NYONYA KELABU Anna Katharine Green
2014
Nyonya Kelabu Diterjemahkan dari The Gray Lady karangan Anna Katharine Green terbit tahun 1899 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Mei 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
HANTUKAH itu? Selama berhari-hari aku tak mampu menjawab pertanyaan ini. Aku bukan orang yang percaya penjelmaan arwah, tapi – biar kuceritakan pengalamanku. Aku menginap bersama isteriku di lantai pertama sebuah rumah di Twenty-seventh Street. Aku menyewa apartemen untuk tiga bulan, dan kami sudah tinggal di sana selama dua bulan. Tempatnya cukup nyaman. Ruang belakang kami pakai sebagai kamar, dan saat kami menjamu beberapa teman, dua daun pintu mahoni tua besar yang menghubungkan kedua ruangan biasanya terbuka lebar. Suatu pagi, karena isteriku sedang sakit, aku meninggalkannya berbaring di ranjang dan melangkah ke ruang tamu untuk sarapan. Hari sudah siang—kira-kira jam sembilan—dan aku bergegas. Lalu aku mendengar sebuah suara di belakangku—atau aku cuma merasakan kehadiran?—dan, saat berbalik, kulihat seorang wanita aneh dan tak dikenal menghampiriku dari kamar isteriku. Karena aku baru meninggalkan kamar itu, dan karena tak ada jalan masuk lain kecuali pintu yang selalu kami kunci, aku begitu keheranan sampai tak terpikir untuk bicara atau bergerak sebelum dia melewatiku. Kemudian aku mendapatkan suaraku kembali dan memanggil “Nyonya!”, berusaha menghentikannya. Tapi nyonya itu, jika benar seorang nyonya, terus berlalu dengan tenang, bahkan mekanis, seolah tak mendengar suaraku, sebelum aku sadar bahwa dia melebur dari hadapanku, melayang ke pintu depan dan keluar, meninggalkan “rasa” gaun wolnya— 5
yang berhasil kusentuh—di telapak tanganku. Tak paham akan dirinya atau diriku atau sensasi aneh yang ditimbulkan oleh sentuhan ini, aku membuka pintu depan dan menengok keluar. Tentu saja aku mengira akan melihatnya di tangga atau trotoar depan. Tapi dia tak terlihat di manapun, dan aku kembali sambil bertanya-tanya apa aku ini korban halusinasi atau sekadar kekonyolan sehari-hari. Untuk menjawab pertanyaan penting ini aku mencari pelayan koridor, dengan maksud menanyainya apa dia melihat seseorang seperti itu keluar. Tapi pemuda nakal itu seperti biasa tak ada di posnya dan tak ada siapapun yang bisa ditanya. Tak ada yang dapat kuperbuat selain masuk lagi ke kamar, di mana perhatianku segera tersita oleh pemandangan duduknya isteriku di tempat tidur dan mengamatiku dengan raut heran. “Siapa wanita barusan?” tanyanya. “Bagaimana dia masuk ke sini?” Jadi dia juga melihatnya. “Wanita apa, Lydia? Aku tak memasukkan seorang wanita pun. Kau pikir ada wanita di ruangan ini?” “Bukan di ruangan itu,” jawabnya serak, “tapi di sini. Aku melihatnya berlalu melewati pintu lipat. Wilbur, aku ketakutan. Lihat, tanganku gemetar. Kau pikir aku sakit parah sampai berkhayal melihat sesuatu?” Aku tahu dia benar, tapi aku tidak bilang. Kupikir lebih baik dia menganggap dirinya salah paham. “Kau mengantuk,” kataku. “Jika kau lihat wanita di sini, tentu 6
kau bisa ceritakan bagaimana penampilannya.” “Aku bisa,” sela isteriku heboh. “Dia seperti hantu-hantu yang sering kita baca, hanya saja gaunnya dan kerudung atau selendang yang dipakainya semuanya kelabu. Kau tak melihatnya? Kau pasti lihat. Dia persis melewatimu – wanita kelabu, segalanya kelabu; seorang nyonya, Wilbur, dan sedikit pincang. Mungkinkah aku cuma bermimpi?” “Pasti cuma mimpi!” protesku, menggetar-getarkan pintu koridor agar dia tahu itu terkunci, dan bahkan menunjukkan kuncinya tergeletak di tempat biasa di bawah bantal lemari laci. Tapi aku tak puas, sebab dia melukiskan sosok itu dengan sangat akurat, sosok yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa kami sama-sama korban penjelmaan arwah? Hari itu Selasa. Pada hari Jumat pertanyaanku tampaknya mendapat jawaban. Aku berada di pusat keramaian kota seperti biasa, dan sewaktu pulang kudapati kerumunan orang berkumpul di depan penginapanku. Seorang wanita terlindas dan dibawa ke kamar kami. Sekilas aku melihatnya, dia berusia pertengahan dan terbalut mantel hitam panjang. Topinya jatuh, lama kemudian disusul mantelnya, dan kulihat gaunnya hitam dan layak. Dia dibaringkan di tempat tidur kami, semua perhatian tertuju padanya. Dia terluka parah di sekitar kepala dan perlahan tapi pasti semakin lemah di depan mata kami. Tiba-tiba dia bangkit dan melihat sekeliling. Luar biasa – pandangan kenal dan nyaris senang. Lalu dia mengangkat satu tangan dan, setelah menunjuk dengan isyarat signifikan ke ruang hampa di hadapannya, kembali 7
rebah dan wafat. Itu akhir yang tiba-tiba, dan aku mencemaskan efeknya terhadap isteriku yang berdiri di sisi lain ranjang. Aku melirik ke arahnya dengan was-was. Dia menunjukkan perasaan lebih dari yang kukira. Raut mukanya serius, dan ketika dia melirik ke arahku, di bawah pengaruh pengamatanku, kulihat sesuatu yang lebih dalam daripada kematian tak disangka-sangka di kamar kami ini. Aku segera tahu, dengan mengencangkan kerudung kelabu panjang yang jatuh ke sisi tempat tidur dari tengah lipatan mantel berlapis kelabu yang dikenakan wanita itu, isteriku menatanya lembut di sekitar wajahnya, menusukku dengan tatapan penuh arti. “Kau ingat penampakan yang kulihat saat aku sakit pagi itu?” bisiknya pelan di telingaku. Aku mengangguk, diam-diam jantungku bergetar. “Well, itu adalah penampakan wanita ini. Seandainya dia masih hidup dan berdiri dan terbungkus kerudung ini, sebagaimana sudah kuceritakan, kau akan menyaksikan gambar hidup seseorang yang kulihat keluar dari kamar pagi itu.” “Aku takkan membantahmu,” jawabku. Ah! Aku sendiri merasakan hal yang sama ketika kerudungnya jatuh ke sekitar wajah yang kurus tapi cantik! “Pertanda,” bisik isteriku, “pertanda kejadian hari ini di bawah atap kita. Kita melihat roh. Wilbur, aku tak mau tidur di kamar ini lagi.” Maka kami pun tidak tidur di sana. Aku dan isteriku sama8
sama ingin pergi. Tapi aku bukan orang yang percaya takhayul. Sebagai bukti, setelah efek pertama peristiwa itu meninggalkanku, aku mulai mempertanyakan kesan pertamaku dan merasa malu karena mudah percaya begitu saja. Meski fenomena yang kami lihat tak bisa dijelaskan oleh hipotesis biasa; meski aku dan isteriku melihat seorang wanita aneh tiba-tiba tampak di dalam kamar yang sesaat sebelumnya tak ada siapa-siapa selain kami berdua, dan tak ada satupun wanita yang masuk tanpa sepengetahuan kami; tapi ada sesuatu – entah pikiran sehatku? – yang melompat ke depan penjelasan supranatural ini, dan aku dipaksa percaya bahwa tamu pertama kami sama riilnya dengan tamu terakhir; dengan kata lain, wanita yang sama. Tapi bisakah aku membuktikannya? Bisakah hal tak mungkin dibuat mungkin, dan hal tak terjelaskan mendapat solusi yang memuaskan akal rasional? Kuputuskan berusaha mencapai ini, sekiranya dapat meringankan pikiran isteriku, yang ketenangan hatinya belum pulih. Berawal dari asumsi di atas – bahwa wanita yang mati di hadapan kami adalah orang sama yang sebelumnya masuk ke kamar kami tanpa dapat dijelaskan – pertama-tama aku menyelidiki apakah mantel hitam berlapis kelabu itu tidak menawarkan solusi untuk beberapa kesulitanku. Mantel yang panjang, menyelubungi tubuhnya penuh. Ketika dikenakan dengan bagian hitam di sebelah luar, dia akan tampil tak mencolok, tapi dengan bagian kelabu di sebelah luar dan efek ini diperkuat oleh kerudung kelabu panjang yang tergantung di atas topinya, dia akan 9
tampak seperti nyonya kelabu yang pertama kali kulihat. Nah, sebuah mantel bisa dibalik cepat-cepat. Jika dia memilih melakukan ini pada saat melayang melewati pintu, tentu saja aku hanya akan mendapati wanita tenang berpakaian hitam sedang mendaki jalan raya ketika aku bergegas ke pintu depan dan menengok
keluar,
setelah
pulih
dari
keheranan
akibat
penampakannya. Benarkah wanita demikian yang kulihat? Kurasa begitu. Jadi sejauh ini memuaskan, tapi untuk menjelaskan bagaimana dia masuk ke kamar kami tidaklah mudah. Apa dia menyelinap masuk melewatiku seperti saat keluar? Pintu ruang tamu terbuka, sebab aku habis keluar untuk mengambil koran. Mungkinkah dia masuk tanpa terasa, lalu pergi ke kamarku, yang dari situ aku melihatnya keluar? Tidak, sebab aku terus-menerus berdiri menghadap pintu ruang depan. Kalau begitu lewat pintu kamar? Tapi itu, seperti sudah kubilang, terkunci. Dengan demikian ini sebuah misteri; tapi layak dipecahkan. Langkah pertamaku adalah mengingat semua yang kudengar tentang wanita yang sudah dikubur itu. Namanya, sebagaimana diketahui dari penginapan murah di mana dia tinggal, adalah Helmuth, dan dia dikenal tak punya teman atau kerabat di kota ini. Bagi mereka yang menjumpainya setiap hari, wanita itu sedikit gila tapi tak berbahaya dan punya cukup uang untuk hidup di atas keperluan, tapi tak cukup untuk membuatnya membual tentang barang-barang mewah yang akan dibelinya suatu hari nanti dan hadiah-hadiah cantik yang akan diberikannya dalam waktu dekat. 10
Uang yang ditemukan darinya cukup untuk memakamkannya, tapi tak ada dokumen atau surat apapun yang menerangkan masa lalunya. Kepincangannya disebabkan oleh kelumpuhan, tapi kapan penyakit tersebut menyerang, hal ini tidak diketahui. Tak menemukan petunjuk yang bisa kupelajari, aku kembali ke kamar lama kami yang belum disewakan sejak kepergian kami, dan mencari petunjuk di sana, dan anehnya ketemu. Kupikir aku sudah tahu semua hal yang diperlukan tentang apartemen yang kami tinggali selama dua bulan, tapi satu fakta luput dari perhatianku, dan setelah kuselidiki menjadi nyata. Rupanya, kunci yang membuka pintu lorong kamar dan jarang kami pakai tidak setua kunci pintu di ruang tamu, dan fakta ini, betapapun kecil, menuntunku mengadakan penyelidikan. Hasilnya, aku mengetahui sesuatu tentang pasangan yang memakai kamar ini sebelum kami. Mereka berusia pertengahan dan berkepribadian elegan tapi bayaran mereka tak menentu, karena si suami cuma penjudi profesional. Mereka adalah keluarga L’Hommedieu. Ketika pertama kali mendengar tentang mereka, kupikir Ny. L’Hommedieu adalah Ny. Helmuth yang riwayatnya menarik perhatianku, tapi dari semua yang kupelajari, dia tipe orang yang amat berbeda. Ny. L’Hommedieu periang, lincah, dan mampu berlagak dengan sutera halus yang segan dikenakan pramuniaga. Sedangkan Ny. Helmuth tampak berbeda dan mengenakan perhiasan murah dengan lebih anggun dibanding kebanyakan 11
wanita dengan berliannya. Aku pasti sudah menghentikan penyelidikan ini andai seseorang tidak menyebut bahwa Ny. L’Hommedieu mengalami stroke lumpuh setelah pindah rumah. Ini, bersama fakta bahwa kunci pintu belakang, yang diganti dengan kunci baru, dibawa pergi olehnya dan tak pernah dikembalikan, tak pelak mengaitkannya dengan tamu misteriusku sehingga aku berbulat hati meneruskan penyelidikan masa lalu Ny. L’Hommedieu. Untuk tujuan ini, aku mencari-cari seorang nyonya perawan mungil aneh yang tinggal di lantai atas, yang tahu lebih banyak soal keluarga L’Hommedieu daripada siapapun di bangunan ini. Nn. Winterburn—aku tak sempat berkenalan dengannya selama bermukim di rumah ini—adalah sosok ramah, heboh, bersemangat, yang kesenangannya adalah membicarakan keluarga L’Hommedieu. Dari kisah yang dia ceritakan, aku mempercayai perkataannya sebanyak mungkin. “Aku
bukan
bandingan
mereka,”
katanya,
“tapi
Ny.
L’Hommedieu kesepian, dan karena tak punya teman di kota ini, dia cukup baik mau memasukkanku ke ruang tamunya sesekali dan bahkan mengizinkanku menemaninya ke teater bilamana suaminya sedang pergi untuk kunjungan misterius. Aku tak pernah suka Tn. L’Hommedieu, tapi aku menyukai Ny. L’Hommedieu. Dia sangat berbeda dariku dan, waktu pertama kali kenal, begitu periang dan bawel. Tapi tak lama kemudian dia berubah dan murung, sehingga kunjunganku justru membuatku sedih bukannya senang. Semua orang tahu alasan perubahan ini. Walau tampan, suaminya tak 12
bermoral dan sial. Dia penjudi. Nyonya pernah mencurhatkannya padaku. Meski sewaktu-waktu mendapat nasib mujur, suaminya itu lebih sering pulang dalam kondisi patah semangat dan raut muka lapar dan menakutkan seperti serigala kehilangan mangsa. “Aku selalu cemas dia akan memukuli Ny. L’Hommedieu setelah ditimpa kekecewaan seperti itu, tapi kurasa dia tak pernah berbuat begitu. Ny. L’Hommedieu punya karakter teguh, dan aku sering berpikir Tn. L’Hommedieu juga takut padanya sebagaimana sebaliknya. Aku menjadi yakin akan hal ini setelah suatu malam. Ny. L’Hommedieu dan aku mengadakan makan malam bersama kecil-kecilan di ruang tamu depan yang baru-baru ini kau tempati. Itu makan malam biasa, sebab dompet keluarga L’Hommedieu sudah menipis, dan Ny. L’Hommedieu bukanlah tipe wanita yang suka membelanjakan banyak uang untuk makan. Namun hidangannya sangat lezat, dan aku akan lebih menikmatinya andaikan Ny. L’Hommedieu berselera. Tapi dia hampir tidak makan apa-apa dan tampak sangat gelisah dan tak gembira, meski sesekali tertawa dengan ledakan riang yang terlalu histeris. Malam belum larut, tapi kami berdua sangat kaget ketika terdengar ketukan di pintu, disusul masuknya seorang tamu. “Ny. L’Hommedieu, yang selalu elegan, bangkit tanpa malu untuk menemui pria itu, tapi aku tahu dia pasti memikirkan tampilan hidangan yang ditinggalkannya dengan begitu anggun. Orang asing itu – sudah pasti orang asing, bisa dilihat dari keformalan sikap Nyonya – adalah pria yang sopan dan terlihat makmur. 13
“Aku ingat setiap kata yang keluar. “‘Namaku Lafarge,’ katanya. ‘Aku sedang, atau tepatnya sudah, punya utang besar pada suamimu, dan aku datang untuk menunaikannya. Apa dia di rumah?’ “Mata Ny. L’Hommedieu, yang berbinar mendengar namanya, mendadak lesu saat lelaki itu bertanya. “‘Maaf,’ balas Ny. L’Hommedieu setelah merasa malu, ‘tapi suamiku jarang di rumah malam-malam. Jika kau mau datang tengah hari—’ “‘Terima kasih,’ katanya, dengan senyum cerah, ‘tapi aku akan selesaikan
urusanku
sekarang
denganmu,
berhubung
Tn.
L’Hommedieu sedang tak di rumah. Bertahun-tahun lalu – aku yakin kau pernah dengar suamimu menyebut-nyebut namaku – aku pinjam cukup banyak uang darinya, yang belum kubayar. Kau pasti ingat jumlahnya?’ “‘Aku pernah dengar Tn. L’Hommedieu bilang seribu dolar,’ jawabnya,
tangannya
tiba-tiba
bergerak-gerak
menandakan
kegirangan. “‘Ya segitu,’ dia mengiyakan, tidak menghiraukanku atau mungkin tidak menganggapku penting. ‘Aku menyesal sudah membuatnya menunggu begitu lama, tapi aku tak lupa untuk menambahkan bunga dalam menuliskan laporan utangku ini, dan jika kau mau periksa dokumen ini dan mengakui kebenarannya, akan kutitipkan pelunasan utangku sekarang juga, sebab aku akan berlayar ke Eropa besok pagi dan aku ingin semua urusanku beres sebelum berangkat.’ 14
“Ny. L’Hommedieu, yang hendak pingsan karena perasaan berlebihan, menghimpun seluruh kekuatannya dan terlihat cantik. Siapapun akan lupa bahwa pita-pita di lengan bajunya sudah lusuh dan gaun suteranya lunglai. “‘Aku berterima kasih padamu,’ katanya dengan nada meredam antusiasme. ‘Dan jika boleh aku berbicara atas nama Tn. L’Hommedieu, dia akan sama-sama berterima kasih karena kau masih ingat kami, juga atas uang yang kau kembalikan.’ “Orang asing itu membungkuk dan mengeluarkan kertas terlipat, yang diserahkan pada Nyonya. Aku yakin dia tidak terperdaya oleh sikap elegan Ny. L’Hommedieu dan tahu bahwa tak ada wanita yang sanggup bertahan di saat membutuhkan uang. Tapi perilakunya tak menampakkan pengetahuan ini. “‘Ini surat utang,’ katanya menjelaskan. ‘Kau akan temukan lampiran cek yang bisa dicairkan kapan saja. Ini sama-sama bernilai, seperti uang biasa, dan mungkin lebih praktis.’ “Dan dengan isyarat ini—kuanggap dia paham sepenuhnya posisi Nyonya—dia mengambil tanda terima dari Nyonya lalu pergi dengan sopan. “Setelah berduaan saja denganku, yang bukan siapa-siapanya, dia bergembira lepas. Belum pernah kusaksikan seseorang yang begitu larut dalam kebahagiaan seperti itu. Mendapat uang di saat kemelaratan terbayang di hadapannya adalah kelegaan besar baginya sampai-sampai sulit untuk menyembunyikan kesengsaraan yang selama ini dialaminya atau menikmati kepuasan yang baru diperolehnya. Di bawah pancaran emosi, seluruh sejarah hidupnya 15
terungkap, tapi karena sudah sering kau dengar maka tak perlu kuulang, apalagi karena semua itu disampaikan sambil menangis dan tak lama kemudian dia menyodorkan surat utang itu ke tanganku. “‘Dia tak boleh melihatnya! Tak boleh! Nanti seperti yang sudah-sudah, dan aku takkan kebagian satu sen pun. Ambil dan simpan ini, aku tak punya cara untuk menyembunyikannya di sini. Dia sering curiga.’ “Tapi aku tak mau mengabulkan permintaannya. Mengerti apa yang kurasakan, dia ambil kembali kertas itu dan disembunyikannya di dada dengan raut muka yang belum pernah kusaksikan. ‘Kau tak perlu membebani dirimu dengan tanggungjawab sebesar itu,’ katanya. ‘Tapi bisakah aku percaya bahwa kau takkan bilang padanya?’ “‘Ya,’ aku mengangguk, merasa muak dengan urusan itu. “‘Kalau begitu—’ Tiba-tiba pintu berayun terbuka dan Tn. L’Hommedieu menghambur masuk dalam kondisi seheboh isterinya, hanya saja hebohnya karena hilang semangat. “‘Hilang sudah! Hilang sudah!’ teriaknya, tidak menghiraukanku sebagaimana Tn. Lafarge sebelumnya. ‘Tak satu dolar pun tersisa; bahkan kancingku! Lihat!’ Dia menunjuk muka kemejanya yang terbuka dengan cara yang tak perlu kucari-cari pada pria sembrono tapi rewel ini. ‘Tapi seandainya aku punya satu dolar lagi atau bahkan cincin senilai satu dolar, mungkin aku sudah —Theresa,
kau
punya
uang?
menyelamatkan kita.’ 16
Satu
koin
mungkin
bisa
“Ny. L’Hommedieu, yang sudah pucat, bangkit menghadapinya. ‘Tidak!’ katanya, lalu mengalihkan tatapan penuh makna padaku. “Tn. L’Hommedieu tak memahami gerakan ini. Hanya menganggapnya sebagai pengingat akan keberadaanku. Dia menoleh dan membungkuk padaku, dengan penghormatan palsu tapi mengesankan. Lalu dia melupakanku lagi dan menghadapi isterinya, dan menggeram: “‘Kalau begitu dari mana kau akan dapat sarapan? Kau bukan wanita yang siap kelaparan!’ “Itu pernyataan fatal. Ny. L’Hommedieu sedikit tersenyum menghina, dan suaminya terus menatap wajahnya sampai Nyonya jadi cemas. Seketika kecurigaan suaminya tampak, dan dia mengamatinya lebih teliti, melihat sudut amplop berharga yang agak menonjol keluar di atas korsasenya. Merenggutnya, membukanya, dan menyadari nilainya, adalah pekerjaan mudah. Pekikan kaget Nyonya dan pekikan menang Tuan berbunyi serempak. Belum pernah kusaksikan luapan hasrat melawan sehebat itu saat suaminya memegang kekayaan kecil tersebut dan mata mereka bertemu dalam pergulatan moral demi menguasainya. “Nyonya bicara lebih dulu. ‘Ini diberikan padaku, ini untukku. Kalau aku menyimpannya, kita berdua akan menghasilkan keuntungan darinya, tapi kalau kau—’ “Dia tak menunggu Nyonya selesai bicara. ‘Dari mana kau mendapatkannya?’ pekiknya. ‘Aku bisa menguras bank di klab dengan mempertaruhkan surat utang ini. Darraugh ada di kota. Kau 17
tahu artinya. Artinya kemujuran sedang berkumandang, dan dengan seratus dolar—Tapi aku tak punya waktu untuk bicara. Aku datang demi satu dolar, lima puluh sen, bahkan sepuluh sen, dan ternyata kembali dengan surat utang senilai—’ “Tapi Nyonya sudah menghalanginya di pintu. ‘Kau takkan membawa surat itu dari rumah ini,’ bisiknya dengan nada yang lebih dari jeritan. ‘Aku belum menyimpannya dan merasakan segala hal baik dalam hidupku. Takkan kubiarkan, Henry. Takkan kubiarkan kau mengambil dan menenggelamkannya seperti yang sudah-sudah dan jatuh di kakimu sebagai mayat. Aku takkan bertahan dengan musnahnya harapan terakhirku.’ “Tn. L’Hommedieu ketakutan – sesaat; Nyonya tampak begitu hebat dan bertekad. Lalu semua keburukan dan ketercelaan dalam diri Tuan mengemuka, dia melompat ke depan sambil berserapah, hendak mendorong Nyonya ke samping tapi, tanpa gerakan satu jari pun dari Nyonya, dia terhuyung-huyung, bangkit, berusaha memegang kursi tapi luput, dan jatuh ke lantai. “‘Ya Tuhan, terima kasih!’ seru Nyonya ketakutan akibat upaya suaminya untuk lewat. Tanpa melirik wajahnya, yang seperti orang mati, dia merenggut surat dari tangannya dan menengok sekeliling dengan tatapan liar dan mencari-cari, berharap dinding akan terbuka dan menawarinya tempat persembunyian aman untuk kertas berharganya. “Sementara itu aku mendekati lelaki tak berdaya itu pelanpelan. Dia masih bernafas, tapi pingsan. “‘Kau tak mau melakukan sesuatu untuknya?’ tanyaku. ‘Dia 18
bisa mati.’ “Nyonya menanggapi pertanyaanku dengan kesan baru tersadar. ‘Tidak, dia takkan mati; tapi dia takkan siuman selama beberapa menit, dan ini harus disembunyikan dulu. Tapi di mana? Di mana? Aku tak bisa menyimpannya di tubuhku atau di tempat yang bisa digeledah oleh orang seperti dia. Aku harus temukan suatu cara—ah!’ “Dengan seruan terakhir ini dia berlari ke kamar lain. Aku tak lihat ke mana perginya—aku tak mau lihat—tapi aku segera sadar dia sedang bekerja terburu-buru di suatu tempat. Aku bisa mendengar nafasnya yang pendek dan cepat, sementara aku membungkuk di atas suaminya, menunggunya bangkit, dan aku benci diriku yang tak berbuat apa-apa. “Tiba-tiba Nyonya kembali ke ruang tamu, dan berlalu cepatcepat ke meja kecil di pojok di mana kami duduk saat makan malam. Kami makan hidangan paling sederhana, susu didih yang dikentalkan dengan tepung. Masih ada sisa di mangkok; dia mengambilnya sambil menyeru ke belakang: “‘Semoga dia tak siuman sampai aku selesai. Ini doa terbaik yang pernah kupanjatkan.’ “Setelah itu dia bercerita bahwa suaminya sering menjadi sasaran serangan seperti ini dan bahwa dia tak lagi khawatir melakukannya. Tapi bagiku, pemandangan lelaki yang terkapar tak berdaya amatlah mengerikan. Meski aku membencinya dan mengasihani Nyonya, aku hampir tak tahu apa yang kuinginkan. Sambil bergulat dengan keinginan untuk lari dan perasaan setia 19
yang membuatku terus berlutut di samping lelaki itu, aku mendengar Nyonya berbicara lagi, kali ini dengan nada datar dan agak keras: ‘Sekarang kau boleh siram wajahnya dengan segelas air dingin. Aku siap menghadapinya. Semoga ingatannya rusak setelah serangan ini. Semoga aku berhasil meyakinkannya bahwa surat utang yang dilihat tadi cuma khayalannya.’ “‘Bukankah sebaiknya kau siram sendiri?’ ujarku, bangkit dan menatap matanya. “Dia memandangku dengan heran, lalu melangkah tenang ke meja, mengambil gelas, dan memercikkan beberapa tetes air ke wajah suaminya. Serta-merta Tn. L’Hommedieu mulai bergerak, aku pun bangkit tanpa terburu-buru, tapi tanpa ditunda-tunda, lalu segera pergi. Aku tak sanggup memikul lebih banyak lagi malam itu. “Keesokan paginya aku bangun dalam kondisi ketakutan. Aku bermimpi Tn. L’Hommedieu datang ke kamarku, mencari-cari surat utang. Tapi ternyata cuma ketukan Nyonya di pintu. Dia bertanya apa boleh masuk sepagi itu. Lega sekali mempersilakannya masuk, dan dia masuk dengan suasana terbaik dan menghempaskan diri ke sofa kecilku sambil memekik histeris: “‘Dia menyuruhku kemari. Sudah kubilang padanya aku tak mau mengganggumu pagi-pagi begini; bahwa kau mungkin belum sarapan.’ (Betapa cerobohnya dia bicara! Betapa kerasnya dia berusaha tidak terdengar lapar!) ‘Tapi dia bersikeras aku harus datang. Aku tahu sebabnya. Dia menggeledahku sebelum aku pergi, dan sekarang dia ingin menggeledah kamar.’ 20
“‘Kalau begitu dia ingat?’ aku angkat bicara. “‘Ya, dia ingat sekarang. Aku lihat itu di matanya tak lama setelah dia bangun. Tapi dia takkan menemukan surat utang itu. Sekarang sudah aman, dan suatu hari nanti, setelah aku lepas dari kewaspadaannya, akan kugunakan untuk membuat hidupnya dan hidupku senang. Aku bukan wanita egois.’ “Aku tak berpikir dia egois, dan aku kasihan padanya. Jadi setelah berpakaian dan membuatkan secangkir teh, aku duduk dengannya dan mengobrol selama satu jam. Kemudian dia semakin gelisah dan berkali-kali menengok jam. Aku pun berusaha menenangkannya dengan berkata bahwa itu bukan tugas mudah untuk suaminya, lalu dia tertawa misterius tapi tetap gelisah sampai ketegangan kami dipotong oleh kemunculan penjaga rumah yang membawa pesan dari Tn. L’Hommedieu. “‘Tn. L’Hommedieu titip salam,’ katanya, ‘dan dia berharap Ny. L’Hommedieu santai saja, tak usah turun. Dia sedang berbuat semua yang diperlukan, sebentar lagi selesai. Anda bisa santai, Nyonya.’ “‘Apa maksud dia?’ wanita malang itu keheranan, sementara penjaga rumah sudah menghilang. ‘Apa dia masih terus menggeledah ruangan? Andai saja aku berani menentangnya. Andai saja aku berani turun.’ “Tapi keberaniannya tak sebanding dengan ketidakacuhan terang-terangan suaminya, dan dia harus meredam ketidaksabarannya dan menunggu panggilan yang baru datang pada jam dua. Saat itu Tn. L’Hommedieu muncul sambil membawa topi dan 21
mantel milik Nyonya. “‘Sayangku,’ katanya, sementara Nyonya berdiri untuk menemuinya dengan gembira, ‘kubawakan selendangmu agar kau bisa langsung pergi ke rumah baru kita. Mau kupakaikan? Seperti biasa kau tampak tak sehat, makanya kubawakan ini – untuk menyelamatkanmu, sayang; menyelamatkanmu dari menguras tenaga.’ “Aku merentangkan lengan untuk menangkapnya, kupikir dia akan pingsan, tapi ternyata tidak, meski kurasa akan lebih baik baginya jika dia pingsan. “‘Kita akan tinggalkan rumah ini?’ tanyanya, bicaranya sangat pelan dan kurang emosi. “‘Begitulah,’ suaminya tersenyum. ‘Gerobak sudah mengangkut setengah harta-benda kita, dan sisanya akan menyusul kalau Ny. Latimer ada waktu.’ “‘Ah, aku mengerti!’ timpalnya, dengan hembusan nafas lega yang menunjukkan bahwa dia khawatir lelaki licik itu sudah menemukan surat utang yang dipikirnya aman tersembunyi. ‘Aku heran, mana mungkin Ny. Latimer membolehkan kita pergi.’ (Kutegaskan, mereka selalu mengobrol seolah aku tak ada di situ.) ‘Barang-barang kita ditinggalkan sebagai jaminan, rupanya.’ “‘Setengah barang kita,’ ralat suaminya lemah-lembut. ‘Apa kau mau tahu setengah yang mana?’ “Sindiran licik ini dibalas dengan anggukan tenang Nyonya sambil dijawab, ‘Jadi tempat tidur sudah diperbolehkan, dan beberapa pakaian.’ Tn. L’Hommedieu menggigit bibir begitu 22
mendengarnya, jengkel dengan pengendalian diri Nyonya dan kegagalan Tuan untuk mendobraknya. “‘Kau belum tanya ke mana kita akan pergi,’ kata Tn. L’Hommedieu, melempar mantel ke bahu Nyonya dengan antusias. “Hawa lesu menunjukkan perasaan Nyonya saat itu. ‘Aku tidak terlalu penasaran,’ katanya. ‘Kau tahu aku bisa hidup bahagia di mana saja.’ Lalu, berbalik ke arahku, dia menggerakkan bibirnya yang kutafsirkan sebagai: ‘Ikut turun denganku. Antar aku keluar.’ “‘Katakan saja dengan nyaring,’ ujar Tuan acuh tak acuh. “‘Aku cuma bilang terima kasih pada Nn. Winterburn,’ pungkir nyonya, dingin, namun dengan jari-jari gemetar dia berusaha memasang sarungtangan. “‘Dan aku akan menerimanya di bawah!’ pekikku, pura-pura gembira. ‘Aku akan turun denganmu ke pintu.’ Maka aku turun sebelum
mereka,
tak
mengacuhkan
muka
masam
Tn.
L’Hommedieu. Di tangga terakhir, aku merasa langkah kaki Nyonya ketinggalan. Seketika aku mengerti apa yang dibutuhkan dariku. Aku pun bergegas dan masuk ke ruang tamu. Tn. L’Hommedieu mengikutiku dari dekat, sebab hanya itulah caranya mencaritahu bahwa aku tidak bersekongkol dengan isterinya untuk mendapatkan kembali surat utang tersebut. Ini memberi waktu satu menit pada Nyonya di belakang, dan dalam semenit itu dia mengambil kunci yang akan memberinya akses ke titik di mana hartanya disembunyikan. “Selebihnya cerita yang bisa kusampaikan hanya desas-desus. Sekarang kau pasti paham apa rencana Tn. L’Hommedieu dengan 23
pindah begitu tiba-tiba. Dia tahu, dengan kewaspadaan cermat dan terus-menerus, mustahil mencegah isterinya mendapatkan kembali surat utang tersebut selama mereka menempati kamar di mana menurutnya benda itu masih disembunyikan, kendati gagal dia temukan. Tapi begitu pindah ke tempat tinggal lain, akan tergolong mudah baginya untuk mengawasi isterinya. Dengan begitu, bukan hanya akan mencegah Nyonya kembali ke rumah ini tanpa sepengetahuannya, tapi juga menggiring Nyonya untuk membocorkan rahasia secara alami dengan pergi ke titik di mana hartanya tersembunyi. “Itu plot yang licik dan menunjukkan sifat jahatnya. Bagaimana cara kerjanya, sekarang akan kuceritakan padamu. Keesokan sorenya, penjaga rumah naik berlari ke pintuku—kurasa dia sudah tahu aku sangat tertarik pada orang-orang ini—untuk melapor bahwa Ny. L’Hommedieu ada di rumah dan sangat ketakutan dengan seorang pria yang membuntutinya, hingga pingsan di lantai. Apa aku turun mendatanginya? “Aku bisa datang ke manapun, kecuali penjara; tapi tugas tak bisa dielakkan, maka aku mengikutinya turun. Tapi kami terlambat. Ny. L’Hommedieu sudah pulih dan pergi, dan orang yang menakutinya juga sudah lenyap, tinggal petugas lorong yang tersisa untuk memberi penjelasan. “Inilah yang dikatakannya: “‘Lelaki itu pergi duluan. Segera setelah nyonya pingsan, dia meninggalkan kamar. Tak kukira dia bermaksud tak baik di sini—’ “‘Apa Nyonya pingsan di lorong ini?’ tanyaku, tak mampu 24
menahan kegelisahan. “Oh, tidak, nona! Mereka di kamar belakang sana, entah bagaimana Nyonya masuk. Lelaki itu mengikutinya ke dalam, menyelinap seperti belut atau polisi, dan Nyonya jatuh ke—’ “‘Jangan bilang ke mana!’ jeritku. ‘Aku tak mau tahu ke mana!’ Aku hendak kembali ke lantai atas ketika kudengar suara tajam dan cepat di belakangku dan tersadar bahwa Tn. L’Hommedieu sudah masuk dan sedang cekcok dengan penjaga rumah. “Kearifan mendorongku untuk mencuri dengar. Wajar saja dia ingin masuk ke kamar di mana isterinya barusan terkejut, tapi penjaga rumah menolak haknya untuk berbuat demikian, waspada dengan tindakan tak lazim tersebut. “Furnitur ditahan sebagai jaminan,’ katanya, ‘dan aku mendapat perintah—’ “Tapi Tn. L’Hommedieu memberi uang satu dolar, dan beberapa menit kemudian aku mendengarnya masuk kamar dan menutup pintu. Selama sepuluh menit berikutnya, lantaran tegang, aku tak bicara. Ketika dia keluar lagi, tanah seolah tak mau menahannya. “‘Aku sudah berbuat kejahatan,’ katanya ringan sambil melewati penjaga rumah. ‘Tapi aku akan membayarnya. Jangan khawatir. Aku akan membayarnya dan juga ongkos sewa, besok. Sampaikan pada Ny. Latimer.’ Dia pergi, meninggalkan kami termangu di lorong. “Kemudian kami melangkah ke kamar pelan-pelan dan 25
mengintip ke dalam. Setelah dia mendapatkan surat utang itu, aku ingin tahu di mana Nyonya menyembunyikannya. Titik itu, tak salah lagi. Satu lirikan sudah cukup memperlihatkan kertas yang terkoyak dari sebagian dinding, menyingkap celah sempit di balik alas tiang yang cukup besar untuk menampung surat utang. Itu dekat—” “Tunggu!” potongku saat teringat ke arah mana Ny. Helmuth menunjuk sebelum meninggalnya. “Bukankah di sebelah kiri pintu lipat besar dan pertengahan dinding?” “Bagaimana kau tahu?” tanyanya. “Apa Ny. Latimer memberitahumu?” Tapi karena aku tak menjawab, dia segera meneruskan ceritanya lagi dan berkata, sambil mendesah lembut: “Hari esok datang dan berlalu, tapi L’Hommedieu tak kunjung muncul; hari kedua juga demikian, dan aku mulai cemas; hari ketiga hal mengerikan terjadi. Larut petang, Ny. L’Hommedieu menyelinap ke pintu depan, berpakaian sangat aneh. Dengan senyum indah kepada petugas koridor yang hendak, tapi tak berani, menanyakan kunci masuk, dia meluncur ke kamar lamanya dan masuk perlahan-lahan setelah mendapati pintunya tak terkunci. Penampilannya patut digambarkan, sebab memperlihatkan upaya penyamaran untuk lepas dari pengawasan yang disadarinya. Pada hari sejuk, dia terbiasa mengenakan topi hitam dengan pelapis kelabu. Ini dibaliknya agar warna kelabu ada di luar; sedangkan di atas topi hitamnya yang apik dia menggantung kerudung panjang, juga kelabu, yang tak hanya menyembunyikan wajahnya, tapi juga memberinya penampilan eksentrik dan berbeda dari pemandangan 26
biasa. Petugas lorong, yang belum pernah melihatnya selain dalam warna hitam atau cerah, menyebut Nyonya mirip hantu di siang bolong, tapi itu semua dilakukan demi satu tujuan dan demi lepas dari perhatian penguntitnya. Ah, kali ini lelaki itu mungkin membuntuti tanpa menambah penderitaannya! Tak lama setelah Nyonya masuk kamar di mana hartanya tersimpan, dia melihat kertas terkoyak dan alas tiang terbuka lebar. Setelah menjerit keras hingga terdengar oleh petugas lorong, dia berjalan tergopoh-gopoh ke lorong di mana dia jatuh ke lengan suaminya, yang membuntutinya dari jalan dalam keadaan nyaris sama gilanya. “Petugas lorong, yang kala itu muncul di tangga, menyatakan tak pernah melihat dua wajah seperti itu. Mereka saling memandang
dan
bungkam.
Tuanlah
yang
pertama
kali
menundukkan kepala. “‘Raib, Henry,’ bisik Nyonya, ‘sudah raib. Kau mengambilnya.’ “Tn. L’Hommedieu tak menjawab. “‘Lenyap! Kau sudah mempertaruhkannya, lenyap sudah!’ “Tuan merintih. ‘Semestinya kau berikan padaku malam itu. Saat itu suasananya sedang mujur. Sekarang kemalangan ada dalam kartu dan—’ “Lengan Nyonya naik sambil menjerit. ‘Terkutuk kau, Henry L’Hommedieu!’ Entah karena raut muka Nyonya yang mengutuk, atau ada sisa cinta terpendam dalam hatinya terhadap wanita yang lama menderita dan dahulu cantik itu, Tn. L’Hommedieu mundur mendengar ucapannya. Sambil terhuyung-huyung seperti manusia 27
dalam kegelapan, dia melontarkan rintihan yang mencabik hati, lalu tergesa-gesa pergi dari rumah. Kami tak pernah melihatnya lagi. “Adapun Nyonya, kali ini dia diserang kelumpuhan yang merampas panca inderanya. Dia dibawa ke rumah sakit. Aku sering menjenguknya, tapi entah karena perihnya efek serangan itu, dia tak mengenaliku, bahkan tak mengenali satupun dari kami. Ny. Latimer, yang punya sifat adil, menjual furnitur milik Nyonya dan, setelah
mengambil
pelunasan
sewa
dari
hasil
penjualan,
memberikan sisanya kepada perawat rumah sakit untuk digunakan oleh Ny. L’Hommedieu, agar setelah keluar dari rumah sakit Nyonya punya modal untuk memulai hidup baru. Tapi ke mana dia pergi atau bagaimana dia bertahan dalam kondisinya yang lemah, entahlah. Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi.” “Kalau begitu kau tak melihat wanita yang mati di kamar itu?” tanyaku. Efek perkataan ini luar biasa dan menjelaskan segalanya. Dia belum melihat wanita itu. Setelah menyaksikan semua dukacita, dia ingin sekali masuk ke kamar tersebut. Tak ada seorang pun di rumah ini yang dapat mengenali Ny. L’Hommedieu, sebab penjaga rumah dan petugas lorongnya orang baru dan Ny. Latimer, sebagai salah satu pemilik, hanya terlihat di hari penyewaan. Selebihnya, ingatan cacat Ny. L’Hommedieu, yang membuatnya menghantui rumah dan kamar di mana surat utang pernah disembunyikan, tak hanya menjawab kunjungan pertamanya, tapi juga kunjungan terakhir, yang berakhir begitu fatal. Kecerdikan yang dia tampak28
kan dengan membalik mantel dan menggantung kerudung di atas topi adalah kecerdikan pikiran setengah suram. Kemalangannya pagi itu menjadi sebuah kenangan. Kebiasaanku mengangkat kunci dari pintu tak terpakai itu telah memungkinkannya menggunakan kuncinya sendiri, dan karena takut dibuntuti dia pun mengunci pintu. Isteriku, yang tertidur sebentar sepeninggalku, tidak melihatnya masuk, tapi kemudian mendapatinya sedang lari lewat pintu lipat tersebut. Keberadaanku di ruang tamu mungkin membuatnya semakin merasa malu, lalu dia kabur dengan membalik mantel. Setelah kami tahu faktanya, ternyata betapa sederhana. Padahal segalanya terasa samar dan tak terjelaskan sebelum ada petunjuk terhadap misteri ini!
29