Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 1
DINAMIKA POLITIK HUKUM KEWENANGAN PERADILAN AGAMA Anita Marwing Abstract: This article aims at expalining the dynamic of law politics of religion court authority. Religion court that is identical with the implementation of Islamic law in Indonesia always experience the change. It can be seen that since 30 years ago has changed several times the ordinance of religion court from UU RI No 7 1989 to be UU RI No 3 2006 and the last to be UU RI No 50 2009. Those changes implicate to the competence. Based on the research, it is got that the competence of religion court has complexity dynamic even up and down. Eventhough, it is not erased, but the scope of religion court jurisdiction sometimes is limited by the certain of justice problem. This fact, actually cannot separated by the political will of the authority of that era. It can be seen in their policies. It cannot be denied that the factors of law political dynamic and political will of the authority from one era to another one have written the important notes for the existence, position and authority of religion court in Indonesia where in fact, they do not always run well. Keywords: Dynamic, law politic, the authority of religion court. Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika politik hukum terhadap kewenangan Peradilan Agama. Peradilan Agama yang notabene identik dengan pelaksanaan hokum Islam di Indonesia terus mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak tiga dasawarsa silam, terjadi beberapa kali perubahan Undang-undang Peradilan Agama, mulai dari Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Perubahan-perubahan tersebut berimbas pada kompetensi yang dimiliki. Adapun hasil kajian ini dperoleh bahwa kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, nraamun lingkup yuridiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara-perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa factor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relative mulus. Kata kunci: Dinamika, Polotik hukum, Kewenangan PA
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Peradilan Agama merupakan salah satu pranata hukum Islam yang menjadi satu kesatuan dengan politik hukum Islam di Indonesia. Bahkan sejak masa awal kerajaan Islam, seperti Mataram, Banten, Cirebon, Aceh dan daerah lainnya. Undang-undang Peradilan Agama baru menjadi bagian integral dari kelengkapan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia tahun 1989. Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama, dalam sistem peradilan nasional Indonesia, disamping Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 2
Republik Indonesia.1 Bagi umat Islam, Peradilan Agama merupakan bagian dari implikasi pelaksanaan syari'at Islam. Dapat disadari, bahwa Peradilan Agama sudah ada dan tumbuh bersama dengan pertumbuhan agama Islam di setiap negeri daerah yang didatanginya, termasuk Indonesia.2 Eksistensi Peradilan Agama merupakan conditio sine qua non bagi umat Islam di Indonesia. Sepanjang ada umat Islam, sepanjang itu pula Peradilan Agama ada, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Oleh karena itu, dalam dinamika perjalanan sejarah Indonesia, eksistensi Peradilan Agama bukan sesuatu yang baru, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada masa kerajaankerajaan Islam mulai dari Kerjaan Aceh di Barat sampai Kerjaan Ternate di Timur telah ada peradilan menjalankan fungsi peradilan agama, meskipun dalam bentuk yang sederhana dengan nama dan istilah yang berbeda.3 Secara historis, Peradilan Agama di Indonesia telah lama memainkan peran yang penting dalam penegakan hukum di kalangan masyarakat muslim. Peran itu bahkan telah berlangsung jauh sebelum negara Indonesia merdeka. Pada masa awal kedatangan Islam di Nusantara, ketika komunitas muslim belum terbentuk, pelembagaan hukum Islam memang masih bersifat mulzim bi nafsih (berlaku dengan sendirinya), tanpa ada kekuatan politik yang mendorongnya karena memang masyarakat muslim belum membentuk suatu pemerintahan. Periode ini dikenal dengan era tahkim. Pada era ini, umat Islam menyelesaikan persoalannya secara sederhana dengan cara mengangkat seseorang yang dianggap memiliki otoritas menjadi muhakkam.4 Pola tahkim ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim. Ketika kerajaan-kerajaan Islam telah terbentuk, maka pola ini berkembang menjadi pelimpahan wewenang oleh ahlul halli wa al aqdi. Selanjutnya berkembang menjadi tauliyah dari Imam atau delegation of authority. Pada era ini, hakim sudah diangkat oleh sultan atau raja.5 Pengakuan akan adanya Peradilan Agama secara resmi sangatlah berarti bagi tumbuhnya salah satu institusi penegak keadilan di nusantara ini, meskipun dalam praktiknya pelaksanaan lembaga peradilan ini selalu disetir oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, keberadaan Peradilan Agama seperti itu belum menjamin terlaksananya lembaga peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman. Berbagai usaha telah dilakukan oleh umat Islam dalam rangka mewujudkan lembaga Peradilan Agama yang diimpikan. Usaha ini ternyata memakan waktu yang cukup lama. Setelah melalui berbagai tahapan, baru pada tahun 1989 pemerintah Indonesia mengeluarka Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang khusus mengatur Peradilan Agama. Keluarnya undang-undang ini maka keberadaan Peradilan Agama 1
Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 250. 2 Muh. Jamal Jamil, “Hukum Belanda Pada Peradilan Agama Indonesia”, Jurnal Al-Risalah 10, Nomor 2, 2010), h. 216. 3 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Kencana, Jakarta, 2008), h. 397. 4 Lahaji, “Politik Hukum Pelembagaan Peradilan Agama di Indonesia”, Jurnal Al-Risalah 13, Nomor 1, 2013, h. 2. 5 Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1986), h. 10.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 3
mempunyai landasan hukum yang formal (landasan yuridis formal) dan diakui sejajar dengan badan-badan peradilan lainnya yang sama-sama melaksanakan fungsi kehakiman di Indonesia. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia tidak terlepas dari peran politik hukum di Indonesia sangat mewarnai pasang surut Peradilan Agama, yang notabene merupakan salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Jika dilihat sejak zaman kerajaan Islam, kolonial Belanda,6 penjajahan Jepang7, zaman kemerdekaan, sampai kini, pasang surut Peradilan Agama sangat jelas ditentukan oleh pasang surut politik hukum di Indonesia. Pada masa Orde Baru, melalui kebijakan modernisasi adaptasionis, mengakui pentingnya nilai-nilai keagamaan dan moral dalam kerangka Pancasila. Peradilan Agama diakuisebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia, sehingga para hakim agama mempunyai peluang untuk menggali kaidahkaidah hukum Islam yang hidup dan berkembang di masyarakat. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap sebagai tonggak awal bagi kekuatan landasan yuridis hukum Islam, dan pertanda ”ajal”-nya teori receptie.8 Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan Agama semakin kokoh sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara Republik Indonesia. Bahkan sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) kedudukannya disejajarkan dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kekokohan Peradilan Agama semakin menonjol setelah disahkan dan diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaannya pada tanggal 1 April 1975 yang mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Kemudian disusul dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik beserta peraturan pelaksanaannya. 6
Pemerintah Kolonial Belanda dalam politik hukum selalu menangani segala bidang hukum secara “concerted”. Sarjana hukum di lingkungan Perguruan Tinggi membuat konsep-konsep ilmiah, dan Pemerintah merekayasa hasil-hasil karya ilmiah itu untuk kepentingan politik hukum.Oleh karena itu, segala peraturan hukum itu adalah hasil rekayasa yang brilian di bidang hukum.Pernyataan ini berlaku khususnya di bidang Peradilan Agama yang notabenenya adalah peradilan yang menangani berlakunya hukum perkawinan bagi umat Islam saat itu.Rekayasa di bidang hukum ini semua menjurus untuk mengeliminasi hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat Indonesia.Hal ini disebabkan di mata kolonial karena hukum Islam dianggap menjadi penghalang kolonialisme. Rekayasa ilmiah hukum ini meliputi: Gagasan univikasi hukum; Penemuan hukum adat; Membuat citra palsu tentang Peradilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan perkaranya umat Islam di bidang Perkawinan dan Kewarisan. Lihat Kamsi, “Pergumulan PolitikHukum Perkawinan Islam dan Adat di Indonesia”, Jurnal Ilmu Syari’ah dan HukumAsy-Syir’ah 46, Nomor II, (2012), h. 455. 7 Jepang tidak banyak melakukan intervensi terhadap kompetensi Peradilan Agama sangat rendah.Situasi ini memungkinkan Muslim untuk memulihkan Peradilan Agama. Lihat Aden Rosadi, “Nazhariyyat Al-Tanzhīmi Al-Qadhāī(Teori Dan Sistem Pembentukan Hukum Peradilan Agama)dan Transformasinya dalam PeraturanPerundang-Undangan di Indonesia”, Ringkasan Disertasi, (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 2012), h. 1. 8 Aden Rosadi, h. 2.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 4
Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, selain memperkokoh keberadaan Peradilan Agama, juga sekaligus memperluas beban tugasnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dikeluarkannya peraturan dan perundang-undangan tersebut, telah menggugah dan memunculkan kembali peran dan fungsi badan Peradilan Agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada siapa yang berkuasa dalam waktu tersebut. Jika penguasa menghendaki Peradilan Agama menjadi kerdil atau bahkan hilang keberadaannya, walaupun umat Islam menghendaki sebaliknya, tetap saja kehendak penguasa yang dominan, sebab ia pemegang dominasi politik.9 Politik hukum negara Republik Indonesia yang didasari Pancasila, menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Teori “lingkaran konsentris” menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, hukum dan negara.10 Sejarah membuktikan, dalam tradisinya kendatipun dari pemerintah kolonial hingga periode kemerdekaan pernah ada upaya memisahkan ketiganya, namun fakta menunjukkan bahwa masingmasing tidak dapat berdiri sendiri. Berbicara konfigurasi politik hukum kompetensi Peradilan Agama saat ini, tentunya tidak dapat dilepaskan dari rentetan perisitiwa sejarah masa lalu sehingga perlu dibedah agar kita dapat bersikap secara arif dalam mencandra eksistensi dan kompetensinya. Konfigurasi Politik hukum kompetensi Peradilan Agama sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun ekonomi. Ketika elit politik Islam memiliki bargaining yang kuat dalam interaksi politiknya, maka pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar, begitu pula sebaliknya apabila posisi tawar elit politik Islam lemah, maka pengembangan hukum Islam di Indonesia laksana “katak dalam tempurung”. Sungguh pun begitu, pada akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum negara dapat menempatkan posisi Peradilan Agama dalam sistem peradilan nasional secara lebih proporsional.Fakta fluktuasi dan instabilitas pencitraan Peradilan Agama dalam dinamika politik hukum dan kehendak politik pemerintah kadangkala menunjukkan apresiasi negatif dan kadangkala juga positif. Konfigurasi dialektika Peradilan Agama antara peluang dan tantangan yang niscaya saling bersitegang itu, utamanya muncul dalam bentuk pro dan kontra atas pelbagai kebijakan regulasi. Satu di antaranya terkait dengan status, kedudukan dan kewenangannya dalam sistem peradilan nasional. Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya.11 9
Wahyu Widiana, Pasang Surut Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, http://www.badilag.net/artikel/12025-pasang-surut-peradilan-agama-dalam-politik-hukum-indonesiaoleh-wahyu widiana-18.htmL”, (19 Nopember 2015). 10 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini). (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). h. 67. 11 Sui generis dalam peristilahan hukum adalah ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri dalam hal cara kerja dan sistem ilmiah. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 35.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 5
Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kompetensi Peradilan Agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga ditambah beberapa persoalan muamalah. Kenyatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar belakang historis itu, Peradilan Agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah, talak, dan rujuk saja. Sejarah kompetensi Peradilan Agama di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pergumulan hukum Islam dan dinamika politik hukum di Indonesia. Secara historis, eksistensi hukum Islam di Indonesia sesungguhnya berjalan secara paralel dengan kehadiran Islam di nusantara. Bahkan, sejak awal kehadiran Islam, hukum Islam telah menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat Islam nusantara. Premis dasar yang menopang argumen ini adalah bahwa konsepsi hukum Islam merupakan bagian utuh dalam totalitas sistem ajaran Islam yang faktualnya tidak mungkin dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri.12 Dalam pandangan antropologi hukum, di manapun terdapat masyarakat di dunia ini, maka di situ pula terdapat hukum.Artinya, adalah rasional jika faktualnya dimana umat Islam, maka disitu terdapat hukum Islam.13 Perubahan kompetensi mulai tampak dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, komptensi Peradilan Agama juga bertambah ketika keluar PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12 yang mengatur “penyelesaian perselisihan sepanjang menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui pengadilan agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama kembali mendapatkan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang termaktub dalam Pasal 49 Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan ini tidak saja memberikan keluasan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, sehingga Peradilan Agama mulai mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan putusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan undang-undang. Akhirnya, setelah berjalan selama 15 tahun, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi Peradilan Agama. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi Peradilan Agama diperluas dengan memasukan beberapa bidang baru, antara lain ekonomi syariah, sebagai salah satu bidang kompetensinya. Artinya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 ini menegaskan bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi 12
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990) h. 202-203. Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Perannya dalam Pembinaan Hukum Nasional (Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 19. 13
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 6
Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khusunya masyarakat muslim. Apabila diperhatikan, pada Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 ternyata kewenangan Pengadilan Agama diperluas menjadi sembilan bidang dimana disebutkan Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Meskipun demikian, kontroversi mengenai kompetensi Peradilan Agama kembali mencuat menjelang lahirnya Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hingga undang-undang tersebut diberlakukan. Dalam Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008, kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah terbatas selain yang ada perjanjian penyelesaian sengketa sesuai dengan isi akad. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2), sebagai berikut: “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.” Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) disebutkan: “Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.” Pada Penjelasan Pasal 55 Ayat (2), ternyata peradilan umum tetap diberi kompetensi dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Alhasil, beberapa kalangan berpendapat bahwa dengan ditunjuknya peradilan umum sebagai lembaga peradilan yang akan menangani persoalan sengketa perbankan syariah, berarti pemerintah tidak konsisten terhadap sesuatu yang telah menjadi keputusannya. Mengingat penambahan kompetensi Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syariah sesungguhnya merupakan usulan pemerintah juga, sebagaimana terdapat dalam Pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 yang usianya baru dua tahun namun telah dilaksanakan oleh lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian telah terjadi choice of court (litigation) yang berimplikasi kepada ketidakpastian hukum. Apabila diperhatikan secara seksama, kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup yurisdiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakankebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tak dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 7
Peradilan Agama di Indonesia, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.14 Sesuai uraian di atas, maka Peradilan Agama yang notabene identik dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia telah, sedang, dan akan terus mengalami perubahan. Sejak tiga dasawarsa silam, terjadi beberapa kali perubahan UndangUndang Peradilan Agama, mulai dari Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989, menjadi Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006, dan terakhir Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009. Perubahan-perubahan tersebut berimbas pada kompetensi yang dimiliki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Peradilan Agama di Indonesia senantiasa penuh dengan dinamika sehingga menarik untuk dikaji. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah pokok penelitian ini yaitu bagaimana dinamika politik hukum kompetensi Peradilan Agama di Indonesia. II. Pembahasan A. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Salah satu produk perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, adalah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan di atas, Indonesia harus memiliki elemen-elemen sebagai Negara hukum. A Mukthie Fadjar mencatat ada tujuh elemen negara hukum, yaitu:15 1. Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Asas legalitas; 3. Asas pembagian kekuasaan Negara; 4. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak; 5. Asas kedaulatan rakyat; 6. Asas demokrasi; dan 7. Asas konstitusional. Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia bermakna menjamin bahwa hak asasi yang dirumuskan juga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Asas legalitas bermakna Negara yang diperintah oleh hukum bukan oleh orang-per orang. Asas pembagian kekuasaan Negara bermakna kekuasaan legislatif dipegang oleh organ legislatif, kekuasaan eksekutif oleh organ eksekutif, dan kekuasaan yudikatif oleh organ yudikatif. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak bermakna hakim tidak bisa bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, hakim terikat oleh hukum. Asas kedaulatan rakyat bermakna kedaulatan ada di tangan rakyat. Asas demokrasi bermakna pemerintahan yang bersendikan perwakilan rakyat, yang kekuasaan dan wewenangnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat serta bertanggung jawab penuh terhadap 14
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 9. 15 A Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 40-81.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 8
rakyat. Asas konstitusional bermakna Negara yang pemerintahannya didasarkan sistem konstitusional. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman. Politik hukum kekuasaan kehakiman mengalami fluktuasi dari masa ke masa. Politik hukum pemerintah kolonial Belanda membagi lima buah tatanan peradilan, yaitu:16 a. Tatanan peradilan gubernemen, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda; b. Di bagian-bagian Hindia Belanda, dimana rakyatnya dibiarkan menyelenggarakan peradilannya sendiri, di samping hakim-hakim gubernemen terdapat juga hakim-hakim peribumi, yang mengadili menurut tatanan peradilan pribumi; c. Di dalam kebanyakan daerah swapraja di samping tatanan peradilan gubernemen terdapat juga tatanan peradilan swapraja itu sendiri (Zelfbestuurrechtspraak); d. Selanjutnya terdapat tatanan peradilan agama. Pengadilan agama terdapat, baik di bagian-bagian Hindia Belanda di mana semata-mata ada peradilan gubernemen maupun di daerah-daerah di mana peradilan agama merupakan bagian dari peradilan pribumi atau di dalam daerah-daerah swapraja sebagai bagian dari peradilan swapraja itu; e. Akhirnya dalam kebanyakan daerah terdapat juga peradilan desa di dalam masyarakat desa. Pada era sesudah kemerdekaan, kekuasaan kehakiman diatur dalam:17 a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung; b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura; c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat di Jawa dan Madura; d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan; e. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil; Selanjutnya kekuasaan kehakiman diatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 1964 memuat enam bab dan 31 Pasal. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1964 diantaranya memuat ketentuan tentang: a. Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia.18
16
R Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II (Pradnya Paramita, 2002), h. 36. 17 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 12-31.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 9
b. Peradilan terbagi menjadi empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.19 c. Hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.20 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1964 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 diantaranya mengatur tentang: a. kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.21 b. Peradilan terbagi menjadi empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.22 c. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.23 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman mengubah beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970. Beberapa perubahan tersebut berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial dalam lembaga peradilan dialihkan ke Mahkamah Agung. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1970 beserta perubahannya telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 2004 diantaranya mengatur tentang: a. Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia;24 b. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara;25 c. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.26
18
Pasal 3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1964. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1964. 20 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1964. 21 Pasal 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1970. 22 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1970. 23 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1970. 24 Pasal 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 2004. 25 Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2004. 26 Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2004. 19
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 10
Perubahan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini dilatarbelakangi adanya perubahan terhadap Undang-undang Dasar RI Tahun 1945. Sebelum perubahan, ketentuan mengenai badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 24 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut: Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Setelah perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi ini tetap terdiri atas satu pasal dengan tiga ayat, yaitu Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pada Perubahan Ketiga (tahun 2001) diputus dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2), sedangkan ayat (3) diputuskan pada Perubahan Keempat (tahun 2002). Rumusan perubahannya sebagai berikut: Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3). Pada Pasal 24 ayat (2) dibentuk satu lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), selain badan kekuasaan kehakiman yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Wewenang dan hal lain yang terkait dengan MK diatur dalam Pasal 24C. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004 pun mengalami nasib yang sama dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009 diantaranya mengatur tentang: a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 11
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.27 b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.28 c. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.29 Kehadiran Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini merupakan undangundang payung (unbrella laws) bagi semua peraturan perundang-undangan, badanbadan, tata cara pengelolaan, administrasi dan acara pengadilan. Setiap perubahan yuridis kekuasaan kehakiman harus menyentuh pelbagai peraturan perundangundangan yang dipayungi, termasuk pelbagai bentuk aturan kebijakan (beleidsregels) dan praktik peradilan yang didapati dalam pelbagai yurisprudensi atau putusan hakim.30 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengalami perubahan beberapa kali sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa politik hukum kekuasaan kehakiman mengalami pasang surut sesuai dengan jamannya. Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.31 Bagir Manan juga berpendapat bahwa beberapa substansi kekuasan kehakiman yang merdeka, yaitu:32 a. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan
27
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009. Pasal 18 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009. 29 Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009. 30 Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 (Jakarta: Mahkamah Agung RI), h. v, Sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi Hasan dalam makalah yang disampaikan dalam Acara Lokakarya Nasional Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar pada tanggal 20 November 2014, dengan judul Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI. 31 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 (Jakarta: Fakultas Hukum UII Press, 2007), h. 30 dalam Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 2012), h. 181. 32 Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (Jakarta: Mahkmah Agung RI, 2005), h. 25-26 dalam Efik Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum (Bandung: Lubuk Agung, 2010), h. 32. 28
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 12
b.
c. d.
e. f.
memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan tidak memihak. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman. Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undangundang.
Efik Yusdiansyah berpendapat bahwa tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah:33 a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara badan-badan penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu. b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau tidak semenamena dan menindas. c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundangundangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan ditegakkan. d. Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (imparsiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara. Dari pengertian Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan pendapat di atas, politik hukum yang dapat dicatat adalah bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka. Berarti bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri, yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga atau pihak manapun. Intervensi yang dimaksud berasal dari legislatif maupun ekskutif. Dari paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum kekuasaan kehakiman adalah: kekuasaan negara yang merdeka, menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 demi terselenggaranya negara hukum Indonesia. Dengan demikian, tujuan akhir dari kekuasaan kehakiman adalah terselenggaranya Negara Hukum Indonesia. Negara Hukum Indonesia yang dicitacitakan adalah Negara Hukum Pancasila, bukan Negara hukum menurut Eropa Kontinental mapun Anglo Saxon. 33
Efik Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum (Bandung: Lubuk Agung, 2010), h. 34.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 13
B. Kompetensi Peradilan Agama di Era Reformasi dan Pasca Reformasi Perubahan kompetensi mulai tampak dalam Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, komptensi peradilan agama juga bertambah ketika keluar PP Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12 yang berbunyi “penyelesaian perselisihan sepanjang menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui pengadilan agama setempat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bahkan, pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama kembali mendapakan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasit, hibah, wakaf, dan shadaqah yang termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan ini tidak saja memberikan keluasan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasan kehakiman, sehingga peradilan agama mulai mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan putusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan undang-undang. M. Daud Ali mencoba menganalisis mengapa hukum Islam yang berlaku di Indonesia saat ini hanya dalam hukum muamalat saja, atau lebih sempit lagi hukum keluarga, kewarisan, dan perwakafan. Ia memilah hukum islam di Indonesia menjadi dua: Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalat. Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan peraturan perundangan-undangan, seperti tentang perkawinan, warisan, perwakafan, dan perbankan syariah. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi. Yang terakhir ini dapat berupa ibadah murni atau hukum pidana. Masalah pidana, menurutnya, belum memerlukan peraturan, karena ini lebih tergantung pada kesadaran dan tingkat iman takwa muslimin Indonesia. Meskipun Indonesia sudah merdeka sejak awal tahun 1945, dan berlakunya Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, namun pandangan sebagian besar sarjana hukum masih terpengaruh teori receptie.34 Konsekuensi dari diundangkannya Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 1999 diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya kebijakan ini, maka lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini dilakukan untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif dengan tujuan untuk memantapkan posisi lembaga peradilan pada segisegi hukum formal dan teknis peradilan. Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi dibidang hukum, Peradilan Agama mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya. Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan Peradilan Agama kemudian 34
M. Daud Ali, Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h, 188.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 14
dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif yakni Departemen Agama untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan lainnya. Misalnya menyangkut sengketa keperdataan-antara orang Islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum, melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung. Dari segi kewenangannya pun, Peradilan Agama di era reformasi mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah. Khusus mengenai kewenangan di bidang ekonomi syariah, Peradilan Agama menghadapi permasalahan dan yang jauh lebih berat adalah menyangkut hukum materiil bidang ekonomi syariah.35 Perubahan signifikan menyangkut kewenangan Peradilan Agama, secara konstitusional diperoleh melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disetujui DPR tanggal 21 Februari 2006. Undang-undang ini muncul sebagai konsekuensi adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada Pasal 2 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 2006 tersebut menandai lahirnya paradigma baru Peradilan Agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989. Penghapusan kata ini dharapkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kewenangan pengadilan agama.36 Dengan adanya Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 ini, landasan hukum positif penerapan hukum Islam menjadi lebih kokoh. Hal ini mengingat, ada beberapa perubahan fundamental yang dilakukan oleh Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 terhadap Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1989, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Ada beberapa titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan. Pertama, menyangkut hak opsi. Dalam UU PA yang lalu antara lain dinyatakan dalam penjelasan umum bahwa: “para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian kewarisan” (lihat penjelasan umum Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1989 angka 2). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 penjelasan tersebut dihapus. Syarat untuk dapat diterapkannya hak opsi dalam sengketa kewarisan adalah sebagai berikut: (1) perkara yang dipersengketakan belum diajukan ke pengadilan; (2) adanya kesepakatan kedua belah pihak berperkara. Dengan demikian pada dasarnya terkait dengan penyelesaian perkara perdata dasar pijakannya adalah 35
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2008), h.14-15. 36 Ibid., h. 343.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 15
asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang intinya menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya. Kedua, sengketa kepemilikan. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam mengenai objek sengketa, maka menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat langsung diputus oleh Pengadilan Agama (lihat Pasal 50). Ada banyak pasal krusial yang direvisi dalam Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 206. Salah satunya adalah tentang kewenangan Pengadilan Agama. Dalam Pasal 49, ada 9 (sembilan) kewenangan Pengadilan Agama dari yang sebelumnya cuma 7 (tujuh). Kesembilan kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk menangani persoalan hukum umat Islam di bidang (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah. Jadi ada tambahan 2 kewenangan PA, yaitu zakat dan ekonomi syari’ah. Bila ada persoalan hukum atau sengketa tentang zakat dan ekonomi syari’ah maka tempat penyelesaiannya adalah di Pengadilan Agama.37 Secara lengkap Pasal 49 tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syari’ah”. Kewenangan Pengadilan Agama yang pertama adalah di bidang perkawinan. Yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah antara lain:38 izin beristeri lebih dari seorang; izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; dispensasi kawin; pencegahan perkawinan; penolakan perkawinan oleh PPN; pembatalan perkawinan; gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri; perceraian karena talak; gugatan perceraian; penyelesaian harta bersama; penguasaan anak-anak; menetapkan bahwa seorang ibu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya; menetapkan penentuan kewajiban biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan kewajiban bagi bekas isteri; memberi putusan tentang sah tidaknya anak; memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan wali; menetapkan penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; menetapkan tentang penunjukan wali dalam hal seorang anak belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; menetapkan tentang pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta anak yang berada dibawah kekuasaannya; menetapkan tentang asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; memberi putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan menyatakan tentang sahnya perkawinan. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah dalam perkara warisan yang meliputi: (a) penentuan siapa yang menjadi ahli waris; (b) penentuan mengenai harta 37
Sebenarnya, ada satu pasal lagi yang terkait dengan kewenangan PA, yaitu pasal 52A yang menyatakan bahwa PA memberikan istbat (penetapan) kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. 38 Lihat penjelasan pasal 49 huruf (a) UU RI No. 3 Tahun 2006.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 16
peninggalan; (c) penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris; (d) pelaksanaan pembagiab harta peninggalan; dan (e) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian masing-masing ahli waris. Kewenangan Pengadilan Agama selanjutnya adalah dalam perkara wasiat dan hibah. Wasiat, sesuai penjelasan pasal 49 huruf (c) adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Sedangkan hibah (penjelasan Pasal 49 huruf [d]) adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah wakaf, zakat dan infaq. Adapun hukum materiil Pengadilan Agama adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI yang didalamnya ada 3 bab yaitu perkawinan, kewarisan dan wakaf. Sedangkan hukum materiil wakaf disamping KHI (buku 3), juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang didalamnya telah mengatur tentang wakaf uang atau wakaf tunai, dan hukum materiil zakat adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat yang didalamnya terdapat materi baru berupa zakat profesi. Selain itu, Pengadilan Agama juga memiliki kewenangan baru yaitu di bidang ekonomi syariah. Uraian tentang ekonomi syari’ah bila mengacu pada penjelasan terhadap Pasal 49 huruf (i) Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syari’ah, antara lain meliputi: bank syari’ah; keuangan mikro syari’ah; asuransi syari’ah; reasuransi syari’ah; reksadana syari’ah; obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; sekuritas syari’ah; pembiayaan syari’ah; pegadaian syari’ah; dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan bisnis syari’ah. Kewenangan Pengadilan Agama yang ada pada Pasal 49 Undang undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah kompetensi absolut dari Pengadilan Agama. Dalam artian lingkungan peradilan lain tidak berhak untuk mengadili sengketa-sengketa sebagaimana yang tertuang dalam pasal tersebut. Adapun perubahan-perubahan penting yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:39 a. Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh MA maupun eksternal oleh KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; b. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pengadilan tingkat pertama maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui 39
Hal-hal penting tersebut juga terdapat pada 2 (dua) UU baru di bidang peradilan yaitu UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Uraian tentang ketiga UU tersebut bias dilihat dalam pendapat akhir presiden yang diwakili menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap RUU tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan peradilan (PU, PA, dan PTUN) dihadapan sidang paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009, h. 7-8.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 17
proses seleksi hakim yang dilakukan oleh MA dan KY secara transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus lulus pendidikan khusus hakim; c. Pengaturan mengenai pembentukan pengadilan khusus, dan pengaturan mengenai syarat, tatacara pengangkatan dan pemberhentian, serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam UU. Jadi di PA ada kemungkinan jika dibutuhkan bias membentuk hakim ad hoc; d. Pengaturan mekanisme dan tata cara pemberhentian hakim; e. Jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan remunerasi hakim. Disini ditegaskan bahwa setiap Hakim di samping mendapatkan gaji pokok dan tunjangan jabatan, juga harus mendapatkan hak berupa rumah jabatan milik negara, jaminan kesehatan dan sarana transportasi (roda empat) milik negara; f. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan maksimal 14 hari dari pembacaan putusan, jika tidak dilaksanakan maka ketua pengadilan akan dikenai sanksi admnistratif; g. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara; h. Bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum; i. Majelis kehormatan hakim dan kewajiban hakim untuk mentaati Kode Etik dan Perilaku Hakim; dan j. Usia pensiun hakim tingkat pertama menjadi 65 tahun dan usia hakim tinggi menjadi 67 tahun serta pensiun Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti tingkat pertama menjadi 60 tahun dan untuk tingkat banding menjadi 62 tahun. Dari paparan diatas, khususnya pasca disahkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang-undang RI Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tampak bahwa posisi Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sudah sangat kokoh dan sejajar dengan peradilan lainnya. Dalam Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat yang beragama Islam. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya penggantian dan perubahan kedua undangundang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari semua lingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan berdasarkan ketentuan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga perlu pula diadakan perubahan atas Undang-
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 18
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undangundang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Saat ini dengan dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga Peradilan Agama pada Pasal 49 Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006, yang meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. Salah satu sentral dalam Undang-undang ini adalah asas personalitas keislaman. Asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama Islam. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan Peradilan Agama, bukan ke lingkungan Peradilan Umum. Jadi, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyak yang beragama Islam tanpa terkecuali.40 Belum genap dua tahun Peradilan Agama diberi mandat untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah -khususnya Perbankan Syariah- sudah terancam dibatasi. Dalam UU RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, secara diam-diam pemerintah berniat menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah kepada Peradilan Umum. Persoalannya tidak sesederhana itu, karena dengan dimasukkannya Pasal 52 pada Bab IX tentang Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, telah memunculkan kontroversi dari berbagai kalangan dalam perspektif yuridis, filosofis, maupun metodologis. Dikhawatirkan hal ini menjadi titik balik dan kontraproduktif dari semangat ekonomi Islam yang sedang bergairah. Penetapan hukum muamalat dalam Islam -termasuk ekonomi Islam, tidak bersifat lahiriah atau duniawi saja, kendatipun hukum muamalat mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual dan akhirat, karena bagi siapa yang menjalaninya termasuk bagian dari menjalankan keyakinannya yang dinilai sebagai ibadah (ketundukkan pada hukum Allah swt). Hal ini sering menjadi kegagalan interpretasi para pemegang kebijakan yang memunculkan sentimen politis yang beraroma syariah phobia. Dari diskusi terbatas yang diikuti oleh para guru besar, pakar, dan praktisi hukum ekonomi syari’ah seputar nomenklatur ilmu ekonomi syariah dan kompetensi Peradilan Agama, menunjukkan adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi aturan main pembentukan perundang-undangan. Patut diduga pemerintah sebagai penyusun draft tidak sepenuhnya memahami tentang substansi dan konsep ekonomi Islam. Pada penjelasan Pasal 52 UU Perbankan Syariah, seakan membuka kembali luka lama yang digoreskan para penjajah, karena sampai saat ini masih saja ada anggapan bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan eksklusif umat Islam, dan anggapan eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang 40
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun1989(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.147-148.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 19
keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannya melahirkan nuansa Islam phobia yang tidak semestinya hadir, karena secara faktual saat ini konsep ekonomi syariah telah mendapat pengakuan dan dipraktekkan dipelbagai penjuru dunia. Tuduhan eksklusivitas Peradilan Agama juga tidaklah benar karena apabila dicermati dalam penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi orang Islam, tetapi juga bagi siapa saja yang menundukkan dirinya kepada hukum Islam, tentu yang dimaksud adalah nonmuslim. Dalam konteks ini ada dua azas yang berlaku, yaitu azas personalitas dan azas penundukan diri. Azas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam, Sedangkan azas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dengan non-Islam. Terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013, tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa perkara perbankan syari’ah.41 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan pasal tersebut lah yang selama ini menjadi biang kemunculan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum). Konsekuensi konstitusionalnya: sejak putusan tersebut ditetapkan, Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili perkara perbankan syari’ah. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa kompetensi peradilan agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup yuridiksi peradilan agama kerap dibatasi pada perkara-perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus. 42 Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kompetensi peradilan agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga ditambah beberapa persoalan muamalah. Kenyataan tersebut tidak dapat dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar belakang historis itu, Peradilan Agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah, talak, dan rujuk saja. Oleh sebab itu, kesiapan dan kemampuan Peradilan Agama, terutama para hakimnya sangat dituntut dalam menjalankan tugasnya terkait dengan kewenangan yang telah diberikan. 41
Pencantuman waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian penutup putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. 42 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 9.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 20
III. Penutup Peradilan Agama yang notabene identik dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia telah, sedang, dan akan terus mengalami perubahan. Sejak tiga dasawarsa silam, terjadi beberapa kali perubahan Undang-undang Peradilan Agama, mulai dari Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989, menjadi Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006, dan terakhir Undang-undang RI Nomor 50 Tahun 2009. Perubahanperubahan tersebut berimbas pada kompetensi yang dimiliki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Peradilan Agama di Indonesia senantiasa penuh dengan dinamika dan tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tak dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia. Daftar Pustaka 1. Buku Abdurrahman, Pengadilan Agama di Indonesia, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010. Ahmad, Amirullah., dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ali, Mohammad Daud., Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, l984. Ali, M. Daud., Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Ali, Muhammad Daud., Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Ali, Mohammad Daud & Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1995. Aripin, Jaenal., Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008. Azhary, Muhammad Tahir., Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 21
Antonio, Muhammad Syafi’i ., Bank Syariah Dari Teori ke Praktik , Jakarta: Gema Insani, 2001. Bakri,
Hasbullah., Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
Peraturan
Bisri, Cik Hasan., Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Departemen Agama RI, Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, Proyek Peningkatan Penelitian / Survey Keagamaan, Jakarta: 1971/1972. Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, l995. Djalil, A. Basiq., Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006. Fadjar, A Mukthie., Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Halim, Abdul., Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Harahap, M. Yahya., Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hasan, Hasbi., Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010. Hutabarat, Ramli., Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Perannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Kamsi, Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Cakrawala Media, 2008. Latif, M. Djamil., Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1986. Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Nurdin, Boy., Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 2012.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016
Anita Marwing, Dinamika Politik Hukum … 22
Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Balai Penerbit Gadjah Mada, l969. Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Sitompul, Anwar., Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama, Bandung: CV. Armico, 1984. Wibowo, Ari., Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap”, Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007. Yusdiansyah, Efik., Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2010. 2. Makalah Hasan, Hasbi., dalam makalah yang disampaikan dalam Acara Lokakarya Nasional Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar pada tanggal 20 November 2014, dengan judul Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI. Rosadi, Aden., “Nazhariyyat Al-Tanzhīmi Al-Qadhāī (Teori dan Sistem Pembentukan Hukum Peradilan Agama) dan Transformasinya dalam PeraturanPerundang-Undangan di Indonesia”, Ringkasan Disertasi, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 2012.
Jurnal Al-Ahkam Vol. VI No. 1 Juni 2016