BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.6
Analisa Debit Limpasan Permukaan Analisa ini bertujuan untuk mengetahui debit air pada kawasan kampus Kijang,
Universitas Bina Nusantara, Kemanggisan, Jakarta Barat, pada saat hujan. Untuk dapat melakukan analisa ini maka diperlukan data dari debit limpasan permukaan. Data debit limpasan permukaan diperoleh dari kedalaman curah hujan yang terjadi berdasarkan PUH ( Periode Ulang Hujan ). Untuk memperoleh data kedalaman curah hujan yang terjadi berdasarkan PUH maka perlu dilakukan analisa. Untuk mempermudah analisa maka perlu dilakukan langkah – langkah sebagai berikut : a. Analisa curah hujan b. Analisa frekuensi curah hujan c. Analisa intensitas curah hujan d. Analisa pemilihan metode intensitas curah hujan
3.6.1
Mencari Curah Hujan Maksimum Harian Seperti yang telah dijelaskan pada bab III penentuan curah hujan efektif dimulai
dari mencari hujan maksimum harian yang diperoleh dari tabel curah hujan harian stasiun Cengkareng pada sehingga diperoleh data seperti tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1. Data Curah Hujan Maksimum Harian Curah hujan max perhari (mm) Tahun Tanggal Bulan Hujan 1990 27 Januari 83,00 1991 28 Febuari 98,00 1992 23 Januari 116,00 1993 7 Febuari 136,00 1994 1 Maret 85,00 1995 12 Desember 80,00 1996 9 Febuari 107,00 1997 14 Januari 103,00 1998 27 Febuari 108,00 1999 27 Desember 97,00 2000 26 April 94,50 2001 22 Januari 84,30 2002 20 Maret 73,00 Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta Pusat ( Tahun 2009 )
Melalui data tersebut dapat dilakukan beberapa langkah analisa sebagai berikut yaitu : a. Analisa frekuensi curah hujan b. Analisa intensitas curah hujan. Analisa – analisa tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung debit limpasan permukaan.
3.6.2
Analisa Frekuensi Curah Hujan Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2, bahwa analisa frekuensi curah hujan
menggunakan 4 distribusi yang sering digunakan yaitu distribusi Normal, distribusi log normal, distribusi Gumbel dan distribusi log Pearson III. Pada penelitian ini perhitungannya menggunakan metode Log Pearson Type III, karena pada dasarnya setiap distribusi memiliki persyaratan yang harus dipenuhi seperti yang tertera pada tabel 2.5 pada bab 2. Adapun parameter yang mencermikan
persyaratan tersebut tersebut antara lain adalah koefisien Skewness atau kemencengan dan koefisien kurtosis. Berdasarkan hasil pada perhitungan besaran statistik data curah hujan tidak ditemukan adanya perbedaan parameter diantara ke tiga metode tersebut sehingga berdasarkan persyaratan maka harus digunakan metode log Pearson Type III berikut ini.
yT = +Kjsy
Hasil analisa frekuensi curah hujan nantinya akan digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Hasil analisa frekuensi ini merupakan PUH ( Periode Ulang Hujan ) harian maksimum dalam 2, 5 dan 10 tahun. Melalui persamaan diatas diperoleh data sebagai berikut : Tabel 4.2. Tabel Parameter Metode Log Pearson III Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Jumlah Rata ‐ rata s Cs
x 83,00 98,00 116,00 136,00 85,00 80,00 107,00 103,00 108,00 97,00 94,50 84,30 73,00 1264,80 97,2923
yi = ln x 4,4188 4,5849 4,7535 4,9126 4,4426 4,3820 4,6728 4,6347 4,6821 4,5747 4,5486 4,4343 4,2904 59,3325 4,564
(yi‐ )2 0,0211 0,0004 0,0359 0,1215 0,0147 0,0331 0,0118 0,0050 0,0139 0,0001 0,0002 0,0168 0,0748 0,3496 0,1707
(yi‐ )3 -0,0031 0,0000 0,0068 0,0424 -0,0018 -0,0060 0,0013 0,0004 0,0016 0,0000 0,0000 -0,0022 -0,0205 0,0189
0,3749
Untuk menghitung PUH ( Periode Ulang Hujan ) menggunakan distribusi Log Pearson III dibutuhkan tahapan – tahapan perhitungan seperti yang telah dijelaskan pada bab 2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh perhitungan PUH ( Periode Ulang Hujan ) 2 tahun berikut ini :
Untuk mengetahui PUH 2 tahun maka dibutuhkan standar deviasi ( s ) dan koefisien Skewness ( Cs ) yang digambarkan dalam persamaan 2.18 dan 2.20 dibawah ini dengan nilai yi = ln xi. ∑ 0,3496
0,1707
∑ 0,0189 0,1707
0,3749
Untuk koefisien Skewness ( Cs ) = 0,3749 ≈ 0,4, dari tabel 2.4 pada lampiran 2 didapat harga k = ‐ 0,066. Dari setiap nilai yang didapat dihitung dengan persamaan 2.41 berikut ini. yT = 4,564+ (‐ 0,066) 0,1707
yT = 4,5527 Æ hitung anti ln = arc ln 4,5528 = 94,8957 mm/hari dengan cara yang sama hitung untuk periode ulang 5 serta 10 tahun dan didapat seperti pada tabel 4.3. berikut ini. Tabel 4.3. Perhitungan Periode Ulang Hujan Harian Maksimum PUH yT K K.s ln yT ( Tahun ) ( mm/hari ) 2 -0,066 -0,0112 4,55 94,9 5 0,816 0,1393 4,70 110,31 10 1,317 0,2248 4,79 120,16
3.6.3
Analisa Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan yang dinyatakan dengan I menyatakan besarnya curah
hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan perjam. Untuk mengubah curah hujan menjadi intensitas curah hujan dapat digunakan 2 metoda sebagai berikut : a. Metoda Van Breen
b. Metoda Hasper Der Weduwen Hasil analisa dari kedua metode diatas tidak digunakan semua melainkan akan dipilih salah satu dengan uji kecocokan yang dipakai dalam standar desain debit banjir di Indonesia yaitu metode Talbot, Sherman, dan Ishiguro, sehingga intensitas curah hujan yang dihasilkan dapat mewakili daerah penelitian. Metode – metode tersebut merupakan metode – metode yang paling umum digunakan di Indonesia. Hasil dari intensitas curah hujan nantinya akan digunakan untuk menghitung debit limpasan permukaan.
Metode Van Breen Untuk mengetahui intensitas curah hujan menggunakan metode ini maka digunakan persamaan 2.43 berikut ini. , ,
Hasil perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan Metode Van Breen dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4. Intensitas curah hujan metode Van Breen Durasi ( menit ) 5 10
Intensitas curah hujan ( mm/hari) PUH 2 PUH 5 PUH 10 94,9 110,31 120,16 150,72 154,15 155,97 131,6 136,71 139,47
20 30 60 80 120
118,88 97,51 59,09 32,70 13,63
120,44 98,09 59,33 32,81 13,67
121,25 98,4 59,46 32,87 13,69
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh perhitungan intensitas curah hujan menurut metode Van Breen dengan durasi 5 menit dan periode ulang 2 tahun berikut ini. ,
, ,
,
150,72
,
/
Metoda Hasper Der Weduwen
Untuk mengetahui intensitas curah hujan menggunakan metode ini maka digunakan persamaan 2.46 dan 2.45 berikut ini sebelum memperoleh intensitas curah hujan.
,
Setelah mendapatkan nilai dari persamaan diatas kemudian hitung intensitas curah hujan dengan persamaan 2.47 berikut ini.
Hasil perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan Metode Hasper Der Weduwen dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini. Tabel 4.5. Intensitas curah hujan metode Hasper Der PUH ( Tahun ) 2
Durasi ( Menit ) 5 10
Durasi t(jam) 0,08 0,17
yt ( mm/hari ) 94,9
Rt ( mm ) 76,01 83,98
R ( mm ) 28,36 24,65
I ( mm/jam ) 354,45 144,97
20 0,33 89,52 30 0,67 93,45 60 1 94,9 80 1,33 95,67 120 2 96,48 5 0,08 82,19 10 0,17 93,56 20 0,33 101,88 5 110,31 30 0,67 108,01 60 1 110,31 80 1,33 111,55 120 2 112,87 5 0,08 85,71 10 0,17 99,28 20 0,33 109,52 10 120,16 30 0,67 117,22 60 1 120,16 80 1,33 121,75 120 2 123,44 Ket : yt = curah hujan harian maksimum Rt, R = curah hujan menurut hasper - der weduwen I = intensitas hujan
19,79 17,26 12,7 11,15 9,24 30,66 27,46 22,52 19,95 14,76 13,01 10,81 31,97 29,14 24,21 21,65 16,08 14,2 11,83
59,97 25,76 12,7 8,39 4,62 383,28 161,52 68,25 29,78 14,76 9,78 5,41 399,68 171,38 73,37 32,32 16,08 10,67 5,91
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh perhitungan intensitas curah hujan menurut metode Hasper Der Weduwen dengan durasi 5 menit dan periode ulang 2 tahun berikut ini. ,
94,8957
,
, , , ,
3.6.4
,
,
76,01 mm/jam
28,36 mm/jam
354,45 mm/jam Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Curah Hujan Langkah terakhir untuk menghitung intensitas curah hujan adalah memilih
metode perhitungan intensitas curah hujan yang akan digunakan. Pemilihan ini dimaksudkan untuk menentukan persamaan Intensitas curah hujan yang paling mendekati atau dapat mewakili intensitas curah hujan untuk daerah penelitian dapat
dilakukan dengan uji kecocokan melalui metode yang Talbot, Sherman dan Ishiguro. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut : a. Menentukan minimal 7 jenis lamanya curah hujan t (menit), (misal 5, 10, 20, 40, 60, 80, 120 ) b. Menggunakan harga-harga t tersebut untuk menentukan besarnya intensitas curah hujan untuk periode ulang tahun tertentu (disesuaikan dengan perhitungan debit puncak rencana) c. Menggunakan harga t yang sama untuk menentukan tetapan-tetapan dengan cara kuadrat terkecil. Perhitungan tetapan-tetapan untuk setiap rumus intensitas curah hujan adalah sebagai berikut : • Tabolt
. . .
• Sherman √ √
√ .
√
√ .
• Ishiguro
.
.
Nilai data yang dihasilkan oleh (persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro) dibandingkan dengan nilai Intensitas (persamaan Van Breen dan Hasper Der Weduwen). Hasil perhitungan uji kecocokan pada perhitungan menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode Hasper Der Weduwen menggunakan persamaan pola Talbot mempunyai selisih terkecil. Hasil perhitungan uji kecocokan intensitas curah hujan metode Hasper Der Weduwen dengan rumus Talbot, Sherman dan Ishiguro dapat dilihat pada tabel 4.6 sampai dengan tabel 4.8. berikut ini. Tabel 4.6. Data variabel persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro t
variabel I It I2 I2t log t log i logt logi (logt)2 t0,5 I x t0,5 I2xt0,5
5
10
20
30
60
80
120
354,45 1772,23 125631,56 628157,81 0,7 2,55 1,78 0,49 2,24 792,56 280920,72
144,97 1449,72 21016,79 210167,85 1 2,161 2,161 1,000 3,16 458,44 66460,91
59,97 1199,4 3596,38 71927,57 1,30 1,78 2,31 1,69 4,47 268,19 16083,49
25,76 772,86 663,69 19910,56 1,48 1,41 2,08 2,18 5,48 141,11 3635,15
12,7 761,82 161,22 9672,88 1,78 1,1 1,96 3,16 7,75 98,35 1248,76
8,39 670,95 70,34 5627,09 1,9 0,92 1,76 3,62 8,94 75,01 629,13
4,62 554,58 21,36 2563 2,08 0,67 1,38 4,32 10,95 50,63 233,97
Jumlah 610,85 7181,55 151161,32 948026,76 10,24 10,59 13,44 16,47 42,99 1884,29 369212,13
Dari data pada tabel 4.6 diatas kemudian dijadikan parameter pada persamaan masing – masing metode sehingga diperoleh variabel pada persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro seperti yang tertera pada tabel 4.7 dibawah ini. Tabel 4.7. Variabel persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro Variabel a b n
Talbot 948,75 -2,4377
Ishiguro 3,5131
Sherman 86,5674 -2,0927
Anti log ishiguro 3259,4292
0,8846
Setelah diketahui variabel persamaan untuk masing – masing persamaan maka dilakukan uji kecocokan terhadap metode intensitas curah hujan dengan menghitung selisih
terkecil pada masing – masing metode seperti pada tabel 4.8 dibawah ini dengan intensitas curah hujan berdasarkan metode Hasper Der Weduwen ( IHasper ) yang diperoleh dari tabel 4.5 diatas.
t (1) 5 10 20 30 60 80 120
IHasper (mm jam) (2) 354,45 144,97 59,97 25,76 12,7 8,39 4,62
Italbot (mm jam) (3) 370,27 125,46 54,02 34,42 16,48 12,23 8,07 Jumlah Rata - rata
Selisih (mm jam) (3)–(2) 15,82 19,51 5,95 -8,66 -3,79 -3,85 -3,45 21,54 3,08
IIshiguro (mm jam) (4) 784,98 425,19 230,30 160,89 87,14 67,57 47,20
Selisih (mm jam) (4)–(2) 430,54 280,21 170,33 135,13 74,45 59,18 42,58 1192,44 170,35
ISherman (mm jam) (5) 50,77 30,79 20,46 16,39 11,38 9,81 7,97
Selisih (mm/jam) (5)–(2) -303,68 -114,19 -39,51 -9,38 -1,32 1,42 3,35 -463,3 -66,19
Setelah diketahui metode yang akan digunakan pada pada uji kecocokan intensitas curah hujan maka dilakukan perhitungan selanjutnya.
Tabel 4.9. Persamaan intensitas curah hujan menurut Hasper Der Weduwen dengan pola Talbot Hasper Talbot Der Selisih PUH t Weduwen ( tahun ) ( Durasi ) a b ITalbot IHasper α(It – IH) 2 5 948,75 -2,4377 370,27 354,45 15,82 5 5 1101,36 -2,2274 397,23 383,28 -13,95 10 5 1199,02 -2,0906 412,12 399,68 -12,44 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh perhitungan berikut ini. ,
, ,
, ,
, ,
948,75
,
, ,
, ,
, ,
,
2,4377
370,2659
Selisih = ITalbot - IHasper = 15,82 mm/jam Melalui persamaan diatas dapat diketahui intensitas curah hujan untuk daerah perencanaan, seperti pada tabel 4.10. Tabel 4.10. Intensitas curah hujan menurut Hasper Der Weduwen dengan pola Talbot Durasi Intensitas Curah Hujan (mm/mnt) ( Menit ) PUH 2 thn PUH 5 thn PUH 10 thn 5 370,2659 397,2277 412,1204 10 125,4571 141,6975 151,5946 20 54,0218 61,9695 66,9493 30 34,4220 39,6564 42,9612 60 16,4821 19,0637 20,7051 80 12,2321 14,1613 15,3900 120 8,0702 9,3516 10,1690 1440 0,66 0,76 0,83 Setelah analisa intensitas curah hujan dilakukan kemudian digambar kurfa IDF. Berikut ini gambar kurfa IDF ( Kurva Frekuensi Intensitas ) yang menggambarkan persamaan – persamaan intensitas curah hujan wilayah perencanaan yang dapat digunakan untuk perhitungan limpasan run off dengan rumus rasional, kurva intensitas wilayah Kemanggisan, Jakarta Barat.
Intensitas curah Hujan (mm/jam)
450 400 350 300 250 200
PUH 2 Tahun
150
PUH 5 Tahun
100
PUH 10 Tahun
50 0 0
50
100
150
Durasi ( Menit )
Gambar 4.1. Kurva IDF Daerah Perencanaan 3.7
Analisa Infiltrasi Analisa ini bertujuan untuk mengetahui laju infiltrasi air daerah penelitian, untuk
itu dibutuhkan data hasil pengukuran laju infiltrasi dilapangan dengan mengunakan ring infiltrometer. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 3 bahwa analisa infiltrasi menggunakan metode Horton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada sub bab berikutnya.
3.7.1
Data Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi
Pengukuran laju infiltrasi dilakukan pada tanggal 2 Desember sampai dengan 4 Desember 2009 dengan kondisi tanah belum jenuh. Pada kegiatan pengukuran laju infiltrasi ini mengalami kesulitan karena lapisan tanah lunak hanya sedalam antara 0 – 50 cm dibawah lapisan tanah tersebut sedalam 1 – 3 meter adalah timbunan puing – puing atau bebatuan keras. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 3 cara pengukuran laju infiltrasi menggunkan ring infiltrometer dan cara pengukuran laju infiltrasi pada biopori. Dibawah ini adalah gambar
proses penetrasi ring infiltrometer, gambar biopori dan detail dimensi biopori ditiap – tiap kawasan penelitian berbeda tergantung kedalaman tanah lunaknya.
(a)
(b)
Tanah
(c) (d) Gambar 4.2. ( a ) Proses Penetrasi Ring Infiltrometer, ( b ) Ring Infiltrometer Setelah Terpenetrasi, ( c ) Biopori, ( d ) Detail Dimensi Biopori Besarnya laju Infiltrasi dapat diperoleh dari pengukuran dilapangan dengan menggunakan alat infiltrometer, adapun data hasil pengukuran laju infiltrasi selama interval t = 5 menit dari 7 titik penelitian dengan biopori dan tanpa biopori di kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara yang dilakukan seperti bab sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini.
Tabel 4.11. Hasil Pengukuran infiltrasi pada titik A sampai G Dengan Biopori dan Tanpa Biopori
Penurunan ( mm ) flap ( mm/men Biopori Tanpa Biopori Biopori A B C D E F G A B C D E F G A B C D E F G A 5 150 75 80 200 220 200 220 30 90 140 20 60 40 100 30 15 16 40 44 40 44 6 5 130 60 70 140 150 140 180 20 50 90 20 55 30 80 26 12 14 28 30 28 36 4 5 100 50 60 120 120 110 150 10 40 20 15 45 20 70 20 10 12 24 24 22 30 2 5 100 40 60 110 80 100 150 10 35 20 10 45 20 70 20 8 12 22 16 20 30 2 5 100 40 60 110 80 80 150 10 35 20 10 45 20 70 20 8 12 22 16 16 30 2 5 100 40 60 110 80 80 150 10 35 20 10 45 20 70 20 8 12 22 16 16 30 2 5 100 40 60 110 80 80 150 10 35 20 10 45 20 70 20 8 12 22 16 16 30 2
Durasi (menit)
Tabel 4.12. Hasil Pengukuran infiltrasi pada titik A sampai C dirumah Warga Sebagai Pembanding
Penurunan ( mm ) flap ( mm/menit ) Biopori Tanpa Biopori Biopori Tanpa Biopori A B C A B C A B C A B C 5 70 100 130 35 30 75 14 20 26 7 6 15 5 50 90 80 25 20 65 10 18 16 5 4 13 5 40 80 70 20 15 55 8 16 14 4 3 11 5 40 80 70 20 15 55 8 16 14 4 3 11 5 40 80 70 20 15 55 8 16 14 4 3 11 5 40 80 70 20 15 55 8 16 14 4 3 11 5 40 80 70 20 15 55 8 16 14 4 3 11
Durasi (menit)
75
Setelah diperoleh data – data tersebut kemudian dianalisa laju infiltrasi air terhadap fungsi waktu dengan menggunakan metode Horton seperti pada sub bab berikut ini.
3.7.2
Analisis Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Metode Horton
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, data yang diperoleh melalui hasil pengukuran laju infiltrasi dengan menggunakan ring infiltrometer yang dilakukan pada 7 titik dengan biopori dan tanpa biopori yang tersebar dengan pertimbangan dimana titik‐titik tersebut dapat mewakili laju infiltrasi pada kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara akan dianalisis menggunakan metode Horton. Dalam Perhitungan laju infiltrasi menggunakan metode Horton, rumusan yang dipakai yaitu :
f(t) = fc + (fo – fc)e-kt Untuk menghitung laju infiltrasi maka perlu diketahui nilai k terlebih dahulu dimana nilai k dapat dihitung dari persamaan 2.5. – adapun persamaan tersebut dapat diasumsikan sebagai persamaan garis dengan kemiringan m sebagai berikut. y = mx + c dengan : y =t m = x = c =
–
76
. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh perhitungan laju infiltrasi pada titik A tanpa menggunakan biopori sesuai tabel 4.11 : Dari tabel diatas dengan berdasarkan rumus Horton maka dapat ditrasposisikan seperti perhitungan – perhitungan sebagai berikut : f(t) - fc = (fo – fc) f(5) - fc = (6 – 2) = 4 f(10) - fc = (4 – 2) = 2 kemudian persamaan tersebut di log kan menjadi : log (f(t) - fc) = log (fo – fc) log (f(5) - fc) = log (4) = 0,602 log (f(10) - fc) = log (2) = 0,301 Tabel 4.13. Perhitungan Laju Infiltrasi pada Titik A t
Penurunan ( cm )
f0
fc
f0 – fc
(mm/mnt) (mm/mnt) (mm/mnt)
log (f0 – fc)
m
0.602 -16.6 0.301
5
30
6
2
4
10
20
4
2
2
15
10
2
2
0
-
20
10
2
2
0
-
25
10
2
2
0
-
k
0.1387 0.1387 0.1387 0.1387 0.1387
ft (mm/mnt)
4 3 2 2 2
Setelah diketahui maka buat grafik log (fo – fc ) terhadap waktu seperti gambar dibawah ini.
77
titik A 12 Durasi ( t )
10 8 6 4 2 0 0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
Log (fo‐fc)
Gambar 4.3. Grafik Log (fo-fc) Terhadap Waktu Metode Horton Dari data pada tabel diatas dapat dihitung kemiringan garis lurus m dengan cara menghitung selisih titik koordinat awal dan koordinat akhir pada grafik log (fo – fc ) terhadap waktu metode Horton. Setelah diketahui selisih sumbu y dan sumbu x kemudian selisih sumbu y dibagi selisih sumbu x didapat nilai m. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada perhitungan berikut ini : Koordinat a = ( x1, y1 ) = ( 5, 0,602 ) Koordinat b = ( x2, y2 ) = ( 10, 0,301 ) Hitung sisi miring m dengan persamaan berikut ini
,
,
16,6
Setelah diketahui nilai m maka dapat dihitung nilai k sebagai berikut
2,718
16,6
k = 0,1386 Dari nilai k diatas maka rumus laju infiltrasi terhadap waktu dapat dihitung dengan memasukkan nilai k, yaitu : 78
f(5) = 2 + (6 – 2)e-0,1386x5 = 4 mm/mnt Dari hasil perhitungan tabel 4.13 dapat dibuat sebuah grafik perbandingan antara f(t) Horton dengan f(t) Lapangan terhadap waktu (t)
A 4.5000 4.0000 3.5000
f(t) (mm/mnt)
3.0000 2.5000 2.0000 1.5000 1.0000 0.5000 0.0000 0
5
10
15
20
25
30
Gambar 4.4. f(t) Horton Pada Titik A Dengan cara yang sama hitung laju infiltrasi biopori pada titik A maka diperoleh laju infiltrasi sebagai berikut : f(5) = 20 + (30 – 20)e-0,102x5 = 25,9997 mm/mnt Untuk hasil perhitungan laju infiltrasi pada titik selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.14 dibawah ini
79
Tabel 4.14. Hasil Perhitungan Laju Infiltrasi cara Infiltrometer Tanpa Biopori Dengan Biopori Laju infiltrasi Titik Laju Infiltrasi rata – rata rata – rata ( mm/mnt ) ( mm/mnt ) A 2.60 21.92 B 7.67 9.11 C 6.83 12.60 D 2.52 23.44 E 9.67 20.20 F 4.60 19.21 G 14.53 31.71 Dalam perhitungan analisis jumlah lubang resapan biopori digunakan tiap-tiap laju infiltrasi berdasarkan titik lokasi pengujian sedangkan untuk grafik dan tabel perhitungan laju infiltrasi selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 4. Setelah diketahui laju infiltrasi maka dengan persamaan 2.7 hitung jumlah air yang terinfiltrasi kedalam tanah selama satu hari. Hasil dari jumlah air yang terinfiltrasi kedalam tanah selama 1 hari dapat dilihat pada tabel 4.15 dibawah ini. Tabel 4.15. Rata – Rata Hasil Perhitungan Jumlah Air yang Terinfiltrasi Jumlah air yang terinfiltrasi (m3/mnt) Titik Tanpa Biopori Biopori 1 Hari 1 Hari A 2.91E-06 2.89E-05 B 1.01E-05 1.16E-05 C 5.90E-06 1.73E-05 D 2.91E-06 3.18E-05 E 1.30E-05 2.32E-05 F 5.79E-06 2.32E-05 G 2.02E-05 4.33E-05 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh perhitungan jumlah air yang terinfiltrasi selama satu hari tanpa menggunakan biopori pada titik A berikut ini. 1 2 60 24
,
4 1
2,718
,
2.909
/mnt /10
2,91E
06 m /mnt
80
3.8
Analisa Debit Limpasan Terhadap Kapasitas Infiltrasi Untuk mengetahui apakah kapasitas infiltrasi tanah tanpa menggunakan biopori
pada kawasan kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara mampu menampung debit limpasan air hujan. Jika debit curah hujan lebih besar dari pada debit infiltrasi maka dibutuhkan lubang resapan biopori untuk menanggulangi kelebihan debit tersebut. Luas kawasan dan koefisien limpasan seperti yang terdapat pada tabel 4.16, melalui data tersebut dapat dihitung debit limpasan. Tabel 4.16. Data Luas Daerah Tangkapan dan Koefisien Limpasan Kawasan Luas Daerah Koefisien Tangkapan Limpasan 2 * (m )( A) (C) A 290,78 0,9 B 578,25 0,9 C 580,75 0,9 D 236,39 0,9 E 269,9 0,9 F 307,22 0,9 G 174,84 0,9 * sumber : building management Binus University
Data tabel diatas diperoleh dari perhitungan luas daerah berwarna sesuai dengan kawasan penelitian pada gambar 4.4 dibawah ini.
81
Denah Lokasi Penelitian G Toilet
F F
Kantin
PT. BIS
G
Gedung A
F G
F
E
Mussolah
D
Gedung B D
Hall
E
Gedung C E D
E B
C
B C B
A
A
Gambar 4.5. Denah Pembagian Kawasan Limpasan Koefisien yang digunakan adalah nilai maksimum mengingat bahwa penelitian ini nantinya akan dijadikan acuan menghitung kapasitas infiltrasi di daerah sekitar Kembangan yang padat penduduknya dan memiliki lahan terbuka yang sedikit. Untuk menghitung debit limpasan digunakan persamaan 2.16 berikut ini Q = 0,278 CIA Dengan intensitas curah hujan ( I ) diperoleh dari perhitungan intensitas curah hujan metode Metode Hasper Der Weduwen dengan pola Talbot, maka nilai Q dapat dilihat pada tabel 4.17. pada PUH 2, 5 dan 10 tahun serta lama hujan 1 hari
82
Tabel 4.17. Perhitungan Debit Limpasan dengan PUH 2, 5 dan 10 tahun dengan durasi 1 hari Qlimpasan (m3/hari) Periode Ulang Hujan ( PUH ) Kawasan (tahun) 2 5 10 A 0.048 0.05573 0.0607 B 0.0955 0.11083 0.1206 C 0.0959 0.11131 0.1212 D 0.039 0.04531 0.0493 E 0.0446 0.05173 0.0563 F 0.0507 0.05888 0.0641 G 0.0289 0.03351 0.0365 Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada contoh perhitungan debit limpasan area A dengan PUH 2 tahun dan durasi 1 hari dapat dilihat dibawah ini. Q = 0,278 CIA Q = 0,278 (0,9) (0,00066) (290,78) = 0, 048 m3/hari Hasil dari debit limpasan yang di dapat dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi yang tanpa menggunakan biopori pada saat 1 hari. Melalui perbandingan tersebut dapat dipastikan bahwa jumlah air yang terinfiltrasi sangat sedikit sekali oleh karena itu dibutuhkan solusi untuk memperbesar laju infiltrasi pada tanah, yaitu dengan menggunakan simulasi LRB ( Lubang Resapan Biopori ). Untuk mengimbangi debit air pada permukaan maka diperlukan adanya analisa jumlah biopori yang perlu disediakan hingga tidak terjadi genangan pada permukaan tanah.
3.9
Analisa Jumlah Lubang Resapan Biopori Hasil dari data debit limpasan bersama dengan kapasitas infiltrasi pada lubang
biopori digunakan untuk menghitung jumlah LRB ( Lubang Resapan Biopori ) seperti pada persamaan 2.57. berikut ini.
83
Jumlah LRB = Qlimpasan /F(t) Dengan menggunakan Qlimpasan periode ulang hujan 2 tahunan dan durasi 1 hari maka dihitung berapa jumlah lubang biopori yang dibutuhkan untuk mencegah adanya genangan. Sedangkan untuk menghitung jarak antar lubang resapan biopori digunakan luas kawasan terbuka dan hasil dari jumlah LRB, dengan luas kawasan terbuka diasumsikan sama dengan luas bangunannya. Pada tabel4.18 ini adalah jumlah LRB dan jarak LRB pada setiap kawasan. Tabel 4.18. Perhitungan Jumlah LRB dan Jarak LRB Kawasan A B C D E F G
Jumlah air yang terinfiltrasi (m3/hari) 1 hari 2.89E-05 1.16E-05 1.73E-05 3.18E-05 2.32E-05 2.32E-05 4.33E-05
Qlimpasan (m3/hari) 1 hari 0.048 0.0955 0.0959 0.039 0.0446 0.0507 0.0289
Jumlah LRB 1.661 8.233 5.543 1.226 1.922 2.185 6.67
Luas kawasan ( m2 ) 290,78 578,25 580,75 236,39 269,9 307,22 174,84
Jarak antar LRB (m) 0.0875 0.0351 0.0524 0.0964 0.0702 0.0703 0.1310
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh perhitungan jumlah LRB dan jarak LRB dengan Qlimpasan dengan periode 2 tahun dan durasi 1 hari pada kawasan A berikut ini. 0.048
1.661 lubang
, A LRB ,
0,0875 m
Karena jarak yang terlalu kecil dan tidak memenuhi persyaratan jarak antar lubang, maka penggunaan lubang resapan biopori tidak dapat diterapkan pada daerah penelitian.
84
3.10
Pembahasan Analisa Penelitian tugas akhir dilakukan di kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara,
Kemanggisan, Jakarta Barat. Penelitian ini pada dasarnya dilakukan untuk infiltrasi air kedalam tanah pada kawasan tersebut. Dari penelitian telah didapatkan beberapa data yaitu data primer berupa hasil pengujian laju infiltrasi dengan metode ring infiltrometer dan data sekunder berupa data curah hujan.
3.10.1 Kondisi Daerah Studi Kondisi daerah penelitian ini merupakan area kampus yang memiliki beberapa bangunan seperti kantin, toilet, musolah, kantor, lapangan dan gedung untuk studi. Sedangkan untuk kondisi tanahnya merupakan tanah timbunan dengan tanah lunak sebagai lapisan atas dengan kedalaman 0 sampai 0,5 m dan timbunan puing dengan kedalaman 3 sampai 4 meter dari permukaan tanah awal. Semua kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi laju infiltrasi. Tanah pada daerah penelitian memiliki nilai k yaitu 6,878 mm/mnt yang didapat pada hasil laboratorium. Nilai tersebut menunjukkan bahwa struktur tanah pada daerah penelitian merupakan tanah lanau. Sedangkan curah hujan pada kondisi penelitian memiliki intensitas curah hujan berdasarkan periode ulang hujan 2, 5 dan 10 tahunan masing – masing sebesar 0,66, 0,76 dan 0,83 mm/hari.
3.10.2 Debit Limpasan Debit air hujan diolah dari data curah hujan maksimum hasian daerah studi yang di ukur oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan stasiun Cengkareng. Untuk perhitungan dipergunakan curah hujan harian maksimum pada 13 tahun terakhir yaitu pada tahun 1990 – 2002, seperti yang tertera pada Tabel 4.1 85
halaman 55. Pada perhitungan debit curah hujan pada penelitian ini dihitung mulai dari analisis frekuensi curah hujan dengan menggunakan metode Log Pearson Type III, dengan periode ulang harian 2, 5, dan 10 tahun sampai pada perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan beberapa metode seperti Intensitas curah hujan Metode Van Breen dan Hasper Weduwen. Hasil perhitungan Analisis Frekuensi Curah Hujan dapat dilihat pada Tabel 4.3 Halaman 57 dan digunakan untuk menghitungan Intensitas curah hujan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.10 halaman 64. Hasil tersebut digunakan untuk menghitungan debit limpasan pada daerah penelitian. Debit limpasan dihitung dengan metode rasional seperti yang telah dijelaskan diatas. Hasil perhitungan debit limpasan sangat dipengaruhi oleh luas kawasan kedap air dan intensitas curah hujan yang terjadi. Dari data curah hujan dan luas kawasan dapat dihitung debit limpasan dengan periode ulang 2, 5 dan 10 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 4. 17. Dari data tabel tersebut didapat debit limpasan permukaan pada lokasi penelitian dengan debit limpasan terbesar pada kawasan C sebesar 0,0959 m3/hari dan debit limpasan terkecil terjadi pada kawasan G sebesar 0,0289. Nilai dari debit limpasan tersebut sebanding dengan luas area dan besarnya intensitas curah hujan yang terjadi, semakin besar luas area kedap air yang melimpas kearah yang sama, maka semakin besar pula debit limpasan yang terjadi, begitu juga dengan intensitas curah hujan dan sebaliknya.
3.10.3 Infiltrasi Penelitian laju infiltrasi pada kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara, Kemanggisan, Jakarta Barat dilakukan pada 7 titik pengujian dengan perkiraan bahwa titik-titik tersebut dapat mewakili kondisi tanah yang ada pada kampus Kijang. Jumlah
86
titik pengujian mempengaruhi besar laju infiltrasi pada daerah studi. Semakin banyak titik pengujian maka semakin terwakili pula kondisi tanah daerah tersebut. Penelitian laju infiltrasi dilapangan dilakukan dengan ring infiltrometer. Pada tahap ini memiliki kesulitan dalam pengadaan alat dan melakukan penetrasi alat karena kondisi tanah yang keras. Hasil pengukuran pada masing-masing titik yang telah di analisis, dapat dilihat pada tabel 4.11 halaman 67. Dari tabel diatas terlihat hasil analisis laju infiltrasi pada masing-masing lokasi beragam. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain : a. Adanya bangunan, b. Kondisi penutup permukaan ( pepohonan dan rumput ), c. Kondisi tanah (tekstur tanah), dan lain-lain. Dalam perhitungan laju infiltrasi selain dilakukan langsung ke lapangan juga dilakukan di laboraturium, hasilnya hampir sama dengan hasil di laboratorium, yaitu 6,878 mm/menit sedangkan laju infiltrasi dilapangan memiliki nilai yaitu 6,918 mm/menit. Sedangkan untuk hasil perhitungan lainnya dapat dilihat di lampiran. Tetapi dalam perhitungan selanjutnya laju infiltrasi yang dipakai adalah hasil laju infiltrasi di lapangan dikarenakan dengan pertimbangan dapat menghasilkan nilai – nilai sesuai dengan kondisi atau keadaan lokasi penelitian. Melalui analisa diatas diperoleh data kapasitas infiltrasi baik menggunakan biopori maupun tanpa biopori. Dari data kapasitas infiltrasi dapat diketahui laju infiltrasi tanah menggunakan biopori dan tanpa menggunakan biopori yang kemudian diketahui jumlah air yang terinfiltrasi dalam durasi 1 hari. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 4.15.
87
Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa dengan jumlah air yang terinfiltrasi pada setiap kawasan tanpa menggunakan biopori pada tabel 4.15 tidak sebanding dengan debit limpasan pada tabel 4.17, hal ini dapat menimbulkan genangan atau banjir. Karena tidak mampu menanggulangi maka perbandingan diganti dengan jumlah air yang terinfiltrasi dengan menggunakan simulasi biopori. Untuk satu biopori diketahui jumlah air yang terinfiltrasi kedalam tanah seperti pada tabel 4.15 diatas, melalui data tersebut hitung jumlah banyaknya biopori yang sebanding dengan debit limpasan pada tabel 4.17 dengan periode ulang hujan 10 tahun dan durasi 1 hari. setelah diketahui banyaknya lubang biopori maka hitung jarak antara lubang biopori agar penyebaran lubang biopori merata. Banyaknya lubang biopori dan jarak antara lubang biopori dapat dilihat pada tabel 4.18 diatas, dari tabel tersebut diketahui bahwa jarak antara lubang biopori terlalu dekat dan tidak sesuai dengan syarat jarak biopori. Karena syarat jarak antara biopori tidak terpenuhi maka penggunaan biopori tidak sesuai dengan kondisi kawasan kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara, Kemanggisan, Jakarta Barat, maka disarankan untuk menggunakan simulasi lain seperti sumur resapan ataupun beton berpori. Jumlah air yang terinfiltrasi pada lubang resapan biopori tergolong rendah karena rata – rata infiltrasi pada biopori 19,74 mm/mnt sedangkan laju infiltrasi rata – rata tanpa menggunakan biopori sebesar 6,918 mm/menit, dengan luas daerah tangkapan air lebih besar dibanding dengan luas daerah tangkapan air tanpa penggunaan biopori. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa timbunan puing yang padat juga menjadi salah satu penyebab rendahnya laju infiltrasi. Kecuali pada kawasan A dan D yang memiliki laju infiltrasi sepuluh kali lebih besar dibanding dengan laju infiltrasi tanpa penggunaan biopori hal ini disebakan karena kemungkinan besar timbunan puing dibawahnya tidak 88
padat atau berongga sehingga laju infiltarasi pada lokasi tersebut tinggi berbeda dengan laju infiltrasi pada kawasan penelitian lainnya. Berdasarkan jumlah dan jarak biopori pada tabel 4.18. dapat disimpulkan bahwa penggunaan biopori pada kampus Kijang, Universitas Bina Nusantara tidak sesuai hal ini disebabkan karena jarak antar biopori tidak memenuhi persyaratan dengan jarak minimal 50 cm dan tanah sekitar daerah penelitian merupakan tanah lanau. Oleh karena itu penggunaan biopori di daerah sekitar kampus Kijang tidak disarankan.
89