KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah PENULIS Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Prof. Dr. Eddy Suratman Dr. Abdul Hamid Paddu
EDITOR Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Dr. Hefrizal Handra
Universitas Indonesia Universitas Andalas
TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2012
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Gedung Radius Prawiro Lantai 9 Jl.Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat www.djpk.depkeu.go.id
Universitas Brawijaya Universitas Tanjungpura Universitas Hasanuddin
Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian AID
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah PENULIS Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Prof. Dr. Eddy Suratman Dr. Abdul Hamid Paddu
Universitas Brawijaya Universitas Tanjungpura Universitas Hasanuddin
EDITOR Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Dr. Hefrizal Handra
Universitas Indonesia Universitas Andalas
TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2012 Didukung Oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian AID
ii |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian AID
Acknowledgement Buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah ini disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).
Disclaimer Pandangan dan pendapat dalam buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan Pemerintah Australia.
iv |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Daftar Isi
Executive Summary........................................................................... vii Kata Pengantar Direktur Program AIPD . ........................................... xv Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.................. xvii BAB I Pendahuluan........................................................................
1
BAB II Kerangka Teori....................................................................
7
BAB III Metode Penelitian................................................................ 30 BAB IV Analisa dan Pembahasan...................................................... 38 BAB V Penutup............................................................................... 69 Daftar Pustaka.................................................................................. 75
Daftar Isi
v
vi |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Executive Summary
U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un
dang-undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000) dengan memberlakukan pendekatan “closed-list” terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Pemerintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara Pemerintah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal penting dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentralisasi fiskal seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserah kan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasio
Executive Summary
vii
nal. Berbagai pihak menilai ‘kebijakan’ tersebut sudah tepat dilakukan, na mun yang tidak kalah pentingnya adalah ‘bagaimana’ kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan pemu ngutan BPHTB dengan baik.
Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun, dimana sebagian besar daerah sudah melakukan pemungutan sejak tanggal 1 Januari 2011. Sampai akhir Maret 2013, 482 daerah (dari 492 daerah) sudah memiliki perda BPHTB, sedangkan 10 daerah masih dalam proses penyusunan Perda. 482 daerah ini sudah mampu mengumpulkan 99,999998% dari penerimaan BPHTB 2010, dengan demikian 10 daerah yang lain menunjukkan potensi BPHTB yang rendah.
Berdasarkan alat analisis yang digunakan didalam penelitian ini, se
perti FGD di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Kabupaten Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar, serta pendekatan dengan model regresi dan uji beda berpasangan, maka ditemukan beberapa hal yang menarik, seperti:
Berdasarkan analisis yang dilakukan baik menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, maka diperoleh beberapa simpulan atas pengalihan BPHTB ke daerah sebagai berikut: •
Permasalahan data merupakan permasalahan yang mendesak, termasuk pemutakhiran data yang ada pada database pemerintah daerah. Selain itu peran SDM sangat penting didalam operasionalisasi pengelolaan BPHTB di daerah. Untuk itu, perlu dikembangkan kerja sama dengan lembaga lain (KPP) untuk pengembangan dan pe nguatan SDM di pemerintah daerah. Pemutakhiran NJOP dengan mempertimbangkan nilai “Zona Nilai Tanah” untuk menghasilkan nilai NJOP yang semakin mendekati nilai transaksi, sekaligus meng hindari transaksi ‘diam-diam’;
•
Penyerahan data, dari pemerintah pusat, dalam hal ini KPP perlu cepat dilakukan dengan pertimbangan optimalisasi penerimaan
viii
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BPHTB di daerah. Selain itu, diseminasi terkait dengan kesadaran pa jak, perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat; •
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta Pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi yang mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang baik kepada wajib pajak;
•
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan yang sama;
•
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk men ciptakan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan kepada pembayar pajak;
•
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang di pungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang di pungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat (Rp19.632.885.530,00).
•
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat. Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right track) untuk meningkatkan kemampuan fiskal Pemerintah Daerah. Executive Summary
ix
•
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah. Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406 daerah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemu ngutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya ber hasil memungut kurang dari Rp 20 juta.
•
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB suatu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 menetapkan NPOPTKP paling rendah Rp 60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum nya melalui Undang-Undang No. 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
•
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, pene rimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah merancang dan menjalankan program ekonominya.
•
Perubahan density (kepadatan penduduk) berpengaruh positif ter hadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan pen duduk merupakan faktor penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya menggambarkan tingginya persaingan
x
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Peningkatan harga merupakan sumber utama po tensi peningkatan penerimaan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih padat) jauh lebih tinggi dibanding pene rimaan BPHTB kabupaten. •
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin kecil penerimaan BPHTB.
Beberapa rekomendasi dari temuan penelitian BPHTB ini yang perlu
dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
Bagi Pemerintah Pusat •
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60 juta, atau bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai de ngan kesamaan karakteristik masing-masing daerah.
•
Pemerintah harus memastikan adanya kepastian hukum (tidak multi tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP. Undang-Undang No. 28 tahun 2009 belum memberikan batasan waktu terkait apakah wajib pajak yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak itu dalam tanggal yang sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seharusnya, seorang wajib pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak atas tanah dan/ atau bangunan lebih dari satu obyek hanya akan diberikan NPOPTKP satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap atur an (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKPnya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membeda kan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib pajak itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap perolehan Executive Summary
xi
hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah. •
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk mengha silkan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk perumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
Bagi Pemerintah Daerah •
Daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif BPHTB maksimum (5%), sebaliknya untuk lebih me narik bagi investor, maka daerah tersebut harus menetapkan tarif BPHTB yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
•
Pemerintah daerah harus bisa menjadikan daerahnya menarik baik untuk tinggal maupun untuk berusaha dan berinvestasi melalui pu blikasi potensi daerah, efisiensi birokrasi, penyediaan infrastruktur, penciptaan keamanan, dan penyediaan regulasi yang menjamin kepastian hukum.
•
Pemerintah Daerah terutama yang mengalami penerimaan BPHTB rendah harus melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam APBD nya agar proporsi belanja modal (infrastruktur) terus mengalami kenaikan. Dengan harapan bahwa pengembangan infrastruktur akan meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut.
xii
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar Direktur Program AIPD
P
emerintah Australia mendukung usaha Pemerintah Indonesia untuk memperkuat implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, terutama melalui Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(Program AIPD). Tujuan AIPD adalah untuk mendorong perbaikan layanan publik melalui pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik.
Pada tahun 2013 ini Program AIPD telah mendukung Tim Asistensi
Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) untuk melaku kan empat penelitian terkait desentralisasi fiskal. Buku kedua dari hasil pe nelitian tersebut adalah Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah.
Buku hasil penelitian TADF ini sangat relevan dan penting untuk men
dukung implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yang semakin baik di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, dengan ditetapkannya UU No. 28 Tahun 2009 ada perubahan besar dalam sistem perpajakan nasional yaitu pengalihan kewenangan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerin tah Daerah. Kebijakan ini dipandang sangat baik untuk memperkuat im
SAMBUTAN AIPD
xiii
plementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia. Namun, hasil penelitian ini antara lain menyingkap bahwa belum semua Pemerintah Daerah mem punyai kapasitas yang memadai untuk mengambil alih peran pengelolaan BPHTB. Temuan dan rekomendasi penelitian ini pastilah akan sangat ber manfaat untuk memperbaiki pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009, terutama dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.
Akhirnya, kami ingin menyampakan penghargaan kami kepada Tim
Peneliti dari TADF yang telah bekerja keras untuk terwujudnya buku hasil penelitian ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Berkat inisiatif dan komitmen DJPK yang tinggi untuk pengembangan kebijakan berbasis penelitian (research based policy), hasil penelitian ini telah berhasil didokumentasikan dan dibagikan ke masyarakat luas. Richard Manning Direktur Program AIPD
xiv
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
P
elaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama lebih dari sepuluh tahun terakhir masih perlu secara terus-menerus dilaku kan penyempurnaan. Melalui penyempurnaan kebijakan yang dida
sarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah diharapkan dapat meningkatkan kualitas kebijakan tersebut. Untuk itu, Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) yang beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah terus berupaya melakukan kajiankajian dimaksud.
Hasil kajian tahun 2012 yang menjadi rekomendasi kebijakan TADF
kepada Menteri Keuangan meliputi empat hasil penelitian dan tujuh policy brief. Salah satu hasil penelitian tersebut adalah kajian mengenai analisa dampak pengalihan pemungutan BPHTB terhadap kondisi fiskal daerah. Pada dasarnya kajian ini bertujuan untuk mengetahui permasalah
PENDAHULUAN
xv
an, hambatan dan dampak dari pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah terhadap kondisi fiskal daerah.
Rekomendasi yang dihasilkan dari kajian ini antara lain perlu dila
kukannya perbaikan atas aturan terkait keleluasaan Pemerintah Daerah dalam menentukan besaran NPOPTKP dan perlunya pemerintah pusat memberikan bantuan terhadap daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah. Selain itu kajian ini juga memberikan rekomendasi kepada Peme rintah Daerah, seperti saran agar daerah dengan penerimaan BPHTB sa ngat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif maksimum, serta melakukan berbagai upaya perbaikan infrastruktur agar dapat meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut. Rekomendasi berdasarkan kajian ilmiah TADF tersebut diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi pe nyempurnaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah, agar kemam puan fiskal daerah dan pengelolaan perpajakan daerah dapat terus me ningkat.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Aus tralia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD) yang telah mendu kung terlaksananya kegiatan TADF 2012. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia.
Marwanto Harjowiryono Direktur Jenderal
xvi
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Undang-
undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000) dengan memberlakukan pendekatan “closed-list” terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Peme rintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Peme rintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara Pemerin tah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal penting dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pa jak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentralisasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman inter nasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
PENDAHULUAN
1
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasi onal. Berbagai pihak menilai ‘kebijakan’ tersebut sudah tepat dilakukan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah ‘bagaimana’ kebijakan terse but diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan pemungutan BPHTB dengan baik.
Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun, dimana sebagian besar daerah sudah melakukan pemungutan sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagaimana halnya dengan pajak daerah lainnya, pemungutan BPHTB hanya dapat dilakukan setelah adanya Peraturan Daerah (Perda). Perda tentang BPHTB merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB di suatu daerah yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB sesuai dengan kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Sampai 20 April 2012, diketahui bahwa terdapat 474 daerah atau 96,3 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi BPHTB sekitar 99,991 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Sementara itu, masih terdapat 18 daerah atau 3,7 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,009 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Dengan demikian, 18 daerah yang belum menetapkan Perda tersebut dipastikan akan kehilangan potensi penerimaan BPHTB sekitar Rp 733,8 juta.
Dari keseluruhan daerah yang telah melakukan pemungutan BPHTB
tahun 2011, sebagian daerah bahkan sudah langsung mampu melampaui besaran penerimaan BPHTB tahun 2010. Sebaliknya, sebagian lainnya mengumpulkan lebih rendah dari besaran penerimaan BPHTB tahun 2010. Data pada tabel berikut ini menunjukkan daerah-daerah dengan perubah an penerimaan tinggi (100-500%), Normal (0-100%) dan rendah (< 0).
2
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 1.1.5. (Lima) Daerah Kategori Tinggi dengan Perubahan Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi Penerimaan BPHTB 2010
2011
Perubahan (%)
Kab. Kutai Barat
521.920.000
8.110.587.556
1.453,99
2
Kab. Way Kanan
168.390.978
2.020.447.550
1.099,85
3
Kab. Hulu Sungai Selatan
495.557.887
5.160.680.027
941,39
4
Kab. Tanjung Jabung Barat
443.549.675
3.727.334.328
740,34
5
Kab. Lombok Utara
596.388.324
3.962.154.890
564,36
No
Daerah
1
Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, 2012
Tabel 1.2.5. (Lima) Daerah Kategori Normal dengan Perubahan Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi Penerimaan BPHTB 2010
2011
Perubahan (%)
Kab. Sorong
1.484.577.100
2.920.598.940
96,73
2
Kab. Pati
6.513.059.133
12.543.202.742
92,59
3
Kab. Lebak
2.443.780.250
4.509.364.192
84,52
4
Kab. Gianyar
13.122.308.000
23.555.449.913
79,51
5
Kota Pekanbaru
40.743.083.985
68.670.971.803
68,55
No
Daerah
1
Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, 2012
PENDAHULUAN
3
Tabel 1.3.5. (Lima) Daerah Kategori Rendah dengan Perubahan Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Terendah Penerimaan BPHTB 2010
2011
Perubahan (%)
Kab. Kerinci
150.953.884
500.000
-99,67
2
Kab. Sarolangun
4.014.985.757
539.450.321
-86,56
3
Kota Palembang
328.960.804.265
74.946.134.964
-77,22
4
Kab. Bungo
4.183.687.716
1.142.300.813
-72,70
5
Kab. Timur Tengah Selatan
240.589.947
65.755.100
-72,67
No
Daerah
1
Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, 2012
Ketiga tabel di atas menunjukkan bahwa kemampuan daerah dalam
pelaksanaan pengalihan BPHTB sangat bervariasi. Terdapat daerah yang kemampuannya sangat tinggi, dimana daerah-daerah dalam kategori ini bahkan mampu meningkatkan penerimaan BPHTB tahun 2011 lebih dari 500% penerimaan BPHTB tahun 2010. Sebaliknya, masih cukup banyak daerah yang belum mampu melaksanakan pengalihan tersebut dengan baik, ditunjukkan oleh penerimaan BPHTB mereka yang menurun bahkan di atas 50% dari penerimaan BHHTB tahun 2010.
Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis pajak, selalu terdapat se
jumlah kendala dan hambatan, terlebih-lebih apabila jenis pajak tersebut merupakan jenis pajak baru bagi daerah seperti BPHTB. Dalam proses pengalihan BPHTB, akan terdapat beberapa kendala, baik yang bersumber dari kekurangsiapan pemerintah pusat, kekurangsiapan pemerintah dae rah, kondisi di lapangan, dan lain-lain. Kendala yang timbul perlu men dapat penanganan segera dan dicarikan pemecahannya untuk kelancaran pemungutan pajak daerah. 4
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Secara umum, proses pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah telah
berjalan dengan baik. Hampir semua daerah telah menerbitkan perda BPHTB dan menyusun tatacara pemungutannya, meskipun beberapa dae rah terlambat memulainya. Faktor penting yang masih perlu ditingkatkan adalah kapasitas sumber daya manusia dan sarana pendukung (hardware dan software) di daerah. Selain itu juga penting untuk diketahui secara pasti berapa besar dampak pengalihan BPHTB terhadap kondisi fiskal daerah.
1.2. Rumusan Masalah Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah da lam melakukan pengalihan BPHTB? 2. Bagaimana dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap kondisi fiskal daerah? 3. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah agar mereka dapat mengoptimalkan pemungutan BPHTB?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam melakukan pengalihan BPHTB. 2. Mengevaluasi dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap kondisi fiskal daerah. 3. Memberikan rekomendasi terkait optimalisasi pemungutan BPHTB oleh daerah.
PENDAHULUAN
5
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah terkait dengan pemungutan BPHTB, agar kapasitas fiskal peme rintah daerah terus mengalami kenaikan.
1.5. Sistematika Penulisan Laporan hasil penelitian ini terdiri dari tiga bab, yang secara garis besar menampilkan temuan penelitian sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, tujuan penelitian, landasan teori, dan metodologi penelitian. Bab kedua, menyajikan hasil kajian dari data primer dan sekunder yang diperoleh terkait dengan dam pak pengalihan BPHTB ke daerah terhadap kondisi kapasitas fiskal daerah. Bab ketiga, menjelaskan tentang metode penelitian yang diterapkan. Bab keempat, akan menjelaskan tentang analisis dan pembahasan, dan Bab kelima merupakan bab penutup menyajikan kesimpulan dan rekomen dasi.
6
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB II Kerangka Teori
2.1. Pajak Daerah
S
ecara umum pajak dapat didefinisikan sebagai pungutan dari masya rakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya
dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) se cara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur sebagai berikut: 1. Pungutan dari masyarakat oleh negara; 2. Berdasarkan undang-undang ; 3. Tanpa kontra prestasi/balas jasa dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk; dan 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengelu aran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
KERANGKA TEORI
7
Dari definisi di atas, selain unsur-unsur pajak, dapat terlihat pula
adanya dua fungsi pajak, yaitu: 1) Fungsi Penerimaan (Budgeter), yaitu sebagai alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran negara (pengeluaran rutin dan pembangunan). 2) Fungsi Mengatur (Reguler), yakni sebagai alat untuk mengatur guna tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. Pa jak, seperti custom duties/tarif (bea masuk), digunakan untuk men dorong atau melindungi (memproteksi) produksi dalam negeri, khu susnya untuk melindungi infant industry dan/atau industri-industri yang dinilai strategis oleh pemerintah. 3) Fungsi Stabilitas, yaitu dengan adanya pajak, pemerintah pusat me miliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dila kukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masya rakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4) Fungsi Redistribusi Pendapatan, yaitu pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, terma suk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan.
Selain itu, pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat
atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan. Misalnya di saat terjadi kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah juga mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan atau jasa tertentu yang mempunyai eksternalitas negatif dengan tujuan mengurangi atau membatasi produksi dan konsumsi barang dan atau jasa tersebut.
8
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-
prinsip yang harus diperhatikan. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Di antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four ma xims dari Adam Smith yang mengemukakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu: 1. Prinsip kesamaan/keadilan (equity), artinya bahwa beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak. 2. Prinsip kepastian (certainty). Pajak hendaknya tegas, jelas, dan pasti bagi setiap wajib pajak sehingga mudah dimengerti oleh mereka dan juga akan memudahkan administrasi pemerintah sendiri. 3. Prinsip kecocokan/kelayakan (convenience). Pajak jangan terlalu me nekan seorang wajib pajak, sehingga wajib pajak dengan suka dan senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah. 4. Prinsip ekonomi (economy). Pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang minimal, dalam artian bahwa jangan sampai biaya pemungut annya lebih besar dari pada jumlah penerimaan pajaknya.
Menurut Mardiasmo (2002), di samping penggunaan prinsip di atas,
terdapat dua pendekatan yang lebih mudah dilaksanakan yaitu benefit approach dan ability to pay approach. 1. Benefit approach, dengan kata lain adalah prinsip pengenaan pajak berdasarkan atas manfaat yang diterima oleh seorang wajib pajak dari pembayaran pajak itu kepada pemerintah. 2. Ability to pay approach, disebut pula dengan prinsip kemampuan untuk membayar atau berdasarkan daya pikul seorang wajib pajak. Dengan kata lain ialah bahwa seorang wajib pajak akan dikenai be ban pajak sesuai dengan kemampuannya untuk membayar pajak.
KERANGKA TEORI
9
Kedua pendekatan di atas adalah berdasarkan atas prinsip kesamaan
(equity), dimana prinsip kemanfaatan (benefit principle) berdasarkan atas kesamaan manfaat yang diterima oleh wajib pajak sesuai dengan pajak yang dibayarnya, sedangkan prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle) berdasarkan atas kesamaan pengorbanan yang sesuai dengan kemampuan seorang wajib pajak untuk membayar pajak. Untuk mengukur kemampuan membayar pajak dapat dilihat dari tingkat pendapatan se orang wajib pajak.
Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), berdasarkan lembaga pemu
ngutannya, pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak pusat ter diri dari: a.
Pajak Penghasilan (PPh);
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM); c.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan
d. Bea Materai. 2. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Pembagian ini dilaku kan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan ma sing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi propinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Berdasarkan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat beberapa pajak yang dikelola oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pajak Propinsi terdiri dari:
10
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. e. a.
Pajak Rokok Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari: Pajak Hotel
b. Pajak Restoran c.
Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame e.
Pajak Penerangan Jalan
f.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah
i.
Pajak Sarang Burung Walet
j.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dimaksud
dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pri badi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan peme rintahan daerah dan pembangunan daerah. Dari definisi tersebut jelas bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan ke pada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali.
Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan
bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berda sarkan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut
KERANGKA TEORI
11
pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda yang akan dikeluarkan oleh pemda tentu tidak boleh bertentangan de ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.
Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek pajak daerah
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi keleluasaan atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: 1. Bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi; 2. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan ke pentingan umum; 3. Potensinya memadai; 4. Tidak berdampak negatif terhadap perekonomian; 5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; 6. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.
2.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dasar hukum BPHTB adalah UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Selanjutnya, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang meng akibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Sedangkan hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah
termasuk hak pengelolaan, besarta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 ten tang Rumah susun, dan ketentuan perundang-undangan lainnya. 12
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Obyek pajak BPHTB. Yang menjadi obyek pajak adalah perolehan
atas tanah ban bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meli puti pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemindahan hak ini karena: jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Selain itu, pemberian hak baru dapat karena: kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTP. Jenis hak yang diatur da
lam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan jenis hak yang diatur dalam UU rumah susun adalah hak milik atas satuan rumah susun dan pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB. Obyek pajak yang tidak di
kenakan BPHTB adalah obyek pajak yang diperolah: perwakilan diplomatik, negara untuk penyelenggaranaan pemerintahan dan atau untuk pelaksa naan pembangunan guna kepentingan umum, badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri de ngan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas; orang pribadi atau badan karena konversi hak atau ka rena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; orang pribadi atau badan karena wakaf; orang pribadi atau badan yang diguna kan untuk kepentingan ibadah.
2.3. Dasar Pengenaan Pajak Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). Secara umum NPOP dibagi menjadi 3 dasar, yakni:
KERANGKA TEORI
13
1) Harga transaksi: jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang. 2) Nilai pasar: tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena putusan hakim yang tetap, pemberian hak baru, penggabungan usa ha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah. 3) NJOP PBB, apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB. Sementara itu, NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2.4. Peranan Pajak dalam Pembangunan Pajak merupakan pungutan/iuran yang dipaksakan kepada warga atau masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, untuk mendukung pembiayan penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur laju perekonomian dan juga mengatur tingkat konsumsi masya rakat. Pajak memiliki sifat memaksa, karena sifatnya yang dipaksakan ter sebut maka pajak dapat mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau warga.
Pajak merupakan modal utama untuk membiayai aktivitas pemerintah
dalam menjalankan pembangunan. Sebagian besar sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak, sehingga pajak sangat berperan dalam pembangunan suatu negara. Pada saat pemerintah melakukan belanja barang dan jasa terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke dalam ma syarakat. Termasuk juga dalam hal ini beberapa multiplier effect dalam ben tuk, misalnya employment creation dan peningkatan output. Kenaikan pen dapatan masyarakat ini akan merangsang peningkatan permintaan dan dalam kondisi penawaran yang relatif terbatas akan terjadi kecenderungan kenaikan harga atau mendorong pada kenaikan laju inflasi.
Dalam kondisi sebagian dari pendapatan masyarakat yang meningkat
itu diambil oleh pemerintah melalui pajak untuk membiayai defisit ang garan berikutnya, hal inilah yang dikatakan sebagai forced saving. Forced
14
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
saving dapat dimanfaatkan untuk pembentukan modal. Pajak juga ber fungsi sebagai upaya untuk mengatur alokasi pendapatan masyarakat. Dengan menarik pajak sesuai mekanismenya, maka pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan pada upaya-upaya investasi yang dapat dinikmati banyak orang.
Selanjutnya, dengan tersedianya banyak investasi, maka akan timbul
lapangan pekerja. Sehingga secara tidak langsung pemerintah telah me lakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Jadi secara tidak langsung adanya penarikan pajak yang tepat akan membuka peluang bagi kemak muran masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan kerja.
Pengenaan pajak yang terbaik dipandang dari sudut pandangan ilmu
ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-pengaruh ekonomi paling baik atau setidaknya walaupun memberikan pengaruh tidak baik, adalah yang paling sedikit. Soal prinsip pengenaan pajak agar dapat dihasilkan suatu kebaikan telah dikemukakan oleh Adam Smith dengan cannon of taxation.
Suatu sistem pajak yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria
diantaranya adalah: (1) Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan bagiannya yang wajar; (2) Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi; (3) Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di sektor swasta, apabila instrumen pajak dapat melakukannya; (4) Struktur haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (5) Sistem pajak harus dimengerti wajib pajak; (6) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya haruslah seminimal mungkin; (7) Pasti; KERANGKA TEORI
15
(8) Dapat dilaksanakan; dan (9) Dapat diterima.
Konsep keadilan pada kriteria (1) sifatnya relatif. Dalam perpajakan
konsep dibedakan menjadi dua klasifikasi yaitu keadilan datar (horizontal equity) dan keadilan tegak (vertical equity). Yang dimaksud dengan keadil an datar adalah pengenaan pajak di mana setiap orang yang keadaannya sama haruslah menderita beban yang sama pula besarnya. Sedangkan keadilan tegak adalah situasi di mana orang yang keadaannya berbeda haruslah menderita beban pajak yang berbeda pula. Dapat dipahami bahwa keadilan ini sangat bias karena tidak jelas apa yang dimaksud de ngan orang yang keadaannya sama.
Pajak dan Kesejahteraan (Welfare) Jika suatu barang dikenakan pajak, maka berdampak pada harga yang dibayar konsumen menjadi lebih tinggi daripada harga yang diterima oleh produsen atau penjual, karena sebagian harga dibayarkan kepada peme rintah. Dalam beberapa hal terkadang suatu pajak akan menimbulkan beban yang lebih besar dibandingkan nilai yang dipungut. Kelebihan be ban yang ditimbulkan oleh pajak itulah yang disebut kesejahteraan yang hilang karena pajak (welfare cost of taxation). Penting sekali membedakan secara jelas antara biaya tak langsung (the welfare cost taxation) dan biaya langsung (direct cost of taxation) dalam hubungannya dengan penarikan sumber-sumber produktif dari sektor swasta.
Perbedaan ini dapat diilustrasikan secara jelas dengan contoh sebagai
berikut: misalnya suatu pajak penjualan dikenakan pada produk tertentu, tetapi pajak tersebut dikenakan sedemikian tinggi sehingga produk ter sebut menurun sampai nol. Dalam kondisi seperti ini berarti tidak ada biaya langsung dari suatu pajak, sebab tidak ada penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Tetapi jelas ada beban bagi masyarakat
16
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
karena pajak yaitu produk tersebut tidak diproduksi padahal sangat dibu tuhkan masyarakat.
Dengan demikian terdapat mis-alokasi sumber-sumber produksi se
hingga konsumen menjadi kurang senang dan kehilangan kesejahteraan, yang berarti mereka memikul beban pajak. Jadi dalam hal ini ada welfare cost of taxation meskipun tidak ada direct cost of taxation. Apabila pajak penjualan tersebut dipungut pada tingkat tertentu yang masih menghasil kan sejumlah penerimaan pajak berarti akan timbul baik welfare cost of taxation maupun direct cost of taxation (Khadijah, 2002). Lebih jelasnya dapat diikuti pada gambar berikut:
Gambar 1. Dampak Pajak Terhadap Welfare.
Sumber: Khadijah, 2002
Gambar 1 memperlihatkan bahwa harga mula-mula sebelum dikena
kan pajak terhadap produk tersebut adalah Po dan kurva supply adalah S, namun ketika dikenakan pajak pada produk tersebut maka kurva supply bergeser dari S ke S+T sehingga harga menjadi naik dari Po menjadi P1 KERANGKA TEORI
17
sedangkan produksi turun dari Qo menjadi Q1. Penerimaan pajak (the direct cost taxation) sama dengan PoP1BA. Harga bagi konsumen sekarang adalah P1 di atas harga awal yaitu Po dan inilah sumber mis-alokasi yang menyebabkan adanya welfare cost. Pengurangan konsumsi atas produk tersebut dari Qo ke Q1 berarti hilangnya manfaat sebesar BCQoQ1.
Sumber-sumber produktif yang dipakai untuk memproduksi Qo dan
Q1 dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang lain yang lebih banyak. Jadi pajak membatasi produksi barang-barang yang dikenakan pajak dan mendorong sumber-sumber produktif berpindah kepemakaian lain. Tetapi nilai barang lain yang diproduksi (ACQoQ1) lebih sedikit diban ding dengan hilangnya nilai barang-barang yang dikenakan pajak (BCQoQ1). Perbedaan atau selisih antara BCQoQ1 dan ACQoQ1= BAC merupakan welfare cost sebab ini merupakan besarnya kehilangan neto akan manfaat. Dengan mengetahui welfare cost maka dapat dibandingkan pajak yang satu dengan yang lain dan menentukan mana yang memberikan beban lebih besar kepada masyarakat sehingga pemerintah dapat membuat alter natif lain di bidang perpajakan. Demikian pula besarnya welfare cost da pat memberi petunjuk kepada pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya produktif seefisien mungkin.
Pajak dan Produksi Dari sisi produksi, dampak pajak dapat berpengaruh terhadap produksi keseluruhan. Pengaruhnya terhadap produksi secara keseluruhan berlang sung melalui pengaruhnya terhadap kerja, tabungan dan investasi. Lebih jauh dampak pajak ini terlihat dari kemampuan dan keinginan untuk be kerja, menabung dan mengadakan investasi.
Menurut Suparmoko (1997) kemampuan seseorang untuk bekerja
akan berkurang apabila dikenai pajak yang dapat mengurangi efisiensi kerjanya. Oleh karena itu, suatu pajak yang dikenakan kepada golongan
18
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
yang mempunyai tingkat penghasilan yang rendah dalam suatu masyarakat hanya akan menurunkan tingkat efisiensi kerjanya.
Pengenaan pajak juga akan mempengaruhi kemampuan menabung
masyarakat. Orang yang dikenakan pajak penghasilan, kemampuannya untuk menabung akan berkurang sebesar marginal propensity to save (mps) dikalikan dengan jumlah pajak yang dikenakan. Bagi orang-orang yang tergolong mempunyai penghasilan rendah, pengenaan pajak tidak akan mengurangi kemampuannya untuk menabung karena memang pada umumnya biasanya mereka itu sudah tidak mempunyai tabungan walaupun belum dikenakan pajak karena pendapatannya habis untuk konsumsi. Sehingga kalau dikenakan pajak tidak akan mengurangi ta bungannya melainkan akan mengurangi konsumsinya. Dampak selanjut nya, jika pengenaan pajak akan berpengaruh pada tabungan, maka ber dampak pada berkurangnya investasi yang terbatas. Hal ini dikarenakan salah satu sumber utama adalah akumulasi tabungan.
Pajak dan Distribusi Pendapatan Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah berupa pe ningkatan pendapatan nasional per kapita, penciptaan lapangan kerja, distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran internasional. Beberapa tujuan umum pembangunan terse but seringkali tidak selaras dalam pencapaiannya, akan tetapi sering kali untuk mencapai tujuan yang satu terpaksa harus mengurangi keberhasilan dari tujuan yang lain. Misalnya, untuk mencapai laju pertumbuhan ekono mi yang tinggi menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Tingkat pajak yang regresif cenderung untuk memperbesar ketim
pangan pendapatan dalam masyarakat. Sebaliknya semakin progresif sis tem pajak yang dianut oleh suatu perekonomian akan semakin memini malisir perbedaan penghasilan yang terdapat dalam perekonomian, se hingga sistem pajak yang digunakan hendaklah bersifat progresif. Suatu
KERANGKA TEORI
19
pajak dikatakan mempunyai struktur yang progresif apabila persentase beban pajak terhadap pendapatan naik dengan meningkatnya pendapatan. Sedangkan struktur pajak dikatakan bersifat regresif apabila persentase beban pajak terhadap pendapatan menurun dengan meningkatnya pen dapatan.
Pajak dan Semangat Bekerja Jika pajak progresif dikenakan pada pendapatan tenaga kerja maka tenaga kerja tersebut akan berkurang keinginannya untuk bekerja. Hal ini dikare nakan apabila penghasilannya bertambah maka sebagian besar hanya akan dipungut oleh pemerintah saja. Jadi pajak progresif akan mengurangi insentif kerja. Banyak kasus di luar negeri pindah kewargenagaraan untuk menghindari pajak penghasilan yang tinggi di negara asalnya. Sedangkan pajak regresif merupakan pajak dengan perkembangan yang kurang se banding dengan perkembangan taxable capacity, persentase pajak yang harus dibayar menjadi semakin kecil atau average tax rate menurun pada setiap peningkatan tax base.
Pajak regresif ini akan mendorong peningkatan insentif kerja, karena
dengan semakin tingginya penghasilan yang diperoleh, maka pajak yang harus dibayarnya semakin rendah persentasenya. Para pekerja akan be kerja lebih giat agar memperoleh penghasilan yang lebih besar dan de ngan demikian pajak yang harus dibayarnya akan menjadi semakin kecil persentasenya.
2.5. Pengalaman Beberapa Negara berkaitan dengan Pajak Properti Di bawah ini akan diceritakan tentang pajak properti, tidak khusus tentang BPHTB, tetapi terkait dengan PBB, yang sudah berjalan di beberapa ne gara. BPHTB sebenarnya akan mengikuti seluruh kebijakan yang terkait
20
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dengan tanah, proses jual beli maupun pemindahan kepemilikan atas properti yang dimiliki seseorang atau badan.
Pajak Properti Filipina Pajak properti masih memiliki kontribusi yang sangat kecil terhadap pen dapatan pemerintah daerah di Filipina. Namun, di satu sisi potensi pajak properti dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan pemerintah daerah. Pajak properti dapat dijadikan sumber peningkatan pendapatan dikarenakan : a.
Pajak properti memiliki nilai pasar relatif lebih stabil dibandingkan dengan pendapatan dan penjualan.
b. Tanah dan bangunan yang terlihat sehingga sulit untuk menyem bunyikan. c.
Pajak properti sulit untuk dilakukan penggelapan.
d. Pajak properti merupakan pajak yang adil karena penilaian properti berdasarkan pemanfaatan lahan yang intensif
Sebelum berlakunya kode pemerintahan daerah tahun 1991, sistem
pajak properti di Filipina sepenuhnya diberikan kepada pemerintah kota madya, dimana pembagian pajak properti sebagaian besar dibagi dengan porsi 35% provinsi, 40% kota, dan 25% desa sesuai dengan letak properti yang ada, misalnya di Kota Manila yang memiliki porsi pajak 70% untuk kota dan 30% untuk desa. Namun, di satu sisi hal ini menimbulkan perselisihan antar daerah karena antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya saling berebut untuk mendapatkan porsi pajak yang paling besar.
Penentuan dasar tarif pajak properti di Filipina, didasarkan kepada
fungsi lahan yang digunakan misalnya untuk perumahan dikenakan pajak sebesar 20%, pertanian sebesar 40%, dan industry sebesar 50%. Dengan adanya perbedaan dasar tarif pajak ini maka nantinya dapat menentukan bagaimana lahan-lahan tersebut nantinya dapat dimanfaatkan. Selain itu
KERANGKA TEORI
21
dikarenakan adanya perbedaan tentang dasar pada masing-masing properti maka untuk mempermudah di dalam memungut pajak properti maka yang harus dilakukan yaitu melakukan pengkodean data, catatan manajemen harus baik, penerbitan tagihan pajak, pembayaran rekaman, dan melakukan pelacakan perubahan dalam kepemilikan tanah.
Di dalam kenyataannya di Filipina banyak pemerintah daerah yang
hanya mampu mengumpulkan pajak daerah sebesar 54% dari basis pajak nya, dimana hal ini dikarenakan banyaknya kelemahan administrasi per pajakan seperti masalah pengkodean data pajak, sehingga hal ini juga menimbulkan masalah ketidakefisiensian di dalam pajak properti. Namun di sisi lain, di daerah-daerah Filipina lainnya juga telah melakukan upaya pengidentifikasian pajak properti misalnya Kota Naga yang sistem pe merintahannya berbentuk partisipatif dan transparan, dimana pemerintah Kota Naga telah memberikan situs pemerintahan kepada Negara, yang mana situs tersebut memuat kontrak, anggaran, infrastruktur dan biaya untuk pelayanan sosial, sehingga akibatnya dengan adanya transparansi ini maka dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembayaran pajak.
Sedangkan di Muntinlupa City, San Fernando City, Valenzuela City,
dan Quezon City, di dalam upaya meningkatkan pajak propertinya pe merintahan di kota tersebut secara teratur melakukan pengiriman tagihan pajak, merampingkan proses pembayaran pajak, menegakkan penagihan tunggakan melalui penjualan properti melalui publik lelang dan untuk wajib pajak diperlakukan sebagai pelanggan melalui penyediaan pemba yaran pajak di kantor dengan karyawan yang sopan, dan fasilitas sederhana seperti kopi.
Pajak Properti di Kamboja Pajak properti adalah sumber utama pendapatan untuk Pemerintah Dae rah. Untuk mewujudkan potensi ini, Pemerintah Kamboja menciptakan
22
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kelompok Kerja Teknis untuk belajar kebijakan pajak properti dengan ber fokus hanya pada Phnom Penh. Diharapkan pajak properti di Phnom Penh bisa menghasilkan USD3-6 juta per tahun. Pajak properti dikenakan pada tanah dan bangunan kecuali milik pemerintah, LSM, kedutaan dan ma syarakat miskin. Struktur kebijakan harus dibuat sederhana dan mudah diimplementasikan dengan cara yang adil, efisien, menghasilkan tingkat lokal penting untuk mendukung peningkatan tata kelola pemerintahan dan akuntabel dan pelayanan.
Departemen Jenderal Pajak bertanggung jawab untuk mengelola
pajak properti yang diusulkan, bekerja sama dengan Departemen Manaje men Tanah, Perencanaan Kota dan Konstruksi dan Nasional Sub Adminis trasi. Strategi pelaksanaan pajak properti terdiri dari tiga komponen yaitu dukungan mobilisasi politik dan publik, peningkatan administrasi pajak yang ada, persiapan dan pelaksanaan pajak bumi dan bangunan. Tan tangan yang dihadapi yakni: Sub Nasional Administrasi tidak berhak untuk mengumpulkan semua jenis pajak (Departemen Pajak Umum mengum pulkan pajak ditetapkan atas nama mereka), kekurangan pendidikan ke pada wajib pajak tentang pajak properti, rumah tangga miskin yang me miliki properti mahal (sebagai properti diwariskan). Pendapatan yang dihasilkan dari pajak properti tidak dapat digunakan secara bijak.
Pajak Properti di India Pajak properti merupakan pajak yang sangat tepat yang dimiliki oleh pe merintah daerah yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan layan an publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, sehingga dengan ada nya penarikan pajak properti dengan diimbangi pelayanan publik yang baik maka akan meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajaknya. Namun, di negara berkembang pajak properti belum mampu menjadi sumber penda patan yang signifikan di pemerintah daerah. Di negara berkembang kon tribusi hanya mencapai 0,6 persen dari PDB, bahkan di India kontribusi
KERANGKA TEORI
23
pajak properti hanya sebesar 0,16 -0,24 persen dari PDB. Hal ini dikarenakan ada kesenjangan yang signifikan antara potensi pendapatan dari pajak dan pendapatan yang telah diterima, yang mana terdapat beberapa pe nyebab diantaranya metode penilaian terhadap properti yang sudah “kada luarsa’’, penegakan hukum yang buruk, dan cara menilai properti tersebut.
Di India asal mulanya pajak properti yang diterapkan berdasarkan
pada nilai modal dan nilai sewa properti, sehingga pemerintah harus se ring merevisi tarifnya akibat nilai modal dan sewa yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di dalam perkembangannya pajak pro perti di India mengalami pereformasian, dimana penetapan tarif tidak lagi berdasarkan pada nilai modal dan nilai sewa melainkan di tetapkan berdasarkan lokasi properti dan jenis kontruksi properti tersebut. Dengan adanya reformasi pajak properti seperti ini hasilnya cukup signifikan yang mana pajak properti mampu mengalami peningkatan sebesar 3,5 kali lipat selama delapan tahun dari 2,3 miliar rs pada 2004-05 ke 8,4 miliar rs pada tahun 2011-2012. Di tahun yang akan datang, unsur yang akan dilibatkan dalam penetapan tarif yaitu mengenai indeks harga riilnya.
Pajak Properti di Nepal Kota di Nepal menghadapi dua tantangan besar dalam koleksi pajak properti: kapasitas rendah dan rendah kepatuhan. Kapasitas yang rendah dalam administrasi pajak adalah masalah besar karena kota kekurangan sumber daya manusia yang terlatih untuk administrasi pajak. Terutama, kapasitas rendah terhadap update rutin dari register pajak dan penggunaan optimal dari perangkat lunak pajak. Tantangan kedua adalah kepatuhan rendah karena rendahnya kesediaan membayar pajak. Kebanyakan pem bayar pajak membayar pajak properti ketika mereka perlu untuk mengakses layanan kota.
24
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
PropertyTax di Amerika Serikat Sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat mengenakan pajak properti sebagai sumber utama pendapatan. Pajak ini dapat dikenakan pada real estate atau properti pribadi. Pajak ini hampir selalu dihitung se bagai nilai pasar yang wajar dari properti dikalikan assessment ratio dika likan tax rate. Nilai tersebut ditentukan oleh pejabat lokal, dan dapat di negosiasi dengan pemilik properti.
Pajak ini dikelola di tingkat pemerintah daerah. Pajak properti di
Amerika memberi batasan pada bagaimana yurisdiksi lokal dapat me ngenakan pajak properti. Karena banyak properti yang dikenakan pajak oleh lebih dari satu yurisdiksi lokal, beberapa negara memberikan metode nilainya dibuat seragam di antara yurisdiksi tersebut.
Pajak properti jarang dinilai sendiri oleh pemilik properti. Pajak men
jadi kewajiban dan memiliki kekuatan hukum yang melekat pada properti pada tanggal tertentu. Di setiap negara bagian USA biasa mengenakan pajak pajak properti dari kendaraan yang terdaftar di negara bagian terse but, dari beberapa jenis pajak negara bagian lainnya serta pajak bisnis properti.
KERANGKA TEORI
25
Landasan. Kebanyakan yurisdiksi di bawah tingkat negara bagian di Ame rika Serikat mengenakan pajak dalam real properti (tanah, bangunan, dan perbaikan gedung secara permanen) yang mana dianggap di bawah hukum negara bagian tertentu menjadi pajak kepemilikan. Aturan tersebut bervariasi tergantung oleh yurisdiksi tiap negara bagian. Namun, dalam beberapa fitur pajak properti tertentu sedang dibuat menjadi universal di tiap negara bagian. Di beberapa yurisdiksi pajak juga menerapkan bebe rapa jenis pajak bisnis properti pribadi, terutama dalam persediaan dan peralatan.
Yurisdiksi yang tumpang tindih mungkin memiliki kewenangan untuk
pajak properti yang sama. Termasuk juga kabupaten, kota, distrik, dan oto ritas perpajakan khusus, hal tersebut berbeda-beda berdasarkan negara bagian. Beberapa negara bagian mengenakan pajak atas nilai properti. Pajak ini berdasarkan nilai pasar wajar dari subjek properti, dan umumnya ditetapkan untuk properti pada tanggal tertentu. Pemilik properti pada tanggal tersebut bertanggung jawab atas pajak.
Besarnya pajak yang ditetapkan setiap tahun berdasarkan nilai pasar
masing-masing properti pada tanggal tertentu, dan sebagian besar yuris diksi membutuhkan determinasi nilai secara berkala. Pajak ditentukan dari nilai pasar dikali penilaian rasio suatu tarif pajak. Penilaian dan tarif pajak bervariasi antar yurisdiksi, dan dapat bervariasi menurut jenis properti dalam yurisdiksi. Badan legislatif Sebagian besar jurisdiksi menentukan penilaian mereka dalam rasio dan tarif pajak, meskipun beberapa negara bagian terdapat kendala pada penentuan tersebut.
Pajak asesor mengenakan pajak yurisdiksi untuk menentukan nilai
properti dengan berbagai cara, tetapi umumnya penentuan tersebut pada nilai pasar wajar. Nilai wajar pasar adalah harga untuk penjual bersedia men jual propertinya dan pembeli bersedia untuk membeli properti tersebut dengan harga yang sudah ditentukan penjual dan tidak berada di bawah setiap paksaan untuk bertindak. Ketika properti telah dijual antara penjual yang tidak berhubungan langsung dengan pembeli, maka penjualan
26
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
tersebut menetapkan estimasi terhadap nilai pasar wajar. Teknik estimasi yang umum digunakan adalah membandingkan penjualan lain yang se banding, biaya penyusutan, dan pendekatan pendapatan. Pemilik properti juga dapat menyatakan nilai yang dapat berubah oleh penilai pajak.
Setelah nilai ditentukan, penilai biasanya memberitahu pemilik pro
perti terakhir yang diketahui dari penentuan nilai. Pemberitahuan tersebut dapat mencakup jumlah yang dihitung dari pajak. Nilai properti umumnya ditinjau oleh dewan review atau badan serupa.
Setelah nilai diselesaikan, tagihan pajak properti atau pemberitahuan
akan dikirim ke pemilik properti. Metode pembayaran dan istilah bervariasi. Jika pemilik properti gagal untuk membayar pajak, yurisdiksi perpajakan memiliki berbagai metode untuk tetap menghimpun pajak tersebut, dalam banyak kasus, termasuk penyitaan dan penjualan properti. Properti yang kena pajak. Hampir semua pajak properti memberlakukan yurisdiksi pajak properti yang hampir sama. Ini meliputi tanah, bangunan, dan semua perbaikan (sering disebut perlengkapan) yang tidak dapat di hapus tanpa merusak properti. Pajak properti juga termasuk rumah, pe ternakan, tempat usaha, dan properti lainnya. Properti yang sudah ada dan terletak di wilayah hukum pada tanggal tertentu dikenakan pajak ini. Tang gal tersebut biasa jatuh pada tanggal 1 Januari setiap tahun, namun ber variasi antara yurisdiksi. Tax Rates. Tarif pajak bervariasi antara yurisdiksi. Mereka umumnya diatur oleh taxing jurisdiction’s governing body. Metode penentuan tingkat bervariasi, namun dapat dibatasi berdasarkan hukum negara bagian ter tentu. Perubahan tarif pajak atau rasio penilaian mungkin memiliki efek praktis yang sama dari perubahan pajak bersih jatuh tempo pada properti tertentu. Sejarah. Pajak Properti di Amerika Serikat sudah ada selama masa penja jahan. Pada 1796, 14 dari 15 negara bagian mengenakan pajak properti,
KERANGKA TEORI
27
tetapi hanya 4 negara bagian yang mengenakan pajak persediaan (saham dalam perdagangan). Di beberapa negara bagian, semua harta properti, dengan beberapa pengecualian yang dikenakan pajak, pengecualian ter sebut akan muncul dalam nama pajak yang lain selain pajak properti. Tanah dikenakan pajak di satu negara bagian tertentu menurut kuantitasnya, di negara bagian lain sesuai dengan kualitas, dan juga ada yang tidak dike nakan sama sekali. Tanggung jawab penilaian dan pengumpulan pajak dalam beberapa kasus merupakan keputusan pada negara bagian itu sen diri. Sebagai contoh Vermont dan North Carolina dikenakan pajak tanah berdasarkan kuantitas, sementara New York dan Rhode Island dikenakan pajak tanah berdasarkan nilai. Connecticut pajak tanah berdasarkan jenis penggunaan.
Selama periode dari 1796 sampai Perang Saudara, prinsip pemersatu
dikembangkan. Pengenaan pajak seluruh aktiva bergerak dan tidak berge rak, terlihat dan tak terlihat, atau nyata dan pribadi, seperti yang kita kata kan di Amerika, pada satu tingkat yang seragam. Selama periode ini, pajak properti akan dinilai berdasarkan nilai. Ini diperkenalkan sebagai persya ratan dalam konstitusi banyak negara.
Setelah Perang Saudara, harta tak berwujud, termasuk saham perusa
haan, mengambil kepentingan yang jauh lebih besar. Yurisdiksi Perpajakan menemukan kesulitan untuk menemukan metode pengenaan pajak pro perti semacam ini. Tren ini menyebabkan pengenalan alternatif untuk pengenaan pajak properti (seperti pendapatan dan pajak penjualan) di tingkat negara bagian. Pajak properti tetap menjadi sumber utama pen dapatan pemerintah di bawah tingkat negara.
Masa sulit selama Depresi Besar menyebabkan tingkat penyimpangan
pajak yang tinggi dan pendapatan properti mengurangi pajak. Juga pada tahun 1900-an, banyak yurisdiksi mulai membebaskan properti tertentu dari pajak. Banyak yurisdiksi membebaskan rumah veteran perang. Setelah Perang Dunia II, beberapa negara bagian juga mengganti dengan keten tuan membatasi kenaikan nilai untuk rumah tinggal.
28
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Berbagai faktor ekonomi telah menyebabkan inisiatif wajib pajak di
berbagai negara bagian untuk membatasi pajak properti. California Pro position 13 (1978) diubah konstitusi California untuk membatasi pajak properti agregat 1% dari “nilai tunai penuh kekayaan tersebut”. Hal ini juga membatasi kenaikan nilai dinilai properti untuk faktor inflasi yang dibatasi 2% per tahun.
KERANGKA TEORI
29
BAB III Metode Penelitian
B
erdasarkan atas tujuan penelitian yang sudah dijelaskan didepan, maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini didesain untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang
sudah dijelaskan didalam bab sebelumnya.
Penelitian dilakukan dengan pada sampel di beberapa daerah kota
maupun kabupaten di seluruh Indonesia. Metode pemilihan sampel dae rah yang digunakan adalah dengan stratifikasi yaitu menetapkan daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam suatu klasifikasi yang didasarkan pada perkembangan penerimaan BPHTB selama dua tahun terakhir, kemudian dipilih masing-masing dua daerah yang tertinggi, normal dan rendah realisasi penerimaan BPHTB-nya. Pertimbangan pemilihan daerah sampel juga didasarkan pada kriteria daerah kota dan kabupaten.
1.1. Sumber dan Metoda Pengumpulan Data Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, untuk menjelaskan fenomena yang ditemukan di dalam penelitian. Informasi
30
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dan data yang dikumpulkan selama penelitian akan dijelaskan dan dieks plorasi berdasakan hasil analisis. Jenis data yang ada sebagai berikut: •
Data Primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari kunjungan lapangan melalui proses dialog intensif dengan pengambil keputusan dan stakeholders terkait dengan pelaksanaan pengenaan BPHTB di daerah, melalui Focus Group Discussion (FGD) dan in-depth inter view kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan informasi yang perlu pendalaman.
•
Data Sekunder: yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah Daerah, seperti data tentang PRDB, IKK, Kepadatan Penduduk, Per tumbuhan Ekonomi, dan Penerimaan BPHTB.
Data yang dikumpulkan selama periode sebelum dan setelah BPHTB
diserahkan kepada daerah, yakni tahun 2010 dan 2011.
1.2. Pemilihan Daerah Sampel Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan pemilihan daerah sampel yang akan dikunjungi melalui pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) dan pembagian kuesioner. Daerah sampel akan dipilih berdasarkan kemampuan melaksanakan pengalihan BPHTB tahun 2011 yang dikategorikan menjadi: a.
Daerah berkemampuan tinggi, jika besaran penerimaan BPHTB tahun 2011 berada di atas 100% dari penerimaan BPHTB tahun 2010.
b. Daerah berkemampuan normal, jika besaran penerimaan BPHTB tahun 2011 berada diantara 0% s.d. 100% dari penerimaan BPHTB tahun 2010. c.
Daerah berkemampuan rendah, jika besaran penerimaan BPHTB ta hun 2011 lebih rendah dari penerimaan BPHTB tahun 2010 atau ter jadi penurunan penerimaan BPHTB. METODE PENELITIAN
31
Daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari 6 dae
rah, yaitu 3 kabupaten dan 3 Kota yang mewakili ketiga kategori tersebut, sebagaimana tergambar dalam Tabel di atas. Adapun ke-enam daerah sampel terpilih adalah sebagai berikut: 1. Kota Palembang, (Kategori rendah) 2. Kota Medan (Penerimaan BPHTB terbesar) 3. Kota Pekanbaru (Kategori normal) 4. Kabupaten Lebak (Kategori normal) 5. Kabupaten Lombok Utara (Kategori tinggi) 6. Kabupaten Gianyar (Kategori tinggi)
Responden yang akan diundang menghadiri FGD sekaligus diminta
menjawab pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari: 1) Bappeda 2) Asisten Sekda Bidang Ekonomi dan Keuangan 3) Bagian Keuangan Setda 4) Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD 5) Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD 6) Kepala PTSP (Perizinan) 7) Notaris/PPAT 8) BPN di daerah 9) Dinas Penanaman Modal 10) Dinas Koperasi/ UKM / Perdagangan / Industri 11) Kadin daerah/Pengusaha Real Estate 12) Akademisi daerah 13) DPRD 14) Camat/KepalaDesa 15) LSM terkait dengan Pengelolaan Keuangan
32
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
1.3. Metoda Analisis Data Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskriptif untuk menjawab fenomena yang diperoleh didalam proses FGD. Analisis deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang ter jadi di daerah termasuk hambatan yang ada terkait dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB.
Perubahan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan melalui transaksi
(NPOP) mencerminkan dua hal pokok yaitu pengaruh dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (umumnya variabel ekonomi, penduduk, PDRB, IKK, inflasi dll) dan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau upaya yang telah dilakukan seperti perluasan cakupan (data dasar), pendataan, penyusunan Zona Nilai Tanah (ZNT), dan perubahan NJOP yang disebut dengan variabel dapat dikendalikan. Pengamatan terhadap variabel yang dapat dikendalikan dapat dilihat dari berbagai usaha yang telah dilakukan antara lain usaha perluasan cakupan, dan pengisian SPOP.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka inten
sifikasi atau ekstensifikasi terhadap komponen BPHTB dapat diamati dari perkembangan dan luas cakupan. Selain itu para walikota maupun bupati memberi insentif bagi para camat/notaris yang mencapai tingkat peneri maan BPHTB yang mengesankan, sebaliknya memberi hukuman bagi apa rat pemda (camat) yang tidak berhasil mencapai target.
Selain variabel tersebut diatas, masih terdapat beberapa variabel
yang mungkin mempengaruhi BPHTPB tergantung pada kondisi daerah masing-masing. Variabel yang dianalisis di atas hanyalah variabel yang dianggap dominan dan bersifat umum mempengaruhi NPOP maupun NJOP. Variabel seperti tersedianya perda, maupun peraturan lainnya yang mendukung BPHTB yang merupakan proksi terhadap upaya memperluas cakupan baik dalam artian intensifikasi ataupun ekstensifikasi merupakan variabel yang perlu medapat perhatian. Selain itu, variabel kebijakan yang berbeda-beda pada tiap daerah juga turut mempengaruhi utamanya yang
METODE PENELITIAN
33
bersifat kekuasaan. Untuk mengantisipasi variabel-variabel tersebut de ngan tepat sangat dibutuhkan visi dan analisis yang cermat dan dikaji secara terus menerus. Karena dalam struktur organisasi Dispenda tidak terdapat unit yang berfungsi melakukan kajian seperti itu maka, sebaiknya ada kerjasama antar instansi untuk mengkaji masalah tersebut.
Metode Analisis yang dipakai sebagai berikut:
-
Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskrip tif untuk menjawab fenomena yang diperoleh didalam proses FGD. Analisis deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menjelaskan feno mena yang terjadi di daerah termasuk hambatan yang ada terkait dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB.
-
Menganalisis penerimaan BPHTB, dengan mendeskripsi proses penge lolaan mulai dari pendataan, penetapan, pembayaran dan pengawas an terhadap penerimaan BPHTB selama dilakukan FGD dibeberapa daerah. Kemudian dikaitkan dengan keadaan penerimaan secara le bih rinci sehingga dapat diketahui perilaku umum yang terjadi pada proses pemungutan BPHTB di daerah tersebut.
-
Menganalisis cara penentuan NPOP dengan nilai transaksi atau de ngan menggunakan NJOP sesuai dengan yang digunakan dalam menetapkan PBB dan BPHTB. Pertama akan dilakukan reduksi terha dap informasi yang diterima selama FGD dan selanjutnya dikelom pokkan untuk mendapat penjelasan yang lebih fokus terhadap ba gian tertentu dalam proses pemungutan BPHTB.
-
Menganalisis tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar BPHTB melalui informasi yang diperoleh dari peserta FGD serta dengan membandingkan antara target dan realisasi penerimaan PBB. Datadata yang digunakan tersebut berasal dari notaris, pihak pemerintah daerah dan masyarakat.
34
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
-
Sistem penetapan NPOP yang berlaku saat ini. Analisis sistem dan prosedur penilaian NPOP BPHTB yang akan dilaku kan adalah sejauh mana proses penggunaan dan penilaian NJOP mendekati harga sebenarnya dan apakah efektif dilakukan, maka akan dilakukan analisis dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada peserta FGD untuk melakukan pengujian terhadap informasi yang disampaikan peserta FGD.
Dengan demikian maka metode analisis informasi melalui FGD ini
diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana penilaian dan pene tapan NPOP ini ditopang oleh suatu sistem administrasi yang efektif.
Hasil analisis ini akan mengungkapkan efektifitas sistem dan pro
sedur pemungutan BPHTB. Dengan kata lain bahwa fokus utama analisis sistem dan prosedur pemungutan adalah menilai apakah mekanisme (jika sudah ada) tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau diperlukan aturan baik berupa SOP atau pun SOTK untuk itu.
Untuk mendukung metodologi tersebut diatas maka akan
dilakukan beberapa rangkaian kegiatan antara lain ; -
Mengumpulkan dan mereduksi informasi yang diperoleh dari FGD daerah
-
Memahami proses penilaian NJOP maupun NPOP BPHTB
-
Mengumpulkan informasi mengenai pelaksanaan transaksi dan penetapan NPOP BPHTB.
-
Mempelajari tata cara pendataan dan penilaian yang dilakukan selama ini di masing masing daerah sampel.
Sedangkan, analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui
dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap kondisi fiskal daerah. Berdasarkan kedua analisis itu akan dirumuskan desain kebijakan yang tepat untuk mengoptimalkan penerimaan BPHTB pemerintah daerah.
METODE PENELITIAN
35
Kajian makro kuantitatif ini akan memanfaatkan model statistika
untuk melihat keterkaitan antara beberapa variabel ekonomi seperti per tumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, serta indeks kemahalan kon struksi (IKK). Analisis ini akan menggunakan peralatan statistik ekonometrik. Dengan mengukur koefisien berbagai variabel berpengaruh untuk menge tahui seberapa besar dan variabel mana yang dominan dalam mempe ngaruhi penerimaan BPHTB.
Penelitian ini menganalisis BPHTB dari aspek makro. Khusus analisis
makro difokuskan untuk menganalisis berbagai faktor ekonomi yang mem pengaruhi BPHTB. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa, nilai objek pajak baik tanah maupun bangunan di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi daerah tersebut. BPHTB yang umumnya perhitung annya didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) sangat dipengaruhi oleh perkembangan penduduk (kepadatan). Dan harapan maupun perki raan akan perubahan harga sebagai akibat dari perbaikan akses (infrastruk tur) yang diindikasikan oleh tingkat IKK yang rendah akan mempengaruhi rencana penerimaan BPHTB. Selain variabel tersebut masih terdapat be berapa variabel ekonomi lainnya yang diduga mempunyai peranan dalam mempengaruhi nilai jual objek pajak. Untuk itu diketahui variabel ekonomi dominan yang mempengaruhi BPHTB agar perkiraan pokok atau potensi BPHTB lebih optimal.
Peralatan yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan
dan tingkat signifikansi masing-masing variabel adalah peralatan statistik, dengan membangun persamaan bahwa BPHTB merupakan fungsi dari variabel tersebut.
Estimasi pokok yang lebih mendekati potensi sebenarnya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
36
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BP = f (x1, x2, x3)
Dimana,
BP = Penerimanaan BPHTB
X1 = Pertumbuhan Ekonomi
X2 = Kepadatan Penduduk
X3 = IKK
Model akan dipilih yang terbaik sesuai dengan asumsi klasik, termasuk
variabel – variabel yang akan dipergunakan dalam analisis. Sedangkan un tuk melihat dampak BPHTB sebelum dan sesudah didaerahkan, akan di lakukan uji beda dua sample berpasangan (paired sample T-test) atas data yang ada.
METODE PENELITIAN
37
BAB IV Analisa dan Pembahasan
4.1. Gambaran Umum di Daerah Sampel
D
alam penelitian ini, selain menggunakan data sekunder dari berbagai sumber, digunakan pula pengumpulan data primer dengan me lakukan FGD di beberapa daerah sampel. Daerah sampel yang dite
tapkan adalah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Kabupaten Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar. Pemilihan dae rah sampel tersebut didasarkan pada kemampuan daerah dalam peneri maan BPHTB, terutama pada awal penerapan BPHTB yakni tahun 2010 dan 2011. Berikut akan dibahas mengenai gambaran umum dari daerah sampel.
38
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Daerah Sampel Tahun 2010-2011 Daerah Sampel
Luas Wilayah (Km2)
Kota Medan
Jumlah Penduduk (jiwa) 2010
2011
265.00
2,109,339
2,117,224
Kota Palembang
369.22
1,452,840
1,480,662
Kota Pekanbaru
632.27
903,902
930,215
Kab Lebak
3,426.56
1,203,680
1,237,232
Kab Lombok Utara
776.25
199,904
202,092
Kab Gianyar
368.00
470,380
479,497
Sumber: BPS
Dari data luas wilayah dan jumlah penduduk tahun 2010 dan 2011
pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa seluruh daerah sampel mengalami kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru, yaitu dari 903.902 jiwa di tahun 2010 menjadi 930.215 jiwa di tahun 2011, atau terjadi kenaikan sebesar 2.9 persen. Sedangkan kenaikan te rendah terjadi di Kota Medan, yaitu dari 2.109.339 menjadi 2.117.224 jiwa, atau terjadi kenaikan sebesar 0.37 persen. Untuk rata-rata nasional, kenaikan penduduk dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 5 persen.
Banyaknya jumlah penduduk di suatu daerah dianggap berpengaruh
positif pada permintaan tanah dan bangunan. Sehingga, semakin tinggi pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah, maka diperkirakan permintaan akan tanah dan bangunan di daerah tersebut juga akan me ningkat. Pada akhirnya permintaan yang meningkat tersebut akan mendo rong meningkatnya transaksi tanah dan bangunan, yang berarti mendo rong penerimaan BPHTB.
Kota Pekanbaru merupakan kota yang memiliki kenaikan jumlah pen
duduk terbesar di banding daerah lain, walaupun begitu ternyata hanya
Analisa dan Pembahasan
39
mengalami kenaikan penerimaan BPHTB sebesar 14 persen dari tahun 2010 ke 2011.1 Sedangkan, untuk Kota Medan dengan kenaikan jumlah penduduk terendah, mengalami kenaikan penerimaan BPHTB sebesar 26 persen. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk bukan satu-satunya faktor yang menentukan tingkat penerimaan BPHTB, ada beberapa faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi, kebutuhan infrastruktur maupun dari faktor internal seperti manajemen, SDM, penerapan teknologi informasi maupun data – data teknis tentang pertanahan dan bangunan.
Di bawah ini dijelaskan tentang gambaran perkembangan perekono
mian daerah yang diambil sebagai sampel. Perkembangan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari angka PDRB yang dicapai oleh suatu daerah.
Gambar 4.1. Perkembangan PDRB Daerah Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
1
40
Tingginya jumlah pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru lebih banyak disebabkan oleh banyaknya pendatang (migrasi masuk), mengingat daya tarik Kota Pekanbaru sebagai daerah yang paling pesat pertumbuhan ekonominya. Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Semakin tinggi perkembangan PDRB suatu daerah, maka dapat diarti
kan daerah tersebut mengalami dinamika dalam perekonomiannya. Se cara empiris dapat disimpulkan bahwa kemajuan perekonomian di suatu wilayah dapat menyebabkan penerimaan BPHTB di daerah semakin me ningkat pula.
Data dari enam daerah sampel tahun 2010 ke 2011 menunjukkan
semua daerah sampel mengalami peningkatan PDRB. Peningkatan ter tinggi terjadi di Kota Pekanbaru, dari Rp9.047,93 miliar menjadi Rp9.857.31 miliar dan kenaikan terkecil terjadi di Kabupaten Lebak, yaitu dari Rp4.015,56 miliar menjadi Rp4.180,39 miliar. Untuk rata-rata nasional, besarnya PDRB tahun 2010 adalah sebesar Rp4.126,37 miliar dan meningkat menjadi Rp4.386,60 miliar di tahun 2011.
Kota Pekanbaru yang memiliki peningkatan nilai PDRB tertinggi di
banding daerah lain, justru tidak mengalami peningkatan penerimaan BPHTB yang signifikan jika dibandingkan daerah lain (hanya 14,8 persen). Sedangkan Kabupaten Lebak, yang mengalami kenaikan terkecil PDRB terkecil, justru mengalami peningkatan penerimaan BPHTB yang tinggi, yaitu sebesar 84,5 persen. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dae rah sampel tidak dapat cukup menggambarkan keadaan yang terjadi pada tingkat nasional, dalam hal hubungan antara besarnya PDRB dan penerimaan BPHTB. Selain itu, hal ini menggambarkan bahwa penerimaan BPHTB tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti pertumbuhan ekonomi maupun jumlah penduduk, kesiapan daerah terkait dengan pe ngelolaan pajak tersebut yang paling dominan dalam mendorong pe ningkatan penerimaan BPHTB.
Analisa dan Pembahasan
41
Gambar 4.2. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah menggambarkan kemajuan
pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah, maka penerimaan BPHTB juga akan semakin besar.
Dari data perkembangan pertumbuhan ekonomi pada enam daerah
sampel, data menunjukkan semua daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang menurun (kecuali Kabupaten Lombok Utara yang tumbuh dari 4,32 persen menjadi 4,59 persen di tahun 2011). Penurunan pertum buhan ekonomi yang paling rendah terjadi di Kota Medan, yaitu dari 7,16 persen di tahun 2010 menjadi 6,86 persen di tahun 2011. Untuk rata-rata nasional, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari 6,2 persen di tahun 2010 menjadi 6,42 persen di tahun 2011.
Jika dikaitkan dengan penerimaan BPHTB, dimana dari ke enam dae
rah sampel, hanya Kota Palembang yang mengalami penurunan pene rimaan BPHTB, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah sampel tidak dapat cukup menggambarkan keadaan yang terjadi pada tingkat nasional, dalam hal hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan BPHTB. 42
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Gambar 4.3. Perkembangan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Daerah Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi) merupakan suatu ukuran yang
menggambarkan ketersediaan infrastruktur di suatu daerah. Semakin tinggi nilai IKK, maka semakin buruk ketersediaan infrastruktur di daerah tersebut sehingga harga tanah dan bangunan akan semakin rendah. Hal ini berakibat pada penerimaan BPHTB yang semakin rendah.
Dari data yang diambil pada enam daerah sampel, dari tahun 2010
ke 2011, terjadi kenaikan IKK di Kota Medan, Kota Pekanbaru, dan Kabu paten Gianyar. Sedangkan penurunan BPHTB terjadi di Kota Palembang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Lombok Utara. Peningkatan tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru, yaitu dari 92,84 menjadi 96,41 dan penurunan paling tinggi terjadi di Kota Palembang, dari 86,53 menjadi 85,28. Secara nasional, rata-rata IKK tahun 2010 adalah sebesar 94,74 dan turun men jadi 93,65 di tahun 2011.
Terkait dengan penerimaan BPHTB yang ada di keenam daerah sam
pel, hanya Kota Palembang yang mengalami penurunan penerimaan BPHTB,
Analisa dan Pembahasan
43
sedangkan daerah lainnya mengalami peningkatan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah sampel tidak dapat cukup menggambarkan keadaan bahwa IKK berpengaruh terhadap penerimaan BPHTB.
4.2. Analisis Kualitatif 4.2.1. Pengantar Pembangunan Daerah selama 11 tahun periode desentralisasi telah men dorong meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang, yang diikuti dengan tuntutan akan layanan publik yang lebih baik. Bagaimanapun juga, meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah akan mendorong kebutuhan akan lahan dan bangunan sebagai sarana pendukung kegiatan ekonomi. Mengingat keberadaan tanah dan atau bangunan sangat ter batas. Maka sudah sewajarnya negara mengatur penggunaan atas tanah dan termasuk bangunan diatasnya. Negara memungut pada orang pribadi atau badan hukum yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari tanah dan atau bangunan atau karena adanya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang biasa dikenal dengan BPHTB.
Mengingat permasalahan pengelolaan BPHTB ini bukan saja per
masalahan teknis, tetapi ada indikasi muncul permasalahan kelembagaan misalnya kesiapan regulasi, kesiapan SDM, hubungan antar lembaga,2 khususnya terkait dengan kesiapan daerah, dinamika pengelolaan BPHTB yang berbeda – beda di setiap daerah, maka mengapa regulasi dan kesiap an daerah yang dibutuhkan masih belum siap, serta perlu dijawab perma
2
44
Sebelum tahun 2010, BPHTB dikelola oleh direktorat jendral Pajak yang kemudian dibagi hasilkan, dimana pelaksana teknis pengelolaan (termasuk pemungutan) BPHTB di daerah adalah KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Oleh karena itu, KPP memiliki data tentang tanah (termasuk ZNT, Zona Nilai Tanah) serta SDM yang berkeahlian teknis dalam pemungutan BPHTB didaerah.
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
salahan terkait dengan proses perpindahan pengumpulan BPHTB dari KPP (Kantor Pelayanan Pajak), maupun kondisi di lapangan secara riil, maka salah satu pendekatan yang paling cocok untuk mengeksplorasi perma salahan dan solusi pengelolaan BPHTB adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu metoda yang biasa digunakan
untuk mengungkap dan menjawab atas fenomena yang muncul, biasa dikenal untuk menjawab “nomena” dari proses yang diamati. Didalam pelaksanaanya, pendekatan kualitatif ini menggunakan pendekatan posi tivistik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sudah di tetapkan.3
FGD (Focus Group Discussion) merupakan instrumen penelitian yang
diterapkan untuk mengeksplorasi atas jawaban–jawaban penelitian yang muncul. Di dalam FGD sangat penting peran dari fasilitator untuk mendo rong setiap peserta untuk “bercerita” mengungkapkan fakta yang ada di lapangan. Proses diskusi atas jawaban–jawaban yang muncul biasa dike nal dengan proses reduksi data, mengkonfirmasi jawaban dari satu peserta kepada peserta lain untuk mendapatakan jawaban terbaik dan valid.
Secara umum, pelaksanaan FGD ini perlu melakukan hal sebagaimana
berikut, seperti: a.
Reduksi data adalah data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan tersebut di reduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada halhal yang penting, dicari tema dan polanya.
b. Mengambil kesimpulan melalui verifikasi, yaitu data yang telah ter kumpul telah direduksi, lalu berusaha untuk mencari maknanya,
3
Pendekatan positivistik merupakan pendekatan yang berangkat dari kerangka teoritis dan empiris yang sudah ada. Pendekatan ini sering juga dikenal dengan pendekatan deduktif (deductive approach) dimana kesimpulan yang diperoleh berdasarkan premis (teoritis dan empiris) yang diperoleh. Sebaliknya pendekatan non-positivistik adalah pendekatan yang berbasis dari pengamatan yang ada di lapangan, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan yang ada (inductive approach).
Analisa dan Pembahasan
45
kemudian mencari pola, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering timbul dan kemudian disimpulkan.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab I sebelumnya, maka
penelitian ini harus menjawab beberapa tujuan penelitian sebagaimana berikut: -
Apa saja permasalahan internal yang muncul didalam persiapan serta pengelolaan BPHTB di daerah?
-
Bagaimanakah peranan PPAT/Notaris dalam pemungutan BPHTB, dan apa saja hambatan-hambatan apakah yang muncul dalam pemungut an BPHTB; dan
-
Bagaimana upaya – upaya yang sudah dan akan dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan yang ada?
Analisis yuridis empiris terkait dengan dasar hukum tarif serta peratur
an daerah yang ada juga dilakukan mengingat pengenaan BPHTB adalah salah satu kebijakan publik yang harus berbasis hukum mengingat seluruh masyarakat akan menerima dampaknya. Temuan dari diskusi dan peng amatan dilapangan perlu dijelaskan secara rinci dan jelas (descriptive analysis).
Secara umum beberapa kesimpulan awal dapat dijelaskan, BPHTB
merupakan pajak yang dikenakan dimana dalam pelaksanaannya meng gunakan sistem self assessment, dan prosedur pembayarannya sangat sederhana karena tidak menggunakan Surat Ketetapan Pajak.
Dalam prosesnya PPAT/Notaris memiliki peranan yang signifikan da
lam pemungutan BPHTB karena PPAT/Notaris adalah pejabat umum yang terkait dengan transaksi jual beli tanah. PPAT/Notaris akan menandatangani akta otentik setelah pajak BPHTB tersebut dibayar lunas oleh Wajib Pajak. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pem bayaran pajak.
46
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Setelah informasi dikumpulkan didalam FGD, berikutnya peneliti
harus melakukan beberapa hal sebagai berikut: a) Menganalisis berbagai informasi dan kecenderungan terhadap per masalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam melakukan pengalihan BPHTB. b) Mengidentifikasi pandangan daerah terkait dengan dampak pe mungutan BPHTB terhadap kondisi fiskal daerah. c)
Mengumpulkan saran-saran dari daerah terkait dengan upaya opti malisasi pemungutan BPHTB oleh daerah.
4.2.2. Dinamika Pelaksanaan Pemungutan (BPHTB) Dinamika pembangunan ekonomi selama era desentralisasi sangatlah kuat. Untuk itu, dukungan dan naiknya kebutuhan atas tanah dan bangun an juga semakin besar. Selama ini, kebijakan pengelolaan BPHTB ini masih sentralistik dan dikelola oleh pemerintah pusat. Sejak 2010, berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 maka kewenangan pengelolaan ini diserahkan kepada daerah.
Tujuan utama pemindahan kewenangan ini adalah penguatan ke
mampuan pajak daerah (local taxing power), untuk mendukung pening katan kemampuan fiskal daerah. Dalam prakteknya kesiapan masing– masing daerah tidaklah sama. Data terakhir di bulan Maret 2013, masih ada 10 daerah yang masih proses penyiapan perda untuk BPHTB ini. Wa laupun begitu, nilai daerah yang belum selesai perda-nya tersebut hanya kurang dari 1% (berdasarkan penerimaan BPHTB 2010). Hal ini menun jukkan bahwa potensi dan dinamika pengelolaan BPHTB ini berbeda an tara daerah.
Berdasarkan alasan tersebut, pelaksanaan FGD dilakukan di 6 daerah
yang berbeda, yakni Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Ka bupaten Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar. Selan jutnya, objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau Analisa dan Pembahasan
47
bangunan yang meliputi aktifitas ekonomi seperti: pemindahan hak (jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mem punyai kekuatan hukum tetap, hadiah) dan pemberian hak baru (kelanjutan pelepasan hak).
Dasar hukum untuk melakukan pemungutan pajak memunculkan
hukum pajak yang mencakup peraturan dasar pungutan pajak, ketentuanketentuan untuk melakukan pungutan pajak tersebut, didalamnya juga menerangkan mengenai subyek dan objek pajak, bentuk dan besarnya pem bayaran, saat terutangnya pajak, saat timbulnya kewajiban bagi Wajib Pajak, dan lain-lain. Undang-undang perpajakan yang berlaku saat ini lebih se derhana dibandingkan dengan undang-undang lama, namun masyarakat masih merasa sulit untuk memahami undang-undang tersebut, sebab dalam kenyataannya masih ditemukan Wajib Pajak kurang memahami peraturan BPHTB.
Dari informasi yang diperoleh selama FGD dibeberapa daerah,
ditemukan beberapa hal sebagai berikut:
-
Database Database terkait dengan luas tanah dan bangunan menunjukkan nilai yang tidak akurat. Namun demikian data-data tersebut me ngemukakan bahwa masih ada beberapa objek pajak yang be lum tercatat pada data statistik Kantor Pelayanan Pajak, selain itu pemutahiran data sangat jarang dilakukan sehingga data terse but (NJOP) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian (memerlukan pemutakhiran) . Masih banyak daerah yang belum menerima database dari KPP ke pemerintah daerah. Database merupakan acuan dasar untuk memperbaharui NJOP melalui pengisian SPOP oleh wajib pajak sebaiknya dua tahun sekali. Namun umumnya daerah menemui
48
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
kendala ketika ingin melakukan penyesuaian NJOP, mereka tidak memiliki database maupun sumberdaya manusia atau tenaga yang memiliki kualifikasi penilai.
KERJA SAMA DENGAN KPP PRATAMA Masalah lain yang banyak dikeluhkan Pemerintah Daerah dalam pengalihan BPHTB adalah minimnya ketersediaan SDM baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, serta minimnya ketersediaan data, SOP, dan IT. Sampai tahun 2010 pemungutan BPHTB me mang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui KPP Pratama, maka sudah barang tentu KPP Pratama memiliki SDM, data, SOP, dan IT yang jauh lebih baik dari daerah. Menyadari hal ini, sejak Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan, maka Pemerintah Kota Medan langsung melakukan kerja sama dengan KPP Pratama Medan Polonia. Kerja sama tersebut bahkan terma suk memindahkan sebagian tenaga honorer di KPP Pratama menjadi tenaga honorer Dispenda. Kerja sama ini cukup berhasil karena Kota Medan menjadi relatif sangat siap dibandingkan daerah lainnya dalam pengalihan pemungutan BPHTB. Kesiapan tersebut bukan saja dari aspek ketersediaan SDM, data, dan SOP tetapi juga ketersediaan IT yang sudah on-line ke seluruh stake holders BPHTB seperti Notaris/PPAT, BPN, dan Bank. Oleh karena itu, tidak heran jika Kota Medan menjadi daerah dengan peneri maan BPHTB terbesar di Indonesia pada tahun 2011.
-
Sumber Daya Manusia Seperti diketahui bahwa sistem self assessment mengandung arti bahwa Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memper hitungkan, membayar sendiri dan melaporkan pajak yang ter Analisa dan Pembahasan
49
hutang sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, se hingga penentuan besarnya pajak yang terhutang dipercayakan kepada Wajib Pajak. Dengan demikian sistem self assessment dalam pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB ini menuntut Wajib Pajak mengerti serta menguasai tentang ketentuan-keten tuan perpajakan sebagaimana diatur dalam peraturan perun dang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam kondisi seperti ini Wajib Pajak sering mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak tersebut. Selain itu, memunculkan kemungkinan jika ma syarakat akan membayar kewajibannya lebih rendah (moral ha zard) dari pada yang seharusnya yang dibayar, dikarenakan ada nya informasi yang tidak merata (asymmetric information). Da lam konteks ini, peran PPAT serta pemerintah daerah sangatlah penting untuk menjelaskan dan mendiseminasi terkait aturan dan tata laksana pembayaran pajak, untuk menghindari perilaku penghindaran pajak (tax avoidance) tersebut. Oleh karena itu, sangat penting meningkatkan kualitas SDM baik dilingkungan pemerintah daerah, maupun di masyarakat sendiri (masyarakat yang sadar pajak). Dalam prakteknya dari informasi yang diperoleh umumnya ber anggapan bahwa wajib pajak masih kesulitan dalam memahami pajak BPHTB ini. Wajib Pajak juga menuntut kesiapan dari peja bat pajak untuk bersedia membantu Wajib Pajak yang merasa kesulitan dalam pembayaran pajak, misalnya kesulitan mengisi formulir pembayaran pajak. Formulir perpajakan yang tidak be gitu mudah untuk dipahami, akan menyulitkan mereka (Wajib Pajak) dalam pembayaran pajak, karena sistem perpajakan yang baru menerapkan atas sistem self assessment menuntut Wajib Pajak untuk aktif mengisi formulir tersebut. Oleh karena itu petu gas pajak diharapkan dapat mengurangi tingkat kesulitan Wajib Pajak dengan cara membantu sebaik-baiknya terhadap Wajib
50
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Pajak. Dengan demikian rasa tanggung jawab Wajib Pajak tetap terjaga dalam memenuhi kewajibannya setiap akan membayar pajak. Ketersediaan sumber daya manusia di daerah yang mena ngani perpajakan ini perlu dipersiapkan lebih baik.
-
Nilai Transaksi Sebagai pajak darerah yang relatif baru, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pelaksanaannya sederhana, mudah, dan tidak perlu menggunakan Surat Ketetapan Pajak. Wa jib Pajak langsung membayar besarnya pajak yang terutang tan pa pemberitahuan dari KPP ataupun Dinas Pendapatan daerah.
Jual beli tanah dan atau bangunan didasarkan pada nilai
transaksi, yaitu harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang yang melakukan transaksi: Selain didasarkan oleh nilai transaksi, khusus diluar jual beli didasarkan pada nilai pasar, yaitu harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi disekitar letak tanah dan atau bangunan.
Orang pribadi atau badan hukum melakukan transaksi jual
beli di hadapan PPAT/Notaris, setelah ada kata sepakat dari para pihak dan melalui perhitungan sesuai harga transaksi, ternyata diperoleh bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) lebih besar atau tidak sama dengan NPOPTKP ataupun hasilnya tidak nihil setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta ru piah), maka orang pribadi atau badan hukum tersebut dikenakan pajak BPHTB sesuai yang terutang. Dalam prakteknya, penerimaan BPHTB daerah sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai transaksi (berdasar harga pasar) yang terjadi, walaupun secara hukum, dasar pengenaan BPHTB adalah berdasarkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Sayangnya sebagian besar daerah belum melaku kan penyesuaian data NJOP dengan harga pasar. Analisa dan Pembahasan
51
-
Kerjasama Antar Lembaga Mengingat pengelolaan BPHTB sudah dilakukan oleh pemerintah pusat, khususnya direktorat jendral pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP), tentunya KPP sudah memiliki semua yang harus dimiliki, seperti informasi data tentang tanah dan bangun an, SOP, NJOP maupun ZNT (Zona Nilai Tanah) serta SDM yang mumpuni. Maka sangat diperlukan “transfer knowledge” dari lembaga ini kepada lembaa pelaksana yang baru, dalam hal ini dispenda. Dengan demikian, sangat penting kerjasama antar lembaga yang terkait tersebut baik oleh pengelolah BPHTB se perti KPP, Dispenda, BPN maupun notaris dan PPAT. Kerjasama ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan pengelolaan BPHTB di pemerintah daerah, termasuk didalamnya adalah pengadaan training dan pendampingan bagi pegawai dispenda. Selain itu, keahlian penilaian (appraisal) perlu diperkuat pada pegawai dispenda untuk bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan oleh DJP. Faktor penting lain dalam kerja sama tersebut adalah diserahkannya data-data tentang tanah dan bangunan, termasuk NJOP sekaligus juga ZNT yang sangat penting untuk perbaruan NJOP yang ada didaerah tersebut. Pada prinsipnya tidak ada lembaga yang paling penting peran nya, tetapi lembaga–lembaga tersebut seperti KPP, Dispenda, BPN, dan notariat sangat berperan penting untuk optimalisasi penerimaan BPHTB di daerah.
Untuk mengefektifkan kerjasama antar lembaga tersebut,
penting sekali untuk menerapkan teknologi informasi (TI) yang terintegrasi, dengan tujuan untuk menciptakan pengelolaan BPHTB yang efisien. Di Kabupaten Lebak dan kabupaten Lombok Utara (merupakan daerah pemekaran) pengelolaan BPHTB masih
52
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
berbasis manual, sehingga kemungkinan terjadi kebocoran masih cukup besar.
INSENTIF NOTARIS DAN “INTEL” DESA Masalah yang banyak dikeluhkan oleh Pemerintah Daerah dalam pemungutan BPHTB setelah pengalihan adalah adanya ‘transaksi diam-diam’, dimana wajib pajak bekerja sama dengan Notaris/ PPAT mencantumkan nilai transaksi yang jauh dari nilai sebe narnya (harga pasar) atau bahkan menjadikan nilai transaksi berada di bawah NPOPTKP. Hal ini tentu sangat merugikan dae rah karena realisasi penerimaan BPHTB menjadi jauh lebih ren dah dari potensi, sehingga sulit untuk mencapai target PAD yang ditetapkan dalam APBD. Beberapa daerah yang menjadi lokasi FGD ternyata mempunyai cara unik untuk mengatasi tran saksi diam-diam tersebut. Disebut unik karena cara yang mereka lakukan cenderung melanggar peraturan, meskipun secara logi ka masih dapat dibenarkan. Pemerintah Kota Medan menyadari betul bahwa faktor kunci keberlangsungan transaksi diam-diam tersebut ada pada Nota ris/PPAT. Oleh karena itu, mereka mencoba memotivasi Notaris/ PPAT untuk mencantumkan transaksi sesuai harga pasar dengan memberikan insentif. Padahal, berdasarkan PP No. 69 Tahun 2010 tidak dibenarkan adanya pemberian insentif pada Notaris/ PPAT. Untuk mendalami hal ini pokja BPHTB mendatangi Asosiasi Notaris/PPAT dan mereka mengakui adanya insentif tersebut serta dampak positifnya terhadap semakin berkurangnya tran saksi diam-diam di Kota Medan. Akan tetapi sebenarnya mereka juga sadar bahwa hal itu melanggar aturan dan sangat khawatir akan menjadi temuan BPK di kemudian hari. Namun keberanian Pemerintah Kota Medan memberikan insentif sangat mereka hargai dan memotivasi mereka untuk terus bekerja sama
Analisa dan Pembahasan
53
meningkatkan kapasitas fiskal daerah melalui peningkatan penerimaan BPHTB. Cara unik lainnya ditemukan di Kabupaten Gianyar, dimana me reka meminta bantuan terhadap aparatur desa untuk menjadi semacam ‘intel’ yang mematai-matai atau mencari informasi tentang besaran transaksi riil dari penjualan tanah di desanya. Informasi itu kemudian akan dibandingkan dengan nilai tran saksi yang dilaporkan Notaris/PPAT dalam perhitungan BPHTB dan menjadi dasar dalam proses verifikasi. Cara seperti ini sebe narnya tidak tepat dalam perhitungan BPHTB yang menganut metode Self Assessment. Akan tetapi Pemda Gianyar beralasan bahwa mereka harus mencari cara untuk bisa memenuhi target penerimaan BPHTB yang relatif tinggi.
-
Nilai NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) Prinsip keadilan dalam pengenaan pajak perlu diberlakukan, mengingat adanya masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Bagi kelompok masyarakat yang seperti itu, maka negara membebaskan mereka untuk tidak dikenakan pajak. Wajib Pajak yang memiliki Nilai Jual Objek Pajak di bawah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) tidak dikenakan pa jak, batasan ini diharapkan mencerminkan keadilan kepada se mua wajib pajak. Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli tanah dan atau bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya pajak BPHTB yang terutang, maka PPAT/
54
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan yang ber laku, yaitu Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Nilai NPOPTKP dianggap oleh beberapa daerah masih terlalu tinggi, sehingga tax base daerah menjadi berkurang. Sebelum di daerahkan nilai tersebut sebesar Rupiah 20 juta, sehingga bisa menjangkau wajib pajak yang kecil (masih terdapat harga tanah senilai Rp3.500,00 – Rp4.500,00 per meter). Untuk menghindar kan kondisi itu, sebaiknya kedepan nilai NPOPTKP ini perlu ditin jau ulang, selain itu kedepan perlu dibuat pengelompokan daerah (cluster) dalam penetapan nilai NPOPTKP. Di Kota Medan pembayaran terhadap BPHTB (walaupun nilainya dibawah NPOPTKP) tetap dilakukan oleh wajib pajak dengan ha rapan bukti pembayaran tersebut, dapat dianggap sebagai bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan. Pengembang perumahan biasa menginformasikan (dalam brosur) harga rumah yang lebih murah dari harga sebenarnya (disesuaikan dengan NPOPTKP), sehingga wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban mem bayar pajak. Secara umum Pemerintah Kabupaten/kota yang diteliti meng alami kenaikan penerimaan BPHTB Lonjakan yang sangat tinggi dibeberapa daerah umumnya disebabkan karena kemampuan daerah dalam menyiapkan pendataan yang baik, penyiapan SDM yang mumpuni, serta penerapan teknologi yang mampu meminimalisasi perilaku yang menyimpang (moral hazard).
Dari beberapa gambaran deskripsi diatas, dapat disimpulkan bebe
rapa permasalahan yang ada, seperti berikut: -
Permasalahan data yang belum mengalami pemutakhiran;
-
Kualitas SDM yang ada di pemerintah daerah kurang memadai, salah satunya pemahaman akan Tupoksi, SOP, SOTK terkait dengan penge lolaan BPHTB; Analisa dan Pembahasan
55
-
Kerjasama antara lembaga yang terkait dengan pengelolaan seperti KPP, BPN, Notariat, dan pemda tidak selalu menunjukkan keharmo nisan.
-
Aplikasi teknologi informasi (IT) mulai dari system pembayaran, ZNT, proses verifikasi, yang masih belum memadai, bahkan untuk daerah pemekaran aplikasi teknologi informasi membutuhkan waktu lebih lama;
-
Masih adanya transaksi diam–diam untuk mengupayakan nilai tran saksi dibawah NPOPTKP (60 juta rupiah)
-
Nilai NPOPTKP terlalu tinggi untuk beberapa daerah, maupun bebe rapa wilayah (pinggiran kota) di daerah perkotaan yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi
4.3. Analisis Kuantitatif 4.3.1. Pengantar Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada dasarnya merupakan penyerahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, khususnya dari sisi penerimaan. Dalam UU tersebut BPHTB menjadi salah satu jenis pajak baru yang diberikan wewenang pemungutan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten dan kota, sebagaimana diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 93. Tujuan utama pengalihan kewenangan itu sangat relevan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk meningkat kan local taxing power pemerintah kabupaten dan kota. Akan tetapi ter nyata tidak semua daerah memberikan respon positif terhadap pengalihan ini. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di enam kabupaten/kota masih sering terungkap pernyataan beberapa pimpinan SKPD yang cenderung pesimis terhadap keberhasilan pengalihan tersebut. Ada kekhawatiran bahwa daerah kabupaten dan kota tidak akan mampu
56
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
melakukan pemungutan sebaik pemerintah pusat. Akibatnya, penerimaan BPHTB setelah pengalihan akan jauh lebih rendah dari sebelumnya.
Oleh karena itu, kajian ini mengumpulkan data penerimaan BPHTB
tahun 2010 yang dipungut oleh pusat dan data penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah. Berdasarkan data tersebut dilakukan uji beda berpasangan untuk mengetahui apakah secara statistik terdapat perbedaan penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pusat dengan pene rimaan BPHTB yang dipungut oleh daerah. Di samping itu, untuk mem perkaya analisis, kajian ini juga akan melihat faktor-faktor apa saja yang secara statistik mempengaruhi besarnya penerimaan BPHTB. Ada beberapa faktor yang dikumpulkan datanya dan dilakukan pengujian secara statistik. Faktor-faktor itu antara lain adalah: •
Pertumbuhan Ekonomi, yang menggambarkan kemajuan pemba ngunan ekonomi di suatu daerah, dimana diduga bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka penerimaan BPHTB juga akan semakin besar.
•
Density atau Kepadatan Penduduk yaitu pembagian antara variabel Jumlah Penduduk dengan variabel Luas Wilayah, yang menggambarkan seberapa besar permintaan terhadap tanah dan bangunan di suatu daerah, dimana diduga bahwa semakin tinggi density akan mendo rong harga tanah dan bangunan semakin mahal, maka penerimaan BPHTB juga akan semakin besar.
•
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) yang menggambarkan ketersediaan infrastruktur di suatu daerah, dimana diduga semakin tinggi IKK menunjukkan semakin buruknya ketersediaan infrastruktur, sehingga harga tanah dan bangunan akan semakin rendah yang mengakibatkan penerimaan BPHTB juga akan semakin kecil.
Dengan demikian, pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap
penerimaan BPHTB mengikuti hipotesis sebagai berikut:
Analisa dan Pembahasan
57
•
Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah maka akan semakin besar penerimaan BPHTB di daerah tersebut.
•
Density berpengaruh positif terhadap penerimaan BPHTB, semakin tinggi density pada suatu daerah maka akan semakin besar peneri maan BPHTB di daerah tersebut.
•
IKK berpengaruh negatif terhadap penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK pada suatu daerah maka akan semakin rendah penerimaan BPHTB di daerah tersebut.
4.3.2. Hasil Pengalohan Data UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, telah menetapkan bahwa BPHTB me rupakan pajak pusat. Namun, meskipun berstatus sebagai pajak pusat, penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini sebenarnya lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota, karena mereka tidak perlu mengeluarkan pikiran, tenaga, dan biaya untuk memungut pajak tersebut. Pemerintah daerah tinggal menerima dana bagi hasilnya dari pemerintah pusat. De ngan demikian tidak aneh jika masih ada daerah yang tidak ikhlas mene rima pengalihan ini. Pada saat FGD, beberapa pimpinan SKPD bahkan secara terbuka mengemukakan keluhan dan pesimisme mereka terhadap pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah. Mereka memperkirakan peng alihan itu akan menurunkan penerimaan BPHTB.
Untuk menjawab keraguan dan pesimisme tersebut, dilakukan uji
beda berpasangan terhadap penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipu ngut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah. Hasilnya adalah sebagai berikut:
58
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.2. Uji Beda Berpasangan Antara Penerimaan BPHTB tahun 2010 dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011 t-Test: Paired Two Sample for Means
Tahun 2010
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df
Tahun 2011
19632885530
20357307332
1.7329E+22
2.09173E+22
405
405
0.993156177 0 404
t Stat
-0.703627581
P(T<=t) one-tail
0.241035025
t Critical one-tail
1.64863405
P(T<=t) two-tail
0.482070049
t Critical two-tail
1.965853199
Sumber: Data Hasil Olahan
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar -0.703627581
sedangkan t-tabel untuk pengujian dua arah sebesar 1.965853199, karena nilai t hitung lebih kecil dari t tabel maka dapat disimpulkan penerimaan BPHTB tahun 2010 tidak sama dengan penerimaan BPHTB tahun 2011. Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) lebih tinggi dari penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat (Rp19.632.885.530,00).
Analisa dan Pembahasan
59
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikhawatirkan bebe rapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat. Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah merupa kan kebijakan yang tepat (on the right track) untuk meningkatkan kapa sitas fiskal Pemerintah Daerah. Meskipun, sudah barang tentu, keyakinan itu tidak boleh menutup mata kita terhadap berbagai persoalan yang masih dihadapi daerah dalam pemungutan BPHTB, sebagaimana dikemu kakan peserta dalam FGD.
Setelah mengetahui bahwa penerimaan BPHTB yang dipungut oleh
pemerintah daerah ternyata sedikit lebih tinggi dibandingkan penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pemerintah pusat, maka dianggap penting juga untuk mengetahui faktor apa saja yang secara statistik signifikan mempengaruhi besarnya penerimaan BPHTB. Secara umum kita memahami bahwa terdapat dua faktor yang menentukan keberhasilan pemungutan BPHTB, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain adalah ketersediaan data, kualitas SDM, regulasi (kepastian hukum), teknologi, kerja sama, dan insentif. Sementara faktor eksternal terdiri dari jumlah penduduk, kemajuan ekonomi, luas wilayah, kondisi infrastruktur, dan kesadaran masyarakat.
Karena pada FGD sebagian besar pembahasan sudah mengarah pada
faktor internal, maka analisis statistik lebih difokuskan pada pengaruh faktor eksternal terhadap penerimaan BPHTB. Meskipun demikian, keter batasan data dan kemungkinan pelanggaran terhadap asumsi OLS, me maksa kami untuk tidak bisa memasukkan semua faktor eksternal dimak sud. Faktor eksternal sangat penting seperti kesadaran masyarakat mem bayar pajak tidak bisa dimasukkan karena ketiadaan data. Sementara vari
60
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
abel PDRB terpaksa didrop karena mengandung masalah multikolinearitas dengan variabel BPHTB. Setelah melakukan beberapa kali pengujian, maka model terbaik yang kami pilih untuk dianalisis adalah perubahan peneri maan BPHTB merupakan fungsi dari perubahan pertumbuhan ekonomi, Density (kepadatan penduduk), dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.3. Pengaruh Perubahan Pertumbuhan Ekonomi, Density, dan IKK terhadap Perubahan Penerimaan BPHTB LnBPHTB
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
LnPertumb. Eko.
0.8264954
0.2313143
3.57
0.000
0.3724806
1.28051
LnDensity
0.8115440
0.0450224
18.03
0.000
0.7231757
0.8999123
LnIKK
-0.2830037
0.6862218
-0.41
0.680
-1.629894
1.063886
Cons.
16.25419
3.2373860
5.02
0.000
9.899967
22.60841
Number of obs = 853 F( 3, 849) = 170.85 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3764 Adj R-squared = 0.3742 Root MSE = 1.9389 Sumber: Data Hasil Olahan
Berdasarkan uji F dan nilai p value, dapat disimpulkan bahwa dengan
tingkat keyakinan 95%, model pada tabel di atas signifikan dalam men jelaskan perubahan penerimaan BPHTB. Di samping itu, meskipun kemam puan model dalam menjelaskan variasi dari perubahan penerimaan BPHTB hanya sekitar 37%, namun koefisien arah dari semua variabel bebasnya sesuai dengan hipotesa. Dimana perubahan pertumbuhan ekonomi mem punyai pengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB dengan koefisien arah sebesar 0,8264954, perubahan density juga mempunyai
Analisa dan Pembahasan
61
pengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB dengan koefisien arah sebesar 0,811544. Kedua variabel ini selain mempunyai pengaruh positif sebagaimana hipotesis, juga signifikan secara statistik. Sementara perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan penerimaan BPHTB dengan koefisien arah sebesar -0,2830037. Pengaruh variabel IKK yang negatif tersebut juga sesuai hipotesis, namun tidak signifikan secara statistik.
4.3.3. Analisis dan Pembahasan Hasil uji beda berpasangan telah membuktikan secara statistik bahwa penerimaan BPHTB setelah pengalihan lebih tinggi dibandingkan sebelum nya. Hasil ini seharusnya semakin menambah keyakinan, terutama bagi pemerintah daerah, bahwa kebijakan pengalihan BPHTB ke daerah seba gaimana diatur pada pasal 85 sampai dengan pasal 93 Undang-Undang No. 28 tahun 2009 merupakan kebijakan yang baik dan sejalan dengan semangat otonomi daerah. Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah. Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-ma sing daerah akan tampak bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru ber hasil dipungut di 406 daerah (bandingkan dengan tahun 2010 yang ber hasil dipungut di 461 daerah). Disamping itu, dari 406 daerah yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil memungut kurang dari Rp20 juta, sebagaimana tampak pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.4. Daerah dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011 di bawah Rp20 juta No
62
Daerah
1
Kab Aceh Singkil
2
Kab Gayo Lues
Penerimaan BPHTB (Rp) 13.000.000 600.000
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
3
Kab Bener Meriah
2.800.000
4
Kab Pakpak Bharat
4.864.886
5
Kab Kepulauan Meranti
953.000
6
Kab Kerinci
500.000
7
Kota Sungai Penuh
2.608.548
8
Kab Kaur
7.626.950
9
Kab Bengkayang
10
Kab Katingan
11
Kab Bolaang Mongondow
12.600.000
12
Kota Kotamobagu
18.562.400
13
Kab Kep Siau Tagulandang Biaro
8.750.000
14
Kab Bolaang Mongondow Selatan
1.858.548
15
Kab Morowali
7.941.510
16
Kab Kepulauan Selayar
13.239.500
17
Kab Takalar
10.350.000
18
Kab Buton
1.000.000
19
Kab Dompu
20
Kab Flores Timur
21
Kab Lembata
22
Kab Sumba Barat
23
Kab Nagekeo
24
Kab Sumba Tengah
25
Kab Manggarai Timur
26
Kab Maluku Tengah
10.002.650
27
Kab Halmahera Barat
13.006.000
28
Kab Kep Anambas
19.318.985 8.468.400
15.525.000 164.000 14.423.175 2.000.000 19.550.000 1.750.000 250.000
3.000.000
Sumber: DJPK, Penerimaan BPHTB 2011
Analisa dan Pembahasan
63
Di samping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB su
atu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 menetapkan NPOPTKP paling rendah Rp 60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi sebagian daerah, ter utama yang memiliki prospek kurang baik dalam bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelumnya melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP itu ditetapkan secara regional setinggitingginya Rp60 juta.
Oleh karena itu, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal
87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60 juta, atau bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai de ngan kesamaan karakteristik masing-masing daerah. Disamping itu, harus ada kepastian hukum (tidak multi tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 belum memberikan batasan waktu terkait apakah wajib pajak yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak itu dalam tanggal yang sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seha rusnya, seorang wajib pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan lebih dari satu objek hanya akan diberikan NPOPTKP satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap aturan (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKPnya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membedakan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib pajak itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap perolehan hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Keinginan (aspirasi) yang seringkali dikemukakan terhadap daerah-
daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah adalah tetap adanya semacam “bantuan pusat” sebagai pengganti bagi hasil BPHTB yang
64
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
sebelumnya mereka terima. Namun menurut kami keinginan seperti ini kurang baik direalisasikan, disamping karena formula DAU sudah menam pung dampak penurunan kapasitas fiskal akibat tidak adanya bagi hasil BPHTB, juga karena bantuan pusat dimaksud akan menjadikan daerah ‘manja’ dan ‘kurang kreatif’ dalam proses pemungutan BPHTB. Pemerintah pusat memang harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe nerimaan BPHTB sangat rendah. Akan tetapi jenis bantuan yang diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pendampingan untuk pe rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan kuali tas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama de ngan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
Sementara itu, hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa koefisien
arah semua variabel bebas sesuai dengan hipotesis.
1. Pertumbuhan Ekonomi Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap per ubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan pe nerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sangat terkait dengan se berapa baik pemerintah daerah merancang dan menjalankan program ekonominya.
Oleh karena itu, upaya untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi
tinggi adalah suatu keniscayaan jika daerah ingin memperoleh peningkatan penerimaan BPHTB. Sudah barang tentu pertumbuhan ekonomi tinggi ha nya akan terjadi jika investasi meningkat. Sementara investasi hanya akan meningkat jika daerah itu dapat memahami potensinya, mampu meng efisienkan birokrasi, menyediakan infrastruktur, menciptakan keamanan,
Analisa dan Pembahasan
65
dan melahirkan regulasi yang membuat daerah menjadi lebih kompetitif (menarik). Untuk itu, bagi daerah dengan penerimaan BPHTB sangat ren dah sebaiknya tidak menetapkan tarif BPHTB maksimum, yaitu 5%. Daerah itu sebaiknya menetapkan tarif BPHTB yang lebih rendah dibanding dae rah sekitarnya agar investor lebih tertarik masuk, atau daerah menetapkan tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
2. Population Density Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Peningkatan harga merupakan sumber utama potensi peningkatan penerimaan BPHTB. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten. Hasil pengolahan data pada tabel berikut membuktikan hal itu:
Tabel 4.5. Uji Beda Rata-Rata Antara Penerimaan BPHTB Pemerintah Kota dengan Penerimaan BPHTB Pemerintah Kabupaten Tahun 2011 t-Test: Two-Sample Assuming Equal variances Mean Variance Observations Pooled Variance
66
Kabupaten
Kota
7373102876
50116748167
8.48658E+20
1.44944E+22
316
89
3.82837E+21
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Hypothesized Mean Difference
0
Df
403
t Stat
-5.75672671
P(T<=t) one-tail
8.50753E-09
t Critical one-tail
1.648643452
P(T<=t) two-tail
1.70151E-08
t Critical two-tail
1.965867856
Sumber: Data Hasil Olahan
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata peneri
maan BPHTB Kota sekitar Rp50,11 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata penerimaan BPHTB Kabupaten yang hanya sekitar Rp7,37 miliar. Hasil ini kembali menunjukkan bahwa penerimaan BPHTB tidak hanya tergantung pada faktor internal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah membangun ekonominya. Suatu daerah yang ekonominya maju akan mengundang orang dari daerah lain masuk, untuk bekerja, berusaha, dan bertempat tinggal. Kehadiran lebih banyak orang akan meningkatkan transaksi tanah dan bangunan yang berpotensi meningkatkan penerimaan BPHTB. Dengan demikian, keberhasilan me ningkatkan penerimaan BPHTB juga sangat terkait dengan kemampuan pemerintah daerah menjadikan daerahnya menarik baik untuk tinggal maupun untuk berusaha dan berinvestasi.
3. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Meskipun tidak signifikan secara statistik, namun arah hubungan antara perubahan IKK dengan perubahan penerimaan BPHTB sudah sesuai de ngan hipotesa. Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan se makin kecil penerimaan BPHTB. Dengan demikian, tidak heran jika Peme Analisa dan Pembahasan
67
rintah Kota yang luas wilayahnya relatif kecil dengan ketersediaan infra struktur relatif baik memiliki penerimaan BPHTB yang jauh lebih tinggi dibanding Pemerintah Kabupaten yang jauh lebih luas dan minim infra struktur.
Memperhatikan Tabel 4.4 yang menunjukkan data 28 kabupaten/
kota dengan penerimaan BPHTB terendah di Indonesia pada tahun 2011 akan tampak bahwa hanya ada 2 dari 28 daerah tersebut yang merupakan Pemerintah Kota, yaitu Kota Sungai Penuh dan Kota Kotamobagu. Sisanya merupakan daerah kabupaten yang sebagian besar terletak di kawasan timur Indonesia dan merupakan daerah pemekaran yang memang memi liki keterbatasan infrastruktur. Sebagai contoh, pada tahun 2011 Kabupa ten Flores Timur dan Kabupaten Manggarai Timur masing-masing hanya memperoleh penerimaan BPHTB sebesar Rp164.000,00 dan Rp250.000,00.
Temuan ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ketersediaan
infrastruktur bukan saja akan menjadi daya tarik bagi investasi masuk serta kemajuan ekonomi, tetapi juga akan menjadi pendorong bagi pe ningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Masyarakat yang tinggal di daerah dengan infrastruktur baik akan termotivasi mem bayar pajak karena merasa membutuhkan dan menikmati infrastruktur yang baik tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah yang mengalami penerimaan BPHTB rendah sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam APBD nya agar proporsi untuk belanja modal (infra struktur) terus mengalami kenaikan. Sementara Pemerintah Pusat juga harus memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM dan kualitas data, pendampingan untuk penyusunan pe rencanaan dan anggaran, dan pendampingan untuk memperoleh pin jaman dan melakukan kerjasama.
68
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB V Penutup
5. 1. Kesimpulan
B
erdasarkan analisis yang dilakukan baik menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, maka diperoleh beberapa simpulan atas pengalihan BPHTB ke daerah sebagai berikut:
•
Permasalahan data merupakan permasalahan yang mendesak, terma suk pemutakhiran data yang ada pada data base pemerintah daerah. Selain itu peran SDM sangat penting didalam operasionalisasi penge lolaan BPHTB di daerah. Untuk itu, perlu dikembangkan kerjasama dengan lembaga lain (KPP) untuk pengembangan dan penguatan SDM di pemerintah daerah. Pemutakhiran NJOP dengan mempertim bangkan nilai “Zona Nilai Tanah” untuk menghasilkan nilai NJOP yang semakin mendekati nilai transaksi, sekaligus menghindari tran saksi ‘diam-diam’;
•
Penyerahan data, dari pemerintah pusat, dalam hal ini KPP perlu ce pat dilakukan dengan pertimbangan optimalisasi penerimaan BPHTB di daerah. Selain itu, diseminasi terkait dengan kesadaran pajak, perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat; PENUTUP
69
•
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi yang mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang baik kepada wajib pajak;
•
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan yang sama;
•
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk mencipta kan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan kepada pembayar pajak;
•
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat (Rp19.632.885.530,00).
•
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat. Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right track) untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah.
•
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah. Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak
70
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406 daerah, masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil memungut kurang dari Rp20 juta. •
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB su atu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 me netapkan NPOPTKP paling rendah Rp60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum nya melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
•
Penerimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor inter nal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ter nyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah me rancang dan menjalankan program ekonominya, seberapa menarik suatu daerah menjadi tempat tinggal, tempat berusaha, dan tempat berinvestasi, dan seberapa baik kondisi infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah daerah.
•
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerima an BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sa
PENUTUP
71
ngat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah merancang dan menjalankan program ekonominya. •
Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan peneri maan BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Pening katan harga merupakan sumber utama potensi peningkatan peneri maan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten.
•
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin kecil penerimaan BPHTB.
5.2. Rekomendasi Bagi Pemerintah Pusat •
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60 juta, atau bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai dengan kesamaan karakteristik masing-masing daerah.
•
Pemerintah harus memastikan adanya kepastian hukum (tidak multi tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP. Undang-Undang No. 28 tahun 2009 belum memberikan batasan waktu terkait apakah wajib pajak yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak itu dalam tanggal yang sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seharusnya, seorang wajib pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak atas tanah dan/
72
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
atau bangunan lebih dari satu objek hanya akan diberikan NPOPTKP satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap atur an (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKPnya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membe dakan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib pajak itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap per olehan hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah. •
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk menghasil kan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk pe rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
Bagi Pemerintah Daerah •
Daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif BPHTB maksimum (5%), sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor, maka daerah tersebut harus menetapkan tarif BPHTB yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
•
Pemerintah daerah harus bisa menjadikan daerahnya menarik baik untuk tinggal maupun untuk berusaha dan berinvestasi melalui pu blikasi potensi daerah, efisiensi birokrasi, penyediaan infrastruktur,
PENUTUP
73
penciptaan keamanan, dan penyediaan regulasi yang menjamin ke pastian hukum. •
Pemerintah Daerah terutama yang mengalami penerimaan BPHTB rendah harus melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam APBD nya agar proporsi belanja modal (infrastruktur) terus mengalami kenaikan. Dengan harapan bahwa pengembangan infrastruktur akan meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut.
74
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Daftar Pustaka
Andrea, Monza, 2012, Permasalahan-permasalahan yang Terkait dengan Penarikan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Untuk Bekas Tanah Adat di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Ikhsan, Muhammad, 2006, Analisis Sistem Aplikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Cibinong, Tesis (Tidak Diterbitkan), Jakarta: Univer sitas Indonesia. Karpala, Doni, 2007, Efektivitas, Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Pajak BPHTB terhadap Bagi Hasil Pajak Kota Bandar Lampung, Tesis (Tidak Diterbitkan), Lampung: Universitas Lampung. Pokok-pokok Pengaturan Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, http://www.syukriy.wordpress. com/2009/10/17/
DaftAR PUSTAKA
75
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah PENULIS Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Prof. Dr. Eddy Suratman Dr. Abdul Hamid Paddu
EDITOR Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Dr. Hefrizal Handra
Universitas Indonesia Universitas Andalas
TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2012
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Gedung Radius Prawiro Lantai 9 Jl.Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat www.djpk.depkeu.go.id
Universitas Brawijaya Universitas Tanjungpura Universitas Hasanuddin
Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian AID