37. Hari Yang Kelabu
Obsesiku untuk menghajikan kedua orang tua, kurem dulu dengan kekuatan penuh. Walau dadaku sesak dan kepalaku ngilu. Lebih menyakitkan lagi, ketika sebulan yang lalu, keputusan yang paling pahit mendera keseluruhan hidupku. Selama hampir dua minggu aku tak enak makan, tak bisa tidur. Langit seolah menghimpit tubuhku. Pasalnya? Di ruang tamu rumah RA, drama yang paling menyedihkan itu terjadi. Selain aku ada tiga manusia yang seolah menjelma jadi srigala jadi-jadian di ruang itu. Tak akan pernah sedetik pun kulupakan sepanjang hidupku drama yang paling menyakitkan ini. Ibu RA : Nak Ryan, ibu minta maaf mengirim telegram meminta nak Ryan untuk segera datang ke Bandung. Ayah RA : Diam seribu bahasa. Sebentarsebentar menatap ke arahku.
RA
Diam. Bingung. Serba salah. Tak berani menatap wajahku. Aku : Diam. Pasrah. Menunggu kalimat berikutnya. Kurasakan akan terjadi klimaks dramatis. Ibu RA : Kami sudah tahu hubungan nak Ryan dengan Rissa. Sikap dan kebaikan nak Ryan selama ini sangat kami hargai. Hanya Tuhan yang dapat membalasnya. Ibu tahu apa yang akan ibu katakan ini sungguh berat. Berat bagi nak Ryan, berat bagi Rissa, dan berat bagi kami. Ibu kira nanda Rissa saja yang mengatakannya. Sekitar tiga menit berlalu serasa tiga jam, suasana hening. Rissa nampak gugup sekali. Sama sekali tak kulihat lagi kecantikannya. Hidungnya memerah. Seperti mau menangis berat, tapi sekuat tenaga ditahannya. Kutatap ia, agak lama. Ia memandangku sekilas dengan perasaan bersalah, tapi bermohon untuk dimaklumi sepenuhnya. Kini aku mesti bicara. “Tak apa-apa Ris, katakanlah. Aku akan menerima, apa pun itu. Jangan kau siksa dirimu. Kakak akan lapang dada dan menerima dengan tulus apa yang akan kamu katakan. Sekalipun itu hal yang tidak kakak inginkan. Sekalipun teramat pahit, katakanlah!“ Bathinku menjerit sebenarnya, sebab aku sudah tahu alur drama ini akan kemana. 2
:
“Kak Ryan, maafin Rissa . . . ya! Mau kan maafin Rissa?!“ desisnya tarbata-bata. Ia mengguncang-guncang tanganku. Kedua orang tuanya terpaku menyaksikan pemandangan merdu ini. Aku bangkit. Dua pasang mata bertatapan sejenak, ia sesengukkan, air matanya meleleh membasahi kedua pipinya. “Ya . . . ya .. .! Kakak ma’afin, percayalah! Kebahagiaanmu merupakan kebahagiaanku juga,“ kataku klise padahal hatiku, perasaanku, semuanya hancur, sehancur-hancurnya. Lalu meledaklah tangis Rissa Anggraini, ia menghambur ke dalam, ke kamarnya. Itulah kisah hidupku yang paling dramatis. Dan paling mengharukan. Aku tidak tahu hikmah apa yang ada di situ. Biasanya, setiap kejadian yang kualami, selalu kucoba untuk memetik hikmahnya. Biasanya, aku paling rajin mematut-matut kejadian yang kualami, terlebih lagi kejadian itu pahit adanya. Tapi perkara putusnya hubunganku dengan Rissa Anggraini dikarenakan kemauan orang tuanya, sulit sekali logikaku menerimanya. Entahlah! Apakah RA perlu minta maaf? Hanya karena ia harus nurut untuk dijodohkan atas pilihan kedua orang tuanya itu! Atau yang paling menggetirkan hatiku, kenapa harus memintaku untuk segera ke Bandung, jika hanya untuk menampilkan sebuah drama singkat tapi paling kelam sepanjang hayat hidupku sampai kapan pun. Sebetulnya tidak ada yang perlu dimaafkan. Setiap orang tua menginginkan kebahagiaan untuk 3
anaknya. Aku cuma bisa menerima saja keputusan pahit ini. Orang bijak berkata; manusia hanya berencana, tapi Tuhanlah yang menentukan. Meski masih patut dipertanyakan, apakah jodoh pilihan orang tua itu kehendak Tuhan? Sejujurnya aku ragu. Waktu aku bersamanya, akan selalu kurasakan cubitannya yang manja di punggungku, kadang di pinggangku, lebih banyak di lokasi lenganku. Akan selalu kukenang ketika ia menyambar lengan kiriku, dan tangan kanannya melilit di situ waktu menyeberangi jalan Braga, jalan Asia-Afrika, masuk bioskop, masuk toko buku, dan naik jembatan penyeberangan. Akan selalu kurasakan ia mendekap pinggangku, sebab tiba-tiba aku ngerem mendadak, nyaris saja motor kami menabrak seekor kucing yang sedang melintas. Ia usap dengan lembut manik-manik keringat di seluruh wajahku dengan tisunya yang harum, padahal manik-manik keringat itu hanya beberapa butir saja di keningku. Seringkali ia angkat gelasku, ketika kami makan bakso di kantin kampus, atau makan di warung ayam bakar kesukaannya di samping kantor redaksi BP, agar aku menghabiskan minumku. Bahkan akan selalu kuingat kata-katanya, “Banyak minum itu, sehat atuh!“ Terngiang-ngiang kata-kata manja ini di telingaku. Biarlah . . .
4
5