AKU MATI DIBUNUH! Gilbert Keith Chesterton
2015
Aku Mati Dibunuh! Diterjemahkan dari The Wrong Shape karangan Gilbert Keith Chesterton terbit tahun 1911 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
B
EBERAPA
jalan besar yang menuju utara London ber-
sambung jauh sampai pedesaan, menjadi semacam momok
yang menipis dan terpotong, dengan lowong-lowong lebar pada strukturnya, tapi tetap terjaga jalurnya. Di sini ada sekelompok toko, disusul ladang atau lapangan kuda berpagar, terus bar ternama, terus taman pasar atau kebun bibit, terus rumah privat besar, terus ladang lain dan losmen lain, dan seterusnya. Jika seseorang menyusuri salah satu jalan ini, dia akan melewati sebuah rumah yang mungkin menarik perhatiannya, tapi tak mampu menjelaskan daya tariknya. Sebuah rumah rendah panjang, sejajar dengan jalan, sebagian besar dicat putih dan hijau pucat, ada beranda dan keré anti matahari, dan serambi-serambi berbalut kupel aneh mirip payung kayu yang biasa dijumpai pada rumahrumah kuno. Nyatanya, ini memang rumah kuno, sangat Inggris dan sangat suburban dalam pengertian Clapham makmur dahulu. Tapi rumah ini terkesan seperti dibangun khusus untuk cuaca panas. Memandang cat putih dan kerénya, samar-samar orang akan mengiranya sorban India dan bahkan pohon palem. Aku tak mampu mengusut akar perasaan ini; barangkali tempat tersebut dibangun oleh seorang Anglo-India. Siapapun yang melewati rumah ini, kutegaskan, akan terpesona olehnya, akan merasa tempat ini punya cerita. Dan dia memang benar, sebagaimana akan kau simak sebentar lagi. Begini ceritanya—cerita tentang hal aneh yang betul-betul terjadi di dalamnya pada Minggu Putih tahun 18....: Siapapun yang melewati rumah ini di hari Kamis sebelum 5
Minggu Putih pada sekitar jam setengah lima sore, dia akan melihat pintu depannya terbuka, dan Romo Brown, dari gereja kecil St. Mungo, keluar sambil mengisap pipa besar diiringi teman Prancisnya yang sangat jangkung bernama Flambeau, yang mengisap cerutu sangat kecil. Orang-orang ini mungkin, mungkin pula tidak, akan menarik perhatian pembaca. Tapi sebetulnya bukan hanya mereka yang menarik perhatian ketika pintu depan rumah putih-hijau itu dibuka. Masih ada keanehan lain dari rumah ini, yang harus dilukiskan terlebih dahulu agar pembaca mengerti kisah tragis ini, juga agar pembaca tahu apa yang tersingkap dengan dibukanya pintu tersebut. Keseluruhan rumah dibangun berdasarkan denah berbentuk T, tapi T dengan lintang amat panjang dan ekor amat pendek. Lintang panjang adalah bagian depan yang membentang di muka jalan, dengan pintu depan di tengah-tengahnya; tinggi dua lantai, dan menampung hampir semua ruangan penting. Ekor pendek, yang membentang ke belakang di seberang pintu depan, setinggi satu lantai, dan terdiri dari dua ruangan panjang saja, yang satu mengarah ke yang lain. Ruang pertama dari dua ruangan ini adalah kamar kerja di mana Tn. Quinton yang masyhur menulis syair dan roman liar Orientalnya. Ruang yang lebih jauh adalah ruang kaca yang dipenuhi bunga-bunga tropis unik nan indah, dan di sore seperti ini berkilaukan cahaya mentari. Makanya ketika pintu depan terbuka, banyak pejalan kaki berhenti untuk terbelalak dan megap-megap, karena menyaksikan pemandangan ruang-ruang semarak, bagaikan adegan peralihan dalam sandiwara peri: awan6
awan ungu, mentari-mentari emas, bintang-bintang merah tua yang terang menghanguskan tapi juga transparan dan jauh. Penyair Leonard Quinton sendiri yang mengatur efek ini dengan teliti, dan belum dipastikan apakah dia mengekspresikan kepribadiannya secara sempurna dalam syair-syairnya. Dia orang yang minum dan mandi dalam warna-warni, yang memperturutkan nafsunya akan warna tanpa mempedulikan bentuk—sekalipun bentuknya bagus. Inilah yang telah memalingkan bakatnya kepada seni dan citraan timur, kepada karpet membingungkan atau sulaman membutakan di mana semua warna tampak jatuh ke dalam
kekacaubalauan
mujur,
tanpa
perlambangan
atau
pengajaran. Dia sudah berupaya, mungkin bukan dengan kesuksesan artistik utuh, tapi dengan imajinasi dan rekaan yang diakui, untuk menggubah epik dan kisah cinta yang mencerminkan huru-hara warna kasar bahkan kejam; hikayat surga tropis emas membara atau tembaga merah darah; pahlawan timur yang menunggangi gajah bercat ungu atau hijau merak dengan topi mitre bersorban dua belas; perhiasan raksasa yang tak sanggup digotong oleh seratus orang negro, tapi dibakar dengan api kuno bercorak aneh. Singkatnya (dari sudut pandang yang lebih umum), dia banyak mengurusi surga timur, yang lebih buruk daripada neraka barat; raja-raja timur, yang barangkali boleh kita sebut maniak; dan perhiasan timur yang barangkali tidak dianggap asli oleh pedagang perhiasan di Bond Street (kalau ratusan negro sempoyongan masuk ke tokonya). Quinton seorang jenius, jenius tak waras; bahkan 7
ketidakwarasannya lebih tampak dalam kehidupannya daripada karyanya. Temperamennya lemah dan lekas marah, kesehatannya memburuk gara-gara eksperimen opium ketimuran. Isterinya— cantik, pekerja keras, bahkan terlalu banyak bekerja—keberatan dengan opium, tapi lebih keberatan dengan petapa India berjubah putih kuning, yang dijamu oleh suaminya selama berbulan-bulan, seorang Virgil yang membimbing rohnya menjelajahi surga dan neraka timur. Dari rumah artistik inilah Romo Brown dan temannya melangkah ke tangga pintu. Dilihat dari raut wajah mereka, sepertinya mereka keluar dengan lega. Flambeau telah mengenal Quinton di masa-masa liar kuliah di Paris, dan mereka memperbarui perkenalan mereka selama akhir pekan ini. Tapi terlepas dari perkembangan Flambeau yang lebih bertanggungjawab belakangan ini, sekarang dia tidak harmonis dengan sang penyair. Menurut pemikirannya, mencekoki diri dengan opium dan menulis sajak-sajak sedikit erotis pada kertas vellum bukanlah perilaku yang pantas. Sementara keduanya berhenti di tangga pintu, sebelum berbelok di taman, terbukalah gerbang taman depan dengan keras. Seorang anak muda bertopi billycock tergopoh-gopoh menaiki tangga. Dia pemuda berparas risau dengan dasi merah indah yang miring, seolah-olah baru tidur tanpa melepasnya, dan dia terusterusan gelisah dan mengibas-ngibaskan tongkat kecil bersendi. “Aku,” katanya terengah-engah, “aku ingin bertemu Pak Quinton. Aku harus menemuinya. Apa dia sudah pergi?” 8
“Tn. Quinton ada di dalam,” kata Romo Brown, meniupkan pipanya, “tapi entahlah apa kau boleh menemuinya. Dokter sedang bersamanya.” Si pemuda, yang tampak tidak waras betul, terhuyung-huyung masuk ke ruang depan, dan pada saat yang sama dokter keluar dari kamar kerja Quinton, menutup pintu lalu mengenakan sarung tangan. “Mau bertemu Tn. Quinton?” tanya dokter dengan tenang. “Tidak, kurasa tidak bisa. Bahkan tidak boleh, dengan alasan apapun. Tak ada yang boleh menemuinya, aku baru memberinya obat tidur.” “Tidak, dengar dulu, pak,” kata pemuda berdasi merah, berusaha meraih kelepak jas dokter dengan hangat. “Dengar dulu. Aku segera selesai. Aku—” “Percuma, Tn. Atkinson,” kata dokter, mendorongnya, “kalau kau bisa mengubah efek obatnya, aku akan ubah keputusanku.” Membetulkan topi, dia melangkah keluar bersama kedua orang tadi. Orangnya berperangai baik, badannya mungil, leher besar, kumis kecil, sangat biasa-biasa saja, tapi terkesan cakap. Pemuda bertopi billycock, yang tidak dikaruniai kebijaksanaan dalam menghadapi orang-orang selain mencengkeram mantel mereka, berdiri di luar pintu, linglung, seolah terdepak dari raganya, dan mengamati ketiga orang itu pergi melintasi taman. “Aku cuma berbohong barusan,” ujar sang petugas medis, tertawa. “Bahkan, Quinton malang itu tidak minum obat tidur selama hampir setengah jam. Tapi aku tak ingin dia terusik oleh 9
makhluk kecil itu, yang maunya pinjam uang tanpa pernah membayar. Dasar anak berandal dekil, padahal dia adiknya Ny. Quinton, wanita terbaik yang pernah ada.” “Ya,” timpal Romo Brown. “Wanita yang baik.” “Aku akan keliling taman sampai makhluk itu pergi,” sambung dokter, “nanti aku akan membawakan obat untuk Quinton. Atkinson tak bisa masuk, karena pintunya dikunci.” “Kalau begitu, Dr. Harris,” kata Flambeau, “kita bisa berjalan memutar ke belakang sampai ujung ruang kaca. Tak ada pintu masuk ke sana, tapi patut dilihat, meskipun dari luar.” “Ya, dan aku bisa mengintip pasienku,” tawa dokter, “dia lebih suka berbaring di atas sofa ottoman di ujung ruang kaca, di antara tumbuhan poinsettia merah darah. Itu membuatku merinding. Tapi apa yang akan kalian lakukan?” Romo Brown berhenti sekejap. Tersembunyi di balik rumput yang panjang, dipungutnya sebilah pisau Oriental bengkok dan aneh, bertatahkan batu-batu berwarna dan logam-logam. “Apa ini?” tanya Romo Brown, memperhatikannya dengan rasa tidak suka. “Oh, milik Quinton, kukira,” kata Dr. Harris acuh tak acuh, “dia punya segala macam perhiasan kecil China di tempat ini. Atau mungkin milik si Hindu lembut yang dikendalikannya.” “Hindu apa?” tanya Romo Brown, masih memelototi belati di tangannya. “Oh, penyihir India,” jawab dokter enteng, “seorang penipu, tentu saja.” 10
“Kau tak percaya sihir?” tanya Romo Brown, tanpa mendongak. “Wah! Sihir!” seru dokter. “Ini cantik sekali,” kata pastor dengan suara rendah melantur, “warna-warnanya cantik sekali. Tapi salah bentuk.” “Apa alasannya?” tanya Flambeau, terbelalak. “Semuanya. Ini salah bentuk secara abstrak. Kau belum pernah merasakannya pada seni Timur? Warna-warnanya elok memabukkan, tapi bentuknya jelek—betul-betul jelek. Aku sering melihat hal-hal jelek pada karpet Turki.” “Astaga!” pekik Flambeau, tertawa. “Huruf dan simbol dalam bahasa yang tak kukenal, tapi aku tahu kata-katanya jahat,” sambung pastor, suaranya semakin rendah. “Garis-garisnya menyimpang dengan sengaja—seperti ular yang bergulung untuk kabur.” “Apa yang sedang kau bicarakan?” tanya dokter tertawa keras. Flambeau menjawab pelan. “Romo terkadang digelayuti awan mistik ini,” katanya, “tapi kuperingatkan, ini selalu terjadi setiap menjelang adanya kejahatan. “Ah, omong-kosong!” kata sang ilmuwan. “Ah, lihat ini,” seru Romo Brown, mengulurkan pisau bengkok, seperti ular bercahaya. “Kau tidak lihat bentuknya salah? Kau tidak lihat kegunaannya tidak baik dan tidak biasa? Ini tidak menunjuk seperti tombak. Tidak mengayun seperti sabit. Ini mirip alat penyiksaan.” “Well, meski kau tak menyukainya,” kata Harris yang riang, 11
“sebaiknya dikembalikan kepada pemiliknya. Bukankah kita sudah sampai di ujung ruang kaca sialan ini? Rumah ini memang salah bentuk, kalau kau suka.” “Kau tak mengerti,” kata Romo Brown, menggeleng. “Bentuk rumah ini aneh—bahkan menggelikan. Tapi tak ada yang salah dengannya.” Sambil mengobrol mereka berbelok di tikungan kaca yang mengakhiri ruang kaca, tikungan tak terputus, lantaran tak ada pintu ataupun jendela masuk di ujung tersebut. Namun kacanya jernih, dan mentari masih terang, meski mulai tenggelam. Mereka bukan cuma dapat melihat bunga-bunga semarak di sebelah dalam, tapi juga sosok lemah penyair bermantel beludru cokelat sedang berbaring lesu di atas sofa, rupanya setengah tertidur seraya membaca buku. Dia pucat, lampai, dengan rambut kastanye terurai, dan serumbai janggut yang paradoks dengan wajahnya: janggut tersebut justru membuatnya terlihat kurang jantan. Ciri-ciri ini dikenal betul oleh mereka bertiga. Tapi kalaupun tidak, entahlah apa mereka akan memperhatikan Quinton saat itu. Mata mereka tertumpu pada objek lain. Persis di jalur mereka, di luar ujung bundar bangunan kaca, berdiri seorang pria jangkung yang kainnya terjuntai sampai kaki dalam warna putih sempurna. Wajahnya, yang terbuka dan bertengkorak cokelat, dan lehernya berseri-seri dengan cahaya mentari terbenam, bagaikan perunggu agung. Dia sedang memandang ke dalam kaca, mengamati sosok yang tidur itu, dan dia lebih kokoh tak bergeming daripada gunung. 12
“Siapa itu?” teriak Romo Brown, mundur dengan hirupan nafas mendesis. “Oh, itu si Hindu penipu,” geram Harris, “tapi entah apa yang dia lakukan di sini.” “Seperti hipnotisme,” kata Flambeau, menggigit kumis hitamnya. “Kenapa kalian orang-orang non-medis selalu membicarakan omong-kosong hipnotisme?” pekik dokter. “Itu lebih mirip pencurian.” “Well, kita akan menegurnya, biar bagaimanapun,” kata Flambeau, yang selalu siap beraksi. Satu langkah panjang membawanya ke tempat di mana si India berdiri. Membungkuk dari tubuhnya yang tinggi, yang bahkan lebih tinggi dari si Oriental, dia berkata kasar tapi tenang: “Selamat sore, tuan. Anda perlu sesuatu?” Perlahan-lahan, seperti kapal besar yang berbelok ke dalam pelabuhan, wajah kuning besar itu berpaling, dan akhirnya menoleh di atas pundak putihnya. Mereka terperanjat menyaksikan kelopak kuningnya tertutup, seperti sedang tidur. “Terima kasih,” kata wajah itu dalam bahasa Inggris sempurna. “Tak ada yang kuperlukan.” Lalu, setengah membuka kelopaknya, hingga menampakkan celah bola mata oval, dia mengulang, “Tak ada yang kuperlukan.” Lalu, membuka matanya lebar-lebar dengan tatapan mengagetkan, dia berkata, “Tak ada yang kuperlukan,” kemudian pergi berdesir menuju taman yang kian gelap. “Orang Kristen lebih bersahaja,” Romo Brown berkomat13
kamit. “Dia perlu sesuatu.” “Apa yang sedang dia lakukan?” tanya Flambeau, alis hitamnya mengerut, suaranya pelan. “Aku ingin bicara denganmu nanti,” kata Romo Brown. Cahaya mentari masih ada, tapi warnanya merah senja, sementara pohon-pohon taman dan semak-belukar semakin gelap. Mereka berbelok di ujung ruang kaca, dan berjalan sunyi ke sisi lain untuk berputar ke pintu depan. Perjalanan mereka seperti membangunkan sesuatu di pojok antara kamar kerja dan bangunan utama, layaknya burung yang terkejut; dan lagi-lagi mereka melihat si fakir berjubah putih meluncur dari balik bayang-bayang, menyelinap ke arah pintu depan. Namun, yang mengagetkan, dia tidak sendirian. Mereka terhenti dan terpaksa membuang kebingungan mereka dengan munculnya Ny. Quinton, berambut tebal keemasan dan muka persegi pucat, yang menghampiri mereka dari arah cahaya senja. Dia tampak sedikit tegang, tapi sopan. “Selamat malam, Dr Harris,” katanya. “Selamat malam, Ny. Quinton,” balas dokter mungil tulus. “Aku mau memberikan obat tidur untuk suamimu.” “Ya,” katanya dengan suara jernih. “Kupikir sudah waktunya.” Dia tersenyum pada mereka lalu beranjak ke dalam rumah. “Wanita tadi kelelahan,” kata Romo Brown, “jenis wanita yang melakukan tugasnya selama dua puluh tahun, lalu berbuat sesuatu yang mengerikan.” Dokter mungil menatapnya untuk pertama kali dengan mata 14
penuh minat. “Apa kau pernah belajar pengobatan?” tanyanya. “Kau harus paham pikiran dan juga raga,” jawab pastor, “kami harus paham raga dan juga pikiran.” “Well,” kata dokter, “sepertinya aku harus pergi memberikan obat untuk Quinton.” Mereka sudah berbelok di sudut muka depan, dan sedang mendekati pintu depan. Dalam pada itu mereka melihat lelaki berjubah putih untuk ketiga kalinya. Dia datang lurus menuju pintu depan seolah-olah baru keluar dari kamar kerja di seberangnya. Tapi mereka tahu kamar kerja itu terkunci. Namun Romo Brown dan Flambeau menyimpan sendiri kontradiksi aneh ini, sementara Dr. Harris bukan tipe orang yang suka menyia-nyiakan pikirannya untuk sesuatu yang mustahil. Dia mempersilakan si Asia yang ada di mana-mana itu keluar, kemudian dia melangkah cepat ke ruang depan. Dia sana dia menjumpai sosok yang sudah dilupakannya. Si tolol Atkinson masih berkeliaran, bersenandung dan menyodok-nyodok apa saja dengan tongkat bulatnya. Dokter menampakkan raut jijik dan tegas, lalu berbisik singkat kepada rekannya: “Aku harus mengunci pintunya lagi, atau tikus ini akan masuk. Tapi aku akan keluar lagi dalam dua menit.” Buru-buru dia membuka kunci pintu dan menguncinya kembali, menolak keras tuntutan si pemuda bertopi billycock. Pemuda tersebut merosot tak sabar ke kursi ruang depan. Flambeau mengamati hiasan cahaya dari Persia di dinding; Romo Brown, yang tampak linglung, tak jemu-jemu memelototi pintu. Sekitar 15
empat menit kemudian pintu terbuka lagi. Atkinson lebih cepat kali ini. Dia melompat maju, menahan pintu sesaat, dan berteriak: “Quinton, aku ingin—” Dari ujung lain kamar kerja datanglah suara jernih Quinton, antara menguap dan tertawa letih. “Oh, aku tahu apa yang kau inginkan. Ambil ini, terus tinggalkan aku dalam damai. Aku sedang menulis lagu tentang merak.” Sebelum pintu tertutup, koin setengah sovereign terbang melewati celahnya. Atkinson, maju terhuyung-huyung, menangkapnya dengan tangkas. “Jadi urusanmu beres,” kata dokter, mengunci pintu dengan kejam, lalu keluar menuju taman. “Leonard malang itu bisa sedikit tenang sekarang,” tambahnya kepada Romo Brown. “Ya,” timpal pastor, “dan suaranya terdengar cukup riang saat kita meninggalkannya.” Dia melihat-lihat taman dengan serius, dan menyaksikan
sosok
goyah
Atkinson
sedang
berdiri
dan
menggerincingkan koin setengah sovereign di dalam sakunya, dan lebih jauh lagi, dalam cahaya senja ungu, sosok India sedang duduk tegak di atas seonggok rumput dengan wajah menghadap mentari terbenam. Tiba-tiba Romo berkata: “Di mana Ny Quinton!” “Dia sudah naik ke kamarnya,” kata dokter. “Itu bayangannya di balik keré.” Romo Brown mendongak, dan mengerutkan dahi, mencermati 16
garis gelap di jendela yang diterangi gas. “Ya,” katanya, “itu bayangannya,” berjalan satu atau dua yard kemudian duduk di kursi taman. Flambeau duduk di sampingnya, tapi dokter tergolong orang energik yang hidup alami dengan kakinya. Dia berjalan terus, merokok, menuju cahaya senja, meninggalkan dua temannya. “Romo,” kata Flambeau dalam bahasa Prancis, “ada apa denganmu?” Romo Brown bungkam dan sesaat tak bergerak, lalu berkata: “Takhayul bertentangan dengan agama, tapi ada sesuatu pada hawa tempat ini. Kurasa karena si India itu—paling tidak setengahnya.” Dia membisu, dan mengamati garis bentuk orang India tersebut di kejauhan, yang masih duduk kaku seperti sedang bersembahyang. Sekilas orang itu tampak tak bergerak, tapi setelah diperhatikan, dia melihatnya sedikit bergoyang-goyang dengan gerakan ritmis, seperti puncak-puncak pohon gelap yang digoyangkan oleh hembusan angin pelan di lintasan taman gelap tersebut dan mengocok dedaunan gugur. Pemandangan semakin gelap, seolah-olah akan ada badai, tapi mereka masih bisa melihat semua sosok di tempat masing-masing. Atkinson sedang bersandar pada sebuah pohon dengan raut lesu; isteri Quinton masih di jendelanya; dokter sudah pergi mengitari ujung ruang kaca; mereka bisa melihat cerutunya mirip lelatu; dan si fakir masih duduk kaku tapi berayun, sementara pepohonan di atasnya mulai berayun dan hampir bergemuruh. Bisa dipastikan akan ada badai. 17
“Saat India itu bicara pada kita tadi,” lanjut Brown pelanpelan, “aku mendapat semacam penglihatan, penglihatan tentang dia dan alam semestanya. Dia mengatakan hal yang sama tiga kali. Saat pertama kali bilang ‘Tak ada yang kuperlukan’, itu berarti dia tak dapat ditembus, si Asia itu tidak membuka diri. Lalu dia bilang lagi ‘Tak ada yang kuperlukan’, aku pun tahu maksudnya, dia cukup dengan dirinya sendiri, seperti kosmos, tidak butuh Tuhan, tidak pula mengakui dosa. Dan ketika dia bilang ‘Tak ada yang kuperlukan’ untuk ketiga kalinya, matanya menyala. Dan aku tahu dia serius dengan perkataannya; bahwa tak ada yang menjadi hasrat dan rumahnya; bahwa dia jenuh karena tak ada tujuan sebagaimana karena anggur; bahwa pembinasaan, pemusnahan segalanya atau sesuatu—” Dua tetes hujan jatuh, dan untuk suatu alasan Flambeau terperanjat mendongak, seperti tersengat. Pada saat yang sama, dokter di ujung ruang kaca mulai berlari ke arah mereka, meneriakkan sesuatu. Sewaktu dia menyerbu mereka seperti bom artileri, si gelisah Atkinson kebetulan sedang berbelok dekat muka rumah. Dokter mencengkeram kerahnya dengan tegang. “Keji!” pekiknya, “apa yang sudah kau lakukan padanya, anjing?” Pastor sontak berdiri, dan memerintah dengan suara baja ala tentara. “Jangan berkelahi,” teriaknya tenang, “Tahan saja orangnya. Ada masalah apa, dokter?” “Ada yang tak beres dengan Quinton,” jawab dokter, agak 18
pucat. “Aku melihatnya lewat kaca, dan aku tak suka caranya berbaring. Tidak seperti saat aku meninggalkannya.” “Ayo kita masuk,” kata Romo Brown singkat. “Kau bisa tinggalkan Tn. Atkinson. Aku sudah mengamatinya sejak kami mendengar suara Quinton.” “Aku tetap di sini dan mengawasinya,” kata Flambeau buruburu. “Kalian masuklah.” Dokter dan pastor melesat ke pintu kamar kerja, membuka kuncinya, dan menghambur masuk. Mereka nyaris menabrak meja mahoni besar di tengah-tengah di mana sang penyair biasa menulis, karena tempat tersebut hanya diterangi api kecil untuk penderita cacat ini. Di tengah meja terdapat selembar kertas, sengaja dibiarkan di situ. Dokter merenggutnya, membacanya sekilas, menyerahkannya kepada Romo Brown. Sambil berteriak, “Astaga, lihat itu!”, tiba-tiba dia bergerak ke arah ruang kaca, di mana bunga-bunga tropis masih menyimpan kenangan merah tua mentari terbenam. Romo Brown membaca kata-kata di atas kertas tiga kali sebelum menurunkannya. Isinya begini: “Aku mati dengan tanganku sendiri; tapi aku mati dibunuh!” Itu memang tulisan tangan Leonard Quinton yang sulit ditiru, dan sulit dibaca. Masih memegang kertas, Romo Brown kemudian berjalan ke arah ruang kaca, dan mendapati teman medisnya kembali dengan raut yakin dan sayu. “Dia melakukannya,” kata Harris. Bersama-sama mereka melewati kaktus dan azalea cantik dan menemukan Leonard Quinton, penyair dan peroman, dengan 19
kepala tergelantung dari sofa ottoman dan keriting merahnya menyapu lantai. Pinggang kirinya tertusuk belati aneh yang tadi mereka pungut di taman, dan tangan lemasnya masih memegang gagang belati. Di luar, badai datang dengan cepat, seperti malam di Coleridge. Taman dan atap kaca digelapkan oleh hujan yang mendesak. Romo Brown lebih serius mempelajari kertas tadi daripada mayat itu sendiri; dia mendekatkannya ke mata, berusaha membacanya dalam cahaya senja. Lalu dia mengangkatnya dengan latar cahaya redup, dan pada saat itulah kilat membelalak sesaat, sangat putih, menjadikan kertasnya tampak hitam. Kegelapan disertai guntur menyelimuti. Setelah guntur reda Romo Brown berkata dalam gelap: “Dokter, kertas ini salah bentuk.” “Apa maksudmu?” tanya Dokter Harris, mengernyit. “Ini tidak persegi,” jawab Brown. “Pinggirnya tergunting di sudut. Apa artinya?” “Mana kutahu?” geram dokter. “Apa kita harus memindahkan pria malang ini, menurutmu? Dia sudah mati.” “Tidak,” jawab pastor, “biarkan tetap di tempatnya, kita panggil polisi.” Tapi dia masih menelaah kertasnya. Sewaktu mereka kembali ke kamar kerja, dia berhenti dekat meja dan memungut gunting kuku kecil. “Ah,” serunya, sedikit lega, “dengan ini dia melakukannya. Tapi tetap—” Dia mengerutkan dahi. “Oh, berhentilah bermain-main dengan kertas itu,” kata dokter 20
tegas. “Itu cuma isengnya. Dia punya ratusan. Dia memotong semua kertasnya seperti itu,” sambil menunjuk setumpuk kertas khotbah belum terpakai di atas meja yang lebih kecil. Romo Brown menghampirinya dan mengangkat selembar. Bentuknya sama-sama tak biasa. “Jadi begitu,” katanya. “Di sini pun sudut-sudutnya tergunting.” Dia mulai menghitungnya, sampai rekannya dongkol. “Baiklah,” katanya, dengan senyum meminta maaf. “Dua puluh tiga lembar dipotong, dan dua puluh dua sudut hasil potongan. Dan karena kulihat kau sudah tak sabar, kita akan bergabung dengan yang lain.” “Siapa yang akan memberitahu isterinya?” tanya Dr. Harris. “Kau mau memberitahunya sekarang, sementara aku mengirim pembantu untuk memanggil polisi?” “Terserah,” Romo Brown acuh tak acuh. Dia keluar menuju pintu depan. Di sini dia juga menjumpai sebuah drama, tapi lebih fantastis. Teman besarnya, Flambeau, memperlihatkan sikap tak biasa yang sudah lama tak disaksikannya. Sementara itu, di atas lintasan, di dasar tangga, si ramah Atkinson sedang terlentang dengan sepatu di udara, topi billycock dan tongkat jalan dilempar ke arah berlawanan. Atkinson rupanya bosan dikekang oleh Flambeau yang nyaris kebapakan, dan berusaha merobohkannya, sebuah laga yang sama sekali tidak mudah untuk dimainkan dengan Roi des Apaches, bahkan setelah penurunan tahta sang raja. Flambeau hendak menerjang musuhnya dan mengamankannya 21
sekali lagi ketika pastor menepuk enteng pundaknya. “Sudahi, kawan,” katanya. “Minta maaflah dan ucapkan ‘Selamat malam’. Kita tak perlu menahannya lebih lama lagi.” Lalu, sementara Atkinson bangkit ragu-ragu dan mengumpulkan topi dan tongkatnya dan pergi ke gerbang taman, Romo Brown berkata dengan suara lebih serius: “Mana si India?” Mereka bertiga (dokter sudah bergabung) berbalik ke arah onggokan rumput suram di tengah pepohonan terombang-ambing yang keunguan oleh cahaya senja, di mana lelaki cokelat itu terakhir kali terlihat sedang bergoyang-goyang dalam sembahyang aneh. Si India sudah tak ada. “Terkutuk dia,” pekik dokter, menghentak-hentakkan kakinya dengan geram. “Sekarang aku tahu, orang negro itu pelakunya.” “Kupikir kau tidak percaya sihir,” kata Romo Brown pelan. “Tidak lagi,” kata dokter, matanya berguling-guling. “Aku cuma benci iblis kuning itu saat kubayangkan dia penyihir gadungan. Dan akan lebih benci lagi kalau sampai membayangkan dia penyihir betulan.” “Well, pelariannya tidak berarti apa-apa,” kata Flambeau. “Kita belum membuktikan apapun dan belum melakukan apapun terhadapnya. Kita tak mungkin melapor ke polisi jemaat dengan cerita bunuh diri yang dipaksakan lewat ilmu sihir atau sugesti diri.” Sementara itu Romo Brown sudah masuk ke dalam rumah, dan menyampaikan kabar kepada isteri mendiang. Ketika keluar lagi dia sedikit pucat dan tragis, tapi apa yang 22
keluar dari mulut mereka dalam obrolan tersebut tidak pernah ketahuan, bahkan setelah semuanya diketahui. Flambeau, yang berbincang pelan dengan dokter, kaget melihat temannya kembali secepat itu ke sampingnya, tapi Brown tak memperhatikan. Dia hanya menarik dokter agak menjauh. “Kau sudah panggil polisi, bukan?” tanyanya. “Ya,” jawab Harris. “Harusnya mereka sampai sepuluh menit lagi.” “Mau melakukan sesuatu untukku?” tanya pastor pelan. “Sebetulnya, aku suka mengumpulkan cerita-cerita aneh seperti ini, seringkali mengandung unsur-unsur yang hampir tak bisa dimasukkan ke dalam laporan polisi, seperti kasus kawan Hindu kita ini. Nah, aku mau kau menulis laporan kasus ini untuk kepentingan pribadiku. Kau punya keterampilan,” katanya, memandang wajah dokter dengan serius dan mantap. “Terkadang aku berpikir kau tahu beberapa detil perkara ini yang kau anggap belum pantas disebutkan. Aku punya keterampilan rahasia seperti halnya dirimu, dan akan kuperlakukan tulisanmu dengan sangat rahasia. Tapi tulislah selengkap-lengkapnya.” Dokter, yang mendengarkan dengan kepala sedikit miring, mengamati wajah pastor sejenak, dan berkata, “Baiklah,” lalu pergi ke kamar kerja, menutup pintu. “Flambeau,” kata Romo Brown, “ada kursi panjang di bawah beranda sana, kita bisa berlindung dari hujan. Kau satu-satunya temanku di dunia ini, dan aku ingin bicara denganmu. Atau barangkali membisu denganmu.” 23
Mereka duduk nyaman di kursi beranda. Romo Brown, berlawanan dengan kebiasaannya, menerima cerutu berkualitas dan mengisapnya dalam diam, sementara hujan menjerit-jerit dan mengkertak-kertuk di atas atap beranda. “Teman,” akhirnya dia angkat bicara, “ini kasus yang aneh sekali. Aneh sekali.” “Kupikir begitu,” kata Flambeau, sedikit merinding. “Kau sebut aneh, dan aku sebut aneh,” kata Romo Brown, “tapi maksud kita berlawanan. Pikiran modern selalu mencampur dua ide berbeda: misteri dalam pengertian ajaib, dan misteri dalam pengertian rumit. Itulah separuh kesulitan dari mukjizat. Mukjizat memang mengejutkan tapi sederhana. Ia sederhana karena memang mukjizat. Kekuatannya datang langsung dari Tuhan (atau iblis) bukan tidak langsung melalui alam atau kehendak manusia. Nah, menurutmu urusan ini ajaib karena ini mukjizat, karena ilmu sihir yang dilakukan seorang India jahat. Dengar, aku tidak bilang ini bukan kebatinan atau keiblisan. Surga dan neraka hanya tahu dengan pengaruh apa dosa-dosa aneh masuk ke dalam hidup manusia. Tapi maksudku begini: kalau ini sihir murni, seperti yang kau kira, maka ini ajaib, tapi ini tidak misterius—dengan kata lain tidak rumit. Sifat mukjizat adalah misterius, tapi caranya sederhana. Nah, perkara ini justru kebalikan dari sederhana.” Badai yang tadi sedikit reda kembali membesar, guntur bergerak berat dan redam. Romo Brown menjatuhkan abu cerutunya dan melanjutkan: “Dalam insiden ini,” katanya, “ada sifat kompleks, berbelit, 24
buruk, yang bukan bagian dari kunci surga ataupun neraka. Aku tahu jalan bengkok manusia, sebagaimana kita tahu jalan bengkok siput.” Kilat putih membuka mata raksasa dalam satu kedipan, langit tertutup lagi, pastor menyambung: “Di antara semua hal bengkok ini, yang paling bengkok adalah bentuk kertas. Lebih bengkok dari belati yang menewaskannya.” “Maksudmu kertas yang memuat pengakuan bunuh diri Quinton,” kata Flambeau. “Maksudku kertas di mana Quinton menulis, ‘Aku mati dengan tanganku sendiri,’” jawab Romo Brown. “Bentuk kertasnya, teman, salah bentuk, kalau memang pernah ada di dunia jahat ini.” “Cuma tergunting sudutnya,” kata Flambeau, “dan aku tahu semua kertas Quinton digunting seperti itu.” “Sangat ganjil,” balas pastor, “dan sangat buruk, menurut selera dan khayalanku. Dengar, Flambeau, Quinton ini—semoga Tuhan menerima arwahnya!—sedikit brengsek dalam beberapa hal, tapi dia memang seniman, memegang pensil dan pena. Tulisan tangannya tegas dan indah, meski sulit dibaca. Aku tak bisa membuktikan ucapanku, aku tak bisa membuktikan apapun. Tapi kunyatakan dengan keyakinan penuh bahwa dia tak mungkin membuat potongan kecil jelek yang satu itu. Kalau dia bermaksud memotong kertas dengan gunting untuk tujuan mencocokkan, atau menjilid, atau semacamnya, irisannya akan lain. Kau ingat bentuknya? Bentuknya jelek. Bentuknya salah. Seperti ini. Kau tidak 25
ingat?” Dia melambai-lambaikan cerutunya dalam gelap, membuat persegi-persegi tak beraturan dengan cepat. Flambeau merasa sedang menyaksikan hieroglif berapi di atas kegelapan—hieroglif yang pernah disinggung temannya, yang tak dapat diurai tapi boleh jadi bermakna buruk. “Tapi,” kata Flambeau, sementara pastor mengembalikan cerutu ke mulutnya dan bersandar, memandangi atap, “anggap saja ada orang lain menggunakan gunting. Kenapa orang lain itu, yang menggunting kertas khotbahnya, menyebabkan Quinton bunuh diri?” Romo Brown masih bersandar dan mengamati atap, tapi dia mencabut cerutu dari mulutnya dan berkata: “Quinton tidak bunuh diri.” Flambeau terbelalak. “Ah, semua ini membingungkan,” pekiknya, “lantas kenapa dia mengaku bunuh diri?” Pastor mencondong ke depan lagi, bertopang siku di atas lututnya, memandangi lantai, dan berkata pelan tapi jelas: “Dia tak pernah mengaku bunuh diri.” Flambeau menaruh cerutunya. “Maksudmu,” katanya, “tulisan itu rekaan?” “Tidak,” kata Romo Brown. “Quinton memang menulisnya.” “Nah, nah,” kata Flambeau jengkel. “Quinton menulis ‘Aku mati dengan tanganku sendiri’, dengan tangannya sendiri pada selembar kertas polos.” “Yang salah bentuk,” kata pastor kalem. 26
“Ah, bentuk persetan!” seru Flambeau. “Apa hubungannya dengan bentuk?” “Ada dua puluh tiga kertas tergunting,” lanjut Brown tak bergeming, “tapi hanya ada dua puluh dua carik potongan. Jadi salah satunya sudah dimusnahkan, mungkin itu dari kertas yang ada tulisannya. Apa kau dapat ide?” Wajah Flambeau bercahaya, lalu dia berkata, “Ada hal lain yang ditulis oleh Quinton, beberapa kata lain. ‘Mereka akan bilang aku mati dengan tanganku sendiri’, atau ‘Jangan percaya bahwa —’” “Lebih pedas lagi, kalau anak kecil bilang,” kata Romo Brown. “Tapi potongan itu lebarnya hampir tidak satu inchi, tak ada ruang untuk satu kata, apalagi lima. Menurutmu adakah sesuatu yang tidak lebih besar dari koma dan harus dirobek oleh pelakunya karena akan memberatkan dirinya?” “Kurasa tidak,” kata Flambeau. “Bagaimana kalau tanda kutip?” tanya pastor, dan melempar cerutunya jauh ke dalam kegelapan, bagaikan bintang jatuh. Semua kata sudah keluar dari mulut Flambeau, lalu Romo Brown berujar, kembali ke dasar: “Leonard Quinton adalah seorang peroman, dan sedang menulis roman Oriental mengenai imu sihir dan hipnotisme. Dia —” Pada saat itu pintu di belakang mereka terbuka kencang, dan dokter keluar sambil mengenakan topi di kepalanya. Dia menjejalkan amplop panjang ke dalam tangan pastor. 27
“Ini dokumen yang kau minta,” katanya, “aku harus pulang. Selamat malam.” “Selamat malam,” balas Romo Brown, sementara dokter berjalan cepat menuju gerbang. Dia membiarkan pintu depan terbuka, sehingga seberkas cahaya gas mengenai mereka. Di bawah cahaya inilah Brown membuka amplop dan membaca katakata berikut: YANG TERHORMAT ROMO BROWN—Kau menang, Galilean. Celaka matamu, mata yang menusuk. Mungkinkah ada sesuatu di balik semua kemampuanmu? Aku adalah manusia yang sejak kecil percaya pada Alam dan semua fungsi dan naluri alam, tak peduli orangorang menyebutnya moral atau amoral. Jauh sebelum menjadi dokter, ketika aku memelihara tikus dan laba-laba di masa sekolah, aku percaya bahwa menjadi binatang yang baik adalah hal terbaik di dunia ini. Tapi baru saja aku tergoncang. Aku percaya pada Alam, tapi Alam seakan-akan mengkhianati manusia. Mungkinkah ada sesuatu di balik omong-kosongmu? Aku betul-betul jadi gila. Aku mencintai isteri Quinton. Adakah yang salah dengan ini? Alam yang menyuruhku, dan cintalah yang membuat bumi berputar. Aku juga sungguh-sungguh beranggapan bahwa dia akan lebih bahagia dengan binatang bersih seperti diriku daripada orang gila kerdil 28
menyusahkan itu. Adakah yang salah dengan ini? Aku hanya menghadapi fakta, sebagaimana orang sains. Dia akan lebih bahagia. Menurut keyakinanku, aku bebas membunuh Quinton, jalan terbaik bagi setiap orang, bahkan dirinya sendiri. Tapi sebagai binatang sehat, aku tak mau mencelakakan diriku sendiri. Maka dari itu, aku berbulat hati, aku takkan melakukannya sampai aku melihat peluang yang membuatku leluasa. Aku melihatnya pagi ini. Sudah tiga kali aku masuk ke kamar kerja Quinton hari ini. Pertama kali aku masuk, dia tak membicarakan apa-apa selain kisah aneh, berjudul “The Cure of a Saint”, yang sedang ditulisnya, tentang bagaimana seorang petapa India membuat kolonel Inggris bunuh diri dengan membayangkannya. Dia menunjukkan lembarlembar terakhir, bahkan membacakan paragraf terakhir, yang bunyinya seperti ini: “Penakluk Punjab, tulang kerangka kuning belaka, tapi tetap raksasa, berhasil mengangkat tubuhnya di atas siku dan berkata terengahengah ke telinga keponakannya: ‘Aku mati dengan tanganku sendiri, tapi aku mati dibunuh!’” Sungguh kebetulan satu banding seratus, karena kata-kata terakhir itu ditulis di puncak kertas baru. Aku pun meninggalkan ruangan, dan pergi ke taman, mabuk dengan peluang mengejutkan. Kita berjalan
memutari rumah, dan
terjadilah dua hal lain yang menguntungkanku. Kau 29
mencurigai seorang India, dan kau menemukan belati yang kemungkinan besar dipakai si India. Mencuri kesempatan untuk mengantonginya, aku kembali ke kamar kerja Quinton, mengunci pintu, dan memberinya obat tidur. Dia tak mau menanggapi Atkinson sama sekali, tapi aku mendorongnya untuk berteriak dan mendiamkan orang itu, karena aku perlu bukti jelas bahwa Quinton masih hidup saat aku meninggalkan ruangan untuk kedua kalinya. Quinton sedang berbaring di ruang kaca, aku memasuki kamar kerja. Aku punya tangan yang cekatan, dan dalam satu setengah menit aku sudah melakukan apa yang kumau. Aku sudah mengosongkan semua bagian pertama roman Quinton ke dalam perapian, terbakar menjadi abu. Lalu aku berpikir, tanda kutip tidak boleh dibiarkan. Maka aku mengguntingnya, dan agar lebih wajar, aku menggunting dua lusin kertas. Kemudian aku keluar, pengakuan bunuh diri Quinton tergeletak di meja depan, sementara Quinton masih hidup tapi tertidur di ruang kaca. Aksi terakhir adalah aksi nekat, kau sendiri bisa menebaknya: aku berpura-pura melihat Quinton mati dan bergegas ke ruangannya. Aku menghambatmu dengan kertas itu, lalu sebagai pemilik tangan cekatan, aku membunuh Quinton selagi kau mencermati pengakuan bunuh dirinya. Dia setengah tertidur, baru diberi obat, dan aku menempatkan pisau di tangannya kemudian 30
didorongkan ke dalam tubuhnya. Bentuk pisaunya begitu aneh. Hanya penggunanya yang mampu menghitung sudut untuk menjangkau jantungnya. Aku penasaran apa kau menyadari hal ini. Setelah berbuat itu, hal luar biasa terjadi. Alam membelot dariku. Aku merasa tidak enak. Aku merasa sudah melakukan sesuatu yang salah. Aku pikir otakku hancur berkeping-keping, aku merasakan semacam kesenangan pilu saat terbayang menceritakan ini kepada seseorang, bahwa aku tak perlu menyimpannya sendirian jika aku menikah dan memiliki anak. Ada apa denganku? ...Kegilaan...atau mungkinkah penyesalan mendalam, seperti dalam syair-syair Byron! Aku tak sanggup menulis lebih banyak lagi. James Erskine Harris. Romo Brown melipat surat tersebut dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam saku dada ketika lonceng gerbang bergemuruh keras dan beberapa polisi berpakaian anti-air memancarkan cahaya di jalan raya.
31