548
PEMBUATAN UNDANG-UNDANG HUKUM PERIKATAN DALAM RANGKA PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
. Prof. Subekti, S.H. _ _ _ _ _ _ _ _____
•
Dapat dikatakan bahwa telah terbentuk Hukum Nasional mengenai sesuatu bidang hukum, apabila masa transisi di mana kita sekarang berada (masa peralihan di mana semua peraturan hukum peninggalan zaman Hindia Belanda masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945) telah dilampaui dengan terciptanya suatu perangkat peraturan atau kaidah-kaidah (baik berupa undang-undang maupun yurisprudensi), yang akan berlaku untuk masa depan yang lama karena dianggap telah memenuhi aspirasi nasional, sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Keadaan seperti di atas dapat dikatakan sudah terc;ipta dalam bidang hukum tanah dengan terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria dalam bulan September tahun 1960. Dengan membuang perangkat peraturan-peraturan mengenai tanah yang berasal dari zaman Hindia Belanda, Undang-undang terse but telah memberikan sebagai gantinya: suatu perangkat peraturan baru mengenai tanah yang (metlUrut konsideransnya) merupakan . "hukum agaria nasional yang berdasar ·atas Hukum Adat tenrang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia". Kiranya sekararig sudilh tiba waktunya untuk membentuk sebuah Undang-undang Hukum Perikatan , sebagai hukum nasional, untuk menggan•
tikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan dalam Hukum Adat. Kelahiran Undang-undang Hukum Perikatan yang nasional itu sudah pasti akan meningkatkan kepastian hukum pula bagi seluruh rakyat Indonesia, karena kita sudah tidak akan berbicar a lagi tentang Hukum B.W. maupun Hukum Adat dalam bidang perikatan itu, tetapi hanya ten tang Hukum Perikatan menurut Undang-undang yang baru itu. Bagaimana sebaiknya asas-asas yang mendasari hukum Perikatan kita itu nanti, akan kami utarakan sebagai berikut. Perkataan "perikatan" sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sarna dengan apa yang dalam bahasa Belanda dimaksudkan dengan verbintenis, yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak , yang isinya adalah hak dan kewajiban: suatu hak untuk menuntut sesuatu dan di . sebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan terse but. Perkataan Inggeris obligation yang dipakai untuk melukiskan hal yang sarna , secara kurang lengkap hanya menunjuk pada satu sudut dari hubungan yang timbal-balik itu, yaitu sudut kewajibannya, meskipun adanya suatu kewajiban mengandung pengertian bahwil di sudut lain ada suatu hak.
Hukum Perikatan Nasional
•
Perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, merupakan suatu pengertian abstrak , yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Perikatan seperti dimaksudkan di atas paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa di mana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan "perjanjian" sudah sangat populer di kalangan rakyat. Ada beberapa penulis yang memakai perkataan "persetujuan", yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak an tara dua orang atau pihak untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan "persetujuan.. (kalau hanya dilihat dari segi terjemahan saja) memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda avereenkamst yang dipakai oleh B.W. , tetapi karena perkataan "perjanj ian " oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janjijanji yang pemenuhannya dijamin oleh Hukum , kami cond ong pada pemakaian istilah " perjanjian" . Hubungan an tara perikatan dan perjanjian adalah demikian , bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perj an• jian. Dengan perkataan lain : perjanjian adalah sumber, bahkan sumber utama, dari perikatan. Di sam ping itu masih ada sumber-sumber lainnya yang juga bisa melahirkan perikatan. Secara tepatnya dapat dirumuskan bahwa perikatan itu dilahirkan dari: perjanjian , undang-undang dan hukum tak tertulis. Kalau, se bagaimana sudah dikatakan di atas, suatu perikatan adalah suatu pengertian abstrak (dalam arti
549 tidak _ dapat d ilih at dengan mata), maka suatu pernjanjian adalah suatu peristiwa atau kejadian yang kongkrit. Kita memang dapat melihat adanya dua orang atau pihak yang mengucapkan at au menulis janji-janji itu dan kemudian , sebagai tanda kesepakatan , berjabatan tangan atau menanda-tangani " surat perjanjian". Adapun perkataan "kantrak " lazirnnya ditujukan pada suatu perjanjian yang diadakan secara tertulis atau yang diadakan di kalangan bisnis (dunia usaha). Dalam menyusun Undang-undang Hukum Perikatan nasional, harus diperhatikan kemajuan zaman dan disadari bahwa Negara dan Bangsa Indonesia sudah memasuki gelanggang internasional, sehingga mengenai berbagai masalah kita perlu mengindahkan ukuran-ukuran (standards) yang dipakai oleh negara-negara dan bangsabangsa lain. Kiranya tidak ada yang membantah kalau dikatakan bahwa Burgerlijk We tbaek, sebagai kitab undang-undang peninggalan Pemerintah kolonial Belanda , sudah usang karena ia dilahirkan lebih dari satu abad yang lalu (tahun 1848, di Negeri Belanda tahun 183 8) . Namun demikian, materi yang diaturnya sebagai masalah-masalah keperdataan yang akan kita atur kembali dalam alam kemerdekaan nasional sekarang, dapat berguna sebagai pedoman di dalam pekerjaan penyusunan naskah rencana undang-undang yang akan datang itu. Kita perlu menengok pada berbagai kitab undang-undang (codes) dari beberapa negara yang lebih up to date, setidak-tidaknya lebih muda usianya dari pada Burgerlijk Wetboek kita , misalnya:
a. Burgerliches Gesetzbuch (BG B) Jerman Barat) dari tahun 1896, yang N opember 1984
550 m ulai berlaku pad a tanggal I J an uari 190 0 (sete ngah abad lebih ml.!da dari B.W. kita);
b . Code Civil at au Burgerlijk Wetboek Belgia dari tahu n 1973 (sangat baru ) ; c. Civil Code of Japan (sebuah negara Asia yang sangat m aju) dari tahun 1898 , terakhir diperbaiki da lam tahun 1964 ; d . Civil Code of the Philippines dari tahun 19 4 9, sebuah kitab undangundang dari suat u negara ASEAN , yang , meskipun banyak mengandung un sur-un sur hukum AngloSaxon , namun da la m garis besarnya , temtama mengenai Hukum Perikatan , men contoh kodif ikasi dari negara-negara Eropa Ba rat ; dan lain-lain. Dan denga n sen dirinya tidak boleh di lupakan Hukum Adat k ita, yang sedapat mungk in j uga ha rus diberikan tempat dalam Und a ng-undang Huk u m Perikatan nasio nal, sekedar t idak meng,ham bat kemajuan. Dalam sektor perjanjian pertamatama hams dit onjolkan bahwa kita berpegang pada asas konsensualism e, yang m enuru t pe ndapat kami merupakan sya rat mu t lak bagi hukum perjanjian yang m o dern demi ter ciptanya kepastian huku m . Asas k o n sen sualisme mempunya i arti yang terpen ting. yaitu bahwa untuk melahirka n perja njian adalah cukup dengan dicapain ya sepakat mengenai hal-hal yarlg pokok dari perjanjian tersebut da n bahw~ perjanjian itu (dan perikatan yang dit imbulkan karenanya ) sudah d ila hirkan pad a saat atau de tik tercapainya konsensus. Pada detik tersebut perja nj ian sudah sah dan mengikat , buk ann ya pada detik-detik lain yang te rk e mudia n atau yang sebelumnya . Da n seka ligu s perlu dit e-
•
f/ukum dan Pembangunan
gaskan tentang detik lai).irnya sep~kat itu , seperti dilakukan oleh Civil Code of Japan. Diambilnya asas konsensua lisme tersebut , yang berarti "perkataan mengikat" ada lah pertama-tama suatu tuntutan kesusilaan. Asas konsensualisme itu mempakan suatu puncak peningkatan martabat manusia . Yang dimaksudkan adalah bahwa , de ngan dilec takkannya kep,e rcayaan pada perkataannya, orang itu ditingkatkan ' martabatnya setinggi-tingginya s'ebaga i Ma•
nUSla .
Kita akan mengatakannya: Meletakkan kepercayaan pada perkataan seo rang berarti menganggap orang itu sebagai k satria . Memanglah benar bahwa kete n tuan yang mengharu skan orang dapat d ipegang ucapannya , adalah suat u tunt u tan kesusilaan dan memanglah benar ba hwa kalau o rang ingin diho rm ati sebagai manusia , ia hams dapat d ipegang perkataannya, namun Hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat , memerlukan asas konsensualisme itu demi untuk ter capainya k epastian hukum . Bahwa orang yang hidup dalam suatu masyarakat yangte ratur ham s dapat " dipegang mulutny a" itu mempakan suatu tuntutan kepast ian hukum yang adalah suatu sendi yang mutlak dari suat u tata-hukum yang baik. • Asas konsensualisme tersebut dapat d ikatakan sudah merupakan asa s universal , artinya : dianut di mana-mana : Dala m B.W. kita ia disimpulkan dari pasal 1320 jo . pasal 1338 (1); Dalam Code Civil Perancis se pakat kedua belah pihak tidak saja l1lelahirkan perj anjian-perjanjian seca ra sah. tctapi dalam perjanjiafl jual-beli bahkan ia sudah pula mcmindahkan hak m ilik a tas ba rang dari pihak pcnjual kcpada pcmhcli;
Hukum Perikatan Nasional
551
wa pencantuman adagium tersebut kita perlukan juga demi untuk peningkatan kepastian hukum. Kalau bagi sistem terbuka at au asas kebebasan berkontrak yang penting adalah perkataan: "semua perjanjian" Iartinya: perjanjian dari macam apa saja), maka bagi tujuan meningkatkan kepastian form they have been entered into".. hukum yang penting adalah "mengBerpegang pada asas konsensualisikatnya" perjanjian "sebagai undangme berarti melepaskan anggapan-angundang". gapan dalam Hukum Adat kita, bahwa Bahwa asas kebebasan berkontrak perkataan saja be1um mengikat dan itu berpangkal pada adanya kedudukbahwa untuk menciptakan ikatan itu an kedua belah pihak yang sarna kuatperlu adanya "uang paf\jer" atau nya, sedangkan kenyataannya sering"uang pengikat" atau lam-lain sebagaikali tidaklah demikian, memang tidak nya. Dan melepaskan pula gagasan, dapat dipungkiri, namun ketentuan-kebahwa seorang dapat membebaskan ditentuan yang melindungi pihak yang rinya dari ikatan, dengan mengemba(ekonomis) lemah, selainnya memang likan uang panjer terse but atau, dari harus diadakan dalam bagian umum pihaknya sipemberi panjer, dengan .dari Undang-undang Hukum Perikatan membiarkan uang panjer itu dimiliki oleh pihak lainnya. < nanti, juga banyak harus diadakan lagi dalam berbagai 'macam perjanjian Sdr. Prof. Wirjono Prodjodikoro, seperti: jual-beli dengan hak membeli \iengan memperkenankan dipergunakern bali, sewa-beli, perjanjian kerja, kannya panjer di pelosok-pelosok sebapengangkutan, pinjam uang dan laingai kekecualian , dalam rancangannya lain. Undang-undang Hukum Perjanjian, Menurut kenyataannya, sejak lahiryang diajukan di muka Kongres Pernya Undang-undang tentang perjanjian sahu , Yogyakarta, tahun 1963, juga kerja/perburuhan dalam tahun 1926, telah mengakui perlunya asas konsenasas kebebasan berkontrak itu sudah sualisme dalam Hukum Perjanjian nabanyak dibatasi. Pembatasan tersebut sional yang akan datang. semakin meningkat sejak Perang Dunia Adagium "semua perjanjian mengperumahan, ke-II (sewa-menyewa ikat sebagai undang-undang bagi mepengangkutan , dan lain-lain), sedangreka lang membuatnya" perlu juga kan di mana-mana kita dapat melihat dicantumkan. semakin banyaknya cam pur tangan PeLazimnya dari pencantuman adamerintah dalam masalah-masalah yang • glUm tersebut disimpulkan adanya dahulu diser.a hkan kepada kebebasan .penganutan asas "kebebasan berkonpara pihak dalam perjanjian. trak" dan ada sementara pihak yang Dalam Bagian Umum, pencantuman mengatakan bahwa adagium tersebut syarat "tidak boleh berisikan sesuatu berasal dari dunia Barat di zaman meyang bertentangan dengan kesusilaan rajalelanya liberalisme, sehingga tidak serta perikemanusiaan" bagi sahnya tepatlah kalau ia dimuat dalam Unsuatu perj anjian , hendaknya merupadang-un dang Hukum Perikatan nasiokan suatu upaya pencegah terhadap nal kita nanti. Namun terhadap suarapenyalah-gunaan kedudukan (ekonosuara itu dapat kami kemukakan bahmis) yang lebih kuat dari satu piHal yang sarna seperti dalam C.C. Perancis berlaku dalam Civil Code of Japan dan dalam Civil and Commercial Code of Thailand; Civil Code of the Philippines, dalam pasal 1356, mengatakan: "Contracts shall be obligatory, in whatever
Nopember 1984
.
552 .
•
•
hak terhadap pihak-lawannya y ang lemah, di sam ping perlindungan yang diberikan oleh Woeker-o rd o nan tie tahun 1938, yang dalam rangka pembuatan Undang-undang H uk u m Perikatan yang akan da tang, sebaiknya sekaligus dimasukkan se bagai ketentuan-keten t uan dalam Bagian Urn urn itu. . Juga pen cantuman ke tent uan bahwa "semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik " memberikan kekuasaan kepada Hakim unt uk mengawasi agar tidak terja di pe ny alah-gunaan kekuasaan oleh sat u pihak terhadap lawannya yang lemah, sepanjang mengenai tahap p elaksanaan pe r.JanJlan. .. Undang-undang Hukum Perikat an he ndaknya berfungsi seb agai " hukum in-
duk" . Perkataan "hukum induk " m empunyai arti yang sarna dengan perkataan "undang-undang pokok " . Mak sud nya ialah, bahwa lain-lain peraturan m erupakan " hukum k husu s" at au " hukum pelaksanaan". H ubungan sem ac am it u terdapat misalnya antara : B.W. de ngan W.v.K . (lihat pasal I W.v.K.), an tara Undang-undang Poko k Agraria de ngan Perpu No .5 6 t ahun 1960 ata u P.P. NO.I0tahun 19 61. Karena W. v. K . m erupak a n peraturan khusus terhadap B. W., maka kalau di dalam W.v.K. mengen ai sesuat u persoalan tid ak ada pengaturann ya, penyelesaiannya ha rus di carikan d alam B.W. Suatu conto h: Mengenai perseroan firma, dala m W.v.K. tidak terci-apat ketentuannya ten t ang bagaiman akah kalau seorang p ersero m eninggal. Karena perseroan ,firm a ad alah suatu bentuk khusus persekutuan (m enurut B.W.) , maka penyelesaiannya h arus dituan cari di dalam Bab tent ang Perseku , dalam B.W. Di situ t e rd apa t suatu k etentuan yang berbuny i bahw a, k alau salah seorang sekutu m en ingga L maka
Hukum dan Pembangunan
p ersek u t uan be rak hir. Maka ketent uan ini juga berlaku unt uk perseroan firma. J uga kit a m eliha t bahwa utang-piutang wesel (yang diatu r da lam W.v.K .) adalah suatu penerapan d aripada perikatan tanggung-men anggung men urut B.W. Dengan demikian maka " hukum induk" adalah bagaikan " cantelan" untuk berbagai masalah yang diatur da la m undang-u ndang lain . Dalam penyus unan Undang-undang Hukum Perikatan yang akan datang , kita dapat mengambil manfa'at dari• pengalaman-pengalaman (praktek) dalam pemakaian (pene rapan) B.W. kita sek arang ini. Yang kami m aks u'dkan adalah misalnya: M eskipun sudah diakui adanya pasai-pasal yang ke liru • (k arena dulu dik utip begitu saja dari Code Civil Peran cis), n am u n pasal-pasal itu tidak disingkirkan a tau di perbaiki , me lainkan hanya diberikan tafsiran-tafsiran yang m engurangi ketidak-adilan yang d itim bulkan oleh ketentuan-ketentuan yang keliru itu. Dem ik ian lah ha lnya del)gan pasal-pasal te n ta ng risiko dalam jual beli (pasalpasal 1460, 1461 dan 1462 ) dan pasal 147 I Uual beli barang orang la in adalah bata!) . Dalam undang-undang yang akan datang , persoalan ten tang risiko mengenai barang yang menj ad i obyek suatu perjanj ian supaya ditautkan secara ketat dengan persoalan ten tang pemindahan hak milik atas barang itu. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963 ten ta ng tidak berlakunya lagi beberapa pasal dari B.W. , yang menurut pendapat kami harus dia nggap sebagai anjuran kepada Pengadi lan-pengadi lan bawahan untuk mem b ent uk yurisprudensi yang men yatak an pasal-pasal termaksud tidak berlak u lagi, dan maknanya dapat kita set uj u i, dapat pu la diambil manfa'atnya. Seb uah pasa l dalam Bagian Umum, ya itu pasal 1266 tentang pem batalan •
•
Hukum Perikatan Nasional .
perjanjian yang bertimbal-balik sebagai akibat terjadinya wanprestasi (kelalaian) dari siberutang , pasa l mana, sebagaimana kita ketahui, dalam B.W. (dengan mencontoh C.c. Perancis) secara keliru (dan membingungkan) mengkonstruk sikan wanprestasi tersebu t sebagai ' suatu "syarat-batal", harus kita atur kern bali secara sederhana dan jelas, yaitu sebagai pengaturan salah satu akibat dari wanprestasi , di sam ping tuntutan ganti-rugi. Dengan demikian maka bukan lagi wanprestasi berakibat' batalnya perjanjian demi hukum ,(secara otomatis), tetapi hanya memberikan kemungkinan diajukannya tuntutan pembatalan perjanjian kepada Pengadilan. Sekaligus perlu ditegaskan ten tang adanya kekuasaan discretionair dari Hakim dalam menghadapi gugatan pembatalan itu , sedangkan penemuan yurisprudensi dalam hubungan tuntutan ganti rugi dan pembatalan , yait u kern ungkinan diajukannya tangkisan atau pembelaan dari pihaknya siberutang dengan pengajuan "exceptio non adimpleti contractus" dan pelepasan hak dari pihaknya siberutang , perlu juga dituangkan dalam suatu ketentuan . Perbedaan antara sifat "riil dan tunai" dari perjanjian jual-beli m enurut Hukum Adat dan sifat "konsensuil dan obligatoir" dari perjanjian jualbeli menurut B.S. , ada sangkut-pautnya dengan soal pemindahan hak milik at as barang yang diperjual-belikan. Kita dapat melihat dalam hubungan ini, bahwa sistem hukum Inggeris yang terdapat dalam "sale of Goods Act, 1983" adalah sangat luwes dan mungkin lebih mudah dapat dimengerti oleh orang yang hidup dalam suasana Hukum Adat kita. Di Inggeris , perjanjian jual-beli (contract of sale) diperbedakan dalam sale (atau actual sale) dan agreement to sell. Perbedaan ini dapat dilihat dari •
553 ayat 3 pasal (section) 1 dari Sale of Goods Act, 1893 terse but di atas. Apabila dalam ,suatu contract of sale pemindahan hak milik terjadi serta-merta, maka perjanjiannya dinamakan : sale; tetapi apabila pemindahan hak milik itu saatnya terpisah dari saat terjadinya perjanjian ataupun digantungkan pada suatu syarat (condit ion), maka perjanjiannya dinamakan' agreement to sell. Suatu sale adalah suatu perjanjian jual-beli sekaligus dengan pemindahan hak milik (conveyance), sehingga mirip dengan jual-beli menurut Hukum Adat ("riil dan tunai"), sedangkan suatu agreement to sell adalah tidak lebih dari pada suatu koop overeenkomst biasa menurut B.W. yang bersifatobligatoir. Apabila dalam suatu sale si penjual melakukan wanprestasi, maka si pembeli dapat menggunakan semua upaya dari seorang pemilik, sedangkan dalam halnya suatu agreement to sell ia hanya mempunyai suatu personal remedy terhadap si penjual, yang masih merupakan pemilik dari barangnya dan bila penjual ini jatuh pailit, barang itu juga masuk dalam budel kepailitan. Menurut Sale of Goods Act 1893 (disingkat: S.G .A.) kedua belah pihak m enentukan sendiri saat pindahnya milik (inilah keluwesannya) dan karena itulah maka S.G.A. memuat beberapa pasal atau ketentuan-ketentuan sebagai pedoman untuk menemukan • kehendak (kemauan atau maksud) para pihak yang bersangkutan. Pasal (section) 17 S.G.A. dalam hal tersebut menentukan: " ~) W here there is a contract for sale of specific or ascertained goods, the property in them is trans/e"ed to the buyer at such time as the parties to the contract in- . tend it to be transferred. Nopember 1984
,
SS4
Hukum dan Pembangunan
(2) For the purpose of ascertaining the intention of the parties regard shall be had to the terms of the 'contract, the conduct of the parties and the' circumstances of the
"•
'
Dan oIeh karena dalam praktek ten,tunya sukar untuk menemukan maksud atau kehendak para pihak itu, lalu oleh pasal (section) 18 diberikan pedoman-pedoman sebagai berikut: ''Rule 1: ' Where there is an uncondition· al contract for sale of specific goods, in a deliverable state, the property in the goods passes to the buyer when the contract is mIlde, and it is immaterial wether the time of payment or the time of.delivery, or both, be po.tponed. ' Rule 2: Where there is a contract for the lillie of specific goods and the seller is bound to do something to the goods, for purpore of putting them into a deliverable .tate, the property does not pass until such thing be done, and the buyer has notice thereof. Rule 3: Where there is a contract for ,
,
the sale of specific goods in a deliverable state, but the seller is bound to weigh t, measure, test or do some other act or thing with reference to the goods, for the purpose of ascertaining the price, the property doe, not pass until such act or thing be done, and the buyer has notice thereof. Rule 4: Where goods are delivered to the buyer on approval or "on sale or return " or other similar terms" the property therein polles to the buyer p) when he signifies his approval or acceptance to the seller, or does any other act adopting the transaction; ~) if he does not signify his approval or ac· ceptance to the selle! but retains the goods without givinG notice of rejection, then, if a time has "been fixed for the retum of the goods, on the expiration of ruell time, and ifno time has been fixed, (HI the :expiration ' of a reasonable time. W luzt II a reasonable time, ia a question offact". ,
,
Kalau mengcmai tanah di Indonesia,
•
di masa yang lampau diadakan peraturan "antar-tatahukum" atau intergentil, yang menunjukkan banyaknya perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan, namun dalam lalu-lintas barang bergerak tidak pernah didengar tentang kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh perbedaan sistem antara B.W. dan Hukum Adat. Menurut pendapat kami, itu disebabkan karena pensyaratan ten tang penyerahan kekuasaan (bezit) yang diadakan oleh B.W. untuk peralihan hak milik atas barang bergerak secara kebetulan adalah sarna dengan apa yang dituntut oleh Hukum Adat 'berdasarkan sifat tunainya jual-beli dalam Hukum Adat itu, Kalau barangnya sudah diserahkan secara nyata (physik), maka dalam kedua-duanya sistem (Hukum Adat maupun B.W.) hak milik itu telah berpindah. Namun sekarang bagaimanakah kalau harga sudah dibayar oleh pembeli tetapi barangnya belum diserahkan ? Menurut B.W. sudah terang bahwa hak milik belum berpindah, sebab dalam B.W. pembayaran adalah irrelevant. Tetapi apakah itu juga demikian menurut Hukum Adat atau menurut rasa keadilan orang Indonesia ? Apakah jawaban yang diberikan oleh B.W. itu tidak terlalu bertentangan dengan sifat riil dan tunai dari jual-beli menurut Hukum Adat? Di sini mungkin terdapat suatu pertentangan, yang dalam Undang-undang yang akan datang perlu diberikan penyelesaian yang memuaskan. Kami usulkan sup'aya, kalau barangnya adalah barang yang tertentu dan tersedia (yang dalam S.G.A. di Inggeris dimaksudkan dengan: specific and in a deliverable state), untuk memenuhi rasa keadilan orang Indonesia, hak milik dianggap telah berpindah kepada si pembeli yang sudah melakukan perbuatan tunai membayar itu. Perbedaan yang dapat menimbulkan
•
•
Hukum Perikatan Nasional
konflik antara dua sistem dan alam pikiran (B.W. dan Hukum Adat) tersebut dapat diatasi dengan jalan mengkonstruksikan bahwa individualisasi barangnya (menyendirikan dan menyediakan untuk diambil) dibarengi dengan pembayaran harganya adalah cukup untuk memindahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan. Sesuai dengan pola hukum Inggeris yang kami katakan luwes itu, dapat didalilkan bahwa "individualisasi plus pembayaran" merupakan "petunjuk" bagi penentuan kehendak kedua belah pihak bahwa mereka menghendaki pemindahan hak milik pada saat dilakukannya pembayaran. Apa yang diutarakan di atas sudah barang tentu hanya mengenai barang bergerak, karena tentang tanah sudah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Perlu sekali lagi dikemukakan, bahwa apa yang diutarakan di atas sebaiknya diatur di dalam Bab tentang Jualbeli. Juga tentang cara pemindahan piutang sebaiknya diatur di sini pula. Syarat-syarat sahnya perjanjian ada dua macam: pertama yang mengenai subyeknya (yang membuat- perjanjian) dan kedua yang mengenai obyeknya yaitu apa yang dijanjikan oleh masingmasing , yang merupakan isinya perjanjian atau apa yang dituju oleh para pihak dengan membuat perjanjian tersebut. Yang mengenai subyeknya perjanjian ialah : a) orang yang mem buat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum terse but dan b) ada sepakat (konsensus) yang menjadi dasar perjanjian , yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan , kekhilapan atau penipuan). Kecakapan oleh B. W. dikaitkan pad a usia : dewasa yang adalah 21 ta•
555 hun dan dalam Hukum Adat sekitar 15 tahun (akil baliq). Sekarang oleh Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 tahun 1974) usia dewasa itu ditetapkan 18 tahun. Paksaan diartikan sebagai tekanan batin yang membuat salah satu pihak tidak bebas menentukan kehendaknya, sepertipun ia tidak be bas menenttikan kehendaknya dalam hal ia khilap atau ditipu mengenai obyeknya perjanjian. Mengenai obyeknya perjanjian ini ditentukan bahwa apa yang dijanjikan oleh masing-masing harus cukup jelas, hal mana adalah perlu untuk menetapkan masing-masing kewajiban. Selanjutnya apa yang dijanjikan oleh masing-masing itu · harus sesuatu yang halal dalam arti tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. Sistem bahwa tidak dipenuhinya syarat subyektip hanya berakibat bahwa perjanjiannya dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, tetapi hal tidak dipenuhinya syarat obyektip dian cam dengan kebatalan perjanjiannya demi hukum (tanpa diajukan atau diminta kepada Hakim), merupakan suatu sistem yang dianut di mana-mana. Sistem tersebut adalah logis karena tidak dipenuhinya syarat subyektip tidak dapat dilihat oleh Hakim dan karenanya harus diajukan kepadanya oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan hal tidak dipenuhinya syarat 0 byektip seketika dapat dilihat oleh Hakim. Itikad baik di waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunnyikan sesuatu yang bliruk yang di kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Adagium bezit geldt als volkomen titel yang terdapat dalam pasal 1977 Nopembe,.1984
•
556
Hukum dan Pembangunan
• •
dak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah dijanjikan. melindungi seorang pem beli barang Sebagaimana diketahui maka pasal bergerak , yang jujur atau " beritikad 1338 (3) B.W. memerintahkan supaya baik". Pasal terse but perlu diatur kemsemua perjanjian dilaksanakan dengan bali dengan menempatkannya dalam itikad baik. Kalau undang-undang meBab tentang Jual-beli. netapkan bahwa barangsiapa berdasarOleh karena adagium " si pem beli kan suatu perikatan diwajibkan menyeyang beritikad baik harus diperlinrahkan suatu barang, diwajibkan medungi" dalam Hukum Adat berlaku rawatnya sebaik-baiknya, dengan mi. tidak hanya dalam lalu-lintas barang nat seperti terhadap barang miliknya yang bergerak saja , tetapi berlaku unsendiri, sampai sa at terlaksananya petuk semua macam barang, baik bergenyerahan terse but , maka itu adalah rak maupun tidak bergerak , maka sesuatu ketentuan yang ditujukan kepabaiknya ketentuan terse but diberlakuda itikad baik di dalam melaksanakan kan untuk semua macam barang . Ke• suatu kewajiban hukum. Begitu pula mudian dalam hal ini juga praktek dan kalau undang-undang menetapkan bahyurisprudensi perlu diperhatikan , anwa barangsiapa diwajibkan menyerahtara lain yurisprudensi perihal k ehakan suatu barang 'yang hanya ditetapdiran seorang pejabat (kepala desa) kan jenisnya, tidak diwajibkan menyedalam transaksi-transaksi, teru tama rahkan barang dari mutu yang paling yang mengenai tanah, yang mem buat tinggi, tetapi juga tidak boleh menyetransaksi-transaksi itu "terang" dalam rahkan barang dari mutu yang paling arti bahwa tidak ada hal-hal yang direndah. sembunyikan oleh suatu pihak . KareKalau pasal 1338 (1) dengan menanya perlu dicantumkan suatu ke ten- . nyatakan bahwa suatu perjanjian tuan yang menyatakan bahwa, apabila "mengikat sebagai undang-undang" suatu perjanjian dilakukan di muka sebertujuan meningkatkan kepastian huorang pejabat, maka para pihak dapat kum, maka pasal 1338 (3) dengan medianggap beritikad baik. merintahkan supaya perjanjian dilaksaKalau itikad baik pada waktu memnakan dengan itikad baik, bertujuan buat suatu perjanjian gerarti kejuj uran, mencegah kelakuan yang tidak patut maka itikad baik dalam tahap pelaksaatau sewenang-wenang dalam hal penaan perjanjian adalah kepatutan, yalaksanaan terse but. itu suatupenilaian baik terhadap tin(1) B.W. pada hakekatnya bertujuan
.
•
.. ·•
•
.
...
•·
..
Orang yang lebih baik bu kanlah orang yang meninggalkan duni& demi akhirat, dan bukan pula yang meninggalkan akhirat semata-mata untuk kepentingan dunia. Namun kedua-duanya h arus dilaksanakan. Dunia adalah jaIan yang akan dapa t mengan tarkan ke akhirat. Dan janganlah engkau menjadi beban orang lain.
(II. Ibnu 'Asaldr)