Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa
ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN DEMAK DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA WILAYAH KEPESISIRAN Dhandhun Wacano1, Achmad Andi Rif’an2, Eni Yuniastuti3, Ratna Wulandari Daulay4, Muh Aris Marfai5 1,2,3,4 Magister
Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 5Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada e-mail:
[email protected]; 2
[email protected] ; 3
[email protected] INTISARI Multi-bencana yang terjadi di Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak terkait perubahan iklim seperti kenaikan muka air luat dan bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir rob, dan amblesan tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar berupa rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak dan sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum seperti jalan, sekolah, dan sebagainya. Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi perubahan iklim serta bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan erosi pantai. Warga pesisir Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana tersebut meresponnya dengan cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi yang dilakukan warga adalah relokasi perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan tanah, pembuatan rumah panggung, rehabilitasi hutan mangrove, pembuatan kolam penampungan air hujan, serta perubahan mata pencaharian. Kata Kunci : Adaptasi, Bencana Wilayah Kepesisiran, Masyarakat Pesisir, Perubahan Iklim
PENDAHULUAN Pemanasan global yang diikuti oleh perubahan iklim telah menjadi sebuah bencana baru di dunia. Tidak seperti bencana tsunami, letusan gunungapi, serta gempabumi yang memberikan dampak besar tetapi bersifat sementara, pemanasan global memberikan dampak yang lambat tetapi pasti dan bersifat permanen. Pemanasan global telah menyebabkan mencairnya es di kutub. Suhu air laut yang meningkat menyebabkan air laut memuai sehingga volume air laut meningkat. (Rif’an dkk, 2012; Diposaptono dkk 2009; dan IPCC, 2007). Salah satu dampak dari perubahan iklim yang secara nyata dapat kita lihat adalah naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan luas daratan berkurang dan garis pantai mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan saat pasang terjadi, air laut masuk hingga ke permukiman dan penggunaan lahan lain serta mengganggu aktivitas warga.
20 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa Banjir rob adalah peristiwa banjir yang disebabkan oleh masuknya air laut ke daratan sebagai akibat dari pasang air laut yang tinggi (Marfai dan King, 2008). Banjir rob tidak akan menjadi suatu ancaman bila tidak mengganggu aktivitas warga dan jauh dari permukiman warga. Akan tetapi karena garis pantai mengalami kemunduran dan mendekati permukiman warga, maka banjir rob menjadi masalah. Banjir rob merupakan sebuah ancaman serius bagi kawasan pesisir karena dapat menyebabkan kerusakan pada permukiman, fasilitas umum, serta penggunaan lahan. Erosi pantai pantai merupakan ancaman lain yang dapat mengancam wilayah kepesisiran. Erosi pantai dapat menyebabkan kerusakan pantai dan mundurnya garis pantai atau berkurangnya daratan. Bila daratan berkurang, maka permukiman penduduk serta asset masyarakat yang berada di kawasan pesisir menjadi hilang sehingga menyebakan kerugian bagi maasyarakat yang tinggal di pesisir. Dalam konteks risiko bencana, masyarakat (community) merupakan kelompok yang merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari sebuah bencana. Karena itulah mereka harus memberikan tanggapan atau respon terhadap bencana yang menimpa mereka. Marfai dan Hizbaron (2011) menjelaskan bahwa respon masyarakat terhadap bencana merupakan suatu hal yang penting dipelajari dalam pengelolalaan risiko bencana. Keterampilan masyarakat dalam merespon disebut sebagai kapasitas beradaptasi. Respon masyarakat bisa berwujud dalam pengembangan ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, serta tingkat kompetensinya. Berbeda bencana, bisa bebeda pula cara respon masyarakat. Begitu pula berbeda masyarakat bisa berbeda pula cara menyikapi meskipun bencananya sama. Aldrian dkk (2011) menjelaskan bahwa bentuk respon yang dilakukan maasyarakat terhadap perubahan iklim atau bencana yang dihadapi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi dan mitigasi. Tindakan adaptasi lebih cenderung kepada upaya masyarakat membiasakan atau menyesuaikan diri terhadap bencana yang dihadapi. Sedangkan tindakan mitigasi lebih kepada upaya untuk mengurangi dampak tersebut. Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi perubahan iklim serta bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan erosi pantai. Diawali dengan gambaran mengenai penjelasan mengenai kondisi umum wilayah kepesisiran Kabupaten Demak, kemudian menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan bencana kepesisiran, dan selanjutnya mengidentifikasi strategi adaptasi apa saja yang telah dilakukan oleh masyarakat secara mandiri untuk menghadapi bencana yang telah, sedang, dan mereka hadapi. GAMBARAN UMUM WILAYAH KEPESISIRAN KABUPATEN DEMAK Berdasarkan RPJMD Kabupaten Demak Tahun 2011-2016, secara geografis Kabupaten Demak berada pada koordinat 60 43’ 26” – 70 09’ 43” Lintang Selatan dan 1100 48’ 47” Bujur Timur. Lokasi Kabupaten Demak yang bersebelahan dengan wilayah perkotaan utama Propinsi Jawa Tengah, yaitu Kota Semarang membuat Kabupaten Demak menjadi berkembang pesat khususnya pada aktifitas perindustrian, perdagangan dan jasa, pertanian, perikanan dan peternakan. Kabupaten Demak terdiri dari 14 kecamatan yang 4 kecamatan diantaranya terletak di wilayah kepesisiran. Seluruh kecamatan tersebut telah meliputi 243 desa kelurahan dan 6 kelurahan. Luas keseluruhan Kabupaten Demak sejumlah 89743 Ha. Adapun wilayah administrasi Kabupaten Demak berbatasan dengan wilayah lain adalah sebagai berikut:
21 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa Sebelah Utara : Kabupaten Jepara dan Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang Sebelah Barat : Kota Semarang Wilayah kepesisiran (coastal area) merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam dan cukup berpotensi bagi upaya mendukung program pembangunan yang berkelanjutan (Gunawan dkk 2005). Menurut Sunarto (2003), wilayah kepesisiran (coastal area) adalah mencakup wilayah darat dan laut, ke arah laut dibatasi pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut terendah dan ke arah darat dibatasi oleh batas terluar bentuklahan kepesisiran di pedalaman. Daerah kepesisiran ini mencakup pesisir, pantai, dan perairan laut dekat pantai (near shore). Wilayah Kepesisiran Demak ini termasuk dalam tipologi pesisir primer akibat deposisional sub-arial (Sub-areal deposition coast). Sub-areal deposition coast adalah pesisir yang terbentuk akibat akumulasi secara langsung bahan-bahan sedimen sungai, glacial, angin atau akibat longsor lahan kearah laut. Termasuk dalam kategori ini adalah rataan pasang surut dan pembentukan delta. Jika dilihat dari diagram alir identifikasi Geomorfologis Pantai dan Pesisir yang sudah dikemukaan oleh Sunarto (2003), penyusun mencoba mengidentifikasi bahwa wilayah kepsesisiran demak berdasarkan reliefnya termasuk relief rendah, materi penyusun utamanya adalah lembek atau lumpur, proses genetik yang terjadi adalah oleh proses marine, dan jenis pantai/ pesisirnya ermauk Pesisir Rataan Pasang Surut. Wilayah Kepesisiran Demak material utama penyusunnya adalah lumpur, sehingga dapat di klasifikasikan menjadi pantai berlumpur, dengan proses utama sedimentasi lumpur dan pasang surut air laut, yang menunjukkan perkembangan wilayah berlumpur yang pesat. Wilayah kepesisiran Demak termasuk wilayah kepesisiran yang landai. Lingkup wilayah kepesisiran pada daerah rataan pasang surut dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone), pantai (shore), rataan pasang surut, pesisir (coast), dan lahan buritan atau hinterland. Rataan pasang surut dapat berupa rataan lumpur (mud flat) jika seluruh materi penyusun lumpur tidak ada vegetasi apapun, tetapi dapat berupa rawa payau (saltmarsh). Jika di atas lumpur telah tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan rawa lainnya, hingga daerah – daerah yang secara morfogenesis pembentukannya masih dipengaruhi aktivitas marin (seperti dataran alluvial plain) yang termasuk dalam pesisir/ coast (dirumuskan berdasarkan konsep CERC, 1984 : Pethick, 1984 dan Sunarto, 2000 dalam Gunawan dkk, 2005).
22 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa
Gambar 1. Lingkup Wilayah Pesisir pada Daerah Rataan Pasang Surut
(dirumuskan berdasarkan konsep CERC. 1984: Pethick. 1984: dan Sunarto. 2000, dalam Gunawan dkk, 2005) Permasalahan yang terdapat di Wilayah Kepesisiran Demak baik oleh faktor alam atau faktor manusia adalah terjadnya erosi pantai yang sangat intensif, penebangan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar, terjadi sea level rise akibat pemanasan global, kondisi air bersih yang memprihatinkan, konflik sosial kepemilikan lahan tambak yang terkait dengan tanah-tanah timbul, banyak tambak yang tergenang air laut dan kemudian hilang, terjadinya intrusi air laut, terjadi pendangkalan di muara sungai sehingga menggaggu pendaratan kapal nelayan, dan penyalahan wewenang yang berakibat konversi hutan mangrove secara besarbesaran sehingga menganggu ekosistem pesisir yang lainnya. Saat ini Wilayah Kepesisiran Demak sedang mengalami beberapa ancaman bencana yang diakibatkan perubahan iklim maupun karena aktivitas manusia. Bencana yang tersebut diantara kenaikan permukaan air laut, banjir rob, dan erosi pantai. Perubahan Iklim bukan hanya menjadi isu belaka akan tetapi telah menjadi sebuah fenomena yang dapat dilihat dan dapat dirasakan dampaknya. Diposaptono dkk (2009) menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Beberapa daratan di wilayah pesisir terancam hilang bahkan beberapa pulau kecil di dunia termasuk di Indonesia diprediksi akan tenggelam akibat kenaikan muka air laut. Beberapa dampak perubahan iklim terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diantaranya: perubahan garis pantai, banjir rob, intrusi air laut, perubahan pola sedimentasi, serta tenggelamnya pulau-pulau kecil. Diposaptono (2001) menjelaskan bahwa erosi pantai merupakan suatu proses yang terjadi di wilayah pesisir yang menyebabkan berkurangnya wilayah daratan atau mundurnya garis pantai dari keaadan semula yang antara lain disebabkan oleh proses-proses yang terjadi di laut. Erosi pantai yang terjadi di wilayah kepesisiran Kabupaten Demak terjadi karena pembangunan dan reklamasi pelabuhan di Kota Semarang. Erosi pantai yang terjadi di pesisir Kabupaten Demak telah menyebabkan banyak wilayah daratan tergerus air laut dan membuat air laut semakin masuk ke wilayah daratan. Banjir rob atau banjir pasang air laut merupakan fenomena yang dapat dilihat seharihari di wilayah pesisir Kabupaten Demak. Banjir rob di pesisir Kabupaten Demak menjadi parah karena disertai dengan penurunan/amblesan tanah akibat pengambilan air tanah yang melebihi batas dan akibat pembangunan gedung-gedung bertingkat, erosi pantai, serta
23 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa kenaikan muka air laut (Marfai dan King, 2008). Banjir rob telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan pada permukiman dan infrastruktur serta mengancam keselamatan manusia yang tinggal di kawasan pesisir dan merupakan ancaman serius yang dihadapi kawasan pesisir di seluruh dunia (Ward, dkk, 2011). DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA KEPESISIRAN Singh and Kumar (2007) menyatakan bahwasannya peningkatan temperatur udara yang berdampak pada perubahan iklim akan mempengaruhi pula terhadap peningkatan intensitas prespitasi, evapotranspirasi, dan kelengasan tanah dengan peningkatan temperatur yang ada, sehingga menyebabkan siklus hidrologi berubah secara signifikan. Peningkatan suhu global mengakibatkan ekspansi air karena kenaikan suhu, pencairan glacier gunung, dan selimut es dikutub. Permukaan laut yang naik menggenangi lahan basah dan lahan daratan yang rendah lainnya, mengikis pantai, mengakibatkan peningkatan frekuensi banjir, dan meningkatkan salinitas sungai, teluk, dan air tanah. Beberapa efek mungkin akan lebih diperburuk dengan efek yang lain sebagai dampak perubahan iklim. Sistem pantai dipengaruhi oleh perubahan iklim yang paling dinamik di permukaan bumi. Pantai menyediakan bahan-bahan dan pelayanan ekosistem yang esensial bagi ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat. Wilayah kepesisiran merupakan daerah yang penuh dengan beragam ekosistem, misalnya terumbu karang, mangrove, pantai, dan lainlain. Kesemua ekosistem tersebut tentunya dapat memberikan nilai seperti keseimbangan ekosistem, perlindungan dari badai, pengendalian erosi pantai, maupun sedimen yang dapat memberikan manfaat kepada manusia dan makhluk hidup lainnya. Namun, karena adanya perubahan iklim yang terjadi secara global, mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu, khususnya di wilayah kepesisiran Kabupaten Demak. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya berbagai bencana di wilayah kepesisiran. Khusus di Kabupaten Demak, bencana yang kerap terjadi adalah bencana genang pasang air laut atau sering disebut dengan bencana ROB. Dampaknya dapat dilihat secara jelas pada Gambar 2 . Sejak tahun 1980-an Kabupaten Demak menjadi salah satu daerah yang sering terkena banjir rob (wawancara kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013). Penduduk yang bermukim atau tinggal di daratan rendah, tepi pantai, kota pelabuhan dan muara sungai merupakan kelompok rentan akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Bencana ini menggenangi 4 Kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir Demak, diantaranya : Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Bonang, dan Kecamatan Wedung), 26 desa tergenang akibat bencana ini yang mengakibatkan rusak dan hilangnya harta benda serta merubah mata pencaharian mereka yang sudah ada, yang mayoritas berprofesi sebagai pengusaha tambak dan nelayan hingga yang paling parah adalah hilangnya 2 desa di Kecamatan Sayung akibat bencana ini. Keadaan tersebut juga diperparah dengan sampah-sampah yang tidak dibuang secara teratur di pembuangan sampah, mengakibatkan sampah ikut terbawa oleh aliran sungai dan akhirnya bermuara di bagian hilir serta merusak tanaman mangrove karena sampah-sampah yang mengelilingi.
24 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa
a
b
c
d
Gambar 2. (a) Tambak tergenang air laut di desa Purworejo, Kec Bonang (b) Permukiman dan Daratan yang telah menjadi Laut di Desa Tambaksari, Kec Sayung (c) Jalan penghubung antar desa di Kec Sayung yang terputus karena tergerus erosi pantai (d) Rumah Warga yang Setiap Hari Terkena Banjir Rob di Desa Bedono, Kec Sayung
Selain itu, perubahan iklim global, jika tidak segara ditanggulangi (mitigasi), dapat mengakibatkan tenggelamnya kawasan-kawasan pesisir yang landai, fakta yang terjadi adalah sudah ada 2 desa yang keseluruhannya tenggelam dan rata menjadi laut akibat bencana banjir rob tersebut, peristiwa ini terjadi disalah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan semarang, yaitu Kecamatan Sayung. Menurut Dahuri (2012) menyebutkan bahwa jika emisi gas rumah kaca (CO2, metana, dan nitrogen oksida) tidak segera dikurangi sesuai rekomendasi IPCC (2007), sekitar 2.000 pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam/hilang. Selain itu, kawasan-kawasan pesisir yang landai (low-laying coastal areas) seperti Pantai Timur Sumatera, Pantura, dan Kalimantan juga bakal tenggelam. UPAYA ADAPTASI MASYARAKAT Adaptasi merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perubahan iklim dan bencana yang mereka hadapi. Menurut Aldrian dkk (2011) tindakan adaptasi berkaitan dengan usaha yang dilakukan masyarakat untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu gejala alam seperti perubahan iklim atau bencana alam dan mengambil keuntungan dari keadaan tersebut. Dalam hal ini adaptasi lebih cenderung kepada usaha untuk mengelola sesuatu yang tidak dapat dihindari. Konsep strategi adaptasi dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu: (1) Proteksi yaitu perlindungan yang dilakukan masyarakat yang terkena dampak bencana untuk menyesuaikan diri terhadap dampak yang ditimbulkan dengan cara membangun bangunan
25 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa pelindung pantai seperti APO, groin, tanggul laut; (2) Akomodasi yaitu penyesuaian yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungannya seperti mengurug tanah, meninggikan bangunan rumah; dan (3) Retreat atau mundur yaitu meninggalkan wilayah pesisir dengan cara pindah tempat ke daerah yang aman dari bencana alam. (Dahuri, 2012, Sunil, 2011, dan Putuhena, 2011). Berikut adalah upaya-upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Kabupaten Demak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan bencana yang mereka hadapi. Upaya-upaya adaptasi ini sebagian besar atas inisiatif, prakarsa, dan biaya dari masyarakat sendiri dan sedikit bantuan dari pemerintah . 1. Relokasi Permukiman Desa Bedono, Kecamatan Sayung adalah desa yang terkena dampak paling parah diantara desa-desa lain di sepanjang pesisir Kabupaten Demak. Dua buah pedukuhan di desa ini sudah tergenang air dan bahkan bisa dikatakan tenggelam dan menjadi lautan, yaitu Dukuh Tambaksari dan Dukuh Senik. Dua dukuh ini mengalami erosi pantai yang cukup parah sehingga hampir seluruh wilayah daratannya berubah menjadi lautan dan hanya tersisa sedikit daratan. Dua dukuh ini dipindahkan ke wilayah yang aman dari erosi pantai dan rob atau di daerah yang lebih tinggi tingkat elevasinya. Dukuh Tambaksari dipindah ke Desa Purwosari dan menjadi sebuah pedukuhan baru, yaitu Dukuh Tambaksari Baru (Gambar 3). Sedangkan Dukuh Senik dipindah ke Desa Gemulak dan membentuk sebuah pedukuhan baru, yaitu Dukuh Senik Baru. Akan tetapi tidak semua warga mau pindah dari tempat yang telah mereka diami selama bertahun tahun. Di Dukuh Tambaksari misalnya, ada 5 KK (kepala keluarga) yang enggan meninggalkan kampong halamannya untuk pindah dan memilih untuk tinggal di dukuh tersebut meskipun di sekeliling rumahnya sudah digenangi air. Alasan warga yang tidak mau pindah karena mereka ingin menjaga masjid dan makam Mbah Mudzakir. Bila mereka pindah, maka tidak ada lagi yang menjaga serta merawat masjid dan makam tersebut. Makam tersebut merupakan makam seorang kyai atau ulama yang cukup disegani di wilayah Kabupaten Demak dan sekitarnya. Banyak peziarah yang datang ke makam itu tiap harinya sehingga berbagai macam upaya dilakukan untuk menjaga kelestarian makam tersebut seperti pengurugan tanah, pembuatan alat pemecah gelombang (APO), dan pembuatan jembatan menuju makam.
Gambar 3. Dukuh Tambaksari yang sudah tergenang air laut (a) dan Dukuh Tambaksari Baru pasca relokasi (b)
26 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa 2.
Peninggian Lantai Bangunan Masyarakat mempunyai cara sendiri untuk mengurangi dampak dari banjir rob, diantaranya adalah peninggian pondasi rumah. Hampir di semua desa yang terkena rob, beberapa warga meninggikan pondasi rumahnya. Bahkan ada yang beberapa kali melakukan peninggian karena setiap tahunnya banjir rob selalu meningkat ketinggiannya akibat land subsidence. Peninggian lantai ataupun pondasi rumah ini merupakan inisiatif warga dan biayanya juga dari warga sendiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Akan tetapi tidak semua rumah warga ditinggikan lantai bangunannya. Hanya gabi warga yang mampu saja. Sedangkan bagi warga yang tidak mampu, tidak melakukan peninggian bangunan dan harus rela tiap hari rumahnya digenangi banjir rob. Ada juga warga yang meninggikan lantainya dengan memasang kayu seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4.
3.
Rumah warga yang ditinggikan pondasi rumahnya (a) dan yang ditinggikan dengan kayu (b)
Pengurugan Tanah Untuk menanggulangi banjir pasang yang setip hari terjadi di kawasan pesisir, warga melakukan pengurugan atau menimbun daratan di tempat tinggal mereka dengan tanah. Hal ini menyebabkan wilayah daratan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya dan relatif aman dari banjir rob. Beberapa wilayah diantaranya di Desa Bedono dan Desa Timbulsloko (Kecamatan Sayung) telah mengalami penimbunan tanah beberapa meter. Salah satu daerah yang dilakukan pengurugan tanah adalah daerah di sekitar SDN Bedono 3, seperti yang terlihat pada Gambar 5. Akan tetapi karena wilayah pesisir Demak juga mengalami amblesan tanah yang tiap tahunnya bisa mencapai 12 cm (Dinlutkan Kab Demak, 2009 dalam Susanto 2010), maka banjir rob masih saja memasuki permukiman warga.
27 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa
Gambar 5.
Lahan di sekitar SDN Bedono 3 yang mengalami penimbunan tanah setinggi 2 meter
4.
Rumah Panggung Rumah Panggung merupakan rumah yang dibangun warga yang rumahnya tergenang air laut dengan cara memberi kaki pondasi dari kayu pada ujung dan tengah rumah sehingga rumah menjadi lebih tinggi dan air laut tidak masuk rumah. Sebagian besar rumah panggung yang dibangun konstruksinya merupakan bangunan non permanen yang terbuat dari kayu dan bambu. Gambar 6 merupakan contoh rumah warga di Kecamatan Bonang dan Kecamatan Sayung yang diubah menjadi rumah panggung. Cara ini menjadi alternatif bagi warga yang rumahnya tergenang air tetapi tidak punya modal untuk pindah rumah.
Gambar 6.
Beberapa contoh rumah panggung yang dibangun warga
5.
Rehabilitasi Mangrove Menurut Macnae (1968) dalam Tuwo (2011), hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove ini biasanya didominasi oleh tumbuhan dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguira, Ceriops, dan Nypa. Wilayah Kepesisiran Demak yang mempunyai mangrove terdapat di empat kecamatan yaitu Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Bonang, dan Kecamatan Wedung. Kondisi mangrove di Kecamatan Sayung mengalami kerusakan yang paling parah, hampir 50% dari kerusakan di seluruh wilayah Kepesisiran Demak terjadi di Kecamatan Sayung. Kerusakan mangrove terjadi sangat parah di Kecamatan Sayung sebagai dampak dari terjadinya erosi pantai secara besar-besaran di wilayah ini, sehingga banyak dataran yang hilang dan desa di Kecamatan Sayung sebagian ada yang tengelam dan hilang. Kondisi ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan di Keamatan Sayung seluas 400
28 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa ha, Kecamatan Karangtengah mempunyai luas 70 ha, Kecamatan Bonang seluas 69 ha dan Kecamatan Wedung mempunyai luas 267 ha. Rehabilitasi dalam UU No.27 tahun 2007 merupakan proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dengan kondisi semula. Rehabilitasi mangrove wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/ atau keanekaragaman hayati setempat. Proses rehabilitiasi ini biasanya dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan orang yang memperoleh manfaat dari kawasan kepesisiran. Fungsi mangrove dari aspek fisik adalah megurangi dampak sea level rise, sebagai greenbelt pelindung ekosistem yang lainnya di kawasan pesisir, mengurangi terjadinya erosi pantai, penangkap sediment, mengurangi dampak dari banjir ROB, mengurangi dampak atau penahan ombak yang besar jika tsunami datang, dan peredam terjadinya intrusi air laut. Fungsi keterdapatan mangrove dari aspek biologi dapat meliputi habitat berbagai spesies udang dan ikan, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, dan tempat pemijahan. Fungsi mangrove dilihat dari aspek ekonomi mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan pesisir. Fungsi mangrove dari aspek ekonomi ini dapat digunakan sebagai penghasil kayu bakar, penghasil kayu bangunan atau pembuat kapal, sebagai bahan makanan dan minuman, sebagai bahan obat-obatan, sebagai bahan pupuk, sebagai makanan ternak, sebagai bahan pembuat kertas, sebagai pembuat peralatan rumah tangga, sebagai tempat rekreasi, dan sebagai tempat pemancingan. Kondisi hutan mangrove yang telah direhabilitasi di masing-masing 4 kecamatan dapat dilihat pada Gambar 7.
a
c
b
d b
Gambar 7. Kondisi Hutan Mangrove yang ada di Kec Sayung (a), Kec Bonang (b), Kec Karangtengah (c), dan Kec Wedung (d)
29 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa 6.
Kolam Penampungan Air Hujan Perubahan iklim telah menyebabkan tidak menentunya cuaca. Terkadang dalam satu tahun terjadi musim penghujan yang berkepanjangan dan terkadang pula musim kemarau yang berkepanjangan. Pada waktu musin penghujan air terlalu melimpah dan susah ditampung oleh tanah sehingga menyebabkan musibah banjir. Ketika musim kemarau datang hal yang kontradiktif terjadi, yaitu terjadi kekeringan. Untuk mengatasi terbatasnya air pada musim kemarau, masyarakat berinisiatif membuat sebuah kolam penampungan air hujan. Kolam penampungan air hujan adalah sebuah kolam besar yang dibangun oleh masyarakat di kawasan pesisir Kecamatan Wedung untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan air pada musim kemarau datang. Ketika hujan datang, air hujan dialirkan ke kolam tersebut dan disimpan didalamnya. Air dalam tersebut banyak digunakan oleh penduduk untuk mencuci pakaian dan mandi, tetapi tidak digunakan untuk air minum. Kolam tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8.
Kolam Penampungan Air Hujan di Kecamatan Wedung
7.
Perubahan Mata Pencaharian Perubahan iklim dan bencana yang melanda Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak berdampak luas terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir, seperti para nelayan dan petani tambak, yang merupakan mata pencaharian utama saat itu. Masyarakat pesisir bergantung pada ekosistem yang amat rentan dengan perubahan yang sangat kecil saja. Akibat erosi pantai dan kenaikan muka air laut, sebagian besar tambak milik masyarakat di pesisir rusak dan telah berubah menjadi lautan. Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak untuk mereka, perubahan mata pencaharian merupakan salah satu upaya adaptasi mereka terhadap bencana yang harus dihadapi. Di empat kecamatan yang langsung berbatasan dengan pesisir, yaitu Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Bonang, dan Kecamatan Wedung, banyak masyarakat yang merubah mata pencaharian untuk tetap mencari nafkah dan tetap bertahan hidup. Contohnya bapak Mardi yang berprofesi sebagai petani tambak udang windu dulunya, akibat banjir genang pasang air laut yang melanda, maka ia merubah mata pencahariannya menjadi buruh pabrik dan buruh tambak garam di Kecamatan Wedung. Setiap aparat pemerintahan di tiap Kecamatan saat ini sedang mencari alternatif strategi untuk para warganya untuk dapat tetap bertahan hidup walaupun bencana kerap kali terjadi. Menurut Sekcam di Kecamatan Bonang saat ditemui di kantor camat, wilayah mereka saat ini sedang menggalakkan unit usaha mandiri yang telah diadakan sejak 2011 yang lalu, usaha mandiri ini dibuat untuk menuruni angka penggangguran yang ada serta
30 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa untuk menambah penghasilan ketika musim paceklik berlangsung. Bentuk usaha mandiri (Gambar 9) yang ada diantaranya : pembuatan usaha terasi, pembuatan kapal perahu, dan pembuatan jaring untuk menangkap ikan. Sejauh ini, usaha yang telah berjalan cukup lancar dan membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Gambar 9. (a) Tambak milik penduduk yang telah berubah menjadi lautan di Desa Sidogemah, Kec Sayung, (b) Salah satu bentuk usaha masyarakat ketika musim paceklik berlangsung
KESIMPULAN Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak mengalami beberapa bencana alam diantaranya bencana yang terkait perubahan iklim seperti kenaikan muka air luat dan bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir rob, dan amblesan tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar berupa rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak dan sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum seperti jalan, sekolah, dan sebagainya. Warga pesisir Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana tersebut meresponnya dengan cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi yang dilakukan warga adalah relokasi perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan tanah, pembuatan rumah panggung, rehabiltasi hutan mangrove, pembuatan kolam penampungan air hujan, serta perubahan mata pencaharian. DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Karmini M, Budiman. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: BMKG. Bappeda Kabuaten Demak. 2011. RPJMD Kabupaten Demak Tahun 2011-2016. Demak: Bappeda Kabupaten Demak. Dahuri., 2012. Strategi Adaptasi Sektor Kelautan dan Perikanan dalam Menghadapi Perubahan Iklim Global. LIPI : Jakarta Diposaptono. 2001. Erosi Pantai dan Klasifikasinya, Kasus di Indonesia. Prosiding Konferensi Esdal 2001 .Jakarta: BPPT. Gunawan, T., Santosa, L., W., Muta’ali, L., dan Santosa, S., H, M, B., 2005, Pedoman Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran, Fakultas Geografi: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
31 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa Diposaptono, S., Budiman, dan Firdaus Agung 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit PT. Sarana Komunikasi Utama, Bogor. ISBN 978-979-1291-06-3 Gunawan T, Santosa LW, Muta’ali, Santosa SHMB. 2005. Pedoman Survey Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. IPCC, 2001. Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. IPCC. 2007. Climate Change 2007. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. United Kingdom and New York, USA: Cambridge University Press, Cambridge. Kordi K., M. G. H, 2012, Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan, Jakarta: Rineka Cipta. Kustanti, A., 2011, Management Hutan Mangrove, Bogor: IPB Press Mavi, H.S. dan Tupper G.J. 2004. Agrometeorology. New York : The Haworth Press, Inc. Marfai MA dan King. 2008. Coastal Flood Management in Semarang. Environmental Geology Journal DOI 10.1007/s00254-007-1101-3 Volume 55 halaman 1507– 1518. Marfai MA dan Hizbaron DR. 2011. Community Adaptive Capacity Due to Coastal Flooding in Semarang Coastal City, Indonesia. Analele UniversităŃii din Oradea – Seria Geografie, Tahun XXI, no. 2/2011 (December), halaman. 209-221 Putuhena. 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana pada Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pulau-Pulau Kecil hal 287-298. Rif’an AA, Nurrohmah E, Hidayat A. 2012. The Roles of Coastal Ecosystem to Reduce The Impacts of Global Warming. Proceeding of Geography International Symposium p1-20. Yogyakarta: BPFG Universitas Gadjah Mada. Singh, R. D dan Kumar, C. 2007. Impact of Climate Change on Groundwater Resources. Uttarakhand : National Intitute of Hydrology India. Sunarto. 2003. Geomorfologi Pantai : Dinamika Pantai, Laboratorium Geomorfologi Terapan, Jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Sunil, Santha. (2011). Community-based adaptation to coastal hazards: A scoping study among traditional fishing communities in Kerala, India. Disaster, Risk and Vulnerablity Conference 2011, Mahatma Gandhi University, India. Susanto, Kelik Eko. 2010. Proyeksi Kenaikan Permukaan Laut dan Dampaknya terhadap Banjir Genangan Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Wilayah Pesisir Demak, Provinsi Jawa Tengah). Master Thesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Tuwo, A., 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut (Pendekatan Ekologi, SosialEkonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah). Surabaya: Penerbit Brilian Internasional. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
32 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa Ward P.J, Marfai MA, Yulianto F, Hizbaron, Aerts. 2011. Coastal Inundation And Damage Exposure Estimation: A Case Study For Jakarta. Natural Hazards DOI 10.1007/s11069-010-9599-1. Volume 56, halaman 899–916. .
33 Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013 ISBN: 978-602-7797-25-3