78
7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN
7.1
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut Mukhtar (2011), meskipun Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, akan tetapi nelayan hidup dengan kondisi yang serba sulit, ditambah dengan adanya periode peralihan cuaca yang membuat nelayan tidak bisa melaut. Kebijakan yang diterapkan di sektor perikanan, saat ini belum sensitif terhadap kehidupan nelayan kecil, diantaranya : Pertama, nelayan harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dari masyarakat perkotaan dan profesi lainnya dalam mengakses dan mendapatkan kebutuhan hidupnya. Harga-harga bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) misalnya berharga jauh lebih mahal di kawasan kepulauan. Hal ini berimplikasi pada mahalnya biaya yang menunjang kegiatan produktif termasuk transportasi, komunikasi, logistik dan sebagainya yang harus ditanggung oleh keluarga nelayan. Kedua, nelayan kecil tidak didukung oleh jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai seperti asuransi. Sehingga semuanya harus ditanggung sendiri. Kapal-kapal yang rusak akibat ombak besar atau karam menabrak tebing karang, tidak akan mendapatkan ganti rugi. Bahkan ketika mengalami kecelakaan, cacat seumur hidup ataupu meninggal, semua urusan harus ditanggung sendiri. Perusahaan asuransi masih lebih memilih profesi karyawan yang bekerja di gedung-gedung perkantoran, dibandingkan memberikan asuransi kepada pekerjaan nelayan yang beresiko tinggi. Paling tinggi, nelayan menerima informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tentang larangan ke laut dan besarnya gelombang. Ketiga, akses permodalan sangat terbatas. Perbankan belum melirik kegiatan perikanan, apalagi kepada nelayan kecil. Sehingga hampir tidak ada akses dan bantuan permodalan yang memadai bagi nelayan. Kegiatan perikanan
79
yang dilakukan berlangsung begitu sederhana. Kondisi ini sekaligus menciptakan ketergantungan nelayan dengan para tengkulak dan rentenir semakin besar. Mau tidak mau, ketika membutuhkan uang, mereka akan mengetuk pintu para tengkulak yang biasanya siap 24 jam. Konsekuensinya, mereka harus terima dengan ‘kebijakan’ yang biasanya sangat merugikan, termasuk membayar bunga yang sangat tinggi, kewajiban menjual hasil tangkapan dengan harga yang dipatok oleh tengkulak, komitmen untuk ikut dalam kegiatan perikanan merusak (misalnya pemboman dan pembiusan ikan), dan berbagai bentuk lainnya. Organisasi formal yang berfungsi memberi akses permodalan dan pembiayaan sebenarnya telah terbentuk di dua daerah yang dijadikan sebagai daerah penelitian yaitu PPN Palabuhanratu dan PPI Cisolok. Di dua daerah tersebut telah tersedia institusi perbankan, khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan koperasi. Akan tetapi institusi formal tersebut secara langsung belum memberi peranan terhadap masyarakat nelayan kecil. Bahkan informasi yang diperoleh, institusi perbankan lebih banyak berperan terhadap masyarakat pedagang ikan dan bukan nelayan. Nelayan adalah pekerjaan yang banyak mengandung resiko disamping kebanyakan nelayan jarang yang memiliki agunan yang dapat dipakai sebagai jaminan guna mendapatkan pinjaman dari bank. Untuk saat ini telah ada lembaga Keuangan Masyarakat Pantai (LKMP) yang diinisiasi berdiri oleh institusi perikanan setempat dengan modal dari Departemen Perikanan dan kelautan. Meskipun lembaga ini lebih difokuskan pada masyarakat nelayan, akan tetapi karena keterbatasan dana maka yang dapat digulirkan belum banyak (Astuty 2008). Organisasi informal yang secara langsung berfungsi sebagai lembaga ekonomi banyak berperan memberi pinjaman kepada nelayan. Di dua daerah penelitian banyak ditemukan institusi informal tersebut, diantaranya adalah para pelepas uang (rentenir) yang menyediakan dana cepat meskipun mahal kepada yang memerlukan. Biasanya mereka hanya bersedia memberi pinjaman kepada yang telah diketahui dengan jelas atau yang setiap hari berusaha di suatu tempat tertentu. Umumnya yang banyak mendapat pinjaman adalah pedagang ikan (bakul) yang biasanya setiap hari menunggu ikan di pasar atau di pelataran TPI. Adapun ketergantungan nelayan untuk mendapatkan pinjaman hanya terbatas
80
pada institusi yang secara langsung ada kaitan kerja, diantaranya adalah juragan darat, tengkulak, dan bakul. Dengan memberi pinjaman modal kepada nelayan maka pemberi modal mengikat nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada pihak pemberi pinjaman sehingga nelayan tidak bebas menjual ikan hasil tangkapannya ke pihak lain. Dengan ikatan ini maka posisi tawar nelayan ke pemberi modal sangat lemah. Nasib buruh nelayan di Indonesia semakin terpuruk. Tidak saja oleh pembagian hasil antara mereka dengan juragan yang tidak adil, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak memihak buruh nelayan. Sunny (2010) menambahkan, secara sosiologis pola mata pencaharian nelayan yang syarat dengan ketidakpastian ini membuat semacam relasi yang mudah berkembang yakni relasi patron-klien sebagai reaksi untuk menciptakan rasa aman sosial bagi masyarakat tersebut. Pola ini berkembang dalam bentuk pinjaman uang berupa modal dan sejenisnya yang terikat, salah satunya adalah pola bagi hasil dengan pemilik modal yang sering disebut dengan tengkulak. Masalah yang dihadapi masyarakat nelayan pun sangatlah kompleks mulai dari permodalan, musim yang tidak bersahabat, dan sistem bagi hasil yang membuat minimnya penghasilan sehingga membuat nelayan buruh jatuh pada lingkaran kemiskinan. Penderitaan kaum nelayan menjadi semakin buruk dengan adanya anggapan pihak perbankan dan pengusaha bahwa nelayan traditional dianggap kurang layak diberikan bantuan permodalan karena tidak akan mampu mengelola usahanya. Akibat sulit mendapatkan modal usaha, tidak sedikit keluarga nelayan yang akhirnya mencari tengkulak. Maka dari itu, demi memutuskan mata rantai permasalahan nelayan traditional, pemerintah perlu berpartisipasi untuk mengelola program jaminan sosial dengan memberikan bantuan pembinaan, penyuluhan, pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan dan berbagai kebijakan lainnya (Fatoni 2008). Kemudian Sodik, dkk. (2006) dalam Rakhmawan (2010) menambahkan bahwa kendala lain yang dihadapi oleh para nelayan dalam motivasi kerja diantaranya adalah: (1) Naiknya harga BBM (Solar) sehingga biaya operasional yang tinggi tidak seimbang dengan hasil tangkapan yang hanya cukup untuk makan. Kenaikan harga BBM yang diikuti dengan naiknya harga kebutuhan lain
81
seperti listrik, telepon, dan PDAM tidak seimbang dengan harga jual ikan. (2) Kurang perhatian dari pemerintah pusat terutama Menteri Kelautan terhadap kehidupan dan kesejahteraan nelayan. (3) Perangkat pemerintah yang didominasi oleh warga di luar nelayan sehingga kurang merespon setiap persoalan yang dihadapi oleh nelayan. (4) Keberadaan KUD yang belum mampu berperan mengatasi masalah nelayan yang jatuh ke tengkulak. Keadaan tersebut menimbulkan sebagian besar nelayan memiliki motivasi kerja rendah. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan perundangan yang mengatur kebijakan tentang sistem bagi hasil dan sistem pelelangan yang tidak merugikan bagi nelayan. Serta adanya bantuan berupa program ataupun didirikannya organisasi dari pihak pemerintah yang dimana sangat membantu pihak nelayan dari segi keamanan dan kesejahteraan nelayan agar dapat melaut secara berkelanjutan tanpa harus membuat mereka semakin sengsara dengan keadaan ekonomi mereka. Seperti yang telah diungkapkan oleh Sunny (2010), Ketiadaan modal membuat nelayan terjerat dalam pola tengkulak ini. Terlepas dari akibat yang ditimbulkan dari sistem ini ada hal yang patut dikritisi bahwa perlunya intervensi pemerintah untuk menjembatani baik berupa undang-undang ataupun kebijakan yang tidak memberatkan dalam mekanisme bagi hasil. Beberapa contoh dari bentuk kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan. Diantaranya yaitu dengan menerapkan tidak berlakunya pajak retribusi untuk nelayan, melainkan diberlakukan kepada pembeli dan pemilik saja dengan pembagian persentase retribusi 2% untuk pemilik dan 3% untuk pembeli. Adanya campur tangan dari pemerintah untuk masalah retribusi, nelayan menjadi tidak memiliki beban dari hasil tangkapan yang didapat dalam memasarkan hasil tangkapannya. Selain itu, ada juga kebijakan yang dimana diberlakukannya sistem lelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Adanya sistem lelang di sebuah pelabuhan itu selain sangat membantu untuk nelayan dalam memasarkan hasil tangkapannya yang dimana memiliki sifat cepat busuk juga menjaga dari adanya sistem tengkulak, yang dimana sistem tersebut sangat merugikan nelayan dalam hal memasarkan hasil tangkapannya. Namun, dengan adanya sistem lelang tidak menutup kemungkinan tetap terjadinya sistem tengkulak. Disebabkan oleh telah
82
berlakunya ketergantungan nelayan terhadap tengkulak jauh dari sebelum TPI berfungsi. 7.2
Bentuk realisasi dan solusi yang digunakan dari kebijakan yang terjadi dilapangan oleh pemerintah daerah Secara teoritis, pola yang diatur oleh pemerintah sangat bagus dan dapat
menciptakan keadilan dalam permasalahan bagi hasil. Namun yang terjadi di lapang sangat berbeda, karena nelayan, khususnya nelayan pemilik lebih memilih sistem bagi hasil secara adat yang menguntungkan dirinya. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ketidakmampuan nelayan dalam menentukan pola bagi hasil salah satunya disebabkan oleh posisi tawar mereka yang sangat lemah sehingga menjadi objek yang dirugikan pihak yang kuat terutama nelayan pemilik atau bahkan bakul (Eidman dan Solihin 2008). Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi berbeda pola bagi hasil di masyarakat nelayan, diantara yaitu: Pertama, unit atau jenis alat tangkap. Distribusi bagian atau persentase bagi hasil perikanan tergantung pada unit atau jenis alat tangkapnya. Perbedaan persentase bagi hasil usaha perikanan ini dikarenakan besarnya kapasitas kapal atau perahu, jenis dan ukuran mesin yang digunakan,
dan
sifat
atau
ketahanan
alat
tangkap
yang
digunakan.
Kedua, kemampuan dan kedudukan tenaga kerja. Kemampuan atau kedudukan tenaga kerja akan membedakan besar kecilnya bagiannya yang diterima dari bagi hasil perikanan. Misalnya, karena peran juru mudi sebagai nakhoda yang mempunyai tanggung jawab besar sebagai pimpinan rombongan nelayan dalam memperoleh hasil tangkapan, sehingga juru mudi memperoleh bagian besar dari pada nelayan yang berperan sebagai juru mesin (motoris) maupun pandega. Begitu juga dengan bagian yang diterima oleh motoris akan lebih besar dari pada bagian yang akan diperoleh pandega, karena motoris mempunyai tanggung jawab terhadap mesin yang digunakan alat tangkap dan merupakan tangan kanan dari juru mudi. Persentase bagi hasil yang diberlakukan di PPN Palabuhanratu dan PPI Cisolok, khususnya antara nelayan pemilik dengan nelayan ABK pada umumnya 35% untuk nelayan pemilik, 15% untuk juru mudi, 10% untuk juru mesin dan 40% untuk bagian seluruh ABK.
83
Ketiga, adat kebiasaan. Umumnya bagi hasil secara adat ini telah berlangsung secara turun temurun sehingga sering dikatakan sebagai hukum kebiasaan. Ironisnya, meski bagi hasil secara adat itu kerap merugikan nelayan, namun aturan ini tidak bisa diubah dan diperbaharui karena masyarakat nelayan sendiri menganggap bahwa aturan ini telah adil dan sesuai dengan keadaan mayarakat setempat. Hal inilah salah satunya yang menyebabkan kenapa UU No. 16 tahun 1964 tidak berjalan, karena mendapatkan resistensi atau penolakan dari nelayan pemilik (Eidman dan Solihin 2008). Sementara itu, adapun faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan UU No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, diantara yaitu: Pertama, ketidaktahuan masyarakat nelayan terhadap Undang-undang Bagi Hasil Perikanan. Ketidaktahuan masyarakat terhadap keberadaan Undang-undang Bagi Hasil Perikanan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atau penyuluhan oleh pemerintah kepada masyarakat nelayan. Kedua, tingkat pendidikan yang rendah. Tidak berjalannya Undang-undang Bagi Hasil Perikanan ini juga disebabkan oleh lemahnya pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup disekitar pesisir. Ketiga, kekuatan adat kebiasaan. Kuatnya pola bagi hasil secara adat oleh masyarakat setempat karena dipertahankan sejak dulu oleh para masyarakat pemilik, sehingga sangat sulit menerima suatu perubahan dalam melaksanakan kebiasaannya. Keempat, kemampuan tenaga kerja. Bagian yang diperoleh masingmasing tenaga kerja seperti bagian untuk juru mudi, juru mesin dan pandega sangat bergantung pada kebisaan nelayan pemilik (juragan) dalam melaksanakan usahanya. Kelima, adanya kelemahan Undang-undang Bagi Hasil Perikanan. Pada Undang-undang Bagi Hasil Perikanan tidak memperhatikan keseimbangan perbandingan bagi hasil antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap pada setiap alat tangkap yang berbeda. Hal ini dikarenakan, setiap alat tangkap mempunyai jumlah tenaga kerja yang berbeda, ukuran kapal atau perahu yang berbeda dan kapasitas mesin yang berbeda pula. Selain itu, Undang-undang Bagi Hasil Perikanan ini juga terkesan mengabaikan pola bagi hasil secara adat yang mungkin telah hadir jauh sebelum Indonesia ada. Artinya, Undang-undang Bagi Hasil Perikanan yang baru harus memperhatikan sistem atau pola bagi hasil secara
84
adat, agar tidak menimbulkan resistensi nelayan, khususnya nelayan pemilik (Eidman dan Solihin 2008). Kebijakan yang diterapkan di setiap pelabuhan memiliki kecenderungan yang berbeda, disebabkan setiap pelabuhan memiliki permasalahan yang berbeda. PPN Palabuhanratu merupakan pelabuhan yang memiliki nilai produksi dan tingkat produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan PPI Cisolok itu semua dikarenakan kapal yang mendarat PPI Cisolok tidaklah lebih dari 15 GT. Bentuk realisasi yang terjadi dilapangan dalam hal penerapan kebijakan di PPN Palabuhanratu untuk mengatasi adanya eksploitasi terhadap nelayan yang dilakukan oleh tengkulak, yaitu dengan mengadakan sistem lelang. Dengan adanya sistem lelang, nelayan diwajibkan untuk mendaratkan hasil tangkapannya ke Tempat Pelelangan Ikan. Lelang berfungsi sebagai kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil tangkapannya, dan juga untuk membentuk harga agar nelayan tidak dirugikan oleh pihak bakul dalam menentukan harga. Pelelangan dapat berfungsi dengan baik jika pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai kegiatan pelelangan dan tentunya dibantu oleh nelayan dan pedagang untuk bersama-sama meramaikan dengan kegiatan jual dan beli di pelelangan. Bentuk Realisasi lainnya yaitu diberlakukannya retribusi hanya kepada pihak pemiliki dan penjual. Persentase antara keduanya yaitu 2% untuk Pemilik, 3% untuk pembeli. Hal tersebut diberlakukan dengan tujuan tidak memberikan beban kepada nelayan dari hasil tangkapan mereka yang hendak dijual. Kemudian bentuk realisasi lainnya ialah memberikan kapal beserta alat tangkapnya. Kebijakan tersebut sudah berjalan sejak tahun 2011 lalu dengan penyaluran kapal secara perlahan. Kegiatan tersebut dinamakan “3000 kapal untuk nelayan”. Tujuan dari pemberian kapal tersebut diharapkan dapat membantu nelayan untuk keluar dari jerat tengkulak (bakul) dalam hal ketergantungan. Realisasi yang terjadi dengan adanya kebijakan ini sangatlah minim dari segi keefektivannya, karena dengan diberikannya kapal kepada nelayan ternyata tidak memutuskan rantai patron client antara nelayan dengan tengkulak, tetapi kapal yang diberikan oleh pemerintah dijual kembali oleh nelayan untuk melunasi hutang-hutang yang mereka pinjam dari tengkulak lalu
85
tidak memungkinkan bahwa nelayan akan meminjam uang kembali kepada tengkulak jika suatu saat membutuhkan. Beberapa bentuk kebijakan diatas sudah berjalan untuk di PPN Palabuhanratu. Sedangkan untuk di PPI Cisolok tidak ada kebijakan dari pemerintah yang berjalan untuk memberantas sistem ketergantungan nelayan terhadap tengkulak. Melainkan tengkulak menjadi tangan kanan pemerintah untuk menghidupkan kegiatan penangkapan di PPI Cisolok. Ibosumantri merupakan salah satu tengkulak sekaligus ketua Kelompok Usaha Bersama “Ligo Sejahtera” yang diberikan kepercayaan oleh pihak pelabuhan untuk menghidupkan kegiatan penangkapan di PPI Cisolok dengan mempercayakan pengelolaan pembuatan es curah yang pada akhirnya menjadi tidak berjalan sama sekali yang pada akhirnya digunakan sebagai gudang bagi kelompok usahanya. Adanya tengkulak yang menjadi tangan kanan pihak pelabuhan untuk menghidupkan kegiatan penangkapan disana, menjadikan nelayan yang ingin melaut terus terikat kepadanya, ditambah posisi tengkulak tersebut sebagai ketua Kelompok Usaha Bersama di daerah tersebut. Menurut
Fatoni
(2008), Usaha
yang seharusnya dilakukan
guna
meningkatkan produksi dan produktivitas usaha nelayan, pemerintah perlu memberikan bantuan permodalan dan sarana kerja yang memadai, sehingga mereka dapat mengembangkan usaha sebagaimana yang diharapkan. Bantuan tersebut selain harus melalui prosedur yang sederhana, meskipun dengan bunga tetap harus lebih rendah dari yang diberikan tengkulak agar nelayan itu bisa lepas dari jeratan tengkulak. Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya perikanannya juga semakin berkurang, sedangkan jumlah nelayan terus bertambah. Kemudian pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga apa yang diusulkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kemandirian nelayan. Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pascapanen dan pengolahan hasil laut, hal yang tidak kalah
86
penting dalam memberdayakan nelayan, khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan, sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran disekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya (Fatoni 2008).