AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)
AZWIN APRIANDI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
AZWIN APRIANDI. C34070081. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo). Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis Gastropoda air laut. Sebagai Gastropoda air laut, sampai saat ini keong ipongipong hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa keong ipong-ipong ini bermanfaat untuk meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas. Akan tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari keong tersebut belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai komponen bioaktif yang terkandung pada keong ipong-ipong, yang mungkin memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mengetahui pamanfaatan keong ipong-ipong dimasa mendatang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong. Pengujian yang digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, dan uji fitokimia. Keong ipong-ipong pada penelitian ini berasal dari Desa Gebang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Rendemen cangkang, isi dan jeroan keong ipong-ipong berturut-turut sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%, sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong mengandung air sebesar 73,07%, protein sebesar 18,28%, lemak sebesar 0,57%, abu sebesar 2,77%, abu tidak larut asam sebesar 0,15% dan karbohidrat sebesar 5,2%. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang terlihat dari nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak kloroform daging dan jeroan sebesar 9210 ppm dan 2825 ppm, ekstrak etil asetat nya sebesar 6825 ppm dan 4600 ppm dan ekstrak metanolnya sebesar 1513,8 ppm dan 994,47 ppm. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini mengandung 6 dari 9 komponen bioaktif yang diuji dengan metode fitokimia, antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino bebas. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis yang positif bagi kesehatan tubuh manusia. Salah satunya adalah kandungan steroid pada keong ipong-ipong. Hal ini membuktikan manfaat dari keong tersebut secara empiris yang dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas.
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)
AZWIN APRIANDI C34070081
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)
Nama
: Azwin Apriandi
NRP
: C34070081
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pemimbing II
Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP.1959 1013 1986 01 2 002
Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. NIP. 1983 0405 2005 01 2 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP.19610410 198601 1 002
Tanggal Lulus : 17 FEBRUARI 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) “adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010
Azwin Apriandi C34070081
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada: 1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu penulis selama proses penyusunan skripsi. 4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun, yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis. 5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat, materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, September 2010
Azwin Apriandi C34070081
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kepulauan Riau pada tanggal 2 April 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Darwin dan Azizah, S.Pd.I. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di MI Baitul Mubin Alai Kecamatan Kundur (tahun 19952001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di MTsN Tanjungbatu Kundur (tahun 2001-2004), pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Kundur dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah (BUD) untuk melanjutkan pendidikan kuliah ke Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan sebagai anggota divisi peduli pangan. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Biokimia Hasil Perairan 2009-2010 dan 2010-2011, asisten praktikum mata kuliah Biotoksikologi Hasil perairan 2010-2011, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan 2010-2011 dan koordinator asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2010-2011 Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) “di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….....
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
xi
1 PENDAHULUAN………………………………………………….....
1
1.1 LatarBelakang ………………………………………………….....
1
1.2 Tujuan ……………………………………………………………..
2
2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...
3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)……………………………………………….…
3
2.2 Antioksidan ………………………….……………………............ 2.2.1 Fungsi antioksidan…………………..……………………… 2.2.2 Jenis-jenis antioksidan ……………...…………………….... 2.2.1.1 Antioksidan sintetik…………..……………………. 2.2.1.2 Antioksidan alami...…………..…………………….
4 5 6 6 7
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan ………………………..…………….......
8
2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif…………………….……………….....
9
2.5 Metabolit Sekunder………….………………….……………….....
11
2.6 Analisis Fitokimia………………………..………………………... 2.6.1 Alkaloid …………………….…………………………….... 2.6.2 Steroid/triterpenoid ………………………………………... 2.6.3 Flavonoid ………………………………………………….. 2.6.4 Saponin ……………………………………………………. 2.6.5 Fenolhidrokuinon ………………………………………..... 2.6.6 Karbohidrat ………………………………………………... 2.6.7 Gulapereduksi …………………………………………….. 2.6.8 Peptida …………………………………………………….. 2.6.9 Asam amino ………………………………………………...
11 12 13 14 14 15 16 16 17 17
3 METODOLOGI……………………...…..…………………………...
19
3.1 Waktu dan Tempat …………………………….....….………….…
19
3.2 Bahan dan Alat ………………………......……..….……………...
19
3.3 Metode Penelitian ……………………………….………………... 3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku..……………........... 3.3.2 Analisis proksimat ..…………….…..……………………....
20 20 21
Analisis kadar air (AOAC 2005) ………………………. Analisis kadar abu (AOAC 2005) ……………………… Analisis kadar protein (AOAC 1980) ………………….. Analisis kadar lemak (AOAC 2005) …………………… Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI 01-3836-2000 (BSN 2000) ………………………… 3.3.3 Analisis antioksidan dengan metode DPPH…………........... 1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988dalam Darusman et al.1995)………………………………….. 2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam Hanani et al. 2005) ……………………………………. 3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) …………………………….. 1) 2) 3) 4) 5)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………....
21 21 22 22 23 23 23 26 27 30
4.1 Karakteristik Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) …………… 4.1.1 Rendemen …………………………………………………. 4.1.2 Komposisi kimia ……………………………………………. 1) Kadar air ……………………………………………….. 2) Kadar lemak …………………………………………… 3) Kadar protein ………………………………………….. 4) Kadar abu ……………………………………………… 5) Kadar abu tidak larut asam ……………………………. 6) Kadar karbohidrat ……………………………………...
30 31 32 33 34 35 35 36 37
4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-Ipong ..……….. 4.2.1 Ekstrak kasar ………………………………………………. 4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar ……………………. 1) Alkaloid ………………………………………………... 2) Steroid …………………………………………………. 3) Karbohidrat ……………………………………………. 4) Gula pereduksi …………………………………………. 5) Peptida …….……………………………………………. 6) Asam amino …………………………………………….
37 38 40 41 43 44 46 46 47
4.3 Aktivitas Antioksidan ……………………………………………..
48
5 KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………
56
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………..
56
5.2 Saran ……………………………………………………………….
56
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
57
LAMPIRAN……………………………………………………………...
62
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong.…………………………
30
2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong.……….
40
3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT………………...
50
4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)……………………...
50
5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)……………………...
51
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo).……………………….
3
2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida 6 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine ..
9
4. Struktur alkaloid ……………………………………………...
12
5. Struktur steroid …………………………..…………………...
13
6. Struktur umum saponin…...…………….…………………….
15
7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)…………………………………………………….. 26 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon………………………………………………………….. 30 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong……………………………………………...
31
10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)…..……………...
33
11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong …..……………...
38
12. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya... 51 13. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya………………... 52 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya………………... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong…. ……....……….…...
63
2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong ………………….
63
3. Perhitungan analisis proksimat …………………..……….....
63
4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong…..
65
5. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ......
66
6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi perdaman DPPH
68
7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50..…………………….…
68
8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong…………………………………....……………..
70
9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi...……..……………..
71
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Semakin majunya zaman menyebabkan semakin tingginya tuntutan terhadap aktivitas dunia kerja. Kondisi ini akan memaksa masyarakat untuk berpindah kepada hal-hal yang bersifat instant termasuk pola makannya. Makanan instant dapat mengandung xenobiotik (pengawet, zat warna, penyedap rasa, pestisida, logam berat atau zat kimia lain) yang beresiko akumulasi jangka panjang. Xenobiotik dapat menjadi radikal bebas di dalam tubuh manusia. Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan di kulit terluarnya (winarsi 2007). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, penuaan dini, dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al. 2009; Saha et al. 2008). radikal bebas dapat ditangkal atau diredam dengan pemberian antioksidan atau dengan mengkonsumsi antioksidan (Salimi 2005; Halliwell 2007; Kubola & Siriamornpun 2008;
Mohsen & Ammar 2009). Antioksidan adalah
senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007). Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain. Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan contohnya
kelas
Gastropoda,
banyak
mengandung
komponen-komponen
antioksidan. Adapun jenis-jenis Gastropoda yang telah diteliti dan mengandung antioksidan antara lain, Lobiger serradifalci dan Oxynoe olivacea (Cavas 2004) Viviparus ater (Campanella et al. 2005), lintah laut (Discodoris sp.)
(Andriani
2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009), keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya (Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis Pleuroploca trapezium (Anand et al. 2010). dan lain sebagainya. Selain
mengandung antioksidan, Gastropoda juga mengandung berbagai macam komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponenkomponen biaoktif tersebut seperti jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan lain sebagainya (Harborne 1987). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis Gastropoda air laut yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Secara empiris keong ipong-ipong dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas. Akan tetapi data-data ilmiah yang mendukung khasiat dari keong tersebut belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai komponen bioaktif yang terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong. Komponen-komponen bioaktif tersebut diharapkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan dari keong ipong-ipong dimasa yang akan datang. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dari Cirebon, Jawa Barat.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo) Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda, dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan 15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977). Filum
: Moluska
Kelas
: Gastropoda
Ordo
: Neogastropoda
Famili
: Fasciolariidae
Genus
: Fasciolaria
Spesies
: Fasciolaria salmo.
Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,
worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan. Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih, yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005). Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut. Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut dalam
gastropoda
dapat
hidup
sampai
pada
kedalaman
5000
meter
(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak (lumpur). 2.2 Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan
penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar) (Wiji dan Sugrani 2009). 2.2.1 Fungsi antioksidan Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995 diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam dampak negatif dari radikal bebas. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi
dengan
pengubahan
radikal
bebas
kebentuk
lebih
stabil
(Gordon 1990). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat menghambat atau
mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif
stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul
tertentu
membentuk
radikal
bebas
baru
(Gordon
1990).
Menurut
Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2. Inisiasi ;
R*
+ AH --------------------------RH + A*
Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A* Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas (Sumber: Gordon 1990).
Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan) sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas (blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada kulit (Suryowinoto 2005). 2.2.2 Jenis-jenis antioksidan Antioksidan
sangat
beragam
jenisnya.
Berdasarkan
sumbernya
antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). 2.2.2.1 Antioksidan sintetik Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahaptahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck 1991; Coppen 1983).
Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148⁰C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991). Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA, maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang
baik pada proses
pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991). Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Di
dalam
jaringan
hidup,
aktivitas
antioksidan
tokoferol
cenderung
α->β->γ->δ-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β->α-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu. 2.2.2.2 Antioksidan Alami Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen. 2.3 Uji Aktivitas Antioksidan Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas antioksidan.
Pada
prisipnya
metode-metode
tersebut
digunakan
untuk
mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam (Setyaningsih 2003). Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat nonradikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).
Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine
Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar
aktivitas
antioksidan
maka
nilai
IC50
akan
semakin
kecil.
Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil. 2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut yang mengalir
ke dalam ruang sel akan menyebabkan
protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994). Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar juga, begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,
dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas: a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan; b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan; c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut; d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara. Ekstraksi khusus terdiri atas: a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi; b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan; c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz
2.5 Metabolit Sekunder Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid) (Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005). Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini
berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009). Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005), azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan (Samsudin 2008). 2.6 Analisis Fitokimia Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). 2.6.1 Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan
tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987). Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari alkaloid pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur alkaloid (Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962)
2.6.2 Steroid/Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987). Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007). Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).
Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur steroid (Sumber: Shaddack 2005)
2.6.3 Flavonoid Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-
mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987) Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007). 2.6.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum disajikan pada Gambat 6.
Gambar 6. Struktur umum saponin (Sumber: Yamasaki 1999)
2.6.5 Fenol Hidrokuinon Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik (Harborne 1987). Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987). Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol, pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986). 2.6.6 Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman
dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO 2) yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat
sederhana
glukosa
dan
oksigen
yang
dilepas
di
udara
(Almatsier 2006). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan, timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan protein dalam tubuh (Budiyanto 2002). 2.6.7 Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008). Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes (Pine et al. 1988) . Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna
endapan
ini
tergantung
pada
konsentrasi
karbohidrat
yang
diperiksa
(Poedjiadi 1994). 2.6.8 Peptida Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air (Winarno 2008). 2.6.9 Asam amino Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008). Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997). Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna kuning) (Pine et al. 1988).
3 METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010. Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipongipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat, asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a), larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong, kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT (Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan HCl
2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),
peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict), pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat
yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder, homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes, tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala. 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dan uji fitokimia 3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus: Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100% Daging-daging
keong
ipong-ipong
yang
telah
dipisahkan
dari
cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)
dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji aktivitas antioksidannya dan fitokimia. 3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005) Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar air, abu, lemak, protein dan abu larut asam. 1) Analisis kadar air (AOAC 2005) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air : % Kadar air = B - C x 100% B-A Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu o
105 C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus: % Kadar abu = C - A x 100% B-A
Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) 3) Analisis kadar protein (AOAC 1980) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : % N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% Mg contoh x faktor koreksi alat * *) Faktor koreksi alat = 2,5 % Kadar protein = % N x faktor konversi * *) Faktor Konversi = 6,25 4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu
lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.
Pada saat destilasi
pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong: % Kadar lemak = (W3- W2) x 100% W3 Keterangan : W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak kosong (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 5) Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000 (BSN 2000) Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan 25 ml HCl 10%. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600⁰C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus: Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100% Berat sampel awal (g) 3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH 1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988) Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka aw
akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia (Winarno 2008). Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah, air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah yang kecil pada larutan ekstrak. Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air, sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg, 50 ºC). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC (Lehninger 1988). Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses
ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan pelarut polar (metanol p.a.). Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm, sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC. Hasil proses
maserasi ke-2 selanjutnya
disaring
dengan kertas
Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak 100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC. Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan
ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8. 25 gr Sampel
Maserasi dengan kloroform selama 48 jam Penyaringan
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak kloroform
Residu
Maserasi dengan etil asetat selama 48 jam Penyaringan
Filtrat
Residu
Evaporasi
Ekstrak etil asetat
Maserasi dengan metanol selama 48 jam Penyaringan
Filtrat
Evaporasi Ekstrak metanol
Residu
Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) (Sumber: Quinn 1988)
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958) Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam
pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari. Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu, aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut: % inhibisi = (A blanko – A sampel) x 100% A blanko
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%. 3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984) Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponenkomponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji
steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984). a. Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar.
Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat
dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga. b. Steroid/ triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif. c. Flavonoid Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d. Saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3) Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%.
Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya
senyawa fenol dalam bahan. f. Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan. g. Uji Benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi. h. Uji Biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret. Campuran dikocok dengan seksama.
Terbentuknya larutan berwarna ungu
menunjukkan hasil uji positif adanya peptida. i. Uji Ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo) Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkan dari operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong Karakteristik Fisik
Cangkang
Warna
Coklat kekuningan, berbulu halus
Tekstur
Keras
Isi Cangkang Daging: krem Jeroan : hijau, hitam, putih (Saluran dan kelenjar pencernaan). Putih krem (gonad) Daging: kenyal Jeroan: lunak dan mudah hancur bila ditekan.
Operkulum
Coklat cerah
Tipis, lembut dan mudah dipatahkan.
Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun cangkang keong ipong-ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipongipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad. Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan. Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat. 4.1.1 Rendemen Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya,
maka
semakin
tinggi
pula
nilai
ekonomisnya
sehingga
pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif. Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) dapat dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong
Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh, yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium. Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari 3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre. Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari 22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar 30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme tubuh manusia (Winarno 2008). Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup rapat lubang aperture. 4.1.2 Komposisi kimia Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu dan karbohidrat), pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan
menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)
1) Kadar air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 73,07%.
Prinsip análisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III (Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar. Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya enzim protease seperti katepsin. 2) Kadar lemak Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang, sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K) (Winarno 2008; Belitz et al. 2009). Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998). Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.
Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar 2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad. 3) Protein Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 2008). Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi análisis proksimat keong ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipongipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan protein. Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad. 4) Kadar abu Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahanbahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).
Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan. 5) Kadar abu tidak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003). Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup, seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Adriyanti (2009) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut (Discodoris ap.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh
Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar. 6) Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari karbohidrat sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008). Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Kadar karbohidrat yang terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan karbohidrat
yang
terdapat
pada
hewan
umumnya
berbentuk
glikogen
(Winarno 2008). 4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen
yang
terpisah.
Proses
ekstraksi
bertujuan
untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi proses pengeringan sampel, penghancuran sampel sampai menjadi bubuk, maserasi dengan pelarut, penyaringan dan evavorasi menggunakan vacuum rotary evaporator. Sampel yang digunakan merupakan daging dan jeroan keong ipong-
ipong. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). 4.2.1 Ekstrak kasar Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan menghasilkan ekstrak kasar keong ipong-ipong yang kental dan berbeda tingkat kepolarannya. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta kental dan memiliki bau yang khas. Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai rendemen bahan. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada diagram batang pada Gambar 11. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong Diagram batang di atas menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak kasar dari ketiga pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya dari daging dan jeroan keong
ipong-ipong. Berdasarkan diagram di atas untuk daging dan jeroan, ekstrak kloroform memiliki rendemen terkecil, yaitu secara berurutan 0,24% dan 1,98%. sedangkan ekstrak metanol merupakan ekstrak yang memiliki rendemen yang terbesar antara daging dan jeroan, yaitu secara berurutan 10,77% dan 13,66%. akan tetapi secara umum antara daging dan jeroan, dari ketiga pelarut tersebut, ekstrak kasar dari jeroan memiliki nilai rendemen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstrak kasr dari daging keong ipong-ipong. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam jeroan maupun daging keong ipong-ipong merupakan komponen bioaktif yang memiliki sifat polar karena dapat larut dalam pelarut polar, yaitu metanol. Komponen bioaktif keong ipong-ipong yang bersifat non polar dan semi polar terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit. Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1984). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Salamah et al. (2008) menunjukkan bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana kadar komponen komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar dan non polar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda-beda bergantung tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediannya dalam bahan yang diekstrak. Menurut Susanto (2010), kandungan komponen bioaktif yang bersifat polar pada filum molusca umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan komponen-komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semi polar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol (polar) keong ipong-ipong terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan diatas juga didukung oleh hasil penelitian Salamah et al. (2008) pada kijing taiwan (Anandonta woodiana Lea.) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut (Discodoris sp.), Prabowo (2009) pada keong mata merah (Cerithedia obtusa) dan Susanto (2010) pada keong mas (Pomachea cunaliculata Lamarck), yang mana
ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semi polar dan non polar. 4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar Ekstrak kasar keong ipong-ipong yang diperoleh dari ekstraksi serbuk keong
ipong-ipong
menggunakan
pelarut
kloroform
p.a.
(non
polar),
etil asetat p.a. (semi polar), dan metanol p.a. (polar) diuji komponen bioaktifnya menggunakan metode fitokimia. Pengujian ini akan menghasilkan komponen bioaktif apa saja yang terlarut pada tiap-tiap pelarut tersebut. Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida (Kannan et al. 2009). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi pengujian pada kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit primer, sedangkan untuk metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hirdokuinon (Harborne 1984). Uji fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Adapun hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong
Uji Alkaloid: a. Dragendorf b. Meyer c. Wegner Steroid Flavonoid Saponin Fenol Hidroquinon Molisch Benedict Biuret Ninhidrin
Kloroform Daging Jeroan
EKSTRAK Etil Asetat Daging Jeroan
Metanol Daging Jeroan
++ -
+ ++ -
+ + + -
+ + -
+ + + -
+ + + -
+ -
+ -
+ -
+ -
+ + ++ ++
+ ++ ++
Keterangan: + : Lemah ++: Kuat
Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut metanol keong ipong-ipong mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan dua ekstrak dengan pelarut lainnya. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak daging dan jeroan dengan pelarut metanol antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, protein, gula pereduksi dan asam amino. Komponen bioaktif yang yang terdeteksi pada ektrak daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut etil asetat antara lain, alkaloid, steroid dan karbohidrat. Komponen biaoktif yang terdeteksi pada ektrak jeroan dengan pelarut kloroform antara lain alkaloid, steroid dan karbohidrat, sedangkan untuk ektrak dagingnya hanya terdeteksi steroid dan karbohidrat. Berdasarkan Gambar 11 untuk ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat memiliki rendemen yang lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut kloroform, sehingga dapat ditarik kesimpulan awal bahwa ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat mengandung komponen lain selain ketiga komponen bioaktif yang dikandungnya dan/atau ekstrak etil asetat mengandung komponen alkaloid, steroid dan karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak jeroan dengan pelarut kloroform. Hal ini disebabkan ekstrak yang diperoleh dari hasil proses ekstraksi pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan kromatografi , hal ini bertujuan untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam ekstrak tersebut beserta jumlahnya. Berdasarkan hasil dari uji fitokimia ini menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung 6 dari 9 komponen yang diuji dengan metode fitokimia Harborne (1984). 1) Alkaloid Komponen alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini ditemukan pada ekstrak jeroan dan ditiap-tiap pelarut, sedangkan untuk ekstrak daging, alkaloid hanya ditemukan pada pelarut etil asetat dan metanol, akan tetapi tidak ditemukan
pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air (Lenny 2006). Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a., tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru dengan pelarut etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). Hal ini menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006). Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari keong ipong-ipong sendiri.
Kutchan (1995) menyatakan bahwa, alkaloid
digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong ipongipong ini juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh keong ipong-ipong sendiri Alkaloid berasal dari sejumlah kecil asam amino antara lain ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid jenis indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu enol atau fenol (Lenny 2006).
Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam
jaringan tubuh keong ipong-ipong yang turut menghasilkan alkaloid.
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Komponen alkaloid pada ekstrak keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin, dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine (Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS dan NMR) (Harborne 1984). Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat. 2) Steroid Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid.
Triterpenoid
merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi (Harborne 1984). Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong
ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks
(progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol)
seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan Gastropoda (Bose et al. 1997). Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setzer (2008), triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA. Berdasarkan
hasil
uji
fitokimia
menunjukkan
bahwa
komponen
triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut organik (non polar).
Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila
triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut kloroform (non polar) ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil asetat (semipolar) keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut metanol (polar).
Hal ini dapat terjadi mengingat metanol
merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. 3) Karbohidrat Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati), transportasi
energi
(sukrosa),
serta
pembangun
dinding
sel
(selulosa)
(Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang
berbeda-beda.
Karbohidrat
umumnya
aman
untuk
dikonsumsi
(tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya C x(H2O)y (Fennema 1996).
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
positif
mengandung
unsur karbohidrat. Hasil
pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong ipong-ipong, yaitu sebesar 5.2%. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi, sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong bukanlah komponen serat kasar, tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda.
Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya
berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008). Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1984). Karbohidrat di dalam tubuh manusia berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008). Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula pereduksi pada ektrak metanol dari daging, akan tetapi tidak diikuti reaksi positif pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat, serta ekstrak jeroan pada ketiga pelarut tersebut untuk ekstrak kasar keong ipong-ipong dengan menggunakan pereaksi Benedict. Ekstrak daging keong ipong-ipong dengan metanol terdapat gula jenis aldosa, sedangkan untuk ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat dan ekstrak jeroan dari ketiga pelarut tersebut diduga gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong ipong-ipong tersebut didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja, seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata (Fennema 1996).
4) Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008). Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes (Pine et al. 1988) . 5) Peptida Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan
reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida
menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar 10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino (Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Berdasarkan hasil pengujian fitokimia, komponen peptida ini terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan ekstrak metanol. Sedangkan pada kedua pelarut lainnya tidak telihat reaksinya begitu pula pada kedua pelarut lainnya pada ekstrak jeroan. Pada ekstrak daging, peptide yang terdeteksi diduga jenis protein yang berasal
yang merupakan komponen metabolit primer,
sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang memiliki berat molekul <5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26). 6) Asam amino Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim. Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L, kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008). Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan
jeroan
pada pelarut
metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non protein (bukan penyusun protein). Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa, asam amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin (asam amino polar tak bermuata). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung asam amino.
Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini
terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang
digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin 0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat. Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat (Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol.
Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008). 4.3 Aktivitas Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan.
Uji
aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong
yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan
menggunakan metode uji DPPH. Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) (Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004). Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan dalam pengujian ini cukup banyak.
Pelarut yang digunakan adalah metanol.
metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda. Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene).
Larutan BHT pada
penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar 200, 400, 600 dan 800 ppm.
Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses
pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH, yang
ditandai
dengan
perubahan
warna
ungu
menjadi
kuning
pucat
(Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC, sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50). Perubahan warna yang mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa
antioksidan pada
larutan BHT dan larutan ekstrak daging dan jeroan keong
ipong-ipong, dapat dilihat pada Lampiran 6. Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan ekstrak kasar keong ipong-ipong ini dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu, perhitungan persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar keong ipong-ipong dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC50 sendiri merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil uji antioksidan masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT Sampel BHT
% Inhibisi
IC50 (ppm)
2 ppm
4 ppm
6 ppm
8 ppm
12,55
23,67
79,37
89,45
4,91
Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipongipong (Fasciolaria salmo) Sampel Daging
% Inhibisi
IC50 (ppm)
200 ppm
400 ppm
600 ppm
800 ppm
Ekstrak Kloroform
22,90
24,14
24,61
25,19
9210
Ekstrak Etil Asetat
23,85
24,23
24,42
26,52
6825
Ekstrak Metanol
33,93
34,60
38,02
41,82
1513,8
Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipongipong (Fasciolaria salmo) Sampel Jeroan
% Inhibisi
IC50 (ppm)
200 ppm
400 ppm
600 ppm
800 ppm
Ekstrak Kloroform
13,49
15,30
21,19
21,38
2825
Ekstrak Etil Asetat
15,39
15,87
17,96
20,24
4600
Ekstrak Metanol
19,96
28,13
33,84
43,63
994,47
Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar 3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya Berdasarkan hasil pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong juga memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT, walaupun aktivitasnya tergolong lemah. Ketiga ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbedabeda
antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari
masing-masaing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.
Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.
Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong). Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu larutan dengan konsentrasi 200 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC 50-nya yang terkecil, yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm. Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,
sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50-nya lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas antioksidan dari BHT. Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong tersebut.
Setelah ekstrak yang telah dimurnikan
tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan. Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH menunjukkan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang
berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) yang berasal dari Desa Gebang, Kota Cirebon, Jawa memiliki rendemen daging (22,08%), jeroan (8,22%) dan cangkang (69,69%), yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong ini mengandung air yang cukup tinggi (73,07%), lemak yang rendah (0,57%), protein dalam jumlah yang tinggi (18,28%), abu (2,77%), abu tidak larut asam (0,15%) dan karbohidrat (5,2%). Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan BHT. Walaupun begitu, ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini mengandung 6 komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji fitokimia, yaitu komponen alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis yang positif bagi tubuh manusia. Selain itu adanya kandungan steroid pada keong ipong-ipong membuktikan khasiat dari keong tersebut secara empiris yang dapat meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas. 5.2. Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak dan pengujian aktivitas antioksidan ekstrak murni tersebut, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada ekstrak murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Identifikasi senyawa-senyawa bioaktif lainnya dalam ekstrak daging dan jeroan dari keong ipong-ipong menggunakan GC-MS (gaschromatography mass spectroscopy). Penentuan komposisi asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dari steroid yang terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong, dikaitkan dengan pengaruh pengolahan.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia. Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil (DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114. Anand P, Chellaram C, Kumaran S, Shanthini CF. 2010. Biochemical composition and antioxidant activity of Pleuroploca trapezium meat. J. Chem. Pharm. 2(4):526-535 Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut (Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of Anaalysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia. Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College Publishing. Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag. Berry, A. J. 1972. Fauna Zonatio in Mangrove Swamps. Malaysia: Departement of Zoology, University of Malaya Blois, MS.1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Journals Nature 181: 1199-1200. Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica (Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland. Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering Dalam Kemasan. Jakarta:SNI-01-3836-2000
Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar Muhammadiyah Malang.
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow. Campanella L, Gatta T, Ravera O. 2005. Relationship between anti-oxidant capacity and manganese accumulation in the soft tissues of two freshwater molluscs: Unio pictorum mancus (Lamellibranchia, Unionidae) and Viviparus ater (Gastropoda, Prosobranchia). J. Limnol 64(2): 153-158 Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2004. Antioxidant status of Lobiger serradifalci and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 314:227-235 Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers. Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:1315. Dance P S. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press. Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker, Inc. Food Chemical Codex. 1992. Carrageenan. Washington: National Academy Press Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsivier Applied Science. Halliwell B. 2007. Dietary polyphenols: good, bad, or indifferent for your health. J. Cardiovascular Research 73:341–347. Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam: J.C. Allen dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied science Publishers. Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):127-133. Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and Hall.
Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder.Diterjemahkan: Srigandono dari, The Biosintesis of Secondary Metabolites. Semarang: IKIP Semarang Press. Huber M E, Castro P,. 2007. Marine Biology Sixth ed. New York: The MC.Graw Hill Companies, inc. Hughes, R.H. 1986. A Fungtional Biology of Marine Gastropods. First Published. USA: John Hopkins University Press. Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20. Kasih AL. 2007. Ekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari biji lotus (Nelumbium nelumbo) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kubola J, Siriamornpun S. 2008. Phenolic contents and antioxidant activities of bitter gourd (Momordica charantia L.) leaf, stem and fruit fraction extracts in vitro. J.Food Chemistry 110:881–890. Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070. Lawrence S G, Musthafa Z, Seweang A. 2000. Radikal Bebas sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 127: 32-33 Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida. Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Mohsen SM, Ammar ASM. 2009. Total phenolic contents and antioxidant activity of corn tassel extracts. J.Food Chemistry 112:595–598. Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical dyhenylpicrylhydrazil (DPPH) for estimating antioxidant activity. Journals science and technology: 26:211-219 Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Nuraini AD. 2007. Ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan dari biji teratai (Nymphaea pubescens Wild) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pierleimena E H. 2002. Potensi Pemanfaatan Beberapa Jenis Keong Laut (Molusca: Gastropoda). Jurnal Hayati: 9:97-99. Plaziat, C. J. 1984. Mollusc Distribution in Mangal. Washinton: Dr. W. Junk Published. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South American Psychotria and related species. The Open Bioactive Compounds Journal 2:29-36. Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society. Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited Comercially. Di dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science. Purwati
E. 2009. Profil komponen bioaktif tanaman kava-kava (Pipermethysticum, Forst, f) dengan pelarut etanol dan methanol [skripsi]. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang.
Putra SE. 2007. Alkaloid: senyawa organik terbanyak di alam. http://www.chemis-try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid_senyawa_organik_terbanyak di_alam/. [20 Februari 2010]. Quinn R J. 1988. Chemistry of Aqueous Marine Extracts: Isolation Techniques in Bioorganic Marine Chemistry, Vol. 2.Verlag Berlin Heidelberg:Springer Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi keenam. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The organic constituents of higher plants.
Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi Indonesia 16(3):136-140. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132. Salimi KY. 2005. Aktivitas antioksidan dan antihiperkolestrolemia ekstrak beta glukan dari Saccharomyces cerevisiae pada tikus putih. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat. Sarastani D et al. 2002. Aktivitas antiksidan ekstrak dan fraksi ekstrak biji atung (Parinarium glaberrimum). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XII(2):149-156 Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on contents determined in beef. Journal of Food chemistry. 76: 83-88.
steroid
Setyaningsih A. 2003. Studi pendahuluan bahan aktif dari bintang laut (Astropecten sp.) sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal 1:13-17. Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB. Sunardi, Kucahyo I. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) terhadap 1,1 diphenyl-2- pycrylhidrazil (DPPH). Makalah Seminar Nasional Teknologi 2007. Yogyakarta, 24 November 2007. Suryowinoto S. 2005. Mengenal beberapa senyawa pada tanaman yang berperan sebagai antiaging. InfoPOM 6(3):7-11. Suwignyo S. et al.. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality. Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor. Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press.
Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas press. Vorontsova YA, Yurlova NI, Vodyanitskaya SN, Glupov VV. 2010. Activity of detoxifying and antioxidant enzymes in the pond snail Lymnaea stagnalis (Gastropoda: Pulmonata) during invasion by Trematode Cercariae. Journal of Evolutionary Biochemistry and Physiology 46(1): 28-34 Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid (quercetin). Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1973. Ekstraksi dan Khromatografi, Elektroforesis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisus Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998. Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong
Tampak bawah
Tampak atas
Lampiran 2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong Berat total
: 1046 gram
Berat cangkang
: 729 gram
Berat daging
: 231 gram
Berat jeroan
: 86 gram
Lampiran 3. Perhitungan analisis proksimat a. Kadar air
b. Kadar lemak
c. Kadar protein
d. Kadar abu
e. Abu tidak larut asam Ulangan 1 = 0.1 % Ulangan 2 = 0.2 %
f. Kadar karbohidrat (by difference) % Kadar karbohidrat = 100% - (73.075 + 0.575 + 18.28 + 2.77 + 0.15) % = 5.2 %
Lampiran 4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong Jenis Pelarut Kloroform Etil Asetat Metanol
Berat Sampel Kering (g) Daging Jeroan 25 25 25 25 25 25
a. Ekstrak kloroform -
Daging
-
Jeroan
b. Ekstrak etil asetat -
Daging
-
Jeroan
c. Ekstrak methanol -
Daging
-
Jeroan
Berat ekstrak (g) Daging Jeroan 0.0615 0.496 0.3346 1.603 2.6928 3.417
Rendemen (%) Daging Jeroan 0.246 1.984 1.3384 6.412 10.7712 13.668
Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan stock dan pengencerannya a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol) Konsentrasi
=
0,001 M
=
berat DPPH
=
DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml. b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml Stok BHT 250 ppm
= = 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
BHT 2 ppm
= = =
0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 4 ppm
= = =
0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 6 ppm
= = =
0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 8 ppm
= = =
0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml Stok ekstrak 1000 ppm
= = 50 mg = 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
Ekstrak 200 ppm
= = =
2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 400 ppm
= = =
4 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 600 ppm
= = =
6 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 800 ppm
= = =
8 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Lampiran 6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi peredaman DPPH
.
BHT + DPPH 1 mM
Ekstrak Kloroform + DPPH 1 mM
Ekstrak Etil Asetat + DPPH 1 mM
Ekstrak Metanol + DPPH 1 mM
Lampiran 7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50 a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT Konsentrasi Absorbansi (ppm) Blanko 0 1,052 2 0,920 4 0,803 BHT 6 0,217 8 0,111
Sampel
1) Persen inhibisi BHT 2 ppm = BHT 4 ppm
=
BHT 6 ppm
=
BHT 8 ppm
=
% Inhibisi
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
12,55 23,67 79,37 89,45
y = 14,32x – 20,35
4,91
2) IC50 y = 14,32x – 20,34 50 = 14,32x – 20,34 70,34 = 14,32x x = 4,91 ppm IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm. b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform -
Daging
Sampel Daging Blanko
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 1,052 200 0.811 400 0.798 Kloroform 600 0.793 800 0.787 Sampel Konsentrasi Absorbansi Daging (ppm) Blanko 0 1,052 200 0.801 400 0.797 Etil Asetat 600 0.795 800 0.773
Sampel Daging Blanko metanol
Sampel Jeroan Blanko
% Inhibisi 22.90 24.14 24.61 25.19
% Inhibisi
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 1,052 200 0.695 400 0.688 600 0.652 800 0.612
23.85 24.23 24.42 26.52
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.003x + 22.37
9210
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.004x + 22.70
6825
% Inhibisi 33.93 34.60 38.02 41.82
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.013x + 30.32
1513.8
Jeroan
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 1,052 200 0.910 400 0.891 Kloroform 600 0.829 800 0.827
% Inhibisi 13.49 15.30 21.19 21.38
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.014x + 10.45
2825
Sampel Jeroan Blanko Etil asetat
Sampel Jeroan Blanko Metanol
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 1,052 200 0.890 400 0.885 600 0.863 800 0.839
% Inhibisi
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 1,052 200 0.842 400 0.756 600 0.696 800 0.593
% Inhibisi
15.39 15.87 17.96 20.24
19.96 28.13 33.84 43.63
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.008x + 13.20
4600
Persamaan regresi linear
IC50 (ppm)
y = 0.038x + 12.21
994.47
Lampiran 8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong a. Ekstrak kloroform
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan
b. Ekstrak etil asetat
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan
c. Ekstrak methanol
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan
Lampiran 9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi
Proses pengadukan dengan orbital shaker
Rotary vacuum evaporator
Proses filtrasi hasil maserasi
Proses evaporasi filtrat