AKSESIBILITAS MEDIA KOMUNIKASI DENGAN KOMPETENSI PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO
SITI NURAINI SYAFITRI SATIVA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aksesibilitas Media Komunikasi dengan Kompetensi Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbikan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Siti Nuraini Syafitri Sativa NRP. 1352120271
RINGKASAN SITI NURAINI SYAFITRI SATIVA. Aksesibilitas Media Komunikasi dengan Kompetensi Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan KRISHNARINI MATINDAS. Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi untuk menjadi pengembang pembibitan dan penggemukkan sapi. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil sensus pertanian 2013 rumah tangga usaha pertanian sub sektor peternakan memiliki jumlah rumah tangga terbanyak kedua yaitu sebesar 173.409 rumah tangga. Salah satu kecamatan yang masyarakatnya berusaha ternak adalah Kecamatan Kasiman yang memiliki jumlah rumah tangga usaha peternakan menurut kecamatan dan jenis ternak sebanyak 3.393 rumah tangga dan 2.532 di antaranya merupakan rumah tangga usaha peternakan sapi potong (BPS, 2014). Berdasarakan data tersebut terlihat jika Kecamatan Kasiman berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu lokasi pengembangan pembibitan dan penggemukan sapi. Salah satu program yang dapat menunjang potensi Kecamatan Kasiman adalah Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Tingginya produksi sapi potong juga harus seiring dengan peningkatan kompetensi dari peternak. Kompetensi dapat dicapai jika peternak memiliki kemampuan dalam mengkombinasikan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan manajerial (Yusuf 2010). Selain itu dibutuhkan faktor lain seperti aksesibilitas terhadap media komunikasi seperti radio, televisi dan telepon genggam. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis hubungan antara karakteristik individu pertenak, media radio, media televisi dan media telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. Lokasi penelitian berada di Desa Sekaran Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data yang terkumpul diolah mengguanakan analisis deskriptif dan dilakukan uji korelasi rank Spearman untuk melihat hubungan antar dua peubah. Hasil penelitian menunjukkan jika hubungan antara karakteritik kepemilikan ternak berhubungan dengan penanganan hasil ternak, selain itu kekosmopolitan berhubungan dengan penanganan kesehatan hewan dan perkawinan ternak dilihat dari pengetahuan peternak. Jika dilihat dari keterampilan maka kepemilikan ternak, berhubungan dengan bibit ternak, pakan ternak, penanganan kesehatan ternak, perkawinan ternak, dan penanganan hasil ternak. Hubungan antara aksesibilitas radio dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika media komunikasi radio tidak memiliki hubungan dengan peningkatan pengetahuan peternak namun jika dilihat dari keterampilam maka terdapat hubungan yang tidak searah seperti hubungan antara cara mendengarkan, aktivitas mendengarkan dan program yang didengarkan tidak berhubungan searah dengan penanganan hasil ternaknya. Hubungan antara aksesibilitas televisi dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika terdapat hubungan yang searah antara tempat menonton televisi dengan peningkatan pengetahuan peternak berkaitan dengan perkawinan dan penangan hasil. Selain itu terdapat hubungan searah antara program yang ditonton oleh peternak dengan pengetahuan bibit. Jika dilihat dari peningkatan keterampilan peternak terdapat hubungan yang searah antara
intensitas menonton televisi dengan keterampilan pengolahan pakan ternak, waktu menonton televisi juga berhubungan dengan keterampilan pengelolaan kandang peternak, tempat menonton televisi juga memiliki hubungan dengan keterampilan berkaitan perkawinan ternak, dan program yang ditonton oleh peternak memiliki hubungan dengan peningkatan keterampilan kesehatan ternak. Hubungan antara aksesibilitas telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika terdapat hubungan yang searah antara intensitas menelepon, waktu menelepon, cara mendapatkan telepon genggam dan tempat menelepon dengan pengetahuan berkaitan dengan perkawinan ternak dan penanganan hasil ternak. Jika dilihat dari peningkatan keterampilan peternak maka intensitas menelepon, waktu menelepon, cara mendapatkan telepon, dan tempat menelepon menunjukkan terdapat hubungan yang searah dengan peningkatan keterampilan para peternak. Kata kunci: aksesibilitas media, radio, televisi, telepon genggam, kompetensi, peternak
SUMMARY SITI NURAINI SYAFITRI SATIVA. Accessibility Media Communication Competency Cattle Raiser in Kabupaten Bojonegoro, Supervised by AMIRUDDIN SALEH and KRISHNARINI MATINDAS. Bojonegoro is one district that has the potential to become a developer breeding and fattening cattle. That is because on the terms of the results of the agricultural census 2013 household farming livestock sub-sector has the second highest number of households in the amount of 173 409 households. One of the districts where people tried to livestock is the District Kasiman which has a number of farm households by districts and types of livestock as many as 3,393 households and 2532 of them are household beef cattle breeding business (BPS, 2014). Based on these data, Kasiman District has the potential to serve as one of the locations the development of breeding and fattening cattle. One program that can support potential Sekolah Peternakan Rakyat of Kasiman (SPR). The high production of beef cattle must also be along with the increased competence of breeders. Competence can be achieved if the farmer has the ability to combine knowledge, attitudes, skills, and managerial (Yusuf 2010). It would also require other factors such as accessibility to communications media such as radio, television and mobile phones. The purpose of this study is to analyze the correlation between the characteristics of radio, television and mobile phones with competency cattle raiser in Bojonegoro. The research location was in Kasiman village, Bojonegoro. Sampling was done proportionally with simple random. Data collected consist of primary data and secondary data. The data is processed used descriptive analysis and Spearman rank correlation test to see correlatin between two variables. The results showed if the correlation between the characteristics of livestock ownership associated with handling of livestock, in addition cosmopolite handlers associated with animal health and livestock mariage seen from knowledg cattle raiser. Meanwhile, if seen from the skill of livestock holdings, dealing with breeding stock, animal feed, animal health handler, marriage cattle, and handling of livestock. The correlation between the accessibility of radio with the competence of cattle raiser in Bojonegoro shows the radio has no correlation with increased knowledge of cattle raiser but when seen from the specific to the skills then there are the trade-offs such as the correlation between how to listen, the activity of listening and programs that heard not related in line with handling of livestock. The correlation between the accessibility of television with the competence of cattle raiser in Bojonegoro indicate that there was a direct correlation between television viewing area with enhanced knowledge related to marriage livestock cattle and handlers livestock. In addition there is also the direction correlation between program television with knowledge seed breeders the cattle raiser. Meanwhile, theres is increase in the skills of cattle raiser in where there is a unidirectional correlation between the intensity of watching television with processing skills fodder, watching television was also associated with management skills cage breeders, where watching television also has a
correlation with the skills concerning marriage livestock and program watched by cattle raiser also has a correlation with the improvement of animal health skills. The correlation between the accessibility of mobile phones with the competency of cattle raiser in Bojonegoro indicate if there was a direct correlation between the intensity of the call, time of call, get a phone call and it takes place with the knowledge relating to the marriage of livestock and livestock handling. The intensity the call breeder skills, time to call, how to get the mobile phone, and the call shows a direct correlation with increased skills of cattle raiser in Bojonegoro.
Keywords: accessibility of media, radio, television, mobile phones, competency, cattle raiser
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
AKSESIBILITAS MEDIA KOMUNIKASI DENGAN KOMPETENSI PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO
SITI NURAINI SYAFITRI SATIVA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
Judul Tesis Nama NIM
: Aksesibilitas Media Komunikasi dengan Kompetensi Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro : Siti Nuraini Syafitri Sativa : I352120271
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Amiruddin Saleh, MS Ketua
Dr Krishnarini Matindas, MS Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 5 Januari 2016
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipili h dalam penelitian ini ialah Aksesibilitas Media Komunikasi dengan Kompetensi Peternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Dr Ir Amiruddin Saleh, MS dan Dr Krishnarini Matindas, MS selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran, dan bimbingannya. Penulis juga ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh manajer Sekolah Peternakan Rakyat Kabupaten Bojononegoro, para peternak Dusun Ngantru Desa Sekaran Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro, dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro, serta ungkapan terima kasih kepada Centras LPPM IPB yang sudah membantu penulis dalam pemilihan lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, Papah Dede Setiadi, Mamah Siti Zamzami, Teteh Sylvia Sativa, Teteh Garcinia Sativa, Aa Riza Sativa dan para ponakan tante yang lucu atas seluruh doa, dukungan, kasih sayang, serta kesabarannya membantu penulis selama menempuh pendidikan S2 di IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh teman-teman program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, khususnya kepada Amalia Dinah, Nurul Mukhlishah, ibu Junika, ibu Titin Yusnita, Arsyad dan Febri Palupi terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya untuk menyelesaikan studi ini. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada Gian Hendra yang selalu menemani peneliti selama di lokasi penelitian, tempat berdiskusi dan berbagi selama penelitian. Terima kasih kepada teman-teman di Green TV IPB atas pengertiannya dengan kesibukan penulis selama dalam proses studi sampai lulus S2 ini. Terima kasih penulis ungkapkan kepada teman-teman asisten S1 matakuliah Media Siaran dan Komunikasi Kelompok serta teman-teman asisten D3 matakuliah Dinamika Sosial dan CSR. Terima kasih penulis ungkapkan kepada sahabat Reika Yusnia, Femi Damayanti dan Aldila Kirana yang selalu menyempatkan waktu untuk menemani penulis menghilangkan kejenuhan selama proses penulisan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum dan para peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro pada khususnya.
Bogor, April 2016
Siti Nuraini Syafitri Sativa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Peternak Aksesibilitas Media Komunikasi Elektronik Keterdedahan Media Massa Kompetensi Peternak Sapi Peternakan Sapi Potong
5 9 12 13 15
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Hipotesis
22 23
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Populasi dan Sampel Data dan Instrumentasi Definisi Operasional Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Teknik Pengumpulan Data Analisis Data
24 24 24 25 29 30 30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Peternak Sapi Aksesibilitas Media Radio Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Media Televisi Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Media Telepon Genggam Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Kompetensi Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Berdasarkan Pengetahuan Kompetensi Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Berdasarkan Keterampilan Hubungan Karateritik Peternak dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Karakteritik Peternak Sapi dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Radio dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Radio dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro
31 33 36 38 41 43 46 50 51 52 53
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Televisi dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Televisi dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Telepon Genggam dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Telepon Genggam dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro
54 56 57 59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
61 61
DAFTAR TABEL 1. Jumlah penduduk menurut kecamtan di Kabupaten Bojonegoro, 2011 2. Sex ratio penduduk tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 3. Jumlah penduduk angkatan kerja menurut jenis usaha tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 4. Populasi ternak besar menurut jenisnya tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 5. Karakteristik peternak sapi di KabupatenBojonegoro, 2014 6. Aksesibilitas media radio peternakan sapi di Kabupaten Bojonegoro, 2014 7. Aksesibilitas media televisi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro, 2014 8. Aksesibilitas media handphone peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro, 2014 9. Kompetensi pengetahuan peternak 10. Kompetensi keterampilan peternak 11. Hubungan karakteritik peternak sapi dengan pengetahuan peternak sapi di
31 32
Kabupaten Bojonegoro 12. Hubungan karakteristik peternak dengan keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro 13. Hubungan aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator pengetahuan di Kabupaten Bojonegoro 14. Hubungan aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator keterampilan di Kabupaten Bojonegoro 15. Hubungan aksesibiltas media komunikasi televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator pengetahuan di Kabupaten Bojonegoro 16. Hubungan aksesibilitas televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator keterampilan di Kabupaten Bojonegoro 17. Hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator pengetahuan di Kabupaten Bojonegoro 18. Hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi indikator keterampilan di Kabupaten Bojonegoro
50
1.
DAFTAR GAMBAR Hubungan aksesibilitas media komunikasi dengan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong
32 32 33 37 39 41 43 46
51 52 53 54 56 57 59
22
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Kuesioner Penelitian Hasil validitas dan reliabilitas Riwayat Hidup
68 74 76
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Pentingnya pertanian dalam perekonomian nasional tidak hanya diukur dari kontribusinya terhadap pertumbuhan pendapatan nasional, kesempatan kerja, sumber devisa negara, tetapi potensinya di sektor ekonomi lain. Oleh karena itu sektor pertanian dijadikan pemimpin bagi sektor-sektor lainnya (Tambunan, 2003). Salah satu subsektor peternakan dimana kegiatannya berupa pengelolaan komoditas ternak. Sapi merupakan salah satu komoditas pada subsektor peternakan. Sapi memiliki beberapa jenis yaitu sapi potong yang memproduksi daging dan sapi perah yang memproduksi susu. Sapi potong merupakan hewan ternak yang dapat menopang kebutuhan konsumsi daging, karena sapi dapat diternakan secara sederhana, mudah, disukai banyak kalangan masyarakat dan tubuhnya cukup besar apabila dibandingkan dengan ternak lain (Yulianto & Saparianto 2010). Kebijakan pemerintah dalam subsektor peternakan mengenai peternakan sapi potong sebagai salah satu usaha yang perlu dikembangkan adalah usaha peternakan rakyat. Peternakan sapi potong merupakan salah satu bagian penting dalam perekonomian masyarakat desa di Indonesia dan sebagian merupakan usaha ternak rakyat dengan skala usaha satu sampai empat ekor per rumah tangga peternak (Wibowo & Haryadi 2006). Kontribusi peternakan sapi potong sangat penting dalam penyediaan kebutuhan protein hewani dan sumber pendapatan dalam peningkatan kesejahteraan peternak. Sapi potong dipandang sebagai salah satu mesin penggerak perekonomian masyarakat desa. Salah satu faktor pendorong pengembangan peternakan sapi potong adalah permintaan produksi sapi potong semakin meningkat dipicu oleh jumlah penduduk yang semakin besar serta tingkat kesadaran masyarakat akan produk pangan bergizi juga semakin meningkat (Yusuf 2010). Hal tersebut sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik di tahun 2013 yang memperlihatkan kenaikan yang cukup signifikan terhadap jumlah daging sapi potong terlihat pada tahun 2011 jumlah produksi daging ternak sapi potong sebanyak 485.335 ton, lalu pada tahun 2012 jumlah produksi daging ternak sapi potong sebanyak 508.905 ton dan pada tahun 2013 jumlah produksi daging ternak sapi potong sebesar 545.621 ton (BPS 2013). Tingginya produksi sapi potong juga harus seiring dengan peningkatan kompetensi dari peternak. Kompetensi adalah kecakapan yang memadai dalam melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan yang diisyaratkan. Kompetensi tersebut dapat dicapai jika peternak memiliki kemampuan dalam mengkombinasikan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan manajerial (Yusuf 2010). Selain itu dibutuhkan faktor lain untuk meningkatkan kompetensi para peternak seperti aksesibilitas terhadap media komunikasi. Aksesibilitas media komunikasi merupakan salah satu unsur dari perilaku komunikasi. Perilaku komunikasi diartikan sebagai suatu aktivitas verbal dan nonverbal yang berkaitan dengan penyampaian ide, informasi, sikap atau emosi. Media komunikasi dapat berupa komunikasi personal, interpersonal maupun komunikasi massa. Jahi (1988) juga menjelaskan jika media massa dapat menyediakan informasi pada khalayak dan memotivasinya untuk mengadopsi inovasi pertanian, maupun lebih tahu tentang berita nasional dan internasional. Media massa mungkin saja menimbulkan efek langsung atau tidak langsung pada perilaku khalayak pedesaan. Efek macam apa yang
akan timbul, sedikit banyak ditentukan oleh keterdedahan khalayak pada media massa itu, kemampuan khalayak mencerna isi pesan, dan kemampuan khalayak berinteraksi dengan pemuka pendapat yang dipercayainya (Istiana 1998). Penelitian Saleh (2006) mengkaji keterdedahan peternak sapi pada siaran radio dan televisi dan surat kabar menunjukkan bahwa peternak terdedah pada media radio dan televisi. Dalam penelitiannya juga dijelaskan jika peternak kurang maju mendengarkan siaran radio lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang sudah maju. Hal tersebut di perlihatkan dengn frekuensi mendengarkan siaran radio dikalangan responden peternak sapi potong ini adalah 1-3 kali seminggu. Selain itu diperlihatkan jika peternak yang memiliki televisi lebih terdedah dibandingkan peternak yang tidak memiliki televisi. Tadesse dan Bahigwa (2015) dalam tulisannya mengutip penelitian yang dilakukan oleh Donovan menjelaskan jika telepon genggam merupakan salah satu media yang dianggap dapat menjadi salah satu solusi untuk masalah informasi, hal tersebut dilihat melalui peningkatan jumlah telepon genggam yang bertambah dimana pada tahun 1999 sebesar 12 % dan pada tahun 2009 naik menjadi 76%. Pada tahun 2010 telepon genggam yang berada di seluruh dunia tiga per empatnya berada di negara-negara berkembang. Selain itu menurut Mittal, Gandhi dan Tripathi dalam Tadesse dan Bahigwa (2015) menjelaskan jika petani dan nelayan yang berada di India menyatakan jika informasi yang mereka dapatkan dari telepon genggam memumgkinkan mereka untuk meningkatkan hasil pertanian dan perikanan mereka. Melalui media massa diharapkan para peternak dapat saling berinteraksi, sehingga mempunyai dampak meningkatkan pengetahuan dan kemampuan, sikap, keterampilan, dan manajerial dalam mengelola usaha peternakan sapi potongnya secara maksimal.
Perumusan Masalah Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi untuk menjadi pengembang pembibitan dan penggemukkan sapi. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil sensus pertanian 2013 rumah tangga usaha pertanian sub sektor peternakan memiliki jumlah rumah tangga terbanyak kedua yaitu sebesar 173.409 rumah tangga setelah sub sektor tanaman pangan. Jika dilihat dari rumah tangga pertanian yang mengusahakan hasil ternaknya, menunjukkan jenis ternak besar yang banyak dipelihara oleh rumah tangga usaha peternakan adalah sapi potong yaitu sebesar 83.829 rumah tangga (BPS 2014). Salah satu kecamatan yang masyarakatnya berusaha ternak adalah Kecamatan Kasiman. Berdasarkan hasil sensus pertanian 2013 Kecamatan Kasiman, jumlah rumah tangga usaha peternakan menurut kecamatan dan jenis ternak sebanyak 3.393 rumah tangga dan 2.532 di antaranya merupakan rumah tangga usaha peternakan sapi potong. Populasi ternak yang diusahakan oleh rumah tangga usaha peternakan menurut kecamatan dan jenis ternak, sapi potong berjumlah 5.497 (BPS 2014). Berdasarkan data tersebut terlihat jika Kecamatan Kasiman berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu lokasi pengembangan pembibitan dan penggemukan sapi. Salah satu program yang dapat menunjang potensi Kecamatan Kasiman adalah Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Inovasi SPR merupakan konsep unggulan pemerintah yang demi terciptanya sistem daging sapi yang berstandar, terjamin mutunya sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mudah dipasarkan. Inovasi SPR merupakan rekayasa sosial dalam wadah kelembagaan yang menjaring kelompok-kelompok peternak sapi potong untuk dibina dalam
penguatan kelembagaan dan kewirausahaan para peternak. Wilayah SPR tersebut dapat berupa satu desa atau satu dusun yang jumlah ternak sapi potong minimal sebanyak 1.000 ekor induk dan maksimal 1.00 ekor pejantan Tujuan terbentuknya SPR ini adalah perbaikan mutu genetik sapi Peranakan Ongole (PO) dan perbanyakan bibit sapi PO, desain strategi kemandirian pakan hijauan berkualitas, aplikasi pakan untuk flushing dan pakan konsentrat menghasilkan daging sapi PO mengandung asam lemak tak jenuh tinggi, produksi probiotik sebagai pakan tambahan untuk meningkatkan produksivitas ternak, pengendalian penyakit cacingan, teknologi buthcher pada penanganan pemotongan daging dalam rangka menghasilkan daging sapi berstandar SNI, meningkatkan kinerja dan memitigasi risiko dalam rantai pasok daging sapi, penguatan kelompok Kelembagaan peternak sapi PO dan meningkatkan kapasitas peternak rakyat (IPB 2014). Tujuan terbentuknya SPR dapat tercapai melalui kompetensi peternak melalui pengetahuan, sikap, keterampilan dan manajerial mengelola usaha peternakan sapi potong. Faktor-faktor yang terkait dengan kompetensi seperti karakteristik peternak sapi potong yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, motivasi dan kekosmopolitan. Selain itu faktor lainnya adalah aksesibilitas komunikasi seperti pemilikan media komunikasi dan keterdedahan media dapat mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengelolaan sapi potong. Berdasarkan ha-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian diarahkan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi peternak dalam pengembangan usaha ternak sapi di Kabupaten Bojonegoro dengan pertanyaan penelitian berikut ini: 1. Seberapa besar hubungan karakteristik individu dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro? 2. Seberapa besar hubungan aksesibilitas media komunikasi radio oleh peternak dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro? 3. Seberapa besar hubungan aksesibilitas media komunikasi televisi oleh peternak dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro? 4. Seberapa besar hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam oleh peternak dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro? Tujuan Penelitian Pengembangan kompetensi peternak menjadi fokus perhatian dalam meningkatkan kinerja peternak sapi potong. Berbagai model pengembangan usaha peternakan sapi telah dilakukan namun belum mampu meningkatkan kompetensi peternak dalam berusaha agar lebih efisien, berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 2. Menganalisis hubungan aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 3. Menganalisis hubungan aksesibiltas media komunikasi televisi dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 4. Menganalisis hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini mengarahkan kajian faktor-faktor yang mendukung kompetensi peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, serta mempelajari kompetensi peternak tersebut dalam berusaha ternak sapi. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak seperti pemerintah daerah, akademisi dan lebih khusus lagi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 1. Sebagai bahan informasi dan penyadaran bagi peternak tentang perlunya memiliki kompetensi dalam pemecahan masalah pengembangan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait dalam hal ini pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan peternakan sapi, khususnya strategi peningkatan kompetensi peternak dalam mewujudkan kinerja pengelolaan ternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 3. Sebagai informasi dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam pengembangan peternakan sapi.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Peternak Kemampuan untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi teknologi budidaya sapi potong erat hubungannya dengan faktor karakteristik internal dan eksternal seorang peternak (Kuasai 1996). Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan. Selain terdapat tujuh karakteristik individu menurut Lionberger dan Gwin yang dikutip oleh Yusuf (2010) yaitu pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orang tua, kecakapan dalam manajemen, kesehatan, umur dan perilaku. Rogers (2003) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih rinci mengenai perbedaan karakteristik individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi yaitu: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan kosmopolit atau tidak), keberanian mengambil risiko, sikap terhadap perubahan sosial, motivasi berkarya, aspirasi, tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri, dan sistem kepercayaan yang tertutup. Rogers dan Shoemaker (1995) dan Yusuf (2010) mengungkapkan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan Tipe usaha , (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa, dan (3) kepribadian di antaranya empati, senang mengambil risiko dan lain sebagainya. Havelock et al. dalam Yusuf (2010) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciri yang mencerminkan karakteristik individu berbeda-beda tergantung pada penekanan masingmasing. Dengan demikian karakteristik internal dan eksternal yang digunakan dalam
penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, motivasi, kekosmopolitan, dan kepemilikan media komunikasi.
Umur Peternak Umur merupakan suatu faktor yang mempengaruhi kemampuan fisik seseorang baik dalam berpikir maupun dalam bekerja serta menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat adanya keragaman perilaku (Batoa 2007). Umur secara kronologis dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur kronologis relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan dimana pada umumnya petani yang lebih muda dan sehat memiliki kemampuan fisik yang lebih besar bila dibandingkan dengan petani yang lebih tua (Salkind 1985). Menurut Lionberger (1960) dan Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semakin tua umur (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban mengadopsi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Hal tersebut juga didukung dengan penelitian Lestari (1994) yang menunjukkan bahwa umur mempunyai hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi teknologi pasca usaha tani yang berarti bahwa semakin tua umur petani, semakin rendah dan berkurang tingkat adopsinya.
Tingkat Pendidikan Peternak Pendidikan merupakan suatu proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diperlukan oleh setiap manusia. Saat ini pendidikan menjadi perhatian karena disadari bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan. Menurut Suyono (2006) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara. Fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan, kualitas individu, meningkatkan kemampuan, kualitas individu, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia serta membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan penindasan. Wiriatmadja (1990) menjelaskan jika pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui masyarakat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya teknologi dan keterampilan manajamen sehingga menyebabkan produktivitas usahatani tidak produktif. Menurut penelitian Purnaningsih dan Sugihen (2008) menunjukkan jika tingkat pendidikan secara positif berpengaruh nyata terhadap model kinerja petani dalam hal penggunan teknologi produksi dan penggunaan pestisida tepat guna.
Pengalaman Berusaha Ternak Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), manusia memperoleh bayangan akan kenyataan hidup dengan cara belajar dari pengalaman pribadi, mengamati pengalaman orang lain, bercakap-cakap dengan orang lain perihal pengalaman dan hasil penelitian masingmasing dan memikirkan informasi yang diperoleh dalam berbagai cara. Bird juga
menambahkan jika pengalaman kerja tidak hanya pengetahuan, tetapi juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya (Yusuf 2010). Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan kemampuan dan kompetensi yang penting. Peternak yang sudah lama menggeluti usaha sapi potong akan memiliki sejumlah pengalaman dan informasi yang menjadi dasar pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan serta terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada orang yang baru (Yusuf 2010).
Skala usaha Ternak Skala usaha atau besarnya usaha adalah ukuran besar kecilnya suatu usaha yang dijalankan oleh seorang peternak dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja peternak. Seorang peternak yang modalnya kecil dan jumlah ternaknya sedikit akan berpengaruh terhadap semangat/ motivasi dan kreativitas kerja agar pendapatan yang diperoleh dapat lebih baik (Soekartawi et a.l 1986). Sabrani et al. (1981) menjelaskan problema yang dihadapi oleh pengembangan ternak tradisional adalah ketepatan dalam pengalokasian sumber daya. Selanjutnya ditekankan bahwa apabila usaha ternak skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga, maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara menyeluruh. Selain itu Rianto dan Purbowati (2002) menjelaskan jika skala usaha sapi potong rakyat kecil terdiri dari satu sampai tiga ekor sapi. Sedangkan Rahardi (2003) menjelaskan secara umum tipologi usaha ternak yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan yakni dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan di bawah 30% dari total pendapat keluarga. (2) usaha ternak yakni sebagai cabang usaha, pendapatannya yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30-70%. (3) usaha pokok yakni kegiata utama dengan tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak berkisar 70-100% dan (4) usaha industri yakni usaha peternakan yang dikelola secara industri, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100%. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran usaha tani ternak selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Penggunaan teknologi yang baik akan menghasilkan produktivitas usaha yang lebih tinggi dan manfaat ekonomi yang diperoleh memungkinkan dilakukan perluasan atau pengembangan peternakan usaha tani/ternak selanjutnya (Yusuf 2010).
Motivasi Menjadi Peternak Motivasi adalah proses memengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok agar mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi atau dorongan dimaksud sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan mempertahankan kehidupan Samsudin (2010). Sedangkan Masmuh (2008) mengutip pandangan Reksohadiprodjo dan Handoko mengenai motivasi yaitu keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Wardhani dalam Yusuf (2010) menyimpulkan hasil penelitian tentang faktor-faktor motivasi yang mencakup kebutuhan-kebutuhan pribadi, tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan dan dengan cara apa kebutuhan-kebutuhan dan tujuan tersebut
dapat direalisasikan. Motivasi merupakan kebutuhan, keinginan dan daya gerak dalam individu yang mendorong untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan.
Kekosmopolitan Peternak Kekosmopolitan adalah keterbukaan peternak terhadap informasi, melalui hubungan dengan berbagai sumber informasi, berpergian ke luar desa dalam rangka mengembangkan usahanya. Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang yang pasif apalagi yang selalu tidak percaya terhadap sesuatu yang baru (Lionberger 1960). Rogers dan Shoemaker (1995) menjelaskan jika kekosmopolitan merupakan kesediaan seseorang untuk berupaya memperoleh informasi yang bersifat inovatif (ide-ide baru) dari luar sistem sosial. Di samping itu, sumber informasi juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya. Sifat kekosmopolitan peternak akan mempengaruhi tingkat kompetensinya karena masyarakat yang aktif akan ke luar mencari informasi pengembangan usaha dan akan memiliki berbagai ide baru serta lebih inovatif (Yusuf 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Mulyandari (2011) menjelaskan jika tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu indikator aktivitas petani dalam berhubungan dengan pihak lain. Tingkat kekosmopolitan juga diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang lebih luas. Selain itu dalam penelitian tersebut juga melihat kekosmopolitan berdasarkan aktivitas petani sebagai responden keluar desa, menerima atau menemui tamu dari luar desa yang memiliki tujuan terkait dengan bidang pertanian, serta aktivitas petani dalam mencari informasi ke luar sistem sosialnya melalui berbagai media komunikasi yang dapat diakses atau tersedia di lingkungan. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan jika pada umumnya petani memiliki tingkat kekosmopolitan pada kategori rendah. Petani sayuran yang tingkat kekosmopolitannya tinggi sebagian besar merupakan pedagang pengumpul yang sering ke luar desa untuk berdagang atau berhubungan dengan pihak lain.
Kepemilikan Media Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator ke khalayak. Media komunikasi yang dimaksud adalah media massa yakni media elektronik, seperti radio dan televisi. Media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, brosur, leaflet, dan lain-lain (Jahi 1988). Saleh (2006) juga menjelaskan jika peternak lebih banyak terdedah oleh media radio, televisi dan surat kabar akan tetapi tidak sejalan dengan kepemilikan media para peternak. Dalam penelitiannya dijelaskan jika peternak lebih banyak memiliki radio dan terdedah oleh siaran radio dibandingkan dengan televisi maupun surat kabar lainnya. Aksesibilitas Media Komunikasi Elektronik
Aksesibilitas informasi adalah ketepatan dan kecepatan responden dalam mengakses, menelusur dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan (Maryam 2008). Menurut Hadiyanto (2009) aksesibilitas media diukur dengan kepemilikan media massa modern seperti koran, radio dan televisi dan penggunaannya mencakup frekuensi penggunaan, waktu yang biasa digunakan untuk mengakses media tersebut dan jenis program yang di akses oleh peternak.
Istiana (1998) menyatakan bahwa aksesibilitas media komunikasi merupakan salah satu unsur dari perilaku komunikasi. Perilaku komunikasi diartikan sebagai suatu aktivitas verbal dan nonverbal yang berkaitan dengan penyampaian ide, informasi, sikap atau emosi sedangkan media komunikasi dapat berupa interpersonal dan komunikasi massa. Sumber informasi sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber informasi dapat berasal dari media massa, tetangga, teman, petugas penyuluh, pedagang, pejabat desa, dan informan lainnya (Soekartawi 2005). Proses penyebaran informasi pertanian menurut Lionberger dan Gwin dalam Tomatala (2004) melalui empat tahap yaitu melalui penelitian, pengujian lokal, penyebaran informasi, dan bimbingan kepada peteni atau peternak. Informasi tentang pertanian yang dikomunikasikan melalui berbagai macam saluran, secara umum diklasifikasikan menjadi 4 menurut Rogers yang dikutip Tomatala (2004) yaitu : 1. Media massa terdiri dari majalah pertanian, surat kabar, siaran pertanian melalui radio dan televisi. 2. Sumber informasi terdiri dari tetangga petani/peternak dan teman, kelompok usaha, kelompok profesi dan kelompok sosial. 3. Sumber komersial terdiri dari hubungan petani/ peternak dengan pedagang dan dealer, demonstrator dan buletin komersial. 4. Sumber agen pemerintah terdiri dari bulletin, pertemuan dan hubungan petani/ peternak dengan penyuluh atau informan lainnya. Andriaty et al (2011) juga menjelaskan jika informasi dapat diakses melalui berbagai cara dan media, baik media pertemuan (tatap muka), media cetak maupun media elektronik. Umumnya petani memanfaatkan ketiga media tersebut untuk mengakses informasi yang diperlukan untuk mengakses informasi yang diperlukan dalam menunjang kegiatan usaha tani. Media elektronik yang paling sering digunakan petani untuk mengakses informasi pertanian adalah televisi dan radio. Dilihat dari jenis sumber informasi elektronik yang dapat diakases untuk memperoleh informasi pertanian, televisi cukup sering diakses dibandingkan dengan radio. Aker et al (2015) menjelaskan jika penelitian yang dilakukannya memperlihatkan jika di Nigeria petani yang memiliki telepon genggam sebelumnya sudah memiliki kontak dengan pasar dan dapat lebih mengambil keuntungan dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki telepon genggam. Selain itu dijelaskan juga petani yang memiliki akses dan dapat mempelajari telepon genggam dapat meningkatkan margin hasil pertanian dimana petani dapat menjual dua hasil panen yang berbeda. Aksesibilitas Radio Radio yang bersifat audio memungkinkan pedengar untuk mendengarkan siaran sambil melakukan aktivitas lain. Responden yang mendengarkan radio mengalami peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Keefektifan siaaran radio ini berhubungan dengan berbagai komponen yaitu sumber, pesan, saluran dan penerima (Syarchie, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Meitei dan Devi dalam Andrianty et al (2011) menjelaskan jika di Desa Manipur India menemukan petani lebih sering mengakses informasi melalui radio karena wilayah tersebut berada di lembah yang dikelilingi perbukitan. Selain itu sarana teknologi informasi khususnya telepon genggam dan komputer baik berupa internet ataupun tidak berupa internet merupakan salah satu sarana yang banyak digunakan dan dimanfaatkan petani muda untuk mengakses berbagai sumber informasi. Selain itu menurut Hardi et al yang dikutip oleh Mardianah (2010) juga menjelaskan jika penyampaian pesan inovasi pertanian melalui radio sangat efektif dalam mendukung
langkah awal dalam kegiatan penyuluhan, selain itu adanya interaksi antara penyiar dan petani sebagai pendengar menarik minat petani untuk mendengarkan, selain itu sebagai media penyuluhan melalui radio, sebagian besar pesan inovasi teknologi yang disampaikan secara searah karena penyiar tidak dapat berhadapan langsung dengan petani sasaran, sehingga media ini dapat memberikan kesempatan bagi para petani untuk menyampaikan informasinya dalam acar kontak pendengar yang akan dibacakan oleh penyiarnya. Penyebaran inovasi teknologi pertanian melalui radio hanya mampu menyampaikan informasi secara lisan dalam waktu singkat dan mampu mencapai sasaran yang sangat luas, sehingga efektif serta relatif mudah untuk mempengaruhi petani sasaran. Siaran radio masih tinggi tingkat keefektifannya sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mumpuni (2003) bahwa siaran radio masih banyak dimanfaatkan oleh petani sayuran di Kecamtan Ambarawa Kabupaten Semarang. Radio sebagai media massa yang murah dapat diandalkan untuk menyampaikan inovasi pertanian kepada petani pedesaan. Tingkat keefektifan siaran radio berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan tingkat pengetahuan sumber inovasi, karateristik petani, frekuensi saluran komunikasi dan kesesuaian inovasi pertanian.
Aksesibilitas Televisi Peternak di desa urban umumnya dicirikan dengan pemilikan televisi yang cukup tinggi, lebih intensif memanfaatkan televisi sebagai media komunikasi massa dengan frekuensi menonton televisi mencapai hampir enam kali semiggu dan waktu yang dicurahkan sekitar tiga jam per hari (Hadiyanto et al 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Andriaty et al (2011), di kabupaten Malang menjelaskan jika televisi cukup sering diakses dikarenakan wilayah yang cukup terbuka dan tidak berbukit sehingga siaran televisi dapat diterima masyarkat di wilayah ini. Penelitian yang dilakukan oleh Hadiyanto (2003) menjelaskan jika peternak yang berada di desa urban menyatakan menonton televisi setiap hari sementara di desa rural peternak yang menonton televisi setiap hari hanya 70% dari jumlah peternak yang ada. Jumlah responden yang menonton televisi antara 4-6 kali per minggu mencapai 8,13% sedangkan sisanya berkisar antara 1-3 kali per minggu. Data ini memperkuat hasil penelitian Hadiyanto et al (1998) yang menyatakan bahwa peternak di daerah urban lebih intensif menonton siaran televisi dibandingkan peternak di desa rural. Hadiyanto (2003) juga menjelaskan jika sebagian besar peternak menonton televisi bersama keluarga dan hanya sebagian kecil yang memiliki kebiasaan menonton televisi sendirian apalagi dengan tetangga atau saudara. Kebiasaan menonton televisi sendirian banyak dilakukan oleh wanita/ibu yang menonton televisi pada pagi dan siang hari sedangkan laki-laki lebih banyak menonton televisi sendirian dilakukan pada malam hari. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiyanto et al (1998) memperlihatkan jika peternak lebih banyak meluangkan waktu untuk menonton telvisi dimalam hari. Sementara hasil penelitian Hadiyanto (2003) menunjukkan waktu yang lebih banyak diluangkan untuk menonton televisi pada desa urban ialah pada siang hari. Keadaan ini dimungkinkan oleh dua penyebab yaitu pertama hampir seluruh stasiun televisi yang ada saat itu menyiarkan program-prgram acara disiang hari. Kesempatan responden yang sebagian besar wanita/ibu rumah tangga yang lebih banyak menonton televisi pada siang hari ketika sudah tidak lagi disibukkan dengan aktivitas rutin lainnya. Sementara di desa urban malam hari masih menjadi pilihan waktu yang tepat untuk menonton televisi. Gambaran tersebut juga sejalan dengan tempat mononton televisi yang menujukkan jika peternak yang berada di desa rural dan urban lebih memilih menonton televisi di rumah dibandingkan ditempat lain.
Aksesibilitas Telepon Genggam Telepon genggam telah berkembang secara fenomenal, baik dari model, merk maupun jumlah pengguna. Menurut Giswami yang dikutip oleh Prinhandoyo (2014), dalam tulisannya “Sustainability Proyek Harus dipikirkan”, mencotohkan jumlah produksi telepon genggam menjadai 6,6 juta dan investasi dibidang infrastruktur telepon genggam sangat agresif dilakukan oleh berbgaai operator. Pada tahun 2006 nilai investasi infrastruktur telepon genggam yang dilakukan oleh operator lebih dari US$ 2,5 milyar. Disini para operator melakukan ekspansi jaringan seperti yang dilakukan oleh Telkomsel sebgai salah satu operator yang berada di Indonesia menambah BTS dari 7.741 menjadi 12.156 sehingga terdapat pertumbuhan sebesar 57%. Puspitasari et al (2015) mejelaskan jika telepon genggam berfitur biasa banyak digunakan oleh orang-orang yang relative berumur tua dan kurang berpendidikan, namun pada faktor pendapatan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pengguna telepon genggam dan smartphone. Prihandoyo (2014) menjelaskan jika kelebihan telepon genggam untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh petani sayuran dari sumber informasi secara langsung dengan cepat membantu mereka meningkatkan produktivitas usahatani. Penggunaan telepon genggam juga mencegah timbulnya kerugian dalam penjualan atau pemasaran hasil panen karena harga jual dan stok sayuran di pasar dapat diketahui dengan cepat dan tepat. Aker et al (2015) menjelaskan jika penelitian yang dilakukannya memperlihat jika petani di Nigeria yang memiliki telepon genggam sebelumnya sudah memiliki kontak dengan pasar dan dapat lebih mengambil keuntungan dibandimgkan dengan petani yang tidak memiliki telepon genggam. Selain itu dijelaskan juga petani yang memiliki akses dan dapat mempelajari informasi telepon genggam dapat meningkatkan margin hasil pertanian dimana petani dapat menjual dua hasil panen yang berbeda.
Keterdedahan Media Massa Keterdedahan adalah mendengarkan, melihat, membaca atau secara umum mengalami dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media. Menurut Rogers yang dikutip Tomatala (2004), keterdedahan pada media massa mempunyai korelasi yang tinggi sehingga dapat dibuat suatu indeks keterdedahan pada media massa. Schramm (1997) menyatakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk memberikan informasi secara efektif, sehingga dapat dikatakan bahwa media massa akan mampu membuktikan peranannya melayani tugas pembangunan yaitu memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menumbuhkan asporasi menciptakan suasana membangun, merubah sikap dan mendidik. Mulyani dalam Tomatala (2004) melaporkan bahwa keterdedahan petani media komunikasi berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi. Keterdedahan terhadap media massa mempunyai indikasi positif terhadap respon peternak guna meningkatkan produktivitasnya. Pengukuran keterdedahan pada media massa dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan penggunaan media massa (Senanggun 1991). Rosengren dalam Senanggung (1991) penggunaan media massa terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media dan hubungan antara individu komsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan. Andrianty et al (2011) menjelaskan dalam penelitiannya jika petani yang berada di Jawa setuju jika informasi yang bersumber
dari pertemuan, media cetak dan media eletronik sangat bermanfaat untuk mendorong minta terhadap inovasi, meningkatkan pemahaman, mendorong untuk mencoba inovasi, dan memotivasi untuk menerapkan teknologi. Dalam kaitan ini Conteras dalam Senanggung (1991) mengemukakan bahwa keterdedahan pada media massa ialah kombinasi dari keterdedahan pada radio, surat kabar, film dan televisi. Saleh (2006) menjelaskan dalam penelitiannya jika keterdedahan siaran radio dari peternak masih sangat kecil bagi peternak yang kurang maju dibandingkan peternak yang maju. Secara umum frekuensi mendengarkan radio oleh peternak adalah 1-3 kali seminggu pada malam hari. Selain itu peternak yang kurang maju lebih menyukai program hiburan seperti wayang, sandiwara, dan musik. Hal tersebut berbeda dengan para peternak yang maju dimana mereka lebih senang mendengarkan berita. Sedangkan untuk keterdedahan televisi hampir sebagian besar peternak baik maju maupun kurang maju terdedah oleh televisi. Selain itu waktu yang digunakan oleh peternak untuk menonton televisi yaitu pada malam hari dengan jenis acara berita, olahraga dan hiburan.
Kompetensi Peternak Sapi Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan dan bertindak (Mulyasa 2003). Kompetensi dapat pula diartikan kemampuan seseorang untuk dapat adaptif dalam kehidupan sehari-hari dan dapat melakukan upaya-upaya secara layak dalam mencapai cita-citanya (Batoa 2007). Shellabear (2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuat keputusan dan keterampilan yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Selain itu McAshan yang dikutip oleh Mulyasa (2003) mengemukakan “Competency is a knowledge, skill, and abilities or capabilities that a person achive, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactoryily perform particular cognitive, affective and psychomotoer behaviours.” Dalam hal ini kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan hal itu Fich dan Cruktilon mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan (Mulyasa 2003). Mangkuprawira (2004) menjelaskan jika kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas pergaulan hidupnya. Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menojol (Batoa 2007). Menurut Suparno (2001) kompetensi dipandang sebagai perbuatan yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan, untuk melakukan kompetensi maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, sikap mental, dan manajemen yang harus diperbaharui. Kompetensi peternak dibentuk oleh beberapa unsur yaitu: (1) pengetahuah, (2) sikap, (3) keterampilan, (4) dan manajerial (Yusuf 2010). Mathias et al (2002) mengilustrasikan bahwa kompetensi ada yang terlihat dan ada yang tersebunyi. Pengetahuan lebih terlihat, dapat dikenali oleh perusahaan untuk
mencocokan orang dengan pekerjaan. Keterampilan walaupun dapat terlihat, sebagian lagi kurang dapat terindentifikasi. Kompetensi yang tersembunyi berupa kecakapan yang mungkin lebih berharga dapat meningkatkan kinerja. Yustian (2015) menjelaskan jika analisis kompetensi juga dapat menggambarkan sifat seseorang dengan cara menilai pengetahuan, keterampilan khusus yang dibutuhkan, pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Terdapat tiga teknik analisis kompetensi yang biasanya digunakan yaitu: (1) Critical Incident (peristiwa kritis) yaitu digunakan untuk mengumpulkan dan memperoleh data mengenai perilaku yang efektif atau kurang efektif lalu dihubungkan dengan peristiwa kritis yang sebenarnya. (2) Repertory Grid Analysis digunakan untuk mengidentifikasi dimensi yang membedakan orang yang mempunyai kinerja yang baik dari orang yang mempunyai kinerja kurang standard. (3) Job assessment atau penilaian kompetensi pekerjaan.
Pengetahuan Peternak Padmowihardjo menjelaskan jika pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuannya mengembangkan intelegensia (Batoa 2007). Bruner dalam Suparno (2001) menjelaskan jika pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kemantangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk melainkan proses yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya, (2) proses transformasi yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi yaitu memeriksa/ menilai cara pengelolaan informasi, telah memadai atau belum (Suparno 2001). Pengetahuan yaitu pemahaman terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, dialami atau dilakukan, dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pengelolaan usaha sapi potong seperti pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan dan pemasaran hasil.
Keterampilan Peternak Menurut Reber dalam Syah (2002) keterampilah adalah kemampuan melakukan polapola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik, melainkan juga fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain (Yusuf 2010). Keterampilan adalah kemampuan motorik perternak berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi potong.
Peternakan Sapi Potong
Pemeliharaan ternak sapi potong merupakan salah satu komponen dalam ushatani, dimana ternak tersebut akan berintegrasi dengan komoditi lain yang dikelola/ diusahakan petani. Sabrani et al (1981) menjelaskan jika problema yang dihadapi oleh pengembangan ternak tradisional adalah ketepatan dalam pengalokasian sumberdaya. Selanjutnya ditekankan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga, maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara menyeluruh. Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usaha ternak yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut anatara lain: (1) sebagai usaha sambilan yakni dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan dibawah 30% dari total pendapat keluarga, (2) usaha ternak yakni sebagai cabang usaha, pendaptannya yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30-70%, (3) usaha pokok yakni kegiata utama dengan tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak berkisar 70100% dan (4) usaha industri yakni usaha peternakan yang dikelola secara industri, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100%. Selanjutnya pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat di kategorikan dalam tiga cara yaitu: (1) pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kreman, (2) pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan (3) pemeliharaan ekstensif dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput luas. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini jenis usaha ternak yang dikelola oleh masyarakat tergolong dalam usaha skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga. Tipologi usahanya adalah usaha dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut relatif kecil. Pola pemeliharaan bersifat semi intensif dan pemeliharaan ekstensif dan dikelola secara turun-temurun dalam sistem usahatani yang diusahakan secara majemuk.
Pemilihan Bibit Sapi Potong Pengetahuan peternak dalam pemilihan bibit sangat diperlukan, hal tersebut sesuai dengan penejelasan Murtidjo (1990) yang menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan produksi ternak, pemilihan bibit yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha ternak sapi potong. Ternak yang akan di pelihara disesuikan dengan tujuan pemeliharaan apakah tujuan penggemukan atau untuk breeding (melahirkan anak). Namun menurut Rianto dan Purbowati (2002) kendala utama dalam usaha sapi potong di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit dan keberlanjutan produksi sapi juga masih tersendat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh masih tingginya pemotongan sapi yang memiliki kondisi baik dan induk yang produktif. Hal ini berdampak dapa pada seleksi negatif bibit sapi sehingga muncul kecendrungan penurunan mutu genetik bibit sapi. Sarwono dan Arianto (2001) menjelaskan seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifat-sifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Sebelum melakukan seleksi perlu dilakukan pencatatan guna merekam tingkat perkembangan produktivitas yang dicapai masing-masing individu ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa seleksi yang umum dipakan mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar yakni berdasarkan penampilan bentuk tubuh seekor ternak, (2) seleksi berdasarkan pemenangan lomba yakni dengan seleksi tampak luar hanya saja dilakukan oleh tim juri dan ternak-ternak yang menjadi juara yang dipilih menjadi bibit, (3) seleksi berdasarkan silsilah yakni dengan mempelajari data tetua mengenai produksi rata-rata
induk dan keunggulan, (4) seleksi berdasarkan uji produksi individual dan uji zuriat. Uji produksi individual ternak adalah menguji produksi ternak yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit. Uji zuriat adalah pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya. Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu intrumen dalam penerapan kebijakan dibidang perbibitan sapi. Menurut Wiener dalam Ma’sum (2011) inseminasi buatan adalah “technique of inserting semen andt the associated sperm into the female reproductive tract for purpose of conception” Secara teknis Noor dalam Ma’sum (2011) menjelaskan IB adalah proses penempatan semen kedalam alat reproduksi betina dengan bantuan manusia dengan tujuan agar ternak betina itu bunting. Foote dalam Ma’sum (2011) juga menjelaskan keuntunga dari IB yaitu: (1) perbaikan genetik dimungkinkan untuk sifat-sifat kuantitatif melalui seleksi pejantan secara intensif, (2) dapat mengurangi frekuensi lethal genes yang resesif, (3) dapat mengontrol beberapa penyakit tertentu terutama penyakit yang menular, (4) pejantan yang digunakan bebas dari penyakit menular yang spesifik, (5) ekonomis dalam pelayanan, (6) pencatatan lebih lengkap, (7) mengurangi resiko berbahaya keganasan sapi jantan di lahan usaha, (8) keberhasilan penerapan IB memberikan fondasi untuk keberhasilan teknik pemuliaan biakan yang lebih maju. Berdasarkan uraian diatas maka kompetensi bibit ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan memilih bibit berdasarkan produksi individual ternak yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada diperternakan dan berdasarkan prestasi anakanaknya dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit dan pembibitan sapi melalui Inseminasi Buatan.
Perkandangan Sapi Potong Prinsipnya kadang berfungsi sebagai bahan pelindung bagi ternak dan penujang produktivitasnya. Sebagai pelindung ternak, kandang melindungi ternak dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti hujan, banjir, angin kencang, udara dingin, terik matahari maupun terhadap ancaman binatang buas dan pencuri (Rianto dan Purbowati 2002). Kandang sebagai penujang produktivitas akan memudahkan peternak dalam memelihara ternak sehari-hari khususnya penanganan pengawasan terhadap ternak dapat dilakukkan lebih teliti baik menyangkut masalah kesehatan, produksi dan reproduksi (Rianto dan Purbowati 2002). Abidin (2002) mejelaskan bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan, ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara harus memungkinkan kelancaran sirkulasi udara sehingga tidak terhambat, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan, diupayakan agar muka tidak dapt kontak langsung dengan angin yang bertiup, (6) sedapat mungkin dilalui anak sungai atau dekat sumber air dan (7) atap kandang dibuat dari bahan ringan tetapi memiliki daya tahan yang kuat dan mampu menjaga kehangatan didalam kandang. Tipe kandang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu tipe kandang tertutup dan tipe kandang terbuka. Ciri kandang tertutup yaitu dindingnya tertutup semua dari bagian lantai sampai atap kecuali lubang-lubang yang dibuat untuk ventilasi. Agar dapat menerima sinar matahari, kandang tertutup ini menggunakan genting kaca atau bahan lain yang tembus pandang. Selain itu tipe kandang kedua adalah tipe kandang setengah terbuka. Tipe kandang ini ventilasi udara cukup lebar sehingga ventilasi udara cukup maksimal. Hal lainnya dalah
biaya pembuatan kandang setengah terbuka ini lebih ekonomis dibandingkan tipe tertututup. Tipe kandang terbuka tidak dapat dikategorikan sebagai kandang karena fungsi bangunan hanya sebagai tempat berteduh atau bernaung saja saat cuaca sedang panas atau hujan (Rianto dan Purbowati 2002). Selain melihat tipe kandang tata letak kandang harus diperhatikan oleh peternak. Syarat yang harus diperhatikan dalam dalam penataan lokasi bangunan dalam suatu kompleks perkadangan antara lain urutan letak bangunan kandang, jarak antar bangunan, dan sekat pemisah. Penempatan kandang hendaknya disesuaikan dengan arus alir udara, air dan lalu lintas kegiatan. Hal ini untuk mengeleminasi kontaminasi dan penularan penyakit. Untuk itu tata letak kandang adalah dari kandang termuda dibagain hulu, kemudian berturut-turut kandang yang ditempati hewan yang lebih dewasa di bagian hilir. Jarak antar bangunan sejenis berkisar 5 sampai 10 meter dan jarak antar bangunan tidak sejenis bekisar 10-15 meter (Rianto dan Purbowati 2002). Berdasarkan uraiana diatas makan kompetensi peternak dalam perkandangan adalah kemampuan peternak dalam menyediakan kandang yang baik, syarat kandang yang sehat, tipe kandang, kontruksi kandang, dan letak kandang.
Pemberian Pakan Pakan adalah zat yang ada di alam dan dikonsumsi oleh hewan untuk kepentingan tubuhnya berupa bahan pakan. Umumnya bahan pakan ternak terdiri dari dua macam yaitu pakan terserat dan pakan penguat/ konsentrat. Pakan terserat seperti rumput alam, rumput budidaya, leguminosa, dan limbah pertanian seperti jerami padi, daun/ jerami jagung, pucuk tebu, jerami kacang tanah, dan lain-lain. Sedangkan pakan penguat/ konsentrat seperti bijibijian, umbi-umbian, bahan pakan asal hewan, dan limbah industri pertanian. Umtuk melengkapi kebutuhan ternak, biasanya diberi pakan tambahan berupa vitamin, mineral, antibiotik, hormon, enzim, dan lain-lain (Rianto dan Purbowati 2002). Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan. Berbeda dengan cara tradisional, usaha penggemukakan yang berorientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar dicapai keuntungan dalam waktu yang relatif singkat (Abidin 2002). Pemberian pakan dengan memberikan rumput. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan pemotongan rumput kemudian diberikan kepada ternak sapi didalam kandang atau rumput langsung di konsumsi oleh sapi areal padang penggembalaan berdasarkan daya tampung padang penggembalaan (Santosa 2003). Jenis rumput yang banyak digunakan sebagai pakan ternak adalah rumput gajah dan rumput raja. Rumput gajah merupakan salah satu jenis hijauan pakan ternak yang berkualitas dan disukai sapi. Rumput gajah dapat hidup diberbagai tempat (0-3.000 dpl), tahan terhadap lindungan, respon terhadap pemupukan, serta menghendaki tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Bibit rumput gajah berupa potongan batang (stek) yang sehat, tua dan memiliki panjang 20-25cm. Cara penanaman rumput gajah dilakukan dengan tahapan (1) membersihakn lahan dari sisa akar dan batuan, (2) balik-balik tanah, (3) buat guludan memanjang dan buat lubang tanam dengan jarak 60x100cm, (4) tanam bibit rumput gajah pada lahan tersebut (Rianto dan Purbowati 2002). Jenis rumput lain yang banyak digunakan sebagai pakan ternak adalah rumput raja. Rumput raja merupakan jenis rumput unggul, mudah ditanam dan dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan potensi produksi yang tinggi. Jenis rumput raja ini menyukai tanah subur dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Cara menanam rumput gajah ini yaitu dengan mananam potong batang (stek) yang cukup umur, sehat dan panjang minimum 30 cm. sebelum batang rumput ditanam, tanah digemburkan dahulu dan diberikan
pupuk NPK lalu dibiarkan selama tujuh hari. Penanaman dilakukan dengan memasukan ¾ bagian dari panjang batang dengan kimiringan 30O dan untuk menjamin pertumbuhan air perlu dialirkan ke lahan tersebut. Rumput dapat dipanen pada umur 45-55 hari dengan memotong batang rumput 10-15 cm dari permukaan tanah (Rianto dan Purbowati 2002). Pakan sebaikanya tidak diberikan sekaligus dalam jumlah yang banyak setiap harinya, melainkan dibagi menjadi beberapa bagian seperti pagi, siang dan sore. Pada pagi hari sebaiknya sapi diberi sedikit hijauan ternak untuk merangsang keluarnya saliva dan setengah jatah konsentrat setelah dua jam hijauan diberikan lagi. Pada siang hari konsentrat bagian kedua diberikan lagi dan selanjutnya pada sore hari tenak sapi pakan hijauan diberikan lagi (Rianto dan Purbowati 2002). Berdasarkan uraian diatas, maka kompetensi pemberian pakan yang harus dimiliki peternak sapi potong adalah kemampuan dalam memilih jenis pakan bagi ternak yang seperti pakan hijauan, pakan konsentrat atau vitamin. Selain itu kompetensi yang harus dimiliki peternak dalam pengelolan peternakan sapi potong adalah teknik pemberian pakan yang dibagi menjadi tiga waktu, teknik menyiapakan pakan yang akan di berikan dan penanaman pakan hijauan.
Kesehatan Hewan Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha peternakann sapi potong. Kerugian yang besar acapkali disebabkan oleh timbulnya penyakit yang melanda ternak-ternak yang ada. Secara umum kerugian usaha akibat serangan penyakit bisa dilakukan dengan menjaga kesehatan ternak antara lain dengan cara yaitu: (1) vaksinasi ternak secara teratur terhadap penyakit yang diketahui sering timbul di daerah peternakan, (2) lakukan sanitasi lingkungan yang baik, (3) lakukan desinfeksi pada kandang dan peralatan kandang, (4) periksa kesehatan ternak secara teratur, (5) jauhkan ternak-ternak yang terkena penyakit menular dari ternak yang sehat (Rianto dan Purbowati 2002). Rianto dan Purbowati (2002) juga menjelaskan jika penyakit yang seringkali menyerang hewan ternak khususnya sapi potong terdiri dari jenis penyakit bacterial, penyakit viral dan penyakit lainnya. Penyakit bakteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Beberapa jenis penyakit bakterial yang sering menyerang sapi seperti brucellosis, leptospirosis, vibriosis, tuberkolosis, endomeritis, anthrax. Sedangkan penyakit viral adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh serangan virus. Adapun penyakit viaral yang sering menyerang sapi yaitu pneumonia, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarrhea (BVD), penyakit ngorok, penyakit mulut dan kuku (PMK). Penyakit lainnya adalah penyakit yang disebabkan oleh kapang, parasit, cacingan, dan kudis (Rianto dan Purbowati 2002). Cacingan merupakan parasit internal. Serangan cacing bisa menekan produktivitas sapi yang mengakibatkan keuntungan yang diperoleh peternak akan semakin kecil. Terdapat dua jenis cacing yang kerap menyerang sapi potong yaitu cacinga hati dan cacing pita. Penyakit cacing hati disebabkan oleh cacing fasciola. Penyakit cacing hati ini dapat dicegah dan diberantas dengan beberapa tindakan seperti: (1) menjaga kebersihan lingkungan, (2) mecegah sapi memakan rumput yang mengandung metacerkaria yang merupakan bentuk infektif dari cacing hati, (3) berantas hama siput yang merupakan tempat berkembang cacing ini, (4) memberikan obat cacing secara berkala (Rianto dan Purbowati 2002). Penyakit cacing pita yang menyerang sapi adalah dari jenis Taenia saginata. Cacing pita akan menginfeksi pada sapi dengan cara telur cacing akan menempel pada rumput dan jika rumput ini termakan oleh sapi, telur tersebut akan mengeram dalam sapi dan menyusup kedalam dinding usus. Pencegahan yang bisa dilakukan yaitu dengan tidak memberikan
langsung pakan rumput pada sapi yang dipotong pada pagi hari. Sebaliknya rumput tersebut dijemur terlebih dahulu untuk membunuh telur cacing pita yang melekat pada rumput (Rianto dan Purbowati 2002). Berdasarkan uraian diatas maka kompetensi yang harus dimiliki peternak dalam menjaga kesehatan hewan yaitu cara menjaga kesehatan hewan ternak, penyakit-penyakit hewan ternak, dan pencegahan agar sapi tidak sakit. Reproduksi Ternak Pengembangbiakan ternak sapi dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu: (1) metode kawin alamiah dimana sapi jantan dikawinkan dengan sapi betina yang birahi dan (2) metode inseminasi buatan (IB). Kedua cara tersebut pada dasarnya bertujuan meningkatkan kualitas ternak secara efektif dan efisien (Murtidjo 1990). Keberhasilan perkawinan ternak sapi dapat ditentukan dengan penilaian melihat tanda-tanda birahi sebagai berikut: (1) sapi betina tidak tenang atau gelisah, (2) nafsu makan berkurang, (3) sering melenguh dan senang mendekati sapi jantan, (4) lebih sering buang air dari biasanya dan (5) sering menaiki sapi lain dan akan diam apabila dinaiki ( Santosa 2003). Setelah 21 hari dari perkawinan atau IB perlu dilakukan pengamatan birahi lagi pada induk. Bila tidak ada gejala birahi hingga dua siklus (42 hari) berikutnya kemungkina induk tersebut berhasil bunting. Namun untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak dikawinkan dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal. Sapi akan bunting selama 275-285 hari. Setelah masa itu maka induk itu akan melahirkan pada bulan kedelapan masa kebuntingan sebaiknya induk ditempatkan di kandang terpisah diaman lantainya sudah beralaskan jerami padi kering. Alas ini akan berguna bagi induk sebagai alas agar cairan yang keluar saat melahirkan dapat terserap dengan cepat (Rianto dan Purbowati 2002). Sapi akan melahirkan dengan normal jika tidak terjadi sesuatu hal yang menyulitkan dalam proses kelahiran. Salah satu hal yang menghambat proses kelahiran pedet adalah posisi janin yang tidak normal. Umumnya proses kelahiran akan terjadi maksimal 8 jam dari saat mulai tahap pertama melahirkan. Jika lebih dari 8 jam pedet belum keluar sebaiknya proses kelahiran dibantu oleh petugas kesehatan hewan (Rianto dan Purbowati 2002). Berdasarkanuraian diatas maka kompetensi reproduksi ternak yang perlu dimiliki peternak sapi potong adalah jenis perkawinan yang dilakuakn hewan ternak, mendeteksi birahi induk sapi, kebuntingan dan siklus melahirkan induk sapi.
Penanganan Hasil Kotoran ternak sejauh ini masih dianggap sebagai limbah yang mampu mencemari lingkungan perkandangan namun kotoran sapi masih bisa diolah menjadi produk yang memiliki nilai jual selain itu mengolah kotoran sapi setidaknya peternak akan mendapatkan dua keuntungan yang didapat yaitu mengurangi resiko pencemaran lingkungan dan memperoleh produk yang bernilai dari pemanfaatan kotoran sapi tersebut. Kotoran ternak terdiri dari feses dan sisa pakan yang tidak habis dimakan oleh sapi. Setidaknya kotoran ternak bisa dimanfaatkan menjadi tiga produk bernilai yaitu pupuk kandang, biogas dan bioarang (Rianto dan Purbowati 2002). Kotoran sapi masih mengandung nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang cukup tinggi sehingga bisa dimanfaatkan menjadi pupuk kandang. Tinggi rendahnya kandunga NPK salah satunya dipengaruhi oleh bobot badan sapi. Dibandingkan dengan pupuk sintetis pupuk kandang memiliki beberapa keunggulan seperti unsur hara yang cukup lengkap. Penanganan
hasil lainya adalah biogas. Biogas merupakan gas yang timbul jika bahan-bahan organik seperti kotoran hewan , kotoran manusia dan sampah yang direndam didalam air dan disimpan didalam tempat tertutup atau anaerob. Faktor yang harus diperhatikan ketika membuat biogas adalah suhu lingkungan setempat. Hal ini terkait dengan aktifnya bakteri penghasil biogas. Suhu yang ideal untuk proses pembentukan biogas adalah 32-37oC (Rianto dan Purbowati 2002). Bioarang adalah arang yang diperoleh dari pembakaran biomassa kering dengan sistem tanpa udara. Kelebihan bioarang yaitu (1) biorang menghasilkan panas pembakaran yang lebih tinggi, (2) asap yang dihasilkan lebih sedikit, (3) bentuk dan ukuran bioarang seragam karena dibuat dengan alat pencetak, (4) penampilan bioarang lebih menarik karena bentuk dan ukurannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, (5) proses pembutannya ramah lingkungan. Berdasarkan uraian diatas maka kompetensi penanganan hasil ternak yang perlu dimiliki peternak sapi potong adalah mengolah hasil kotoran sapi menjadi pupuk kandang, biogas dan bioarang.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran Pembangunan peternakan sapi potong merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan pertanian. Sapi potong memberi sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat dalam hal peningkatan pendapatan terutama masyarakat desa. Keberhasilan pengembangan sapi potong ditentukan oleh kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha ternak sapi potong. Kompetensi peternak tersebut dapat dilihat melalui tiga variabel yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan peternak dengan parameter seperti pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan, reproduksi ternak dan penanganan hasil luaran ternak. Namun kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha ternak sapi potong tentunya berasal dari faktor ekternal dan internal yang berhubungan. Faktor internal yang diperkirakan dapat berhubungan dengan pengetahuan, sikap, keterampilan peternak dalam hal pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan, reproduksi ternak dan penanganan hasil luaran ternak adalah karakteritik peternak. Karakteristik peternak ini merupakan faktor internal dengan memiliki beberapa variabel seperti umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, kekosmopolitan dan pemilikam media. Sedangkan faktor eksternal yang diperkirakan dapat berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong yaitu aksesibilitas media komunikasi. Aksesibilitas media komunikasi ini merupakan faktor eksternal yang dapat berhubungan dengan kompetensi peternak dengan memiliki beberapa variabel seperti aksesibilitas media siaran radio, televisi, dan media telepon genggam. Karakteristik Peternak (X1) 1. Umur Peternak 2. Tingkat Pendidikan 3. Pengalaman Berusaha 4. Skala Usaha 5. Kekosmopolitan 6. Pemilikan Media Komunikasi
Aksesibilitas Media Komunikasi (X2) 1. Aksesibilitas Media Siaran Radio 2. Aksesibilitas Media Siaran Televisi 3. Aksesibilitas Telepon Genggam
Kompetensi Peternak Dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong (Y1) 1 Pengetahuan - Pemilihan Bibit - Perkandangan - Pemberian Pakan - Penanganan Kesehatan - Perkawinan - Pemasaran Hasil 2 Keterampilan - Pemilihan Bibit - Perkandangan - Pemberian Pakan - Penagan Kesehatan - Perkawinan - Pemasaran hasil
Gambar 1 Aksesibilitas media komunikasi dengan kompetensi peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diturunkan tiga buah hipotesis penelitian yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini yaitu : 1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan kompetensi perternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di Bojonegoro. 2. Terdapat hubungan nyata antara aksesibilitas radio dengan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di Bojonegoro. 3. Terdapat hubungan nyata antara aksesibilitas televisi dengan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di Bojonegoro. 4. Terdapat hubungan nyata antara aksesibilitas telepon genggam dengan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di Bojonegoro.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian yaitu di Desa Sekaran Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Pemilihan lokasi karena ditempat tersebut sedang dikembangkan program Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Selain itu peternak sapi di desa tersebut merupakan pekerjaan yang umum dilakukan oleh masyarakat dan hingga saat ini belum ada penelitian yang memperlihatkan kompetensi peternak sapi potong didesa tersebut. Waktu penelitian dilakukan selama satu bulan pada bulan September 2014.
Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Tukiran et al 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah peternak sapi potong yang berada di Desa Kasiman Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Namun Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dimana setiap populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Menurut Tukiran et al (2002) sampel acak sederhana ialah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Pada penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 100 responden peternak sapi potong.
Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil pengisian kuesioner yang disebarkan ke peternak dan dilakukan juga observasi langsung beserta wawancara agar dapat mendeskripsikan hasil penelitian yang dilakukan. Sementara data sekunder diperoleh dari kantor desa, kelompok peternak, dinas peternakan dan instansi terkait lainnya yang dapat mendukung pembahasan hasil penelitian. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa kuesioner yang berisi daftar-daftar pertanyaan tertutup dan semi terbuka. Instrumen dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama mengenai faktor karakteristik peternak, bagian kedua mengenai aksesibilitas media komunikasi peternak dan bagian ketiga mengenai kompetensi peternak sapi potong.
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu peubah atau memanipulasinya (Kerlinger 2008). Pengukuran dalam penelitian ini dilakukan dengan mendefinisikan peubah-peubah yang digunakan sebagai berikut :
X1.
X2.
Karateristik Peternak adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh peternak meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, motivasi dan kekosmopolitan peternak. 1. Umur peternak yaitu lamanya hidup responden, diukur sejak responden dilahirkan sampai dengan wawancara dilakukan menggunakan skala rasio, kemudian data dikelompokkan kedalam tiga katergori yaitu muda (15-24), dewasa (25-54) dan tua (55-85) 2. Tingkat pendidikan yaitu lamanya responden mengenyam pendidikan formal diukur sampai penelitian dilakukan. Pengukuran menggunakan skala rasio kemudian dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: tidak sekolah, tidak tamat SD-tamat SD, sekolah lanjutan, sekolah tinggi. 3. Pengalaman berusaha yaitu lamanya responden melakukan usaha peternakan sapi potong dalam satuan tahun sampai pada saat penelitian. Pengukuran dengan skala rasio kemudian dikelompokan dalam tiga kategori yaitu baru (0-25 tahun), sedang (26-51 tahun), lama (59-75 tahun). 4. Skala usaha yaitu ukuran usaha peternakan sapi yang dijalani oleh peternak. Kategori skala usaha dikelompokan dalam tiga kategori yaitu sambilan, cabang usaha, dan usaha pokok. 5. Kekosmopolitan yaitu tingkat keterbukaan peternak terhadap informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi berupa keaktifan mencari informasi dan berpegian ke luar desa dalam rangka mengembangkan kompetensi usaha. Pengukuran dengan skala rasio dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah (skor 6-9), sedang (skor 10-13) dan tinggi (skor lebih dari 14). 6. Kepemilikan media yaitu kepemilikan media siaran dan komunikasi yang dimiliki oleh peternak seperti televisi, radio dan telepon genggam. Kategori kepemilikan media peternak dalam penelitian ini dikaegorikan menjadi tiga yaitu rendah (skor 0-1), sedang (skor 2) dan tinggi (skor 3). Aksesibilitas Media Komunikasi adalah ketepatan dan kecepatan peternak dalam mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi. Aksesibilitas media komunikasi bagi peternak sapi potong dilihat dari kepemilikan media komunikasi dan keterdedahan media. 1. Aksesibilitas media komunikasi radio yaitu ketepatan dan kecepatan peternak dalam mengakses bebagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi khusunya radio. Akasesibilitas media komunikasi radio dalam penelitian ini dibagi kedalam lima indikator yaitu intensitas mendengarkan, tempat mendengarkan, waktu mendengarkan, cara mendengarkan dan aktivitas mendengarkan radio oleh peternak. a. Intensitas mendengarkan radio yaitu lamanya peternak mendengarkan radio dihitung berdasarkan lamanya peternak mendengarkan radio setiap harinya dikalikan dengan banyaknya medengar radio setiap minggunya. Kategori intensitas mendengarkan radio dibagi kedalam tiga kategori rendah (0-860 menit), sedang (861-1681 menit) dan tinggi (1682-2520). b. Tempat mendengarkan radio yaitu lokasi mendengarkan radio untuk mendapatkan informasi. Kategori tempat mendengarkan terdiri dari tidak mendengarkan, rumah dan tempat umum. c. Waktu mendengarkan yaitu waktu yang biasa digunakan oleh peternak untuk medengarkan radio. Kategori waktu mendengarkan terdiri dari tidak mendengarkan, pagi, siang, sore dan malam.
Y1
d. Cara mendengarkan radio yaitu cara yang dilakukan oleh peternak untuk mendengarkan radio. Kategori cara mendengarkan terdiri dari sendirian, bersama keluarga, bersama orang lain, dan tidak mendengarkan. e. Aktivitas dengar radio yaitu bagaimana peternak melakukan aktivitas dengar radio. Kategori aktivitas dengar radio terdiri dari khusus dan sambil aktivitas lain. 2. Aksesibilitas media komunikasi televisi yaitu ketepatan dan kecepaan peternak dalam mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media televisi. Aksesibilitas media komunikasi televisi dalam penelitian ini dibagi kedalam lima indikator yaitu intensitas menonton, tempat menonton, waktu menonton, cara menonton dan aktivitas menonton televisi oleh peternak. a. Intensitas menonton televisi yaitu lamanya peternak menonton televisi dihitung berdasarkan lamanya peternak menonton televisi setiap harinya dikalikan dengan banyaknya menonton televisi setiap minggunya. Kategori intensitas menonton televisi dibagi kedalam tiga kategori rendah (0-2.240 menit), sedang (2.241-6300 menit) dan tinggi (4.272-6.300 menit). b. Tempat menonton televisi yaitu lokasi menonton televisi untuk mendapatkan informasi. Kategori tempat menonton televisi terdiri dari rumah dan tempat umum. c. Waktu menonton televisi yaitu waktu yang biasa digunakan oleh peternak untuk menonton televisi. Kategori waktu menonton televisi terdiri dari pagi, siang, sore dan malam. d. Cara menonton televisi yaitu cara yang dilakukan oleh peternak untuk menonton televisi. Kategori cara mendengarkan terdiri dari sendirian, bersama keluarga, dan bersama orang lain. e. Aktivitas menonton televisi yaitu bagaimana peternak melakukan aktivitas menonton televisi. Kategori aktivitas menonton televisi terdiri dari khusus dan sambil aktivitas lain. 3. Aksesibilitas media komunikasi telepon genggam yaitu ketepatan dan kecepatan peternak sapi dalam mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi telepon genggam. Akasesibilitas media komunikasi telepon genggam dalam penelitian ini dibagi kedalam empat indikator yaitu intensitas menelepon, tempat menelepon, waktu menelepon, dan cara mendapatkan telepon. a. Intensitas menelepon yaitu lamanya peternak menggunakan telepon geenggam untuk berkomunikasi mencari informasi. Kategori intensitas menelepon terdiri dari rendah (0-115 menit), sedang (116-231 menit) dan tinggi (232-250 menit). b. Tempat menelepon yaitu lokasi dimana peternak sering menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi mencari informasi. Kategori tempat menelepon terdiri dari rumah, tempat umum, dan tidak memiliki telepon genggam. c. Waktu menelepon yaitu waktu yang digunakan oleh peternak untuk mencari informasi melalui telepon genggam. Kategori waktu menelepon terdiri dari pagi, siang, sore, malam dan tidak memiliki telepon genggam. d. Cara mendaptkan yaitu cara yang digunakan oleh peternak untuk mendapatkan telepon genggam sebagai alat komunikasi untuk menambah informasi. Kategori cara mendapatkan telepon genggam terdiri dari menemukan, meminjam, dibagikan, membeli, dan tidak memiliki telepon genggam. Kompetensi Peternakan dalam pengelolaan sapi potong adalah ciri-ciri kompetensi peternak yang terdiri dari pengetahuah dan keterampilan.
1. Pengetahuan adalah kemampuan mengingat materi atau paket teknologi yang telah dipelajari peternak dalam pengelolaan peternakan sapi potong seperti pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan ternak, perkawinan dan pemasaran hasil. a. Kompetensi pengetahuan bibit ternak sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan jenis bibit sapi, cara memilih bibit sapi, cara mendapatkan bibit sapi, menangani bibit sapi. Kategori kompetensi pengetahuan dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-9), sedang (skor 10-14) dan tinggi (15-19). b. Kompetensi pengetahuan kandang sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan kandang yang baik, syarat kandang yang baik, dan cara pembuatan konstruksi kandang. Kategori kompetensi pengetahuan kandang sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12), dan tinggi (skor 13-17). c. Kompetensi pengetahuan pakan ternak sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan mengetahui kebutuhan pakan, penanaman rumput, pemberian konsentrat, tata cara pemberian pakan, teknik menyiapkan pakan, dan tata cara pemberian air. Kategori kompetensi pengetahuan pakan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-10), sedang (skor 11-15) dan tinggi (skor 16-19). d. Kompetensi pengetahuan kesehatan ternak sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan deteksi penyakit, ciri penyakit, obatobatan untuk ternak, cara pengobatan ternak sakit, cara pencegahan ternak sakit. Kategori kompetensi pengetahuan kesehatan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12) dan tinggi (skor 13-16). e. Kompetensi pengetahuan kawin ternak sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan deteksi birahi sapi, perkainan ternak sapi, deteksi kebuntingan, penanganan induk bunting, penanganan kelahiran induk, penanganan anak sapi. Kategori kompetensi pengetahuan kawin ternak sapi dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12) dan tinggi (skor 13-18). f. Kompetensi pengetahuan penangan hasil ternak sapi diukur dengan melihat pengetahuan peternak berkaitan dengan pemasaran ternak, pembuatan pupuk kandang, pembuatan biogas, pembuatan bioarang. Kategori kompetensi pengetahuan penangan hasil ternak sapi dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (skor 4-6), sedang (skor 7-9) dan tinggi (skor 10-12). 2. Keterampilan adalah kemampuan peternak melakukan atau mengadopsi paket teknologi pengelolaan peternakan sapi potong seperti pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan ternak, perkawinan dan pemasaran hasil. a. Kompetensi keterampilan bibit ternak sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan jenis bibit sapi, cara memilih bibit sapi, cara mendapatkan bibit sapi, menangani bibit sapi. Kategori kompetensi keterampilan dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12) dan tinggi (skor 13-18). b. Kompetensi keterampilan kandang sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan kandang yang baik, syarat kandang yang baik, dan cara pembuatan konstruksi kandang. Kategori kompetensi keterampilan kandang sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12), dan tinggi (skor 13-16).
c. Kompetensi keterampilan pakan ternak sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan mengetahui kebutuhan pakan, penanaman rumput, pemberian konsentrat, tata cara pemberian pakan, teknik menyiapkan pakan, dan tata cara pemberian air. Kategori kompetensi keterampilan pakan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-12) dan tinggi (skor 13-16). d. Kompetensi keterampilan kesehatan ternak sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan deteksi penyakit, ciri penyakit, obatobatan untuk ternak, cara pengobatan ternak sakit, cara pencegahan ternak sakit. Kategori kompetensi keterampilan kesehatan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu rendah (skor 5-8), sedang (skor 9-11) dan tinggi (skor 12-16). e. Kompetensi keterampilan kawin ternak sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan deteksi birahi sapi, perkainan ternak sapi, deteksi kebuntingan, penanganan induk bunting, penanganan kelahiran induk, penanganan anak sapi. Kategori kompetensi keterampilan kawin ternak sapi dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (skor 7-9), sedang (skor 10-12) dan tinggi (skor 13-16). f. Kompetensi keterampilan penangan hasil ternak sapi diukur dengan melihat keterampilan peternak berkaitan dengan pemasaran ternak, pembuatan pupuk kandang, pembuatan biogas, pembuatan bioarang. Kategori kompetensi keterampilan penangan hasil ternak sapi dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (skor 4-6), sedang (skor 7-9) dan tinggi (skor 10-12).
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Validitas dan rebilitas instrumen dilakukan untuk menjamin mutu seluruh proses pengumpulan data sejak konsep disipakan sampai kepada data siap dianalisis. Proses tersebut akan membantu peneliti dalam memberikan kesimpulan ataupun dalam memberi alasan terhadap hubungan-hubungan antar variabel. Uji kuisoner yang telah dilakukan terhadap 30 peternak responden di Desa Sekaran Kabupaten Bojonegoro berkaitan dengan hubungan aksesibilitas media komunikasi khususnya media elektronik terhadap peningkatan kompetensi peternak sapi dengan menggunakan program SPSS versi 20.0. Penelitian ini menggunakan teknik validasi konstruk dengan langkah langkah sebagai berikut: (1) mendefinisikan secara operasional konsep yang diukur, (2) melakukan uji coba kuesioner pada responden yang memiliki karateristik relatif sama dengan calon responden penelitian, (3) menghitung nilai korelasi antara data pada masing-masing pertanyaan dan skor total dengan memakai rumus product moment correlations Pearson, (4) membandingkan r hitung dengan r tabel. Hasil uji validitas didapatkan nilai terendah untuk peubah karateritik adalah 0,246 dan nilai tertinggi adalah 0,380. Pada peubah aksesibilitas media nilai terendah adalah 0,263 dan nilai tertiingi adalah 0,874. Sedangkan untuk peubah kompetensi nilai validitas terendah adalah 0,240 dan nilai tertinggi adalah 0,336. Reliabilitas menurut Ancok (1989) adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Sedangkan Arikunto (2005) menyatakan realibilitas menunjukkan keterpercayaan suatu alat pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik. Instrumen yang reliaabel berarti tersebut dapat dipercaya, ajeg atau konsisten mengukur suatu konsep. Agar dapat menentukan apakah intrumen penelitian yang digunakan realibel atau tidak maka niali r yang dihasilkan harus dikonfirmasi
dengan nilai t tabel pada taraf 0,05. Jika r hitung lebih besar dari t tabel, maka instrument penelitian yang digunakan dinyatakan reliabel dan jika r tabel lebih kecil dari t tabel maka instrumen penelitian dinyatakan tidak realibel. Merujuk sesuai dengan penjelas Triton (2006) dimana menjelaskan tingkat reliabilitas dengan metode Alpha Cronbach’s diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai 1, apabila skala tersebut dikelempokkan ke dalam lima kelas dengan range yang sama, maka urutan kemantapan Alpha dapat di interpretasikan sebagai berikut : a. 0,00 – 0,20 Kurang Reliabel b. >0,20-0,40 Agak Reliabel c. >0,40-0,60 Cukup Reliabel d. >0,06-0,80 Reliabel e. >0,80-1,00 Sangat Reliabel Berdasarkan hasil analisis terhadap seluruh instrument penelitian diperoleh angka 0,621 yang dapat di interpretasikan bahwa reliabilitas pada instrument penelitian pada kelas realibel.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian karena validasi data dapat ditingkatkan jika kualitas pengambilan datanya juga cukup valid. Penelitian ini teknik pengumpulan data digunakan prosedur yang sistematis dan standar untuk pengadaan data primer dan data sekunder. Teknik data primer dilakukan dengan menggunakan metode kuesioner. Pengumpulan data dilakukan atas panduan pertanyaan yang terdapat dalam kuesioneryang di tanyakan oleh enumerator. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan dengan cara mencatat segala informasi yang relevan dengan penelitian dengan mendatangi sumber informasi seperti kantor desa, kantor dinas peternakan dan instansi terkait. Analisis Data Data yang terkumpul diolah melalui tahapan editing, coding dan tabulasi masingmasing pengukuran yang diperoleh. Setelah keseluruhan data ditabulasikan dilakukan analisis sebagai berikut: 1. Analisis statistik deskriptif berupa frekuensi sebaran populasi, persentil, rataan skor, total rataan skor, median dan tabulasi silang untuk mendeskripsikan variabel-variabel internal dan eksternal peternak dalam pengelolaan peternakan sapi potong. 2. Kemudian dilakukan uji statistik inferensia, berupa uji korelasi rank Sperman (rs) yakni menganalisis hubungan variabel independen terhadap variabel dependen dengan rumus : 6∑𝐷2 𝑟𝑠 = 1 − 𝑛 (𝑛2 − 1) 3.
Keterangan: rs = koefisien korelasi rank Spearman D = perbedaan antara kedua rangking n = banyak sampel Uji signifikansi untuk menguji hipotesis penelitian pada taraf α = 0,05 atau α = 0,01 (Siegel 1997). Untuk memudahkan pengolahan data digunakan program SPPS (Statistical Package for the Social Science).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bojonegoro termasuk kedalam salah satu wilayah Provinsi Jawa Timur. Secara geografis Kabupaten Bojonegoo terletak diantara 11o25’ - 112o09 Bujur Timur dan 6o59’-7o37’ Lintang Selatan. Kabupaten Bojonegoro memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tuban, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Blora, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Kabupen Nganjuk dan Kabupetan Ngawi. Dataran rendah di Kabupaten Bojonegoro terletak disepanjang aliran sungai Bengawan Solo dengan tinggi dibawah 25 meter dibawah permukaan laut. Sedangkan dataran tinggi terletak di bagian selatan di daerah gunung Pandan dan Gajah dengan tinggi 25 meter diatas permukaan laut. Secara administrasi Kabupaten Bojonegoro memiliki 28 kecamatan yaitu Margomulyo, Ngraho, Tambakrejo, Ngambin, Sekar, Bubulan, Gondang, Temayang, Sugihwaras, Kedungadem, Kepohbaru, Baureno, Kanor, Sumberejo, Balen, Sukosewu, Kapas, Bojonegoro, Trucuk, Dander, Ngasem, Kalitidu, Malo, Purwosari, Padangan, Kasiman, Kedewan dan Gayam dengan total luas sebesar 2.307,06 km2. Jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2013 sebanyak 1.451.189 jiwa jumlah ini mningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 35.731 jiwa dari 1.415.458 jiwa. Tabel 1 menyajikan jumlah penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, 2014 Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kecamtan di Kabupaten Bojonegoro, 2011 Kecamatan Jumlah (orang) Kecamatan Jumlah (orang) Margomulyo 25.539 Balen 70.678 Ngraho 51.512 Sukosewu 47.165 Tambakrejo 60.755 Kapas 56.626 Ngambon 13.219 Bojonegoro 97.764 Sekar 30.179 Trucuk 44.505 Bubulan 16.766 Dander 92.092 Gondang 28.075 Ngasem 68.284 Temayang 40.654 Gayam 35.863 Sugihwaras 51.453 Kalitidu 55.470 Kedungadem 91.341 Malo 35.604 Kepohbaru 72.691 Purwosari 33.484 Baureno 87.700 Padangan 50.363 Kanor 65.943 Kasiman 34.885 Sumberrejo 77.994 Kedewan 14.665 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonenoro, 2014
Lokasi penelitian dilakukan di kecamatan Kasiman Desa Sekaran. Kecamatan Kasiman termasuk kedalam wilayah geografis Kabupaten Bojonegoro yang merupakan bagian dari wilayah Pembantu Bupati Bojonegoro yang terdiri dari 10 desa dan terletak di sebelah barat pusat pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Luas wilayah Kecamatan Kasiman yaitu 51,91 km2 yang terdiri dari dataran rendah disebelah utara dan perbukitan disebelah selatan, yang dihuni oleh 7.837 kepala keluarga dan berpenduduk 30.144 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 14.831 jiwa dan perempuan 15.054 jiwa.
Batas-batas administrasi wilayah Kecamatan Kasimana yaitu pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kedewan, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Malo, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Padangan dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamtan Cepu Kabupaten Blora Jawa Tengah. Kecamatan Kasiman memiliki 30 dukuh, 37 rukun warga dan 176 rukun tetangga. Sedangkan untuk desa Sekaran terdiri dari tiga dukuh, tiga rukun warga dan 22 rukun tetangga. Jumlah penduduk pada Kecamatan Kasimana berdasarkan sex ratio tiap desa sebanyak 29.748 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 14.762 jiwa dan perempuam sebanyak 14.986 jiwa seperti yang tertera pada tabel 2. Tabel 2. Sex ratio penduduk tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 Jumlah Penduduk Desa Sex Ratio Laki-laki Perempuan Batoka 2244 2385 94.08 Betet 1022 1039 98.36 Tembeling 1.461 1.531 95.42 Sidomukti 780 787 99.11 Besah 1209 1216 99.42 Sambeng 1950 1930 101.04 Ngaglik 1414 1487 96.08 Kasiman 1773 1802 98.39 Sekaran 1706 1600 106.57 Tambakmerak 1205 1209 99.67 Jumlah 14762 14986 98.51 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonenoro, 2014
Berdasarkan data yang dihimpun lebih dari 50% penduduk di Desa Sekaran memiliki pekerjaan dalam jenis usaha tani dan sebagai buruh tani atau 2.268 jiwa. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 3 . Tabel 3. Jumlah penduduk angkatan kerja menurut jenis usaha tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 Karyawan/ Peda- Buruh PertuDesa Tani Industri Lainnya Jumlah ABRI gang Tani kangan Batoka 119 389 1051 1723 68 426 58 3834 Betet 22 462 60 769 24 223 42 1629 Tembeling 26 843 72 1091 25 235 30 2322 Sidomukti 12 485 32 674 22 28 24 1277 Besah 27 760 44 1030 32 25 37 1955 Sambeng 68 585 178 1953 54 176 83 3097 Ngaglik 46 278 302 1580 43 28 36 2313 Kasiman 26 1433 78 1228 46 19 41 2871 Sekaran 39 1051 169 1217 42 27 24 2569 Tambakmerak 15 648 52 1069 31 18 23 1883 Jumlah 400 6934 2038 12388 387 1205 398 23750 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonenoro, 2014
Sedangkan untuk jumlah populasi ternak di Kecamatan Kasiman, populasi ternak sapi memiliki jumlah yang tertinggi sebesar 7190 ekor dibandingkan dengan ternak kambing maupun domba yang masing-masing sebesar 1774 ekor dan 3565 ekor. Jumlah populasi ternak sapi di Desa Sekaran memiliki jumlah populasi yang tertingi dibandingkan dengan
desa lainnya yang berada di Kecamatan Kasiman dimana jumlah populasi ternak sapi berjumlah 1552 ekor. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 4. Populasi ternak besar menurut jenisnya tiap desa wilayah Kecamatan Kasiman, 2011 Desa Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Batoka 57 238 304 Betet 253 1 177 279 Tembeling 452 155 389 Sidomukti 518 1 127 304 Besah 639 1 130 424 Sambeng 681 1 187 334 Ngaglik 556 133 283 Kasiman 1227 46 223 257 Sekaran 1552 2 165 504 Tambakmerak 1004 2 209 290 Jumlah 7190 46 8 1774 3565 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonenoro, 2014
Karateristik Perternak Sapi Karateristik merupakan ciri khas yang melekat pada individu yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Karateristik individu yang diamati sebagaimana yang tercantum dalam kerangka berpikir meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, kekosmopolitan dan kepemilikan media. Tabel.5 Karakteristik peternak sapi Kabupaten Bojonegoro tahun 2014 Karateristik Jumlah Persentase Karateristik Jumlah Peternak (orang) (%) Peternak (orang) Umur (tahun) Skala Usaha Muda (15-24) 0 0 Sambilan 85 Dewasa (25-54) 74 74 Cabang Usaha 8 Tua (55-85) 26 26 Usaha Pokok 6 Tingkat Pendidikan Kekosmopolitan (kali) Tidak Sekolah 13 13 Rendah (6-9) 84 Tidak Tamat–Tamat SD 85 85 Sedang (10-13) 13 Sekolah Lanjutan 1 1 Tinggi ( 14-17) 3 Sekolah Tinggi 1 1 Kepemilikan Media Rendah (0-1) 49 Pengalaman Berusaha (tahun) Baru (0-25) 66 66 Sedang (2) 36 Sedang (26-51) 32 32 Tinggi (3) 9 Lama (59-75) 2 2
Persentase (%) 85 8 6 84 13 3 49 36 9
Umur Umur peternak merupakan salah satu faktor penujang dalam menjalankan peternakan karena perbedaan umur dapat menggambarkan perilaku seseorang yang diperoleh dari perbedaan pengalaman yang miliki serta akan mempengaruhi kompetensi yang dimiliki. Umur peternak sapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia peternak sejak lahir hingga penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam tahun. Table 5 menunjukkan rentang umur peternak dalam penelitian ini berkisar antara 15 tahun sampai 85 tahun dengan rataan umur peternak adalah 46,5 tahun. Selanjutnya umur peternak responden dikategori menjadi tiga yaitu muda, dewasa dan tua. Kategori muda umur
pertnak respoden berkisar antara 15 sampai 24 tahun dengan persentase sebesar 0%. Katergori dewasa umur peternak responden berkisar antara 25 sampai 54 tahun dengan persentase sebesar 74% . Kategori tua umur peternak responden berkisar 55 sampai 85 tahun dengan pesentase sebesar 26%. Melihat dari hasil pesentase, kategori dewasa memiliki persentase terbesar sehingga secara psikologis peternak yang berada pada kelompok umur muda dan dewasa memiliki kelebihan relatif senang mencoba cara-cara baru dan dapat belajar dalam menguasai teknologi serta mampu mempertahankan retensi belajar dalam jumlah besar baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok dan memiliki sikap cepat mengadopsi suatu inovasi. Sedangakn pada peternak kelompok umur tua memiliki karateristik lamban mengadopsi inovasi dan relatif kemampuan belajarnya akan berkurang secara gradual dan terasa nyata setelah mencapai umur lebih dari 55 tahun (Padmowiharjo 1994).
Pendidikan Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan yang ditempuh oleh para peternak yang dinyatakan dengan tingkat pendidikan. Ketegori pendidikan yang ditempuh oleh peternak dikategorikan menjadi empat mulai dari tidak sekolah, tidak tamat dan tamat sekolah dasar, sekolah tingkat lanjut dan sekolah tinggi. Pendidikan tidak tamat sekolah dasar dan tamat sekolah dasar memiliki persentase yang cukup tinggi sebesar 85%, sedangkan tidak menemupuh pendidikan sama sekali memiliki persentase sebesar 13% dan sekolah lanjutan yang terdiri dari sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas memiliki persentase sebesar 1%. Pada kategori pendidikan tinggi persentase respoden peternak yang menempuh pendidikan sebesar 1% atau tidak ada. Rendahnya tingkat pendidikan para peternak disebabkan karena tidak adanya fasilitas sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Sekolah lanjutan yang paling dekat dengan dusun berjarak lebih dari dua kilometer dari dusun atau terletak di ibukota kecamatan. sedangkan untuk sekolah tinggi yang terdekat berada di kota lain yang jaraknya lebih dari tiga kilometer dari dusun dan lebih dari lima kilometer untuk menuju ibu kota kabupaten.
Penglaman Berusaha Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan kompetensi seperti pengetahuan dan keterampilan. Pengalaman merupakan hasil dari proses yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi terhadap informasi yang diterima. Pengalaman menjadi dasar terhadap pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan. Tidak adanya pengalaman sama sekali terhadap suatu obyek secara psikologis cenderung membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Orang yang telah menggeluti suatu pekerjaan akan lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada orang baru. Pengalaman berusaha yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya peternak sapi berusaha ternak sapi yang dinyatakan dalam tahun. Rentang pengalaman berusaha antara 1 sanpai lebih dari 75 tahun. Pengalaman berusaha ternak sapi responden dikategorikan menjadi tiga yaitu baru, sedang dan lama. Kategori baru berkisar dari 0 sampai 25 tahun
dengan persentase 66%, kategori sedang berkisar dari 26 sampai 51 tahun dengan persentase 32%, dan kategori lama lebih dari 59 tahun dengan persentase 2%.
Skala usaha Skala usaha yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran usaha peternakan sapi yang dijalan oleh peternak. Kategori skala usaha yang digunakan dalam penelitian ini adalah sambilan, cabang usaha, dan usaha pokok. Kategori sambilan pada penelitian ini merupakan skala usaha yang banyak dilakukan oleh responden peternak sapi dengan persentase sebesar 85%. Sedangkan pada kategori tipe usaha cabang usaha dan usaha pokok memiliki persentase masing-masing sebesar 8% dan 26%. Skala usaha sambilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dimana para peternak melakukan kegiatan berternak sapi sebagai sambilan bukan penghasilan pokok karena sebagian besar para peternak bekerja sebagai petani atau buruh tani diladang pertanian. Selain itu terdapat juga responden yang berternak sebagai usaha pokok. Biasanya para peternak yang memiliki skala usaha ternak sebagai usaha pokok memiliki sapi lebih dari 4 ekor atau merawat ternak milik orang lain sebagai usahanya.
Kekosmopolitan Kekosmopolitan yang dimaksud disini adalah keterbukaan peternak sapi untuk mendapatkan informasi dengan berpergian keluar desanya seperti berpergian ke kantor desa, ibu kota kecamatan, ibu kota kabupaten, provinsi lain, pos kesehatan hewan, dan pasar hewan. Kategori kekosmopolitan peternak dibagi kedalam tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori rendah memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 84% atau sebanyk 6 sampai 9 kali dalam satu tahun terakhir peternak keluar dari desanya untuk mencari informasi. Sedangkan kategori sedang yaitu sebesar 13% atau sebanyak 10 sampai 13 kali dalam satu tahun terakhir, sedangkan untuk kategori tinggi memiliki persentase sebesar 3% atau sebanyak 14-17 kali dalam satu tahun terakhir peternak keluar dari desanya untuk mencari informasi. Rendahnya tingkat kekosmopolitan para peternak disebabkan oleh bebagai faktor seperti sarana dan prasarana transportasi yang masih sedikit. Hal itu dapat dicontohkan dengan akses jalan menuju lokasi penelitian yang masih berbatu kapur dan harus melewati hutan jati milik Perhutani. Serta tidak tersedianya angkutan umum bagi masyarakat sehingga menyulitkan masyarakat desa tersebut. Selain itu jarak tempuh yang lebih dari 5 kilometer menuju ibukota kabupaten dan 3 kilometer menuju kota terdekat.
Kepemilikan Media Kepemilikan media yang dimaksud disini adalah kepemilikan media siaran dan komunikasi yang dimiliki oleh peternak seperti televisi, radio dan hp. Kategori kepemilikan media peternak dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga yaitu rendah dengan skor 0 sampai 1, sedang dengan 2, dan tinggi dengan skor 3. Bedasarkan kategori tersebut, kategori rendah memiliki persentase tertinggi sebesar 49%, dan kategori sedang dengn persentase sebesar 36%. Kategori kepemilikan media tinggi memiliki persentase tersendah sebesar 9%. Tinggi persentase pada kategori rendah ini memperlihatkan jika kebanyak dari peternak
hanya memiliki satu buah media seperti televisi, radio ataupun telepon genggam saja. Namun memang lebih banyak peternak memiliki televisi dibandingkan radio dan telepon genggam.
Aksesibilitas Media Radio pada Peternak Sapi Kabupaten Bojonegoro Aksesibiltas media radio peternak sapi yang dimaksud disini adalah ketepatan dan kecepatan peternak sapi dalam mengakases berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi khususnya radio. Aksesibilitas media radio dalam penelitian ini terdiri dari lima faktor yaitu intensitas mendengar, tempat mendengar, waktu mendengar, cara mendengarkan dan aktivitas mendengarkan. Berdasarkan uji deskriptif aksesibilitas media komunikasi radio oleh peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro memiliki hasil yang berbedabeda yang tersaji pada tabel 6.
Intensitas Mendengar Radio Intensitas mendengar radio yang dimaksud disini adalah lama mendengarkan radio untuk mendapatkan informasi. Kategori intensitas mendengar radio dalam penelitian ini bagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan kategori tersebut intensitas mendengarkan radio pada peternak sapi yaitu termasuk kedalam kategori rendah dengan lama mendengar 0 sampai 860 menit memiliki persentase frekuensi 98 %. Kategori sedang dengan lama mendengar 861 sampai 1681 menit memiliki persentase frekuensi sebesar 1%. Sedangkan kategori tinggi dengan lama mendengarkan 1682 sampai 2520 menit memiliki persentase frekuensi sebesar 1%. Perhitungan lamanya para peternak mendengarkan radio dihitung berdasarkan lamanya peternak mendengarkan radio setiap hari dikali banyaknya peternak mendengarkan radio setiap harinya lalu dikalikan kembali dengan banyaknya peternak mendengarkan radio setiap minggunya. Rendahnya lama mendengarkan radio yang dilakukan oleh pertenak hal itu dikarenakan jumlah peternak yang memiliki radio sangat rendah jika dibandingkan dengan media lainnya seperti televisi dan telepon genggam. Selain itu sebagian besar peternak yang memiliki radio juga memiliki televisi sehingga lebih banyak peternak yang menonton televisi dibandingkan dengan mendengarkan radio. Tabel 6 Aksesibilitas Media Radio peternak sapi KabupatenBojonegoro tahun 2014 Aksesibilitas Jumlah Persentase Aksesibilitas Media Jumlah Persentase Media Radio (orang) (%) Radio (orang) (%) Intensitas Mendengar Waktu Mendengar Rendah 98 98 Malam 7 7 Tidak Mendengarkan Sedang 1 1 82 82 Tinggi 1 1 Cara Mendengarkan Sendirian 2 2 Tempat Mendengar Tidak mendengar 79 79 Bersama Keluarga 16 16 Bersama Orang Lain Rumah 21 21 0 0 Tidak Medengarkan Tempat Umum 0 0 82 82 Waktu Mendengar Aktivitas Dengar Pagi 5 5 Khusus 7 7 Siang 5 5 Sambil Aktivitas 11 11 Tidak Mendengarkan Sore 1 1 82 82
Tempat Mendengar Radio Tempat mendengar radio yang dimaksud disini adalah lokasi mendengarkan radio untuk mendapatkan informasi. Kategori tempat mendengar radio dalam penelitian ini tiga yaitu tidak mendengar, rumah, dan tempat umum. Pada kategori tidak mendengar persentase frekuensi sebesar 79%. Kategori tempat mendengar dirumah memiliki persentase sebesar 21 % sedangkan pada kategori tempat umum memiliki persentase frekuensi sebesar 0%. Rumah mejadi salah satu tempat yang paling banyak digunakan oleh peternak untuk mendengarkan radio karena sebagian besar radio milik peternak bukanlah radio portable atau mudah untuk dibawa namun radio stereo yang membutuhkan listrik berdaya besar.
Waktu Mendengar Radio Waktu mendengar radio yang dimaksud disini adalah waktu yang biasa digunakan oleh peternak untuk mendengarkan radio. Kategori waktu mendengar radio dalam penelitian ini dibagi kedalam empat kategori yaitu pagi, siang, sore dan malam. Pada kategori pagi memiliki persentase frekuensi sebesar 5%, sedangkan pada kategori siang memiliki persentase frekuensi sebesar 5% dan kategori sore memiliki persentase frekuensi sebesar 1%. Kategori malam memiliki persentase frekuensi sebesar 7%. Sedangkan sisa peternak yang dijadikan responden tidak mendengarkan radio sebesar 82%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat jika sebagian besar peternak yang memiliki radio mendengarkan dimalam hari. Hal tersebut karena pada malam hari para peternak sudah tidak melakukan banyak aktivitas yang berkaitan dengan ternak mereka ataupun aktivitas lainnya. Selain itu pada berdasarkan wawancara sebagian besar peternak yang memiliki radio senang mendengarkan program hiburan wayang yang sebagian besar disiarkan dimalam hari.
Cara Mendengkan Radio Cara mendengakan radio yang dimaksud disini adalah cara yang biasa dilakukan oleh peternak untuk mendengarkan radio. Kategori cara mendengar radio dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga yaitu sendirian, bersama keluarga, dan bersama orang lain. Pada kategori sendiri memiliki persentase frekuensi sebesar 2%, dan kategoris mendengarkan radio bersama keluarga memiliki persentase frekuensi sebesar 16%. Sedangkan pada kategori bersama orang lain memiliki persentase frekuensi sebesar 0%. Sedangkan sisa peternak yang dijadikan responden tidak medengarkan radio sebesar 82%.
Aktivitas Dengar Radio Aktivitas dengar radio yang dimaksud disini adalah bagaimana peternak peternak melakukan aktivitas mendengarkan radio apakah khusus atau tidak bersamaan dengan melakukan aktivitas lain. Kategori aktivitas mendengarkan radio dalam penelitian dibagi kedalam dua kategori yaitu khusus mendengarkan radio dan melakukan sambil melakukan aktivitas lain. Pada kategori khusus mendengarkan radio memiliki persentase frekuensi sebesar 7% sedangkan pada kategori sambil melakukan aktivitas lain memiliki persentase frekuensi sebesar 11%. Sisanya 82% tidak memiliki aktivitas mendengarkan radio.
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat jika hampir sebagian besar peternak yang memiliki radio mendengarkan radio sambil melakukan aktivitas lainnya.
Aksesibilitas Media Televisi pada Peternak Sapi Kabupaten Bojonegoro Aksesibiltas media televisi peternak sapi yang dimaksud disini adalah ketepatan dan kecepatan peternak sapi dalam mengakases berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi khususnya televisi. Aksesibilitas media televisi dalam penelitian ini terdiri dari lima faktor yaitu intensitas menonton, tempat menonton, waktu menonton, cara menonton dan aktivitas menonton. Berdasarkan uji deskriptif aksesibilitas media komunikasi televisi oleh peternak sapi memiliki hasil yang berbeda-beda yang tersaji pada tabel 7. Tabel. 7 Aksesibilitas Media Televisi peternak sapi KabupatenBojonegoro tahun 2014 Aksesibilitas Jumlah Persentase Aksesibilitas Jumlah Persentase Media Televisi (orang) (%) Media Televisi (orang) (%) Intensitas Menonton Cara Menonton Rendah 89 89 Sendirian 5 5 Bersama Keluarga Sedang 7 7 93 93 Bersama Orang Lain Tinggi 4 4 2 2 Tempat Menonton Aktivitas Menonton Rumah 96 96 Khusus 72 72 Tempat Umum 4 4 Sambil Aktivitas 28 28 Waktu Menonton Pagi 18 18 Siang 8 8 Sore 13 13 Malam 61 61
Intensitas Menonton Televisi Intensitas menonton televisi yang dimaksud disini adalah lama menonton televisi untuk mendapatkan informasi. Kategori intensitas menonton televisi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang tinggi. Berdasarkan kategori tersebut intensitas menonton televisi pada peternak sapi yaitu termasuk kedalam rendah dengan lama menonton 0 sampai 2240 menit memiliki persentase frekuensi 89%. Kategori sedang pada intensitas menonton televisi dengan lama menonton televisi 2241 sampai 6300 menit memiliki frekuensi sebesar 7 % dan kategori tinggi pada intensitas menonton televisi dengan lama menonton televisi 4272 sampai 6300 menit memeiliki persentase sebesar 4%. . Perhitungan intensitas menonton televisi dilakukan dengan mejumlahkan hasil perkalian lamanya menonton televisi setiap hari dikalikan dengan banyaknya peternak menonton televisi perhari dikalikan dengan hari peternak menonton televisi dalam satu minggu. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat jika intensitas menonton televisi pada kategori rendah memiliki persentase yang cukup tinggi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan para peternak mejelaskan jika mereka dalam sekali menonton televisi menghabiskan waktu kurang lebih selama 120 menit.
Tempat Menonton Televisi Tempat menonton televisi yang dimaksud disini adalah lokasi menonton televisi peternak untuk mendapatkan informasi. Kategori tempat menonton televisi dalam penelitian ini yaitu rumah dan tempat umum. Berdasarkan kategori tersebut frekuensi persentase tempat menonton televisi pada peternak sapi di rumah yaitu 96% sedangkan pada tempat menonton televisi pada peternak sapi di tempat umum dengan persentase hanya 4%. Tingginya frekuensi tempat menonton televisi pada kategori rumah dikarenakan di dusun tersebut tidak disediakan fasilitas televisi bersama pada satu tempat seperti balai dusun, selain itu jumlah tempat berkumpulnya warga seperti warung kopi jumlahnya sedikit. Faktor lainnya adalah sebagian besar peternak mampu untuk membeli televisi sendiri.
Waktu Menonton Televisi Waktu menonton televisi yang dimaksud disini adalah waktu yang biasa digunakan oleh peternak untuk menonton televisi. Kategori waktu menonton televisi dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori yaitu pagi, siang, sore dan malam. Kategori waktu menonton televisi di pagi memiliki persentase frekuensi sebesar 18%, sedangkan pada kategori waktu menonton televisi siang memiliki persentase sebesar 8%. Kategori waktu menonton televisi di sore memiliki persentase frekuensi sebesar persentase frekuensi sebesar 13% sedang diwaktu malam persentase frekuensi sebesar 61%. Waktu menonton televisi yang banyak dilakukan oleh para peternak yaitu pada kategori malam hari. Hal tersebut dikarenakan pada malam hari peternak tidak banyak melakukan aktivitas diluar rumah. Selain itu berdasarkan wawancara yang dilakukan sebagian besar peternak menyukai satu program hiburan tertentu yang ditayangkan pada malam hari.
Cara Menonton Televisi Cara menonton televisi yang dimaksud disini adalah bersama siapa saja para peternak untuk menonton televisi. Kategori cara menonton televisi dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga kategori yaitu sendiri, bersama keluarga dan bersama orang lain. Kategori cara menonton televisi sendiri memeliki persentase 5% dan kategori cara menonton televisi bersama keluarga memiliki persentase frekuensi 93%. Sedangkan kategori cara menonton televisi bersama orang lain memiliki persentase rendah sebesar 2%. Sebagian besar peternak lebih memilih menonton televisi bersama keluarga dibandingkan sendiri maupun bersama orang lain seperti tetangga atau teman. Hal tersebut dikarenakan pada malam hari dimana waktu yang banyak digunakan oleh peternak menonton televisi hampir seluruh keluarga sudah berada dirumah dimana ayah dan ibu sudah pulang dari ladang dan mengurus ternaknya sedangkan anak-anaknya sudah pulang sekolah. Aktivitas Menonton Televisi Aktivitas menonton televisi yang dimaksud disini adalah bagaimana peternakan melakukan aktivitas menonton televisi apakah khusus atau sambil melakukan aktivitas lainnya. Kategori aktivitas menonton televisi dalam penelitian ini dibagi kedalam dua kategori yaitu khusus menonton televisi saja dan sambil beraktivitas lain. Pada kategori khusus aktivitas menonton televisi saja memiliki frekuensi sebesar 72% sedangkan pada
kategori sambil beraktivitas lain memiliki frekuensi sebesar 28%. Berdasarkan persentase tersebut dapat dilihat jika sebagian besar peternak tidak melakukan aktivitas lainnya pada saat menonton televisi.
Aksesibilitas Media Telepon Genggam pada Peternak Sapi Kabupaten Bojonegoro Aksesibiltas media telepon genggam peternak sapi yang dimaksud disini adalah ketepatan dan kecepatan peternak sapi dalam mengakases berbagai informasi yang dibutuhkan melalui media komunikasi khususnya telepon genggam. Aksesibilitas media telepon genggam dalam penelitian ini terdiri dari empat faktor yaitu intensitas menelepon, tempat menelepon, waktu menelepon, cara mendapatkan. Berdasarkan uji deskriptif aksesibilitas media komunikasi telepon genggam oleh peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro memiliki hasil yang berbeda-beda yang tersaji pada tabel 8. Tabel.8 Aksesibilitas media telepon genggam peternak sapi Kabupaten Bojonegoro, 2014 Aksesibilitas Media Jumlah Persentase Aksesibilitas Media Jumlah Persentase Telepon Genggam (orang) (%) Telepon Genggam (orang) (%) Intensitas Menelepon Cara Mendapatkan Rendah (0-115) 96 96 Menemukan 0 0 Sedang (116 – 231) 3 3 Meminjam 0 0 Tinggi (232-250) 1 1 Dibagikan 2 2 Membeli 38 38 Tempat Menelepon Rumah 39 39 Tidak Memiliki 60 60 Tempat Umum 1 1 Telepon genggam Tidak Memiliki 60 60 Telepon genggam Waktu Menelepon Pagi 8 8 Siang 1 1 Sore 17 17 Malam 14 14 Tidak Memiliki 60 60 Telepon genggam
Intensitas Menelepon Intensitas menelepon yang dimaksud disini adalah lamanya peternak menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi mencari informasi. Kategori yang digunakan dalam intensitas menelepon peternak dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pada kategori rendah memiliki persentase frekuensi 96% dengan lama menelepon 0 sampai 115 menit per minggu. Sedangkan pada kategori sedang, intensitas menelepon peternak memiliki persentase frekuensi sebesar 4% dengan lama menelepon 116 sampai 231 menit per minggu. Pada kategori tinggi, intensitas menelepon peternak memiliki persentase frekuensi sebesar 1% dengan lama menelepon 232 sampai 250 menit per minggu. Rendahnya frekuensi menelepon pada peternak dikarenakan peternak yang berusia dewasa memiliki telepon genggam hanya untuk berkomunikasi dengan keluarga yang berada di luar desa. Selain itu rendahnya penggunaan telepon genggam dikarenakan masih kurangnya jaringan operator telepon genggam di desa tersebut.
Tempat Menelepon Tempat menelepon yang dimaksud disini adalah lokasi dimana peternak sering menggunakn telepon genggam untuk berkomunikasi mencari informasi. Kategori tempat menelepon dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu rumah dan tempat umum. Pada kategori rumah memiliki persentase frekuensi 39% sedangkan pada kategori tempat umum memiliki persentase frekuensi 1%. Hal ini terjadi karena banyak dari responden lebih banyak menyimpan telepon genggamnya di rumah dan jarang membawa ke tempat umum. Sedangkan sisaya sebanyak 60% peternak tidak memiliki telepon genggam sebagai alat komunikasi.
Waktu Menelepon Waktu Menelepon yang dimaksud disini adalah waktu yang digunakan oleh peternak untuk mencari informasi melalui telepon genggam. Kategori dalam waktu menelepon menggunakan telepon genggam dibagi kedalam empat yaitu pagi, siang, sore dan malam. Kategori waktu menelepon pagi hari memiliki persentase frekuensi sebesar 8%, kategori waktu menelepon siang hari memiliki persentase frekuensi sebesar 1%, kategori waktu menelepon sore hari memiliki persentase frekuensi sebesar 17% dan pada kategori waktu menelepon malam hari memiliki persentasi frekuensi sebesar 14%.
Cara Mendapatkan Cara mendapatkan yang dimaksud disini adalah cara yang digunakan oleh peternak untuk mendapatkan telepon genggam sebagai alat komunikasi untuk menambah informasi. Kategori cara mendapatkan telepon genggam dibagi kedalam empat yaitu menemukan, meminjam, dibagikan dan membeli. Dua kategori yang terdiri dari menemukan dan meminjam memiliki persentase frekuensi sebesar 0%. Pada kategori dibagikan memiliki persentase sebebsar 2% sedangkan pada kategori membeli yang memiliki persentasi sebesar 38%.
Kompetensi Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro ini pada tingkat pengetahuan peternak dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan seperti pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil perhitungan deskriptif dari kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro disajikan pada tabel 9.
Tabel. 9 Kompetensi pengetahuan peternak Kompetensi Rata-rata Min Max Bibit 10,74 5 19
Kandang
10,32
5
17
Pakan
10,43
5
19
Kesehatan
10,62
5
18
Kawin
12,03
5
18
Pemasaran
8,27
8
12
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendag Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Skor 5-9 10-14 15-19 5-8 9-12 13-17 5-10 11-15 16-19 5-8 9-12 13-16 5-8 9-12 13-18 4-6 7-9 10-12
Persentase 17 30 53 10 77 13 74 23 3 12 73 15 8 55 37 1 10 89
Kompetensi Pengetahuan Bibit Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan bibit pada peternak yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan bibit sapi. Kategori dalam kompetensi pengetahuan bibit peternak ini dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor terendah lima dan tertinggi sembilan belas. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan bibit sebesar 10,74. Persentase tertinggi kompetensi pengetahuan bibit pada peternak terdapat pada kategori tinggi sebesar 53% sedangkan pada kategori rendah memiliki persentase sebesar 17% dan pada kategori sedang memiliki persentase sebesar 17%. Tingginya persentase pada kategori tinggi dikarenakan sebagain besar peternak memiliki pengatahuan berkaitan dengan jenis bibit sapi seperti limosin, brahmana dan PO, para peternak dapat memilih bibit sapi yang baik, dan mengetahui cara mendapatkan bibit sapi yang baik dan mengetahui cara menangani bibit sapi. Kompetensi Pengetahuan Kandang Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan kandang pada peternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan kandang sapi. Kategori dalam kompetensi pengetahuan kandang pada peternak dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor terendah lima dan tertinggi lima. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan kandang sebesar 10,32. Kategori sedang dengan skor antara 9-12 memiliki persentase terbesar sebesar 77%, sedangkan kategori tinggi memiliki persentase sebesar 13% dan pada kategori rendah memiliki persentase terendah sebesar 10%. Para peternak di Desa Sekaran memiliki kompetensi pengetahuan berkaitan syarat kandang baik adalah dengan memiliki bangunan terpisah dari rumah tinggal namun para peternak tidak mengetahui tipe kandang dan cara membuat konstruksi kandang yang sehat.
Kompetensi Pengetahuan Pakan Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan pakan pada peternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pakan sapi. Kategori dalam kompetensi pengetahuan kandang pada peternak dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor teredah lima dan tertinggi empat belas. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan pakan sebesar 10,43. Persentase pada kompetensi pengetahuan pakan ternak sapi pada peternak di Desa Sekaran memiliki persentase tertinggi pada kategori rendah sebesar 74% dengan skor antara 5-10. Sedangkan pada kategori sedang memiliki persentase sebesar 23% dan pada kategori tinggi memiliki persentase sebesar 3%. Tingginya persentase pada kategori rendah disebabkan karena tidak semua peternak mengerti jenis-jenis pakan, teknik menyiapkan pakan, dan cara memberi pakan. Selain itu sebagian besar para peternak tidak tahu cara memberi air minum dan menanam rumput sebagai salah satu pakan bagi ternaknya. Terdapat juga mitos yang dipercaya oleh peternak tidak semua tanaman yang ada diladangnya dapat dijadikan pakan seperti batang tebu yang tidak boleh diberikan kepada ternak sapi.
Kompetensi Pengetahuan Penanganan Kesehatan Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan pakan pada peternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pakan sapi. Kategori dalam kompetensi pengetahuan kandang pada peternak dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor terendah enam dan tertinggi lima belas. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan pakan sebesar 10,62. Persentase pada kompetensi penanganan kesehatan ternak sapi pada peternak di Desa Sekaran memiliki persentase tertinggi pada kategori sedang sebesar 73% dengan skor antara 9-12. Sedangkan pada kategori rendah memilki persentase sebesar 12% dan pada kategori tinggi pada persentase 15%. Tinggi persentase pada kategori sedang dikarenabebagai hal salah satunya adalah tidak semua peternak dengan rutin memeriksakan kesehatan ternak sapinya. Selain itu pengetahuan peternak berkaitan dengan penyakit ternak dan obat-obatan ternak masih sedikit dan tidak banyak.
Kompetensi Pengetahuan Kawin Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan kawin pada peternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan kawin sapi. Kategori dalam kompetensi pengetahuan kawin pada peternak dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor terendah lima dan tertinggi enam belas. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan pakan sebesar 12,03. Kompetensi pengetahuan kawin ternak sapi pada peternak di Desa Sekaran memiliki persentase tertinggi pada kategori sedangn sebesar 55% dengan skor antara 9-12. Sedangkan pada kategori tinggi memiliki persentase sebesar 37% dan kategori rendah memiliki persentase sebesar 8%. Tingginya persentase pada kategori sedang dikarenakan sebagian besar para peternak sudah memiliki pengetahuan berhubungan dengan mendeteksi birahi sapi, cara mengawinkan ternak sapinya dengan cara alami maupun dengan inseminasi buatan, mendeteksi kebuntingan pada sapinya, dan menangani induk sapi yang bunting dan menangani kelahiran dari induk bunting.
Kompetensi Pengetahuan Penanganan Hasil Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi pengetahuan pemasaran pada peternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan penanganan hasil mencakup pemasaran, pembuatan pupuk kandang, pemanfaatan biogas, dan pembuatan bioarang. Kategori dalam kompetensi pengetahuan kandang pada peternak dibagi menjadi dua yaitu rendah dan tinggi dengan skor terendah delapan dan tertinggi sebelas. Rata-rata skor pada kompetensi pengetahuan pakan sebesar 8,52. Kompetensi pengetahuan penanganan hasil ternak sapi pada peternak di Desa Sekaran memiliki persentase sebesar 89% pada kategori tinggi dengan skor antara 10-12. Sedangkan pada kategori sedang memiliki persentase sebesar 10% dan pada kategori rendah memiliki persentase sebesar 1%. Tingginya persentase pada kategori tinggi dikarenakan para peternak tidak memiliki pengetahuan berkaitan dengan pembuatan pupuk kandang, pemanfaatan biogas dan pembuatan biogas. Banyak dari para peternak membuat pupuk kandang dengan hanya menaburkan kotoran sapi di lahan pertanian yang mereka miliki tanpa diolah dengan berbagai macam bahan campuran. Sedangkan untuk pemasaran, para peternak lebih sering bertransaksi melalui calo yang sudah dikenalnya hal itu dikarenakan pasar hewan dilaksanakan pada hari rabu di minggu pertama setiap bulannya dan berada di kecamatan lain.
Kompetensi Peternak Sapi Di Kabupaten Bojonegoro Berdasarkan Tingkat Keterampilan Kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro ini pada tingkat keterampilan peternak dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan seperti pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil perhitungan deskriptif dari kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro disajikan pada tabel 10. Tabel. 10 Kompetensi Keterampilan Peternak Kompetensi Rata-rata Min Max Bibit 10,6 5 18
Kandang
10,63
5
16
Pakan
11,01
5
16
Kesehatan
10,02
5
16
Kawin
12,16
7
16
Pemasaran
8,51
4
12
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Skor 5-8 9-12 13-18 5-8 9-12 13-16 5-8 9-12 13-16 5-8 9-11 13-16 7-9 10-12 13-16 4-6 7-9 10-12
Persentase 16 62 22 15 64 21 12 59 29 4 76 20 2 29 69 2 4 94
Kompetensi Keterampilan Bibit Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya keterampilan dalam penanganan bibit sapi. Keterampilan dalam hal ini yaitu berkaitan dengan pemilihan bibit sapi, cara mendapatkan bibit sapi, dan menangani bibit sapi. Kategori dalam kompetensi keterampilan peternak dalam penanganan bibit sapi dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Rata-rata skor dalam kompetensi keterampilan peternak dalam penanganan bibit sapi yaitu 10,6. Persentase tertinggi dalam kompetensi ini adalah pada kategori sedang dengan persentase sebesar 62%, dan berikutnya pada kategori tinggi sebesar 22%. Sedangkan pada kategori rendah memiliki persentase yang rendah dengan persentase sebesar 16%. Tingginya persentase pada kategori sedang disebabkan karena rata-rata para peternak dapat memilih bibit sapi yang baik, dan dapat menangani bibit sapi namun sebagian besar masih kesulitan dalam mencari mendapatkan bibit sapi yang baik.
Kompetensi Keterampilan Penanganan Kandang Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh peternak untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya penanganan kandang. Keterampilan penanganan kandang ternak sapi dalam hal ini berkaitan dengan kandang yang baik, syarat kandang yang baik, tipe kandang yang baik, cara membuat konstruksi kandang dan letak kandang yang baik. Dalam kompetensi keterampilan penangan kandang ternak sapi ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan rata-rata skor yang didapat adalah 10,63. Persentase tertinggi pada kompetensi keterampilan penanganan kandang ternak sapi yaitu pada kategori sedang dengan persentase sebesar 64%, dan kategori tinggi pada persentase sebesar 21%. Sedangkan pada persentase terendah pada kategori rendah sebesar 15%. Tingginya persentase pada kategori sedang disebabkan oleh banyaknya peternak yang tidak bisa membuat kandang yang baik dengan syarat dan tipe yang telah ditentukan. Selain itu mayoritas peternak juga tidak mengetahui cara membuat konstruksi kandang yang baik serta letak kandang yang baik bagi kesehatan. Hal itu juga dapat terlihat dengan masih banyaknya kandang ternak sapi yang menyatu dengan dapur atau ruang keluarga para peternak.
Kompetensi Keterampilan Penanganan Pakan Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh peternak untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya penanganan pakan. Keterampilan penanganan pakan ternak sapi dalam hal ini berkaitan dengan jenis-jenis pakan, teknik menyiapkan pakan, cara pemberian pakan, cara pemberian air, dan penanaman rumput sebagai pakan ternak. Dalam kompetensi keterampilan penanganan pakan ternak sapi ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan rata-rata skor yang didapat adalah 11,01. Persentase tertinggi pada kompetensi keterampilan penanganan pakan ternak sapi yaitu pada kategori sedang dengan persentase sebesar 59%. Sedangkan untuk kategori tinggi memiliki persentase sebesar 29% dan pada kategori rendah memiliki persentase sebesar 12%.
Rendahnya kompetensi peternak dalam penanganan pakan ternak dilihat dari banyaknya peternak di desa Sekaran memiliki kompetensi yang rendah terhadap pengelolaan pakan ternak sapi mereka hal itu terlihat cara pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak tidak banyak variasi. Sebagian besar peternak yang berada di desa tersebut hanya mengetahui pakan untuk ternaknya adalah rumput, sisa padi dan kulit jagung kering dan jarang menggunakan pakan pendukung lain seperti dedek atau konsentrat. Teknik penyiapan pakan masih sederhana dimana para peternak mencari rumput di sekitar rumah atau hutan untuk dijadikan pakan, namun untuk pemberian pakan peternak sudah lebih terjadwal dimana setiap pagi dan sore ternak sapi akan diberikan rumput segar namun hal itu berbeda dengan pemberian air yang hanya dilakukan pada sore hari saja. Sedangkan untuk penanaman runput belum bayak dilakukan oleh peternak karena peternak masih berfikir jika rumput tidak perlu ditanam.
Kompetensi Keterampilan Penanganan Kesehatan Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya penanganan kesehatan ternak sapi. Keterampilan dalam penanganan kesehatan ternak sapi dalam hal ini berkaitan dengan deteksi penyakit, ciri penyakit, obat ternak, cara pengobatan, dan cara pecegahan dari penyakit ternak. Dalam kompetensi keterampilan penangan kesehatan ternak sapi ini dikategorikan menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan rata-rata skor yang didapat adalah 10,02. Persentase tertinggi pada frekuensi kompetensi keterampilan penanganan ternak sapi terdapat pada kategori sedang dengan persentase 76% dan terendah pada kategori rendah dengan persentase sebesar 4%. Sedangkan untuk kategori tinggi memiliki persentase 20%. Tingginya persentase pada kategori sedang dikarenakan banyaknya peternak yang tidak mengetahui keterampilan yang berkaitan dengan penanganan kesehatan ternaknya seperti mendeteksi penyakit, ciri-ciri penyakit pada sapi ternaknya, obat untuk ternak yang sakit, cara pengobatan jika ternak sakit, dan cara mencegah agar ternak tidak mengalami sakit. Berdasarkan hasil wawancara para peternak akan langsung menghubungi petugas dari pos kesehatan hewan untuk memeriksa ternaknya, namun untuk pengecekan kesehatan secara berkala para peternak belum terbiasa melakukannya. Rendahnya keterampilan peternak berkaitan dengan kesehatan ternak dikarenakan juga kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan hewan kepada para peternak serta kurangnya informasi dari media massa.
Kompetensi keterampilan Penanganan Perkawinan Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya penanganan perkawinan ternak sapi. Keterampilan dalam penanganan perkawinan ternak sapi dalam hal ini berkaitan dengan deteksi birahi, perkawinan ternak, deteksi kebuntingan, penanganan induk bunting dan penanganan kelahiran. Dalam kompetensi keterampilan penanganan perkawinan ternak sapi pada peternak dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan rata-rata skor yaitu 12,16. Pada kompetensi keterampilan penanganan perkawinan ternak persentase pada kategori sedang sama yaitu sebesar 29% sedangkan pada kategori tinggi memiliki persentase sebesar 69%. Pada
kompetensi keterampilan penanganan perkawinana ternak sapi kategori rendah memiliki persentase sebesar 2%. Tingginya persentase pada kategori tinggi dikarenakan peternak memiliki keterampilan dalam penangangan perkawinan hewan ternak. Hal dapat dilihat dengah banyaknya peternak yang memiliki keterampilan yang cukup dalam penanganan birahi hewan ternaknya, mendeteksi kebuntingan dan menangani ternak sapi yang bunting. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh beberapa peternak mereka mengetahui jika ternaknya sedah birahi dengan ciri-ciri ternaknya menaiki badan ternak lainya namun menurut petugas kesehatan hewan para peternak dapat mendeteksi birahi hewan ternaknya namun tidak bisa menentukan waktu yang tepat untuk melakuan inseminasi buatan atau kawin ternak yang tepat waktu sehingga kebanyak terjadi kegagalan inseminasi buatan.
Kompetensi Keterampilan Penanganan Pemasaran Ternak Sapi pada Peternak Kompetensi peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan peternakan sapi khususnya penanganan pemasaran ternak sapi. Keterampilan dalam penanganan pemasaran ternak sapi pada peternak dalam hal ini berkaitan dengan pemasaran hasil, pembuatan pupuk kandang, pembuatan biogas dan pembuatan bioarang. Dalam kompetensi keterampilan penanganan pemasaran ternak sapi pada peternak dibagi kedalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan rata-rata skor sebesar 8,51. Dari ketiga kategori yang ada kategori sendang memiliki persentase sebesar 4%, sedangkan kategori tinggi memiliki persentase sebesar 94% dan kategori rendah memiliki persentase terendah sebesar 2%. Tingginya persentase pada kategori tinggi dapat dilihat dengan keterampilah peternakan dalam hal penanganan pemasaran ternak sapi. Dimana kebanyakan dari peternak tidak memiliki keterampilan untuk memasarkan ternaknya sendiri namun dibantu oleh pihak lain. Sedangkan untuk pengolahan hasil seperti pembuatan pupuk kandang kebanyakan dari peternak tidak memiliki keterampilan untuk mengolahnya dengan campuran bahan kimia lainnya. Peternak tidak banyak mengolah hasil ternaknya khususnya kotoran ternak. Peternak yang berada di dusun Ngantru beranggapan kotoran ternak yang ditabur di halaman hingga kering sudah dikatakan pupuk kandang. Penanganan hasil kotoran ternak lainnya adalah pemanfaatan kotoran untuk dijadikan biogas, berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama melakukan penelitian banyak warga yang belum memanfaatkan biogas dari kotoran ternaknya, hanya satu rumah tangga saja yang memanfaatakan kotoran ternaknya dijadikan biogas namun penggunaan kompor biogas ini kurang dimaksimalkan karena api yang dikeluarkan terlalu kecil untuk digunakan memasak. Sedangkan pemanfaatan kotoran ternak sebagai bioarang sama sekali belum dilakukan dan kebanyak peternak tidak tahu jika kotoran ternak dapat dijadikan bioarang. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara karakteritisk peternak dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari tingkat pengetahuan peternak dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan seperti umur, pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha ternak, kekosmopolitan dan kepemilikan media. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 11. Data hasil uji statistik menunjukkan bahwa umur peternak memiliki hubungan yang tidak berhubungan dengan pengetahuan peternak dalam mengelola hasil luaran ternaknya. Hal ini menunjukkan jika semakin tua umur peternak maka pengetahuan peternak berkaitan mengelola hasil luaran ternak seperti membuat pupuk dari kotoran ternak ataupun menjual ternaknya masih rendah. Hal itu sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan dilapang
dimana peternak yang rata-rata sudah masuk dalam kategori tua banyak yang tidak mengetahui cara membuat pupuk kandang dari kotoran ternak mereka. Tabel 11 Hubungan karakteritik peternak sapi dengan pengetahuan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Karkteristik Peternak Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Pengetahuan (rs) Sapi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Umur -0,055 -0,030 Pendidikan -0,038 -0,070 Kepemilikan ternak 0,056 0,027 Skala usaha -0,075 0,114 Kekosmopolitan -0,044 -0,049 Kepemilikan Media -0,056 -0,039 Ket: **Berhubungan nyata pada p≤0,05 *Berhubungan nyata pada p≤0,1
-0,045 0,085 0,175 -0,021 -0,292** -0,024 0,058 -0,074 0,189 0,096 0,087 -0,148* ** 0,014 0,222 0,343** -0,058 -0,083 0,190 rs=koefisien korelasi rank Spearman
-0,284** 0,027 0,273** -0,111 0,178 0,094
Jika dilihat karakteristik pengalaman berternak menunjukkan bahwa pengalaman berternak memiliki hubungan yang searah dengan pengetahuan peternak berkaitan mengelola hasil luaran ternak. Hal tersebut sesuai dengan observasi yang dilakukan dilangan dimana terdapat peternak yang lama menjadi perternak dan memiliki ternak lebih dari lima ekor telah mencoba menggunakan biogas dari kotoran ternak sebagai bahan bakar kompor. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang tidak searah dengan pengetahuan peternak dalam menangani kesehatan ternaknya. Hal ini menunjukkan jika semakin tinggi pendidikan para peternak maka pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan ternak rendah. Hal ini sesuai dengan data peternak sebagai responden dimana hanya 2 orang saja yang termasuk kedalam kategori peternak yang pendidikanya sekolah lanjutan dan sekolah tinggi. Sehingga dapat dikatakan jika pendidikan peternak tidak mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan kesehatan ternakternaknya. Data hasil uji statistik menunjukkan bahwa kekosmopolitan peternak hubungan yang searah dengan pengetahuan peternak berkaitan dengan kesehatan dan cara mengawinkan ternak. Hal ini menunjukkan jika semakin sering peternak melakukan aktivitas diluar desanya ataupun lebih banyak menggunakan media massa maka pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan dan cara mengawinkan ternak pun tinggi. Hal ini dikarenakan peternak yang sering berpergian dan menggunakan media massa akan lebih banyak mendapatkan informasi tidak hanya kesehatan ternak seperti penyakit-penyakit pada ternak ataupun obat-obatan yang dibutuhkan jika ternaknya sakit, namun juga mempengaruhi informasi peternak berkaitan dengan berbagai macam hal yang berkaitan dengan cara mengawinkan maupun inseminasi buatan serta macam-macam bibit sapi yang unggul.
Hubungan Karakteristik Peternak dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara karakteristik peternak dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari indikator keterampilan dilihat dari karakteritik umur, pendidikan, kepemilikan ternak, skala usaha ternak, kekosmopolitan dan kepemilikan media. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 12.
Tabel 12 Hubungan karakteristik peternak dengan keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Karkteristik Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Keterampilan (rs) Peternak Sapi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Umur -0,215** -0,186 -0,226* -0,091 -0,150* -0,195 Pendidikan 0,010 -0,167 -0,085 -0,048 -0,002 0,029 Kepemilikan Ternak 0,204** 0,187 0,224** 0,094 0,157* 0,182 Tipe usaha -0,101 -0,006 0,024 -0.47 -0,245** -0,106 Kekosmopolitan 0,131* 0,088 0,230** 0,391** 0,418** 0,425** KepemilikanMedia 0,166 -0,029 0,167 0,092 0,180 0,094 Ket: **Berhubungan nyata pada p≤0,05 rs=koefisien korelasi rank Spearman *Berhubungan nyata pada p≤0,10
Data hasil uji statistik menunjukkan jika umur peternak memiliki hubungan yang tidak searah dengan kompetensi keterampilan bibit dan keterampilan membuat pakan para peternak. Hal ini menunjukkan jika semakin tua umur peternak maka tidak mempengaruhi keterampilan para peternak berkaitan dengan bibit ternak sapi seperti jenis-jenis bibit sapi, memilih bibit sapi yang baik, cara mendapatkan sapi, dan penanganan bibit sapi unggul. Sedangkan untuk hubungan yang tidak searah juga terjadi antara umur peternak dengan keterampilan pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak. Hal tersebut menunjukkan jika semakin tua umur peternak maka tidak mempengaruhi keterampilan para peternak berkaitan dengan pemberian pakan seperti jenis-jenis pakan yang dapat di berikan, teknik menyiapkan pakan, cara pemberian pakan, cara pemberian air minum, dan penanaman rumput sebagai salah satu pakan ternak. Data hasil uji statistik menunjukkan jika jumlah ternak yang dimiliki memiliki hubungan searah dengan keterampilan berkaitan dengan bibit ternak sapi dan keterampilan pemberian pakan sapi. Hal ini menunjukkan jika semakin banyak hewan ternak yang dimiliki oleh peternak maka keterapilan peternak berkitan dengan bibit ternak sapi semakin tinggi seperti peternak memiliki keterampilan berkitan dengan jenis-jenis bibit sapi, memilih bibit sapi yang baik, cara mendapatkan bibit sapi, dan penanganan bibit sapi. Sedangkan untuk hubungan antara kepemilikan ternak dengan keterampilan pemberian pakan memiliki hubungan yang searah. Hal ini menunjukkan jika semakin banyak sapi yang dimiliki oleh peternak maka semakin tinggi keterampilan peternak dalam cara pemberian pakan seperti peternak mengetahuai jenis-jenis pakan yang baik, peternak memiliki keterampilan untuk menyiapkan pakan, keterampilan cara memberi pakan dan air dan cara menanam rumput sebagai salah satu pakan utama dari ternak sapi. Skala usaha berternak para peternak tidak memiliki hubungan searah dengan keterampilan berkaitan cara mengawinkan ternak sapi. Hal ini menunjukkan jika semakin besar skala usaha ternak yang dilakukan oleh peternak, maka semakin rendah keterampilan peternak dalam cara mengawinkan ternaknya. Rendahnya keterampilan peternak dalam cara mengawinkan ternaknya dikarenakan peternak yang memiliki jumlah ternak lebih dari lima pada desa tersebut akan meminta peternak lain untuk merawat ternaknya. Sedangkan kekosmopolitan peternak memiliki hubungan yang searah dengan keterampilan peternak dalam memberikan pakan, menjaga kesehatan, cara mengawinkan dan mengelola hasil ternaknya. Hal ini menunjukkan jika semakin tinggi tingkat kekosmopolitan peternak maka semakin tingginya keterampilan peternak dalam memberikan pakan ternak, menjaga kesehatan ternak, cara mengawinkan ternak dan mengelola hasil ternaknya.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Radio dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari pengetahuan peternak berkaitan dengan pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 13. Tabel 13 Hubungan aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi pengetahuan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Media Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Pengetahuan (rs) komunikasi Radio Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Intensitas 0,109 -0,81 -0,012 -0,097 0,070 Waktu 0,118 -0,083 -0,005 -0,089 0,078 Cara 0,113 -0,080 -0,005 -0,073 0,073 Tempat 0,096 -0,122 -0,042 -0,092 0,101 Aktivitas 0,126 -0,075 -0,006 -0,083 0,064 Program 0,098 -0,101 -0,018 -0,082 0,060 Ket: *Berhubungan nyata pada p≤0,1 rs=koefisien korelasi rank Spearman
-0,051 -0,030 0,057 -0,023 -0,050 -0,064
Data hasil uji statistik menunjukkan jika tidak terdapat hubungan antara aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari pengetahuan. Tidak adanya hubungan tersebut dapat dilihat dimana aksesibilitas media komunikasi radio yang dilihat dengan intensitas mendengarkan radio, waktu medengarkan radio, cara mendengarkan radio, tempat medengarkan radio, aktivitas yang dilakukan saat mendengarkan radio dan program-program yang di dengarkan oleh peternak tidak berhubungan dengan peningkatan kompetensi peternak sapi dilihat dari tingkat pengetahuan berkaitan dengan bibit sapi, perkadangan, pakan sapi, kesehatan sapi, cara kawin sapi, dan pengolahan hasil luaran ternak sapi. Hal tersebut dikarenakan peternak lebih banyak memiliki televisi dibandingkan dengan radio. Intensitas mendengarkan radio dikategorikan rendah sebesar 98%. Selain itu peternak yang masih mendengarkan radio lebih banyak mendengarkan di malam hari dengan program yang paling sering didengarkan adalah wayang. Namun menurut para peternak dalam program wayang tersebut informasi berkaitan dengan peternakan sangat sedikit disisipkan sehingga lebih banyak didominasi oleh isi dari cerita wayang itu sendiri.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Radio Dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari keterampilan pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 14. Data hasil uji statistik menunjukkan jika cara mendengarkan radio memiliki hubungan yang tidak searah dengan penanganan hasil ternak seperti cara memasarkan hasil ternak hal itu sesuai dengan hasil obeservasi dimana para peternak tidak memasarkan hasil produk ternaknya karena peternak yang berada di lokasi penelitian tidak pernah memasarkan hasil ternaknya seperti daging sapi atau memasarkan pupuk kandang dari kotoran ternaknya. Selain itu pemanfaatan hasil luaran ternak kotoran sapi belum dimanfaatkan sebagai bahan bakar
biogas maupun bioarang. Sebagain besar peternak yang mendengarkan radio mendengarkan radio hanya bersama keluarganya tidak bersama sesama peternak sehingga menyebabkan peternak tidak lebih lanjut berdiskusi berkaitan dengan informasi peternakan yang disiarkan. Tabel 14 Hubungan aksesibilitas media komunikasi radio dengan kompetensi keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Media Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Keterampilan (rs) komunikasi Radio Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Intensitas 0,078 -0,060 0,078 0,013 0,002 -0,101 Waktu 0,062 -0,068 0,066 0,016 -0,007 -0,110 Cara 0,039 -0,073 0,049 0,001 -0,006 -0,145* Tempat -0,011 -0,130 -0,004 -0,038 0,013 -0,114 Aktivitas 0,035 -0,079 0,039 -0,015 -0,013 -0,134* Program 0,038 -0,098 0,059 -0,004 -0,007 -0,130* Ket: *Berhubungan nyata pada p≤0,1 rs=koefisien korelasi rank Spearman
Data hasil uji statistik menunjukkan jika aktivitas mendengarkan radio dalam hal ini melihat bagaimana peternak mendengarkan radio apakah khusus tanpa melakukan aktivitas apapun atau sambil melakukan aktivitas lain memiliki hubungan yang tidak searah dengan penanganan hasil ternak seperti pemasaran hasil, pembuatan pupuk kandang, pemanfaatan biogas dan pembuatan bioarang. Hal tersebut menunjukkan jika aktivitas mendengar radio oleh para peternak tidak berhubungan dengan peningkatan keterampilan peternak dalam penanganan hasil ternaknya. Tidak searahnya hubungan aktivitas mendengarkan radio dengan pananganan hasil dikarenakan para peternak yang mendengarkan radio tidak bersamaan dengan malakukan aktivitas peternakan sehingga saat informasi yang berkaitan dengan peternakan di siarkan maka peternak tidak bisa langsung mengaplikasikannya. Data hasil uji statistik menunjukkan jika program radio yang didengarkan memiliki hubungan yang tidak searah dengan penanganan hasil ternak seperti pemasaran hasil, pembuataan pupuk kandang, pemanfaatan biogas dan pembuatan bioarang. Hal tersebut menunjukkan jika program yang didengarkan oleh para peternak tidak secara signifikan merubah kompetensi khususnya keterampilan peternak dalam pemanfaatan hasil ternaknya karena berdasarkan wawancara yang dilakukan para peternak lebih sering mendengarkan program hiburan wayang. Selain itu di Kabupaten Bojonogero tidak ada radio yang khusus menyiarkan informasi berkaitan dengan bidang peternakan maupun pertanian.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Televisi dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat pengetahuan pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 15. Tabel 15 Hubungan aksesibiltas media komunikasi televisi dengan kompetensi pengetahuan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Pengetahuan (rs) Media komunikasi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Televisi Intensitas -0,127 -0,042 -0,002 0,185 0,065 0,018
Waktu -0,009 0,091 0,121 0,056 0,006 Cara 0,009 -0,032 -0,092 -0,168 0,050 Tempat 0,042 -0,060 -0,057 -0,134* 0,160* Aktivitas -0,055 0,028 -0,068 -0,137* 0,071 Program 0,158* -0,056 0,011 -0,086 0,058 Ket: *Berhubungan nyata pada p≤ 0,1 rs=koefisien korelasi rank Spearman
0,068 0,032 0,0131* 0,083 0,050
Data hasil uji statistik menunjukkan jika terdapat hubungan yang searah dan tidak searah antara aksesibilitas media komunikasi dengan kompetersi peternak sapi dengan pengetahuan peternak. Tempat mengakses televisi memiliki hubungan yang searah dengan peningkatan kompetensi peternak dengan pengetahuan peternak tentang perkawinan ternak dan penanganan hasil ternaknya. Hubungan yang terlihat searah ini menunjukkan jika jika 96% peternak menonton televisi di rumah ternyata mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan bagaimana cara mendeteksi birahi hewan ternaknya, cara mengawinkan ternaknya, cara mendeteksi kebuntingan, cara penanganan induk ternak yang bunting, dan cara menangani kelahiran dibandingkan dengan peternak yang menonton televisi di tempat umum. Hal ini dikarenaka lokasi ternak yang masih dalam rumah membuat peternak lebih mudah melihat ciri-ciri ternaknya berkaitan dengan perkawinan. Hubungan yang terlihat searah juga ditunjukkan dengan pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan hasil ternaknya seperti cara memasarkan hasil ternaknya, cara membuat pupuk kandang, pemanfaatan biogas dan pengetahuan berkaitan dengan pembuatan bioarang. Hal tersebut menunjukkan jika tempat menonton televisi yaitu rumah dapat mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan hasil. Menurut peternak yang menjadi responden menjelaskan merekan lebih senang jika menonton televisi di rumah sehingga dapat lebih fokus untuk menerima informasi yang berkaitan dengan ternaknya. Selain itu hubungan yang searah juga ditunjukkan antara program yang ditonton oleh peternak dengan informasi berkaitan dengan pengetahuan peternak berkaitan bibit seperti pengetahuan berkaitan dengan jenis bibit sapi, memilih bibit sapi yang baik cara mendapatkan bibit sapi, dan penanganan bibit sapi. Hal tersebut menunjukkan jika program yang ditonton oleh peternak mempengaruhi pengetahuan peternak. Beberapa peternak menjelaskan jika mereka senang menonton televisi dengan program-program yang bersifat berita dan informasi seperti Laptop di Unyil yang ditayangkan oleh Trans 7. Menurut peternak program Laptop si Unyil ini pernah menanyangkan informasi berkaitan dengan bibit sapi yang unggul dan cara memilih bibit sapi. Menurut peternak dalam program tersebut menyebutkan berbagai macam jenis bibi sapi yang unggul seperti Ongole, Limosin, dan Brahman. Hubungan yang tidak searah ditunjukkan dengan tempat menonton televisi peternak tidak pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan ternak seperti mendeteksi penyakit ternak, ciri-ciri penyakit yang biasa menjangkiti ternak, obat untuk ternak yang sakit, cara mengobati ternak yang sakit dan cara mencegah agar ternak tidak sakit. Hal tersebut menunjukkan jika rumah sebagai tempat untuk melakukan aktivitas menonton televisi tidak dapat mempengaruhi pengetahuan kesehatan ternak para peternak. Hubungan yang tidak searah juga ditunjukkan antara aktivitas menonton televisi dengan kompetensi peternak dilihat dari pengetahuan penanganan kesehatan pada hewan ternak. Aktivitas yang menonton televisi dilakukan bersama keluarga bukan kelompok peternak sehingga peternak tidak bisa berdiskusi berkitan dengan informasi peternak yang ditayangkan bersama kelompoknya atau sesama peternak. Sehingga peternak akan lebih senang mendapatkan informasi berkaitan dengan kesehatan hewan melalui petugas kesehatan hewan.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Televisi dengan Keterampilan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari tingkat keterampilan peternak dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan seperti pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 16. Tabel 16 Hubungan aksesibilitas televisi dengan kompetensi keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Keterampilan (rs) Media komunikasi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Televisi Intensitas 0,057 0,095 Waktu 0,005 0,132* Cara -0,118 -0,109 Tempat -0,028 -0,083 Aktivitas -0,053 -0,044 Program -0,072 -0,083 Ket: **Berhubungan nyata pada p≤0,05 *Berhubungan nyata pada p≤0,1
0,206** 0,189 0,022 0,067 0,008 -0,082 -0,105 -0,246* 0,012 -0,059 -0,135* 0,166* -0,063 -0,181 -0,003 -0,138** 0,241** 0,042 rs=koefisien korelasi rank Spearman
0,090 -0,039 -0,144* 0,035 -0,095 -0,112
Data hasil uji statistik menunjukkan jika terdapat hubungan yang searah dan tidak searah antara aksesibilitas media komunikasi televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari keterampilan peternak. Hubungan yang searah dapat dilihat dari hubungan antara intensitas menonton televisi dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari keterampilan dalam pemberian pakan. Hal tersebut menunjukkan jika lamanya menonton televisi peternak mempengaruhi keterampilan peternak dalam pemberian pakan seperti peternak lebih terampil dalam memilih jenis pakan, peternak lebih terampil dalam menyiapkan pakan, cara memberikan pakan, cara memberikan air, dan terampil dalam penanaman rumput sebagai salah satu pakan utama ternak sapi. Hal tersebut menujukkan jika dengan rata-rata peternak menonton televisi 102 menit per hari maka dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam pemberian pakan pada ternaknya. Hubungan yang searah juga ditunjukkan antara waktu menonton televisi dengan keterampilan mengelola kandang ternaknya. Hubungan yang searah ini dapat dilihat dengan keterampilan peternak berkaitan dengan kandang yang baik, syarat kandang yang baik, tipetipe kandang, cara membuat konstruksi kandang, dan letak kandang yang baik yang dipengaruhi oleh waktu menonton televisi. Peternak yang lebih banyak menonton telvisi di malam hari ternyata mempengarhi keterampilan peternak berkaitan perkandangan ternak mereka. Hubungan yang searah ditunjukkan antara tempat menonton televisi dengan keterampilan peternak untuk hal mengawinkan ternaknya. Hubungan yang searah ini dapat dilihat dengan meningkatnya keterampilan peternak sapi dalam mendeteksi birahi ternak, perkawinan ternak, deteksi kebuntingan, penanganan induk bunting dan penanganan kelahiran ternaknya. Rumah merupakan tempat menonton televisi para peternak, keadaan dari peternak yang berada di desa tersebut hewan ternak berada satu rumah dengan pemiliknya sehingga saat peternak sedang menonton televisi yang berisikan informasi berkaitan dengan perkawinan ternak. Hubungan yang searah juga ditunjukkan antara program yang dipilih peternak saat menonton televisi dengan keterampilan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan
hewan ternak. Hubungan yang searah ini dapat dilihat dengan meningkatnya keterampilan peternak dalam mendeteksi penyakit ternak, ciri-ciri penyakit yang diderita oleh ternaknya, obat-obat yang dibutuhkan pada saat ternaknya sakit, cara mengobati ternaknya yang sakit, dan cara mencegah agar ternaknya tidak sakit. Hubungan yang tidak searah ditunjukkan antara cara peternak menonton televisi dengan keterampilan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan hewan dan penanganan hasil ternak. Hubungan yang tidak searah menunjukkan jika cara peternak menonton televisi bersama keluarga ataupun sendirian memiliki hubungan yang tidak seraha untuk meningkatan keterampilan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan hewan ternak dan penanganan hasil ternak. Hubungan yang tidak searah juga ditunjukkan antara tempat menonton televisi para peternak dengan penanganan kesehatan hewan ternak serta program yang ditonton oleh peternak dengan keterampilan peternak berkaitan dengan pemberian pakan. Tidak ada hubungan tersebut menjelaskan aksesibilitas peternak terhadap media komunikasi khususnya televisi dilihat dari cara menonton, tempat menonton televisi, program yang di tonton oleh peternak tidak menambah keterampilan peternak yang mengaksesnya. Hal tersebut karena cara peternak menonton televisi bersama keluarga bertempat dirumah dan menonton program hiburan.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Telepon Genggam dengan Pengetahuan Peternak Sapi di Kabupaten Bojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari tingkat pengetahuan peternak dengan melihat faktorfaktor yang berhubungan seperti pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 17. Tabel 17 Hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi pengetahuan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Pengetahuan (rs) Media komunikasi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Hasil Telepon genggam Intensitas 0.014 -0,080 -0,138* -0,125 0,223** 0,281* * * ** Waktu -0,008 -0,067 -0,129 -0,131 0,230 0,326** ** ** Cara -0,103 -0,063 -0,028 -0,0283 0,193 0,290** * ** Tempat 0,016 -0,042 -0,101 -0,193 0,256 0,322** Ket: **Berhubungan nyata pada p≤0,05 rs=koefisien korelasi rank Spearman *Berhubungan nyata pada p≤0,1
Data hasil statistik menunjukkan jika terdapat hubungan antara aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi dengan pengetahuan peternak. Hubungan yang searah dapat dilihat dari hubungan antara intensitas menggunakn media telepon genggam dengan pengetahuan peternak berkaitan dengan perkawinan sapi, dan penanganan hasil. Hal itu menunjukkan jika semakin lama peternak menggunakan telepon genggam maka semakin tinggi pengetahuan peternak berkaitan dengan cara mengawinkan ternaknya dan penanganan hasilnya. Hubungan yang searah diperlihatkan oleh waktu peternak menelepon pagi, siang, sore dan malam mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan cara mengawinkan ternaknya dan penanganan hasil. Hal tersebut menunjukkan jika waktu yang di pilih oleh
peternak untuk menelepon maka akan mempengaruhi pengetahuan peternak. Selain itu hubungan yang searah juga diperlihatkan cara peternak mendapatkan telepon dan tempat peternak menelepon mempengaruhi peningkatkan pengetahuan peternak berkaitan dengan cara mengawinkan ternaknya dan penanganan hasil ternak. Sehingga hal tersebut dapat menunjukkan jika waktu sore hari dan rumah sebagai tempat untuk menelepon mempengaruhi pengetahuan peternak karena waktu sore hari peternak sudah berada dirumah untuk beristirahat sehingga dapat menelepon atau menerima telepon untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan cara mengawinkan ternaknya dan penanganan hasil ternaknya. Namun hubungan yang tidak searah juga ditunjukkan oleh intensitas peternak menggunakan telepon genggam namun dilihat dari pengetahuan pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak. Hal tersebut menunjukkan jika internsitas peternak menelepon tidak mempengaruhi peningkatan pengetahuan peternak berkaitan dengan pemberian pakan. Hubungan yang tidak searah diperlihatkan dengan waktu peternak menggunakan telepon genggam dengan peningkantan pengetahuan peternak berkaitan dengan pemberian pakan dan penanganan kesehatan ternak. Hal tersebut menunjukkan jika waktu yang dipilih oleh peternak menelepon tidak mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan pemberian pakan. Hubungan yang tidak searah juga dapat dilihat dari cara peternak mendapatkan telepon genggam dan tempat peternak menggunakan telepon genggam dengan peningkatan pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan ternak. Peternak yang memiliki telepon genggam hampir sebagian besar membeli sendiri telepon genggamnya. Cara mendapatkan ini tidak memperngaruhi pengetahuan dari peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan hewan ternaknya. Sedangkan rumah sebagai tempat yang paling sering digunakan untuk menggunakan telepon genggam juga tidak mempengaruhi pengetahuan peternak berkaitan dengan penanganan kesehatan ternaknya. Hubungan yang tidak searah ini dikarenakan peternak yang memiliki telepon genggam lebih banyak menggunakan telepon genggam untuk menghubungi keluarganya yang berada diluar daerah sedangkan untuk keperluan yang berhubungan dengan ternaknya kebanyakan dari para peternak tersebut lebih sering bertanya kepada tetangganya yang juga sesama peternak.
Hubungan Aksesibilitas Media Komunikasi Telepon Genggam dengan Keterampilan Peternak Sapi di KabupatenBojonegoro Hubungan antara aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari tingkat keterampilan peternak dengan melihat faktorfaktor yang berhubungan seperti pemilihan bibit, perkandangan pemberian pakan, penanganan kesehatan, perkawinan ternak dan pengelolaan hasil ternak memiliki hasil korelasi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan korelasi tersebut disajikan pada tabel 18. Data hasil statistik menunjukkan jika terdapat hubungan antara aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi dilihat dari keterampilan. Hubungan yang searah dapat dilihat dari hubungan antara intensitas peternak sapi menggunakan media telepon genggam dengan keterampilan peternak berkaitan dengan perkawinan sapi, dan penanganan hasil. Hal itu menunjukkan jika semakin lama peternak menggunakan telepon genggam maka semakin tinggi keterampilan peternak berkaitan dengan cara mengawinkan ternaknya dan penanganan hasilnya. Tabel 18 Hubungan aksesibilitas media komunikasi telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi indikator keterampilan di Kabupaten Bojonegoro Aksesibilitas Kompetensi Peternak Sapi dengan Indikator Keterampilan (rs)
Media komunikasi Bibit Kandang Pakan Kesehatan Kawin Telepon genggam Intensitas 0,090 -0,060 0,023 0,029 0,198** Waktu 0,075 -0,054 0,010 -0,025 0,225** Cara -0,029 -0,038 0,005 -0,132 0,266** Tempat 0,035 -0,027 -0,027 -0,014 0,235** Ket: **Berhubungan nyata pada p≤0,05 rs=koefisien korelasi rank Spearma
Hasil 0,222** 0,200** 0,265** 0,200**
Hubungan yang searah juga dapat dilihat antara waktu peternak sapi menggunakan telepon genggam dengan perkawinan sapi dan penanganan hasil. Sehingga dapat dikatakan waktu yang digunakan oleh peternak dalam menelepon menggunakan telepon genggam mempengaruhi keterampilan peternak dalam perkawinan ternak serta penanganan hasil. Waktu yang banyak digunakan oleh peternak untuk menelepon yaitu pada sore hari dimana pada sore hari peternak sudah selesai menggembalakan sapinya. Hubungan yang searah juga ditunjukkan antara kepemilikan telepon genggam dengan cara mendapatkannya, tempat menggunakan dengan keterampilan peternak dalam mengawinkan sapi serta penanganan hasil ternaknya. Sebagian besar peternak mendapatkan telepon genggam dengan membeli, sehinga dengan ada usaha dari peternak untuk membeli telepon genggam maka terlihat peternak akan lebih mudah menghubungi peternak lainnya untuk mendapat informasi yang berkaitan dengan keterampilan mengawinkan sapi dan penanganan hasil ternaknya. Seperti pada saat ternak yang sedang mulai birahi, maka dengan mudahnya peternak akan menghubungi peternak lainya untuk mencari sapi jantan untuk dikawinkan. Hubungan yang searah juga dilihat dari tempat menggunakan telepon genggam dengan keterampilan perkawinan ternak dan penanganan hasil. Hal tersebut menunjukkan jika rumah sebagai tempat untuk menenelepon lebih nyaman digunakan untuk menelepon sehingga peternak dapat menerima informasi berkaitan dengan keterampilan penanganan perkawian ternak dan penanganan hasil, selain itu area sinyal desa tersebut hanya berada di areal pemukiman warga saja sehingga jarang peternak yang akan membawa telepon genggamnya ke ladang atau saat menggembalakan ternaknya.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Berdasarkan tujuan penelitian dan analisis hasil pembahasan, dapat disimpulkan: 1. Karateritik peternak seperti kepemilikan ternak dan kekosmopolitan dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan dan Keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 2. Hubungan antara aksesibilitas radio dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika media komunikasi radio tidak dapat meningkatan pengetahuan dan keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. Hal tersebut memperlihatkan jika radio sebagai media komunikasi sudah tidak banyak digunakan oleh peternak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka sebagai seorang peternak. 3. Hubungan antara aksesibilitas televisi dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika televisi sebagai media komunikasi tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan peternak sapi. Hal tersebut ditunjukkan dengan terdapat hubungan yang searah antara tempat menonton televisi dengan peningkatan pengetahuan perkawinan ternak dan penanganan hasil ternaknya. Program yang ditonton peternak juga dapat meningkatkan pengetahuan peternak. Kompetensi keterampilan peternak terdapat hubungan yang searah antar intensitas menonton, waktu menonton, tempat menonton dapat meningkatan keterampilan peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro. 4. Hubungan antara aksesibilitas telepon genggam dengan kompetensi peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan jika media komunikasi telepon genggam memiliki pengaruh yang cukup kuat dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan peternak sapi. Hal tersebut dilihat dengan hubungan yang searah antara intensitas menelepon, waktu menelepon, cara mendapatkan telepon genggam dan tempat menelepon dengan pengetahuan berkaitan dengan perkawinan ternak dan penanganan hasil ternak. Terdapat hubungan antara aksesibilitas telepon genggam dengan peningkatan keterampilan para peternak.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian dilapangan peneliti ingin menyarankan agar pemerintah daerah di Kabupaten Bojonegoro dapat memberikan informasi berkaitan dengan peternakan sapi seperti informasi berkaitan dengan pakan sapi, kesehatan sapi, cara pengolahan hasil dari ternak sapi yang masih kurang melalui media massa lokal. Perlu adanya komunikasi yang lebih aktif sebagai sarana bertukar infomasi antara peternak dan petugas kesehatan hewan yang berada di kecamatan dengan menggunakan telepon genggam sebagai media komunikasinya.
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Penggemukan Sapi Potong. Jakarta (ID): Agromedia. Aker JC dan Ksoll C. 2015. Can Mobile Phone Improve Agricultural Aoutcomes ? Evidence from Randomized Experiment in Nigeria. Food Policy. [Internet]. [diunduh 15 Januari 2016]. http://dx.doi.org/j.foodpol.2015. Ancok D. 2014. Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. Dalam, Sofian Effendi dan Tukiran. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Andriaty E, Sankarto. B.S, Setyorini E. 2011. Kanjian Kebutuhan Informasi Teknologi Pertanian di Beberapa Kabupaten di Jawa. Jurnal Perpustakaan Pertanian, 20 (2):5461. Batoa H. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi petani rumput laut di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. [tesis]. Bogor (ID). Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Daging Sapi Menurut Provinsi. [Internet].[ Diunduh 10 September 2014]. http://www.bps.go.id. ____. 2014. Protet usaha pertanian Indonesia menurut subsektor [Internet]. [diunduh 10 September 2014]. http://www.bojonegorokab.bps.go.id. Griffin. 1986. Educational Psychology. London (GB). London Longman Group. Hadiyanto. 2004. Perilaku dan motif menonton televisi pada peternak di dua tipologi desa di Kabupaten Bogor. Media Peternakan [internet] [diunduh 6 Januari 2016]. 27(1): 3037. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/43104/. _________. 2009. Desain pendekatan komunikasi partisipasi dalam pemberdayaan peternakan domba rakyat. Media Peternakan [internet] [diunduh 10 September 2014]. 32(2): 145-154. http://jesl.journal.ipb.ac.id/ /mediapeternakan. __________, Priatna WB, Asmara A. 1998. Studi perubahan perilaku masyarakat sebagai dampak industrialisasi media: Kasus pada petani di daerah sub urban. Laporan Penelitian. Bogor (ID): LPPM IPB. Harijati S. 2007. Potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit: kasus petani sayuran di kota dan pinggiran jakarta dan bandung. [disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2014. Pengembangan sistem produksi keamanan pangan sapi potong Peranakan Onggole (PO) melalui penguatan sekolah peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Laporan Penelitian. Bogor (ID): LPPM IPB.
Istiana IN. 1998. Analisis sistem komunikasi teknologi usahatani padi pada petani non koperator: Studi kasus di Kecamatan Rambah Samo Kabupaten Kamper, Riau. [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta (ID): Gramedia. Jamil HM, Jahi A, Gani DS. 2012. Kinerja balai penyuluhan pertanian (BPP) dan dampaknya pada perilaku petani padi di Sulawesi Selatan. Jurnal Penyuluhan. 12(9): 8 (2) 132-140. Kerlinger FN. 2004. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan, Simatupang LR. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Kusai. 1996. Kreativitas wanita nelayan. [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Lestari. 1994. Inovasi petani terhadap teknologi panca usaha tani. [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lionberger HF. 1960. Adoption of New Ideas and Practice. Ames, Iowa [US]: The Iowa State University Press. Mangkuprawira S. 2004. Arti dan beragam sspek tentang kompetensi. Lokakarya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 28 April 2004. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mantra IB, Kasto, Tukiran. 2014. Metode Penelitian Survei. Effendi S, Tukiran, editor. Jakarta (ID): LP3S. Ma’sum M. (2011). Implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi inseminasi buatan pada peternak sapi potong. [disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mardianah. 2010. Pengaruh siaran radio dalam penyebaran informasi teknologi budidaya padi sawah terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap petani (Kasus: Desa Klunting Jaya, Kecamatan Weda Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta [ID]. UNS Press. Maryam S. 2008. Efektivitas penyebaran informasi di bidang pertanian melalui perpustakaan digital (Kasus pusat perpustakaan dan penyebaran teknologi pertanian). [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mathis RI, John HJ. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta[ID]: Penerbit Salemba Empat.
Masmuh A. 2008. Komunikasi Organisasi dalam Prespektif Teori dan Praktek. Malang (ID): UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Mulyandari R. 2011. Perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian. [internet]. 20(1):22–34. [diunduh 15 Fabuari 2016] http://pustaka.litbang.pertanian.go.id Mulyasa 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Mumpuni HE. 2003. Keefektivan siaran radio sebagai media komunikasi inovasi pertanian bagi petani sayuran di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang. [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Murtidjo BA. 1990. Berternak Sapi Potong. Jakarta (ID): Kanisius. Purnaningsih N, Sugihen BG. 2008. Manfaat keterlibatan petani dalam pola kemitraan agribisnis sayuran di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. 14 (2): 80-91. Puspitasari L, Ishii K. 2015. Digital device and mobile internet in Indonesia: Impact of smartphone. Telematic and Information [internet]. 33(2): 427-483. [diunduh 15 Febuari 2016] http://www.pac.els-cdn.com. Rahardi F. 2003. Agribisnis Peternakan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Riyanto E, Pubowati E. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Riyanti BDP. 1983. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovation. 5th Edition. New York (US): The Free Press, A Division of Macmillan Publishhing.co.ic. _________, Shoemaker FF. 1995. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approch. New Edition. New York (US): The Free Press. Sabrani M. Panjaitan M. Mulyadi A. 1981. Prospek pengembangan kambing dan domba bagi petani kecil dan perlunya pendekatan keilmuan terpadu. Proceeding Seminar Penelitian Peternakan. Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Saleh A. 1984. Persepsi warga masyarakat tentang penyuluhan peternakan di Desa Kutayasa, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. _______. 2006. Tingkat penggunaan media massa dan peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaring komunikasi penyuluhan sapi potong. Media Peternakan [Internet]. [diunduh 10 September 2014]. 29 (2): 107-120. http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan.
Santosa S. 1999. Dinamika Kelompok. Surabaya (ID): Bumi Aksara. Santosa U. 2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Samsudin U. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. New York (US): John Wiley & Sons Inc. Sarwono SW. 2002. Psikolohi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Senanggun R. 1991. Hubungan antara keterdedahan pada media massa dan aktivitas penerangan jupen kecamatan di Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Shellabear S. 2002. Competency Profiling: Definition and Implementation. Traning Journal Abstract. [Internet]. [diunduh 10 September 2014]. http://www.consultseven.com/case/pdf/Competency_Profiling.pdf. Soekartawi 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. ______, Dillon L, Hardaker J. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Suparno S. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan Nasional Suyono. 2006. Pemberdayaan Masyarakat (Mengantar Manusia Mandiri, Demokratis, dan Berbudaya). Jakarta (ID): LP3ES Syah. M. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Syah. M. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Syarchie YM. 2008. Efektivitas program penyuluhan pertanian melalui media siaran radio. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tadesse G, Bahigwa G. 2015. Mobile phones and farmer’s marketing decisions in Ethiophia. World Develepment [internet]. [diunduh 15 Febuari 2016] 68(12): 296-307. http://www.elsevier.com/locate/worlddev. Tambunan TTH. 2003. Perkembanganan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Triton PB. 2006. SPSS13.0 Terapan: Riset Statistik Parametrik. Yogyakarta (ID): Media Pesindo.
Tomatala GSM. 2004. Pemanfaatan media komunikasi dan perilaku usaha peternakan sapi potong (Kasus peternak sapi potong di Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur). [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Van Den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Terjemahan, Herdiastuti AD. Yogyakarta (ID): Kanisius. Wibowo SA, Haryadi FT. 2006 . Faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi sikap terhadap program kredit sapi potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman Yogyakarta. Media Peternakan [internet]. 7(9):12:176-186. Wiriatmadja S. 1990. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta (ID): Yasaguna. Yulianto P, Saparianto. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Yustitian OR. 2015. Pengaruh kompetensi terhadap kinerja (Studi empiris pada peternak sapi perah binaan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara). Jurnal Aplikasi Manajemen [Internet] 13(3):527-537. [diunduh 20 Febuari 2016] http://www.Jurnaljam.ub.ac Yusuf. 2010. Kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden
: …………………………………………………………………………………………………
NAMA
: ……………………………………………………………………………………………………
Jenis Kelamin
: ……………………………………………………………………………………………………
Alamat Desa/ Kelurahan
: ………………………………………………..………………, RT…...…… , RW…………
Kecamatan
: ……………………………………………………………………………………………………
Kabupaten
: ………………………………………………………….…………………………………………
Provinsi
: …………………………………………………………………………………………………
Enumerator
: ……………………………………………………………………………………………………
Tanggal Wawancara : ……………………………………………………………………………………………………
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
KARAKTERISTIK PETERNAK: 1. 2. 3.
4.
5. 6.
7.
8. a.
b.
Umur (Tahun) Jenis kelamin Pendidikan formal (√)
Laki-laki / perempuan SD Tamat/Tidak tamat SLTP Tamat/Tidak tamat SLTA Tamat/Tidak tamat Diploma Tamat/Tidak tamat S1 Tamat/Tidak tamat Pengalaman kursus/latihan: (isi) a. Tentang Di …kali … hari Oleh …………… b. Di … kali … hari Tahun Pertama Berternak Sapi Skala Usaha (√) a. Sambilan b. Cabang Usaha c. Usaha Pokok Motivasi beternak a. b. c. d. e. Kekosmopolitan Peternak Seberapa sering mengunjungi/ tempat2 berikut: (PILIH: 1=tidak pernah, 2= beberapa bulan sekali, 3=setiap bulan, 4=beberapa kali dalam sebulan, 5=setiap minggu, 6=beberapa kali dalam seminggu, 7=setiap hari) a. Kantor Desa 1 2 3 4 5 6 7 b. Ibu kota kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 c. Ibu kota kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 d. Ibu kota provinsi 1 2 3 4 5 6 7 e. Provinsi lain 1 2 3 4 5 6 7 f. Jakarta 1 2 3 4 5 6 7 g. Lembaga-lembaga penelitian 1 2 3 4 5 6 7 h. Pos kesehatan hewan 1 2 3 4 5 6 7 j. Dinas peternakan 1 2 3 4 5 6 7 i. Mengujungi pameran 1 2 3 4 5 6 7 Seberapa sering menggunakan media berikut untuk manbah informasi (PILIH: 1=tidak pernah, 2= beberapa bulan sekali, 3=setiap bulan, 4=beberapa kali dalam sebulan, 5=setiap minggu, 6=beberapa kali dalam seminggu, 7=setiap hari) a. Membaca Koran 1 2 3 4 5 6 7 b. Membaca Majalah 1 2 3 4 5 6 7 c. Menonton Televisi 1 2 3 4 5 6 7 d. Mendengarkan Radio 1 2 3 4 5 6 7 e. Mengakses internet 1 2 3 4 5 6 7 f. Membaca Leaflet/ Folder Peternakan 1 2 3 4 5 6 7
Aksesibilitas Media Komunikasi 1.
Pemilikan media komunikasi (√)
2.
Keterdedahan siaran radio: a. Intensitas ..… hari / minggu (isi) terakhir ….. kali / hari mendengar ….. menit /kali c. Tempat mendeng arkan (√)
d. Waktu mendeng arkan (√)
3.
b. Lima acara siaran radio yang paling sering diikuti (isi)
Rumah Tempat umum
Pagi Siang Sore Malam
f. Informasi peternakan yang didengar dari radio Keterdedahan siaran TV: a. Intensitas ..… hari / minggu (isi) terakhir ….. kali / hari menonton ….. menit /kali c. Tempat menonto n (√)
Rumah
d. Waktu biasanya menonto n (√)
Pagi Siang Sore Malam
f. Informasi peternakan yang ditonton di siaran TV
Koran Majalah Radio TV Telepon/Hand phone Internet
e. Cara mende ngarkan (√) f. Aktivitas mende ngarkan (√)
b. Lima acara siaran TV yang paling sering diikuti (isi)
Tempat umum e. Cara biasanya menonton (√) f. Aktivitas dalam menonton (√)
………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. Sendirian Bersama keluarga Bersama org lain Khusus Sambil aktivitas
………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. ………………….. dari ……………. Sendirian Bersama keluarga Bersama org lain Khusus Sambil aktivitas
4.
Keterdedahan Telepon Genggam: a. Intensitas ..… hari / minggu menelepon terakhir ) ….. kali / hari mengakses ….. menit /kali b. Tempat Rumah menelepon Tempat umum (√) c. Waktu Pagi biasanya Siang menelepon Sore a (√) Malam f. Informasi peternakan dari telepon genggam
d. Lima nomor yang sering dihubungi (isi)
e. Cara mendapatkan telepon genggam
Menemukan Meminjam Dibagikan Membeli
KEBUTUHAN INFORMASI
No.
Informasi
1.
Bibit
2.
Perkandangan
3.
Pakan Ternak
4.
Kesehatan ternak
5.
Kawin Ternak
Pengetahuan Peternak Sangat Tidak Tahu—Sangat tahu
a. Jenis bibit sapi b. Memilih bibi yang baik c. Cara mendapatkan bibit sapi d. Penanganan bibit sapi e. Inseminasi Buatan a. Kandang yang baik b. Syarat kandang yang sehat c. Cara pembuatan konstruksi kandang d. a. Mengetahui kebutuhan pa kan b. Penanaman rumput c. Penanaman konsetrat d. Tata cara pemberian pakan e. Teknik menyiapkan pakan f. Tata cara pemberian air a. Deteksi penyakit b. Ciri penyakit c. Obat ternak d. Cara Pengobatan e. Cara pencegahan a. Deteksi birahi b. Perkawinan ternak c. Deteksi kebuntingan d. Penanganan induk bunting e. Penanganan kelahiran
Keterampilan Sangat Tidak Bisa --- Mudah
1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4
1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
6.
Pakan
f. a. b. c. d. g.
Penangan anak sapi Pemasaran ternak Pembuatan pupuk kandang Pembuatan biogas Pembuatan bioarang Pemasaran hasil
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
Lampiran 2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Intrumentasi Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary N % Valid 30 100.0 a Excluded 0 0.0 Total 30 100.0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Cases
Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items .621 36 Item-Total Statistics
ip_bibit ip_kandnag ip_pakan ip_kesehatan ip_kawin ip_hasil ik_bibit ik_kandang ik_pakan ik_kesehatan ik_kawin ik_hasil age_1 pendidikan tnk1 motiv kosmopolit pm_media itn_rad prog_radio wak_rad tempar_rad
Scale Mean if Item Deleted 1605.97 1605.97 1605.97 1606.67 1605.97 1609.77 1607.33 1606.93 1606.80 1606.67 1605.97 1609.77 1616.30 1615.57 1584.60 1613.20 1604.57 1603.97 830.63 1617.90 1617.33 1617.93
Corrected Cronbach's Scale Variance Item-Total Alpha if if Item Deleted Correlation Item Deleted 2449241.068 .253 .621 2449241.068 .253 .621 2449241.068 .253 .621 2449574.644 .244 .621 2449241.068 .253 .621 2449762.737 .336 .621 2449602.713 .278 .621 2449460.685 .275 .621 2449844.097 .240 .621 2449574.644 .244 .621 2449241.068 .253 .621 2449762.737 .336 .621 2452047.459 .246 .621 2449909.495 .274 .621 2428109.490 .370 .618 2454741.752 -.185 .622 2442368.116 .380 .620 2443004.033 .352 .620 1005421.964 .676 .540 2451497.128 .358 .621 2450635.540 .440 .621 2451642.754 .415 .621
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid tidak valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
itn_tv prog_tv tempat_tv waktu_tv cara_tv aktivitas_tv itn_hp tmp_hp wak_hp cara_hp itn_radio cara_rad aktv_rad milik_tnk
Scale Mean if Item Deleted 1317.63 1617.17 1617.93 1617.30 1617.70 1618.30 1317.63 1617.63 1617.57 1617.63 1617.57 1618.13 1618.30 1615.90
Item-Total Statistics Corrected Cronbach's Scale Variance Item-Total Alpha if if Item Deleted Correlation Item Deleted 1258871.068 .872 .430 2451922.971 .297 .621 2451642.754 .415 .621 2450724.562 .426 .621 2451557.459 .385 .621 2451970.286 .263 .621 1258871.068 .872 .430 2451393.964 .408 .621 2451455.840 .325 .621 2451112.447 .469 .621 2451699.426 .749 .621 2451471.016 .422 .621 2451970.286 .263 .621 2451040.714 .284 .621
Keterangan Valid Valid Valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid
Lampiran 3. Riwayat Hidup RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Juni 1987 sebagai anak bungsu dari pasangan H. Dede Setiadi dan Hj. Siti Zamzami. Pendidikan diploma ditempuh di Program Keahlian Komunikasi, Direktorat Program Diploma IPB, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Broadcasting, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana dan lulus pada tahun 2012. Selanjutnya pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerjan sebagai penulis naskah dan dubber di Green TV IPB sejak tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Dinamika Sosial dan CSR Program Keahlian Lingkungan, Program Diploma IPB dan juga asisten dosen untuk mata kuliah Media Siaran dan Komunikasi Kelompok di Fakultas Ekologi Manusia IPB.