MANUSIA SILUMAN Gilbert Keith Chesterton
2015
Manusia Siluman Diterjemahkan dari The Invisible Man karangan Gilbert Keith Chesterton terbit tahun 1911 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: November 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
D
ALAM
cahaya senja biru sejuk, berdiri sebuah toko permen
di persimpangan dua jalan curam di Camden Town,
berpijar bagai puntung rokok. Mungkin orang bilang lebih mirip puntung kembang api, karena cahayanya berwarna-warni dan sedikit rumit, dicerai-beraikan oleh banyak cermin dan menari-nari di atas kue-kue dan gula-gula mengkilat berwarna riang. Pada kaca berapi-api inilah anak-anak gembel menempelkan hidung mereka. Cokelat-cokelatnya dibungkus dalam warna metalik merah, emas, dan hijau yang nyaris lebih bagus daripada cokelat itu sendiri. Kue pernikahan putih besar di jendelanya terasa jauh sekaligus memuaskan, seolah-olah seluruh Kutub Utara enak untuk dimakan. Provokasi pelangi semacam ini tentu saja mendatangkan kaum remaja berumur sepuluh sampai dua belas tahun. Tapi simpang ini juga menarik bagi remaja yang lebih dewasa. Dan seorang pemuda, usianya tak kurang dari 24, sedang memandang ke dalam jendela yang sama. Dia pun turut terpesona oleh toko tersebut, tapi ketertarikan ini bukan semata-mata karena cokelat, yang sangat digemarinya. Dia pemuda jangkung, berambut merah, dengan raut tegas tapi gerak-gerik lesu. Dia menenteng portepel kelabu cépér berisi sketsa-sketsa hitam putih, yang dijual kepada para penerbit sejak pamannya (seorang laksamana) mencabut hak waris demi Sosialisme, gara-gara ceramahnya yang menentang teori ekonomi tersebut. Namanya John Turnbull Angus. Akhirnya dia masuk, berjalan menerobos toko permen tersebut menuju ruang belakang, sejenis restoran pembuat kue, lalu 5
mengangkat topi kepada seorang gadis muda yang melayani di sana. Gadis gelap, elegan, waspada, berpakaian hitam-hitam, bermuka merah, dan mata gelap nan tajam. Setelah berselang sebentar, gadis ini mengikutinya ke ruang dalam untuk mendengar pesanan. Pesanannya seperti biasa. “Tolong,” katanya dengan teliti, “aku mau roti kismis setengah péni dan secangkir kecil kopi hitam.” Sesaat sebelum si gadis pergi, dia menambahkan, “Juga, aku mau kau menikah denganku.” Seketika gadis kedai menjadi kaku, lalu berkata, “Itu lelucon yang tak kuizinkan.” Tanpa diduga, sang pemuda berambut merah mengangkat mata kelabu serius. “Sungguh,” katanya, “ini serius—seserius roti kismis setengah péni itu. Ini mahal, seperti roti itu; orang harus membayarnya. Ini sulit dicerna, seperti roti itu. Ini sakit.” Si gadis gelap tak kunjung melepas pandangan darinya, mempelajarinya dengan ketelitian tragis. Di akhir penyelidikannya dia tersenyum tipis, dan duduk di sebuah kursi. “Tidakkah kau pikir,” tinjau Angus, melamun, “kejam rasanya memakan roti-roti setengah péni ini? Mereka bisa tumbuh menjadi roti satu péni. Aku akan berhenti dari kesenangan brutal ini setelah kita menikah nanti.” Gadis gelap bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, dalam renungan kuat tapi simpatik. Ketika akhirnya berputar lagi dengan hawa tegas, dia kebingungan memperhatikan si pemuda 6
sedang mengeluarkan berbagai barang dari jendela toko ke atas meja. Piramida gula-gula merah, beberapa helai sandwich, dan dua karaf berisi anggur misterius dan minuman anggur yang lumrah untuk restoran kue kering. Di tengah-tengah susunan rapi ini dia menaruh kue putih bergula yang menjadi ornamen terbesar di jendela tersebut. “Apa yang kau lakukan?” tanya si gadis. “Tugas, Laura sayangku,” sahutnya. “Oh, demi Tuhan, hentikan,” pekiknya, “dan jangan bicara seperti itu padaku. Maksudku, apa-apaan semua ini?” “Hidangan upacara, Nona Hope.” “Lalu apa itu?” tanyanya tak sabar, menunjuk gunung gula. “Kue pernikahan, Ny. Angus,” katanya. Si gadis berjalan menuju benda tersebut, mengangkatnya dengan berisik, dan mengembalikannya ke jendela toko. Lalu dia kembali, bertopang siku moleknya di atas meja, mengamati sang pemuda dengan agak jengkel. “Kau tak memberiku waktu untuk berpikir,” katanya. “Aku tidak sebodoh itu,” balas pemuda, “itu kebersahajaan Kristenku.” Dia masih memandanginya, tapi semakin muram di balik senyumnya. “Tn. Angus,” katanya mantap, “sebelum omong-kosong ini memanjang, aku harus mengatakan sesuatu tentang diriku sesingkat mungkin.” “Dengan senang hati,” balas Angus sungguh-sungguh. “Kau 7
boleh melakukannya sambil mengatakan sesuatu tentang diriku juga.” “Oh, tahan lidahmu, dengarkan saja,” katanya. “Aku tidak malu dengan ini, dan bahkan tak ada yang perlu kusesali. Tapi bagaimana menurutmu jika ada sesuatu yang bukan urusanku lalu menjadi mimpi burukku?” “Kalau begitu kejadiannya,” kata si lelaki, serius, “kusarankan kau mengambil kembali kuenya.” “Well, dengarkan dulu ceritanya,” kata Laura gigih. “Pertamatama, aku harus katakan padamu bahwa ayahku mempunyai losmen bernama ‘Red Fish’ di Ludbury, dan aku biasa melayani orang-orang di barnya.” “Aku sering penasaran,” celotehnya, “kenapa ada semacam suasana Kristen di toko permen yang satu ini.” “Ludbury adalah tempat kecil berumput yang sepi di Eastern Counties, dan orang-orang yang sesekali datang ke ‘Red Fish’ hanyalah para pramuniaga keliling, dan selebihnya adalah orangorang paling buruk yang tak pernah kau jumpai. Maksudku para lelaki kecil pemalas, yang punya cukup bekal untuk hidup dan tak ada kerjaan selain bersantai-santai di ruang-ruang bar dan bertaruh pacuan kuda, mengenakan pakaian jelek yang terlalu bagus untuk mereka. Bahkan para pemuda tak berguna di depan itu sangat tidak lazim di losmen kami; tapi ada dua di antara mereka yang terlalu lazim—lazim dalam segala hal. Mereka berdua hidup dengan uang sendiri, dan lelah dengan bermalas-malasan, dan pakaian mereka berlebihan. Tapi aku sedikit kasihan pada mereka. Kurasa mereka 8
masuk diam-diam ke bar kecil kami yang kosong karena mereka sedikit cacat, yang biasa ditertawakan oleh orang-orang udik. Sebetulnya bukan cacat, tapi janggal. Salah satu dari mereka sangat kecil, seperti orang kerdil, atau sekurangnya mirip joki. Tapi dia sama sekali tidak kejoki-jokian. Kepalanya hitam bulat, janggutnya hitam dipotong rapi, matanya terang seperti mata burung.
Dia
menggerincingkan
uang
di
dalam
sakunya,
membunyikan rantai arloji emas mewah, dan dia tak pernah datang kecuali dengan berpakaian yang terlalu mirip pria sejati. Tapi dia bukan orang bodoh, meski pemalas. Dia pandai dengan segala jenis barang yang tidak berguna, semacam sulap dadakan; membuat lima belas batang korek api saling membakar seperti kembang api, atau memotong pisang dan sebagainya menjadi boneka tari. Namanya Isidore Smythe, dan aku masih bisa melihatnya, dengan wajah mungil gelap, mendatangi meja kasir, menciptakan kangguru lompat dengan bahan lima cerutu. “Yang satu lagi lebih pendiam dan lebih biasa-biasa saja. Tapi dia jauh lebih menakutkan daripada si mungil Smythe. Dia sangat jangkung dan kurus, berambut tipis. Batang hidungnya tinggi, dan dia mungkin hampir tampan sebagai hantu, tapi juling matanya paling mengerikan yang pernah kau lihat atau dengar. Ketika dia menatap lurus padamu, kau seperti tidak tahu di mana dirimu berada, apa yang dia perhatikan. Kurasa kecacatan ini sedikit menyakitkan hatinya. Sementara Smythe siap memamerkan triknya di manapun, James Welkin (nama lelaki juling itu) tak pernah berbuat apa-apa selain mabuk-mabukan di ruang tamu bar 9
kami, dan berjalan-jalan sendirian di pedesaan muram dan membosankan. Kukira Smythe juga sedikit sensitif soal badan kecil, tapi dia menjalaninya dengan lebih pintar. Aku betul-betul bingung, juga kaget, dan sangat menyesal, ketika mereka berdua mengajakku menikah di pekan yang sama. “Well, kalau dipikir-pikir, aku sudah berbuat konyol. Tapi, biar bagaimanapun, orang-orang ini temanku, dan aku merasa ngeri jika mereka berpikir aku menolak mereka untuk alasan yang jelas, yaitu karena mereka sangat jelek. Jadi aku mengarang omong-kosong: tak berniat menikah dengan siapapun yang belum mengukir jalannya di dunia. Aku bilang, aku berprinsip untuk tidak hidup dengan uang warisan seperti yang mereka miliki. Dua hari setelah aku bicara begitu, masalah dimulai. Hal pertama yang kudengar adalah mereka berdua pergi mencari kekayaan, seperti dalam dongeng konyol. “Well, aku belum melihat mereka sejak hari itu. Tapi aku mendapat dua surat dari lelaki kecil yang bernama Smythe, dan isinya lumayan menarik.” “Ada kabar tentang lelaki satu lagi?” tanya Angus. “Tidak, dia tak pernah mengirim surat,” kata gadis tersebut, setelah bimbang sesaat. “Surat pertama Smythe cuma bilang bahwa dia berangkat berjalan kaki bersama Welkin menuju London. Tapi Welkin pejalan kaki yang tangguh, sedangkan lelaki kecil ini berhenti, dan istirahat di pinggir jalan. Kebetulan dia dipungut oleh kelompok pertunjukan keliling. Dan, sebagian karena dia hampir kerdil, sebagian karena dia memang cerdik, dia 10
pun sukses di bisnis pertunjukan, dan segera dikirim ke Aquarium, untuk menampilkan beberapa trik yang sudah kulupakan. Itulah surat pertamanya. Surat keduanya jauh lebih mengejutkan, baru kuterima minggu lalu.” Angus menghabiskan kopinya dan memandangnya dengan tatapan lembut dan sabar. Mulut Laura sedikit tertawa sewaktu melanjutkan, “Kukira kau pernah lihat papan-papan iklan ‘Smythe’s Silent Service’ itu? Atau kau satu-satunya orang yang belum. Oh, aku tak tahu banyak soal itu. Sejenis penemuan mesin jam untuk mengerjakan semua pekerjaan rumahtangga dengan mesin. Kau tahu yang semacamnya: ‘Tekan Tombol—Kepala Pelayan Yang Tak Pernah Minum’. ‘Putar Gagang—Sepuluh Pengurus Rumah Yang Tak Pernah Menggoda’. Pasti kau pernah lihat iklannya. Well, apapun bentuknya, mesin-mesin ini menghasilkan banyak uang untuk setan kecil yang kukenal di Ludbury. Mau tak mau aku merasa senang lelaki kecil itu sudah mandiri. Tapi ada satu fakta yang jelas, aku khawatir dia muncul kapan saja dan menyatakan sudah mengukir jalannya di dunia—karena memang begitu kenyataannya.” “Dan lelaki satu lagi?” ulang Angus, tetap tenang. Tiba-tiba Laura Hope berdiri. “Kawan,” katanya, “kupikir kau tukang sihir. Ya, kau benar. Aku belum pernah menerima satupun suratnya, dan aku tak tahu seperti apa atau di mana dia sekarang. Tapi dialah yang kutakutkan. Dialah yang terus menghantuiku. Dialah yang membuatku setengah gila. Bahkan, aku sudah gila. Aku merasakan keberadaannya padahal dia tak ada, aku 11
mendengar suaranya padahal dia tak bicara.” “Well, sayangku,” kata si pemuda, gembira, “jika dia Setan, habis sudah dia sekarang, karena kau menceritakannya pada seseorang. Orang jadi gila kalau sendirian, gadis tua. Tapi kapan kau merasakan dan mendengar teman juling kita ini?” “Aku mendengar James Welkin tertawa jelas selagi kau bicara,” kata si gadis dengan mantap. “Tak ada siapa-siapa di sana, aku baru saja berdiri di luar toko, di simpang, dan bisa melihat kedua jalan raya sekaligus. Aku sudah lupa bagaimana dia tertawa, tapi tawanya seaneh julingnya. Sudah hampir setahun aku tidak memikirkannya. Tapi beberapa detik kemudian surat pertama datang dari pesaingnya.” “Kau pernah membuat hantu itu bicara atau mencicit, atau apalah?” tanya Angus, tertarik. Laura tiba-tiba merinding, lalu berkata teguh, “Ya. Persis saat aku selesai membaca surat kedua dari Isidore Smythe yang mengabarkan keberhasilannya. Persis saat itu aku mendengar Welkin berucap, ‘Dia tetap takkan memilikimu.’ Jelas sekali, seolah-olah dia ada di ruangan yang sama. Ini buruk, pasti aku sudah gila.” “Kalau kau gila,” kata si pemuda, “kau akan menganggap dirimu waras. Tapi kurasa ada sesuatu yang sedikit aneh dari pria gaib ini. Dua kepala lebih baik daripada satu—tak perlu kusebut organ-organ lain. Jika kau izinkan, sebagai pria yang kekar dan praktis, aku akan ambil kembali kue pernikahan itu dari jendela—” Sementara dia bicara, ada semacam jeritan keras di jalan raya, 12
lalu sebuah mobil kecil, dikemudikan dengan kecepatan tinggi, melesat ke pintu toko dan tertancap di sana. Sekilas kemudian, seorang lelaki mungil bertopi tinggi mengkilat berdiri merentakkan kaki di ruang luar. Angus, yang selama ini tetap tenang gembira karena kesehatan jiwanya, menampakkan ketegangan dengan melangkah keluar dan menghadapi si pendatang baru. Satu lirikan sudah cukup untuk mengkonfirmasi tebakan liar terhadap seseorang yang sedang jatuh cinta. Sosok necis tapi kerdil ini, dengan janggut hitam menonjol ke depan, mata tajam resah, jemari rapi tapi gugup, tak lain adalah lelaki yang baru saja dilukiskan kepadanya: Isidore Smythe, yang meraup uang jutaan dari “kepala pelayan yang bukan peminum” dan “pengurus rumah yang bukan penggoda”. Sesaat kedua orang ini saling berpandangan dengan kebersahajaan dingin nan aneh yang merupakan semangat persaingan. Secara naluriah mereka sadar dengan aura saling memiliki masing-masing. Namun, Tn. Smythe tak menyinggung alasan antagonisme mereka, hanya berkata meledak-ledak, “Apa Nona Hope sudah lihat benda di jendela itu?” “Di jendela?” ulang Angus melotot. “Tak ada waktu untuk menjelaskan yang lain,” kata jutawan mungil singkat. “Di sini sedang terjadi kekonyolan yang harus diselidiki.” Dia mengarahkan tongkat mengkilapnya ke jendela, yang baru dikosongkan untuk persiapan pernikahan Tn. Angus. Dan sang pemuda terheran melihat secarik kertas panjang menempel di muka 13
kaca, padahal beberapa saat lalu tak ada di situ ketika dia memandangnya. Mengikuti Smythe yang energik ke jalan raya, dia mendapati satu setengah yard kertas segel ditempel dengan permen karet di kaca luar, dan di atasnya tertulis huruf-huruf acak-acakan, “Kalau kau menikah dengan Smythe, dia akan mati.” “Laura,” ujar Angus, menjulurkan kepala merah besarnya ke dalam toko, “kau tidak gila.” “Ini tulisan Welkin,” kata Smythe keras. “Sudah bertahuntahun aku tidak berjumpa dengannya, tapi dia selalu menggangguku. Lima kali dalam dua minggu terakhir dia meninggalkan surat ancaman di flatku, dan aku tak tahu siapa yang mengirimnya, apakah Welkin sendiri. Penjaga pintu flat bersumpah tak melihat orang mencurigakan, dan di sini dia menempelkan sejenis dado pada jendela toko umum, selagi orang-orang di dalam toko—” “Begitulah,” kata Angus sopan, “selagi orang-orang di dalam toko sedang minum teh. Well, tuan, kuhargai logikamu dalam menangani masalah ini. Kita bisa bicarakan hal-hal lain setelahnya. Orang itu mungkin belum terlalu jauh. Aku bersumpah tak ada kertas di sini saat terakhir kali aku mendekati jendela, sepuluh sampai lima belas menit lalu. Di sisi lain, dia terlalu jauh untuk dikejar, karena kita tidak tahu ke mana arahnya. Jika kau mau menerima nasehatku, Tn. Smythe, serahkan saja ini ke tangan penyelidik yang energik, swasta bukan pemerintah. Aku kenal seseorang yang amat pintar, yang membuka usaha lima menit dari sini, dengan mobilmu. Namanya Flambeau. Meski masa mudanya sedikit keras, dia pria jujur sekarang, dan otaknya sepadan dengan 14
bayaran. Dia tinggal di Lucknow Mansions, Hampstead.” “Aneh sekali,” kata lelaki mungil itu, alis hitamnya membusur. “Aku
sendiri
tinggal
di
Himylaya
Mansions,
di
sekitar
persimpangan. Maukah kau ikut denganku? Aku harus ke kamarku dan menyortir dokumen Welkin aneh ini, sementara kau berputar dan temui teman detektifmu itu.” “Kau baik sekali,” ujar Angus sopan. “Well, semakin cepat kita bertindak, semakin baik.” Keduanya mendadak baik, menyampaikan selamat tinggal formal kepada sang gadis, lalu melompat ke dalam mobil kecil ringkas. Sementara Smythe meraih setir dan mereka berbelok di sudut jalan, Angus merasa geli melihat poster raksasa “Smythe’s Silent Service”, bergambar boneka besi besar tanpa kepala, menyandang panci gagang bertuliskan, “Koki Yang Tak Pernah Jengkel”. “Aku menggunakannya di flatku sendiri,” kata si lelaki kecil berjanggut hitam seraya tertawa, “sebagian untuk iklan, dan sebagian betul-betul untuk kemudahan. Terus-terang, dan sejujurnya, boneka-boneka jam besar punyaku itu memang menjadikan batu arang atau anggur Prancis atau jadwalmu lebih cepat daripada pembantu manapun yang pernah kukenal, jika kau tahu tombol mana yang harus ditekan. Tapi aku tak menyangkal, ini rahasia kita saja, bahwa pembantu seperti itu ada kekurangannya juga.” “Masa?” kata Angus, “adakah sesuatu yang tak bisa mereka lakukan?” “Ya,” sahut Smythe santai, “mereka tak bisa memberitahuku 15
siapa yang meninggalkan surat ancaman di flatku.” Mobilnya kecil dan tangkas seperti sang pemilik. Bahkan, sebagaimana jasa rumahtangganya, ini adalah ciptaannya sendiri. Jika dia tukang pengiklan, berarti dia orang yang percaya pada barang-barangnya sendiri. Mobil kecilnya terasa terbang sewaktu mereka mendaki tikungan putih panjang dalam cahaya petang yang gelap tapi terbuka. Tak lama, tikungan putih semakin tajam dan memusingkan. Mereka berada di atas spiral menanjak, seperti dalam agama-agama modern. Mereka sedang memuncaki sudut London yang nyaris seterjal Edinburgh, kalau tidak disebut indah. Teras demi teras berundak-undak, dan menara flat yang mereka cari menjulang tinggi, diemaskan oleh mentari terbenam. Perubahan ini, selagi mereka berbelok dan memasuki bentuk busur yang dikenal sebagai Himylaya Mansions, terjadi tiba-tiba bagai membuka jendela. Mereka mendapati gundukan flat-flat di atas London ini seperti bercokol di atas laut batu hijau. Di seberang mansion, di sisi lain busur kerikil tersebut, terdapat keliling semak yang lebih mirip pagar tanaman tinggi atau pematang dibanding sebuah taman, dan tak jauh di bawahnya mengalir sebidang perairan buatan, sejenis kanal, seperti parit benteng. Sementara mobil mengitari busur, mereka melewati kedai penjual kastanye yang terpencil di satu sudut. Dan persis di ujung lain tikungan, Angus bisa melihat seorang polisi biru redup sedang berjalan pelan. Hanya dua manusia ini yang terlihat di daerah pinggiran sepi tersebut. Tapi dia punya firasat irasional bahwa mereka mengekspresikan puisi London yang terkelu. Dia merasa mereka 16
adalah tokoh dalam sebuah cerita. Mobil kecil melesat ke rumahnya bagaikan peluru, dan menghamburkan sang pemilik bagaikan selongsong bom. Dia segera menanyai penjaga pintu bertubuh jangkung dan berkepang mengkilat, dan penjaga pintu pendek yang mengenakan kaos, tentang ada tidaknya seseorang atau sesuatu yang mencari-cari apartemennya. Dia mendapat kepastian bahwa tak ada siapapun atau apapun yang melewati para petugas ini sejak pertanyaannya terakhir kali. Kemudian dia dan Angus, yang agak bingung, meluncur di dalam lift seperti roket, sampai ke lantai teratas. “Masuklah sebentar,” kata Smythe terengah-engah. “Aku ingin tunjukkan surat-surat Welkin. Terus kau bisa pergi ke sudut jalan dan menjemput temanmu.” Dia menekan tombol yang tersembunyi di dinding, pintu pun terbuka sendiri. Mereka disambut oleh ruang depan panjang nan luas. Satusatunya fitur menarik adalah deretan sosok mekanis tinggi setengah manusia yang berdiri di kedua sisi layaknya patung model milik para tukang jahit. Mereka juga tak berkepala, mereka juga memiliki onok pundak yang bagus, dan tonjolan dada seperti merpati. Tapi selain ini semua, mereka tidak lebih mirip figur manusia dibanding mesin otomatis di stasiun yang hampir setinggi manusia. Mereka mempunyai dua kait besar seperti lengan, untuk mengangkat baki; dan mereka dicat hijau polong, atau merah jambu, atau hitam agar mudah dibedakan. Dalam segala aspek lain, mereka cuma mesin otomatis dan tak ada yang mau memperhatikan mereka dua kali. Setidaknya pada kesempatan ini. Di 17
antara dua deret boneka rumahtangga ini terdapat sesuatu yang lebih menarik. Secarik kertas putih compang-camping yang ditulisi dengan tinta merah. Sang penemu gesit langsung merenggutnya begitu pintu terbuka. Dia menyerahkannya kepada Angus tanpa bilang apa-apa. Tinta merahnya belum betul-betul kering, dan pesannya berbunyi, “Kalau kau sudah menemuinya hari ini, aku akan membunuhmu.” Hening. Lalu Isidore Smythe berkata pelan, “Mau wiski? Aku merasa perlu wiski.” “Terima kasih, tapi aku butuh Flambeau,” kata Angus murung. “Masalah ini sepertinya semakin buruk. Aku akan langsung menjemputnya.” “Kau benar,” timpal Smythe gembira. “Bawa dia kemari secepat mungkin.” Tapi sewaktu menutup pintu depan, Angus melihat Smythe menekan tombol. Salah satu patung mesin jam bergeser dari tempatnya dan meluncur sepanjang galur di lantai, membawa baki bermuatan sifon dan karaf. Rasanya agak aneh meninggalkan lelaki mungil itu sendirian di antara para pembantu tak bernyawa, yang mendadak hidup selagi pintu ditutup. Enam tingkat dari lantai Smythe, penjaga berkaos sedang mengerjakan sesuatu dengan ember. Angus berhenti untuk memeras janji darinya, diperkuat dengan bakal sogok, bahwa si petugas akan tetap di tempat sampai dia kembali bersama detektif, dan akan menceritakan siapapun orang asing yang naik tangga. Berlari ke lobi depan, dia kemudian menuntut kewaspadaan serupa 18
dari penjaga pintu depan. Dari penjaga inilah dia tahu tak ada pintu belakang, sehingga mempermudah situasi. Tak puas dengan ini, dia mendekati polisi yang sedang mondar-mandir dan membujuknya agar berdiri di seberang pintu masuk untuk mengawasi. Terakhir, dia berhenti sejenak untuk membeli kastanye senilai satu péni, dan menyelidiki berapa lama si pedagang akan tetap di situ. Penjual kastanye, menegakkan kerah mantelnya, mengaku akan segera pergi, karena salju akan turun. Memang, petang semakin mendung dan dingin, tapi Angus, dengan kefasihan lidahnya, berusaha mempertahankan pedagang ini di posnya. “Hangatkan dirimu dengan kastanye,” katanya sungguhsungguh. “Habiskan seluruh stokmu. Kau akan dapat imbalan setimpal. Aku akan memberimu satu koin sovereign jika kau mau menunggu di sini sampai aku kembali, dan memberitahuku apakah ada lelaki, perempuan, atau anak kecil masuk ke dalam rumah itu, di mana penjaga pintu sedang berdiri.” Lalu dia berjalan dengan tangkas, menengok menara terkepung itu untuk terakhir kalinya. “Aku sudah mengakali tempat itu,” katanya. “Mereka berempat tak mungkin semuanya menjadi kaki-tangan Tn. Welkin.” Lucknow Mansions berada di dataran lebih bawah di bukit perumahan tersebut. Himylaya Mansions boleh disebut sebagai puncaknya. Flat semi-resmi milik Tn. Flambeau ada di lantai dasar, dan sangat kontras dalam segala hal dengan kemewahan flat serba mesin dan bergaya hotel milik Silent Service. Flambeau, teman Angus, menyambutnya di ruang kecil artistik rococo di belakang 19
kantornya. Ornamennya berupa mandau, senapan kopak, barangbarang aneh dari Timur, botol anggur Italia, periuk liar, seekor kucing Persia berbulu lebat, dan seorang pastor mungil Katolik Roma berparas membosankan, yang terlihat janggal. “Ini temanku Romo Brown,” kata Flambeau. “Sudah sering aku ingin mempertemukan kalian. Cuacanya enak, ya; sedikit dingin untuk orang Selatan sepertiku.” “Ya, kurasa akan terus cerah,” kata Angus, duduk di sofa ottoman Timur bergaris-garis ungu. “Tidak,” kata pastor pelan, “sudah mulai turun salju.” Dan betul saja, selagi dia bicara, beberapa serpih salju pertama mulai hanyut melintasi kaca jendela yang semakin gelap, sebagaimana diramalkan oleh pedagang kastanye. “Well,” kata Angus serius. “Aku datang untuk sebuah urusan, urusan yang agak menyusahkan. Bahkan, Flambeau, tak jauh dari rumahmu ini, ada seseorang yang sangat butuh pertolonganmu. Dia terus-menerus dihantui dan diancam oleh musuh gaib—bajingan yang tak terlihat oleh siapapun.” Kemudian Angus menceritakan seluruh kisah Smythe dan Welkin, diawali dengan cerita Laura, lalu ceritanya sendiri, dan tawa gaib di persimpangan dua jalan kosong, kata-kata aneh yang terucap di ruang kosong. Flambeau pun semakin tertarik, sementara si pastor kecil tertinggal, seperti sepotong furnitur. Saat sampai pada cerita kertas segel berisi tulisan yang tertempel di jendela, Flambeau bangkit, memenuhi ruangan dengan bahu besarnya. “Kalau kau tak keberatan,” ujarnya, “lebih baik ceritakan 20
sisanya dalam perjalanan kita ke rumah orang itu. Aku mendapat kesan, kita tak boleh membuang-buang waktu.” “Dengan senang hati,” balas Angus, ikut bangkit, “tapi dia cukup aman sekarang, sebab aku sudah menyuruh empat orang mengawasi satu-satunya lubang ke tempat persembunyiannya.” Mereka berangkat ke jalan. Si pastor mengikuti mereka dengan jinak layaknya anjing kecil. Dia hanya berkata riang, seperti orang yang mengobrol santai, “Betapa cepatnya salju menebal di tanah.” Sementara mereka menempuh jalan samping curam yang dibubuki salju, Angus menyelesaikan ceritanya. Dan pada saat mereka sampai di busur di mana flat-flat menjulang, dia menyempatkan diri untuk mengalihkan perhatiannya kepada empat penjaga. Penjual kastanye, baik sebelum maupun sesudah menerima satu koin sovereign, bersumpah telah mengawasi pintu dan tak melihat tamu masuk. Pak polisi bahkan lebih tegas. Dia mengaku sudah berpengalaman menghadapi segala jenis bajingan, yang bertopi sutera dan yang compang-camping. Dia bukan orang baru dalam mencurigai karakter yang tampak mencurigakan. Dia mencari siapa saja, tapi tak ada siapapun. Ketika ketiga orang ini mengerubungi penjaga pintu yang masih berdiri mengangkang di serambi sambil tersenyum, keputusan semakin final. “Aku punya hak untuk menanyai siapapun, entah itu duke atau tukang sampah, apa yang diinginkannya di flat ini,” kata si raksasa ramah berenda emas, “dan aku bersumpah tak ada siapapun sejak Anda pergi.” Sosok remeh Romo Brown melangkah mundur, memper21
hatikan trotoar, mencoba-coba bicara dengan lembut, “Kalau begitu, apa ada yang naik-turun tangga sejak salju mulai turun? Saljunya turun sewaktu kita di rumah Flambeau.” “Tak ada siapapun yang datang ke sini, tuan, kau bisa mempercayaiku,” kata petugas, memancarkan kewibawaan. “Lantas apa itu?” tanya pastor, mengamati lantai dengan hampa, seperti ikan. Yang lain ikut menengok ke bawah. Flambeau berseru hebat, dan menampilkan gestur Prancis. Tak diragukan lagi, di tengahtengah pintu masuk yang dikawal pria renda emas, di antara kedua kaki angkuh sang raksasa, terdapat pola jejak kaki kelabu berserabut di atas salju putih. “Astaga!” pekik Angus, “Manusia Siluman!” Tanpa berkata lagi dia berputar dan bergegas menaiki tangga, disusul Flambeau. Sedangkan Romo Brown masih melihat-lihat sekeliling, di jalan berlapis salju, seakan tak lagi tertarik pada pertanyaannya tadi. Flambeau siap mendobrak pintu dengan bahu besarnya, tapi si Skotlandia, dengan nalar lebih kuat, tapi kurang intuisi, merabaraba rangka pintu sampai menemukan tombol tersembunyi. Pintu pun perlahan-lahan terbuka. Interiornya tetap berjejalan. Ruang depan lebih gelap, meski masih diterpa berkas-berkas cahaya merah tua terakhir dari mentari terbenam, dan satu atau dua mesin tanpa kepala telah dipindahkan dari tempatnya untuk tujuan tertentu, berdiri di sekitar tempat yang terkena cahaya senja. Lapisan hijau dan merah mereka menjadi 22
gelap di waktu petang. Kemiripan mereka dengan wujud manusia sedikit diperkuat oleh ketiadaan bentuknya. Tapi di tengah-tengah mereka semua, tepat di mana kertas bertinta merah tadi berada, menggenang sesuatu yang mirip tinta merah, tumpah dari botol. Tapi itu bukan tinta merah. Dengan kombinasi nalar dan kesengitan ala Prancis, Flambeau berseru “Pembunuhan!”, lalu menyerbu ke dalam flat, menjelajahi setiap sudut dan lemarinya selama lima menit. Tapi dia tak menemukan mayat yang disangkakannya. Isidore Smythe tak ada di tempat, hidup ataupun mati. Setelah penggeledahan melelahkan, kedua orang ini bertemu di ruang depan luar, dengan wajah berkeringat dan mata terbelalak. “Kawan,” kata Flambeau, memakai bahasa Prancis dalam kekalutannya, “bukan cuma pembunuhnya yang tak terlihat, dia juga membuat korbannya tak terlihat.” Angus melihat-lihat ruang suram penuh boneka, dan jiwa Celtik Skotlandianya mulai merinding. Salah satu boneka seukuran manusia berdiri membayangi bercak darah itu, mungkin dipanggil oleh korban sesaat sebelum gugur. Salah satu kait berbahu tinggi yang berfungsi sebagai lengan sedikit terangkat. Tiba-tiba Angus menduga Smythe dipukul jatuh oleh anak besinya sendiri. Barangbarang memberontak, dan mesin-mesin ini membunuh majikan mereka. Tapi, apa yang mereka perbuat padanya? “Memakannya?” kata bisikan khayal di telinganya. Sesaat dia mual dengan bayangan jenazah manusia koyak yang disedot dan dilumat ke dalam mesin jam tanpa batok kepala itu. 23
Dia pulih dengan susah-payah, dan berkata kepada Flambeau, “Well, begitulah. Orang malang itu sudah menguap seperti awan dan meninggalkan corengan merah di lantai. Kisahnya bukan bagian dari dunia ini.” “Ada satu hal yang bisa dilakukan,” kata Flambeau, “entah itu bagian dari dunia ini atau dunia lain. Aku harus turun dan bicara pada temanku.” Mereka pun turun, melewati pria dengan embernya, yang kembali menyatakan tak ada penyusup, kemudian menghampiri penjaga pintu
dan mengerubungi penjual kastanye,
yang
mempertegas kewaspadaan mereka. Tapi ketika Angus melihatlihat, mencari konfirmasi keempat, dia tak menemukannya, dan berteriak agak gugup, “Mana polisi itu?” “Maafkan aku,” kata Romo Brown. “Ini salahku. Aku baru memintanya ke jalan untuk menyelidiki sesuatu—kupikir layak diselidiki.” “Well, kami ingin dia segera kembali,” kata Angus kasar. “Pria malang di atas sana bukan cuma dibunuh, tapi juga dimusnahkan.” “Bagaimana bisa?” tanya pastor. “Romo,” kata Flambeau, setelah beberapa saat, “aku percaya ini bagianmu, bukan bagianku. Tak ada kawan atau lawan yang masuk ke rumah, tapi Smythe lenyap, seperti diculik peri. Kalau bukan supranatural, aku—” Mereka terhenti oleh pemandangan tak biasa. Polisi biru besar muncul di sudut busur sambil berlari. Dia langsung mendatangi Brown. 24
“Kau benar, tuan,” engahnya, “mereka baru menemukan jasad Tn. Smythe di kanal bawah.” Angus memegangi kepala dengan panik. “Apa dia lari dan menenggelamkan diri?” tanyanya. “Dia tak pernah turun, aku bersumpah,” kata pak polisi, “dan dia juga tidak tenggelam, dia mati karena tusukan di jantungnya.” “Tapi kau tak lihat seseorang masuk?” kata Flambeau dengan suara berat. “Ayo kita jalan sedikit,” kata pastor. Begitu mereka sampai di ujung lain busur, tiba-tiba dia tersadar, “Bodohnya aku! Aku lupa menanyakan sesuatu pada polisi itu. Aku ingin tahu apa mereka menemukan karung cokelat muda.” “Kenapa karung cokelat muda?” tanya Angus heran. “Karena kalau karungnya berwarna lain, kasus ini harus dimulai dari awal,” kata Romo Brown, “tapi kalau karung cokelat muda, kasusnya selesai.” “Aku senang mendengarnya,” kata Angus, mengejek sepenuh hati. “Belum dimulai, menurutku.” “Kau harus ceritakan semuanya pada kami,” kata Flambeau dengan keluguan aneh, seperti anak kecil. Tanpa sadar mereka berjalan dengan langkah kian cepat menyusuri jalan panjang di sisi lain busur tinggi. Romo Brown memimpin cepat, tapi membisu. Akhirnya dia berkata samar-samar dan mengena, “Well, kalian akan menganggapnya membosankan. Kita selalu mengawali dari ujung abstrak, dan kalian tak mampu 25
memulai cerita ini dari tempat lain. “Pernahkah memperhatikan ini—bahwa orang-orang tak pernah menjawab apa yang kalian katakan? Mereka menjawab maksud perkataan kalian—atau mereka kira maksud perkataan kalian. Bayangkan seorang gadis berkata kepada gadis lain di rumah pedesaan, ‘Apa ada yang tinggal bersamamu?’ Gadis kedua tidak menjawab ‘Ya, kepala pelayan, tiga bujang, pengurus ruang tamu, dan sebagainya’, padahal si pengurus ruang tamu mungkin ada di situ, atau si kepala pelayan ada di belakang kursinya. Dia bilang ‘Tak ada yang tinggal bersama kami’, maksudnya tak ada orang-orang seperti yang kau maksud. Tapi bayangkan seorang dokter yang menyelidiki sebuah wabah bertanya, ‘Siapa yang tinggal di rumah?’ Maka sang gadis akan mengingat kepala pelayan, pengurus ruang tamu, dan seterusnya. Semua bahasa digunakan seperti itu; pertanyaan kalian tak pernah dijawab secara harfiah, meski betul-betul dijawab. Saat keempat orang jujur tadi menyebut tak ada yang masuk ke dalam Mansions, mereka tidak sungguh-sungguh bermaksud tak ada orang masuk ke sana. Maksud mereka, tak ada orang yang dicurigai sebagai tersangka kalian. Seseorang memang masuk ke dalam rumah, dan memang keluar dari sana, tapi mereka tak pernah memperhatikannya.” “Manusia siluman?” selidik Angus, mengangkat alis merahnya. “Manusia siluman secara mental,” timpal Romo Brown. Satu atau dua menit kemudian dia melanjutkan dengan suara tetap bersahaja, seperti sedang memikirkan suatu cara. “Tentu saja kalian tidak terpikir akan orang semacam itu, sampai kalian 26
memikirkannya. Di situlah kecerdikannya masuk. Tapi aku terpikir tentangnya berkat dua atau tiga hal kecil dalam kisah yang diceritakan Tn. Angus. Pertama, ada fakta bahwa Welkin ini pergi untuk perjalanan panjang. Terus, ada banyak kertas segel di jendela. Terus, yang terpenting, ada dua hal yang dikatakan nona muda itu—yang boleh jadi tidak benar. Jangan tersinggung,” tambahnya buru-buru, melihat gerakan kepala si Skotlandia, “dia pikir itu benar. Dia tak mungkin sendirian di jalan raya sesaat sebelum menerima surat. Dia tak mungkin sendirian ketika mulai membaca surat yang baru diterimanya. Pasti ada seseorang tak jauh darinya, tidak kelihatan secara mental.” “Kenapa pasti ada seseorang di dekatnya?” tanya Angus. “Karena,” kata Romo Brown, “terkecuali merpati pos, pasti ada yang membawakan surat itu.” “Kau mau bilang,” tanya Flambeau bersemangat, “Welkin membawakan surat pesaingnya kepada kekasihnya?” “Ya,” jawab pastor. “Welkin membawakan surat pesaingnya kepada kekasihnya. Harus.” “Oh, aku tak tahan lagi dengan ini,” ledak Flambeau. “Siapa orang itu? Seperti apa rupanya? Seperti apa gaya pakaian manusia yang tidak terlihat secara mental?” “Dia berpakaian merah, biru, dan emas,” balas pastor dengan teliti, “dan dalam kostum mencolok ini, bahkan pamer, dia masuk ke Himylaya Mansions di depan mata delapan orang, dia membunuh Smythe dengan dingin, dan turun lagi ke jalan, menggotong mayatnya dengan kedua lengan—” 27
“Tuan pendeta,” pekik Angus kaku, “apa kau gila, atau aku?” “Kau tidak gila,” kata Brown, “cuma kurang memperhatikan. Kau tidak memperhatikan orang seperti ini, misalnya.” Dia mengambil tiga langkah cepat, dan memegang pundak tukang pos yang berpapasan, yang sedang buru-buru melewati mereka tanpa ketahuan, di bawah naungan pepohonan. “Tak ada yang pernah memperhatikan tukang pos,” katanya sambil berpikir, “padahal mereka punya hasrat seperti manusia lain,
bahkan
menggotong
tas
besar
yang
cukup
untuk
menyelundupkan mayat kecil.” Si tukang pos, alih-alih berbalik, menunduk dan terguling membentur pagar taman. Dia lelaki kurus berjanggut tipis dan berpenampilan biasa-biasa saja, tapi begitu dia memalingkan wajah gusarnya, mereka bertiga terpaku oleh julingnya yang jahat. ***** Flambeau kembali ke koleksinya, mandau-mandau, permadani ungu, dan kucing Persia, setelah mengurus banyak hal. John Turnbull Angus kembali kepada sang gadis toko. Pemuda ceroboh tersebut berusaha merasa nyaman dengannya. Sedangkan Romo Brown berjalan di bukit berlapis salju di bawah bintang-gemintang selama berjam-jam bersama si pembunuh, dan apa yang mereka perbincangkan takkan pernah diketahui.
28