REVIEW PENGELASAN BAJA DAN BESI COR KELABU Generousdi(1) (1)
Dosen Kopertis Wilayah X, DPK Akatel Indonesia Jambi ABSTRACT
The welding process is the metal continuation with heat to be plastis or liqiud, with or without pressure. The fusion welding is a process involving the continuation of the process resulted in two main metals that will go through so that mixing occures between the two material and then congeal into one unit. The principles of welding process was a continuation that make use of metallurgical phenomena. The problems that arise are usually occured cract in the part of continuation. In the phenomenon of metallurgy at the time that was welding the steel whould happened martensite and fissure, while the gray cast iron was the occurence of white cast iron and martensit. Keywords: Crack, fissure, intermetalic, super silicon cast iron 1. PENDAHULUAN Besi cor sebagai logam dari kelompok paduan besi, termasuk logam yang relatif sulit dilas. Sulit dalam arti bukan tidak terjadi sambungan, akan tetapi lebih pada terjadi retakan di sekitar logam las dan logam induk yang dilas. Kendala itu lebih banyak disebabkan oleh karakteristik dari besi cor itu sendiri. Logam-logam paduan besi yang banyak mengandung karbon (lebih dari 0,3 %) relatif lebih sulit dilas. Menurut Suratman (2008), proses pengelasan yang melibatkan adanya pencairan di daerah sambungan, secara metalurgis akan menghasilkan tiga daerah (zone) seperti terlihat pada ”Gambar (1)” berikut: Ketiga daerah tersebut adalah daerah logam las (daerah 1), daerah fusi atau daerah pencampuran antara logam las dengan logam induk (daerah 2) dan daerah yang dipengaruhi panas, HAZ (daerah 3).
Gambar 1. Tiga Zona/Daerah pada sambungan akibat proses pengelasan. 1. 1. Daerah Logam Las (Daerah 1). Terjadi proses pembekuan dari logam las (weldmetal) atau logam pengisi (filler-metal). Fenomena pembekuan akan memunculkan struktur dendritik yang kasar diiringi dengan timbulnya segregasi sebagai akibat adanya laju pendinginan yang relatif cepat. Adanya pengkasaran ukuran butir dan segregasi di daerah logam las akan menurunkan sifat mekanik. Penurunan sifat mekanik yang terjadi diharapkan tidak melampaui sifat mekanik logam
induk menurut standar. Untuk mengkompensasi penurunan tersebut dipilih kualitas mekanik logam las minimal 15% lebih tinggi dari sifat logam induk. Disamping itu pada saat logam las membeku (bertransformasi fasa) senantiasa diiringi dengan perubahan volume (dalam hal ini menyusut). Perubahan volume yang mengiringi transformasi fasa merupakan hal awal timbulnya distorsi pada sambungan las dan bahkan menjadi awal mula timbulnya retak (crack) baik retak yang timbul dengan segera maupun retak yang timbul berikutnya (delay crack) baik di logam las (1) maupun di daerah yang dipengaruhi panas (3), (Suratman, 2008). 1.2. Daerah Fusi (Daerah 2) : Pada daerah ini terjadi pencampuran antara logam las dan logam induk. Pada prinsipnya di daerah ini terjadi proses pemaduan. Secara umum hasil dari suatu proses pemaduan dapat menghasilkan larutan padat, senyawa atau campuran antara larutan padat dan senyawa yang akan memberikan perbedaan terhadap sifat mekanik yang dimilikinya. Dalam praktek, keberadaan senyawa intermetalik yang getas sangat tidak diinginkan apabila terbentuk di batas butir, namun akan berperan sangat penting dalam meningkatkan kekuatan logam apabila senyawa tersebut muncul sebagai bagian dari fasa eutektik atau tersebar merata dalam bentuk partikel halus. 1.3. Daerah yang Dipengaruhi Panas (Daerah 3). Menurut Sutatman (2008), pada daerah ini akan terjadi kombinasi antara pembentukan butir-butir yang kasar sebagai akibat pengaruh suhu tinggi saat terjadi transformasi fasa, dari fasa padat ke fasa padat yang lain. Menurut Hall-Petch, pengkasaran butir akan menyebabkan kekuatan logam menurun sedangkan transformasi fasa yang terjadi di daerah tersebut juga akan diiringi dengan perubahan volume. Fenomena metalurgi yang terjadi di daerah 3 menjadi sangat kompleks dengan adanya temperatur gradien.
Jurnal Teknik Mesin
Vol.6, No.1, Juni 2009
Secara umum di daerah ini terjadi proses perlakuan panas dengan segala macam aspek yang mempengaruhinya seperti tinggi dan lamanya temperatur pemanasan, laju pendinginan, termasuk ada atau tidaknya pre-heat dan post-heat dan jenis fasa yang akan dihasilkannya. Masih menurut Suratman (2008), ketiga daerah tersebut akan selalu muncul pada saat proses pengelasan yang melibatkan adanya proses pencairan, baik pada saat mengelas logam yang sama (similar metal welding) maupun pada saat mengelas dua logam yang berbeda (dissimilar metal welding).. Khusus pada saat mengelas dua jenis logam yang berbeda, aspek lain di luar fenomena metalurgi yang perlu dipertimbangkan adalah : - Perbedaan koefisien muai sambungan. -
terhadap umur
Pengaruh korosi galvanik.
Pada beberapa jenis baja paduan dan besi cor, kedua aspek diatas merupakan hal-hal yang patut menjadi perhatian yang cermat dan akurat agar hasil pengelasan yang dilakukan dapat menghasilkan sambungan yang baik dan memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan dalam prosedur pengelasan (WPS), (Suratman, 2008). 2.
BAJA Cr-Mo DENGAN BAJA TAHAN KARAT AUSTENITIK
Baja tahan karat disebut tahan karat karena kehadiran unsur Cr. Walaupun Cr dalam jumlah sedikit sudah dapat memperbaiki sifat tahan korosi baja, tetapi baja baru disebut baja tahan karat apabila jumlah Cr lebih dari 11 %. (Bakti, 2004) Khrom adalah pembentuk senyawa yang kuat, jika karbon dan nitrogen ada dalam jumlah yang cukup, maka akan sangat mudah terbentuk karbida dan nitrida. Sehingga hal tersebut merupakan salah satu sebab dari beberapa faktor kegagalan baja tahan karat 18-8 dalam proses pengelasannya, disebut dengan sensitisasi. Salah satu teori yang menerangkan fenomena sensitisasi adalah sebagai berikut: Sifat tahan karat diperoleh antara lain oleh adanya lapisan pasif Cr2O3 bersifat transparant, yang terbentuk menutupi permukaan logam sehingga logam dasar terlindung. Pada selang temperatur sensitisasi terjadi presipitasi dari karbida kaya Cr (Cr23C6) pada batas butir, sehingga pada batas butir tersebut terjadi pemiskinan Cr, karena Cr keluar dari larutan padat. Karbida khrom pada batas butir tersebut tidak terserang korosi, sedangkan daerah yang miskin dari Cr tersebut, kandungan khrom tidak cukup tinggi untuk membentuk lapisan pasif Cr2O3 yang dapat melindungi logam dasar sehingga di daerah tersebut mudah terserang korosi. Khrom mempunyai bentuk kristal body-centered cubic (bcc) sehingga merupakan unsur penstabil struktur ferit, sehingga
ISSN 1829-8958
baja tahan karat yang banyak mengandung Cr akan mempunyai struktur ferit (Bakti, 2004)
Molibden (Mo), mempunyai pengaruh yang hampir sama dengan Cr dalam pembentukan struktur, yaitu struktur feritik, dikarenakan unsur ini mempunyai bentuk kristal bcc. Memperbaiki baja tahan karat untuk serangan korosi sumuran, contohnya untuk jenis 316, yang mempunyai kandungan Mo sekitar 23 %, mengingat unsur ini adalah penstabil ferit maka dalam jenis 316 tersebut, kandungan Cr dikurangi menjadi sekitar 16-18 % dan nikel dinaikkan menjadi sekitar 10-14 % untuk menjaga agar stuktur tetap austenitic (Bakti, 2004). Baja tahan karat austenitik terutama bersifat nonmagnetik dan tidak dapat diperkeras dengan laku panas. Seperti halnya jenir feritik, hanya dapat diperkeras dengan pengerjaan dingin. Kebanyakan dari jenis ini mengandung nikel sebagai unsur pembentuk austenitik yang utama, tetapi jenis baru seperti 201 dan 202 mengandung nikel lebih sedikit dan fungsinya digantikan oleh mangan. Baja tahan karat austenitik mempunyai ketahanan korosi yang lebih baik daripada jenis martensik dan feritik (yang hanya mengandung Cr). Sehingga jenis ini banyak dipakai di lingkungan yang tingkat korosinya lebih berat (Bakti, 2004). Jenis 201 dan 202 mempunyai ketahanan korosi yang sama baiknya dengan jenis 302. Jenis-jenis yang banyak dipakai di industri adalah 304, 304L, 316 dan 347. Baja tahan karat mengandung molibden (jenis 316), umumnya lebih baik dalam pemakaiannya dibandingkan dengan 304. Jenis 316 mempunyai ketahanan yang baik terhadap serangan korosi sumuran (pitting corrosion), serangan korosi di lingkungan asam sulfur dan asam organik panas. Ketahanan korosi dan ketahanan panas umumnya meningkat dengan naiknya kandungan nitrogen dan Cr, misalnya jenis 310 (25-20) yang mempunyai jenis paduan tahan panas (Bakti, 2004). Paduan 20 dimasukkan ke dalam kelompok ini, karena banyak dipakai untuk lingkungan korosi yang kuat, seperti umumnya untuk pemakaian jenis baja tahan karat austenitik. Paduan 20 tidak terdaftar dalam nomor AISI dan dalam bentuk wrought dikenal dengan nama Carpenter 20, sedang dalam bentuk cor dikenal dengan nama Durimet 20, dibuat dengan atau tanpa pemadu unsur Columbium (Bakti, 2004). Jenis baja tahan karat austenitik mempunyai sifat mampu las paling baik dibandingkan kelompok lainnya dan umumnya tidak memerlukan pemanasan awal atau proses laku panas. Untuk jenis paduan tinggi, terdapat kecenderungan terjadinya retak panas di daerah lasan, sehingga dalam proses lasnya 36
Review Pengelasan Baja dan Besi Cor Kelabu (Generousdi)
diusahakan agar masukan energi dibuat serendah mungkin. Sensitivitas terhadap retak panas akan berkurang bila dalam daerah las terdapat sedikit kandungan ferit, sehingga kawat las yang mengandung sedikit ferit sering dipergunakan untuk kasus ini. Struktur ferit tersebut sebenarnya dapat mengurangi ketahanan karatnya, maka untuk penggunaan di daerah yang sangat korosif disarankan untuk menggunakan kawat las bersifat austenitik. Pada industri petrokimia seringkali dijumpai baja CrMo, baik dari tipe ASTM A387 grade 11 (F11) maupun F12 (dissimilar); disambungkan dengan baja tahan karat austenitik atau baja F11 disambungkan dengan baja F11 (similar). Lazimnya pada kedua pengelasan tersebut seringkali menggunakan logam pengisi dari jenis baja tahan karat austenitik atau dari jenis paduan Ni-Cr-Fe seperti paduan Incoloy 825 atau paduan Inconel 625. Dari tabel 1 dapat dilihat komposisi baja F11, baja tahan karat austenitik SAE 304L, Incoloy 825 dan Inconel 625 sebagai berikut (Suratman, 2008) : Tabel 1. Komposisi Baja F-11, Baja Tahan Karat Austenitik, Incoloy 825 dan Inconel 625. Jenis Logam Fe Cr Ni C Mn Si Mo P S Cb Cu
F-11 balan 1-1.5 <= 0.17 0.4-0.65 0.5-0.8 0.45-0.65 < = 0.03 < = 0.03 -
SAE 304L balan 18-20 8-12 0.03 2.0 1.0 0.03 0.03 -
Incoloy 825 30 20 42 0.03 3 3.5
Incoloy 625 30 22 62 0.05 9 2 -
Jadi apabila F11 disambungkan dengan SAE 304L, misalnya menggunakan logam pengisi juga SAE 304L, maka di daerah Fusi di sisi F11 akan terjadi dilusi antara logam induk (F11) dengan logam pengisi (SAE 304L). Untuk membantu menganalisis apakah pemilihan logam las dari jenis baja tahan karat SAE 304L sudah tepat dan jenis fasa apa yang akan terjadi di daerah fusi di sisi F11 dapat digunakan diagram Schaeffler yang sudah dimodifikasi oleh Schneider seperti terlihat pada ”Gambar (2)”, Suratman (2008).
Menurut Suratman (2008), dengan memperhitungkan %Ni.eq dan % Cr.eq dari kombinasi komposisi yang akan terjadi di daerah fusi dan menerapkannya pada diagram Schaeffler, tampak bahwa kombinasi komposisi F11 dan SAE 304L jatuh di daerah austenit. Jika hal seperti ini yang terjadi, maka pemilihan jenis logam las maupun logam pengisi sudah tepat. Yang harus dihindari adalah apabila kombinasi komposisi menghasilkan fasa martensit. Keberadaan fasa martensit seringkali dikaitkan dengan masalah kegetasannya. Namun yang paling berbahaya dari keberadaan martensit adalah bahwa pembentukannya kadang-kadang diikuti dengan munculnya retak rambut (fissure) yang seringkali sulit dideteksi dengan peralatan ultrasonic. Kalaupun terdeteksi seringkali dinyatakan sebagai minor defect. Analisis berikutnya adalah fenomena yang terjadi didaerah HAZ terutama di daerah interface antara logam induk dengan logam cair. Jika Ni berdifusi, maka akibat adanya gradien kadar Ni maka kombinasi komposisi di daerah tersebut akan menghasilkan martensit Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan proses pre heat yang besarnya harus diatas temperatur Ms dari kombinasi komposisi yang menghasilkan martensit. Kemungkinan timbulnya retak yang tertunda (delay crack), dapat juga di"ramal"kan dengan memperhitungkan suatu harga faktor yang dibuat oleh Miyano dalam (Suratman, 2008) menyatakan bentuk persamaan sebagai berikut : (%Si + %Mn)(%P + %Zn).104 ≤ 200
... (1)
Miyano juga mengatakan bahwa besarnya faktor dari hasil perhitungan diatas kurang dari 200, maka tidak akan timbul retak. Namun apabila harganya diatas 200, maka pada suatu saat akan timbul retak. Patokannya adalah makin besar faktor tersebut, kemunculan retak semakin dekat. 3. MENGELAS BESI COR KELABU Besi cor kelabu, dalam standar Nasional Indonesia SNI) dikenal dengan BTK 15,20,25, 30 dan 35. Sedangkan pada ASTM, JIS dan BS diberi notasi FC 15,20,25,30 dan 35. Untuk standar Jerman dikenal DIN 15,20,25,30 dan 35. Angka tersebut menunjukkan kekuatan tarik minimal, sebagai contoh BCK 15 yaitu besi cor yang mempunyai kekuatan tarik minimal 15 kg/mm2 (Bakti,2004). Besi cor kelabu adalah paduan besi-karbon dengan kadar C berkisar dari 2,5 – 4,0 % dan masih terdapat unsur lainnya seperti Si (1,4-2,5 %), Mn (0,4-1,0 %), P (0,05-1,0 %), S (0,06-0,15 %) dan lain sebagainya. Disamping itu dalam penggunaan tertentu masih ditambah lagi unsur Ni, Cr dan Mo (Bakti, 2004).
Gambar 2. Diagram Schaeffler- Schneider
Masih menurut Bakti (2008), besi cor kelabu mempunyai tanda yaitu dari bentuk grafit yang 37
Jurnal Teknik Mesin
Vol.6, No.1, Juni 2009
berupa serpih-sertih, sehingga akan mempunyai beberapa sifat mekanik yang paling rendah. Untuk meningkatkan sifat mekanik dapat diberikan unsurunsur paduan seperti nikel (Ni), krom (Cr), tembaga (Cu), timah putih (Sn) dan lain-lain. Sifat mekanik besi cor ini sangat ditentukan oleh matriks yang dibentuknya, misalnya matriks ferit (α) akan lebih ulet dibandingkan dengan matriks (α + Fe3C). Keluarga besi cor umumnya dibuat menggunakan tanur kupola dengan bahan bakar kokas, hanya ada kesulitan dalam membuat komposisi yang akurat dan paduan tinhggi pada tanur kupola karena penyediaan bahan baku dan bahan imbuh lainnya harus betulbetul diketahui identitasnya. Dalam operasi tanur kupola tidak bisa pengolahan dalam tanur dibandingkan dengan tanur induksi, jadi apa yang keluar dari tanur kupola itulah hasil (komposisi).Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
ISSN 1829-8958
perhitungan yang cermat untuk mendapatkan kelas atau komposisi yang diinginkan. Hasil yang didapatkan dari tanur kupola hanya kelas paduan rendah dan tidak bisa membuat paduan tinggi atau paduan khusus (Bakti, 2004). Untuk mendapatkan paduan tinggi dipergunakan tanur induksi.Dalam pengoperasian tanur induksi bahan baku tidak begitu ketat dibandingkan dengan tanur kupola. Komposisi dan temperatur dapat diatur sesuai dengan yang direncanakan. Besi cor kelabu (BCK) komposisi kimia dan kekuatan tarik dapat dilihat pada ”Tabel (2)”. Pada tabel tersebut dapat dilihat kelas-kelas yang menunjukkan besi tuang kelabu dan kekuatan tarik minimalnya. Sedangkan sifat mekanik besi cor kelabu yang dikelompokkan atas kelasnya, dapat dilihat pada ”Tabel (3)”, (Bakti, 2004).
Tabel 2. Kelas Besi Cor Kelabu Berdasarkan Komposisi dan Kuat Tarik. Kelas 15 20 25 30 35
% C 3.30-3.60 3.30-3.50 3.10-3.40 3.00-3.20 2.95-3.15
% Si 1.90-2.70 1.80-2.10 1.60-2.00 1.60-1.90 1.10-1.30
% Mn 0.40-0.70 0.65-0.85 0.70-0.95 0.90-1.10 0.90-1.20
Tabel 3. Sifat Mekanik dari Besi Cor Kelabu Kelas
Kuat Tarik, Kg/mm2 10 min 15 min 20 min 25 min 30 min 35 min
Kekerasan (HB) 201 212 223 241 262 277
% S 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20
% P 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15
Kuat Tarik, kg/mm2 15 20 25 30 35
tidak dapat menyesuaikan dengan logam induk sehingga terjadi lubang-lubang halus.
1.
Bila terjadi pendinginan yang terlalu cepat pada saat pembekuan, maka akan terbentuk besi cor putih yang keras, getas dan mudah patah. Dapat juga terbentuk apabila kadar S dan O di dalamnya terlalu tinggi.
2.
Persenyawaan C dari besi cor dengan O2 dari atmosfir las akan membentuk gas CO yang menyebabkab terjadinya lubang halus.
3.
Tegangan sisa yang terjadi pada sudut, rusuk dan tempat perubahan tebal terjadi akan menyebabkan terjadinya retak pada besi cor.
Menurut Avner (1974), karakteristik besi cor kelabu adalah adanya grafit yang berbentuk serpih.. Keberadaan grafit dengan bentuk seperti ini menyebabkan besi cor kelabu sangat sensitif terhadap timbulnya retak apabila dibebani dengan beban tarik. Kenyataan ini yang menjadi penyebab mengapa besi cor kelabu sulit dilas, karena pada saat logam las membeku (yang diiringi dengan penyusutan, maka lazimnya akan muncul retak di kiri kanan logam las). Disamping itu laju pendinginan sangat berpengaruh terhadap timbulnya besi cor putih yang bersifat sangat keras, maka untuk mengatasi hal tersebut, mengelas besi cor kelabu lazim diterapkan preheat yang relatif tinggi (500-600 oC) untuk memperlambat laju pendinginan sehingga pembentukan besi cor putih dapat dihambat. Saat ini untuk mengelas besi cor kelabu digunakan proses pengelasan SMAW dengan menggunakan logam las atau logam pengisi dari jenis besi cor kelabu dengan kadar Si yang sangat tinggi (super silicon cast iron) dengan jenis flux yang terdiri dari borat, soda ash, sedikit ammonium sulfat dan oksida besi. selain itu kadangkadang digunakan logam las yang menganduing Nikel atau bahkan Nikel murni.
4.
Pemanasan yang terlalu lama menyebabkan pengkasaran grafit, menyebabkan elektroda
Secara umum, permasalahan dalam pengelasan besi cor kelabu dijelaskan sebagai berikut (Sindo,1987) :
FC 10 FC 15 FC 20 FC 25 FC 30 FC 35
Besi cor pada umumnya mempunyai sifat mampu las yang rendah bila dibandingkan dengan besi dan baja. Hal itu disebabkan antara lain (Sindo, 1987):
38
Review Pengelasan Baja dan Besi Cor Kelabu (Generousdi)
a.
Grafit yang tersebar di berbagai tempat akibat segregasi mungkin saja sebagian dari grafit itu berubah menjadi sementit, sehingga sebagian logam las berubah menjadi besi cor putih yang sangat keras. Perubahan ini dikenal dengan istilah ” efek cil” dan mungkin saja dapat terjadi di HAZ selain di logam las. Adanya efek cil terjadi akibat hilangnya unsur karbon dan silikon sehingga kandungan kedua unsur tersebut menurun. Kemudian kondisinya diperburuk dengan pendinginan yang cepat di kedua daerah itu sehingga menghasilkan besi cor putih dengan ciri adanya struktur sementit.
b.
Ketika terjadi pembekuan, akibat gradien temperatur yang besar menghasilkan regangan dan tegangan termal pada daerah tertentu. Regangan dan tegangan termal ini pada akhirnya dapat memicu pembentukan retak, baik di logam las maupun di HAZ.
c.
Besi cor memiliki temperatur cair relatif rendah dan perubahan dari fasa padat ke cair dan sebaliknya dapat berlangsung dengan sangat cepat. Akibatnya gas-gas yang ikut terlarut dalam kubangan las logam tidak memiliki cukup waktu untuk keluar dari daerah itu dan akhirnya terjebak. Dengan demikian kadang-kadang setelah pengelasan, logam las banyak mengandung porositas.
d.
Cairan logam besi cor sangat encer sehingga mampu alirnya sangat baik. Dengan karakter seperti itu, pengelasan besi cor akan menghasilkan sambungan yang optimal apabila dilakukan dalam posisi mendatar.
e.
Terdapat lapisan oksida (silikon oksida dan mangan oksida di permukaan logam yang memiliki titik cair lebih tinggi dari logam induknya. Sehingga selama pengelasan dapat terjadi fusi yang tidak sempurna antara logam las dan logam induk.
Pada perkembangan berikutnya, mengingat kesulitankesulitan yang sering dijumpai dalam mengelas besi cor kelabu, maka telah dikembangkan metodametoda baru yang lazim dikenal dengan istilah : Metoda Pouring (buring in), metoda Powder filling, metoda Draoplet spray, dan metoda Turbulence Flow Casting (TFC), (Sonawan, 2008). Metoda-metoda tersebut pada prinsipnya mengupayakan menuangkan logam cair (dalam hal ini besi cor kelabu yang cair) ke bagian yang akan disambungkan sehingga antara logam las di daerah sambungan dengan logam induk tidak terjadi perbedaan material sehingga mampu menghasilkan ikatan metalurgi yang baik dan homogen tanpa terjadi penggetasan, seperti terlihat pada ”Gambar (3)” dan ”Gambar (4)”. Metoda-metoda tersebut di
atas bahkan akhir-akhir ini telah mulai diujicobakan untuk mengelas logam-logam yang memiliki afinitas terhadap oksigen yang besar seperti baja tahan karat, paduan aluminium dan titan (Suratman, 2008).
Gambar 3 Ikatan Metalurgi Lasan
Gambar 4 Ikatan Metalurgi Lasan yang Homogen (Tanpa Penggetasan)
4. KESIMPULAN 1.
Untuk mengelas baja Cr-Mo similar atau dissimilar digunakan logam pengisi (filler metal) dari jenis baja tahan karat austenitik (paduan NiCr-Fe).
2.
Untuk mengetahui ketepatan penggunaan logam las dengan fasa yang akan terjadi di daerah fusi, maka digunakan diagram Schaeffler/Schneider.
3.
Untuk menghindari terjadinya retak (crack) hasil pengelasan besi cor kelabu, maka perlu dilakukan pemanasan awal (pre heat) sebelum pengelasan agar pembentukan besi cor putih dapat dihambat.
4.
Untuk mengelas besi cor kelabu digunakan proses pengelasan SMAW dengan logam las atau logam pengisi dari jenis besi kelabu yang mengandung unsur Si yang relatif sangat tinggi.
PUSTAKA 1.
Avner, Sidney H. Introduction to Physical Metallurgy, McGraw Hill International Edition, New York, 1974.
2.
Bakti,A.,Y., Pengetahuan Bahan dan Bahan Tambah, Balai Besar Logam dan Mesin, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan, 2004. 39
Jurnal Teknik Mesin
Vol.6, No.1, Juni 2009
3.
Kou, Sindo, Welding Metallurgy, John Wiley & Sons, New York, 1987.
4.
Sonawa, Pengelasan Besi http://sonawan.blogspot.com, 2008
5.
Surdia, Tata dan Saito, Shinroku, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramitha, Cetakan Pertama, Jakarta, 1985.
6.
Suratman, R., indonesia.com, 2008
7.
Wiryosumarto, Harsono and Okunura, T., Teknik Pengelasan Logam, Pradnya Paramitha, Cetakan Kelima, Jakarta, 1991
http:
ISSN 1829-8958
Cor,
//www.Migas-
40
Review Pengelasan Baja dan Besi Cor Kelabu (Generousdi)
41