4
BAB IV
HASIL DAN ANALISA
4.1
Evaluasi Persamaan Rain Rate
4.1.1
Hasil
Estimasi curah hujan untuk satu titik (Bandung) perjam diakumulasi selama 24 jam untuk memperoleh curah hujan harian, selama rentang waktu 11 Desember 2006 s.d 28 Februari 2007. Estimasi curah hujan harian kemudian dibandingkan dengan data pengamatan BMG untuk rentang waktu yang sama. 4.1.1.1 Estimasi dengan persamaan rain rate Adler-Negri (1988) Perbandingan antara curah hujan estimasi harian dan curah hujan pengamatan harian diperlihatkan pada Gambar 4.1.
(a) Gambar 4.1
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan harian dan CH estimasi (Adler-Negri) harian : a) plot time series dan b) scatter plot
Scatter-plot antara CH pengamatan dan CH estimasi (Gambar 4.1b) menunjukkan bahwa estimasi dengan menggunakan persamaan rain rate Adler-Negri terkadang menghasilkan jumlah curah hujan yang berlebihan (over estimate), dan terkadang menunjukkan curah hujan yang lebih kecil dari pengamatan (under estimate).
4-1
Sebagian estimasi menunjukkan curah hujan sekitar 20 mm bahkan lebih, pada saat pengamatan menunjukkan tidak ada hujan (0 mm). Sebaliknya, sebagian estimasi gagal menunjukkan terjadinya hujan yang signifikan sementara pengamatan mencatat hujan yang cukup besar. Secara keseluruhan estimasi dengan
menggunakan
persamaan
Adler-Negri
kurang
konsisten
dalam
menentukan besaran curah hujan. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasinya yang hanya sebesar 0.16, walaupun estimasi curah hujan akumulasi lima harian (Gambar 4.2) menunjukkkan korelasi yang lebih baik, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.31.
(a) Gambar 4.2
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan akumulasi 5 harian dan CH estimasi (Adler-Negri) akumulasi 5 harian : a) plot time series dan b) scatter plot
4.1.1.2 Estimasi dengan persamaan rain rate Islam (2002) Estimasi dengan persamaan rain rate Islam seperti metode estimasi sebelumnya, menunjukkan koefisien korelasi yang kecil, hanya sebesar 0.09. Konsistensi estimasinya pun juga kurang baik. Banyak estimasi yang tidak sesuai dengan pengamatan, terlihat dari sebaran scatter plot (Gambar 4.3b) yang menunjukkan sebaran data yang acak. Bahkan estimasi lima harian juga tidak menunjukkan pola yang lebih baik (Gambar 4.4b) dengan koefisien korelasi sebesar 0.338.
4-2
(a) Gambar 4.3
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan harian dan CH estimasi (Islam) harian : a) plot time series dan b) scatter plot
(a) Gambar 4.4
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan akumulasi 5 harian dan CH estimasi (Islam) akumulasi 5 harian : a) plot time series dan b) scatter plot
4.1.1.3 Estimasi dengan persamaan rain rate Vicente et. al (1998) Estimasi dengan menggunakan persamaan Vicente menunjukkan korelasi yang lebih baik dibanding dua estimasi sebelumnya. Nilai koefisien korelasi curah hujan harian (Gambar 4.5) sebesar 0.21, sementara koefisien korelasi curah hujan akumulasi lima harian (Gambar 4.6) sebesar 0.57.
4-3
(a) Gambar 4.5
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan harian dan CH estimasi (Vicente) harian : a) plot time series dan b) scatter plot
Akan tetapi, estimasi ini kurang tepat dalam hal nilai curah hujan yang dihasilkan. Kecenderungan hasil estimasi ini menunjukkan curah hujan yang lebih besar dibandingkan pengamatan. Tetapi seperti dua estimasi sebelumnya, estimasi ini juga terkadang kurang konsisten. Ada beberapa estimasi yang gagal menunjukkan terjadinya hujan, sementara data pengamatan menunjukkan hujan, walaupun besarnya tidak signifikan.
(a) Gambar 4.6
(b)
Perbandingan antara CH pengamatan akumulasi 5 harian dan CH estimasi (Vicente) akumulasi 5 harian : a) plot time series dan b) scatter plot
Secara keseluruhan konsistensi estimasi ini lebih baik dibandingkan dua estimasi sebelumnya, terutama dalam mengestimasi akumulasi curah hujan lima harian. Scatter plot CH akumulasi 5 harian (Gambar 4.6b) menunjukkan korelasi yang
4-4
cukup baik antara CH pengamatan dan CH estimasi, walaupun secara kuantitas terlihat bahwa estimasi dengan menggunakan persamaan Vicente cenderung berlebihan dalam mengestimasi besar curah hujan. 4.1.2
Analisa
Nilai koefisien korelasi untuk masing-masing estimasi dirangkum dalam Tabel 4.1. Korelasi paling baik diperoleh oleh estimasi dengan menggunakan persamaan Vicente et. al (1998). Tabel 4.1 Koefisien korelasi untuk masing-masing estimasi Korelasi Harian
Korelasi Lima Harian
0.1593 0.0898 0.2126
0.3160 0.3389 0.5684
Estimasi Adler – Negri Estimasi Islam Estimasi Vicente
Curah hujan estimasi dengan menggunakan persamaan Adler-Negri dan Islam menunjukkan korelasi yang kecil terhadap curah hujan pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua metode penentuan rain rate tersebut kurang cocok digunakan dalam estimasi curah hujan di Indonesia. Metode penentuan rain rate Vicente (1998), ternyata menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan data pengamatan, Akan tetapi, penggunaan rain rate Vicente et. al (1998) walau secara kualitatif mampu menunjukkan kejadian hujan dengan cukup akurat, secara kuantitatif ternyata hasil estimasinya belum cukup baik. Hasil estimasi cenderung over estimate. Hal ini dapat dipahami, sebab Vicente et. al (1998) memperoleh persamaan tersebut secara empiris. Oleh karena persamaan tersebut tidak diturunkan secara fisis, kemungkinan besar pengaruh lokal cukup berperan. Oleh karena itu, bagian kedua dari kajian ini mencoba untuk menemukan persamaan rain rate yang dapat menjelaskan hubungan TBB dan rain rate yang lebih baik di wilayah Indonesia.
4-5
4.2
Persamaan Rain Rate Sebagai Fungsi Dari TBB (RR=F(TBB)) Untuk Wilayah Indonesia
4.2.1
Hasil
Setelah posisi inti konvektif ditemukan, setiap temperatur inti konvektif dipasangkan dengan nilai rain-rate maximum dalam area 2 x 2 pixel di sekitar inti konvektif tersebut. Kedua data tersebut kemudian di plot, untuk melihat polanya, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.7.
Gambar 4.7
Scatter plot TBB inti konvektif (Tmin) vs rain rate
Plot rain rate vs temperatur puncak awan ternyata tidak menunjukkan pola yang diharapkan. Asumsi yang sebelumnya dipegang adalah pola rain rate di wilayah Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan pola yang ditunjukkan oleh persamaan Vicente et. al (1998). Walaupun telah dilakukan pemilihan inti konvektif, ternyata masih terdapat sebagian rain rate yang teridentifikasi sebagai rain rate hujan stratiform, yang menurut Islam (2002) antara 3 – 5 mmh-1, di sekitar inti konvektif. Hal inilah yang menyebabkan plot rain rate vs TBB terlihat
4-6
menunjukkan pola yang acak, walaupun secara kasar sebagian data menunjukkan pola yang mendekati persamaan Vicente et. al (1998). 4.2.2
Analisa
Pola rain rate vs temperatur puncak awan yang diperoleh ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masih banyaknya data rain rate stratiform yang ikut terpilih sebagai pasangan data temperatur inti konvektif, sementara yang diharapkan adalah rain rate hujan konvektif, bisa disebabkan karena adanya ketidak sesuaian antara dua data yang digunakan, MTSAT IR1 dan TRMM PR. Contohnya bisa dilihat pada Gambar 4.8.
(a) Gambar 4.8
(b)
a) Temperatur puncak awan dan b) rain rate
Lingkaran merah di Gambar 4.8 (a) menunjukkan posisi inti konvektif yang terdeteksi, sementara di Gambar 4.8 (b) menunjukkan nilai rain rate di sekitar posisi tersebut. Terlihat bahwa rain rate yang terdeteksi oleh TRMM PR di sekitar posisi inti konvektif tersebut ≤ 5 mmh-1. Sementara di posisi yang terdeteksi oleh TRMM PR terdapat rain rate yang cukup besar (dengan kata lain menunjukkan hujan konvektif), ternyata tidak terdeteksi inti konvektif sama sekali (lingkaran hijau di Gambar 4.8 a dan b). Dengan selisih waktu yang hanya 6 menit, ternyata tidak menjamin kedua data tersebut sesuai. Hal ini dengan jelas menunjukkan ketidaksesuaian antara data MTSAT IR1 dan TRMM PR. Perlu adanya koreksi
4-7
lebih lanjut yang dilakukan untuk memastikan kecocokan kedua data tersebut, yang sayangnya diluar pembahasan kajian ini. Walaupun demikian, plot rain rate pada Gambar 4.7 dapat di-filter dengan mengasumsikan dua hal berikut. Pertama, rain rate yang besarnya ≤ 3.5 mmh-1 diasumsikan sebagai rain rate stratiform (nilai tengah yang digunakan oleh Islam, 2002 dalam mendefinisikan besar rain rate stratiform), dan yang kedua, mengasumsikan bahwa rain rate konvektif berada dalam radius 15 K disekitar grafik persamaan Vicente et. al (1998). Dengan kedua asumsi tersebut, sebagian data yang menyimpang dapat dieliminasi, sehingga plot rain rate vs TBB menjadi seperti yang terlihat di Gambar 4.9.
Gambar 4.9
Scatter plot TBB inti konvektif (Tmin) vs rain rate (setelah dilakukan filtering)
Data yang tersisa adalah data yang dianggap benar-benar merefleksikan hujan konvektif. Terlihat bahwa plot tersebut memiliki kecenderungan mengikuti pola persamaan Vicente et. al (1998). Dengan populasi 48.5 % dari keseluruhan data, pola ini dianggap cukup mewakili kondisi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dapat diasumsikan bahwa persamaan Vicente et. al (1998) cukup merefleksikan hubungan antara rain rate hujan konvektif dan temperatur puncak awan di wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan analisa di bagian pertama (evaluasi persamaan
4-8
rain rate) yang menunjukkan bahwa estimasi dengan korelasi yang terbaik diperoleh ketika menggunakan persamaan rain rate Vicente et. al (1998). 4.3
Studi Kasus Ekstrim
Di beberapa wilayah, curah hujan yang tinggi bisa membawa bencana besar bagi para penduduknya, berupa bencana banjir atau tanah longsor. Memang pada dasarnya curah hujan yang tinggi saja belum tentu mengakibatkan bencana banjir. Ada banyak penyebab lain yang menjadikan suatu wilayah mendapat kriteria rawan banjir. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa estimasi yang tepat terhadap akumulasi curah hujan di suatu wilayah dapat membantu memonitor potensi terjadinya banjir di wilayah tersebut, terutama di wilayah-wilayah yang telah teridentifikasi rawan banjir. Dengan memonitor curah hujan secara near real time, dapat dideteksi kejadian hujan ekstrim secara dini sehingga dapat membantu proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Oleh karena itu, sistem monitoring curah hujan berguna sebagai sistem peringatan dini bencana banjir. Sub bab ini akan menunjukkan salah satu contoh monitoring curah hujan untuk mendeteksi kejadian curah hujan ekstrim, yang berpotensi mengakibatkan bencana banjir. Kasus yang dipilih adalah kejadian banjir di Kabupaten Karawang pada awal bulan Februari 2008. 4.3.1
Banjir Karawang awal bulan Februari 2008
Kabupaten Karawang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan ibukota Karawang (Gambar 4.11). Pada awal bulan Februari 2008, kabupaten ini diguyur hujan deras, hingga mengakibatkan beberapa wilayahnya terendam banjir. Sampai minggu pertama bulan Februari, dari 11 kecamatan yang dinilai rawan banjir, sebanyak 6 kecamatan di antaranya sudah terendam dengan rata-rata ketinggian air 40-100 cm, mengakibatkan banyak fasilitas umum dan perumahan warga tergenang air. Sementara ribuan hektar areal persawahan terpaksa di tanam ulang karena tanaman padi yang baru berusia 7-20 hari terendam air hingga ketinggian 1 meter (sumber: http://www.inilah.com/berita.php?id=11676).
4-9
Gambar 4.10
Peta Jawa Barat, inset Kabupaten Karawang (sumber: http://www.lapanrs.com/smba/)
Sementara itu, ribuan warga di sekitar Sungai Citarum terpaksa mengungsi akibat tanggul sungai jebol pada hari Senin 5 Februari 2008 dini hari, merendam perumahan warga hingga ketinggian 2 meter (sumber: www.detiknews.com). Bencana banjir ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar, terutama bagi para petani yang sawahnya terendam banjir. Untuk mencegah kerugian yang lebih besar di kemudian hari, perlu adanya langkah-langkah mitigasi yang diambil. Monitoring curah hujan dapat digunakan sebagai deteksi awal potensi terjadinya banjir, untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan langkahlangkah yang perlu diambil untuk meminimalisir kerugian akibat bencana banjir. 4.3.2
Deteksi curah hujan ekstrim di wilayah Kabupaten Karawang pada awal bulan Februari 2008
Untuk mendeteksi curah hujan ekstrim di wilayah Karawang, dilakukan estimasi curah hujan dari tanggal 4 Februari hingga 8 Februari 2008. Estimasi yang
4-10
dilakukan adalah estimasi curah hujan harian kumulatif. Estimasi curah hujan jam-jaman di akumulasi mulai pukul 07 pagi hingga 24 jam berikutnya.
Gambar 4.11
Estimasi curah hujan daerah Karawang Tgl. 4 Februari 2008
Gambar 4.12
Estimasi curah hujan daerah Karawang Tgl. 5 Februari 2008
Estimasi curah hujan pada tanggal 4 Februari (Gambar 4.11) dan 5 Februari (Gambar 4.12) menunjukkan intensitas curah hujan harian yang cukup besar berkisar antara 35-125 mm/hari, terutama di sekitar pantai utara Karawang. Sementara estimasi curah hujan pada tanggal 6 Februari (Gambar 4.13)
4-11
menunjukkan intensitas curah hujan yang sangat tinggi di hampir seluruh wilayah Kabupaten Karawang, dengan nilai 175-200 mm/hari.
Gambar 4.13
Estimasi curah hujan daerah Karawang Tgl. 6 Februari 2008
Gambar 4.14
Estimasi curah hujan daerah Karawang Tgl. 7 Februari 2008
Pada tanggal 7 Februari
(Gambar 4.14) curah hujan telah mulai berkurang,
kecuali di daerah sekitar Kota Karawang yang curah hujannya masih menunjukkan intensitas yang berkisar antara 175 - 200 mm/hari. Akhirnya pada
4-12
tanggal 8 Februari (Gambar 4.15), intensitas curah hujan semakin berkurang, akan tetapi masih cukup besar dengan nilai 35 – 75 mm/hari.
Gambar 4.15
Estimasi curah hujan daerah Karawang Tgl. 8 Februari 2008
Hasil estimasi selama 5 hari berturut-turut di minggu pertama bulan Februari ini, secara kualitatif menunjukkan intensitas curah hujan ekstrim di wilayah kajian. Analisa terhadap hasil estimasi tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan potensi terjadinya banjir di wilayah Kabupaten karawang, terutama di wilayah yang telah teridentifikasi sebagai daerah–daerah rawan banjir (Gambar 4.16).
Gambar 4.16
Peta daerah sawah rawan banjir di Kabupaten Karawang (sumber: http://gis.deptan.go.id/gis/banjir/banjir/jabar/
4-13
Pebandingan secara kualitatif dengan image pengamatan radar yang diperoleh dari JAMSTEC (Japan Agency For Marine Earth Science and Technology) juga menunjukkan kesesuaian yang cukup baik. Sebagai contoh, estimasi curah hujan tanggal 6 Februari 2008 (Gambar 4.13). Data pengamatan radar pada tanggal 6 Februari pada pukul 23:06 (Gambar 4.17), pukul 23:42 (Gambar 4.18), dan pengamatan tanggal 7 Februari pukul 02:42 (Gambar 4.19) menunjukkan curah hujan yang cukup besar terjadi di wilayah Kabupaten Karawang dan sekitarnya (ditunjukkan dengan nilai echo radar ,dalam satuan dBz, yang cukup besar). Observasi ini sesuai dengan estimasi pada tanggal 6 Februari (yang merupakan hasil akumulasi estimasi curah hujan perjam dari pukul 07 pagi tanggal 6/2 hingga pukul 07 pagi tanggal 7/2), yang juga menunjukkan akumulasi curah hujan yang cukup besar.
Gambar 4.17
Observasi radar Tgl. 6 Februari 2008 pkl. 23.06 (sumber: http://www.rewarestore.jp/jakarta/)
4-14
Gambar 4.18
Observasi radar Tgl. 6 Februari 2008 pkl. 23.42 (sumber: http://www.rewarestore.jp/jakarta/)
Gambar 4.19
Observasi radar Tgl. 7 Februari 2008 pkl. 02.42 (sumber: http://www.rewarestore.jp/jakarta/)
4-15
Secara keseluruhan, hasil estimasi curah hujan menggunakan metode CST ini mampu secara kualitatif menunjukkan kejadian hujan, terutama hujan ekstrim, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai peringatan dini terhadap potensi terjadinya bencana banjir. 4.4
Implementasi Monitoring Curah Hujan Secara Near-Real Time
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa estimasi curah hujan dengan metode CST bisa diterapkan di wilayah Indonesia. Walau dengan keterbatasan yang ada, estimasi curah hujan dengan metode CST secara kualitatif dapat digunakan untuk monitoring curah hujan di wilayah Indonesia. Eksperimen estimasi curah hujan harian untuk wilayah Indonesia dan Pulau Jawa bisa diakses di situs http://weather.geoph.itb.ac.id. Estimasi ini merupakan bagian dari eksperimen monitoring dan prediksi cuaca yang dilakukan oleh laboratorium Weather and Climate Prediction Laboratory (WCPL) Program Studi Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.
(a) Gambar 4.20
(b)
Contoh hasil estimasi curah hujan untuk wilayah a) Indonesia dan b) Pulau Jawa
4-16