1
TESIS
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
RAMBU ERYANI DIKI DONGGA NIM 1191361007
ROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
2
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Pada Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pasca Sarjana Universitas Udayanan
RAMBU ERYANI DIKI DONGGA NIM 1191361007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 Lembar Pengesahan
3
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 15 AGUSTUS 2013
Pembimbinga I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, M.S. M.M Agr. Sc NIP. 19530319 198003 1 002 001
Ir. Ni Ketut Nuraini, M. NIP. 19490517 197602 2
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. Ir.G.A.M. Kristina Dewi.MS NIP. 19590813 198503 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP 19590215 198510 2 001
4
Tesis ini telah diuji pada Tanggal 13 Agustus 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 16/2a/UN14.4/HK/2012, 23 Oktober 2012
Ketua
: Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS. MM
Sekretaris
: Ir. Ni Ketut Nuraini, MS
Anggota
: Prof. Ir. I Dewa Ketut Harya Putra, M. Sc. Ph.D Prof. Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, Ms
5
UCAPAN TERIMAKASIH
Pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur” sebagai salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Peternakan di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Berhasilnya penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, saran dan koreksi dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P.D (KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama perkuliahan dan penyelesaian pendidikan di Program Magister Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada Ibu Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Dr. Ir. G.A.M. Kristina Dewi. MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Peternakan beserta jajaran sebagai pelaksana teknis kegiatan Program Studi Magister Ilmu Peternakan atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan selama perkuliahan sampai selesainya tesis ini. Terimakasih juga peneliti ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, M.S.M.M selaku pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan, dorongan, dan nasehat dalam menulis tesis ini dan Ibu Ir. Ni Ketut Nuraini, M. Agr. Sc, selaku pembimbing II, yang juga dengan penuh perhatian
6
dan teliti memberikan dorongan, bimbingan, dan saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, karenanya penulis menghaturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas kesabaran dan bimbingan selama ini. Ucapan yang sama juga penulis ucapkan kepada Prof. Ir. I Dewa Ketut Harya Putra, M.Sc.Ph.D, Prof. Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes, Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS, selaku tim penguji yang banyak memberikan masukan, saran, koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Bapak tercinta, Rambu Halla Anggung Praing, S.Pd dan Ferdy Purumbawa, S.Sos, yang selalu dengan tulus dan tiada hentinya memberikan kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, “you both are my everything”. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi ini, tidak terlepas juga dari bantuan dan doa dari kedua kakak dan adik, Rambu Shanty Diki Dongga S.Pi, Umbu Yantho Diki Dongga, S.H, Irene Rambu Yeti Diki Dongga dan saudara sepupu saya Rambu Yeni Diki Dongga, S.E, dan Rambu Esy Diki Dongga, terimaksih selalu bersedia menemani mencari data selama penelitian serta om sopir yang selalu setia menemani ke desa K’herman dan Umbu Djanji serta kekasih tercinta sekaligus sahabat seperjuangan saya selama menempuh kuliah di Universitas Udayana “Pasifikus Mala Meko, S.S.T.Par” yang selalu setia memberikan kasih sayang yang begitu tulus dan memberikan motivasi serta doa bagi penulis selama menempuh studi di Program Magister Ilmu Peternakan Universitas Udayana.
7
Dalam kesempatan ini, peneliti juga menghaturkan terimakasih kepada Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur yang telah memberikan bantuan berupa data dan informasi untuk penelitian ini, staf –staf Magister Ilmu Peternakan, serta para peternak kuda dan penyulu peternakan sebagai informan yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan data dan mengisi kuisioner dalam penyelesaian tesis ini. Terkahir, namun sangat berarti, kepada semua teman-teman di Program Pascasarjana Ilmu Peternakan, Awal Maulid Sari sebagai sahabat seperjuangan dalam menyelesaikan tesis serta bantuan dalam segala hal, Indra, Yogik, Tutik, Yanwar, Pak Rama dan Pak Gusti, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini. “our togetherness in one of the best moments that I've ever had”. Besar harapan penulis, karya ini dapat diterima dan ada manfaatnya, meskipun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melimpahkan rahmat, berkat dan perlindungan dari semua penjuru untuk kita semua. Om Shanti Shanti Om
Denpasar, Agustus 2013 Peneliti,
Rambu Eryani Diki Dongga
8
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
ABSTRAK Peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian di Kabupaten Sumba Timur. Tetapi, adanya penyakit surra merupakan masalah yang akan mengancam populasi kuda. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan penyuluhan, pengaturan, dan pelayanan. Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak tentang pengendalian penyakit surra; 2) mengetahui tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra; 3) menganalisis hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra terhadap perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak; 4) menganalisis hubungan antara perilaku peternak dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian yang terkena penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Responden peternak yang dipakai dalam penelitian ini ditentukan secara proporsional yaitu diambil 10% dari setiap kecamatan di mana penyakit surra lebih banyak terjangkit. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus populasi Slovin (Consuelo, 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pengetahuan dan keterampilan peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, sedangkan sikap peternak kuda termasuk dalam kategori positif; 2) tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda termasuk dalam kategori sedang; 3) penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra berhubungan positif dengan tingkat pengetahuan peternak, tetapi tidak dengan keterampilan dan sikap peternak; 4) sikap peternak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur, tetapi tidak dengan pengetahuan dan keterampilan peternak. Kata Kunci: Adopsi teknologi, pengendalian penyakit surra, peternak kuda, Kabupaten Sumba Timur
9
THE ADOPTION OF TECHNOLOGY TO CONTROL SURRA DISEASE BY HORSE RAISER IN EAST SUMBA REGENCY, EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
ABSTRACT Animal husbandry, particularly horse keeping, is considered as important sector in supporting economy of the East Sumba Regency. However, the outbreak of surra disease has become serious threat for the maintenance of horse population in this area. Various efforts have been done by the local government to control the disease, such as by performing extension on disease control, enacting regulations concerning prevention of disease spreading, and performing services to control the disease. But up to the present days, surra disease has not been controlled properly; there were still many cases of disease encountered by horse raisers. Thus, the present work was aimed to study: (1) level of behavior (knowledge, skill, and attitude) of horse raisers towards control of surra disease, (2) level of adoption of technology to control surra disease, (3) analysis of relationship between the actual conduct of extension on disease control and change of the horse raisers behavior, and (4) analysis of relationship between horse raisers behavior and their level of adoption of the technology. A stratified random sampling was employed to choose respondents in the current study throughout all areas suffering from surra disease; in this case, 10% respondents of each kecamatan were surveyed, according to the Slovin population formula (Consuelo, 1993). The present study indicated the following results. (1) The knowledge and skills concerning technology to control surra disease of horse raiser in East Sumba can be considered as mediocre, and their attitudes were positive. (2) Their level of adoption of the technology can also be considered as mediocre. (3) The actual course of extension has positive relationship with level of horse raisers knowledge, but not with their skills and attitudes. (4) Attitudes have significant relationship with level of adoption of the technology, but not with their knowledge and skills. Keywords: Adoption of technology, control of surra disease, horse raisers, East Sumba Regency
10
RINGKASAN ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR Bidang peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian di Kabupaten Sumba Timur. Sebagian besar petani peternak masih mengandalkan hidupnya dari sektor peternakan, di samping pertanian dalam arti luas. hasil ternak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Sumba Timur dapat berkurang apabila ada wabah penyakit yang menyerang ternak seperti penyakit surra yang menyebar luas di beberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Penyakit surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyakit surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa yaitu Trypanosoma evansi. Data terakhir Dinas Peternakan Sumba Timur menyebutkan bahwa, penularan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur mulai ditemukan sejak bulan Agustus 2010 yang menyerang ternak kuda sandel dan kerbau, sedangkan pada ternak sapi tidak ditemukan gejala klinis maupun hasil pemeriksaan laboratorium. Penyakit surra menyerang ternak kuda dan kerbau warga di tujuh kecamatan yang ada di Sumba Timur, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori Angu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu Ngala. Keberadaan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur merupakan masalah besar yang akan mengancam populasi ternak di Sumba Timur, dimana akibat serangan penyakit surra ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penularan penyakit surra dari daerah endemis. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyuluhan. Selain penyuluhan, pelayanan (service) dan pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah, semestinya diselenggarakan dengan baik, agar penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur dapat teratasi dengan baik. Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik. Inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh serta pengaturan (regulation) yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya sebagian peternak yang mau mengikuti hal ini kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia (SDM) yang masih kurang memadai, pola pikir peternak yang masih menganggap bahwa penyakit surra adalah penyakit yang sudah tidak bisa untuk disembuhkan lagi. Bagi mereka, surra adalah salah satu penyakit kutukan yang dapat mematikan ratusan ternak kuda. Dengan adanya persepsi yang demikian itu, secara langsung maupun tidak langsung akan berperan dalam penerimaan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, NTT.
11
Dari uraian di atas, maka penelitian mengenai “Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur“ perlu segera dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif dan analitis keadaan peternak sehingga dapat diberikan solusi untuk pengendalian penyakit selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak tentang pengendalian penyakit surra; 2) mengetahui tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra; 3) menganalisis hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra terhadap perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak; 4) menganalisis hubungan antara perilaku peternak dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Populasi penelitian ini adalah semua peternak kuda yang ada di tujuh kecamatan endemis penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian. Jumlah sampel untuk peternak ditentukan berdasarkan rumus populasi Slovin (Consuelo, 1993) yaitu selanjutnya secara proporsional diambil 10% dari setiap kecamatan. Sehingga, jumlah sampel untuk peternak adalah 96 orang. Sedangkan, responden penyuluh ditentukan dengan cara mengambil semua penyuluh yang bertugas melakukan penyuluhan di tujuh kecamatan dilokasi penelitian dan untuk responden pemerintah diambil dari petugas dinas peternakan dan petugas kecamatan dinas setempat yang memberikan pelayanan dan pengaturan dalam pengendalian penyakit surra. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah pelayanan, penyuluhan, pengaturan, pengetahuan, keterampilan, sikap dan adopsi. Data mengenai variabel adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, pengetahuan, keterampilan, pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan responden diukur dengan skala jenjang lima (1,2,3,4,5). Skala ini menggunakan lima kategori jawaban dari setiap pertanyaan yang disusun. Setiap jawaban diberi skor secara konsisten. Sikap responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra diukur dengan menerapkan “Skala Likert”, dengan membentuk lima kategori jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Skor dinyatakan dalam bilangan bulat (1,2,3,4,5). Untuk pertanyaan positif respon sangat setuju diberikan skor 5, sebaliknya sangat tidak setuju diberikan skor 1, sedangkan untuk pertanyaan negatif respon sangat tidak setuju diberi skor 5, sebaliknya sangat setuju diberi skor 1. Hal ini sesuai dengan metode Singarimbun dan Effendi (1995). Data mengenai identitas responden dianalisis secara deskriptif sampai tahap tabulasi. Keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan dan sikap responden, keterkaitan antara keterampilan dengan sikap, dan hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dengan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta keterkaitan perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) dengan adopsi responden tentang teknonologi pengendalian penyakit surra digunakan Analisis Jalur (Path Analysis) dengan menggunakan regresi bertahap. Analisis jalur (path analysis) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hubungan kausal antara dua atau lebih variabel (Sitepu, 1994).
12
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan pencapaian persentase skor pengetahuan dan keterampilan peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 49,75 (62,19%) dan 35,81 (65,11%) dari skor maksimal ideal 80 dan 55 (termasuk dalam kategori sedang), Sedangkan sikap peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%) dari skor maksimal ideal 80. Jika dilihat dari tingkat adopsi, rataan pencapaian skor tingkat adopsi peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 65,29 % termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil analisis statistik didapatkan masing-masing bahwa pengetahuan peternak memiliki hubungan yang nyata (P<0,01) dengan keterampilan dan sikap, sedangkan keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan sikap peternak. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur memiliki hubungan yang positif nyata (P<0,01) dengan pengetahuan peternak sedangkan dengan keterampilan dan sikap berhubungan tidak nyata (P>0,05). Pengetahuan peternak berhubungan negatif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra yang berarti semakin tinggi pengetahuan peternak maka semakin rendah tingkat adopsi peternak dan secara statistik tidak nyata (P>0,05). Keterampilan peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, namun secara statistik tidak nyata (P>0,05) sedangkan sikap peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra dan secara statistik nyata (P<0,05). Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dan simpulan, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pemerintah : Untuk meningkatkan tingkat adopsi peternak, diperlukan berbagai upaya termasuk penyuluhan (pelatihan, pendampingan, ceramah dll) agar terjadi peningkatan motivasi dan perilaku peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra, sebaiknya penyuluh tinggal di lokasi endemis penyakit surra, terutama ketika terjadi wabah penyakit surra sehingga mempermudah dalam proses pelayanan serta intensitas komunikasi antara penyuluh dan peternak perlu ditingkatkan, perlu adanya kegiatan pencegahan dan penanggulangan melalui kegiatan vaksinasi dan pengobatan secara rutin dalam rangka pengendalian penyakit selanjutnya. 2) Masyarakat : rajin mengikuti kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh instansi terkait untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peternak dalam beternak, sehingga pengendalian penyakit surra dapat berjalan dengan baik. Memperbaiki pola pemeliharaan secara baik dan benar dengan cara mengandangkan ternak kuda dan memisahkan ternak yang sakit dan sehat. Pelaporan dan penanganan penyakit surra secepatnya serta melakukan pembakaran bangkai dan karkas terinfeksi sehingga penyakit surra tidak menyebar ke ternak lainnya. DAFTAR ISI
13
Halaman JUDUL ................................................................................................................................. PRASYARAT GELAR ...................................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................................. UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................................. ABSTRAK ......................................................................................................................... ABSTRACT ....................................................................................................................... RINGKASAN .................................................................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................
i ii iii iv v viii ix x xiii xvii xx xxi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1.3 Tujuan ............................................................................................................................ 1.4 Manfaat ..........................................................................................................................
1 5 6 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penyakit Surra (Trypanosomiasis) ..................................................................... 2.2 Penyebab Penyakit Surra (Trypanosomiasis) ................................................................. 2.3 Penyakit Surra Pada Kuda .............................................................................................. 2.4 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Surra ............................................................... 2.5 Penyuluhan ..................................................................................................................... 2.6 Tujuan Penyuluhan ......................................................................................................... 2.7 Adopsi Inovasi ............................................................................................................... 2.8 Proses Adopsi ................................................................................................................. 2.9 Kecepatan Adopsi ........................................................................................................... 2.10 Peranan Penyuluhan dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi.................................... 2.11 Perilaku Peternak ......................................................................................................... 2.11.1 Pengertian Perilaku ........................................................................................... 2.11.2 Perubahan Perilaku ............................................................................................ 2.12 Unsur – Unsur Perilaku ................................................................................................ 2.12.1 Pengetahuan ..................................................................................................... 2.12.2 Keterampilan .................................................................................................... 2.12.3 Sikap .................................................................................................................
8 11 14 16 18 21 25 30 37 38 40 40 41 42 42 45 46
14
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ......................................................................................................... 52 3.2 Hipotesis Penelitian ........................................................................................................ 56 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian ..................................................................................................... 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................................... 4.3. Populasi ......................................................................................................................... 4.4. Sampel ............................................................................................................................ 4.5. Pengumpulan Data ........................................................................................................ 4.5.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................................ 4.5.2 Tehnik Pengumpulan Data .................................................................................. 4.6 Instrumen Penelitian ...................................................................................................... 4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas ......................................................................................... 4.7.1 Uji Validitas .......................................................................................................... 4.7.2 Uji Reliabilitas ...................................................................................................... 4.8 Pengukuran Variabel dan Batasan Operasional ............................................................. 4.8.1 Pengukuran Variabel ............................................................................................ 4.8.2 Definisi Operasional ............................................................................................. 4.9 Analisis Data ..................................................................................................................
57 57 58 58 61 61 61 62 63 63 64 64 64 70 71
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Dan Letak Astronomis ........................................................................ 5.2 Iklim dan Curah Hujan ................................................................................................... 5.3 Penduduk dan Tenaga Kerja .......................................................................................... 5.3.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk ............................................. 5.3.2 Persebaran Penduduk ............................................................................................. 5.3.3 Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur .................... 5.3.4 Tingkat Pendidikan ................................................................................................ 5.3.5 Angkatan Kerja ...................................................................................................... 5.4 Kondisi Peternakan di Kabupaten Sumba Timur ...........................................................
73 75 76 76 77 78 80 81 83
BAB VI HASIL PENELITIAN 6.1 Karakteristik Responden ................................................................................................ 6.1.1 Umur ..................................................................................................................... 6.1.2 Pekerjaan ............................................................................................................... 6.1.3 Tingkat Pendidikan ............................................................................................... 6.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga ............................................................................... 6.1.5 Rataan Luas Lahan ................................................................................................ 6.1.6 Jumlah Pemilikan Ternak ...................................................................................... 6.2 Perilaku Responden ........................................................................................................ 6.2.1 Pengetahuan Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra .............................................................................................................................. 6.2.2 Keterampilan Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra............................................................................................................................... 6.2.3 Sikap Responden Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ..................
86 86 87 88 89 90 91 93 93 94 95
15
6.3 Tingkat Adopsi Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT ................................................................................. 96 6.4
Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan, Pengaturan, dan Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur, NTT ............................................................... 6.4.1 Kegiatan Penyuluhan tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............ 6.4.2 Kegiatan Pelayanan dalam Penyuluhan Penyakit Surra ...................................... 6.4.3 Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra ...................................................
96 96 97 98
6.5
Persepsi Penyuluh dan Pemerintah Mengenai Kegiatan Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ............................................................................................................... 99 6.5.1 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra .............................................. 99 6.5.2 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ............................ 100 6.6 Tingkat Perilaku (pengtahuan, ketermpilan, sikap) dan Adopsi Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra yang Di bedakan atas Jarak Tempat dari Penyuluh ................................................................................................................ 101 6.6.1
Pengetahuan Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh ......................................... 6.6.2 Keterampilan Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh .......................................... 6.6.3 Sikap Responden Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh ....................................................... 6.6.4 Tingkat Adopsi Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh ..........................................
101 101 102 103
6.7 Hasil Uji Mann-Whitney Perbedaan Signifikansi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ..................................................................................................................................... 103
6.8 Anlisis Jalur Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak, serta Hubungan Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra .............................................................................................................................. 6.8.1 Model Strukturan Menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis) ......................... 6.8.2 Hubungan Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................................ 6.8.3 Hubungan Penyuluhan Tentang Pengendalian Penyakit Surra Terhadap Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak ...............................................................................................................
106 106 107 108
16
BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ........................................................................ 109 7.2 Tingkat Adopsi Peternak Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ................. 113 7.3
Hubungan Penyuluhan Dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) ...................................................................................................................... 116 7.4 Hubungan Perilaku Dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra .............................................................................................................................. 121 BAB VIII SIMPULAN DAN SARA 8.1 Simpulan ....................................................................................................................... 125 8.9 Saran ............................................................................................................................. 125 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 127 LAMPIRAN ........................................................................................................................ 133
17
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Populasi Kuda di Lokasi Penelitian ..................................................................... 58 Tabel 4.2 Populasi dan Sampel Peternak Lokasi Penelitian ................................................ 60 Tabel 4.3 Variabel dan Indikator Variabel Yang Diamati Dalam Penelitian ....................... 65 Tabel 4.4 Kategori Adopsi, Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, Pelayanan Penyuluhan, dan Pengaturan ................................................................................. 69 Tabel 5.1 Rata-Rata Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan di Kabupaten Sumba Timur, 2011 .............................................................................................. 76 Tabel 5.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur ........................................................................................................ 78 Tabel 5.3 Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur ........................................................................................................ 79 Tabel 5.4 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011 ........................................................................... 80 Tabel 5.5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Sumba Timur, 2011 .............................................................................................. 81 Tabel 5.6 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegaiatan Utama di Kabupaten Sumba Timur 2010-2011 ................................................................ 82 Tabel 5.7 Penduduk 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011 ......................................... 83 Tabel 5.8 Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak, 2011 ............................ 84 Tabel 6.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ............................................................ 86 Tabel 6.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ..................................................... 88 Tabel 6.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................................... 88 Tabel 6.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ..................... 90 Tabel 6.5 Distribusi Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah ............................. 91
18
Tabel 6.6 Distribusi Ternak Berdasarkan Jenis dan Jumlah Ternak yang Dipelihara ..................................................................................................................... 91 Tabel 6.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Ternak Kuda .............. 92 Tabel 6.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................. 93 Tabel 6.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................ 94 Tabel 6.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Sistem Pengendalian Penyakit Surra ................................................. 95 Tabel 6.11 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 96 Tabel 6.12 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................................ 97 Tabel 6.13 Persepsi Responden Mengenai Pelayanan dalam Pengendalian Penyakit Surra .................................................................................................... 98 Tabel 6.14 Persepsi Responden Mengenai Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra .................................................................................................................. 98 Tabel 6.15 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 99 Tabel 6.16 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 100 Tabel 6.17 Persepsi Pemerintah Mengenai Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra .................................................................. 100 Tabel 6.18 Kategori Pengetahuan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................ 101 Tabel 6.19 Ketegori Keterampilan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh .............................................................................. 102 Tabel 6.20 Ketegori Sikap Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................. 102 Tabel 6.21 Ketegori Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................. 103
19
Tabel 6.22 Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ............................................................................................................ 103 Tabel 6.23 Distribusi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Resonden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ............................................................................................................ 105 Tabel 6.24 Struktural Model – Jackknife Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra....................... 107 Tabel 6.25 Struktural model – Jackknife Hubungan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak ............................... 108
20
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar
2.1 Peranan Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengaturan Dalam Pembangunan Pertanian ................................................................................ 23
Gambar 2.2 Komunikasi dan Proses Adopsi Inovasi .......................................................... 29 Gambar 2.3 Model Proses Putusan Inovasi ........................................................................ 35 Gambar 2.4 Klasifikasi Adopsi ........................................................................................... 37 Gambar 2.5
Paradigma Faktor-Faktor Yang Menentukan Kecepatan Adopsi
Inovasi .......................................................................................................................... 38 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur .............................................................................................................. 55 Gambar 4.1 Struktur Hubungan Antara Variabel Berdasarkan Diagram Kerangka Pemikiran ........................................................................................................ 72 Gambar 5.1 Peta Kabupaten Sumba Timur, NTT ................................................................ 85 Gambar 6.1 Model Struktural Menggunakan Analisi Jalur ................................................. 106
21
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Daftar Nama Responden .................................................................................. 133 Lampiran 2. Daftar Nama Penyuluh .................................................................................... 136 Lampiran 3. Rataan Persentase Skor Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak dan mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan dan pengaturan. ....................................................................................................... 137 Lampiran 4. Hasil Analisis Data Menggunakan Partial Least Square (PLS)
.................. 140
Lampiran 5. Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Penyuluh ......................................................................................................................... 141 Lampiran 6. Reliabilitas Konstruk ....................................................................................... 144 Lampiran 7. Kuisioner .......................................................................................................... 154
22
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian di Kabupaten Sumba Timur. Sebagian besar petani peternak masih mengandalkan hidupnya dari sektor peternakan, di samping pertanian dalam arti luas. Tahun 2011 jumlah peternak kuda sebanyak 8.285 kepala keluarga dan pengeluaran ternak antarpulau mencapai 8.885 ekor terdiri atas 4.498 ekor sapi, 1.659 ekor kerbau, dan 2.728 ekor kuda (Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2011). Lebih jauh, dinyatakan bahwa hasil ternak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Sumba Timur dapat berkurang apabila ada wabah penyakit yang menyerang ternak seperti penyakit surra yang menyebar luas di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Penyakit surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyakit surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa, yaitu Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup dalam darah penderita dan mengisap glukosa yang terkandung dalam darah. Selain itu, ia mengeluarkan sejenis racun yang disebut trypanotoksin yang bisa mengganggu kesehatan ternak kuda yang menderita penyakit ini (Arianto,2012).
23
Data terakhir Dinas Peternakan Sumba Timur menyebutkan bahwa penularan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur mulai ditemukan sejak bulan Agustus 2010 yang menyerang ternak kuda sandel dan kerbau, sedangkan pada ternak sapi tidak ditemukan gejala penyakit surra maupun dari hasil pemeriksaan laboratorium. Jumlah ternak kuda di Kabupaten ini sebanyak 32.667 ekor dan kerbau sejumlah 37.295 ekor. Sementara itu, angka kematian ternak karena surra dari tahun 2010-2011 menunjukkan grafik peningkatan dan pada tahun 2012 mengalami sedikit penurunan. Tahun 2010 sebanyak 44 ekor kuda yang mati, meningkat di tahun 2011 menjadi 278 ekor, dan pada tahun 2012 sampai dengan bulan Juni kematian ternak kuda akibat surra mengalami penurunan sedikit menjadi 244 ekor sehingga total ternak kuda yang mati karena wabah penyakit surra ini mencapai 566 ekor (Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2011). Penyakit surra menyerang ternak kuda dan kerbau warga di tujuh kecamatan yang ada di Sumba Timur, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori Angu, Katala Hamulingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu Ngala. Keberadaan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur merupakan masalah besar yang akan mengancam populasi ternak di Sumba Timur, dan yang paling banyak terserang penyakit surra adalah ternak kuda. Akibat serangan penyakit surra, ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat. Kuda merupakan hewan yang sangat peka terhadap infeksi Trypanosoma evansi dengan angka kematian (mortalitas) bisa mencapai 100% (Rodenwald dan Douwes, 1921 dalam Solihat, 2002).
24
Faktor yang mempengaruhi peningkatan penyebaran penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur sangat beragam. Beberapa hal diduga sebagai penyebabnya, yaitu pemotongan ternak terinfeksi, pemusnahan karkas atau bangkai terinfeksi surra tidak tuntas, ternak kuda yang digunakan dalam urusan adat-istiadat seperti upacara kematian dan perkawinan antara warga lintas kabupaten, kecamatan, dan desa turut menyebarkan penyakit surra. Melalui perpindahan ternak, lalu lintas ternak antardesa dan antarkecamatan yang tidak terkontrol, dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit surra dan belum baiknya penerapan teknologi pengendalian penyakit surra sehingga menyebabkan penyakit surra menular dari ternak satu ke ternak yang lainnya (Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2012). Selain itu, penyebaran penyakit surra juga disebabkan oleh faktor kesadaran atau kejujuran peternak (pemilik hewan) yang minim, yaitu sikap yang tidak mau melaporkan dan mengobati ternaknya yang sakit (Amirullah, 2012). Penularan penyakit yang paling mudah adalah akibat adanya perpindahan ternak dari daerah yang endemis ke daerah bebas penyakit surra (lalulintas ternak). Terutama dari daerah endemis ke daerah endemis, sehingga dapat lebih memperparah keadaan dan mempersulit pemberantasan. Sebagaimana diketahui bahwa daerah yang memiliki kedekatan kultural dan hobi berkaitan erat dengan kuda adalah Bima dan Sumba. Kedua daerah tersebut juga merupakan endemis penyakit surra. Jika ada perlombaan pacuan kuda (olah raga berkuda) di Sumba, maka para penyuka kuda pacu dari Bima kadang-kadang ikut meramaikannya dengan membawa kudanya ke Sumba, demikian juga sebaliknya. Setelah kuda
25
tersebut kembali ke daerah masing-masing ada kemungkinan telah membawa benih penyakit surra, yang akhirnya dapat menularkannya di daerah tersebut (Amirullah, 2012). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penularan penyakit surra dari daerah endemis. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyuluhan. Menurut kepala bidang kesehatan hewan Bapak Manuel M. Kitu, kegiatan penyuluhan di daerah endemis dilakukan setiap ada kesempatan untuk turun ke lapangan baik dalam melakukan vaksinasi, maupun pengobatan ternak yang sakit. Kegiatan penyuluhan ini dilakukan oleh kepala seksi kesehatan hewan, tim dokter hewan, dan anak-anak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan Peternakan) yang sebelumnya telah diberikan pembekalan atau pemahaman mengenai penyakit surra. Selain penyuluhan, pemerintah juga melakukan pelayanan (service) dan pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah seperti adanya surat ijin dan surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan setempat untuk keluar masuknya ternak antarpulau. Selanjutnya untuk pelayanan, pemerintah melakukan vaksinasi dan pemberian bantuan obatan-obatan dalam rangka pemberantasan penyakit surra. Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik. Inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh serta pengaturan (regulation) yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya diikuti oleh sebagian peternak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai dengan latar pendidikan yang rendah, pola pikir peternak yang
26
menganggap bahwa penyakit surra adalah penyakit yang sudah tidak bisa untuk disembuhkan lagi. Bagi mereka, surra adalah salah satu penyakit kutukan yang dapat mematikan ratusan ternak kuda. Adanya persepsi yang demikian itu, secara langsung maupun tidak langsung akan berperan dalam penerimaan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Dari uraian di atas, maka penelitian mengenai “Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur“ perlu segera dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif keadaan peternak sehingga dapat diberikan solusi untuk pengendalian penyakit selanjutnya. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimanakah tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak mengenai pengendalian penyakit surra?
1.2.2
Bagaimanakah tingkat adopsi peternak mengenai tekonologi pengendalian penyakit surra?
1.2.3
Bagaimanakah hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak?
1.2.4
Bagaimanakah hubungan antara perilaku peternak dan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra?
27
1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1
Mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap)
peternak mengenai pengendalian penyakit surra. 1.3.2
Mengetahui tingkat adopsi peternak mengenai tekonologi pengendalian penyakit surra.
1.3.3
Menganalisis hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak.
1.3.4
Menganalisis hubungan antara perilaku peternak dan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra.
1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1.4.1
Bagi mahasiswa, agar dapat menambah wawasan pengetahuan tentang adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
1.4.2
Bahan informasi bagi pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat mempertahankan populasi kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT, melalui penanggulangan penyakit surra.
1.4.3
Bagi penyuluh, agar dapat melakukan introspeksi dan selanjutnya memberikan masukan untuk pemerintah daerah dan perbaikan kegiatan penyuluhan mengenai penyakit surra yang lebih efektif agar adopsi
28
teknologi ini oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menjadi lebih baik. 1.4.4
Bagi peternak, agar dapat mengubah pola pikir mereka dalam proses pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Sehingga, populasi kuda dapat dipertahankan.
29
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Penyakit Surra Trypanosomiasis yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi (T.evansi) merupakan salah satu penyakit hewan menular penting pada ternak kuda dan ruminansia besar, khususnya ternak sapi dan kerbau. Penyebaran parasit protozoa T. evansi ini sangat luas hampir di seluruh pulau besar di Indonesia dan dapat menyerang berbagai jenis hewan ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi
tergantung
kepada
kepekaan
hewan
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi. Hewan unta, kuda, dan anjing sangat peka terhadap infeksi T.evansi. Penyakit ini terjadi secara cepat, bersifat akut, dan berakibat fatal. Di lain pihak, ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba dan ruminansia lainnya) relatif lebih tahan dari serangan penyakit surra, yang umumnya berlangsung lebih lambat, bersifat kronis, dan bahkan tanpa menunjukkan gejala klinis/sub klinis. Akan tetapi, penyakit tersebut dapat juga bersifat akut dan mewabah pada ternak ruminansia ketika hewan mengalami stress, misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan kritis, dan cuaca yang ekstrem (Soulsby,1982). Secara historis, infeksi T.evansi pertama kali ditemukan oleh Evans pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail Khan, Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta, dan kerbau di
30
beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan wabah penyakit tersebut sangat fatal, maka trypanosomiasis ini sering juga disebut penyakit surra (Soulsby,1982). Selanjutnya pada akhir abad 19, penyakit tersebut dilaporkan telah menyebar ke beberapa negara di antaranya Turkestan, Burma, Malaysia, Philipina, Indonesia (Jawa dan Sumatra), dan di Vietnam mewabah pada tahun 1978 sampai tahun 1980-an. Dari populasi 650.000 ekor kerbau di Vietnam, 20.000 ekor di antaranya mati setiap tahunnya. Di Indonesia, penyakit surra pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya pada tahun 1898, terjadi wabah penyakit surra di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang memakan korban sebanyak 500 ekor kerbau dari 7000 populasi dan dalam tahun 1900-1901 terjadi wabah penyakit surra pada sapi di Keresidenan Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun, penyakit berlangsung secara sporadis dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis. Akan tetapi, pada tahun 1968-1969 letupan wabah penyakit surra terulang lagi di Provinsi Jawa Tengah yang menimbulkan banyak kematian ternak. Pada era yang sama, wabah surra juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1971 terserang sebanyak 516 ekor hewan ternak besar. Sementara itu, dalam tahun 1974-1976, terjadi peningkatan kasus surra di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sukanto, 1992).
31
Surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyebaran penyakit surra lintas kabupaten, kecamatan, dan desa di Sumba adalah akibat kegiatan adat istiadat. Kuda dimanfaatkan masyarakat Sumba sebagai mas kawin utama, selain kerbau, babi, dan kain tenun ikat asli Sumba. Perkawinan antara warga lintas kabupaten, kecamatan, dan desa turut menyebarkan penyakit surra, melalui perpindahan ternak. Tahun 2010, sekitar 500-an ekor ternak kuda dan sapi di Sumba Timur mati akibat surra (Arianto, 2012). Penyakit surra atau lumpuh layu menyerang ternak, terutama kuda di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur muncul pertama kali pada tahun 2010. Akibat serangan kali ini, ratusan ekor ternak besar dilaporkan mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan terancam mati jika tak mendapatkan pengobatan yang cepat (Antara, 2012). Penyebaran penyakit surra ini melalui lalat. Lalat-lalat itu biasanya ada di kuda dan sekitarnya, sementara kuda bagi masyarakat di pedesaan itu adalah alat transportasi ke mana-kemana sehingga penyebarannya sangat cepat. Menurut kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, penanganan terhadap penyakit surra di pulau Sumba membutuhkan usaha yang sangat besar, karena hewan-hewan masyarakat umumnya dilepas di padang penggembalaan, sehingga menyulitkan petugas dalam pengendalian penyakit maupun pengobatan penyakit surra. Hewan-hewan ini tidak bisa dengan mudah mendapat bantuan pengobatan melalui petugas, tetapi harus ada pawang khusus.
32
2.2 Penyebab Penyakit Surra (Trypanosomiasis) Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, kehilangan tenaga kerja, dan kematian ternak. Jenis penyakit parasit darah yang penting di Indonesia adalah trypanosomiasis. Penyakit trypanosomiasis atau surra di Indonesia disebabkan oleh parasit darah Trypanosoma evansi merupakan salah satu penyakit ternak yang penting dan dapat menular dari hewan satu ke hewan lainnya (Adiwinata dan Dachlan,1969). Trypanosomiasis (surra) yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi merupakan salah satu penyakit parasit darah yang penting dan secara sporadik menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Parasit ini telah ditemukan di Indonesia sejak 1808 (Partoutomo, 1996), tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi dan kerbau belum banyak terungkap. Hewan yang dilaporkan banyak terserang adalah kerbau, sapi, kuda, babi, dan anjing. Penyakit ini ditularkan dari hewan satu ke lainnya oleh gigitan lalat penghisap darah yang bertindak sebagai vektor, terutama Tabanus sp. dan lalat Haematopota spp. Penyakit ini bersifat akut pada kuda dan berakibat fatal, apabila tidak segera diobati, sedangkan pada kerbau bersifat kronis dan kurang patogen menurut Sukanto 1994 (dalam Tarmudji, 2003). Penyakit ini ditandai oleh adanya anemia, oedema, dan demam. Hewan yang dapat diserang antara lain sapi, kerbau, kuda, unta, gajah, kambing, domba, anjing, kucing, babi dan hewan liar lainnya. Pada sapi dan kerbau,
33
Trypanosomiasis akut tidak pernah diketemukan baik pada infeksi alam maupun infeksi buatan (Partoutomo et al., 1994). Menurut Partoutomo et al. (1995), gejala kronis trypanosomiasis pada kerbau adalah berupa bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus dan nampak lemah, serta menunjukkan tanda-tanda paresis (kelemahan otot pada lengan dan tungkai). Pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala klinis pada kerbau nampak lebih jelas jika dibandingkan dengan sapi, dan lebih jelas pada hewan muda daripada hewan dewasa. Infeksi kronis juga ditandai oleh kenaikan suhu badan antara hari ke 1-5 pascainfeksi yang selanjutnya suhu badan berfluktuasi pada nilai normal. Faktor pemicu terjadinya Trypanosomiasis antara lain: cara pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, hewan dalam transportasi yaitu pengangkutan ternak yang digunakan untuk adat-istiadat, serta ada atau tidaknya infeksi campuran, stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan sebagainya merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit surra. Infeksi campuran T.evansi dengan kudis atau neoaskaris merupakan salah satu penyebab anak kerbau kerdil (Partoutomo, 1992). Hal ini telah dilaporkan oleh Partoutomo (1988a) bahwa T. evansi pada anak kerbau mengakibatkan penurunan bobot badan, di samping infeksi skabies. Ini menunjukkan adanya immunosupresi dari infeksi Trypanosoma sehingga anak kerbau mudah terkena infeksi scabies (Partoutomo, 1988b). Selanjutnya, faktor yang berpengaruh atas penyebaran dan patogenitas parasit antara lain: adanya jenis hewan karier, umur hewan (anak umumnya memiliki maternal antibodi), serangga yang bertindak sebagai vektor, dan ada tidaknya pengaruh stress. Stress merupakan fenomena
34
yang
sejak
lama
diduga
sebagai
faktor
penyebab
timbulnya
wabah
Tripanosomiasis (Partoutomo, 1996). Faktor penyebab yang dimaksud antara lain pakan, dan penggunaan ternak untuk mengerjakan sawah. Di samping itu, faktor pemicu lain sebagai penyebab terjadinya surra klinis/wabah adalah adanya perbedaan respon imunologik yang terdapat antara ternak yang pernah dan yang belum pernah mendapat infeksi (Losos, 1980). Kasus surra sudah sering dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia dan wabah surra yang terbesar yang menyerang sapi dan kerbau terjadi pada tahun 1968-1969 di Jawa Tengah yang menimbulkan banyak kematian (Adiwinata dan Dachlan 1969 dalam Solihat, 2002). Pada tahun 1988, terjadi lagi wabah di Madura yang mengakibatkan kematian pada sapi, kerbau, dan kuda (Sukanto, 1992). Kuda merupakan hewan yang sangat peka terhadap infeksi T. evansi dengan angka kematian (mortalitas) bisa mencapai 100% (Rodenwald dan Douwes, 1921 dalam Solihat, 2002). Dalam penelitian lain, diketahui bahwa kerbau-kerbau yang terinfeksi mempunyai level parasitaemia yang lebih lama dan tinggi jika dibandingkan dengan sapi (Partoutomo et al., 1995). Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Penyakit surra merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Parasit ini hidup dalam darah induk semang dan memperoleh glukosa sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan sebagainya merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini. Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah seperti
35
Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Charysops dan Hematobia serta jenis arthropoda yang lain seperti kutu. 2.3 Penyakit Surra Pada Kuda Penularan penyakit surra melalui mekanik murni oleh vektor, puncaknya pada siang hari, kongenital lewat induk atau plasma, mukosa kelamin, mukosa usus, dan luka terbuka. Trypanosoma evansi di dalam tubuh lalat hidup bertahan selama kurang lebih 6-12 jam. Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (polimorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe (Subronto, 2006). Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek, penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak, kuda akan segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun, dan mungkin juga terjadi oedema di bawah kulit maupun serosa dan jika tidak ditangani secara cepat maka akan mengakibatkan ternak kuda mati (Subronto, 2006).
36
Jenis Trypanosoma yang dalam siklus hidupnya hanya terdapat satu stadium, contoh T. equiperdum dan T. evansi, disebut monomorf, dan perlipatgandaannya berlangsung dengan pembelahan biner. Trypanosoma yang dalam hidupnya terdapat 2 atau lebih stadium, disebut polimorf, contoh: T. gambiense, T. rhodesiense, T. brucei, dan sebagainya. Dalam tubuh vertebrata, stadium terakhirnya adalah Trypanosoma. Jika bersama darah stadium tadi ditelan oleh serangga, dalam saluran pencernaan parasit itu mengalami perubahan bentuk melalui satu atau lebih stadium, yaitu stadium Leishmania, Leptomonas, atau chritidia. Tiga macam stadium itu tidak infektif bagi vertebrata. Stadium yang infektif adalah Tripanosoma metasiklik. Parasit bentuk infektif ini dikeluarkan bersama tinja serangga, dan penularan terjadi bila tinja yang mengandung tripanosoma metasiklik itu kontak langsung dengan kulit vertebrata inang. Masuknya parasit bentuk infektif ke dalam tubuh inang dipermudah oleh luka karena gigitan serangga atau karena luka goresan atau garukan (Mukayat, 1987). Gejala klinis yang ditimbulkan adalah sebagai berikut (Dharma et al., 1997). 1.
Masa inkubasi bervariasai antara 5-60 hari.
2. Demam berselang-seling dengan suhu rektal 40oC. 3.
Hewan lesu, nafsu makan turun, dan nampak lemah.
4. Selaput lendir mata kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis.
37
5.
Biasanya terjadi oedema pada daerah dada dan perut sampai dekat dengan alat kelamin. Pada kuda jantan sering terjadi oedema pada skrotum.
6. Limfoglandula submaxillaris mengalami pembengkakan. 7. Muncul gejala syaraf, bila Trypanosoma terdapat dalam cairan otak berupa gerakan yang berputar-putar. Melalui Lalat ini, parasit Trypanosoma menyebar dari kuda yang sakit ke kuda yang sehat. Selain lalat Tabanus bovinus, hewan lain pun bisa menjadi perantara, seperti caplak, nyamuk Anopheles, dan pinjal atau kutu. Untuk mencegah penularan, ternak kuda yang telah terinfeksi harus segera diasingkan di kandang yang tertutup sehingga terlindung dari gigitan lalat. Selanjutnya, lakukan penyemprotan terhadap semua peralatan ataupun lingkungan yang banyak dihinggapi lalat. 2.4 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Surra Pengendalian penyakit adalah suatu upaya mengurangi interaksi antara hospes agent (penyebab penyakit) sampai pada tingkat dimana hanya sedikit hewan yang terinfeksi, karena jumlah agen penyakit telah dikurangi atau dimatikan. Salah satu cara untuk melakukan pengendalian terhadap penyakit adalah dengan melakukan upaya pencegahan penyakit diantaranya dengan melakukan vaksinasi. Tujuan vaksinasi adalah memberikan kekebalan (antibodi) pada ternak sehingga dapat melawan antigen atau mikroorganisme penyebab penyakit (Dwicipto, 2013). Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang sistim
38
kebal menghasilkan antibody khusus terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa. ‘Pengebalan hewan” dapat dilakukan melalui vaksinasi, imunisasi (pemberian antisera), peningkatan status gizi dan hal lain yang mampu meningkatkan kekebalan hewan. Pencegahan penyakit dapat dilakukan juga dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan ternak lain yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut. Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Halhal yang harus diperhatikan dalam sanitasi yaitu: 1) ruang dan alat yang akan disanitasi, 2) metode sanitasi yang digunakan. 3) bahan/zat kimia serta aplikasinya, 4) Monitoring program sanitasi, 5) harga bahan yang digunakan, 6) keterampilan pekerja, 7) sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan. Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit : Pencegahan lebih baik daripada mengobati, kuda -kuda baru yang akan dimasukkan ke kandang harus, dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan kandang harus bersih dan kering, pisahkan kuda yang sakit dari kuda yang sehat, lakukan pencegahan stress akibat transportasi karena stress akan menyebabkan kuda mudah, terserang penyakit, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari, pengendalian parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak, lalat dan pinjal).
39
2.5 Penyuluhan
Kata penyuluhan merupakan terjemahan dari kata extension (bahasa Inggris), yang berasal dari kata dasar “to extend”, yang berarti “memperluas”. Margono Slamet (1995) mengemukakan bahwa penyuluhan diartikan sebagai jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (nonformal) dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak yang memerlukan dan menurut Mardikanto (2009) penyuluhan merupakan penyebarluasan informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktek atau kegiatan praktis. Menurut Ibrahim et al. (2003) penyuluhan berasal dari kata “suluh” yang berarti “obor” atau “pelita” atau “yang memberi terang”. Dengan penyuluhan diharapkan
terjadi
peningkatan
pengetahuan,
keterampilan
dan
sikap.
Pengetahuan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan yang sudah tahu menjadi lebih tahu. Keterampilan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari yang tidak mampu menjadi mampu melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat. Sikap dikatakan meningkat, bila terjadi perubahan dari yang tidak mau menjadi mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan. Menurut Kartasapoetra (1994), penyuluhan merupakan suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalah sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya. Penyuluhan adalah suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan
40
untuk membantu masyarakat petani melalui proses pendidikan, memperbaiki tingkat hidup mereka, serta meningkatkan pendidikan dan standar sosial kehidupan pedesaan (Farquar 1961; dikutip oleh Hawkins et al., 1982). Wiriaatmadja (1990) mendefinisikan penyuluhan sebagai pendidikan di luar sekolah untuk keluarga tani di pedesaan, dengan cara belajar sambil berbuat sehingga mereka menjadi mau, tahu, dan mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan, serta memuaskan. Jadi, penyuluhan merupakan bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan tujuannya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan, baik ditinjau dari segi khalayak, waktu, maupun tempat. Kegiatan penyuluhan itu adalah jasa layanan, yang harus dibuat bermutu sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan harapan sasaran. Jasa layanan itu dilakukan melalui proses pendidikan nonformal guna meningkatkan perilaku sasaran, yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, sasaran diharapkan akan meningkat kemampuannya secara dinamis untuk dapat menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya (Suparta, 2005). Departemen Pertanian (2002) dalam Setiawan et al. (2009) penyuluhan pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non-formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.
41
Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga Negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Kata-kata mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya mengandung arti bahwa penyuluhan pertanian harus bertujuan membuat petani sanggup berkorban demi pembangunan nasional. Lebih lanjut, Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan dilakukan bertujuan untuk menambah kesanggupan para petani dalam usahanya memperoleh hasil-hasil yang dapat memenuhi keinginan mereka (Wiraatmadja, 1990). Perubahan perilaku yang diharapkan sebagai hasil penyuluhan adalah: perubahan tingkat pengetahuan yang lebih luas dan mendalam terutama mengenai ilmu-ilmu teknis pertanian dan ilmu pengolahan usahatani, perubahan dalam kecakapan atau keterampilan teknis yang lebih baik dan keterampilan dalam mengelola ushatani yang lebih efisien dan perubahan mengenai sikapnya yang lebih progresif serta motivasi tidakan yang lebih rasional (Mardikanto dan Sutarni, 1982).
42
Lebih lengkap lagi dijelaskan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( SP3K), bahwa pengertian penyuluhan adalah: proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dalam mengakses informasi informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dari urain diatas dapat disimpulkan bahwa penyuluhan merupakan upaya pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal dibidang pertanian, agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. 2.6 Tujuan Penyuluhan Berbicara tentang penyuluhan ibarat menyimak perilaku manusia, yang terdiri atas komponen pengetahuan (P), keterampilan (K) dan sikap (S). Menyoroti tujuan penyuluhan sama artinya dengan membahas proses pengubahan perilaku. Berkenaan dengan itu, menjadi jelaslah bahwa pada dasarnya tujuan penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku manusia, yang terdiri atas ketiga komponen atau kawasan tersebut di atas. Walaupun demikian, penyuluh yang telah berhasil mengubah atau memperbaiki pengetahuan, keterampilan, maupun sikap petani peternak, bukan berarti semuanya telah berakhir.
43
Agar para petani peternak mampu berusahatani atau bisa bertindak secara nyata atas usaha yang ditekuninya, mereka memerlukan dua faktor pendukung penting, yakni pelayanan (service) atau penyediaan sarana produksi, di samping kepastian pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah. Ketiga faktor penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan secara umum itu merupakan pilar utama pembangunan pertanian dan peternakan, secara khusus menjadi penentu keberhasilan usahatani petani peternak setelah berhasilnya petani peternak melewati proses penyuluhan di satu sisi, serta adanya dukungan pelayanan dan pengaturan di sisi lain, barulah mereka itu diharapkan akan mencapai perbaikan peningkatan hasil pertanian (better farming), mencapai keuntungan ekonomi (better business), yang pada akhirnya semuanya ini menciptakan kesejahteraan hidup (better living) bagi petani. Skema kaitan faktorfaktor tadi dapat dilihat pada Gambar 2.1. Tujuan penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku manusia yang terdiri atas komponen pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Untuk dapat mencapai tujuan penyuluhan itu, maka seorang penyuluh harus selalu tetap berpegang pada falsafah dasar dan prinsip-prinsip penyuluhan. Margono Slamet (1995), dan Samsudin (1987) menyatakan bahwa falsafah dasar dari penyuluhan pertanian terdiri atas (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) proses demokrasi, dan (3) proses yang berlangsung kontinyu. Dilain pihak, Dahama dan Bhatnagar, (1980) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip penyuluhan antara lain sebagai berikut : (1) Penyuluhan akan efektif bila mengacu kepada minat dan kebutuhan
44
sasaran. (2) Penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (3) Penyuluhan mendorong terjadinya belajar sambil bekerja. (4) Penyuluhan harus dilakukan oleh orang yang sudah terlatih dan benar-benar menguasai materi yang akan disuluhkan, (5) Metode penyuluhan disesuaikan dengan kondisi secara spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) dan (6) Penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan partisipatif. Pembangunan Pertanian/Peternakan
Pelayanan (Sevice)
Penyuluhan (Extension)
Pengaturan (Regulation)
Perubahan Perilaku 1. Pengetahuan 2. Keterampilan 3. Sikap n Tindakan nyata
Produksi usahatani meningkat
Usahatani menguntungkan
Kesejahteraan hidup masyarakat meningkat
Gambar 2.1 Peranan Penyuluhan, Pelayanan dan Pengaturan dalam Pembangunan Pertanian/ Peternakan Sumber : Suparta et al. (2009)
Penyuluhan juga memiliki peranan yang penting dalam pengembangan perusahaan, yaitu : (1) sebagai pengendali kekondusifan belajar sasaran secara mandiri, (2) sebagai pelatih di tempat kerja untuk meningkatkan keterampilan
45
sasaran, (3) sebagai pendamping dalam memecahkan masalah pertanian, (4) sebagai pembina untuk meningkatkan nilai tambah usaha, dan (5) sebagai motivator untuk menerapkan prinsip koordinasi vertikal dalam tatanan ekonomi kerakyatan (Suparta, 2005). Kegiatan penyuluhan dikatakan berhasil apabila mampu menimbulkan perubahan perilaku pada diri sasaran penyuluhan. Agar pelaksanaan penyuluhan dapat berhasil dengan baik, terlebih dahulu program dan rencana kerja penyuluhan harus disusun dengan baik pula, melalui proses perencanaan atau penyusunan program dan rencana kerja penyuluhan. Menurut Suparta et al. (2009) tahap penyusunan program dan rencana kerja penyuluhan, yaitu: (1) tahap pengumpulan data situasi atau keadaan, (2) tahap analisis data, (3) tahap menetapkan kebutuhan, (4) tahap perumusan masalah, (5) tahap menetapkan tujuan, (6) tahap menetapkan alternatif untuk mencapai tujuan, (7) tahap memilih alternatif yang baik, (8) tahap menetapkan rencana kerja dan kelender kerja, (9) tahap pelaksaan rencana kerja, (10) tahap evaluasi, dan (11) tahap rekonsiderasi. Penyuluhan pada dasarnya berusaha untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) khalayak. Agar para petani peternak bisa berhasil mewujudkan perilaku mereka ke dalam tindakan nyata dalam berusahatani, maka diperlukan dukungan pelayanan (service) dan pengaturan (regulation). Adanya dukungan kedua faktor ini, para petani peternak diharapkan bisa meningkatkan produksi usahatani secara menguntungkan demi kesejahteraan hidup mereka dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (Suparta et al., 2009).
46
2.7 Adopsi Inovasi Menurut Margono Slamet (1978) dalam (Lestari, 2009) proses adopsi inovasi adalah proses yang terjadi sejak pertama sekali seseorang mendengar hal yang baru
sampai
seseorang
tersebut
mengadopsi
(menerima,
menerapkan,
menggunakan hal baru tersebut). Penerimaan atau penolakan suatu inovasi ialah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Untuk mengadopsi suatu inovasi memerlukan jangka waktu tertentu, dari mulai seseorang mengetahui sesuatu yang baru hingga terjadi adopsi. Adopsi inovasi adalah suatu proses mental yang terjadi pada diri individu dari saat mengetahui sesuatu yang baru (inovasi) sampai menerapkan inovasi tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971). Lebih lanjut, Feder et al., (1981) menyatakan, adopsi didefenisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Dalam proses penyuluhan, adopsi pada hakikatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, pada diri seseorang baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), dan keterampilan (psychomotoric) setelah “menerima inovasi” yang disampaikan melalui proses komunikasi (Mardikanto, 2009). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), inovasi merupakan ide, pratek atau obyek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang. Bahkan, pada banyak kenyataan, seseorang biasanya tidak menerima begitu saja ide-ide atau teknologi baru pada saat pertama kali mendengarnya. Akan tetapi, sebelum inovasi diterima dan diterapkan oleh masyarakat secara keseluruhan, terlebih dahulu anggota masyarakat akan mengalami penyesuaian yang kemudian dapat
47
meyakini bahwa inovasi yang diterima dan diterapkan adalah inovasi yang sesuai dengan keinginan penerimanya. Dikatakan pula bahwa suatu inovasi akan diterima dan membawa perubahan sikap pada suatu masyarakat, bila inovasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh
untuk
mempromosikan
inovasinya.
Semakin
rajin
penyuluh
menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas daripada itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Pengertian “baru” disini, mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (kognitif), tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup idiologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakan-gerakan kepada perubahan di dalam segala bentuk kehidupan masyarakat. Mardikanto (2009) mengemukakan pengertian inovasi secara luas yang dapat diartikan sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, digunakan, diterapkan, atau dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-
48
perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, demi selalu terwujudnya perbaikan mutu kehidupan setiap individu dan seluruh warga masyarakat bersangkutan. Di sisi lain, Samsudin (1987) menyatakan bahwa inovasi merupakan sesuatu yang baru yang disampaikan kepada masyarakat, lebih baik dan lebih menguntungkan daripada hal-hal yang sebelumnya. Dalam usaha penyebaran inovasi, peran agen pembaru dan pemuka pendapat sangatlah penting dalam mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain dan bertindak dalam cara tertentu sampai pada tahap pengambilan keputusan, apakah inovasi itu diterima atau ditolak (Rogers dan Shoemaker, 1971). Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, dan gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Ditinjau dari sifat-sifat inovasi, dijelaskan bahwa kecepatan adopsi ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dari inovasi (keuntungan relatif), cocok atau tidaknya inovasi dengan situasi dan kondisi setempat yang ada di masyarakat (kompatibilitas), rumit tidaknya suatu inovasi untuk dipahami dan dimengerti serta digunakan (kompleksitas), dapat tidaknya inovasi tersebut dicoba secara kecil-kecilan (trialabilitas), serta mudah tidaknya hasil inovasi dapat dilihat (observabilitas). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) Secara menyeluruh kecepatan adopsi inovasi dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel-variabel sebagai berikut:
49
(1) Sifat-sifat inovasi, (2) Jenis keputusan inovasi, (3) Saluran komunikasi, (4) Ciri-ciri sistem sosial, dan (5) Kegiatan promosi oleh penyuluh. Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi. a. Skala usahatani. Semakin besar skala usahatani yang dimiliki seseorang biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. b. Tingkat pendapatan. Seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi, biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi. c. Keberanian mengambil risiko. Seseorang yang
memiliki keberanian
mengambil risiko biasanya inovatif. d. Umur. Kecenderungan semakin tua seseorang biasanya semakin lambat dalam mengadopsi inovasi. e. Tingkat partisipasi dalam kelompok dan organisasi di luar lingkungannya sendiri. Seseorang yang suka bergabung dengan orang di luar sistem sosialnya sendiri umumnya lebih inovatif daripada mereka yang hanya melakukan kontak dengan warga masyarakat setempat. f. Aktivitas mencari informasi. Seseorang yang aktif mencari informasi atau ide baru, biasanya lebih inovatif bila dibandingkan dengan mereka yang pasif.
50
g. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Seseorang yang aktif mencari informasi (kelompok inovatif) biasanya banyak memanfaatkan sumber informasi seperti majalah, buku dan lain-lain. Adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan berupa inovasi, sehingga proses adopsi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya perubahan perilaku (Mardikanto, 2009). Menurut Soekartawi (2005) proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Karena proses adopsi inovasi pada sasaran terjadi mulai dari dikomunikasikannya inovasi oleh penyuluh, proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali oleh penyampaian ide baru sampai terjadinya perubahan perilaku sasaran (lihat gambar 2.2)
Kognitif (Pengetahuan) Informatif Psikomotorik (Keterampilan) Inovasi (Pesan)
Adopsi Inovasi (Perubahan Perilaku)
Persuasif dan Menghibur
Afektif (Sikap)
Gambar 2.2. Komunikasi dan Proses Adopsi Inovasi Sumber: Mardikanto (2009)
51
Adopsi berbeda dengan adaptasi yang berarti “penyesuaian”. Dalam proses adopsi, dapat saja terjadi proses adaptasi tetapi sebenarnya proses adaptasi terjadi secara alami yang dilakukan oleh seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. namun, proses adopsi merupakan proses penerimaan “sesuatu yang baru” yang diupayakan dan ditawarkan oleh pihak lain. 2.8 Proses Adopsi Pertemuan para ahli sosiologi di Amerika Serikat tahun 1955 menetapkan proses adopsi inovasi terdiri atas lima tahap seperti diuraikan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) sebagai berikut ini : 1.
Tahap Kesadaran (Awareness stage) Sasaran mengetahui keberadaan inovasi atau ide baru sebagai akibat adanya proses komunikasi, yang berbeda dari apa yang mereka lakukan selama ini tetapi masih kekurangan informasi mengenai inovasi tersebut.
2.
Tahap minat (Interest stage) Sasaran mulai tertarik perhatiannya terhadap inovasi dan timbul minatnya untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang inovasi dengan jalan mencari informasi tambahan mengenai inovasi pada orang-orang di sekitarnya yang dianggapnya lebih mengetahui inovasi tersebut daripada dirinya sendiri.
3.
Tahap penilaian (Evaluation stage) Sasaran mulai menilai inovasi berdasarkan informasi yang dia terima maupun dengan melihat pengalaman orang lain di sekitarnya yang sudah menerapkan inovasi tersebut dikaitkan dengan keadaannya baik dari segi kemampuan fisik
52
maupun kemampuan ekonomi serta kemungkinan risiko yang terjadi seandainya dia menerapkan inovasi tersebut. 4.
Tahap mencoba (Trial stage) Seandainya hasil evaluasi sasaran merasa bahwa inovasi itu cocok bagi dirinya, maka sasaran mulai mencoba inovasi dalam jumlah sedikit. Jika hasil percobaan ini sesuai dengan harapan sasaran, maka sasaran akan mencobanya kembali dalam skala yang lebih besar hingga yakin akan manfaat inovasi tersebut bagi dirinya.
5.
Tahap adopsi atau penerimaan (Adoption stage) Apabila sasaran sudah yakin akan inovasi itu, maka sasaran akan menerapkan inovasi secara berkelanjutan dan dalam skala yang lebih besar atau sepenuhnya. Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh
petani, tetapi sekedar menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan oleh peneliti maupun petani. Peneliti menunjukkan perlunya waktu yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat melakukan adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) ada beberapa kekurangan dari model proses adopsi 5 tahap. Kekurangannya adalah sebagai berikut : 1. Proses adopsi lima tahap menyatakan proses selalu berakhir dengan adopsi tetapi kenyataannya penolakan terhadap inovasi oleh sasaran mungkin saja terjadi sebelum terjadinya adopsi.
53
2. Kelima tahapan ini tidak selalu terjadi menurut urutannya, beberapa tahapan mungkin saja dilalui terutama tahap mencoba. Evaluasi bukan hanya terjadi pada tahap ketiga namun terjadi pada setiap saat. 3. Proses adopsi jarang berakhir dengan adopsi karena masih ada informasi lanjutan yang diperlukan untuk menegaskan keputusannya, atau mungkin saja beralih dari mengadopsi menjadi menolak inovasi. Berdasarkan pandangan mereka terhadap kelemahan model adopsi 5 tahap maka Rogers dan Shoemaker (1971) menetapkan model yang dinyatakan lebih sempurna yang disebut: Proses Putusan Inovasi (Innovation Decision Process) yang terdiri dari 4 fungsi yaitu: 1. Fungsi pengetahuan (Knowledge function) Pada tahap ini individu sasaran mengetahui keberadaan sesuatu hal yang baru dari proses komunikasi yang dilakukan baik melalui sesama anggota masyarakatnya, melalui penyuluh maupun melalui media massa. Individu mengetahui bagaimana fungsi inovasi tersebut. 2. Fungsi persuasif atau bujukan (Persuasion function) Individu mengadakan perenungan dan menilai inovasi dikaitkan dengan keadaannya sendiri dan kemungkinan hasil yang akan diperoleh di masa depan. Individu akan membentuk sikapnya terhadap inovasi. Semua inovasi secara subjektif mengandung berbagai risiko untuk individu, dia mungkin akan mencari
informasi
tambahan
pada
orang-orang
disekitarnya
melalui
komunikasi interpersonal untuk dapat menguatkan sikapnya terhadap inovasi.
54
3. Fungsi putusan (Decision function) Berdasarkan pengetahuan dan sikapnya terhadap inovasi, individu akan mengambil keputusan apakah dia akan menolak, menunda atau mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hal ini mungkin individu akan mencoba inovasi dalam skala yang kecil sebelum dia memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. 4. Fungsi penegasan (Confirmation fuction) Pada tahap ini individu mencari informasi lanjutan untuk menegaskan atau menguatkan putusan yang telah diambil. Apabila informasi lanjutan yang dia terima bertentangan dengan apa yang dia lakukan, kemungkinan dia tidak melanjutkan lagi adopsi inovasi tersebut. Bila informasi yang dia peroleh justru memperkuat apa yang dia lakukan maka dia akan meneruskan mengadopsi inovasi ini. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) model proses putusan inovasi terdiri dari tiga bagian, yaitu: situasi awal, proses dan hasil (dapat dilihat pada gambar 2.3). 1. Situasi awal individu sebelum inovasi dianjurkan, terdiri atas: a. Fungsi individu penerima seperti: (1) karakter pribadi individu seperti sikapnya terhadap perubahan, umur, pendidikan, keberanian mengambil risiko, motivasi berkarya, aspirasi, fatalism, (2) karakter sosial misalnya tingkat kekosmopolitanan, (3) Kebutuhan yang dirasakan mengenai inovasi b. Faktor sistem sosial : (1) norma sistem sosial, misalnya: dogmatism, (2) toleransi terhadap penyimpangan, (3) integrasi komunikasi.
55
2. Terjadi proses dari saat individu menerima inovasi sampai putusan yang diambil untuk menerima atau menolak inovasi. Setelah sasaran mengadopsi inovasi, informasi penegasan dicari lebih lanjut. Bagi sasaran yang telah mengadopsi mungkin akan terus mengadopsi inovasi jika informasi yang diterima menguatkan putusannya, atau tidak akan melanjutkan adopsi bila informasi yang dia terima bertentangan dengan putusannya. Dia mungkin akan mengganti dengan inovasi lain atau dia tidak meneruskan adopsi dengan rasa kekecewaan karena hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapannya. 3. Hasil. Ada tiga kemungkinan yang terjadi dari hasil pengambilan keputusan, yaitu: mengadopsi, menunda, dan menolak inovasi. Bagi mereka yang menolak mungkin terus menolak atau kemungkinan mengadopsi di kemudian hari setelah merasa cocok dengan inovasi setelah mengadakan perenungan ulang dan dengan melihat pengalaman tetangganya. Lamanya waktu yang diperlukan dari saat sasaran mengetahui sesuatu hal yang baru (inovasi) sampai dia membuat suatu putusan disebut dengan istilah “periode keputusan inovasi”, diukur dalam hari, bulan atau tahun (Rogers dan Shoemaker, 1971), sedangkan kecepatan adopsi adalah kecepatan relatif inovasi itu diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial. Umumnya diukur melalui jumlah sasaran yang menerima inovasi pada waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker, 1971).
56
FAKTOR INDIVIDU - Karakteristik pribadi - Karakteristik sosial - Kakrakteristik terhadap inovasi
FAKTOR SISTEM SOSIAL - Norma sosial - Toleransi - Integrasi komunikasi FUNGSI PENGETAHU AN
Persepsi mengenai sifat-sifat inovasi
FUNGSI PERSUASIF II
FUNGSI PUTUSAN III
MENOLAK
ADOPSI
MENUNDA
FUNGSI PENEGASAN IV
Terus Menolak
Mengadopsi Kemudian
ADOPSI TERUS
Gambar 2.3. Model Proses Putusan Inovasi Sumber : Rogers dan Shoemaker (1971)
TIDAK MELANJUTKAN ADOPSI - Mengganti - Kekecewaan
Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan pengklasifikasian kelompok pengadopsi berikut persentasenya ditunjukkan dalam Gambar 2.4. Simpangan baku (standar deviasi) dari rataan dijadikan ukuran atau garis pembatas kelompok inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas lambat dan kelompok lamban. Ciri-ciri yang membedakan setiap kelompok mengadopsi diringkas sebagai berikut ini:
57
1. Kelompok pelopor (Innovator) : (a) lahan usaha tani luas, pendapatan tinggi, (b) status sosial tinggi, (c) aktif di masyarakat, (c) banyak berhubungan dengan orang lain secara formal dan informal, (c) mencari informasi langsung ke lembaga penelitian dan penyuluh pertanian, (d) tidak disebut sebagai sumber informasi oleh petani lainnya. 2. Pengadopsi awal (Early adoeptor) : (a) usia lebih muda, (b) pendidikan lebih tinggi, (c) lebih aktif berpartisipasi di masyarakat, (d) lebih banyak berhubungan dengan penyuluh pertanian, (e) lebih banyak menggunakan surat kabar, majalah, dan bulletin. 3. Mayoritas awal (Early majority) : (a) sedikit di atas rata-rata dalam umur, pendidikan dan pengalaman petani, (b) sedikit lebih tinggi dalam status sosial, (c) lebih banyak menggunakan surat, majalah, dan bulletin, (d) lebih sering menghadiri pertemuan pertanian, (e) lebih awal dan lebih banyak mengadopsi daripada mayoritas lambat. 4. Mayoritas lambat (Late majority): (a) pendidikan kurang, (b) lebih tua, (c) kurang aktif berpartisipasi di masyarakat, (d) kurang berhubungan dengan penyuluhan pertanian, (e) kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah, bulletin. Untuk lebih jelasnya pengklasifikasian kelompok dapat dilihat pada Gambar 2.4. Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1986) menyatakan bahwa
adopsi
inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang
58
telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi masyarakat terhadap inovasi. Menurut
Departemen Pertanian (2001),
kecepatan
proses
adopsi
dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya, dan lingkungan serta sumber informasi. Di lain pihak, Lionberger dan Gwin (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel internal
(personal),
variabel
eksternal
(situasional), dan variabel
kelembagaan (pendukung).
Gambar 2.4. Klasifikasi Adopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971)
2.9 Kecepatan Adopsi Sasaran dalam menerima inovasi umumnya tidak menerima inovasi tersebut dengan seketika, mereka memerlukan waktu untuk mempertimbangkannya. Antara individu yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan waktu. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi sasaran untuk mengadopsi inovasi. Kecepatan adopsi inovasi dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti disajikan pada Gambar 2.5.
59
1. Sifat inovasi a. Keuntungan relatif b. Kompatibilitas c. Kompleksitas d. Trialibilitas e. Observabilitas f. Input komplementer 2. Jenis putusan inovasi a. Opsional b. Kolektif c. Kekuasaan
KECEPATAN ADOPSI INOVASI
3. Saluran komunikasi a. Media massa b. Interpersonal 4. Ciri-ciri sistem sosial a. Modern atau tradisional b. Pola komunikasi 5. Kegiatan promosi agen perubahan
Gambar 2.5. Paradigma faktor-faktor yang menentukan kecepatan adopsi inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971 ; Mardikanto, 2009)
2.10 Peranan Penyuluhan Dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Agar penyuluhan dapat mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi, Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh penyuluh, seperti berikut ini. a.
Mendiagnosa
permasalahan-permasalahan
masyarakat
dan
kebutuhan-
kebutuhan nyata yang belum dirasakan oleh masyarakatnya. b.
Membuat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya dengan menunjukkan kelemahan–kelemahan mereka dan kebutuhan-kebutuhan
60
mereka sehingga sasaran secara sadar akan termotivasi untuk mengadakan perubahan. c.
Menjalin hubungan yang semakin erat dan menunjukkan bahwa dia mampu membantu
sasaran
untuk
memecahkan
masalahnya
dan
memenuhi
kebutuhannya. d.
Mendukung dan membantu masyarakat sasaran agar keinginan-keinginan tersebut dapat menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan.
e.
Mengusahakan untuk memperkokoh perubahan-perubahan yang telah terjadi.
f.
Mengakhiri hubungan dengan masyarakat sasaran sehingga mereka tidak selalu menjadi tergantung dengan penyuluh, tetapi atas swakarsa dan swadaya mampu mengadakan perubahan-perubahan demi kemajuan usaha mereka dan demi kesejahteraan hidup mereka. Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses perubahan perilaku pada diri seseorang baik yang berupa cara berfikir, cara kerja, pengetahuan, dan sikap mentalnya yang lebih terarah dan lebih menguntungkan, baik bagi dirinya beserta keluarga maupun lingkungannya (Kartasapoetra, 1994). Penerimaan inovasi oleh seorang individu mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dalam kehidupan dan usaha taninya (Mardikanto, 2009). Adopsi merupakan tujuan akhir dalam komunikasi, sehingga proses adopsi juga berlangsung bertahap sesuai tahapan komunikasinya.
61
2.11 Perilaku Peternak 2.11.1 Pengertian perilaku Menurut Soekanto (1985), perilaku adalah segala tindakan manusia untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut, Soetarno (1994) menyatakan bahwa segala perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh manusia disebut sebagai perilaku. Azwar (2003) memandang perilaku manusia sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Makmun (1996) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan manusia yang memiliki tujuan tertentu, sedangkan Walgito (2003) berpendapat bahwa perilaku merupakan respon terhadap stimulus, tetapi dalam diri individu itu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambil. Selanjutnya, Arifin et al., (2003) menyimpulkan bahwa perilaku merupakan segala hal yang dilakukan manusia secara langsung maupun tidak langsung sehingga akan mempengaruhi keberadaan di lingkungannya. Dari beberapa pengertian perilaku yang dipaparkan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah segala perbuatan/tindakan manusia yang memiliki tujuan sebagai reaksi dari rangsangan (stimulus) yang datang dari lingkungannya sehingga akan mempengaruhi keberadaan manusia tersebut dan lingkungannya. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis. Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap (Affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psycomotoric), dan tindakan
62
nyata (action). Perilaku seseorang dapat berubah karena adanya rangsangan yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diinginkan atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Suparta et al., 2009). 2.11.2 Perubahan perilaku Tujuan merupakan faktor penentu yang penting pada diri manusia untuk menentukan perilaku yang diambilnya meskipun tanpa adanya perangsang (stimulus) yang datang dari lingkungan (Makmun, 1996). Selanjutnya, dijelaskan dalam pandangan behaviouristik ditekankan bahwa pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengkukuhan dengan mengkondisikan rangsangan dalam lingkungan, sehingga perubahan perilaku memungkinkan untuk terjadi. Selain dipengaruhi oleh keadaan di sekitarnya yang terikat oleh hukum alam, perilaku manusia juga dipengaruhi atau ditentukan oleh kemampuan yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai makluk hidup merupakan makluk yang dinamik dalam pengertian manusia dapat mengalami perubahanperubahan sehingga tingkah laku manusia dapat berubah dari waktu–kewaktu. Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada diri manusia akan berkembang dan mengalami perubahan-perubahan dalam segi fisiologi maupun dalam segi psikologi (Su’adah dan Lendryono, 2003). Perubahan perilaku biasa terjadi secara alamiah, maupun karena ada suatu rekayasa sosial/berencana. Perubahan perilaku secara alamiah akan terjadi karena secara naluriah manusia selalu ingin memperbaiki taraf hidupnya.
Namun,
perubahan perilaku secara alamiah ini akan terjadi secara pelan-pelan/evolusioner
63
maupun revolusioner tergantung dari kebutuhan maupun perangsang yang ada. Perubahan secara ini umumnya akan terjadi secara tidak bersamaan pada anggota masyarakat karena tergantung dari tujuan maupun dari kemampuan masingmasing individu. Sebaliknya pada perubahan perilaku secara berencana bisa diatur oleh agen perubahan, tingkat perubahan yang ingin dicapai dan beberapa orang yang ingin diubah perilakunya. 2.12 Unsur – Unsur Perilaku 2.12.1 Pengetahuan Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan menurut Mardikanto (1993) berasal dari kata “tahu” yang diartikan sebagai pemahaman seseorang tentang sesuatu yang nilainya lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya. Pengertian tahu dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi setiap ragam stimulus yang berbeda, memahami beragam konsep, pikiran bahkan cara pemecahan terhadap masalah tertentu, sehingga pengertian tahu tidak hanya sekedar mengemukakan/mengucapkan apa yang diketahui, tetapi sebaliknya dapat menggunakan pengetahuan dalam praktek dan tindakannya. Selanjutnya Wiriaatmadja 1990 berpendapat bahwa pengetahuan adalah aktivitas atau kegiatan yang melihat penyelesaian sesuatu dengan baik dalam jenis, jumlah dan bentuk atau barang maupun dalam kegiatan informasi dan pengalaman-pengalaman
yang
diperoleh
seseorang
dari
kegiatan
yang
dilakukannya. Pengetahuan seseorang dapat diperoleh setelah melakukan penginderaan melalui panca inderanya. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan akan langsung dirasakan manfaatnya dibandingkan
64
dengan tindakan tanpa didasari pengetahuan. Hal ini sesuai pendapat Ray (1998) yang menyatakan bahwa pengetahuan terjadi pada saat atau unit pengambil keputusan lainnya, kontak dengan inovasi dan mendapatkan suatu fungsi inovasi tersebut. Jadi fungsi pengetahuan pada intinya bersifat kognitif atau sekedar mengetahui. Depdikbud RI (2000) menyebutkan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah hasil belajar baik formal maupun non formal dan terutama hasil interaksi dengan masyarakat. Selajutnya disebutkan bahwa luasnya cakrawala budaya seseorang tidak terlepas dari pengetahuannya dalam hidup bermasyarakat. Akibatnya, pengetahuan seseorang tidaklah berbeda jauh dengan warga lainnya, apabila pengetahuan yang didapatkan semata-mata berasal dari interaksi sosial dengan sesama warga tempat ia hidup. Wahyu (1986) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan produk akhir dari kegiatan berpikir manusia, sedangkan Ahmadi (1991) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan-penerangan yang keliru. Pemindahan pengetahuan merupakan titik berat pada proses belajar mengajar (Suparta et al., 2009). Selanjutnya Winkel (1986) yang dikutip oleh (Suparta et al., 2009) menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman dan nilainilai sikap. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berarti semakin tinggi
65
juga pengetahuannya, sehingga dengan pengetahuan yang tinggi orang lebih tanggap terhadap keadaan sekitarnya (Ahmadi, 1991). Menurut Soekanto (1985), pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil proses panca indera, yang berbeda dengan kepercayaan (beliefs), takhyul (superstitions) dan penerangan yang keliru (misinformation). Selanjutnya disebutkan bahwa pengetahuan berbeda dengan buah pikiran (ideas), karena tidak semua buah pikiran merupakan pengetahuan. Pengetahuan itu bisa diperoleh dari pengalaman-pengalaman, baik dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengetahuan merupakan aspek perilaku, yang terutama berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia. Unsur-unsur perilaku pengetahuan tersebut termasuk dalam golongan aspek perilaku pengetahuan. Sehingga pengetahuan dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat dari suatu yang telah dilakukan atau yang dipelajari (Soedijanto, 1987). Perubahan pada pengetahuan seseorang merupakan manifestasi dari proses belajar (Effendi dan Praja, 1984). Perubahan–perubahan yang terjadi sebagai hasil proses belajar antara lain: 1) Pengetahuan baik jenis maupun jumlahnya, 2) Keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan tujuan, 3) Kecakapan dalam berpikir, dan 4) Sikap. Selajutnya Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan bahwa dalam tahap pengenalan inovasi ada tiga tipe pengetahuan yaitu : kesadaran/pengetahuan mengenai adanya inovasi, pengetahuan teknis dan pengetahuan prinsip. Pada tipe
66
pengetahuan/kesadaran seseorang cenderung membuka diri terhadap ide-ide yang sesuai dengan minat, kebutuhan dan sikap yang ada padanya. Pengetahuan teknis meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara pemakaian atau penggunaan suatu inovasi. Pengetahuan prinsip berkenaan dengan fungsinya suatu inovasi. Pengetahuan petani sangat menunjang kelancaran dalam berkomunikasi dan mengadopsi teknologi baru. Supriyanto, 1978 (dalam Arthanu, 1985) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan petani mempengaruhi ia dalam mengadopsi teknologi baru dan kelanggengannya dalam melaksanakan usahatani. Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil pemahaman seseorang terhadap suatu obyek, yang diperoleh baik secara formal maupun non formal melalui pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, sehingga mereka lebih terbebas dari keterbatasan dan subyektifitasnya. Dengan adanya pemahaman seseorang tentang suatu hal secara obyektif atau seseorang memiliki pengetahuan yang memadai terhadap suatu hal maka diharapkan dapat memberikan peran serta secara lebih optimal dalam kegiatan produksi sehingga dapat meningkatkan produktifitasnya terhadap hal tersebut, guna mewujudkan tujuan bersama. 2.12.2 Keterampilan Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat saraf dan otototot (Neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah, seperti menulis, mengetik, olahraga dan sebagainya (Muhibbin, 1995). Sedangkan Reber (1998) yang dikutip oleh Muhibbin (1995) menyatakan bahwa keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan
67
tersusun rapi secara meluas dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Ahmadi (1991) berpendapat bahwa keterampilan dapat diperoleh melalui pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal misalnya sekolah dan pendidikan non-formal diperoleh dari luar sekolah. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari secara sadar maupun tidak sadar, sepanjang hidupnya, di dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari. Supriatna (2000) menyatakan metode pendidikan luar sekolah atau keterampilan bagi orang dewasa seperti petani peternak dalam rangka memperoleh pengetahuan, pengalaman, sikap, kepercayaan, keahlian dan partisipasi sosial dilakukan dengan menerapkan metode andragogi. Alasannya adalah : pertama, adanya konsep diri orang dewasa lebih mengarah pada self directing, kedua, berorientasi pada pekerjaan praktis dan ketiga dapat menunjang pemecahan masalah hidupnya. 2.12.3 Sikap Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan atau sikap perasaan tertentu, tetapi dibentuk sepanjang pengetahuannya. Peranan sikap dalam kehidupan manusia adalah relatif besar, sebab apabila sudah dibentuk dalam diri manusia, maka sikap manusia itu turut menentukan tingkah lakunya terhadap obyek tersebut. Adanya sikap ini menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap obyeknya. Sebagaimana halnya dengan konsep lainnya, banyak para ahli memberikan definisi sikap dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada prinsipnya
68
ada unsur-unsur yang sama. Tertentu, baik pada diri sendiri maupun luar diri sendiri. Keadaan ini mencakup penilaian positif atau negatif serta kesediaan untuk bereaksi terhadap situasi atau obyek tertentu dengan cara khas, sehingga dapat diramalkan. Disisi lain, sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak dengan cara konsisten terhadap situasi atau obyek tertentu (Depdikbud RI, 2000). Walgito (2003) berpendapat bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek, yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Di lain pihak, Dayakisni dan Hudaniah (2001) menyimpulkan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak, untuk bereaksi terhadap rangsangan, oleh karena itu manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Pada hakekatnya sikap merupakan suatu interaksi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allfort yang dikutip oleh Dayakisni dan Hudaniah (2001) ada tiga yaitu : (1) komponen kognitif, yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut; (2) komponen afektif, yaitu yang berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya; (3) komponen konatif, yaitu kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya. Sikap yang ada pada diri
69
seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis) serta faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, normanorma yang ada dalam masyarakat (Walgito, 2003). Soetarno (1994) menyebutkan bahwa sikap memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri sikap tersebut adalah sebagai berikut : (1) sikap tidak dibawa seseorang sejak ia lahir, melainkan dibentuk sepanjang perkembangannya; (2) sikap dapat berubahubah, oleh karena itu sikap dapat dipelajari; (3) sikap tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan suatu obyek; (4) obyek suatu sikap dapat tunggal atau majemuk; (5) sikap mengandung motivasi dan perasaan. Pengetahuan mengenai suatu obyek tanpa disertai motivasi belum berarti sikap. Sikap merupakan proses sosialisasi, yaitu pembentuk sikap-sikap sosial pada seseorang karena adanya interaksi manusia atau individu (Mar’at, 1984). Seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Pada tahap persuasi, dari proses pengambilan keputusan inovasi seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Sebelum orang mengenal suatu ide baru, iya tidak dapat membentuk sikap tertentu tehadap inovasi tersebut, (Rogers dan Shoemaker, 1971). Sikap ini merupakan masalah penting dalam menentukan corak atau warna dari tingkah laku atau perbuatan seseorang (Walgito, 2003). Sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objekobjek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (Winardi, 2004).
70
Dari definisi tentang sikap diatas, menimbulkan implikasi-implikasi (Azwar, 2003) yaitu : 1) sikap dipelajari, 2) sikap menentukan predisposisi seseorang terhadap aspek-aspek tertentu. 3) sikap memberikan landasan emosional dari hubungan – hubungan antar pribadi seseorang dan identifikasi dengan pihak lain. 4) sikap organisasi dan mereka erat sekali dengan inti kepribadian. Ada dua tingkatan sikap terhadap inovasi yaitu : 1) sikap terhadap inovasi dan 2) sikap terhadap perubahan. Sikap terhadap inovasi adalah merupakan berkenan atau tidaknya seseorang. Percaya atau tidaknya seseorang terhadap inovasi khususnya dan sikap terhadap perubahan adalah umumnya menyangkut respon seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yang dipengaruhi oleh hasil pengamatan dan pengalaman sebelumnya (Rogers dan Shoemaker, 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya. Sebab pengalaman positif dengan pengadopsian suatu inovasi terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap positif pula terhadap inovasi yang akan datang berikutnya. Sebaliknya, pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi yang dianggapnya suatu kegagalan akan merupakan penghalang bagi masuknya inovasi pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, agen pembaharu yang baik haruslah memulai kegiatannya terhadap sasaran tertentu dengan suatu inovasi yang memiliki taraf keuntungan relatif tinggi, sesuai dengan kepercyaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut serta mempunyai
71
pembentukan sikap positif terhadap perubahan dan memperlancar jalan untuk inovasi-inovasi yang akan datang. Sikap merupakan respon evaluatif atau suatu bentuk evaluasi atau suatu kesiapan perasaan yang mendukung terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Menurut Azwar (2003) sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan terjadi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang diungkapkan dalam bentuk baik atau buruk. Positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka. Dilihat dari strukturnya Azwar (2003) juga mengemukakan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu, komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif. Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh subyek pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional dan komponen konatif merupakan kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki subyek. Sanafiah (1982) menyatakan bahwa sikap adalah perasaan seseorang dan apa yang dia yakini. Pengukuran sikap biasanya dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan tertentu, sehingga sebagian pendapat dari orang teresebut dapat diketahui. Dari pendapat ini dapat diperkirakan sikapnya yaitu, apa yang sesungguhnya dia yakini. Selanjutnya Walgito (2003) menyatakan bahwa dengan pengukuran sikap ini orang akan mengetahui perbedaan sikap orang tertentu dengan orang lainnya. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek dan selalu
72
berubah-ubah. Sherif (dalam Garungan, 1981) menyatakan bahwa objek sikap itu dapat berupa suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari halhal tertentu. Jadi sikap itu dapat berkenaan dengan sederetan objek serupa. Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya (Azwar, 2003). Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial individu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan yang saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan serta faktor emosi dalam diri individu. Dari pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap pada hakikatnya merupakan tanggapan atau penilaian seseorang terhadap suatu hal atau suatu obyek tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, yang disertai kecenderungan untuk bertindak. Tindakan atau perilaku seseorang terhadap suatu hal sangat dipengaruhi dari bagaimana tanggapan seseorang terhadap hal tersebut, apakah setuju atau tidak mendukung atau tidak dalam batas skala sikap tertentu.
73
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP
3.1 Kerangka Berpikir dan Konsep Surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa, yaitu Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup dalam darah penderita dan mengisap glukosa yang terkandung dalam darah. Selain itu, ia mengeluarkan sejenis racun yang disebut trypanotoksin yang bisa mengganggu kesehatan ternak kuda yang menderita penyakit ini. Keberadaan penyakit surra menimbulkan masalah yang sangat serius di kalangan masyarakat Sumba di mana akibat serangan penyakit surra ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka dilakukan penyuluhan mengenai pengendalian penyakit surra. Pengendalian penyakit surra dapat dilakukan dengan melakukan
vaksinasi,
pengaturan
manajemen
pemeliharaan
yang
baik,
pengawasan lalulintas ternak, dan melalui tindakan karantina yang cukup ketat sehingga dapat mencegah jalannya penularan suatu penyakit dari tempat yang satu ke tempat yang lain, hewan penderita harus diasingkan sehingga terlindung dari serangga pengisap darah, serta melakukan penyemprotan dengan insektisida untuk memberantas vektor (Dharma et al., 1997). Penyuluhan merupakan suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan untuk membantu masyarakat petani melalui proses pendidikan, memperbaiki tingkat
74
hidup mereka, serta meningkatkan pendidikan dan standar sosial kehidupan pedesaan (Farquar 1961, dikutip oleh Hawkins et al., 1982). Metode penyuluhan yang digunakan di Kabupaten Sumba Timur adalah metode komunikasi langsung, yaitu penyuluh tatap muka secara langsung dengan peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Dengan adanya penyuluhan, diharapkan perilaku peternak mengalami perubahan baik dari segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Menurut Suparta et al. (2009), perubahan perilaku dapat terjadi karena adanya rangsangan yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diinginkan atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Setelah adanya perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap), maka perubahan itu akan berdampak pada peningkatan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Selain penyuluhan agar para petani peternak mampu berusahatani atau bertindak secara nyata atas usaha yang ditekuninya, mereka memerlukan dua faktor pendukung penting, yakni pelayanan (service) atau penyediaan sarana produksi, di samping kepastian pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah. Kedua faktor ini merupakan faktor eksternal yang juga berpengaruh terhadap peningkatan adopsi peternak. Kepala bidang kesehatan hewan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur Bapak Manuel M. Kitu menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di lapangan, pesan atau inovasi yang disampaikan oleh penyuluh tidak diterima dengan baik atau diterapkan oleh peternak. Hanya 25% peternak yang menerapkan inovasi tersebut. Hal ini terjadi karena masyarakat menganggap surra adalah penyakit
75
yang sudah tidak bisa untuk disembuhkan. Selain itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai dengan latarbelakang pendidikan sebagian besar peternak yang masih rendah serta kondisi topografi pemukiman penduduk yang masih berjauhan akan mempengaruhi tingkat adopsi dari peternak. Kecepatan adopsi dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh untuk mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Proses adopsi juga dapat berjalan dengan baik apabila pesan yang disampaikan oleh penyuluh dapat diterima dengan baik oleh para peternak sehingga adanya penyuluhan tersebut dapat membantu masyarakat memperoleh pemahaman
mengenai
mengakibatkan
terjadinya
teknologi
pengendalian
perubahan
perilaku
penyakit peternak
surra, yang
yang
meliputi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Peternak yang semula tidak mengenal gejala-gejala penyakit surra, setelah diberikan penyuluhan, mereka lalu mengetahui beberapa gejala atau ciri-ciri dari penyakit surra, dan ini berarti mereka telah mengalami perubahan pengetahuan. Setelah adanya perubahan pengetahuan maka akan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan keterampilan. Peternak yang awalnya tidak mau melakukan vaksinasi pada ternak kuda setelah upaya yang gigih oleh penyuluh, serta diskusi yang terus-menerus tentang teknologi pengendalian penyakit surra secara bertahap mereka merelakan ternak mereka untuk divaksin. Hal ini berarti mereka telah mengalami perubahan sikap. Peternak yang pada mulanya tidak bisa melakukan vaksinasi sendiri pada ternak kuda, setelah diberikan penyuluhan melalui
76
demonstrasi cara vaksinasi, pada akhirnya mereka mampu melakukannya secara tepat dan benar. Perubahan ini dikenal dengan perubahan keterampilan. Adanya perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak, akan berdampak pada peningkatan adopsi teknologi peternak mengenai pengendalian penyakit surra. Peningkatan adopsi teknologi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu pelayanan (service) dan pengaturan (regulation) yang merupakan faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan dalam peningkatan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Pengaturan (regulation) merupakan kebijakan pemerintah seperti adanya surat ijin dan surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan setempat untuk keluar masuknya ternak antarpulau. Selanjutnya untuk pelayanan, pemerintah melakukan vaksinasi dan pemberian bantuan obatan-obatan dalam rangka pemberantasan penyakit surra. Hal ini dirasakan mampu menekan angka kematian ternak kuda yang disebabkan oleh penyakit surra. Untuk lebih jelasnya dapat dlihat pada Gambar 3.1. Pengaturan (regulation)
Pengetahuan Peternak
Penyuluhan Pengendalian Penyakit surra
Sikap Peternak
Adopsi teknologi pengendalian penyakit surra
Keterampilan Peterrnak Pelayanan (service) Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Ternak kuda sehat
77
3.2 Hipotesis Penelitian Dari hasil pemaparan latar belakang penelitian dan tinjauan pustaka maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 3.2.1
Pengetahuan,
keterampilan,
dan
sikap
peternak
terhadap
adopsi
pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur termasuk kategori rendah. 3.2.2 Adopsi teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur termasuk kategori sedang. 3.2.3 Penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra berhubungan positif dengan perilaku peternak. 3.2.4 Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra.
78
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survai yang bersifat explanatory research design, yaitu menjelaskan dan menguraikan hubungan antara variabelvariabel penelitian, yang menyangkut hubungan antara penyuluhan dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap), dan hubungan antara perubahan perilaku dan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tujuh kecamatan dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori Angu, Katala Hamulingu, Tabundung, Wulla Waijelu dan Kecamatan Ngadu Ngala. Pemilihan lokasi ini ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu suatu metode penentuan daerah penelitian yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu (Hadi, 1988). Dasar pertimbangan yang dipakai dalam memilih lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada tujuh kecamatan ini, hampir semua warganya memelihara kuda sebagai mata pencaharian utama 2. Adanya populasi kuda yang cukup banyak. Data populasi kuda didapatkan dari Dinas Peternakan. Tujuh kecamatan yang akan dijadikan tempat penelitian di Kabupaten Sumba Timur, populasi kuda terbanyak ada di Kecamatan Nggaha Ori Angu 1.539 ekor dan populasi kuda
79
terendah ada di Kecamatan Lewa Tidahu 326 ekor. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Populasi Kuda di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan Lewa Lewa Tidahu Tabundung Katala Hamu Lingu Ngadu Ngala Nggaha Ori Angu Wula Waijelu
Populasi kuda 1.392 326 1.523 1.058 554 1.539 585
Sumber : Dinas Peternakan Kab. Sumba Timur (2012)
3. Lokasi penelitian ini sudah dikenal oleh peneliti dan mudah dicapai dengan sarana transportasi. 4.3 Populasi Populasi penelitian ini adalah semua peternak kuda yang ada di tujuh kecamatan endemis penyakit surra, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori Angu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu Ngala, sebanyak 2574 orang peternak. Hampir seluruh warga yang berada di tujuh kecamatan ini memelihara ternak kuda sebagai mata pencaharian utama dan digunakan dalam adat-istiadat seperti “mas kawin” dalam upacara pernikahan. 4.4 Sampel Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian yang terkena penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus populasi Slovin (Consuelo, 1993). Peternak yang dipakai sebagai responden dalam penelitian ini ditentukan secara proporsional yaitu diambil 10% dari setiap
80
kecamatan yang lebih banyak terjangkit penyakit surra dengan klasifikasi ke dalam tiga kelas berdasarkan jarak dari kota waingapu. 1) kecamatan yang dekat dengan kota waingapu yaitu kecamatan Nggaha Ori Angu dengan jarak 40 km, 2) agak dekat dengan kota Waingapu yaitu kecamatan Katala Hamu Lingu dengan jarak 55 km, kecamatan Lewa 60 km, dan 3) kecamatan yang jauh dari kota Waingapu yaitu kecamatan Lewa Tidahu dengan jarak 97 km, Wula Waijelu dengan jarak 123 km, Tabundung dengan jarak 103 km, dan kecamatan Ngadu Ngala dengan jarak 139 km. Namun, untuk responden penyuluh ditentukan dengan cara mengambil semua penyuluh yang berperan dalam melakukan penyuluhan di kecamatankecamatan yang endemis penyakit surra yang dijadikan lokasi penelitian dan responden pemerintah diambil dari dinas peternakan dan pemerintah setempat yang memberikan pelayanan dan pengaturan dalam pengendalian penyakit surra. Rumus Slovin : n =
N 1 + N α
2
=
2574 1 + 2574 (10%) 2
=
2574 = 96 1 + 2574(0,01)
Keterangan : n = Jumlah Sampel α = Peluang kesalahan (10%) N= Jumlah populasi Penentuan jumlah sampel yang akan diambil pada masing-masing kecamatan sesuai dengan rumus Slovin adalah “ populasi peternak kuda di
81
masing-masing kecamatan” dibagi dengan “total populasi peternak semua kecamatan di tempat penelitian (2574 orang) “,
kemudian dikalikan dengan
jumlah sampel (n= 96) sebagai contoh: Untuk kecamatan yang dekat dengan kota waingapu “Nggaha ori angu =
562 × 96 = 20 orang, dan seterusnya dengan cara 2574
yang sama digunakan untuk kecamatan yang agak dekat dari kota waingapu dan jauh dari kota waingapu dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini. Penentuan sampel dari populasi peternak, peneliti menggunakan cara proporsional random sampling dari daftar nama peternak sebagai populasi. Penentuan responden dimasing-masing kelas lokasi penelitian dilakukan dengan cara penetapan jarak tertentu dari daftar nama peternak. Hal ini dimaksudkan agar pengambilan sampel diambil secara adil dan semua populasi peternak terwakili. Tabel 4.2 Populasi dan Sampel Peternak Lokasi Penelitian Jarak/Kelas 1. Dekat dengan kota Waingapu
Kecamatan a. Nggaha Ori Angu
Populasi Peternak Setiap Kecamatan 562
2. Agak dekat dari kota Waingapu
a. Katala Hamu Lingu
172
b. Lewa
530
3. Jauh dari kota Waingapu TOTAL
a. Lewa Tidahu b. Wula Waijelu c. Tabundung d. Ngadu Ngala
196 199 617 298 2.574
Sampel 20 27
49 96
82
4.5 Pengumpulan Data 4.5.1 Jenis dan sumber data Dilihat dari jenis dan sumber data, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat langsung dari responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui catatan-catatan atau laporan yang ada di Dinas Peternakan atau sumber lain yang dapat dipercaya. Data primer bersumber dari para peternak kuda, penyuluh dan petugas pemerintah sebagai responden penelitian. Data primer ini terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif yang diangkakan melalui teknik scoring. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait, yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, NTT, Badan Pusat Statistik, Kabupaten Sumba Timur, NTT, dan publikasi pendukung lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 4.5.2 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut ini: 1) Wawancara langsung kepada peternak, penyuluh dan petugas pemerintah yang menjadi sampel penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah
dipersiapkan
sebelumnya.
Wawancara
dilakukan
dengan
cara
mendatangi semua responden ke lokasi peternak, penyuluh, dan petugas pemerintah kemudian melakukan wawancara langsung terinci dan terurut sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dan mencatat jawaban/respon dari responden (berpedoman pada Singarimbun dan Effendi, 1995). `
83
2) Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi peternak untuk mengamati kondisi peternak dan usaha peternak secara langsung. Hal ini bertujuan selain untuk mengetahui kondisi dari objek penelitian, juga untuk memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai keadaan para peternak responden. 3) Dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang ada untuk dapat digunakan menurut kehendak peneliti, dilakukan dengan cara mengambil data sekunder seperti jumlah peternak, keadaan umum daerah penelitian, dan dari catatan atau buku yang ada pada instansi Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, NTT; Badan Pusat Statistik, Kabupaten Sumba Timur, NTT. 4.6 Instrumen Penelitian Data primer diperoleh dengan tehnik wawancara mendalam dan diskusi secara langsung yang didukung oleh sejumlah instrument/alat: kuisioner, dan alat dokumentasi seperti kamera foto dan catatan. Kuisioner untuk responden peternak terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan, keterampilan, sikap dan persepsi peternak mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan yang merupakan kebijakan pemerintah. Kuisioner untuk penyuluh berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai “kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh dalam pengendalian penyakit surra”. Sedangkan kuisioner untuk petugas pemerintah berupa pertanyaanpertanyaan mengenai pelayanan dan pengaturan yang merupakan kebijakan pemerintah dalam pengendalian penyakit surra.
84
4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas 4.7.1 Uji validitas Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur sesuai dengan ukuran yang sebenarnya. Daftar pertnyaan di katakan valid jika nilai korelasi product momet lebih besar dari r-Tabel 5% = 0,361 dan 1% = 0,463. Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur adalah validitas konstruk, yaitu penyusunan tolok ukur operasional dari suatu kerangka berpikir.
Upaya yang dilakukan adalah (1). membuat tolok ukur
berdasarkan kerangka berpikir yang diperoleh dari beberapa kajian pustaka, (2). berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan berbagai pihak yang dianggap menguasai materi yang akan diukur, (3). membuat kuisioner penelitian, dan (4). menetapkan lokasi uji. Langkah pengujian sbb: (1) membuat tabulasi skor untuk setiap nomor pertanyaan untuk setiap responden; (2) pengujian validitas menggunakan rumus korelasi “Product Moment” (Singarimbun dan Effendi, 1995) yang rumusnya sebagai berikut:
r=
N (∑ XY ) − (∑ X ∑ Y )
N ∑ X 2 − (∑ X ) N ∑ Y 2 − (∑ Y ) 2
2
Keterangan: r = Koefisien korelasi “Product moment” X = Skor pertanyaan no 1, 2 dst Y = Skor total N = Banyaknya soal
85
4.7.2 Uji reliabilitas Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan dalam mengukur gejala yang sama dalam waktu yang berbeda. Hal ini sama dengan uji validitas dilakukan pada tempat dan responden yang sama. Hasil pengujian reliabilitas alat ukur akan menggunakan teknik belah dua, yaitu mengkorelasikan jawaban belahan pertama dan belahan kedua. Rumus yang digunakan adalah : r- total = 2 (r.tt) 1 + r.tt Keterangan : r-total r.tt
= angka reliabilitas keseluruhan item atau koefisien reliabilitas = angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua
Nilai Reliabilitas Guttman Split-Half adalah 0,756 ≥ r-tabel, hal ini menunjukkan bahwa alat ukur tersebut mempunyai reliabilitas yang tinggi. Langkah pengujian sebagai berikut : (1) membuat tabulasi skor untuk setiap nomor pertanyaan untuk setiap responden; dan (2) pengujian reliabilitas dengan menggunakan rumus korelasi sederhana. 4.8 Pengukuran Variabel dan Batasan Operasional 4.8.1 Pengukuran variabel Untuk dapat mengambil suatu kesimpulan dari data yang diperoleh dalam pengolahan data digunakan metode deskriptif dan analisis statistika.
86
Tabel 4.3 Variabel dan Indikator Variabel yang Diamati dalam Penelitian Skor
Variabel
Indikator Variabel
Parameter
Pelayanan
Pelayanan pemerintah
a. Kegiatan Vaksinasi b. Pemeriksaan Ternak c. Pengobatan ternak sakit a. Rajin b. Konsisten c. Kontinyu d. Bekerja keras e. Bertanggung jawab f. Inovatif g. Kreatif a. Pengenalan penyakit surra b. Penyebab penyakit surra c. Gejala/ciri penyakit d. Cara penularan penyakit e. Pencegahan penyakit surra f. Karantina hewan sakit Cara pengobatan penyakit surra h. Jenis obat yang digunakan untuk penyakit surra i. Penanganan hewan yang mati
Penyuluhan
Penyuluh
Materi penyuluhan
Frekuensi penyuluhan
Interaksi peternak Pengaturan
Pengetahuan
penyuluh
Aturan-aturan Peternakan
Penyakit
d. Frekuensi penyuluh bertemu dengan peternak e. Frekuensi kehadiran peternak dalam kegiatan penyuluhan 1 tahun terakhir
a. Aktitas diskusi kegiatan penyuluhan
Dinas a. Kebijakan b. Peternak mengikuti yang ada c. Penanganan kasus a. b. c. d.
dalam
1,2,3,4,5 1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
1, 2, 3,4,5
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5 aturan
Penyakit surra Penyebab penyakit surra Ciri-ciri penyakit surra Cara penularan penyakit surra
1,2,3,4,5
87
Pencegahan
Pengobatan
Keterampilan
Penyakit Pencegahan
Pengobatan
Sikap
Penyakit
Pencegahan
a. Apa itu pencegahan penyakit surra b. Vaksinasi penyakit surra c. Pemberian pakan yang sehat d. Kandang yang sehat Cara pemeliharaan yang sehat f. Karantina hewan sakit a. Cara pengobatan penyakit surra b. Jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit surra a. Mengidentifikasi penyakit a. Cara melakukan vaksinasi b. Cara yang diterapkan untuk menyembuhkan kuda yang sakit. c. Cara menjaga kandang agar tetap sehat d. Cara pemberian pakan yang sehat e. Cara pemeliharaan agar ternak kuda tetap sehat f. Cara melakukan karantina hewan sakit g. Pemilihan bibit yang sehat a. Cara melakukan pengobatan penyakit surra b. Cara penanganan hewan mati. a. Bahaya penyakit surra b. Cara penanganan penyakit surra a. b. c. d.
Kegiatan vaksinasi Pemberian pakan yang sehat Kandang yang sehat Cara pemeliharaan ternak kuda yang sehat e. Cara karantina hewan yang sakit. f. Pemilihan bibit kuda yang sehat
1,2,3,4,5 1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
88
Pengobatan
Adopsi
Penyakit
Pencegahan
a. Cara pengobatan kuda yang sakit b. Cara penanganan hewan yang mati a. Usaha yang dilakukan peternak dalam menangani kuda yang sakit.
1,2,3,4,5
1,2,3,4,5
a. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui vaksinasi b. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui pemberian pakan yang sehat c. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui pemeliharaan kuda yang sehat.
1,2,3,4,5
d. Usaha peternak dalam mencegah penyebaran penyakit surra melalui karantina hewan yang sakit. Pengobatan
a. Usaha yang dilakukan peternak untuk mengobati penyakit surra b. Obat yang diberikan jika ternak kuda terserang penyakit surra c. Usaha peternak dalam menangani kuda yang mati.
1,2,3,4,5
Data mengenai variabel adopsi teknologi sistem pengendalian penyakit surra, pengetahuan, keterampilan, pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan responden diukur dengan skala jenjang lima (1,2,3,4,5). Skala ini menggunakan lima kategori jawaban dari setiap pertanyaan yang disusun. Setiap jawaban diberi skor secara konsisten atau data kualitatif diubah terlebih dahulu menjadi data kuantitatif dengan pemberian skor dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
89
Di sisi lain, sikap responden mengenai sistem pengendalian penyakit surra diukur dengan menerapkan “Skala Likert”, dengan membentuk lima kategori jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Skor dinyatakan dalam bilangan bulat (1,2,3,4,5). Untuk pertanyaan positif respon sangat setuju diberikan skor 5, sebaliknya sangat tidak setuju diberikan skor 1, sedangkan untuk pertanyaan negatif respon sangat tidak setuju diberi skor 5, sebaliknya sangat setuju diberi skor 1. Hal ini sesuai dengan metode Singarimbun dan Effendi (1995). Perolehan total skor pelayanan, peyuluhan, pengaturan, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan adopsi teknologi peternak terhadap sistem pengendalian penyakit surra disajikan dalam bentuk persen (%) berdasarkan jumlah skor maksimum ideal (Singarimbun dan Effendi, 1995 ) dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : Proporsi skor =
X × 100% SMI
X
=
Perolehan skor
SMI = Skor maksimum ideal
Berdasarkan hasil kuisioner maka didapatkan variabel pelayanan dengan skor tertinggi 60 (100%) dan skor terendah 12 (20%), penyuluhan skor tertinggi 95 (100%) dan skor terendah 19 (20%), pengaturan skor tertinggi 40 (100%) dan skor terendah 8 (20%), pengetahuan dengan skor tertinggi 80 (100 %) dan skor terendah 16 (20%). Variabel keterampilan dengan skor tertinggi 55 (100 %) dan skor terendah 11 (20%). Variabel sikap dengan skor tertinggi 80 (100%) dan skor terendah 16 (20%) , dan Variabel adopsi dengan skor tertinggi 75 (100%) dan skor terendah 15 (20%).
90
Nilai-nilai yang termasuk pada masing-masing kategori dilihat dari persentase pencapaian skornya dengan menggunakan rumus Interval Kelas yang dikemukakan oleh Dajan (1986), dengan rumus sebagai berikut: IK =
Jarak kelas Banyaknya kategori
Keterangan: IK Jarak kelas Banyaknya kategori
= interval kelas = persentase skor maksimal dikurangi dengan skor minimal = jumlah kategori yang ditentukan
persentase
Dengan menggunakan rumus interval kelas tersebut maka dapat diketahui nilai kategori untuk setiap variabel yaitu kategori adopsi peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra, pengetahuan, keterampilan,
sikap,
pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan masing-masing dikelompokkan seperti berikut: Tabel 4.4. Kategori Adopsi, Pengetahuan, Keterampilan, Sikap Pelayanan, Penyuluhan, dan Pengaturan. Persentase Pencapaian >84%-100% >68%-84% >52%-68% >36%-52% 0%-36%
Adopsi Sagat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Pengetahuan Sagat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Keterampilan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Pelayanan Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Penyuluhan Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Pengaturan Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Sumber: Dajan (1986)
Data tentang identitas pribadi responden dianalisis sampai tahap tabulasi.
Sikap Sangat positif Positif Ragu-ragu Negatif Sangat Negtif
91
4.8.2 Definisi operasional penelitian Definisi operasional penelitian adalah penjelasan atau pengertian dari peubah-peubah yang terlibat dalam penelitian dengan maksud untuk membatasi lingkup makna peubah kearah objek pengamatan sehingga dapat dilakukan pengukuran. Definisi operasional dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pelayanan (service) adalah faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan yang merupakan penyediaan sarana dan prasarana seperti vaksin, obat-obatan dalam upaya pengendalian penyakit surra. b. Penyuluhan adalah suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan untuk membantu peternak dalam pengendalian penyakit surra melalui proses pendidikan non formal untuk menekan kematian ternak kuda akibat penyakit surra. c. Pengaturan (regulation) adalah faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan yang merupakan kebijakan dari pemerintah untuk menangani penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT. d. Pengetahuan adalah hasil pemahaman peternak terhadap segala ihwal yang berkaitan dengan pengendalian penyakit surra. e. Keterampilan adalah kemampuan seseorang secara terampil menerapkan pengetahuan kedalam bentuk tindakan secara cepat dan refleks dalam pengendalian penyakit surra.
92
f. Sikap adalah tanggapan atau penilaian seseorang terhadap suatu hal atau suatu obyek tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, yang disertai kecenderungan untuk bertindak dalam menangani penyakit surra. g. Adopsi adalah hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan berupa inovasi pengendalian penyakit surra, atau sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya perubahan perilaku peternak dalam pengendalian penyakit surra. 4.9 Analisis Data Data mengenai identitas responden dianalisis secara deskriptif sampai tahap tabulasi.
Selanjutnya,
hasil
analisis
data
ini
dapat
memaparkan
atau
mendeskripsikan sistem pemeliharaan kuda yang dipelihara. Analisis yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan dan sikap responden, keterkaitan antara keterampilan dengan sikap,
dan hubungan penyuluhan tentang pengendalian
penyakit surra dengan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta keterkaitan
perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) dengan adopsi
responden tentang teknonologi pengendalian penyakit surra, digunakan Analisis Jalur (Path Analysis) dengan menggunakan regresi bertahap. Analisis jalur (path analysis) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hubungan kausal antara dua atau lebih variabel (Sitepu, 1994).
93
Gambar 4.1. Struktur Hubungan Antara Variabel Berdasarkan Diagram Kerangka Pemikiran.
x1 x4 x6
Y
x2 x5 x3 Keterangan : x1 = Variabel pengaturan, x2 = Variabel penyuluhan, x3 = Variabel pelayanan, x4 = Variabel pengetahuan, x5 = Variabel keterampilan, x6= Variabel sikap, Y= Variabel Adopsi, ρixi = koefisien jalur ke-i, є = Variabel residu Persamaan untuk Gambar 4.1. x4 = ρ2x2 + є x5 = ρ2x2 + ρ4x4 + є x6 = ρ2x2 + ρ4x4 + ρ5x5 + є Y = ρ4x4 + ρ5x5 + ρ6x6 + є
BAB V
94
BAB VI GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Letak Geografis dan Letak Astronomis Secara astronomis Kabupaten Sumba Timur terletak antara 119o45-120o52 Bujur Timur/ BT dan 9o16-10o20 Lintang Selatan/LS (Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Sumba Timur, 2012). Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas : Utara berbatasan dengan Selat Sumba, Selatan berbatasan dengan Laut Hindia, Timur berbatasan dengan Laut Sabu, Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah. Luas Wilayah daratan Sumba Timur 700.050 ha yang tersebar pada 1 pulau utama (Pulau Sumba) dan 3 pulau kecil yaitu Prai Salura, Pulau Mengkudu dan Pulau Nuha (belum berpenghuni). Sekitar 40% luas Sumba Timur merupakan daerah yang berbukit-bukit terutama di daerah bagian Selatan, dimana lerenglereng bukit tersebut merupakan lahan yang cukup subur, sementara daerah bagian Utara berupa dataran yang berbatu dan kurang subur.. Kabupaten Sumba Timur terdiri dari 22 kecamatan, yaitu kecamatan Lewa, Nggaha Ori Angu, Lewa Tidahu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Pinu Pahar, Paberiwai, Karera, Matawai La Pawu, Kahunga Eti, Mahu, Ngadu Ngala, Pahunga
Lodu,
Wula
Waijelu,
Rindi,
Umalulu,
Pandawai,
Kambata
Mapambuhang, Kota Waingapu, Kambera, Haharu, Kanatang. dan beberapa kecamatan diantaranya yang dijadikan lokasi penelitian adalah kecamatan Nggaha Ori Angu, Lewa, Katala Hamu Lingu, Lewa Tidahu, Tabundung, Ngadu Ngala,
95
dan Wula Waijelu. Lokasi kecamatan yang di teliti dapat dilihat pada Gambar 5.1. Kecamatan Nggaha Ori Angu, Lewa, Lewa Tidahu, Katala Hamu Lingu dan Tabundung terletak di sebelah Barat dari ibukota Kabupaten Sumba Timur sedangkan Kecamatan Wula Waijelu terletak di sebelah timur dari ibukota Kabupaten Sumba Timur dan Kecamatan Ngadu Ngala terletak di sebelah Selatan dari Ibu Kota Sumba Timur. Jarak Kecamatan Nggaha Ori Angu dari kota Kabupaten yaitu 40 km. Kecamatan Nggaha Ori Angu berbatasan dengan : 1) Sebelah utara dengan Kecamatan Haharu, 2) Sebelah selatan dengan Kecamatan Tabundung, 3) Sebelah Timur dengan Kota Waingapu , 4) Sebelah Barat dengan Kecamatan Lewa. Jarak Kecamatan Lewa dari kota Kabupaten 60 km. Kecamatan Lewa berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Haharu, 2) Sebelah Selatan dengan Katala Hamu Lingu, 3) Sebelah Barat dengan Lewa Tidahu, 4) Sebelah Timur dengan Nggaha Ori Angu. Jarak Kecamatan Katala Hamu Lingu dari kota Kabupaten 55 km. Kecamatan Katala Hamu Lingu 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Lewa, 2) Sebelah Selatan dengan Kecamatan Tabundung, 3) Sebelah Barat dengan Kecamatan Lewa Tidahu, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Tabundung. Jarak Kecamatan Lewa Tidahu dari kota Kabupaten 97 km. penduduk. Kecamatan Lewa Tidahu berbatasan dengan 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Lewa, 2) Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, 3) Sebelah Barat dengan
96
Kabupaten Sumba Tengah, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Katala Hamu Lingu. Jarak Kecamatan Tabundung dari kota Kabupaten 103 km. Kecamatan Tabundung berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Nggah Ori Angu, 2) Sebelah Selatan dengan Kecamatan Pinupahar, 3) Sebelah Barat dengan Kecamatan Kambata Mapambuhang, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Katala Hamu Lingu. Jarak Kecamatan Wulla Waijelu dari kota Kabupaten 123 km. Kecamatan Wulla Waijelu berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Mahu, 2) Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, 3) Sebelah Barat dengan Kecamatan Ngadu Ngala, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Pahungalodu. Jarak Kecamatan Ngadu Ngala dari kota Kabupaten 139 km. Kecamatan Ngadu Ngala berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Paberiwai 2) Sebelah Selatan dengan Samudra Indoenesia, 3) Sebelah Barat dengan Kecamatan Karera, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Mahu dan Wulla Waijelu. 5.2 Iklim dan Curah Hujan Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya Sumba Timur diguyur hujan pada bulan Januari – April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau dengan curah hujan yang sedikit, yang menyebabkan wilayah Sumba Timur tergolong wilayah kering. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret dan April sedangkan kekeringan menurun
97
pada bulan Mei, puncak kekeringan terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Suhu rata-rata minimum 24,1oC dan maksimum 28,6oC. (Sumber: BPS Kabupaten Sumba Timur). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Rata-rata Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan di Kabupaten Sumba Timur, 2011 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Jumlah Hujan (hari) 22 20 18 18 6 1 2 5 9
Curah Hujan (mm) 228,7 316,0 272,1 157,4 9,6 0,3 2,0 39,7 78,4
Sumber: Stasiun Meteorologi Kelas III Mau Hau, Waingapu, 2011
5.3 Penduduk dan Tenaga Kerja 5.3.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2011 yang diproyeksikan sebanyak 234.642 jiwa terdiri dari 120. 779 jiwa penduduk laki-laki dan 113.863 jiwa penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumba Timur selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 rata-rata sebesar 2,11 persen pertahun. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Nggaha Ori Angu merupakan yang tertinggi dibanding dengan pertumbuhan penduduk kecamatan lain di Kabupaten
98
Sumba Timur yaitu sebesar 28,09 persen pertahun diikuti Kecamatan mahu 11,57 persen per tahun, Kecamatan Kambata Mapambuhang 4,18 persen per tahun, dan Kecamatan Kanatang 3,93 persen per tahun. Sedangkan kecamatan yang paling lambat pertumbuhan penduduknya adalah Kecamatan Paberiwai dengan rata-rata pertumbuhan 0,11 persen pertahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. 5.3.2 Persebaran Penduduk Pada Tabel 5.2 disajikan data tentang persebaran penduduk menurut kecamatan pada tahun
2011. Kecamatan Kambera adalah paling padat
penduduknya yaitu sebanyak 609 jiwa per km2 diikuti oleh Kecamatan Kota Waingapu 490 jiwa per km2 dan Kecamatan Lewa sebesar 57 jiwa per km2. Kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Katala Hamu Lingu, dan Kambata Mapambuhang yaitu rata-rata 8 jiwa per km2.
99
Tabel 5.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamulingu Tabundung Pinu Pahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahunga Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu WulA Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang Sumba Timur
Luas (km2) 281,1 286,4 322,1 453,1 514,4 246,6 199,7 334,6 405,4 475,1 196,6 207,9 349,8 221,3 366,5 307,9 412,6 412,7 73,8 52,0 601,5 279,4 7000,5
Persentase (%) 4,02 4,09 4,60 6,47 7,35 3,52 2,85 4,78 5,79 6,79 2,81 2,97 5,00 3,16 5,24 4,40 5,89 5,90 1,05 0,74 8,59 3,99 100,00
Penduduk (orang) 16.053 8.978 6.460 3.755 8.404 6.901 5.786 7.594 5.973 8.298 4.050 4.915 12.218 7.119 9.282 16.549 15.285 3.504 36.170 31.692 5.916 9.740 234.642
Persentase (%) 6,77 3,81 2,95 1,59 3,76 2,94 2,45 3,21 2,54 3,55 1,71 2,10 5,21 3,01 3,96 7,06 6,48 1,50 15,28 13,49 2,52 4,09 100,00
Kepadatan Penduduk (orang/km2) 57 31 20 8 16 28 29 23 15 17 21 24 35 32 25 54 37 8 490 609 10 35 33
Sumber: Hasil Proyeksi BPS
5.3.3 Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur Jumlah penduduk laki-laki Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2011 sebanyak 120.779 jiwa, penduduk perempuan sebanyak 113.863 jiwa. Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) penduduk Kabupaten Sumba Timur adalah 106 yang berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki. Dengan kata
100
lain, jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Sumba timur tahun 2011 lebih besar dibanding penduduk perempuan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.3. Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Sumba Timur tahun 2011 dapat dilihat lebih lengkap pada Tabel 5.4. Tabel 5.3 Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kecamatan
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinu Pahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahunga Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang Sumba Timur Sumber: Hasil Proyeksi BPS
Laki-laki 8.306 4.542 3.225 1.882 4.275 3.557 3.041 3.924 3.063 4.241 2.147 2.576 6.127 3.664 4.752 8.567 7.913 1.831 18.713 16.353 3.027 5.053 120.779
Penduduk Perempuan 7.747 4.436 3.235 1.873 4.129 3.344 2.745 3.670 2.910 4.057 1.903 2.339 6.091 3.455 4.530 7.982 7.372 1.673 17.457 15.339 2.889 4.687 113.863
Jumlah 16.053 8.978 6.460 3.755 8.404 6.901 5.786 7.594 5.973 8.298 4.050 4.915 12.218 7.119 9.282 16.549 15.285 3.504 36.170 31.692 5.916 9.740 234.642
Rasio Jenis Kelamin 107 102 100 100 104 106 111 107 105 105 113 110 101 106 105 107 107 109 107 107 105 108 106
101
5.4 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kab. Sumba Timur, 2011 Penduduk (%) Kelompok Umur <2 2-4 5-9 10-14 15-49 50-64 65+ Jumlah Sumber: Hasil Proyeksi BPS
Laki-laki 4,79 8,28 12,48 12,04 48,51 9,64 4,25 100
Perempuan 4,68 8,05 13,86 11,88 46,66 9,36 5,51 100
Jumlah 4,73 8,17 13,16 11,96 47,60 9,50 4,87 100
Dari tabel 5.4 terlihat bahwa persentase penduduk menurut kelompok umur sebagian besar masyarakat Kabupaten Sumba Timur berada di kelompok umur 15-49 Tahun (47,60%) sedangkan yang berumur 65 tahun ke atas sebanyak (4,87%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Sumba Timur berada pada umur produktif. Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik, psikologis dan biologis seseorang serta berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar, baik dalam mengaktualisasikan hasil belajar dalam pengalaman hidup maupun hakekat serta jenis dari struktur sikap dalam pemprosesan informasi yang dipunyainya.
5.3.4 Tingkat Pendidikan Menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk berusia 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja di Kabupaten Sumba Timur yang tidak tamat SD sebanyak 39. 684 orang (38,173%), Diikuti oleh tamat sekolah dasar 22.832 orang (21,963%) dan pendudukan yang tidak atau belum perna sekolah sebanyak 11. 055 orang (10,634%). Sementara itu terdapat sebanyak 14.732
102
orang (14,171%) penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk kategori pendidikan tinggi, yang merupakan lulusan D I/II 686 orang (0,659%), D III 1.107 orang (1,065%), S1 3.020 orang (2,905%), dan S2/S3 630 orang (0,606). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Sumba Timur, 2011 Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan Tidak / Belum Pernah Sekolah Tidak/ Belum Tamat SD Sekolah Dasar Paket A SMTP 1. Umum 2.Kejuruan Paket B SLTA 1. Umum 2. Kejuruan Paket C D I/D II D III S1 S2/S3 Jumlah
% Laki-Laki 5.344 25.821 12.728 296 6.083 6.026 57 814 6.937 4.518 2.419 630 174 675 1.446 560 61.508
Perempuan 5.711 13. 863 10.104 170 2.218 2.218 0 0 7.795 4.894 2.901 0 512 432 1.574 70 42. 449
Jumlah 11.055 39.684 22.832 466 8.301 8.244 57 814 14.732 9.412 5.320 630 686 1.107 3.020 630 103.957
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012
5.3.5. Angkatan Kerja Tahun 2011, penduduk yang termasuk angkatan kerja sebanyak 103.957 orang (71,034%) terdiri dari yang bekerja sebanyak 101.711 orang (69,499%) dan pengangguran sebanyak 2.246 orang (1,535%). Kemudian, yang bukan termasuk angkatan kerja sebanyak 42.392 orang (28,966%). Berdasarkan lapangan
10,634 38,173 21,963 0,488 7,985 0 0 0,783 14,171 0 0 0,606 0,659 1,065 2,905 0,606 100
103
pekerjaan utama, sebagian besar penduduk bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perkebunan, kehutanan yaitu sebanyak 69.192 orang. Menurut status pekerjaan utama mereka, sebagian besar penduduk berusaha sendiri. Ditinjau dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk Kabupaten Sumba Timur yang berumur 15 tahun ke atas tahun 2011 sebesar 71,03 persen (Tabel 5.5). Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Jenis Lapangan Usaha tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kabupaten Sumba Timur, 2010 -2011 No I
Jenis Kegiatan Utama Angkatan Kerja 1. Bekerja
II
2010
%
2011
%
102. 697
71,569 103 .957
71,034
98. 779
68,838 101. 711
69,499
2. Pengangguran
3. 918
2,730
2.246
1,535
Bukan Angkatan Kerja (sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya)
40.797
28,431
42. 392
28,966
Jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Tingkat Pengangguran
143.494 71,57 3,82
100
146.349 71,03 2,16
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012
100
104
Tabel 5.7 Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
%
42.288
26.904
69.192
68,028
1.701 903 87 1.41
578 3.590 0 0
2.279 4.493 87 1.410
2,241 4,417 0,086 1,386
3.059
3.448
6.507
6,397
2.827
0
2.827
2,779
521
0,512
381
140
7.797 60.453
6.598 41.258
14.395 101.711
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012
5.4 Kondisi Peternakan di Kabupaten Sumba Timur Sektor peternakan di Kabupaten Sumba Timur memiliki sejarah yang panjang dan cukup bervariasi dibandingkan daerah lain di Indonesia, karena keadaan alam wilayah ini yang memiliki musim penghujan pendek dan padang rumput yang luas. Sumba Timur terkenal sebagai pusat penangkaran dan perdagangan kuda sejak abad ke-19. Kuda sandel, yang merupakan hasil perbaikan (grading up) kuda lokal dengan kuda Arab, telah menjadi maskot dan figurnya dimasukkan dalam lambang daerah. Di subsektor peternakan, ternak babi, kambing/domba dan sapi potong merupakan jenis ternak yang paling banyak dipelihara, diikuti ternak kerbau dan kuda. Peternakan di Kabupaten Sumba Timur sangat ditunjang dengan kondisi
14,153 100
105
daerah yang memiliki padang rumput yang luas sehingga peluang bagi pengembangan populasi ternak dapat direspon dengan baik. Pengembangan sub sektor peternakan, diarahkan untuk peningkatan pendapatan petani peternak dalam rangka meningkatkan populasi maupun produksi ternak. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak, 2011 Populasi Ternak (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kecamatan Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamulingu Tabundung Pinu Pahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahunga Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang Sumba Timur
Sapi potong 1.787 2.468 689 882 1.282 1.193 1.197 2.176 1.890 5.951 599 475 5.337 838 5.157 2.463 7.826
Kerbau 1.665 1.968 577 1.280 3.235 1.233 1.926 3.144 3.689 3.456 1.308 1.554 3.848 2.514 1.105 937 624
Kuda 1.392 1.539 326 1.058 1.523 1.128 943 1.504 1.538 3.254 663 554 3.728 585 1.857 714 2.894
Kambing 1.858 1.380 887 915 1.761 3.207 2.012 1.175 3.435 2.942 367 1.147 2.440 740 1.135 8.803 5.624
781 731 2.567 1.938 1.693 49.920
1.055 325 172 290 1.390 37.295
834 1.249 862 1.492 3.026 32.667
1.669 4.761 3.596 3.692 4.389 57.935
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2012
Babi 4.606 3.538 1.339 1.489 4.018 4.473 5.005 2.538 2.857 6.547 1.812 1.230 8.707 4.675 5.219 7. 268 6.172 2.995 6.055 11. 388 3.222 3.953 99.106
106
Waingapu
Gambar 5.1 Peta Kabupaten Sumba Timur, NTT
107
BAB VI HASIL PENELITIAN
6.1 Karakteristik Responden Karakteristik responden terdiri dari umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, rataan luas lahan, dan jumlah pemilikan ternak. Data selengkapnya diuraikan sebagai berikut: 6.1.1 Umur Umur merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan produktivitas peternak dalam menjalankan usahanya. Umur dapat mempengaruhi kemampuan fisik dalam bekerja, cara berpikir, serta kemampuan untuk menerima inovasi baru dalam mengelola usahanya. Berdasarkan hasil penelitian bahwa umur peternak termuda adalah 19 tahun dan tertua adalah 67 tahun. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 38 orang (39,58%) berusia antara 40 sampai 49 tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Umur (Tahun) 19-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Jumlah *Umur 65 = 1 orang Umur 67 = 1 orang (2 orang berusia tidak produktif)
Jumlah (Orang) 9 18 38 26 5* 96
Persentase (%) 9,38 18,75 39,58 27,08 5,21 100
108
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak (97,92%) berada dalam usia kerja produktif. Usia kerja produktif berkisar antara umur 1564 tahun (Prijono, 2001).
Umur mempengaruhi kemampuan fisik dan cara
berpikir serta dapat menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perubahan perilakunya berdasarkan usia yang dimiliki. Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha agar lebih cepat melakukan adopsi inovasi, walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut (Kartasapoetra, 1994). Soekartawi (2005) menyatakan bahwa petani yang lebih tua tampaknya kurang termotivasi menerima hal-hal baru daripada mereka yang relatif berumur muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya lebih bersemangat jika dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Semakin tua (di atas 50 tahun) umur seseorang, biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah diterapkan oleh warga masyarakat setempat (Mardikanto, 2009). 6. 1.2 Pekerjaan Pekerjaan responden dilihat dari prioritas penggunaan waktu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pekerjaan utama/pekerjaan pokok dan pekerjaan sambilan/sampingan. Pekerjaan utama merupakan pekerjaan yang memerlukan waktu lebih banyak (8 jam), sedangkan pekerjaan sampingan adalah pekerjaan yang dilakukan pada waktu senggang (Anonimous, 2008b dalam Griawan, 2010:65). Berdasarkan hasil penelitian, pekerjaan utama yang terbanyak adalah
109
sebagai petani (62,5%) dan pekerjaan sampingan terbanyak (41,7%) dari 96 responden adalah sebagai peternak. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan No 1 2 3 4 5
Jenis Pekerjaan Petani Peternak Buruh Pedagang Pegawai Sipil Jumlah
Pokok (orang) 60 36 0 0 0 96
(%) 62,5 37,5 0 0 0 100
Sampingan (Orang) 20 36 0 0 0 56
6.1.3 Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam memajukan usaha peternakan dan sangat terkait dengan tingkat kemampuan mengadopsi teknologi. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan petani peternak responden di Kabupaten Sumba Timur cukup bervariasi. Sebagian besar (37,5%) peternak di Kabupaten Sumba Timur tidak tamat SD, diikuti oleh tamat SD sebanyak 22 orang (22,9%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.3. Tabel 6.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP/SLTP Tamat SMP/SLTP Tamat SLTA Perguruan tinggi Kursus – dll Jumlah
Jumlah (Orang) 4 36 22 2 19 13 0 0 96
Persentase (%) 4,17 37,5 22,9 2,08 19,81 13,54 0 0 100
(%) 20,8 41,7 0 0 0 62,5
110
Tingginya persentase responden peternak yang tidak tamat SD yaitu sebanyak 37,5% mencerminkan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) peternakan kuda di Kabupaten Sumba Timur masih tergolong rendah. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kualitas mereka akan semakin meningkat dan sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan maka kualitas mereka baik dari segi pengetahuan, keterampilan, sikap dan wawasan, pengembangan daya nalar, dan analisis semakin rendah pula. Keadaan pendidikan sangat menentukan kemampuan dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu (Anonimus, 2008a) dalam Griawan (2010:64).
6.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi jumlah dana yang akan dialokasikan. Jumlah tanggungan keluarga peternak terbesar berada pada kisaran 5-10 orang yaitu sejumlah 51 orang peternak (53,13%). Data selengkapnya di sajikan dalam Tabel 6.4. Menurut
Ilyas (1987), jumlah tanggungan keluarga berkisar antara 3-4
orang tergolong sedang dan lebih dari 5 orang tergolong besar. Sesuai dengan pendapat Ilyas tersebut jumlah tanggungan keluarga sebagian besar peternak di Kabupaten Sumba Timur tergolong besar. Hal ini akan menyebabkan kepala keluarga semakin sulit untuk memuhi kebutuhan keluarga dan sulit menerapkan suatu inovasi yang diterimanya karena tanggungan keluarga yang tergolong besar,
111
sehingga tidak cukup tersedia dana untuk menyediakan sarana produksi yang diperlukan. Tabel 6.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan Keluarga 1- 4 5-10 > 10 Jumlah
Jumlah 37 51 8 96
Persentase (%) 38,54 53,13 8,33 100
Keadaan ini merupakan beban yang akan membebani biaya hidup dan biasanya peternak akan menjual ternak-ternak kudanya untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini didukung oleh pendapat Soekartawi et al. (1986) yang menyatakan bahwa, semakin banyak jumlah anggota keluarga merupakan beban disatu sisi, akan tetapi dari sisi lain merupakan sumber tenaga kerja keluarga. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga turut mempengaruhi keluarga untuk mengadopsi inovasi bahwa petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menyulitkan mereka dalam menerapkan teknologi baru, karena biaya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sangat tinggi, sehingga mereka sulit menerima risiko yang besar jika nantinya inovasi tersebut tidak berhasil. 6.1.5 Rataan Luas Lahan Luas lahan yang dimiliki responden adalah 346,45 ha, terdiri dari sawah (46%), dengan rataan pemilikan 1,662 ha per responden, tegalan 149,115 ha2 (43%) dengan luas pemilikan 1,553 ha per responden dan pekarangan 37,8 (11%) dengan luas pemilikan 0,394 ha. Sebagian besar responden menggarap lahannya sendiri. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.5.
112
Tabel 6.5 Distribusi Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah No 1 2 3
Penggunaan Lahan Sawah Tegalan Pekarangan Jumlah
Jumlah (ha) 159,535 149,115 37,80 346,45
Persentase (%) 46 43 11 100
6.1.6 Jumlah Pemilikan Ternak Jenis ternak yang dipelihara oleh responden adalah kuda, sapi, kerbau dan babi. Ternak yang banyak dipelihara adalah ternak kuda yaitu sebanyak 3.913 ekor (47%) dengan rata-rata pemilikan 40,76 ekor per responden. Jumlah pemilikan sapi 2313 ekor (28%) dengan rata-rata pemilikan 24,09 ekor per responden, kerbau 1498 ekor (18%) dengan rata-rata pemilikan 15,60 ekor per responden, dan sebagian kecil ternak
babi 544 ekor (7%) dengan rata-rata
pemilikan 5,67 ekor per responden. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Distribusi Ternak Berdasarkan Jenis dan Jumlah Ternak yang Dipelihara. No 1 2 3 4 5
Jenis Ternak Kuda Sapi Kerbau Babi Kambing Jumlah
Jumlah 3913 2313 1498 544 0 8268
Persentase (%) 47 28 18 7 0 100
Dari Tabel 6.6 terlihat bahwa, jumlah populasi ternak terbanyak yang di pelihara oleh peternak adalah ternak kuda yaitu 47% dengan rataan pemilikan 40,76 ekor per responden. Makin banyak ternak yang dipelihara maka makin tinggi pula resiko yang dihadapi. Semakin besar jumlah yang ternak yang
113
dipelihara akan memacu peternak untuk lebih giat belajar dalam hal menambah pengetahuan
dan
keterampilan
mereka
agar
dapat
melaksanakan
pemeliharaan/pengandangan ternak yang lebih baik. Hal ini, sesuai dengan pendapat (Margono Slamet, 2003) yang menyatakan bahwa besar kecilnya pemilikan ternak akan mempengaruhi motivasi peternak untuk belajar lebih giat menambah pengetahuan serta membina keterampilan mereka. Komposisi ternak kuda yang didapatkan dari hasil pengamatan ini adalah jumlah anak kuda jantan 529 ekor, anak kuda betina 755 ekor, kuda jantan dewasa 944 ekor dan kuda betina dewasa 1685 ekor dengan rataan pemilikan per responden adalah untuk anak kuda jantan 5,5 ekor, anak kuda betina 7,8 ekor, kuda jantan dewasa 9,8 ekor, dan kuda betina dewasa 17,6 ekor. Sebagian besar responden 57 orang (59,38%) memelihara ternak kuda betina dewasa. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.7. Tabel 6.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Ternak Kuda Kepemilikan Ternak Kuda (ekor) 0 1-10 10-20 >20 Jumlah
Peternak (orang) A*Jantan A*Betina 17 (17,7%) 16 (16,7%) 59 (61,5%) 44 (45,8%) 20 (20,8%) 35 (36,5%) 0 1 (1%) 96 96
Peternak (orang) Jantan D* Betina D* 0 0 51 (53%) 19 (19,79%) 42 (44%) 57 (59,38%) 3 (3%) 20 (20,83%) 96 96
Keterangan: *A : Anak *D : Dewasa
Dari Tabel 6.7 terlihat, tidak semua responden memiliki anak kuda jantan dan anak kuda betina. Dari 96 responden hanya 79 orang peternak yang memelihara anak kuda jantan dan 80 orang peternak yang memilihara anak kuda
114
betina. Jadi ada 17 orang peternak yang tidak memiliki anak kuda jantan dan 16 orang peternak yang tidak memiliki anak kuda betina.
6.2 Perilaku Responden Perilaku responden terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap responden. Data selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut. 6.2.1 Pengetahuan responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra Rataan tingkat pengetahuan responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, dengan rataan pencapaian skor adalah 49,75 (62,19%) (dapat dlihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 66 orang (68,75%) memiliki pengetahuan sedang dan yang memiliki pengetahuan sangat tinggi tidak ada, tetapi yang memiliki pengetahuan dengan kategori tinggi ada 28 orang (29,17%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.8. Tabel 6.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Pengetahuan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Jumlah
Jumlah (orang) 0 28 66 2 0 96
Persentase (%) 0 29,17 68,75 2,08 0 100
Pengetahuan responden yang sedang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu tingkat pendidikan peternak yang rendah, kondisi karakteristik peternak yang sebagian besar adalah petani, serta sedikitnya informasi yang diperoleh oleh
115
peternak, karena akses terhadap sarana dan prasarana dalam memperoleh informasi sangat sulit. Hal ini, diakibatkan oleh kodisi topografi sehingga menyulitkan pelayanan dan penyuluhan dari pemerintah. 6.2.2 Keterampilan responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra Rataan tingkat keterampilan peternak mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam ketegori sedang, dengan rataan pencapaian skor 35,81 (65,11%) dari skor maksimal ideal 55 (dapat dilihat pada lampiran 3). Tingkat keterampilan sebagian besar responden yaitu sebanyak 50 orang (52,08%) memiliki keterampilan sedang dan yang memiliki keterampilan sangat tinggi hanya 1 orang (1,04%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.9. Tabel 6.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Keterampilan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Jumlah
Jumlah (orang) 1 30 50 15 0 96
Persentase (%) 1,04 31,25 52,08 15,63 0 100
Keterampilan Responden yang sedang, selain disebabkan oleh faktor pengetahuan dan pendidikan, juga karena kurang aktifnya peternak dalam mengikuti kegiatan penyuluhan serta belum adanya kegiatan pelatihan-pelatihan seperti demonstrasi cara misalnya cara vaksinasi, cara menangani kuda yang sakit, penanganan kuda yang mati, pemberian pakan yang sehat, kandang yang sehat serta karantina hewan sakit.
116
6.2.3 Sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra Rataan sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%) dari skor maksimal ideal 80 (dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 65 orang (67,71%) memiliki sikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.10. Tabel 6.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Sikap Sangat Positif Positif Ragu-ragu Negatif Sangat Negatif Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
3 65 28 0 0 96
3,12 67,71 29,17 0 0 100
Sikap responden yang positif disebabkan karena peternak menyadari akan bahaya dan risiko dari penyakit surra yang memiliki tingkat kematian 100%. Dengan adanya penyakit surra peternak merasa terganggu baik dari segi ekonomi maupun sosial, yang tadinya bisa menunjukkan sikap solidaritas sosial dalam adat istiadat dengan adanya kasus penyakit surra mengakibatkan peternak tidak bisa lagi menyumbangkan ternak kuda sebagai bentuk solidaritas dalam keluarga dan dalam kehidupan bermasyarakat.
117
6.3 Tingkat Adopsi Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Rataan adopsi responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, dengan rataan pencapaian skor 48,96 (65,29 %) dari skor maksimal ideal 75 (dapat dilihat pada lempiran 3). Sebagian besar responden sebanyak 63 orang (65,62%) memiliki tingkat adopsi sedang dan responden yang memiliki tingkat adopsi sangat buruk 2 orang (2,04%) mengenai teknologi pengendalian penyakit surra . Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.11. Tabel 6.11 Distribusi responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Adopsi Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 3 26 63 2 2 96
Persentase (%) 3,13 27,08 65,63 2,08 2,08 100
6.4 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Peyuluhan, Pengaturan dan Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur, NTT. 6.4.1 Kegiatan Penyuluhan Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. Kegiatan penyuluhan dalam pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori baik, dengan pencapaian skor 76,96 (81,01%) dari skor maksimal ideal 95 (Dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 63 orang (65,63 %) memiliki persepsi mengenai kegiatan penyuluhan baik, dan 31
118
orang (32,29%) memiliki persepsi sangat baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.12. Persepsi responden mengenai kegiatan penyuluhan termasuk sebagian besar berkategori baik dan sangat baik, karena munculnya kesadaran peternak mengenai berbahayanya penyakit surra yang berpotensi memusnahkan ternak kuda, apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan penurunan populasi ternak kuda di Kabupaten Sumba Timur. Tabel 6.12 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan Teknologi Pengendalian Penyakit Surra No 1 2 3 4 5
Kategori Penyuluhan Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah 31 63 2 0 0 96
Tentang
Persentase (%) 32,29 65,63 2,08 0 0 100
6.4.2 Kegiatan Pelayanan dalam Penyuluhan Penyakit Surra Kegiatan pelayanan dalam kegiatan pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori baik, dengan pencapaian skor 47,95 (79,91%) dari skor maksimal ideal 60 (dapat dilihat pada lampiran 3).
Sebagian besar responden yaitu
sebanyak 71 orang (73,95%) memiliki persepsi mengenai kegiatan pelayanan baik, dan 23 orang (23,95%) memiliki persepsi mengenai kegiatan pelayanan sangat baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.13.
119
Tabel 6.13 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Pelayanan Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Pelayanan Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 23 71 2 0 0 96
dalam
Persentase (%) 23,95 73,95 2,08 0 0 100
Kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sumba Timur dalam rangka pengendalian penyakit surra termasuk kategori baik, karena pemerintah sudah berupaya memberikan bantuan pelayanan berupa obat-obatan, vaksinasi dan pelayanan lainnya dalam rangka pengendalian penyakit surra. 6.4.3 Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra. Pengaturan atau kebijakan pemerintah dalam kegiatan pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori baik, dengan rataan pencapaian skor 33,33 (83,33%) dari skor maksimal ideal 40 (dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 43 orang (44,79 %) memiliki persepsi mengenai pengaturan sangat baik, dan 36 orang (37,5 %) memiliki persepsi mengenai pengaturan baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.14. Tabel 6.14 Persepsi Responden Mengenai Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Pengaturan Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 43 36 17 0 0 96
Persentase (%) 44,79 37,50 17,71 0 0 100
120
Dari tabel 6.14 terlihat bahwa, pengaturan yang berupa kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori sangat baik, karena pemerintah sudah berupaya
mengeluarkan
peraturan-peraturan
dalam
rangka
pencegahan
penyebaran penyakit surra, seperti keluarnya ternak baik antarkecamatan, kabupaten, dan antarpulau harus memiliki surat ijin dan surat keterangan sehat. Sehingga, penyakit surra tidak menyebar dan angka kematian ternak kuda dapat ditekan. 6.5 Persepsi Penyuluh, dan Pemerintah Mengenai Kegiatan Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. 6.5.1 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. Rataaan persepsi penyuluh mengenai kegiatan penyuluhan dalam pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori baik dengan pencapaian skor 488,18 (81,36%) dari skor maksimal ideal 110. Sebagian besar penyuluh yaitu sebanyak 5 orang (18,3 %) memiliki persepsi termasuk dalam kategori baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.15. Tabel 6.15 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Penyuluhan Sangat Baik Baik Sedang-sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 1 5 0 0 0 6
Persentase (%) 16,7 18,3 0 0 0 100
121
6.5.2 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. Rataan persepsi pemerintah mengenai kegiatan pelayanan di Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam kategori sangat baik dengan pencapaian skor 850 (85%) dari skor maksimal ideal 60. Sebanyak 5 orang (50%) pemerintah termasuk dalam kategori sangat baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.16. Tabel 6.16 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Pelayanan Sangat Baik Baik Sedang-sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 5 5 0 0 0 10
Persentase (%) 50% 50% 0 0 0 100
Persepsi pemerintah mengenai kegiatan pengaturan dalam pengendalian penyakit surra sebanyak 6 orang (60%) termasuk dalam kategori sangat baik. Dan sebanyak 4 orang (40%) termasuk dalam kategori baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.17. Tabel 6.17 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra. No 1 2 3 4 5
Kategori Pelayanan Sangat Baik Baik Sedang-sedang Buruk Sangat Buruk Jumlah
Jumlah (orang) 6 4 0 0 0 10
Persentase (%) 60% 40% 0 0 0 100
122
6.6 Tingkat Perilaku (pengetahuan, keterampilan, sikap) dan Adopsi Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra yang di Bedakan atas Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh. 6.6.1 Pengetahuan responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh. Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 16 orang (80%) memiliki pengetahuan termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan pengetahuan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 19 orang (70,37%) dan 43 orang (88%) memiliki pengetahuan termasuk dalam kategori sedang. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.18. Tabel 6.18. Kategori Pengetahuan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh
Kategori Pengetahuan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Jumlah
Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh Dekat Agak Dekat Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % 0 0 0 0 16 80 7 25,93 4 20 19 70,37 0 0 1 3,70 0 0 0 0 20 100 27 100
Jauh Jumlah (orang) 0 5 43 1 0 49
6.6.2 Keterampilan responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh. Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 11 orang (55%) memiliki keterampilan termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan keterampilan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 21 orang (77,78%) dan 21 orang (43%) memiliki keterampilan termasuk dalam kategori sedang. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.19.
% 0 10 88 2 0 100
123
Tabel 6.19. Kategori Keterampilan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
Kategori Keterampilan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Jumlah
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun Dekat Agak Dekat Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % 0 0 0 0 11 55 3 11,11 8 40 21 77,78 1 5 3 11.11 0 0 0 0 20 100 27 100
Jauh Jumlah (orang) 1 16 21 11 0 49
% 2 33 43 22 0 100
6.6.3 Sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh. Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 15 orang (75%), yang agak dekat sebanyak 17 orang (63%), dan yang jauh sebanyak 33 orang (67%) memiliki sikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit Surra. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.20. Tabel 6.20. Kategori Sikap Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh
Kategori Sikap Sangat positif Positif Ragu-ragu Negatif Sangat Negatif Jumlah
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun Dekat Agak Dekat Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % 0 0 3 11 15 75 17 63 5 25 7 26 0 0 0 0 0 0 0 0 20 100 27 100
Jauh Jumlah (orang) 0 33 16 0 0 49
% 0 67 33 0 0 100
124
6.6.4 Tingkat adopsi responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh. Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 8 orang (40%), yang agak dekat sebanyak 23 orang (85%), dan yang jauh sebanyak 32 orang (65%) memiliki tingkat adopsi dalam kategori sedang mengenai teknologi pengendalian penyakit surra. Namun, lebih banyak responden (40%) yang bertempat tinggal dekat dari penyuluh memiliki tingkat adopsinya tinggi dibanding dengan yang agak dekat (15%) dan jauh (29%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.21. Tabel 6.21. Kategori Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
Kategori Adopsi
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun Dekat Agak Dekat Jumlah (orang) % Jumlah (orang)
%
Jauh Jumlah (orang)
%
Sangat tinggi
2
10
0
0
1
2
Tinggi
8
40
4
15
14
29
Sedang
8
40
23
85
32
65
Rendah
1
5
0
0
2
4
Sangat Rendah
1
5
0
0
0
0
20
100
27
100
49
Jumlah
6.7 Hasil Uji Mann-Whitney Perbedaan Signifikansi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh Tabel 6.22 Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh. Jarak
Dekat - Agak dekat Dekat –Jauh Agak dekat - Jauh
Nilai Z- Mann-Whitney Pengetahuan Keterampilan -4.333n -3.153n n -5.655 -1.468tn -2.736n -3.099n
Keterangan : n: nyata tn: tidak nyata Z tabel P (0,01) = 2,58 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,65
Sikap -0.691tn -2.805n -2.199n
Adopsi -1,445tn -0.318tn -3.199 n
100
125
Berdasarkan Tabel 6.19 dan 6.20, jelas ditunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan (P<0,05) antara responden yang dekat, agak dekat, dan jauh dari tempat tinggal penyuluh. Rataan persentase skor pengetahuan responden yang dekat secara nyata lebih tinggi (72,31%) bila dibandingkan dengan pengetahuan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh. Tingkat keterampilan responden yang dekat dengan yang agak dekat dari tempat tinggal penyuluh memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan dengan yang jauh berbeda tidak nyata (P>0,05). Tingkat keterampilan yang agak dekat dengan yang jauh dari tempat tinggal penyuluh memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Rataan persentase skor keterampilan responden yang dekat lebih tinggi (68%) dibandingkan dengan agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh. Sikap responden yang tinggal dekat dengan yang agak dekat dari tempat tinggal penyuluh berbeda tidak nyata (P>0,05), sedangkan, dengan jauh berbeda nyata (P<0,05). Sikap responden yang agak dekat dengan yang jauh dari tempat tinggal penyuluh berbeda nyata (P<0,05). Rataan persentase skor sikap yang dekat dari tempat tinggal penyuluh lebih tinggi (75,25%) bila dibandingkan dengan yang agak dekat (73,61%) dan jauh (70,54%) dari tempat tinggal penyuluh. Tingkat adopsi responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan responden yang agak dekat maupun yang jauh dari tempat tinggal penyuluh. Sedangkan, tingkat adopsi responden yang tinggal agak dekat berbeda nyata (P<0,05) dengan responden yang jauh dari tempat tinggal
126
penyuluh. Rataan persentase skor tingkat adopsi yang tinggal dekat dari tempat tinggal penyuluh lebih tinggi (67,07%) dibandingkan dengan yang agak dekat dan jauh. Untuk data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.23. Tabel 6.23. Distribusi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh. Dekat Kategori
Skor 1
2
3
4
Total Skor %
Rataan % skor
Kategori
5
Pengetahuan
2(0,63)
46 (14,38)
99 (30,94)
98 (30,63)
75 (23,44)
320 (100)
72,31
Tinggi
Keterampilan
2 (0,91)
39 (17,73)
82 (37,27)
60 (27,27)
37 (16,82)
220 (100)
68
Sedang
Sikap
19 (5,94)
46 (14,38)
38 (11,88)
106 (33,13)
111 (34,69)
320 (100)
75,25
Positif
67,07
Sedang
Adopsi
5 (1,67)
86 (28,67)
77 (25,67)
62 (20,67)
70 (23,33)
300 (100)
Total Skor %
Rataan % skor
Kategori
Agak Dekat Kategori
Skor
Pengetahuan
1
2
3
4
5
0
142 (32,87)
157 (36,34)
92 (21,30)
41 (9,49)
432 (100)
61,48
Sedang
Keterampilan
8 (2,69)
84 (28,28)
118 (39,73)
57 (19,19)
30 (10,10)
297 (100)
61,14
Sedang
Sikap
6 (1,39)
80 (18.52)
55 (12,73)
190 (43,98)
101 (23,38)
432 (100)
73,61
Positif
0
122 (30,12)
167 (41,23)
67 (16,54)
49 (12,09)
405 (100)
62,12
Sedang
Adopsi
Total Skor %
Rataan % skor
Kategori
57,81
Sedang
Jauh Kategori
Skor 1
2
3
4
5
Pengetahuan
10 (1,28)
276 (35,20)
338 (43,11)
110 (14,03)
50 (6,38)
Keterampilan
20 (3,71)
89 (16,51)
207 (38,40)
155 (28,76)
68 (12,62)
539 (100)
66,01
Sedang
Sikap
6 (0,77)
158 (20,15)
177 (22,58)
303 (38,64)
140 (17,86)
784 (100)
70,54
Positif
Adopsi
9 (1,22)
158 (21,49)
267 (36,32)
190 (25,85)
111 (15,10)
735 (100)
66,42
Sedang
784 (100)
127
6.8 Analisis Jalur Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak, serta Hubungan Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Pnyakit Surra.
6.8. 1 Model struktural menggunakan analisis jalur (path analysis) Pengetahuan Pengaturan
Penyuluhan
Pelayanan Keterampilan Gambar 6.1 Model Struktural menggunakan analisis jalur Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dari model struktural di atas terlihat bahwa penyuluhan berhubungan positif sangat nyata (P<0,01) dengan pengetahuan, dengan nilai koefisien determinasi 0,471.
Namun,
hubungan
penyuluhan
berhubungan tidak nyata (P>0,05).
dengan
keterampilan
dan
sikap
Model pengaruh penyuluhan terhadap
pengetahuan memberikan nilai R2 sebesar 0,222, sedangkan model hubungan penyuluhan terhadap keterampilan dan sikap memberikan nilai R2 sebesar 0,198 dan 0,348. Pengetahuan memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan keterampilan peternak dengan nilai koefisien determinasi 0,462. Model hubungan pengetahuan dan keterampilan memberikan R2 sebesar 0,198.
128
Pengetahuan memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan sikap peternak, dengan nilai koefisien determinasi 0,542. Model hubungan pengetahuan dan sikap memberikan R2 sebesar 0,348. Keterampilan tidak memiliki hubungan yang nyata (P>0,05) dengan sikap peternak, dengan nilai koefisien determinasi
-0,172.
Model
hubungan
keterampilan dan sikap memberikan R2 sebesar 0,348. Berdasarkan model struktural diatas jelas bahwa pengetahuan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra dengan koefisien determinasi sebesar -0,09. Model hubungan pengetahuan dengan tingkat adopsi peternak memberikan R2 sebesar 0.056. Keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, dengan koefisien determinasi 0,1. Sementara itu sikap peternak berhubungan nyata (P<0,10) dengan tingkat adopsi pengendalian penyakit surra, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,253. Untuk data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.24 dan 6.25. 6.8.2 Hasil uji analisis jalur (path analisys). Hubungan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak, dengan tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Tabel 6.24 Struktural Model – Jackknife Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
Path (Jalur)
Entire sample estimate
Mean of subsamples
Jackknife estimate
Standar eror
t-statistik
Standar eror (adjusted)
t-statistik (adjusted)
Pengetahuan – adopsi Keterampilan-adopsi Sikap-adopsi
-0,09 0,1 0,253
-0,0898 0,0995 0,2532
-0,1058 0,1435 0,2302
0,1363 0,1336 0,0964
-0,7764 1,0745 2,3877
0,1928 0,1889 0,1364
-0,549tn 0,7598tn 1,6883n
Keterangan : n: nyata tn: tidak nyata t tabel P (0,01) = 2,57 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,64
129
Berdasarkan Tabel 6.21 diatas menunjukkan bahwa, pengetahuan peternak berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, dengan nilai t-statistik (-0,7764). Keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, dengan nilai t-statistik (1,0745), sementara itu sikap peternak berhubungan
nyata (P<0,10) dengan tingkat adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, dengan nilai t-statistik (2,3877). 6.8.3 Hasil uji analisis jalur (path analisys). Hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak. Kegiatan penyuluhan berhubungan sangat nyata (P<0,01) dengan pengetahuan peternak, dengan nilai t-statitik (5,2488). Sedangkan, hubungan antara penyuluhan dengan keterampilan dan sikap memiliki hubungan tidak nyata (P>0,05) dengan nilai t-statistik (-0,592 dan 1,62). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.25. Tabel 6.25 Struktural model – Jackknife Hubungan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak.
Hubungan Variabel Peyuluhan-pengetahuan Penyuluhan-keterampilan Penyuluhan-sikap
Entire sample estimate 0.471 -0.042 0.172
Mean of subsamples 0.4712 -0.0419 0.1724
Jackknife estimate 0.4492 -0.0549 0.1314
Keterangan : sn: sangat nyata n: nyata tn: tidak nyata t tabel P (0,01) = 2,57 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,64
Standar eror 0.0856 0.0927 0.0811
tstatistik 5.2488 -0.592 1.62
Standar eror (adjusted) 0.121 0.1311 0.1147
t-statistik (adjusted) 3.7115sn -0.4183tn 1.1455tn
130
BAB VII PEMBAHASAN
7.1 Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa rataan pencapaian persentase skor pengetahuan 49,75 (62,19%) dan keterampilan 35,81 (65,11%) (masing-masing termasuk dalam kategori sedang) dari skor maksimal ideal 80 dan 55. Selain itu, sikap peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%) dari skor maksimal ideal 80 Pengetahuan dan keterampilan peternak yang termasuk kategori sedang tentang teknologi pengendalian penyakit surra disebabkan oleh beberapa faktor seperti misalnya latar belakang pendidikan peternak yang rendah. Sebagian besar (37,5%) peternak tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Latar belakang pendidikan akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak. Hal ini, sesuai dengan pendapat Mosher (1987) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang dialami oleh seseorang, maka tingkat pengetahuan dan keterampilan makin tinggi, serta sikapnya lebih terbuka terhadap teknologi baru. Selain faktor pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan peternak yang sedang juga disebabkan karena kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur masih belum berjalan dengan baik. Hal ini, disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana penyuluh dalam melakukan kegiatan penyuluhan, seperti belum
131
adanya alat-alat peraga/media yang mendukung kegiatan penyuluhan, serta belum memadainya kegiatan pelatihan baik dari penyuluh maupun pemerintah, seperti demonstrasi cara, misalnya cara vaksinasi, cara menangani ternak kuda yang sakit, penanganan hewan yang mati, pemberian pakan yang sehat, kandang yang sehat, serta cara karantina hewan sakit. Kegiatan penyuluhan (pelatihan) belum berjalan dengan baik disebabkan juga karena peternak sangat sulit untuk dikumpulkan, yang diakibatkan oleh kondisi pemukiman penduduk yang masih berjauhan antara peternak yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya, penyuluh sulit untuk mengatur waktu yang tepat untuk mengadakan kegiatan penyuluhan dan pelatihan-pelatihan secara langsung. Selain itu, rendahnya informasi yang diperoleh oleh peternak karena akses terhadap sarana dan prasarana dalam memperoleh informasi sangat sulit, yang diakibatkan oleh kondisi topografi sehingga menyulitkan pelayanan seperti penyuluhan dari pemerintah. Faktor kesadaran pribadi peternak yang masih kurang untuk berusaha memperoleh pengetahuan juga mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan peternak yang sedang. Hal ini, terlihat jika ada penyuluhan peternak jarang mengikuti kegiatan penyuluhan. Mahfudz (2012) menyatakan bahwa kesadaran dalam mempengaruhi pengetahuan sangat penting mengingat seseorang bila tidak menyadari untuk memiliki keinginan tumbuh dan maju, orang tersebut akan mengalami keterlambatan dalam hal pengetahuan baik secara wawasan, pemikiran, dan kemajuan dalam bidang lainya.
132
Meskipun memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang tergolong sedang tentang teknologi pengendalian penyakit surra, peternak kuda di Kabupten Sumba Timur tetap memiliki sikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra. Hal ini, disebabkan karena peternak menyadari akan bahaya dan risiko dari penyakit surra yang memiliki tingkat kematian 100%. Sikap peternak yang positif disebabkan juga karena sumberdaya yang mereka miliki khususnya sumberdaya lahan yang luas, dengan rataan pemilikan untuk sawah 1,662 ha per responden dan tegalan dengan rataan pemilikan 1,553 ha per responden. Hal ini, sesuai dengan pendapat Wiriaatmadja (1990) yang menyatakan bahwa petani yang memiliki tanah yang luas memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang diperlukan. Karena itu, mereka berusaha mengubah sikapnya untuk adopsi inovasi karena dengan adanya penyakit surra, peternak merasa terganggu baik dari segi ekonomi maupun sosial. Adanya penyakit surra mengakibatkan peternak tidak bisa lagi menyumbangkan ternak kuda sebagai bentuk solidaritas dalam keluarga dan dalam kehidupan bermasyarakat. Notoatmodjo ( 2003) menyatakan bahwa sikap seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor keluarga, adat istiadat yang berlaku, dan informasi dari media massa yang diterima olehnya. Adanya sikap yang positif dari peternak merupakan suatu modal dari penyuluh untuk meningkatkan motivasi peternak dalam pengendalian penyakit surra.
133
Dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa pengetahuan peternak memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan keterampilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wolf (1983) yang menyatakan pengetahuan yang tidak terbatas menyebabkan keterampilan akan muncul. Petani peternak akan dapat mengerjakan sesuatu dengan terampil bila mereka telah tahu dan meyakini suatu obyek. Pengetahuan peternak yang didukung oleh keterampilan yang baik akan mampu meningkatkan kemauan dan kemampuan dalam menerapkan teknologi yang baru yang lebih menguntungkan, sehingga akan mengerjakannya dengan baik dan sungguh-sungguh (Azwar, 2003). Pengetahuan peternak memiliki hubungan yang nyata (P<0,01) dengan sikap peternak. Hal ini berarti bahwa, pengetahuan petani peternak berperan dalam meningkatkan sikap terhadap pengendalian penyakit surra. Mar’at (1984) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki peranan dalam memunculkan sikap dan persepsi seseorang terhadap suatu objek tertentu yang dipengaruhi oleh faktorfaktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Keterampilan peternak memiliki hubungan tidak nyata (P>0,05) dengan sikap peternak. Hal ini berarti bahwa peternak yang memiliki keterampilan tinggi maupun rendah sama-sama berpeluang untuk bersikap positif maupun negatif. Meskipun peternak memiliki keterampilan yang
sedang, tetapi mereka tetap
bersikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra, yaitu dengan melakukan perkandangan terhadap kuda-kuda yang diumbar, meskipun masih ada peternak lain yang masih melepaskan ternak kudanya di padang penggembalaan.
134
Sikap positif peternak akan menunjang peningkatan penerapan teknologi pengendalian penyakit surra, dalam menekan kematian ternak kuda demi mempertahankan populasi ternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama ditolak. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari penelitian ini lebih bagus dari hipotesis yang ditetapkan. Hal ini disebabkan karena adanya penyuluhan mengenai teknologi pengendalian penyakit surra oleh penyuluh maupun pemerintah, yang didukung oleh pengaturan dan pelayanan. Karena itu, adanya penyuluhan akan mampu mengubah
pengetahuan, keterampilan, dan
sikap peternak. Meskipun memiliki latar pendidikan yang rendah tetapi adanya upaya yang serius dari penyuluh maupun pemerintah mampu membuat peternak mengadopsi meskipun masih tergolong sedang.
7.2 Tingkat Adopsi Peternak Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. Jika dilihat dari tingkat adopsi, rataan pencapaian skor tingkat adopsi peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 65,29 % termasuk dalam kategori sedang, berarti hipotesis 2 penelitian ini diterima. Keadaan ini dapat dimengerti, karena kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur masih belum berjalan dengan baik. Hal ini, dapat terlihat dari tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak yang masih tergolong sedang. Supriyatno (1978) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu inovasi serta sikapnya terhadap inovasi menentukan kesiapan seseorang untuk melaksanakan inovasi. Dengan demikian, pengetahuan maupun keterampilan
135
petani sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi maupun kelanggengan usaha taninya. Tingkat adopsi peternak yang sedang, juga dipengaruhi oleh persepsi peternak tentang ciri-ciri inovasi dan perubahan yang dikehendaki oleh inovasi di dalam pengelolaan pertanian.
Inovasi lambat diadopsi oleh peternak karena
peternak menganggap inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh masih rumit untuk dilakukan, seperti melakukan perkandangan pada kuda yang diumbar. Hal ini, dilatar belakangi oleh faktor sosial budaya, ternak-ternak kuda dilepaskan bebas di padang penggembalaan tanpa adanya manajemen pemeliharaan yang baik. Kemudahan dalam berinteraksi secara cepat dengan penyuluh yang masih rendah juga turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak. Hal ini, karena adanya faktor jarak yang jauh antara tempat tinggal penyuluh dan peternak. Sebagian besar penyuluh bertempat tinggal di pusat kota Waingapu. Akibatnya, intensitas komunikasi antara penyuluh dan peternak masih sulit karena sebagian besar peternak tidak memiliki alat komunikasi seperti handphone yang mempermudah dalam pelaporan ternak sakit. Selain itu, intensitas kegiatan penyuluhan dilakukan 2-3 kali dalam sebulan hal ini juga mempengaruhi peternak dalam mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit surra. Menurut Mardikanto (2003) keberhasilan penyuluhan bukan diukur dari seberapa banyak terjadi “alih teknologi”, melainkan seberapa jauh terjadi proses belajar bersama melalui dialog atau tukar pengalaman antara penyuluh dan yang disuluh.
136
Jumlah tanggungan keluarga yang tergolong besar (5-10) orang (53,12%) dengan status sosial yang rendah turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak dalam inovasi teknologi pengendalian penyakit surra, dimana sebagian besar responden (62,5%) bermata pencaharian sebagai petani dan (37,5%) sebagai peternak. Soekartawi et al. (1986)
menyatakan bahwa semakin banyak jumlah
anggota keluarga merupakan beban di satu sisi, akan tetapi dari sisi lain merupakan sumber tenaga kerja keluarga. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga turut mempengaruhi keluarga untuk mengadopsi inovasi. Petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menyulitkan mereka dalam menerapkan teknologi baru, karena biaya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sangat tinggi. Akibatnya, mereka sulit menerima risiko yang besar jika nantinya inovasi tersebut tidak berhasil. Ketersediaan sarana produksi yang masih kurang dalam pengendalian penyakit surra turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak, dimana kegiatan pelayanan masih sulit dilakukan pemerintah dalam hal vaksinasi dan pengobatan ternak sakit, yang diakibatkan karena pemukiman atau tempat tinggal peternak berjauhan antara peternak yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, dengan kondisi seperti ini perlu adanya perubahan program kegiatan penyuluhan dan pelayanan dalam hal ini, kegiatan vaksinasi dan pengobatan ternak perlu mendapat perhatian secara khusus oleh pemerintah sehingga angka kematian ternak dapat berkurang.
137
7.3 Hubungan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak. Dari hasil analisis statistika, kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur memiliki hubungan yang positif nyata (P<0,01) dengan pengetahuan peternak. Hal ini berarti hipotesis diterima. Bagi peternak penyakit surra merupakan penyakit yang sangat mengancam populasi ternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur. Dengan adanya penyakit surra,
maka peternak menganggap pentingnya pembinaan
melalui penyuluhan yang dilaksanakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur. Kartasapoetra (1994) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalah sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur berhubungan tidak nyata (P>0,05), dengan tingkat keterampilan peternak, berarti hipotesis penelitian ini ditolak. Hal ini berarti, kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur belum mampu meningkatkan keterampilan peternak, karena kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh hanya berupa penyampaian informasi akan bahayanya penyakit surra, tanpa disertai dengan pelatihan yang belum memadai, seperti melakukan vaksinasi dengan sendiri dan manajemen pemeliharaan yang baik. Kegiatan vaksinasi
138
dilakukan sendiri oleh penyuluh, sehingga jika ada ternak yang sakit peternakpeternak kuda ini menunggu penyuluh yang melakukan vaksinasi. Pemahaman peternak yang kurang mengenai penyakit surra jika ada ternak kuda yang mati dibiarkan begitu saja di padang penggembalaan, tanpa mengubur atau membakar ternak kuda tersebut. Hal ini disebabkan, karena sebagian besar ternak kuda dibiarkan bebas dipadang penggembalaan atau di hutan, sehingga jika ada ternak kuda yang mati, peternak tidak mengetahui dan berpeluang dimakan oleh binatang liar. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus, maka akan mengakibatkan penyakit surra terus menyebar dari ternak yang satu ke ternak yang lain. Pranoto
(2003)
pertanian/peternakan
dan
Subejo
dituntut
(2009)
tidak
hanya
menyatakan sekedar
bahwa sebagai
Tjito
penyuluh penyampai
(desiminator) teknologi dan informasi tetapi, lebih ke arah sebagai motivator, dinamisator, pendidik, fasilitator, dan konsultan bagi petani. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur
berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan sikap
peternak, berarti hipotesis penelitian ini ditolak. Hal ini, disebabkan karena ada dan tidak adanya penyuluhan sikap peternak terhadap pengendalian penyakit surra tetap positif, mengingat manfaat dari ternak kuda yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai simbol status sosial dalam adat-istidat masyarakat Sumba Timur. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur nampaknya
139
baru bisa mengubah pengetahuan peternak saja tanpa menyentuh sikap maupun keterampilan peternak. Hal ini disebabkan karna belum efektifnya kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur. Belum efektifnya kegiatan penyuluhan di kabupaten Sumba Timur, disebabkan karena faktor jarak tempuh penyuluh dalam melakukan penyuluhan yang turut mempengaruhi perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak. Hal ini, terbukti dapat dilihat dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa, pengetahuan responden yang tinggal dekat dengan penyuluh lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh dengan rataan persentase skor (72,31%), sedangkan yang agak dekat (61,48%) dan jauh (57,81%). Hal ini, dapat dimengerti karena intensitas penyuluhan lebih sering terjadi antara penyuluh dengan yang disuluh dibandingkan dengan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh. Semakin sering peternak mengikuti penyuluhan, maka pengetahuannya tentang teknologi pengendalian penyakit surra semakin meningkat dan akhirnya dapat mempengaruhi peternak mengadopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Setyarini (2009) menyatakan bahwa intensitas penyuluhan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang. Jika dilihat dari segi keterampilan, keterampilan peternak yang dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh lebih baik dibandingkan dengan responden yang agak dekat dengan rataan persentase skor (68%) dan (66,01%), (lihat Tabel 6.19 dan 6.20). Hal ini, disebabkan karena kegiatan penyuluhan di tempat yang dekat dan jauh lebih intensif dibandingkan dengan yang agak dekat.
140
Penyuluh jika melakukan penyuluhan di tempat yang jauh lebih sering tinggal atau bermalam beberapa hari di kecamatan yang jauh tersebut, sehingga pada malam hari terjadi komunikasi antara penyuluh dan peternak, baik dalam hal tukar pikiran serta pengalaman dalam hal pengobatan-pengobatan ternak sakit. Hal ini, akan berpengaruh terhadap tingkat adospsi teknologi dimana tingkat adopsi peternak yang dekat maupun jauh lebih baik dibandingkan dengan responden yang tinggal agak dekat dari penyuluh. Sedangkan, untuk kecamatan yang agak dekat, penyuluh hanya melakukan penyuluhan tanpa harus tinggal dan nginap di kecamatan yang tersebut, sehingga intensitas komunikasi belum begitu berjalan dengan baik, begitupun dengan pelatihan-pelatihan baik dalam pengobatan ternak sakit maupun dalam vaksinasi. Namun, dari segi sikap peternak yang dekat dan agak dekat lebih positif dibandingkan sikap peternak yang jauh. Hal ini karena kemudahan dalam pelayanan oleh pemerintah serta masyarakat menyadari bahaya dari penyakit surra dan kepatuhan dalam mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibandingkan dengan peternak yang jauh. Keterjangkauan pelayanan seperti obat-obatan yang masih sulit karena faktor topografi yang sulit di jangkau akan mempengaruhi sikap dari peternak itu sendiri, serta kasus pencurian yang masih sering terjadi, sehingga penyebaran penyakit surra semakin menyebar dari ternak yang satu ke ternak yang lain yang mengakibatkan kesulitan pemerintah dalam menanggulangi penyakit surra. Beberapa peternak memberikan alasan bahwa, meskipun diobati jika ternak kuda tersebut sudah terinfeksi surra maka cepat atau lambat ternak kuda tersebut
141
akan mati juga, hal inilah yang mengakibatkan menurunnya semangat peternak dalam menanggulangi penyakit surra. Secara psikologi peternak merasa terbebani baik aspek sosial maupun ekonomi, sehingga ternak kuda sebagai andalan penopang tambahan kehidupan mereka tidak bisa lagi diandalkan karena adanya penyakit surra. Selain faktor jarak, belum efektifnya kegiatan penyuluhan disebabkan juga karena fasilitas atau alat bantu dalam melakukan penyuluhan belum memadai, seperti
slide, film, gambar, radio, spanduk
dan lain-lain. Penyuluh hanya
melakukan ceramah tanpa disertai dengan menggunakan alat bantu yang menunjang kelancaran penyuluhan, berupa materi tertulis maupun gambar. Alat bantu penyuluhan ini sangat penting dalam menunjang perubahan perilaku peternak. Semakin banyak panca indera yang digunakan utnuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang tergolong sedang dan sikap yang positif dari peternak membuktikan bahwa, adanya upaya yang serius dari penyuluh dan dukungan pemerintah untuk menyuluhkan teknologi pengendalian penyakit surra. Hal ini, terbukti dari adanya persepsi peternak, penyuluh, dan pemerintah mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan termasuk dalam kategori baik dan sangat baik. Bantuan pelayanan dan pengaturan berupa obat-obatan, vaksinasi dan kebijakan pemerintah, seperti masuk keluarnya ternak baik antar kecamatan, kabupaten, dan antar pulau harus memiliki surat ijin dan surat keterangan sehat.
142
Sehingga, peternak yang memiliki latar belakang pendidikan rendah mampu mengadopsi meskipun masih tergolong sedang. Hal ini, terbukti dapat dilihat dari kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan sistem pengendalian penyakit surra oleh penyuluh dan pemerintah Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur termasuk kategori baik dan sangat baik. Suparta et al. (2009) menyatakan bahwa penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan secara umum merupakan pilar utama pembangunan pertanian dan peternakan, secara khusus menjadi penentu keberhasilan usahatani petani peternak. 7.4 Hubungan Antara Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) dan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. Dari hasil analisa statistika didapatkan bahwa, pengetahuan peternak berhubungan negatif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra yang berarti semakin tinggi pengetahuan peternak maka semakin rendah tingkat adopsi peternak dan secara statistik tidak nyata (P>0,05) hal ini berarti hipotesis ditolak. Hal ini, bertentangan dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) yang menyatakan tingginya penerapan inovasi pada seseorang didukung pula oleh pengetahuannya. Tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan tingkat adopsi peternak mengenai teknologi pengendalian penyakit surra karena peternak yang memiliki pengetahuan tinggi maupun rendah sama-sama berpeluang dalam mengadopsi teknologi pengendalian penyakit surra, mengingat penyakit surra merupakan penyakit yang berbahaya bagi kelangsungan populasi ternak kuda di Kabupaten Sumba Timur. Selain itu, pemikiran peternak yang menganggap bahwa penyakit
143
surra tidak bisa untuk disembuhkan karena meskipun diobati ternak-ternak kuda ini tetap mati, hal inilah yang mengakibatkan peternak lambat mengadopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan dan belum begitu memadai. Sehingga, peternak baru sekedar mengetahui informasi akan bahaya dari penyakit surra dan gejala-gejala penyakit surra. Efektivitas kegiatan penyuluhan yang belum bagus dikarenakan fasilitas penyuluhan seperti komputer, dan alat-alat peraga lainnya yang digunakan dalam melakukan penyuluhan masih kurang, serta faktor jarak yang jauh antara peternak yang satu dengan peternak lain menyulitkan penyuluh dalam melakukan kegiatan penyuluhan. Hal inilah yang mengakibatkan peternak masih lamban dalam mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit surra. Keterampilan peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, yang berarti semakin tinggi keterampilan peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra maka semakin tinggi peluang untuk mengadopsi teknologi tersebut. Kesimpulan ini secara teoritis dan intuitif konsisten, namun secara statistik tidak nyata (P>0,05), hal ini berarti hipotesis ditolak. Sehingga faktor ini tidak berpengaruh terhadap peluang adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Kebanyakan peternak kuda yang berada di Kabupaten Sumba Timur memiliki keterampilan sedang mengenai teknologi pengendalian penyakit surra. Hal ini, disebabkan karena sumber daya manusia yang mereka miliki khususnya
144
pengetahuan masih tergolong sedang dengan latarbelakang pendidikan yang rendah, serta belum adanya kegiatan pelatihan yang intensif dan pendampingan, sehingga mereka kurang terampil dalam mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit surra. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan peternak maka diperlukan pendidikan terutama pendidikan nonformal misalnya kursus kelompok tani, penyuluhan, studi banding dan pertemuan lapangan akan membuka cakrawala petani/peternak, sehingga menambah keterampilan dan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya. Hal ini sangat diperlukan, mengingat sebagian besar petani/peternak berpendidikan formal rendah (Suratiyah, 2006). Hubungan antara sikap dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra positif dan secara statistik nyata (P<0,05). Semakin positif sikap peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra maka semakin tinggi peluang untuk mengadopsi teknologi tersebut. Dari uraian di depan ternyata penyuluhan berhubungan tidak nyata dengan sikap peternak. Nyatanya sikap peternak positif dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, hal ini berarti adanya tambahan pengetahuan dari penyuluhan, aspek afektif (perasaan was-was akan kerugian yang besar akibat penyakit surra nampaknya membuat sikap peternak menjadi positif). Penyuluhan memicu pengetahuan, tapi faktor emosional peternak sendiri yang membangkitkan sikap positif. Sikap peternak yang positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra disebabkan juga karena ternak kuda sangat erat kaitannya dengan budaya
145
masyarakat Sumba Timur. Pada setiap pesta adat kuda selalu dilibatkan sebagai mahar dan alat transportasi penduduk, selain itu juga kuda sumba memiliki fungsi sebagai kuda beban, hewan sembelihan, kuda pacu dan juga sarana penggembalaan sapi. Pengembangan ternak kuda telah menyatu dengan ritual adat serta kearifan lokal yang ada di Sumba Timur, karena kepemilikan ternak merupakan simbol kesejahteraan dan strata sosial masyarakat sumba. Oleh karena itu, sikap positif peternak kuda terhadap adopsi teknologi pengendalian penyakit surra perlu ditingkatkan, sehingga penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur dapat ditanggulangi dengan baik dan julukan Pulau Sumba sebagai gudang ternak dapat dipertahankan.
146
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pengetahuan dan keterampilan peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, sedangkan sikap peternak kuda termasuk dalam kategori positif. 2. Tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam kategori sedang. 3. Penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra secara positif dapat meningkatkan pengetahuan peternak, tetapi belum pada keterampilan dan sikap. 4. Sikap peternak memiliki hubungan yang nyata, tetapi pengetahuan dan keterampilan berhubungan tidak nyata dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. 5. 8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: A. Untuk pihak pemerintah 1. Untuk meningkatkan tingkat adopsi peternak, diperlukan berbagai upaya termasuk penyuluhan (pelatihan, pendampingan, ceramah dll) agar terjadi
147
peningkatan motivasi dan perilaku (sikap, pola pikir, dan keterampilan) peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra. 2. Perlu adanya kegiatan pencegahan dan penanggulangan melalui kegiatan vaksinasi dan pengobatan secara rutin dalam rangka pengendalian penyakit selanjutnya. 3. Sebaiknya penyuluh tinggal di lokasi endemis penyakit surra, terutama ketika terjadi wabah penyakit sehingga mempermudah dalam proses pelayanan serta intensitas komunikasi antara penyuluh dan peternak perlu ditingkatkan. B. Untuk masyarakat 1. Rajin mengikuti kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh instansi terkait untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak dalam beternak sehingga pengendalian penyakit surra dapat berjalan dengan baik. 2. Memperbaiki pola pemeliharaan secara baik dan benar dengan cara mengandangkan ternak kuda dan memisahkan ternak yang sakit dan sehat. 3. Pelaporan dan penanganan penyakit surra secepatnya serta melakukan pembakaran bangkai dan karkas terinfeksi sehingga penyakit surra tidak menyebar ke ternak lainnya.
148
DAFTAR PUSTAKA Adiwinata.T. dan A. Dachlan. .1969 . A brief note on Surra in Indonesia . Elveka Fol . Vet. 3 : 11. Ahmadi, H. A. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Renika Cipta, Jakarta. Amirullah. 2012. Waspadai dan Cegah Penyakit Surra Pada Kuda, Kerbau, dan Sapi di Pulau Sumbawa. Lombok. Antara. 2011. Penyakit Surra Mulai Menyerang http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantaranasional/12/07/11/m6z2qz-penyakit-sura-mulai-serang-ternak. tanggal 12 November 2012.
Ternak. Diakses
Arianto, Marni. 2012. 481 Ekor Ternak Mati di Sumba. http://www.batukar.info/news/481-ekor-ternak-mati-di-sumba. diakses tanggal 12 November 2012. Arifin, R., Amirulah, dan Fauziah, S. 2003. Perilaku Organisasi. Bayu Media, Malang. Arthanu, I. B. K. 1985. Pengetahuan dan Sikap Petani dalam Pengalihan Pemanfaatan Lahan Pertanian dari Kopi ke Cengkeh. Kasus di Kabupaten Buleleng. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Azwar S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur. 2012. Kabupaten Sumba Timur dalam Angka 2012. Kabupaten Sumba Timur: Badan Pusat Statistik. Consuelo, G, S. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dahama, D.P. and D.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communicatijon for Development. Oxford & IBH Publishing CO. New Delhi. Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jillid II. LP3ES, Jakarta. Dayakisni dan Hudaniah. 2001. Psikologi Sosial. Univeristas Muhammadiyah Malang Press, Malang. Departemen, Pertanian. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Jakarta.
149
Depdikbud RI, 2000. Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan Perilaku Generasi Muda terhadap Upacara Perkawinan Adat di Kota Padang. Cetakan pertama. PD Intisari, Padang. Dharma, D. M., A. A, G. Putra. J. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media Adhikharsa. Denpasar. Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur. 2011. Laporan Tahunan. Dwicipto. 2013. Manajemen Kesehatan dan Kesejahteraan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang. Effendi, D. U. dan Praja, S. 1984. Pengantar Psikologi. Angkasa, Bandung. Feder, G. Richard, Ej. And David, Z, 1981. Adoption of Agricultural innovation in Development Coutries. The Word Bank Washington OC., USA. Gerungan, W.A. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresko Griawan, I D. P. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (BLM-PUAP) Di Kabupaten Klungkung. [tesis]. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. Hadi, S. 1988. Statistik II. Eresco Jakarta, Bandung. Hawkins, H. S., A. M. Dunn, dan J. W. Carry. 1982. A Course Manual in Agricultural and Livestock Extensiom, Volume 2 : The Extension Process. AUIDP. Canberra. Ibrahim, J. T. Ahmad, S dan Harpowo. 2003. Komunikasi Penyuluh Pertanian. Bayumedia Publissing dan Universitas Muhamadiyah Malang Press. Malang. Ilyas, Y. (1987). Kinerja: Teori Penilaian dan Penelitian. Jakarta: FKM UI. IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kartasapoetra, G. A. 1994. Teknologi penyuluhan pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Lestari, E. 2009. Adopsi Inovasi Sebagai Faktor Yang Berperan dalam Perubahan Sosial. AA Power, No 9 Vol.9. Lionberger, H. and Gwin P. H., 1982. Communication Strateges, The Interstate Printer Pub. Inc. Canville.
150
Losos, G.J. 1980. Disease Caused by Trypanosoma evansi, a Review. Vet. Res. Communication, 4: 165. Mahfudz, S. 2012. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Rendah. http://paberasan.blogspot.com/2012/03/faktor-yang-yangmempengaruhi.html. diakses tanggal 13 mei 2013. Makmun, A.S. 1996. Psikologi Pendidikan. PT. Remaja Rosadakarya, Bandung. Mar ‘at. 1984. Sikap Manusia Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia, Jakarta. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian, Acuan untuk Pelajar, Mahasiswa, Dosen, Penyuluh, Pekerja Sosial, Penentu Kebijakan dan Peminat Ilmu/Kegaiatan Penyuluhan Pembangunan. Sebelas Maret Universitas Press, Surakarta. Mardikanto, T. dan Sri Sutarni, 1982. Pengaturan Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Hapsara. Mardikanto, T.2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS. Margono, S. 1995. Sumbang Saran Mengenai Pola, Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Pada PJP II. Didalam : Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian Pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang Tahap Kedua. Proseding Lokakarya ; Bogor, 4-5 juli 1995, Bogor. Margono, S. 2003. Penyuluhan Pertanian. Kumpulan Bahan Bacaan. IPB. Bogor. Mosher AT. 1987. Menggerakan dan membangun pertanian. Yasaguna. Jakarta. Muhibbin, S. 1995. Psikologi Kependidikan dengan Pendekatan Baru. Remaja Rosadakarya, Bandung. Mukayat, D Brotowidjoyo. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT Melton Putra. Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta. Partoutomo, S. 1988a. Epidemiologi Trypanosoma evansi pada Sapi dan Kerbau. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Cisarua, Bogor 8-10 Nopember 1988, 38-41.
151
Partoutomo, S. 1988b. PHA Skin Test pada Kerbau yang Diinfeksi dengan T. evansi. Seminar Nasional V dan Konggres P4I ke iv, Ciawi, Bogor. Partoutomo, S. 1992. Variasi Antigenic Trypanosoma evansi Bakit 102 pada Kerbau,Sapi FH dan Sapi PO. Penyakit Hewan, 24 (44): 125-129. Partoutomo, S., M. Soleh, F. Politedy, A. Day, P. Stevenson, A.J. Wilson, D.B. Copeman dan L. Owen. 1994. The Epidemiology of Trypanosoma evansi and Trypanosoma theileri in Cattle and Buffalo in Small Holder Farms in Java. Penyakit Hewan 26 (48): 41- 46. Partoutomo, S., M. Soleh, F. Politedy, A. Day, A.J. Wilson dan D.B. Copeman.1995. Studi Patogenesis Trypanosoma evansi pada Kerbau, Sapi Friesian Holstein dan Sapi Peranakan Ongole.JITV 1 (1): 41-48. Partoutomo, S. 1996. Trypanosomiasis Caused by Trypanosoma evansi (“Surra”) in Indonesia. Proceeding of A Seminar on Diagnostic Techniques for Trypanosoma evansi in Indonesia. 10 January 1996. Balitvet, Bogor. 1-9. Prijono, TP. 2001. Proyeksi Penduduk Angkatan Kerja, dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. Edisi 23. Majalah Perencanaan Pembangunan Jakarta. Ray, G. L. 1998. Extension Communication and Management. Naya Prokash. Calcutta. Rogers, E. M. dan F.F. Shoemaker. 1971.Communication of Innovations. The Free Pres, New York. Samsudin, S. U. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bina Cipta, Bandung. Sanafiah, 1982. Sikap Seseorang dan Apek-Aspek Yang Mempengaruhi. PT Eresco, Jakarta. Setiawan I, dkk. 2009. Peningkatan Efektivitas Integrasi Dan Koordinasi Peran Antara Penyuluh Pertanian, Pemerintah, Swasta Dan Swadaya Bagi Pemberdayaan Petani Dan Pelaku Agroindustri Skala Kecil Menengah (Suatu Kasus Di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Setyarini, Dewi. 2009. Skripsi Pengaruh Intensitas Penyuluhan terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penghijauan Kota : Studi Kasus Kecamatan Kota Kabupaten Wajo. Universitas Indonesia. Jakarta. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Edisi Kedua LP3ES, Jakarta.
152
Sitepu, N. SK. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung. Soedijanto, 1987. Beberapa Konsepsi Konsep Belajar dan Implikasinya.Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, Ciawi-Bogor. Soekanto, S. 1985. Karl Mamheim Sosiologis Sistematis. Rajawali, Jakarta. Soekartawi A., J.L. Dillo, J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Soekartawi. 2005. Prinsip dasar komunikasi pertanian. UI-Press. Jakarta Soetarno, R. 1994. Psikologi Sosial. Kanisius, Yogyakarta. Solihat, dan Lilis. 2002. Proses Pemeriksaan Sampel Penyakit-Penyakit Parasit Darah Di Laboratorium Parasitologi Balivet. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. Bailliere Tindall. London. Su’adah dan Lendryono, F. 2003. Pengantar Psikologi. Bayu Media, Malang. Subejo. 2009. Revolusi Hijau dan Penyuluhan Pertanian. Tokyo. Indonesian Agricultural Sciences Association http://www.iasa-pusat.org/artikel/revolusihijau-dan-penyuluhan-pertanian. html. (12 April 2013). Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing.Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Sukanto, I.P. 1992. Petunjuk diagnosa parasit darah trypanosoma. babesia dan anaplasma. Proyek Kerjasama Balitvet - ODA (1986 - 1992). Puslithangnak. Badan Lithang Pertanian. 13 – 16. Suparlan, 1986. Perubahan Sosial Dalam Wilayah,A. W. (ed) Manusia Indonesia, Individu, Keluarga, dan Masyarakat, Akademi Pressido. Jakarta. Suparta, N. 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. Bali Media Adhikasa, Denpasar. Suparta, N., K. K. Nuraini., I. B Sutrisna., W. Inggriati., I. G Suartha., I. G. N Made. 2009. Penyuluhan Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. Supriatna, dan Tjahya, S.U. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta, Jakarta.
153
Supriyatno, 1978. Adopsi Teknologi Baru di Kalangan Petani. Agroekonomi, Departemen Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta Tarmudji. 2003. Beberapa Penyakit Hewan. Balai Penelitian Veteriner. Bogor Vol 13 (4) : 164. Tjitropranoto, P.2003. Penyuluh Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan: Dalam Indrasih, KS. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. IPB Press : Bogor Usaha Pertanian Kedelai di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6 (1): 50-63. Van Den Ban, A.W dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Wahyu, 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional, Surabaya. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Andi Offset, Yogyakarta. Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Prenada Media, Jakarta. Winkel, W.S. 1986. Psikologi Pengajaran.Cet Kedua. PT. Gramedia, Jakarta. Wiriaatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. PT Yasaguna, Jakarta. Wolf, E. R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Anthropologis. Rajawali Press, Jakarta.
154
Lampiran 1 : Daftar Nama Peternak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Daftar Nama Peternak Yohanes Tenguwali Petrus Nggoa Madja Bakar Ngunju ndima Matius Laya Nggiku Stepanus Mada Andamai Nggaba Ndapa Tamu Gerson Karuta Lara Lanja Keba Ndiata Marten. R. Kamadjing Ndawa Talunggadja Andreas Anakonda Eben Koparihi Anus Kahapat Mbuhang Maria Tamu ina Hinna Pladjawa Henok Hamba Ndika Karippi Walu Wanja Yunus Luhamba wudi Pilipus Retang Kalambar Nikodemus Hamba Ndika Harun Nggala Mbaya Ayub Landu Wuhang Martinus Hunga Wai Hambai H. Ganju Ndilu H. Banggu Markus Andung Hamakonda Kawau Runga Jusuf Landu Pari Andreas Yanggu Rumar Umbu Rihi Tamu Yulius Remi Kati Yulius Namu Wali Lasarus Njuka Praing Ling Dawan Untono
Kecamatan Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Nggaha Ori Angu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Katala Hamu Lingu Lewa Lewa
155
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Rangga Kalla Upung Agustinus Hanaul Hawulla Kabalik Lalupingu Kahumbu Nggiku Jiwa Kana Koni Dada Mbadi Rangga Ngalu Mara Natarius Hapu Landu Kara Matius R. Madappu Daniel Pulu Karanggulimu Adronian Daud D. Lodu Marinus Kalikit Ngganga Gidion Nggiku Tana Hamang Meta Yiwa Lukas Laku Ndawa Pipa Kaya Simeon K. Waka Mikael Harumbha Joni Hamba Banju Yakobus Pilla Ndelu Silwanus K. Ndala Yakub Ndakularak Obed Ndamuwulang Tehu Ria NdamunG Kilimandu Aku Makaborang Pura Lity Ndai Randa Ahing Romu Konda Luta Umbu Hunga Meha Mesakh Tara Awang Marthen K. Awang Kalikit Taka Meha Umbu Konda Awang Kalikit Peka Rihi Benyamin Rihi Welem El El wuki Nikolas Wuki Wake Paulus Uli
Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Lewa Tidahu Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Ngadu Ngala Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu
156
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
Yulius Kalukur Lidjang Yohanes Hau Heji Ndomu Hada Mburu Melkianus Tono Hau Marten Katoara Takandiwa Padjaru Mbaku Ndima Mada Wara Ndoi Padjaru Maramba djua Kaka Amah Jhon Kamalahina Bambang Amah Anthon Piranjawa Deha Taka Ndunu Daniel Manjapalit Anthon Piranjawa Hinna Kapu Endang Umbu Ndamu Ngguli Wenya Ndangu Katuhi Mbaha Kabukur Panjanji Marten Pura Mbida Nau
Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Wula Waijelu Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung Tabundung
157
Lampiran 2 : Daftar Nama Penyuluh No 1 2 3 4 5 6
Daftar Nama Penyuluh Yunus Landukara Yohanes A. Balla Umbu Kahumbu Njurumanna Dominggus T. Teul Marthen Umbu Hamataki Antonius R. Galla
Kecamatan Nggaha Ori Angu dan Lewa Katala Hamulingu Lewa Tidahu Ngadu Ngala Tabundung Wula Waijelu
Lampiran 2 : Daftar Nama Pemerintah No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pemerintah
Ir Yunus Domu Wullang Manuel M. Kitu Hamba Manu Korung Rudolf Rihi Tude Oria A. Raramata Melkianus Etu Dundu Dominggus Kaborang Agustinus Kandeku Dr Banju Ndakumanung Drh Jeany Mira Mangi
Jabatan
Kepala Dinas Peternakan/IV B Kepala Bidang Kesehatan Hewan Camat Nggahaoriangu/IV A Sekcam Lewa/ III D Camat Wullawaijelu /IV A Camat Tabundung /III D Camat Ngadu Ngala/ III D Sekretaris Camat/ III D Camat Lewa Tidahu/ III D Dokter Hewan
158
Lampiran 3 : Rataan Persentase Skor Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak dan mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan dan pengaturan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Pengetahuan Keterampilan Sikap Adopsi Penyuluhan Pelayanan Pengaturan 64 44 50 56 80 47 32 61 39 62 63 87 57 30 55 35 53 49 80 43 31 59 41 64 60 74 49 28 61 40 65 38 85 50 34 60 41 63 64 82 42 30 52 38 53 47 78 48 38 58 37 57 43 82 51 31 56 27 61 40 72 46 28 66 36 64 55 87 50 31 49 40 63 42 85 43 34 58 29 68 34 78 45 34 59 35 67 59 73 40 25 56 43 63 49 88 55 34 49 35 58 41 83 47 36 53 35 68 51 60 47 27 58 34 59 44 76 42 24 61 42 53 57 76 51 36 64 38 52 53 73 44 34 59 42 61 59 67 44 33 42 27 52 46 81 50 31 45 31 55 46 83 50 32 56 40 51 44 78 48 34 59 30 51 48 75 47 35 54 35 53 45 74 46 36 53 34 47 43 74 46 34 57 37 54 46 78 50 35 57 33 54 54 78 55 36 55 39 58 48 89 51 39 49 35 55 50 87 53 38 56 38 59 51 80 54 36 50 37 61 51 84 50 30 61 36 59 48 77 57 36 42 28 63 43 83 53 38 40 31 66 43 86 51 35
159
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
47 45 46 47 48 48 49 45 42 43 46 46 46 41 44 43 46 63 59 47 59 48 46 58 39 49 43 45 46 44 43 40 38 41 46 44 42
28 31 33 32 38 35 36 34 30 32 33 35 38 30 43 34 36 41 34 38 33 30 28 34 34 37 39 34 36 39 39 37 37 37 40 38 33
63 63 66 61 63 69 67 60 59 61 68 58 59 59 61 59 51 52 59 54 53 60 58 59 58 54 57 55 53 60 56 53 58 60 57 60 56
42 43 47 42 45 47 48 45 45 45 47 54 59 46 62 46 54 57 66 42 56 39 40 54 46 55 52 49 50 50 52 55 48 50 50 50 49
90 82 86 83 80 78 77 78 71 72 76 87 67 75 84 68 76 76 81 78 77 69 73 78 71 71 69 75 69 76 69 64 72 58 78 66 73
53 48 46 51 49 51 49 48 44 47 41 48 45 44 56 47 50 50 47 53 47 44 44 49 45 48 47 48 43 47 47 47 48 39 53 46 44
37 37 39 38 34 36 35 32 34 34 34 33 37 27 38 34 34 33 33 36 33 31 28 39 33 36 36 34 35 33 29 34 33 35 37 35 32
160
73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 Jumlah Rata-rata Persentase
45 42 42 43 46 46 43 47 45 45 50 46 53 51 48 49 49 47 49 48 45 49 54 48 4776 49.75 62.19
32 34 33 42 27 26 37 35 34 35 34 37 37 37 35 35 37 39 41 42 39 45 48 39 3438 35.81 65.11
56 51 53 55 55 62 58 61 60 56 59 58 56 62 54 54 49 49 54 53 52 60 61 58 5567 57.98 72.49
38 47 39 55 49 49 56 50 52 47 51 44 46 46 47 46 51 51 49 47 49 52 55 48 4701 48.97 65.29
72 74 74 79 76 79 75 76 81 76 80 71 83 78 81 75 74 80 79 74 74 81 80 70 7388 76.96 81.01
40 48 48 55 42 45 47 46 45 44 52 46 53 51 48 49 49 47 49 48 45 49 54 48 4603 47.95 79.91
27 34 26 33 32 30 34 35 37 29 34 34 32 28 36 29 32 32 36 34 31 36 34 32 3200 33.33 83.33
161
Lampiran 4 : Hasil Analisis Data Menggunakan Partial Least Square (PLS) Structural Model - Jack Knife Entire Sample estimate Pengetahuan -> Keterampilan Keterampilan -> Adopsi Pengetahuan -> Adopsi Sikap -> Adopsi Penyuluhan -> Sikap Pengaturan -> Adopsi Pelayanan -> Adopsi Pengaturan -> Penyuluhan Pelayanan -> Penyuluhan Pengetahuan -> Sikap Keterampilan -> Sikap Penyuluhan -> Pengetahuan Penyuluhan -> Keterampilan
Mean of Jackknife Standard TSubsamples estimate eror statistic
Standar eror (Adjusted)
T statistic (Adjusted)
0.462
0.462
0.4194
0.0998
4.2046
0.1411
2.9731
0.1000
0.1
0.1435
0.1336
0.1889
0.7598
-0.0900 0.253
-0.09 0.253
-0.106 0.2302
0.1363 0.0964
1.0745 0.7764 2.3877
0.1928 0.1364
-0.5490 1.6883
0.1720
0.172
0.1314
0.0811
1.6200
0.1147
1.1455
0.0060
0.0060
0.0100
0.1523
0.0654
0.2154
0.0462
0.0190
0.019
0.0418
0.1387
0.3011
0.1961
0.2129
0.2580
0.258
0.2768
0.0956
2.8962
0.1352
2.0480
0.5880
0.588
0.6345
0.0981
6.4667
0.1388
4.5726
0.5420
0.542
0.5529
0.0954
0.1349
4.0972
-0.1720
-0.172
-0.156
0.0870
5.7943 1.7943
0.1231
-1.2688
0.4710
0.471
0.4492
0.0856
0.1210
3.7115
-0.0420
-0.042
-0.055
0.0927
5.2488 0.5916
0.1311
-0.4183
162
Lampiran 5: Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Penyuluh a. Dekat-agak dekat Ranks Jarak Pengetahuan
keterampilan
Sikap
Adopsi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Dekat
20
34.05
681.00
Agak Dekat
27
16.56
447.00
Total
47
Dekat
20
31.30
626.00
Agak Dekat
27
18.59
502.00
Total
47
Dekat
20
25.60
512.00
Agak Dekat
27
22.81
616.00
Total
47
Dekat
20
27.35
547.00
Agak Dekat
27
21.52
581.00
Total
47
Test Statisticsa Pengetahuan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed) a. Grouping Variable: Jarak
keterampilan
sikap
Adopsi
69.000
124.000
238.000
203.000
447.000
502.000
616.000
581.000
-4.333
-3.153
-.691
-1.445
.000
.002
.490
.149
163
b. Dekat-Jauh Ranks Jarak Pengetahuan
keterampilan
Sikap
Adopsi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Dekat
20
56.35
1127.00
Jauh
49
26.29
1288.00
Total
69
Dekat
20
40.52
810.50
Jauh
49
32.74
1604.50
Total
69
dekat
20
45.58
911.50
Jauh
49
30.68
1503.50
Total
69
dekat
20
36.20
724.00
Jauh
49
34.51
1691.00
Total
69
Test Statisticsa Pengetahuan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
keterampilan
sikap
Adopsi
69.000
124.000
238.000
203.000
447.000
502.000
616.000
581.000
-4.333
-3.153
-.691
-1.445
.000
.002
.490
.149
164
c. Agak dekat-Jauh Ranks Jarak Pengetahuan
N
Agak Dekat
27
49.06
1324.50
Jauh
49
32.68
1601.50
Total
76 27
29.20
788.50
Jauh
49
43.62
2137.50
Total
76
Agak Dekat
27
45.96
1241.00
Jauh
49
34.39
1685.00
Total
76
Agak Dekat
27
27.61
745.50
Jauh
49
44.50
2180.50
Total
76
Keterampilan Agak Dekat
Sikap
Adopsi
Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsa Pengetahuan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed) a. Grouping Variable: Jarak
keterampilan
sikap
Adopsi
376.500
410.500
460.000
367.500
1601.500
788.500
1.685E3
745.500
-3.099
-2.736
-2.194
-3.199
.002
.006
.028
.001
165
Lampiran 6: Reliabilitas Konstruk 1. Pengetahuan
Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 Excludeda 0 .0 Total 30 100.0 .
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Cronbach's Based on Alpha Standardized Items .765 .950
N of Items 17
166
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 TOTAL
Scale Mean if Scale Item Variance if Deleted Item Deleted 103.9000 519.541 103.3667 529.826 104.2000 536.234 104.0000 527.103 104.0333 534.378 103.8000 529.131 104.0000 536.966 104.4000 543.490 103.8667 516.395 103.9333 523.513 103.9333 523.513 103.9000 526.231 103.8667 528.878 104.0667 532.202 103.9000 519.541 103.4667 529.292 53.6333 140.654
Corrected Item-Total Correlation .892 .609 .709 .740 .608 .700 .651 .546 .693 .838 .838 .772 .685 .578 .892 .556 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .745 .752 .754 .750 .754 .751 .755 .758 .745 .747 .747 .749 .751 .753 .745 .752 .938
167
2. Keterampilan
Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Cronbach's Standardized Alpha Items .762 .854
N of Items 12
Item-Total Statistics
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 TOTAL
Scale Mean if Scale Item Variance if Deleted Item Deleted 62.3667 172.240 62.9667 172.861 62.4667 168.947 62.5000 180.121 63.0333 183.137 62.9667 172.861 62.6000 180.938 62.7000 174.562 62.4000 173.490 62.2667 179.926 62.1333 176.533 34.6667 52.920
Corrected Item-Total Correlation .621 .526 .627 .459 .349 .526 .393 .615 .637 .466 .559 .993
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .737 .741 .733 .750 .756 .741 .753 .740 .738 .750 .744 .807
168
3. Sikap
Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0 Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Cronbach's Standardized N of Alpha Items Items .762 .940 17
169
Item-Total Statistics
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 TOTAL
Scale Mean if Scale Item Variance if Deleted Item Deleted 105.6667 457.126 105.6000 463.766 105.7000 463.597 105.1667 461.385 105.6000 463.766 105.8000 473.614 106.2000 479.062 105.8000 468.993 105.1667 461.385 105.4667 476.809 106.0000 472.828 105.8000 468.993 105.1667 461.385 105.4667 476.809 106.2000 479.062 105.7333 468.133 54.5333 124.671
Corrected Item-Total Correlation .659 .781 .765 .746 .781 .677 .597 .652 .746 .459 .739 .652 .746 .459 .597 .687 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .742 .744 .744 .743 .744 .750 .754 .748 .743 .753 .750 .748 .743 .753 .754 .747 .926
170
4. Adopsi Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Cronbach's Standardized N of Alpha Items Items .762 .938 16
171
Item-Total Statistics
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 TOTAL
Scale Mean Scale if Item Variance if Deleted Item Deleted 89.0333 511.482 88.7667 505.013 88.5000 501.845 89.1333 513.430 88.9000 511.955 89.0333 489.137 89.3000 89.0333 89.0667 89.0333 88.1000 88.9333 89.4667 88.7667 88.9333 46.0000
510.010 511.482 496.340 489.137 505.266 501.375 501.706 504.047 513.375 134.759
Corrected Item-Total Correlation .636 .730 .667 .638 .523 .697 .713 .698 .862 .697 .643 .731 .583 .752 .517 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .751 .747 .746 .752 .752 .740
. . . . . . . . . .
.750 .751 .742 .740 .748 .745 .747 .746 .753 .919
172
5. Penyuluhan Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0 Reliability Statistics Cronbach's Alpha Cronbach's Based on Standardized N of Alpha Items Items .759 .945 20 Item-Total Statistics
PNY1 PNY2 PNY3 PNY4 PNY5 PNY6 PNY7 PNY8 PNY9 PNY10 PNY11 PNY12 PNY13 PNY14 PNY15 PNY16 PNY17 PNY18 PNY19 TOTAL
Scale Mean if Item Scale Variance Deleted if Item Deleted 150.4000 504.179 150.2667 497.306 150.2000 499.200 150.2000 503.200 150.4000 500.317 150.4667 500.395 150.4000 504.179 150.5000 502.052 150.2667 494.823 150.2000 500.717 149.9333 509.444 150.6667 501.747 150.2667 494.823 150.3000 496.907 150.6333 501.413 150.5000 499.638 150.4333 501.702 150.1333 510.740 150.2333 518.461 77.2000 132.303
Corrected Item-Total Correlation .690 .713 .774 .606 .802 .803 .690 .566 .772 .617 .584 .581 .772 .839 .537 .696 .504 .576 .433 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .748 .744 .745 .748 .745 .745 .748 .747 .743 .746 .751 .747 .743 .743 .747 .745 .748 .751 .755 .933
173
6. Pelayanan Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Cronbach's Standardized Alpha Items .766 .931
Scale Mean if Item Deleted PL1 89.0333 PL2 89.3333 PL3 89.0667 PL4 89.2000 PL5 88.9667 PL6 88.7667 PL7 88.8333 PL8 88.7333 PL9 89.8333 PL10 89.2000 PL11 89.0667 PL12 90.2333 TOTAL 46.5333
N of Items 13
Item-Total Statistics Scale Corrected Variance if Item-Total Item Deleted Correlation 209.689 .785 209.609 .773 208.547 .888 209.200 .735 209.757 .824 212.530 .798 220.351 .651 219.444 .601 217.454 .412 211.545 .651 214.340 .723 215.702 .398 57.913 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .742 .742 .740 .742 .742 .745 .756 .755 .756 .746 .748 .755 .902
174
7. Pengaturan Case Processing Summary N % Cases Valid 30 100.0 a Excluded 0 .0 Total 30 100.0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Cronbach's Standardized Alpha Items N of Items .782 .924 9 Item-Total Statistics
PNG1 PNG2 PNG3 PNG4 PNG5 PNG6 PNG7 PNG8 TOTAL
Scale Mean if Scale Item Variance if Deleted Item Deleted 49.6667 151.402 49.1333 135.637 49.2000 140.234 49.2000 140.234 49.1667 142.075 49.1333 145.085 49.3333 144.989 49.1667 138.695 26.2667 40.340
Corrected Item-Total Correlation .524 .726 .855 .855 .768 .608 .575 .887 1.000
Squared Multiple Correlation . . . . . . . . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .776 .745 .750 .750 .755 .764 .765 .747 .893
175
Lampiran 7 : Kuisioner
SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden peternak
I
IDENTITAS RESPONDEN
1
Nama responden
:
2
Alamat tempat tinggal responden
:
3
Umur
:
4
Jenis kelamin
: 1) Laki-laki, 2) Perempuan
5
Agama
: 1) Islam, 2) Kristen, 3) Hindu, 4) Budha, 5) Katolik
6
Status Perkawinan : 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
7
Pekerjaan
:
Mohon disebutkan jenis pekerjaan pokok dan sambilan Bapak ! No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan Petani Peternak Pedagang Pengrajin Buruh Pegawai negri Pegawai swasta Lain-lain (sebutka) …….
Pokok
Sambilan
176
8 Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah SD/ Kejar paket A SLTP/ Kejar paket B SMU Akademi Perguruan tinggi Kursus – Dll
Tidak tamat/sampai Tingkat …(tahun)
Tamat (tahun)
9 Jumlah Tanggungan Keluarga ……orang
No
Jenis Kelamis L P
Hubungan dengan keluarga
Umur (Tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
1 2 3 4 5 6 10 Luas lahan sendiri (ha) : Jenis Lahan 1. 2. 3. 4.
Sawah Tegalan Pekarangan …………..
Dikerjakan sendiri
Tidak Dikerjakan
Jumlah
Keteragan
177
11 Apakah Bapak ikut menjadi anggota sesuatu organisasi? YA/TIDAK Jika Ya, alasannya: ………….. ……………………………………………… …………………………………………………............................................. Jika Tidak, alasannya …………………………………………………........... ……………………………………………………………………………….. Jika Ya, manakah organisasi berikut yang dapat Bapak ikuti? Organisasi
Nama
Bidang
Anggota
Pengurus
a. Kelompok ternak b. Koperasi c. Dll ………….. 12 Apakah Bapak pernah mendapatkan penyuluhan ? YA/TIDAK Jika Ya : Penyuluhan tentang apa yang bapak dapatkan? …………………… 13 Berapa kali mendapatkan penyuluhan dalam sebulan atau setahun? ………… 14 Metode penyuluhan apa yang digunakan? a. Datang sendiri berkunjung ke lokasi peternak b. Bersama-sama dengan peternak lain c. Melalui buku, brosur, tv, radio, dll II JUMLAH KEPEMILIKAN TERNAK 1.
Berapakah jumlah ternak yang Bapak pelihara saat ini?
No
Jenis ternak
1
Ternak besar a. Kuda b. Sapi c. Kerbau
2
Ternak kecil a. Babi b. Kambing
Anak Jantan
Dewasa Betina
Jantan
Betina
Total
178
III SUMBER – SUMBER INFORMASI PENGENDALIAN PENYAKIT 1. Sumber informasi mana yang dipakai untuk mengetahui tentang pengendalian penyakit pada ternak kuda? a. Buku b. Koran c. Televisi d. Internet e. Pemerintah f. Penyuluh g. Dll ……. 2. Dari sekian informasi tersebut, yang mana Bapak anggap paling berperan ? (disebut salah satu dan diberi tanda silang dan dilinkari) 3. Berikan alasan mengapa Bapak memakai sumber itu ? …………......
179
IV
PENGETAHUAN Pilihlah jawaban yang saudara anggap paling benar ! 1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit surra? a. Merupakan salah satu penyakit hewan menular penting pada ternak kuda dan ruminansia besar b. Penyakit yang disebabkan oleh protozoa c. Penyakit parasit darah yang disebabkan oleh protozoa yang menyerang mamalia hewan, yang bersifat akut dan kronis. d. Penyakit yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis e. Penyakit yang bersifat akut dan kronis 2. Apakah Bapak mengetahui ciri - ciri penyakit surra? a. Hewan lesu, nafsu makan turun, nampak lemah, selaput lendir mata kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis. b. Terjadi lepuh-lepuh pada lidah c. Terjadi adema pada daerah dada dan perut sampai dekat alat kelamin. d. Keluar getah bening dari hidung dan mata, demam dan nafsu makan menurun e. Muncul gejala syaraf, gerakan berputar-putar 3. Bagaimana cara penularan penyakit surra? a.
Ditularkan oleh gigitan vektor lalat, kutu penghisap darah yang menghinggap/menulari dari hewan yang sakit kehewan yang sehat lainnya
b.
Melalui lalat penghisap darah (hematophagous flies)
c.
Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma.
d.
Penularan melalui air susu.
e.
Penularan melalui nyamuk
180
4. Apakah Bapak mengetahui penyebab terjadinya penyakit surra? a.
Virus
b.
Lalat, dan kutu pengisap darah
c.
Protozoa Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup di dalam darah penderita dan mengisap glukosa yang terkandung di dalam darah dan mengeluarkan sejenis racun trypanotoksin.
d.
Protozoa, dan kutu pengisap darah
e.
Kutu pengisap darah, lalat dan protozoa
5. Apakah faktor pemicu terjadinya penyakit surra ? a. Faktor lingkungan b. Faktor iklim c. Faktor kondisi yang menyebabkan stress pada hewan seperti malnutrisi, kebuntingan, dan kelelahan. d. Faktor angin berpengaruh yaitu berperan dalam penyebaran lalat Tabanus. e. Tidak ada faktor yang berpengaruh dalam penyebaran penyakit surra. 6. Apakah yang dimaksud dengan pencegahan penyakit surra? a. Suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mencegah masuknya cacing-cacing pengganggu pada ternak kuda. b. Suatu usaha yang manusia untuk melindungi ternaknya dari penyakit yang disebabkan oleh virus, dll melalui tindakan menjaga lingkungan kandang selalu sehat c. Suatu usaha untuk melindungi agar ternak-ternak terhindar dari penyakit melalui kegiatan yang meliputi penjagaan dan pemeliharaan kebersihan kandang dan sekitarnya, peralatan dan perlengkapan kandang. d. Suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit menular pada ternak diantaranya yaitu dengan
mengetahui tanda-tanda atau gejala-gejala penyakit yang
181
menular serta mengerti tentang cara menularnya masing-masing jenis penyakit e. Usaha manusia dalam mempertahankan populasi ternak kuda melalui pemilihan bibit yang terbebas dari penyakit menular. 7. Apakah yang dimaksud dengan vaksinasi? a. Pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit. b. Kekebalan tubuh hewan c. Bahan antigen (zat yang merangsang respon kekebalan tubuh) yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit. d. Proses pemberian vaksin kedalam tubuh manusia atau hewan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tertentu sesuai dengan jenis vansinnya. e. Menyembuhkan kuda yang sakit 8. Mengapa ternak kuda perlu divaksinasi? a. Memberikan kekebalan pada tubuh serta mencegah terjadinya infeksi b. Mempercepat pertumbuhan, meningkatkan produksi, menyembuhkan kuda yang sakit c. Memberikan kekebalan tubuh d. Mencegah terjadinya infeksi e. Agar ternak kuda terhindar dari penyakit. 9. Menurut Bapak, hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan vaksinasi ? a. Program vaksinasi harus dilakukan dengan seksama dan diperhatikan masa kekebalan yang ditimbulkan. b. Umur ternak c. Jenis ternak d. Kesehatan ternak e. Tidak tau
182
10. Apa saja yang sebaiknya diberikan pada ternak kuda sebagai pakan tambahan (suplement)? a. Rumput dan konsentrat (campuran jagung, kacang kedelai dan dedak padi) b. Dedak padi, Jagung, Kacang kedelai c. Rumput, dedak padi dan bungkil kelapa d. Rumput saja e. Rumput dan dedak padi dan bungkil kacang tanah 11. Untuk menjaga kesehatan ternak, apakah ternak kuda perlu diberikan pakan tambahan? a. Sangat perlu b.Perlu c. Biasa-biasa saja d.Kurang perlu e. Tidak perlu 12. Apakah ternak kuda perlu dibuatkan kandang? a. Sangat perlu b. Perlu c. Biasa-biasa saja d. Kurang perlu e. Tidak perlu 13. Perlukah kandang didesinfektan? a. Sangat perlu b. Perlu c. Biasa-biasa saja d. Kurang perlu e. Tidak perlu
183
14. Bagaimanakah cara sebaiknya mengendalikan penyakit menular pada ternak kuda? a. Melaksanakan jadwal vaksinasi secara teratur b. Memeriksakan kesehatan ternaknya secara rutin pada dokter hewan di Dinas Peternakan atau dokter hewan praktek daerah asal. c. Menjaga sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya), d. Memisahkan (mengisolasi) kuda yang sakit dari kuda yang sehat e. Membiarkan saja hewan sakit tanpa tindakan apapun 15. Apa yang Bapak ketahui tentang cara pengobatan penyakit surra? a. Diobati dengan suramin b. Dapat diobati dengan antibiotic c. Diobati dengan trypamidium d. Diobati dengan obat-obat tradisional e. Dapat diobati dengan tryponil 16. Jika ternak kuda sakit, apakah Bapak perlu mengisolasi kuda yang sakit ? a. Sangat perlu b. Perlu c. Biasa-biasa saja d. Kurang perlu e. Tidak perlu
V. KETRAMPILAN 1. Bagaimana cara Bapak, mengidentifikasi penyakit surra? a. Hewan akan terlihat lesu, nafsu makan turun, nampak lemah, selaput lendir mata kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis. b. Demam, lesu, lemah, nafsu makan berkurang, lekas letih, Anemia, kurus, bulu rontok, busung daerah dagu dan anggota gera, keluar getah radang, selaput lendir menguning, jalan sempoyongan dan kejang dan berputarputar. c. Dimasukkan ke dalam kandang.
184
d. Keluar getah bening dari hidung dan mata, demam dan nafsu makan menurun e. Mulut lepuh-lepuh 2. Apakah Bapak bisa melakukan vaksinasi sendiri dengan lancar? a. Sangat lancar b. Lancar c. Kurang lancar d. Biasa-biasa saja e. Tidak lancar 3. Bagaimana cara Bapak, melakukan vaksinasi ? a. Ternak kuda di masukkan ke dalam kandang jepit kemudian divaksin b. Memasukkan kuda kedalam gang kemudian di vaksin c. Dimasukkan ke dalam gang, kemudian dijepit pada bibirnya setelah tenang baru di vaksin. d. Dimasukkan kedalam kandang jepit, dengan menahan ekor kuda kemudian di vaksin e. Melakukan vaksinasi tanpa menggunakan kadang jepit dengan hanya mengikat kuda dibawah pohon. 4. Jika ternak terserang penyakit cara apa yang Bapak terapkan untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang ternak Bapak ? a. Tidak melakukan tindakan apapun b. Kuda sakit dipisahkan dari kuda yang sehat c. Diobati dengan suramin atau triponil d. Diobati dengan trypamidium e. Melapor kepada dokter hewan setempat untuk di obati. 5. Bagaimana cara Bapak menjaga agar kandang tersebut tetap sehat ? a. Melakukan desinfektan, membersihkan kandang secara teratur b. Menerapkan tindakan pengamanan dalam kandang c. Membersihkan kadang sebulan sekali
185
d. Kandang harus bebas dari hewan liar karena dapat membawa bibit penyakit. e. Melakukan pengamanan keluar masuknya ternak kedalam kandang. 6. Bagaimana cara Bapak menangani ternak yang mati akibat penyakit surra? a. Membakar kuda-kuda yang terinfeksi surra b. Menguburnya c. Memotong dan memakan kuda-kuda yang mati. d. Pemusnahan karkas yang terinfeksi surra e. Memotong ternak kuda kemudian menguburnya 7. Hal apa yang Bapak lakukan pertama kali jika kuda bapak terserang penyakit surra a. Melaporkan kejadian tersebut ke dokter hewan/petugas lapangan setempat b. Memisahkan kandang ternak yang sakit dengan yang sehat c. Melaporkan langsung kejadian tersebut di Dinas Peternakan d. Mebiarkan ternak begitu saja tanpa tindakan apapun e. Membakar kuda untuk menghindarkan ternak kuda yang lain terjangkit penyakit surra. 8. Bagaimana cara bapak mempersiapkan makanan kuda yang sehat? a. Memberikan pakan kuda sesuai dengan kebutuhan fisiologis b. Memberikan pakan kuda yang memiliki kandungan protein, mineral dan vitamin c. Memberikan pakan yang memiliki kandungan gizi yang seimbang d. Memberikan pakan hijauan, jagung dan kacang-kacangan e. Membiarkan ternak kuda mencari pakannya sendiri dipadang tanpa memperhatikan kebutuhan gizi 9. Bagaimana cara Bapak memilih bibit kuda yang sehat ? a. Yang memiliki kaki pendek dan badan yang kecil b. Memiliki postur tubuh yang ramping dan memiliki mata tajam serta rahang yang besar dan bulat.
186
c. Memiliki pandangan tajam kedepan, matanya harus cukup menonjol dan letaknya
cukup terpisah satu sama lain.
d. Kaki kuat, telinga yang pendek tegak dan badan yang ramping e. Memiliki postur tubuh yang ramping, tinggi, besar dan dada yang lebar. 10. Bagaimana cara Bapak melakukan karantina hewan yang sakit? a. Hewan yang sakit dibuatkan kandang khusus secara terpisah dengan hewan yang sehat b. Hewan yang sakit diasingkan dari hewan yang sehat c. Pencegahan penggembalaan hewan sehat bersama-sama dengan hewan yang sehat. d. Melakukan pengasingan terhadap hewan yang sakit kemudian diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina. e. Tidak melakukan karantina hewan sakit 11. Bagaimana cara Bapak memelihara ternak kuda, agar tetap sehat? a. Memberikan pakan yang sehat dan mengandung gizi yang seimbang b. Menjaga kondisi kandang agar selalu bersih c. Pakan dan air minum harus tersedia dalam jumlah cukup, sesuai dengan kebutuhan baik kuantitas maupun kualitasnya. d. Menghindarkan ternak dari stress panas, hujan deras, dingin, angin kencang dll. e. Membiarkan ternak bebas di padang penggembalaan.
187
VI
SIKAP
PETERNAK
TERHADAP
SISTEM
PENGENDALIAN
PENYAKIT SURRA. Petani peternak diminta pendapatnya tentang berbagai pernyataan tertulis pada kolom sebelah kiri. Mohon memberikan tanda silang (X) untuk jawaban yang diberikan pada kolom sikap yang sesuai dengan yang ada disebelah kanannya. Keterangan : SS
= Sangat setuju
S
= Setuju
RR
= Ragu – ragu
TS
= Sangat tidak setuju
PERNYATAAN
SIKAP SS
1. Ternak kuda pada umumnya sudah tahan terhadap penyakit sehingga tidak perlu untuk divaksinasi. 2. Kuda yang dewasa/besar belum tentu lebih tahan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan kuda muda, sehingga perlu divaksinasi. 3. Pemilihan bibit kuda yang baik dapat mengurangi kemungkinan kuda terserang penyakit. 4. Kuda yang berasal dari bibit yang baik tidak perlu divaksinasi. 5. Vaksinasi pada kuda sebaiknya dilakukan hanya jika terjadi wabah penyakit. 6. Kuda yang dipelihara secara diumbar tidak perlu diberi pakan
S
RR
TS
STS
188
tambahan 7. Pemberian pakan tambahan yang memadai akan dapat mengurangi kemungkinan ternak tersebut terserang penyakit. 8. Ternak kuda yang telah diketahui terinveksi virus penyakit surra, secepatnya harus dimatikan/dipotong. 9. Faktor –faktor yang menyebabkan penyakit surra pada ternak kuda perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius karena hal ini akan mempengaruhi populasi. 10. Kuda yang mati karena sakit sebaiknya dikubur. 11. Kuda yang baru saja mati terjangkit penyakit surra masih bisa di konsumsi. 12. Kuda yang sudah divaksin. Kalau sakit tidak perlu lagi diobati. 13. Kuda yang sakit hendaknya dipisahkan dari kuda yang sehat untuk menghindari kuda sehat tertular penyakit. 14. Jika terjadi wabah penyakit sebaiknya segera melapor kepada dinas atau PPL setempat. 15. Pengobatan pada kuda yang sakit hanya boleh dilakukan oleh dinas atau PPL setempat.
189
16. Peternak harus mengetahui jenisjenis penyakit dan cara pengobatannya.
VII. ADOPSI PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA. Saudara dapat memilih lebih dari satu jawaban !!! 1. Penanganan apa yang Bapak lakukan saat ternak kuda terserang penyakit surra? a. Melaporkan kejadian tersebut ke dinas peternakan b. Mengisolasi kuda yang sakit sehingga tidak terjagkit pada kuda yang sehat c. Pemotongan hewan terinfeksi d. Melepaskan kuda yang sakit ke padang penggembalaan e. Melakukan tindakan karantina 2. Apa yang Bapak lakukan untuk mencegah terdinya penyakit surra? a. Melakukan vaksinasi b. Membersihkan kandang c. Melakukan pengawasan terhadap kuda-kuda yang diumbar d. Ternak kuda diberikan pakan yang sehat e. Membiarkan kandang dalam keadaan kotor 3. Bagaimanakah cara Bapak mengendalikan penyakit menular pada kuda yang dipelihara? a. Melaksanakan jadwal vaksinasi secara teratur b. Membiarkan begitu saja tanpa tindakan apapun c. Menjaga sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya) d. Memisahkan (mengisolasi) kuda yang sakit dari kuda yang sehat e. Melaksanakan penyeprotan dengan insektisida pada kuda yang sehat
190
4. Usaha apa yang Bapak biasa lakukan agar kuda terhindar dari penyakit? a. Menjaga lingkungan kandang tetap bersih b. Memperlancar sirkulasi udara dalam kandang c. Kuda yang sakit tidak dipisahkan dengan kuda yang sehat d. Kuda yang sakit segera dipisahkan dari kelompoknya e. Melakukan vaksinasi secara rutin 5. Usaha-usaha apa yang Bapak lakukan untuk mengobati kuda yang terinfeksi penyakit surra? a. Memberi obat tryponil b. Memberi obat trypamidium c. Memberikan pakan yang sehat d. Tidak melakukan tindakan apapun e. Selalu menjaga kondisi kandang agar tetap sehat 6.
Obat apa yang sering Bapak berikan jika ternak kuda terserang penyakit ? a. Trypamidium b. trypolin c. Larutan iodium d. Penyemprotan dengan larutan coumaphos e. Suramin
7. Apa yang Bapak lakukan untuk memberantas penyakit surra? a. Melakukan pemotongan hewan terinfeksi b. Melakukan karantina hewan c. Pembatasan lalu lintas ternak di daerah wabah untuk mencegah penyebaran penyakit. d. Pelacakan (tracing) dan survei untuk mengetahui sumber infeksi dan perluasan wabah penyakit. e. Membiarkan ternak-ternak yang mati tanpa tindakan apapun
191
8. Usaha apa yang Bapak terapkan agar ternak kuda tidak terserang penyakit? a. Dengan membasmi serangga penyebar penyakit secara rutin. b. Kandang disemprot pestisida, terutama tempat-tempat yang banyak dihinggapi lalat. c. Lingkungan di sekitar kandang disemprot pestisida d. Mengontrol keluar masuknya hewan dan manusia ke dalam kandang e. Membiarkan ternak keluar masuk tanpa mengontrol dan melakukan pemeriksaan. 9. Pakan yang bagaimanakah yang Bapak berikan agar ternak Bapak tetap sehat? a. Pakan yang berkualitas yaitu pakan yang tidak berjamur yang memiliki gizi seimbang sesuai dengan kebutuhan ternak. b. Pakan hijauan saja tanpa tambahan suplemen apapun c. Pakan hijauan, dan kacang-kacangan yang memiliki gizi seimbang d. Pakan yang mengandung protein, energi dan sehat e. Pakan yang sehat seperti hijauan, bungkil kedelai, kacang dan bungkil kelapa 10. Sejauh mana Bapak melakukan pengamatan terhadap ternak kuda yang dipelihara? a. Melakukan pengamatan sekali-sekali b. Melakukan pengamatan setiap pagi dan sore c. Tidak melakukan pengamatan sama sekali d. Melakukan pengamatan setiap sore e. Sesering mungkin menjaga. 11.
Bagaimana cara pengandangan ternak kuda yang Bapak pelihara? a. Ternak kuda dikandangkan pada sore hari saja sedangkan paginya kudakuda dilepas dipadang penggembalaan untuk mencari pakan. b. Kuda-kuda dikandangkan pada kandang berkelompok tanpa dilepaskan dipadang penggembalaan c. Kuda-kuda dikandangkan dan diberikan pakan dengan intensif
192
d. Kuda-kuda dilepas bebas dipadang penggembalaan tanpa dikandangkan e. Kuda-kuda dikandangkan dengan menggunakan kandang individu. 12.
Bagaimana Bapak merawat ternak kuda agar tetap sehat ? a. Memandikan ternak kuda pagi dan sore b. Memberikan pakan yang bergizi dengan kandungan energi yang seimbang c. Melakukan vaksinasi secara teratur d. Kandang kuda selalu di bersihkan dan diatur agar sirkulasi udara berjalan dengan baik serta terlindung dari panas dan hujan. e. Kuda-kuda dibiarkan bebas dipadang penggembalaan mencari pakan dan minum sendiri.
13. Apakah ada perbedaan pakan, yang Bapak berikan untuk kuda yang sehat dengan kuda yang sakit ? a. Tidak ada perbedaan pemberian pakan untuk kuda yang sakit dan sehat b. Pemberian pakan kuda yang sakit lebih intensif dibandingkan kuda sehat c. Pakan kuda yang sakit dan sehat sama-sama memiliki gizi yang seimbang d. Kuda sehat dan sakit diberikan pakan mengandung protein, mineral dan sumber energi yang cukup e. Kuda yang sehat dan sakit diberikan pakan yang mengandung vitamin, protein dan mineral yang sumber energi yang seimbang. 14.
Apa yang Bapak lakukan saat ternak kuda Bapak mati akibat penyakit surra? a. Membakar kuda-kuda tersebut b. Menguburnya saja c. Membakar kuda-kuda yang mati d. Memakan daging-daging kuda dengan cara di masak sampai benar-benar matang e. Melaporkan pada petugas dokter hewan setempat.
15. Apa yang Bapak lakukan untuk memisahkan hewan yang sakit dengan hewan sehat? a. Hewan yang sakit dibuatkan kandang khusus secara terpisah dengan hewan yang sehat
193
b. Melakukan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina. c. Hewan yang sakit tidak perlu untuk diasingkan dari hewan yang sehat d. Pemeriksaan hewan yang sakit yang dilakukan oleh dokter hewan e. Melakukan Pengasingan terhadap hewan yang sakit
PENYULUHAN, PELAYANAN DAN PENGATURAN di KABUPATEN SUMBA TIMUR PENYULUHAN 1. Apakah penyuluh selalu mengunjungi rumah Bapak untuk berdiskusi mengenai penyakit surra? a. Seminggu sekali b. Dua minggu sekali c. Tiga minggu sekali d. Sebulan sekali e. Lebih dari sebulan mengunjungi peternak 2. Apakah penyuluh selalu tepat waktu mengunjungi Bapak, Apabila Bapak melapor ada ternak yang sakit? a. Sangat tepat waktu b. tepat waktu c. Kadang-kadang d. Kadang-kadang tepat waktu e. Tidak pernah tepat waktu 3. Apakah penyuluh bersungguh-sunggung membantu Bapak, dalam proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat sungguh-sungguh b. Sungguh-sungguh c. Biasa-biasa saja d. Kurang sungguh-sungguh e. Tidak sungguh-sungguh
194
4. Apakah dalam kegiatan penyuluhan, penyuluh menerapkan hal-hal yang baru misalnya manajemen pemeliharan dalam hal pemberian pakan yang baik untuk membantu proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat sering menghasilkan ide baru b. Sering menghasilkan ide baru c. Kadang-kadang menghasilkan ide baru d. Jarang menghasilkan ide baru e. Tidak pernah menghasilkan ide baru 5. Kegiatan apa saja yang dilakukan penyuluh dalam penyuluhan penyakit surra? No
Kegiatan
1
Memberikan materi yang diperlukan oleh peternak
2
Menjadi pemandu dalam diskusi
3
Memberikan teladan dalam pemeliharaan ternak kuda yang baik
4
Memotiovasi peternak
5
Memfasilitasi peternak dalam uji laboratorium dan permodalan
Sangat sering
Sering
Kadangkadang
Jarang
6. Apakah penyuluh menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan praktis Bapak dalam menangani penyakit surra ? a. Sangat sesuai dengan kebutuhan praktis b.
Sesuai dengan kebutuhan praktis
c. Kadang-kadang sesuai dengan kebutuhan praktis d. Jarang sesuai dengan kebutuhan praktis
Tidak pernah
195
e. Sangat jarang sesuai dengan kebutuhan praktis 7. Dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, apakah materi yang disampaikan penyuluh dapat membantu mengatasi masalah Bapak dalam pengendalian penyakit surra? a. Sangat membantu b.
Membantu
c. Kadang-kadang membantu d. Kurang membantu e. Sangat jarang membantu 8. Bagaimana jumlah kehadiran Bapak, dalam kegaiatan penyuluhan penyakit surra? a. 90-100 % b. 80-90 % c. 60-70 % d. 40-50 % e. 20-30 % 9. Dalam kegiatan penyuluhan bagaimana aktifitas diskusi Bapak dengan penyuluh? a. Aktifitas diskusi sangat baik b. Aktifitas diskusi baik c. Kadang – kadang melakukan diskusi d. Jarang mengadakan diskusi e. Tidak perna mengadakan diskusi 10. Bagaimana suasan diskusi tersebut? No
Suasana
1
Terjadi pertukaran ide antar peternak
2
Berbagi pengalaman
3
Mendengarkan pandangan masing-
Sangat sering
Sering
Kadangkadang
Jarang
Tidak pernah
196
masing antara peternak dan penyuluh 4
Pengambilan keputusan sebagai hasil diskusi
11. Bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh penyuluh pada saat berdiskusi dengan Bapak saat melakukan penyuluhan? a. Sangat ramah b. Ramah c. Sedang –sedang d. Kurang ramah e. Tidak ramah 12. Bagaimana pemahaman Bapak setelah mendapatkan penyuluhan? a. Sangat memahami b. Memahami c. Sedang-sedang d. Kurang memahami e. Tidak memahami
PELAYANAN 1. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada Bapak dalam rangka pengendalian penyakit surra? Kegiatan Kegiatan vaksinasi Pemeriksaan ternak Pengobatan ternak sakit
Sangat sering
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
197
Pelayanan informasi 2. Apakah pemerintah sangat antusias memberikan pelayanan pada Bapak dalam rangka pengendalian penyakit surra? a. Sangat antusias b. Antusias c. Kadang-kadang d. Kurang antusias e. Tidak melakukan pelayanan sama sekali 3. Bagaimanakah sikap Bapak, saat Bapak menerima pelayanan seperti pelayanan obat-obatan, vaksin, pemeriksaan hewan sakit
dll dalam
pengendalian penyakit surra? a.
Sangat menerima
b.
Menerima
c.
Ragu-ragu
d.
Kurang menerima
e.
Tidak menerima
4. Bagaimana hubungan komunikasi Bapak dengan pemerintah atau orang yang memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-obatan dll) dalam hal pengendalian penyakit surra? a.
Sangat akrab
b.
Akrab
c.
Biasa-biasa saja
d.
Kurang akrab
e.
Tidak akrab
5. Menurut Bapak, apakah pelayanan (obat-obatan, vaksin, pemeriksaan ternak sakit dll ) memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur? a.
Sangat berperan besar
b.
Berperan besar
c.
Biasa-biasa saja
198
d.
Kurang berperan
e.
Tidak berperan
6. Bagaimana kemampuan pemerintah dalam membangun suasana hangat dengan peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur dalam proses pelayanan? a. Menciptakan suasana yang sangat akrab dengan peternak b. Melakukan diskusi dengan peternak-peternak kuda mengenai kendalakendala yang dihadapi dalam proses pengendalian penyakit surra c. Melakukan pertukaran pikiran serta berbagi pengalaman dalam hal menanggulangi penyakit pada ternak d. Biasa-biasa saja tanpa adanya diskusi e. Tidak akrab yaitu tanpa adanya diskusi atau membahas hal-hal mengenai penyakit surra 7. Dalam kegiatan pelayanan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan pemerintah atau orang yang memberikan pelayanan? a. Aktifitas diskusi sangat baik b. Aktifitas diskusi baik c. Kadang – kadang melakukan diskusi d. Jarang mengadakan diskusi e. Tidak perna mengadakan diskusi 8. Apakah pemerintah selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke tempat Bapak dalam proses pengendalian penyakit surra ? a. 9-10 kali dalam sebulan b. 7-8 kali dalam sebulan c. 5-6 kali dalam sebulan d. 3-4 kali dalam sebulan e. 1-2 kali dalam sebulan 9.
Bagaimana cara pemerintah memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-obatan dan pemeriksaan hewan sakit dll) kepada Bapak di daerah endemis surra? a. Melakukan kunjungan langsung ke rumah peternak
199
b. Menitipkan vaksin, obat-obatan ke tokoh-tokoh masyarakat setempat c. Mengumpulkan para peternak kuda lalu memberikan bantuan pelayanan yang dibutuh dalam pengendalian penyakit surra d. Memberikan pelayanan setiap saat peternak membutuhkan bantuan dalam proses pengendalian penyakit surra e. Melakukan pelayanan hanya pada saat peternak membutuhkan obat PENGATURAN 1. Kebijakan apa saja yang diberikan pemerintah untuk menanggulangi kejadian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur? a. Trasportasi hewan antar daerah, kecamatan dan desa di batasi, melakukan karantina hewan, serta memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter hewn setempat b. Melakukan karantina hewan sakit saja c. Adanya surat ijin pemasukan dan pengeluaran hewan baik antar kabupaten maupun antar pulau d. Melakukan Pemotongan hewan-hewan sakit akibat penyakit surra e. Tidak ada kebijakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah 2. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai kebijakan yang Bapak keluarkan? a. Sangat tanggap
d. Kurang tanggap
b. Tanggap
e. Tidak tanggap
c. Sedang-sedang 3. Dalam penanganan penyakit surra apakah peraturan yang di keluarkan oleh pemerintah sangat dipatuhi oleh peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur? a. Sangat di patuhi b. Di patuhi c. Biasa-biasa saja d. Kurang dipatuhi e. Tidak dipatuhi
200
4. Menurut Bapak apakah dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra? a. Sangat mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra b. Mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra c. Biasa-biasa saja d. Kurang mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra e. Tidak mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra 5. Menurut Bapak apakah peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat berperan besar b. Berperan besar c. Biasa-biasa saja d. Kuran berperan e. Tidak berperan 6. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat? a. Ya ada aturan yaitu ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat harus berasal dari tempat atau kecamatan yang akan diadakan proses adat-istiadat b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-sistiada harus memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor lalat penyebab penyakit surra. e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak dibebaskan tanpa adanya karantina. 7. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah sehingga peternak-peternak kuda mau mengikuti aturan-aturan yang di tetapkan?
201
a. Melakukan sosialisasi akan bahayanya penyakit surra yang mengancam populasi ternak b. Memberikan bantuan pelayanan dalam hal vaksnasi, obat-obatan dan pemeriksaan hewan sakit c. Selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke rumah peternak d.
Saling bertukar pikiran dalam hal menangani wabah penyakit sura
e. Tidak melakukan tindakan apapun, kunjungan dilakukan jika peternak benar-benar butuh dalam hal pemeriksaan, pengobatan dan vaksinasi 8. Apakah yang dilakukan pemerintah jika aturan yang ditetapkan tidak diikuti oleh peternak-peternak kuda? a. Memberikan peringatan keras, jika peternak-peternak kuda melanggar aturan yang telah ditetapkan b. Langsung memberikan sanksi kepada peternak-peternak kuda yang melanggar aturan c. Memberikan sosialisasi sehingga peternak menyadari akan bahayanya penyakit surra d. jika ada peternak yang melanggar diberikan sanksi tidak mendapat bantuan pelayanan seperti pemberian obat-obatan, vaksin dan pemeriksaan hewan. e. Tidak memberikan sanksi, tetapi hanya mdapat teguran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
202
DAFTAR PERTANYAAN SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden penyuluh I
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Penyuluh
:
2. Umur
:
3. Masa kerja penyuluh (tahun) : 4. Penyuluh di kecamatan
:
5. Pangkat/golongan
:
6. Jabatan fungsional
:
7. Jenis kelamin
: 1) Laki-laki, 2) Perempuan
8. Status Perkawinan
: 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
9. Isteri/suami
:
-
Nama
:
-
Umur
:
-
Pendidikan
:
-
Pekerjaan
:
10. Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan
II PENYULUHAN Pilihlah jawaban yang dianggap paling benar! 1. Seberapa seringkah Bapak mengunjungi peternak kuda yang ada di daerah endemis penyakit surra ? b. Seminggu sekali mengunjungi peternak c. Dua minggu sekali mengunjungi peternak d. Tiga minggu sekali mengunjungi peternak e. Sebulan sekali mengunjungi peternak f. Lebih dari sebulan mengunjungi peternak
203
2. Apakah Bapak selalu tepat waktu mengunjungi peternak kuda yang ada di daerah endemis apabila mereka melaporkan ada ternak kuda yang sakit? a. Sangat sering tepat waktu b. Sering tepat waktu c. Kadang-kadang d. Kadang-kadang tepat waktu e. Tidak pernah tepat waktu 3. Apakah Bapak selalu patuh terhadap undang-undang penyuluhan peternakan? a. Sangat patuh b. Patuh c. Kadang-kadang patuh d. Kurang patuh e. Tidak pernah patuh Apa alasan Bapak : ……………………………………………………………. …………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………. 4. Apakah Bapak selalu bersungguh-sungguh membantu peternak kuda dalam proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat sungguh-sungguh b. Sungguh-sungguh c. Biasa-biasa saja d. Kurang sungguh-sungguh e. Tidak sungguh-sungguh Mengapa, dan apa alasan Bapak : ……………………………………………... …………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….
204
5. Apakah dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, Bapak menerapkan hal-hal yang baru seperti manajemen pemeliharaan yaitu pola pemberian pakan yang baik yang gampang diterapkan oleh peternak dalam pengendalian penyakit surra? a. Sangat sering menerapkan hal-hal yang baru b. Sering menerapkan hal-hal yang baru c. Kadang-kadang menerapkan hal-hal yang baru d. Jarang menerapkan hal-hal yang baru e. Tidak pernah menerapkan hal-hal yang baru 6. Apakah dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, Bapak selalu menghasilkan ide-ide baru dalam hal pemeliharaan ternak kuda untuk membantu proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat sering menghasilkan ide baru b. Sering menghasilkan ide baru c. Kadang-kadang menghasilkan ide baru d. Jarang menghasilkan ide baru e. Tidak pernah menghasilkan ide baru Tolong Bapak jelaskan : ……………………………………………………....... ………………………………………………………………………………….. 7. Kegiatan apa saja yang Bapak lakukan dalam melakukan penyuluhan pada peternak kuda? No
Kegiatan
1
Memberikan materi yang diperlukan oleh peternak
2
Menjadi pemandu dalam diskusi
3
Memberikan teladan dalam pemeliharaan ternak kuda yang baik
Sangat sering
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
205
4
Memotiovasi peternak
5
Memfasilitasi peternak dalam uji laboratorium dan permodalan
8. Apakah Bapak menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan praktis peternak kuda di daerah endemis surra? a. Sangat sering sesuai dengan kebutuhan praktis b. Sering sesuai dengan kebutuhan praktis c. Kadang-kadang sesuai dengan kebutuhan praktis d. Jarang sesuai dengan kebutuhan praktis e. Sangat jarang sesuai dengan kebutuhan praktis Mohon dijelaskan, hal-hal apa saja, misalnya : …………………………………. …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… 9. Dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, apakah materi yang Bapak sampaikan dapat membantu mengatasi masalah peternak di daerah endemis surra? a. Sangat sering membantu b. Sering membantu c. Kadang-kadang membantu d. Kurang membantu e. Sangat jarang membantu Mohon dijelaskan dalam hal apa saja : ………………………………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………..
206
10. Bagaimana jumlah kehadiran peternak-peternak kuda dalam kegiatan penyuluhan yang Bapak lakukan di daerah endemis yang Bapak tangani? a. 90-100 % b. 80-90 % c. 60-70 % d. 40-50 % e. 20-30 % 11. Dalam kegiatan penyuluhan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan peternak-peternak kuda di daerah endemis surra? a. Aktifitas diskusi sangat baik b. Aktifitas diskusi baik c. Kadang – kadang melakukan diskusi d. Jarang mengadakan diskusi e. Tidak perna mengadakan diskusi Mohon dijelaskan apa saja yang didiskusikan : …………………………….... ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………. 12. Bagaimana suasan diskusi tersebut? No Suasana Sangat Sering KadangJarang Tidak sering kadang pernah 1
Terjadi pertukaran ide antar peternak
2
Berbagi pengalaman
3
Mendengarkan pandangan masingmasing antara peternak dan penyuluh
4
Pengambilan keputusan sebagai hasil diskusi
207
13. Bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh peternak kuda pada saat berdiskusi dengan Bapak saat melakukan penyuluhan? a. Sangat ramah b. Ramah c. Sedang –sedang d. Kurang ramah e. Tidak ramah 14. Menurut Bapak, bagaimana pemahaman para peternak-peternak kuda setelah mendapatkan penyuluhan? a. Sangat memahami b. Memahami c. Sedang-sedang d. Kurang memahami e. Tidak memahami 15. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat? a. Ya ada aturan yaitu ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat harus berasal dari tempat atau kecamatan yang akan diadakan proses adatistiadat b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-sistiada harus memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor lalat penyebab penyakit surra. e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak dibebaskan tanpa adanya karantina.
208
DAFTAR PERTANYAAN SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden pemerintah I
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Pangkat/golongan
:
4. Jabatan fungsional
:
5. Jenis kelamin
: 1) Laki-laki, 2) Perempuan
6. Status Perkawinan
: 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
7. Isteri/suami
:
-
Nama
:
-
Umur
:
-
Pendidikan
:
-
Pekerjaan
:
8. Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan : II PELAYANAN 1. Kegiatan apa saja yang Bapak lakukan dalam memberikan pelayanan kepada peternak-peternak kuda yang endemis penyakit surra? Kegiatan Kegiatan vaksinasi Pemeriksaan ternak Pengobatan ternak sakit Pelayanan informasi
Sangat sering
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
209
2. Apakah Bapak sangat antusias memberikan pelayanan pada peternak kuda dalam rangka pengendalian penyakit surra? f. Sangat antusias g. Antusias h. Kadang-kadang i. Kurang antusias j. Tidak melakukan pelayanan sama sekali Mengapa: …………………..………………………………………………… ……………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………….. 3. Bagaimanakah sikap dari peternak kuda saat Bapak memberikan pelayanan seperti memberikan obat-obatan, vaksin, pemeriksaan hewan sakit dll dalam pengendalian penyakit surra? a.
Sangat menerima
b.
Menerima
c.
Ragu-ragu
d.
Kurang menerima
e.
Tidak menerima
Mengapa? : ……………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………... …………………………………………………………………………………... …………………………………………………………………………………... 4. Bagaimana hubungan komunikasi Bapak dengan peternak saat Bapak memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-obatan dll) kepada mereka dalam hal pengendalian penyakit surra? a.
Sangat akrab
b.
Akrab
c.
Biasa-biasa saja
d.
Kurang akrab
e.
Tidak akrab
210
5. Menurut Bapak, apakah pelayanan (obat-obatan, vaksin, pemeriksaan ternak sakit dll ) memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur? a.
Sangat berperan besar
b.
Berperan besar
c.
Biasa-biasa saja
d.
Kurang berperan
e.
Tidak berperan
6. Bagaimana kemampuan Bapak dalam membangun suasana hangat dengan peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur dalam proses pelayanan? a. Menciptakan suasana yang sangat akrab dengan peternak b. Melakukan diskusi dengan peternak-peternak kuda mengenai kendalakendala yang dihadapi dalam proses pengendalian penyakit surra c. Melakukan pertukaran pikiran serta berbagi pengalaman dalam hal menanggulangi penyakit pada ternak d. Biasa-biasa saja tanpa adanya diskusi e. Tidak akrab yaitu tanpa adanya diskusi atau membahas hal-hal mengenai penyakit surra 7. Dalam kegiatan pelayanan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan peternak-peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur? a. Aktifitas diskusi sangat baik b. Aktifitas diskusi baik c. Kadang – kadang melakukan diskusi d. Jarang mengadakan diskusi e. Tidak perna mengadakan diskusi 8. Apakah Bapak selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan kepada peternak kuda yang berada diderah endemis? a. 9-10 kali dalam sebulan b. 7-8 kali dalam sebulan c. 5-6 kali dalam sebulan
211
d. 3-4 kali dalam sebulan e. 1-2 kali dalam sebulan 9.
Bagaimana cara Bapak memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obatobatan dan pemriksaan hewan sakit dll) kepada peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur? a. Melakukan kunjungan langsung ke rumah peternak b. Menitipkan vaksin, obat-obatan ke tokoh-tokoh masyarakat setempat c. Mengumpulkan para peternak kuda lalu memberikan bantuan pelayanan yang dibutuh dalam pengendalian penyakit surra d. Memberikan pelayanan setiap saat peternak membutuhkan bantuan dalam proses pengendalian penyakit surra e. Melakukan pelayanan hanya pada saat peternak membutuhkan obat
III PENGATURAN 1. Kebijakan apa saja yang Bapak berikan untuk menanggulangi kejadian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur? a. Trasportasi hewan antar daerah, kecamatan dan desa di batasi, melakukan karantina hewan, serta memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter hewn setempat b. Melakukan karantina hewan sakit saja c. Adanya surat ijin pemasukan dan pengeluaran hewan baik antar kabupaten maupun antar pulau d. Melakukan Pemotongan hewan-hewan sakit akibat penyakit surra e. Adanya surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan setempat 2. Bagaimana tanggapan para peternak kuda mengenai kebijakan yang Bapak keluarkan? a. Sangat tanggap
d. Kurang tanggap
b. Tanggap
e. Tidak tanggap
c. Sedang-sedang
212
3. Dalam penanganan penyakit surra apakah peraturan yang Bapak keluarkan sangat dipatuhi oleh peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur? a. Sangat di patuhi b. Di patuhi c. Biasa-biasa saja d. Kurang dipatuhi e. Tidak dipatuhi 4. Menurut Bapak apakah dengan kebijakan-kebijakan yang Bapak keluarkan mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra? a. Sangat mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra b. Mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra c. Biasa-biasa saja d. Kurang mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra e. Tidak mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra 5. Menurut Bapak apakah peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pengendalian penyakit surra? a. Sangat berperan besar b. Berperan besar c. Biasa-biasa saja d. Kuran berperan e. Tidak berperan 6. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat? a. Ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat harus berasal dari tempat atau kecamatan yang akan diadakan proses adat-istiadat b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat harus memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan
213
d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor lalat penyebab penyakit surra. e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak dibebaskan tanpa adanya karantina. 7. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah sehingga peternak-peternak kuda mau mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan? a. Melakukan penyuluhan akan bahayanya penyakit surra yang mengancam populasi ternak b. Memberikan bantuan pelayanan dalam hal vaksnasi, obat-obatan dan pemeriksaan hewan sakit c. Selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke rumah peternak d.
Saling bertukar pikiran dalam hal menangani wabah penyakit sura
e. Tidak melakukan tindakan apapun, kunjungan dilakukan jika peternak benar-benar butuh dalam hal pemeriksaan, pengobatan dan vaksinasi 8. Apakah yang dilakukan pemerintah jika aturan yang ditetapkan tidak diikuti oleh peternak-peternak kuda? a. Memberikan peringatan keras, jika peternak-peternak kuda melanggar aturan yang telah ditetapkan b. Langsung memberikan sanksi kepada peternak-peternak kuda yang melanggar aturan c. Memberikan sosialisasi sehingga peternak menyadari akan bahayanya penyakit surra d. jika ada peternak yang melanggar diberikan sanksi tidak mendapat bantuan pelayanan seperti pemberian obat-obatan, vaksin dan pemeriksaan hewan. e. Tidak memberikan sanksi, tetapi hanya mdapat teguran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.