HARUSKAH MENIKAHINYA? Anna Katharine Green
2016
Haruskah Menikahinya? Diterjemahkan dari Shall He Wed Her karangan Anna Katharine Green terbit tahun 1891 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Agustus 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
S
AAT
aku berjumpa dengan Taylor di Club tempo malam, dia
terlihat begitu riang. Aku sampai hampir tak mengenalinya.
“Ada apa?” teriakku, maju dengan tangan terulur. “Aku akan menikah,” jawabnya gembira. “Ini malam
terakhirku di Club.” Aku merasa senang, dan menampakkannya. Taylor adalah orang
yang
menganggap
kehidupan
rumahtangga
sebagai
kebutuhan. Dia belum pernah bersama kami di rumah, padahal kami semua menyukainya, dan dia menyukai kami dengan caranya sendiri. “Lalu siapa wanita beruntung itu?” selidikku. Aku di luar kota beberapa waktu ini, jadi tak hafal kabar terbaru tentang para tokoh. “Calon pengantinku adalah Ny. Walworth, janda muda—” Dia pasti melihat perubahan pada ekspresiku, sebab katakatanya terhenti. “Kau kenal dia, tentunya?” imbuhnya, setelah mencermati wajahku. Aku kembali menguasai diri. “Tentu,” timpalku, “dan aku selalu menganggapnya salah satu wanita paling menarik di kota ini. Untuk itu jabat tangan sekali lagi, pak tua.” Tapi hatiku berat dan pikiranku bingung, walau nada bicaraku dipaksakan ramah, dan aku ambil kesempatan sedari awal untuk menarik diri dan memikirkan situasi ini. Ny. Walworth? Dia wanita cantik, dan terlebih, dari luar sikap manisnya menyiratkan kemurahan hati. “Orang yang tepat,” 5
renungku, “yang akan kupilih sebagai pendamping sahabat rewelku, jika—” aku berhenti pada kata jika. Ini jika yang berat, tidak mengecil atau menipis di bawah eramanku. Malah terasa membesar hingga ukuran raksasa, menyusahkan dan membebani hati nuraniku begitu berat sampai-sampai akhirnya aku bangkit dari suratkabar yang sedang kupelototi tanpa minat. Kembali mendongak, aku bertanya seberapa cepat dia akan melepas status perjaka tuanya. Jawabannya membuatku kaget. “Satu minggu lagi,” sahutnya, “dan kalau aku belum mengundangmu ke upacara, itu karena Helen tidak dalam posisi untuk—” Kurasa dia menyelesaikan kalimatnya, tapi aku tidak mendengarkan. Kalau pernikahannya sedekat itu, maka bodoh sekali aku jika berusaha menghalangi. Aku meminggir untuk kedua kalinya. Tapi aku tak bisa tenang. Taylor teman yang baik; akan jadi aib jika dia dibiarkan menikahi seorang wanita yang bersamanya dia tak pernah bisa bahagia. Dia akan kecewa berat, jauh lebih berat dibanding kebanyakan pria. Kurangnya prinsip atau bahkan kepekaan wanita ini akan membuatnya sengsara. Mengharap surga, dia takkan perlu neraka untuk mencelakakan dirinya; api pencucian sudah cukup. Maka pantaskah kubiarkan dia meneruskan maksudnya berkenaan dengan Ny. Walworth, padahal boleh jadi wanita inilah yang—aku berhenti dan coba membangkitkan wajahnya di depanku. Wajah yang manis dan barangkali tulus. Aku sendiri bisa saja percaya padanya, tapi aku tidak mencari 6
kesempurnaan, sementara Taylor sebaliknya, dan pasti marah jika dia tertipu dalam harapannya. Tapi satu minggu lagi! Sudah terlambat untuk campur tangan—hanya saja tak pernah terlambat sampai tali pernikahan diikat. Selagi memikirkan ini, kuputuskan sesuai kata hati, dan boleh dibilang tidak bijak, untuk memberinya isyarat bahaya, dan kulakukan dengan cara ini: “Taylor,” kataku, setelah kutempatkan dia dengan aman di kamarku, “aku mau cerita sedikit soal riwayat pribadi, kukira cukup aneh untuk membuatmu tertarik bahkan di malam pernikahan. Entah kapan kita akan bertemu lagi, dan aku ingin kau tahu bagaimana seorang pengacara dan pria berpengalaman kadang bisa tertipu.” Dia mengangguk, menerima situasi ini dengan ramah. Tapi aku paham, dari ketidakacuhannya dalam menatap perapian, aku harus betul-betul menarik agar dia terpancing dari pemikiran yang menjerat. Karena aku berniat sangat menarik, ini tidak terlalu merisaukanku. “Suatu pagi, musim semi kemarin,” kataku, “aku menerima sebuah surat dalam antaran pos pagi. Tulisan indahnya langsung menarik
perhatianku
dan
membangkitkan
rasa
penasaran.
Berpaling pada tandatangannya, aku baca nama seorang teman wanita muda. Aku agak kaget, karena itu pertama kalinya aku lihat tulisan tangan sosok yang kukenal baik. Kubaca surat tersebut dengan minat yang kemudian menjadi lara seiring kusadari maksud isinya. Aku tak akan mengutip surat itu, meski bisa kulakukan. Aku cuma ingin bilang, setelah mengakui persahabatanku 7
untuknya—persahabatan kebapakan, kujamin, sebab dia baru berumur 18 tahun, sementara aku, seperti kau tahu, mendekati 50 —dia meminta pinjaman, jangan kaget, lima puluh dolar dalam suasana bersahaja dan curhat. Permintaan semacam itu, dari seorang gadis yang punya koneksi sangat baik dan dicukupi oleh ayahnya, tentu mengejutkan bagi perjaka tua berpendirian tetap dan bergagasan ketat. Tapi berhubung usianya masih belia dan sikapnya yang lugu, aku membalik halaman dan kubaca alasan dari permintaan tersebut, bahwa hatinya tergerak untuk membantu sebuah keluarga miskin yang sangat membutuhkan makanan, pakaian, dan obat-obatan, tapi keinginannya tak bisa terwujud karena dia sudah menghabiskan semua uang saku dari ayahnya untuk tujuan serupa dan tak berani meminta lebih. Ini lantaran dia pernah menyakiti perasaan sang ayah dengan berbuat demikian, dan khawatir kalau dia mengulang kesalahan, ayahnya akan melaksanakan ancaman yang pernah dibuat, yakni penghentian uang saku sama sekali. Tapi keluarga itu layak ditolong dan dia tak tega melihat anggotanya kelaparan. Jadi dia datang padaku, percaya
akan
kebingungannya
kebajikanku, dan
yakin
memaafkannya,
aku dan
akan
memaklumi
seterusnya
dan
seterusnya, dalam bahasa kekanak-kanakan dan memelas, yang jikapun tidak memenuhi ide kepatutanku, sekurangnya itu menyentuh hatiku dan mendorongku mengambil tindakan dalam masalah pelik tersebut. “Menolak permintaannya sama dengan membuatnya malu dan sedih, mengabulkanya dan memberinya lima puluh dolar—jumlah 8
yang tak begitu mampu kusisihkan—sama dengan mendorong sebuah perbuatan yang mudah diampuni, tapi jika diulang akan mengarah pada komplikasi pahit, paling tidak. Jalan ketiga, memberitahu sang ayah tentang keperluannya, bahkan tidak kupertimbangkan, sebab aku cukup mengenalnya untuk yakin hasilnya nanti adalah hukuman bagi gadis itu. Maka dari itu kupertaruhkan urusan ini dengan melampirkan uang dalam sebuah surat, di mana kusampaikan pengertianku akan kesulitannya dan dengan senang hati mengirim jumlah yang dia butuhkan. Tapi sebagai teman aku harus menambahkan, kendati dalam kasus ini dia tak beresiko disalahpahami atau dicela, permintaan semacam itu kepada pria lain dan di bawah keadaan lain dapat memancing keheranan
yang
mungkin
melahirkan
konsekuensi
pahit.
Kunasehati dia agar memohon langsung kepada ayahnya jika terjebak lagi dalam masalah demikian, atau meniadakan sedekah yang tak mampu dia berikan. “Surat ini kuantarkan sendiri, karena salah satu hal aneh dari pesannya adalah permohonan agar aku tidak menunda bantuan dengan menitipkan uang itu kepada tangan siapapun selain aku sendiri, melainkan dibawa ke hotel tertentu di pusat keramaian kota dan ditaruh di permulaan kitab Yesaya dalam Alkitab besar yang akan kutemukan di meja samping di ruang tamu kecil, sebelah ruang tamu utama. Dia akan mencarinya di situ sebelum pagi berakhir, dan dengan begitu, tanpa campurtangan pihak ketiga, mendapat sarana untuk membantu sebuah keluarga miskin dan layak ditolong. 9
“Aku kenal hotel yang dia sebutkan, dan aku ingat ruangannya, tapi aku tak ingat Alkitabnya. Biar bagaimanapun pasti ada di tempat yang dia tunjuk. Walau tidak terlalu setuju dengan tugas tersebut, kuhormati nalurinya dan kubawa surat itu ke pusat keramaian kota. Aku sudah sampai di Main Street dan melihat hotel yang ditunjuk, saat tahu-tahu di seberang persimpangan kulihat gadis itu. Dia tampak sesegar udara pagi, dan tersenyum begitu riang; aku pun merasa terbayar atas gangguan yang dia timbulkan. Bersyukur karena bisa mempersingkat urusan dengan menaruh surat itu langsung di tangannya, aku menyeberang jalan. Setelah kami berhadap-hadapan, aku berkata: “‘Untunglah kita bertemu. Ini uang yang kau butuhkan, tersegel dalam surat ini. Kau lihat, kusiapkan semuanya.’ “Dia mendongak bengong. Aku pun terhenti dan heran. “‘Apa maksudmu?’ tanyanya, menatap lurus mataku dengan keluguan biru jernih yang dalam. Aku langsung yakin dia tak tahu apa-apa soal urusan yang menyita pikiranku. ‘Aku senang sekali kita bertemu, tapi aku tak mengerti sedikitpun apa yang kau maksud dengan uang yang kubutuhkan.’ Lantas dia melirik surat yang kuulurkan, dengan hawa tidak percaya bercampur penasaran. “‘Kau mempersingkat usahaku untuk berbuat amal. Kudengar, tak penting bagaimana caranya, kau sedang menaruh perhatian pada sebuah keluarga melarat, dan mengambil jalan ini demi mereka.’ “Mata birunya melebar. ‘Kaum miskin selalu bersama kita,’ balasnya, ‘tapi setahuku tak ada keluarga yang butuh pertolongan 10
seperti kau isyaratkan. Kalau ada, papa akan memberiku bantuan yang kuperlukan.’ “Senang sekali mendengarnya bilang begitu, sebab aku sangat sayang sahabat mudaku, tapi aku juga marah pada orang tak dikenal yang memanfaatkan rasa hormatku terhadap gadis muda ini demi memeras uang dariku. Oleh sebab itu aku tidak berlamalama di sampingnya. Setelah meminta maaf sebagaimana mestinya, aku bergegas datang kemari di mana ada seorang pekerja yang setahuku pernah menjadi anggota kepolisian terpercaya. “Aku bercerita seperlunya guna memastikan kerjasama dalam rencana yang sudah kususun untuk menemukan pengarang tipuan ini. Kukeluarkan uang kertas dari surat hasil tulisanku, dan kutukar dengan lembaran kertas manila kaku. Membawa amplop tersebut ke hotel yang sudah dirujuk, aku menaruhnya di pasal pembuka Yesaya dalam Alkitab, sebagaimana dijelaskan. Tak ada siapapun di ruangan itu waktu aku masuk, dan cuma bertemu seorang pelayan waktu aku keluar, tapi di pintu aku berpapasan dengan pemuda yang sengaja tak kukenali. Dia adalah detektif karanganku yang datang untuk mengambil posisi di suatu tempat di mana dia dapat memantau ruang tamu dan mencatat siapa saja yang masuk. “Tengah hari aku kembali ke hotel, langsung berlalu ke ruang tamu kecil dan memeriksa Alkitab. Suratnya sudah lenyap. Keluar dari ruangan, aku segera dihampiri oleh detektifku. “‘Apa suratnya sudah diambil?’ selidiknya antusias. “Aku mengangguk. “Alisnya mengerut dan dia tampak susah juga bingung. 11
“‘Aku tak habis pikir,’ ujarnya. ‘Aku sudah awasi setiap orang yang masuk ruangan itu sejak kau meninggalkannya, tapi aku tak tahu siapa yang mengambil surat. Kau paham,’ sambungnya, sementara kutatap dia dengan tajam, ‘aku harus tetap di luar sini. Seandainya aku masuk ke ruangan besar itu, Alkitabnya takkan terusik, begitupun suratnya. Jadi, dengan harapan mengenali si penjahat pada pandangan pertama, aku berjalan-jalan di lobi ini, dan tetap mengamati pintu, tapi—’ “Dia tampak malu, dan berhenti. ‘Kau bilang suratnya lenyap,’ katanya, setelah beberapa lama. “‘Ya,’ balasku. “Dia menggeleng. ‘Tak satupun di antara orang-orang yang masuk atau keluar itu,” lanjutnya, ‘yang patut kau minta untuk dibuntuti. Aku sendiri berpikir, buang-buang waktu saja mengikuti salah satu di antara mereka.’ “‘Tapi siapa yang masuk ke sana?’ desakku, tak sabar dengan kebingungannya. “‘Hanya tiga orang pagi ini,’ balasnya. ‘Kau kenal mereka semua.’ Dan dia menyebutkan pertama Ny. Couldock.” Taylor, yang memberiku perhatian dangkal ala orang khusyuk, tersenyum blak-blakan mendengar nama ini. “Tentu saja, dia tak ada kaitan dengan urusan sehina itu,” tinjaunya. “Tentu saja tidak,” timpalku. “Kemungkinan, Nona Dawes pun tidak tersangkut. Tapi detektifku bilang, dia orang berikutnya yang masuk.” “Aku tidak begitu kenal Nona Dawes,” pungkas Taylor, acuh 12
tak acuh. “Tapi aku kenal,” kataku, “dan aku lebih siap mencurigai adikku berbuat tak terpuji ketimbang wanita mulia yang suka berkorban itu.” “Orang ketiga?” tanya Taylor. Aku bangkit dan menyeberangi lantai. Saat memunggunginya, aku berkata pelan, “adalah Ny. Walworth.” Keheningan yang menyusul sangat menyakitkan. Aku tak mau memecahnya, dan dia sudah pasti tak mampu melakukannya. Mungkin lima menit kemudian salah satu dari kami angkat bicara; lalu tiba-tiba dia berteriak: “Di mana orang yang kau sebut detektif itu? Aku mau menemuinya.” “Biar kuwakili,” sahutku. “Aku tak ingin Sudley tahu kau tertarik pada skandal ini, walau kuanggap dia bijaksana.” Taylor bangkit dan datang ke tempatku berdiri. “Kau yakin,” katanya, “dia, wanita yang hendak kunikahi, adalah orang yang menulis surat keji itu?” Aku menghadapinya blak-blakan. “Aku tidak siap untuk mengakuinya,” jawabku. “Salah satu dari tiga wanita itu mengambil surat dari Alkitab, tempat aku menaruhnya. Siapa di antara mereka yang menulis baris-baris pemicunya, aku tak berani menebak. Katamu bukan Ny. Couldock, dan aku bilang bukan Nona Dawes, tapi—” Dia memotong tak sabar. “Kau simpan suratnya?” tanyanya. 13
Aku memang menyimpannya, dan kuperlihatkan. “Ini bukan tulisan tangan Helen,” katanya. “Juga bukan tulisan Ny. Couldock atau Nona Dawes.” Dia menatapku liar sesaat. “Kau pikir dia suruh seseorang menuliskannya?” pekiknya. “Helen! Helenku! Tapi tidak, tidak mungkin. Ah, Huntley, mengirim surat semacam itu atas nama seorang gadis lugu, yang takkan berpeluang meluruskan dirinya dalam penilaianmu, kalau bukan karena kebetulan bertemu denganmu, membuktikan keegoisan dingin dan licik yang bersekutu dengan kerusakan moral. Sementara Helenku malaikat—atau begitulah aku selalu menganggapnya.” Suaranya tenggelam begitu dalam di kalimat terakhir, menunjukkan bahwa dengan segala keyakinannya dia menyimpan keraguan. Aku mulai merasa tak nyaman. Tak tahu pelipur apa yang harus kutawarkan, aku menyarankan agar menemui Ny. Walworth dan bertanya terus-terang apakah dia pernah ke hotel di Main Street pada hari tersebut. Jika ya, apakah dia melihat sebuah surat yang dialamatkan kepada Nona N..... di meja ruang tamu kecil. Jawaban Taylor menunjukkan seberapa banyak kepercayaan terhadapnya telah goyah. “Seorang wanita yang sanggup memanfaatkan tandatangan gadis muda untuk memperoleh uang, demi membayar suatu utang tak penting atau memuaskan hasrat kesombongan feminim, takkan segan menyangkal. Dia bahkan takkan pucat oleh pertanyaanku.” 14
Dia benar. “Aku harus diyakinkan dengan cara lain,” sambungnya. “Air muka Ny. Couldock atau Nona Dawes sama dengannya, tidak lebih jujur atau licik, dan meski rasanya gila mencurigai wanita seperti mereka—” “Tunggu,” selaku. “Kita harus yakin dengan semua faktanya sebelum diteruskan. Kau berbaring saja di sini dan pejamkan mata; sekarang tarik permadaninya ke atas. Aku akan minta Sudley masuk dan menanyainya. Kalau kau tidak menghadap ke arah cahaya, dia takkan tahu siapa dirimu.” Taylor mengikuti usulku, dan tak lama kemudian Sudley berdiri di hadapanku. Aku blak-blakan dengannya. “Sudley,” kataku, menaruh koran yang pura-pura kubaca, “masih ingat urusan kecil yang kau lakukan untukku di Main Street bulan lalu? Ada bacaan yang membuatku terpikir lagi soal itu.” “Ya, tuan.” “Apa kau tidak punya keyakinan, mana di antara ketiga wanita itu yang mengambil surat tersembunyi di dalam Alkitab?” “Tidak, tuan. Aku tak bisa. Mereka semua dikenal di masyarakat dan mereka semua berasal dari keluarga paling terpandang. Aku tak berani memilih di antara mereka, tuan.” “Tentu tidak,” balasku, “kecuali kalau kau punya alasan bagus untuk itu, misalnya kau bisa menjelaskan sebab kedatangan dua wanita ke hotel, dan tidak yang ketiga.” “Mereka semua punya dalih bagus untuk berada di sana. Ny. Couldock memberikan kartu identitasnya kepada pelayan sebelum 15
masuk ke ruang tamu, dan segera pergi begitu pelayan membawa kabar bahwa wanita yang hendak dijumpainya tak ada di dalam. Nona Dawes tak menyerahkan kartu, tapi menanyakan Nona Terhune, kalau tak salah, dan tidak bertahan barang sebentar pun usai diberitahu bahwa wanita itu sudah meninggalkan hotel.” “Lalu Ny. Walworth?” “Dia masuk dari jalan raya sambil membetulkan kudungnya, dan setelah mencari-cari cermin, dia diarahkan ke ruang tamu. Dia segera masuk ke situ. Dia tetap di sana sebentar, dan saat keluar langsung berlalu ke jalan raya.” Kata-kata ini membuatku gelisah; cermin itu persis berada di atas meja, di ruang kecil tersebut, tapi aku berhasil mengomentari dengan santai: “Kau tidak bisa pastikan apakah salah satu dari mereka membuka Alkitab?” “Tidak tanpa mengganggu.” Aku mendesah dan memintanya pergi. Setelah dia tiada, kudekati Taylor. “Dia tak bisa membantu kita,” pekikku. Temanku sudah berdiri, tampak tak karuan. “Aku tahu satu-satunya hal yang harus dilakukan,” ujarnya. “Besok aku akan mampir ke tempat Ny. Couldock dan Nona Dawes, dan meminta mereka memberitahuku apakah, untuk suatu alasan, mereka berusaha mengantarkan sebuah surat yang ditinggal secara misterius di dalam Alkitab di Hotel ….. bulan lalu. Bisa saja mereka ditugaskan untuk itu, dan cukup mau mengakuinya.” 16
“Lalu Ny. Walworth? Kau takkan menanyakan hal yang sama padanya?” Dia menggeleng dan berpaling. “Baiklah,” kataku pada diri sendiri, “aku saja.” Maka keesokan harinya aku berkunjung ke tempat Ny. Walworth. Memegang tangannya, dengan lemah-lembut kupaksa dia berdiri sebentar di mana cahaya dari satu jendela menerpa penuh wajahnya. Aku bilang: “Maaf aku mengganggumu di jam sibuk, tapi ada sesuatu yang bisa kau lakukan untuk menyingkirkan kegelisahanku. Kau ingat pernah ke Hotel ….. suatu pagi bulan lalu?” Dia mendongak tenang, bibirnya terbuka, matanya tersenyum dan mengandung harapan, tapi begitu mendengar nama hotel tersebut—tapi boleh jadi aku keliru—kurasa ada sedikit perubahan pada ekspresinya, meski cuma pandangan yang semakin lembut dan senyum yang semakin kentara. Tapi
suaranya
sewaktu
menjawab
sama
dengan
saat
mengucapkan salam. “Aku tak ingat,” jawabnya, “tapi mungkin pernah; aku pergi ke banyak tempat. Kenapa tanya itu?” selidiknya. “Karena kalau kau ada di sana pagi itu—dan kudengar kau ke sana—mungkin
kau
bisa
pecahkan
masalah
yang
sangat
membingungkanku.” Raut selidik lembut masih di wajahnya; namun kini ada sedikit kerutan penasaran atau minat di antara matanya. 17
“Pagi itu aku ada urusan di hotel tersebut,” sambungku. “Aku meninggalkan sebuah surat untuk seorang sahabat muda di dalam Alkitab yang terletak di meja kecil di ruang tamu sebelah dalam. Karena dia tak pernah menerimanya, aku terdorong melakukan segala macam penyelidikan dengan harapan dapat menemukan suatu penjelasan. Berhubung kau ada di sana waktu itu, mungkin kau lihat sesuatu yang dapat membantuku. Bisakah, Ny. Walworth?” Senyumnya, yang telah pudar, muncul kembali. Pada bibir yang Taylor kagumi ada sedikit cemberut, dan dia tampak mempesona. “Aku bahkan tak ingat pernah ada di hotel itu sama sekali,” protesnya. “Apa Tn. Taylor bilang aku di sana?” selidiknya, ditambah raut kepolosan indah yang biasa bangkit di wajah seorang calon pengantin dengan penyebutan nama kekasihnya. “Tidak,” jawabku serius. “Sayangnya Tn. Taylor tidak bersamamu pagi itu.” Dia tampak kaget. “Sayangnya,” ulangnya. “Apa maksudmu dengan kata itu?” Terus dia mundur sambil terlihat kecewa berat. Aku sudah menyangka hal ini, jadi aku tetap waspada. “Maksudku,” lanjutku dengan tenang, “andai saja kau ditemani pagi itu, aku pasti bisa menanyainya sekarang, daripada menyita waktumu
dan
mengganggu
urusanmu
dengan
semua
permintaanku.” “Katakan apa maksudmu,” tukasnya sungguh-sungguh. Jawabanku sama-sama tegas. “Itu wajar. Kau tentu tahu kenapa 18
aku merepotkanmu dengan masalah ini. Yaitu karena surat tadi diambil dari tempat penyembunyiannya oleh seseorang yang masuk ruang tamu hotel antara jam 10:30 dan 12:00. Dan karena setahuku cuma tiga orang yang melewati ambang pintunya pada waktu istimewa di pagi istimewa itu, wajar saja aku minta jawaban dari mereka secara bergiliran atas persoalan yang menyusahkanku. Kau kenal Nona N...... Setelah kebetulan melihat surat yang dialamatkan kepadanya terselip di dalam Alkitab di sebuah hotel asing, mungkin kau merasa berkewajiban untuk mengambil dan mengantarkannya. Jika kau lakukan itu dan jika kau kehilangan surat itu—” “Tapi aku tidak melakukannya,” potongnya, hangat. “Aku tak tahu-menahu surat itu. Seandainya kau tidak katakan dengan tegas bahwa aku ada di hotel tersebut pada hari istimewa itu, aku pasti tergoda untuk menyangkalnya juga, sebab aku tak ingat pernah ke sana bulan lalu.” “Tidak untuk tujuan membetulkan kudung yang tertiup?” “Oh!” serunya, tapi sebagai orang yang ingat kembali fakta terlupakan, bukan sebagai orang yang tersandung dalam elakan. Aku
mulai
menganggapnya
tak
bersalah.
Sebagian
kemurungan yang selama itu menindasku lenyap. “Kau ingat sekarang?” tanyaku. “Oh, ya, aku ingat itu.” Sikapnya sama sekali menerangkan bahwa pengakuannya berhenti sampai di situ. Kurasa percuma saja berspekulasi lebih jauh. Kalau tidak bersalah, dia tak bisa bercerita banyak. Kalau 19
bersalah, dia takkan cerita. Maka, karena keyakinanku condong pada hipotesis sebelumnya, aku kembali memegang tangannya dan berkata: “Kulihat kau tak bisa menolongku. Maafkan aku; kebahagiaan seorang pria, dan mungkin pula seorang wanita, bergantung pada penemuan siapa yang mengambil surat dari Alkitab di mana aku menyembunyikannya di pagi naas itu.” Sekali lagi membungkuk rendah, aku hendak pergi tapi lenganku dicengkeramnya secara naluriah. “Pria apa?” bisiknya, dan dengan nada lebih rendah lagi, “wanita apa?” Aku berbalik dan menatapnya. “Astaga!” pikirku, “bisakah wajah seperti itu menyembunyikan hati yang egois dan penuh intrik.” Dalam sekejap kukumpulkan dan kubandingkan wajah polos, jujur, terpercaya milik Ny. Couldock serta wajah Nona Dawes yang elok dan tulus, dan aku tak tahu harus berpikir apa. “Maksudmu, bukan kau sendiri, kan?” lanjutnya, menjumpai raut susahku. “Tidak,” balasku, “untunglah kesejahteraanku tidak terikat pada kehormatan wanita manapun.” Membiarkan kata-kata ini masuk ke dalam hatinya, sekiranya hati itu peka, aku pun berpamitan, lebih gelisah dan kurang yakin daripada saat datang tadi. Karena sikapnya adalah sikap seorang wanita yang dikagetkan oleh tuduhan tak langsung, dia terlalu bersih untuk dinilai dengan signifikansi tuduhan ini. Tapi, kalau bukan dia yang mengambil 20
surat itu, siapa lagi? Ny. Couldock? Mustahil. Nona Dawes? Pemikiran ini tak dapat dipertahankan sekejap pun. Dalam depresi hebat aku menanti kunjungan Taylor malam itu. Aku yakin dia akan berkunjung. Pada saat dia datang, aku paham bahwa buntut dari pembeberanku akan sejelas yang kupahami sekarang. Dia telah bicara blak-blakan dengan Ny. Couldock dan Nona Dawes, dan betul-betul yakin akan ketidaktahuan mereka berdua terkait kasus ini. Alhasil Ny. Walworth bersalah dalam penilaiannya, dan karena dinyatakan bersalah, wanita itu tidak bisa menjadi isteri untuknya, betapapun dia mencintainya, dan betapapun genting motif perbuatannya. “Tapi,” kataku, takut dengan konsekuensi dari campurtanganku, dan untuk ini aku hampir siap menyalahkan diriku sendiri, “Ny. Couldock dan Nona Dawes tidak bisa berbuat apaapa selain membantah tahu surat itu. Ny. Walworth berbuat serupa, dan—” “Kau sudah temui dia? Kau sudah tanya dia—” “Ya, sudah kutemui, dan sudah kutanyakan, dan tak satupun bulu matanya layu pada saat dia menegaskan tidak tahu tentang semua ini.” Kepala Taylor tertunduk. “Sudah kubilang akan seperti itu,” akhirnya dia bergumam. “Aku tidak bisa anggap itu bukti dia tak bersalah. Atau lebih tepatnya,” imbuhnya, “aku pasti senantiasa menyimpan keraguan.” “Lalu Ny. Couldock dan Nona Dawes?” 21
“Ah!” pekiknya, bangkit dan berpaling, “tak ada urusan pernikahan antara aku dan mereka.” Maka dari itu aku tidak heran, ketika pekan tersebut berlalu, pengumuman pernikahannya tak kunjung muncul. Tapi aku gelisah, dan masih gelisah, sebab jika kekeliruan terjadi dalam pengadilan pidana, dan orang tak bersalah, lewat pemaksaan bukti tak langsung, terkadang dibuat menderita demi orang bersalah, bukankah dalam urusan moral sepele ini Ny. Walworth telah dizalimi, dan bahwa saat aku berperan sebagai pengadil atas nasibnya, aku justru berhasil memisahkan dua hati yang berhak bahagia? Mustahil untuk dipastikan, dan waktu tak mungkin pula memecahkan teka-teki ini. Maka haruskah kusalahkan diriku selamanya, atau apakah dalam masalah ini aku hanya melakukan apa yang akan dilakukan pria jujur manapun di posisiku? Seseorang, tolong jawab aku. Aku tidak mendapati sunyinya kehidupan perjakaku tercerahkan oleh keraguan ini, dan aku sudi berterimakasih kepada siapapun yang mau membebaskanku darinya.
22