TINJAUAN PUSTAKA Daging Ayam Daging unggas adalah jaringan otot, kulit yang melekat, dan organ yang dapat dikonsumsi dari spesies burung atau ayam yang umum digunakan untuk makanan (ICMSF 2005). Daging ayam merupakan daging yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan daging lain seperti daging sapi, kerbau, kambing atau domba sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat konsumen dari berbagai tingkat ekonomi. ICMSF (2005) menyatakan bahwa daging ayam tidak seperti daging merah, lemak pada daging merah didistribusikan ke seluruh jaringan. Sebagian besar lemak pada ayam ditemukan tepat di bawah kulit dan di rongga perut. Relatif mudah menghilangkan lemak dari daging ayam dibandingkan dengan daging sapi ketika memproduksi produk rendah lemak. Kualitas daging dan jumlah lemak bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, anatomi, dan spesies. Daging ayam merupakan protein hewani yang baik karena mengandung asam amino esensial yang lengkap serta vitamin dan mineral penting. Setiap 100 gram daging ayam mengandung 74% air, 22% protein, dan dari 4% sisanya terkandung 13 mg kalsium, 190 mg fosfor, dan 1.5 mg besi. Daging ayam pun kaya vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Daging ayam memiliki serat yang pendek dan lunak sehingga mudah dicerna serta memiliki kandungan lemak daging yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging merah lainnya seperti sapi atau kerbau. Komposisi lemak daging ayam tersusun oleh asam lemak tak jenuh berantai ganda (Kementan 2010a). Daging ayam yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) adalah daging yang diharapkan oleh semua konsumen karena terjamin kualitasnya.
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil peternakan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, harus memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal. Aman berarti tidak mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan fisik atau bahanbahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Sehat dalam arti mengandung
5 zat-zat yang bergizi dan berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan. Utuh artinya tidak tercampur bagian lain dari hewan lain. Halal dalam arti hewan dipotong dan ditangani sesuai dengan syariat Agama Islam. Pelaku bisnis yang terlibat dalam proses pemotongan ayam hingga perdagangan daging ayam sangat banyak dan beragam dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan. Latar belakang yang beragam ini menimbulkan banyak terjadi penyimpangan dan pencemaran dalam penanganan dan perdagangan daging ayam baik di pasar maupun di tempat pemotongan ayam.
Mikrobiologi Daging Ayam Pangan asal hewan bersifat mudah rusak karena memiliki nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh. Menurut Purnawijayanti (2001) daging ayam termasuk ke dalam bahan makanan yang memiliki sifat sangat mudah rusak (perishable food products), yaitu makanan yang tidak stabil dan mudah membusuk. Daging ayam dengan kandungan nutrisi dan kadar air yang tinggi, serta material lain yang terlarut dalam air membuat daging dan produknya menjadi media yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Selain
kandungan nutrisi, terdapat faktor intrinsik lain dan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging.
Faktor intrinsik
tersebut meliputi pH, aktivitas air, potensial reduksi oksidasi, zat antimikrobial, serta struktur biologi. Faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging meliputi temperatur penyimpanan, kelembaban relatif lingkungan, keberadaan dan konsentrasi gas, serta keberadaan dan aktivitas mikroorganisme lainnya (Jay 2000). Di sisi lain, kondisi hewan itu sendiri, kondisi lingkungan, dan kondisi pengolahan dengan keragaman mikroflora menyebabkan daging dan produk daging rentan terhadap pembusukan dan sering tercemar mikroorganisme patogen. Karkas daging yang tercemar mikroorganisme patogen jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Fernandes 2009). Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang higienis dan sanitasi yang baik untuk mengatasi dan atau mengurangi pencemaran pada daging ayam karena segala
6 sesuatu yang dapat berkontak dengan daging secara langsung atau tidak, dapat menjadi sumber cemaran mikrobial.
Karakteristik Salmonella Salmonella adalah salah satu penyebab utama foodborne disease di seluruh dunia. Menurut D’Aoust (2001) yang dikutip oleh Garcia dan Heredia (2009) genus Salmonella dibagi menjadi dua jenis, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Sampai saat ini, lebih dari 2500 serovar Salmonella enterica telah diidentifikasi dan kebanyakan serovar memiliki potensi untuk menginfeksi berbagai spesies hewan dan manusia. Menurut Clavijo et al. (2006) yang dikutip oleh Garcia dan Heredia (2009) serovar dari Salmonella enterica dapat berbeda dalam hal host specificity, klinis, dan karakteristik epidemiologis.
Sebagai
contoh, serovar Typhi hanya dapat menginfeksi manusia, sedangkan serovar Typhimurium dan Enteritidis dapat menginfeksi berbagai host, termasuk manusia, tikus, dan unggas.
Serovar juga menunjukkan rute transmisi yang berbeda.
Typhimurium lebih mudah menular ke manusia melalui daging ayam, sedangkan Enteritidis umumnya menular ke manusia melalui telur ayam.
Berdasarkan
taksonomi, klasifikasi Salmonella sebagai berikut (Garcia dan Heredia 2009): Kingdom: Bacteria Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Salmonella adalah bakteri mesofilik golongan Enterobacteriaceae, Gram negatif berbentuk batang, tidak berspora, berukuran 0.5-0.7 × 1.0-3.0 µm dengan besar koloni rata-rata 2-4 mm, dan umumnya motil dengan flagela peritrikus. Bakteri ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada temperatur 547 °C dengan pertumbuhan optimum 35-37 °C. Namun, ada beberapa serovar yang mampu tumbuh pada temperatur 4 °C.
Salmonella sensitif terhadap
temperatur tinggi dan dapat mati dengan proses pasteurisasi. Dalam makanan beku,
jumlah
Salmonella
menurun
perlahan-lahan
karena
temperatur
7 penyimpanan menurun (Karsinah et al. 1994; Adams dan Moss 2008; Fernandes 2009). Salmonella memiliki rentang pertumbuhan pada pH 3.8-9.5 dengan kondisi yang ideal dan keasaman yang sesuai.
Pertumbuhan Salmonella mencapai
optimum pada pH antara 6.5-7.5. Beberapa serovar dapat mati pada pH di bawah 4.0, tergantung tipe keasaman dan temperatur (Fernandes 2009). Isolat bakteri Salmonella dikenal dengan sifat-sifat gerak positif, katalase positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif. Bakteri ini memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNA-se, fenilalanin deaminase, urease, oksidase, Voges-Proskauer, reaksi fermentasi terhadap sukrosa, laktosa, adonitol, serta tidak tumbuh dalam larutan KCN (Karsinah et al. 1994). Sebagian besar isolat Salmonella menghasilkan H2S.
Salmonella yang
ditumbuhkan pada agar SS, Endo, EMB, dan MacConkey koloninya berbentuk bulat, kecil, dan tidak berwarna, pada agar Wilson-Blair koloni ini berwarna hitam (Adams dan Moss 2008). Dalam air, bakteri dapat bertahan selama 4 minggu. Hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu, tahan terhadap zat warna brilliant green, senyawa natrium tetrationat, dan natrium deoksikholat. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan koliform sehingga dapat digunakan dalam media untuk isolasi Salmonella dari tinja (Karsinah et al. 1994). Salmonella memiliki kemampuan untuk melekat (kolonisasi) dan masuk (invasi) ke dalam sel epitel kolumnar usus (enterosit) di usus halus, khususnya pada sel M yang melapisi daun peyer. Pada saat bakteri mendekati lapisan epitel, brush border berdegenerasi dan kemudian bakteri masuk ke dalam sel, dikelilingi membran sitoplasma yang inverted seperti vakuola fagositik, kemudian melalui lapisan epitel masuk ke dalam jaringan subepitel sampai di lamina propria. Kadang-kadang penetrasi terjadi pada intercellular junction.
Mekanisme
biokimia saat penetrasi tidak diketahui dengan jelas tetapi tampak seperti proses fagositosis. Setelah penetrasi, organisme difagosit oleh makrofag, berkembang biak, dan dibawa oleh makrofag ke bagian tubuh yang lain (Karsinah et al. 1994; Bailey et al. 2010). Kemampuan Salmonella untuk hidup intraseluler mungkin disebabkan adanya antigen permukaan (antigen Vi). Beberapa spesies Salmonella mampu
8 menghasilkan toksin.
Endotoksin S. enterica serovar Typhi berperan pada
patogenesis demam tifoid karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat berkembang biak.
Demam tifoid disebabkan karena S.
enterica serovar Typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Endotoksin dapat
mengaktivasi kemampuan kemotaktik dari sistem komplemen yang menyebabkan lokalisasi sel leukosit pada lesi di usus halus.
Beberapa spesies Salmonella
menghasilkan enterotoksin yang serupa dengan enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri E. coli enteropatogen baik yang termolabil maupun yang termostabil (Karsinah et al. 1994). Bakteri Salmonella mempunyai predileksi pada epitel vili, menunjukkan adanya reseptor yang spesifik. Dalam waktu 24 jam, bakteri telah sampai lamina propria kemudian terjadi infiltrasi sel radang yang hebat.
Manifestasi klinik
salmonelosis pada manusia dapat dibagi dalam empat sindrom, yaitu gastroenteritis, demam, bakterimia-septikemia, dan carrier yang asimptomatik (Karsinah et al. 1994). Gejala yang timbul pertama kali saat gastroenteritis adalah mual dan muntah, diikuti dengan nyeri abdomen kemudian demam.
Diare merupakan
gejala yang paling menonjol dan pada kasus yang berat dapat berupa diare berdarah. Pada bakterimia-septikemia, gejala yang menonjol adalah panas dan bakterimia.
Adanya Salmonella di dalam darah merupakan risiko tinggi
terjadinya infeksi dan atau abses metastatik. Semua individu yang terinfeksi oleh Salmonella mengeksresikan bakteri tersebut dalam tinja untuk jangka waktu yang bervariasi dan disebut sebagai carrier (Karsinah et al. 1994).
Salmonella pada Daging Ayam Infeksi Salmonella enterica terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia meskipun inisiatif pendidikan dan pelatihan banyak dilakukan untuk meningkatkan praktik higiene dan sanitasi. Faktor lingkungan dan hewan dalam rantai makanan manusia menyebabkan penyakit ini menjadi sulit diberantas. Fakta menunjukkan bahwa Salmonella yang resisten terhadap antibiotika yang ada meningkatkan masalah (Garcia dan Heredia 2009).
9 Dalam industri unggas, Salmonella dan Campylobacter spp. merupakan bakteri patogen paling penting. Unggas hidup diketahui sebagai sumber utama dari bakteri ini sehingga dapat menjadi pencemar karkas pada proses pemotongan. Konsumsi daging unggas mentah atau kurang matang yang tercemar bakteri Salmonella sangat berpotensi menimbulkan infeksi pada manusia.
Di antara
sejumlah besar serovar Salmonella yang ada, relatif sedikit yang berhubungan dengan unggas, tetapi hampir semua serovar yang muncul mampu menyebabkan gastroenteritis pada manusia sehingga diperlukan kontrol dalam manajemen perunggasan (Mead 2004b). Salmonella umumnya ada dalam saluran pencernaan sapi, babi, unggas, dan spesies hewan lainnya dan dapat dipindahkan ke manusia melalui rantai makanan. Umumnya makanan yang tercemar Salmonella dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Jenis makanan tersebut meliputi unggas dan produk unggas, telur dan produk telur, daging babi, daging sapi, susu dan produk susu, makanan laut, buahbuahan segar, dan sayuran (Garcia dan Heredia 2009). Dalam sebuah studi tentang Salmonella dalam pangan, sebanyak 34.8% daging ayam positif mengandung Salmonella dari 69 daging ayam yang diperiksa. Dari hasil tersebut, teridentifikasi 11 serovar yang paling banyak ditemukan, yaitu S. Muenchen.
Hasil studi lain tentang Salmonella dalam produk pangan di
Venezuela menunjukkan bahwa sebanyak 41 sampel dari 45 sampel daging ayam yang diteliti positif mengandung Salmonella, teridentifikasi 11 serovar yang paling banyak diisolasi, yaitu S. Anatum. Secara umum, di Amerika Serikat 70% karkas ayam broiler telah ditemukan tercemar dengan bakteri Salmonella. Organisme ini tampaknya tidak hanya berasal dari flora normal ayam, tetapi juga diperoleh dari lingkungan melalui hewan lain, serangga, hewan pengerat, pakan ayam, dan manusia (Jay 2000). Sebuah hasil penelitian di Inggris pada tahun 2001 menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran Salmonella pada ayam sebesar 5.7% dan pada tahun 2003 ditemukan pencemaran Salmonella pada kerabang telur sebesar 0.34%. Pengujian di Amerika Serikat selama tahun 2003 menunjukkan bahwa sebesar 3.6% dari sampel daging dan ayam tercemar Salmonella (Lawley et al. 2008).
10 Secara rinci prevalensi Salmonella pada daging ayam di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Prevalensi Salmonella sp. pada sampel daging di beberapa negara Jenis sampel
Lokasi
Prevalensi
Pustaka
Daging ayam
Venezuela
34.8%
Jay (2000)
Daging ayam
Venezuela
91.1%
Jay (2000)
Daging ayam segar
Pasar, Inggris
4.2%
Corry et al. (2002)
Daging ayam beku
Pasar, Inggris
9.8%
Corry et al. (2002)
Daging ayam (sayap)
Turki
8.57% (27 dari 315)
Goncagul et al. (2005)
Daging ayam
Senegal
43.3%
Cardinale et al. (2005)
Jeroan ayam
Vietnam Utara
3.09% (28 dari 907)
Hanh et al. (2006)
Jeroan ayam
Vietnam Selatan
6.7% (22 dari 326)
Hanh et al. (2006)
Daging ayam
Pasar, Hanoi, Vietnam
48.9%
Huong et al. (2006)
Daging ayam
Pasar tradisional, Kathmandu, Nepal
14.5% (8 dari 55)
Maharjan et al. (2006)
Daging ayam
RPU, Barat laut Spanyol
17.9% (60 dari 336)
Capita et al. (2007)
Daging dan daging ayam
Inggris
3.6%
Lawley et al. (2008)
Daging ayam mentah
Isfahan, Iran
17.91% (24 dari 134)
Jalali et al. (2008)
Daging ayam matang
Isfahan, Iran
5.35% (3 dari 56)
Jalali et al. (2008)
Daging ayam
Fargo, Dakota Utara Metropolitan
4% (5 dari 123)
Kegode et al. (2008)
Daging kalkun
Fargo, Dakota Utara Metropolitan
9.2% (8 dari 87)
Kegode et al. (2008)
Jeroan ayam
Meksiko
16.9%
Zaidi et al. (2008)
Daging ayam
Meksiko
21.3%
Zaidi et al. (2008)
Daging ayam
Maroko
4.7%
Bouchrif et al. (2009)
Daging ayam
Faisalabad, Pakistan
30% (26 dari 85)
Akhtar et al. (2010)
Daging kalkun
Pasar daging, Ankara, Turki
45.8% (110 dari 240)
Iseri dan Erol (2010)
Daging ayam mentah
Pasar, Thailand
48%
Minami et al. (2010)
Daging ayam mentah
Supermarket, Thailand
57%
Minami et al. (2010)
Daging ayam broiler
Hyderabad, Pakistan
38% (38 dari 100)
Soomro et al. (2010)
11 Menurut Raharjo (1999) yang dikutip oleh Djaafar dan Rahayu (2007) daging unggas cocok untuk perkembangan mikroba karena unggas dalam masa hidupnya terpapar dengan lingkungan yang kotor. Berdasarkan hasil penelitian, ketidakamanan daging unggas dan produk olahannya di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pengetahuan peternak, kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan. Djaafar dan Rahayu (2007) menyatakan cemaran Salmonella pada peternakan ayam di daerah Sleman Yogyakarta mencapai 11.4% pada daging dan 1.4% pada telur. Menurut Mead (2004a) yang dikutip oleh Hulankova et al. (2010) pencemaran daging ayam oleh Salmonella di rumah potong unggas (RPU) dapat terjadi saat proses pemotongan ayam. Pada saat pengeluaran jeroan (eviserasi), feses yang mengandung Salmonella dapat keluar dari usus yang menyebabkan terjadinya pencemaran silang, maka bakteri Salmonella menyebar dan mencemari karkas selama proses di RPU.
Mikroorganisme ini dapat dengan mudah
berpindah dari satu karkas ke karkas lain melalui tangan pekerja yang tercemar Salmonella selama proses eviserasi, sarung tangan, dan alat pengolahan (Marriott 1997). Proses pencucian karkas yang meliputi penyemprotan karkas dan pendinginan tidak dapat sepenuhnya menghilangkan Salmonella dari permukaan karkas. Beberapa serovar Salmonella juga dapat bertahan di lingkungan ruang pemotongan RPU hingga lima hari meskipun telah dilakukan pembersihan dan disinfeksi harian. Hasil studi menunjukkan bahwa pencemaran Salmonella pada daging ayam tidak hanya terjadi saat proses pemotongan ayam, tetapi juga dapat terjadi pencemaran dari lingkungan pemotongan yang tercemar (Hulankova et al. 2010). Selain itu, pencemaran Salmonella pada daging ayam juga dapat terjadi saat proses penjualan di lokasi penjualan yang tercemar. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, pemeriksaan Salmonella dalam daging ayam segar, beku (karkas dan tanpa tulang), dan cincang harus negatif dalam 25 gram sampel (BSN 2009). Hal ini menunjukkan bahwa daging ayam harus bebas dari cemaran bakteri Salmonella yang dapat membahayakan konsumen.
12 Prevalensi Salmonella Salmonelosis adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella. Salmonella merupakan salah satu foodborne pathogen yang menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat baik di negara berkembang maupun negara maju. Di seluruh dunia, tercatat setiap tahunnya terjadi 16 juta kasus demam tifoid, 1.3 miliar kasus gastroenteritis, dan 3 juta kematian akibat Salmonella (Bhunia 2008). Salmonelosis, terutama insidensi demam tifoid, pada umumnya sangat tinggi pada negara berkembang. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600000 diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia (Utami 2010). Pada tahun 2005, tercatat lebih dari 181000 kasus salmonelosis dilaporkan di 27 negara di Eropa.
Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 kejadian
salmonelosis masih sekitar 15 kasus per 100000 penduduk (Lawley et al. 2008). Centers for Disease Control and Prevention (2011) melaporkan bahwa telah terjadi 190 penyakit akibat wabah Salmonella Heidelberg di 6 negara bagian Amerika Serikat.
Jumlah penderita yang teridentifikasi dari masing-masing
negara sebanyak 109 orang (New York), 62 orang (New Jersey), 10 orang (Pennsylvania), 6 orang (Maryland), 2 orang (Ohio), dan 1 orang (Minnesota). Salmonelosis merupakan masalah global terutama di negara dengan praktik higiene yang buruk. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella Typhimurium dan Salmonella Paratyphi A. Salah satu tipe salmonelosis yaitu demam tifoid, prevalensinya di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 358-810 kasus per 100000 populasi dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas bervariasi antara 3.1-10.4% pada pasien rawat inap (Utami 2010). Hasil Riset Dasar Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1.6% dan menempati urutan 15 besar penyebab kematian (Yuanita 2010). Salmonella biasanya menginfeksi manusia melalui makanan yang berasal dari hewan yang terinfeksi atau tercemar oleh kotoran hewan atau manusia yang terinfeksi Salmonella (Karsinah et al. 1994). Hingga tahun 2011, Salmonella
13 masih menjadi penyebab penyakit penting pada manusia di Amerika Serikat. Prevalensi kejadian salmonelosis di Amerika Serikat terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2 Prevalensi salmonelosis di Amerika Serikat Kasus
Lokasi
Prevalensi
Penyebab
Pustaka
Gastroenteritis Virginia
63%
Kebab ayam (S. Typhimurium)
Kurkijan et al. (2007)
Gastroenteritis Pennsylvania
48%
Susu mentah (S. Typhimurium)
Ho Chen et al. (2007)
Salmonelosis
Georgia
83%
Restoran cepat saji (S. Montevideo)
Wiersma et al. (2006)
Salmonelosis
Amerika Serikat
75% (54 dari 72)
Kontak dengan unggas hidup (S. Montevideo)
Sharapov et al. (2007)
Salmonelosis
Amerika Serikat
97% (34 dari 35)
Makanan ringan nabati (S. Wandsworth; S. Typhimurium)
Sheth et al. (2007)
Salmonelosis
Amerika Serikat
79% (34 dari 43)
Kontak dengan pakan anjing (S. Schwarzengrund)
Behravesh et al. (2007)
Salmonelosis
Amerika Serikat
72% (127 dari 176)
Mody et al. (2007)
Salmonelosis
Amerika Serikat
20% (70)
Makanan beku (S. serotype I 4,[5],12:i:) Selai kacang (S. Tennessee)
Sheth (2007)
Pengujian Keberadaan Salmonella pada Makanan Metode isolasi dan identifikasi Salmonella dalam makanan mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan bakteri patogen lainnya. Dengan teknik kultur, terdapat lima tahap metode pengujian yang telah dikenal secara luas, terdiri atas tahap pra-pengayaan, pengayaan, isolasi, identifikasi, dan tahap pengujian konfirmasi.
Tahap pra-pengayaan dalam media nonselektif bertujuan untuk
meningkatkan pemulihan Salmonella melalui perbaikan sel-sel yang telah rusak. Kerusakan tersebut dapat terjadi akibat kondisi yang merugikan yang mungkin terjadi selama pengolahan pangan seperti kondisi dingin, beku, atau pengeringan (Adams dan Moss 2008).
14 Menurut Adams dan Moss (2008) tahap pengayaan dengan media selektif bertujuan untuk meningkatkan proporsi sel Salmonella dalam mikroflora total yang mungkin berkembang biak dengan membatasi pertumbuhan mikroorganisme lain. Dalam hal ini, beberapa media dengan bahan selektif yang berbeda dapat digunakan, seperti empedu, brilliant green, malachite green, tetrathionate, dan selenite.
Selenite-cystine broth yang paling banyak digunakan ialah yang
mengandung asam amino sistin untuk merangsang pertumbuhan Salmonella; Muller Kauffman tetrathionate broth mengandung tetrathionate, brilliant green, dan empedu; Rappaport-Vassiliadis (RV) broth mengandung malachite green, magnesium chloride, dan pH yang rendah sebagai faktor selektif.
Adanya
perbedaan dalam hal selektivitas menjadi alasan penggunaan dua media secara paralel dalam pengujian Salmonella. Kandungan beberapa bahan selektif pada media pengayaan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Bahan selektif pada beberapa media utama untuk pengayaan Salmonella (konsentrasi dalam g/l) (Busse 1995) Tetrathionate broth
Selenite broth Leifson
Selenite brilliant green
USP*
ISO*
4.0
4.0
-
Na-thiosulphate
-
-
MgCl2.6H2O
-
Malachite green oxalate
Rappaport (original)
RV
Rappaport semisolid
-
-
-
-
40.7
30.0
-
-
-
-
-
-
28.6
28.6-36.0
17.3-23.3
-
-
-
-
108 mg
36 mg
37-65 mg
Brilliant green
-
5 mg
10 mg
10 mg
-
-
-
Na-taurocholate
-
1.0 mg
-
-
-
-
-
Garam empedu
-
-
4.75
1.0
-
-
-
Bahan selektif NaHSeO3
*United States Pharmacopoeia (USP); International Organization for Standardization (ISO) Perumusan USP Tetrathionate broth tidak selalu mengandung Brilliant green
Dari tahap pengayaan dengan media selektif, selanjutnya dilakukan kultur dengan goresan pada media solid selektif menggunakan dua media yang berbeda secara paralel.
Bahan selektif yang digunakan adalah garam empedu atau
deoxycholate dan atau brilliant green. Identifikasi Salmonella umumnya dilihat melalui produksi hidrogen sulfida dan ketidakmampuan Salmonella dalam memfermentasi laktosa.
Oleh karena itu, media yang digunakan dipilih
15 berdasarkan perbedaan kemampuan Salmonella dalam reaksi dengan media untuk memperoleh hasil yang akurat (Adams dan Moss 2008). Kandungan beberapa bahan selektif pada media untuk deteksi Salmonella dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Bahan selektif pada beberapa media (plate) utama untuk deteksi Salmonella (konsentrasi dalam g/l) (Busse 1995)
Bahan selektif Deoxycholate
Deoxycholate citrate-agar
SS agar a
Hektoen agar b
XLDagar b
Brilliantb green-agar
Bismuthb sulphite
0.5-5.0
-
-
1.0
-
-
-
9.0
8.5
-
-
-
Citrates
2.0-20.0
8.5-10.0
1.5
0.8
-
-
Thiosulphate
0.0-5.4
8.5
5.0
6.8
-
-
Bismuth sulphite
-
-
-
-
-
1.3
Na-sulphite
-
-
-
-
-
6.15
Brilliant green
-
0.3 mg
-
-
4.7-12.5 mg
16-25 mg
Acid fuchsin
-
-
100 mg
-
-
-
Garam empedu
a b
Baird et al. (1987) dalam volume
Dampak Salmonella pada Kesehatan Masyarakat Infeksi Salmonella pada manusia menimbulkan salmonelosis yang berbahaya bagi kesehatan.
Beberapa serovar Salmonella memiliki spektrum
terbatas, seperti S. Typhi dan S. Paratyphi pada manusia yang menyebabkan demam tifoid (Lawley et al. 2008). Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan Salmonella akan mengalami diare, demam, muntah, dan perut kram 12-72 jam setelah infeksi sehingga menyebabkan dehidrasi dan sakit kepala. Pada pasien dengan diare yang parah, infeksi Salmonella dapat menyebar dari usus ke darah dan kemudian ke bagian tubuh lainnya dan dapat menyebabkan kematian, kecuali orang tersebut segera mendapat pengobatan dengan antibiotika. Orang tua, bayi, dan individu dengan sistem kekebalan yang terganggu lebih cenderung mengalami gejala penyakit yang parah (Bailey et al. 2010). Dosis infektif diperkirakan bervariasi dan tergantung pada serovar Salmonella yang terlibat, tingkat imunitas individu yang mengonsumsi makanan yang tercemar, dan jenis makanan. Jumlah Salmonella yang sedikit (10-100 sel bakteri) dapat menyebabkan penyakit jika dikonsumsi oleh anak-anak dan orang
16 tua, atau jika makanan yang dikonsumsi mengandung lemak tinggi karena dapat melindungi sel bakteri dari asam lambung. Secara umum jumlah Salmonella pada kisaran 105-106 sel bakteri dalam makanan telah dapat menyebabkan infeksi jika dikonsumsi oleh manusia (Lawley et al. 2008). Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Salmonella Masalah pencemaran Salmonella pada makanan harus mendapat perhatian untuk mencegah salmonelosis. Pendekatan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sangat penting dilakukan sebagai pengendalian yang efektif dari pencemaran Salmonella pada makanan. Pengendalian Salmonella pada makanan harus dimulai dari hulu (pertanian) dengan memproduksi produk atau hewan yang sehat sebagai bahan baku makanan (Lawley et al. 2008). Tidak ada vaksin untuk mencegah salmonelosis. Menurut CDC (2010) tindakan pencegahan salmonelosis dapat dilakukan dengan memperhatikan higiene sanitasi, serta pemilihan dan pengolahan makanan yang akan dikonsumsi. Tangan harus dicuci sebelum menangani makanan dan ketika menangani jenis makanan yang berbeda.
Talenan, pisau, dan peralatan lainnya harus dicuci
dengan bersih setelah digunakan untuk makanan mentah. Makanan yang berasal dari hewan berisiko tercemar bakteri Salmonella, oleh karena itu bahan pangan asal unggas dan daging harus dimasak dengan baik dan dianjurkan untuk dikonsumsi dalam kondisi matang. Penyimpanan daging mentah harus terpisah dengan makanan matang. Pencegahan dan pengendalian pencemaran Salmonella pada makanan, khususnya daging ayam, dapat dilakukan dengan memperhatikan kebersihan lingkungan peternakan ayam, tempat pemotongan, tempat penyimpanan, serta pengelolaan limbah dan kotoran sisa pemotongan pada tempat pemotongan. Sanitasi dan higiene personal para pekerja yang diterapkan dengan baik selama proses
pemotongan,
pengemasan,
transportasi,
dan
penjualan
dapat
meminimumkan pencemaran dan meningkatkan kestabilan produk (Marriott 1997). Pencegahan terhadap penyebaran agen penyakit dari penderita salmonelosis ke makanan, baik pada penanganan dan pengolahan di rumah tangga maupun industri makanan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
17 Individu yang terinfeksi Salmonella akan mengeluarkan sejumlah bakteri dalam tinja sehingga dapat menimbulkan pencemaran silang pada makanan melalui tangan ke permukaan peralatan maupun ke permukaan makanan.
Dengan
demikian, individu yang terlibat langsung dalam proses pengolahan makanan perlu mendapat perhatian dan pengawasan khusus jika dicurigai terinfeksi Salmonella (Garcia dan Heredia 2009). Salah satu tindakan pencegahan adalah dengan membiasakan masyarakat hidup bersih dan tanggap akan keamanan pangan. Hal tersebut dapat dilakukan mulai dari hal-hal yang sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun sekurangkurangnya 10 detik, mencuci daging sebelum dimasak, memasak daging hingga matang, serta menyimpan daging pada temperatur yang sesuai (Anonim 2008). Di sisi lain, kebersihan tempat penjualan daging ayam dan praktik higiene personal pedagang ayam perlu diperhatikan untuk mencegah pencemaran Salmonella pada daging ayam yang dapat membahayakan kesehatan manusia.