.3. Tujuan Pe nelitian Berdasarkan uraian di atas maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemiskinan perkotaan baik di lokasi kumuh maupun tidak kumuh serta kerentanan kemiskinan di DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1.
menghitung angka kemiskinan yang dialami rumahtangga
2.
menguraikan karakteristik rumahtangga miskin.
3.
menguraikan kedalam dan keparahan kemiskinan serta tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi.
4.
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan.
5.
menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan.
1.4. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat dipetik sejumlah manfaat baik untuk masyarakat pada umumnya, para peneliti dan akademisi guna penelitian lanjutan, maupun pemerintah. Denga n mengetahui jumlah penduduk miskin, karakterisik penduduk miskin, tingkat kesenjangan pendapatan, dan faktor- faktor yang menyebabkan penduduk menjadi miskin, maka dapat disusun suatu kebijakan yang sesuai lebih terarah mengenai penanganan masalah kemiskinan . Pemerintah
7
DKI Jakarta dapat menyusun kebijakan lintas sektoral dalam rangka program pengentasan kemiskinan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Kemiskinan Perkotaan di Negara-negara Sedang Berkembang Kemiskinan perkotaan menjadi suatu fenomena di negara- negara sedang berkembang.
Di negara-negara tersebut, kemiskinan perkotaan sering diukur
dengan akses terhadap tempat tinggal atau jasa pelayanan perkotaan lainnya. Kekurangan akses terhadap tempat tinggal dan jasa pelayanan perkotaan tersebut memberikan indikasi terhadap pendapatan dan daya beli yang rendah. Ada dua pendekatan untuk melihat alasan kemiskinan di perkotaan yaitu pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan kultural adalah mengaitkan alasan kemiskinan dengan karakteristik individu seperti kurang kemampuan, disiplin, tanggung jawab dan usaha untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan ini melihat orang miskin bukan hanya korban tetapi juga penyebab dari kemiskinan. Pendekatan kedua adalah pendekatan struktural yang melihat alasan di luar dari orang miskin dan mengaitkan kemiskinan dengan sistem sosial ekonomi yang berlaku di suatu negara seperti kebijakan ekonomi, pendidikan yang kurang, kesempatan kerja, dan diskriminasi (Senses 2001, diacu dalam Yilmaz 2003). Berbagai penelitian kemiskinan perkotaan di negara-negara sedang berkembang lebih menekankan pada pendekatan struktural. Laju pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah dari laju urbaninsasi berdampak kemiskinan di perkotaan. Penyebab dari laju urbanisasi yang tinggi ini adalah migrasi desa kota yang bertujuan mendapatkan upah yang tinggi dari sektor formal perkotaan. Namun arus migrasi yang besar menyebabkan tidak semua migran dapat terserap oleh sektor formal, sehingga sebagian dari migran harus bekerja di sektor informal (Yilmaz 2003). Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakterisik teknis seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit produksi dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan teknologi yang digunakan sangat sederhana (Desiar 2004).
Salah satu ciri yang dapat
mengidentifikasi seseorang bekerja di sektor informal adalah melalui status pekerjaan.
9
Mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain (self employed) dan bekerja dengan keluarga atau sebagai buruh dibayar dapat dikatagorikan sebagai pekerja di sektor informal. Begitu pula dengan mereka yang mempunyai usaha namun dengan skala kecil. Tabel 2.1 Penduduk Miskin Berdasarkan Status Pekerjaan di DKI Jakarta, 19992002 Status Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Sendiri Bekerja dengan keluarga atau buruh dibayar Pemilik usaha/Karyawan Pekerja Keluarga
1999 25,18 43,57 2,77
2000 21,71 30,09 11,82
2001 14,21 28,97 11,01
2002 18,02 30,47 6,17
28,48 0,00
36,06 0,32
45,20 0,60
45,47 0,00
Sumber : Tamb unan (2004)
Tabel 2 memberikan gambaran bahwa sektor informal merupakan tumpuan hidup bagi penduduk miskin. Diduga mereka yang memiliki usaha adalah usaha berskala kecil sehingga dapat dikatagorikan dalam sektor informal. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Penelitian di Nigeria oleh Osinubi (2003), menyatakan bahwa sekitar 43 persen responden penduduk miskin bekerja sendiri (self employed). Sektor informal memberikan pendapatan yang rendah jika dibandingkan dengan sektor formal. Dengan pendapatan rendah ini, maka sulit bagi penduduk miskin untuk mengakses berbagai jasa pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Hanya sedikit penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. 2.2. Konsep Kemiskinan Williamson (1975) mengatakan bahwa penduduk tanpa sumberdaya ekonomi untuk hidup dengan standar kehidupan yang layak disebut sebagai orang miskin.
Aluko (1975) diacu dalam Osinubi (2003) menyatakan bahwa
kemiskinan sebagai kekurangan dari konsumsi kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan kata lain adalah kekurangan dalam konsumsi makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
10
mendapatkan standar kehidupan minimum (Laporan Bank Dunia 1990, diacu dalam Osinubi 2003). Couduel, Jesko , dan Quentin (2001) mengatakan bahwa kemiskinan dapat diukur melalui 2 (dua) dimensi yaitu dimensi moneter (monetary dimensions) dan dimensi bukan moneter (non monetary dimensions). a. Dimensi moneter Dalam mengukur kemiskinan dengan dimensi moneter, ada 2 pilihan yang dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan yaitu pendapatan dan konsumsi. Pengeluaran konsumsi yang diperoleh melalui survei rumahtangga cukup lengkap, sehingga penggunaan konsumsi rumahtangga dapat menjadi indikator yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan karena : 1. Konsumsi adalah indikator outcome yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan. Konsumsi rumahtangga berkaitan dengan kesejateraan seseorang, dan dapat menggambarkan kebutuhan dasar.
Sedangkan pendapatan hanya
salah satu elemen yang akan menyedian konsumsi untuk barang-barang. 2. Pengukuran konsumsi akan lebih baik dibandingkan pendapatan. Di perekonomian perkotaan dengan sektor informal yang besar, pendapatan mengalir dengan tidak menentu.
Jadi cukup sulit untuk
memperoleh pendapatan rumahtangga secara benar.
Di samping itu,
banyak sumbangan untuk pendapatan yang tidak berbentuk uang, seperti mengkonsumsi barang produksi sendiri dan barang-barang yang diperoleh melalui pertukaran. 3. Konsumsi dapat lebih baik dalam mencerminkan stardar hidup rumahtangga yang sebenarnya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengeluaran konsumsi dalam mencerminkan tidak hanya barang-barang dan jasa yang dapat dimiliki melalui pendapatan yang ada, tetapi juga rumahtangga tetap dapat mengkonsumsi barang dan jasa melalui akses kredit atau pun melalui pengambilan tabungan ketika pendapatan yang ada tidak mencukupi.
11
b. Dimensi bukan moneter Kemiskinan tidak hanya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan atau konsumsi tetapi juga kekurangan hasil berkenaan dengan kesehatan, nutrisi, dan melek huruf, dan dengan hubungan sosial yang tidak baik, ketidakamanan, penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah dan ketidakkuasaan (powerless). Alat-alat yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah : 1. Kemiskinan Kesehatan dan Nutrisi Status gizi anak-anak dan angka harapan hidup dapat digunakan sebagai ukuran. 2. Kemiskinan Pendidikan Tingkat buta huruf dapat dijadikan sebagai garis kemiskinan, namun di beberapa negara melek huruf sudah hampir menjangkau semua penduduk. Alternatif lain untuk mengukur kemiskinan pendidikan adalah lama sekolah yang telah diselesaikan dibandingkan dengan lama sekolah yang seharusnya diselesaikan. 3. Indeks Gabungan Kesejahteraan Merupakan kombinasi informasi dari beberapa aspek berbeda dari kemiskinan. Ada kemungkinan untuk menciptakan pengukuran kemiskinan yang menghitung pendapatan, kesehatan, kekayaan, dan pendidikan. Dalam penelitian ini menekankan pada dimensi moneter. Kemiskinan diukur melalui garis kemiskinan (poverty line) yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumahtangga. Ada 2 jenis kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut
adalah
persentase
pendapatan/pengeluaran di bawah garis kemiskinan.
penduduk
dengan
Garis kemiskinan diukur
berdasarkan pengeluaran konsumsi. Ukuran ini banyak digunakan oleh negaranegara sedang berkembang.
Namun pada banyak negara maju sering kali
menggunakan ukuran kemiskinan relatif yang menggambarkan hubungan antara kelompok berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi sesuai dengan standar hidup yang berlaku. Garis kemiskinan relatif biasanya diambil sebagai suatu persentase dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan. Umumnya ditetapkan
12
setengah dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan rumahtangga (Long 1999). Penduduk yang berada di bawah kemiskinan relatif belum tentu masuk dalam katagori miskin secara abolut. Penentuan kemiskinan lainnya adalah dengan menggunakan karakteristik yang memberikan gambaran ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan untuk hidup layak.
Pemda DKI Jakarta dalam melaksanakankan program
pengentasan kemiskinan menggunakan data kemiskinan yang mengacu pada karakteristik rumahtangga. Ada 7 indikator yang dapat memberikan gambaran ketidakmampuan rumahtangga untuk hidup dengan layak, yaitu : (a)
luas lantai per kapita < 8 m2
(b) lantai tanah (c)
tidak memiliki jamban
(d) tidak ada akses air bersih (e)
konsumsi lauk tidak bervariasi
(f)
tidak punya asset produktif
(g) tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun Suatu rumahtangga dikatakan miskin apabila memenuhi minimal 3 indikator tersebut. 2.3. Ketimpangan pendapatan Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan sangat berkaitan erat. Semakin timpang distribusi pendapatan makan semakin tinggi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan pendapatan (World Bank).
Ketimpangan sering
dipelajari sebagai bagian yang lebih luas dari kemiskinan karena ketimpangan mengukur seluruh distribusi pendapatan tidak hanya kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan. Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang sering digunakan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh individu atau rumahtangga.
Ukuran umum yang
memperlihatkan tingkat ketimpangan adalah dengan membandingkan antara
13
pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah (Todaro dan Smith, 2003). Ketimpangan pendapatan dapat juga dilihat dengan menggunakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar mereka terima selama kurun waktu tertentu. Interpretasi dari kurva Lorenz adalah semakin jauh jarak kurva dari dari diagonal maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Pengukuran ketimpangan pendapatan yang lebih mudah adalah dengan menggunakan rasio Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol sampai dengan satu. Koefisien Gini adalah salah satu ukuran yang dapat memenuhi empat kriteri yaitu prinsip anonimitas, independensi populasi, independensi skala dan transfer.
Prinsip anonimitas
mengatakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.
Prinsip independensi skala
berarti bahwa ukuran ketimpangan tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dengan dollar atau rupiah. Prinsip independensi populasi menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pendapatan. Prinsip transfer (prinsip Pigou-Dalton) menyatakan bahwa dengan mengasumsikan semua pendapatan lain konstan, maka transfer pendapatan dari orang kaya ke orang miskin akan membuat distibusi pendapatan baru yang lebih merata (Todaro dan Smith, 2003). 2.4. Penyebab Kemiskinan Kemiskinan perkotaan adalah suatu fenomena yang multi-dimensi, meliputi rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, kerawanan tempat tinggal dan pribadi, dan ketidakberdayaan. Berikut ini akan diuraikan masingmasing dimensi dan akar permasalahannya (Wolrd Bank, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan, 2003). a.
Dimensi rendahnya tingkat pendapatan Akar permasalahan dari dimensi ini adalah: -
ketergantungan pada ekonomi uang untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok,
14
-
ketidakpastian prospek pekerjaan (pekerjaan yang tidak tetap atau casual work,),
-
buruh dibayar tidak trampil, kurangnya kualifikasi untuk memperoleh pekerjaan dengan upah tinggi,
-
ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaaan karena kondisi kesehatan buruh, dan
-
kurangnya akses terhadap kesempatan kerja (penduduk miskin perkotaan sering harus mengorbankan antara jarak ke tempat pekerjaan dan biaya perumahan).
b.
Dimensi kondisi kesehatan buruh Akar permasalahnnya adalah : -
kondisi hidup yang kumuh pada dan tidak higienis,
-
lingkungan tempat tinggal tidak sehat karena polusi limbah industri dan kendaraaan bermotor,
-
penduduk miskin umumnya tinggal di kawasan marjinal (seperti bantaran sungai) yang mudah terkena bahaya lingkungan seperti tanah longsor dan banjir,
-
resiko tinggi terhadap berbagai penyakit karena buruknya kualitas udara dan air dan buruknya sanitasi,
-
resiko tinggi terhadap kecelakaaan lalu lintas, dan
-
resiko kondisi kerja yang tidak aman, khususnya untuk mereka di kegiatan-kegiatan sektor informal.
c.
Dimensi tingkat pendidikan rendah Akar permalahan adalah : -
terhambatnya akses terhadap pendidikan karena terbatasnya daya tampung sekolah yang tidak mengimbangi tumbuhnya daerah perkotaan,
d.
-
ketidakmampuan membayar uang sekolah,
-
resiko keselamatan/keamanan pribasdi ketika pergi sekolah Dimensi kerawanan/ketidakamanan tempat tinggal dan pribadi (tenure and personal insecurity). Akar permasalahan adalah :
15
-
tanah dan perumahan di wilayah-wilayah resmi tidak terbeli, oleh karena itu keluarga miskin biasanya membangun sendiri atau menyewa di lokasilokasi kampung atau tanah ilegal (serobotan) dengan konstruksi seadanya dan cnderung tidak aman terhadap bahaya-bahaya lingkungan,
-
penyalahgunaan narkoba dan kekerasan domestik,
-
perceraian keluarga, dan mengurangi jaminan hidup untuk anak-anak,
-
keragaman sosial dan ketimpangan pendapatan yang tampak jelas di kotakota, yang dapat meningkatkan kecemburuan sosial dan kriminalitas.
e.
Dimensi ketidakberdayaan Akar permasalahan adalah : -
tidak adanya kepastian terhadap status tempat tinggal dan prospek pekerjaan,
-
isolasi dari komunitas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, dan
-
menurunnya modal sosial seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi sosial. Penyebab kemiskinan itu sendiri tidak hanya karena satu faktor tetapi
merupakan kombinasi dari banyak faktor.
Ajakaiye dan Adeyeye (2002) yang
melakukan penelitian di negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah : a. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengurangi kemiskinan.
Di
beberapa negara berkembang, pertumbuha n menghasilkan kesempatan kerja dan dengan berbasis ekspor diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga kemiskinan dapat dikurangi melalui pemerataan.
Faktor eksternal sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di suatu negara, perubahan permintaan pasar dunia terhadap barang ekspor suatu negara akan mempengaruhi pertumbuhan di negara tersebut sehingga akan berdampak pula pada tingkat kemiskinan di negara itu. Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat terkait dengan program pengentasan kemiskinan. Indonesia dan Thailand dapat mengurangi tingkat kemiskinan antara 30-40 persen selama periode 20 tahun.
16
b. Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi Banyak perekonomian di dunia yang menghadapi ketidak seimbangan makroekonomi, umumnya dalam neraca pembayaran karena kebijakan perluasan permintaan agregat, guncangan neraca perdagangan, dan bencana alam. Guncangan makroekonomi dan kegagalan kebijakan berdampak pada peningkatan kemiskinan, karena kondisi ini memberikan kendala bagi orang miskin untuk menggunakan asset terbesarnya yaitu tenaga kerja. Kemiskinan di perkotaan sebagai hasil dari kegagalan kebijakan adalah mudahnya kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor public atau karena penurunan pertumbuhan sektor industri. c. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah Sumberdaya yang berlimpah di penduduk miskin adalah tenaga kerja, oleh karena itu pasar tenaga kerja sangant penting untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah dapat
mempengaruhi orang miskin melalui pertumbuhan kesempatan kerja dan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor informal yang terbatas. d. Migrasi Tingkat migrasi dapat mengurangi kemiskinan khususnya ketika sebagian besar migrant adalah pekerja yang mempunyai ketrampilan. Di satu sisi, migran berpindah untuk mengisi pekerjaan di pasar kerja, sehingga ketrampilan akan mengalir melalui migrasi. Hal ini akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan proses penciptaan lapangan pekerjaan secara keseluruhan dan juga mempengaruhi pada pembangunan jangka panjang suatu negara. e. Pengangguran dan Setengah Menganggur Pekerjaan adalah faktor kunci dari kemiskinan, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan dapat digunakan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan (income poverty). Penduduk miskin berhadapan dengan masalah pengangguran structural karena kekurangan ketrampilan atau rendahnya tingkat pendidikan.
Setengah
pengangguran terjadi secara luas di sektor informal dan menghasilkan pendapatan yang rendah.
Pengangguran lebih disebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang rendah dibandingkan dengan pengaruh langsung dari pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, meskipun peraturan di pasar tenaga kerja mempengaruhi sektor
17
formal yang sepertinya mendorong lebih banyak setengah pengangguran di sektor informal. f. Pengembangan sumberdaya manusia Pengembangan kemampuan dan modal manusia dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan.
Investasi pada manusia dapat meningkatkan standar
hidup dari rumahtangga dengan memperluas kesempatan, meningkatkan produktivitas, menarik investasi capital, dan meningkatkan kemampuan untuk mencari nafkah. Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan perkotaan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. didominasi oleh sektor pertanian.
Ekonomi pedesaan
Ketika lahan pertanian semakin banyak
terkonversi untuk tujuan lain, maka hal ini mendorong peningkatan migrasi dari desa ke kota. Namun mereka yang pindah dari pedesaan ke kota besar khususnya Jakarta sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang layak karena mereka umumnya berpendidikan rendah. Ajakaiye dan Adeyeye (2002) menyatakan bahwa secara mikro faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah : a. umur dan pendidikan anggota rumahtangga khususnya kepala rumahtangga b. jumlah anggota rumahtangga yang mempunyai pekerjaan c. komposisi dan besaran rumahtangga d. asset yang dimiliki oleh rumahtangga e. akses pada jasa pelayanan sosial dasar f. jenis kelamin kepala rumahtangga g. peubah lokasi h. sektor lapangan kerja i. dan lain sebagainya. Osinubi
(2003)
meneliti
faktor
yang
mempengaruhi
rumahtangga melalui pendekatan pengeluaran perkapita.
kemiskinan
Faktor- faktor yang
mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah umur kepala rumahtangga, jenis
18
kelamin kepala rumahtangga, status pendidikan kepala rumahtangga (dalam tahun), pendapatan per kapita dan besaran ruma htangga.
Penelitian yang
dilakukan Cuna (2004) menyebutkan bahwa peubah-peubah yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah karakteristik demografi (besaran rumahtangga, komposisi, dan status tempat tinggal kepala rumahtangga), pendidikan anggota rumahtangga di atas 15 tahun, pekerjaan anggota rumahtangga termasuk yang pengangguran, lokasi rumahtangga (perdesaan atau perkotaan). Beberapa penelitian mengkaji mengenai faktor-faktor yang memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin.
Ghazouani dan Goaied (2001)
meneliti bahwa jenis kelamin kepala rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, komposisi rumahtangga, tempat tinggal rumahtangga dan jumlah anggota
rumahtangga
per
kamar
merupakan
memungkinkan suatu rumahtangga menjadi miskin.
faktor- faktor
yang
dapat
Garza-Rodriguez (2002)
meneliti bahwa jenis kelamin, lokasi rumahtangga, besaran rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumahtangga, dan tingkat pendidikan kepala rumahtangga dapat memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin. 2.5. Permukiman kumuh Kata kumuh biasa digunakan untuk mengidentifikasi kualitas perumahan yang miskin dan kondisi yang tidak sehat. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan. Kawasan kumuh adalah sisi gelap dari perkotaan dimana terkumpul kemiskinan, kriminalitas, dan polusi. Keberadaan kawasan kumuh merupakan salah satu masalah di perkotaan, sehingga diperlukan studi atau penelitian mengenai kawasan ini. BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1)
kepadatan penduduk
(2)
tata letak bangunan
(3)
keadaan bangunan tempat tinggal
(4)
ventilasi perumahan
(5)
kepadatan bangunan
(6)
keadaan jalan
19
(7)
drainase
(8)
pemakaian air bersih
(9)
pembuangan limbah manusia
(10)
pengelolaan sampah. Studi mengenai kawasan kumuh telah dilakukan oleh Bani dan Rawal
(2002) di Kota Anand India. Dalam studi tersebut dikemukan bahwa keberadaan kawasan kumuh berkaitan dengan faktor geografi, yaitu kedekatan dengan mata air, tempat kerja, pinggiran sungai, terowongan, lahan tak terpakai, kawasan industri, kedekatan dengan stasiun kereta dan lain sebagainya. Daerah sepanjang pinggiran sungai dan rel kereta api menjadi tempat berkembangnya kawasan kumuh. Indikator sosial dari perkembangan kawasan kumuh adalah meningkatnya kepadapatan di kawasan ini. kepadatan penduduk.
Baik dilihat dari kepadatan bangunan maupun
Di Kota Anand ini telah terjadi peningkatan kawasan
kumuh apabila dilihat dari kepadatan bangunan dan kepadatan penduduknya. Studi lain tentang kawasan kumuh menitikberatkan pada karakteristik penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. Mata pencaharian yang banyak dikerjakan oleh kepala rumahtangga di kawasan kumuh adalah sopir, pemilik warung, buruh pabrik garmen, pekerja di bidang jasa, dan buruh bangunan. Prilaku manusia pun sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan kumuh.
Dalam kajian mengenai prilaku manusia dalam upaya perbaikan
linkungan kumuh oleh peneliti Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Faperta IPB (1991), menyebutkan bahwa lingkungan kumuh terjadi karena degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan hidup tersebut dipengaruhi oleh ketimpangan dalam interaksi antara pemukim lingkungan kumuh dan lingkungan alamiahnya, sehingga keseimbangan antara keduanya menjadi terganggu. Gejala degradasi terlihat pada profil lingkungan fisik dan lingkungan sosial sebagai interaksi antara manusia (pemukim lingkungan kumuh) dengan lingkungan hidupnya.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Perpindahan penduduk disebabkan oleh adanya kekuatan pendorong di daerah asal maupun kekuatan penarik di daerah tujuan baik dilihat dari aspek ekonomi maupun tidak ekonomi. Namun pada umumnya penduduk bermigrasi untuk tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sering kali faktor ekonomi menjadi faktor penarik dan pendorong seperti adanya daya tarik upah yang lebih tinggi di daerah tujuan (Isard, 1975 p. 181). Lewis diacu dalam Kasliwal (1995 p. 168) mengatakan bahwa adanya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri di perkotaan karena adanya perbedaan upah. Perbedaan upah yang terjadi antara daerah perdesaan dan perkotaan karena penerapan pola pembangunan yang bersifat terpusat (growth poles, growth centre). Teori pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) lebih menekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah di samping dominannya strategi-strategi pembangunan di sisi pasokan (supply) (Rustiadi, et al , 2003). Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ini dapat memberikan efek sentrifugal, yaitu dapat menggerakkan daerah sekitarnya sehingga dapat berkembang bersama-sama. Namun yang terjadi adalah terjadinya pengurasan sumber daya dari daerah di sekitarnya sehingga salah satu akibatnya adalah perpindahan penduduk dari daerah belakang (hinterland) ke pusat-pusat pertumbuhan. Arus perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (pusat-pusat pertumbuhan) terus berlangsung walaupun di perkotaan sudah terjadi pengangguran.
Fenomena tersebut dijelaskan dalam Model Harris Todaro.
Model tersebut menjelaskan bahwa selama upah yang diharapkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah di pedesaan maka perpindahan penduduk dari desa ke kota akan terus berlangsung. Migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab terjadinya urbanisasi. Yap (2000) menyebutkan bahwa urbanisasi akan menjadi masalah
20
perkotaan apabila pertumbuhan penduduk perkotaan melebihi pertumbuhan lapangan kerja dan penyediaan perumahan, infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa. Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, dan tempat tinggal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penduduk yang berpendapatan rendah umumnya tinggal di permukiman kumuh. Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. Teori growth pole diterapkan pula di Indonesia, sehingga orientasi pembangunan yang dilaksanakan di masa lalu cenderung urban bias.
Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat
perekonomian antara daerah.
Adanya konsentrasi kekayaan, asset, kapasitas
perdagangan, aktivitas ekonomi dan berbagai jasa di perkotaan menyebabkan arus migrasi desa-kota tidak dapat dibendung. Tjiptoherijanto (1997) menyatakan bahwa disparitas pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari terkonsentrasinya aktivitas ekonomi (industri dan jasa) di perkotaan telah meningkatkan urbanisasi. Kebijakan
pembangunan
tersebut
telah
menimbulkan
pusat-pusat
pertumbuhan di beberapa tempat. Jakarta adalah salah satu pusat pertumbuhan yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tingkat urbanisasi yang tinggi di Jakarta.
Over
urbanization yang dialami oleh DKI Jakarta memberikan dampak pada kemiskinan kota. Selain urbanisasi, beberapa kebijakan pemerintah pun dapat berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Propinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi di masa lalu telah memicu krisis ekonomi yang cukup parah di Indonesia.
Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak
perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Semua ini menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Di samping itu
21
kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi. Mereka ini akan masuk dalam perangkap kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan perlu dititik beratkan pada rumahtangga miskin baik dilihat dari aspek sosial maupun ekonomi.
Kondisi sosial dari
rumahtangga miskin dapat dilihat dari aspek demografi, pend idikan, lapangan pekerjaan mapun kondisi tempat tinggal. Dari sisi ekonomi, dapat dilhat dari ketimpangan
pendapatan,
menyebabkan kemiskinan.
keparahan
kemiskinan
dan
faktor- faktor yang
Titik berat dari penelitian ini adalah mengaitkan
faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan karakteristik demografi rumahtangga. Secara mikro banyak faktor yang menjadi penyebab terhadap kemiskinan yang diderita oleh suatu rumahtangga.
Pengukuran rumahtangga miskin
menggunakan garis kemiskinan yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi per kapita. Untuk melihat faktor- faktor yang menentukan kemiskinan maka didekati dengan faktor- faktor yang dapat menentukan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga. Faktor- faktor itu adalah : a. jenis kelamin kepala keluarga Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga
perempuan
sering
lebih
miskin
dibandingkan
dengan
rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki. Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa secara implisit perbedaan kemiskinan lebih disebabkan perbedaan jenis kelamin. Isu gender masih melekat di dunia khususnya negara- negara berkembang, pengutamaan terhadap kaum laki- laki masih terasakan. Sehingga perempuan masih sebagai sub ordinat dan kalah bersaing dengan kaum laki- laki. b. tingkat pendidikan Pradhan el al (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan kesejahteraan.
Penduduk yang mempunyai
tingkat pendidikan pendidikan yang tinggi mempunyai kesempatan yang lebih
22
tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Chernichovsky dan Meesok (1984) dalam Arsyad (1987) diacu dalam Wahyuni (2000) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga sebagai orang yang bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan salah satu karakteristik yang biasa ditemukan pada rumahtangga miskin. c. pekerjaan Tingkat
pendidikan
mempengaruhi
peluang
untuk
memperoleh
pekerjaan, sehingga dengan pendidikan yang rendah maka akan terbatas peluang pekerjaan yang diperoleh.
Hasil penelitian Dillon dan Hermanto
dalam Faturochman dan Molo (1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perdesaan terutama mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan utama sedangkan di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan sektor informal. Di samping itu pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal dan sedang mencari pekerjaan (setengah penganggur) mengindikasikan kurangnya pendapatan untuk menopang hidup yang layak. d. besaran rumahtangga Jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positf terhadap kemiskinan. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka rumahtangga tanpa diikuti dengan
peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi per kapita akan
semakin kecil sehingga peluang miskin menjadi semakin besar. Jumlah anggota rumahtangga yang besar pada rumahtangga miskin disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga. e. proporsi anggota rumahtangga yang bekerja. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja akan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan karena semakin bersar proporsinya maka semakin
23
banyak pendapatan yang diperoleh sehingga mereka semakin jauh dari lingkaran kemiskinan. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan anggota rumahtangga yang besar dapat berpeluang lebih kecil menjadi miskin karena mereka mempunyai tenaga kerja yang lebih besar untuk mencari nafkah. f. Usia kepala rumahtangga Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa usia kepala rumahtangga berhubungan lansung dengan kesejateraan rumahtangga, hal ini sangat lumrah karena semakin tua semakin mantap keadaan rumahtangganya.
Penelitian Fajariyanto (2002) diacu dalam
Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase rumahtangga miskin akan semakin bekurang. g. proporsi terhadap pengeluaran Bahan Bakar Minyak Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komoditas yang sangat penting bagi rumahtangga, perubahan harga terhadap komoditas ini akan berpengaruh
terhadap
tingkat
pengeluaran
rumahtangga.
Sehingga
pengeluraan terhadap BBM berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga. Bahan bakar minyak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BBM yang langsung dikonsumsi oleh rumahtangga seperti minyak tanah (untuk memasak),
bensin
(untuk
kendaran
pribadi)
dan
solar
(untuk
generator/kendaraan pribadi). h. proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun International Labor Organization (ILO) menyatakan bahwa penduduk yang produktif atau masih dapat aktif secara ekonomi adalah penduduk usia 15-64 tahun. Penduduk dengan usia di luar itu adalah penduduk yang tidak produktif, maka proporsi penduduk yang tidak produktif dalam rumahtangga dapat mempengaruhi status kemiskinan dari rumahtangga. i.
proporsi pengeluaran terhadap makanan Kurva Engle untuk barang yang merupakan kebutuhan pokok seperti bahan makanan pokok memperlihatkan bahwa perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan.
Bahkan jika
24
pendapatan terus meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut perubahaannya main kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Mengacu pada kurva Engle, maka rumahtangga miskin akan mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin. j. kondisi tempat tinggal Mengacu pada tujuh kriteria kemiskinan yang digunakan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka kondisi tempat tinggal yang dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga adalah : -
luas lantai per kapita luas lantai adalah luas yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari- hari (sebatas atap)
-
jenis lantai lantai adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan, baik yang terbuat dari tanah maupun bukan tanah seperti keramik, marmer, papan dan semen serta lainnya
-
akses terhadap jamban fasilitas tempat buang air besar (jamban) adalah tempat pembuangan tinjanya (closet) yaitu berupa fisiknya. Fasilitas ini dimaksudkan untuk melihat kemudahan rumahtangga dalam menggunakan jamban yang dikaitan dengan kondisi kesehatan perumahan dan sanitasi lingkungan. Fasilitas jamban dibedakan menjadi 4 katagori yaitu sendiri, bersama, umum dan tidak ada.
-
akses terhadap air bersih fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh PAM/PDAM
atau
non
PAM/PDAM
termasuk
sumur
pompa.
Rumahtangga tidak mempunyai akses terhadap air bersih apabila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu misalnya langsung ambil air dari sungai atau air hujan. - Status kepemilikan rumah
25
Status rumah tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati oleh rumahtangga, yang harus dilihat dari sisi anggota rumahtangga yang mendiaminya. Kerangka pemikiran dalam bentuk diagram alur disajikan dalam gambar berikut ini:
Kebijakan Pembangunan Nasional
Akibat negatif: - disparitas pertumbuhan ekonomi - kesenjangan sosial - kemiskinan/pengang guran Orientasi : - padat modal - urban biased - Growth pole strategy - Top down planning Penetapan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan jasa
: sasaran penelitian
Migrasi desa kota
Faktor-faktor makro: - Pasar tenaga kerja - Berbagai kebijakan makro ekonomi - Kebijakan ketenagakerjaan - Program pengentasan kemiskinan
Surplus tenaga kerja
Kemiskinan Rumahtangga di permukiman kumuh dan tidak Kumuh
-
: peubahbebas yang diteliti
-
Faktor-faktor mikro : - Demografi KRT - Pendidikan KRT - Pekerjaan KRT - kondisi fisik tempat tinggal
Garis kemiskinan Kriteria BPS GR yang didekati dengan pendekatan Atkinson Regresi Logistik Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) Analisis deskriptif
Gambar 1.1. Alur pikir penelitian. 26
27
Dalam menelaah masalah rumahtangga miskin, digunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriftif, garis kemiskinan, regresi logistik, gini rasio, distribusi pendapatan ukuran bank dunia, dan Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) Model. 3.2. Hipotesis Hipotesis
dari
penelitian
ini
adalah
karakteristik
mempengaruhi kemiskinan rumahtangga secara nyata.
rumahtangga
Lebih rinci hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandiingkan di yang tidak kumuh. b. Ketimpangan pendapatan di RW kumuh lebih rendah dibandingkan dengan di yang tidak kumuh c. Besaran rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga, proporsi anak usia di bawah 15 tahun mempengaruhi kemiskinan secara positif. d. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja dan pendidikan mempengaruhi kemiskinan secara negatif. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di seluruh DKI Jakarta kecuali Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Lima wilayah kota yang diteliti adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tidak dicakupnya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam penelitian ini karena di wilayah tersebut tidak dilakukan pendataan RW kumuh, sehingga tidak dapat dilakukan studi komparatif tentang kemiskinan pada RW kumuh dan yang tidak kumuh. Alasan pemilihan lokasi penelitian di DKI Jakarta karena permasalahan kemiskinan di DKI Jakarta merupakan prioritas utama untuk ditangani. Penelitian ini pun akan membandingkan kondisi kemiskinan di daerah kumuh dan tidak kumuh. Jangka waktu penelitian ini berlangsung selama 6 (enam) bulan terhitung semenjak bulan April 2005 sampai dengan September 2005, meliputi tahap persiapan hingga pelaporan.
28
3.3.2. Sumber Data Sumber data utama penelitian ini adalah hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, baik yang berupa data publikasi maupun data mentah, yaitu: a. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 b. Hasil Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004 a. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi kependudukan yang relatif luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan/lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan konsumsi rumahtangga. Pengumulan data di DKI Jakarta dilakukan dengan metoda sampling terbatas dengan jumlah sample
6.493 rumahtangga yang terdiri 2270
rumahtangga di permukiman kumuh, dan 4223 rumahtangga di permukiman tidak kumuh. c. Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004 Identifikasi atau penelitian terhadap wilayah kumuh di DKI Jakarta dilakukan pada tahun 1993. Penelitian dilaksanakan pada lingkungan yang terkecil, yaitu pada rukun warga (RW) yang kumuh, untuk mempermudah dilakukannya stratifikasi wilayah kumuh. Kemudian penelitian ke dua dilakukan pada tahun 1997, yang merupakan kegiatan evaluasi terhadap RW kumuh untuk melihat
sejauh
mana
dampak
berbagai
program
pembangunan
telah
memperlihatkan hasil, khususnya terhadap lingkungan kumuh. Kegiatan yang sama dilaksanakan kembali pada tahun 2001, dan terakhir pada tahun 2004. Di samping itu dikumpulkan pula informasi mengena i program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan di DKI Jakarta.
Informasi diupayakan
diperoleh dari intansi pemerintah di lingkup Propinsi DKI Jakarta yaitu : Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan instansi- instansi lainnya yang terkait
29
3.3.3. Konsep dan definisi a. Garis kemiskinan : sejumlah uang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan untuk tetap hidup. Kebutuhan makanan adalah 2.100 kal per hari. Rata-rata konsumsi atas makanan dan bukan makanan yang tergabung dalam “keranjang” makanan dan bukan makanan dari reference population. Reference population adalah penduduk dengan pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, garis kemiskinan yang lalu dideflate dengan tingkat inflasi.
Garis kemiskinan
sangat tergantung dari penentuan kelompok ini dan tingkat inflasi. b. Penduduk miskin : adalah penduduk yang tidak dapat hidup sesuai standar hidup minimum c. Kemiskinan absolut : adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. d. Kemiskinan relatif : adalah ketimpangan antara kelompok berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi. e. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan. BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1). kepadatan penduduk (2). tata letak bangunan (3). keadaan bangunan tempat tinggal (4). ventilasi perumahan (5). kepadatan bangunan (6). keadaan jalan (7). drainase (8). pemakaian air bersih (9). pembuangan limbah manusia (10). pengelolaan sampah. f. Rumahtangga: adalah seseorang atau sekumpulan orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama
30
serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah jika pengurusan kebutuhan sehari- harinya dikelola bersama menjadi satu. g. Anggota rumahtangga : adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumahtangga, baik ada pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Batasan biasa tinggal adalah enam bulan, apabila sudah pergi lebih dari enam bulan maka sudah tidak dimasukkan sebagai anggota rumahtangga lagi. h. Kepala rumahtangga : adalah seorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari- hari dalam rumahtangga tersebut atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumahtangga i.
Penduduk bekerja Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam selama seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Melakukan pekerjaan dalam konsep bekerja
adalah melakukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan
barang atau jasa. k. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk makanan Pengeluaran untuk makanan adalah nilai pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga selama sebulan yang lalu baik berasal dari pembelian, produksi sendiri, ataupun pemberian. 3.4. Metode Analisis Dalam penelitian ini digunakan beberapa macam analisis sesuai dengan ketersediaan data. a. Analisis deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif dan karakteristik rumahtangga miskin. Selain itu akan diulas pula mengenai program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta.
31
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data cross section hasil Susenas 2004. Berdasarkan data yang dihasilkan oleh BPS melalui Susenas akan dijelaskan karakteristik rumahtangga miskin dan yang rentan terhadap kemiskinan di DKI Jakarta. b. Analisis ketimpangan pendapatan (1) Gini Rasio dengan pendekatan Atkinson Pengukuran ketimpangan menggunakan konsep ketimpangan Atkinson. Atkinson 1970, diacu dalam Rusli, Sumardjo dan Syaukat (editor 1982) mendefinisikan ketimpangan pendapatan sebagai perbedaan, persebaran, atau pemusatan pendapatan, yang keseluruhannya berpangkal pada ketidaksamaan dilihat secara kuantitatif. Pengukuran pendatan dilakukan dengan rasio Gini yang dengan pendekatan Atkinson dapat dihitung dengan persamaan :
(
)
G = 1 + (1 / n ) − 2 / n 2µ [y1 + 2 y 2 + ... + ny n ] untuk y1 ≥y2 ≥….≥yn Dimana : n y µ
: populasi : pendapatan : nilai tengah pendapatan Koefisien bervariasi antara 0 – 1, 0 mengindikasikan pemerataan yang
sempurna sedangkan angka 1 mencerminkan ketimpangan yang sempurna (satu orang mendapatkan semua pendapatan sedangkan yang lainnya tidak sama sekali). Ketimpangan tinggi berkisar antara 0,50 – 070 dan ketimpangan merata berkisar antara 0,20-0,35 (Todaro dan Smith, 2003). (2) Distribusi pendapatan ukuran Bank Dunia Dalam pengukuran pemerataan pendapatan, Bank Dunia membagi penduduk atas 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk pendapatan rendah, 40 persen penduduk pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk kelas atas. Ketimpangan pengeluaran dilihat berdasarkan besarnya pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen terbawah dengan kriteria : (1) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen terbawah lebih kecil dari 12 persen , maka dikatakan ketimpangan tinggi.
32
(2) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen pendapatan terbawah ada diantara 12-17 persen dikatakan ketimpangan sedang (3) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen pendapatan terbawah ada di atas 17 persen dikatakan ketimpangan rendah. c. Analisis kedalaman dan keparahan kemiskinan Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk tingkat kemiskinan sebagai berikut :
1 q z − yi Pα = ∑ n i −1 z
α
dimana : α = 0,1,2 z
= garis kemiskinan
yi = rata-rata pengeluaran per kapita sebulan pend uduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…..,q), yi < z q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan n = jumlah penduduk Jika α = 0, maka akan diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. P1 (α = 1) adalah Poverty gap yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin besar nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks ini mencerminkan kedalaman kemiskinan. P2 (α =2) adalah disbutionally sensitive index, nilai indeks ini sampai batas tertentu dapat memberi gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan. d. Model regresi logistik Model ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan sehingga dapat dilihat peluang rumahtangga menjadi miskin. Prob (Y=1) = F(Σβh Xh ) Prob (Y=0) = 1 - F(Σβ h Xh )
33
Pi = P(Yi = 1) =
1
− α + ∑ β h X h 1+ e h
Dan dalam bentuk umum adalah sebagai berikut : P L1 =ln i = α + ∑ β h X h + ε h h 1 − Pi
Peluang menjadi miskin: p =
e
α =∑ β h X h
1+ e
h
α =∑ β h X h h
Interpretasi dari koefisien peubah kontinu adalah dengan menghitung efek marginal dari peubah tersebut terhadap peluang menjadi miskin dengan rumus sebagai berikut (Morris, Sutton, Gravelle, 2003): α =∑ β h X h
βh
e
h
α = ∑ βh X h 1 + e h
2
Interpretasi dari koefisien peubah boneka dengan menghitung odds ratio yaitu : p 1− p Odds ratio adalah perbandingan antara probabilitas sukses (terjadinya peristiwa y =1) dengan probabilitas gagal (terjadinya peristiwa y =0). Dimana : Xh
: berkas karakteristik rumahtangga yang diteliti yaitu :
Peubah kontinu : art
: besaran rumahtangga
proker
: proporsi anggota rumahtangga usia 15 tahun ke atas yang bekerja
um_1564 : proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.
34
p_bbm
: proporsi pengeluaran untuk bahan bakar minyak (BBM) terhadap total pengeluaran
p_mkn
: proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran
Peubah boneka : d_jk
: 1 = kepala rumahtangga perempuan 0 = kepala rumahtangga laki- laki
d_sd
: 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SD 0 = lainnya (dengan tidak tamat SD sebagai pembanding)
d_smp
: 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMP 0 = lainnya
d_sma
: 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMA ke atas 0 = lainnya
d_jual
: 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga penjualan 0 = lainnya ( dengan bekerja sebagai tenaga usaha jasa sebagai pembanding)
d_kasar
: 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar 0 = lainnya
d_prof
: 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana 0 = lainnya
d_lainnya
: 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga lainnya 0 = lainnya
d_under
: 1 = kepala rumahatangga setengah penganggur 0 = lainnya (dengan bukan setengah penganggur sebagai pembanding)
d_pp
: 1 = kepala rumahatangga penerima pendapatan 0 = lainnya
age_mpn
: 1 = kepala rumahatangga berusia mapan 0 = lainnya (usia muda sebagai referensi)
age_tua
: 1 = kepala rumahatangga berusia tua 0 = lainnya
35
d_lt
: 1 = luas lantai per kapita < 8 m2 0 = lainnya
j_lti
: 1 = jenis lantai tanah 0 = lainnya
d_jbn
: 1 = tidak mempunyai akses terhadap jamban 0 = lainnya
d_air
: 1 = tidak mempunyai akses terhadap air bersih 0 = lainnya
rmh
: 1 = rumah milik sendiri 0 = lainnya
Yi
: 1 = rumahtangga miskin 0 = lainnya Hipotesis untuk menguji kelayakan model adalah :
H0 = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Ha =
ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan
nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow: -
jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima
-
jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak
IV. KEMISKINAN DI DKI JAKARTA 4.1. Kejadian Kemiskinan di DKI Jakarta Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi titik perhatian masyarakat dunia khususnya negara-negara dunia ketiga. Di Indonesia, permasalahan kemiskinan lebih banyak ditemui di daerah perdesaan, namun di daerah perkotaan pun permasalahan ini menjadi salah satu isu pokok khususnya di DKI Jakarta. Secara umum kemiskinan diGambarkan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk hidup yang memadai. Hidup yang memadai ini sangat tergantung pada ruang dan waktu. Lokasi dan waktu sangat mempengaruhi pada penetapan batas garis kemiskinan, oleh karena itu garis kemiskinan akan selalu berubah tiap waktu dan berbeda untuk tiap lokasi.
Ada dua cara utama untuk membuat garis
kemiskinan yaitu cara absolut dan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan menggunakan berapa besar uang yang harus dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan makanan dan non makanan agar tetap hidup. Bank Dunia menyatakan bahwa di negaranegara sedang berkembang lebih relevan untuk menggunakan garis kemiskinan absolut dari pada garis kemiskinan relatif (Couduel et al, 2001). % 6
5
4.96
4 3.42 3
3.42
2.95
3.18
2 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun % penduduk miskin
Gambar 4.1 Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Tahun 2000-2004
37
Selama lima tahun terakhir angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup berfluktuasi, dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan masih tinggi yaitu hampir mencapai lima persen.
Dampak krisis ekonomi yang sangat
terasakan bagi masyarakat miskin perkotaan menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di perkotaan. Berbagai program dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan akibat krisis ekonomi ini diantaranya adalah dengan menggunakan dana bantuan Bank Dunia yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Khusus PDMDKE, program ini terbagi menjadi tiga kegiatan; pembangunan fisik, bantuan sosial, dan pemberian kredit usaha mikro kepada masyarakat miskin. Sesuai instruksi pemerintah, kegiatan fisik dan sosial menghabiskan 40 persen dari total dana yang diterima setiap kelurahan. Sedangkan 60 persen lagi digunakan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dengan memberikan modal usaha kepada korban pemutusan hubungan kerja (PHK), keluarga prasejahtera yang ingin berusaha 1 . Di samping itu dilaksanakan pula Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaab (P2KP).
Program ini
mempunyai cara pelaksanaan yang sama dengan PDMDKE yaitu pemberian dana bagi kelurahan dengan alokasi dana 60 persen untuk dana bergulir, 20 persen untuk fisik lingkungan dan 20 persen untuk bina sosial. Nampaknya program tersebut telah dapat menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2001 menjadi 2,95 persen. Namun pada tahun 2002 angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, peningkatan ini direspon ole h Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Program kerja dari komite ini nampaknya belum dapat menurunkan angka kemiskinan namun dapat menahan peningkatan angka kemiskinan di DKI Jakarta sehingga angka kemiskinan pada 2003 tetap 3,42 persen. Pada tahun 2004 kerja Komite Penanggulangan Kemiskinan diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Diduga strategi yang dicanangkan ini memberikan dampak terhadap penurunan angka di DKI Jakarta pada tahun 2004 menjadi 3,18 persen. Angka kemiskinan ini terkait penetapan batas garis kemiskinan absolut, selama 3 tahun terakhir di DKI Jakarta batas ini mengalami peningkatan yang
38
cukup nyata yaitu dari 160.748 per kapita per bulan pada tahun 2002 menjadi 197.306 per kapita per bulan pada tahun 2004. Peningkatan ini tidak terlepas dari tingkat inflasi yang terjadi di DKI Jakarta yaitu 5,78 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,87 persen pada tahun 2004. Harga-harga yang meningkat menyebabkan rumahtangga harus menambah pengeluarannya agar kehidupan yang memadai tetap dapat dinikmati. Batas garis kemiskinan yang meningkat pada periode 2002 – 2003 mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yaitu dari 288,9 ribu jiwa menjadi 294,1 ribu jiwa.
Namun
peningkatan garis kemiskinan pada tahun 2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk miskin bahkan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 277,1 ribu jiwa.
Kondisi ini didukung oleh berbagai kebijakan
Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Perhatian Pemprop DKI Jakarta terhadap penanggulangan kemiskinan adalah dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu juga dibuat suatu strategi penanggungalang kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 1791/20004. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di DKI Jakarta, 20022004 Kabupaten/ Kota Kep. Seribu
2002 2003 2004 penduduk GK penduduk GK penduduk GK miskin (Rp/kap/bln) miskin (Rp/kap/bln) miskin (Rp/kap/bln) (000) (000) (000) 3,1 169.601 3,0 184.172
Jakarta Selatan
45,1
149.105
47,2
190.783
42,.5
234.886
Jakarta Timur
67,5
156.202
67,4
183.369
62,1
197.300
Jakarta Pusat Jakarta Barat
29,2 77,2
137.274 162.748
37,4 64,3
185.075 188.110
34,9 62,6
215.290 193.289
Jakarta Utara
67,5
167.075
74,7
186.110
72,0
225.443
DKI Jakarta
288,9
160.748
294,1
186.525
277,1
197.306
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS. 2002-2004
Keberadaan rumahtangga miskin di perkotaan bersifat struktural dan sering diperburuk dengan dampak arus migrasi dan keterbatasan kapasitas ekonomi perkotaan (Irawan, 2003). Angka migrasi di DKI Jakarta selama 25 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4.2. Arus migrasi migrasi pada periode 1975-1980 cukup
39
tinggi, angka migrasi masuk dua kali lipat dari angka migrasi keluar. Periode lima tahun kemudian (1980-1985) angka migrasi masuk masih menunjukkan angka yang tinggi. Akhir 80-an angka migrasi masuk, walaupun tetap tinggi, lebih rendah dibandingkan dengan angka migrasi keluar sehingga migrasi neto di DKI Jakarta menunjukkan negatif. Kondisi demikian terus berlangsung hingga saat ini.
Walaupun migrasi neto telah menunjukkan angka negatif, namun demikian
migrasi tetap menjadi salah permasalahan pokok terutama pendatang yang tidak dilengkapi dengan keterampilan yang memadai.
Kesulitan mereka untuk
mendapat pekerjaan yang layak menyebabkan mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lingkungan memadai sehingga mereka memilih tinggal di lokasi kumuh.
Keadaan ini melanggengkan dan memperparah lokasi kumuh di
DKI Jakarta. Lokasi kumuh yang menjadi kantong-kantong kemiskinan dikenal dengan nama kumis yaitu kumuh dan miskin. Tabel 4.2
Angka Migrasi Risen Per 1.000 Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal 5 Tahun Sebelum Sensus/Survei di DKI Jakarta, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000 1980 1)
1985 1)
1990 1)
1995 1)
2000 2)
Masuk
115
99
99
65
91
Keluar
59
58
120
90
111
Neto
56
41
- 21
- 25
- 21
Migrasi Risen
Sumber: Desiar (2003)
Kejadian kemiskinan di kawasan kumuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan tidak kumuh. Pada tahun 2004, angka kemiskinan di RW Kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak Kumuh yaitu 4,52 persen berbanding 2,48 persen (Tabel 4.3). Angka ini memberikan arti bahwa ada sekitar 4 - 5 penduduk di setiap 100 penduduk di RW kumuh mengalami kemiskinan, sedangkan di RW tidak kumuh hanya sekitar 2-3 penduduk di antara 100 penduduk. Pengukuran kemiskina n di kedua lokasi tersebut menggunakan garis kemiskinan yang sama.
40
Tabel 4.3
Angka Kemiskinan Kemiskinan di DKI Jakarta Menurut Lokasi Tempat Tinggal, 2004
Katagori kemiskinan
Lokasi tempat tinggal RW tidak Kumuh RW Kumuh
Tidak miskin Miskin
97.52 2.48 100.00
95.48 4.52 100.00
Total 96.86 3.14 100.00
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu
Permukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. UN habitat menyebutkan bahwa salah satu penyebab keberadaan kawasan kumuh di perkotaan adalah tingginya tingkat kemiskinan.
Hasil penelitian Komunitas
Permukiman Miskin di DKI Jakarta tahun 2002 menunjukkan bahwa di 3 kelurahan yang diteliti dengan jumlah sampel 60 orang sekitar 45 persen di antaranya mempunyai pendapatan hanya 7,5 juta per tahun. Dengan sumberdaya ekonomi yang terbatas mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lokasi yang layak. Harga rumah ataupun harga sewa rumah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya. Apabila dilihat distribusi dari penduduk miskin berdasarkan lokasi tempat tinggal maka 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh, hal ini wajar karena kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlalu luas. Tabel 4.4
Distribusi Persetase Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumahtangga (KRT) Dan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004 Jenis Pekerjaan
Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi Tng Ush Penjualan Tng Ush Jasa Tng Produksi, operator & pkrj ksr Lainnya Total
Lokasi Tempat Tinggal RW tidak RW Kumuh Kumuh
4.62 4.33 11.53 21.43 11.32 27.16 19.61 100.00
2.42 1.41 9.03 23.22 11.94 35.90 16.08 100.00
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu
Total
3.85 3.31 10.66 22.05 11.54 30.22 18.37 100.00
41
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh KRT di permukiman kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana persentase KRT yang bekerja sebagai tenaga produk si , operator dan pekerja kasar mempunyai persentase yang tinggi di lokasi RW kumuh yaitu 36 persen.
Jenis pekerjaan yang termasuk dalam katagori
tenaga produksi, operator dan pekerja kasar antara lain adalah buruh pabrik, supir, dan tukang bangunan. Sedangkan persentase rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana cukup rendah yaitu 12 persen. 3000000 2750000 2500000
rata-rata upah
2250000 2000000 1750000 1500000 1250000 1000000
Lokasi
750000 500000
RW tdk Kumuh
250000 0
RW Kumuh ya inn sr La rj k pk & rod gP Tn a Jas sh gU n Tn ala nju Pe sh gU na Tn Te na, ksa ela an tP nd Pjb ina mp mi epe gK an Tn al d on esi rof gP Tn
Gambar 4.2 Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004 Dari rata-rata upah yang diterima oleh KRT yang berstatus sebagai buruh di RW kumuh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh KRT di RW tidak kumuh hampir di semua jenis pekerjaan. 4.2. Karakteristik rumahtangga miskin Berbagai
kondisi
dalam
suatu
rumahtangga
dapat
menyebabkan
rumahtangga tersebut menjadi terperangkap dalam kemiskinan.
Beberapa
penelitian telah menunjukkan hasil bahwa terdapat beberapa karakteristik yang dapat mencirikan suatu rumahtangga miskin.
Williamson et all (1975)
menyatakan bahwa ada karakteristik yang terjadi di rumahtangga miskin.
42
Kejadian kemiskinan sering terjadi pada rumahtangga dengan KRT yang tidak bekerja, KRT perempuan, lapangan usaha KRT, etnis, dan lokasi tempat tinggal. 4.2.1 Jenis kelamin kepala rumahtangga Kejadian kemiskinan di rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan sedikit lebih tinggi dari yang dikepalai oleh laki- laki. Sekitar 2-3 rumahtangga dari 100 rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan termasuk dalam katagori miskin, sedangkan kejadian kemiskinan di rumahtangga dengan KRT laki- laki tercatat sebesar 2,03 persen artinya adalah dari 100 rumahtangga yang dikepalai laki- laki terdapat 2 rumahtangga yang miskin. Keadaan ini tidak berbeda dengan kejadian kemiskinan baik di lingkungan RW tidak kumuh maupun RW kumuh. Sekitar 2,67 persen rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki di lingkungan RW kumuh mengalami kejadian kemiskinan sedangkan yang dikepalai oleh peremuan tercatat sekitar 3,13 persen.
Di lingkungan RW tidak kumuh, sekitar 1,67 persen
rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki mengalami kejadian kemiskinan dan yang dikepalai oleh perempuan adalah sekitar 2,26 persen. Distribusi rumahtangga miskin berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase rumahtangga miskin dengan KRT perempuan tercatat di bawah 20 persen baik secara total (16,18 persen), di lokasi RW tidak kumuh (17,57 persen) maupun di lokasi RW kumuh (14,52 persen). Hal ini mungkin disebabkan adanya masalah kultural dimana laki- laki (suami) selalu ditempatkan sebagai KRT walaupun yang menunjang kehidupan keluarga adalah perempuan (istri). 4.2.2. Besaran rumahtangga Ukuran rumahtangga yang besar dapat meningkatkan beban rumahtangga secara secara ekonomi, sehingga apabila peningkatan besaran rumahtangga tanpa didukung oleh
kemampuan
ekonomi
rumahtangga
akan
mengakibatkan
rumahtangga terperangkap dalam kemiskinan. Rata-rata besaran rumahtangga di DKI Jakarta adalah 4 orang per rumahtangga, besaran yang hampir sama terjadi baik di RW kumuh mapun tidak kumuh.
Besaran rumaht angga untuk
rumahtangga miskin hampir mencapai 6 orang, kondisi ini terjadi baik di lingkungan RW kumuh maupun tidak kumuh.
43
Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka kejadian kemiskinan akan semakin tinggi.
Sekitar 1 rumahtangga dari 100 rumahtangga dengan
besaran rumahtangga 3-5 orang mengalami kejadian kemiskinan, angka ini meningkat menjadi 6 per 100 rumahtangga pada rumahtangga dengan besaran 6 orang ke atas (Tabel 4.5).
Di RW kumuh, kejadian kemiskinan yang dialami
oleh rumahtangga dengan ukuran antara 3-5 orang adalah 1,71 persen sangat berbeda jauh dengan angka kemiskinan di rumahtangga dengan ukuran lebih dari 6 orang yaitu 9,81 persen. Gambaran yang sama terjadi pula di lokasi RW tidak kumuh namun dengan kejadian kemiskinan yang lebih kecil. Angka kemiskinan pada rumahtangga dengan ukuran 3-5 orang tercatat sekitar 1,18 persen dan untuk rumahtangga dengan besaran 6 orang atau lebih adalah 5,01 persen.
Besaran
rumahtangga dapat menurunkan pengeluaran per kapita rumahtangga sehingga semakin besar jumlah anggota rumahtangga semakin kecil pengeluaran per kapita, sehingga rumahtangga akan rumahtangga akan masuk dalam katagori miskin. Namun demikian peningkatan besaran rumahtangga dapat pula meningkatkan pengeluaran per kapita apabila disertai dengan peningkatan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja. Penyebaran
rumahtangga
miskin
berdasarkan
ukuran
rumahtangga
menunjukkan bahwa hanya sedikit rumahtangga miskin yang mempunyai ukuran rumahtangga dua orang atau kurang. Rumahtangga miskin banyak terdapat pada rumahtangga dengan ukuran 3-5 orang (41,91 persen) dan 6 orang ke atas (56,62 persen). 4.2.3. Pendidikan Karakteristik lain yang sering ditemui pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan KRT yang rendah. Pendidikan sering diasumsikan berkaitan tingkat kesejahteraan.
Tingkat pendidikan diyakini dapat membuka peluang
untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka (Pradhan et all, 2000)
Kejadian kemiskinan
meningkat seiring dengan menurunnya tingkat pendidikan, angka kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMA ke atas hanya sebesar 0,80 persen jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada
44
rumahtangga dengan KRT berpendidikan paling tinggi SD atau SMP yang mencapai 4,07 persen dan 2,71 persen (Tabel 4.5). Kejadian kemiskinan berdasarkan tingkat pendidikan KRT baik di RW kumuh maupun tidak kumuh mempuunyai pola yang sama dengan kejadian kemiskinan di DKI Jakarta secara umum. Di RW kumuh kejadian kemiskinan tertinggi dialami oleh rumahtangga dengan KRT yang berpendidikan hanya sampai SD yaitu 4,99 persen diikuti oleh yang berpendidikan pendidikan SMP dan SMA ke atas masing- masing 2,23 persen dan 1,16 persen. Di lokasi RW tidak kumuh kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT berpendidikan hanya sampai SD mencapai 3,38 persen, kemudian diikut dengan yang berpendidikan SMP sekitar 3,05 persen dan yang berpendidikan SMA sekitar 0,66 persen. 4.2.4. Pekerjaan Williamson et al (1975) menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai sumberdaya ekonomi untuk hidup secara memadai. Salah satu sumberdaya ekonomi rumahtangga adalah pekerjaan yang dimiliki oleh KRT. Dengan tekanan hidup yang cukup tinggi di DKI Jakarta, seseorang akan berusaha untuk bekerja apa pun jenis pekerjaannya. Apabila dikatakan bahwa salah satu ciri rumahtangga miskin adalah KRT tidak bekerja, maka di DKI Jakarta kurang ada bukti yang mendukung hal tersebut. Kejadian kemiskinan di rumahtangga dengan KRT tidak bekerja tercatat sebesar 2,58 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT bekerja di sektor informal yang mencapai 3,05 persen, namun sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang dikepalai oleh pekerja di sektor formal yang tercatat sebesar 1,54 persen (Tabel 4.5). Sektor pekerjaan dari KRT sering dikaitkan dengan kemiskinan, KRT yang bekerja di sektor informal akan lebih miskin dibandingkan dengan yang bekerja di sektor formal.
Haris-Todaro diacu dalam Kashliwal
(1995) menyatakan bahwa upah yang diterima oleh pekerja di sektor formal perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor informal.
Distribusi
persentase rumahtangga miskin berdasar sektor pekerjaan KRT menunjukkan bahwa terdapat sekitar 20,59 persen rumahtangga miskin dikepalai oleh seseorang
45
yang tidak bekerja, 42,65 persen dikepalai oleh pekerja di sektor formal dan sisanya adalah KRT yang bekerja di sektor informal. Lapangan usaha yang dijala ni oleh KRT dapat pula menjadi penciri dari rumahtangga miskin. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa KRT yang bekerja di sektor pertanian lebih miskin dibandingkan dengan yang berkerja di lapangan kerja lainnya. Namun di DKI Jakarta tidaklah demikian, karena sektor pertanian bukan merupakan sektor andalan sehingga tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Sektor perdagangan, jasa dan industri, adalah sektorsektor yang berperan besar dalam menyerap tenaga kerja (BPS DKI Jakarta, 2004) dan hal ini didukung pula oleh distribusi persentase rumahtangga miskin berdasarkan lapangan usaha dari kepala keluarga.
Sekitar 27,21 persen
rumahtangga miskin dikepalai oleh pekerja di sektor perdagangan kemudian diikuti oleh yang bekerja di sektor jasa (19,12 persen) dan sektor industri (11,76 persen). Apabila dilihat kejadian kemiskinan berdasarkan lapangan usaha KRT, maka kejadian kemiskinan paling tinggi terjadi pada rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor jasa yaitu 3,06 persen kemudian diikuti dengan yang bekerja di sektor konstruksi (2,80 persen) dan yang bekerja di sektor angkutan (2,46 persen).
Di lokasi RW kumuh kejadian kemiskinan yang paling tinggi
dialami oleh rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor jasa yaitu sekitar 4,88 persen. Sektor jasa yang memberikan peluang rumahtangga menjadi miskin adalah sub sektor jasa perseorangan yaitu sektor jasa yang melayani perseorangan seperti pembantu rumahtangga, tukang kebun, sopir pribadi, kuli angkut di pasar dan lain sebagainya. Kejadian kemiskinan yang cukup tinggi dialami pula oleh rumahtangga dengan KRT bekerja di sektor konstruksi yaitu sekitar 3,77 persen. Pekerja kasar yang bekerja di sektor konstruksi seperti tukang batu, tukang semen dan lain sebagainya berpeluang mengalami kejadian kemiskinan yang cukup tinggi. Di RW tidak kumuh rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor angkutan mengalami kejadian kemiskinan yang paling tinggi yaitu sekitar 2,33 persen kemudian diikuti dengan rumahtangga yang kepalanya bekerja di sektor konstruksi dan jasa yaitu masing- masing 2,22 persen dan 2,13 persen.
Pekerja
46
yang bekerja di sektor angkutan umumnya bekerja sebagai pekerja kasar seperti pengemudi angkutan umum. Tabel 4.5 Karakteristik Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta, 2004 Karakteristik rumahtangga
RW tidak kumuh RW kumuh Total Kejadian % terhadap Kejadian % terhadap Kejadian % terhadap kemiskinan total miskin kemiskinan total miskin kemiskinan total miskin Jenis Kelamin KRT Laki-laki 1.67 82.43 2.67 85.48 2.03 83.82 Perempuan 2.26 17.57 3.13 14.52 2.55 16.18 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Besaran Rumahtangga < 2 orang 0.28 3-5 orang 1.18 6 orang + 5.01 1.75
2.70 43.24 54.05 100.00
0.00 1.71 9.81 2.73
0.00 40.32 59.68 100.00
0.17 1.37 6.55 2.09
1.47 41.91 56.62 100.00
Tingkat Pendidikan KRT < SD 3.38 SMP 3.05 SMA+ 0.66 1.75
47.30 31.08 21.62 100.00
4.99 2.23 1.16 2.73
62.90 19.35 17.74 100.00
4.07 2.71 0.80 2.09
54.41 25.74 19.85 100.00
1.32 2.74 1.88 1.75
44.59 36.49 18.92 100.00
1.96 3.51 4.11 2.73
40.32 37.10 22.58 100.00
1.54 3.05 2.58 2.09
42.65 36.76 20.59 100.00
Lapangan Kerja KRT industri 1.17 konstruksi 2.22 perdagangan 1.95 angkutan 2.76 jasa 2.13 lainnya 1.26 1.75
9.46 5.41 31.08 16.22 16.22 21.62 100.00
1.89 3.77 2.08 1.85 4.88 3.31 2.73
14.52 6.45 22.58 6.45 22.58 27.42 100.00
1.49 2.80 2.00 2.46 3.06 1.85 2.09
11.76 5.88 27.21 11.76 19.12 24.26 100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.03 1.99 2.51 2.18 1.69 1.75
6.76 24.32 16.22 33.78 18.92 100.00
0.98 2.28 4.06 2.82 3.84 2.73
3.23 19.35 17.74 37.10 22.58 100.00
1.01 2.09 3.07 2.45 2.35 2.09
5.15 22.06 16.91 35.29 20.59 100.00
Status bekerja KRT Formal Infomal Tidak bekerja
Jenis Pekerjaan KRT Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi Tng Ush Penjualan Tng Ush Jasa Tng Prod & pkrj ksr Lainnya
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu Catatan : - Kejadian kemiskinan : jumlah rumahtangga miskin dibagi dengan jumlah rumahtangga pada karakteristik tersebut - Persentase terhadap total miskin adalah : jumlah rumahtangga miskin dibagi dengan jumlah rumahtangga miskin.
47
Selain sektor pekerjaan, jenis pekerjaan dapat pula menjadi penciri kemiskinan suatu rumahtangga. Tabel 4.5 memperlihatkan kejadian kemiskinan berdasarkan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh KRT.
Kejadian kemiskinan
tertinggi dialami oleh rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa yaitu 3,07 persen diikuti oleh yang KRTnya yang bekerja sebagai tenaga produksi dan pekerja kasar yaitu 2,45
persen.
Jenis pekerjaan yang dapat
dikatagorikan sebagai tenaga jasa antara lain pembantu rumahtangga, buruh cuci, pembersih gedung, penjaga keamanan, pemangkas rambut dan lain sebagainya. Sedangkan jenis pekerjaan sebagai tenaga produksi dan pekerja kasar antara lain buruh pabrik, montir, jasa reparasi, supir, tukang batu, buruh bangunan dan lain sebagainya. 4.2.5. Kondisi Tempat Tinggal Karakteristik tempat tinggal dapat juga menjadi penciri rumahtangga miskin. Beberapa karakteristik tempat tinggal yang dapat memperlihatkan kondisi kemiskinan antara lain adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhadap jamban, dan akses terhadap air bersih. Tabel 4.6 menyajikan karakteristik tempat tinggal rumahtangga miskin. Angka kemiskinan berdasarkan dari luas lantai memperlihatkan bahwa semakin besar luas lantai per kapita maka angka kemiskinan semakin kecil. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan luas lantai per kapita kurang dari 8 m2 tercatat 5,12 persen dan kondisi ini terjadi pula baik di RW kumuh mapun tidak kumuh.
Hal ini menunjukkan bahwa luas tempat tinggal menjadi kendala
bagi rumahtangga miskin. Mereka umumnya tinggal di rumah-rumah yang relatif kecil namun ditinggali oleh banyak anggota rumahtangga.
Pendapatan
rumahtangga miskin yang relatif rendah menyebabkan mereka kesulitan untuk memiliki atau mempunyai tempat tinggal yang layak. Di lokasi RW tidak kumuh ada juga lokasi yang marjinal seperti di daerah pinggiran rel kereta api atau bantaran sungai. Di lokasi marjinal ini dapat ditemui tempat tinggal yang berlantai tanah, umumnya mereka menutupi lantai tanah tersebut dengan karpet plastik. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga berlantai
48
tanah di lokasi RW tidak kumuh cukup tinggi yaitu hampir mencapai 7,14 persen. Sedangkan yang di RW kumuh hanya 1,09 persen. Tabel 4.6 Karakteristik Tempat Tinggal Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta 2004 Karakterisktik RW tidak kumuh RW kumuh Total tempat Kejadian % terhadap Kejadian % terhadap Kejadian % terhadap tinggal kemiskinan total miskin kemiskinan total miskin kemiskinan total miskin luas lantai per kapita <8 5.27 74.32 4.93 69.35 5.12 72.06 8-15 m2 1.27 21.62 1.64 19.35 1.40 20.59 >15m2 0.16 4.05 1.05 11.29 0.39 7.35 1.75
100.00
2.73
100.00
2.09
100.00
1.57 7.14 1.75
86.49 13.51 100.00
2.80 1.09 2.73
98.39 1.61 100.00
2.00 4.74 2.09
91.91 8.09 100.00
Akses terhadap jamban punya 1.71 tidak punya 10.53 1.75
97.30 2.70 100.00
2.72 3.70 2.73
98.39 1.61 100.00
2.06 6.52 2.09
97.79 2.21 100.00
Akses terhadap air bersih punya 1.77 tidak punya 0.00 1.75
100.00 0.00 100.00
2.74 0.00 2.73
100.00 0.00 100.00
2.11 0.00 2.09
100.00 0.00 100.00
Jenis lantai bukan tanah tanah
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak t ermasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu
Akses terhadap jamban dapat pula mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Rumahtangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban dapat dikatakan bahwa tingkat kehidupan mereka belum dapat layak. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang tidak memiliki jamban cukup besar yaitu 6,52 persen, namun apabila dilihat dari distribusi persentase rumahtangga miskin berdasarkan akses terhadap jamban maka hampir seluruh rumahtangga miskin mempunyai akses terhadap jamban. Gambaran yang tidak berbeda ditunjukkan pula di lokasi RW kumuh dan RW tidak kumuh. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang tidak memiliki jamban cukup besar yaitu 3,70 persen di lokasi RW kumuh dan 10,53 persen di lokasi yang tidak kumuh. menunjukkan
bahwa
akses
kesejaheraan bagi rumahtangga.
terhadap
jamban
dapat
Keadaan ini
dijadikan
indikator
49
Akses terhadap air bersih cukup mudah bagi rumahtangga miskin, sehingga distribusi rumahtangga miskin berdasarkan akses terhadap air bersih menunjukkan bahwa hampir 100 persen rumahtangga miskin mempunyai akses terhadap air bersih. Air bersih dapat diakses dengan mudah oleh rumahtangga miskin karena adanya penjualan air leding pikulan di permukiman-permukiman, di samping itu tersedia pula hidran- hidran umum yang dibangun oleh Pemda DKI Jakarta. Akses terhadap air kurang kuat untuk dijadikan penciri kemiskinan rumahtangga. 4.3. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Pengurangan kemiskinan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh berbagai negara khususnya negara-negara dunia ketiga.
Untuk itu diperlukan
suatu pengukuran kemiskinan yang dapat memperlihatkan dampak dari program penanggulangan kemiskinan terhadap pengurangan kemiskinan. Head count index (angka kemiskinan) mengukur bagaimana luasan dari kemiskinan. Namun angka ini tidak sensitif terhadap perubahan dalam status dari penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan, sehingga indeks ini tidak cukup untuk menilai dampak dari program pengentasan kemiskinan. Sen diacu dalam Irawan dan Suhaimi (1999) menyatakan bahwa Head count index tidak mampu untuk menjelaskan kedalaman dan keparahan kemiskinan. Untuk itu diperlukan pengukuran lain yang dapat mencerminkan hal tersebut. Poverty gap index dapat digunakan untuk pengukuran kedalaman kemiskinan, sedangkan distributionally sensitive index dapat digunakan untuk mendekati keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan (poverty gap) adalah rata-rata jarak kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin dengan terhadap batas kemiskinan. Bank Dunia menyatakan bahwa poverty gap index mengukur kedalaman kemiskinan dalam suatu negara atau wilayah berdasarkan pada kekurangan kemiskinan dari penduduk miskin secara relatif terhadap batas kemiskinan. Poverty gap index adalah untuk mengukur bagaimana kemiskinan dari penduduk miskin. Indeks ini akan meningkat seiring dengan peningkatan jarak penduduk miskin dengan batas kemiskinan, sehingga dapat memberikan indikasi dari
50
kedalaman kemiskinan. Penurunan angka poverty gap mencerminkan terjadinya perbaikan dari kondisi saat ini. Tabel 4.7 Indeks kedalaman Kemiskinan (P1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) , DKI Jakarta 2002-2004
2002
Indeks kedalaman Kemiskinan (P1 ) 0,39
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) 0,07
2003
0,49
0,11
2004
0,42
0,09
Tahun
Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan BPS (2002-2004)
Indeks kedalaman kemiskinan yang dialami oleh penduduk miskin di DKI Jakarta tercatat sebesar 0,42 persen (Tabel 4.7), artinya adalah rata-rata jarak pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan adalah sebesar 0,42 persen.
Kedalaman kemiskinan dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan
kondisi tahun 2003 yang mencapai 0,49 persen. Belum ada perbaikan yang nyata dari program-program pengentasan kemiskinan terhadap penduduk miskin. Indeks keparahan kemiskinan (distributionally sensitive index) sampai batas tertentu memberikan Gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan (BPS, 1999). Indeks ini memcerminkan perubahan dalam keparahan kemiskinan, dan indeks ini dapat menangkap perubahan distribusi dalam penduduk miskin. Apabila terjadi transfer di antara orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan kepada orang yang paling miskin, maka indeks ini dapat mencerminkan perubahan tersebut. Indeks ini mengukur keparahan kemiskinan dengan memberikan bobot lebih pada orang paling miskin diantara penduduk miskin. Pengukuran ini memenuhi sebagian besar aksioma kesejahteraan , seperti monotonicity axiom (penurunan dalam pendapatan dari rumahtangga miskin pasti meningkatan kemiskinan, cateris paribus) dan transfer axiom (transfer pendapatan dari penduduk miskin kepada yang lebih miskin pasti akan meningkatkan kemiskinan, cateris paribus) (Irawan dan Suhaimi, 1999).
Tabel 4.7
memperlihatkan bahwa keparahan kemiskinan pada tahun 2004 sedikit mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2003.
51
Tabel 4.8 menyajikan informasi mengenai indeks kedalaman dan keparahan rumahtangga miskin baik di RW kumuh maupun di RW tidak kumuh pada tahun 2004.
Secara total adanya perbedaan indeks kedalaman dan keparahan
kemiskinan pada Tabel 4.7 dan 4.8, hal ini karena cakupan wilayah analisis yang berbeda antara kedua tabel tersebut.
Pada Tabel 4.6 yang menjadi cakupan
wilayah unit analisis adalah seluruh wilayah DKI Jakarta termasuk Kab Adm Kepulauan Seribu
sementara itu pada Tabel 4.7 tidak mencakup Kepulauan
Seribu karena di wilayah ini tidak dilakukan pendataan RW kumuh. Kedalaman kemiskinan yang terjadi di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh.
Jarak rata-rata kesenjangan
pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu sebesar 0,41 persen. Informasi mengenai poverty gap ini sangat berguna dalam mengalokasikan dana bantuan bagi penduduk miskin (Irawan 5 Juli 2005, komunikasi pribadi). Alokasi tersebut memudahkan pemerintah daerah untuk mendistribusikan bantuan dana pengentasan kemiskinan pada masingmasing lokasi. Estimasi alokasi dana yang dibutuhkan untuk membantu rumahtangga miskin adalah : P1 P ∗ GK ∗ pddk _ miskin rupiah per bulan. 0 Dimana : P1 adalah poverty gap P0 adalah kejadian kemiskinan (head count index) GK adalah garis kemiskinan Indeks keparahan kemiskinan di RW kumuh maupun tidak kumuh hampir sama yaitu sekitar 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa penduduk miskin baik di RW kumuh maupun yang tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran penduduk miskin.
52
Tabel 4.8 Indeks kedalaman Kemiskinan (P1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004 Indeks kedalaman Kemiskinan (P1 ) 0.53
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) 0.10
RW tidak kumuh
0.41
0.10
DKI Jakarta
0.45
0.10
Lokasi Tempat Tinggal RW Kumuh
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu.
4.4. Ketimpangan Pendapatan Kemiskinan tidak hanya dilihat secara absolut tetapi juga dapat dilihat secara relatif.
Kemiskinan relatif berkaitan dengan distribusi pendapatan, seseorang
yang berada di bawah rata-rata pendapatan/konsumsi masyarakat secara umum dapat dikatakan miskin. Garis kemiskinan relatif dapat ditetapkan secara berbeda namun umumnya sering menggunakan pengukuran 50 persen di bawah rata-rata pendapatan/konsumsi(Coudouel, et al, 2001 ). Angka kemiskinan relatif dapat menunjukkan ketimpangan pendapatan di suatu wilayah dimana semakin tinggi kemiskinan relatif maka semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi. Rata-rata konsumsi yang dikeluarkan oleh rumahtangga di DKI Jakarta adalah 568.326 rupiah per bulan. Mengacu pada angka tersebut maka kemiskinan relatif yang terjadi di DKI Jakarta adalah 18,39 persen yang artinya terdapat 18,39 persen penduduk yang mempunyai pengeluaran konsumsi dibawah rata-rata konsumsi penduduk secara umum.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan angka kemiskinan absolut yang mencapai 3,14 persen. Sekitar 83 persen dari penduduk yang masuk dalam katagori miskin relatif berada di atas garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain mereka tidak termasuk rumahtangga miskin absolut. Keberadaan mereka tetap harus diwaspadai karena dengan tingkat pengeluaran per kapita sedikit di atas garis kemiskinan absolut memungkinkan mereka masuk dalam perangkap kemiskinan apabila terjadi goncangan dalam kehidupan ekonomi rumahtangga mereka. Berdasarkan pada rata-rata konsumsi di masing- masing lokasi, tingkat kemiskinan relatif di RW tidak kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW kumuh. Rata-rata konsumsi di RW tidak kumuh adalah 626.205 rupiah per kapita per bulan, dengan angka tersebut maka kemiskinan relatif yang terjadi adalah 23
53
persen. Sedangkan angka kemiskinan relatif di RW kumuh hanya mencapai 8,48 persen, dengan rata-rata konsumsi per kapita per bulan adalah 445.932 rupiah. Angka
ini
menunjukkan
bahwa
di
RW
tidak
kumuh
distribusi
pendapatan/konsumsinya lebih tidak merata dibandingkan dengan kondisi di RW kumuh. Konsep ketimpangan lebih luas dibandingkan dengan kemiskinan, karena yang dilihat adalah distribusi seluruh lapisan masyarakat bukan hanya terbatas pada distribusi rumahtangga atau penduduk di bawah garis kemiskinan. Pendapatan golongan menengah ke atas sama pentingnya dengan golongan bawah dalam pengukuran ketimpangan. Menghitung ketimpangan dapat menggunakan beberapa metode, dan metode yang paling banyak digunakan adalah dengan rasio gini. Ketimpangan adalah penyebaran distribusi dari pendapatan, konsumsi atau beberapa indikator kesejahteraan lainnya dari penduduk yang tidak merata (Coudouel, et al, 2001).
Sangat jelas bahwa kemiskinan dan ketimpangan
mempunyai hubungan yang sangat erat untuk suatu rata-rata pendapatan. Semakin timpang distribusi pendapatan maka akan semakin tinggi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan pendapatan. RW kumuh mempunyai angka gini 0,2686 yang masuk dalam katagori ketimpangan rendah (kurang dari 0,3500) sedangkan angka gini di RW tidak kumuh adalah 0,3896 atau masuk dalam katagori ketimpangan sedang (Tabel 4.9). Distribusi pendapatan di RW tidak kumuh jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang terjadi di RW kumuh. Hal ini sesuai dengan angka kemiskinan relatif di masing- masing lokasi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Tabel 4.9 Angka Gini dan Distribusi Pendapatan Menurut Kriteira Bank Dunia berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal dan Status Kemiskinan, DKI Jakarta 2004 Lokasi tempat tinggal
Gini Rasio
RW kumuh RW tidak kumuh DKI Jakarta
0,2686 0,3896 0,3636
40 % rumahtangga pendapatan rendah 23,74 19,01 16,27
40 % rumahtangga pendapatan menengah 38,91 32,87 37,92
Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu.
20 % rumahtangga pendapatan atas 37,35 48,13 45,81
54
Untuk melihat ketimpangan pendapatan dapat pula digunakan ukuran Bank Dunia yaitu dengan melihat distribusi pengeluaran pada 40 persen rumahtangga berpendapatan rendah, 40 persen berpendapatan menengah dan 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi. Di RW tidak kumuh, 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi memberikan sumbangan terhadap total pengeluaran sebesar 48,13 persen sedangakan 40 persen rumahtangga berpendapatan rendah hanya menyumbang 19,01 persen. Hal ini memberikan Gambaran bahwa hampir 50 persen total pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dinikmati oleh 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi.
Kondisi ini menunjukkan ketimpangan
distribusi pengeluaran di lokasi RW tidak kumuh dan informasi ini memperkuat hasil gini rasio yang menunjukkan bahwa di RW tidak kumuh lebih timpang dibandigkan dengan di RW kumuh. Empat puluh persern rumahtangga berpendapatan menengah di lokasi RW kumuh memberikan sumbangan terbesar terhadap total pengeluaran yaitu 38,91 persen kemudian diikuti oleh 20 persen rumahtangga berpendapatan tinggi (37,35 persen). Komposisi ini mencerminkan bahwa distribusi pendapatan di lokasi RW kumuh lebih merata. Di bagian sebelumnya telah disinggung bahwa semakin tinggi tingkat ketimpangan maka semakin tinggi pula kejadian kemiskinan, namun di RW kumuh dengan distribusi pendapatan yang lebih merata tetapi mempunyai kejadian kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Kondisi ini terjadi karena di lokasi RW kumuh lebih “merata dalam kemiskinan”. 4.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan Kemiskinan tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan kontribusi dari beberapa faktor yang komplek. Penyebab kemiskinan dapat berupa faktor makro yang berada di luar rumahtangga seperti kebijakan makro ekonomi yang tidak layak, keterbatasan lapangan kerja, pembangunan sumberdaya manusia yang rendah dan lain sebagainya. Di samping faktor- faktor tersebut, ada juga faktor- faktor dalam rumahtangga yang dapat menyebabkan kemiksinan seperti tingkat pendidikan KRT, besaran rumahtangga, kepemilikan asset, lokasi, sektor pekerjaan dan lain sebagainya.
Penyebab kemiskinan ini
55
perlu untuk dipahami agar mampu untuk menyusun suatu kebijakan yang efisien untuk mengurangi kemiskinan. Banyak peubah yang dipahami sebagai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Peubah-peubah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu karakateristik yang berkaitan dengan individu seperti jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya dan karakteristik yang berkaitan dengan wilayah dimana rumahtangga tersebut tinggal seperti area perkotaan atau perdesaan. Ada kesulitan dalam menentukan arah sebab akibat, apakah karakteristik dapat menyebabkan kemiskinan atau kemiskinan yang menyebabkan karakteristik tersebut. Sebagai contoh apakah jumlah anggota rumahtangga yang besar dapat menyebabkan kemiskinan atau kemiskinanlah yang menyebabkan jumlah anggota rumahtangga menjadi besar. Dalam penelitian ini akan memperkirakan mengenai faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan. Kajian mengenai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan dilakukan dengan menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) antara lain model regresi logit dan probit (Deaton, 1987 dan 1990; Ravallion, 1996 diacu dalam Irawan, 2005). Regresi logistik ditujukan untuk memprediksi probabilitas suatu nilai antara 0 dan 1. Dalam memahami mengenai faktor-faktor yang terkait dengan kemiskinan digunakan model regresi logit dengan variable tidak bebas berupa variable biner ya itu miskin (1) dan tidak miskin (0). Sedangkan peubahpeubah bebas yang diteliti adalah jender, pendidikan, ukuran rumahtangga, pekerjaan, kondisi tempat tinggal dan lokasi tempat tinggal.
Model regresi
logistik menggunakan metode Enter melalui paket program SPSS versi 11,5 disajikan pada Tabel 4.10.
56
Tabel 4.10 Penduga Parameter, Level Signifikansi, dan Nilai Odds Ratio dari Model Regresi Logistik Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Menurut Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004 Peubah Konstanta
DKI Jakarta Peubah Signifi Odds kansi Ratio β -6.597 0.000* 0.001
RW Tidak Kumuh Peubah Signifi Odds kansi Ratio β -5.963 0.000* 0.003
RW Kumuh Peubah Signifi Odds kansi Ratio β -7.411 0.000* 0.001
d_jk
0.870
0.000*
2.386
1.155
0.000*
3.173
0.526
0.122
1.692
art
0.527
0.000*
1.694
0.480
0.000*
1.616
0.646
0.000*
1.909
d_jual
-0.594
0.002*
0.552
-0.604
0.020*
0.547
-0.596
0.038*
0.551
d_kasar
-0.372
0.030*
0.689
-0.352
0.133
0.703
-0.321
0.224
0.725
d_prof
-0.596
0.016*
0.551
-0.645
0.052
0.524
-0.451
0.241
0.637
dlain
-0.169
0.729
0.845
0.090
0.885
1.094
-0.274
0.742
0.760
d_pp
-0.763
0.002*
0.466
-0.777
0.017*
0.460
-0.798
0.038*
0.450
0.712
0.002*
2.039
1.022
0.001*
2.779
0.130
0.751
1.139
d_sd
-0.339
0.061
0.712
-0.384
0.132
0.681
-0.372
0.162
0.689
d_smp
-0.419
0.027*
0.658
-0.311
0.238
0.733
-0.563
0.048*
0.570
d_sma
-1.217
0.000*
0.296
-1.208
0.000*
0.299
-1.233
0.000*
0.292
age_mpn
-0.126
0.749
0.882
-0.653
0.181
0.520
0.525
0.443
1.691
age_tua
-0.263
0.555
0.768
-1.152
0.042*
0.316
0.884
0.239
2.420
0.011
0.001*
1.011
0.012
0.009*
1.012
0.011
0.034*
1.011
proker
-0.028
0.000*
0.972
-0.029
0.000*
0.972
-0.028
0.000*
0.972
p_bbm
0.086
0.000*
1.090
0.090
0.000*
1.094
0.074
0.008*
1.077
p_mkn
0.050
0.000*
1.051
0.044
0.000*
1.045
0.053
0.000*
1.054
d_lt
1.043
0.000*
2.838
1.117
0.000*
3.056
0.871
0.000*
2.390
j_lti
0.553
0.023*
1.739
1.087
0.000*
2.965
-0.360
0.455
0.698
d_jbn
1.188
0.010*
3.280
1.422
0.083
4.144
1.243
0.036*
3.467
rmh
-0.242
0.067
0.785
-0.035
0.843
0.965
-0.546
0.008*
0.579
d_air
-0.182
0.776
0.834
-0.841
0.382
0.431
1.539
0.110
4.658
d_under
um_1564
Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004 Keterangan : *) sangat nyata pada α = 5 persen
Untuk menilai kelayakan model regresi, maka harus diperhatikan nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow (Tabel 4.11). Hipotesis yang digunakan pada uji ini adalah - H0 = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. - Ha = ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.
57
Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow: -
jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima
-
jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak Secara umum nilai dari uji tersebut menunjukkan angka signifikan 0,855
yang artinya model menerima H0 . Keputusan menerima H0 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi denga n klasifikasi yang diamati. Model untuk RW tidak kumuh menunjukkan angka signifikasi 0,151 dan untuk RW kumuh adalah 0,699, dengan demikian model logistik dikedua lokasi ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Tabel 4.11. Nilai Chi square pada Uji Hosmer and Lemeshow Menurut Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004 Lokasi Tempat Tinggal DKI Jakarta RW tidak kumuh RW kumuh
Chi-square
df
Sig.
4.023586 12.01137 5.540615
8 8 8
0.855 0.151 0.699
Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004
Kemampuan prediksi dari model dapat diperkirakan melalui tabel klasifikasi yang didasarkan pada prediksi peluang menjadi miskin. Jika nilai probabilitas yang diperoleh adalah > 0,5 maka diinterpretasikan sebagai prediksi dari suatu rumahtangga
miskin,
sedangkan
jika
nilai
probabilitas
<
dinterpretasikan sebagai prediksi dari rumahtangga tidak miskin.
0,5
maka
Tabel 4.12
memperlihatkan bahwa kemampuan model DKI Jakarta untuk memprediksi rumahtangga tidak miskin sangat baik yaitu 99,1 persen. Sebaliknya kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin cukup buruk yaitu 20,6 persen. Secara keseluruhan kemampuan memprediksi dari model adalah 97,3 persen. Untuk RW kumuh kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin lebih baik yaitu 31,5 persen, sedangkan untuk RW tidak kumuh cukup buruk yaitu hanya 18,4 persen. Penelitian Garza-Rodriguez (2002) dan Sugiyono (2003) menunjukkan bahwa kemampuan memprediksi rumahtangga miskin dari model dengan
58
menggunakan peubah-peubah bebas karakteristik rumahtangga cukup rendah. Penelitian
Garza-Rodriguez
tentang
penyebab
kemiskinan
di
Mexico
menghasilkan tingkat sensitivitas model (kemampuan memprediksi rumahtangga miskin) sebesar 26,53 persen. Sementara itu hasil penelitian Sugiyono di Jawa Barat menghasilkan tingkat sensitivitas 17,43 persen.
Model logistik untuk
memprediksi peluang miskin dari rumahtangga dengan menggunakan peubah bebas karakteristik rumahtangga secara keseluruhan cukup bagus namun untuk memprediksi rumahtangga miskin kurang baik. Ada faktor-faktor lain di luar karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi peluang rumahtangga menjadi miskin. Tabel 4.12 Klasifikasi dari Kebenaran Prediksi Kondisi nyata
Prediksi dari model Tdk miskin Miskin
total
Persentase Benar
DKI Jakarta Tdk miskin Miskin Total
5,654 108 5,762
50 28 78
5,704 136 5,840
99.1 20.6 97.3
RW Kumuh Tdk miskin Miskin Total
1,950 45 1,995
28 21 49
1,978 66 2,044
98.6 31.5 96.4
RW Tidak Kumuh Tdk miskin Miskin Total
3,707 57 3,764
19 13 32
3,726 70 3,796
99.5 18.4 98.0
Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004
Regresi logistik merupakan model yang tidak linear sehingga sulit untuk menginterpretasikan penduga β sebagai pengaruh dari peubah bebas terhadap kemiskinan.
Namun dimungkinkan untuk menghitung efek marjinal pada
beberapa nilai dari peubah bebas, seperti nilai rata-rata dari peubah bebas yang kontinu dan beberapa nilai yang tetap dari peubah-peubah biner (GarzaRodriguez, 2002). Cara lain untuk melihat pengaruh dari peubah bebas terhadap peluang menjadi miskin adalah dengan melihat nilai odds ratio.
Odds ratio
59
didefinisikan sebagai rasio dari peluang menjadi miskin dibanding dengan peluang tidak menjadi miskin untuk peubah tertentu. 4.5.1. Kemiskinan dan Jender Rumahtangga dengan KRT perempuan sering berpeluang lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga dengan KRT laki- laki (Williamson et all, 1975).
Ketidaksetaraan jender masih menjadi isu utama, dimana perempuan
masih ditempatkan sebagai sub ordinat dari laki- laki. Sehingga dalam berbagai hal, perempuan masih diposisikan di bawah laki- laki, seperti halnya di bidang ketenagakarejaan. Penelitian ILO (2002) di beberapa negara menyatakan bahwa terdapat keterbatasan lapangan pekerjaan untuk perempuan disamping itu perempuan mempunyai tingkat produktivitas yang rendah. Yang menjadi maslah pokok adalah perbedaan penerapan sistem upah antara laki- laki dan perempuan, dimana perempuaan sering mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan yang diterima oleh laki- laki. Hasil estimasi regresi logistik di atas menunjukkan bahwa di DKI Jakarta KRT perempuan mempunyai pengaruh positif terhadap peluang menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jender menunjukkan angka 2,386 yang artinya adalah KRT perempuan mempunyai peluang miskin 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan KRT laki- laki. Di RW tidak kumuh pengaruh KRT perempuan tetap nyata terhadap resiko menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jenis kelamin KRT di RW tidak kumuh adalah 3,173.
Rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan di RW tidak kumuh
mempunyai resiko 3,173 lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan yang laki- laki. Kondisi ini berbeda dengan keadaan di RW kumuh dimana peubah jenis kelamin KRT tidak berpengaruh nyata terhadap peluang rumahtangga menjadi miskin. Gambar 4.3-1, 4.3-2 dan 4.3-3 menunjukkan peluang menjadi miksin berdasarkan jenis kelamin KRT di DKI Jakarta, RW tidak kumuh dan RW kumuh. Asumsi
dari
gambar adalah KRT berjenis kelamin perempuan, KRT
berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai
60
akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
1.0
Probabilitas menjadi miskin
.8
.6
.4
Jns Kelamin KRT .2 laki-laki 0.0
perempuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
13
Banyak art
Gambar 4.3-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin dari KRT di DKI Jakarta 2004
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Jns Kelamin KRT .2 laki-laki 0.0
perempuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
13
Banyak art
Gambar 4.3-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin Dari KRT Di RW Tidak Kumuh 2004
61
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Jenis Kelamin KRT .2 laki-laki 0.0
perempuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.3-3 Probabilitas Menjadi Miskin dan Jenis Kelamin dari KRT di RW Kumuh 2004 Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa KRT perempuan mempunyai peluang lebih tinggi menjadi miskin pada jumlah anggota rumahtangga yang sama. Dapat dikatakan bahwa jenis kelamin KRT secara nyata dapat menjelaskan mengenai kemiskinan di DKI Jakarta dan di RW tidak kumuh, namun menjadi tidak nyata di RW kumuh atau dengan kata lain tidak ada bias jender di RW kumuh. Hal ini merupakan cerminan adanya bias jender. Rumahtangga dengan KRT perempuan lebih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Bias jender dalam insiden kemiskinan telah ditemukan di Bangladesh, Guatemala, Indonesia, Nepal dan 12 negara lainnyanya yang diteliti pada tahuan 1994 (Anynomous, 1996). 4.5.2. Kemiskinan dan Besaran Rumahtangga. Beberapa penelitian di negara-negara sedang berkembang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumahtangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin (Lanjouw dan Ravallion, 1994). Di negara-negara dunia ketiga sering kali anak dijadikan sebagai investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumahtangga miskin
62
keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa lalu sering kali masih diterapkan yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga. Pengaruh besaran rumahtangga terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Dengan asumsi bahwa peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri maka nilai efek marjinal dari besaran rumahtangga adalah 9,24 persen. Artinya adalah untuk DKI Jakarta peningkatan satu orang anggota rumahtangga akan meningkatkan peluang menjadi miskin sebesar 9,24 persen. Dengan menggunakan asumsi yang sama, efek marjinal besaran rumahtangga di RW tidak kumuh dan RW kumuh masingmasing sebesar 11,19 persen dan 5,02 persen.
Di RW tidak kumuh setiap
penambahan satu orang anggota rumahtangga maka resiko rumahtangga menjadi miskin meningkat sebesar 11,19 persen, sedangkan di RW kumuh peningkatannya lebih rendah yaitu 5,02 persen. Perbedaan yang cukup nyata di RW tidak kumuh dan RW kumuh terjadi karena pengaruh KRT perempuan sangat kuat dalam meningkatkan resiko kemiskinan di RW tidak kumuh. Semakin besar anggota rumahtangga maka akan memperkecil rata-rata konsumsi perkapita sehingga peluang miskin menjadi semakin besar.
Namun
pengaruh besaran rumahtangga terhadap kemiskinan dapat pula bersifat negatif dimana semakin kecil ukuran rumahtangga maka akan semakin miskin. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan dua orang anak hampir 4 kali lebih miskin dari pada yang mempunyai tujuh orang anak. Hal ini karena rumahtangga dengan lebih banyak
63
tenaga kerja akan kurang miskin dibandingkan dengan yang sedikit tenaga keja, tenaga kerja adalah input yang sangat penting bagi produksi dan kesejahteraan. 4.5.3. Kemiskinan dan Pekerjaan Salah satu sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh rumahtangga adalah jenis pekerjaan yang ditekuni oleh KRT. Jenis pekerjaan sangat terkait dengan upah yang diterima. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut akan menyokong dalam penemuhan kebutuhan rumahtangga. Pemenuhan untuk hidup secara memadai menurut kondisi masyarakat setempat tergantung dari pendapatan yang diperolehnya. Hal tersebut menjadikan adanya keterkaitan yang sangat erat antara pekerjaan dengan kemiskinan. Pendapatan yang tinggi dari pekerjaan yang dijalaninya akan melepaskan rumahtangga tersebut dari perangkap kemiskinan, namun pendapatan yang rendah dapat mendorong rumahtangga masuk ke dalam jurang kemiskinan. Milar dan Gardiner (2004) menyatakan bahwa upah yang rendah merupakan penyebab kemiskinan. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa 14 persen pekerja yang mendapat upah rendah di Inggris hidup dalam kemiskinan.
Penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo
(1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan informal. Hubungan peubah boneka jenis pekerjaan KRT (tenaga usaha jasa sebagai referensi) dengan kemiskinan adalah negatif. KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa mempunyai peluang menjadi miskin lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga dengan KRT yang bekerja dengan jenis pekerjaan lainnya, hal ini dapat dilihat dari nilai odds ratio jenis-jenis pekerjaan lainnya yang bernilai di bawah satu.
Jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha jasa diduga cukup besar
menyumbang terhadap kemiskinan adalah tenaga usaha jasa ya ng bergerak di sektor informal seperti buruh cuci, pemangkas rambut keliling, tukang sol sepatu dan lain sebagainya. Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di DKI Jakarta dilihat dari nilai odds ratio, dapat dirinci sebagai berikut : (a) Rumahtangga dengan KRT- nya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,552 kali dibandingkan dengan
64
KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,552= 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan. (b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,689 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,689 = 1,5 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar. (c) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,551 kali.
Sebaliknya peluang menjadi
miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,551= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana. (d) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,466 kali.
Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa
adalah 1/0,466 = 2,1 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan. Pengaruh jenis pekerjaan menjadi tidak nyata kecuali untuk jenis pekerjaan sebagai tenaga penjualan dan penerima pendapatan baik di RW kumuh mapun tidak kumuh. Di RW tidak kumuh jenis pekerjaan sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana menjadi nyata pada tingkat kepercayaan 94 persen.
Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di RW tidak
kumuh adalah sebagai berikut : (a) Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,547 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan. (b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT
65
sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,524 kali.
Sebaliknya peluang menjadi
miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,524 = 1,9 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana. (c) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,460 kali.
Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa
adalah 1/0,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan. Sedangkan di RW kumuh, pengaruh dari jenis pekerjaan terhadap peluang menjadi miskin adalah sebagai berikut : (a) Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,551 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan. (b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,450 kali.
Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa
adalah 1/0,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan. Dapat dilihat bahwa secara spasial peluang rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa untuk menjadi miskin jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya relatif sama. Probabilitas rumahtangga menjadi miskin yang disebabkan karena jenis pekerjaan KRT dapat di lihat pada Gambar 4.4-1, 4.4-2, dan 4.4-3 dengan asumsi bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, bukan rumah sendiri, berlantai bukan tanah, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
66
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
Pekerjaan KRT penerima pendapatan
.6 profesional tenaga penjualan .4 tenaga jasa tenaga kasar/produks
.2
i 0.0
lainnya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.4-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di DKI Jakarta 2004 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
Pekerjaan KRT .8
penerima pendapatan profesional
.6 tenaga penjualan .4
tenaga jasa tenaga kasar/produks
.2 i 0.0
lainnya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.4-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di RW Tidak Kumuh 2004
67
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
Jenis Pekerjaan KRT penerima pendapatan
.6 profesional tenaga penjualan .4 tenaga jasa pekerja kasar/produk
.2
si 0.0
lainnya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.4-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT di RW Kumuh 2004 Pada Gambar 4.4-1 – 4.4-3 dapat dilihat bahwa rumahtangga dengan KRT penerima pendapatan mempunyai peluang menjadi miskin yang lebih rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang bekerja. Diduga kepala keluarga yang tidak bekerja ini dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya yang bekerja ataupun mereka mempunyai penghasilan dari dana hari tua (tunjangan pensiun) ataupun penerima deviden (keuntungan perusahaan). KRT yang bekeja tidak semua bekerja sesuai dengan jam kerja normal. Ukuran jam kerja normal akan berbeda di setiap negara, dan di Indonesia mengacu pada 35 jam per minggu. Pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (< 35 jam per minggu) dan sedang mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan tambahan dinamakan sebagai setengah pengangguran atau sering dikenal dengan nama pengangguran terselubung (Hussmanns, Mehran, dan Verman, 1990).
Salah satu indikasi fenomena setengah penganggur ini adalah
rendahnya tingkat pendapatan yang diterima oleh mereka, sehingga mereka harus mencari pekerjaan tambahan untuk menunjang kehidupan mereka. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa peubah setengah penganggur (d_under) di DKI Jakarta cukup kuat dalam memprediksi peluang rumahtangga menjadi miskin. Yang menjadi pembanding dalam peubah ini adalah KRT bukan setengah penganggur. Nilai odds ratio dari peubah ini adalah 2,039 yang artinya
68
adalah rumahtangga yang mempunyai KRT setengah penganggur mempunyai peluang menjadi miskin 2 kali lebih besar dari yang bukan setengah penganggur. Pengaruh peubah d_under di RW kumuh sangat nyata dengan nilai odds ration sebesar 2,779 artinya KRT setengah penganggur mempunyai resiko menjadi miskin 2,8 lebih besar dibandingkan dengan yang bukan penganggur. Sedangkan di RW kumuh, peubah d_under tidak berpengauh nyata terhadap resiko kemiskinan.
Artinya baik yang setengah penganggur maupun yang bukan
setetngah penganggur mempunyai peluang yang hampir sama menjadi miskin, kondisi ini terlihat dengan jelas pada Gambar 4.5-3. Hasil analisis tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Lampung oleh Irawan (2004) menunjukkan bahwa KRT setengah penganggur dapat memprediksi status kemiskinan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan KRT penganggur. Peluang rumahtangga menjadi miskin yang dikaitkan dengan status kerja KRT disajikan pada Gambar 4.5-1, 4.5-2, dan 4.5-3 dengan asumsi bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Status Pekerjaan KRT penerima pendapatan
.4
setengah penganggura n
.2
bukan setengah penga 0.0
ngguran 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.5-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT Di DKI Jakarta 2004
69
1.0
Probabilitas menjadi miskin
.8
.6
Status Pekerjaan KRT penerima pendapatan
.4
setengah penganggura n
.2
bukan setengah penga 0.0
ngguran 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.5-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Tidak Kumuh 2004
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Status Pekejaan KRT penerima pendapatan
.4
setengah penganggura n
.2
bukan setengah penga 0.0
ngguran 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.5-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Kumuh 2004 Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan (2003) menyebutkan bahwa faktor penyebab kemiskinan perkotaan berdimensi tingkat pendapatan rendah yang berkaitan dengan kebijakan publik adalah (1) krisis ekonomi makro cenderung menurunkan pendapatan riil, (2) kegagalan fasilitas dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan transportasi
70
dalam melayani penduduk miskin perkotaan, (3) hambatan peraturan pemerintah terhadap usaha-usaha kecil melanggengkan terbatasnya kesempatan kerja bagi penduduk miskin perkotaan, menghambat akumulasi modal dan akses terhadap kredit, dan meningkatkan kerentanan bagi pekerja. Dampak terhadap dimensi kemiskinan lainnya adalah (1) ketidakmampuan membeli rumah dan tanah, sehingga modal kapital fisik tidak berkembang diantara penduduk miskin perkotaan, (2) ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas publik dasar seprti air bersih, sehingga kondisi hidup tidak higienis dan kondisi kesehatan menurun, (3) sumberdaya manusia yang rendah, yaitu pendidikan rendah dan kesehatan buruk, dan (4) menurunnya modal sosial yang mengarah pada kekerasan domestic dan kriminalitas. 4.5.4. Kemiskinan dan Pendidikan Hasil survei atau sensus rumahtangga telah memperlihatkan bukti bahwa pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan (Shultz, 1981; Psacharopoulous, 1985; Blaug, 1976 diacu dalam Rodriguez Garcia, 2002). Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar pendapatan yang akan diperoleh.
Pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Pada pasar tenaga kerja formal,
startifikasi jenjang pendidikan sangat menentukan jenjang pekerjaan yang diperoleh. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula peluang untuk memperoleh jenjang perkerjaan yang tinggi. Walaupun tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin untuk mendapat pekerjaan dengan upah yang tinggi, namun tingkat pendidikan yang diperoleh merupakan salah satu faktor yang nyata untuk menghindarkan diri dari kemiskinan. Arah kausalitas dari pendidikan dan kemiskinan adalah seperti lingkaran setan. Pendidikan yang rendah dapat menyebabkan kemiskinan dan sebaliknya kemiskinan dapat menyebabkan pendidikan menjadi rendah. Kemiskinan akan berhubungan dengan perolehan tingkat pendidikan yang rendah. Selanjutnya tingkat pendidikan formal yang rendah berkaitan dengan pekerjaan berupah rendah. Pendapatan yang rendah pada akhirnya akan menyebabkan kehidupan yang tidak memadai. Mereka akan kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-
71
anaknya.
Dengan pendidikan yang rendah anak akan meneruskan rantai
kemiskinan yang telah ada. Dapat dilihat bahwa terjadi lingkaran kemiskinan. Pendidikan mempunyai hubungan negatif yang kuat dengan kemiskinan karena terkait dengan upah yang diterima. Hasil penelitian Appleton (2001) di Uganda menyimpulkan bahwa rata-rata upah yang diterima oleh pekerja yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan, pekerja dengan pendidikan perguruan tinggi mendapatkan upah 5 kali lipat dari pekerja dengan tamatan Sekolah Dasar. Hasil regresi menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan sangat nyata terhadap kemiskinan kecuali pada tingkat pendidikan tamat SD (dengan KRT berpendidikan tidak tamat SD sebagai referensi). Peluang menjadi miskin di DKI Jakarta untuk masing- masing tingkatan pendidikan adalah sebagai berikut : (a) Peluang menjadi miskin rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMP adalah 0,658 kali dibandingkan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko menjadi miskin 1/0,658= 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpend idikan SMP. (b) Peluang menjadi miskin rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMA ke atas adalah 0,296 kali dibandingkan dengan KRT yang tidak tamat SD. Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko menjadi miskin 1/0,296 = 3,4 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMA ke atas. Peluang menjadi miskin untuk rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tidak tamat SD relatif sama jika dibandingkan dengan yang berpendidikan tamat SD. Hasil regresi di RW tidak kumuh menunjukkan bahwa peluang menjadi miskin dari rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tamat SD dan tamat SMP menjadi tidak nyata jika dibandingkan dengan peluang dari KRT yang berpendidikan tidak tamat SD. Sedangkan peluang menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMTA ke atas adalah 0,299 kali jika dibandingkan dengan dengan KRT yang tidak tamat SD.
Sebaliknya
rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD mempunyai resiko menjadi
72
miskin 1/0,299= 3,3 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMTA ke atas. Kondisi di RW kumuh menunjukkan bahwa peluang menjadi miskin dari rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang berpendidikan tamat SD tidak nyata jika dibandingkan dengan peluang dari KRT yang berpendidikan tidak tamat SD. Sedangkan peluang menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMP ke atas adalah 0,570 kali jika dibandingkan dengan dengan KRT yang tidak tamat SD.
Sebaliknya rumahtangga dengan KRT yang tidak tamat SD
mempunyai resiko menjadi miskin 1/0,570= 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMP. Resiko peluang menjadi miskin dari KRT yang tidak tamat SD jika dibandingkan dengan yang KRT berpendidikan SMTA ke atas adalah 1/0,292 = 3,4 kali lebih besar. Dapat dikatakan bahwa berpendidikan SMP tidak berbeda dengan yang berpendidikan SD, sehingga dapat dipahami apabila pemerintah menetapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang mencakup pendidikan tingkat SD dan SMP. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Appleton, maka pendidikan di DKI Jakarta mempunyai pengaruh negatif yang sangat nyata terhadap kemiskinan. Pengaruh pendidikan terhadap peluang menjadi miskin disajikan pada Gambar 4.6-1, 4.6-2, dan 4.6-3. Asumsi yang digunakan dalam gambar ini adala h KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
73
1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Pendidikan KRT tdk tamat sd
.4
sd .2
smp
0.0
sma+ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.6-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT Di DKI Jakarta 2004
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Pendidikan KRT .4 tdk tamat sd sd .2 smp 0.0
sma+ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
13
Banyak art
Gambar 4.6-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT di RW Tidak Kumuh 2004
74
1.0
Probabilitas menjadi miskin
.8
.6
Tkt Pendidikan KRT .4 tdk tamat sd sd .2 smp 0.0
sma+ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.6-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Tingkat Pendidikan KRT Di RW Kumuh 2004 Faktor-faktor
penyebab kemiskinan berdimensi pendidikan rendah yang
berkaitan dengan kebijakan publik adalah (1) ketidakmampuan pejabat publik untuk memberikan daya tampung sekolah yang memadai, (2) tidak adanya jaring pengaman untuk murid tetap mampu bersekolah walaupun kesulitan ekonomi keluarga, dan (3) transportasi publik yang tidak aman dan terbelit. Dampaknya terhadap dimensi kemiskinan lainnya adalah (1) ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan, (2) kurangnnya kegiatan konstruktif untuk anak-anak usia sekolah, yang dapat meningkatkan kreativitas anak, dan (3) ketimpangan jender yang berkelanjutan (publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan, 2003) 4.5.5. Kemiskinan dan Umur Hubungan antara peubah boneka umur KRT (umur muda sebagai referensi) dengan kemiskinan adalah negatif.
Usia KRT mempunyai pengaruh negatif
terhadap kemiskinan namun pengaruhnya tersebut tidak nyata.Di DKI Jakarta semakin tua umur KRT semakin memperkecil peluang rumahtangga tersebut menjadi miskin.
Kondisi di RW tidak kumuh menunjukkan bahwa umur tua
(age_tua) berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. KRT yang berumur muda mempunyai resiko menjadi miskin 1/0,316 = 3,2 kali lebih besar dibanding
75
dengan KRT yang berumur tua.
Penelitian Fajariyanto (2002) diacu dalam
Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase rumahtangga miskin akan semakin bekurang. Kondisi di RW kumuh sedikit berbeda, hubungan peubah boneka umur KRT (umur muda sebagai referensi) dengan kemiskinan adalah positif. Artinya KRT yang berumur mapan dan tua berpeluang menjadi miskin lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berumur muda.
Diduga KRT yang berumur muda lebih mampu untuk berusaha
dibandingkan dengan yang yang berumur mapan dan tua sehingga resiko menjadi miskin lebih rendah, namun hal ini perlu untuk diteliti lebih lanjut. Pengaruh tidak nyata dari umur KRT secara lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 4.7-1, 4.7-2 dan 4.7-3.
Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT
perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata. 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Kel Umur KRT .4 muda .2 mapan 0.0
tua 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.7-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di DKI Jakarta 2004
76
1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
Kel Umur KRT
.4
muda .2
mapan
0.0
tua 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
Banyak art
Gambar 4.7-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di RW Tidak Kumuh 2004
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Kel Umur KRT muda
.2 mapan 0.0
tua 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.7-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Umur KRT di RW Kumuh 2004 4.5.6. Kemiskinan dan proporsi jumlah art di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun Anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun dikatakan sebagai anggota rumahtangga yang menjadi beban tanggungan.
Rasio beban
77
tanggungan (dependency ratio) adalah rasio dari jumlah anggota rumahtangga di bawah usia 15 tahun dan di atas 64 tahun terhadap anggota rumahtangga usia 1564 tahun. Usia tersebut dianggap sebagai beban tanggungan karena mereka belum aktif secara ekonomi atau sudah tidak aktif lagi secara ekonomi. Semakin besar proporsi anggota rumahtangga yang masuk dalam katagori beban tanggungan, maka diduga semakin besar pula peluang rumahtangga menjadi miskin. Estimasi logistik menunjukkan bahwa proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun (um_1564) mempunyai pengaruh sangat nyata pada taraf 99 persen terhadap kemiskinan dengan estimasi parameter sebesar 0,010. Pengaruh peubah um_1564 terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Dengan asumsi bahwa peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri maka nilai efek marjinal dari peubah um_1564 adalah 0,19 persen.
Arti dari nilai ini adalah peningkatan
proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun sebesar satu persen makan akan menaikkan resiko menjadi miskin sebesar 0,19 persen. Pengaruh peubah ini relatif rendah terhadap kemiskinan rumahtangga. Kondisi yang hampir sama terjadi pula di RW tidak kumuh dan RW kumuh dimana kenaikan satu persen proporsi jumlah anggota rumahtangga di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun akan meningkatkan resiko menjadi miskin 0,28 persen di RW tidak kumuh dan 0,08 persen di RW kumuh. 4.5.7. Kemiskinan dan proporsi anggota rumahtangga yang bekerja Telah diutarakan pada bagian terdahulu bahwa pekerjaan berpengaruh pada kemiskinan. Pendapatan yang diterima dari pekerjaan akan menjadikan suatu rumahtangga masuk ke dalam perangkap kemiskinan atau terlepas dari perangkap tersebut. Semakin besar pendapatan yang diterima dari pekerjaan maka semakin kecil peluang rumahtangga menjadi miskin.
Besarnya pendapatan tersebut
dipengaruhi pula oleh banyaknya anggota rumahtangga yang bekerja. Sehingga
78
proporsi anggota rumahtangga yang bekerja pun akan berkorelasi dengan kemiskinan. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa proporsi anggota rumahtangga yang bekerja (proker) berpengaruh negatif secara nyata hingga tingkat kepercayaan 99 persen terhadap kemiskinan. Semakin tinggi proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka semakin kecil peluang rumahtangga menjadi miskin. Sebagai peubah kontinu, maka pengaruh peubah proker terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Asumsi yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek marjinal yang dihasilkan adalah -0,49 persen yang artinya adalah setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah menurun sebesar 0,49 persen. Di RW tidak kumuh penurunan resiko kemiskinan akibat penambahan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja adalah sebesar 0,67 persen sedangkan di RW kumuh sebesar 0,22 persen. 4.5.8. Kemiskinan dan proporsi pengeluaran bahan bakar minyak (bbm) Salah satu kebijakan pemerintah yang selalu dihubungkan dengan kemiskinan adalah kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM). Harga minyak dunia yang semakin tinggi menambah beban keuangan negara sehingga terjadi defisit anggaran. Salah satu upaya untuk mengurangi defisit anggaran adalah dengan mengurangi subsidi BBM. Dampak dari pencabutan subsidi ini akan
terasakan
sangat
berat
oleh
rumahtangga
berpendapatan
rendah.
Peningkatan harga BBM akan meningkatkan laju inflasi sehingga akan mengurangi daya beli mereka. Hasil penelitian Oktaviani et al (2004) menyatakan bahwa dari sisi konsumsi pentingnya subsidi BBM dapat dilihat dari andil komoditi ini terhadap konsumsi rumahtangga. Sebagai input antara BBM mempunyai andil besar pada konsumsi rumahtangga sehingga memberikan indikasi bahwa subsidi BBM sangat
79
penting.
Pentingnya konsumsi BBM dapat pula didekati dari komoditi yang
konsumsi BBM cukup besar sebagai input antara yaitu perikanan dan transportasi. Dalam kasus ini perikanan dan transportasi mempunyai andil yang besar terhadap pengeluaran rumahtangga. Hasil penghitungan Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 1999 yang dilakukan oleh Oktaviani el al (2004) menunjukkan bahwa rumahtangga yang mengkonsumsi BBM terbesar adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan. Hal ini yang dilihat oleh pemerintah dimana subsidi lebih banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi. Pemerintah berupaya agar dampak pengurangan subsidi BBM yang dirasakan oleh rumahtangga kurang mampu sedikit berkurang dengan adanya dana kompensasi BBM bagi masyarakat tidak mampu. Dana kompensasi ini diantaranya disalurkan untuk dana pendidikan dan kesehatan, dan pada tahun 2005 dana kompensasi akan disalurkan berupa dana tunai kepada masyarakat miskin secara langsung. Klaim LPEM UI soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia akan meningkat dari 16,2 persen menjadi 16,5 persen. Namun apabila terjadi transfer terhadap rumahtangga miskin akibat adanya kompensasi BBM pada rumahtangga miskin, maka tingkat kemiskinan akan menurun karena banyak rumahtangga miskin yang dapat keluar dari kemiskinan.
Walaupun ada sebagian masyarakat yang berada sedikit diatas
ambang kemiskinan yang jatuh menjadi miskin.
Hasil simulasi tersebut
menyatakan bahwa secara logis mengingat distribusi subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok keluarga mampu, sehingga pencabutan subsidi akan memperbaiki distribusi pendapatan, tetapi meningkatkan kemiskinan. Pencabutan subsidi dengan kompensasi akan memperbaiki distribusi pendapatan, sekaligus penurunan kemiskinan1 . Pelaksanaan dari kompensasi BBM ini masih belum menunjukkan hasil yang nyata terhadap penurunan kemiskinan. Namun pengaruh pengeluaran BBM terhadap kemiskinan sudah dapat dilihat berdasarkan hasil regresi logisitik dimana proporsi pengeluaran BBM terhadap total pengeluaran (p_bbm)berpengaruh positif secara nyata terhadap kemiskinan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Seperti halnya dengan peubah kontinu lainnya maka pengaruh peubah p_bbm
1
Ikhsan Kajian LPEM soal Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan. http://www.kompas.com/kompascetak/0503/16/ekonomi/1619707.htm [16 Mar 2005]
80
terhadap kemiskinan didekati dengan nilai efek marjinal dari peubah ini. Asumsi yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek marjinal yang dihasilkan adalah 1,51 persen yang artinya adalah setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah meningkat sebesar 1,51 persen. Efek marjinal peubah p_bbm di RW tidak kumuh adalah sebesar 2,10 persen artinya setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah meningkat sebesar 2,10 persen.
Pengaruh
kenaikan peubah p_bbm sebesar satu persen terhadap kemiskinan di RW kumuh relatif lebih yaitu hanya 0,58 persen.
Seperti yang telah disebutkan oleh
Oktaviani el al (2004) bahwa rumahtangga yang mengkonsumsi BBM terbesar adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan. Di duga mereka akan lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh, ketergantungan mereka terhadap BBM diduga menyebabkan mereka mempunyai resiko yang lebih besar terhadap kemiskinan. 4.4.9
Kemiskinan dan proporsi pengeluaran untuk makanan. Proporsi pengeluraran terhadap makanan sering digunakan sebagai satu
indikator dari kesejahteraan sebab hubungan yang menurun antara pendapatan dan proporsi pengeluaran terhadap makanan (kurva Engle) (Pritchett, 2003). Semakin besar tingkat pendapatan maka semakin kecil pengeluaran untuk makanan. Sehingga rumahtangga tangga yang mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang cukup besar adalah rumahtangga miskin. Besley dan Burgess (2003) yang diacu dalam Pritchett (2003) menyatakan bahwa pada tahun 19931994 proporsi pengeluaran untuk makanan pada penduduk miskin di India adalah 73 persen. Hasil regresi logistik mendukung keterkaitan antara proporsi pengeluaran untuk makanan (p_mkn) dengan kemiskinan. Pada taraf nyata 99 persen, proporsi
81
pengeluaran terhadap makanan berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran terhadap makanan maka semakin besar peluang rumahtangga menjadi miskin. Pengaruh peubah p_mkn terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Asumsi yang digunakan adalah peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri. Nilai efek marjinal yang dihasilkan adalah 0,88 persen yang artinya adalah setiap kenaikan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja maka resiko kemiskinan adalah meningkatkan sebesar 0,88 persen.
Di RW tidak kumuh peningkatan
resiko kemiskinan akibat penambahan satu persen proporsi anggota rumahtangga yang bekerja adalah sebesar 1,02 persen sedangkan di RW kumuh sebesar 0,41 persen. 4.4.10.. Kemiskinan dan kondisi tempat tinggal Masalah kemiskinan selain berkaitan dengan peubah-peubah di atas juga berkaitan dengan kondisi tempat tinggal. Dari 7 kriteria yang digunakan untuk penentuan rumahtangga miskin di DKI Jakarta, 4 kriteria diantaranya adalah kriteria yang berkaitan dengan tempat tinggal.
Kondisi tempat tinggal dapat
mencirikan rumahtangga miskin adalah (a) luas lantai per kapita (d_lt), (b) jenis lantai (j_lt), (c) fasilitas jamban (d_jbn), (d) fasilitas air bersih (d_air) dan (e) status kepemilikan rumah (rmh). Tempat tinggal yang layak sangat penting untuk meningkatkan peranan rumah sebagai asset produktif. Rumah dapat digunakan untuk
mencari
penghasilan
melalui
penyewaan kamar
ataupun
untuk
melaksanakan industri rumahtangga. Di DKI Jakarta rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk terjadi pada rumah dengan luas lantai per kapita <8m2 , dengan peluang 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai per kapita lebih luas. Peluang yang hampir sama terjadi pula di RW tidak kumuh, namun di RW kumuh peluangnya relatif lebih rendah yaitu 2,34 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai per
82
kapita lebih luas. Peranan peubah d_lt dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 4.8-1 – 4.8-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata. 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Luas lantai/kapita .2
>= 8 m2
0.0
< 8 m2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 13
Banyak art
Gambar 4.8-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di DKI Jakarta 2004
Probabilitas menjadi miskin
1.2
1.0
.8
.6
.4
Luas lantai/kapita .2
>= 8 m2
0.0
< 8 m2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Banyak art
Gambar 4.8-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di RW Tidak Kumuh 2004
83
.7
Probabilitas menjadi miskin
.6
.5
.4
.3
.2
luas lantai kap
.1
>= 8 m2
0.0
< 8 m2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.8-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Luas Lantai Per Kapaita di RW Kumuh2004 Peubah j_lt dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 95 persen.
Rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk
terjadi pada rumah berlantai tanah, dengan peluang 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berlantai bukan tanah. Peluang yang yang terjadi di RW tidak kumuh jauh lebih besar yaitu 2,9 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan tanah. Namun di RW kumuh tidak mempunyai pengaruh nyata dalam memprediksi status kemiskinan, kondisi ini terlihat lebih jelas dalam Gambar 4.93. Peranan peubah j_lt dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 4.9-1 – 4.9-3. Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, luas lantai per kapita <8m2 , bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
84
1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Jenis Lantai .2
bukan tanah
0.0
tanah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.9-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di DKI Jakarta 2004
1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Jns lantai .2
bukan tanah
0.0
tanah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Banyak art
Gambar 4.9-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di RW Tidak Kumuh 2004
85
Probabilitas menjadi miskin
.5
.4
.3
.2
Jenis lantai .1 bukan tanah 0.0
tanah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.9-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Lantai Tempat Tinggal di RW Kumuh 2004 Peubah prediktor d_jbn mempunyai kaitan kuat dalam memprediksi status kemiskinan di DKI Jakarta.
Rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk
terjadi pada rumahtangga yang tidak mempunyai akses terhadap jamban adalah 3,3 kali lebih besar dari pada yang punya akses. Peubah d_jbn dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 95 persen di RW kumuh dimana rumahtangga miskin mempunyai peluang untuk terjadi pada rumahtangga yang tidak mempunyai akses terhadap jamban adalah 3,5 kali lebih besar dari pada yang punya akses. Sedangkan di RW tidak kumuh, peubah d_jbn dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga pada taraf nyata 91 persen. Peranan peubah d_jbn dalam memprediksi status kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 4.10-1 – 4.10-3.
Asumsi dari gambar tersebut adalah KRT
perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, , mempunyai akses terhadap air bersih, luas lantai per kapita lebih <8m2 , berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
86 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Akses thd jamban .2
punya
0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
13
Banyak art
Gambar 4.10-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di DKI Jakarta 2004 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Akses thd jamban .2
punya
0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
13
Banyak art
Gambar 4.10-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di RW Tidak Kumuh 2004
Probabilitas menjadi miskin
.5
.4
.3
.2
Akses thd jamban .1 punya 0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.10-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Jamban di RW Tidak Kumuh 2004
87
Peubah d_air tidak dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga. Akses terhadap air bersih tidak relevan untuk dijadikan sebagai prediktor dari rumahtangga miskin untuk DKI Jakarta.
Rumahtangga dengan
akses terhadap air bersih mempunyai resiko yang tidak berbeda untuk menjadi miskin.
Hal ini disebabkan akses terhadap air bersih relatif mudah karena
tersedianya hidran- hidran umum dan penjaja air pikulan bagi yang tidak punya fasilitas air bersih sendiri. Kond isi ini dapat dilihat pada Gambar 4.11-1 – 4.11-3 dengan asumsi KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata. 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Akses thd air bersih .2 punya 0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Banyak art
Gambar 4.11-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di DKI Jakarta 2004 1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Akses thd air bersih .2
punya
0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13
Banyak art
Gambar 4.11-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di RW Tidak Kumuh 2004
88
Probabilitas menjadi miskin
.5
.4
.3
.2
Akses thd air bersih .1 punya 0.0
tidak punya 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.11-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Akses Terhadap Air Bersih di RW Kumuh 2004 Peubah rmh tidak dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga di DKI Jakarta secara keseluruhan dan di RW tidak kumuh. Di RW tidak kumuh banyak perumahan dinas yang tidak dimiliki oleh rumahtangga yang menghuninya sehingga dapat dipahami apabila status kepemilikan rumah tidak dapat memprediksi resiko untuk menjadi miskin. Kondisi berbeda terjadi di RW kumuh dimana peubah ini dapat memprediksi secara nyata status kemiskinan rumahtangga, rumahtangga yang tidak mempunyai rumah sendiri disebabkan keterbatasan ekonomi.
Peranan peubah
rmh dalam memprediksi stastus
kemiskinan rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 4.12-1 – 4.12-3 dengan asumsi dari gambar adalah KRT perempuan, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan tidak tamat SD, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, berlantai bukan tanah, mempunyai akses terhadap air bersih, untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.
89
Probabilitas menjadi miskin
1.2
1.0
.8
.6
.4
Status Rumah .2
bukan milik sendiri
0.0
milik sendiri 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Banyak art
Gambar 4.12-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di DKI Jakarta 2004
1.2
Probabilitas menjadi miskin
1.0
.8
.6
.4
Status rumah .2
bukan milik sendiri
0.0
milik sendiri 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Banyak art
Gambar 4.12-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di RW Tidak Kumuh 2004
90
Probabilitas menjadi miskin
.5
.4
.3
.2
Status rumah .1 bukan milik sendiri 0.0
milik sendiri 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Banyak art
Gambar 4.12-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kepemilikan Rumah di RW Kumuh 2004 Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan (2003) menyebutan bahwa dimensi kerawanan/ketidakamanan tempat tinggal dan pribadi mempunyai faktor- faktor penyebab yang berkaitan dengan kebijakan publik yaitu (1) kebijakan agraria tidak memadai bagi warga miskin untuk mengaksesnya, (2) kurangnnya akses terhadap kredit perumahan bagi warga miskin, (3) kurangnya lapangan kerja, jasa-jasa pelayanan publik dan modal sering menyulut kriminalitas di beberapa kantong kemiskinan perkotaan, dan (4) kurangnnya kebijakan dan program jaring pengaman.
Dampaknya terhadap
dimensi kemiskinan lainnya adalah (1) penggusuran/pengusiran pemukiman yang menyebabkan hilangnnya modal fisik, merusak jaringan sosial dan menurunkan rasa aman, (2) hilangnya kemampuan untuk penyewaan rumah sebagai sumber penghasilan, (3) menurunnya kesehatan fisik dan mental dan pendapatan rendah, dan (4) menurunnya modal sosial, seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi sosial. 4.6. Ikhtisar Kemiskinan menjadi salah satu perhatian utama dari Pemprov DKI Jakarta. Setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998 angka kemiskinan di DKI menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 4,96 persen pada tahun 2000. Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik tingkat nasional maupun lokal telah dapat
91
menurunkan angka kemiskinan menjadi 2,95 persen pada tahun 2001. Setelah itu angka kemiskinan relatif stabil berkisar pada point 3 persen. Secara spasial yaitu kawasan kumuh dan tidak kumuh, angka kemiskinan menunjukkan perbedaan yang cukup nyata yaitu 4,52 persen di RW kumuh dan 2,48 persen di RW tidak kumuh. Rumahtangga miskin banyak ditemui dengan karakteristik seperti dikepalai oleh perempuan, jumlah anggota rumahtangganya banyak (6 orang atau lebih), tingkat pendidikan KRT paling tinggi SD, KRT bekerja di sektor informal, dan sebagai tenaga usaha jasa. Mereka tinggal di rumah yang berluas lantai < 8 m2 , berlantai tanah, dan tidak punya akses terhadap jamban. Kedalaman kemiskinan yang terjadi di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh.
Jarak rata-rata kesenjangan
pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu sebesar 0,41 persen. Sementara itu indeks keparahan kemiskinan di RW kumuh maupun tidak kumuh hampir sama yaitu sekitar 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa penduduk miskin baik di RW kumuh maupun yang tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran penduduk miskin. Distribusi pendapatan di RW kumuh lebih merata dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Kondisi ini terjadi karena di lokasi RW kumuh lebih “merata dalam kemiskinan”. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa di DKI Jakarta faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan secara nyata dan bersifat positif adalah KRT perempuan, besaran art, KRT setengah pengangguran, proporsi art usia < 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita < 8m2, jenis lantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban.
Sedangkan yang berpengaruh nyata secara negatif adalah
peubah KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana,
sebagai
penerima
pendapatan,
KRT
berpendidikan
berpendidikan SMTA ke atas dan proprosi art yang bekerja.
SMP,
Sementara itu
beberapa peubah tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kemiskinan
92
yaitu status rumah sendiri, tidak punya akses terhadap air bersih, KRT bekerja sebagai tenaga lainnya, KRT berpendidikan SD, KRT berusia mapan, dan berusia tua. Peubah-peubah di atas memberikan pengaruh yang berbeda baik di RW tidak kumuh maupun RW kumuh. Di RW tidak kumuh KRT perempuan, besaran art, KRT setengah pengangguran, proporsi art usia < 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita < 8m2, jenis lantai tanah memberikan pengaruh yang nyata secara positif terhadap kemiskinan rumahtangga. Peubah-peubah yang memberikan pengaruh nyata secara negatif adalah KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana, sebagai penerima pendapatan, KRT berpendidikan SMTA ke atas dan proprosi art yang bekerja. Beberapa peubah yang tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kemiskinan di RW tidak kumuh adalah KRT sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga lainnya, KRT berpendidikan SD, berpendidikan SMP, KRT usia mapan, tidak punya akses terhadap jamban, status rumah sendiri, dan tidak punya akses terhadap air bersih. Pengaruh peubah-peubah tersebut terhadap kemiskinan di RW kumuh adalah sebagai berikut : peubah-peubah besar art, proporsi art usia < 15 dan 64 ke atas, proporsi pengeluaran terhadap BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, luas lantai per kapita < 8m2, jenis lantai tanah, tidak punya akses terhadap jamban mempunyai pengaruh nyata secara positif, peubah-peubah KRT sebagai penerima pendapatan, KRT berpendidikan SMP, berpendidikan SMTA ke atas, proporsi art yang bekerja, dan status rumah sendiri mempunya i pengaruh nyata secara negatif. Peubah-peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan semakin banyak yaitu KRT perempuan, KRT sebagai tenaga usaha penjualan, sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar, sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana, sebagai tenaga lainnya, KRT setengah pengangguran, KRT berpendidikan SD, KRT usia mapan, usia tua, jenis lantai tanah, dan tidak punya akses terhadap air bersih.
V. PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DKI JAKARTA 5.1. Program Penangulangan Kemiskinan Yang Telah Dilakukan 5.1.1. Program Penanggulangan Kemiskinan Di DKI Jakarta Kemiskinan adalah permasalahan global bukan hanya permasalahan negaranegara sedang berkembang.
Masalah ini mendapat perhatian global termasuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa dimana pada tahun 2000 seluruh anggota PBB membuat Dekralasi Milenium PBB ( United Nation Millennium Declaration) yang salah satu isinya adalah menghilangkan kemiskinan. Deklarasi ini kemudian dijabarkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang berisi 8 tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan yang pertama dari MDGs adalah menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang esktrim.
Target yang ingin
dicapai adalah mengurangi setengah dari proporsi penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dollar per hari dan mengurangi setengah proporsi penduduk yang menderita kelaparan. Millennium Development Goals yang merupakan kesepakatan global dilaksanakan pula Indonesia dan khsususnya di DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu ditingkatkan pemahaman mengenai penyebab kemiskinan. Secara makro penyebab kemiskinan di DKI Jakarta adalah kesempatan kerja yang berbatas, askses terbatas terhadap sumber-sumber finansial dan non perbankan, dan banyaknya migran dengan ketrampilan yang rendah.
Kesempatan yang
terbatas terkait dengan kondisi perekonomian di DKI Jakarta. Laju pertumbuhan ekonmi yang tinggi diharapkan mampu mendorong terciptanya kesempatan kerja. Namun sering dicurigai bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern (Todaro dan Smith, 2003). Laporan Bank Dunia tahun 1990 diacu dalam Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa diskusi mengenai kebijakan yang berkenaan dengan golongan miskin biasanya berfokus kepada trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan. Namun telaah terhadap pengalaman berbagai negara menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut bukanlah suatu trade-off yang dapat diatasi. Dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka
94
dapat melaksanakan hal tersebut, penurunan tingkat kemiskinan yang cepat akan konsisten dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Apabila dilihat keterkaitan antara laju pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin di DKI Jakarta (Gambar 5.1), maka kondisi di DKI Jakarta mendukung kecurigaan terpinggirkannya penduduk miskin akibat perubaha n struktural pertumbuhan ekonomi. 6 5
5,24 4,96 4,39
4,33 4
3,99 3,64
3
3,42
3,42
2,95
3,18
2 2000
2001
2002
2003
2004
% penduduk miskin pertumbuhan ekonomi
Gambar 5.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta tahun 2000-2004. Selama tahun 2000-2004, pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi oleh persentase penduduk miskin yang tinggi kecuali pada tahun 2004. Pada tahun 2004, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun 2003 tidak dibarengi dengan peningkatan persentase penduduk miskin, sebaliknya
persentase
penduduk
miskin
menunjukkan
penurunan
jika
dibandingkan dengan tahun 2003. Seperti yang dinyatakan oleh Bank Dunia bahwa penurunan kemiskinan yang cepat akan konsisten dengan pertumbuhan yang berkelanjutan apabila golongan miskin ikut berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan.
Batasan kemiskinan mengacu
kepada hasil Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) tahun 1995 dikatakan sebagai wujud yang majemuk,
95
termasuk rendahnya tingkat pendidikan, dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan kesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan akses kepada pendidikan; dan layanan- layanan pokok lainnya; kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman dan diskriminatif serta keterasingan sosial. Dari batasan tersebut dapat dilihat bahwa masalah kemiskinan bukan merupakan masalah
satu
sektor
saja
melainkan
multisektoral,
sehingga
dalam
penanggulangannya perlu dilakukan koordinasi berbagai sektor. Secara nasional penanggulangan kemiskinan dikukuhkan dalam Keppres Nomor 124 Tahun 2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 104/MEN/2002 yang menyatakan bahwa tentang Penanggulangan Kemiskinan harus dilakukan secara koordinatif antara semua instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Menindaklanjuti Keputusan Presiden tersebut, maka di DKI Jakarta dibentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan melalui Keputusan Gubernur Nomor 1582/2002.
Komite yang terdiri dari berbagai instansi terkait ini
mempunyai tugas pokok yang salah satunya adalah meningkatkan keberhasilan penanggulangan kemiskinan di ProvinsiDKI Jakarta antara lain melakukan langkah-langkah nyata untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan Keputusan Gubernur Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penangulangan Kemiskinan di ProvinsiDaerah Khusus Ibukota Jakarta. Strategi induk penanggulangan kemiskinan di ProvinsiDKI Jakarta adalah mendorong terciptanya lembaga keuangan mikro profesional berbasis non kolateral di tingkat kelurahan sebagai institusi yang diharapkan dapat mendorong peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatan sekaligus akses terhadap sumberdaya ekonomi.
Strategi ini
dilkasukan melalui dua pendekatan yaitu (a) community empowerment dan capacity building dan (b) social protection. Community
empowerment
dan
capacity
building
adalah
upaya
meningkatkan pendapatan melalui produktivitas dengan penguatan kemampuan
96
masyarakat miskin dalam pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk membentuk hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sedangkan social protection adalah upaya untuk mengurangi pengeluaran masyarakat melalui pemberian subsidi dan bantuan untuk pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah mendukung kegiatan sosial ekonomi. Untuk mencapai strategi induk diperlukan strategi penunjang yaitu : 1. pengembangan basis data dan indikator penetapan penduduk miskin sesuai dengan kondisi faktual DKI Jakarta sehingga diperoleh pemetaan dan indetifikasi masalah kemiskinan yang komprehensif sebagai dasar berbagai program intervensi penanggulangan kemiskinan. 2. pengembangan “multi purposes card” penduduk miskin sebagai mekanisme wujud perlindungan sosial yang menjamin ketetapan pemberian subsidi dan bantuan dalam upaya peningkatan akses penduduk miskin kepada pelayanan kebutuhan dasar yang bersifat langsung seperti pendidikan, kesehatan serta layanan dasar lainnya. 3. pembentukan jejaring kerja (networking) antara pemerintah, legislatif, dunia usaha dan berbagai stakeholder lainnya guna mendukung keterpaduan program penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi yang meliputi aspek-aspek: pendidikan, kesehatan, ekonomi, subsidi, fisik lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial. Berbagai program aksi telah dilaksanakan untuk aspek-aspek tersebut. Khusus untuk aspek subsidi, beberapa program yang telah dilaksanakan adalah bantuan beras miskin (beras miskin), bantuan besa siswa/mahasiswa kurang mampu, dan bantuan air bersih. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2004 telah mengalokasikan sekitar 884 milyar rupiah (Tabel 5.1). Alokasi tertinggi adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya termasuk Program Pemberdayaan Masyarakat Keluarahan (PPMK). Selain pemberdayaan masyarakat, sektor yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan adalah bidang pendidikan dan kesehatan.
Salah satu cara untuk memutuskan rantai
97
kemiskinan rumahtangga adalah dengan meningkatkan pendidikan anggota rumahtangga sehingga mereka berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tabel 5.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004 Usaha Kecil Menengah dan Koperasi Rp. 26,002,000,000 Permukiman Rp. 4,045,665,000 Perindustrian Rp. 310,000,000 Pariwisata Rp. 50,000,000 Peternakan dan Perikanan Rp. 1,184,000,000 Pendidikan Rp. 267,987,835,000 Pemberdayaan masyarakat Rp. 359,550,000,000 Peran serta dan rehabilitasi sosial Rp. 3,309,484,000 Ketenagakerjaan Rp. 1,337,500,000 Pemerintahan Rp. 3,809,663,000 Kependudukan dan Keluarga Berencana Rp. 8,141,939,088 Pemakaman Rp. 752,400,000 Kesehatan Rp. 207,632,069,100 884,112,555,188 Sumber : Bapeda Pemprov DKI Jakarta
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) adalah program yang digulirkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk memberdayakan masyarakat yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik melalui lembaga kemasyarakatan yang ada di Kelurahan, dnegan menyediakan bantuan langsung masyarakat.
Pelaksanaan PPMK
mengacu pada pelaksanaan P2KP Bantuan langsung dilaksanakan dengan pendekatan Tribina yaitu bina ekonomi, bina sosial, dan bina fisik lingkungan. Alokasi dana PPMK untuk bina ekonomi adalah sebesar 60 persen berupa dana bergulir, untuk bina sosial dan bina fisik lingkungan masing- masing 20 persen. Di samping itu prinsip-prinsip dari pelaksanaan PPMK ini mengacu pula pada prinsip P2KP seperti demokrasi, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas. Program ini pertama digulirkan pada tahun 2001 dengan pemberian dana 2 milyar pada beberapa kelurahan.
Sejak tahun 2002, seluruh kelurahan
mendapatkan dana PPMK sebesar 250 juta rupiah. Nilai dana PPMK terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 naik menjadi 500 juta rupiah per
98
kelurahan dan pada tahun 2004 menjadi 700 juta rupiah.
Pada tahun 2005
direncanakan setiap keluarahan mendapat dana PPMK sebesar 1 milyar. Penanggulangan kemiskinan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, walaupun
pada
awal
krisis
ekonomi
peran
penanggulangan kemiskinan cukup besar.
pemerintah
pusat
dalam
Pada saat itu berbagai program
penanggulangan kemiskinan digulirkan oleh pemerintah pusat diantaranya adalah Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) dan Program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) yang didukung oleh Bank Dunia. Alokasi dana dari P2KP ini adalah bantuan (pinjaman) modal kerja bergulir kepada perorangan atau keluarga miskin sebagai modal bagi peningkatkan pendapatan yang berkelanjutan, hibah kepada kelompok masyarakat untuk membangun sarana dan prasarana lingkungan sebagai penunjang kegiatan usaha produktif mereka dan biaya lainnya disediakan untuk penyelenggaraan pelatihan keterampilan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penyaluran dana P2KP di DKI Jakarta terakhir dilakukan pada tahun 2001, setelah itu program penanggulangan kemiskinan di basis komunitas dilanjutkan dengan PPMK. Pemerintah ProvinsiDKI Jakarta sangat memperhatikan masalah pendidikan karena pendidikan berpengaruh sangat nyata terhadap kemiskinan. Pendidikan tinggi memberi peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga mereka tetap berada di luar lingkaran kemiskinan.
Program penanggulangan
kemiskinan yang berkaitan dengan masalah kemiskinan telah dilakukan baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun tingkat pendidikan menengah dan tinggi (SMU/K dan PT).
Dana yang disalurkan untuk bidang
pendidikan sebesar 268 milyar rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan diantaranya adalah : (a) Bantuan biaya pendidikan (b) Penyelenggaran SD Wajar (c) Penyelenggaraan Prog.Kejar Paket A dan B (d) Penyelenggaran guru kunjung (e) Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah SD (PMT-AS SD) (f) Pembinaan Keterampilan Menjahit Anak Putus Sekolah
99
(g) Pembinaan dan Bantuan ketrampilan Tata Boga Anak putus sekolah Di samping pendidikan bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan. PRSP Soucebook Bank Dunia yang diacu dalam Irawan (2003) menyebutkan bahwa dampak kondisi kesehatan buruk terhadap dimensi kemiskinan lainnya adalah : (a) Ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan (b) Ketidakmampuan untuk memperoleh pendapan yang memadai (c) Menurunnya kemampuan anak-anak untuk belajar karena sakit (d) Resiko cedera/kecelakaan dan dampaknya yang berkaitan dengan pendapatan, dan (e) Hasil capaian pendidikan ya ng buruk. Dampak yang cukup besar terhadap dimensi kemiskinan lainnya seperti rendahnya tingkat pendapatan dan rendahnya tingkat pendidikan mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk mengalokasikan dana sebesar 207,6 milyar rupiah bagi penanggulangan kemiskinan bidang kesehatan. Kegiatan penanggulangan kemiskian bidang kesehatan diantaranya adalah : (a) Pelayanan Keluarga Miskin (b) Imunisasi Posyandu (c) Intervensi Balita Gizi Buruk (d) Pemberian Makanan Tambahan untuk Balita Gizi Kurang (e) Pemberian Makanan Tambahan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis Kegiatan-kegiatan ini sebagian besar dilaksanankan di Puskesmas, karena Puskesmas adalah pusat pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh rumahtangga miskin. Harga yang relatif terjangkau serta lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal menjadi faktor utama pemilihan Puskesmas sebagai tempat berobat rumahtangga miskin. Faktor utama yang menyebakan rumahtangga terjerat dalam kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah. Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan dana sebesar 26 milyar rupiah untuk membantu usaha kecil dan menengah agar mereka mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah : (a) Bimbingan Teknis usaha kecil dan menengah
100
(b) Bimbingan Konsultasi usaha kecil dan menengah (c) Pembuatan Depo/Warung produk usaha kecil dan menengah 10 lokasi (d) Pembuatan desain dan pengadaan produk usaha kecil dan menengah souvenir khas Jakarta (e) Diklat Kewirausahaan dan manajemen bagi Kelompok usaha kecil dan menengah (f) Pembinaan Teknis Usaha Skala Mikro (g) Pasar Rakyat (h) Pembentukan Usaha Kecil sejenis Bidang kependudukan menjadi perhatian dalam program penanggulangan kemiskinan. Dana yang dialokasikan untuk bidang kependudukan dan keluarga berencana ini sekitar 8 milyar rupiah.
Kegiatan keluarga berencana ditekankan
pada pengadaan alat kontrasepsi dan pelayanan KB bagi akseptor KB yang berasal dari keluarga miskin. Pemprov DKI Jakarta melaksanakan pula program penanggulangan kemiskinan berupa in kind transfer yaitu pemberian subsidi, salah satunya adalah beras murah bagi keluarga miskin (raskin). . Bantuan beras miskin (raskin) adalah penjualan beras murah kepada keluarga miskin, dimana satu keluarga mendapat jatah 20 kg beras dengan harga 1.000 rupiah per kilogram. Bantuan ini dapat mengurangi proporsi pengeluaran rumahtangga untuk makanan, sehingga mereka dapat mengalihkan pengeluran mereka untuk konsumsi non makanan seperti pendidikan ataupun kesehatan. Tabel 5.2 Persentase Rumahtangga menurut Jumlah Beras Miskin Yang Diterima (Kg) Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004
Lokasi Tempat Tinggal RW Tidak Kumuh RW Kumuh Total
Jumlah Beras Miskin Yang Diterima (Kg) Total 1-10 11-20 21-30 31+ % Jml ruta 55.33 26.80 8.25 9.62 100.00 291 44.12 22.06 16.18 17.65 100.00 272 49.91 24.51 12.08 13.50 100.00 563
Sumber : diolah dari data Susenas Kor 2004
Penyaluran 20 kilogram per keluarga pada kenyataannya sulit dilaksanakan, berdasarkan data Susenas 2004 hampir 50 persen rumahtangga penerima beras
101
miskin hanya mendapat jatah kurang dari 10 kg. Tabel 5.2 menyajikan data rumahtangga penerima beras miskin berdasarkan jumlah beras miskin yang diperoleh. Pembagian jatah beras miskin yang tidak sesuai dengan ketentuan ini karena beras yang disediakan Perum Bulog tidak sebanding dengan jumlah orang miskin yang akan dicakup. Di masyarakat sendiri, jika ada program bantuan pemerintah, mereka berbondong-bondong menyatakan diri sebagai orang miskin1 . Tabel 5.3
Persentase Rumahtangga Menurut Harga Beras Miskin Yang Dibayarkan oleh Rumahtangga, DKI Jakarta 2004
Lokasi Tempat Tinggal RW tidak kumuh RW kumuh Total
Harga Beras Miskin Yang Dibayarkan (Rp) <=1000 1050-1500 1550-2900 3000+ 51.89 38.14 4.81 5.15 48.90 32.72 7.35 11.03 50.44 35.52 6.04 7.99
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber : diolah dari data Susenas Kor 2004
Apabila terjadi ketidaksesuaian ketentuan akibat keterbatasan beras, maka hal tersebut dapat dimaklumi. Data Susenas menunjukkan bahwa penyimpangan ketentuan ini tidak hanya terlihat dari jumlah beras yang disalurkan namun juga dari harga beras yang harus dibayarkan oleh rumahtangga.
Separuh dari
rumahtangga penerima beras miskin membayar sesuai ketentuan yaitu 1000 rupiah per kilogram, bahkan ada yang membayar kurang dari 1000 rupiah (Tabel 5.3). Namun rumahtangga lainnya harus membayar 1,5 kali atau bahkan 3 kali dari harga yang telah ditetapkan. Tabel 5.4
Persentase Rumahtangga menurut Kategori Kemiskinan dan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004
RW Tidak Kumuh RW Kumuh Total
Penerima Beras Miskin Ruta Tidak Miskin Ruta Miskin 82.82 17.18 75.74 24.26 79.40 20.60
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber : diolah dari data Susenas Kor 2004
Mengacu pada data Susenas Kor 2004, sebagian besar penerima (79 persen) adalah bukan termasuk rumahtangga miskin (Tabel 5.4). berbeda baik di RW kumuh maupun RW tidak kumuh. 1
Khomsan, A, Pengentasan Kemiskinan, Kail atau Ikan, Kompas 22 Maret 2005
Kondisi ini tidak
Rumahtangga miskin
102
penerima beras miskin hanya 27 persen dari total rumahtangga tangga miskin itu sendiri (Tabel 5.5). Di RW kumuh rumahtangga miskin yang menerima beras miskin sekitar 32 persen lebih tinggi dibandingkan dengan persentase rumahtangga penerima beras miskin di RW kumuh yang hanya mencapai 22 persen. Tabel 5.5
Persentase Rumahtangga Miskin Yang Membeli/Tidak Membeli Raskin menurut Menurut Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004
Lokasi tempat tinggal RW Tidak Kumuh RW Kumuh Total
Tidak Membeli Raskin 77.97 67.49 73.02
Membeli Raskin 22.03 32.51 26.98
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber : diolah dari data Susenas Kor 2004
Banyaknya sumberdaya ekonomi yang tersedia di rumahtangga berpengaruh terhadap tingkat kehidupan yang dapat dinikmati oleh rumahtangga tersebut. Penyediaan lapangan kerja adalah solusi bagi meningkatnya proporsi anggota rumahtangga yang bekerja. Keterbatasan lapangan kerja merupakan salah satu faktor makro yang menyebabkan kemiskinan di DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta telah berupaya untuk meningkatkan lapangan kerja yang tersedia baik melalui penciptaan lapangan kerja baru maupun mendorong penduduk khususnya penduduk miskin untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi mereka sendiri melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja bagi kelompok miskin. Pemberian kredit usaha mikro pada kelompok miskin merupakan salah satu upaya agar masyarakat miskin mampu untuk berdiri sendiri. Tabel 5.6
Penerima Kredit Usaha berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal dan Katagori Kemiskinan, DKI Jakarta 2004
Lokasi tempat tinggal RW tidak kumuh RW kumuh Total
Penerima Kredit usaha Tdk miskin 89.66 91.89 90.53
Miskin 10.34 8.11 9.47
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber : diolah dari data Susenas Kor 2004
Data Susenas Kor 2004 menunjukkan bahwa hanya sedikit rumahtangga sampel yang menerima kredit usaha (Tabel 5.6).
Kredit yang diterima dari
berbagai sumber salah satunya berasal dari program pemerintah melalui PPMK.
103
Dilihat dari penerima kredit, maka kredit usaha sebagian besar disalurkan kepada rumahtangga tidak miskin yaitu sekitar 90 persen. Kredit usaha yang bersumber dari program pemerintah juga lebih banyak disalurkan kepada rumahtangga tidak miskin yaitu sekitar 91,18 persen. Apabila tujuan kredit usaha yang berasal dari pemerintah ini untuk mendorong usaha mikro dari kelompok miskin, maka kondisi faktual yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan tujuan tersebut. Apabila merujuk pada Tabel 5.3-5.6 maka terlihat adanya pelaksanaan penyaluran beras raskin dan kredit usaha yang tidak sesuai dengan aturan. Studi lanjutan perlu dilaksanakan untuk mengetahui mengapa terjadi hal demikian. 5.1.2. Program penanggulangan kemiskinan Di Beberapa Negara Kemiskinan menjadi masalah serius yang selalu dihadapi oleh banyak negara khususnya di negara-negara sedang bekermbang. kemiskinan
maka
negara- negara
pengurangan kemiskinan.
tersebut
Untuk mengatasi masalah
melakukan
berbagai
program
Hasil nyata telah dirasakan di beberapa negara.
Berdasarkan sumber Komisi Sosial Ekonomi untuk Asia Pasifik (ESCAP), insiden kemiskinan di negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan mengalami penurunan yang cukup cepat. Negara yang dapat menurunkan angka kemiskinan dengan sangat luar biasa adalah Malaysia. Pada tahun 2003, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (satu dollar per hari) di Malaysia hanya 0,5 persen sama halnya dengan yang dicapai oleh Korea Selatan. Negara Asia Tenggara lainnya yang cukup berhasil menurunkan angka kemiskinan adalah Thailand, pada tahun 2003 persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 1,6 persen. Negara Asia Timur yang mengalami penurunan kemiskinan yang cukup drastis adalah Cina, dimana penduduk miskin berkurang sebanyak 88,7 persen selama kurun waktu 1978-2002.
Menelaah
program pengurangan kemiskinan di negara-negara tersebut sangat penting untuk memperbaikan program penanggulangan kemiskinan yang telah dan sedang dilaksanakan. a. Malaysia Malaysia adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan yang luar biasa.
Kejadian kemiskinan
104
menurun dengan tajam dari 52,4 persen pada tahun 1970 menjadi 5,5 persen pada tahun 2000.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengurangan angka
kemiskinan ini merupakan hasil dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun penelitian-penelitan lain menyatakan bahwa pengurangan kemiskinan ini bukan hanya hasil petumbuhan ekonomi yang tinggi semata tetapi juga ditunjang oleh usaha pemerintah yang menetapkan
penghapusan kemiskinan sebagai tujuan
utama pembangunan dan menyusun suatu berbagai kebijakan dan program yang bertujuan untuk penghapusan kemiskinan (Abhayaratne, 2004). Pemerintah Malaysia telah menyusun kebijakan pembangunan nasional untuk jangka panjang, menengah dan tahunan. Kebijakan tersebut diklafikasikan dalam tiga bagian
yaitu New Economic Policies (NEP) periode 1970-1990,
National Development Policy (NDP) periode 1991-2000, dan Vision 2020 untuk periode 2001-2020. rencana
Pengurangan kemiskinan menjadi tujuan utama dalam
pembangunan
nasional
sejak
tahun
1970
bersamaan
dengan
dilaksanakannya NEP. Dalam NEP, strategi penghapusan kemiskinan terdiri dari 3 komponen besar yaitu : 1) Meningkatkan
pendapatan
dan
produktivitas
pada
pekerjaan
yang
berproduktivitas rendah melalui perluasan modal produktif dan penggunaan modal secara efisien. Hal ini dicapai dengan cara mengadopsi teknik modern, memperbaiki pemasaran dan kredit, keuangan dan bantuan teknis. 2) Memperbaiki standar hidup dari kelompok yang berpendapatan rendah dengan menyediakan pelayanan sosial secara gratis atau bersubsidi.
Pelayanan
meliputi perumahan, listrik, air, transportasi, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan fasilitas masyarakat. 3) Meningkat kesempatan pergerakan inter sektoral dari yang berproduktivitas rendah ke yang produktivitas tinggi. Untuk menciptakan lapangan kerja maka dilakukan perluasan pada sektor industri modern. Di samping itu kesempatan untuk berkembang diberikan pada sektor-sektor yang berpotensi untuk menyerap tenaga kerja seperti industri skala kecil, konstruksi dan jasa. Penyelenggaraan pendidikan yang baik dan efisien merupakan salah satu strategi untuk penghapusan kemiskinan.
Pendidikan
105
dipandang penting bagi penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan karena dapat memberikan akses pada pekerjaan yang lebih baik. Hasil yang dicapai dari strategi pengurangan kemiskinan pada periode NEP ini adalah penurunan angka kemiskinan dari 52,4 persen pada tahun 1970 menjadi 15 persen pada tahun 1990. Dalam Abhayaratne (2004) dinyatakan bahwa selama periode NDP program anti kemiskinan dipusatkan pada inti kemiskinan. Program ini meliputi beberapa komponen yang dituju yaitu anak-anak, ibu, lanjut usia, dan KRT. Prioritas diberikan pada proyek yang menghasilkan pendapatan, penanaman nilai- nilai positif dan menyediaan bantuan kesejahateraan secara langsung. Proyek-proyek ini berkaitan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan penduduk miskin seperti peningkatan kemampuan bekerja, makanan tambahan bagi anak-anak, dan bantuan pendidikan. Dapat dilihat bahwa pengurangan kemiskinan di Malaysia terkait pula dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengurangi kemiskian.
Pertumbuhan ekonomi di sektor
modern telah memberikan kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat. Penghapusan kemiskinan telah diintegrasikan dengan berbagai kebijakan pembangunan nasional, pemerintah berupaya keras untuk melaksanakan berbagai program yang dapat mengurangi kemiskinan.
Pemerintah Malaysia
menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, karena akan memberikan jalan bagi penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan. Program lain yang dilaksankan adalah peningkatan kualitas hidup penduduk miskin seperti penyediaan pelayanan publik, keindahan, dan infrastruktur. b. Thailand Berdasarkan laporan UNDP, kemiskinan di Thailand telah dapat diturunkan dari 27 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 2002. Keberhasilan Thailand dalam menurunkan tingkat kemiskinan ini tidak terlepas dari pembuatan kebijakan yang bagus, pemerintahan yang demokratis, ketekunan penduduk, investasi publik dalam pelayanan sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh tingkat ekspor yang tinggi, diversifikasi industri, pertanian, pertambangan dan penana man modal asing langsung.
106
Penurunan angka kemiskinan di Thailand telah melampaui target dari Millennium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan setengah angka kemiskinan pada tahun 1990 di tahun 2015. Target MDGs telah dicapai oleh Thailand beberapa tahun yang lalu. Negara ini mempunyai target baru untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi empat persen pada tahun 2009 (dikutip dari laporan UNDP, 2004). Kondisi makroekonomi yang mapan dan program anti kemiskinan yang baik memberikan kontribusi pada penurunan angka kemiskinan.
Program anti
kemiskinan dibedakan menjadi dua bagian yaitu program-program yang ditargetkan (ditujukan untuk membantu penduduk miskin) dan program-program yang tidak ditargetkan (dengan tujuan pembangunan yang lebih luas) (Laporan Bank Dunia, 1996). Laporan Bank Dunia (1996) menyebutkan bahwa beberapa contoh dari program-program pembangunan yang berdampak pada penduduk miskin adalah; Rural Job Creation Program (RJCP) dan Tambon Development Program (TDP). Program-program ini ditujukan untuk menyediakan infrastruktur di pedesaan dan penciptaan kesempatan kerja. Program lainnya yang terkait dengan kemiskinan adalah land reform yaitu mendistribusikan ulang lahan umum dan meningkatkan hak kepemilikan. Di samping itu juga diberikan cash transfer bagi wanita dan anak-anak. Untuk
program-program yang ditargetkan memiliki tiga jenis program
yaitu: 1) cash transfer yaitu pemberian uang secara langsung kepada keluarga-keluarga miskin yang membutuhkan. Setiap bulan diberikan 200 Bath bagi penduduk lanjut usia yang tidak mempunyai penyokong hidup. Selain itu juga tersedia dana bagi desa yang dikelola oleh komite kesejahteraan desa. Dana ini digunakan untuk membantu penduduk miskin di desa tersebut. 2) in kind transfer jenis in kind transfer yang utama adalah pemberian kartu pendapatan rendah (LIC) bagi penduduk miskin.
Kartu ini berguna untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan gratis. Sekitar 20 persen penduduk Thailand menerima
107
kartu ini, dan proporsi ini selalu tetap sejak program ini digulirkan pada tahun 1984. Jenis program in kind transfer lainnya adalah pemberian makan siang bagi murid yang berasal dari keluarga miskin pada tingkat Taman KanakKanak dan Sekolah Dasar. 3) program peningkatan pendapatan menyediakan pinjaman tanpa bunga bagi rumahtangga miskin sehingga mereka dapat berinvestasi pada kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatannya.
Setiap bulan diberikan 280.000 Bath bagi setiap desa.
Rumahtangga yang mempunyai pendapatan kurang dari 5.000 Bath per tahun dapat meminjam tanpa bunga. Pemberian pinjaman bagi penduduk miskin dikelola oleh suatu badan di desa. Badan inilah yang menentukan penerima bantuan, penduduk miskin harus mengajukan proposal tentang usaha yang akan dilakukan dengan menggunakan pinjaman tersebut. Selain menyeleksi penerima bantuan, badan ini memantau pula penggunaan pinjaman tersebut sehingga pinjaman tetap digunakan untuk kegiatan produktif bukan konsumtif. Pengentasan kemiskinan melalui program peningkatan pendapatan ini, selain meningkatkan kualitas hidup penduduk miskin juga memperkuat kelembagaan desa serta memberdayakan organisasi lokal. Salah satu keberhasilan dari program pengentasan kemiskinan di Thailand adalah adanya pemberdayaan pemerintahan lokal (seperti desa dan kecamatan) dengan
membangun
kapasitas
mereka
dalam
meningkatkan
desa/kecamatan dan memutuskan bagaimana pemakaiannya.
penerimaan Pemerintah
Thailand memberikan keleluasaan bagi pemerintahaan lokal untuk menyusun program pembangunan mereka sendiri, dan masyarakat telah menggunakan sumberdaya yang ada dengan bijak untuk mereka sendiri (Laporan Kemiskinan UNDP, 2000). Partisipasi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh penelitian Poapongsakorn et al (2001). Hasil penelitian menyatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat berperan dalam penyusunan rencana pembangunan. Organisasi berbasis komunitas dan organisasi masyarakat adalah organisasi akar rumput yang berasal dari dua sumber. Pertama adalah organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh tokoh informal setempat yang
108
mencoba untuk memecahkan permasalahan dasar di lingkungan mereka. Organisasi jenis ini memandang kemiskinan sebagai gejala dari kurangnya kearifan, dan juga mereka menegaskan bahwa program pengentasan kemiskinan dapat dilakukan me lalui pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan seseorang, koordinasi antar desa dan kepercayaan diri, serta penggunaan sumberdaya secara bijak.
Jenis lainnya dari organisasai berbasis komunitas atau organisasi
masyarakat ini adalah organisasi yang melihat permasalahan mereka sebagai bagian dari permasalahan struktural yang lebih besar seperti ketidakseimbangan kekuasaan dan distribusi yang tidak merata. c. Cina Bank Dunia menyatakan bahwa program penurunan kemiskinan di Cina dapat dijadikan contoh untuk program yang sama di negara-negara lainnya, karena Cina telah dapat menurunkan jumlah penduduk miskin dari 250 juta jiwa pada tahun 1978 menjadi 29,27 juta jiwa pada tahun 20012 . Penduduk miskin di Cina sebagian besar tinggal di perdesaan.
Hu et al (2003) menyatakan bahwa
penurunan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis ini disebabkan beberapa alasan yaitu : (1). Pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan menjadi dasar dari pengurangan kemiskinan Rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun di Cina selama periode 19782002 mencapai 8,1 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini telah dapat meningkatkan PDB per kapita
Cina hanya memerlukan 8,6 tahun untuk
melipatgandakan PDB per kapita jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan Inggris yang memerlukan 56 tahun. Pertumbuhan pendaptan bersih dari petani di Cina selama periode yang sama adalah 7,2 persen dan hal ini yang menjadi penyebab menurunnya jumlah penduduk miskin di Cina secara drastis. (2). Perpindahan besar-besaran tenaga kerja di pedesaan ke industri non pertanian Tenaga kerja di pedesaan banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan. Jumlahnya meningkat dari 28,3 juta pada tahun 1978 menjadi 130,9 juta pada tahun 2001.
2
diberatakan dalam Xinhua News Agency February 25, 2003
109
(3). Percepatan urbanisasi Telah terjadi pergeseran penduduk dari penduduk pertanian menjadi penduduk non pertanian, mereka ini adalah penduduk desa yang bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan. Upah yang diperoleh dari non pertanian menjadi sumber yang penting bagi pendapatan petani. Raio upah yang diterima terhadap total pendapatan rumahtangga telah meningkat menjadi 30,4 persen pada tahun 2001 dari 13,2 persen pada tahun 1985. Petani telah mendapat keuntungan dari adanya urbanisasi dan industri non pertanian. (4). Penerapan kebijakan orientasi ekspor yang terbuka. Peningkatan ekspor barang-barang yang diproduksi oleh industri padat karya berperan besar dalam memperluas kesempatan kerja dan penururnan kemiskinan. Upaya Pemerintah Cina menarik investasi luar negri dan berperan dalam ekonomi global menunjang pula pada penurunan kemiskinan. (5). Perbaikan Sumberdaya manusia Setelah reformasi, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat telah meningkat. Sumberdaya manusia berperan penting dalam meningkatkan standar hidup masyarakat dan pengurangan kemiskinan.
Lama sekolah di Cina telah
mengalami peningkatan dan disertai pula dengan penurunan angka buta huruf. Angka harapan hidup mengalami peningkatan pula dari 67,77 tahun pada tahun 1985 menjadi 71,40 tahun pada tahun 2000. (6). Adopsi aksi anti kemiskinan oleh pemerintah Pemerintah Cina telah berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan sehingga rencana dan tujuan pengurangan kemiskinan dicantumkan dalam rencana ekonomi nasional.
Salah satu kebijakan ekonomi di bidang pertanian adalah dengan
meningkatkan harga produk pertanian secara bertahap. 5.2.
Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Terkait Dengan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta Penanggulangan kemiskinan akan membuahkan hasil yang baik apabila
kegiatannya terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Pada bab sebelumnya telah terungkap beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemiskinan rumahtangga di DKI Jakarta secara nyata yaitu jumlah anggota rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga (KRT), tingkat pendidikan KRT,
110
jenis pekerjaan KRT, proporsi anggota rumahtangga usia tanggungan (< 15 tahun dan > 64 tahun), proporsi anggota rumahtangga yang bekerja, proporsi pengeluaran terhadap makanan, dan proporsi pengeluaran terhadap bbm. Sedangkan faktor- faktor lain yang menjadi prediktor dari kemiskinan suatu rumahtangga adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhdapa jamban dan status kepemilikan rumah. Agar program yang dilakukan tepat sasaran, maka diperlukan kartu ”multi purpose” yaitu kartu bagi rumahtangga miskin yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Dengan kartu ini, maka rumahtangga miskin dapat mengakse berbagai program penanggulangan kemiskinan. a. Jumlah anggota rumahtangga Jumlah anggota rumahtangga terkait dengan tingkat kelahiran yang tinggi, seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa jumlah anak yang besar dipandang sebagai investasi karena mereka akan menjadi sumberdaya rumahtangga dalam mendapatkan pekerjaan. Sumberdaya yang ada apabila tidak dilengkapi dengan pendidikan yang memadai akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Jumlah anggota rumahtangga yang besar akan meningkatkan resiko kemiskinan apabila sebagian besar dari mereka tidak bekerja.
Program
pemerintah yang terkait dengan hal ini adalah peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi sehingga jumlah kelahiran dapat dibatasi. Kendala utama bagi rumahtangga miskin untuk menjadi akseptor KB adalah masalah pengetahuan dan biaya. Rendahnya tingkat pendidikan KRT maupun istrinya menyebabkan mereka kurang mengetahui manfaat dari keikutsertaan menjadi akseptor KB.
Oleh karena itu penyuluhan tentang manfaat dari
penggunaan alat kontrasepsi perlu untuk tetap digalakkan terutama bagi rumahtangga miskin.
Untuk masalah pembiayaan, pemberian alat kontrasepsi
gratis bagi rumahtangga miskin perlu dilakukan. Akan lebih baik apabila kader posyandu melakukan kegiatan dengan cara “jemput bola” yaitu mendatangi rumahtangga miskin yang mempunyai pasangan usia subur. Apabila rumahtangga tersebut tidak dapat membeli alat kontrasepsi, maka mereka dapat memperolehnya dengan gratis. Penyuluhan tentang KB dan pemberian alat kontrasepsi gratis ini
111
dilakukan baik di RW kumuh maupun tidak kumuh, karena di kedua lokasi tersebut peubah besaran rumahtangga mempengaruhi kemiskinan secara nyata. b. Jenis kelamin KRT. Secara umum jenis kelamin KRT mempengaruhi resiko kemiskinan rumahtangga, namun di RW kumuh peubah ini menjadi tidak nyata pengaruhnya. Dengan demikian sasaran utama dari program penganggulangan kemiskinan di RW kumuh tidak dibedakan antara rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan maupun oleh laki- laki, namun di RW tidak kumuh diharapkan agar sasaran dari program adalah rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan. Di samping itu bermanfaat pula untuk dikaji lebih lanjut mengapa di RW kumuh tidak ada perbedaan resiko kemiskinan tersebut. c. Tingkat pendidikan KRT Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan KRT maka semakin rendah risiko rumahtangga menjadi miskin. Pendidikan yang diperoleh KRT sudah tetap sehingga sulit untuk meningkatkan pendidikan mereka secara formal. Namun peubah ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi peluang kemiskinan, oleh karena itu pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak dari rumahtangga miskin sangat diperlukan agar mereka dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Sedangkan untuk KRT dapat
diberikan tambahan pengetahuan informal melalui penyuluhan maupun kursuskursus yang diadakan secara gratis. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta baik berupa in kind transfer seperti pembebasan biaya sekolah bagi siswa tidak mampu maupun cash transfer seperti pemberian bantuan khusus murid berupa beasiswa. Sekolah gratis bagi anak kurang mampu tidak hanya diberikan sampai tingkat SD karena di RW tidak kumuh tidak ada perbedaan nyata antara peluang tidak tamat SD dengan lulusan SMP untuk menjadi miskin. Sebaiknya pemberian sekolah gratis bagi anak tidak mampu diberikan hingga tingkat SMP, hal ini dapat dilakukan apabila dana pendidikan dapat ditingkatkan hingga mencari 20 persen dari APBD.
112
Di samping itu penyelenggaraan sekolah-sekolah persamaan untuk tingkat SMA perlu ditingkatkan. Hal ini untuk menampung anak-anak dari rumahtangga miskin yang tidak dapat melanjutkan ke SMA formal. Pendidikan tidak hanya bersifat formal tetapi juga non formal. Pendidikan non formal seperti keterampilan bahasa maupun keterampilan teknis dapat meningkatkan daya saing penduduk yang tidak dilengkapi pendidikan yang tinggi. d. Jenis pekerjaan Di RW kumuh jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga, hal ini dikarenakan pendapatan yang diterima dari berbagai jenis pekerjaan ini rendah sehingga mereka harus tinggal di lingkungan kumuh. Sedangkan di RW tidak kumuh rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa mempunyai peluang menjadi miskin paling tinggi.
Usaha jasa yang dilakukan biasa sebagai buruh cuci, pembantu
rumahtangga dan lain sebagainya. Mereka tidak mempunyai keahlian sehingga hanya dapat menawarkan jasa tenaga mereka sendiri untuk memperoleh pekerjaan. Pemberian pembimbingan keterampilan bagi penduduk miskin sangat dibutuhkan sehingga untuk memperoleh pekerjaan mereka dapat memberikan alternatif lain selain dari tenaga mereka sendiri. Keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, memasak dan lain sebagainya sangat dibutuhkan oleh penduduk miskin. Pemberian bimbingan ini menjadi tidak terlalu berarti apabila tidak disertai dengan pemberian modal dan bantuan pemasaran. Pemberian bantuan modal usaha ya ng telah dilaksanakan melalui PPMK memerlukan beberapa perbaikan. Apabila selama ini sering terjadi keluhan dalam penentuan penerima bantuan oleh aparat kelurahan atau dewan kelurahan, maka penyaluran dana dapat melalui kelembagaan lokal lainnya yang ada di masyarakat dan mendapat kepercayaan masyarakat. Tugas lembaga yang menyalurkan dana bantuan ini selain menentukan penerima bantuan juga mengawasi secara terus menerus penggunaan dana bantuan oleh rumahtangga. Bantuan tersebut harus digunakan untuk kegiatan usaha rumahtangga bukan untuk kegiatan konsumtif, sehingga diharapkan macetnya pengembalian dana dapat dikurangi. Pemerintah
113
Thailand telah menerapkan cara ini dalam penyaluran bantuan modal bagi rumahtangga miskin. e. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja Penyediaan lapangan pekerjaan menjadi masalah utama bagi Pemprov DKI Jakarta.
Masalah ini terkait dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Pemprov DKI Jakarta dapat mengadopsi strategi Pemerintah Malaysia dalam pengurangan kemiskinan yang terkait dengan lapangan pekerjaan yaitu meningkatkan pendapatan dan produktivitas pada pekerjaan yang berproduktivitas rendah melalui perluasan modal produktif dan penggunaan modal secara efisien. Hal ini dicapai dengan cara mengadopsi teknik modern, memperbaiki pemasaran dan kredit, keuangan dan bantuan teknis. Pemberian modal harus seletif dan modal disalurkan oleh kelembagaan lokal yang dipercaya oleh masyarakat. Rumahtangga miskin yang memiliki kartu “multi purpose” diutamakan untuk mendapat bantuan modal. f Proporsi anggota rumahtangga usia tanggungan (< 15 tahun dan > 64 tahun). Proporsi anggota rumahtangga di bawah usia 15 tahun yang cukup tinggi menandakan tingginya angka kelahiran. Untuk mengurangi proporsi anak-anak pada rumahtangga miskin maka keterlibatan pasangan usia subur dalam program KB sangat dibutuhkan. g Proposi pengeluaran terhadap makanan Seperti yang telah disebutkan dibagian terdahulu bahwa proporsi pengeluaran makanan untuk rumahtangga miskin lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang non makanan. Bagi rumahtangga miskin, dengan pendapatan yang terbatas, pemenuhan kebutuhan dasar lebih diutamakan. Penyaluran beras murah merupakan salah satu cara untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk makanan. Penyaluran sebaiknya dilakukan oleh suatu kelembagaan lokal yang dipercaya masyarakat setempat. Di samping beras, penyaluran sembako murah sangat dibutuhkan pula oleh rumahtangga miskin.
Rumahtangga miskin akan dapat menerima sembako murah apabila
rumahtangga tersebut memiliki kartu sebagai tanda rumahtangga miskin.
114
h Kondisi tempat tinggal Kondisi tempat tinggal seperti luas luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhadap jamban dan status kepemilikan rumah dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga.
Tinggal di bangunan yang tidak layak huni dapat
menyebabkan menurunnya derajat kesehatan bagi penghuninya. Upaya perbaikan tempat tinggal telah dilaksanakan oleh pemerintah, salah satunya adalah dengan pemasangan keramik untuk lantai rumah. Di samping itu dibangun pula jamban-jamban umum bagi masyarakat yang tidak mampu. Kepemilikan tempat tinggal menjadi kendala pula bagi rumahtangga miskin khususnya di RW kumuh. Kepemilikan rumah susun bagi rumahtangga miskin harus diutamakan. Pemberian kredit ya ng ringan sangat membantu mereka untuk memiliki rumah yang layak huni, sehingga mereka dapat hidup lebih sehat.
5.3.
Ikhtisar Pemprov
DKI
Jakarta
telah
melaksanakan
berbagai
program
penganggulangan kemiskinan. Kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh Komite Penanggulangan kemiskinan yang dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur. Pada tahun 2004, dana yang disalurkan untuk penanggulangan kemiskinan sebesar 884 milyar rupiah dengan alokasi dana tersebut ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Bidang lain yang mendapat perhatian adalah bidang pendidikan dan kesehatan yang masing- masing mendapat alokasi dana sebesar 268 milyar dan 208 milyar rupiah. Berbagai kegiatan penanggulangan kemiskinan sudah mencoba untuk menyentuh faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Di samping programprogram yang sudah ada perlu pula dilaksanakan program-program tambahan. Dalam bidang pendidikan telah dilakukan program pemberian beasiswa bagi murid tidak mampu juga dilakukan sekolah gratis bagi murid tidak mampu pada tingkat SD. Pendidikan sangat penting untuk menghidarkan diri dari kemiskinan karenanya pemberian sekolah gratis bagi murid tidak mampu bukan hanya pada tingkat SD tetapi juga sampai tingkat SMA. Apabila pemerintah sulit untuk melakukan pemberian sekolah formal secara gratis hingga tingkat SMA maka sebaiknya diadakan sekolah-sekolah terbuka setingkat SMA agar masyarakat yang
115
tidak dapat melanjutkan ke SMA formal tetap dapat memperoleh pendidikan. Pemberian pendidikan non formal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas masyarakat miskin sehingga mereka mampu bersaing dalam memperoleh pekerjaan. Pemberian dana bergulir bagi rumahtangga miskin sudah dilaksanakan melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), namun pelaksanaannya perlu mengalami perbaikan. Mengadopsi cara pelaksanaan di Thailand merupakan salah satu cara terbaik. Penyaluran dana bantuan tidak dilakukan oleh aparat setempat melainkan oleh suatu kelembagaan lokal yang dipercaya oleh masyarakat. Kelembagaan tersebut tidak hanya menyalurkan dana tetapi juga memantau penggunaan dana sehingga tidak ada penyalahgunaan dana oleh rumahtangga. Untuk penyediaan lapangan pekerjaan, Pemprov DKI Jakarta dapat mengadopsi cara Pemerintah Malaysia yaitu dengan meningkatkan pendapatan dan produktivitas pada pekerjaan yang berproduktivitas rendah melalui perluasan modal produktif dan penggunaan modal secara efisien. Hal ini dicapai dengan cara mengadopsi teknik modern, memperbaiki pemasaran dan kredit, keuangan dan bantuan teknis. Dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan perlu pula dikaitkan dengan lokasi.
RW kumuh dan RW tidak kumuh mendapatkan
perlakukan yang berbeda penanganannya. Salah satu contoh adalah tidak adanya perbedaan jender di RW kumuh namun di RW tidak kumuh perlu lebih diarahkan pada rumahtangga miskin yang dikepalai oleh perempuan.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan (1). Insiden kemiskinan di DKI Jakarta selama tahun 2000-2004 mengalami fluktuasi.
Dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan di DKI
Jakarta masih tinggi yaitu 4,9 persen.
Adanya berbagai program
pengentasan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Pemberdayaan
Daerah
dalam
Mengatasi
Dampak
Krisis
Ekonomi
(PDMDKE) dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 2,9 persen pada tahun 2003. Namun tahun berikutnya angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, angka ini masih tidak berubah pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 sedikit mengalami penurunan menjadi 3,18 persen. Angka kemiskinan ini diukur dengan unit analisis penduduk miskin. (2). Berdasarkan lokasi tempat tinggal dapat dilihat bahwa angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu 4,52 persen berbanding 2,48 persen. Hal ini karena lebih dari 35 persen kepala rumahtangga yang bekerja di RW kumuh bekerja sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar.
Dilihat dari distribusi penduduk
miskin, maka sekitar 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh. Hal ini terkait dengan distribusi penduduk antara RW kumuh dan tidak kumuh. (3). Berdasarkan karakteristiknya maka angka kemiskinan tertinggi terjadi pada rumahtangga dengan kepala rumahtangga wanita, besaran anggota rumahtangga lebih besar dari 6 orang, kepala rumahtangga berpedidikan paling tinggi SD, kepala rumahtangga bekerja di sektor jasa dan sektor informal. Rumahtangga miskin sebagian besar tinggal di rumah berluas lantai kurang dari 8 m2, berlantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban. (4). Indeks kedalaman kemiskinan di RW tidak kumuh lebih rendah dibandingkan dengan yang di RW kumuh 0,41 berbanding 0,53. Jarak ratarata
kesenjangan
pengeluaran
rumahtangga
miskin
terhadap
garis
kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen. Sedangkan indeks
117
keparahan kemiskikan di RW kumuh maupun RW tidak kumuh relatif sama yaitu sekitar 0,10 persen. Artinya rumahtangga miskin di RW kumuh dan RW tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran rumahtangga miskin. (5). Di RW kumuh distribusi pendapatan lebih merata dibandingkan dengan di RW tidak kumuh baik diukur dari kemiskinan relatif, Gini rasio maupun distribusi pendapatan menurut ukuran Bank Dunia. Distribusi pendapatan yang relatif merata ini di RW kumuh menunjukkan bahwa di RW kumuh terjadi “pemerataan dalam kemiskinan”. (6). Hasil
regresi
kemiskinan
logistik dengan
mengenai
faktor- faktor
mempergunakan
yang
peubah-peubah
mempengaruhi yang
sama
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh). Peubah-peubah yang berpengaruh nyata secara positif terhadap kemiskinan baik di DKI Jakara secara keseluruhan, RW tidak kumuh maupun RW kumuh adalah besaran anggota rumahtangga (ART), proporsi ART usia <15 dan 64 tahun ke atas, proporsi pengeluaran untuk BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, dan luas lantai perkapita < 8m2. (7) Peubah-peubah yang berpengaruh nyata secara negatif terhadap kemiskinan di seluruh lokasi adalah jenis pekerjaan KRT sebagai tenaga penjualan, sebagai penerima pendapatan, pendidikan KRT SMTA ke atas, dan proporsi ART yang bekerja. (8) Peubah-peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di seluruh lokasi adalah pendidikan KRT SD, umur KRT pada usia mapan, jenis pekerjaan KRT adalah lainnya, dan akses terhadap air. (10). Salah satu program yang dilakanakan dalam penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan yang menyerap dana cukup besar. Penanggulangan kemiskinan untuk pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama sehingga alokasi dana pada dua bianga tersebut cukup besar.
118
(11). Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta sudah cukup baik, namun masih terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan data Susenas 2004 terjadi penyimpangan
pelaksanaan penyaluran beras miskin maupun penyaluran kredit karena penerima beras raskin dan kredit usaha tersebut sebagian besar adalah rumahtangga tidak miskin.
Ada indikasi bahwa penyimpangan tersebut
terjadi pada tingkat kelurahan hingga tingkat RT dimana sebagaian penerima program tersebut masih mempunyai kaitan keluarga dengan aparat setempat. 6.2. Saran (1) Dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak terfokus pada RW kumuh saja walaupun kemiskinan banyak terjadi di lingkungan tersebut karena secara absolut penduduk miskin lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh (2) Pengalokasian dana pengentasan kemiskinan pada masing- masing lokasi sebaiknya didasarkan pada rasio kedalaman kemiskinan terhadap angka kemiskinan, sehingga alokasi dana dapat sesuai dengan kondisi di masingmasing lokasi. (3) Rumahtangga yang menjadi target dari pengentasan kemiskinan dapat ditetapkan berdasarkan karakteristik yang spesifik dari rumahtangga miskin, salah satu contohnya adalah rumahtangga yang tinggal di rumah sempit dengan jumlah anggota rumahtangga yang banyak (4) Penyusunan program pengentasan kemiskinan harus menyentuh pada faktorfaktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan. Sebaiknya untuk beberapa faktor dapat diperlakukan khusus untuk masing- masing lokasi karena faktor- faktor tersebut memberikan pengaruh yang berbeda pada lokasi kumuh dan tidak kumuh. Salah satu contohnya adalah dengan lebih mengutamakan rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan, namun di RW kumuh hal tersebut tidak perlu dilakukan.
119
(5) Adanya revisi terhadap kriteria kemiskinan di DKI Jakarta yaitu dengan mengeluarkan akses terhadap air bersih dari kriteria kemiskinan karena air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga. (6) Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan perlu diperbaiki sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat dikurangi.
Sebaiknya dalam
pelaksanaannya melibatkan kelembagaan lokal. Di beberapa negara yang berhasil dalam program pengentasan kemiskinan, keterlibatan kelembagaan lokal telah dapat membantu pelaksanaan program sehingga mengurangi penyimpangan. Kaitan saran-saran tersebut dengan permasalahan, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan dari penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Tabel lampiran 1.
DAFTAR PUSTAKA Abhayaratne A. 2004. Poverty Reduction Strategies in Malaysia 1970-2000: Some Lessons. http://www.cassey.com/FEA2004-14.pdf [30 Agt 2005] Ajakaiye DO, Adeyeye VA. 2002. Concepts, Measurement, and Causes of Poverty. www.cenbank.org/OUT/PUBLICATIONS/ EFR/RD/2002/ EFRVOL39-4-5.PDF [14 Mar 2005] Amis Philip. Urban Poverty in East Africa; a comparative analysis of the trajectories of Nairobi and Kampala. www.chronicpoverty.org/ pdfs/PhiAmis.pdf [7 Mar 2005] Anynomous. 1996. Chapter 5: Gender, Informality http://www.wiego.org/papers/seth5.doc [20 Juli 2005]
and
Poverty.
Appleton S. 2001. Education, Incomes and Poverty in Uganda in The 1990s. Credit Research Paper No. 01/22. www.nottingham.ac.uk/economics/ credit/research/papers/CP.01.22.pdf [18 Juli 2005] Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta. Peraturan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta Nomor 439/2005 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) di Provinsi DKI Jakarta. 2005. Badan Pusat Statistik . 2002. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002 Buku 2: Kabupaten. Jakarta. BPS. 2002. _________________ . 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003 Buku 2: Kabupaten. . Jakarta. BPS. 2003. _________________ . 2004. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004 Buku 2: Kabupaten. . Jakarta. BPS. 2003. _________________ . , Susanto, A, editor. 1999. Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS.. Jakarta. BPS. 1999. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. 2004. Keadaan Angkatan Kerja DKI Jakarta. Jakarta. BPS DKI Jakarta. 2004. Bane R, Rawal A. 2002. Slums – A Case Study of Anan City. Indian Cartographer: 314-317. Couduel A, Jesko SH, Quentin TW. 2001. Poverty Measurement And Analysis. http://poverty.worldbank.org/files/5467_chap1.pdf [2 Mar 2005] Cuna, L. 2004. Assessing Household Vulnerability to Employment Shocks: A Stimulation Methodology Applied to Bosnia and Herzegovina. www.dse.unibo.it/wp/528.pdf . [14 Mar 2005] Desiar R. 2004. Dampak Migrasi Terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2004.
121
Economic And Social Commission For Asia And The Pacific. 2005. Key Developments And Activ ities At The Regional Level : Poverty Reduction. http://www.unescap.org/61/English/E1334e.pdf [30 Agt 2005] Friedmann J. 1993. Empowerment the politics of Alternative Development. Blacwell. Cambrige. Ghazouani S, Goaied M. 2001. The Determinants of Urban and Rural Poverty in Tunisia. www.erf.org.eg/html/Goaied_Ghazouani.pdf[14 Mar 2005] Garza-rodiguez, J. 2002. The Determinants Poverty of Mexico www.gdnet.org/pdf/2002AwardsMedalsWinners/ GrowthInequalityPoverty/Jorge_garza_rodriguez_paper.pdf [14 Mar 2005] Hu A,Hu L, Chang Z. 2003. China’s economic growth and poverty reduction (1978-2002). www.imf.org/external/np/apd/seminars/2003/ newdelhi /angang.pdf - [2 Sept 2005] Hussmanns R, Mehran F, Verma V. 1990. Survey of economically active population, employment, unemployment and underemployment: An ILO manual on concepts and methods. Geneva. International Labor Organization. 1990. Irawan P, Suhaimi U. 1999. Cricis, Poverty and Human Development in Indonesia 1998. Syafiudin L, Sutanto A dan Imawan W, editor. BPS. Jakarta.1999. hlm 41-42. Irawan P B. 2003. Kemiskinan Perkotaan: Dimensi, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan. Warta Demografi Tahun 33 No. 4 2003. Irawan PB. 2005. Analisis Faktor- faktor Penyebab Kemiskinan Suatu Pendekatan Kuantitatif. Modul dalam Pelatihan Dasar-dasar Analisis dan Diagnosis Kemiskinan di Indonesia. Jakarta, 9-13 Mei 2005. Isard W. 1975. Introduction to Regional Sceice. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs NJ. 1975 Kamuzora CL, Mkanta W. 1999. Poverty And Family Size In Tanzania. Policy Brief No. 00.4. http://www.repoa.or.tz/publications/reports/RR%2000_4.htm [20 Juli 2005] Kasliwal P. 1995. Development Economics. Cincinati. South-Western Publishing. 1995. Komite Penanggulangan Kemiskikan Propinsi DKI Jakarta. 2004. Laporan Program dan Kegiatan Komite Penanggulangan Kemiskinan Propinsi DKI Jakarta tahun 2004 dan Rencana Program tahun 2005. Jakarta. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. 2004. Lanjouw P , RavallionM. 1994. Poverty and Household Size. The World Bank Policy Research Working Paper. 11332. Litchfield JA. 1999. Inequality: Methods and Tools. http://www1.worldbank.org/ prem/poverty/inequal/methods/litchfie.pdf [1 Mar 2005] Long AS. 1999. Country Paper on Poverty Measurement The Case of Singapore. http://www.unescap.org/stat/meet/povstat/pov7_sig.pdf. [19 Apr 2005]
122
Milar J, Gardiner K. 2004. Low Pay, Household Resources and Poverty. http://www.jrf.org.uk/knowledge/findings/socialpolicy/pdf/n64.pdf. [20 Juli 2005] Morris S, Sutton S, Gravelle H, 2003. Inequity and inequality in the use of health care in England: an empirical investigation. CHE Technical Paper Series 27 University of York. Nachrowi DJ, Usman H. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrik. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002. Osinubi TS. 2003. Urban Poverty In Nigeria : A Case Study Of Agege Area of Lagos State, Nigeria. www.gdnet.org/fulltext/osinubi.pdf [7 Mar 2005] Oktaviani R, Hakim DB, Siregar H, Sahara. 2004. The Impact of Fiscal Policy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty Incidences (A Dynamic Computable General Equilibrium Analysis). Department of Socio- Economics Sciences Faculty of Agriculture Bogor Agricultural University. 2004 Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta. Pemprop DKI Jakarta. 2004. Poapongsakorn et al. 2001. The Process of Formulating Poverty Reduction Strategies in Thailand http://www.nssd.net/pdf/Thailandfinalreport.PDF [30 Agt 2005] Pradhan M, Surhayadi A, Sumarto S, dan Pritchett L. 2000. Measurement of Poverty in Indonesia: 1996, 1999 and beyond. Smeru Working Paper. Jakarta. 2000 Pritchett, L. November 2003. Who is not poor? Proposing a higher international standar for poverty. Working paper number 33. www.cgdev.org/docs/cgd_wp033.doc [3 Agustus 2005] Rahardja P, Manurung M. 2004. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi) Edisi Revisi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Rizal A. 1999. Urbanization, Government Policies and Roles of Non Government Organization in Jakarta (Unpublished report). Graduate Program in Population and Human Resources Faculty of Social Science The Flinders University of South Australia. 1999 Rusli S, Sumardjo, Syaukat Y editor. 1982. Pembangunan dan Feno mena Kemiskinan Kasus Profil Propinsi Riau. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 1982. Rustiadi E, Panuju D, Saefulhakim S . 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah Konsep Dasar dan Teori. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
123
Serageldin I, Grootaert C. 1997. Defining social capital: and integrating view. Di dalam: Dasgupta P, Serageldin I, editor. Social Capital A Multifaced Perspective. The World Bank. Washington DC. Sethuraman SV. 1997. Urban Poverty and The Informal Sector A critical Assessment of Current Strategies. UNDP. www.ilo.mirror.cornel. edu/public/english/employment/recon/eiie/publ/1998/ urvbproer.htm. [7 Maret 2005] Sugiyono L. 2003. Karakteristik Kemiskinan dan Pemetaan Penduduk Miskin di Propinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2003. Tambunan, T. 2004. Urban Poverty, Informal Sector, and Poverty Alleviation Policies in Indonesia. www.wider.unu.edu/conference/conference-2004-2/ conference-2004-2-papers/TulusTambunan.pdf [7 Mar 2005] Todaro M P, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga/ Edisi kedelapan Jilid 1. Munandar H, penerjemah; Kristiaji W, editor. Jakarta: Erlangga; 2003. Terjemahan dari : Pearson Education Limited, United Kingdom. Townsend, P. 1974. Poverty as relative deprivation, lack of resources and style of living. Di dalam Wedderburn, D, editor. Poverty, inequality and class structure. Cambridge University Press. 1970 Tjiptoherijanto P. 1997. Rural Development: An Alternative Policy to the Socalled “Rural Urbanization” and Poverty Alleviation; The Case of Indonesia. www.auick.org/database/apc/apc029/apc02901.html. [8 Jan 2005] Ullah AA. 2004. Bright City Lights and Slum of Dhaka City: Deteminants of Rural-Urban Migration in Bangladesh. www.migrationletters.com/ 200401/Ullah200401.pdf . [20 Des 2004] UNDP Report. 2000. Thailand Country Assessment A New Poverty-Focused Development Path http://www.undp.org/povertyreport/countryprofiles/ thailand1.html [2 Sept 2005] UNDP Report. 2004. MDG-Plus, a Case Staudy of http://www.undp.org/mdg/goodpractices.shtml [2 Sept 2005]
Thailand.
Williamson, JB et al. 1975. Strategis Againts Poverty in America. New York. Schenkman Publishing Company. World Bank. What exactly is inequality?. http://www1.worldbank.org/prem/ poverty/inequal/methods/measure.htm [20 Juli 2005] World Bank Report. 1996. Thailand Growth, Poverty and Income Distribution An Economic Report. http://wbln0018.worldbank.org/dg/povertys.nsf/0/ 7f505bd8e99acdb985256b2100754286?OpenDocument [2 Sept 2005] Yap KS. 2000. Urbanization and Internal Migration. www.unescap.org/esid/psis/ population/popseries/apss158/part1_6.pdf: 137-155. [20 Des 2004].
Tabel Lampiran 1 RESUME PENELITIAN Permasalahan
Pembahasan
Kesimpulan
Saran
Angka kemiskinan di DKI Jakarta pada mengalami fluktuasi selama 4 tahun terakhir. Pada tahun 2004 angka kemiskinan mencapai 3,18 persen. Angka kemiskinan di RW kumuh sebesar 4,52 persen dan di RW tidak kumuh sebesar 2,48 persen Distribusi penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh. Indeks kedalaman kemiskinan di RW tercatat sebesar 0,53 persen dan di RW kumuh sebesar 0,41 persen. Indeks keparahan hampir sama yaitu 0,10 persen. Rasio Gini di RW tidak kumuh adalah sebesar 0,3896 sedangkan di RW kumuh adalah 0,2686
Kejadian kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh. Namun secara absolut, penduduk miskin lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh
Dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak terfokus pada RW kumuh saja walaupun kemiskinan banyak terjadi di lingkungan tersebut karena secara absolut penduduk miskin lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh
Kedalaman kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan di RW tidak kumuh, namun keparahannya relatif sama artinya rutamiskin di RW kumuh dan RW tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran rutamiskin. Di RW kumuh terjadi “pemerataan dalam kemiskinan”
Pengalokasian dana pengentasan kemiskinan pada masing-masing lokasi sebaiknya didasarkan pada rasio kedalaman kemiskinan terhadap angka kemiskinan, sehingga alokasi dana dapat sesuai dengan kondisi di masing-masing lokasi.
Williamson et all (1975) ruta menyatakan bahwa ada karakteristik yang terjadi di rutamiskin. Kejadian kemiskinan
Berdasarkan karakteristiknya maka angka kemiskinan tertinggi terjadi pada rutadengan
Rutayang menjadi target dari pengentasan kemiskinan dapat ditetapkan berdasarkan
1.
Berapa angka kemiskinan yang dialami rumahtangga (ruta)?
Menghitung angka kemiskinan yang dialami rruta
2.
Berapa besar kedalaman dan keparahan kemiskinan dan tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi?
Menguraikan kedalam dan keparahan kemiskinan serta tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi.
3. Bagaimana karakteristik miskin?
menguraikan ruta karakteristik miskin.
124
Tujuan
Permasalahan
Tujuan
Kesimpulan kepala rutawanita, besaran anggota rutalebih besar dari 6 orang, kepala rutaberpedidikan paling tinggi SD, kepala rutabekerja di sektor jasa dan sektor informal. Rutamiskin sebagian besar tinggal di rumah berluas lantai kurang dari 8 m2, berlantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban.
Saran karakteristik yang spesifik dari rutamiskin, salah satu contohnya adalah rutayang tinggal di rumah sempit dengan jumlah anggota rutayang banyak
- Peubah-peubah yang - Penyusunan program berpengaruh nyata secara pengentasan kemiskinan negatif terhadap harus menyentuh pada kemiskinan di seluruh faktor-faktor yang lokasi adalah jenis mempengaruhi dan pekerjaan KRT sebagai terkait dengan tenaga penjualan, sebagai kemiskinan. Sebaiknya penerima pendapatan, untuk beberapa faktor pendidikan KRT SMTA dapat diperlakukan ke atas, dan proporsi khusus untuk masingART yang bekerja. masing lokasi karena - Peubah-peubah yang faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh nyata memberikan pengaruh terhadap kemiskinan di yang berbeda pada lokasi
125
Pembahasan sering terjadi pada rutadengan KRT yang tidak bekerja, KRT perempuan, lapangan usaha KRT, etnis, dan lokasi tempat tinggal. Di DKI Jakarta angka kejadian kemiskinan tertinggi terjadi pada KRT perempuan, jumlah anggota ruta6 orang atau lebih, KRT berpedidikan paling tinggi SD, kepala rutabekerja di sektor jasa dan sektor informal. Rutamiskin sebagian besar tinggal di rumah berluas lantai kurang dari 8 m2, berlantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban. 4. Faktor-faktor apa saja menganalisis faktor- - Peubah yang berpengaruh yang mempengaruhi faktor yang nyata secara negatif adalah kemiskinan? mempengaruhi jenis pekerjaan KRT (dengan kemiskinan. tenaga usaha jasa sebagai pembanding), pendidikan KRT (dengan pendidikan <SD sebagai pembanding), dan proporsi ART yang bekerja (proker). - Peubah yang tidak secara nyata mempengaruhi kemiskinan adalah akses terhadap air bersih (d_air), status kepemilikan rumah
Permasalahan
Tujuan
Pembahasan (rmh), dann umur KRT (age_mpn dan age_tua) Di RW tidak kumuh : - beberapa peubah berpengaruh nyata secara positif terhadap kemiskinan yaitu d_jk, art, um_1564, d_under, p_bbm, p_mkn, d_lt, dan j_lti - Peubah yang berpengaruh nyata secara negatif adalah jenis pekerjaan KRT (d_jual, d_prof,dan d_pp), pendidikan KRT hanya untuk SMA ke atas (d_sma), umur KRT pada usia tua (age_tua) dan, proker - Peubah yang tidak secara nyata mempengaruhi kemiskinan adalah d_air,, rmh, umur KRT (age_mpn), pendidikan KRT (d_sd dan d_smp), dan jenis pekerjaan KRT (d_kasar dan dlain) Di RW kumuh - beberapa peubah berpengaruh nyata secara positif terhadap kemiskinan yaitu art, d_jual, um_1564, p_bbm, p_mkn, d_lt, dan d_jbn - Peubah yang berpengaruh
Kesimpulan seluruh lokasi adalah pendidikan KRT SD, umur KRT pada usia mapan, jenis pekerjaan KRT adalah laiinya, dan akses terhadap air.
Saran kumuh dan tidak kumuh. Salah satu contohnya adalah dengan lebih mengutamakan rutayang dikepalai oleh perempuan, namun di RW kumuh hal tersebut tidak perlu dilakukan. - Adanya revisi terhadap criteria kemiskinan di DKI Jakarta yaitu dengan mengeluarkan akses terhadap air bersih dari kriteria kemiskinan karena air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga.
126
Permasalahan
Tujuan
-
5.
Bagaimana program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan?
menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan.
-
-
-
Pembahasan nyata secara negatif adalah pendidikan KRT (d_smp dan d_sma), rmh, dan, proker Peubah yang tidak secara nyata mempengaruhi kemiskinan adalah jenis pekerjaan KRT, d_jk , rmh, umur KRT, d_under, j_lti, dan d_air
Kesimpulan
Saran
Pada tahun 2004, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan dana untuk pengentasan kemiskinan sebesar 884 milyar dengan alokasi terbesar untuk pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan kesehatan. Data Susenas menunjukkan bahwa hanya sekitar 22 persen rutamiskin yang tersentuh oleh program beras miskin (raskin) sedangkan sisanya tidak tersentuh. Untuk kredit usaha hanya 2 persen ruta miskin yang mendapat kredit. Program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di DKI Jakarta hampir sama dengan yang dilaksanakan di negaranegara yang sudah berhasil dalam program pengentasan kemiskinan
Pemprov DKI Jakarta telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk program pengentasan kemiskinan. Progaram-program tersebut telah berupaya untuk menyentuh faktor-faktor yang mempengaruhi kemsiskinan, namun dalam pelaksanaannya masih menemui kendala.
Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan perlu diperbaiki sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat dikurangi. Sebaiknya dalam pelaksanaannya melibatkan kelembagaan lokal. Di beberapa negara yang berhasil dalam program pengentasan kemiskina, keterlibatan kelembagaan lokal telah dapat membantu pelaksanaan program sehingga mengurangi penyimpangan.
127
128
Tabel Lampiran 2 Nilai Rata-Rata Peubah Kontinu Peubah
DKI
art
RW tidak kumuh
RW kumuh
4.03
4.09
3.92
proker
43.4984
43.1766
44.0971
p_bbm
3.1659
3.2359
3.0355
p_mkn
45.9109
44.3781
48.7624
um_1564
24.7885
24.8402
24.6924
Tabel Lampiran 3 Efek Marginal dari Peubah Kontinu
Peubah
DKI
RW tidak kumuh
RW kumuh
art
9.24
11.19
5.02
proker
-0.49
-0.68
-0.22
p_bbm
1.51
2.10
0.58
p_mkn
0.88
1.03
0.41
um_1564
0.19
0.28
0.09
129
Lampiran 4 Logistic Regression di DKI Jakarta Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases
N
Percent
Included in Analysis Missing Cases Total
6.493 0 6.493 Unselected Cases 0 Total 6.493 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
Dependent Variable Encoding Original Value Tdk miskin Miskin
Internal Value 0 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b) Observed
Step 0
MISKIN
Predicted MISKIN Tdk miskin Miskin
Tdk miskin 5,704 136
Percentage Correct Miskin 0 0
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
100.0 0.0 92.8
Variables in the Equation Step 0
Constant
B -2,646
S.E. Wald 0,050 2.811,562
df 1
Sig. Exp(B) 0,000 0,071
130
Variables not in the Equation Step 0
Variables
Score 378,356 0,069 56,631 8,690 146,865 124,221 25,137 150,218 119,831 17,672 322,332 28,383 0,503 10,597 4,685 2,079 1,131 8,653 30,896 0,007 0,139 32,855 928,933
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under
Overall Statistics
df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
Sig. 0,000 0,794 0,000 0,003 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,478 0,001 0,030 0,149 0,288 0,003 0,000 0,932 0,709 0,000 0,000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Step Block Model
954,261 954,261 954,261
Sig. 22 22 22
0,000 0,000 0,000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 2.211,250
Cox & Snell R Square 0,137 Hosmer and Lemeshow Test Chi-square df 4.023586 8
Step 1 Classification Table(a) Observed
Step 1
Nagelkerke R Square 0,354
MISKIN
Overall Percentage a. The cut value is ,500
Tdk miskin Miskin
Predicted MISKIN Tdk miskin 5,654 108
Sig. 0.855
Percentage Correct Miskin 50 28
99.1 20.6 97.3
131
Variables in the Equation Step 1(a)
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under Constant
B 0,527 0,870 -0,339 -0,419 -1,217 -0,028 0,086 0,050 0,011 -0,242 0,553 1,043 1,188 -0,182 -0,126 -0,263 -0,594 -0,372 -0,596 -0,169 -0,763 0,712 -6,597
S.E. 0,034 0,199 0,181 0,190 0,195 0,004 0,015 0,006 0,003 0,132 0,243 0,133 0,462 0,640 0,394 0,446 0,189 0,172 0,247 0,488 0,245 0,234 0,617
Wald 235,145 19,127 3,512 4,889 39,052 47,216 33,903 72,685 11,684 3,344 5,187 61,462 6,600 0,081 0,102 0,349 9,884 4,693 5,806 0,120 9,738 9,261 114,374
df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sig. 0,000 0,000 0,061 0,027 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,067 0,023 0,000 0,010 0,776 0,749 0,555 0,002 0,030 0,016 0,729 0,002 0,002 0,000
Exp(B) 1,694 2,386 0,712 0,658 0,296 0,972 1,090 1,051 1,011 0,785 1,739 2,838 3,280 0,834 0,882 0,768 0,552 0,689 0,551 0,845 0,466 2,039 0,001
132
Lampiran 5 Logistic Regression di RW Tidak Kumuh Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 4.223 0 4.223 0 4.223
Percent 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Tdk miskin Miskin
Internal Value 0 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b) Observed
Step 0
MISKIN
Predicted MISKIN Tdk miskin Miskin
Percentage Correct
Tdk miskin Miskin 3,726 0 70 0
100.0 0.0 97.3
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500 Variables in the Equation Step 0
Constant
B -2,868
S.E. 0,068
Wald df 1.766,927 1
Sig. 0,000
Exp(B) 0,057
133
Variables not in the Equation Step 0
Variables
Score 187,803 3,229 36,941 12,112 104,114 66,302 16,855 86,570 62,177 44,352 213,745 9,222 0,017 4,949 3,384 3,235 0,882 9,740 21,611 0,076 0,028 35,683 573,553
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under
Overall Statistics
df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
Sig. 0,000 0,072 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,002 0,895 0,026 0,066 0,072 0,348 0,002 0,000 0,782 0,866 0,000 0,000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
Step Block Model
Model Summary Step -2 Log likelihood 1 1.220,552 Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Cox & Snell R Square
MISKIN Overall Percentage
Sig. 22 22 22
0,000 0,000 0,000
Nagelkerke R Square 0,122
Chi-square 12.01137
Classification Table(a) Observed
Step 1
df 548,222 548,222 548,222
Tdk miskin Miskin
0,356
df 8
Predicted MISKIN Tdk miskin Miskin 3,707 19 57 13
Sig. 0.151
Percentage Correct 99.5 18.4 98.0
134
Variables in the Equation Step 1(a)
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under Constant
B 0,480 1,155 -0,384 -0,311 -1,208 -0,841 -0,029 0,090 0,044 0,012 1,087 1,117 1,422 -0,035 -0,653 -1,152 -0,604 -0,352 -0,645 0,090 -0,777 1,022 -5,963
S.E. 0,045 0,253 0,255 0,263 0,269 0,963 0,006 0,018 0,008 0,004 0,298 0,179 0,819 0,179 0,488 0,568 0,260 0,234 0,332 0,620 0,326 0,295 0,805
Wald df 112,772 1 20,888 1 2,267 1 1,390 1 20,097 1 0,763 1 25,256 1 25,581 1 30,650 1 6,765 1 13,262 1 38,816 1 3,009 1 0,039 1 1,790 1 4,117 1 5,378 1 2,256 1 3,781 1 0,021 1 5,674 1 12,030 1 54,935 1
Sig. 0,000 0,000 0,132 0,238 0,000 0,382 0,000 0,000 0,000 0,009 0,000 0,000 0,083 0,843 0,181 0,042 0,020 0,133 0,052 0,885 0,017 0,001 0,000
Exp(B) 1,616 3,173 0,681 0,733 0,299 0,431 0,972 1,094 1,045 1,012 2,965 3,056 4,144 0,965 0,520 0,316 0,547 0,703 0,524 1,094 0,460 2,779 0,003
135
Lampiran 6 Logistic Regression di RW Tidak Kumuh Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases
N 2.270 0 2.270 0 2.270
Included in Analysis Missing Cases Total
Unselected Cases Total
Percent 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value Tdk miskin Miskin
Internal Value 0 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b) Observed
Step 0
MISKIN
Predicted MISKIN Tdk miskin Miskin
Percentage Correct
Tdk miskin Miskin 1,978 0 66 0
100.0 0.0 95.3
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step 0
Constant
B -2,321
S.E. 0,074
Wald df 995,472 1
Sig. 0,000
Exp(B) 0,098
136
Variables not in the Equation Step 0
Variables
Score 209,184 2,228 14,936 0,029 34,026 59,310 11,601 48,904 59,120 0,690 94,607 14,360 1,957 3,756 1,353 0,006 0,517 0,105 5,960 0,377 0,010 3,923 390,969
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under
Overall Statistics Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1 Step 422,120 Block 422,120 Model 422,120
df 22 22 22
df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
Sig. 0,000 0,135 0,000 0,866 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000 0,406 0,000 0,000 0,162 0,053 0,245 0,937 0,472 0,746 0,015 0,539 0,919 0,048 0,000
Sig. 0,000 0,000 0,000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood Cox & Snell R Square 945,377 0,170 Hosmer and Lemeshow Test Chi-square df 5.540615 8
Step 1 Classification Table(a) Observed
Step 1
MISKIN Overall Percentage
a. The cut value is ,500
Nagelkerke R Square 0,375
Sig. 0.699
Predicted
Tdk miskin Miskin
MISKIN Tdk miskin Miskin 1,950 28 45 21
Percentage Correct 98.6 31.5 92,2
137
Variables in the Equation Step 1(a)
art d_jk d_sd d_smp d_sma proker p_bbm p_mkn um_1564 j_lti d_lt d_jbn d_air rmh age_mpn age_tua d_jual d_kasar d_prof dlain d_pp d_under Constant
B 0,646 0,526 -0,372 -0,563 -1,233 -0,028 0,074 0,053 0,011 -0,360 0,871 1,243 1,539 -0,546 0,525 0,884 -0,596 -0,321 -0,451 -0,274 -0,798 0,130 -7,411
S.E. 0,057 0,340 0,266 0,285 0,294 0,006 0,028 0,009 0,005 0,482 0,203 0,591 0,963 0,205 0,684 0,751 0,287 0,264 0,385 0,835 0,385 0,411 1,001
Wald df 128,836 1 2,396 1 1,954 1 3,901 1 17,586 1 21,301 1 6,972 1 36,820 1 4,489 1 0,559 1 18,436 1 4,420 1 2,552 1 7,111 1 0,589 1 1,384 1 4,312 1 1,479 1 1,373 1 0,108 1 4,289 1 0,100 1 54,785 1
Sig. 0,000 0,122 0,162 0,048 0,000 0,000 0,008 0,000 0,034 0,455 0,000 0,036 0,110 0,008 0,443 0,239 0,038 0,224 0,241 0,742 0,038 0,751 0,000
Exp(B) 1,909 1,692 0,689 0,570 0,292 0,972 1,077 1,054 1,011 0,698 2,390 3,467 4,658 0,579 1,691 2,420 0,551 0,725 0,637 0,760 0,450 1,139 0,001