Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG Siti Nursyamsiyah1, M. Thoha B Sampurna Jaya2, Samsul Bakri2 1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung 2 Dosen Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
Abstract: Identification of slum areas needs to be carried out not only in municipality or metropoitan city, but also in all regencies (municipal city/ regency). Identification is intended to detect the exact location of slum areas which is then used to formulate solution programs. In identifying the slum areas, a set of criteria are used to determine if a particular area can be labelled as slum or not. The criteria are broadly categorized into physical components and some additional components. The method of slum area labelling was undertaken by applying comprehensive analysis method where assessment was carried out by scoring the aforementioned criteria.Through research carried out in Bandar Lampung, the result showed that among 30 villages, consisting of 20 non-coastal area villages and 10 in coastal areas, the highest degree of slum areas was found in Teluk Betung Village (3,17) and the lowest one was found in Tanjung Senang (1,44). Coastal areas are generally slummier than non-coastal ones. Through quantitatif (analysis ordinal regression), with minitab 16.0 it was found that there were five variables which have caused high degree of slums ( α= 10 %) i.e; population density, land suitability, clean water public, green open space, and poor rate, with P value for i.e: 0,018, 0,038, 0,100, and 0,056. While variables education rate, road condition, number of family members, and criminality rate haven’t caused degrre of slums with P value i.e : 0,817, 0,875, 0,706, and 0.369. Keywords: criteria of slum, degree, slum areas, identification
PENDAHULUAN Latar Belakang Kota secara umum adalah tempat bermukimnya warga kota , tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan lain-lain. Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan yang tinggi, dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistik atau dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsure-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materalistik dibandingkan dengan daerah belakangnya (Bintarto, 1983). Perkembangan kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Kepadatan penduduk
akan meningkat dan tentu akan menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun dampak negatif. Salah satu dampak yang terjadi adalah timbulnya permukiman kumuh di kawasan perkotaan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/ hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan “kumuh” menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kotor atau tercemar. Predikat kota dengan nilai terjelek menurut hasil penilaian kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2012, tentu membuat Pemerintah Kota Bandar Lampung harus mencari akar permasalahan kenapa mendapatkan predikat tersebut. Salah satu penyebab penilaian tersebut tentunya disebabkan adanya beberapa kawasan permukiman kumuh di kota Bandar Lampung. Menurut Dinas Bina Marga dan Permukiman Kota Bandarlampung Tahun 2007 kawasan permukiman kumuh ada di 24 Kelurahan, yang tersebar di 8 Kecamatan. Oleh karena perkembangan kota yang semakin pesat tentu permukiman kumuh semakin meningkat,
25
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
menurut Danisworo dalam Khomarudin, bahwa tumbuhnya permukiman-permukiman spontan dan permukiman kumuh merupakan bagian yang terpisahkan dari proses urbanisasi. Sehingga Penelitian tentang Permukiman Kumuh di Kota Bandar Lampung sangat penting, sehingga perencanaan wilayah dan penataan ruang Kota Bandar Lampung dapat lebih terarah, terutama dalam hal mengantisipasi permasalahan permukiman kumuh. Sebaran Kawasan Kumuh yang pada tahun 2007 mencapai 24 Kelurahan (Dinas Permukiman dan Bina Marga,2007), tentunya aktivitas permukiman kumuh tersebut akan semakin meningkat dan meluas di Kota Bandar Lampung, menimbulkan berbagai permasalahan bagi penataan ruang di wilayah ini dan penataan ruang kota Bandar Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dikemukakan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut : 1) Kekumuhan wilayah permukiman ditinjau dari aspek fisik, yang terlihat dari a. Pemanfaatan daerah sungai oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomi, yang menjadikan terganggunya fungsi sungai secara maksimal. b. Tidak adanya jarak antar bangunan yang mengakibatkan rumah tidak sehat. c. Kumuhnya permukiman akibat aktivitas wilayah yang berlebihan, sehingga menyebabkan lingkungan hunian menjadi tidak sehat dan tidak nyaman untuk ditinggali d. Tidak berfungsinya saluran drainase kota di wilayah tersebut secara optimal. e. Sampah dan limbah akibat aktivitas warga yang tidak dikelola dengan baik, menyebabkan pemandangan yang kotor. f. Kurangnya sarana prasarana juga kurang terpeliharanya sarana dan prasarana ( jalan lingkungan, tempat sampah, MCK umum ). 2) Terlalu padatnya jumlah penduduk, yang kurang seimbang dengan daya tampung ruang hunian dan penataan ruang yang kurang tepat. Dengan memperhatikan kondisi permasalahan di atas, maka perlu diadakan suatu penelitian untuk mengetahui : faktor apa saja yang menyebabkan kekumuhan di wilayah Kota Bandar Lampung ? Tujuan Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui perbedaan Tingkat Kekumuhan di wilayah penelitian. (2) Untuk Mengetahui persebaran kondisi permukiman kumuh di wilayah penelitian
(3) Untuk mengetahui Faktor - Faktor yang secara nyata menyebabkan kekumuhan di Daerah Penelitian METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaan studi terdiri dari beberapa tahapan proses penelitian antara lain tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis. Tahapan kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, pelaksanaan analisis yang digunakan, hingga akhirnya mendapatkan hasil atau output yang diinginkan sesuai tujuan studi. Tahap Persiapan Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang lengkap guna mendukung penyusunan studi ini dan masih bersifat data sekunder. Untuk menghasilkan data yang lengkap dan akurat, aspek yang perlu diperhatikan adalah dengan melihat/mengamati permasalahan yang terjadi di daerah studi. Untuk mendapatkan data-data yang akurat tersebut dilakukan persiapan, antara lain: 1. Perumusan masalah, tujuan, dan sasaran studi Program studi diangkat berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas kawasan permukiman yang berada di wilayah Kota Bandar Lampung. Berkaitan dengan kondisi kawasan tersebut maka dalam studi ini diharapkan mampu menemukan faktor penyebab kekumuhan lingkungan kawasan permukiman kumuh yang berada di Kota Bandar Lampung. 2. Penentuan Lokasi Studi Lokasi studi yang diangkat dalam studi ini adalah Kota Bandar Lampung yang memiliki 126 Kelurahan (BPS, 2013) dengan pengambilan sampel 30 Kelurahan, 10 Kelurahan mewakili wilayah pesisir dan 20 Kelurahan mewakili non pesisir. 3. Inventarisasi data-data yang ada, yaitu berupa data studi yang pernah dilakukan. Tahap ini berguna sebagai gambaran tentang studi yang akan dilaksanakan sekaligus juga untuk menyusun strategi pengumpulan data dan informasi untuk tujuan studi ini. 4. Pengumpulan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini untuk mempermudah dalam pembuatan metodologi serta pemahaman terhadap permasalahan yang diambil. 5. Penyusunan teknis pelaksanaan survai Kegiatan ini meliputi perumusan teknis pengumpulan data, teknik sampling, jumlah
26
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
dan sasaran penyebaran kuesioner, rancangan pelaksanaan observasi serta format kuesioner. Penentuan Jumlah Sampel Studi ini menggunakan teknik penarikan sampel untuk bahan studi dengan alasan bahwa peneliti tidak mungkin untuk mengamati seluruh anggota populasi. Menurut Sumaatmaja (1988:54) mengatakan bahwa “sampel merupakan bagian dari populasi yang bersifat mewakili populasi yang bersangkutan” . Dan menurut Suharsimi Arikunto (1987) mengemukakan bahwa penarikan sampel tergantung pada: 1) Kemampuan penelitian dilihat dari segi waktu, tenaga dan biaya. 2) Sempit dan Luasnya pengamatan dari setiap subjek karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. 3) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Mengenai besarnya sampel menurut Tika (2005 : 25) mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan yang jelas tentang besaran minimal sampel yang dapat diambil dan dapat mewakili suatu populasi yang akan diteliti. Kendati demikian, dalam teori sampling dikatakan bahwa sampel terkecil dan dapat mewakili distribusi normal adalah 30. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling sehingga diambil 30 kelurahan dari 126 kelurahan yang ada di Kota Bandar Lampung. Adapun rincian karateristik kelurahan yang terpilih sebagai sampel adalah 10 kelurahan pesisir dan 20 kelurahan non pesisir. 1. Tahap Pengumpulan Data Data merupakan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan yang dikaitkan dengan tempat dan waktu, yang merupakan dasar suatu perencanaan dan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Masalah, tujuan, dan hipotesa penelitian, untuk sampai pada suatu kesimpulan harus didukung oleh data-data yang relevan. Relevansi data dengan variabel-variabel penelitian didasari oleh metode pendekatan masalah yang relevan (Sumaatmaja, 1998:104). Pada suatu proses penelitian, tahapan pengumpulan data merupakan tahapan yang harus direncanakan untuk mendapatkan suatu hasil yang optimal yang sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian pada proses-proses selanjutnya. Sumber-sumber data yang dibutuhkan guna penyusunan studi ini adalah: a. Data Sekunder Sumber sekunder merupakan sumber data yang berasal dari instansi yang terkait
dengan studi untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk kegiatan analisis. Di samping itu, data sekunder lainnya adalah studi literatur untuk mendapatkan literatur yang berkaitan dengan studi. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui survei ke beberapa instansi pemerintah yang diharapkan dapat menjadi sumber data, yaitu: 1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung 2) Kantor Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung 3) Badan Pertanahan Nasional Kota Bandar Lampung 4) Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung 5) Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung Waktu pengumpulan data sekunder disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. b. Data Primer Data primer dikumpulkan melalui survai primer yang dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di wilayah studi dan wawancara atau pertanyaan kepada para masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Primer : 1) Pengamatan Visual Pengamatan ini dilakukan dalam identifikasi tingkat kepustakaan dan kebutuhan pengembangan kawasan studi 2) Rekaman Visual Rekaman kondisi eksisting dengan foto atau sketsa-sketsa dalam upaya merekam data-data kondisi lapangan. 3) Penyerapan Aspirasi Melalui Kuisioner Langsung Penyerapan aspirasi dilakukan untuk memperoleh informasi permasalahan dan potensi kawasan saat ini serta untuk menggali kawasan kondisi lingkungan di lapangan. Dengan demikian diharapkan bahwa studi ini dapat dilakukan dengan menggunakan kompilasi data yang didapatkan dari instansi terkait dan masukan dari kondisi sebenarnya di lapangan sehingga data yang diperoleh secara keseluruhan menjadi lebih akurat. 2. Tahap Pengolahan dan Penyajian Data Apabila pengumpulan data sudah dilakukan, maka data yang sudah terkumpul harus diolah dan dianalisis. Prosedur pengolahan data yang akan dilakukan dalam analisis kegiatan studi adalah sebagai berikut (Soehartono, 1995). a. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data sekunder selesai. Teknik pengumpulan data ini dapat digunakan
27
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
sebagai penunjang studi dalam tahap analisis sesuai kebutuhan data. Dalam pengolahan data ada beberapa hal yang harus dikerjakan yaitu: 1) Editing, yaitu meneliti/memilih kembali kelengkapan dan kebenaran atas data yang dibutuhkan. 2) Koding, yaitu dengan mengklasifikasikan frekuensi data dalam masing-masing kelompok/kategori sesuai dengan kebutuhan dalam analisis yaitu dengan pengkodean data agar data lebih mudah dicari. 3) Tabulasi, yaitu dengan mengelompokkan data untuk mempermudah proses analisis. 4) Klasifikasi, yaitu data yang dipilah berdasarkan berdasarkan kebutuhan analisis yang akan dikerjakan. 5) Analisis, yaitu perhitungan data berdasarkan data yang ada dan model analisis yang sudah dikembangkan berdasarkan maksud dan tujuan studi yang sudah disusun. b. Teknik Penyajian Data Setelah data diolah dan diklasifikasi, kemudian disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu seperti berupa tabel diagram, gambar, dll, untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman. 3. Tahap Analisis Pada tahap analisis ini akan dijelaskan mengenai prinsip dasar analisis yang akan digunakan. Teknik analisis yang dipakai sebagai upaya dalam pencapaian tujuan studi adalah Analisis Deskriptif Kualitatif, dengan melihat tingkat kekumuhan dan analisis kuantitatif dengan analisis Regresi ordinal. Metode ini dapat diartikan sebagai usaha untuk mengukur tingkat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kemudian dicari makna hubungan variabel independen terhadap variabel dependen dengan uji signifikansi. a. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ( Sugiyono 2006: 21) yaitu untuk menganalisis gejala atau fakta dengan mengolah dan menginterpretasikan data berupa pendapat serta data-data yang bersifat non angka yang terdapat pada masa sekarang di daerah penelitian. Hasilnya berupa pengkatagorian dengan presentase. P = f/n X 100 % P = nilai presentase n = jumlah data keseluruhan F = Frekuensi munculnya data Untuk mempermudah dalam penafsiran dan penyimpulan, maka digunakan parameter yang dikemukakan oleh Arikunto (1996:57) dimana : 0 % ditafsirkan tidak ada 1-24 % sebagian kecil 25 – 49 % hampir setengahnya 50 % setengah
51- 74 sebagian besar 75 – 99% hampir seluruhnya 100 % seluruhnya Untuk menghitung nilai tingkat kekumuhan digunakan rumus berikut (Dirjen Perumahan dan Pemukiman 2002, dengan modifikasi pengkatagorian):
TK = ∑ ( nk X bobot) Keterangan TK = Tingkat Kekumuhan nk = Nilai Kekumuhan diperoleh dari nilai masing-masing indikator bobot = persentase untuk masing – masing indikator yang telah ditetapkan Nilai TK adalah 1 ≤ tk ≤ 5 dengan kriteria di daerah penelitian sebagai berikut: TK < 2,40 = Tidak Kumuh 2,40 ≤ TK ≤ 2,70 = Agak Kumuh TK > 2,70 = Kumuh Berikut adalah indikator – indikator dan pembobotan dari dirjen Perumahan dan pemukiman yang digunakan dalam penentuan tingkat kekumuhan yaitu: a. Kondisi Bangunan 1) Tingkat kualitas bangunan yaitu persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak permanen dalam suatu lingkungan kawasan 2) Tingkat Kepadatan bangunan yaitu jumlah unit bangunan persatuan luas (Ha) dalam suatu lingkungan kawasan 3) Tingkat kelayakan bangunan yaitu persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak layak atau sehat dalam penggunaan material seperti dinding, plafon dan lantai. 4) Tingkat penggunaan luas bangunan yaitu rata-rata luas ruangan yang dipergunakan oleh penduduk 5) Kesesuaian Lahan yaitu persentase perbandingan antara jumlah rumah yang dibangun di atas tanah yang bukan sebagai perumahan dengan jumlah rumuh yang dibangun pada tanah yang diperuntukan bagi perumahan yang sesuai RUTR. 6) Status penguasaan bangunan yaitu persentase status kepemilikan dan penggunaan bangunan. 7) Frekuensi bencana kebakaran yaitu banyaknya kejadian kebakaran pada suatu kawasan tiap tahunnya 8) Frekuensi bencana banjir yaitu banyaknya bencana banjir pada suatu kawasan dalam satu tahun b. Kondisi Sarana dan Prasarana
28
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
1) Tingkat Pelayanan air bersih yaitu persentase jumlah Kepala Keluarga (KK) yang tidak mendapat pelayanan PDAM baik yang berasal dari kran Rumah Tangga maupun Kran Umum dalam suatu wilayah 2) Kondisi sanitasi lingkungan yaitu persentase jumlah KK yang tidak menggunakan fasilitas jamban keluarga atau jamban umum 3) Kondisi persampahan yaitu jumlah KK yang tidak mendapat pelayanan pengangkutan sampah oleh Pemda, Swasta atau Swadaya. 4) Kondisi saluran air hujan atau drainase yang tidak layak dalam suatu wilayah 5) Kondisi jalan yaitu persentase jalan yang rusak dibandingkan dengan panjang jalan seluruhnya dalam suatu wilayah 6) Ruang Terbuka yaitu persentase luas ruang terbuka dalam satu wilayah c. Kondisi Sosial Ekonomi 1) Tingkat Kemiskinan yaitu Persentase jumlah keluarga miskin dalam katagori pra sejahtera dan keluarga sejahtera I dalam suatu wilayah 2) Tingkat Pendapatan yaitu persentase jumlah penduduk usia produktif dengan pendapatan 3) Tingkat Pendidikan yaitu persentase jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan dasar 9 tahun 4) Tingkat Kerawanan Keamanan yaitu jumlah kejadian tindak kriminal dalam
suatu wilayah yang terjadi dalam kurun satu tahun d. Kependudukan 1) Tingkat Kepadatan Penduduk yaitu perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah dalam satuan hektar 2) Rata-rata anggota Rumah Tangga yaitu rata-rata banyaknya anggota keluarga dalam tiap-tiap KK 3) Jumlah KK per rumah yaitu jumlah KK tiap satu rumah 4) Tingkat pertumbuhan penduduk yaitu pertambahan penduduk tiap tahun pada satu wilayah yang dilihat dari jumlah penduduk awal tahun dan akhir tahun tiap 100 penduduk 5) Angka Kematian Kasar yaitu jumlah kematian pada tahun tertentu tiap 1000 penduduk 6) Status gizi yaitu jumlah balita yang berada dibawah garis merah akibat menderita kekurangan gizi 7) Angka Kesakitan Malaria yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit malaria dalam satu tahun 8) Angka Kesakitan diare yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit diare dalam satu tahun 9) Angka Kesakitan demam berdarah yaitu jumlah penduduk yang menderita penyakit demam berdarah dalam satu tahun. Analisis ini dilakukan untuk menentukan tingkat kekumuhan dengan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Kekumuhan NILAI KRITERIA 0 Tidak Kumuh 1 Agak Kumuh 2 Kumuh Sumber: diadaptasi dari dirjen perumahan dan pemukiman dengan modifikasi
Sedangkan tabel parameter dari penilaian mengenai tingkat kekumuhan pada permukiman kumuh terdapat dalam lampiran. b. Analisis Kuantitatif (Uji Hipotesis) Uji Hipotesis menggunakan Analisis Regresi, dengan pemodelan regresi ordinal. Adapun variabel yang digunakan, simbol dalam pemodelan adalah sebagai berikut: Variabel Respon Variabel respon dalam penelitian ini adalah tingkat kekumuhan dalam wilayah kelurahan. Variabel respon sering juga disebut variabel
terikat, sesuai dengan tujuan penelitian ini variabel respon ( Y ) dalam penelitian ini adalah status kekumuhan yang dikatagorikan dalam tiga katagori sebagai berikut: - tidak kumuh = 0, dengan kriteria TK < 2,40 - agak kumuh = 1, dengan kriteria 2,40 ≤ TK ≤2,70 - kumuh = 2, dengan kriteria TK > 2,70 Variabel Prediktor Variabel prediktor ( X ) yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari variabel yang berkaitan dengan kependudukan, sosial ekonomi, sarana prasarana dan Fisik wilayah
Tabel 2. Variabel yang berkaitan dengan Kependudukan, Sosial Ekonomi, Sarana Prasarana, dan Fisik
29
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
wilayah Variabel Kependudukan Kepadatan Penduduk [PDTP]
Jumlah Anggota Rumah Tangga [RART]
Sosial Ekonomi Tingkat Pendidikan [TPDIK]
Tingkat Kerawanan Keamanan [TKMAN]
Tingkat Kemiskinan [TKIN] Sarana dan Prasarana Pelayanan Air Bersih [PYSIH]
Kondisi Jalan [JLN]
Ruang Terbuka [RT]
Fisik Kesesuaian Lahan [LT]
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab hasil dan pembahasan ini, dapat diungkapkan kondisi kota Bandar Lampung secara makro, dimana dari 30 kelurahan yang diteliti terungkap bagaimana karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata menyebabkan terciptanya kekumuhan di Kota Bandar Lampung pada umumnya dan di daerah penelitian pada khususnya. Karateristik Permukiman di Daerah Penelitian 1. Karateristik Hunian Daerah Penelitian a. Kualitas Bangunan dan kelayakan bangunan Hasil analisis data pada penelitian diperoleh hasil bahwa kualitas dan kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya bangunan yang tidak permanen, yaitu sebesar 90 % katagori 4 ( 51-70 %), sisanya 10 % katagori 3 ( 31- 50 % ). Sementara di wilayah non pesisir hanya sebesar 60 % katagori 4, 35 % katagori 3 dan ada yang masuk katagori 2 sebesar 5 %.
Katagori
=1, jika kepadatan < 100 jiwa/ha =2, jika kepadatan 100 -200 jiwa/ha =3, jika kepadatan > 200 jiwa/ha =1, jika jml anggota RT < 5 org =2, jika jml anggota RT 5- 6 org =3, jika jml anggota RT > 6 org =1, jika jml tamat pendidikan dasar < 5 % =2, jika jml tamat pendidikan dasar 5- 10% =3, jika jml tamat pendidikan dasar > 10 % =1, jika 0 kali kejahatan/th =2, jika 1-3 kali kejahatan/th =3, jika 4- 6 kali kejahatan/ th =4, jika > 6 kali kejahatan/th =1, jika tingkat kemiskinan < 35 % =2, jika tingkat kemiskinan > 35 % =1, jika jml kk tdk terlayani air bersih < 30 % =2, jika jml kk tdk terlayani air bersih 30 – 50 % =3, jika jml kk tdk terlayani air bersih > 50 % =1, jika jln rusak < 10 % =2, jika jln rusak 11 – 50 % =3, jika jln rusak > 50 % =1, jika ruang terbuka > 10 %luas wilayah =2, jika ruang terbuka 5 - 10% luas wilayah =3, jika ruang terbuka < 5% luas wilayah =1, jika tanah tdk sesuai RUTR < 10 % =2, jika tanah tdk sesuai RUTR 11- 30 % =3, jika tanah tdk sesuai RUTR > 30 %
Untuk Kelayakan bangunan di wilayah pesisir hampir seluruhnya katagori 2 ( 11- 30 % ) yaitu sebesar 80%, sementara di wilayah non pesisir didominasi oleh katagori 3 (31- 50%) sebesar 65 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah pesisir sering terjadi genangan air sehingga mereka cenderung untuk memakai material bangunan seperti dinding, plafon dan lantai yang lebih kuat dibandingkan dengan yang ada di wilayah non pesisir. b. Tingkat Kepadatan Bangunan Bangunan-bangunan di daerah penelitian menunjukan variasi tiap-tiap kelurahan, untuk daerah padat penduduk dan pusat kota seperti teluk betung memiliki kepadatan bangunan katagori 4 yaitu antara 151 – 200 unit/ ha, namun untuk daerah yang kepadatan penduduknya kecil dan tidak masuk dalam kawasan ataupun perdagangan dan industri seperti kelurahan panjang utara, maka kepadatan bangunan dikatagorikan 1 sampai 2 dengan kepadatan kurang dari 50 unit/Ha atau paling padat 100 unit/ Ha.
30
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
c. Kesesuaian Lahan dan Status Kepemilikan Penggunaan Bangunan Legalitas dan status kepemilikan ini akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman, pada umumnya untuk legalitas biasanya yang illegal terjadi di sekitar bantaran sungai, tepi rel kereta api seperti di kelurahan Gunung Sari dan Srengsem. Di bawah ini dapat diilustrasikan kondisi legalitas dan status kepemilikan di daerah penelitian.
Hasil penelitian ini, yang mempunyai frekuensi banjir sering di antaranya Kelurahan Way Lunik, Teluk Betung dan daerah dataran rendah lainnya. Sedangkan untuk daerah yang masuk ke dataran yang agak tinggi seperti Kelurahan Gunung Sari banjir tidak terjadi karena air limpasan hujan pasti turun ke daerah yang lebih rendah.
Frekuensi Kebakaran dan Frekuensi Kebanjiran Frekuensi kebakaran dan frekuensi kebanjiran juga merupakan indikator suatu kawasan diakatorikan kumuh atau tidak. Pada umumnya jika kepadatan bangunan suatu wilayah cukup padat, kemungkinan terjadinya kebakaran lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki kepadatan bangunan yang padat, demikian juga sering tidaknya suatu kawasan banjir dapat menunjukan bahwa kawasan yang sering banjir di daerah itu banyak saluran yang tersumbat diakibatkan banyak sampah yang menumpuk dan menyebabkan meluapnya air ke permukiman apabila musih hujan tiba. Dari
a. Kondisi Ekonomi (1) Tingkat Pendapatan Menurut hasil survei dan pengamatan yang dilakukan di daerah penelitian tingkat pendapatan rata-rata di daerah penelitian, diperoleh hasil ternyata wilayah non pesisir lebih variatif dibandingkan wilayah pesisir, di wilayah pesisir ada 3 katagori di wilayah non pesisir ada 4 katagori, namun ada kesamaan di kedua wilayah, dimana tingkat pendapatan sebagian besar katagori 3 (16 – 25 %), Untuk lebih jelasnya tingkat pendapatan untuk masingmasing katagori di kedua wilayah dapat dilihat pada tabel 2. sebagai berikut:
2. Karateristik Penghuni Daerah Penelitian
Tabel 3. Prosentase Tingkat Pendapatan Di Daerah Penelitian Tingkat Pendapatan Wilayah Pesisir Wilayah Non Pesisir Lebih besar 35 % 0,00 5,00 26 – 35 % 16 – 25 % 6 – 15 % Kurang dari 6 % Sumber : Analisis Data ,2015 (2) Tingkat Kemiskinan Dari hasil penelitian yang diperoleh di daerah penelitian ternyata sangat memprihatinkan, karena hampir seluruh kelurahan memiliki tingkat kemiskinan lebih dari 35 %, hanya ada 2 kelurahan yang tingkat kemiskinannya dibawah 35 %, yaitu kelurahan
30,00 50,00 20,00 0,00
15,00 65,00 15,00 5,00
Tanjung Seneng dan kelurahan Way Kandis. Hal ini mengidentifikasi bahwa sebagian besar Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung masih dikatagorikan keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I. Lebih Jelasnya Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian
No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Kelurahan
Panjang Selatan Panjang Utara Srengsem Way Lunik Karang Maritim Kota Karang Keteguhan Sukamaju
Wilayah
Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir
Tingkat Kemiskinan (%)
56,65 47,78 64,72 76,49 52,92 53,79 49,44 54,67
31
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Teluk Betung Pesawahan Labuhan Ratu Kampung Baru Kedaton Surabaya Panengahan Kemiling Permai Gedong Air Gunung Sari Tanjung Seneng Way Kandis Pasir Gintung Kaliawi Gotong Royong Palapa Kelapa Tiga Durian Payung Rajabasa Rajabasa Jaya Gedong Meneng Rajabasa Raya
Pesisir Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir
58,36 69,71 46,61 63,75 40,06 56,36 45,05 44,31 50,08 53,95 28,77 34,56 60,41 55,93 55,66 62,14 57,72 76,77 55,51 53,97 48,40 52,00
Sumber : Analisis Data 2015 b. Kondisi Sosial (1) Tingkat Kerawanan Keamanan Umumnya tingkat kerawanan berada pada katagori 3 (3-4 kali/th) di wilayah pesisir, dan katagori 2 (1-2 kali/th) di wilayah non pesisir. Kondisi lingkungan seperti ini dapat dikatakan relatif aman, dan menunjukan bahwa di wilayah pesisir lebih rawan dibandingkan wilayah non pesisir. Pada umumnya kejahatan yang ada adalah pencurian, sedangkan konflik antar warga cenderung tidak terjadi, karena adanya hubungan kekerabatan yang erat antar warga atau berasal dari daerah yang sama. Hal ini juga disebabkan oleh persamaan latar belakang sosial budaya dan ekonomi antar penduduk, sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di masyarakat. (2) Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk wilayah non pesisir yang dikatagorikan tamat pendidikan dasar 9 tahun sangat kecil yaitu katagori 2 (1- 5 %) saja, sedangkan di wilayah pesisir ternyata cukup besar yaitu sebagian besar katagori 3 (6 – 10 %), berarti masih ada 6 -10% penduduk wilayah pesisir belum dapat pendidikan dasar 9 tahun. Rendahnya tingkat pendapatan, menyebabkan faktor pendidikan tidak menjadi prioritas utama dalam keluarga. Dengan demikian penilaian dari aspek pendidikan terhadap masyarakat di daerah penelitian terdapat lebih dari 5% penduduk tidak menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. c. Kondisi Kependudukan (1) Tingkat Kepadatan Penduduk Secara tingkat kepadatan, menunjukan bahwa Kota Bandar Lampung secara menyeluruh
masih memiliki cukup lahan untuk dapat menampung jumlah penduduk yang ada. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 250 jiwa/ Ha hanya kelurahan Kota Karang , Gotong Royong dan kelurahan Teluk Betung. Sedangkan Kelurahan lain memiliki kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwa/Ha. (2) Jumlah Anggota Rumah Tangga Rumah umumnya dihuni oleh 4 – 6 orang (63,6%) dan lebih dari 6 orang (27,3%) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Jumlah Rumah Tangga yang terdapat di daerah penelitian, umumnya tiap rumah di huni oleh satu keluarga dengan jumlah anak rata-rata 2 – 4 orang, sehingga jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 10 orang. Sedangkan jumlah Kepala keluarga dalam satu rumah umumnya hanya terdapat 1 keluarga dalam satu rumah. Adapun warga pendatang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk setempat, umumnya membangun sendiri rumah mereka di sekitar perumahan yang ada. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan lingkungan, rumah yang tidak tertata, berupa lorong tikus, tanpa jalan, dan tanpa garis sempadan bangunan. (3) Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan data jumlah penduduk pada Tahun 2011 dan tahun 2012 diketahui bahwa kecenderungan pertambahan penduduk bertambah rata-rata 2,5% per tahun. Hal ini nampak dari semakin padatnya permukiman di sekitar tepian sungai dan area sungai. Kecenderungan ini menyebabkan semakin tidak tertatanya lingkungan permukiman dan
32
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
perumahan di sebagian besar daerah penelitian, sehingga diperlukan penataan permukiman dan ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang layak. Antisipasi Pemda setempat diharapkan dapat dilakukan sebagai upaya untuk memberikan permukiman yang layak bagi masyarakat di daerah penelitian khususnya dan di Kota Bandar Lampung pada umumnya. (4) Angka Status Gizi Balita Keterbatasan ekonomi, kondisi lingkungan dan bangunan yang tidak layak, menyebabkan rendahnya status gizi balita pada lokasi. Berdasarkan penilaian status gizi balita, terdapat 10 – 30% balita berada di bawah garis merah dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Kondisi tersebut hingga saat ini belum mengalami perubahan signifikan, masalah ekonomi masih menjadi penyebab rendahnya status gizi balita. (5) Angka Kesakitan dan Kematian Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di daerah penelitian adalah diare yang sebagian besar diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab dari penyakit tersebut adalah kondisi lingkungan; kondisi sarana dan prasarana lingkungan yang tidak layak, antara lain b. Kondisi Sanitasi Lingkungan Dari kondisi sanitasi lingkungan, penelitian ini hanya melihat dari segi pemakaian jamban keluarga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa wilayah pesisir sanitasi lingkungannya lebih buruk daripada wilayah non pesisir, tidak ada katagori 1 ( < 10 % ) yang belum memakai jamban, sedangkan di wilayah non pesisir ada sebesar 15 % masuk katagori 1. Hal ini kemungkinan disebabkan juga adanya kebiasaan penduduk di wilayah pesisir yang membuang kotoran di air laut. c. Kondisi Persampahan Kondisi pelayanan persampahan di wilayah pesisir cenderung lebih buruk, karena dari hasil penelitian terlihat bahwa ada sebesar 60 % yang masuk katagori 3 (31-50 %), di wilayah non pesisir hanya 25 %, sementara wilayah pesisir juga tidak ada yang masuk katagori 1, di wilayah non pesisir ada sebesar 15% yang termasuk katagori 1. Tidak adanya armada angkutan sampah dan tempat pembuangan sampah sementara yang memadai menyebabkan penduduk lebih memilih cara yang mudah dilakukan dan tempat yang mudah dijangkau. Dari cara membuang sampah penduduk, dapat dikatakan bahwa sebagaian besar (51- 70 %) penduduk membuang sampah di tempat yang bukan peruntukannya. d. Kondisi Saluran Air Hujan / drainase Umumnya kualitas drainase lingkungan di daerah penelitian kurang baik, yaitu sekitar 11
pelayanan air bersih, sanitasi lingkungan, persampahan dan saluran air. Upaya perbaikan sarana & prasana lingkungan yang telah dilaksanakan belum efektif akibat kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan, serta sarana & prasarana lingkungan menjadi kendala utama dalam perbaikan lingkungan. 3. Karateristik Sarana Prasarana a. Tingkat Pelayanan Air Bersih Berdasarkan data dari BPS, pelayanan air bersih sebagian besar penduduk tidak terlayani PDAM, mereka ada yang menggunakan sumur gali ataupun dengan pelayanan air bersih umum, seperti yang terjadi di Desa Srengsem Kecamatan Panjang. Di daerah penelitian sebagian besar penduduk belum memperoleh air bersih dari saluran PAM sebesar 60 % katagori 5 ( > 70 % ) terutama yang bermukim di wilayah pesisir, namun bagi penduduk yang bermukim di wilayah non pesisir 50 % katagori 5. Hal ini menunjukkan pelayanan air bersih di wilayah non pesisir masih lebih baik dibandingkan wilayah pesisir. s.d 30 persen drainase buruk, namun secara keseluruhan wilayah pesisir lebih buruk dari wilayah non pesisir, dimana wilayah non pesisir masih memiliki drainase buruk kurang dari 10 persen sebesar 15 %, sedangkan wilayah pesisir tidak ada Kelurahan yang drainase buruknya lebih kecil dari 10 persen. Hal ini tampak dari visualisasi yang dilakukan di lapangan. ( Gambar 1).
Gambar 1. Kondisi sanitasi/ wc buruk e. Kondisi Jalan Terdapat kesamaan antara wilayah pesisir dan wilayah non pesisir 90% jalan lingkungan dan jalan setapak yang memiliki kondisi yang baik dan hanya 10% lahan yang belum terlayani jalan, dengan pola letak jalan dan perumahan yang belum tertata dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakankan hanya sebagian
33
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
kecil kelurahan di daerah peneltian yang belum terlayani jalan. f. Kondisi Ruang Terbuka Tapak ruang terbuka di daerah penelitian, umumnya merupakan lahan tidak terurus yang ditumbuhi tanaman liar, yang juga dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Untuk permukiman wilayah pesisir setengah ( 50 % ) hanya terdapat 5-7,5 % ruang terbuka, sehingga penduduk tidak dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam tanaman. Di kawasan tepian sungai hanya nampak tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah dan menambatkan perahu, Sedangkan di daerah non pesisir ternyata lebih kecil persentase ruang terbukanya yaitu 2,5 -5,0 % sebesar 60 persen. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan bahwa di daerah penelitian tingkat
kekumuhan dikatagorikan sebagian agak kumuh sebesar 10 kelurahan dan kumuh sebesar 10 kelurahan, sedangkan yang dikatagorikan tidak kumuh sebesar 10 kelurahan. Di daerah pesisir seluruh kelurahan di daerah penelitian dikatagorikan kumuh dan agak kumuh, sementara di daerah non pesisir ada beberapa variasi, hal ini menunjukan bahwa secara deskriptif anggapan sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa wilayah pesisir cenderung lebih kumuh dibandingkan wilayah non pesisir terbukti pada hasil penelitian ini. Untuk lebih jelasnya persebaran tingkat kekumuhan di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 4. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian.
Tabel 5. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian
No.
Nama Kelurahan
Wilayah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Panjang Selatan Panjang Utara Srengsem Way Lunik Karang Maritim Kota Karang Keteguhan Sukamaju Teluk Betung Pesawahan Labuhan Ratu Kampung Baru Kedaton Surabaya Panengahan Kemiling Permai Gedong Air Gunung Sari Tanjung Seneng Way Kandis Pasir Gintung Kaliawi Gotong Royong Palapa Kelapa Tiga Durian Payung Rajabasa Rajabasa Jaya Gedong Meneng Rajabasa Raya
Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir Non Pesisir
Tingkat Kekumuhan
Kumuh (2,84) Kumuh (2,93) Agak Kumuh (2,56) Kumuh (2,74) Agak Kumuh (2,63) Kumuh (3,06) Kumuh (2,72) Kumuh (2,71) Kumuh (3,17) Agak Kumuh (2,60) Agak Kumuh (2,54) Tidak Kumuh (2,12) Tidak Kumuh (2,20) Tidak Kumuh (2,13) Tidak Kumuh (2,13) Agak Kumuh (2,40) Tidak Kumuh (2,25) Kumuh (2,94) Tidak Kumuh (1,44) Tidak Kumuh (2,19) Agak Kumuh (2,55) Kumuh (2,89) Kumuh (2,77) Agak Kumuh (2,65) Agak Kumuh (2,70) Agak Kumuh (2,60) Agak Kumuh (2,46) Tidak Kumuh (2,22) Tidak Kumuh (2,37) Tidak Kumuh (2,20)
Sumber: Analisis Data, 2015
34
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
Berdasarkan hasil analisis Regresi Logistik Ordinal, dapat ditabulasikan sebagai berikut:
Faktor-faktor yang menyebabkan permukiman kumuh di daerah penelitian
Tabel 6. Kesimpulan Hasil Analisis Regresi Logistik Ordinal Predictor
Coef
Const (1) -39,3247 Const (2) -35,0000 Kependudukan Kepadatan 2,54223 Penduduk [PDTP] Jumlah Anggota 0,286159 Rumah Tangga [RART] Sosial Ekonomi Tingkat -0,463545 Pendidikan [TPDIK] Tingkat 0,904406 Kerawanan Keamanan [TKMAN] Tingkat 5,33320 Kemiskinan [TKIN] Sarana dan Prasarana Pelayanan Air 3,99117 Bersih [PYSIH] Kondisi Jalan -0,204113 [JLN] Ruang Terbuka 4,08552 [RT] Fisik Keseuaian Lahan 3,22812 [LT] Sumber: Analisis Data, 2015
SE Coef
Z
P
Odds Ratio
lower
upper
Keterangan
13,9336 13,1668
-2,82 -2,66
0,005 0,008
1,07197
2,37
0,018
12,71
1,55
103,88
berpengaruh
0,75815
0,38
0,706
1,33
0,30
5,88
Tdak berpengaruh
2,00459
-0,23
0,817
0,63
0,01
31,99
Tidak Berpengaruh
1,00653
0,90
0,369
2,47
0,34
17,76
Tidak Berpengaruh
2,79171
1,91
0,056
207,10
0,87
49258,93
Berpengaruh
1,63526
2,44
0,015
54,12
2,19
1334,38
Berpengaruh
1,29543
-0,16
0,875
0,82
0,06
10,33
2,48619
1,64
0,100
59,47
0,46
7772,70
Tidak Berpengaruh Berpengaruh
1,55503
2,08
0,038
25,23
1,20
531,62
Berpengaruh
Dari tabel hasil regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa Ho ditolak apabila nilai signifikansi semua parameter variabel independen yang masuk model lebih kecil dari α = 10 %, artinya paling tidak ada satu parameter variabel independen tidak sama dengan nol. Variabel yang signifikan secara bersama-sama mempengaruhi tingkat kekumuhan adalah ada kepadatan penduduk [PDTP], Tingkat Kemiskinan [TKIN], pelayanan air bersih [PYSIH], ruang terbuka [RT], dan Keseuaian Lahan [LT]. Berdasarkan hasil analisis tersebut , Coef β2 = 1,07197 odds ratio = 12,7, P value = 0,018, makna dari hasil tersebut adalah bahwa tingkat kepadatan penduduk berpengaruh positif
3), maka tingkat kekumuhan mengalami peningkatan sebesar 12,71 kali semula. Berdasarkan teori pertumbuhan penduduk, hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena jika penduduk semakin bertambah, maka kebutuhan hidup baik papan, sandang maupun kebutuhan fasilitas lain semakin meningkat juga, dan jika daya dukung lingkungan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk maka tentu kondisi ketidakkumuhan akan terjadi, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan permukimanpermukiman kumuh, seperti terlihat di kelurahan teluk betung sebagai berikut.
( P = 0,018 ). Dalam hal ini jika nanti kelurahan yang kepadatan penduduknya Jarang (katagori 1) berkembang menjadi berkepadatan sedang (katagori 2) atau yang sekarang berkepadatan sedang berkembang menjadi padat ( katagori
35
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lainlain. 4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh pujian, piagam, tanda jasa, hadiah dan banyak lagi yang lainnya. 5. Kebutuhan Aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Gambar 2. Contoh kondisi perumahan di kelurahan teluk betung Untuk variabel tingkat kemiskinan [TKIN] nilai coef = 2,79171, odds ratio = 207,10 dan P value = 0,056, ini bermakna bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh secara positif (P = 0,056). Dalam hal ini jika kelurahan yang mempunyai tingkat kemiskinan pada katagori 1 berkembang menjadi katagori 2, maka tingkat kekumuhan meningkat menjadi 207,10 kali semula. Hal ini sesuai dengan teori kemiskinan Abraham Maslow dengan piramida kebutuhan manusia. Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kelompok kebutuhan . Kelima kelompok kebutuhan tersebut disusunnya berbentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki kebutuhan. Susunannya mulai dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Oleh sebab itu motivasi manusia kata Malow sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu terlebih dahulu dipenuhi. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Maka teori ini sering juga disebut sebagai Piramida Maslow. Adapun urutan kelima kelompok kebutuhan itu seperti berikut:
Meskipun banyak kritik tentang teori ini, namun secara umum mengandung fakta dalam kebanyakan kehidupan manusia. Dan Maslow sendiri dalam tahuntahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut (Stephen R.Covey dalam bukunya First Things First). Katanya, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama. Sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Variabel Pelayanan Air Bersih [PYSIH] ( β3 coef = 1, 63526), Odds Ratio = 54,12 dan P value = 0,015 bermakna bahwa jika suatu kelurahan persentase pelayanan air bersih tidak terlayani meningkat dari katagori 1 menjadi katagori 2, dan dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan kelurahan tersebut akan meningkat sebesar 54, 12 kali semula. Kondisi ini sangat wajar karena air bersih merupakan kebutuhan vital untuk memenuhi kebutuhan manusia, jika kondisi air bersih di suatu tempat sangat minim maka tentu permukiman tersebut sangat jauh dari harapan untuk tidak menjadi permukiman kumuh. Hal ini menunjukan betapa pentingnya program pelayanan sarana air bersih harus senantiasa ditingkatkan oleh pemerintah agar masyarakat dapat hidup sehat dan tidak kumuh.
1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya 3. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga,
36
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
Odd ratio Kesesuaian Lahan [LT] sebesar 25, 23 artinya jika legalitas tanah berkembang dari katagori 1 menjadi katagori 2, dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 25,23 kali dari semula. Pada umumnya tanah untuk permukiman yang tidak sesuai dengan RUTR adalah di tepi rel kereta api, di bantaran sungai dan di dekat tegangan tinggi.
Gambar 3. Contoh kondisi pelayanan air bersih di kelurahan Srengsem Variabel Ruang Terbuka [RT] meskipun dengan tingkatsignifikansi 90 % ( P value = 0,100 ), namun dengan odd ratio sebesar 25, 23 menunjukan pengaruh yang berarti besar, karena jika ruang terbuka dari katagori 1 menjadi katagori 2, atau dari katagori 2 menjadi 3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat 59,47 kali semula. Hal ini menunjukkan pentingnya penghijuan di wilayah kota, sehingga tidak semua lahan menjadi bangunanbangunan seluruhnya. Meskipun kadang terlihat ruang terbuka yang ada menjadi pembuangan sampah bagi orang-orang yang berprilaku buruk. Hal ini terlihat lebih jelas pada visualisasi sebagai berikut.
Gambar 4. Ruang terbuka yang kadang disalahgunakan untuk membuang sampah
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan 1. Ada perbedaan yang nyata tingkat kekumuhan antara wilayah pesisir dan wilayah non pesisir, dimana wilayah
Gambar 5. Perumahan yang ada di tepi rel kereta api Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan, kondisi jalan, rata-rata anggota rumah tangga, dan tingkat kerawanan keamanan ternyata dari hasil analisis regresi ordinal nilai P ( P value ) lebih besar dari 10 persen sehingga dapat dikatakan tidak berpengaruh secara sifnifikan terhadap tingkat kekumuhan di daerah penelitian. Hal ini dimungkinkan karena tingkat pendidikan di wilayah pada umumnya seragam tidak ada perbedaan yang mencolok. Demikian juga ketiga variabel yang lain, meskipun memiliki pengaruh tetapi tidak nyata, karena baik kondisi jalan, tingkat kerawanan dan ratarata anggota rumah tangga juga kebanyakan tidak mempunyai variasi antara masing-masing wilyah di daerah penelitian.
pesisir rata-rata tingkat kekumuhannya lebih tinggi daripada wilayah non pesisir. 2. Persebaran tingkat kekumuhan di wilayah non pesisir lebih bervariasi, ada yang di katagorikan tidak kumuh, agak kumuh , dan ada yang dikatagorikan kumuh, Sedangkan di wilayah pesisir hanya ada dua katagori yaitu kumuh dan agak kumuh.
37
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
3. Sembilan faktor prediktor yang diuji pengaruhnya terhadap tingkat kekumuhan di daerah penelitian, ternyata yang secara signifikan berpengaruh besar meningkatkan tingkat kekumuhan adalah tingkat kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, legalitas tanah dan pelayanan air bersih, serta ruang terbuka. Adapun faktor tingkat pendidikan, tingkat kerawanan keamanan, kondisi jalan, dan rata-rata anggota rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kekumuhan. Rekomendasi 1. Bagi Pemerintah a. Perlu dilakukan program pemberdayaan mayarakat untuk peningkatan kualitas permukiman di seluruh wilayah kota Bandar Lampung, baik di wilayah pesisir maupun non pesisir. b. Penyediaan sarana prasarana, terutama pelayanan air bersih perlu ditingkatkan di seluruh wilayah kota baik di wilayah pesisir maupun di wilayah non pesisir. c. Kebijakan tata ruang wilayah harus memiliki ketegasan dan perencanaan yang matang, sehingga legalitas tanah, benar-benar membuat warga aman dan nyaman bertempat tinggal. Hal ini akan dapat meningkatkan penataan permukiman kota yang lebih baik. d. Peningkatan Pemberdayaan masyarakat dalam pengerahan kebersihan lingkungan. 2. Bagi Masyarakat a. Pemuka/tokoh masyarakat setempat perlu mendorong masyarakatnya untuk melakukan program swadaya masyarakat dalam hal kebersihan lingkungan permukiman di masing-masing wilayah tempat tinggalnya. b. Mendukung program pemerintah yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Agustina, Ina H., 2013, Kajian tentang Konsep Keberlanjutan pada Beberapa Kota Baru dan Permukiman Berskala Besar, Jurnal PWK Unisba Amri,Nurmaida, 2013, Karateristik Lingkungan Permukiman Kumuh Tepian Sungai Kecamatan Lolaka, Sulawesi Tenggara, Jurnal Jupiter Volume XII No.1
Bintarto, 1983, Urbanisasi dan Permasalahannya, Ghalia, Yogyakarta Burhanuddin, 2010, Karateristik Teritorialitas Ruang pada Permukiman Padat di Perkotaan, Jurnal “ruang” Volume 2 Nomor 1 Deputi Pengembangan Kawasan, 2012, Buku Panduan Penanganan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh berbasis kawasan TA 2013, Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta Departemen Pekerjaan Umum, 2008, Penataan ruang wilayah, DPU, Jakarta Ekaputra, Yohanes D., Pengaruh Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pada Sistem Permukiman Nelayan (Kajian Kawasan Nelayan TasikAgung Kabupaten Rembang) Haryanto, Asep, 2013, Strategi Penanganan Kawasan Kumuh sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Permukiman yang sehat, Jurnal PWK Unisba Iskandar, Johan, 2014, Manusia dan Lingkungan dengan berbagai permasalahan, Graha Ilmu, Yogyakarta Khomarudin M.1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta Lestari, Forina, 2006, Identifikasi Tingkat Kerentanan Masyarakat Permukiman Kumuh Perkotaan melalui Pendekatan Suistanable Urban Livelihood (SUL) (Studi Kasus : Kelurahan Taman Sari, Bandung ). Lestari Indah D. dan Sugiri, Agus, 2013, Peran Badan Keswadayaan Masyarakat dalam Penanganan Permukiman Kumuh di Podosugih, Kota Pekalongan. Jurnal Teknik PWK Volume 2 Nomor I Makarao, M.T., 2011, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta Muchsin dan koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, PT Sinar Grafika, Jakarta Priyatno, Duwi, 2010, Teknik Mudah dan Cepat melakukan analisis data penelitian dengan SPSS, Penerbit Gaya Media, Yogyakarta Rohadi, Tasdiyanto Dr., 2011, Budaya Lingkungan Akar Masalah dan Solusi Krisis Lingkungan, Ecologia Press, Yogyakarta Small, Christopher, Global Analysis of Urban Population Distribution and The
38
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39
Physical Environment, Columbia University, Columbia Soemirat, Juli, 2011 (edisi revisi), Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soemarwoto, Otto, 1997 (edisi revisi), Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Supriyatno.Budi, Manajemen Tata Ruang, 2009, CV Media Berlian, Jakarta Surtiani, E.E, 2006, Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya kawasan permukiman kumuh di kawasan pusat Kota ( Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga ), Tesis Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro , Semarang.
39