ADOPSI ANAK BAGI ORANG BERAGAMA ISLAM KEWENANGAN PERADILAN AGAMA ( Analisis Putusan No. 126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR. )
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
BUDI SUSANTO NIM : 204044103022
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M
ADOPSI ANAK BAGI ORANG BERAGAMA ISLAM KEWENANGAN PERADILAN AGAMA ( Analisis Putusan No. 126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR. )
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
BUDI SUSANTO NIM : 204044103022 Di Bawah Bimbingan: Pembimbing I
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH Nip: 150 268 783
Pembimbing II
Kamarusdiana, S.Ag., MH. Nip:150 285 972
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ADOPSI KEWENANGAN
ANAK BAGI
PERADILAN
ORANG BERAGAMA ISLAM
AGAMA
(ANALISIS
PUTUSAN
NO.
126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. Jakarta, 23 April 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA NIP. 130 789 745
(...………….)
2. Sekretaris
: Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. NIP. 150 289 264
(..……….....)
3. Pembimbing I
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. Nip: 150 268 783
(.….……....)
4. Pembimbing II
: Kamarusdiana, S.Ag., MH. Nip:150 285 972
(.….………..)
5. Penguji I
: Asmawi, M.Ag. NIP. 180 282 394
(..….…….…)
6. Penguji II
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 150 169 102
(...….………)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Februari 2009
Budi Susanto
KATA PENGANTAR
ا ا ا Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Segala puji hanya bermuara kepada-Nya sang khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap ikhtiar untuk melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segenap keridhoannya, penulis senantiasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, materi, tenaga, waktu, maupun pikiran. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rosul Nabi Muhammad SAW, yang merentas jalan cahaya di balik kelamnya masa kejahiliyahan yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah letih menegakan syi’ar agama Allah SWT. Kepada keluarganya yang suci, kepada para sahabatnya yang turut menggoreskan tinta emas sejarah kejayaan Islam terutama para Khalifah arRasyidin, dan kepada umat beliau hingga akhir jaman. Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis. Penulis menyadari dan yakin bahwa skripsi yang tersusun ini bukanlah suatu ukuran atau kesempurnaan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut. Selanjutnya, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH. MA. MM Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs H. A Basiq Djalil SH. MA dan Kamarusdiana S.Ag, MH masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs H. Ahmad Yani M.Ag sebagai Ketua dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. dan Kamarusdiana, SH., MH. selaku pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, beliaulah yang dengan sabar melayani, membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis, semoga beliau selalu ada dalam naungan-Nya.
5.
Pihak Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang sudah bersedia memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan oleh penulis, khususnya Kepada Bapak Haris Munandar, SH. sebagai salah satu Hakim yang juga menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara, dan segenap jajaran Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang telah bersedia mencari dan memberikan berbagai data dan informasi penting yang sangat dibutuhkan penulis.
6.
Segenap karyawan akademik dan Perpustakaan fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Segenap Keluarga Besar Dosen, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama Non Reguler, Penulis ucapkan Terima kasih atas bimbingannya selama bartahun-tahun menyelesaikan studi belajar.
8.
Ibunda Rohaya yang telah memberikan seluruh kesabaran, ketulusan dan keikhlasan serta cinta dan kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya, serta senantiasa mendo’akan dan membimbing penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini. Serta Ayahanda Santoso (Alm) semoga Allah SWT memberi tempat yang terbaik disisi-Nya. Isteri tercinta Suwaryanti yang selalu memberi cahaya motivasi kepada penulis.
9.
Sahabat-sahabatku, Mahasiswa dan Mahasiswi Syariah dan Hukum, khusunya Mahasiswa dan Mahasiswi Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular angkatan 2004-2005.
10.
Sahabatku Achmad Nurcholis, Syaful Bahri, dan semua pihak yang telah membantu tersusunnya Skripsi ini semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Hanya kepada Allah swt, penulis serahkan balasan terhadap ketulusan dan
kebaikan mereka semua,. Terakhir penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini berguna bagi penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.
Jakarta, 24 Shafar 1430 H 20 Februari 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….v DAFTAR ISI………………………………………………………………………...ix BAB I:
PENDAHULUAN……………………………………………………1 A. B. C. D. E. F.
BAB II:
Latar Belakang Masalah………………………………………1 Batasan dan Rumusan Masalah……………………………….5 Manfaat dan Tujuan Penelitian………………………………..6 Metode Penelitian……………………………………………..7 Review Studi Terdahulu………………………………………9 Sistematika Penulisan………………………………………..10
SUMBER HUKUM PENGADILAN NEGERI MENGENAI PERKARA ADOPSI ANAK……………………….11 A.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak…………………………………11
B.
Staatsblad 1917 No. 129 Tentang KetentuanKetentuan Untuk Seluruh Indonesia Tentang Hukum Perdata Dan Hukum Dagang………………………..13
C.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan Pengangkatan Anak………………18
D.
BAB III:
Yurisprudensi………………………………………………...23
SUMBER HUKUM PENGADILAN AGAMA MENGENAI PERKARA ADOPSI ANAK……………………………………….29 A.
Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama……………………………………29
BAB IV:
B.
Kitab Kompilasi Hukum Islam………………………………36
C.
Al-Qur’an Dan Al-Hadist……………………………………39
ADOPSI ANAK DALAM PUTUSAN NO. 126/Pdt.P/2007/PN.JAK.BAR………………………………...47
BAB V:
A.
Pertimbangan Hakim………………………………………...47
B.
Putusan Hakim……………………………………………….49
PENUTUP…………………………………………………………..59 A.
Kesimpulan…………………………………………………..59
B.
Saran-saran…………………………………………………..60
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………........................62 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi dari Fakultas Syariah dan Hukum…………………………………………...65 2. Tentang Surat Keterangan Data/wawancara Dari Fakultas Syariah dan Hukum…………………………………………...66 3. Keterangan Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat….…67 4. Tentang Surat Keterangan Riset/wawancara dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat………………………………….…….70 5. Tentang Lembar Penetapan Pengangkatan Anak Pengadilan Negeri Jakarta Barat……………………………………………..71
6. Surat Permohonan Pengangkatan Anak……………………………………..78 7. Surat Pernyataan Penyerahan Anak…………………………………………80
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya perkawinan merupakan kebutuhan hidup bagi semua manusia, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya pendamping dalam mengikuti rotasi kehidupan di dunia ini, sebab manusia diciptakan dalam keadaan cenderung untuk berkumpul.Untuk itu islam menurunkan syariat-Nya dengan perintah melakukan perkawinan, dengan perkawinan tersebut Allah SWT mengembangbiakkan manusia, memberi ketentraman dalam menjalankan kehidupannya. Hal ini berdasarkan firman-Nya dalam Al-qur’an surat Ar-Ruum ayat 20-21, yakni:
!&' "#$ !! 2345 ,-./0 &1 ⌦ )*+ 67 :/;<' 89 BCD1; &G9 =☯@A
(QS. Ar-Ruum 30:20-21)
Secara filosofis, salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk meneruskan garis keturunan (nasab) bagi kedua pasangan suami-isteri. Banyak pasangan suami-isteri dalam membangun rumah tangganya di selimuti dengan kebahagiaan, keharmonisan, serta ketentraman saat rumah tangganya itu dikaruniai seorang anak yang dapat meneruskan garis keturunan ayah dan ibunya. Akan tetapi disisi lain banyak pula pasangan suami-isteri yang dalam membangun rumah tangganya diselimuti dengan ketidak harmonisan, kegelisahan, karena rumah tangga yang dibangun belum dikaruniai seorang anak, bahkan ada sebuah pasangan suami-isteri yang sudah bertahun-tahun membangun rumah tangganya, akan tetapi si buah hati belum juga hadir. Untuk menghadapi problem rumah tangga diatas, salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami-isteri adalah melakukan pengangkatan (adopsi) anak orang lain yang disetujui. Dalam perjalanannya adopsi anak sudah dikenal sejak masa perang dunia kedua, dimana banyak anak yang kehilangan orang tuanya dalam peperangan, banyak isteri yang menjadi janda karena ditinggal mati suaminya. Keadaan seperti ini menjadikan penduduk sekitar melakukan adopsi dengan beragam tujuan. Dengan demikian, untuk menghadapi persoalan rumah tangga diatas tersebut, Pemerintah dalam peraturannya membolehkan kepada pasangan suamiisteri yang dalam rumah tangganya tidak dikaruniai seorang anak, untuk
melakukan pengangkatan (adopsi) anak orang lain yang disetujui. Di Indonesia telah terdapat dua (2) badan hukum yang menangani perihal pengangkatan anak yaitu pada Pengadilan Agama, sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan UU.No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU.No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 49 huruf a angka 20 yang menyebutkan: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam, salah satunya dalam bidang perkawinan termasuk penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam”.1 Ketentuan ini berlaku untuk orang-orang islam, sedangkan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang Non-Islam dengan mengajukan permohonan pada Pengadilan Negeri. Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri juga diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).
1
Undang-Undang No.3 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun1989 Tentang Peradilan Agama.
Selain itu juga ada Keputusan Menteri Sosial RI No.4/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurangkurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial. 2 Selain itu pula masih banyak peraturan-peraturan yang lain sehubungan dengan masalah pengangkatan anak. Hal ini menandakan begitu pentingnya dalam mengatur warga negara dalam hal pengangkatan anak, apalagi pasca bencana alam di Aceh pemerintah bukan hanya disibukkan dengan mengevakuasi para korban disana, tetapi juga disibukkan dengan masalah isu penjualan anak (child trafficking), isu kristenisasi, yang semua itu berkedok adopsi.3 Berangkat dari fenomena yang ada, untuk menghindari kejahatan-kejahatan adopsi diatas, Departemen Sosial mengeluarkan pernyataannya bahwa "Anakanak yang selamat tanpa diketahui siapa kedua orangtua atau saudaranya akan ditampung di panti rehabilitasi anak-anak telantar milik Depsos yang berada di Medan. Itu pun sepengetahuan perkumpulan warga Aceh di Medan, Aceh Sepakat,"
2
4
Dalam upaya prefentif pemerintah untuk menghindari konflik umat
Marwan, Muhammad, “Pengangkatan Anak”, http://www.pta-babel.net
3
“Berita Sekitar Isu Penjualan Anak dan Kristenisasi Anak-anak Korban Aceh”, http://www.suaramuslim.net 4
Harian KOMPAS edisi Rabu, 5 Januari 2005
beragama dengan adanya isu kristenisasi yang dilakukan oleh misionaris kristen sampai akhirnya setelah Undang-Undang No.7 tahun 1989 di Amandemen menjadi Undang-Undang No.3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas U.U.No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menetapkan bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara adopsi dikalangan orang islam, tapi kenyataannya terdapat orang Islam yang mengajukan permohonan adopsi anak ke Pengadilan Negeri, dan kemudian diterma dan di putus. Hal ini yang ingin Penulis telusuri dalam skripsi yang berjudul “ ADOPSI ANAK BAGI ORANG BERAGAMA ISLAM KEWENANGAN PERADILAN AGAMA ”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Perumusan masalah Setelah Undang-Undang No.7 tahun 1989 di Amandemen menjadi Undang-Undang No.3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas U.U.No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menetapkan bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara adopsi dikalangan orang islam, tapi kenyataannya terdapat orang Islam yang mengajukan permohonan adopsi anak ke Pengadilan Negeri, dan kemudian diterma dan di putus. Hal ini yang ingin Penulis telusuri dalam skripsi ini.
2. Batasan Masalah Dari perumusan masalah di atas, maka dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Sumber hukum apa saja yang menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara pengangkatan anak b. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. analisis langsung 126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian 1. Manfaat Tujuan umum penulis dalam pembahasan skripsi ini selain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka unifikasi pembangunan hukum nasional terkait dengan peraturan perundang-undangan tentang pengangkatan anak yang lebih baik sehingga dapat terpenuhi semua asas dalam perundang-undangan.
2. Tujuan Penelitian a.
Menyelesaikan kewajiban penulis yang disyaratkan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam meraih gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Strata 1 (S1).
b. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengangkatan anak pasca amandemen Undang-Undang No.7 Tahun 1989. c. Untuk mengetahui apa benar terdapat dualism kewenangan dalam adopsi anak pada Peradilan Negeri dan Peradilan Agama. d. Untuk mengetahui dasar hukum yang dipegang oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap Penetapannya No.126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah campuran (mix metode) terhadap penelitian hukum normatif (Non doktrinal) dan empiris (doktrinal)
2. Metode pengumpulan data Dengan demikian, alat pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah studi kepustakaan dan lapangan. Sumber data diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: _ Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; _ Peraturan dasar, yakni Al-Qur’an dan sunnah, Batang Tubuh UndangUndang dasar 1945 dan ketetapan-ketetapan badan hukum terkait, KUHPerdata;
_ Peraturan perundang-undangan yang berkait dengan pengangkatan anak. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, ijma’, qiyas, dan yurisprudensi. c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu hasil dari data kualitatif berupa hasil wawancara dan observasi. d. Bahan penunjang diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang: sosiologi, filsafat, psikologi, antropologi, dan sebagainya, yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.
3. Analisis Data Kegiatan yang peneliti lakukan dalam analisis data, yaitu: a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah adopsi anak. b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau ayat-ayat (al-Qur’an) tersebut yang akan di kontekstualkan dengan data kualitatif c. Data yang berupa normatif ini dianalisis secara induktif kualitatif Data kualitatif dianalisis dengan menggunakan model analisis isi (konten analisis)
E. Review Studi Terdahulu Dalam penelitian ini, Penulis ingin membedakan bahwa judul skripsi yang sedang Penulis lakukan ini adalah berbeda dengan judul pembahasan yang sudah dilakukan teman-teman mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum. Setelah Penulis melakukan studi pustaka pada perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, ternyata masih sedikit yang membahas tentang adopsi ini. Mulai dari skripsi tahun 2005 hingga skripsi yang disusun tahun 2008, Penulis hanya menemukan satu skripsi yang disusun oleh saudara Dede Syahri dalam judulnya “Perbandingan Penetapan Adopsi Anak Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama”. Skripsi yang Penulis temukan itu hanya membandingkan antara Lembar Penetapan adopsi anak melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Dengan demikian, sangat jauh berbeda dengan skripsi yang Penulis bahas yaitu mengenai “Analisis Penetapan No.126/Pdt.P/2007/PN.JAK.BAR. Tentang Adopsi Anak yang diajukan Oleh Orang Beragama Islam”. Dimana para Pemohon adopsi anak tersebut adalah beragama Islam yang seharusnya menurut Penulis pada saat diajukannya permohonan sudah menjadi hak absolut Peradilan Agama sebagaimana telah diundangkannya pada tanggal 20 Maret 2006 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hal ini yang ingin Penulis teliti mengapa Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan tersebut. Selain itu mungkin dari penelitian ini dapat memberikan
kontribusi penelitian Fakultas Syariah Dan Hukum mengenai adopsi anak pasca Amandemen Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
F. Sistematika Penulisan Penelitian ini dilakukan dengan alur pemikiran deduktif, maka sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I
: Menampilkan Bab Pendahuluan, yang didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II :
Memaparkan tinjauan teoritis mengenai sumber hukum yang dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan perkara pengangkatan anak.
BAB III :
Memaparkan tinjauan teoritis mengenai sumber hukum yang dipakai oleh Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara pengangkatan anak.
BAB IV:
Analisis Putusan No. 126/Pdt.P/2007/PN.JAK.BAR.
BAB V:
Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II SUMBER HUKUM PENGADILAN NEGERI MENGENAI PERKARA ADOPSI ANAK
A. Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
1. Pengertian Adopsi Yang dimaksud dengan anak angkat berdasarkan Pasal 1 angka 9 UndangUndang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 5 Sedangkan pengertian pengangkatan anak berdasarkan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 47 Ayat (1) memberikan pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedala lingkungan
5
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 9
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.6 Pengaturan
pengangkatan
anakdalam
perundang-undangan
telah
mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak sebelumnya. Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi lakilaki atau perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik pisik, mental maupun social, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting mengenai pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut di ketengahkan, yaitu: _ Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. _ Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. _ Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Dala hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. _ Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
6
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 1, h.17.
_ Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal-usulnya
dan
orang
tua
kandungnya,
dengan
memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. _ Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.7 Namun demikian, pengakuan pengangkatan anak dalam perundangundangan yang ada belum memadai, oleh karena itu pengaturan pengangkatan anak dalam sebuah undang-undang yang lengkap dan tuntas sangat diperlukan.
B. Berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 Tentang Ketentuan-Ketentuan Untuk Seluruh Indonesia Tentang Hukum Perdata Dan Hukum Dagang Pengangkatan anak merupakan kewenangan Pengadilan Negeri terdapat dalam Staatsblad 1917 No.129 Bab II Pasal 9 Ayat (1). Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh Staatsblad 1917 No. 129 dalam Pasal 8 sampai 10 dimana pasal 8 menyebutkan empat syarat untuk pengangkatan anak, yaitu:
1. Persetujuan orang yang mengangkat anak;
2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan izin orang tua itu; jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan selaku penguasaan wali; 7
Ibid., h. 17-18
b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir dari luar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya, manakala anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari Balai Harta Peninggalan.
3. Jika anak yang akan diangkat itu sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri.
4. Manakala yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada keduanya, dan atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat keempat. (Persetujuan ini dapat diganti dengan suatu izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak).8
Menurut Pasal 10, pengangkatan anak ini harus dilakukan dengan akte notaris. Sedang yang menyangkut dengan masalah akibat hukum dari pengangkatan anak itu diatur dalam Pasal 11, 12, 13, dan 14 dalam Staatsblad ini. Pasal 11 mengenai nama keluarga orang yang mengangkat anak, namun namanama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. Pasal 12, menyamakan seorang anak angkat dengan anak sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Pasal 13, 8
Muderis Zaini, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Cet. 4, h. 35-36.
mewajibkan Balai Harta Peninggalan untuk apabila ada seorang janda yang mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu. Kemudian Pasal 14, suatu pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri, kecuali:
1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali kekeluargaan; 2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasar pada tali kekeluargaan; 3. Mengenai perhitungan biaya perkara dimuka Hakim dan penyanderaan; 4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi; 5. Mengenai bertindak sebagai saksi. 9
Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada satu Pasal yang mengatur, yaitu Pasal 15 Staatsblad 1917 No.129 yang menentukan bahwa suatu pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan
sendiri.
Kemudian
pengangkatan
anak
perempuan
atau
pengangkatan anak secara lain dari pada dengan akte notaris, adalah batal dengan sendirinya. Kemudian pula ditentukan, bahwa pangangkatan anak dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 Ayat (2) dan (3) dari Staatsblad 1917 No.129.10
9
Ibid., h. 36-37
10
Ibid., h. 37
Adapun mengenai orang yang boleh mengangkat anak terdapat dalam Pasal 5 Staatsblad ini yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengadopsi, adalah sebagai berikut: _ Seorang laki beristeri atau telah pernah beristeri yang tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya. Ketentuan ini hendak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan terhadap anak laki-laki, pengangkatan anak terhadap anak perempuan tidak sah.
Pada Pasal 5 ayat (2) Staatsblad ini disebutkan bahwa pengangkatan anak yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki tersebut, bersama-sama dengan
isterinya
atau
jika
dilakukannya
setelah
perkawinannya
dibubarkan oleh dia sendiri. _ Sedang Pasal 5 ayat (3) Staatsblad 1917 No.129 menyatakan, apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, oleh suaminya telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termasuk ayat kesatu pasal ini, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki
pengangkatan anak oleh isterinya, maka pengangkatan itupun tak boleh dilakukannya.11
Kemudian pada Pasal 6 dan 7 Staatsblad 1917 Nomor 129 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal 6 menyebutkan:
Yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain.
Pasal 7, ayat (1) menyebutkan, orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda dari pada si isteri atau si janda yang mengangkatnya.
Sedang ayat (2) mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angakatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat.12
Ketentuan pasal 15 Ayat (2) Staatsblad 1917 Nomor 129 menegaskan bahwa pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah dan batal demi hukum. Pengangkatan anak perempuan tidak bisa dilakukan melalui akta notaris, karena 11
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,”Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 23-24. 12
Ibid., h. 24-25
pengangkatan anak itu hanya untuk anak laki-laki. Solusi yang lebih memungkinkan pada saat itu adalah melalui putusan pengadilan.
Atas perkara yang demikian itu, Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto Nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963 telah mengabulkan permohonan pengangkatan anak perempuan dan menyatakan bahwa larangan pengangkatan anak terhadap anak perempuan tidak beralasan. Sedangkan batasan calon orang tua angkat yang semula hanya dibolehkan bagi seorang laki-laki beristeri atau pernah beristeri, atau seorang janda cerai mati, Penetapan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 32/1970 Comp. tanggal 26 Februari 1970 telah memperluas dengan menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat yang belum menikah.13
C. Surat Edaran Mahkamah Agung RI 1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan Pengangkatan Anak Berdasarkan SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang dilakukan oleh 13
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 27
golongan Tionghoa melalui notaris tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan. Pengadilan yang dimaksud untuk pengangkatan anak pada saat berlakunya SEMA ini adalah pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dilingkungan Peradilan Umum. Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Kekuasaan Peradilan Umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengadilan negeri sebagai peradilan umum bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan segala perkara pidana dan perdata ditingkat pertama, kecuali perundang-undangan memberikan kewenangan secara khusus kepada pengadilan lain (attributie van rechtsmacht, tawliyah al qadla), yaitu pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara.14 Dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetapan dari permohonan pengangkatan anak bisa dipedomani SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak, bahwa: “untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat
itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan ataupun
tertulis, dan diajukan ke Panitera Pengadilan Negeri tersebut. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan
14
Ibid., h. 56-57.
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat “15 Adapun isi dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan Pengangkatan Anak ini adalah mengatur tentang prosedur pengangkatan anak pada pengadilan negeri antara lain:
a. Isi Permohonan 1). Tempat Mengajukan Permohonan Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 bahwa permohonan pengangkatan anak yang tidak diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum anak tersebut bertempat tinggal atau bertempat kediaman, dinyatakan tidak dapat diterima atau pemohon dianjurkan untuk mencabut permohonannya dan mengajukan kembali kepada pengadilan yang berwenang.16 Hal demikian bertujuan agar pengadilan dapat secara lebih seksama menyelidiki keadaan calon anak angkat untuk melindungi kepentingan anak tersebut dengan berpedoman pada prinsip “ tempat tinggal/kediaman biasa sehari-hari dari anak tersebut” (habitual residence, gewone verblijfplaats).17
15
Cristina Josep“Proses Adopsi Anak”, http//:www.Derapperempuan.net
16
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 93
17
Ibid., h. 93
2). Identitas Ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 39 Ayat (3) telah menekankan pentingnya agama calon orang tua angkat dan calon anak angkat, sehingga mereka harus seagama. Oleh Karena itu, pencantuman agama pemohon dalam permohonan
pengangkatan
anak
merupakan
bagian
yang
tak
terpisahkan dari identitas. Demikian pula agama calon anak angkat harus dicantumkan dalam permohonan. 18 3). Posita Posita (fundamentum petendi) adalah dalil permohonan yang merupakan landasan pemeriksaan dan putusan. Berkaitan dengan posita pengangkatan anak, SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan: a) Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut. b) Harus tampak dalam permohonan tersebut bahwa pengangkatan anak itu adalah untuk kepentingan calon anak angkat dan
18
Ibid., h. 95
menggambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan anak terjadi. 19
4). Petitum SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yakni tidak disertai (in samenloop met) petitum yang lain. 20
b. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak Antar WNI 1). Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon a)
Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dengan
orang
tua
angkat
(private
adoption)
diperbolehkan. b)
Pengangkatan anak yang dilakuka oleh orang yang tidak terikat dala perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.
c)
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
2). Syarat bagi calon anak angkat
19
Ibid., h. 97
20
Ibid., h. 98
a) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan social harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan anak. b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan social, maka harus mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.21
D. Yurisprudensi
1.
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta,
nomor:
907/Pdt.P/1963.
Pengangkatan Anak Perempuan Keturunan Tionghoa oleh Masyarakat keturunan Tionghoa Sah Pemohon berama Kho Kiem Boen, dan Ny. Kho Kiem Boen – Lie Lo Nio, keduanya suami isteri, agama Kristen, warga Negara Indonesia, pekerjaan dagang, umur 37 tahun, tempat tinggal di Jl. Pegangsaan Timur No.72 Jakarta. Kedua suami isteri tersebut telah delapan tahun menjalin hubungan suami isteri tetapi belum dikaruniai anak, maka keduanya telah bersepakat untuk mengajukan permohonan pengangkatan seorang anak perempuan 21
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,”Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia”, h. 60
bernama Chin wa alias Tsin Chin Wa yang telah dinyatakan sebagai warga Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang 1958 -2, tetapi saat itu masih berada dihongkong dipelihara oleh sebuah instansi social, karena yatim-piatu. Sebagai syarat untuk dapat membawa anak tersebut dari Hongkong ke Indonesia, apabila para pemohon dapat memperlihatkan putusan Pengadilan di Indonesia tentang pengangkatan anak dimaksud, maka untuk memperoleh putusan Pengadilan, para pemoho mengajukan pengangkatan anak dengan menunjukkan beberapa surat bukti dan saksi-saksi di persidangan. Inti persoalan yang menjadi focus pertimbangan hakim yang mengadili perkara ini “Apakah mungkin seorang warga negara Indonesia golongan Tionghoa mengangkat sebagai anak – seorang anak perempuan, karena berdasarkan ketentuan pengangkatan anak Staatsblad 1917 – 129 yang berlaku khusus bagi masyarakat golongan Tionghoa, hanya mengenal pengangkatan anak seorang anak laki-laki dari golongan Tionghoa.” Persoalan hukum yang kedua adalah “Jika memungkinkan, apakah pejabat di Indonesia dianggap berwenang, sedangkan anak yang akan diangkat berada diluar Indonesia.” Berdasarkan pertimbangan hukum yang ada, hakim akhirnya memutuskan perkara permohonan pengangkatan anak perempuan bagi golongan keturunan Tionghoa dapat dikabulkan, dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para pemohon. 2. Menetapkan suami isteri Kho Kiem Boen dan Ny. Kho Kiem Boen – Lie Lo Nio sebagai orang tua angkat dari Chi Wa alias Tsin Chi Wa (perempuan) lahir di Hongkong tanggal 5 November 1959 sebagai anak angkat mereka. 3. Menyatakan sebagai hukum bahwa Chin Wa alias Tsin Chin Wa tersebut adalah Warga Negara Idonesia. 4. Menetapkan pada Pemohon untuk menanggung segala ongkos-ongkos perkara. Produk hukum pengadila negeri tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu yurisprudensi tetap yang memberikan terobosan hukum baru dengan memberikan ketetapan pengangkatan anak perempuan keturunan Tionghoa dianggap
sah.
Yurisprudensi
ini
melumpuhkan
ketentuan
normatif
pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 – 129 yang hanya berlaku bagi golongan Tionghoa, terbatas hanya terhadap anak laki-laki saja. 22 Sedangkan batasan calon orang tua angkat yang semula hanya dibolehkan bagi seorang laki-laki beristeri atau pernah beristeri, atau seorang janda cerai mati, Penentapan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 32/1970 Comp. tanggal 26 Februari 1970 telah memperluas dengan menyatakan sah
22
Ibid., h. 197-202
pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat yang belum menikah.23
2. Putusan Pengadilan Negeri Berdasarkan Hukum Adat Tentang
kedudukan hukum anak angkat di dalam Hukum Adat, Ada
beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai status dan kedudukan hukumnya di dalam hal mewaris dari kedua orang tua yang mengangkatnya. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959 menyebutkan: Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut. Dan juga Yurisprudensi Mahkamah Agung No.37 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959 menyebutkan: Menurut hukum yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya. 24 Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516 K/Sip/1968 tanggal 4 Januari 1969, menurut Hukum Adat yang berlaku di Sumatra Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. Ia hanya dapat memperoleh atau hadiah (hibah) dari orang tua angkat selagi hidup.25
23
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 27
24
R, Subekti, “Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung”, (Bandung: PT. Alumni, 2006), Cet.5, h. 22-26. 25
h. 37-38
Soedharyo Soimin, “Hukum Orang Dan Keluarga”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Cet. I,
Menurut laporan hasil-hasil penelitian/pencatatan hukum adat warisan dalam enam wilayah hukum Pengadila Negeri dalam lingkungan Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, secara umum dikemukakan bahwa: “ Anak angkat dala masyarakat Banjar tidak mendapat harta warisan. Oleh karena itu kedudukan anak angkat dalam peninggalan warisan bukanlah sebagai ahli waris. Dalam hal ini kalau pewaris masih mempunyai anak kandung atau sama sekali tidak mempunyai anak kandung, anak tidak berhak atas suatu barang yang sepantasnya dari harta peninggalan, kecuali dengan kerelaan ahli-ahli waris yang dapat diberi sebagian barang sepantasnya. Disamping itu pada umumnya anak angkat tetap mendapat hak waris dari orang tua kandungnya.” Namun sebenarnya ada beberapa keputusan pengadilan negeri yang mengatakan bahwa anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, yaitu antara lain seperti yang ditetapkan oleh pengadilan negeri Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Tanggal 30 September 1975 No. 15/1975/Perdata Martapura. Demikian pula keputusan Pengadilan Negeri Tenggarong Kalimantan Timur Tanggal 8 Januari 1973 No. 01/1973 perdata Tenggarong, menyatakan bahwa anak angkat mempunyai hak waris dari orang tua angkatnya. Bahkan pada Pengadilan Negeri Pangpulan Bun Kalimantan Tengah disebutkan, bahwa: “ Pada suku Dayak Ngaju, disamping anak angkat adalah sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, juga dia adalah tetap berhak mendapat warisan dari harta
peninggalan orang tua kandungnya dan menurut istilah ‘ibarat mendapat bagian dari dua sumber.’26
26
Muderis Zaini, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, h. 23-24
BAB III SUMBER HUKUM PENGADILAN AGAMA MENGENAI PERKARA ADOPSI ANAK
A. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Perkara adopsi merupakan perkara yang bersifat permohonan (volunter), bukan bersifat gugatan (contentious). Prosedur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama ini hanya berlaku untuk warga Negara yang beragama islam yang ingin mengajukan permohonan adopsi anak orang lain.
Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. 27 Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
27
A. Mukti Arto, ”Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. I, h. 9.
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Kewenangan pengadilan agama dibidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 menyebutkan: Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut; 18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cult-up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Ada satu
penambahan kewenangan
subbidang
penentapan pengangkatan anak berdasarkan
perkawinan,
yaitu
hukum Islam sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a angka 20. Kewenangan ini tidak disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya penambahan frasa “…berdasarkan hukum Islam”. Menegaskan bahwa bagi orang-orang beragama Islam yang berperkara di Pengadilan Agama tertutup
peluang untuk memilih atau meminta putusan atau penetapan pengangkatan anak sekehendak hatinya yang bertentangan dengan hukum Islam. 28
Sebelum lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama di beberapa daerah telah berani menangani perkara pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam, walaupun waktu itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum dan praktisi hukum. Pengadilan Agama yang telah menangani perkara pengangkatan anak, biasanya mendasarkan kepada penafsiran pasal 49 ayat (1) huruf (b) UU No. 7 Tahun 1989, pasal 171 huruf (h) dan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987, serta pendapat ahli fiqh dan fatwa MUI.29
Setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam adalah kewenangan Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa berlaku di Pengadilan Agama sebelum lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orang tua angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan anak sebagaimana lazimnya perkara volunter. Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetapan dari
28 29
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 63. Marwan, “Pengangkatan Anak”, http//:www.pta-babel.net
permohonan pengangkatan anak bisa dipedomani SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak, bahwa:
“untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan ataupun tertulis, dan diajukan ke Panitera Pengadilan Negeri tersebut. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat “30
Pengangkatan anak menurut hukum perdata umum, sebelum perkara diajukan ke Pengadilan Negeri, calon orang tua angkat harus terlebih dahulu mendapatkan izin pengangkatan anak dari Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi. Untuk mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi, calon orang tua angkat dan anak angkat telah memenuhi syarat sebagaimana
diatur
dalam
Surat
Keputusan
Menteri
Sosial
RI
No.13/HUK/1993.31
Yang menjadi masalah setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, apakah sebelum mengajukan perkara pengangkatan anak ke Pengadilan Agama harus terlebih dahulu dilengkapi dengan Izin Pengangkatan Anak dari Kepala Dinas 30 31
Josep“Proses Adopsi Anak”, http//:www.Derapperempuan.net Marwan,”Pengangkatan anak”, http//:www.pta-babel.net
Propinsi. Menurut Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bangka Belitung, Muhammad Marwan karena pengangkatan anak tidak merubah nasab dan waris maka pengangkatan anak di Pengadilan Agama, tidak perlu izin dari Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi. Kecuali kalau anak yang akan diangkat tersebut berasal dari Panti Asuhan dibawah pengawasan Departeman Sosial. Namun demikian perlu adanya koordinasi yang baik antara Pengadilan Agama, Departeman Sosial, dan Catatan Cipil. Untuk lebih jelasnya dalam prosedur permohonan pada Pengadilan Agama dan mengetahui tugas dari masing-masing bagian dapat dilihat pada urutan langkah berikut ini: Calon Pemohon menghadap di meja I. 1. Meja I: _ Menerima surat permohonan dan salinannya. _ Menaksir panjar biaya perkara. _ Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). 2. Kasir: _ Menerima uang panjar dan membukukannya. _ Menandatangani SKUM. _ Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas. 3. Meja II: _ Mendaftar permohonan dalam register.
_ Memberi nomor perkara pada surat permohonan sesuai nomor SKUM. _ Menyerahkan
kembali
kepada
pemohon
satu
helai
surat
permohonan. _ Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Ketua melalui Wakil Panitera + Panitera. 4. Ketua PA: _ Mempelajari berkas, dan membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) 5. Panitera: _ Menunjuk panitera sidang. _ Menyerahkan berkas kepada Majelis. 6. Majelis Hakim: _ Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS) + Perintah memanggil para pihak oleh Juru sita. _ Menyidangkan perkara. 7. Memberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang bertalian dengan tugas mereka. _ Memutus perkara. 8. Meja III: _ Menerima berkas yang telah diminut dari Majelis Hakim. _ Memberitahukan isi putusan kepada pihak yang tidak hadir lewat juru sita.
_ Memberitahukan kepada Meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas mereka. _ Menetapkan kekuatan hukum. 9. Menyerahkan salinan kepada para pihak dan instansi terkait. _ Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda Hukum. 10. Panitera Muda Hukum: _ Mendata perkara. _ Melaporkan perkara. _ Mengarsipkan berkas perkara. 32 Prosedur permohonan sama dengan prosedur gugatan, hanya jika perkara gugatan diproses pada Kepaniteraan Gugatan, sedang perkara permohonan diproses pada Kepaniteraan Permohonan.
B. Menurut Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pengangkatan anak versi Peradilan Agama (hukum Islam) sebenarnya merupakan hadhanah atau anak asuh yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua angkat, saudara angkat, dan lainnya.
32
Arto, “Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama”, h.56.
Adapun akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah :
a. Peralihan tanggung jawab pemeliharaan dan pendidikan anak dari orang tua asal kepada orang tua angkat, (pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam). Peralihan tanggung jawab tersebut secara formil dimulai sejak Penetapan Pengadilan Agama. Dengan adanya Penetapan Pengadilan Agama merupakan bukti telah terjadi peristiwa hukum pengangkatan anak antara orang tua angkat dengan anak angkat. b. Pasal 209 ayat (1 dan 2) Kompilasi Hukum Islam, (1). Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.(2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.33 Pengangkatan anak versi Peradilan Agama (hukum Islam) tidak merubah hubungan nasab, yakni tidak memutus hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua asal, saudara kandung, dan lain-lain. Mereka tetap saling mewarisi sebagaimana layaknya waris Islam yang telah diatur dalam pasal 176 sampai dengan 193 Kompilasi Hukum Islam. 33
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 166.
Pengangkatan anak tidak merubah hubungan mahram, yakni anak angkat dalam keluarga orang tua angkatnya masih tetap sebagai "orang asing" dalam arti bahwa antara anak angkat dengan ayah angkat/ ibu angkat, saudara angkat, dan lain-lain, harus saling menjaga ketentuan mahram menurut hukum Islam dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, sebaiknya harus dicantumkan akibat dari peristiwa hukum tersebut dalam pertimbangan hukum Penetapan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak seperti:
1) Anak angkat tidak boleh menggunakan nama ayah angkatnya dibelakang namanya. 2) Pengangkatan anak tidak merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal. 3) Pengangkatan anak tidak merubah hubungan mahram. 4) Anak angkat mendapat bagian dari harta warisan dari orang tua angkat dengan wasiat wajibah sebanyak banyak 1/3 dari harta warisan, demikian sebaliknya. 5) Ayah angkat/saudara angkat laki-laki tidak boleh menjadi wali nikah dari anak angkat perempuan.34
34
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshary, ”Problematika Hukum Islam Kontemporer”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. 4, h.153.
Pencantuman hal-hal tersebut diatas dimaksudkan supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengamalan hukum Islam setelah terjadi peristiwa hukum pengangkatan anak.
C. Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadist Tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 4-5.
9LM 9 `"H KL77M HP H T c:D7M U$V 4ab Wc= Sde\9H 7M@A KL77M fghi $I< KL77M H T :8 7IPj :k"HJJ :9# T :k"H*l:8 `"H B :mD@cn$8 9:D= pqI Dm P67@9H oD< 25 KLr$N;;9H Dm :$It"H 8u7 :mDJH :\9 $xc T d"H 7q1 vw;@= :m"H 8 BCD☺ 5V{|H"H U$V :
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-ahzab : 4-5). Sebelum turunnya ayat di atas, Nabi Muhammad SAW pernah mengangkat seorang anak yang bernama Zayid. Masyarakat Arab pada saat itu sudah terbiasa memanggil Zayid tersebut dengan panggilan Zayid bin Muhammad, kemudian setelah turun ayat diganti dengan Zayid bin Haritsah sesuai dengan nama ayah kandungnya. Sungguhpun demikian Zayid tetap berada dibawah tanggungan dan tinggal bersama Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW, tidak saling mewarisi dan tetap berstatus sebagai orang lain yang tinggal dirumah dan mendapat perlindungan Nabi Muhammad SAW. 35
Sebagaimana Islam menyalahi Zihar, begitu juga Islam menyalahi adopsi atau pengangkatan anak dan menjadikan adopsi haram hukumnya, karena sesunguhnya didalam adopsi terdapat sesuatu yang keluar dari tujuan hukum (Maqashid Asy-Syar’i) agar menjaga keturunan (Hifzun Nasb) yaitu menasabkan anak angkat kepada selain bapak aslinya. Dan adopsi itu termasuk bagian dosa besar yang dimurka dan dilaknat oleh Allah SWT. Nyata dari Hadist Nabi Muhammad SAW:
َُِِْ َْ إَِْاهِْ"َ ا ِْ َْ أ%ََْ&ََ ََ أُْآٍَُْ َ ََ أََُُْ وَََِ ََ ا 5 ََ آَِ ب7ُِ إ8َُْؤ3ََْ;ً ﻥ/ ََ لَ َْ زََ"َ أَنْ َِْﻥ3َ4 ٍِ َ. ََِْ*َ)ََ َ(ِ' ُْ أ+ ََ لِ<ِِ=ِْْ?َ أَ>َْ نُ ا4 ََْ آَ@َب3َ4 ِِAَْ> َِِاب- ِْ4 ٌَ3(َ َُAِْCَDََ لَ و- ََAِْC E ِ ا8وَهَ@ِا 35
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 36.
ََْ َ ٌ َ(َِْ وَ>َ( "َ ا ََُِْْ ََم5َ< اD )ِ َ لَ ا- َ?ِْ4ََِاَ تِ وFْ َْ ءُ َِ ا/َوَأ َِLِMَNَْ وَا5ََ(َِْ ََُْ ا4 ً ِْCُ ِْ?َ ََ ًَ أَواَوَى4 َََ أََْث4 ٌٍَْ إَِ َْر ٌْ(َِِْ وَاَِةQُْ ً وَذِ ُ ا7ََْ7ًَ و4َْD َِ َِ3ْ ِ ُِْ َْمَ ا5 ُNَ)ْ3ََ7 ََِْْوَا سِ أَﺝ 5ََ(َِْ ََُْ ا4 َََِِِْْاU Vَِ إVَََِْْ أَِِْ وَاﻥU Vَِ إVَ ِ?َ أَدْﻥَ هُ"ْ وََْ اَدVَْQَ 8ً}روا7ََْ7ًَ و4َْD َِ َِ3ْ ُِْ َْمَ ا5ْ)َ<ُ ا3ََ7 ََِِْْ وَا سِ أَﺝXَLِMَYَْ وَا {"(Q Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada A’masy dari Ibrahim At-Taimiy dari bapak berkata, telah bercakap-cakap Ali Bin Abi Thalib r.a. maka berkata, barang siapa yang berdalih bahwa sesungguhnya ketika kami menghendaki membaca sesuatu kecuali kitab Allah dan memutar balikkan hal ini, telah berkata bapaknya, memutar balikkan itu tergantung pada sarung pedangnya, maka telah dusta kepada orang yang memutar balikkan gigi unta dan sesuatu dari pada melukai, dan padanya Nabi SAW bersabda “Madinah itu adalah kota antara bukit A’ir sampai gunung ‘tsur, maka barang siapa yang menceritakan padanya dengan cerita atau melindungi akan yang baru, maka padanya laknat Allah, Malaikat, dan manusia semuanya. Allah tidak akan menerima darinya pada hari kiamat, menolak dan tidak ada keadilan, dan salah satu hati orang-orang muslim berusaha mendekati mereka. Dan barang siapa mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri atau menisbatkan pada selain orang yang menguasainya, maka padanya laknat Allah, Malaikat, dan manusia semuanya, Allah tidak akan menerima darinya pada hari kiamat, menolak dan tidak ada keadilan. (HR.Muslim). Dan dalam riwat lain disebutkan:
َْ َََِِةَ وَأََُُْ وM زَاVَِ ُْ زَآَِ ءَ ِْ أVَْCَ ََ َ ََ)َْ/َ Vَُِِْْ أLَ ََُْ ََ أ ُ8 ََُْلُ >ََُِْ أُذُﻥَ يَ وَو3َ ََُهNَِْةَ آLَ Vَِِ"ٍ َْ اَِْ ُ\َْ نَ َْ >ًَْ وَأD َ َُْU ُ َِْ أَِِْ وَهَُ َْ(َ"ُ أَﻥU Vَِ إVَ ُْلُ َْ أَد3َ َ" (َ>َ َ(َِْ و5 اVَ(َD َ ًاCُ Vِ)ْ(َ{ "(Q 8َ ُ َ(َِْ ََامٌ }رواFَْ ا4 َِِْأ Artinya: ”Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada Yahya Bin Zakaria Bin Abi Zaidah dan Abu Muawiyah dari A’shim dari Abi Ustman dari Sa’ad dan Abi Bakrah, kedua-duanya berkata telah mendengar telinganya dan menangkap dalam hati saya, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa mengaku keturunan dari orang yang bukan
ayahnya sendiri, dan dia mengetahui sesungguhnya dia bukanlah ayahnya, maka surga itu haram baginya. (HR.Muslim)
Dalam Kamus Bahasa Arab adopsi dikenal dengan sebutan “tabanni” yang berarti mengangkat atau mengambil anak.36 Secara terminologi, “tabanni” adalah suatu kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliyyah dan permulaan Islam, maksudnya apabila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlaku terhadap anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung sendiri. 37 Tabanni menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan ‘mengambil anak angkat’. Sedang dalam Kamus Munjid diartikan ‘ittikhadzahu ibnan’, yaitu menjadikannya sabagai anak.38 Melihat pengertian tabanni di atas, hampir tidak ada perbedaan dengan pengertian “adopsi” menurut hukum perdata warisan Belanda. Namun setelah islam turun istilah tabanni diganti menjadi “al-laqith” yang mempunyai arti ialah pemungutan anak yang belum dewasa diketemukan di jalan dan tidak diketahui keturunannya. Pengertian seperti inilah yang diinginkan oleh Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an;
9LM 9 `"H KL77M HP H T c:D7M U$V 4ab Wc= Sde\9H 7M@A KL77M fghi $I< 36
Achmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir”, (Surabaya: Pustaka Progressif,1997), h. 111 37
Yanggo dan Anshary, ”Problematika Hukum Islam Kontemporer”, h.158.
38
Muderis, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, h. 4.
KL77M
H
T :8 7IPj :k"HJJ :9# T :k"H*l:8 B :mD@cn$8 9:D= Dm P67@9H oD< `"H 25 KLr$N;;9H pqI Dm :$It"H 8u7 :mDJH :\9 $xc T d"H 7q1 vw;@= :m"H 8 BCD☺ 5V{|H"H U$V :
bahwa “Pengangkatan anak yang dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.” Dari
uraian
di
atas
jelas
kiranya
Islam
hanya
membolehkan
pemungutan/pengasuhan anak (al-laqith) dan melarang adopsi atau tabanny. Bahkan al-laqith ini dianjurkan dalam Al-Qur’an seperti:
U BD'H7 … K B pD@ 9H $
.49@9H 4!@!Y}H U BD'H7 235... T 5q@9H Artinya: “…Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan permusuhan…” (QS. Al-Maidah: 2) Dan juga:
H*l:X &K 7W9# 5LM KL .$ VM 8 TU H ;@ ' KL &= e' U$V WJHw;c ~@ ' $.: $8 KL &= H7☺e'n⌧Nc 2:S&H Hlr☺7M }PHP19H HJ "Hue'n⌧Nc H7mHJ q9 T Hlr☺7M }PHPl9H H1S !I@"H7M P$ !! Y14O W@9HH$8 ,9# 7q 8 !Il 1.⌧k 235 ,-Dc$.f☺9 2:S&H U$V Artinya: “ Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya”. (Q.S. AlMaidah: 32) Jadi pada intinya Islam melarang adopsi/tabanny yang mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandungnya. Islam hanya membolehkan
pemeliharaan anak terlantar sebagaimana Nabi Muhammad dalam kasus Zaid bin Haritsah telah mengganti system pengangkatan “at-tabanni” menjadi system pengangkatan “al-laqith”. Sehingga dalam Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 memberikan difinisi anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Akan tetapi melihat perbedaan antara adopsi, tabanni, dan al-laqith di atas sebaiknya kalimat “anak angkat” yang terdapat dalam Undang-Undang yang bersendikan Islam harus diganti dengan kalimat “anak pungut”. Hal ini agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman tentang akibat hukum dalam pengangkatan anak oleh masyarakat umumnya, karena sebuah Undang-Undang harus menghindari kata atau kalimat yang multi tafsir sebagaimana Asas Peraturan Perundangundangan Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya berdasarkan pendapat Majelis Ulama yang dituangkan dalam Surat Nomor U-335/MUI/VI/1982 tanggal 18 Sya’ban 1402 H/10 juni 1982 yang ditandatangani oleh Ketua Umum MUI K. HM Syukri Gazali sebagai berikut: 1. Pemungutan atau pengangkatan anak dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja;
2. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat oleh ayah/ibu angkat yang beragama Islam pula, agar keislamannya itu ada jaminan tetap terpelihara; 3. Pengangkatan anak angkat tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu pengangkatan anak tidak mengakibatkan hak waris/ wali-mewali, dan lain-lain. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaknya dilakukan pada masa masih sama-sama hidup, sebagai hibah biasa. 4. Adapun pengangkatan anak yang dilarang ialah: a. Pengangkatan anak oleh orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, atau sedapat-dapatnya dijadikan pemimpin agama itu. b. Pengangkatan anak oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lainlainnya, biasanya berlatarbelakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal ini sedapat-dapatnya dicegah. 39 Inti pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah mubah. Namun, sesuai dengan sifat mubah dalam Islam yang dapat tergantung pada situasi dan kondisi serta maksudnya, maka kedudukannya bisa menjadi sunat, wajib, atau sebaliknya, haram.40
39
Yanggo dan Anshary, ”Problematika Hukum Islam Kontemporer”, h.153-154.
40
Ibid., h. 154
BAB IV ADOPSI ANAK DALAM PUTUSAN NO. 126/Pdt.P/2007/PN.JAK.BAR
A. Pertimbangan Hakim Dalam menyelesaikan suatu perkara seorang hakim harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan terkait keputusan yang akan diambilnya baik bersumber dari hukum tertulis (Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat atau ijtihad/Rechvinding seorang hakim). Tidak boleh seorang hakim memberi keputusan sesuka hatinya tanpa argumentasi atau alasan-alasan hukum dalam suatu keputusan sebagai mana tercantum dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, dalam penjelasannya, hal ini agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Adapun pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap Penetapan Pengangkatan Anak Nomor: 126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR adalah sebagai berikut: _ Adanya Surat Permohonan yang diajukan Pemohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat dibawah Register No. 126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.
_ Adanya Identitas orang tua kandung berupa: o Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) o Fotocopy Kartu Keluarga o Fotocopy Kutipan Akta Nikah o Surat Pernyataan Penyerahan Anak _ Adanya itikad baik dari Pemohon dalam pengangkatan anak tersebut yaitu semata-mata demi kelangsungan hidup yang lebih baik bagi si anak dalam hal pendidikan maupun pemeliharaan kehidupannya dimasa yang akan datang. _ Adanya izin pengangkatan anak dari Dinas Sosial Propinsi. _ Adanya Identitas Pemohon berupa: o Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami isteri (P.1.1 dan P.1.2) o Fotocopy Kutipan Akta Nikah Pemohon (P.1.1 dan P.1.2) o Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Pemohon (P.1.1 dan P.1.2) o Fotocopy Kartu Keluarga Pemohon o Surat keterangan pekerjaan dari Instansi tempat Pemohon bekerja dan disertai keterangan Penghasilan (Slip Gaji) o Surat Keterangan dari Kepala Dinas Sumber Daya Manusia o Surat Keterangan Sehat dari Rumah Sakit setempat o Surat Keterangan dari Kepala Dinas Bintal dan Kesos Propinsi DKI Jakarta o Surat Pernyataan Penyerahan Anak dari orang tua kandung si anak
_ Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran calon anak angkat41
B. Putusan Hakim Mengenai
putusan
hakim
No.126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.
dengan
memperhatikan dalil-dalil Pemohon serta bukti-bukti yang menguatkan seperti uraian di atas, maka pada tanggal 28 Mei 2007 Mejelis Hakim yang diketuai oleh Ny. Hanizah IM, SH. Dan Panitera Pengganti oleh Puji Sulistaryo, SH. Serta dihadiri oleh Pemohon menetapkan Pengangkatan Anak dikabulkan. Dan Sejak hari Penetapan dikeluarkan hubungan orang tua kandung anak yang bernama Rifki Ramadhan beralih kepada orang tua angkat bernama Bagus Bina Edvantoro dan Emi Kusmila, dan anak yang sudah diadopsi tersebut tidak bisa diambil kembali oleh orang tua kandungnya sampai kapanpun tanpa ijin dari orang tua angkatnya. Setelah Penulis melakukan wawancara dengan salah satu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang berlokasi di Jl. LET. JEN. S. Parman No. 71, Slipi Jakarta Barat perihal masalah yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini. Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menurut Hakim tersebut bukan merupakan adanya dualisme kewenangan antara Peradilan Negeri
41
Lembar Penetapan Pengangkatan Anak Nomor:126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.
dengan Peradilan Agama. Karena sudah jelas bahwa Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara adopsi yang diajukan oleh orang Islam, sedangkan Peradilan Negeri Berwenang menyelesaikan perkara adopsi yang diajukan oleh orang-orang Non-Islam. Hal itu menurutnya dianggap sesuatu yang positif karena menyangkut hubungan perdata antar orang-orang Islam yang harus diselesaikan berdasarkan Hukum Islam sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang tersebut, terkecuali, apabila di dalamnya terdapat sengketa pihak ketiga maka hal itu baru menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Sebagaimana diatur dalam pasal 50 Undang-undang Peradilan Agama. Kemudian terkait masalah dasar hukum Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam mengabulkan perkara adopsi anak dengan Nomor Perkara: 126/Pdt.P/2007 yang dilakukan oleh orang-orang beragama Islam tersebut, bukankah sejak diajukannya permohonan sudah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Diungkapkan bahwa, pada dasarnya Pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh para pihak. Namun berkenaan dengan masalah adopsi yang diajukan oleh orang-orang muslim, pada dasarnya perkara tersebut menjadi wewenang penuh Pengadilan Agama sebagaimana telah diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Akan tetapi pada saat diajukannya
permohonan tersebut Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tersebut belum ada Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaannya, sehingga Pengadilan Negeri masih berwenang untuk menerima dan mengabulkan permohonan tersebut. Menurut Penulis suah jelas berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Kewenangan pengadilan agama dibidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 menyebutkan: Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut; 18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cult-up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Ada satu
penambahan kewenangan
subbidang
penentapan pengangkatan anak berdasarkan
perkawinan,
yaitu
hukum Islam sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a angka 20. Kewenangan ini tidak disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya penambahan frasa “…berdasarkan hukum Islam”. Menegaskan bahwa bagi orang-orang beragama Islam yang berperkara di Pengadilan Agama tertutup peluang untuk memilih atau meminta putusan atau penetapan pengangkatan anak sekehendak hatinya yang bertentangan dengan hukum Islam.42 pada masa pasifnya Undang-Undang karena menunggu Peraturan Pemerintahnya dibuat (Vacum of Law), merurut Penulis maka kebijaksanaan seorang hakimlah yang lebih berperan perihal diterima atau ditolaknya permohonan adopsi anak yang dilakukan oleh orang beragama Islam. Apabila hakim menerima permohonan itu, maka hakim itu juga harus melihat akibat hukum yang akan bertentangan dengan asas kesadaran hukum para Pemohon yang mana seharusnya Peradilan Agama yang lebih tepat menyelesaikan permohonan itu sesuai kesadaran hukum Pemohon yaitu hukum Islam.
42
Musthofa SY, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama”, h. 63.
Dengan demikian dijelaskan juga mengenai akibat hukum dari Penetapan Pengangkatan Anak tersebut adalah menjadi terputusnya hubungan perdata antara anak dengan orang tua kandungnya sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan anak tersebut setelah ditetapkan oleh Pengadilan menjadi
milik
orang
tua
angkat
sepenuhnya.
Karena
Hakim
dalam
pertimbanganya melihat juga pada adanya surat penyerahan anak yang dibuat oleh orang tua kandung si anak dengan calon orang tua angkatnya. Dengan demikian tanggung jawab kehidupan dan kesejahteraan anak itu telah diserahkan sepenuhnya kepada orang tua angkatnya, biasanya disebabkan oleh faktor ekonomi orang tua kandung si anak yang lemah. Menurut Penulis hukum adopsi warisan Belanda yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia memiliki celah-celah yang dapat dilalui oleh para pelaku kejahatan. Hal ini dapat dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan dalam adopsi anak seperti putusnya hubungan kekeluargaan antara si anak dengan orang tua kandungnya, keputusan ini dapat memberi kesewenang-wenangan orang tua angkat dalam menjadikan anak tersebut sesuka hatinya tanpa diketahui oleh orang tua kandungnya baik keberadaan maupun keadaannya. Disamping itu dalam menanggapi banyaknya isu penjualan anak, serta pengangkatan anak yang ternyata untuk dijadikan komunitas bisnis orang tua angkatnya seperti dijadikan sebagai pengemis jalanan, pengamen,dan sebagainya
dengan modal membayar biaya perkara dipersidangan dan sedikit polesan bedak kejujuran Pemohon (orang tua angkat) akan mendapatkan keuntungan yang berlipat dari anak tersebut. Besarnya celah hukum di atas tidak sebesar celah hukum adopsi yang diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak, tetapi Islam hanya membolehkan bahkan menganjurkan bagi yang mampu untuk melakukan pemungutan/pemeliharaan anak tanpa memutuskan hubungan si anak dengan orang tua kandungnya. Orang tua kandung berhak menjenguk anaknya kapan saja bahkan mengambilnya kembali dari orang tua asuhnya. Kemudian dalam masalah siapa saja yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kesejahteraan kehidupan anak angkat setelah diadopsi oleh orang tua angkatnya, diungkapkan bahwa, yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keberadaan dan kesejahteraan kehidupan anak angkat adalah Departemen Sosial dari perizinan yang dikeluarkan itu didata identitas masing-masing pihak (orang tua kandung dan orang tua angkat) dan juga pihak kepolisian serta tidak lepas juga masyarakat pada umumnya.43 Pengawasan pemerintah terhadap anak-anak yang telah diadopsi menurut Penulis saat ini masih kurang intensif dalam mengontrol keadaan anak angkat ditempat orang tua angkatnya. Apa benar alasan-alasan yang diucapkan para Pemohon pada waktu di depan majelis hakim benar-benar dilaksanakan, atau alasan itu hanya formalitas saja untuk melancarkan keinginan yang tersembunyi 43
Wawancara Pribadi dengan Hanifah Hidayat Noor, SH., Jakarta, 16 Januari 2009
dibalik topeng kejujuran. Dikarenakan seorang hakim bukanlah malaikat yang dapat mengetahui isi dalam hati seseorang, dan hakim dalam pertimbangannya hanya melihat bukti-bukti real yang ada, oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang baik dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, serta pihak Kepolosian sebagimana tercantum dalam Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa: (1) “Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak”.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam hal pengangkatan anak ini terdapat dua Badan Peradilan yang berhak menangani perkara adopsi, Penulis mengambil kesimpulan bahwa: 1. Setelah lahirnya Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa dalam perkara adopsi anak tidak terdapat dualism kewenangan antara Peradilan Negeri dengan Peradilan Agama. 2. Pengadilan Negeri sebagai tempat mencari keadilan bagi orang-orang yang beragama selain agama Islam, yang mempunyai dasar hukum warisan Belanda yang secara jelas bertentangan dengan watak Bangsa Indonesia yang mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi (Kemanusiaan Belanda hanya dilihat dari segi kemanusiaan si anak, tetapi tidak melihat rasa kemanusiaan orang tua yang melahirkannya). 3. Pengadilan Agama sebagai sarana untuk mencari keadilan bagi orangorang beragama Islam yang mempunyai sumber hukum Islam. Dalam hal kesesuaian hukum Islam dengan watak Bangsa Indonesia Penulis belum tahu secara pasti, akan tetapi untuk langkah awal berbicara mengenai watak berarti berbicara mengenai sifat dasar Bangsa yang dapat dikaitkan
dengan adat istiadat rakyat Indonesia (Hukum Adat). Dengan demikian dapat kita lihat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka dapat disimpulkan yang banyak mempengaruhi watak Bangsa Indonesia adalah watak yang terbentuk dari agama islam. Hal ini sejalan dengan teori Receptio in Complexu dari Mr. L.C.W. Van den Berg yang intinya “jika ingin mengetahui kebiasaan yang berlaku pada suatu Negara adalah dengan melihat agama yang banyak dianut oleh penduduk Negara tersebut”, artinya tidak mungkin seorang pemeluk agama melakukan kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan hukum agamanya.44
B. Saran-Saran Dari kesimpulan di atas, saran Penulis dalam permasalahan adopsi ini sebaiknya, sebagai berikut: 1. Pemerintah yang dalam hal ini terutama Departemen Luar Negeri untuk secara intensif mengawasi anak-anak Warga Negara Indonesia yang telah diadopsi oleh Warga Negara Asing mengenai kesejahteraan dan kehidupan yang baik terhadap anak tersebut. Dan juga kepada Departemen Sosial untuk benar-benar menjalankan tugasnya dalam pemberian izin adopsi yang diajukan oleh para pemohon, baik dalam segi tujuan calon orang tua angkat mengadopsi, psikologi calon orang tua angkat, serta segi kelayakan 44
Muderis Zaini, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, h. 30
menjadi orang tua angkat dalam kesejahteraan kehidupan anak angkat dimasa yang akan datang. 2. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama lebih berhati-hati dalam memberi izin dalam hal pengangkatan anak kepada para Pemohon, karena masalah ini menyangkut hak kehidupan yang layak bagi jiwa seorang anak, jika kehidupan seseorang sudah terganggu maka orang tersebut hidup tanpa tujuan yang akan menimbulkan permasalahan bagi Bangsa kita sendiri. 3. Dan juga kesadaran hukum masyarakat dan kepekaan sosial terhadap lingkungannya dapat menciptakan pengaruh yang baik dalam melakukan pengawasan terhadap masalah adopsi/pengangkatan anak. 4. Dan yang terakhir saran dan juga doa Penulis yang mungkin mustahil dimata manusia tetapi tidak mustahil dimata Tuhan Yang Kuasa, adalah kepada Pejabat Pemerintah yang bertugas membuat Perundang-undangan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), jika para Dewan yang terhormat sama-sama mengetahui besarnya celah hukum yang mengatur tentang adopsi dari negeri Belanda, mohon segera dirapatkan agar kelangsungan hidup seseorang dapat lebih terjamin, dan para pelanggar/penyelundup hukum tidak lagi bisa melakukan aksinya. Allahu A’lam Bis Showaab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim. Arto A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet.I. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,2005) Fachruddin Fuad Muhammad, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1991), Cet.2. http//:www.pn-jakbar.net., diakses pada tanggal 15 Januari 2009. Joseph Christina, Proses Pengangkatan Anak,http//:www.derapperempuan.net, diakses pada tanggal 15 Oktober 2008. Kamil Ahmad, Fauzan H.M., Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Marwan Muhammad, Pengangkatan Anak, http//:www.pta-babel.net, diakses pada tanggal 15 Oktober 2008.
Munawwir Achmad Warson, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Soeroso R., Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) SY. Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2008), Cet.I. Soimin Soedharyo, Hukum Orang Dan Keluarga,(Jakarta: Sinar Grafika,2002). Subekti R., “Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung”, (Bandung:PT. Alumni, 2006), Cet.5. Syahri Dede, Perbandingan Penetapan Adopsi Anak Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, Skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Staatsblad 1917 No.129 Bab II Tentang Pengangkatan Anak. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 6 Tahun 1983. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Yanggo Chuzaimah T., Anshary A. Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer I, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2002), Cet.4. Zaini Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2002),Cet.4.
LAMPIRAN 1 SURAT PERMOHONAN MENJADI DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI
LAMPIRAN 2 SURAT KETERANGAN DATA/WAWANCARA DARI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
LAMPIRAN 3 SURAT KETERANGAN RISET/WAWANCARA DARI PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
LAMPIRAN 4 KETERANGAN HASIL WAWANCARA HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
Nama
: Hanifah Hidayat Noor, SH.
Jabatan
: Hakim Humas Pengadilan Negeri Jakarta Barat
1. T. Bagaimana tanggapan Bapak tentang adanya dualisme kewenangan dalam perkara adopsi anak, pasca diUndangkanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagaimana di jelaskan dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf a angka 20 Undang-undang ini Sehingga, kewenangan perkara adopsi bagi orang-orang beragama Islam ini menjadi kewenangan Absolut Peradilan Agama? J. Menurutnya, hal itu bukan sebagai dualism kewenangan, karena setelah lahirnya Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sudah jelas Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara adopsi yang diajukan oleh orang-orang beragama Islam, sedangkan Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan perkara adopsi yang diajukan oleh orang-orang yang beragama Non-Islam. Memang seharusnya perkara adopsi yang dilakukan antara orang-orang muslim itu diselesaikan berdasarkan Hukum Islam. Karena hal itu menyangkut perkara perdata antar orang-orang muslim. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Peradilan Agama tersebut. Terkecuali, apabila di dalamnya terdapat sengketa pihak ketiga maka hal itu baru menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Sebagaimana di atur dalam pasal 50 Undangundang Peradilan Agama.
2. T. Apa dasar hukum Bapak dalam menyelesaikan perkara adopsi anak dengan Nomor Perkara: 126/Pdt.P/2007 yang dilakukan oleh orang-orang beragama Islam tersebut, bukankah sejak diajukannya permohonan sudah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama?
J. Menurutnya bahwa, pada dasarnya Pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh para pihak. Namun berkenaan dengan masalah adopsi yang diajukan oleh orang-orang muslim, pada dasarnya perkara tersebut menjadi wewenang penuh Pengadilan Agama sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Akan tetapi pada saat diajukannya permohonan tersebut Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tersebut belum ada Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaannya, sehingga Pengadilan Negeri masih berwenang untuk menerima dan mengabulkan permohonan tersebut.
3. T. Kemudian, apa saja akibat hukum adopsi anak yang ditetapkan melalui Pengadilan Negeri? J. Menurutnya bahwa, akibat hukum adopsi anak yang ditetapkan melalui Pengadilan Negeri adalah terputusnya hubungan perdata antara anak dengan orang tua kandungnya sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan anak tersebut setelah ditetapkan oleh Pengadilan menjadi milik orang tua angkat sepenuhnya. Karena Hakim dalam pertimbanganya melihat juga pada adanya surat penyerahan anak yang dibuat oleh orang tua kandung si anak dengan calon orang tua angkatnya. Dengan demikian tanggung jawab
kehidupan dan kesejahteraan anak itu telah diserahkan sepenuhnya kepada orang tua angkatnya, biasanya disebabkan oleh faktor ekonomi orang tua kandung si anak yang lemah.
4. T. Dalam masalah adopsi anak ini, siapa saja yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kesejahteraan kehidupan dari anak angkat tersebut? J. Dalam hal yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keberadaan dan kesejahteraan kehidupan anak angkat adalah Departemen Sosial dari perizinan yang dikeluarkan itu didata identitas masing-masing pihak (orang tua kandung dan orang tua angkat) dan juga pihak kepolisian serta tidak lepas juga masyarakat pada umumnya.
Jakarta., 16 Januari 2009
Mengetahui Pewawancara
Budi Susanto Nim: 20 40 44 10 30 22
Yang di Wawancarai
Hanifah Hidayat Noor, SH. Nip: 150 427 743
LAMPIRAN 5 LEMBAR PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT
PENETAPAN Nomor : 126/Pdt.P/2007/PN. JKT. BAR
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada Pengadilan Tingkat pertama telah memberikan Penetapan sebagai berikut dibawah ini dalam perkara permohonan yang diajukan oleh: BAGUS BINA EDVANTORO (suami) dan EMI KUSMILA (istri), keduanya beralamat di Perumahan Mawar No. 9 Jl. H. Saaba, Joglo, Jakarta Barat, yang untuk selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON. Pengadilan Negeri tersebut; Setelah membaca surat-surat dalam permohonan ini; Setelah mendengar keterangan Pemohon dipersidangan ini; Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 11 Mei 2007, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 14
Mei
2007
dibawah
Register
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
No.
126/Pdt.P/2007/PN.JKT.BAR.,
telah
− Bahwa para Pemohon berkeinginan untuk mengadopsi seorang anak laki-laki bernama RIFKI RAMADHAN, tempat/tanggal lahir : Jakarta, 10 Oktober 2006
sebagaimana
disebut
dalam
Kutipan
Akta
Kelahiran
No.
23948/U/JB/2006 tanggal 2 November 2006; − Bahwa adapun anak yang hendak diadopsi tersebut adalah anak dari pasangan suami isteri yaitu Sdr. SYABAN dan Sdri. KARTINI, yag beralamat dijalan Peninggaran Timur I Rt. 007/09 Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kacamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan; − Bahwa oleh karena itu, para Pemohon sangat mengharapkan agar si anak tersebut dapat dirawat dan diurus dengan baik dan masa depannya juga lebih terjamin dibawah pengasuhan Para Pemohon. Para Pemohon sendiri berpenghasilan tetap, sehat jasmani dan rohani serta sangat peduli kepada anak-anak, sehingga maksud dari pengajuan permohonan adopsi anak ini oleh Para Pemohon semata-mata demi masa depan si anak; − Bahwa anak tersebut sudah tinggal dan hidup bersama Para Pemohon sejak lahir tanggal 10 Oktober 2006 sampai dengan saat ini dan si anak sekarang berumur 7 bulan; − Bahwa lagi pula orang tua kandung si anak tersebut tidak berkeberatan dengan keinginan Para Pemohon untuk mengadopsi si anak, dimana kedua orang tua si anak tersebut telah menyatakan dapat mengizinkan anaknya untuk
diangkat oleh Para Pemohon sebagaimana dinyatakan dalam Surat Perjanjian Pengangkatan Anak tertanggal 10 Oktober 2006; − Bahwa selanjutnya Para Pemohon sendiri akan memperlakukan si anak seperti anak kandung sendiri, akan merawat dan mengasuhnya sebaik-baiknya serta akan memberikan pendidikan agama maupun pendidikan sekolah sebaik mungkin dan juga akan mencurahkan kasih sayang kepada si anak sebagai wujud dari kasih sayang ornag tua kepada anak; Maka berdasarkanhal-hal tersebut di atas, dengan ini Para Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar kiranya dapat mengabulkan permohonan ini dengan menetapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut di atas; 2. Menetapkan anak yang bernama RIFKI RAMADHAN yang lahir di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2006 untuk diangkat menjadi anak angkat yang sah dari Para Pemohon; 3. Menetapkan Biaya menurut hukum Menimbang, bahwa pada persidangan yag telah ditetapkan, untuk Para Pemohon telah datang menghadap sendiri, dan setalah surat permohonan dibacakan oleh hakim, atas pertanyaan Hakim Pemohon menyatkan tetap pada permohonannya tersebut; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon dipersidangan telah mengajukan surat-surat bukti berupa fotocopy yang telah
dibubuhi Materai secukupnya dan telah pula dicocokkan dengan aslinya antara lain berupa; 1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama : EMI KUSMILIA (diberi tanda P.1.1.) ternyata sesuai dengan aslinya; 2. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama : BAGUS BINA EDVANTORO (diberi tanda P.1.2.) ternyata sesuai dengan aslinya; 3. Fotocopy Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kebayoran Baru, Jakarta Selatan tertanggal 14 Juli 2003 atas nama : BAGUS BINA EDVANTORO dan EMI KUSMILIA (diberi tanda P.2.) ternyata sesuai dengan aslinya; 4. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran No. 14/DISP/J.B/1993/1965. atas nama : EMI KUSMILIA tertanggal 22 Maret 1993 (diberi tanda P.3.) ternyata sesuai dengan aslinya; 5. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran No. 17388/A/1/JS/1984 atas nama : BAGUS BINA EDVANTORO tertanggal 7 Agustus 1984 (diberi tanda P.4.) ternyata sesuai dengan aslinya; 6. Fotocopy Kartu Keluarga No. 017650 yang dikeluarkan oleh Kelurahan Pengadegan, tertanggal 24 April 1991 (diberi tanda P.5.1) ternyata tidak ada aslinya;
7. Fotocopy Kartu Keluarga No. 0952080006190 yang dikeluarkan oleh Kelurahan Meruya Utara, tertanggal Agustus 2000 (diberi tanda P.5.2 ) ternyata sesuai dengan aslinya; 8. Surat
Keterangan
No.
282/HRD/CPA-E/06
dari
PT.FREEPORT
INDONESIA (diberi tanda P.6); 9. Surat Keterangan No. 297/BPD 2100/2006-S8 dari Kepala Dinas Sumber Daya Manusia tertanggal 23 November 2006 (diberi tanda P.7); 10. Surat Keterangan dari Klinik Fertilitas Morula (diberi tanda P.8); 11. Surat Keterangan dari Kepala Dinas Bintal dan Kesos Propinsi DKI Jakarta No.1575/-1.845.1 tertanggal 24 April 2007 (diberi tanda P.9); 12. Surat Pernyataan Penyerahan Anak tetanggal 11 Oktober 2006 (diberi tanda P.10); 13. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama : KARTINI dan SYABAN (diberi tanda P.11.) ternyata sesuai dengan aslinya; 14. Fotocopy Kartu Keluarga No. 4504.005517 yang dikeluarkan oleh Kelurahan Lama Utara, tertanggal 7 Juli 2004 (diberi tanda P.12) ternyata sesuai dengan aslinya; 15. Fotocopy Kutipan Akta Nikah atas nama : SYABAN dan KARTINI tertanggal 17 September 1990 (diberi tanda P.13.) ternyata sesuai dengan aslinya;
16. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran No.23948/U/JB/2006 tertanggal 2 November 2006 atas nama : RIFKI RAMADHAN (diberi tanda P.14.) ternyata sesuai dengan aslinya; Menimbang, bahwa selain bukti-bukti surat yang telah difotocopy dan telah diberi Materai Cukup Pemohon untuk menguatkan dalil-dalilnya telah mengajukan saksi-saksi yang pada pokoknya menerangkan: SAKSI –I: CHRISTIAN NANLOHY -
Saksi kenal dengan Pemohon karena saksi dengan Pemohon ada hubungan saudara;
-
Saksi tahu Para Pemohon belum mempunyai anak;
SAKSI-II: ATI DEWI SURATI -
Saksi kenal dengan Para Pemohon karena saksi kakak kandung dari EMI KUSMILIA ( Pemohon );
-
Saksi tahu Para Pemohon belum mempunyai anak;
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan permohonan ini adalah untuk mengadopsi (mengankat anak) yaitu bernama RIFKY RAMADHANI lahir diJakarta pada tanggal 10 Oktober 2006 ; Menimbang, bahwa berdasarkan surat-surat bukti sehubunan dengan keterangan saksi-1 dan saksi-11 diersidangkan, pemohon telah berhasil membuktikan dalil-dalil pemohonnya, dan oleh karena itu permohonan Pemohon beralasan hukum
dan tidak bertentangan Undang-Undang, maka permohonan pemohon tersebut dapat dikabulkan; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon dikabulkan, maka biaya-biaya yang timbul dalam permohonan ini dibebankan kepada Pemohon; Memperhatikan Pasal-Pasan dan Undang-Undang serta peraturan lain yang bersangkutan ; MENETAPKAN 1. Mengabulkan Permohonan Para Permohon tersebut di atas; 4. Menetapkan anak yang bernama RIFKY RAMADHAN lahir di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2006 adalah anak angkat yang sah dari suami istri : BAGUS BINA EDVANTORO Dan EMI KUSMILIA ; 5. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 104.000,- (Seratus empat ribu rupiah); Demikianlah Pwnwtapan dibuat pada hari : SENIN tanggal 28 Mei 2007 oleh kami : NY. HANIZAH IM,SH. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Penetapan mana pada hari dan tanggal itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut diatas dengan dibantu oleh : PUJI SULISTARYO, SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan dihadiri oleh : PEMOHON ;
LAMPIRAN 6 SURAT PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK
LAMPIRAN 7
SURAT PERNYATAAN PENYERAHAN ANAK
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: SYABAN
Alamat : Jl. Peninggaran Timur 1 Rt. 007/ Rw. 009. Kel. Kebayoran Lama Utara Kec. Keb. Lama, Jakarta Selatan Nama
: KARTINI
Alamat : Jl. Peninggaran Timur 1 Rt. 007/ Rw. 009. Kel. Kebayoran Lama Utara Kec. Keb. Lama, Jakarta Selatan Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. Nama
: BAGUS BINA EDVANTORO
Alamat : Perumahan Mawar No. 9, Jl. H Saaba, Kel. Joglo, Kec. Kembangan, Jakarta Barat Nama
: EMI KUSMILIA
Alamat : Perumahan Mawar No. 9, Jl. H Saaba, Kel. Joglo, Kec. Kembangan, Jakarta Barat Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
DENGAN INI MENYATAKAN: 1. Bahwa pihak pertama adalah pasangan suami isteri, dan dari perkawinannya telah dikaruniai 3 orang anak masing-masing bernama : RIZKY AMELLIA, MOHAMMAD NAFIYAN, dan RIFKI RAMADHAN; 2. Bahwa Pihak Pertama dengan ini menyerahkan anaknya yang bernama RIFKI RAMADHAN kepada Pihak Kedua untuk diangkat/diadopsi oleh Pihak Kedua agar dirawat dan dididik seperti anak kandungnya sendiri; 3. Bahwa maksud dan tujuan Pihak Pertama menyerahkan anaknya kepada Pihak Kedua untuk dijadikan sebagai anak angkat/diadopsi tersebut adalah demi untuk kelangsungan pendidikan anak itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan perawatan dan pendidikan yang lebih baik, oleh karena Pihak Pertama sendiri tidak akan mampu memberikan perawatan dan pendidikan yang baik untuk masa depannya, memelihara serta memberikan pendidikan yang baik; 4. Bahwa Pihak Pertama dengan tulus dan ikhlas menyerahkan anaknya tersebut kepada Pihak Kedua untuk diadopsi; 5. Bahwa Pihak Pertama tidak akan melakukan tuntutan hukum apapun kepada Pihak Kedua dikemudian hari untuk meminta anak itu dikembalikan kepada Pihak Pertama;
Demikian Surat Pernyataan Penyerahan Anak ini kami buat dengan sebenarnya dan tidak ada unsure paksaan dari pihak manapun juga, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, 11 Oktober 2006