61
5 STRATEGI PERBANYAKAN PINUS MERKUSII KANDIDAT BOCOR GETAH 5.1 Pendahuluan Hasil-hasil penelitian pada bab 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara genetika dan anatomi kayu, kandidat bocor getah berbeda dengan pinus normal. Pinus bocor getah sudah dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfogenetika dan struktur anatomi kayu perlu dikembangkan melalui beberapa strategi antara lain cangkok, stek, dan grafting (sambung) sebagai salah strategi perbanyakan jangka pendek (shortcut). Sesuai dengan Surat Direksi No. 289/041.6/Can/Dir Tanggal 24 September 2010 perihal Penyusunan Redesain Pengelolaan Sumber Daya Hutan dengan salah satu kesimpulan pentingnya mengenai penggunaan bibit unggul kandidat bocor getah untuk kegiatan penanaman mulai tahun 2011, maka diperlukan bibit bocor getah yang cukup banyak untuk penanaman seluruh areal Perum Perhutani. Strategi pencapaian yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan penanaman pinus bibit unggul dalam jangka pendek adalah dengan melakukan perbanyakan secara vegetatif. Namun cara ini juga terkendala karena pohon plus terpilih ratarata berumur cukup tua dengan tingkat peremajaannya rendah yang berakibat rendahnya persentase keberhasilan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah memadai dan tepat waktu, sedangkan penanaman untuk uji keturunan baru dilaksanakan tahun 2007 sehingga diharapkan mampu menghasilkan benih generatif pada 2017. Perbanyakan vegetatif merupakan cara yang cukup prospektif dikembangkan, terutama untuk perbanyakan tanaman terseleksi dari hasil uji keturunan dan pembangunan kebun benih klonal dari materi yang jelas asal usulnya (Mergen dan Simpson 1964). Teknik perbanyakan vegetatif juga memberikan peluang untuk memperbanyak pohon-pohon plus terpilih dengan sifat genetika sesuai keinginan dan menghasilkan bahan tanaman dengan sifat genetika yang terpilih dan bersifat seragam (Suton 2002; Ragonezi et al. 2010). Metode perbanyakan vegetatif melalui stek, cangkok dan sambung merupakan cara yang umum digunakan, namun untuk P.merkusii persentase keberhasilannya bervariasi dan cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur tanaman. Oleh karena itu penggunaan materi vegetatif dari tanaman muda sangat direkomendasikan pada perbanyakan pinus (Mehra et al. 1983). Untuk memperoleh bahan vegetatif yang muda, beberapa cara dapat dilakukan diantaranya melalui teknik cangkok, sambung, stek secara berulang (Cameron 1980) maupun aktifasi tunas dorman (tunas interfascicular) pada tunas daun jarum. Tunas interfascicular (dwarft shoot; spur shoot; brahcyblast; fascicle; needle bundles) merupakan tunas daun jarum yang tertutup oleh seludang (sheath) dan memiliki pangkal serta ujung tunas yang kecil (Toda 1948). Pada dasarnya tunas interfascicular merupakan tunas dorman yang pemunculannya dipengaruhi oleh faktor endogen tanaman seperti ketersediaan nutrisi, hormon dan karbohidrat di organ tanaman berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pemanjangan
62
tunas (Lanner 1988; Kozlowski dan Pallardy 1996). Tunas dorman yang tidak aktif ini dapat diaktivasi melalui beberapa cara, salah satunya dengan penggunaan hormon sitokinin. Keberhasilan aktifasi tunas interfascicular dengan penggunaan sitokinin dan penghambatan dominasi apikal telah dilaporkan oleh Bhuiyan et.al. (2009) pada tanaman colocasi, yuka (Kozak 2010), P. sylvestris (Mulgrew dan William 1984) dan P. strobus (Cohen dan Shanks 1975; Hinesley dan Wright 1989). Teknik stek pucuk juga memberikan peluang untuk mengatasi permasalahan perbanyakan pinus kandidat bocor getah. Pemilihan teknik stek pucuk untuk kandidat bocor karena persentase keberhasilannya relatif lebih tinggi dibanding teknik perbanyakan vegetatif lain (cangkok dan grafting) serta adanya peningkatan perolehan genetika dan peningkatan keseragaman material penanaman (Zobel dan Talbert 1984). Beberapa penelitian pemanfaatan teknik stek pucuk dari material muda jenis pinus telah dilaporkan pada P.caribaea (Henrique et al. 2006), P.radiata (Cameron 1980), P. muricata (Miliar 1987), P. taeda (Ishik et al. 2004), P. merkusii (Kertadikara et al.1996) dan P. roxburghii (Sharma dan Verma 2012). Namun dalam pelaksanaannya beberapa faktor seperti konsentrasi auksin (Thatoi et al. 2000), umur tanaman (Wise et al. 1985) dan kondisi tanaman donor (Uniya et al. 2011) mempengaruhi keberhasilan teknik ini. Teknik grafting atau dikenal dengan teknik sambung merupakan cara perbanyakan vegetatif yang umum digunakan untuk perbanyakan tanaman dengan tujuan mendapatkan sifat tertentu sesuai dengan yang diharapkan (Darikova et al. 2011). Perbanyakan dengan sambung banyak diminati karena mampu menjaga kestabilan genetika dari sifat unggul tertentu dibandingkan dengan perbanyakan secara generatif (Leakey 1985) dan prospektif untuk diaplikasikan pada jenis-jenis tertentu yang secara teknis sulit diakarkan, P. merkusii (Kertadikara et al. 1996); P. sylvestris (Anderson dan Hattemer 1978). Namun demikian keberhasilan teknik grafting juga tidak terlepas dari peranan beberapa faktor seperti kombinasi rootstock-scion, teknik perbanyakan, kondisi lingkungan selama dan setelah grafting dilakukan, aktifitas pertumbuhan dari bahan sambungan, kontaminasi hama dan penyakit serta peranan zat pengatur tumbuh (Hartmann et al. 2002). Selain faktor-faktor tersebut faktor genetika, fisiologi serta anatomi bahan grafting juga menentukan kompatibilitas dan pembentukan sambungan grafting (Leakey 1985). Lebih lanjut Mustard dan Lynch (1977) mengemukakan bahwa keberhasilan teknik grafting juga sangat ditentukan adanya proliferasi jaringan kalus di antara komponen daerah sambungan dan keberadaan jaringan pembuluh yang merupakan asal pembentukan kalus. Oleh karena itu, studi morfologi dan anatomi sangat diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut mengenai kompatibilitas grafting. Berangkat dari permasalahan teknik perbanyakan jenis pinus yang sangat dipengaruhi oleh umur pohon, pertumbuhan yang terkait dengan fase reproduktif dan informasi keberhasilan pada pinus lain maka penelitian “Strategi Perbanyakan Pinus merkusii Kandidat Bocor Getah” dilakukan dengan tujuan mengembangkan teknik multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting untuk perbanyakan massal bibit kandidat bocor getah. Dengan diperolehnya informasi tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif solusi untuk pemenuhan bibit bocor getah bagi kegiatan penanaman dalam jangka pendek.
63
5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Bahan Bahan penelitian multiplikasi tunas interfascicular dan stek pucuk merupakan bibit pinus kandidat bocor getah berumur 1 tahun yang diperoleh dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor dan telah ditanam pada polybag plastik di rumah kaca SEAMEO-BIOTROP. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah 6-BAP (6-Benzylaminopurine) dengan konsentrasi 0 ppm dan 20 ppm untuk multiplikasi, sedangkan NAA (Napthalena acetic acid) konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm digunakan untuk perakaran stek. Pada penelitian ini digunakan juga ZPT komersial untuk akar (Rootone-F) dengan komposisi napthalena acetamid (0.067%), methyl-1-napthalena acetic Acid (0.033%), methyl-1-napthalena acetamida (0.013 %), indole-3-butyric acid (0.057%), thiram (4 %) dan inert ingredient (95.33%) sebanyak 5g/100 stek. Media kombinasi sabut kelapa:sekam dengan perbandingan 2:1 (v/v) digunakan untuk penanaman stek (Sakai et al. 2002). Untuk bahan evaluasi grafting, pohon P. merkusii umur 18 tahun hasil topcleft grafting yang dilakukan oleh Tim peneliti Dept. Silvikultur pada tahun 1994 dengan rootstock yang berasal dari Perum Perhutani KPH Cianjur (strain Aceh) dan scion berasal dari strain Kerinci dan Tapanuli di persemaian Dept. Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. 5.2.2 Metode 5.2.2.1 Multiplikasi tunas interfascicular Multiplikasi tunas interfascicular dilakukan dengan penghambatan dominasi apikal melalui pemotongan tunas utama dengan jarak 6 cm dari ujung titik tumbuh dan penyemprotan 20 ppm BAP selama 4 minggu berturut-turut. Pengamatan respon terhadap bibit yang telah diberi perlakuan, dilakukan seminggu sekali dengan variabel pengamatan meliputi waktu pemunculan tunas interfascicular baru, jumlah dan panjang tunas interfascicular, penambahan tinggi bibit, warna serta pengamatan morfologi lainnya yang terkait. Sebagai data pendukung maka akan dilihat juga anatomi tunas bibit yang digunakan untuk multiplikasi. Percobaan faktorial dengan pola dasar acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor perlakuan (dua) faktor digunakan pada penelitian ini. Faktor pertama: penghambatan dominasi apikal (pemotongan dan tanpa pemotongan tunas utama) dan faktor kedua: konsentrasi BAP (tanpa BAP, 20 ppm) dengan ulangan masing- masing 5 bibit, sehingga total bahan tanaman yang digunakan sebanyak 20 bibit. 5.2.2.2 Stek pucuk Pembuatan stek dilakukan dengan pemotongan pucuk bibit donor terpilih sepanjang 7-10 cm dari ujung titik tumbuh dan disimpan dalam ember yang berisi air steril untuk menjaga kesegaran stek. Pucuk yang diperoleh dari persemaian selanjutnya dicuci dengan air mengalir, diikuti dengan perendaman (masingmasing 15 menit) secara berturut-turut dalam larutan arang aktif (900 mg/l) dan
64
(450 mg/l), akuades, fungisida dan terakhir direndam dengan ZPT (Kertadikara et al. 1996 yang dimodifikasi) untuk selanjutnya ditanam di media pot-tray dan diletakkan pada sungkup propagasi. Sungkup propagasi selanjutnya ditutup dan diletakkan pada rumah kaca KOFFCO system dengan pemeliharaan secara rutin. Pengamatan kualitas perakaran dilakukan melalui pengecekan akar setelah stek berumur 3 bulan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan perlakuan konsentrasi NAA (0 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm) dan ZPT komersial (5 g/100 stek). Masing-masing perlakuan diwakili oleh 8 bahan stek sehingga jumlah total bahan stek yang diperlukan adalah 40 stek. 5.2.2.3 Evaluasi morfologi dan anatomi grafting Evaluasi grafting dilakukan melalui pemilihan sampel pohon berdasarkan pengamatan morfologi (kondisi scion, sambungan, rootstock, keragaan batang dan pertumbuhan diameter) menjadi 2 kategori yaitu kompatibel dan inkompatibel. Pengambilan sampel untuk evaluasi struktur anatomi dilakukan dengan melubangi batang pohon secara horizontal pada 4 arah mata angin di daerah bekas sambungan, 1 cm di bawah bekas sambungan (rootstock) dan 1 cm di atas daerah sambungan dengan menggunakan bor riap sampai dengan batas empulur. Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap sampel hasil pengeboran kayu untuk melihat kerusakan jaringan yang terjadi dan persentase jaringan baru yang terbentuk pada tiap-tiap daerah pengamatan. Pembuatan preparat mikroskopis digunakan untuk pengamatan mikroskopis dengan fokus kondisi daerah sambungan (interface). 5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Multiplikasi tunas interfascicular Sidik ragam (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa perlakuan pemotongan tunas dan penambahan BAP berpengaruh sangat nyata pada jumlah dan panjang tunas, namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan tinggi bibit. Sedangkan interaksi penghambatan dan penambahan BAP tidak mempengaruhi jumlah tunas, panjang tunas dan pertumbuhan tinggi tanaman pada 7 minggu setelah semprot (7 MSS). Tabel 5.1 Sidik ragam pengaruh penghambatan dominasi apikal dan penambahan ZPT pada jumlah tunas, panjang tunas dan pertambahan tinggi setelah 7 MSS (minggu setelah semprot) Faktor P value Panjang Jumlah Tinggi tunas Tunas Penghambatan dominasi apikal 0.006** 0.000** 0.744 ns Penambahan ZPT 0.000** 0.000** 0.220 ns Interaksi penghambatan dan 0.908ns 0.242 ns 0.563 ns Penambahan ZPT Keteragan: **: sangat berbeda nyata pada selang kepercayaan99% ns : tidak berbeda nyata
65
5.3.1.1 Jumlah tunas Penghambatan dominasi apikal (pemotongan tunas utama) dan penyemprotan tunas secara signifikan berpengaruh pada jumlah tunas. Penghambatan tunas apikal menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang banyak (5.6-14 tunas) berbanding (0-8.8 tunas) pada kondisi tanpa penghambatan tunas apikal. Hal tersebut sesuai dengan Zimmerman dan Brown (1971) yang menyatakan bahwa pemotongan tunas utama mampu merangsang pembentukan tunas interfascicular. Demikian juga dengan perlakuan penyemprotan BAP 20 ppm mampu menstimulasi pembentukan tunas baru pada bibit dengan pemotongan tunas (14 tunas) dan tanpa pemotongan tunas (8.8 tunas). Penelitian Keever dan Morrison (2003) juga menemukan hubungan yang linear antara peningkatan konsentrasi BAP dengan jumlah tunas pada pohon Nandina domestica. Perlakuan pemotongan tanpa pemberian tanpa BAP mampu mengasilkan 5.6 tunas baru, lebih rendah dibanding dengan penambahan BAP 20 ppm yang mampu menghasilkan rata-rata 14 tunas, sedangkan perlakuan tanpa pemotongan dan tanpa penyemprotan BAP tidak menghasilkan tunas interfascicular baru. Panestsos et al. (1994) pada penelitiannya dengan penyemprotan BA 100 mg/l dan pemotongan tunas pada hibrid P.brutia x P.halepensis mampu menginduksi terbentuknya tunas interfascicular baru. Hasil yang sama juga diperoleh pada P. caribaea (Inglis 1984) dan P. sylvestris (Philion et al. 1983). Peningkatan jumlah tunas tersebut terjadi karena hormon auksin yang disintesis pada bagian pucuk menurun dengan adanya pemotongan tunas utama, sehingga menyebabkan pengaliran aliran utama nutrisi organik dari pucuk ke meristem daun interfascicular. Penambahan sitokinin eksogen mampu mengaktifkan tunas dorman dan merangsang pembelahan mitosis pada tunas interfascicular serta menyebabkan penurunan kadar auksin pucuk (Panetsos et al. 1994). Walaupun secara umum menghasilkan tunas baru yang lebih banyak, namun pertumbuhan panjang tunas yang dihasilkan relatif tidak seragam. Hal tersebut sesuai dengan Rutink et al. (2007) yang menemukan adanya peranan faktor genetika dalam ekspresi pemunculan tunas interfascicular baru sehingga respon bibit hasil perlakuan akan berbeda-beda. 5.3.1.2 Panjang tunas Penghambatan dominasi apikal (pemotongan tunas utama) dan penyemprotan BAP berpengaruh sangat nyata pada panjang tunas. Perlakuan pemotongan tunas menghasilkan tunas-tunas baru yang lebih panjang (1.01-1.42 cm) dibandingkan tanpa pemotongan tunas (0-0.69 cm). Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama. Perlakuan pemotongan tunas mampu menstimulasi pembentukan tunas interfascicular baru dengan ukuran yang lebih panjang daripada kontrol (Rasmussen et al. 2003). Selanjutnya, menurut Bangert (1994) dan Li et al. (1995), perlakuan pemotongan tunas juga menyebabkan penurunan kadar auksin pada pucuk dan peningkatan kadar sitokinin pada pembuluh xylem serta peningkatan kandungan sitokinin pada jaringan batang dan tunas lateral di bawah titik pemotongan. Penyemprotan BAP 20 ppm mampu meningkatkan
66
panjang tunas yang dihasilkan (0.69-1.42 cm) dibandingkan dengan BAP 0 ppm (0-1.01 cm). Perbedaan panjang tunas dari perlakuan pemotongan dan tanpa pemotongan terlihat dari pola pemunculan tunas yang dihasilkan. Pada perlakuan pemotongan, tunas-tunas baru muncul di bagian bawah bekas potongan dengan ukuran yang relatif panjang, sedangkan pada tunas tanpa pemotongan dan penambahan BAP distribusi tunas tidak hanya ditemukan pada pada bagian bawah titik pemotongan namun juga pada ruas-ruas sisik sepanjang batang utama bibit dengan tunas yang relatif pendek. 5.3.1.3 Pertambahan tinggi Sidik ragam (5.1) menunjukkan perlakuan pemotongan tunas dan penyemprotan BAP dan serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi pertambahan tinggi bibit. Bibit tanpa pemotongan tunas memiliki pertambahan tinggi yang lebih besar (1.1-2.3 cm) dibanding dengan pemotongan tunas (1.642.12 cm). Perlakuan penyemprotan BAP 20 ppm ternyata menurunkan pertumbuhan tinggi bibit (1.1-1.64 cm) lebih rendah dibandingkan tanpa penyemprotan BAP (2.12-2.3 cm). Besarnya nilai pertambahan tinggi pada bibit tanpa pemotongan dan bibit tanpa penyemprotan BAP 20 ppm dikarenakan suplai nutrisi pada bibit digunakan untuk pertumbuhan tinggi pucuk secara tunggal, sedangkan pada bibit dengan kedua perlakuan tersebut nutrisi yang ada pada bibit terbagi untuk pertumbuhan tunas-tunas baru (tunas interfascicular). Hal tersebut sesuai dengan Mutke et al.(2005) yang menyatakan bahwa penurunan tingkat pertumbuhan dapat disebabkan karena peningkatan persaingan dalam tahap perkembangan seperti pembesaran pohon. 5.3.1.4 Pola reiterasi Reiterasi merupakan suatu proses penyesuaian arsitektur pohon yang terkait dengan kerusakan pohon dan faktor ekologi (Halle et al. 1978), trauma, kerusakan pucuk (Del Tredici 2001) maupun pemangkasan cabang (Ishii et al. 2007). Pola reiterasi yang disebabkan karena aktivitas pemangkasan cabang atau penghilangan tunas apikal dikenal dengan istilah reiterasi traumatik (Mutke et al. 2005). Pada dasarnya terdapat dua tipe reiterasi yaitu syleptic dan proleptic. Tipe syleptic terjadi karena rangkaian proses pertumbuhan tunas apikal, sedangkan proleptic terjadi karena adanya tunas adventif. Reiterasi traumatik semai pinus bocor getah setelah perlakuan penghambatan dominasi apikal dan penyemprotan BAP memperlihatkan pola pembentukan tunas yang berbeda (Gambar 5.1). Proses reiterasi terkait dengan keberadaan meristem apikal yang mengekspresikan model maupun perubahan orientasi tunas. Pola reiterasi yang tercermin dalam arsitektur tajuk menjadi ciri penting bagi kemampuan hidup, kualitas dan stabilitas yang nantinya akan mempengaruhi pola pertumbuhan pohon (Rasmussen et al. 2010). Pada penelitian ini, semai kandidat bocor getah tanpa perlakuan BAP dan tanpa pemotongan tunas memperlihatkan pola pertumbuhan seperti semai umumnya (5.1a), namun pada semai dengan penyemprotan BAP memperlihatkan bentuk tunas yang cenderung membesar dengan arah orientasi yang tidak teratur diikuti dengan pembentukan tunas interfascicular pada pangkal tunas (5.1b).
67
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Gambar 5.1 Pola reiterasi semai kandidat bocor getah umur 1 tahun. a. Tanpa pemotongan tunas dan tanpa penyemprotan BAP, b. Tanpa pemotongan dan penyemprotan BAP 20 ppm, c. Pemotongan tanpa penyemprotan BAP, d.Tanpa pemotongan dan penyemprotan BAP 20 ppm, e. Tunas normal sebelum penyemprotan, f. Tunas interfascicular MSS, g. Tunas interfascicular 10 MSS, h. Tunas interfascicular, i. perkembangan tunas interfascicular setelah perlakuan
68
Semai dengan perlakuan pemotongan tunas tanpa penyemprotan BAP, memperlihatkan pemunculan tunas interfascicular pada setiap tunas sepanjang batangnya dengan tunas yang relatif lebih pendek (5.1c), sedangkan pada semai dengan perlakuan pemotongan tunas dan penyemprotan BAP memperlihatkan pemunculan tunas yang terkonsentrasi pada bagian bawah titik pemotongan dengan ukuran yang lebih panjang (5.1d). Hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian mengenai pelengkungan batang utama pada bibit pinus (Wilson, 2000; Mutke et al. 2005) yang menghasilkan model tajuk yang berbeda. P.merkusii dicirikan dengan model pertumbuhan “Rauh” (Halle et al. 1978) dan pola reiterasi syleptic continuous. Menurut Nerovcova dan Narovec (2010), pinus memiliki kemampuan modifikasi apabila terjadi kerusakan pada tunas utama. Modifikasi pola percabangan tersebut ditunjukkan dengan perubahan percabangan dari polyarchic menjadi pola proleptic. Perbedaan pola reiterasi (arsitektur tunas dan percabangan) pada perlakuan BAP dan pemotongan tunas kemungkinan terkait dengan adanya kontrol dominasi apikal pada pucuk. Penggunaan BAP mampu merangsang pembentukan tunas interfascicular yang sebelumnya dorman. Pemotongan tunas utama menyebabkan pengaliran nutrisi dari pucuk ke meristem lateral, sehingga tunas interfascicular yang dihasilkan menjadi lebih panjang. Wilson (2000); Sterck (2005); Cline dan Harrington (2007) menemukan penambahan BAP mempengaruhi pembelahan sel dan pemanjangan sel. Adanya sitokinin berperan utama merangsang pembelahan sel sedangkan auksin dan giberalin merangsang pemanjangan sel (Srivastava 2001; Taiz dan Zeiger 2002). Penggunaan BAP secara ex vitro untuk stimulasi pembentukan tunas masih jarang didokumentasikan, namun penggunaan BAP untuk teknik kultur jaringan telah banyak dilaporkan keberhasilannya. Pada oak (Quercus suber), Romano et al. (1992) berhasil memperoleh tunas yang lebih banyak dengan perlakuan BAP 1 mg/l dibandingkan dengan zeatin. Penggunaan BAP 5 mg/l juga berhasil menstimulasi pembentukan tunas baru pada P. sylvestris (Diego et al.2009). Hasil yang hampir sama juga diperoleh Andersone dan Ievinsh (2005) pada P. sylvestris melalui teknik kultur embrio. Stimulasi tunas aksilar dengan penambahan BAP secara in vitro juga berhasil dilakukan oleh Alonso et.al.(2006) pada P. pinea. 5.3.1.5 Anatomi tunas Anggota genus pinus memiliki tunas vegetatif yang berbeda dibandingkan dengan kebanyakan jenis konifer lainnya. Pada tiap ujung tunas pinus dapat dijumpai organ tunas berseludang (brachyblast atau fascicle sheath) yang merupakan kumpulan sel-sel embrionik yang disebut dengan meristem apikal pucuk (apex). Tunas interfascicular terbentuk karena adanya inisiasi tunas aksiler (Gambar 5.2). Aktifitas ini juga akan membentuk 3 jenis tunas lainnya yaitu: tunas lateral, seed-cone bud dan pollen-cone bud. Tunas interfascicular pada P.merkusii merupakan tunas dorman yang diselimuti oleh seludang (fascicle sheath), berwarna coklat, bersisik dan keras dengan tunas yang berjumlah dua buah (Rajendra dan Finkelday 2008). Tunas interfascicular akan muncul setelah adanya pelengkungan terhadap tunas apikal, maupun penambahan zat pengatur tumbuh eksogen (Scweingruber et al. 2006).
69
Daun jarum
Tunas interfascicular
Gambar 5.2 Keragaan tunas interfascicular dari tunas daun jarum umur 10 minggu setelah semprot Studi mengenai proses perkembangan tunas interfascicular secara histologi pertama kali dilakukan melalui serangkaian penelitian awal dengan melihat fenomena proliferasi yang terjadi secara tidak sengaja di persemaian P. taeda. Hasil penelitian menunjukkan kemunculan tunas interfascicular diawali dengan perkembangan tunas dalam seludang bersamaan dengan pembentukan sisik daun jarum. Selanjutnya tunas interfascicular bersama-sama dengan foliar apendages muncul terpisah dan menjadi tunas baru tersendiri. Beberapa peneliti menyebut pemunculan tunas interfascicular seperti halnya tunas adventif dan dalam perkembangannya berpotensi menjadi meristem baru (Little dan Somes 1956). Cline (2000) menemukan adanya perubahan pertumbuhan tunas lateral akibat pemotongan tunas apikal. Pertumbuhan tunas lateral setelah perlakuan pemotongan tunas apikal terbagi dalam 4 (empat) tahapan, yaitu tahap 1 (pembentukan tunas lateral), tahap 2 (penghambatan dominasi apikal), tahap 3 (inisiasi pembentukan tunas lateral yang diikuti pengupasan seludang) dan tahap 4 (pemanjangan dan perkembangan tunas lateral menjadi cabang). Penurunan dominasi apikal (tahap 3) dapat terjadi karena penggunaan sitokinin (Pillay dan Railton 1983), sedangkan pemanjangan tunas dapat dipicu oleh adanya auksin dari dalam tanaman sendiri.
70
5.3.2 Stek pucuk 5.3.2.1 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap keberhasilan stek pucuk pinus 12 MST (minggu setelah tanam) Pembentukan akar pada stek merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan perbanyakan secara vegetatif. Oleh karena itu diperlukan perlakuan yang mampu merangsang pembentukan akar stek sehingga mampu dihasilkan bibit baru dengan persentase keberhasilan berakar dan sistem perakaran yang berkualitas (De Klerk et al. 1997). Kualitas perakaran stek ditunjukkan dengan variabel jumlah, panjang akar dan juga keberadaaan kalus, karena ketiganya mencerminkan performa bibit setelah dipindahkan ke lapangan (Mohammed dan Vidaver 1990). Sidik ragam terhadap variabel kualitas stek menunjukkan bahwa pemberian ZPT dengan konsentrasi berbeda berpengaruh terhadap panjang akar sekunder, panjang akar primer dan jumlah akar sekunder, sedangkan persentase stek berakar dan persentase stek hidup tidak dipengaruhi oleh pemberian ZPT (Tabel 5.2). Tabel 5.2 Rekapitulasi hasil sidik ragam dan nilai rata-rata terhadap beberapa variabel kualitas stek (12 MST) Variabel Persentase stek hidup (%) Persentase stek berakar (%) Panjang akar primer (cm) Panjang akar sekunder (cm) Jumlah akar sekunder
Zat Pengatur Tumbuh Tanpa NAA
NAA 100 ppm
NAA 200 ppm
NAA 300 ppm
ZPT komersial
Signifikansi
87.5a
87.5a
100ab
87.5a
100ab
*
0a
75ab
71.43ab
71.43ab
87.50 b
*
0a
1.7a
4.2 ab
13.2 c
9.8 bc
**
0a
0a
1.5 ab
3.1 b
2.8 b
**
0a
1a
3.7 ab
7.3 b
7.7 b
**
Keteragan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama, pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%; **: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan99%
5.3.2.2 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan stek pucuk P.merkusii bocor getah a. Persentase stek hidup Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan ZPT komersial menghasilkan rata-rata persentase berakar tertinggi (87.5%). Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh nyata pada persentase stek berakar. Menurut Silva (1985) untuk menginduksi akar stek pinus ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, meliputi waktu pengumpulan stek, ukuran stek, kondisi bahan stek, sumber dan umur tanaman, kondisi nutrisi, kesehatan bahan
71
stek, perlakuan pendahuluan terhadaap bahan stek, penyiraman, kelembaban, suhu dan faktor lainnya. Lebih lanjut Sakai et al.(2002) menyatakan keberhasilan stek ditentukan oleh kondisi lingkungan yang ideal bagi berlangsungnya proses fotosintesis secara optimal dan transpirasi yang seimbang. Kedua proses fisiologis tersebut sangat berperan terhadap metabolisme stek untuk pembentukan akar. Dari serangkaian penelitian diketahui bahwa tiga faktor lingkungan yang sangat berperan dalam pembentukan akar stek adalah kelembaban, temperatur dan intensitas cahaya. Pada penelitian ini rumah kaca dengan sistem KOFFCO (Komatsu-FORDA Fogging Cooling System) digunakan untuk mendukung kondisi lingkungan stek sehingga persentase hidup stek yang dihasilkan relatif tinggi. b. Persentase stek berakar Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa ZPT berpengaruh pada persentase berakar. Pada penelitian ini stek dengan perlakuan ZPT komersial ternyata menghasilkan persentase berakar yang paling tinggi (87.5%), hal tersebut diduga karena memiliki kandungan auksin yang lebih lengkap (NAA dan IBA) dan fungisida yang mencegah adanya serangan jamur. Pada ZPT komersial terdapat dua senyawa dengan inti napthalena yang berfungsi memperbanyak dan mendorong timbulnya suatu perakaran dan senyawa indole bermanfaat untuk memperbanyak dan mempercepat perakaran. Hasil yang sama juga diperoleh Vandeer krieken et al.(1992) pada tanaman malus melalui teknik kultur jaringan, dan menemukan persentase keberhasilan perakaran lebih tinggi dengan perlakuan kombinasi IBA dan NAA. Lebih lanjut Hartmann et al. (2002) menyatakan bahwa penggunaan IBA dan NAA secara bersama-sama lebih efektif dibandingkan penggunaan secara tunggal terutama untuk meningkatkan persentase berakar dan jumlah akar. Kombinasi antara IBA dan NAA yang terkandung pada ZPT komersial ternyata mampu menghasilkan persentase berakar lebih tinggi dan jumlah akar yang lebih banyak pada stek bibit bocor getah. Pada penelitian ini stek tanpa penambahan ZPT belum menunjukkan gejala perakaran sampai umur 12 MST, hal tersebut membuktikan penambahan ZPT eksogen diperlukan pada stek pinus. c. Panjang akar Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada panjang akar primer dan sekunder. Hasil pengamatan panjang akar diketahui bahwa rata-rata akar primer terpanjang diperoleh pada perlakuan NAA 300 ppm (13.2 cm), sedangkan rata-rata akar primer terpendek diperoleh pada NAA 100 ppm (1.7 cm). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Rosier et.al (2004) pada P.virginiana yang menemukan pertambahan panjang akar primer seiring penambahan NAA yang digunakan. Pada penelitian ini ZPT komersial memiliki akar primer yang lebih pendek dibandingkan NAA 300 ppm, namun memiliki akar sekunder yang lebih banyak dan lebih panjang.
72
d. Jumlah akar sekunder Pemberian ZPT komersial mampu menghasilkan rata-rata jumlah akar sekunder terbanyak (7.7 buah), sedangkan jumlah akar paling sedikit diperoleh pada stek tanpa perlakuan ZPT. Sidik ragam (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada jumlah akar sekunder sekunder. Hasil uji Duncan juga memperlihatkan Perlakuan ZPT berpengaruh sangat nyata pada jumlah akar sekunder stek. Perlakuan NAA 300 ppm dan ZPT komersial memberikan hasil yang berbeda dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut sesuai dengan Hartmann et al. 2002 yang mengemukakan bahwa pada jenis pinus, persentase berakar jumlah dan panjang akar sangat dipengaruhi oleh ZPT. Lebih lanjut Henrique et al. (2006) menyatakan bahwa persentase keberhasilan perakaran stek sangat berhubungan dengan konsentrasi ZPT yang diberikan. Hal tersebut terkait dengan kandungan asam fenol yang cukup tinggi pada stek. Kandungan asam fenol yang tinggi menurut menyebabkan tingginya orthodihydroxyphenols yang akan berakibat penurunan aktifitas IAA oksidase sehingga menurunkan perakaran stek. Dengan demikian penambahan auksin eksogen juga diperlukan pada stek bibit pinus bocor getah. Hal tersebut terlihat dari stek tanpa ZPT yang belum mampu menunjukkan gejala perakaran sampai akhir pengamatan. e. Keragaan bibit hasil stek Pada semua jenis konifer, penambahan bahan kimia, perlakuan fisik untuk merangsang perakaran dan keberhasilan stek ditentukan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Beberapa faktor seperti waktu dan musim pengumpulan bahan stek, ukuran stek, kondisi needle, kondisi tanaman donor, nutrisi endogen tanaman, perlakuan pemotongan dan kesehatan bahan stek saat pengumpulan (Silva 1985). Namun demikian kondisi pertumbuhan tanaman donor merupakan hal yang paling penting menentukan keberhasilan perakaran stek (Hartmann et al. 2002; Moe dan Andersen 1988). Pembentukan akar merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan perbanyakan secara stek. Secara fisiologis pembentukan calon akar pada stek tergantung pada auksin endogen bahan tanaman dan komponen sinergis lain seperti diphenol. Komponen sinergis tersebut mendorong sintesis ribonucleic acid (RNA), yang merangsang inisiasi akar (Hartmann et al. 2002). Pada bagian tunas atau daun dihasilkan suatu senyawa kompleks selain auksin yang merangsang pembentukan akar. Senyawa tersebut oleh Bouillenne dan Went (1933) dalam Hartmann et al. (2002) disebut dengan rhizocaline. Rhizocaline merupakan suatu senyawa kompleks yang terdiri atas tiga komponen yaitu: 1. Faktor spesifik yang ditranslokasikan dari daun dengan sifat kimia sebagi ortho-dihydroxyphenol. 2. Faktor non spesifik (auksin) yang ditranslokasikan dan ditemukan dalam konsentrasi biologi yang rendah. 3. Faktor enzimatik yang berada dalam jaringan sel yang dimungkinkan sebagai polyphenol-oxidase. Proses inisiasi akar akan terjadi apabila ortho-dihydroxyphenol bereaksi dengan penambahan konsentrasi auksin dan enzim, sehingga terjadi akselerasi proses
73
respirasi dan pembelahan mitosis sel yang menyebabkan diferensiasi sel serta jaringan. Hasil pengamatan morfologi terhadap akar yang terbentuk pada setiap perlakuan memperlihatkan perakaran yang dihasilkan pada perlakuan NAA terlihat lebih besar namun sedikit memiliki akar sekunder dibanding ZPT komersial. Secara morfologi dan kesimetrisan perakaran, ZPT komersial mampu mengasilkan keragaan akar yang lebih baik (Gambar 5.3e).
AA a
b
KL
c
AA AA d
e
Gambar 5.3 Keragaan hasil stek pucuk tanpa dan dengan ZPT. a. Tanpa ZPT, b. NAA 100 ppm, c. NAA 200 ppm, d. NAA 300 ppm dan e. ZPT komersial, AA:akar adventif, KL: kalus. Hasil pengamatan histologi terhadap akar stek yang dilakukan pada akhir penelitian memperlihatkan akar stek pinus bocor getah berasal dari proses dideferensiasi sel di daerah potongan sekitar kambium dan floem untuk selanjutnya membentuk calon akar dan diakhiri dengan pembentukan meristem
74
pada akar (Gambar 5.4). Hal tersebut sesuai dengan penelitian mengenai anatomi asal usul akar adventif pada stek yang dilakukan Hamann (1997) pada P. taeda dan menemukan 4 tahapan proses pembentukan akar adventif yang diawali dengan proliferasi sel pada bagian bawah stek, diferensiasi jaringan vaskuler dan periderm di daerah potongan, dediferensiasi daerah potongan sekitar kambium dan floem untuk selanjutnya membentuk calon akar dan diakhiri dengan pembentukan meristem pada akar. Pembentukan akar pada stek pucuk bibit bocor getah hampir sama dengan pembentukan akar pada P. taeda (Hamann 1997; Diaz –Sala 1996) dan P.radiata (Smith dan Thorpe 1975). Akar adventif tidak berkembang langsung dari jaringan batang tertentu maupun primordia akar yang dorman, namun melalui proses pembentukan kalus dan diferensiasi jaringan vaskular di sekitar potongan stek yang terjadi sebelum inisiasi akar. Studi terkini mengenai pembentukan akar stek, menemukan adanya peranan gen-gen yang responsif terhadap auksin dalam mengontrol respon stek terhadap penambahan auksin (Tiberia et al. 2011) selain adanya peranan faktor lingkungan dan tanaman donor. Pada penelitian awal yang dilakukan ditemukan adanya kandidat gen dari kelompok ARF (Auxin response factor), protein yang mengontrol mekanisme respon stek terhadap penambahan auksin. Studi secara khusus pada P. taeda yang dilakukan oleh Goldfarb et al. (2012) menemukan adanya gen yang mirip dengan cyclin-dependent kinases (cdk1 dan cdk) yang bekerja pada epikotil dan hipokotil stek serta mengontrol pembentukan akar. Namun keterkaitan pembentukan akar dengan pengaruh gen tidak dilakukan pada penelitian ini.
ox
Wx Rp nx
Wcam b 3mm
Gambar 5.4
Wp wa
Per
Penampang lintang akar stek pinus bocor getah umur 12 MST. wx:wounded xilem, Rp: Root primordium, wcam:wounded cambium, Per: periderm, nx: xilem baru, wp:wounded phloem, wa: wounded area, ox: xilem lama
75
5.3.3 Evaluasi morfologi dan anatomi grafting 5.3.3.1 Morfologi batang pada grafting yang kompatibel dan inkompatibel Hasil pengamatan morfologi batang terhadap hasil grafting yang kompatibel memperlihatkan batang bawah dan batang atas telah menyatu sehingga terlihat seperti satu individu hasil perbanyakan generatif dengan pertumbuhannya diameter yang relatif hampir sama dengan pohon hasil generatif umumnya. Pada daerah sambungan terlihat morfologi yang cukup spesifik dibanding rootstock dan scion dengan ditemukannya kulit batang yang relatif halus dibandingkan serta ditemukannya tanda bekas luka potongan yang merupakan pembatas antara bagian rootstock dengan sambungan (Gambar 5.5), namun secara umum memperlihatkan batang yang lurus. Hasil pengamatan pada grafting yang inkompatibel (abnormal) memperlihatkan bentuk batang yang tidak lurus dengan ukuran batang bawah (rootstock) yang lebih kecil dari batang atas (scion) dengan diameter setinggi dada yang kecil dibandingkan pinus normal pada umur tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa gejala abnormalitas batang merupakan gejala umum yang dijumpai pada grafting yang inkompatibel. Menurut Hartmann et al. (1997) abnormalitas batang tersebut disebabkan karena perbedaan dimensi pertumbuhan antara batang bawah (rootstock) dan batang atas yang tumbuh dari scion serta perbedaan waktu pertumbuhan vegetatif antara batang bawah dan batang atas sehingga dimensi pertumbuhannya tidak sama. Pada kasus penelitian ini dapat disimpulkan bahwa batang atas (scion) mengalami pertumbuhan yang lebih cepat (overgrowth) sehingga batangnya terlihat lebih besar. Selain abnormalitas batang pada grafting yang inkompatibel ditemukan kerusakan pada daerah kulit dan korteks dan swelling pada daerah sambungan (Gambar 5.5c), namun gejala ini merupakan gejala yang umum dijumpai pada pohon hasil grafting (Copes 1980; Ahlgren 1971). Pertumbuhan diameter pada grafting yang kompatibel menunjukkan pola normal layaknya pinus hasil perbanyakan generatif yang berumur 18 tahun, dengan diameter setinggi dada 23.5 cm, sedangkan pada grafting yang inkompatibel pertumbuhan diameter cenderung lambat (11 cm). Untuk memperkuat hasil evaluasi morfologi, selanjutnya dilakukan pengujian secara anatomi untuk melihat struktur sambungan dari bidang lintang dan longitudinal. Gejala inkompatibilitas tidak selalu ditunjukkan dengan kematian grafting pada awal proses sambungan, namun beberapa grafting mampu tumbuh dan terlihat sebagai satu individu baru sampai dewasa meskipun menunjukkan gejala stress dan pola pertumbuhan yang abnormal. Lebih lanjut Hartmann et.al (2002); Copes (1969) mengemukakan gejala lain berupa penurunan pertumbuhan vegetatif, kematian pohon lebih cepat, perbedaan pertumbuhan atau vigor antara scion dan rootstock, perbedaan fase vegetatif antara scion dan rootstock, rootstock yang kerdil dan adanya patahan antar zona yang jelas pada sambungan.
76
Sc
Sc
R
a
R
b
c
d
Gambar 5.5 Keragaan morfologi batang grafting Pinus merkusii umur 18 tahun. a. kompatibel (scion strain kerinci, rootstock strain Aceh), a dan b inkompatibel (scion strain Tapanuli, rootstock strain Aceh), d. Tegakan hasil grafting, R:rootstock; Sc:scion
77
5.3.3.2 Pembentukan sambungan pada grafting pinus Hasil pengamatan terhadap sortimen papan radial grafting dewasa (Gambar 5.6b) masih menunjukkan adanya bekas empulur scion yang terselip pada rootstock (A), luka bekas proses penyambungan yang ditunjukkan dengan ditemukannya pucuk rootstok yang dipotong saat penyambungan (B) dan bagian bawah scion yang terbenam di dalam kayu (C). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pohon hasil grafting tidak mampu melakukan proses penyembuhan kembali secara sempurna terhadap luka pada proses pembuatan grafting namun tetap mampu tumbuh dengan membentuk kayu baru di sekitar daerah luka. Perbedaaan secara genetika pada rootstock dan scion juga terlihat pada kayu yang terbentuk (D) dengan ditemukannya batas perubahan yang jelas antara rootstock dan scion. Garis batas ini terlihat pada bagian pertemuan antara bagian atas rootstok dan bagian bawah scion. Pada grafting bibit bocor getah (5.6b) juga dijumpai kondisi seperti pada grafting dewasa. Pada grafting bibit muda ini masih terlihat adanya proses pembentukan kalus disekitar daerah sambungan dan bagian scion yang terkubur dalam rootstock (B). Seperti halnya grafting dewasa, bagian empulur pada lokasi pertemuan scion dan rootstock mengalami degenerasi jaringan (berwarna coklat dan selanjutnya mati) hal tersebut terjadi karena bagian empulur bukanlah sel meristematik, sehingga tidak dapat melakukan pembelahan sel.
3.7 cm
A A
D C B
B Daerah sambunga
D a
C
b
Gambar 5.6 Keragaan penampang radial sortimen batang hasil grafting bibit pinus bocor getah umur 1 tahun (a) dan grafting pinus strain Aceh dan Kerinci umur 18 tahun (b)
78
Ketinggian sambungan awal yang berbeda diduga juga mempengaruhi pola pembentukan sambungan pada grafting. Hasil penelitian ini menunjukkan ketinggian sambungan yang rendah mampu menghasilkan individu pohon hasil grafting dengan sambungan yang lebih sempurna, yang ditunjukkan dengan morfologi batang yang lebih lurus (Gambar 5.7). 4.2 cm
0.18 m
0.60 m
1.00 m
1.22 m
1.72 m
a
4.2 cm 4.2 cm
b
0.18m
Gambar 5.7
0.60m
1.00 m
1.22m
1.72m
Sortimen batang hasil grafting umur 18 tahun pada ketinggian sambungan berbeda (a) dan penampang radial grafting dengan ketinggian berbeda (b)
79
Pengamatan potongan bidang radial pada ketinggian sambungan awal dengan ketinggian yang berbeda memperlihatkan pola pembentukan sambungan yang hampir sama. Pada grafting dengan ketinggian sambungan awal yang lebih rendah (walaupun memperlihatkan sambungan sempurna), masih dijumpai adanya bagian scion yang tersisip pada rootstock dan luka bekas penyambungan, demikian juga dengan ketinggian sambungan yang lainnya (Gambar 5.8). 2.1 cm
2.1 cm
a
0.18 m
0.60 m
b
2.1 2.1cm cm
d
1.22 m
2.1 cm
c
1.00 m
2.1 cm2.1 cm
e
1.72 m
Gambar 5.8 Keragaan daerah sambungan (interface) dari grafting pada ketinggian sambungan berbeda. a. Kondisi daerah interface; pada ketinggian sambungan 0.18 m, b. Kondisi daerah; interface pada ketinggian sambungan 0.60 m, c. Kondisi; daerah interface pada ketinggian sambungan 1.00 m, d. Kondisi daerah interface pada ketinggian sambungan 1.22m, e. kondisi daerah interface pada ketinggian sambungan 1.72 m.
80
Beberapa studi mengenai anatomi zona sambungan telah dikemukakan oleh Barnett dan Miller (1994); Barnett danWeatherhead (1988); Copes (1999) dan Evans (1972). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sambungan pada grafting diawali dengan pembelahan sel kalus yang berasal dari scion dan rootstock secara cepat dan diakhiri dengan proses diferensiasi melalui pembentukan kambium vaskuler (meristem lateral) dan bersatu dengan sistem pembuluh yang telah ada. Hal tersebut terjadi karena sel-sel kambium bersifat meristematik yang mampu melakukan fusi fungsional dan struktural. Setelah terjadi fusi perkembangan sambungan selanjutnya melalui 3 proses yaitu adhesi rootstock dan scion; proliferasi sel kalus pada zona sambungan atau callus bridge dan diferensiasi pada zona sambungan (Moe dan Andersen 1982). Keberhasilan proses proliferasi dan diferensiasi akan menentukan pertumbuhan pohon selanjutnya. Pada grafting, scion tidak akan tumbuh dengan baik apabila jaringan pembuluh yang terbentuk pada zona sambungan tidak berkembang dengan baik karena jaringan pembuluh merupakan lokasi bagi transportasi air dan nutrisi mineral pada tanaman. Dan sebaliknya, degenerasi rootstock juga akan terjadi jika ada gangguan floem pada zona sambungan sehingga transport karbohidrat dan metabolit lain dari scion ke sistem perakaran. Hal inilah kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan antara grafting kompatibel dan inkompatibel. Pada dasarnya inkompatibilitas terjadi karena pertumbuhan kambium scion dan rootstock tidak seirama. Jika pertumbuhan rootstock lebih cepat dari scion maka batang bawah sambungan akan menjadi lebih besar (Gambar 5.5b), atau terjadi sebaliknya jika pertumbuhan scion lebih cepat dari rootstock maka batang atas sambungan akan menjadi lebih besar (Gambar 5.5c). Pada bagian kontak kayu scion dan rootstock tidak terjadi penyambungan yang sempurna sehingga bagian kayu tersebut menjadi jaringan mati (Gambar 5.6 b). Menurut Jayawickrama et al. (1997), bagian scion merupakan bagian sangat penting pada pohon hasil grafting. Bagian scion akan menentukan pertumbuhan grafting, menentukan sifat dari suatu pohon hasil grafting, termasuk pertumbuhan dan reproduksinya. Kajian seluler mengenai pengaruh grafting terhadap pertumbuhan pohon yang dilakukan oleh Pina et al. (2009) menyebutkan kesesuaian sel rootstockscion dan komunikasi antar sel merupakan faktor penentu kesuksesan grafting. Salah satu penentu kesuksesan komunikasi antar sel grafting adalah keberadaan plasmodesmata. Plasmodesmata ini merupakan saluran pada dinding sel sebagai lintasan bagi larutan dan makromolekul diantara sitoplasma sel-sel sekelilingnya. Inkompatibilitas pada grafting terkait dengan kapasitas transportasi interseluler yang rendah dan jumlah plasmodesmata fungsional yang sedikit sehingga mengganggu pertumbuhan. 5.3.3.3 Anatomi daerah rootstock dan sambungan secara makroskopis Pengamatan makroskopis secara umum pada penelitian ini masih menemukan adanya bekas luka sambungan dan daerah perbatasan scion-rootstock. Pada grafting kompatibel dijumpai adanya kayu baru yang terbentuk pada daerah sambungan dan areal sekitar kulit (5.9a), yang menunjukkan telah bersatunya jaringan pada bagian scion dan rootstok. Tidak ada kerusakan signifikan yang
81
dijumpai pada sampel pengeboran, namun masih terlihat adanya luka bekas scion yang menempel pada rootstok (5.9c) yang telah tertutup dan bersatu dengan selsel sekitarnya. Pada bagian sambungan dijumpai adanya batas antara scion dan rootstock yang ditunjukkan dengan perbedaan warna kayu dan pembentukan kayu baru (5.9a). Pada grafting inkompatibel dijumpai adanya kulit kayu tersisip pada bagian pinggir sambungan yang menandakan bagian kulit rootstock dan scion yang tidak bersatu (5.9b), selain itu juga dijumpai adanya bekas empulur rootstok salah satu sisi yang tidak bersatu dengan scion (empulur scion menjulur ke kanan mendekati kulit), dan sebagai akibatnya terjadi ketidaksimetrisan pada riap tumbuh, sehingga kayu hanya tumbuh ke arah kiri, sedangkan kearah kanan terhenti (Gambar 5.9 bdand). Pada grafting kompatibel terlihat jelas adanya batas perubahan kayu antara scion dan rootstock (Gambar 5.9a). Sifat kayu yang dihasilkan pada daerah sambungan scion-rootstock pada grafting kompatibel, mengikuti sifat scion, hal tersebut juga ditunjukkan dengan warna kayu yang sama (5.9a). Pada grafting inkompatibel sebagian besar kayu terbentuk mengikuti scion, namun sebagian lagi masih mengikuti rootstock (Gambar 5.9b). Adapun perbandingan kondisi grafting kompatibel dan inkompatibel secara makroskopis disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Kondisi makroskopis grafting kompatibel dan inkompatibel Variabel pengamatan
Bagian
Sel-sel kayu baru
sambungan 2 sambungan rootstock sambungan 2 sambungan rootstock sambungan 2 sambungan rootstock sambungan 2 sambungan rootstock sambungan 2 sambungan rootstock
Sel kayu yang rusak Empulur rootstock yang tidak bersatu Sel mati
Sambungan yang belum menempel
Kompatibel (:23.5 cm)
Inkompatibel(:11 cm)
Panjang (cm)
Persentase (%)
Panjang (cm)
Persentase (%)
12.2 6.6 0.3 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
51.9 28.09 2.55 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8.5 3 3 8.5 3 3 0.7 0.7 Tidak ada 1.6 0.4 0.1 1.6 1.6 1.6
77.3 27 27 77.3 27 27 6.3 6.3 0 14.5 3.63 0.9 14.5 14.5 14.5
82
a
R
I
Sc
b
R
I
Sc
c
d
d
Gambar 5.9 Pengamatan makroskopis sortimen hasil pengeboran. a. Daerah sambungan kompatibel, b. Rootstock kompatibel, c. Sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel, R:rootstock; I:sambungan; Sc: scion.
83
Pembentukan sel-sel kayu baru sedikit sekali dijumpai pada grafting yang inkompatibel dan secara keseluruhan sel kayu baru yang terbentuk juga mengalami kerusakan. Hal tersebut sesuai dengan Mckeand dan Raley (2000) yang menyatakan pembentukan sel-sel baru yang berasal dari kalus pada zona sekitar luka sambungan merupakan respon positif dan salah satu indikator makroskopis keberhasilan sambungan sedangkan pada grafting yang inkompatibel fenomena tersebut sangat sedikit dijumpai. Adapun ilustrasi Tabel 5.3 disajikan pada Gambar 5.10. Untuk mempelajari lebih detail mengenai kerusakan dan kondisi daerah sambungan selanjutnya dilakukan analisis secara mikroskopis.
a
Gambar 5.10
b
Ilustrasi grafting kompatibel (a) dan inkompatibel (b). R:rootstock, Sc:scion, E:empulur, I: interface(sambungan)
5.3.3.4 Anatomi zona rootstock dan sambungan secara mikroskopis 5.3.3.4.1 Bidang lintang Keragaan bidang lintang daerah sambungan pada kedua jenis grafting memperlihatkan hasil yang berbeda. Pada grafting kompatibel masih dijumpai beberapa ketidaknormalan terutama di zona perbatasan scion-rootstock seperti penebalan floem, lingkaran tahun yang bergelombang (undulated) dan struktur saluran resin yang rusak terutama pada zona sambungan dan peralihan (5.11a). Penebalan floem pada zona sambungan terjadi karena zona progresif yang memiliki sel floem tersambung dengan zona di bawahnya yang perkembangan xylem dan floem terbatas sehingga meningkatkan jarak antar floem. Zona ini terbentuk karena adanya aktifitas kelompok sel yang terisolasi akibat aktifitas meristematiknya tertahan setelah kambium dan sel turunan di sekitarnya membelah (Copes 1999). Pada sambungan yang inkompatibel juga ditemukannya gejala yang hampir sama dengan ditemukannya pola lingkaran tahun yang bergelombang (undulated) terutama pada bagian dekat empulur rootstock dan sambungan scion-rootstock, penebalan floem serta kerusakan saluran resin (5.11b) hanya saja kerusakan tersebut ditemukan hampir pada semua bagian kayu. Kemungkinan menjadi salah satu penyebab pertumbuhannya yang relatif lambat. Hasil serupa juga dijumpai pada evaluasi hasil grafting pada kebun benih klon pinus yang lain (Copes 1980) yang menemukan gejala yang sama pada grafting umur 4 dan 8 tahun.
84
a
LB S PF R
I
S
I
S
b
R
c
d
Gambar 5.11 Penampang mikroskopis bidang lintang hasil grafting strain Aceh dan strain Kerinci umur 18 tahun. a. Daerah sambungan kompatibel, b. Rootstock kompatibel, c. sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel, R:rootstock, I:sambungan, Sc: scion, PF:penebalan floem, LB:lingkaran taun bergelombang, SR:saluran resin rusak
85
5.3.3.4.2 Bidang tangensial Keragaan bidang tangensial daerah sambungan pada kedua jenis grafting memperlihatkan hasil yang berbeda. Pada bidang tangensial grafting kompatibel masih dijumpai kerusakan pada sel jari-jari terutama di bagian sambungan dan bagian empulur demikian juga dengan bagian rootstock. Pada lokasi tersebut juga dijumpai sel-sel baru yang sangat tipis, dan jaringan kayu yang cukup lunak sehingga mengalami kerusakan ketika dipotong (Gambar 5.12a,c). Sel-sel baru yang sangat tipis tersebut diduga merupakan hasil proliferasi jaringan kalus yang terbentuk pada daerah sambungan dan membentuk penghubung (cambial bridge) antara scion dan rootstock yang nantinya akan membentuk pembuluh sekunder pada batang. Ditemukannya sel-sel baru yang lunak tersebut merupakan indikator bahwa sampai saat ini proses penyembuhan terhadap luka akibat sambungan masih dilakukan. Secara keragaan anatominya kayu baru yang terbentuk pada daerah sambungan (interface) mengikuti pola scionnya. Pada grafting yang inkompatibel kerusakan sel jari-jari ditemui pada semua bagian sambungan (luar, tengah dan dalam). Selain itu dijumpai adanya sel mati yang diduga merupakan bekas material scion pada daerah sambungan yang tidak mengalami pertumbuhan (berkayu keras) dan tidak ditemukannya sel-sel kayu lunak pada daerah sekitarnya sebagaimana grafting yang kompatibel. Hal tersebut sesuai dengan Pina et al. (2009) mengemukakan inkompatibilitas pada grafting ditunjukkan dengan sedikitnya jaringan pembuluh, diskontinuitas pembuluh dan degenerasi floem didaerah sambungan. Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah pembuluh yang relatif sedikit, diskontinuitas pembuluh dan degenerasi floem menyebabkan gangguan transfer nutrisi dan air oleh xylem dari akar, dan juga menyebabkan gangguan dalam transfer hasil fotosintat melalui floem. Lebih lanjut disebutkan bahwa sedikitnya plasmodesmatal yang terbentuk pada awal pertumbuhan menjadi salah satu penyebab inkompatibilitas karena merupakan jaringan dalam dinding sel sebagai lintasan makromolekul dan larutan pada sel-sel disekitarnya (Pina et al. 2009; Darikova et al. 2011). Pada teknik grafting, peluang terjadinya inkompatibilitas sambungan sangat besar karena beragam faktor penyebab. Oleh karena itu kompatibilitas grafting seharusnya dapat dideteksi lebih dini sehingga mampu meminimalisir peluang inkompatibiltas pada pohon hasil sambungan. Beberapa penelitian terkini berhasil menemukan adanya senyawa phenol dan senyawa lain pada daerah sambungan yang menjadi indikator keberhasilan sambungan (Errea et al. 2001; Mng’omba et al. 2008 dan Zarrouk et al. 2010). Penggunaan marka biokimia seperti fenol, pati, polipeptida dan aktivitas peroksidase sedang dikembangkan dan cukup prospektif untuk mendeteksi keberhasilan sambungan pada tahap awal pertumbuhan.
86
a
KL
I
R
SC a
b
I
SC
c
SS
d
Gambar 5.12 Penampang mikroskopis bidang longitudinal hasil grafting strain Aceh dan strain Tapanuli umur 18 tahun. a.Daerah sambungan kompatibel, b.Rootstock kompatibel,c. Sambungan inkompatibel, d. Rootstock inkompatibel. R:rootstock, Sc:scion, E:empulur, I: Inteface:sambungan, KL:kayu lunak, SS:Scion terselip
87
5.3.4 Potensi multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting untuk perbanyakan pinus bocor getah Perbanyakan vegetatif melalui multiplikasi tunas interfascicular sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan bibit bocor getah. Hasil penelitian menunjukkan satu daun jarum mampu menghasilkan satu tunas interfascicular baru, sehingga dari 1 bibit bocor getah saja kita mampu menghasilkan puluhan bahkan ratusan tunas baru sebagai materi untuk perbanyakan selanjutnya. Selanjutnya tunas hasil multiplikasi yang diperoleh pada tahap multiplikasi dapat langsung digunakan sebagai materi vegetatif untuk kultur jaringan, maupun dipelihara 1-2 tahun lagi untuk bahan stek interfascicular. Keberhasilan pemanfaatan tunas interfascicular untuk perbanyakan secara stek telah dilaporkan pada P.sylvestris oleh Aronen et al. (1996); Salonen (1987), pada P. taeda (Nelson et al. 1992) dan P. eliotii (Wang dan Wei 1988). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh informasi keberhasilan stek tunas interfascicular sebesar 22%-100% dengan perlakuan auksin yang berbeda. Pemilihan ZPT sangat penting dalam menentukan keberhasilan stek tunas interfascicular sehingga Nelson et al. (1992) merekomendasikan penggunaan 75150 ppm IBA untuk stimulasi pembentukan akar pada P.taeda. Informasi mengenai stek tunas interfascicular pada P.merkusii sampai saat ini belum diperoleh. Pemanfaatan tunas interfascicular untuk kultur jaringan telah dilaporkan Stiff et al. (1989) pada P.moticola dengan persentase keberhasilan mencapai 33%. Vejsadova dan Lukasova (2010) juga telah berhasil melakukan kultur tunas interfascicular P.uncinata pada media VW dengan keberhasilan mencapai 28-30%. Pada penelitian ini, perbanyakan bibit stek bocor getah mampu menghasilkan persentase berakar mencapai 87.5%. Persentase keberhasilan perakaran yang tinggi juga diperoleh Henrique et al. (2006) pada P. caribaea, Cameron (1980) pada P. radiata, Miliar (1987) pada P. muricata, Ishik et al. (2003) pada P.taeda, Kertadikara (1996) pada P. merkusii dan Sharma dan Verma (2011) pada P. roxburghii. Hasil evaluasi morfologi dan anatomi yang telah dilakukan, teknik grafting dengan sambungan sempurna mampu menghasilkan pohon dengan karakter sesuai harapan. Keberhasilan teknik grafting untuk perbanyakan jenis-jenis unggul dan pembangunan kebun benih klonal telah dilaporkan oleh Copes (1980) pada P. moticola, Mutke (2007) pada P. pinea, Mckeand dan Raley (2000) pada P. taeda. Berdasarkan keberhasilan perbanyakan pada jenis pinus lain dan penelitian awal pada kandidat bocor getah, teknik multiplikasi tunas interfascicular, stek dan grafting cukup potensial untuk perbanyakan kandidat bocor getah. Melalui teknik perbanyakan vegetatif tersebut diharapkan akan diperoleh bibit-bibit bocor getah baru dalam jangka pendek, sekaligus memenuhi celah kebutuhan bibit untuk keperluan penanaman.
88
5.4 Simpulan Multiplikasi tunas pada penelitian ini mampu menghasilkan material baru dalam jumlah yang lebih banyak dibanding bibit normal. Penambahan BAP 20 ppm mampu menstimulasi terbentuknya tunas baru yang lebih banyak dan panjang. Perlakuan penambahan sitokinin eksogen dan pemotongan tunas juga meyebabkan pola reiterasi yang berbeda dari syleptic menjadi proleptic. Peningkatan jumlah dan panjang tunas terjadi karena hormon auksin yang disintesis pada bagian pucuk menurun dengan adanya pemotongan tunas utama, sehingga menyebabkan pengaliran aliran utama nutrisi organik dari pucuk ke meristem lateral. Hasil stek bibit hasil perbanyakan generatif memperlihatkan persentase berakar yang cukup tinggi, sedangkan stek tanpa pemberian ZPT belum menghasilkan akar sampai akhir pengamatan. Stek tanpa pemberian ZPT belum menghasilkan akar sampai akhir pengamatan karena secara alami auksin endogen dalam bahan stek terhambat kinerjanya akibat kandungan asam fenol yang tinggi, sehingga diperlukan adanya penambahan auksin eksogen. Evaluasi secara morfologi dan anatomi terhadap hasil grafting memperlihatkan bentuk batang, kondisi kulit pohon dan korteks yang berbeda antara grafting kompatibel dan inkompatibel. Hasil pengujian secara makroskopis dan mikroskopis juga masih menemukan adanya kerusakan yang sama berupa pola lingkaran tahun yang bergelombang (undulated), penebalan floem dan kerusakan saluran resin terutama pada daerah sambungan, walaupun pohon masih mampu tumbuh. Hasil evaluasi ini membuktikan bahwa secara teknik kandidat bocor getah juga mampu diperbanyak dengan teknik grafting yang menghasilkan sambungan sempurna.