TINJAUAN YURIDIS GUGATAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PUPUK DALAM PERKARA NO. 1298/K/PDT/2004 (STUDY KASUS)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1) Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
OLEH :
Oleh :
ALDISON NPM : 071010190
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU 2011
1
KATA PENGATAR Segala puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya serta tak lupa saya sampaikan syalawat kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis Gugatan Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Pupuk Dalam Perkara No. 1298/K/Pdt/2004” (Study Kasus)” Penulisan skripsi ini merupakan upaya penulis untuk mendapat gelar sarjana hukum dan juga merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau. Selama proses pembuatan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya atas bantuan, bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulisan yang penulis lakukan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang penulis harapkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terkira kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Detri Karya, SE. MA, selaku Rektor Universitas Islam Riau yang telah memberikan kesempatan untuk penulis menimba ilmu di Universitas Islam Riau.
2.
Bapak Zulherman Idris, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, dan selaku pembimbing II yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, dan kesabarannya dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
S. Marbun, SH., M. S sebagai pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktunya yang berharga untuk memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
4.
Bapak Yuheldi, SH selaku Penasehat Akademis yang telah memberikan nasehat dan dukungannya sehingga penulis dapat mampu mengatasi masalah-masalah dalam menjalani perkuliahan sampai menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2
5.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya yang berharga kepada penulis, semoga jasa-jasa bapak dan ibu dosen dibalas oleh Tuhan Maha Esa.
6.
Bapak dan Ibu pegawai Tata Usaha Universitas Islam Riau yang telah membantu penulis dalam melakukan pengurusan administrasi dari awal penulisan kuliah sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.
Selain itu penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan dan sangat menghargai kriktik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada kita bersama. Pekanbaru, 26 September 2011
(ALDISON)
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... SURAT PERNYATAAN
i
...............................................................................
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI
ii
................................................. iii
BERITA ACARA PERSETUJUAN SKRIPSI
............................................
v
SURAT KEPUTUSAN PENUNJUKAN PEMBIMBING I
.......................
vi
SURAT KEPUTUSAN PENUNJUKAN PEMBIMBING II
...................... vii
SURAT KEPUTUSAN PENUNJUKAN DOSEN PENGUJI
........................ viii
BERITA ACARA MEJA HIJAU ABSTRAKSI
...................................................................
ix
..................................................................................................
x
...................................................................................
xi
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
................................................................................................. xv
: PENDAHULUAN ........................................................
1
......................................................................
6
...................................................................
7
A. Latar Belakang Masalah B. Masalah Pokok C. Tinjauan Pustaka
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
................................................................ 15
E. Metode Penelitian
BAB II
.............................................. 14
: GAMBARAN UMUM .................................................. 18
A. Tinjauan Hukum Perjanjian B. Gambaran Hukum Pembuktian
4
.......................................... 30
……………. 37
C. Kasus posisis Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Pengajuan Permohonan Kasasi Dalam Perkara .............................................. 39
No. 1298/K/Pdt/2004 B. Pertimbangan
Majelis
Hakim
Kasasi
Dalam
Menjatuhkan Putusan Perkara No. 1298/K/Pdt/2004.................................................................. BAB IV
: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN
........................................................................... 61 .................................................................................... 62 ......................................................................... 63
.................................................................................................. 66
5
50
ABSTRAKSI
Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 merupakan gugatan atas perbuata yang prestasi yang dilakukan oleh para tergugat, dimana atas gugata tersebut oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara bahwa gugatan yang diajukan penggugat tersebut tidak dapat diterima, dimana atas putusan Pengadilan Negeri tersebut oleh Pengadilan Tinggi dikuatkan dan pertimbangan serta putusan Pengadilan Negeri diambil sebagai pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi, akan tetapi pendapat Pengadilan Tinggi ini di mentahkan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi sehingga putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan. Melihat kepada perbedaan putusan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perkara No. 1298/K/Pdt/2004. Berdasarkan pejabaran dari latar belakang tersebut diatas maka penulis menetapkan masalah pokok sebagai berikut : Bagaimanakah Alasan Pengajuan Permohonan Kasasi Dalam Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 ? dan Bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi Dalam Menjatuhkan Putusan Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 ?. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini jika dilihat dari jenisnya maka dapat digolongkan sebagai penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan kepada bahan hukum sekunder sebagai sumber data utama dalam penelitian, dan apabila dilihat dari sifatnya maka penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian yang penulis lakukan, dimana alasan-alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi dalam menyatakan keberatannya atas putusan Pengadilan Tinggi Riau didasarkan kepada ketentuan Pasal 30 ayat (1) point b Undang-Undang Mahkamah Agung dimana alasan yang diajukan asalah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau yang mengambil Pertimbangan Pengadilan Negeri Pekanbaru sebagai pertimbangan sendiri telah salah menerapkan hukum. Sedangkan alasan yang lain mengenai penilaian alat bukti bukanlah kewenangan dari Majelis Hakim dalam pemeriksaan tingkat kasasi, dan terhadap alasan-alasan permohonan kasasi tersebut Majelis Hakim Kasasi memberikan pertimbangan mengenai sejarah terjadinya hubungan hokum antara para penggugat denan para tergugat, dimana menurut Mahkamah Agung bahwa hubungan hokum tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya larat belakang yang menyebabkan hubungan hukum itu terjadi sehingga hubungan hokum yang telah terjadi tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang terjadinya hubungan hokum tersebut.
6
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aturan-aturan hukum yang menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia secara garis besar dapat digolongkan atas aturan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan aturan hukum yang telah dituangkan dalam suatu kitab undang-undang sedangkan hukum tidak tertulis merupakan hukum yang ada, hidup dan dilaksanakan di dalam masyarakat. Diantara aturan-aturan yang ada didalam masyarakat, aturan yang paling sering dan diperlukan dalam lalu lintas kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya adalah hukum perjanjian. Perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat dalam hubungan interaksi untuk memenuhi kepentingan mereka dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan, kebebasan untuk melakukan perjanjian baik secara tertulis maupun secara lisan ini tidak terlepas dari sifat hukum perjanjian itu sendiri yang bersifat terbuka {openbaar system). Selain bersifat terbuka hukum perjanjian juga disebut sebagai hukum pelengkap.1 Sebagai hukum pelengkap mengandung arti ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanyalah bersifat melengkapi, apabila sesuatu hal para pihak tidak mengaturnya secara lengkap.2 Apa yang di sebut dengan perjanjian ditentukan dalam ketuan Pasal 1313 1
Hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (regelend recht) yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh adanya perjanjian yang diadakan para pihak., Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikata dan Hukum Jaminan, Liberty, 1984, hlm 3. 2 A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Poko Hukum Perjanjian Beserta Perkembangarinya, Liberty, 1985, hlm 1.
7
KUH Perdata yang menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3 Kedua pengertian perjanjian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa dalam hukum perjanjian kedudukan para pihak yang membuat perjanjian seimbang. Walaupun hukum perjanijian bersifat terbuka akan tetapi terdapat pengaturan-pengaturan mengenai perjanjian yang harus di ikuti oleh kedua belah pihak yang berkepentingan dimana ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat mutlak yang harus di penuhi sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Syarat 1 dan 2 merupakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orangorangnya atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya 3
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, 2004, Cet ke-20, hlm 1.
8
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.4 Apabila syarat subjektif dari perjanjian tidak terpenuhi maka suatu perjanjian yang dilakukan dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan jika tidak terpenuhi syarat objektif dari perjanjian maka perjanjian yang telah dilakukan atau dibuat tersebut batal demi hukum (null and void). Dalam hal perjanjian yang batal demi hukum maka apabila ada tuntutan pihak lain di depan pengadilan maka Hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.5 Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak yang memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengikat kedua belah pihak tersebut untuk melaksanakan perjanjian yang telah di sepakatinya, dimana apabila pemenuhan perjanjian tidak dilakukan maka akan menimbulkan akibat hukum terhadap pihak yang tidak memenuhi perjanjian tersebut. Pihak yang tidak memenuhi perjanjian disebut telah melakukan perbuatan wanprestasi sehingga melahirkan hak baru kepada pihak yang memiliki hak atas pemenuhan perjanjian tersebut, yaitu : 1. Hak untuk meminta pemenuhan perjanjian dan/atau disertai permintaan ganti rugi. 2. Hak untuk membatalkan perjanjian dan/atau disertai ganti rugi. Mengenai pebuatan wanprestasi ini yang terjadi dalam perkara No. 4 5
Subekti, Op. Cit, hlm 17. Ibid, hal 22.
9
1298/K/Pdt/2004, yang merupakan perkara gugatan wanprestasi yang diajukan oleh Nyonya Hajjah Masni Hasibuan dan suaminya Tuan Haji Abdullah Harahap yang bertindak sebagai Penggugat I dan Nona Nurmayanti yang bertindak sebagai Penggugat II mengajukan gugatan terhadap PT. Kurnia Rahmad Sejati sebagai Tergugat I dan Tuan Hajji Natsir Adnan sebagai Tergugat II. Gugatan yang diajukan oleh para penggugat kepada para tergugat dikarenakan adanya hubungan perjanjian penyediaan pupuk yang disanggupi oleh para tergugat, akan tetapi dalam pelaksanaanya para tergugat tidak dapat melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tesebut sehingga para penggugat merasa di rugikan, yang akhirnya mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Terhadap gugatan para penggugat tersebut Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa gugatan para penggugat kabur dikarenakan gugatan diajukan kepada tergugat I yang bertindak sebagai Direksi PT. Kurnia Rahmad Sejati, sedangkan dari hasil pembuktian surat-surat terbukti bahwa tergugat bertindak sebagai person atau sebagai diri pribadi sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru berpendapat gugatan para Penggugat kabur. Terhadap pendapat dari Majelis Pengadilan Negeri Pekanbaru ini maka oleh para penggugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Riau, dimana terhadap permohonan banding tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau menguatkan dan mengambil alih pendapat dan pertimbangan Pengadilan Negeri Pekanbaru sebagai pertimbangan sendiri.
10
Para penggugat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia atas Putusan Pengadilan Tinggi Riau tersebut, dan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung membatalkan dan menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Riau telah salah menerapkan hukum dan mengabulkan gugatan para penggugat sebagian. Berdasarkan singkat mengenai perkara tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pendapat antara Pengadilan Tinggi Riau dengan Pendapat Mahkamah Agung, hal ini lah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perkara No. 1298/K/Pdt/2004, dengan judul Penelitian “Tinjauan Yuridis Gugatan Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Pupuk Dalam Perkara No. 1298/K/Pdt/2004” (Study Kasus) Guna menghindari kesalahan persepsi atau kerancuan dalam mengartikan judul di atas, maka penulis merasa perlu untuk memberi batasan tentang judul yang dimaksud yaitu: Tinjauan dapat diartikan hasil meninjau atau yang di dapat setelah menyelidik, mempelajari dan sebagainya.6 Yuridis dapat diartikan sebagai suatu hal menurut hukum atau secara hukum.7 Gugatan adalah mengadu kedepan Pengadilan.8 Merupakan upaya hukum yang di Jakukan dalam mempertahankan hak yang di rasa dilanggar oleh pihak 6
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kotemporer, Moderen English Press, Jakarta, 1991. hlm 1621. 7 Departenten Penclicjikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga Ibid, hlm 1278 8 J.C.T Smiorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Praseryo. Aksara Baru. Jakarta. 1987. hlm 58.
11
lain. Wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang dapat diartikan alpa atau lalai.9 Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.10 Dimana dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian antara Para Penggugat dengan Tegugat Tergugat. Jual Beli adalah perjanjian timbal balik, dimana salah satu pihak berjanji menyerahkan hak milik suatu barang, sedangkan pihak yang lain berjanji membayar harga yang terdiri atas jumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.11 Pupuk merupakan objek perjanjian, yaitu barang yang menjadi objek yang di perjanjikan antara para pihak. Perkara adalah Persoalan yang perlu
diselesaikan atau dibereskan.12
Persoalan yang dimaksud adalah persoalan gugatan yang diajukan penggugat yang terdaftar dalam Register No. 1298/K/Pdt/2004.
B. Masalah Pokok. Berdasarkan kepada latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas,
9
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, 2004, Cet ke-20, hlm 45. Pasal 1320 KUH Perdata. 11 Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 1. 12 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, 1992., hlm 354. 10
12
maka penulis menetapan masalah pokok sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Alasan Pengajuan Permohonan Kasasi Dalam Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 ? 2. Bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi Dalam Menjatuhkan Putusan Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 ?
C. Tinjauan Pustaka. Wanprestasi merupakan tidak dilakukannya apa yang telah di perjanjikan atau apa yang telah di sepakati yang menjadi kewajibannya, dapat berupa hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak dilakukan apa yang telah disanggupinya; 2. Melakukan apa yang disepakati, tetapi tidak semestinya; 3. Terlambat melakukan apa yang disepakati; 4. Melakukan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kesepakatan.13 Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak maka akan menimbulkan hak kepada pihak lain dalam perjanjian tersebut untuk melakukan tuntutan hak sebagi berikut: 1. Pemenuhan perjanjian. 2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi. 3. Tuntutan ganti rugi. 13
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm 45.
13
4. Pembatalan perjanjian. 5. Pembatalan disertai ganti rugi.14 Pihak yang merasa dirugikan terhadap perbuatan wanprestasi dapat mengajukan tuntutan hak kedepan pengadilan dengan mengajukan gugatan wan prestasi. Tidak semua pihak dapat mengajukan gugatan kedepan pengadilan akan tetapi hanya pihak yang dapat mengajukan gugatan kedepan pengadilan adalah orang yang mempunyai kepentingan hukum, tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan kedepan pengadilan. Orang yang memiliki kepentingan yang dapat mengajukan gugatan kedepan pengadilan adalah orang yang mempunyai kepentingan (point d'interet, point d'action) yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak (gugatan).15 Akan tetapi tidak semua yang memiliki kepentingan hukum yang mengajukan tuntutan haknya dikabulkan oleh pengadilan, hal ini harus melewati proses pembuktian. Pembuktian
dalam
hukum
acara
merupakan
pembuktian
yang
konvensionil yang bersifat khusus, yang dimaksud dengan pembuktian yang konvisinil yaitu memberikan kepastian, akan tetapi bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatantingkatan sebagai berikut: 1. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka,
(bersifat intuitif
disebut dengan (conviction intime). 14 15
Ibid, hlm 53. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty, 2002, hlm.
14
2. Kepastian yang didasarkan kepada pertimbangan akal, disebut dengan (conviction raisonnee).16 Jadi berdasarkan penjabaran diatas maka pembuktian ditujukan untuk memberikan kepastian terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, sehingga memberikan keyakinan kepada hakim untuk memberikan putusan sebagai upaya penyelesaian suatu perkara. Untuk dapat dijadikan alat bukti maka alat bukti tersebut haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. 2. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. 3. Necessity, yaitu alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta. 4. Relevance, yaitu alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan.17 Alat-alat
bukti
yang dapat
diajukan dalam
proses pembuktian,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 284 RBg (Reglement Buitengewesten), terdiri dari: 1. Pembuktian dengan surat; 2. Pembuktian dengan saksi; 3. Persangkaan; 4. Pengakuan; 16
Ibid, him 127. Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 4. 17
15
5. Sumpah. Selain dari alat-alat bukti dalam ketentuan Pasal 284 RBg tersebut diatas maka dalam praktek terdapat satu alat bukti lagi yang sering dipergunakan yaitu pengetahuan hakim, yang merupakan hal atau keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim dalam sidang.18 Hal ini diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 10 April 1957 No. 213 K/Sip/1995 memberikan pendapat yang menyatakan :”Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat (1) bersambung dengan Pasal 164 HIR tidak ada keharusan mendengarkan keterangan seorang ahli, sedangkan penglihatan Hakim pada suatu tanda tangan didalam sidang boleh dipakai Hakim itu sebagai pengetahuan sendiri didalam usaha pembuktian.19 Ketentuan peraturan hukum acara perdata tidak menentukan secara tegas siapa yang dibebankan untuk membuktikan secara terlebih dahulu, akan tetapi dalam Pasal 283 RBg menyatakan :”Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu”. Hakim dalam memberikan beban pembuktian dapat berdasarkan teori mengenai beban pembuktian. Ada tiga teori mengenai pembagian beban pembuktian yaitu: 1. 2.
Teori hukum subjektif, mengatakan barang siapa mendalilkan adanya suatu hak subjektif harus membuktikannya. Teori hukum objektif mengatakan barang siapa berpaling kepada hakim adalah tidak lain meminta dari padanya agar menerapkan hukum pada fakta-fakta yang diajukan.
18
Retnowulan Sutantio. Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, 1997, him 61. 19 Loc. Cit.
16
3.
Teori hukum acara dan teori kepatuhan yang mengatakan bahwa hakim dalam membagi beban pembuktian harus berdasarkan kepatutan (buijkheid).20
Setelah hakim menentukan beban pembuktian maka pihak yang dibebankan pembuktian tersebut harus membuktikan apa yang didalilkannya. Setelah diajukan pembuktian oleh para pihak yang berperkara dengan alat-alat bukti maka hakim akan menilai pembuktian yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa. Dalam melakukan penilaian hakim dibatasi oleh peraturan perundang-undangan sehingga hakim tidak bebas dalam menilai pembuktian, akan tetapi tidak semua pembuktian yang oleh peraturan perundang-undangan diatur penilaiannya, sehingga apa yang tidak diatur oleh undang-undang mengenai penilaiannya memberikan kebebasan kepada hakim untuk melakukan penilaian. Hakim yang berwenang melakukan penilaian pembuktian adalah hanya judex facti saja.21 Setelah para pihak membuktikan dalil-dalil yang diajukannya dalam suatu perkara maka berdasarkan pembuktian itu hakim menemukan peristiwa atau hubungan hukum perkara tersebut, kemudian menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah diketahui melalui proses pemeriksaan pembuktian tersebut. Penerapan hukum terhadap suatu peristiwa yang telah dibuktikan oleh para pihak yang bersengketa bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah bagi Hakim, Hakim harus menyesuaikan peristiwa yang dihadapi dengan hukum yang mengatur, adakalanya peristiwa yang dihadapi tidak terdapat pengaturannya dalam ketentuan hukum tertulis sehingga hakim harus membentuk hukum yang sesuai dengan 20 21
S. Marbun, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, UIR Press, Pekanbaru, 1992, hlm 101. Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 132.
17
peristiwa yang dihadapi. Pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim diperbolehkan sepanjang tidak terdapat aturan yang mengatur peristiwa tersebut dalam aturan tertulis, hal ini sesuai dengan fungsi hakim yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan hukum tertulis, jadi tujuan pembentukan hukum oleh hakim merupakan pengisian kekosongan hukum sehingga mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum tertulis tidak jelas atau tidak ada.22 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadili”. Pembentukan hukum disebut juga dengan penemuan hukum yang merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit dengan kata lain dapat dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan proses konkritisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.23 Sumber penemuan hukum yang utama yang dilakukan oleh hakim adalah pada peraturan hukum tertulis, apabila dalam peraturan hukum tertulis tidak
22
Mocthar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm 99. 23 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 37.
18
terdapat pengaturan mengenai peristiwa yang harus diputus maka hakim diperbolehkan dan dapat menemukan hukum dalam peraturan tidak tertulis, peraturan tidak tertulis merupakan peraturan yang ada dan hidup didalam masyarakat, sehingga untuk melakukan penemuan hukum tidak tertulis tersebut hakim harus memahami nilai-nilai yang hidup dan berkembang didalam masyarakat sehingga pertimbangan yang menjadi dasar putusan dapat diterima oleh para pihak yang berperkara dan dirasakan adil. Pemahaman hakim terhadap nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat merupakan kewajiban dari hakim, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undangundang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa :”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat”. Setelah hakim menemukan hukum yang mengatur peristiwa dalam perkara tersebut maka penemuan hukum dijadikan dasar dari hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan perkara tersebut. Pertimbangan yang diberikan oleh hakim dalam hukum-perdata terdiri dari: 1.
Pertimbangan tentang duduk perkarannya ; dan
2.
Pertimbangan mengenai hukumnya.
Pertimbangan yang terdapat dalam suatu putus hakim merupakan suatu keharusan untuk dicantumkan, hal ini merupakan amanat dari Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :”Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
19
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Keharusan untuk
mencantumkan
pertimbangan
sebagai
dasar
penjatuhan
putusan
dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai objektif dan berwibawa.24 Pentingnya alasan dari suatu putusan dapat dilihat dari yurisprudensi Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.25
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat penulis kemukakan sebagai berikut : a.
Untuk mengetahui alasan pengajuan kasasi dalam perkara No. 1298/K/Pdt/2004 khususnya dan pemeriksaan dalam perkara perdata pada umumnya
b.
Untuk mengetahui landasan serta pertimbangan hukum dari hakim kasasi
dalam
memberikan
1298/K/Pdt/2004 24 25
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 15. Loc. Cit.
20
putusan
terhadap
perkara
No.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian adalah: a.
Untuk menambah wawasan penulis dalam hukum acara khsususnya hukum acara perdata dalam pengajuan permohonan kasasi.
b.
Untuk menambah bahan bacaan bagi mahasiswa lainnya yang juga berminat mengangkat penelitian yang sama mengenai masalah wanprestasi.
E. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Apabila dilihat dari sudut jenisnya, maka penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian hukum normatif yang di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder,26 dengan cara studi kasus. Dengan mempelajari dan mentilaah secara teliti putusan perkara No. 1298/K/Pdt/2004. Apabila dilihat dari sudut sifatnya, maka penelitian ini tergolong kedalam penelitian yang bersifat deskriptif yaitu : memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan tujuan, agar dapat membantu dalam memperkuat
26
Soejono Soekanto., Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat., Raja Grafindo Persada., Jakarta., 1995, hlm 13.
21
teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun teori-teori baru.27 2. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder, yang terdiri dari bahan-bahan hukum sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan utama yang dijadikan bahasan dalam penelitian ini, yaitu berupa berkas putusan perkara No. 1298/K/Pdt/2004 dan peraturan perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku serta pendapat para ahli dalam berbagai literatur yang berhubungan langsung dengan materi penelitian. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah berupa kamus ataupun artikel yang dapat membantu penelitian ini. 3. Analisa Data. Data yang berupa dokumen putusan perkara tentang gugatan wanprestasi yaitu perkara
No. 1298/K/Pdt/2004 diperoleh dan
dipelajari, lalu dikelompokan menurut jenisnya, kemudian dituangkan ke dalam bentuk uraian kalimat yang terang dan jelas. Setelah itu
27
Ibid, hlm 10.
22
dianalisa serta dibahas akan dibandingkan dengan teori-teori dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan perjanjian dan hukum perjanjian serta penyelesaiannya dalam bidang hukum acara perdata di pengadilan. Kemudian penulis memilih menarik kesimpulan secara induktif, yaitu suatu metode penarikan kesimpulan yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum yaitu berupa ketentuan dan keadaan yang berlaku umum kepada hal-hal yang bersifat khusus berupa ketentuan dan keadaan yang berlaku khusus.
23
BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Hukum Perjanjian. Aturan hukum yang mengatur mengenai perjanjian merupakan aturan hukum yang bersifat fleksibel atau dengan kata lain merupakan aturan hukum yang bersifat tidak mengikat, maksudnya pihak-pihak yang mengadakan perjanjian dapat menyimpangi dari aturan umum hukum perjanjian, ini merupakan konsekuensi dari asas umum hukum perjanjian yaitu asaz kebebasan berkontrak, Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian dimaksud merupakan kebebasan bagi para pihak dapat mengadakan perjanjian dalam bentuk apapun dengan syarat apapun sepanjang tidak didasarkan kepada hal-hal yang dilarang sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hukum perjanjian dapat juga dikatakan sebagai hukum pelengkap
24
(regelend recht) yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh adanya perjanjian yang diadakan para pihak.28 Perjanjian sebagai hukum yang bersifat mengatur dalam setiap pembentukan perjanjian tersebut maka selalu terdapat unsur-unsur dalam setiap perjanjian yaitu : 1. Unsur Essentialia. Merupakan unsur yang mutlak ada pada setiap perjanjian tanpa adanya unsur ini maka tidak ada suatu perjanjian. 2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang selalu ada pada setiap perjanjian dikarenakan diwajibkan oleh undang-undang. 3. Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang terdapat dalam perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian, dimana tidak terdapat pengaturannya dalam undang-undang.29 Sebagai hukum perjanjian yang merupakan hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian, mengandung arti : 1. Masing-masing para pihak dalam mengadakan perjanjian dapat menyimpang atau mengenyampingkan berlakunya ketentuan undangundang khususnya yang diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam hal mana mengenai suatu hal, masing-masing para pihak menentukan sendiri. 2. Bila para pihak tidak mengaturnya sama sekali, maka ketentuan yang tercantum dalam Buku III KUH Perdata berlaku seluruhnya. 3. Ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanyalah bersifat melengkapi, apabila mengenai sesuatu hal para pihak tidak mengaturnya secara lengkap. 30 Secara umum perjanjian dapat didefenisikan sebagai perbuatan hukum 28
hlm 3.
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikata dan Hukum Jaminan, Liberty, 1984,
29
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abadi, 1999, hlm 50. A Qirom Syamsudin Meliala, PokoK-Poko Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, 1985, hlm 1. 30
25
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang melahirkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Menurut Wirjono Prodjodikoro “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.31 Subekti memberikan defenisi perjanjian yaitu suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.32 Dari pengertian diatas maka dapat ditarik unsurunsur dari perjanjian sebagaimana menurut Abdulkadir Muhammad dalam suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut : a. Ada Pihak-pihak. Pihak-pihak yang ada disini paling sedikit harus ada dua orang. Para pihak bertindak sebagai subjek perjanjian. b. Ada persetujuan antara para pihak. Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat perjanjian haruslah diberikan kebebasan untuk mengadakan negosiasi atau tawar menawar diantara keduannya. c. Ada tujuan yang akan dicapai. Suatu perjanjian haruslah mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subjek dalam perjanjian tersebut. d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan. Para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lain saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi satu prestasi, maka bagi pihak yang lain hal tersebut merupakan hak, dan begitu pun sebaliknya. e. Ada bentuk tertentu. 31 32
Ibid, hlm 7. Subekti, Op. Cit, hlm 1.
26
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dan dibuat dalam bentuk akta maka akta tersebut dapat dibuat secara authentic maupun underhands. Akta yang dibuat secara authentic adalah akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak dihadapan seorang pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu. f. Ada syarat-syarat tertentu. Dalam suatu perjanjian tentang isinya, harus ada syarat-syarat tertentu, karena dalam suatu perjanjian menurut pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian atau persetujuan adalah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, adalah bila mana perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.33 Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati maka perjanjian tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam pengertian kolektif, yaitu hak dari salah satu pihak kewajiban bagi pihak lainnya, dan begitu sebaliknya. 34 Hak dan kewajiban yang lahir dari suatu perjanjian menurut teori yang dikemukakan oleh Hugo Grotius yang mendasarkan kepada hukum asasi bahwa merupakan suatu kewajiban moril dari manusia untuk melaksanakan apa yang dijanjikannya, dan teori ini berkembang menjadi peraturan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang diucapkan dengan maksud untuk menciptakan suatu akibat hukum, melahirkan suatu kewajiban hukum bagi pihak yang menjanjikan untuk melaksanakannya.35 Yang dimaksud dengan akibat hukum diatas adalah konsekuensi akibat dibuatnya perjanjian tersebut merupakan hal yang dikehendaki dan disadari oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Menurut pikiran Fichtie, kewajiban hukum timbul dalam suatu perjanjian
33
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali Pers, 1992, hlm 10-12. Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Op. Cit, hlm 91. 35 Sunarjati Hartono, MentjariBentuk dan Sistem Hukum Perdjandjian Nasional Kita, Alumni, Bandung, 1969, hlm 13. 34
27
karena pihak yang telah mulai dengan pelaksanaan perjanjian itu telah memindahkan sebagian dari pada hak miliknya kepada pihak kedua, sehingga pihak kedua itu akan memiliki secara tidak sah apa yang menjadi hak pihak pertama, jika ia tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya berdasarkan perjanjian kedua pihak itu.36 Menurut pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian baru akan mengikat apabila salah satu pihak melaksanakan apa yang dijanjikan, apabila perjanjian dibuat dan pihak yang membuat perjanjian belum melaksanakannya maka perjanjian yang dibuat tersebut belum mengikat pihak-pihak dalam perjanjian atau belum melahirkan hak dan kewajiban. Apabila kedua teori diatas digabungkan maka dapat dikatakan hak dan kewajiban timbul dari perjanjian dikarenakan hak dan kewajiban tersebut merupakan suatu kewajiban moral dari keinginan dari para pihak yang membuat kesepakatan maka secara moral harus melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat dan apabila telah dimulai pelaksanaan dari kesepakatan tersebut maka pihak yang membuat kesepakatan tersebut tidak dapat membatalkan kesepakatan tersebut tanpa persetujuan dari pihak lainya. Perjanjian yang dibuat dan disepakati maka dalam kesepakatan tersebut terkandung asas-asas umum hukum perjanjian yang terdiri dari : 1. Asas kebebasan berkontrak, Asas kebebasan berkontrak atau Open System merupakan konsekwensi
36
Ibid, hlm 14.
28
dari hukum perjanjian yang bersifat mengatur dan tidak mengikat sehingga memberikan kebebasan kepada setiap pihak yang membuat perjanjian kepada siapa saja dan perjanjian apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. Asas konsensual atau asas kekuasaan bersepakat, Asas konsesual atau asas kekuasaan bersepakat merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.37 Jadi dalam suatu perjanjian yang penting dan utama adalah kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian, yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. 3. Asas kelengkapan atau optimal sistem.38 Asas kelengkapan atau optimal sistem merupakan asas yang menyatakan apabila dalam suatu perjanjian tidak secara tegas diatur dalam perjanjian tersebut maka secara otimatis maka berlaku ketentuan hukum perjanjian pada umumnya. Melihat pada ketentuan hukum perdata maka mengenai lahirnya hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian didasarkan dengan dipenuhinya sarat sah dalam pembuatan perjanjian tersebut, walaupun dipenuhinya Asas-asas perjanjian diatas yang merupakan dasar dari terbentuknya suatu perjanjian, tidak secara langsung 37 38
Subekti, Op. Cit, hlm 26. Djumadi, Op. Cit, hlm 16-18.
29
dapat dikatakan perjanjanjian tersebut dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian, menganai syarat sahnya perjanjian diatur dan dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke wet Boek) yang menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat objektif dan sayarat subjektif yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Perjanjian yang telah dibuat apabila telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian diatas maka suatu perjanjian menimbulkan konsekuensi kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut yaitu timbulnya hak dan kewajiban bukan didasarkan kepada dilakukannya apa yang diperjanjikan akan tetapi cukup dipenuhinya syarat syahnya perjanjian maka akan menimbulkan hak dan kewajiban. Dua syarat pertama diatas merupakan syarat subjekif, karena syarat tersebut mengenai pelaku atau para pihak dalam perjanjian, apabila syarat subjektif sahnya perjanjian ini tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian yang telah disepakati maka mengakibatkan perjanjian yang dibuat tersebut dapat dimintakan pembatalan, sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif dari perjanjian karena mengenai apa yang diperjanjikan, yang jika tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian maka mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan
30
perjanjian yang batal demi hukum, maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak menimbulkan akibat hukum. Mengenai syarat sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian
dalam syarat objektif sahnya perjanjian apabila tidak dipenuhi
mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum ditentukan dalam ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan : ”Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang atau dilarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Sebab yang terlarang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 KUHPerdata dirumuskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan : ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sebagai hukum yang tidak mengikat dan hanya bersifat mengatur hukum perjanjian ini tidak secara menyeluruh dapat dikatakan sebagai hukum yang tidak mengikat atau dengan kata lain hukum perjanjian yang tidak mengikat dan hanya bersifat mengatur hanyalah mengenai bentuk dari perjanjian tersebut, mengenai syarat sahnya perjanjian merupakan syarat yang wajib diikuti dalam suatu perjanjian sehingga perjanjian tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Akibat lain dari tidak mengikatnya sifat dari hukum perjanjian maka menimbulkan bentuk-benuk perjanjian yang tidak terdapat pengaturannya dalam ketentuan KUHPerdata. Perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat pengaturannya
31
dalam KUHPerdata ini timbul, tumbuh dan berkembang dalam praktek dilapangan, yang dikenal dengan perjanjian Innominat, sedangkan perjanjian yang diatur dan ada dalam KUHPerdata merupakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Nominat.39 Sebagaimana telah dijabarkan diatas sebelumnya bahwa perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak dan perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian maka menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban dalam suatu perjanjian merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, prestasi menurut Pasal 1234 KUHPerdata terdiri dari : 1. Memberikan sesuatu; 2. Berbuat sesuatu; 3. Tidak berbuat sesuatu. Prestasi yang merupakan kewajiban dari salah satu pihak dalam perjanjian apabila tidak dilaksanakan atau salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lalai melaksanakan prestasi tersebut dikatakan sebagai pihak yang melakukan perbuatan wanprestasi. Wanprestasi atau kelalaian seorang debitur dapat berupa : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan. 2. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
39
hlm 1.
Salim HS, Teori Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
32
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan apa yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.40 Kreditur sebagai pihak yang memiliki hak atas prestasi dari debitur yang melakukan wanprestasi dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan agar : 1. Kreditur meminta pemenuhan prestasi dari debitur. 2. Kreditur dapat menuntut prestasi dan ganti kerugian. 3. Kreditur dapat menuntut ganti rugi, karena keterlambatan. 4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian. 5. Kreditur menuntut pembatalan dan ganti rugi, pembayaran uang denda.41 Perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, oleh pihak yang memiliki hak atas pemenuhan prestasi tersebut dapat memaksakan pelaksanaan prestasi tersebut dengan jalan mengajukan gugatan kepada pengadilan, hal ini konsekuensi asas Pacta sun Servanda. Asas Pacta sun Servanda adalah perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti undang-undang.42 Asas Pacta sun Servanda dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
40
Subekti, Op. Cit, hlm 45. Salim HS, Op. Cit, hlm 99. 42 A. Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, hlm 20. 41
33
Perjanjian yang disepakati dalam pelaksanaanya harus dilaksanakan dengan itikad baik.43 Berdasarkan ketentuan pasal diatas bukan berarti secara mutlak suatu perjanjian yang telah disepakati tidak dapat diakhiri, akan tetapi masih mungkin untuk melakukan pengakhiran suatu perjanjian dengan melakukan pembatalan. Pembatalan perjanjian dapat dilakukan berdasarkan hal sebagai berikut : 1. Pembatalan Mutlak (absolute nietigheid), merupakan suatu perjanjian yang diadakan tidak dengan mengindahkan cara yang dikehendaki oleh undang-undang secara mutlak. 2. pembatalan tak mutlak (relatief nietigheid), merupakan pembatalan yang harus dimintakan oleh salah satu pihak.44 Pembatalan mutlak merupakan suatu perjanjian yang telah dibuat dianggap tidak ada meskipun terhadap hal ini tidak dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, jadi perjanjian yang telah dibuat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat para pihak dalam perjanjian sehingga tidak melahirkan hak dan kewajiban. Pembatalan mutlak ini dikarenakan tidak terpenuhinya syarat objektif dari sahnya perjanjian. Sedangkan pembatalan tak mutlak merupakan pembatalan perjanjian dengan syarat harus dimintakan oleh salah satu pihak kepada pengadilan, pembatalan tidak mutlak ini dikarenakan tidak terpenuhinya dalam suatu perjanjian syarat subjektif sahnya suatu perjanjian. Mengenai pembatalan tak mutlak dapat dibagi atas dua macam pembatal, yaitu : 43 44
151.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisi Kasus, Kencana, 2005, hlm 4. Wirjono Prodjodikoro, Azas–Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm
34
1. Pembatalan atas kekuatan sendiri (van rechts wegenietig) maka pada hakim dimintakan supaya menyatakan batal (nietig verklaard). 2. Pembatalan belaka oleh hakim (vernietigbaar) yang putusannya harus berbunyi membatalkan.45 Pembatalan mutlak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian didepan Pengadilan. 2. Secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat didepan hakim untuk
memenuhi
perjanjian
dan
disitulah
baru
mengajukan
kekurangannya perjanjian tersebut.46 Pembatalan atas suatu perjanjian yang telah dibuat merupakan salah satu cara berakhirnya suatu perikatan, apabila melihat ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata maka selain dari melakukan pembatalan yang diajukan kepada pengadilan, maka suatu perjanjian yang telah dibuat dapat batal dikarenakan halhal sebagai berikut : 1. Pembayaran; 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Pembaharuan utang; 4. Perjumpaan utang atau Kompensasi; 45 46
Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit. Subekti, Op. Cit, hlm 76.
35
5. Pencampuran utang; 6. Pembebasan utang; 7. Musnahnya barang yang terutang; 8. Berlakunya syarat batal dan lewat waktu. Batalnya perjanjian sebagaimana tersebut diatas tidak memerlukan putusan pengadilan, perjanjian tersebut batal disebabkan oleh dipenuhinya kesepakatan dalam perjanjian atau disebabkan oleh keadaan, seperti musnahnya objek perjanjian.
B. Gambaran Hukum Pembuktian. Salah satu cara memperoleh perlindungan hak yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) kepada Pengadilan, pengajuan tuntutan hak kepada pengadilan merupakan lingkup hukum perdata. Tujuan dari tuntutan hak adalah agar dalam kehidupan dimasyarakat tidak terjadi tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) dalam menyelesaikan suatu persoalan yang terjadi antara anggota masyarakat.47 Pengajuan gugatan untuk memperoleh perlindungan hak diawali dengan diajukannya gugatan oleh orang yang merasa haknya dilanggar kepada pengadilan. Pengajuan gugatan ini akan diperiksa oleh pengadilan dalam persidangan untuk dapat dijatuhkannya putusan sebagai upaya penyelesaian perselisihan. Dalam menjatuhkan putusan hakim yang memeriksa perkara atau 47
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 48.
36
perselisihan tersebut harus mencantumkan dasar-dasar putusan tersebut. Dasar dari putusan dicantumkan oleh hakim dalam pertimbangan putusannya. Pencantuman dasar dari putusan oleh hakim yang mengeluarkan putusan tersebut merupakan suatu kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :”Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Pemberian alasan atau dasar putusan oleh hakim dalam pertimbangannya didasarkan kepada pengetahuan hakim mengenai fakta atau peristiwa perkara yang diajukan kepadanya. Pengetahuan hakim mengenai fakta atau peristiwa perkara yang diajukan kepadanya didasarkan kepada proses pemeriksaan dipersidangan dan proses pembuktian. Dalam proses pembuktian hakim bertugas menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi perkara yang diperiksannya, benar-benar ada atau tidak.48 Mengenai apakah hubungan hukum atau fakta perkara tersebut terbukti apa
tidak
merupakan
tugas
dari
pihak-pihak
yang
berperkara
untuk
membuktikannya, pihak-pihak yang berperkara dapat membuktikan peristiwa atau hubungan hukum yang menjadi perselisihan dengan mengajukan alat-alat bukti kepada pengadilan. Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang
48
62.
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Cet-16, 2004, hlm
37
berperkara telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 284 Rbg yang menyatakan yaitu alat-alat bukt terdiri dari : 1. Tertulis. 2. Saksi. 3. Persangkan 4. Pengakuan. 5. Sumpah. Alat bukti tertulis merupakan alat bukti merupakan alat bukti surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.49 Surat sebagai alat bukti terbagi atas : 1. Surat yang merupakan akta, yaitu alat bukti surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Alat bukti.50 Surat terdiri dari yang terdiri dari : a. Akta authentik, merupakan surat yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu.51 b. Akta dibawah tangan merupakan surat yang ditanda tangani dan dibuat dengan maksud dijadikan bukti suatu peristiwa atau fakta, 49
Soedikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 141-142. Ibid, hlm 142. 51 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm 108. 50
38
yang tidak memerlukan penandatangan dimuka atau oleh pejabat umum yang berwenang.52 2. Surat yang bukan akta, mengenai hal ini kekuatan pembuktiannya digantungkankepada pertimbangan Hakim. Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat yang merupakan akta baik akta otentik maupun akta dibawah tangan terdiri dari kekuata : 1. Kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian yang diasarkan kepada keadaan laihir, apa yang tanpa pada akta tersebut. 2. Kekuatan pembuktian formal. Kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar tidaknya adanya pernyataan oleh orang yang menandatangani akta tersebut. 3. Kekuatan pembuktian materiil Kekuatan pembuktian materiil merupakan kekuatan yang memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.53 Pembuktian dengan alat bukti saksi merupakan kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.54 Jadi keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan tidak diwakilkan kepada pihak lain. Mengenai penilaian terhadap alat bukti kesaksian yang diberikan hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara
52
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara., Pradnya Paramita, Cet-1, 1997, hlm 61. 53 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 153. 54 Ibid, hlm 159.
39
yang dipersengketakan.55 Persangkaan sebagai alat bukti merupakan kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal (peristiwa yang telah terbukti) kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal (peristiwa yang belum terbukti).56 Alat bukti persangkaan dibagi atas dua (dua), yaitu : 1. Persangkaan Hakim, merupakan kesimpulan yang ditarik hakim. 2. Persangkaan Undang-undang, merupakan kesimpulan yang ditarik undang-undang, apabila dari terbuktinya suatu peristiwa, oleh Undangundang disimpulkan terbuktinya suatu peristiwa lain.57 . Alat bukti persangkaan merupakan pembuktian suatu peristiwa secara tidak langsung.58 Alat bukti lainyang dapat diajukan oleh para pihak untuk meyakinkan hakim atas dalil-dalil yang diajukan yaitu pengakuan. Menurut subekti pengakuan tidak tepat disebut sebagai alat bukti karena dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak maka hal yang diakui tersebut tidak perlu dibuktikan.59 Mengenai pengakuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1923 KUH Perdata terdiri dari : 1. Pengakuan yang dilakukan didepan persidangan, dan 55
Ibid, hlm 161. Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata Cetakan Ke-3 Revisi, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 190. 57 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Cet-8, 1987, hlm 47. 58 Ibid, hlm 46. 59 Ibid, hlm 51. 56
40
2. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang. Pengakuan merupakan keterangan sepihak dari pihak yang mengakui tanpa diperlukannya persetujuan dari pihak lain. Ilmu pengetahuan membagi tiga pengakuan, yaitu : 1. Pengakuan murni, merupakan pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. 2. Pengakuan dengan kualifikasi, merupakan pengakuan yang disertai sangkalan terhadap sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. 3. Pengakuan dengan kalusula merupakan pengakuanyang disertai keterangan tambahan yan sifatnya membebaskan.60 Hakim dalam menilai pengakuan sebagai bukti tidak boleh dipisah-pisah akan tetapi haruslah diterima seutuhnya dari pengakuan tersebut. Alat bukti terakhir sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 284 RBg yaitu alat bukti sumpah. Sumpah merupakan suatu pernyataan hikmad yang diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Mana Kuasa dari pada Tuhan dan kepercayaan bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya.61 Sumpah terdiri dari : 1. Sumpah Suppletoir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusan. 60 61
127.
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 175-176. S. Marbun, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, UIR Press, Pekanbaru, Cet-1, 1998, hlm
41
2. Sumpah Penaksiran, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1982 RBg merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang ganti kerugian. 3. Sumpah decesoir, merupakan sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada pihak lawan.62 Selain dari lima alat bukti diatas yang dapat diajukan sebagai alat bukti terlepas dari adanya bebarapa alat bukti yang dianggap sebagian sarjana hukum atau para ahli bukan sebagai alat bukti, terdapat alat bukti lain yang merupakan bukti yaitu Pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh hakim atau atas perintah hakim. Pemeriksaan setempat merupakan pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan diluar tempat pengadilan, agar Hakim melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberikan kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.63 Pemeriksaan setempat tidak terdapat dalam kategori sebagai alat bukti dalam ketentuan Pasal 284 RBg akan tujuan dari pemeriksaan setempat adalah untuk memperoleh keterangan tambahan yang lengkap mengenai peristiwaperistiwa yang dihadapi, sehingga berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan sebagai salah satu alat bukti. Proses pembuktian didalam persidangan oleh hakim ditentukan pihak mana yang harus membuktikan sesuatu dan pihak mana yang membuktikan hal lain, merupakan pembebanan pembuktian, pemberian pembebanan pembuktian merupakan kewenangan dari hakim dan sesuai dengan tujuan dari lembaga peradilan maka seharusnya dalam pemberian beban pembuktian harus didasarkan
62 63
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 181-183. Ibid, hlm 187.
42
kepada keadilan. Pemberian beban pembuktian akan terasa adil apabila pihak yang membebani permbuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.64 Berdasarkan
hasil
pembuktian
maka
hakim
dapat
memberikan
pertimbangan hukumnya karena hakim merupakan orang yang dianggap paling tahu mengenai hukum, pertimbangan hukum tersebut didasarkan kepada fakta atau peristiwa yang diketahui melalui proses pembuktian.
C. Kasus posisis Perkara No. 1298/K/Pdt/2004 Perkara No. 11/Pdt/.G/2002/Pbr merupakan perkara gugatan wanprestasi yang diajukan oleh Nyonya Masni Hasibuan dan suaminya Tuan Abdullah Harahap terhadap PT. Kurnia Rahmad Sejati dan H. Natsir Adnan dimana gugatan diajukan dilatar belakangi tidak dipenuhinya perjanjian yang telah disepakati antara para penggugat diatas dengan para tergugat yang merupakan perjanjian jual beli pupuk. Para penggugat tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah di sekapati dalam perjanjian untuk meyediakan 200 ton pupuk setiap bulannya sehingga dapat dikatakan para tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi. Tidak dipenuhinya perjanjian tersebut maka oleh para penggugat diajukan gugatan wanprestasi kepada pengadilan negeri pekanbaru, dimana terhadap 64
Ibid, hlm 139.
43
gugatan tersebut pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan putsan menolak gugatan penggugat dengan alasan gugatan penggugat kabur yang mana putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Riau. Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Riau tersebut maka oleh para penggugat diajukan upaya hukum banding, dan oleh putusan banding dalam pertimbanganya menyatakan bahwa pengadilan tinggi telah salah menerapkan hukum dan terhadap kasasi tersebut Mahkamah Agung menjatuhkan putusan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Riau dan menyatakan gugatan para penggugat diterima.
44
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan
Pengajuan
Permohonan
Kasasi
Dalam
Perkara
No.
1298/K/Pdt/2004. Permohonan Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dalam hukum acara perdata. Supomo mengatakan kasasi merupakan tindakan mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkat tertinggi.65 Jadi disini sarana yang diberikan oleh hukum kepada para pihak yang berperkara berupa kesempatan untuk mengajukan permohonan kasasi merupakan pelaksanaan kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam pengawasan penerapan hukum. Adanya upaya hukum kasasi ini di awali di Negara Perancis, dimana bahwa berdasarkan asas konkordasi dengan dijajahnya belanda oleh Perncis maka upaya hukum kasasi yang ada pada hukum Perancis di terapkan di Belanda, dan berdasasrkan asas konkordasi tersebut diatas maka upaya hukum kasasi tersebut juga di terapkan di Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan sistem hukum eropa continental, dimana dalam sistem hukum ini Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi bertugas membina keseragaman dan kesamaan penerapan hukum dimana hal ini bertujuan 65
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramitah, Jakarta, Cet Ke13, 1994, hlm 115.
45
agar penerapan hukum dilakukan oleh seluruh lembaga peradilan dengan tepat dan adil. Berdasarkan tugas dan fungsi dari Mahkamah Agung tersebut diatas sebagai lembaga peradilan tetinggi yang berwenang melakukan pengawasan dalam penerapan hukum oleh lembaga-lembaga peradilan lainnya maka dapat dikatakan kasasi merupakan tindakan dari Mahkamah Agung untuk menegakan dan membetulkan hukum, apabila hukum di tentang oleh putusan-putusan hakim di tingkat tertinggi.66 Selain mengenai pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung sebagai mana ditentukan dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahub 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan : “Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. Permohonan Kasasi; b. Sengketa kewenangan mengadili; c. Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Mengenai pemeriksaan dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung berwenang melakukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat
66
R Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan – 12, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 115.
46
Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan peradilan.67 Permohonan kasasi menurut putusan tanggal 7 Juni 1951 dan 9 Juni 1952 menetapkan bahwa kasasi hanya mungkin diizinkan terhadap putusan yang diambil dalam lingkungan peradilan umum biasa (rechtlijke beslissinggen).68 Yang dimaksud dengan lingkungan peradilan umum biasa seperti perkara-perkara perdata umum maupun perkara pidana umum, sedangkan perkara-perkara yang dalam peradilan umum yang tidak biasa dapat diartikan sebagai perkara-perkara perdata khusus, seperti perkara Hubungan Industrial ataupun perkara-perkara niaga. Pengajuan permohonan kasasi merupakan hak dari para pihak yang bersengketa yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dimana hak ini dapat dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara. Permohonan kasasi tidak hanya dapat diajukan oleh pihak yang dikalahkan oleh putusan Pengadilan Tinggi akan tetapi pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi walaupun di menangkan dalam putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Permohonan kasasi harus diikuti dengan penyampaian memori kasasi sebagai mana ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa : ”Pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula
67
Undang-Undang No. 14 Tahub 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telh di ubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 68 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, edisi ke enam, 2002, hlm 230.
47
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam daftar”. Ketentuan ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan : “Mengajukan
suatu
memori
kasasi
yang
memuat
alasan-alasan
permohonan kasasi adalah suatu syarat mutlak untuk dapat diterimannya permohonan kasasi”. Apabila tidak disampaikan memori kasasi dalam pengajuan permohonan kasasi maka mengakibatkan permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima, ini dapat dilihat dengan melakukan pendekatan secara a contrario.69 Hal ini didasarkan kepada penekanan kata Wajib sehingga apabila tidak dipenuhi syarat memori kasasi dalam pengajuan kasasi maka akan berakibat permohonan kasasi dari pemohon kasasi di tolak. Wajibnya pengajuan memori kasasi juga didasarkan kepada pemikiran bahwa berdasarkan memori kasasi tersebut para pemohon kasasi atau pihak yang berperkara dapat menyampaikan alasan-alasan dan dasar diajukan permohonan kasasi tersebut. Alasan-asalan untuk mengajukan memori kasasi terdapat dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung, sebagai berikut : 1. Tidak berwenang atau melampaui wewenang;
69
Yahya Harahap, Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, Cet-I, 2006, hlm 457.
48
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung diatas, maka Mahkamah Agung memeriksa dalam tingkat kasasi tidak berwenang untuk memeriksa mengenai terbukti tidaknya peristiwa yang akan diperiksa, Mahkamah Agung hanya memiliki wewenang dalam tingkat kasasi tentang penerapan hukumnya. Atau dengan kata lain pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi tidak dapat melakukan penyelidikan, apakah putusan hakim mengenai kenyataankenyataan (Feiten), atau mengenai duduk perkara apakah tepat atau tidak.70 Lebih jalas dapat dicontohkan bahwa putusan hakim menganggap suatu keadaan
terbukti,
berdasarakan
keterangan
dua
orang
saksi,
maka
MahkamahAgung dalam pemeriksaan tingkat Kasasi tidak dapat menyinggungnyinggung putusan itu, walaupun Mahkamah Agung berpendapat dua orang saksi tersebut tidk dapat di percaya. Mahkamah agung hanya dapat melakukan penilaian mengenai apakah penerapan mengenai syarat-syarat seseorang untuk dapat menjadi saksi apakah telah di penuhi apa tidak. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung hanya sebagai pemeriksaan mengenai penerapan hukumnya dan Mahkamah Agung tidak berwenang memeriksa alat bukti dan menilai pembuktian yang telah dilakukan 70
R. Supomo, Op. Cit, hlm 116.
49
oleh pengadilan bawahan. Oleh karena itu pemeriksaan tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkara
atau peristiwanya, maka pemeriksaan tingkat
kasasi pada umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ke-3.71 Berdasarkan putusan perkara No. 1298/K/Pdt/2004 penulis memperoleh data dimana Permohonan kasasi diajukan oleh tergugat I dan tergugat II / Pembanding I dan Pembanding II, dimana pengajuan permohonan pemeriksaan dalam tingkat kasasi diajukan atas keluarnya putusan Pengadilan Tinggi Riau No. 55/PDT/2003/PTR, dimana permohonan pemeriksaan pada tingkat kasasi tersebut didasarkan kepada alasan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang menyatakan bahwa bukti Faximile yang dikirim oleh tergugat I kepada PT. Nanda Raya Timber, tidaklah berbeda dengan surat yang di foto copy, dimana tergugat I dan tergugat II tidak dapat menunjukan aslinya, dimana bukti yang dikesampingan oleh Hakim Pengadilan Negeri tersebut merupakan bukti kunci akan hubungan tergugat I dan tergugat II.72 Selain alasan tersebut diatas para pemohon kasasi dalam memori kasasinya juga mengajukan alasan permohonan kasasi mengenai seharusnya Pengadilan Tinggi Riau juga mempertimbangkan secara filosofi dan sosiologis hukum serta kepatutan hukum, dimana dalam perkara a quo sejak awal telah timbul kesepakatan kerja sama yang telah direncanakan dengan sedemikian rupa yang mengakibatkan kerugian kepada para pemohon kasasi dengan memanfaatkan
71
72
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 235. Putusan Perkara Perdata No. 1298/K/Pdt/2004,
hlm 6.
50
celah-celah hukum.73 Berdasarkan data yang penulis peroleh tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa penggugat I dan Penggugat II/Pembanding I dan Pembanding II/Para Pemohon kasasi dalam permohonan kasasinya mengajukan alasan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum. Alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi sebagaimaa tersebut diatas yaitu Hakim Pengadilan Tinggi dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara ini tidak melaksanakan peraturan hukum yang berlaku atau salah melaksanakan peraturan hukum yang berlaku atau salah melaksanakan hukum, dimana pengenyampingan yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi terhadap bukti P-3 berupa faximile merupakan bukti kunci akan adanya hubungan antara para penggugat dengan tergugat I dan tergugat II.74 Berdasarkan alasan pengajuan alasan dari permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi melihat kepada kewenangan dari Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara tingkat kasasi hanya berwenang dalam pemeriksaan mengenai penerapan hukumnya sehingga alasan yang diajukan oleh penggugat mengenai pengenyampingan alat bukti tidak menjadi kewenangan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Kasasi. Mengenai
alasan
seharunya
Pengadilan
Tinggi
Riau
juga
mempertimbangkan secara filosofi dan sosiologis hukum serta kepatutan hukum, dimana dalam perkara a quo sejak awal telah timbul kesepakatan kerja sama yang 73 74
Ibid, hlm 6. Putusan Perkara Perdata No. 1298/K/Pdt/2004, hlm 6.
51
telah direncanakan dengan sedemikian rupa yang mengakibatkan kerugian kepada para pemohon kasasi dengan memanfaatkan celah-celah hukum. Melihat kepada alasan-alasan yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung, sebagai berikut : 1.
Tidak berwenang atau melampaui wewenang;
2.
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3.
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Maka dapat dikatakan bahwa pengajuan alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi merupakan alasan permohonan kasasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Point 2 Pasal 30 ayat (1) UndangUndang Mahkamah Agung. Alasan tidak berwenang atau melampaui wewenang merupakan alasan mengenai kewenangan absolute maupun mengenai kewenangan relatif suatu badan peradilan dalam memeriksa suatu perkara. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa : ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Jadi kekuasaan kehakiman dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Badan peradilan yang berada dibawahnya, menurut ayat (2) pasal tersebut, badan 52
peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu terdiri dari : 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; dan 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Tugas pokok dari lembaga peradilan tersebut adalah untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 75 Badan peradilan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki kewenangankewenangan yang berbeda. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat berupa : 1. Kompetensi/Kewenangan Absolut ; dan 2. Kompetensi/kewenangan Relatif. Kompetensi Absolut merupakan kewenangan yang menyangkut substansi atau materi perkara.76 Hal ini berarti kewenangan absolut dari suatu badan peradilan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan lainnya. Misalnya Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan dalam perkara perdata yaitu meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya.77
75
75.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Edisi ke-6, 2002, hlm
76
Achmad Fauza, Suhartanto, Teknik Menyusun Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri, Yrama Widya, Cet-1, 2006, hlm. 77 Ibid, hlm 76.
53
Kompetensi Relatif atau kekuasaan secara nisbi merupakan kewenangan Pengadilan diantara Pengadilan-pengadilan yang sama dan sederajat yang berhak mengadili perkara-perkara yang menurut kompetensi absolut menjadi kewenangan pengadilan sederajat. Jadi komptensi relatif yang dimaksud adalah bahwa kewenangan dalam memeriksa perkara disebabkan oleh wilayah hukum dari pengadilan tersebut terhadap pengadilan yang sama dan sederajat. Sedangkan alasan-alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi mengenai salah atau melanggar hukum yang berlaku, dalam kenyataan merupakan alasan yang sering dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam membatalkan putusan pengadilan bawahan dimana 95 % dari putusan pengadilan dalam tingkat kasasi didasarkan kepada alasan bawah pengadilan bawahan salah menerapkan atau melanggar hukum, dimana hal ini terjadi pada masa-masa penjajahan dan Indonesia baru-baru merdeka, dimana hal ini terjadi disebabkan kurangnya leteratur dan yurisprudensi yang dapat dijadikan acuan oleh hakim peradilanperadilan untuk menjatuhkan hukum, dan di samping itu hukum Indonesia merupakan hukum yang rumit dimana pada masa itu hukum yang berlaku tindak hanya hukum dalam bentuk tertulis akan tetapi juga termasuk hukum-hukum yang tidak tertulis yatu hukum-hukum adat yang di setiap daerah memiliki perbedaanperbedaan dan pada masa itu masih berlakunya pembagian golongan-golongan penduduk sehingga perlunya pemahaman yang lebih mendalam mengenai hukum antar golongan, sehingga kesalahan dalam penerapan hukum oleh Hakim-hakim peradilan sanggat besar. Alasan ketiga dalam mengajukan permohonan kasasi yaitu lalai memenuhi
54
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dapat terjadi apabila putusan peradilan bawahan tidak mencantumkan ira-ira “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” atau secara pelaksanaan pemeriksaan bahwa hakim tidak melakukan tindakan pendamaian kedua belah pihak pada awal pemeriksaan perkara tersebut. Lalai dalam penerapan hukum sebagai alasan permohonan kasasi merupakan lalai dalam penerapan hukum dalam artian yang luas yaitu lalai dalam penerapan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, dimana lalai dalam penerapan hukum yang dimaksud tidak hanya lalai dalam penerapan hukum tertulis akan tetapi juga mengenai hukum tidak tertulis.78 Pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi merupakan memeriksaan yang bertujuan untuk membatalkan atau tidak membatalkan suatu putusan peradilan bawahan, sehingga pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak hanya terbatas kepada pertimbangan-pertimbangan yang merugikan pemohon kasasi, akan tetapi juga mencakup mengenai pertimbanganpertimbangan yang menguntungkan pemohon kasasi walaupun hal tersebut tidak diajukan atau dimohonkan oleh termohon kasasi.79 Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa walaupun pihak termohon kasasi dalam memori kasasinya tidak mengajukan permohonan pemeriksaan mengenai pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan para pemohon kasasi akan tetapi majellis Hakim kasasi berkewajiban untuk memeriksa 78
Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm 168. 79 R. Soepomo, Op. Cit, hlm 118.
55
dan pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan pemohon kasasi. Hal ini merupakan pemeriksaan yang berkeadilan dan berkeseimbangan dimana sesuai dengan tujuan dari adanya upaya hukum kasasi tersebut dimana adanya upaya hukum kasasi merupakan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung sebagai
peradilan
tertinggi
yang
melakukan
pembinaan
dalam
keseragaman penerapan hukum untuk menjamin terlaksananya kepastian hukum dan menjaga agar undang-undang dilaksanakan secara tepat dan adil.
B. Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi Dalam Menjatuhkan Putusan Perkara No. 1298/K/Pdt/2004. Alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi yang dipertimbangkan oleh Mahkamah agung adalah bahwa sebagai orang yang awam hukum para penggugat / pemohon kasasi tidak mungkin membuat kesepakatan bahkan berani menyerahkan jaminan sertifikat tanahnya kepada seseorang secara pribadi dimana sebelumya para pemohon kasasi mengajukan permohonan kepada para tergugat selaku penyalur pupuk, dimana hal ini disanggupi oleh tergugat 1 sebagai direksi, dimana dalam pelaksanaanya tergugat 1 secara sengaja melibatkan diri secara pribadi. Alasan permohonan kasasi tersebut diatas merupakan alasan yang dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi yang melandaskan pembatalan putusan Pengadilan Tinggi Riau, dimana Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Riau telah salah dalam menerapkan hukum, dimana putusan
56
pengadilan Tinggi Riau didasarkan kepada hasil pembuktian yang telah dilakukan maka Majelis Hakim dapat mengetahui duduk perkara dan kebenaran dari perkara tersebut sehingga Majelis Hakim dapat memberikan putusan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Dalam memberikan putusan tersebut majelis hakim dalam putusannya haruslah memuat alasan-alasan dari keluarnya putusan tersebut, dimana alasan-alasan keluarnya putusan tersebut merupakan pertangung jawaban hakim atas putusannya. Pemberian
pertimbangan
oleh
Hakim
terhadap
putusan
yang
dikeluarkannya sebagai pertangungjawaban Hakim terhadap putusannya kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tingi dan ilmu hukum, sehingga putusan yang dikeluarkan mempunyai nilai objektif dan memiliki wibawa.80 Apabila putusan yang dikeluarkan oleh Hakim tidak memiliki atau tidak mencantumkan alasan-alasan sebagai dasar mengadili atau kurang lengkap maka hal tersebut dapat menjadi alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan.81 Pertimbangan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban hakim dalam suatu putusan dapat dibagi atas : 1. Pertimbangan tentang duduk perkarannya atau peristiwannya ; dan 2. Pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan mengenai perkarannya atau peristiwannya diketahui oleh hakim melalui proses pembuktian dipersidangan sedangkan pertimbangan 80 81
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 15. Loc. Cit.
57
mengenai hukumnya merupakan pengetahuan hakim mengenai hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pengetahuan hakim mengenai hukum tertulis maupun hukum tidak ertulis merupakan kosekuensi dari ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perakara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal tersebut diatas mengisaratkan bahwa hakim merupakan orang yang paling paham dan mengetahui hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sehingga hal ini berimbas kepada tidak ada alasan untuk tidak mencantumkan alasan dalam setiap keputusan yang dikeluarkannya. Untuk mengetahui peristiwa hukumnya terhadap perkara yang diajukan kepadanya diketahui hakim melalui pemeriksaan dipersidangan yaitu dari pengajuan gugatan yang menceritakan peristiwa hukumnya dan sejarah terjadinya serta dari jawaban yang diajukan oleh tergugat, mengenai hal ini terdapat tiga kemungkinan yaitu : 1. Tergugat mengajukan peristiwa konkrit sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat yang sama dengan peristiwa konkrit yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya ; dan/atau
58
2. Peristiwa konkrit yang diajukan oleh tergugat sama sekali tidak sama dengan peristiwa konkrit dari penggugat. 3. Peristiwa konkrit yang dikemukakan tergugat ada yang tidak sama dengan peristiwa dari penggugat, tetapi ada yang sama.82 Berdasarkan proses jawab menjawab tersebut oleh Hakim dibuka kesempatan untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukan baik dalam gugatan maupun dalam jawaban dan dalam pemeriksaan yan berkesinambungan inilah Hakim dapat mengetahui peristiwa dari perkara tersebut. Setelah mengetahui peristiwanya maka hakim harus menerapkan hukum yang mengatur peristiwa tersebut. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pertimbangan yang dicantumkan dalam putusan oleh Hakim tidak diharuskan berdasarkan aturan hukum tertulis, hal ini disebabkan tidak semua aturan tertulis mengatur peristiwa konkrit yang diajukan kepada pengadilan untuk diperiksa dan diselesaikan, maka oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum yang mengatur perkara yang diajukan kepadanya tersebut. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim merupakan kegiatan yang berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian.83 Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat diatas bahwa salam setiap putusannya Hakim harus mencantumkan pertimbangan-pertimbangan dalam setiap putusannya hal ini ditentukan dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undangundang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : 82
Sudikno Mertikusumo. A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Cet-1, 1993, hlm 33-34. 83 Ibid, hlm 193.
59
”Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Kewajiban dalam memberikan pertimbangan atau alasan dalam putusan bukan saja hanya kewajiban untuk mencantumkan pertimbangan semata, pertimbangan tersebut harus pertimbangan yang cukup dan lengkap sebagaimana dalam dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Sebagai pertanggungjawabanya majelis hakim dalam memberikan putusan memberikan pertimbangan sebagaimana data yang penulis peroleh dari putusan perkara No. 1298/K/Pdt/2004 yang intinya menyatakan bahwa terhadap gugatan para pengugat, para penggugat mengajukan jawaban yang menyatakan bahwa gugatan para penggugat tidak berkualitas dan salah alamat dengan alasan bahwa gugatan didasarkan kepada akta pengkuan hutang dan perjanjian penyediaan pupuk yang disanggupi oleh para tergugat sehingga yang menjadi tergugat 1 seharusnya tergugat II, sehingga gugatan ingkar janji yang didalilkan para penggugat menurut para tergugat tidaklah tepat.84 Majelis hakim dalam pertimbanganya menyatakan bahwa bukti surat akta pengakuan hutang tersebut merupakan bukti bahwa telah ada terjadi hubungan hukum antara para penggugat dengan tergugat II dimana tergugat II bertindak 84
Putusan perkara perdata No. 11/PDT.G/2002/PN. Pbr, hlm 12.
60
sebagai diri pribadi dan bukan sebagai direktur utama Perseroan, dan alat bukti surat kuasa khusus yang diajukan oleh para penggugat juga merupakan perbuatan yang hukum yang dilakukan tergugat II yang bertindak sebagai diri pribadi.85 Berdasarkan gugatan para penggugat bahwa tergugat II digugat sebagai direksi Perseroan bukan sebagai pribadi, sehingga majelis hakim berkesimpulan bahwa gugatan para penggugat menjadi kabur, sehingga tidak dapat diterima. Berdasarkan data-data yang penulis peroleh tersebut diatas, bahwa sebagai pertanggungjawaban
majelis
hakim
terhadap
putusanya
memberikan
pertimbangan yang melatar belakangi keluarnya putusan tesebut dimana dalam pertimbangan tersebut yang pada intinya menyatakan bahwa gugatan para penggugat kabur disebabkan alat bukti yang diajukan merupakan alat bukti yang menjelaskan bahwa tegugat II melakukan perbuatan hukum dengan para penggugat bukan atas nama perseroan tetapi atas nama pribadi sehingga seharusnya para penggugat mengajukan gugatan terhadap pribadi dari tergugat II. Sebagaimana dalam hukum acara perdata pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan adalah pihak yang memiliki kepentingan, dimana pihak yang berkepentingan ini dapat dikatakan sebagai pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan. Untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hak haruslah merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya.86 Kepentingan hukum disini haruslah berhubungan dengan hak yang dituntut tersebut dimana apabila kepentingan hukum dengan tuntutan hak yang 85 86
Ibid, hlm 12. R. Soeroso, Op. Cit, hlm 26.
61
diajukan tidak memiliki hubungan maka mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima atau gugatan ditolak. Sebagaimana data yang penulis peroleh bahwa penggugat mengajukan gugatan tehadap tergugat II sebagai direksi dari perseroan sedangkan alat-alat bukti yang membuktikan adanya hubungan hukum antara para penggugat dengan tergugat II merupakan alat bukti yang membuktikan hubungan hukum yang dilakukan dengan pribadi tergugat II sehingga yang seharusnya digugat adalah pribadi dari tergugat II bukan tergugat II sebagai direksi perseroan. Sebagaimana dalam hukum pembuktian dalam hukum perkara pedata bahwa yang dicari merupakan kebenaran formil sehingga keputusan majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara perdata hanya di dasarkan kepada buktibukti formil yaitu bukti-bukti surat. Jadi keputusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru sebagaimana yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Riau secara teori telah sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dimana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan putusan berdasarkan surat Pengakuan Hutang yang ditanda tangai oleh tergugat sebagai pribadi bukan sebagai pengurus suatu perseroan. Putusan Majelis Hakim pengadilan negeri Pekanbaru yang didasarksan kepada akta pengakuan hutang yang tidak dibantah oleh kedua belah pihak sehingga akta pengakuan hutang tersebut merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna hal ini dikarenakan alat bukti akta ini tidak dibantah oleh tergugat sehingga apa yang tertuang dalam akta pengakuan utang tersebut dapat dikatakan benar adanya sehingga keputusan majelis hakim berdasarkan akta tersebut secara teorinya tidak bertentangan menurut hukum.
62
Berdasarkan petimbangan tersebut diatas maka putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri merupakan putusan yang bersifat negatif, dimana putusan yang bersifat negatif yang dapat diambil oleh Pengadilan Negeri dapat berupa : 1. Gugatan mengandung Error In Persona. Gugatan yang mengandung Error In Persona dapat disebabkan : a. Yang mengajukan gugatan berdasarkan surat kuasa tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan. b. Yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berwenang mengajukan gugatan. c. Gugatan salah sasaran (yang digugat tidak tepat orangnya). d. Pihak yang mengajukan gugatan atau ditarik sebagai tergugtat tidak lengkap. 2. Gugatan yang diajukan berada diluar Yuridiksi atau kompetensi Absolut maupun Relatief Pengadilan yang bersangkutan. 3. Gugatan mengandung cacat Obscuur Libel. Gugatan yang mengandung Obscuur Libel terdiri dari : a. Dalil atau posita gugatan tidak memiliki dasar hokum. b. Objek perkara tidak jelas. c. Petitum gugatan tidak jelas. d. Antara posita dengan petitum saling bertentangan.
63
4. Gugatan mengandung cacat Ne BIs In Idem. Merupakan gugatan yang diajukan telah pernah diperiksa dan putusannya bersifat positif yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.87 5. Gugatan mengandung Cacat Prematur. Merupakan gugatan yang diajukan mengandung cacat formil. 6. Gugatan yang diajukan daluarsa.88 Merupakan gugatan yang telah melampaui batas waktu yang telah ditentukan mengajukan gugatan Sebagaimana menurut data yang penulis peroleh bahwa atas putusan Pengadilan Negeri tersebut maka oleh para penggugat diajukan Upaya Hukum Banding, pengajuan permohonan banding yang diajukan oleh para penggugat merupakan hak dari para pihak yang berperkara. Pihak-pihak yang memiliki hak untuk mengajukan permohonan banding terhadap keluarnya suatu putusan terdiri dari : 1. Pihak-pihak yang berperkara. 2. Wakil yang sengaja dikuasakan untuk itu.89 Permohonan banding yang diajukan oleh para penggugat tersebut oleh Pengadilan
Tinggi
memberikan
putusannya
dengan
pertimbangan
yang
menyatakan bahwa pertimbangan Pengadilan Negeri tersebut diambil alih dan 87
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 92 Ibid, hlm 91-92. 89 Ibid, hlm 61. 88
64
dijadikan pertimbangan sendiri oleh Pengadilan Tinggi dengan memberikan putusan menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Pengadilan tingkat banding dalam menjatuhkan putusan dapat berupa : 1. Menyatakan banding tidak dapat diterima. 2. Menguat putusan Pengadilan Negeri, dengan cara : a. Menguatkan
putusan
secara
murni,
dengan
mengambil
pertimbangan dan diktum Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan dan diktum sendiri. b. Menguatkan
putusan
Pengadilan
Negeri
dengan
tambahan
pertimbangan. 3. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan mengadili sendiri. Berdasarkan jenis-jenis putusan yang dapat dijatuhkan atau dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan perkara pada tingkat banding maka berdasarkan data yang diperoleh, dpat dikatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Riau terhadap permohonan banding yang diajukan oleh permohon banding / penggugat merupakan putusan menguatkan putusan Pengadilan Negeri secara murni. Oleh para penggugat atas putusan pengadilan tinggi tersebut diajukan upaya hukum Kasasi dimana dalam upaya hukum kasasi tersebut sebagaimana data yang penulis peroleh bahwa atas gugatan penggugat Mahkamah agung memberikan pertimbangan bahwa berdasarkan jalan terjadinya hubungan hukum antara para penggugat dengan tergugat II didahului dengan permonan yang 65
diajukan oleh para penggugat kepada terugat I sebagai badan hukum perseroan, dan perjanjian ditandatangani oleh tergugat II sebagai pengurus dari tergugat I. Berdasarakan hal tersebut maka mahkamah agung berpendapat bahwa tidaklah mungkin tergugat I dan tergugat II bertindak secara sendiri-sendiri dimana terugat II adalah wakil dari tergugat I yang merupakan badan hukum, sehingga gugatan penggugat tidaklah salah alamat atau kabur. Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum yang telah disediakan oleh pembuat undang-undang dimana upaya hukum kasasi dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dimana upaya hukum kasasi tersebut ditujukan sebagai koreksi atas putusan-putusan pengadilan yang lebih rendah yang merupakan pelaksanaan dari fungsi pengawasan dari Mahkamah Agung terhadap pengadilapengadilan dibawahnya. Dalam pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung berwenang memeriksa halhal sebagai berikut : a. Tidak berwenang atau melampaui wewenangnya. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.90 Pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dapat dikatakan sebagai pemeriksaan mengenai pelaksanaan hukum acara yang berlaku, dimana 90
Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahmakah Agung.
66
sebagaimana data yang penulis peroleh bahwa mahkamah agung dalam putusan pemeriksaan kasasi dalam perkara No. 1298/K/Pdt/2004 menyatakan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum, dimana hal ini merupakan kewenangan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan pada Bab III tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan-alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi dalam menyatakan keberatannya atas putusan Pengadilan Tinggi Riau didasarkan kepada ketentuan Pasal 30 ayat (1) point b Undang-Undang Mahkamah Agung dimana alasan yang diajukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau yang mengambil Pertimbangan Pengadilan Negeri Pekanbaru sebagai pertimbangan sendiri telah salah menerapkan hukum. Sedangkan alasan yang lain mengenai penilaian alat bukti bukanlah kewenangan dari Majelis Hakim dalam pemeriksaan tingkat kasasi. 2. Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi memberikan pertimbangan mengenai sejarah terjadinya hubungan hukum antara para penggugat dengan para tergugat, dimana menurut Mahkamah Agung bahwa hubungan hukum tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya latar belakang yang
67
menyebabkan hubungan hukum itu terjadi sehingga hubungan hukum yang telah terjadi tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang terjadinya hubungan hukum tersebut.
B. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesumpulan diatas maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Sebaiknya Pengadilan Tinggi tidak hanya mengambil begitu saja pertimbangan Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan sendiri akan tetapi
juga
memberikan
pertimbangan
yang
seksama
sehingga
pembatalan atas putusan Pengadilan Tinggi oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi tidak sering terjadi dimana hal ini juga menyangkut kewibawaan dari lembaga peradilan khususnya lembaga peradilan tingkat bawahan. 2. Sebaiknya pertimbangan dari Mahkamah Agung tentang proses dan latar belakang terjadinya hubungan hukum dapat dijadikan preseden tetap yang menjadi acuan kepada hakim-hakim lain yang berhadapan dengan perkara atau kasus yang serupa sehingga kepastian hukum dapat terjaga dan dapat meningkatkan wibawa hukum itu sendiri.
68
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, 1985. Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali Pers, 1992. Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata Cetakan Ke3 Revisi, Citra Aditya Bakti, 2002. Dadan Muttaqien, Dasar-DasarHukum Acara Perdata, Insania Citra Press, Yogyakarta, 2006 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikata dan Hukum Jaminan, Liberty, 1984. K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata (RBG/HIR), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara., Pradnya Paramita, Cet-1, 1997 69
Mocthar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, 2000. Retnowulan Sutantio. Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, 1997. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abadi, 1999. R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata (Tata Cara Dan Proses Persidangan), Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty, 2002. Sunarjati Hartono, MentjariBentuk dan Sistem Hukum Perdjandjian Nasional Kita, Alumni, Bandung, 1969 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, 1996. Soejono Soekanto., Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatf Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada., Jakarta., 1995. S. Marbun, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, UIR Press, Pekanbaru, 1992. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Cet ke-7, 1985. _______,Aneka Perjanjian, Cet-10, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. _______,dan
Tjitrosudibjo,
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. _______, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2004. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisi Kasus, Kencana, 2005. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Cet-16, 2004 Wirjono Prodjodikoro, Azas–Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000. B. Peraturan Perundang-undangan. RBG (Regelement Buitengewesten) Hukum acara perdata untuk luar Jawa dan
70
Madura. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. Undang-Undang No. 5 ahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
C. Kamus J.C.T Smiorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Praseryo. Aksara Baru. Jakarta. 1987. Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kotemporer, Moderen English Press, Jakarta, 1991. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, 1992. Salim HS, Teori Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
71