Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR (Research on the Genetic Potential of Ongole and Brahman Cattle in East Sumba, East Nusa Tenggara) SUMADI1 dan SILIWOLU2 1 Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
2
ABSTRACT Sumba Island is know as the main producer of beef cattle. Since the government considered that the performance of Sumba Ongole was decreased, the government decided to import Brahman cattle. Since 1975 a total number of Brahman cross the cattle have been imported to Sumba Island. This research was conducted to study the performance of Sumba Ongole and Brahman cattle as well as their crossbred, to establish a breeding program. It was concluded that the performance of Brahman-Ongole crossbred cattle showed a better performance compared to the performance of the local cattle. It also has been proved that the F1, the first generation of crossing, showed heterosis. Due to the finding it could be suggested that the breeding program, namely as the Village Breeding System could be introduced to develop the population of beef cattle in that Island. Since the crossbred cattle showed heterosis, a program to produce “terminal crossbred” cattle was suggested. A “commercial crossbred” cattle could be developed by crossing the Brahman cattle with native Ongole cattle owned by the farmers. It was also found that since up to now, there was no detrimental effect in the crossbred cattle, it could be suggested that the importation of Brahman cattle can be continued to improve the genetic potential of the native cattle in Sumba Island. It should be notify that if Sumba wants to import Brahman cattle again, it should be the pure Brahman cattle, and not the Brahman cross cattle. If due to some reasons, Sumba has to import the Brahman cross, it should be not the spotted one and the color of the imported cattle sholud be white or grayish white. Key words: Genetics potential, breeding policy, Ongole cattle, Brahman cattle, East Sumba ABSTRAK Pulau Sumba dikenal sebagai penghasil sapi potong utama. Karena pemerintah menganggap bahwa performans sapi Sumba Ongole mengalami penurunan, pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor sapi Brahman. Sejak tahun 1975 sejumlah sapi Brahman cross telah diimpor ke Pulau Sumba. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performans sapi Sumba Ongole dan Brahman beserta silangannya, guna menyusun suatu program pengembangbiakan. Telah dibuktikan bahwa performans sapi silangan Brahman X Ongole menunjukkan performans yang lebih baik dari pada performans sapi lokal. Telah pula dibuktikan bahwa silangan pertama F1 dapat menunjukkan heterosis. Berdasarkan penemuan tersebut, suatu konsep pengembangbiakan ternak yang disebut sebagai Village Breeding System diterapkan dalam pengembangan ternak potong di pulau tersebut. Karena ternyata sapi silangannya dapat menunjukkan heterosis, suatu program untuk menghasilkan terminal cross sangat dianjurkan. Suatu commercial cross dapat dihasilkan dengan menyilangkan sapi Brahman dengan sapi lokal Ongole milik rakyat. Telah pula dibuktikan bahwa sampai saat ini tidak ditemukan dampak jelek pada sapi silangannya, sehingga dapat disarankan bahwa impor sapi Brahman dapat diteruskan untuk memperbaiki potensi genetik sapi lokal di Pulau Sumba. Harus pula diperhatikan bahwa apabila Sumba akan mengimpor sapi Brahman lagi, sebaiknya yang diimpor adalah sapi Brahman murni dan bukan sapi Brahman cross. Namun apabila karena sesuatu hal Sumba terpaksa mengimpor sapi Brahman cross, maka disarankan untuk tidak mengimpor sapi yang belang/loreng dan warna dari sapi haruslah yang putih atau putih keabu-abuan. Kata kunci: Potensi genetik, program pengembangbiakan, sapi Ongole, sapi Brahman, Sumba Timur
31
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
PENDAHULUAN Salah satu aset nasional di bidang peternakan di wilayah NTT, dan Sumba Timur khususnya adalah sapi potong, yang cukup besar potensinya untuk dikembangkan dan dilestarikan. Keberadaan sapi potong dapat digali dan dikembangkan potensinya sehingga dapat meningkatkan lapangan kerja, produksi daging nasional, pendapatan dan kesejahteraan petani peternak, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Disamping itu secara nasional juga akan mengurangi impor daging dan sapi bakalan khususnya dari Australia. Potensi sapi potong di NTT dari tahun 1999–2001 mengalami penurunan sebesar 15,92% (SUMADI, 2002). Apabila keadaan ini dibiarkan saja, maka ada kemungkinan dalam waktu ± 10 tahun mendatang keberadaan sapi potong di NTT termasuk di Sumba Timur akan terkuras. Hal ini berarti kita akan kehilangan suatu plasma nutfah yang merupakan salah satu aset nasional pada bidang peternakan. Disamping itu ukuran sapi yang diantar pulaukan maupun yang dipotong di RPH ada indikasi semakin mengecil. Hal ini dapat digunakan sebagai bukti untuk menduga adanya degradasi mutu genetik sapi potong dalam kurun waktu yang cukup lama (HARDJOSUBROTO, 2000). Karena dirasa adanya degradasi dalam performansnya, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Peternakan sejak tahun 1975 telah memasukkan sapi Brahman/Brahman cross ke Pulau Sumba. Tujuan utama dari pemasukan sapi tersebut adalah untuk memperbaiki mutu genetik sapi Ongole di Pulau Sumba. Produktivitas ternak merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi, serta dapat ditingkatkan melalui perbaikan mutu genetik atau seleksi dan pengaturan perkawinan serta perbaikan lingkungan secara terpadu (LASLEY, 1978; WARWICK et al., 1993; HARDJOSUBROTO, 1994). Hal ini dimungkinkan dapat dilakukan di Sumba Timur dan disesuaikan dengan karakteristik populasi sapi Ongole dan Brahman, sumberdaya manusia dan daya dukung lingkungan, sehingga produktivitas sapi Ongole dan Brahman dapat ditingkatkan secara terpadu. Berdasarkan uraian tersebut di atas salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menjawab tantangan dan permasalahan
32
tersebut di atas, adalah perlunya dilakukan penelitian tentang mutu genetik sapi Ongole dan Brahman di Sumba Timur, NTT. Tujuan penelitian Untuk mengetahui mutu genetik sapi Ongole dan Brahman di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang berupa data dasar potensi genetik, yang meliputi sifatsifat produksi dan reproduksi, untuk menyusun program breeding sapi potong di Sumba Timur. MATERI DAN METODE Lokasi dan waktu Penelitian dilakukan di tujuh kecamatan di kabupaten Sumba Timur, NTT. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai November 2003. Materi yang digunakan adalah peternak sapi potong sebagai responden beserta sapi miliknya, sapi yang dipotong di RPH, sapi di karantina dan data sekunder dari dinas terkait. Metode Penelitian ini menggunakan metode survei dengan alat bantu kuesioner dan observasi. Survei melibatkan tujuh kecamatan, 12 desa dan 75 responden (dipilih secara quota sampling). Pengamatan meliputi identitas responden, pengelolaan dan biologi reproduksi, sapi milik responden ditimbang, diukur, diamati bangsa sapi dan umurnya, bobot potong dan karkas diukur di RPH, bobot jual dan ukuran tubuh di Karantina Hewan. Data sekunder dari dinas terkait. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dan potensi wilayah atau out put diestimasi dengan teori breeding. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak dan tujuan pemeliharaan sapi potong Rata-rata umur peternak masih dalam kisaran umur produktif (48,78 ± 14,26 tahun) dan pengalaman beternak cukup lama (18,44 ±
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
13,93 tahun). Tingkat pendidikan peternak masih relatif rendah yaitu SD sebesar 68,90%. Pekerjaan utama peternak umumnya petani 51,3% dan peternak 43,4%. Tujuan utama pemeliharaan menghasilkan anak 55,8% dan tabungan 41,6%. Cara pemeliharaan 85,7% dilepas dan dikandangkan (Tabel 1). Tabel 1. Identitas peternak dan tujuan pemeliharaan sapi potong di Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2003 Keterangan
Rata-rata
Umur peternak (tahun)
48,78 ± 14,26
Pengalaman berternak (tahun)
18,44 ± 13,93
Pekerjaan utama (%) Petani Peternak Pedagang Pegawai (PNS) Pendidikan (%) SD SLTP SMU Lahan yang dimiliki (m2) Sawah
51,3 43,4 1,3 3,9 68,9 16,9 14,3 4564,94 ± 8870,54
Tegal
11146,75 ± 8963,33
Pekarangan
6555,19 ± 9223,88
Tujuan utama pemeliharaan (%) Tabungan Adat Menghasilkan anak Dagang Cara pemeliharaan (%) Diikat Dilepas Dilepas/dikandang
41,6 1,3 55,8 1,3 10,4 3,9 85,7
Komposisi dan pemilikan sapi potong Komposisi dan pemilikan sapi potong dari para peternak (Tabel 2) menunjukkan bahwa komposisi pedet jantan 8,59% dan betina 10,83%, muda jantan 7,94% dan betina 14,95%, dewasa jantan 15,96% dan betina 41,73%. Jumlah jantan dewasa cukup tinggi karena digunakan sebagai pejantan untuk mengawini induk di padang pangonan secara
kawin alam. Jumlah betina yang relatif tinggi dalam populasi, hal ini sesuai dengan tujuan pemeliharaan untuk menghasilkan anak. Persentase sapi muda dan pedet relatif seimbang serta yang betina relatif lebih banyak dan hal ini merupakan komposisi yang baik untuk replacement induk. Berdasarkan komposisi tersebut Kabupaten Sumba Timur cukup ideal untuk wilayah produksi dan pembibitan (sumber sapi potong). Bobot badan dan ukuran tubuh sapi potong Pada Tabel 3 menunjukkan bobot badan pada status dan jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan analisis bobot badan berbagai macam kondisi ternak, dapat disimpulkan bahwa persilangan antara sapi Brahman (Brahman cross) menunjukkan adanya tendensi timbulnya heterosis. Dengan fakta tersebut di atas, maka bagi usaha penggemukan secara komersial dapat ditujukan ke arah pembibitan terminal cross, sedang bagi peternak rakyat dapat ditujukan ke arah terciptanya commercial cross. Suatu tantangan yang bagus bagi pihak Dinas Peternakan, mampukah Sumba menciptakan Indonesian Commercial Cross yang berlandaskan persilangan Brahman x SO. Pengelolaan dan biologi reproduksi Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa peternak mengenal tanda birahi baik dan baik sekali sebesar 33,80% dan 19,50% dan sebesar 98,67% cara perkawinan sapi secara alam. Umur pertama kali kawin pada jantan 2,07 tahun dan betina 2,49 tahun dan batas umur pemeliharaan jantan 4,82 tahun dan betina 10,33 tahun serta umur penyapihan 8,10 bulan. Umur induk beranak pertama 3,38 tahun, perkawinan pertama setelah beranak 4,65 bulan dan S/C sebesar 3,52 (kawin alam) serta jarak beranak 15,07 bulan. Lama digunakan sebagai bibit pada jantan 2,75 tahun dan betina 7,84 tahun dan tingkat kelahiran terhadap jumlah induk 61,07% dan terhadap jumlah sampel 25,49%. Rasio kelahiran pedet jantan dan betina 47,83 dan 52,17%. Kondisi induk saat melahirkan sebesar 63,01% yaitu kondisi sedang.
33
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Net Replacement Rate (NRR)
Kematian ternak sapi
Perhitungan nilai NRR dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 menunjukkan nilai NRR betina 123,5% dan jantan 164,80%. Nilai NRR dapat digunakan untuk mengetahui apakah jumlah kelahiran ternak dapat memenuhi kebutuhan akan ternak pengganti, agar populasi tetap konstan. Dalam hal ini NRR > 100%, artinya kebutuhan ternak pengganti (replacement stock) terpenuhi, bahkan terdapat kelebihan betina 23,50% dan jantan 64,80% dari kebutuhan. Kelebihan ini dengan diseleksi lebih dulu dapat digunakan sebagai bibit di tempat lain.
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase kematian sapi potong di Kabupaten Sumba Timur terhadap populasi adalah dewasa jantan 0,26% dan betina 5,36%; muda jantan 0,58% dan betina 0,78%; pedet jantan 1,24% dan betina 1,11%, dengan jumlah 9,35%. Kematian tersebut cukup tinggi terutama kematian dewasa betina sebesar 5,36% dan kematian tersebut disebabkan oleh pakan (46,67%), sakit (20,0%) dan kecelakaan 33,33%. Berdasarkan hasil ini harus diusahakan mengurangi jumlah kematian dengan cara memperbaiki manajemen pengelolaan, penyakit dan pakan.
Tabel 2. Komposisi dan rata-rata pemilikan sapi potong di Kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Komposisi
Jumlah
Rata-rata
Ekor
%
Ekor
%
UT
Jantan
221
15,96
2,80
15,96
2,80
Betina
578
41,73
7,32
41,73
7,32
Jantan
110
7,94
1,39
7,94
0,83
Betina
207
14,95
2,62
14,95
1,32
119
8,59
1,51
8,59
0,38
150
10,83
1,90
10,83
0,48
1385
100,0
17,53
100,0
13,13
Dewasa (>24 bulan)
Muda (>10–24 bulan)
Pedet (0–10 bulan) Jantan Betina Total rata-rata
UT = Unit ternak; Jumlah responden: 75 orang; Jumlah pemilikan:1–128 ekor; Dewasa = 1,0 UT; Muda = 0,6 UT; Pedet = 0,25 UT Tabel 3. Data bobot badan sapi di Sumba Timur Sex/status
Brahman (Br)
Sumba Ongole (SO)
Silangan Br x SO
305,17 ± 70,93 (6)
346,17 ± 76,10 (26)
402,15 ± 61,51 (13)
Jantan (kg) Dewasa Muda
252,83 ± 70,52 (9)
196,72 ± 40,50 (9)
264,96 ± 56,33 (13)
Pedet
111,17 ± 34,62 (12)
147,00 ± 62,55 (3)
138,44 ± 62,65 (8)
Dewasa
292,36 ± 46,34 (64)
289,73 ± 45,06 (64)
302,42 ± 57,94 (31)
Muda
268,38 ± 86,38 (8)
205,00 ± 74,75 (7)
250,77 ± 64,63 (11)
Pedet
123,47 ± 69,25 (16)
105,70 ± 41,56 (15)
162,43 ± 35,84 (7)
Betina (kg)
Angka dalam kurung menunjukkan jumlah ternak
34
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 4. Rata-rata pengelolaan dan biologi reproduksi sapi potong di Kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Keterangan
Jumlah responden (orang)
Rata-rata
Pengelolaan reproduksi Pengenalan tanda ternak birahi (%)
75
-
Kurang
19,50
Sedang
27,20
Baik
33,80
Baik sekali
19,50
Cara perkawinan (%)
74
-
Kawin alam
98,67
IB
1,33
Umur pertama kawin (tahun)
75
-
Jantan
2,07
Betina
2,49
Batas umur pemeliharaan (tahun)
75
Jantan Betina Umur penyapihan (bulan)
4,82 10,33
75
8,10
Biologi Reproduksi Umur induk beranak pertama (tahun)
75
3,38
Kawin pertama setelah beranak (bulan)
69
4,65
S/C (kali) 33
3,52
Jarak beranak (bulan)
Kawin alam
73
15,07
Lama digunakan sebagai bibit (tahun)
75
Jantan
2,75
Betina
7,84
Frekuensi beranak (kali) Tingkat kelahiran (%)
6,22 63
Terhadap jumlah induk
61,07
Terhadap jumlah sampel
25,49
Jumlah pedet (ekor) Jantan
52
47,83
Betina
54
52,17
Kondisi induk saat melahirkan (%) Kurus
9
12,33
Sedang
46
63,01
Gemuk
18
24,66
35
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 5. Perhitungan Net Replacement Rate (NRR) sapi potong di Kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Keterangan
Rata-rata
Betina dewasa (%)
41,04
Kelahiran terhadap induk (%)
61,22
Kelahiran terhadap populasi sampel (%)
25,12
Kematian ternak
9,35
Natural Increase umur 1 tahun (%)
15,77
Ramalan anak betina hidup umur 2 tahun (%)
7,71
Ramalan anak jantan hidup umur 2 tahun (%)
7,68
Betina tua yang dikeluarkan dari breeding per tahun (%)
3,32
Jantan tua yang dikeluarkan dari breeding per tahun (%)
3,56
Kebutuhan sapi betina pengganti per tahun (umur 2 tahun) (%)
6,24
Kebutuhan sapi jantan pengganti per tahun (umur 2 tahun) (%)
4,66
NRR betina (%)
123,50
NRR jantan (%)
164,80
Tabel 6. Persentase kematian sapi potong Kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Keterangan Dewasa Jantan Betina Jumlah Muda Jantan Betina Jumlah Pedet Jantan Betina Jumlah Jumlah
di
Ekor
Terhadap total kematian (%)
Terhadap populasi (%)
4 82 86
2,79 57,34 60,13
0,26 5,36 5,62
9 12 21
6,29 8,39 14,68
0,58 0,78 1,36
19 17 36 143
13,28 11,88 25,17 100,00
1,24 1,11 2,35 9,35
Pertambahan alami (natural increase) Nilai Natural Increase (NI) dari sapi potong hasil penelitian sebesar 15,77% (Tabel 7). Hasil ini lebih rendah apabila dibandingkan penelitian MUKIJA (1998) sebesar 24,42% di Gunung Kidul (DIY), AHMADI (2000) di Jawa Tengah 22,63% dan SUMADI (2002) di Sleman (DIY) sebesar 32,92%.
36
Rendahnya nilai NI diduga disebabkan rendahnya tingkat kelahiran terhadap populasi dan tingginya kematian ternak (Tabel 7). Disamping itu mungkin juga disebabkan rendahnya populasi betina dewasa (41,04%), apabila dibandingkan di Kabupaten Sleman (DIY) populasi betina dewasa sebesar 45,57%. Nilai Natural Increase (NI) sapi potong hasil penelitian sebesar 15,77% (Tabel 8). Hasil ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan penelitian di Gunungkidul (DIY) sebesar 24,42%, di Jawa Tengah 22,62% dan di Sleman (DIY) sebesar 32,90% (SUMADI, 2002). Rendahnya nilai NI diduga disebabkan rendahnya tingkat kelahiran terhadap populasi tingginya kematian ternak, mungkin juga disebabkan rendahnya populasi betina dewasa. Tabel 7. Perhitungan nilai Natural Increase sapi potong di kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Keterangan Ternak betina dewasa (%)
Rata-rata 41,04
Tingkat kelahiran (%) Terhadap induk
61,22
Terhadap populasi sampel
25,12
Kematian ternak (%)
9,35
Natural Increase (%)
15,77
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 8. Perhitungan komposisi pengeluaran (out put) sapi potong di kabupaten Sumba Timur tahun 2003 Keterangan
Jantan
Betina
Jumlah
6,84
7,44
14,28
Natural Increase umur 2 tahun (%) Kebutuhan ternak pengganti (%)
5,32
5,96
11,28
Sisa sapi muda (%)
1,52
1,48
3,00
Sapi muda
1,52
1,48
3,00
Sapi tua (afkir)
5,32
5,22
10,54
Jumlah
6,84
7,44
14,28
Komposisi keluaran sapi potong (%)
Pengeluaran sapi potong Jumlah sapi yang dikeluarkan oleh perternak responden dalam jangka waktu setahun sebanyak 188 ekor atau 13,57% dari populasi sampel. Komposisi status physiologik adalah pedet 24 ekor (12,76%), muda 45 ekor (23,94%) dan dewasa 119 ekor (63,30%) (Tabel 9). Alasan pengeluaran sapi antara lain dijual 86,70%, dipotong 2,13%, digaduhkan 4,79% dan keperluan adat 6,38%. Pengeluaran terbesar disebabkan dijual, hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat penghasilannya dari sapi potong. Tabel 9. Pengeluaran sapi potong oleh responden di Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2003 Keterangan
Keluar Ekor
%
119
63,30
Jantan
73
38,83
Betina
46
24,47
45
23,94
Jantan
26
13,83
Betina
19
10,11
24
12,76
Jantan
13
6,91
Betina
11
5,85
dijual
111
58,73
dipotong
11
5,82
digaduhkan
9
4,76
untuk acara adat
11
5,82
lain-lain
47
24,87
Dewasa
Muda
Pedet
Alasan pengeluaran
Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Ongole dan silangannya yang akan diantar pulaukan tertera pada Tabel 10, menunjukkan bahwa ada kecenderungan bobot sapi Ongole silangan mempunyai tendensi lebih berat dari pada sapi Ongole dan sapi silangan relatif lebih muda. Tabel 10. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Ongole jantan di Karantina Waingapu, Sumba Timur Sifat Jumlah (ekor) Bobot badan (kg) Ongole (5 ekor) Silangan (8 ekor) Ukuran tubuh (cm): Panjang badan Tinggi gumba Lingkar dada Tinggi pinggul Umur (tahun) Ongole Silangan
Keterangan 13 424,50 ± 55,00 413,00 ± 63,77 429,67 ± 53,99 146,60 ± 6,9 143,10 ± 5,8 179,50 ± 6,6 150,40 ± 6,6 4,0 3,5
Pemotongan ternak sapi Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur tahun 2002, jumlah populasi sapi potong 36714 ekor, pemotongan tercatat 515 ekor, pemotongan tidak tercatat 52 ekor. Jumlah pemotongan sapi potong tahun 2002 sebesar 1,54% yang terdiri dari 1,40% tercatat dan 0,14% tidak tercatat. Selanjutnya rata-rata persentase karkas hasil pemotongan sapi Sumba Ongole di RPH Waingapu seperti tercantum pada Tabel 11.
37
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 11. Rata-rata persentase karkas hasil pemotongan sapi SO di RPH Waingapu pada Agustus 2003 Umur (tahun)
Sex
Cincin tanduk
Bobot hidup (kg)
12,0
B
5
10,0
B
4
Karkas
Daging
kg
%
232
96,0
348
172,5
Kondisi
Kg
%
41,38
61,50
64,04
K
49,56
125,50
72,75
S
10,0
J
-
281
131,5
46,80
83,30
63,12
K
12,0
B
6
290
119,0
41,03
82,0
68,91
K
12,0
B
6
258
116,5
45,16
82,0
70,39
K
11,0
B
5
368
171,5
46,60
120,5
70,26
K
9,0
B
4
365
155,9
42,71
108,5
70,00
S
7,5
B
3
239
128,5
53,77
94,5
73,54
S
10,35
4,71
297,63
136,43
45,88
94,69
69,14
1,64
1,11
55,65
27,60
4,33
21,93
3,75
Jumlah sampel 8 ekor Sex: J = Jantan; B = Betina; x = Rata-rata; sd = Standar deviasi Kondisi: K = Kurus; S = Sedang
Pada Tabel 11 menunjukkan sapi yang dipotong di RPH Waingapu pada Agustus 2003, rata-rata umur 10,35 ± 1,64 tahun; 87,50% jenis kelamin betina, jumlah cincin tanduk 4,71 ± 1,11; bobot potong 297,63 ± 55,65 kg; persentase karkas 45,88 ± 4,33%; persentase daging terhadap bobot karkas 69,14 ± 3,75% dan kondisi sedang 62,50% serta kondisi kurus. Berdasarkan hasil pada Tabel 11, sebaiknya sapi sebelum dipotong kondisinya diperbaiki dulu sampai kondisi sedang dan gemuk supaya produksi karkas dan daging meningkat.
Hasil survei menyatakan jumlah sapi yang telah dikeluarkan dari wilayah survei sebesar 13,76% dari populasi. Ini berarti bahwa Sumba Timur masih mempunyai harapan untuk mengembangkan populasi sapi potongnya. Pada tahun 2001 populasi sapi potong di Sumba Timur 36,7 ribu ekor dan pengeluaran sebesar 5,7 ribu ekor setara 15,8% dari total populasi. Hal ini berarti walaupun jumlah sapi potong yang dikeluarkan dari populasi masih di bawah batas out put-nya, tetapi pengembangannya sudah mulai terganggu. Oleh karena itu Dinas Peternakan Sumba Timur harus mulai mewaspadai pengeluaran ternaknya.
Perkiraan out put ternak
Tabel 12. Out put ternak dari wilayah Sumba Timur tahun 2003*)
Berdasarkan data reproduksi, kematian, nilai NI dan NRR, maka dapat dibuat estimasi out put ternak dari wilayah yang disurvei di Sumba Timur dalam tahun 2003 dengan menggunakan pendekatan teori pemuliaan ternak dan hasilnya seperti pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12 dan tidak ada pengembangan populasi, maka Sumba Timur mampu mengeluarkan sapi potong per tahun 20,83% dari total populasi. Namun apabila akan ada pengembangan populasi sapi potong yang telah ada, maka batas pengeluaran hanya sebesar 14,55% dari populasi.
38
Keterangan Persentase ternak pengganti: Pengganti induk Pengganti pejantan Out put wilayah: Sisa jantan muda Sisa betina muda Jantan afkir Betina afkir Total *)
(%) 5,97 4,46 7,67 6,28 3,56 3,32 20,83
Asumsi tidak ada pengembangan populasi
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Pola pengembangbiakan Pemasukan sapi Brahman/Brahman cross ke pulau Sumba Sebagaimana telah dikemukakan di depan, semula Pulau Sumba tidak memiliki sapi potong. Namun setelah sapi Ongole dimasukkan ke pulau tersebut, ternyata dapat berkembangbiak dengan baik, sehingga sejak tahun 1930-an, Pulau Sumba dikenal sebagai penghasil utama sapi potong. Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi pengurasan terutama terhadap sapi jantan yang baik-baik. Hal ini mengakibatkan adanya degradasi performans sapi Ongole. Pemerintah yang dalam hal ini Direktorat Jendral Peternakan, telah memutuskan untuk mengimpor sapi Brahman dari Australia, guna memperbaiki mutu genetik sapi Ongole. Dalam pelaksanaannya, sapi Brahman yang diimpor bukanlah sapi Brahman murni, tetapi sapi Brahman cross (Tabel 13). Tabel 13. Data pemasukan sapi Brahman (Brahman cross) ke Sumba Timur
2. Apabila dilakukan persilangan, maka komposisi darah di populasi ternak rakyat disarankan berkisar antara 60–90% darah sapi impor. Dalam pembinaan ternak rakyat (Village Breeding System), dikenal adanya dua macam cara, yaitu secara inti tertutup (Peternakan Inti Tertutup, atau Close Nucleus Breeding System dan secara inti terbuka (Peternakan Inti Terbuka, atau Open Nucleus Breeding System. Apabila pembinaan ternak akan melibatkan peternak secara langsung, maka harus ada tiga lapisan struktur peternakan di wilayah tersebut, yaitu (1) lapisan inti tempat menghasilkan bibit unggul, (2) lapisan kedua adalah lapisan tempat para peternak menggandakan bibit unggul yang diterima dari inti, (3) lapisan ketiga adalah massa peternak rakyat atau peternak komersial. Usulan pola pengembangbiakan Dinas Peternakan Sumba Timur telah memiliki suatu rencana pengembangan sapi potong, yang tersusun atas tiga macam Pola Pengembangan, yaitu:
Tahun
Jantan
Betina
1975
40
60
1. Pola Sumba kontrak
1979
53
537
2. Pola kemitraan usaha
1980
84
755
3. Pola industri peternakan
1981
101
739
1996
39
1082
2001
-
1634 (bunting)
Sumber: DISNAK SUMBA TIMUR
Atas dasar hasil penelitian tersebut di atas, maka dalam memanfaatkan keberadaan sapi Brahman maupun silangannya, disarankan pelaksanaan dari ketiga pola tersebut sebagai berikut:
Village breeding system
Pola Sumba kontrak
Dari hasil analisis terhadap data performans, dapat disusun suatu program pengembangbiakan sapi Ongole beserta silangannya. Dasar yang diambil guna penyusunan program tersebut adalah saran dari Direktur Perbibitan, yang intinya adalah sebagai berikut:
Digunakan 6 ekor sapi, terdiri atas satu ekor jantan dan lima ekor induk. Dibedakan atas dua model, sebagai berikut:
1. Pengembangbiakan ternak sapi yang dilakukan terhadap ternak rakyat mengikuti kaidah seleksi dengan metode pengembangannya adalah secara Village Breeding System.
a. Untuk wilayah yang masih akan dimurnikan darah Ongolenya, menggunakan sapi Ongole murni. Hal ini dimaksud untuk melestarikan plasma nutfah sapi Ongole. b. Untuk wilayah pengembangan lainnya, digunakan sapi jantan silangan dengan komposisi darah (0,75 Brahman; 0,25 SO).
39
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 14. Usulan pengembangbiakan sapi Ongole beserta silangannya dengan metode village breeding system Pola Sumba kontrak
Kemitraan Usaha
Industri Peternakan
Materi 1 jantan Ongole 5 induk Ongole 1 jantan silangan*) 5 induk Ongole 1 jantan silangan atau Brahman murni 2 induk Ongole atau silangan 1 jantan atau betina sapi silangan pertama (F1)**)
Obyek Peternak pengganda (ekstensi)
Output
Peternak komersial (semi intensif)
Commercial breed
Peternak penggemukan (intensif)
Terminal cross
Ternak Ongole murni Ternak silangan
*)
Sapi jantan silangan dengan komposisi darah (0,75 Br; 0,25 SO) Silangan F1 dengan komposisi darah (0,50 Br; 0,50 SO)
**)
Dengan cara ini maka akan tercipta populasi sapi silangan dalam populasi, dengan komposisi darah Brahman tidak akan melebih 75%. Pola kemitraan usaha Pengembangbiakan ditujukan untuk menghasilkan commercial cross, yaitu suatu populasi ternak sapi dengan komposisi darah Brahman secara campuran antar SO dengan Brahman, dan berkisar antara 0–75% Brahman. Pola industri peternakan Karena ternyata dalam persilangan antara sapi SO dengan Brahman dapat menimbulkan heterosis, maka keuntungan terbesar akan diperoleh apabila industriawan dapat memanfaatkan heterosis tersebut, yaitu dengan jalan menghasilkan terminal cross. Untuk jelasnya, pola pengembangbiakan yang diusulkan disarikan ke dalam Tabel 14. Dengan adanya saran pengembangan sapi tersebut di atas, menurut Breeding Center Sumba Timur harus dapat menghasilkan tiga macam bangsa sapi, yaitu bangsa sapi SO, sapi silangan, dan sapi Brahman (dianjurkan yang murni). Pengembangbiakan sapi potong di Sumba Timur mengikuti metode seleksi dan village breeding system, dengan memanfaatkan ketiga Pola Pengembangan yang telah direncanakan, yaitu Pola Sumba Kontrak, Pola Kemitraan Usaha dan Pola Industri Peternakan. Keberadaan materi genetik sapi Brahman dapat menunjang peningkatan performans sapi potong, sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut. 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Atas dasar beberapa data yang diperoleh dalam survei tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Keberadaan materi genetik sapi Brahman dapat menunjang peningkatan performans sapi lokal, yaitu dengan memanfaatkannya dalam pembentukan terminal cross dan commercial cross.
2.
Pengembangbiakan sapi potong di Sumba Timur mengacu pada saran Direktur Perbibitan, yaitu mengikuti metode seleksi dan Village Breeding System, dengan memanfaatkan ketiga Pola Pengembangan yang telah direncanakan, yaitu Pola Sumba Kontrak, Pola Kemitraan Usaha dan Pola Industri Peternakan.
Saran 1. Importasi sapi Brahman dapat dibenarkan dan diteruskan, dengan catatan apabila dikelak kemudian hari akan mengimpor sapi dengan darah Brahman, disarankan mengimpor sapi Brahman murni dan bukan Brahman cross lagi. Hal ini didasarkan bahwa sapi Brahman cross mengandung darah Hereford dan Shorthorn yang bukan merupakan sapi tropis. 2. Apabila Disnak Sumba Timur terpaksa tidak dapat mengimpor sapi Brahman murni sehingga terpaksa mengimpor sapi Brahman cross, maka tidak dibenarkan untuk memasukkan sapi yang belang atau
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
loreng. Tidak pula dibenarkan untuk memasukkan sapi selain sapi yang berwarna putih dan putih keabu-abuan. 3. Breeding Centre milik Disnak Sumba Timur harus dapat menghasilkan ternak bangsa murni, baik Ongole maupun yang berasal dari Brahman impor, serta ternak hasil silangan antara kedua bangsa ternak tersebut di atas. Untuk itu, disarankan adanya pengadaan sapi Ongole murni di dalam Breeding Centre tersebut, serta kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan sebagai suatu Breeding Centre. 4. Dalam pantauan di lapangan, telah ditentukan beberapa sapi silangan yang berwarna gelap hitam/coklat mulus, serta sapi yang berpola loreng. Sapi-sapi tersebut di atas akan mempunyai daya toleransi terhadap panas yang lebih rendah dari pada sapi putih maupun putih keabu-abuan. Adanya sapi-sapi yang berwarna gelap maupun loreng, disarankan untuk tidak digunakan dalam pembiakan lebih lanjut. 5. Adanya pelestarian sumber genetik (genetic resources) sapi Ongole masih dipandang perlu dilestarikan. Untuk itu disarankan agar supaya Disnak Sumba Timur masih menyisakan suatu wilayah dimana sapi lokal Ongole tidak disilangkan. 6. Mengingat kebutuhan daging dan ternak potong yang terus meningkat, maka Disnak Sumba Timur harus mewaspadai jumlah ternak yang akan diekspor antar pulau, agar tidak terjadi pengurasan ternak. Disarankan pula agar berat minimal sapi yang dapat diekspor antar pulau, ditiadakan. Hal ini dikarenakan adanya dampak negatif, yaitu
berupa pengurasan ternak yang baik dari Pulau Sumba. Perlu dipelajari, diberlakukannya perdagangan bebas terhadap ekspor sapi antar pulau. 7. Melihat kenyataan di Karantina Ternak maka dapat dianjurkan agar dalam kurun waktu lima tahun mendatang, ekspor ternak antar pulau untuk dipotong, diutamakan berasal dari sapi silangan saja. DAFTAR PUSTAKA HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. HARDJOSUBROTO, W. 2000. Seleksi Sapi Bali Berdasarkan Penampilan dan Sifat Genetik. Seminar Sapi Bali di Denpasar, 25−26 Mei 2000. LASLEY, Y.E. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. SUMADI. 1985. Beberapa Sifat Produksi dan Reproduksi Dari Berbagai Bangsa Sapi Potong di Ladang Ternak. Tesis Pascasarjana, IPB, Bogor. SUMADI. 2002. Aspek Peningkatan Mutu Genetik dan Reproduksi Ternak Dalam Perspektif Agribisnis. Seminar Nasional. Pengembangan Peternakan Rakyat dalam Perspektif Agribisnis. Fak. Peternakan Undana, Kupang, 29 Oktober 2002. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBTORO. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
41