Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
TUGAS SEMINAR PEMBANGUNAN HUKUM DAN HAM oleh KEL III Abdi Tonglo Irni Yuslianti Isye Gilargunani Juldin Bahriansyah r Kelly Antonio F. n o p q
===================================================
A. Resume Buku ”Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan” Bab II: Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat. Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik yang berwujud perundangundangan maupun keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan hanya menggunakan kekerasan. Karena baik perubahan maupun ketertiban (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam melihat masalah hukum dan pembangunan perlu membedakan persolan hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) dan pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Dalam prakteknya kedua hal tersebut sukar dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam mengembangkan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering) yang dijalankan secara berencana dan dapat diperhitungkan dapat digolongkan dalam tiga sebab kesulitan yaitu : 1. Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan); 2. Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif; 3. Sukarnya mengadakan ukuran yang obyektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Di samping kesukaran-kesukaran di atas, masih ada dua sumber kesulitan yang sering dihadapi oleh negara yang sedang berkembang yang dapat menggagalkan atau setidaknya mempersukar pelaksanaan gagasan untuk legal engineering. Yang pertama adalah sering terdapat pemimpin yang kharismatik yang kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal engineering menuju suatu masyarakat atau negara hukum. Sumber kesulitan kedua khusus dihadapi oleh negara yang lahir dalam dan karena revolusi atau perjuangan kemerdekaan. Masyarakat demikian menghadapi kesulitan khusus bahwa kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect for the law) dan peranannya dalam masyarakat dianggap sebagai simbol status quo, dan karenanya harus ditentang atau diabaikan saja, harus dipulihkan kembali.
© Copyright reserved to authors
=halaman 1 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
Satu kesulitan lain yang dihadapi segala usaha pembaruan hukum adalah inertia (kelambatan) dalam sikap dan gerak yang biasanya meliputi segala hal yang bersangkutan dengan masalah-masalah hukum. Masyarakat negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik dimana sistem dan lembaga hukum adat berlaku berdampingan dengan sistem dan lembaga-lembaga hukum barat dan mungkin sistem dan lembaga hukum asing lainnya menghadapi suatu masalah yang khusus. Apa yang diuraikan di atas, berusaha menampilkan hukum dari segi sebagai alat untuk mengadakan pembaharuan masyarakat dengan cara yang teratur, berarti kita perlu meninjau kembali cara orang mempelajari hukum dan penyelenggaraan pendidikan hukum. Perbaikan pendidikan hukum adalah satu hal yang mutlak. Persoalan pendidikan hukum adalah untuk menyesuaikan tujuan pendidikan hukum itu dengan kebutuhan suatu masyarakat yang merdeka yang sedang membangun. Hal ini membawa kita pada persoalan apakah tujuan pendidikan hukum itu hingga kini dan bagaimanakah seharusnya untuk masa yang akan datang. Jika kita artikan dalam arti yang luas, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan perkataan lain, suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh. Apabila kita mendekati pembinaan hukum secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan nasional, kita menetapkan tiga kelompok masalah (problem areas), yang intinya yakni : 1. Inventarisasi dan dokumentasi hukum yang berlaku; 2. Media dan personil (unsur manusia); 3. Perkembangan hukum nasional. Apabila dirinci lebih lanjut, tiga kategori masalah di atas meliputi masalah-masalah sebagai berikut: 1. Dokumentasi dan Kepustakaan Hukum A. Dokumentasi: a. bahan-bahan perundang-undangan : risalah-risalah DPR; undang-undang dan produk legislatif lainnya; kitab undang-undang; b. kumpulan keputusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung beserta risalah-risalahnya; c. kumpulan naskah perjanjian-perjanjian dan traktak-traktat yang diadakan dengan negara lain dan organisasi internasional (international treaty series) B. Publikasi: a. monografi yang mengandung deskripsi hukum kebiasaan (adapt) suatu daerah; b. tulisan-tulisan ahli hukum terkemuka dalam pelbagai bidang; c. majalah-majalah hukum dan warta berkala di bidang hukum lainnya. C. Perpustakaan : Parlemen, pemerintah pusat dan daerah, pengadilan dan fakultas-fakultas hukum, bibliografi hukum Indonesia. 2. Media dan Personil A. bahasa dan hukum : kamus dan kompedium hukum dengan tujuan mengembangkan peristilahan hukum yang lebih cermat; B. pendidikan hukum : penyempurnaan pendidikan hukum hingga benar-benar memenuhi kebutuhan suatu masyarakat merdeka dalam pembangunan;
© Copyright reserved to authors
=halaman 2 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
C. ahli hukum : peranan ahli hukum, peranan persatuan-persatuan profesional dan perkumpulan ahli-ahli hukum dalam meningkatkan dan memelihara kesadaran hukum masyarakat; D. penerapan hukum : perbaikan peradilan, perbaikan kedudukan hakim, perbaikan administrasi dan keuangan untuk keperluan peradilan; sikap orang terhadap penyelesaian perkara di depan pengadilan; penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penegasan wewenang antara peradilan sipil dan militer. 3. Perkembangan Hukum Nasional A. Masalah pemilihan hukum mana yang hendak dikembangkan : a. Ukuran keperluan yang mendesak; b. Feasibility; c. Perubahan yang pokok (fundamental change). B. Penggunaan model-model asing.
B. Permasalahan yang ada di masyarakat sesuai dengan Bab II tersebut di atas serta aplikasinya “BUDAYA TRADISIONAL DAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL” 1. Pendahuluan Negara Republik Indonesia sebagai suatu bagian dari negara-negara yang ada di dunia ini secara geografis memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa, dan karya-karya budaya. Karya budaya inilah merupakan karya intelektual yang merupakan kekayaan bangsa sebagai warisan yang harus dijaga keberadaannya. Pada era abad ke-20 ini, kekayaan bangsa telah menjadi daya tarik untuk dimanfaatkan secara komersial sehingga pemanfaatannya perlu diatur untuk kemaslahatan masyarakat. Konflik atas klaim pemilikan suatu kebudayaan (misalnya Reog Ponorogo, ukiran Jepara, motif batik oleh Malaysia) menimbulkan kebutuhan masyarakat akan perlindungan kekayaan budaya Indonesia. Masyarakat menggunakan logika hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang ada sebagai dasar sikap terhadap kasus tersebut. Perubahan masyarakat ini ternyata belum dapat diimbangi oleh kondisi hukum positif sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan kesalahsasaran harapan masyarakat. Fungsi hukum sebagai alat pembaharuan (tool of engineering) menjadi terbalik dalam kasus ini. Pada saat ini, istilah kekayaan budaya tradisional telah berkembang dengan sebutan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Pengetahuan tradisional merupakan karya intelektual yang berkaitan dengan teknologi, kosmologi, tata nilai, kaidah seni, tata masyarakat, taksonomi, tata bahasa dan kandungan konsep dalam kata, yang dihasilkan oleh kreasi, keterampilan, invensi, dan inovasi yang berdasarkan tradisi masyarakat tertentu. Dalam pengertian lain, pengetahuan tradisional adalah karya intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat © Copyright reserved to authors
=halaman 3 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
tertentu. Sedangkan untuk ekspresi budaya tradisional merupakan suatu karya intelektual dalam bidang seni yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. 2. Kekayaan Intelektual dan Budaya Internasional Kepemilikan Kekayaan Intelektual terbagi menjadi dua, yaitu kepemilikan secara komunal dan kepemilikan secara personal. Kepemilikan secara komunal biasanya dimiliki oleh entitas dalam wilayah negara, sedangkan kepemilikan secara personal secara eksklusif adalah orang atau badan hukum. Kepemilikan komunal tersebut meliputi Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional, Sumber Daya Genetik, serta Indikasi Geografis, sedangkan kekayaan secara personal dikenal sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI itu sendiri terbagi menjadi dua kelompok yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, dimana Hak Kekayaan Industri terdiri dari Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. Indikasi Geografis—satu-satunya karya intelektual komunal yang dapat dilindungi oleh HKI saat ini--adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi dan karakteristiknya, termasuk faktor alam dan manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. Pengaturan indikasi geografis ini sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Permerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut diantaranya mengatur tentang peniruan atau penyalahgunaan indikasi geografis yang dapat menyesatkan, sehubungan dengan asal tempat barang atau kualitas barang serta tindakan lainnya mengenai kebenaran asal barang. Sebagai contoh yang dapat diberikan hak atas indikasi geografis misalnya adalah “Kopi Luwak”. Kopi Luwak adalah produk khas Indonesia dimana daerah penghasilnya seperti Lampung, Gayo atau Mandailing. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang timbul oleh hasil olah pikir, karsa dan rasa manusia yang menghasilkan suatu proses dan/atau produk barang dan jasa yang berguna bagi manusia itu sendiri. Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu, Hak Cipta (Copyright) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property) yang meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. Dalam kebijakan HKI internasional, Indonesia telah ikut serta menjadi anggota WTO/persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Untuk memenuhi ketentuan TRIPs tersebut di atas, Indonesia telah melakukan perubahan serta pengaturan Undang-undang HKI baru yaitu: a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; e.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; f. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sejalan dengan itu Indonesia juga telah meratifikasi 6 (enam) konvensi internasional di bidang HKI, yaitu sebagai berikut: 1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keppres No. 15/1997 ttg Perubahan atas Keppres No. 24/1979);
© Copyright reserved to authors
=halaman 4 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
2. Patent Cooperation Treaty (“PCT”) and Regulations under the PCT (Keppres No. 16/1997); 3. Trademark Law Treaty (Keppres No. 17/1997); 4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keppres No. 18/1997); 5. WIPO Copyright Treaty (Keppres No. 19/1997); 6. WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) (Keppress No. 74/2004). Sekilas masing-masing jenis Hak Kekayaan Intelektual, antara lain : HAK CIPTA Hak Cipta melindungi atas karya-karya Intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup antara lain buku, program komputer, pamflet, perwajahan karya tulis dan semua hasil karya tulis, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu/musik, drama. Perolehan perlindungan hukum, bidang Hak Cipta dikenal dengan sistim Deklaratif yaitu negara melindungi Ciptaan secara otomatis setelah terlahirnya suatu Ciptaan tanpa harus didahului dengan pendaftaran. PATEN
Sebagai bagian dari HKI, Paten memberikan perlindungan hukum atas suatu invensi selama kurun waktu tertentu untuk melaksanakan sendiri invensinya atau mengalihkan pada pihak lain. Dalam sistem Paten terdapat 2 (dua) kategori invensi yang dapat dimintakan perlindungan, yaitu berupa produk dan proses, seperti alat sebagai produk dan aktivitas sebagai proses.
MEREK Undang-undang memberikan pengertian merek sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek sebagai berikut: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa“. Merek adalah hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada pemiliknya. Jadi merek adalah hak “monopoli” yang diberikan oleh negara kepada pemiliik merek terdaftar. Dengan demikian persyaratan pendaftaran merek yang mengacu pada prinsip “First to File“ menjadi dasar adanya perlindungan merek. Sistem perlindungan merek yang demikian dikenal dengan “sistem konstitutif”. Merek merupakan karya intelektual yang akrab hubungannya dengan investasi, perdagangan dan Industri. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan investasi, perdagangan dan Industri tersebut sebagai pengaruh Globalisasi, merek menjadi simbol akan kwalitas suatu produk tertentu. Hampir tidak ada komoditas dalam perdagangan Internasional yang tidak mengandung unsur merek. Sejauh ini kita mengatahui bahwa begitu suatu merek telah dikenal oleh masyarakat konsumen maka peranan merek menjadi sangat menentukan bagi maju mundurnya atau hidup matinya suatu perusahaan. Bahkan dapat pula nilai suatu merek menjadi lebih tinggi dibandingkan seluruh asset perusahaan. Mengingat akan pentingnya unsur merek dalam perdagangan, maka tuntutan perlindungan terhadap merek menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan oleh negara.
© Copyright reserved to authors
=halaman 5 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
DESAIN INDUSTRI Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Untuk dapat diberikan perlindungan, suatu desain haruslah didaftarkan (sistem konstitutif). Dalam proses pendaftaran, suatu permohonan dapat ditolak apabila desain tersebut ternyata tidak baru, bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, ketertiban umum, agama atau kesusilaan. Hak Desain Industri yang diberikan berlaku selama 10 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Pelanggaran Hak Desain Industri terjadi apabila dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri. Sering ditemukan para pemilik karya intelektual tidak dapat melaksanakan hak mereka dengan keterbatasan yang dimiliki, oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan adalah melisensikan karya intelektual mereka kepada pihak lain. Lisensi adalah izin yang diberikan (bukan dialihkan) oleh pemilik HKI kepada pihak lain. Pemberian izin tersebut dilakukan dengan tujuan: agar penerima lisensi dapat secara legal membuat, memasarkan dan mengeksploitasi karya intelektual terkait; agar memperoleh royalty yang besarnya disepakati para pihak. Dengan dilakukannya pemberian lisensi, hal tersebut berpotensi untuk meningkatkan daya saing perusahaan, membuka dan memperluas kesempatan usaha, lapangan kerja, peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia, sehingga akan mendukung peningkatan pendapatan bagi industri maupun perorangan. Pemberian lisensi dilakukan dengan batasan tidak memuat ketentuan yang mengakibatkan timbulnya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan perekonomian Indonesia. Perkembangan pengaturan mengenai kepemilikan kekayaan budaya tersebut terasa belum begitu jelas dan tegas, sehingga sering menimbulkan perdebatan yang tidak pernah memperoleh suatu jawaban yang memuaskan, apalagi apabila sudah menyangkut mengenai pemanfaatan oleh pihak-pihak yang berada di luar wilayah teritorial, apalagi dalam hal pemanfaatan yang mendatangkan suatu nilai ekonomi. Namun, upaya-upaya untuk memberikan suatu pengaturan mengenai masalah tersebut, telah dilakukan dengan berbagai upaya baik di tingkat Internasional maupun Nasional. Di tingkat internasional, penanganan mengenai kekeyaan budaya tradisional tersebut dilakukan oleh suatu organisasi dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Di mana Misi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bersifat unik, karena misinya tersebut meliputi “perkembangan umat manusia” yaitu pendidikan, ilmu pengetahuan, pengetahuan sosial dan humaniora, kebudayaan dan komunikasi guna menentukan tempat dan mengarahkan manusia dalam gerak perubahan dunia yang sangat cepat. Adapun tugasnya adalah khusus untuk melindungi warisan budaya berada dalam pengawasan upaya internasional untuk melindungi kreativitas dan keragaman di seluruh dunia. Beberapa Konvensi UNESCO untuk melindungi warisan budaya di seluruh dunia antara lain: © Copyright reserved to authors
=halaman 6 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
1. Konvensi Hak Cipta Dunia (1952); 2. Konvensi untuk Perlindungan Kekayaan Budaya dalam Konflik Bersenjata dengan Peraturan untuk Pelaksanaan Konvensi tersebut (1954); 3. Konvensi mengenai Cara untuk Melarang dan Mencegah Impor, Ekspor dan Pengalihan Kepemilikan Kekayaan Budaya yang Tidak Diperbolehkan (1970); 4. Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Alam dan Budaya Dunia (1972); 5. Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya Bawah Laut (2001); 6. Konvensi untuk Penyelamatan Warisan Budaya yang Tidak Berwujud (2003); 7. Konvensi mengenai Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya (2005) Dari beberapa konvensi tersebut, yang sangat menarik dan berkaitan dengan kekayaan intelektual adalah Konvensi untuk Penyelamatan Warisan Budaya yang Tidak Berwujud (2003). Menurut Prof. Hubert Gijzen, Ph.D1—Direktur dan Perwakilan Kantor UNESCO di Jakarta—menyatakan bahwa Warisan budaya yang tidak berwujud atau warisan hidup-merupakan hal utama dalam keragaman budaya dan pelestariannya merupakan sebuah jaminan untuk kelanjutan kreativitas. Hal ini merupakan faktor utama dalam mempertahankan sebuah ekonomi kreatif. Konvensi tahun 2003 mendefinisikan warisan budaya tidak berwujud sebagai praktek-praktek, ekspresi-ekspresi serta pengetahuan dan keahlian yang diakui oleh komunitas/masyarakat, kelompok dan dalam beberapa kasus diakui secara individu sebagai bagian dari warisan budaya. Konvensi ini mulai berlaku pada bulan Oktober 2003 dan 94 negara anggota telah meratifikasi konvensi ini, termasuk Indonesia yang meratifikasi konvensi ini pada bulan Oktober 2007. Lebih lanjut menurut Hubert, penyelamatan Warisan Budaya yang Tidak Berwujud adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup warisan budaya yang tidak berwujud, termasuk identifikasi, dokumentasi, penelitian, pemeliharaan, perlindungan, promosi, penambahan, penyebaran, khususnya melalui pendidikan formal dan non-formal, juga revitalisasi berbagai aspek warisan budaya ini. Dalam kerangka kerja kegiatan penyelamatan warisan budaya yang tidak berwujud ini, masing-masing negara anggota harus berusaha untuk menjamin kemungkinan terbukanya keterlibatan kelompok masyarakat dan individu yang menciptakan, menjaga dan menyebarkan warisan budaya ini, dan untuk terlibat aktif dalam pengelolaannya. Upaya utama untuk penyelamatan yang diusulkan dalam konvensi ini adalah membuat daftar warisan budaya. Negara-negara anggota didukung untuk menggunakan upaya-upaya hukum, teknis, administratif dan finansial yang sesuai dengan tujuan: Pemeliharaan ciptaan atau penguatan lembaga untuk pelatihan dalam pengelolaan warisan budaya tidak berwujud dan penyebaran warisan budaya ini melalui forum-forum dan ruang-ruang yang ditujukan untuk pertunjukan atau ekspresinya. Perlindungan akses terhadap warisan budaya tidak berwujud dalam rangka menghargai praktek-praktek yang lazim untuk mengakses aspek-aspek khusus warisan budaya ini. Pembuatan lembaga-lembaga dokumentasi untuk warisan budaya tidak berwujud dan kemudahan akses terhadap lembaga ini. 1
Hubert Gijsen, “Perlindungan dan Pengakuan terhadap Warisan Budaya Nasional sebagai Warisan Budaya Dunia”.,Media HKI, 18.
© Copyright reserved to authors
=halaman 7 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
Di samping konvensi di atas, Konvensi mengenai Perlindungan dan Promosi Keragaman dan Ekspresi Budaya (2005) juga memberikan gambaran mengenai peran negara melalui pengambilan kebijakan dalam memberikan perlindungan terhadap kekayaan budaya tradisional. Konvensi ini berusaha untuk memperkuat lima jaringan yang menyatu dalam satu rantai, seperti yang disampaikan dalam kegiatan budaya, barang dan jasa berupa kreasi, produksi, distribusi/penyebaran, akses dan kesukaan terhadap ekspresi budaya. Secara khusus, Konvensi ini memiliki tujuan sebagai berikut: menegaskan kembali hak mutlak dari sebuah negara untuk menentukan kebijakan-kebijakan budayanya; mengakui sifat-sifat spesifik dari barang dan jasa hasil budaya sebagai kendaraan/alat pembawa identitas nilai dan makna yang terkandung di dalamnya; dan memperkuat kerja sama dan solidaritas internasional sehingga sesuai dengan ekspresi budaya di semua negara. Konvensi ini ditandatangani pada tahun 2005 dan berlaku sejak tahun 2007. Data terbaru menunjukkan terdapat 83 negara anggota yang menandatangani konvensi ini. 3. Upaya Perlindungan Budaya Tradisional Di tingkat Nasional, upaya melindungi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan telah dilakukan. Pemerintah berupaya untuk mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut kekayaan budaya tradisional dengan membentuk kelompok kerja di bidang sumber-sumber daya hayati, pengetahuan tradisional serta folklore. Di samping itu, Pemerintah juga berupaya membuat suatu hukum positif yang mengatur tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang sampai saat ini masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut, Pemerintah memiliki beberapa pertimbangan: 1. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang berasal dari Indonesia dan hingga saat ini masih dilestarikan keberadaannya sangat banyak (sayang pendokumentasian mereka belum dilakukan dan dikelola secara optimal); 2. Adanya berbagai misuse/misappropriation; 3. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai perlu tersedianya sistem perlindungan yang memadai di bidang pendayagunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (termasuk yang terkait dengan hak kekayaan intelektual – HKI) . Berbagai bentuk perlindungan budaya tradisional yang telah tersedia (termasuk melalui sistem HKI), dirasa belum mengakomodasikan perlindungan yang memadai dalam hal pemanfaatan/pendayagunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Pada saat ini, hukum positif di Indonesia yang terkait dengan perlindungan atas pemanfaatan kekayaan budaya Indonesia, terdapat berbagai peraturan, antara lain: Melalui sistem non-hak kekayaan intelektual (HKI): UU Cagar Budaya (UU no 5/1992) dan Hukum Adat. © Copyright reserved to authors
=halaman 8 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
Dengan memanfaatkan sistem hak kekayaan intelktual (HKI): UU Hak Cipta (UU no 19/2002), UU Paten (UU no 14/2001) , UU Merek (UU no 15/2001), UU Rahasia Dagang (UU no 30/2000), UU Desain Industri (UU no 31/2000), UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU no 32/2000), UU Perlindungan Varietas Tanaman (UU no 29/2000), dan UU Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No 5/1999). Perlindungan Kekayaan Budaya Tradisional dengan memanfaatkan Sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual diuraikan pada paparan berikut ini. Hak Cipta Pengaturan tentang folklore sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UndangUndang tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002: ”(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainya. (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Ketentuan tersebut di atas hanya mengatur sebatas siapa pemegang hak dan bagaimana bila orang asing akan memperbanyak atau mempergunakan ciptaan yang haknya dipegang Negara. Akan tetapi ketentuan tersebut belum mengatur tentang norma apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh orang asing, serta hukum acara perdata dan/atau pidana bagi orang asing di luar wilayah RI yang dianggap melanggar ketentuan tersebut. Lebih lanjut di dalam Pasal 31 UU No. 19 tahun 2002 menyebutkan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu; sedangkan untuk Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali diketahui umum. Folklore dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk: cerita rakyat, puisi rakyat; lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional; tari-tarian rakyat, permainan tradisional; hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional. Di dalam Pasal 10 (2) tersebut di dijelaskan bahwa folklore tidak hanya berkaitan dengan produk seni dan sastra saja, melainkan juga dapat mencakup ilmu/pengetahuan, misalnya alat dan proses membuat jamu, batik, keris, ataupun alat maupun pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional yang berasal dari berbagai daerah di indonesia. © Copyright reserved to authors
=halaman 9 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
Sistem Perlindungan Hak Cipta itu sendiri menganut suatu prinsip yang dikenal dengan suatu system Deklaratif yaitu hak timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan atau terwujud dalam bentuk nyata sementara pendaftaran Hak Cipta sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 bukan merupakan suatu kewajiban untuk memperoleh Hak atas Hak Cipta, sehingga untuk mengetahui siapa pencipta atas suatu ciptaan, hanya dapat diketahui melalui suatu pembuktian. Di dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta juga diatur mengenai Pembatasan atau yang bukan merupakan pelanggaran Hak Cipta, antara lain meliputi : Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu (ciptaan) oleh atau atas nama Pemerintah kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi; Sumbernya disebutkan: pengambilan berita aktual, penggunaan ciptaan pihak lain untuk pendidikan, penelitian, penulisan: karya ilmiah, kritik, tinjauan masalah, dan penyusunan laporan (selama tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta); Pengambilan untuk pembelaan, ceramah, pertunjukan atau pementasan gratis; Perbanyakan dalam huruf braille (tunanetra) yang non komersial; Perubahan karya arsitektur atas pertimbangan teknis pelaksanaan; Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemiliknya; Suatu ciptaan yang telah menjadi Public Domain; yaitu ciptaan yang tidak dilindungi lagi dan karenanya dapat dimanfaatkan tanpa ijin maupun pembayaran kepada penciptanya. Ciptaan yang dapat dikategorikan sebagai public domain mencakup a.l. ciptaan-ciptaan yang: − masa perlindungannya telah berakhir; − tidak merupakan obyek yang dilindungi a.l. seperti: fakta, daftar, penanggalan, keputusan2 Pemerintah, dsb. Paten Perlindungan Kekayaan Budaya Tradisional dengan memanfaatkan Sistem Paten, misalnya atas alat dan/atau proses (yang memiliki nilai kebaruan) untuk membuat hasil-hasil produksi tradisional seperti angklung, rebana, gamelan. Alat dan/atau proses (yang memiliki nilai kebaruan) untuk membuat atau memproduksi obat tradisional. Alat dan/atau proses (yang memiliki nilai kebaruan) untuk mengemas dan meracik jamu tradisional. Secara rinci, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 mengatur antara lain: “Pasal 2 (1) Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Pasal 3 (1) Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. Pasal 3 (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian tulisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum: - tanggal penerimaan; atau - tanggal prioritas.” Perlindungan budaya tradisional akan terhadang oleh klausul-klausul tersebut.
© Copyright reserved to authors
=halaman 10 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
Merek Perlindungan Kekayaan Budaya Tradisional dengan memanfaatkan Sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagai contoh adalah logo dan tanda yang merupakan merek pada instrumen musik tradisional, logo dan merek batik tradisional, logo dan merek jamu tradisional dll. Desain Industri Demikian juga di bidang Desain Industri berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000, terhadap perlindungan Kekayaan Budaya Tradisional dengan memanfaatkan Sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dapat berupa suatu pola garis warna yang diterapkan pada perangkat musik tradisional, pakaian tradisional dsb. Pasal 2 Undang-Undang tentang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 mengatur bahwa: “(1) Hak Desain Industri diberikan untuk desain industri yang baru. (2) Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. (3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan desain industri yang sebelum: - tanggal penerimaan; atau - tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas; - telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.” Perlindungan budaya tradisional juga akan ditolak berdasarkan klausul-klausul tersebut. Di dalam perlindungan karya budaya tradisional terdapat beberapa dilema, antara lain: ) Dalam konteks pelestarian budaya, siapa saja boleh melestarikan produk budaya tradisional. Baik penduduk asli/lokal maupun imigran atau orang asing yang tertarik dapat memakai/menggunakan/mempelajari dan mempertahankan keberadaannya agar tetap ada. ) Dalam konteks perlindungan hukum, hanya orang yang berhak atau yang mendapat ijin yang dapat memakai/menggunakan/mempelajari serta mengembangkan suatu produk budaya tradisional tersebut. Dengan demikian, akan ada pihak-pihak yang dilarang/dibatasi dalam menggunakan/pengeksploitasiannya. Penyelarasan kedua kepentingan tersebut perlu diupayakan secara maksimal dengan tetap memperhatikan dan memungkinan tetap terpelihara, tumbuh, dan berkembangnya budaya asli. Pengaruh budaya luar yang sering kali dianggap lebih sesuai dengan tuntutan zaman dapat memusnahkan atau menghilangkan keaslian pengetahuan dan/atau ekspresi budaya tradisional. Perlindungan atas budaya terasa semakin penting. Mengingat misi pemerintah saat ini adalah membangun industri kreatif sebagaimana dinyatakan dalam Pidato Presiden RI atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 beserta Nota Keuangannya di depan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 17 Agustus 2007. Industri kreatif Indonesia akan fokus pada 14 sektor, yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, video, film, dan fotografi, permainan
© Copyright reserved to authors
=halaman 11 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, dan riset dan pengembangan. Studi Industri Kreatif yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan RI Tahun 2007 memberikan data sebagaimana Tabel 1 dan Tabel 2. Data yang ditunjukkan menjadi indikator betapa potensialnya budaya tradisional. Potensi yang terkandung tidak hanya dalam aspek finansial secara langsung, namun juga melibatkan tenaga kerja yang sangat besar. Dampak makro yang terjadi dapat menjadi sasaran pembangunan oleh pemerintah. Tabel 1. Dampak Ekonomi Kreatif di Beberapa Negara Nilai Tambah
Rata-rata pertumbuhan tahunan % dari CIs/% total ekonomi (periode perbandingan)
% GDP
Jumlah tenaga kerja (% total tenaga kerja)
Negara/Kota
Tahun
Inggris Inggris London Selandia Baru
1997-98 2000/01 2000 2000/01
₤ 112.5 miliar
<5%
16% / >6% (1997-1998)
1,3 m (4,6%)
₤ 766.5 miliar
7,90%
9% / 2.8% (1997-1998)
1,95 m
11,44% (1995-2000)
546,000
NZ$ 3.526 juta
3,10%
-
49,091 (3,6%)
AS
2000
US$ 791.2 miliar
7,75%
7% / 3,2%*(1997-2001)
8 m (5,9%)
Australia
1999-2000
AU$ 19.2 miliar
3,30%
5,7%/4,85% (1995-2000)
345,000 (3,8%)
Singapura
2000
S$ 4.8 miliar
2,80%
13,4%/10,6% (1986-2000)
72,200 (3,4%)
Taiwan
2000
TW$ 702 miliar
5,90%
10,1% (1998-2000)
337,456 (3,56%)
₤ 21 miliar
-
Tabel 2. Indikator Dampak Ekonomi Industri Kreatif di Indonesia INDIKATOR PDB Tenaga Kerja Nilai ekspor
SATUAN Milliar Rupiah Orang Milliar Rupiah
2002 102.110 5.862.497 60.159
2003 100.220 5.056.337 58.258
TAHUN 2004 108.413 5.847.968 70.251
2005 107.661 5.335.371 77.796
2006 104.787 4.902.378 81.428
4. Penutup Hingga saat ini belum ada hukum/perjanjian internasional yang mengikat setiap negara anggotanya dalam hal pengaturan eksploitasi—yang dapat melarang pihak lain (secara tanpa ijin) untuk mengekploitasi secara komersial terhadap pengetahuan dan/atau ekspresi budaya tradisional—yang dilakukan oleh orang lain di luar wilayah hukum suatu negara yang memiliki pengetahuan dan/atau ekspresi budaya tradisional. Padahal suatu karya komunal sering kali melewati batas geografis. Migrasi penduduk pada kurun waktu yang telah lampau juga menyebabkan kerancuan definisi asal suatu budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya Bali didominasi budaya asal agama Hindu, yaitu budaya India. Demikian pula budaya melayu yang menyebar di kalangan masyarakat sebagian Sumatera, Malaysia, dan Brunei Darussalam menimbulkan kemiripan budaya satu sama lain. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan suatu konsensus internasional sebagai suatu kesepakatan di komunitas global. Tujuan terpenting dari perlindungan atas budaya adalah menghindari pengakuan sepihak kepemilikan negara lain atas suatu budaya. Tari Reog Ponorogo, batik, hingga ukiran Jepara merupakan contoh kasus yang memerlukan tindakan
© Copyright reserved to authors
=halaman 12 dari 13=
Seminar Pembangunan Hukum dan HAM
yang nyata dan segera. Di sini, penekanan perlindungan yang diharapkan lebih kepada hak moral, bukan hak ekonomi. Untuk saat ini, dapat dilakukan inventarisasi secara lengkap, meliputi aspek fisik (mencakup warna, corak, bentuk, hingga suara) dan nonfisik (misalnya latar belakang sejarah dan penamaan). Selanjutnya dapat dilakukan pengumuman ataupun sosialisasi yang secara resmi dilakukan oleh institusi negara sehingga masyarakat, terutama masayarakat internasional, mengetahui adanya budaya Indonesia dengan baik. Dengan demikian, Indonesia dapat terlebih dahulu mengamankan aset budaya bangsa hingga terbentuk suatu sistem perlindungan internasional yang lebih adil.
BIBLIOGRAFI Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Peta Jalan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015. Jakarta: Depdag, 2008. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Laporan Tahunan 2007. Tangerang: DJHKI, 2008. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang: DJHKI, 2008. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Kompilasi Peraturan Perundangundangan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang: Ditjen HKI, 2007. Gijsen, Hubert. “Perlindungan dan Pengakuan terhadap Warisan Budaya Nasional sebagai Warisan Budaya Dunia”. Media HKI, Vol V/No. 5/Oktober 2008: 18.
© Copyright reserved to authors
=halaman 13 dari 13=