BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
Vol. V/No. 1/2016
Profil:
NAZIR FOEAD MEREHABILITASI HUTAN: HARUSKAH SELALU DENGAN MENANAM POHON? KEMANDIRIAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN MANGROVE HUTAN ADAT BULIAN, SITUS ULIN DI SUMATERA SELATAN SPESIES TERANCAM PUNAH DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG REGENERASINYA MEMPRIHATINKAN
Tri Atmoko
MENELUSURI JEJAK DI KALIMANTAN UTARA
Profil
02 Nazir Foead - Kepala Badan Restorasi Gambut 08
Tajuk Utama Menelusuri Jejak Nasalis Larvatus orientalis di Kalimantan Utara [ Tri Atmoko ]
Salam Redaksi 01
Balitek KSDA Gandeng KSKWS untuk Pengelolaan Sampah
Artikel 14
Merehabilitasi Hutan : Haruskah Selalu dengan Menanam Pohon?
Outing Class SD Al-Azhar Syifa Budi Samarinda di Trek Wartono Kadri
[Ishak Yassir ]
Lintas Peristiwa Pelatihan Identifikasi Tumbuhan
37 Pegawai Kebun Raya Balikpapan
Kemandirian Masyarakat Lokal 18 dalam Pengelolaan Mangrove “Studi Kasus di Kab. Serdang Bedagai dan Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara [ Tri Atmoko ]
di Balitek KSDA
35
20
Klik
Dipterocarpus gracilis Bl.: Spesies Terancam Punah di Kawasan Hutan Produksi [ Denny dan Adi Susilo]
28 Hutan Adat Bulian, Situs Ulin di Sumatera Selatan
[ Suryanto, Tubagus Angga A. Syabana, Edi Cahyono, Ike Mediawati dan Teguh]
- Wisata Mangrove
Salam Konservasi, “Nasalis lar vatus orientalis (Bekantan)” menjadi tema utama Majalah Swara Samboja Vol V/No. 1/Th 2016. Hewan endemik Kalimantan ini diketahui memiliki beberapa sub spesies yang sangat jarang diketahui perbedaannya, bahkan oleh pencinta primata sekalipun. Sejak tahun 2015, tim peneliti Balitek KSDA telah melakukan penelitian terkait penyebaran dan pengambilan material genetika dari "Monyet Belanda" ini untuk memberikan data ilmiah terkait perbedaan sub speciesnya. Uraian lebih lengkap dapat pembaca dapatkan dalam tulisan Tri Atmoko, S.Hut, M.Si berjudul “Menelusuri Jejak Nasalis larvatus orientalis di Kalimantan Utara”. “Merehabilitasi Hutan: Haruskah selalu dengan menanam pohon?”. Ternyata banyak hal yang bisa kita lakukan selain menanam pohon. Dr. Ishak Yassir mengemukakan bahwa kegiatan selain menanam pohon, rehabilitasi hutan dapat juga didukung dengan menjaga dan memacu pertumbuhan dari permudaan alami, perbaikan dan pemulihan kualitas tanah, atau kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan. Tri Atmoko, S.Hut, M.Si. selanjutnya akan membahas tentang "Kemandirian Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Mangrove”. Tulisan ini membahas tentang peran masyarakat lokal yang sangat penting dalam upaya konservasi dan memperbaiki kondisi hutan mangrove, dengan studi kasus di Kab. Serdang Bedagai dan Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Selain itu perlu digali terus manfaat mangrove dan pengembangannya agar dapat mendorong perekonomian masyarakat menjadi lebih baik. “Hutan Adat Bulian, Situs Ulin di Sumatera Selatan” akan dikupas oleh Suryanto, S.Hut., M.Si., dkk. sebagai sajian selanjutnya. Hutan adat Bulian berada di Kab. Musi Rawas, Sumatera Selatan dengan luasan + 49 hektar, namun dikelilingi oleh perkebunan
Salam Redaksi milik masyarak at maupun perusahaan. Keberadaan tegakan Ulin yang anomali ditengah ancaman kepunahan Ulin di Sumatera menempatkan Hutan Adat Bulian mempunyai nilai yang sangat penting. Denny, S.Hut, MP. dan Ir. Adi Susilo, M.Sc, Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, mengemukakan bahwa telah ditemukan empat pohon Dipterocarpus gracilis Bl. yang terancam punah di dua petak yang luasnya 35,04 Ha. di RPH Cisujen KPH Sukabumi, namun tidak ditemukan permudaan, baik semai, pancang maupun tiang. Mengingat lokasi pohon tersebut berada dalam kawasan hutan produksi jati milik Perum Perhutani, menurut mereka diperlukan ketegasan dari pihak pengelola untuk tetap mempertahankan lokasi tersebut sebagai kawasan lindung. Nazir Foead aktivis kehutanan dan konservasi Indonesia menjadi sosok inspiratif kita kali ini. Beliau adalah Ketua Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk presiden Jokowi sejak Januari 2016. Kerja keras untuk mengembalikan kerusakan lahan gambut di Indonesia diharapkan dapat tercapai dalam masa tugasnya. Untuk itu beliau ingin berbagi strategi dan mimpi-mimpinya bersama Swara Samboja. Sebagai sajian penutup lintas peristiwa tersaji “Pelatihan Identifikasi Tumbuhan Pegawai Kebun Raya Balikpapan di Balitek KSDA”, "Outing Class SD Al-Azhar Syifa Budi Samarinda di Trek Wartono Kadri”, dan "Balitek KSDA Gandeng KWKWS untuk Pengelolaan Sampah”. Pembaca kami yang budiman, akhir kata, selamat membaca dan salam hangat. Ahmad Gadang Pamungkas Kepala Balai
alamat redaksi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Samboja - Kalimantan Timur Phone. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 E-mail :
[email protected]
PENANGGUNG JAWAB : Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si
team redaksi
Join us
Majalah Swara Samboja Group Majalah Swara Samboja
DIPA BPTKSDA 2016 DEWAN REDAKSI : Dr. Chandradewana Boer Dr. Hendra Gunawan Tri Atmoko, S.Hut, M.Si REDAKSI PELAKSANA : Drinus Arruan, S.Hut Eka Purnamawati, S.Hut Deny Adiputra, S. Hut DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT : Agustina Dwi Setyowati, S.Sn
Majalah Swara Samboja merupakan majalah ilmiah populer mengenai konservasi yang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi S umber Daya Alam setiap caturwulan (4 bulan) sekali. Redaksi menerima artikel untuk Majalah Swara Samboja dengan ketentuan sebagai berikut : - Naskah diketik diatas kertas kuarto (A4) dengan huruf Times New Roman 12 point dengan 1,5 spasi dan maksimal 3000 karakter. - Naskah dilengkapi dengan gambar atau foto pendukung dengan resolusi >300 dpi lengkap dengan keterangannya. - Naskah yang masuk akan dikoreksi oleh dewan redaksi dan akan dikembalikan ke penulis sampai naskah dinyatakan siap terbit.
Dokumen Pribadi
Profil
Nazir Foead Kepala Badan Restorasi Gambut
“Belajar Dari Alam dan Mengutamakan Keteladanan” Organisasi 2011 - 2013 : Wakil Ketua Kontap Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim KADIN
Tempat/Tanggal Lahir Medan, 6 Juni 1967 Istri Delima Saragih
19987 - 1989 : Mapagama (Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada) Publikasi
Pendidikan S1 - Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
The Coral Triangle - A new geography for a new age The Jakarta Post, Jakarta, 2013
Pernah belajar di The Netherlands Forestry Ministry Pernah belajar di Tropenzentrum, University of Gottingen Germany Pernah belajar di Durell Institute of Conservation and Ecology United Kingdom Pernah belajar di Indiana University USA
Genetic diversity, phylogeny and conservation of the Javan rhinoeros (Rhinoceros sondalicus) Conservation Genetics, Co-author bersama Prithiviraj Fernando, Gert Polet, Linda S. Ng, Jennifer Pastorini, Don J. Melnick, 2006 Indonesia - Tesso Nilo, Riau Province, Sumatra, In “Legal Forest Destruction: The Wide Gab between Legality and Sustainability” ed Ingrid Roerhorst, 2005
Pernah belajar di Smithsnonian Institute Washington DC USA Riwayat Pekerjaan 2016 - skrg : Kepala Badan Restorasi Gambut
Elephant Forest for Sale. Rob Glastra, WWF (kontributor), 2003
2014 - 2016 : Pimpinan Program Indonesia pada Climate and Land Use Alliance (CLUA)
Ecology of the Upper Bahau grassland in East Kalimantan: A traditional ecosystem management of pest control? People and Plant of Kayan Mentarang UNESCO and WWF, London, 1997
2011 - 2014 : Direktur Konservasi pada Yayasan WWF Indonesia 2006 - 2011 : Direktur Bidang Kebijakan pada Yayasan WWF Indonesia 2003 - 2006 : Direktur Konservasi Species pada Yayasan WWF Indonesia
Ecotourism of ecoterorism* MEDIA INDONESIA, Jakarta, 1996
2001 - 2003 : Direktur Regio Sumatera - Jawa pada Yayasan WWF Indonesia
Let the forestry grows naturally* SUARA PEMBARUAN, Jakarta, 1995
2000 - 2001 : Deputy Direktur Konservasi Species pada Yayasan WWF Indonesia
Nature conseration by and for the people of East Kalimantan THE JAKARTA POST, Jakarta, 1993
1997 - 2000 : Project Manager Ujung Kulon pada Yayasan WWF Indonesia
Learning from the Dayak people how to manage a protected area CONSERBATION INDONESIA 9 (3), Jakarta, 1993
1992 - 1995 : Manager Stasiun Riset Kayang Mentarang pada Yayasan WWF Indonesia 1998
: Pimpinan Tim Recee, Seram pada Swaletreks Expedition
Lalut Birai Field Station: the heart of field researches CONSERVATION INDONESIA 9 (3), Jakarta, 1992
03
K
erusakan lahan gambut di Indonesia sangat memprihatinkan. Untuk mempercepat pemulihannya, Presiden joko 'Jokowi' Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 6 Januari 2016. Lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab terhadap presiden ini memiliki tugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Dengan masa kerja hingga 31 Desember 2016, BRG bertugas untuk merestorasi lahan gambut seluas dua juta hektar. Untuk memenuhi target tersebut tentu saja dibutuhkan kerja keras, terobosan dan inovasi, serta sumber daya manusia yang profesional. Dan Jokowi memercayai Nazir Foead untuk menggawangi lembaga tersebut. Di antara kesibukan menjalankan tugas-tugasnya, Nazir Foead berbagi strategi dan mimpi-mimpinya bersama Swara Samboja.
Apa yang mendorong Bapak menekuni bidang kehutananan dan konservasi? Ketertarikan saya pada bidang kehutanan berawal saat kelas I SMA. Saat liburan, saya mendaki Gunung Gede untuk melihat matahari terbit. Selama pendakian hingga puncak gunung itu, saya melihat gugusan alam yang sangat elok dan menawan. Pemandangan yang saya saksikan itu terekam kuat dalam memori saya. Sejak saat itu ketertarikan saya terhadap alam mulai tumbuh. Waktu kelas II SMA, saya bermain ke Bogor di daerah Dramaga. Saat makan siang di sebuah warung, saya bertemu seorang mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor - Red) dan kami ngobrol bersama. Ia kuliah di kehutanan dan bercerita mengenai kegiatankegiatannya di kampus. Saya merasa itulah yang sesuai untuk saya dan ketertarikan saya pun semakin berkembang. Sejak saat itu saya sudah memilih akan kuliah apa dan bagaimana bidang pekerjaan saya yang ingin saya tekuni. Dan setelah lulus SMA saya diterima di Fakultas Kehutanan UGM (Universitas Gadjah Mada – Red).
Dokumen Pribadi
Dapatkah Bapak ceritakan kenangan masa kecil yang paling mempengaruhi kehidupan Bapak hingga saat ini? Saya lahir di Medan, Sumatra Utara. Saat liburan sekolah, orangtua mengajak ke Danau Toba. Kami berperahu ke Pulau Samosir. Saya sangat terkesan dengan keindahan alamnya yang masih alami. Pengalaman itu sangat berpengaruh dalam kehidupan saya hingga saat ini. Saya merasa sedih melihat anak-anak zaman sekarang yang tidak lagi mengenal alam bebas. Sebagian besar anak mengisi liburan dengan menghabiskan uang di mal. Sebagian lagi mungkin berolahraga di kolam renang. Meskipun itu kegiatan bagus tapi berbeda dengan anak-anak zaman saya. Berenang di kolam renang tidak dapat merasakan keindahan alam seperti bila berenang di sungai atau bermain di alam bebas.
Bagaimana peran keluarga, teman/rekan sejawat, dan lingkungan dalam meniti karir hingga saat ini? Ayah saya seorang ahli elektronika dan mamak dari keluarga pedagang. Sangat berbeda dengan dengan dunia yang saya tekuni sekarang. Awalnya mereka kaget dengan kesukaan saya
naik gunung dan bertualang. Waktu kuliah, saya suka bertualang dan melakukan perjalanan ke 27 provinsi. (Nazir Foead kuliah S1 tahun 1985-1992, saat itu Indonesia baru memiliki 27 provinsi – Red). Melihat keseriusan saya dengan kegiatan-kegiatan itu, orangtua saya bisa memahami dan mendukung. Hanya saja mereka berpesan agar saya tetap kuliah dengan baik. Saya pun sering melakukan traveling bersama Mapagama (Organisasi pecinta alam di UGM – Red). Bahkan saya menjadi panitianya. Kami melakukan perjalanan ke daerah-daerah terpencil di pelosok nusantara. Masuk hutan, naik gunung, dan tinggal bersama masyarakat setempat. Dari situlah saya belajar bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Bagaimana kearifan lokal mampu menjaga keseimbangan alam. Setiap komunitas lokal pasti sangat menghargai alam dan saling berbagi satu sama lain. Salah satu desa yang pernah saya kunjungi tidak mempunyai sumber garam. Setiap tiga bulan sekali salah satu anggota keluarga harus berjalan kaki ke daerah pesisir untuk membeli garam. Bila anggota keluarga tersebut tidak bisa pergi, maka tetangganya akan membantu, meminjamkan persediaan garam. Menyadari ketergantungannya pada alam, mereka sangat menghargai dan menjaga lingkungannya.
05
Pengalaman-pengalaman di daerah terpencil itu menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi saya. Ilmu yang tidak diperoleh di sekolah, tapi harus belajar langsung dari sumbernya. Keluarga besar yang awalnya heran dengan profesi saya di LSM , kemudian lama-lama bangga dengan jalan saya yang berbeda. Mereka pun sekarang sangat mendukung aktivitas saya.
Apa keistimewaan Bapak hingga dipilih sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut? Saya tidak tahu pasti. Lebih tepat ditanyakan langsung pada presiden. Perjalanan karir saya hingga saat ini karena kerja keras. Dan tentu saja, program-program BRG harus terhubung dengan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dukungan dari pihak-pihak terkait juga sangat diperlukan. (Presiden Jokowi: “Saya memandang Nazir Foead memiliki kompetensi, pengalaman dalam melakukan restorasi hutan dan gambut, terutama kemampuan untuk koordinasikan dengan kementerian lembaga dan jejaring lembaga internasional” – Kantor Staf Presiden 13 Januari 2016, http://ksp.go.id/nazirfoead-pimpin-badan-restorasi-gambut/ )
Bagaimana strategi Bapak untuk membuat roda organisasi tetap solid? Terbiasa bekerja di LSM, saya biasa mengambil keputusan secara demokratis baik dengan kolega maupun anak buah. Kelemahannya, pengambilan keputusan akan memerlukan waktu lebih lama. Namun, keputusan demokratis yang muncul dari forum konsultasi akan kuat karena didukung oleh semua pihak yang terlibat. Selain itu, saya berusaha hidup melalui keteladanan daripada banyak kata-kata. Dengan demikian apa yang kita kerjakan akan diikuti oleh anak buah.
Apa yang Bapak tanamkan pada jajaran Bapak agar organisasi berkembang dan bisa melahirkan inovasi-inovasi baru? Badan Restorasi Gambut merupakan lembaga yang unik. Sebagian besar personelnya berasal dari LSM dan akademisi, sebagian lagi dari PNS. Umumnya mereka mempunyai motivasi tinggi sehingga bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Dengan komposisi personel seperti itu, BRG mudah bersosialisasi dengan pemerintah namun tetap tidak berjarak dengan masyarakat. Semua unsur BRG terikat sumpah dan janji, harus bekerja secara profesional. Sumber dana BRG berasal dari APBN, dan diperbolehkan bekerja sama dengan pihak lain untuk kegiatan-kegiatan yang tidak didanai APBN sepanjang tidak merugikan negara. Hal ini harus
dimanfaatkan secara bertanggung jawab untuk mendukung tugas dan fungsi BRG.
Menurut Bapak, apa permasalahan mendasar dalam pengelolaan lahan gambut di Indonesia? Lahan gambut yang sudah terlanjur dibuka saat ini dapat digolongkan menjadi tiga. Pertama, lahan gambut yang sengaja dibuka secara legal namun menggunakan cara yang keliru, terutama dalam pembukaan kanal. Kedua, lahan gambut yang dibuka karena perambahan. Ketiga, lahan gambut yang dibuka dengan cara yang relatif baik. Tugas BRG untuk mengajak pihak-pihak terkait mengubah pola pengelolaan yang salah sehingga saat kemarau tidak kering lagi. Dan mengubah kebiasaan yang sudah berjalan itu cukup sulit. Sebaiknya air gambut rendah minimal empat puluh sentimeter, sementara pengolah lahan menghendaki enam puluh sentimeter agar lahan cukup subur. Permasalahan lain adalah aturan-aturan pengelolaan gambut yang ada kurang mendukung pengelolaan lahan gambut yang baik. Karena itu perlu ditinjau ulang, terutama untuk sistem kanal atau drainase lahan gambut.
Terobosan apa yang akan Bapak lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Badan Restorasi Gambut melakukan diskusi-diskusi dengan praktisi, akademisi, maupun pemerhati untuk memperoleh solusi yang tepat. Restorasi lahan gambut diharapkan bisa memberikan nilai ekonomi yang tinggi buat masyarakat sekitar. Lahan yang direstorasi tidak mudah terbakar sehingga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini hanya berlaku untuk lahan gambut yang masuk dalam kategori budidaya, sedangkan untuk lahan gambut yang dilindungi tidak diperbolehkan ada kegiatan masyarakat didalamnya. Dalam pengelolaan lahan gambut budidaya, masyarakat bukan hanya diajak untuk membasahi gambut tapi dilibatkan dalam sistem pengelolaan lahan dan tata airnya. Salah satunya dengan menanam jenis pohon yang punya nilai ekonomi tinggi sehingga hasilnya dapat diambil dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam karier bapak pada bidang konservasi, apa yang paling membahagiakan dan yang paling mengecewakan ? Kejadian paling mengecewakan bagi saya adalah konflik antara manusia dengan gajah pada awal tahun 2006 di Sumatra. Waktu itu gajah masuk ke perkebunan dan dihalau. Keluar dari perkebunan, gajah-gajah itu justru mengamuk dan masuk ke pemukiman warga. Akibatnya banyak korban jatuh, kebun dan tanaman warga rusak, banyak warga yang kehilangan harta bendanya. Kalau saja kejadian itu ditangani dengan benar, tidak
setneg
sampai masuk ke kampung, pemilik perkebunan yang merupakan pemodal besar tidak akan terlalu rugi. Saya benar-benar kecewa dan marah.
keluar pulau, tapi jarang. Bila liburannya hanya sabtu – minggu biasanya berkumpul keluarga di rumah atau ke tempat nenek mengisi liburan.
Kebahagiaan bagi saya apabila mendapat semangat dan pekerjaan diapresiasi. Salah satu yang paling membahagiakan adalah ketika saya masih bekerja di Kayan Mentarang. Saat itu statusnya masih cagar alam, belum menjadi taman nasional. Ada upaya membelah cagar alam untuk jalan bagi HPH. Pemilik HPH itu adalah salah satu orang penting di negeri ini. Saya berupaya untuk mengetuk hati orang-orang yang peduli untuk mendukung penolakan atas upaya pembelahan cagar alam tersebut. Saya banyak belajar dari senior saya di WALHI bagaimana menangani konflik dengan membangun narasi yang baik. Saya menghubungi orang-orang yang peduli disertai dokumen-dokumen pendukung, lalu maju untuk mengetuk hati pemilik HPH. Usaha itu berhasil, pembukaan cagar alam untuk jalan tidak dilanjutkan.
Bagaimana harapan Bapak terhadap pengelolaan gambut dan hutan pada masa mendatang? Saya akan sangat bangga kalau dalam kurun waktu lima tahun ini gambut berhasil direstorasi dengan baik. Tata airnya berjalan baik sehingga pada musim kemarau tidak terbakar lagi. Konservasi gambut berhasil dan ekonomi bergerak cepat sehingga dapat dinikmati petani secara langsung. Masyarakat bisa menjual hasil pertaniannya langsung ke pabrik tanpa melalui tengkulak. Sagu yang dihasilkan dari lahan gambut dijual langsung ke pabrik pengolah sagu sehingga penghasilan petani lebih baik.
Selain rutinitas pekerjaan, kegiatan apa yang Bapak lakukan untuk mengisi waktu luang?
Harapan saya, masa masa mendatang masyarakat bisa menikmati mi ayam atau mi goreng sagu hasil olahan kita sendiri. Rasanya enak dan sehat pula. Jadi sagu dapat menggantikan impor gandum yang tidak dapat kita produksi sendiri.
Saya mengisi waktu luang dengan berkumpul bersama keluarga. Biasanya ada arisan keluarga, piknik dan pertemuan dengan keluarga besar. Saya sangat menikmati saat-saat berbagi cerita dengan keluarga tersebut. Kalau liburan panjang kadang jalanjalan ke luar kota di pulau Jawa, ke daerah pedesaan. Pernah juga
Semoga dalam kurun waktu lima tahun ini tugas BRG tuntas dikerjakan. Tentu saja BRG tidak dapat bekerja sendiri. Keberhasilan hanya mungkin dicapai bila masyarakat, Kementerian KLHK dan kementerian lain yang terkait bergandengan erat mendukung tugas-tugas BRG.
Menelusuri jejak Nasalis larvatus orientalis di Kalimantan Utara Tri Atmoko
Tri Atmoko
[ Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ] e-mail:
[email protected]
Bekantan di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan
B
ekantan dari sub jenis orientalis memang jarang dibicarakan dalam jurnal-jurnal penelitian ilmiah maupun tulisan popular lainnya. Para ahlipun masih gamang untuk membedakannya sebagai sub spesies tersendiri. Bahkan pada pustaka terbaru terkait update taksonomi primata di wilayah Asia yang ditulis Roos et al. (2014) tidak mengakui adanya sub spesies tersebut, yang ada hanya variasi warna saja.
Pada penghujung tahun 2015 tim peneliti Balitek KSDA melakukan identifikasi titik sebaran bekantan sekaligus melakukan koleksi DNA bekantan melalui pengumpulan sampel feses bekantan di beberapa lokasi di Kalimantan Utara. Perjalanan dimulai dari pulau Tarakan, Kalimantan Utara.
Memulai penelusuran Langit cerah melatar-belakangi GA668 di langit Paguntaka sesaat sebelum mendarat di Landasan pacu badara Juwata, Tarakan. Ini mengawali langkah tim peneliti satwa liar Balitek KSDA untuk menelusuri jejak satu sub spesies bekantan di provinsi termuda di Indonesia, Kalimantan Utara.
Setelah sekian lama menelusuri pustaka asli yang mendeskripsikan sub spesies tersebut, akhirnya penulis mendapatkan dalam versi elektroniknya. Pustaka lama berjudul A Handlist of Malaysian Mammals yang ditulis oleh Frederick Nutter Chasen itu diterbitkan oleh Bulletin of the Raffles Museum tahun 1940. Dalam pustaka tersebut untuk pertama kalinya, Chasen mendeskripsikan sub spesies Nasalis larvatus orientalis. Type specimen yang menjadi rujukan adalah tengkorak dan kulit hasil dikoleksi pada tahun 1935 oleh Baron Victor von Plessen di Salim Batu, Bulungan, Kalimantan Timur.
Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lainnya di Kalimantan Utara, tentu Kota Tarakan adalah yang paling identik dengan bekantan. Hal tersebut tentu sangat dimaklumi dengan keberadaan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) di kota paling maju di Kalimantan Utara ini.
Menurut Chasen, sub spesies orientalis seperti sub spesies nasalis tapi bagian atas dahi dan garis tengkuknya kurang tajam dan usang. Bagian atas lainnya jauh lebih pucat dari pada larvatus, dan juga lebih seragam, ada yang sedikit menjadi kelabu pada bagian depan dari punggung. Bagian bawah berwarna merah karat merata. Seiring dengan kemajuan teknologi genetika akhir-akhir ini, memberikan kemajuan yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu taksonomi tumbuhan maupun hewan. Usulan penemuan jenis baru ataupun revisi tata nama tumbuhan dan hewan selama ini hanya berdasarkan deskripsi morfologi, namun saat ini juga perlu didukung dengan analisis DNA. Mulai tahun 2015, Balitek KSDA melaksanakan penelitian salah satu satwa langka menjadi prioritas perlindungan, yaitu bekantan. Salah satu tujuannya adalah berusaha untuk menjawab keragu-raguan para ahli primata terkait eksistensi sub spesies orientalis melalui pendekatan molekuler. Selain itu juga ingin menambah informasi terkait sebaran bekantan di Kalimantan, khususnya yang berada di sebelah timur laut yang memang masih sangat terbatas. Sejauh ini informasi terkait keberadaan dan sebaran bekantan di Kalimantan secara umum dilaporkan oleh Meijaard dan Nijman (2000). Dalam laporannya disebutkan bahwa terdapat 16 areal prioritas untuk perlindungan bekantan di Kalimantan. Dua areal diantaranya berada di Kalimantan Utara, yaitu di Sungai Kayan dan Sungai Sesayap-Sebuku-Sembakung.
Jalur Penelusuran bekantan di Kalimantan Utara
KKMB, kawasan multifungsi Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) adalah salah satu hutan kota yang ada di kota Tarakan. Keberadaannya tidak lepas dari jasa Walikota Tarakan era 19992009, dr. H. Jusuf SK. Pada masa itu diterbitkannya SK Walikota Tarakan nomor 591/HK-V/257/2001 tentang pemanfaatan hutan mangrove Tarakan seluas 9 ha.
09
Berbagai fasilitas penunjang juga terus di bangun, diantaranya pembangunan boardwalk, pemagaran kawasan, papan informasi, menara pandang, perpustakaan, gazebo, dan penangkaran burung. Selain itu areal pun diperluas hingga 22 ha dengan melakukan penanaman mangrove. Penanaman didukung oleh pihak swasta dan LSM, seperti PT. Minanusa Aurora, Nichirei Fresh Ltd., Ganko Food Industries, dan WWFIndonesia.
sungai Sebuku kearah hulu yang memakan waktu sekitar 2,5 jam menggunakan speedboat 40 PK. Selama perjalanan, perjumpaan dengan kelompok bekantan sekitar 16 kali. Saat melewati habitat bekantan yang didominansi pohon-pohon kecil Sonneratia alba di sepanjang sungai, speedboat pun menepi. Saat kaki kami menapak di lumpur yang dalam di tepi sungai, beberapa bekantan masih terlihat berhamburan masuk ke dalam nipah-nipah. Meskipun dengan susah payah mengerakkan kaki yang terendam lumpur akhirnya kamipun mendapatkan beberapa sampel feses bekantan. Beberapa saat setelah kami naik ke atas speedboat, motorispun segera menghidupkan mesin. Manakala perlahan speedboat mulai berjalan, sudut mata penulis sempat menangkap sosok kepala buaya tenggelam perlahan sekitar 4 meter dari posisi terakhir kami.
Saat ini KKMB mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat Tarakan dan para pengunjung kota Pulau ini. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya: 1) sebagai paru-paru kota Tarakan, 2) meningkatkan fungsi ekologis pesisir pantai Pulau Tarakan, 3) sebagai kawasan ekowisata dan wisata alam, 4) sebagai wahana pendidikan lingkungan, dan 5) sebagai kawasan lindung flora dan fauna, khususnya bekantan dan jenis-jenis mangrove.
Buaya adalah salah satu pemangsa bekantan di tempat ini. Menurut Junaidy (motoris), buaya akan mengintai bekantan yang sering beraktivitas di pepohonan kecil di tepi sungai. Pada suatu kesempatan yang tepat, buaya akan melecutkan ekornya pada bagian bawah batang pohon tempat bekantan sedang berkativitas. Pukulan yang keras akan menyebabkan bekantan terlempar jatuh ke sungai dan buaya segera menyergapnya.
Mardi T. Rengku
Pada awalnya areal hutan mangrove tersebut dihuni oleh dua ekor bekantan dan beberapa monyet ekor panjang. Seiring dengan berjalannya waktu telah beberapa kali dilakukan introduksi bekantan ke kawasan tersebut. Beberapa ekor bekantan yang diintroduksikan diantaranya berasal dari hasil penyitaan oleh BKSDA Kalimantan Timur. Sampai saat ini populasinya mencapai lebih dari 40 ekor dan beberapa diantaranya adalah bekantan yang lahir di kawasan tersebut. Sebanyak tiga sampel feses bekantan untuk analisis DNA dapat dikoleksi dari lokasi ini. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi terkait analisis genetik dari sampel tersebut adalah bekantan yang ada di KKMB ada dua sumber. Sumber pertama adalah bekantan yang asli ada di lokasi tersebut dan sumber kedua adalah bekantan hasil introduksi yang berasal dari Kabupaten Berau. Tujuan penelusuran selanjutnya adalah di daerah Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia, yaitu Kabupaten Nunukan. Perjalanan dari Pulau Tarakan ke Pulau Nunukan ditempuh melalui jalur laut menggunakan speedboat 800 PK sekitar 3 jam. Setelah semalam beristirahat, perjalanan pagi harinya adalah menyusuri Sungai Sebuku.
Buaya adalah pemangsa utama bekantan di Kalimantan Utara Setelah perjumpaan pertama dengan buaya hari itu, selama perjalanan berikutnya menuju ke Pembeliangan, kami masih sempat dua kali perjumpaan dengan buaya yang sedang berjemur di tepi Sungai Sebuku. Perjumpaan tersebut meyakinkan kami atas informasi masyarakat yang menyatakan, bahwa Sungai Sebuku adalah habitat buaya yang paling banyak dibandingkan sungai besar di sekitarnya. Mungkin ini juga terkait erat dengan keberadaan bekantan sebagai sumber mangsa yang jumlahnya juga cukup banyak di lokasi ini.
Sungai Sebuku Kecamatan Sebuku adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Nunukan yang terletak di bagian paling utara. Nama Sebuku diambil dari nama sungai besar yang ada di wilatah tersebut, yaitu Sungai Sebuku. Sungai Sebuku adalah satusatunya akses sungai yang menghubungkan ibukota kecamatan Sebuku, Pembeliangan, dengan Ibukota Nunukan. Perjalanan ke Pembeliangan ditempuh dengan menyusuri
Sampai di Pembeliangan, perjalanan dilajutkan menuju Desa Atap, Kecamatan Sembakung. Perjalanan melalui darat ditempuh sekitar 1 jam dengan menggunakan travel regular.
10
Tri Atmoko
Kondisi habitat bekantan di Kawasan Pelestarian Bekantan, Tanjung Urong, Desa Sengkong, Kecamatan Sesayap Hilir Selama perjalanan, nuansa pembangunan terlihat sedang giatgiatnya dilakukan, terutama pembangunan jalan dan infrastruktur umum. Ini menunjukkan salah satu kemajuan dan pemerataan yang terjadi setelah dilakukan pemekaran menjadi Provinsi Kalimantan Utara.
bonsai. Postur tanamannya pendek-pendek dan pucuk-pucuk daunnya nyaris gundul. Kondisi tersebut dapat menjadi indikasi seringnya frekuensi bekantan beraktivitas di lokasi tersebut dan secara intensif memanfaatkan pucuk daunnya sebagai sumber pakan. Kondisi tersebut sama dengan yang diamati penulis pada habitat bekantan di Delta Mahakam.
Sungai Sembakung Sungai Sesayap
Karakter sungai Sembakung berbeda dengan sungai Sebuku. Sungai Sebuku sungainya lebih lebar, lebih pendek, dan tidak terlalu berkelok-kelok. Sedangkan Sungai Sembakung sungainya lebih sempit, panjang, dan berkelok-kelok.
Perjalanan selanjutnya adalah di Sungai Sesayap, yaitu ke arah hulu menuju kabupaten termuda di Kalimantan Utara, yaitu Kabupaten Tana Tidung. Sungai Sesayap adalah sungai besar yang berada di sebelah selatan Sungai Sembakung. Selama perjalanan di Sungai Sesayap dijumpai sebanyak 13 titik perjumpaan dengan bekantan.
Desa Atap menjadi titik awal penelusuran bekantan di Sungai Sembakung. Perjalanan kali ini menuju kearah hilir sungau Sembakung. Saat itu speedboat yang kami tumpangi cuk up sarat dengan penumpang, namun masih memungkinkan kami untuk mengamati bekantan di tepi sungai. Sepanjang perjalanan terdapat sebanyak 26 titik perjumpaan bekantan hingga kami sampai di Desa yang paling dekat muara sungai Sembakung, Desa Tepian. Dari desa tersebut, keesokan harinya kami mulai menelusuri habitat bekantan di Sungai Sembakung secara lebih detail. Titik sebaran bekantan di Sungai Sembakung juga lebih sedikit, demikian juga perjumpaan dengan satwa pemangsanya, buaya.
Di Sungai Sesayap ada lokasi yang menarik terkait bekantan, yaitu “Kawasan Pelestarian Bekantan” di Tanjung Urong, Desa Sengkong, Kecamatan Sesayap Hilir. Areal tersebut sebenarnya masuk dalam konsesi PT. Adindo Hutan Lestari, sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang salah satu wilayahnya meliputi Kabupaten Tana Tidung. Mereka mempunyai komitmen untuk ikut melestarikan bekantan dan habitatnya di areal kerjanya. Lokasi tersebut telah di-block dengan parit agar gangguan dan perambahan lahan tidak terjadi. Hal tersebut didukung sepenuhnya oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tana Tidung, yaitu dengan membangun boardwalk dan pondok pengamatan bekantan di lokasi tersebut.
Habitat tempat bekantan beraktivitas hampir sama dengan habitat di Sungai Sebuku, yaitu didominansi oleh pohon rambai laut (S. caseolaris). Bahkan di beberapa lokasi, jenis rambai laut yang hidup di sepanjang sungai terlihat seperti
11
Jika dilihat dari kondisi hutannya, lokasi ini masih sangat ideal bagi habitat bekantan, karena didominansi oleh pohon rambai laut (S. caseolaris) dengan diameter yang relatif besar dan tinggi.
potensi yang cukup besar. Apalagi Kabupaten Tana Tidung sebagai kabupaten yang relatif baru, maka keberadaan areal untuk berwisata sangat penting untuk dibangun dan dikembangkan.
Selain di Desa Sengkong, di sekitar kota kabupaten Tana Tidung terdapat hamparan hutan mangrove yang dodominansi oleh jenis Sonneratia caseolaris dan S. alba. Dalam areal tersebut masih dijumpai beberapa kelompok bekantan dan monyet ekor panjang. Pemerintah daerah, melalui Dinas Kehutanan telah membangun beberapa bangunan shelter di sekitar lokasi tersebut, namun sayangnya masih kurang dimanfaatkan dan kurang dilakukan perawatan.
Tujuan penelusuran bekantan yang terakhir adalah di Sungai Kayan, Kabupaten Bulungan. Untuk menuju Sungai Kayan ditempuh melalui perjalanan darat sekitar 2,5 jam menggunakan jasa travel. Jalur perjalanan yang dilalui bisa dikatakan cukup baik untuk wilayah Kalimantan Utara. Jalan sebagaian besar sudah diaspal, meskipun di beberapa titik mengalami kerusakan dan sedang dilakukan perbaikan.
Kondisi bekantan di areal tersebut terlihat sangat sensitif dengan kehadiran manusia. Sehingga pengamatan hanya dapat dilakukan dari jarak yang cukup jauh. Kondisi tersebut dikarenakan bekantan masih sering diburu oleh masyarakat suku dayak untuk dikonsumsi. Sehingga kehadiran manusia di sekitar habitat bekantan dianggap sebagai ancaman bagi kelompok bekantan. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat terkait pelestarian bekantan sebagai satwa dilindungi perlu terus dilakukan di Kabupaten Tana Tidung. Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pemanfaatan sumber daya alam secara lestari perlu segera diperkenalkan kepada masyarakat. Seperti pengembangan jasa wisata alam dengan satwa liar sebagai obyek daya tarik dalam jangka panjang mempunyai
Sungai Kayan Sungai Kayan dengan panjang sekitar 650 km tercatat sebagai sungai terpanjang di Kalimantan Utara. Panjangnya 270 km lebih pendek dibandingkan sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Hulu-hulu sungai Kayan masuk dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang yang merupakan ekosistem hutan tropis dataran tinggi yang masih alami. Taman Nasional tersebut merupakan bagian dari Heart of Borneo yang dicanangkan oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam sejak 12 Februari 2007. Tujuan utama lokasi penelusuran kali ini adalah bekantan di Salimbatu. Desa Salimbatu adalah desa tertua dibandingkan desa yang ada di sekitarnya. Desa tersebut termasuk dalam Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten Bulungan,
Pencarian sampel feses bekantan di salah satu pulau kecil di Salimbatu Tri Atmoko
Kalimantan Utara. Di lokasi itulah, 80 tahun silam Baron von Plessen mengkoleksi specimen bekantan sub species orientalis.
bahwa buaya adalah pemangsa utama bekantan di Kalimantan Utara. Setelah berkeliling mengunjungi beberapa pulau dan sungai di Salimbatu, akhirnya kamipun mendapatkan sampel feses bekantan. Meskipun telah menyusuri dengan seksama lantai hutan habitat bekantan yang berlumpur tebal, namun kami hanya mendapatkan dua sampel feses bekantan. Beberapa kendala dalam pengumpulan sampel adalah pasang air yang tinggi dan kondisi lantai hutan yang tertutup dengan tumbuhan bawah yang rapat. Sampai akhir perjalanan belum bisa memastikan adanya perbedaan variasi warna bekantan di Kalimantan Utara dengan bekantan di lokasi lainnya. Kondisi bekantan yang sangat liar sehingga sulit untuk mengamati detail corak warna dan mendapatkan gambar yang bagus dan jelas. Pengamatan perlu dilakukan dengan lebih fokus dan waktu yang lebih lama. Harapannya melalui pemeriksaan DNA dapat menjawab pertanyaan besar terkait keberadaan bekantan sub jenis orientalis.
Sebanyak 55 liter bahan bakar kami persiapkan untuk penyusuran menggunakan mesin speedboat 40 PK kali ini. Belum sampai 10 menit speedboat melaju suara khas lompatan bekantan antar dahan rambai laut menghentikan kami. Namun sayang sekali hujan rintik mulai turun dan air sungai masih pasang tinggi, sehingga menghalangi kami turun ke darat untuk mencari sampel feses bekantan. Selain itu lensa tele 300 mm kamipun tidak dapat berfungsi dengan maksimal merekam aktivitas bekantan akibat hujan mulai deras. Setelah mengambil titik koordinat, kamipun merelakan moment itu berlalu dan melaju melanjutkan penelusuran. Sekitar 1,5 jam kemudian kamipun sampai di Pulau Tabir seperti yang disarankan kawan saat masih di Bulungan. Jika dilihat dari kondisi vegetasinnya yang masih bagus memang sangat ideal menjadi habitat bekantan, namun tidak ada satupun bekantan yang terlihat saat itu. Rasa penasaran kami membuat motoris mengarahkan mesin speedboat untuk mengelilingi pulau itu. Separuh pulau telah kami kelilingi, sekelebat nampak bayangan berayun di pelepah nipah. Mesin speedboad langsung dimatikan dan dilanjutkan dengan mendayung mendekat. Hampir semua tim menghela nafas kecewa manakala sosok yang berayun itu ternyata adalah seekor monyet ekor panjang.
Penutup Setelah mengunjungi beberapa lokasi habitat bekantan di Kalimantan Utara, terdapat beberapa kesimpulan sementara yang dapat ditarik. Pertama keberadaan bekantan masih banyak dijumpai meskipun habitatnya banyak yang telah mengalami kerusakan, Kedua pemangsa utama bekantan di Kalimantan Utara adalah buaya, Ketiga ancaman terbesar adalah perburuan oleh masyarakat dayak setempat dan koversi habitat, Keempat adanya beberapa upaya oleh pemerintah setempat untuk melukan perlindungan dan pelestarian bekantan, Kelima sub jenis orientalis masih perlu dibuktikan melalui analisis DNA. Diakhir perjalanan kami yang panjang, kami masih bisa berharap upaya perlindungan dan pelestarian bekantan dapat dilakukan dimana-mana, oleh siapa saja dan dengan cara yang sesuai dengan lokalitasnya. Meskipun dilakukan secara sporadis namun akan sangat berarti.
Jarum jam sudah menunjukkan angka 11, kamipun memutuskan untuk menambatkan speedboat dan istirahat dibawah kerimbunan pohon rambai laut di pulau itu. Bekal makan siangpun kami buka, meskipun sebenarnya belum waktunya makan siang. Belum habis separuh nasi di piring, “grusakk…grusakk..” spontan semua menoleh kearah datangnya suara. Sesaat semuanya membisu, sambil berusaha menajamkan pendengaran dan pengelihatannya masingmasing. Menit berikutnya membuat kami lega, seekor bekantan remaja berayun dari batang rambai dan melompat ke pelepah nipah. Rasa laparpun serasa hilang dan nyaris melupakan makan siang kami yang belum selesai. Akhirnya tombol “mark” pada GPS-pun akhirnya penulis tekan dengan yakin. Sesaat menjelang beranjak dari Pulau Tabir, seekor buaya berenang menghalangi di depan kami. Hanya sepasang mata dan bagian punggungnya saja yang nampak di permukaan sungai sebelum akhirnya tenggelam di air yang kecoklatan. Tak berapa lama, sekitar satu kilometer dari lokasi tersebut, tepatnya di sungai Temenggah, kembali kami jumpai seekor buaya sedang berjemur di tepi sungai. Jaraknya sangat dekat dengan kami, hanya sekitar 5 meter, sehingga dapat kami dokumentasikan dengan cukup baik. Beberapa kali perjumpaan dengan buaya di sekitar habitat bekantan lebih mempertegas
Pustaka Roos, C., R. Boonratana, J. Supriatna, J. R. Fellowes, C. P. Groves, S. D. Nash, A. B. Rylands, & R. A. Mittermeier. 2014. An update taxonomy and conservation status review of Asian Primates. Asian Primates Journal 4(1): 2-38. Chasen, F. N. 1940. A Handlist of Malaysian Mammals. Bulletin of the Raffles Museum No. 15, Singapore. Meijaard, E. & V. Nijman. 2000. Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 92:15-24.
13
Deny Adiputra
Merehabilitasi Hutan: Haruskah selalu dengan menanam pohon?
Ishak Yassir
[ Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]
uas dan produktivitas hutan di Indonesia hampir setiap tahun terus saja mengalami penyusutan dan penurunan. Kementerian Kehutanan tahun 2011 saja mencatat dari total 133 juta ha kawasan hutan, ada 42 juta ha kawasan hutan dalam kondisi rusak dan kritis. Kondisi ini menjadikan sebagaian kawasan hutan di Indonesia yang dulunya hijau kini tak hijau lagi. Tegakan hutan dengan komposisi jenis yang beranekaragam kini sebagaian besar telah berkurang bahkan hilang, berubah menjadi kawasan gundul baik berupa alang-alang, semak belukar dan kebun.
L
Upaya perbaikan dan pemulihan di kawasan hutan yang mengalami kerusakan melalui program rehabilitasi hutanpun telah banyak dilakukan. Bahkan program rehabilitasi hutan sudah menjadi program prioritas pemerintah sejak tahun 2000. Hasil atau dampak dari kegiatan rehabilitasi hutan saat inipun sudah dapat dilihat dan dirasakan, dimana dibanyak tempat kegiatan rehabilitasi hutan cukup berhasil, namun dilain pihak juga belum memberikan dampak apa-apa, bahkan cenderung mengalami kegagalan.
14
Belajar dari keberhasilan program rehabilitasi hutan diberbagai tempat di Indonesia, ternyata sangat ditentukan oleh professional dan keseriusan lembaga pelaksana kegiatan. Keseriusan tersebut bukan hanya sebatas memiliki komitmen yang sangat tinggi dengan mengalokasikan dana dan sumber daya manusia yang memadahi dan professional, tetapi juga kemampuan didalam mendesain dan menjalankan strategi dan program rehabilitasi hutan secara tepat dan konsisten. Mendesain dan menjalan strategi dan program yang tepat tersebut termasuk selalu aktif berkomunikasi dan berkoordinasi dengan para pihak; desain program banyak melibatkan dan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat; dan memiliki kemampuan mengantisipasi segala gangguan yang dapat mengancam keberhasilan seperti kebakaran, perambahan, illegal logging dan gangguan hewan ternak. Terkait dengan desain dan strategi rehabilitasi hutan, saat ini strategi rehabilitasi hutan lebih banyak atau selalu melalui pendekatan menanam pohon. Pendekatan ini tentu tidak salah dan memang harus dilakukan terutama pada lahan-lahan kritis
seperti lahan alang-alang, dan semak belukar termasuk juga hutan yang mengalami kerusakan dengan tutupan tajuk pohon di bawah 60%. Namun sebaliknya, di kawasan hutan yang masih memiliki tutupan tajuk pohon di atas 60% dengan permudaan alami yang berlimpah, kegiatan rehabilitasi hutan melalui kegiatan menanam pohon sebaiknya dipertimbangkan dan dilakukan secara hati-hati. Hal ini dikarenakan jangan sampai dalam kegiatan menanam pohon justru akan menambah rusak kawasan tersebut. Jangan sampai disaat membuka jalur tanam, anakan dari jenis-jenis lokal klimaks yang sudah tumbuh dengan baik dan adaptif ditebas, kemudian diganti dengan jenis yang relatif sama namun tidak ada jaminan hidup dan tumbuh dengan baik.
mengatur bagaimana menentukan tingkat kritisan lahan dan rekomendasi kegiatan yang harus dilakukan. Pada pasal 17 dan 23 dalam Permenhut No. P.87/Menhut-II/2014 menjelaskan bahwa rehabilitasi DAS pada areal-areal yang memiliki penutupan lahan masih rapat dengan jumlah pohon, tiang dan pancang lebih dari 700 batang per ha kegiatan rehabilitasi direkomendasikan cukup dengan kegiatan perlindungan dan pengamanan; dan untuk areal tutupan lahan cukup rapat dengan jumlah pohon, tiang dan pancang antara 200 s.d 700 batang per ha kegiatan rehabilitasi yang direkomendasikan adalah kegiatan tanaman pengkayaan. Sedangkan untuk areal yang memiliki tutupan lahan kurang rapat yaitu jumlah pohon, tiang dan pancang kurang dari 200 batang per ha kegiatan rehabilitasi yang direkomendasikan adalah kegiatan tanaman penanaman intensif.
Untuk itu, identifikasi tingkat kerusakan di kawasan hutan sangat penting dilakukan, termasuk identifikasi apakah lokasi tersebut masih memiliki permudaan alami yang berlimpah dari jenis-jenis asli setempat. Hal ini penting dilakukan untuk menentukan strategi yang tepat, apakah kegiatan rehabilitasi hutan memang harus dengan kegiatan menanam pohon? atau justru sebaliknya, kegiatan menanam pohon tidak perlu dilakukan, tetapi cukup hanya dengan melakukan kegiatan pemeliharaan anakan yang telah hadir secara alami, disertai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.
Mengacu pada Permenhut No. P.87/Menhut-II/2014 penentuan rekomendasi dari kegiatan rehabilitasi hutan khusus di DAS dengan hanya dengan mempergunakan pendekatan tutupan lahan dengan indikator mempergunakan jumlah pohon, pancang dan tiang menarik untuk dicermati kembali. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan hanya dengan jumlah pohon, tiang dan pancang hanya 200 s.d 700 batang per ha tutupan tajuk sudah dapat dinyatakan cukup rapat, atau di atas 700 batang per ha sudah rapat. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan dataran rendah Dipterocarpaceae meskipun mengalami degradasi menjadi hutan sekunder muda umumnya jumlah pohon, termasuk tiang dan pancang masih melebihi dari 2000 batang per ha.
Bagaimana menentukan tingkat kerusakan hutan atau lahan kritis? Kementerian Kehutanan pada tahun 2009 telah menjelaskan bagaimana menentukan tingkat kerusakan atau kekritisan lahan melalui Permenhut No. P. 32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan peraturan tersebut yang dimaksud lahan kritis adalah lahan di dalam maupun di luar kawasan hutan yang mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Sedangkan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan misalnya di kawasan hutan lindung dalam peraturan ini mempergunakan 4 (empat) kriteria, yaitu tutupan lahan, kelerengan, erosi dan manajemen pengelola kawasan. Untuk tingkat kritisan lahan, dalam peraturan ini membagi 5 (lima) tingkatan yaitu sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis, dimana cara penentuannya berdasarkan kriteria dan indikator yang telah diberi bobot (detail kriteria, indikator dan metode perhitungan dapat dilihat lengkap dalam Permenhut No. P. 32/Menhut-II/2009).
Untuk itu, menurut pendapat penulis penerapan Permenhut No. P. 87/Menhut-II/2014 dalam menentukan tingkat kritisan lahan dan rekomendasi kegiatan rehabilitasi hutan sebaiknya tetap mengacu dan dikombinasikan dengan Permenhut No. P. 32/Menhut-II/2009 untuk saling melengkapi. Hal ini juga menjadi sangat penting agar kriteria yang dipergunakan semakin baik dan benar-benar dapat mencerminkan kondisi di lapangannya. Karena disamping tutupan lahan dan jumlah individu (pohon, tiang dan pancang), kriteria jumlah jenis, kondisi tanah serta lembaga pengelola kawasan juga sangat penting untuk menentukan tingkat kritisan lahan di kawasan hutan.
Bagaimana sebaiknya strategi rehabilitasi hutan? Rehabilitasi hutan pada hakekatnya adalah semua kegiatan yang dilaksanakan atau dilakukan secara sengaja untuk memacu regenerasi pohon baik secara alami maupun buatan di areal-areal hutan yang mengalami kerusakan guna memulihkan, mempertahankan bahkan meningkatkan fungsi
Sedangkan Permenhut No. P.87/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi DAS juga telah
15
Hal ini kembali pada prinsip dari tujuan kegiatan rehabilitasi hutan yaitu: untuk meningkatkan jumlah jenis dan kerapatan pohon; merawat dan memacu pertumbuhan tanaman; merawat dan memacu jumlah dan pertumbuhan permudaan alami; dan mencegah atau meniadakan faktor yang dapat menghambat terjadinya regenerasi alami, pertumbuhan tanaman, bahkan menyebabkan kematian tanaman. Faktor penghambat tersebut diantaranya dapat saja berupa perambahan, illegal logging, kebakaran dan gangguan hewan ternak. Sedangkan bagaimana pilihan cepat untuk menentukan kegiatan prioritas yang perlu dilakukan didalam kegiatan rehabilitasi hutan sangat ditentukan dari tujuan perbaikan atau pemulihan (fungsi kawasan), tingkat kerusakan, dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Mengacu pada buku “Restoring Tropical Forests A pratical guide” yang ditulis oleh Elliot et al. (2013), Permenhut No. P. 32/Menhut-II/2009 dan juga Permenhut No. P.87/Menhut-II/2014 maka sebagai bahan diskusi penulis menyajikan bagaimana metode cepat untuk menentukan strategi rehabilitasi hutan berdasarkan tingkat kerusakan kawasan baik ditingkat tapak/site maupun bentang alam (Tabel 1).
Pelatihan pembuatan bibit dari cabutan alami yang diselenggarakan Balitek KSDA bekerjasama dengan ELTI dan Tropenbos
Penulis berharap pilihan strategi rehabilitasi hutan secara sederhana akan dapat membantu para praktisi di lapangan mendesain strategi rehabilitasi hutan secara cepat dan tepat. Selain itu, diharapkan pula akan dapat membantu kesepahaman kita bersama bahwa kegiatan rehabilitasi hutan bukan semata-mata hanya menanam pohon saja. M e rawat p e r m u d a a n a l a m i , m e l i n d u n gi d a n mengamankan kawasan hutan dari segala gangguan dan ancaman termasuk perbaikan dan pemulihan kualitas kesuburan tanah itu juga termasuk kegiatan rehabilitasi hutan.
Penutup Kegiatan rehabilitasi hutan tidaklah selalu identik hanya dengan kegiatan menanam pohon. Disamping menanam pohon, kegiatan rehabilitasi hutan dapat juga berupa kegiatan menjaga dan memacu pertumbuhan dari permudaan alami, perbaikan dan pemulihan kualitas tanah, atau kegiatan perlindungan dan pengaman kawasan hutan. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah menetapkan program dan penganggaran dari kegiatan rehabilitasi hutan yang berimbang antara program menanam pohon, dengan program penguatan kelembagaan dan program perlindungan dan pengamanan hutan. Karena dapat dipastikan menanam sejuta bibit pohon bahkan semilyarpun akan tetap sia-sia tanpa didukung kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, termasuk didukung oleh kelembagaan yang kuat dan professional.
Penelitian Pengelolaan air asam tambang di PT. Singlurus Pratama
hutan tersebut sebagai penyangga kehidupan. Mencermati difinisi rehabilitasi hutan tersebut, maka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara teknis di lapangan tidak semata-mata hanya kegiatan penanaman pohon. Disamping menanam pohon, kegiatan rehabilitasi hutan dapat saja hanya berupa kegiatan menjaga dan memacu pertumbuhan dari permudaan alami, perbaikan dan pemulihan kualitas tanah, atau kegiatan perlindungan dan pengaman kawasan hutan.
16
17
Tabel 1. Panduan cepat pilihan kegiatan/strategi rehabilitasi hutan
BS Sitepu
Kemandirian Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Mangrove “Studi Kasus di Kab. Serdang Bedagai dan Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara” Tri Atmoko [ Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ] e-mail:
[email protected]
H
utan mangrove adalah ekosistem yang sangat berperan strategis bagi wilayah pesisir. Kawasan mangrove memiliki peran ekologis dan ekonomis yang cukup tinggi. Secara ekologis, ekosistem mangrove diantaranya berfungsi sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut, penahan tiupan angin (wind breaker), tempat memijah ikan dan udang, habitat berbagai satwaliar, dan pemerangkap substrat lumpur. Sedangkan secara ekonomis, banyak hal yang tersedia dari hutan mangrove, diantaranya adalah sumber bahan bangunan, pangan, obat-obatan, serta sebagai tempat wisata, penelitian, dan pendidikan. Seperti yang telah banyak diketahui, bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kawasan mangrove terluas di dunia. Seperti yang dikutip oleh Noor et al. (2006) berdasarkan data resmi Departemen Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sekarang) menyatakan bahwa luas
18
mangrove di Indonesia adalah 3,5 juta hektar. Luasan tersebut adalah dua-setengah lebih luas dibandingkan hutan mangrove yang dimiliki oleh Brazil. Sayangnya luasan hutan mangrove di Indonesia semakin berkurang. Konversi areal mangrove menjadi areal tambak adalah penyebab utamanya. Berdasarkan perhitungan Noor et al. (2006) dari luas asal mangrove yang ada di Indonesia yaitu sekitar 4 juta hektar, pada tahun 2003 diperkirakan 750 ribu hektar telah dikonversi menjadi tambak. Kehilangan hutan mangrove yang paling parah adalah di pulau Jawa dan Bali dan hanya tersisa 11%, Pulau Sulawesi tersisa 31%, dan Pulau Kalimantan tersisa 36%. Kondisi yang masih relative bagus adalah di Papua yaitu masih tersisa 92%. Sebenarnya banyak masalah yang diakibatkan pembangunan tambak dari hutan mangrove. Beberapa
BS Sitepu
diantaranya adalah hilangnya tempat memijah ikan, interusi air laut, abrasi, tanah menjadi asam, dan penggunaan pestisida yang berlebihan selama pengusahaan tambak.
A. Wisata Mangrove Kampoeng Nipah Terkait pemanfaatan hutan mangrove sebagai wisata alam, beberapa tempat di Indonesia sudah memanfaatkannya. Baik pemanfaatan oleh perseorangan, kelompok, maupun lembaga pemerintah. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang bernama Sutrisno dan Jumiati bersama dengan kelompoknya di Desa Muara Mimbai, Kecamatan Sei. Nagalawan, Kab. Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Melihat kondisi hutan mangrove yang semakin mengkhawatirkan, maka berbagai kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan mangrove telah dan mulai dilakukan. Baik oleh instansi pemerintah, swasta, maupun secara swadaya oleh masyarakat. Banyak contoh upaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal secara swadaya. Upaya tersebut merepresentasikan kepedulian mereka terhadap konservasi dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Dua diantaranya ditunjukkan oleh masyarakat di Kab. Serdang Bedagai dan Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Berikut adalah ulasan singkat terkait pengelolaan hutan mangrove di kedua lokasi tersebut berdasarkan kunjungan singkat Penulis dan sedikit kajian pustaka.
Menurut Sutrisno, pada awalnya sebelum tahun 80-an, mangrove di daerah tersebut masih sangat bagus. Namun pada tahun 1981/1982 tanaman mangrove dibabat dan arealnya disulap menjadi tambak. Masa-masa awal pengusahaan tambak memang memberikan keuntungan yang sangat tinggi. Namun, seiring berjalannya waktu, hilangnya hutan mangrove mulai terasa dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Sekitar
19
Wisata Mangrove Kampoeng Nipah
tahun 90-an mulai terjadi abrasi dan interusi air laut yang mengakibatkan ekosistem mulai terganggu. Keberadaan ikan mulai berkurang karena areal memijah mereka hilang dan salinitas yang berubah menjadi asam. Kondisi tersebut menyebabkan pendapatan para nelayan juga menurun drastis.
Selama melakukan pengelolaan areal mangrove tersebut beberapa penghargaan telah mereka capai, baik bertaraf nasional maupun internasional. Pada tahun 2013, Kelompok Nelayah Cahaya Pagi menjadi juara nasional “Adhi Bakti Bina Bahari” dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sedangkan Jumiati bersama kelompok perempuan Muara Tanjung pada tahun 2013 juga mendapat penghargaan Food Heroes Oxfam dari Oxfam, suatu lembaga nirlaba dari Inggris. Tidak jauh berselang, pada penghujung 2013, Jumiati terpilih sebagai salah satu tokoh perempuan inspiratif dari “Tupperware She Can”, terkait upaya kerasnya dalam pemberdayaan perempuan di desanya.
Melihat realitas yang terjadi tersebut, pada tahun 2005 Sutrisno dan istrinya mulai menanami pantai yang gersang dengan tanaman bakau. Bersama itu pula, Sutrisno dengan kelompok nelayannya yang bernama Kelompok Nelayah “Cahaya Pagi” melakukan usaha dibidang perikanan, yaitu dengan menampung ikan hasil tangkapan para nelayan anggotanya. Sedangkan Jumiati dengan kelompoknya “Muara Tanjung” mengelola kerajinan dan makanan yang berbahan baku bagian dari tumbuhan mangrove. Kedua kelompok tersebut saling bersinergi menjalankan usahanya bersamasama untuk membangun kemandirian.
Pada tahun 2011, mereka membuat kelompok yang lebih besar untuk mewadahi pengelolaan areal mangrove sebagai areal ekowisata dan pendidikan lingkungan. Saat ini terdapat beberapa paket wisata, seperti paket kuliner, paket edukasi, memancing, dan menyusuri hutan mangrove. Untuk mendukung kegiatan tersebut mereka telah membangun berbagai fasilitas, diantaranya kantin, jalur observasi yang terbuat dari bambu, toilet, pondok, mushola, area memancing, dan homestay.
Dukungan dari pemerintah memang masih dirasakan kurang saat itu. Namun pada tahun 2009, kelompok masyarakat yang perduli mangrove ini mendapat perhatian dan dukungan dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) wilayah II Medan. Sehingga pembinaan terkait penanaman, pembibitan, dan pengelolaan hutan mangrove terus dilakukan sampai saat ini.
Boardwalk yang terbuat dari bambu dipersiapkan oleh pengelola untuk memudahkan pengunjung menikmati suasana hutan mangrove
22
Meskipun kegiatan kelompok ini sudah bisa dikatakan bisa berjalan dengan baik, namun masih ada beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi. Salah satu diantaranya terkait kesadaran para pengunjung mengenai penanganan sampah, perilaku pengunjung yang merusak tanaman, kondisi fisik pantai yang cukup dinamis/berubah-ubah, serta kepastian status kawasan hutan yang dikelola.
Pengunjung yang datang juga akan banyak mendapat informasi terkait mangrove oleh para pemandunya, diantaranya terkait jenis-jenis mangrove, cara menanam mangrove, manfaat mangrove bagi lingkungan serta jenis apa saja yang dapat diolah menjadi makanan khas. Makanan khas mangrove dari daerah ini diantaranya adalah dodol, keripik jeruju, teh jeruju dan sirup. Para pengunjungpun dapat secara langsung melihat atau bahkan terlibat dalam pengolahan makanan dengan bahan baku tumbuhan mangrove.
Tidak mudah untuk mengelola suatu areal secara bersama-sama dengan banyak orang dalam satu kelompok. Menurut Sutrisno, keterbukaan, kebersamaan, dan keikhlasan sajalah yang membuat kelompoknya menjadi tetap eksis, berhasil dan lebih maju.
B. Multisektoral Pengelolaan Mangrove Agroforestri mangrove Saat ini permasalahan keterbatasan ketersediaan lahan menjadi masalah yang sedang dihadapi di Indonesia. Untuk itu optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan perlu dilakukan dan ditingkatkan. Agroforestri adalah salah satu sistem dalam pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah Oleh-oleh serba mangrove yang ditawarkan di Kampoeng Nipah
Shelter-shelter di tepi pantai yang dibangun oleh pengelola wisata mangrove Kampoeng Nipah
23
Kondisi pengelolaan hutan mangrove yang dikombinasikan perikanan, peternakan, dan perkebunan
tersebut. Agroforestri seperti dari asal katanya yaitu “Agro” yang berarti pertanian dan “Forestry” yang berarti kehutanan. Sehingga Agroforestri secara luas dapat diartikan sebagai pengabungan sistem budidaya kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan. Penggabungan bidang-bidang tersebut meliputi: Agrosilvikutur (kombinasi antara kehutanan dengan pertanian), Silvopastura (kombinasi antara kehutanan dengan peternakan), Agrosilvopastur (kombinasi antara pertanian, kehutanan, dan peternakan), Silvofishery (kombinasi antara kehutanan dan perikanan).
Sumatera Utara. Desa Paluh Manan adalah desa yang sangat strategis karena hanya 1,5 jam melalui jalan darat dari Kota Medan. Selain aktif dalam rehabilitasi mangrove, Pak Ginting, demikian beliau dipanggil, adalah ketua kelompok tani “Hijau Letari” yang beranggotakan 25 orang dengan mengelola areal seluar sekitar 50 ha.
Keberadaan jenis tanaman dan hutan mangrove sangat penting dan mempunyai multi manfaat bagi ekosistem dan kehidupan. Sehingga pegelolaan hutan mangrove dapat dikombinasikan dengan berbagai bidang kegiatan. Kombinasi berbagai bidang tersebut akan lebih meningkatkan nilai fungsi ekologi sekaligus ekonominya.
Timur Ginting, Sang Pelopor Timur Ginting adalah salah seorang pelopor dalam upaya rehabilitasi mangrove di daerahnya, Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang,
Timur Ginting
24
Kondisi kandang ayam yang ada di dalam areal pengelolaan mangrove
Kesadarannya dalam menanam jenis-jenis mangrove diawali dengan penurunan produksi tambak tradisional yang dibangun dengan mengkonversi areal hutan mangrove. Kegagalan panen tambak udang yang dialaminya terus menerus, disadarinya akibat kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan. Akhirnya, pada tahun 2007 Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Medan mengadakan pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove. Kesempatan tersebut tidak disisa-siakan oleh Pak Ginting untuk mengikutinya. Wawasannya terkait arti pentingnya mangrove bagi ekosistem semakin bertambah dan keinginannya untuk merehabilitasi hutan mangrove semakin kuat.
Pada tahun ke dua penanaman mangrove, Pak Ginting mulai mencoba membuat model Silvofishery atau sering disebut dengan wanamina model empang parit. Dengan bimbingan teknis dari BPHM II, dia mengkombinasikan antara hutan mangrove dengan budidaya ikan. Budidaya ikan dilakukan secara intensif dengan keberadaan pohon-pohon mangrove sebagai pelindung dan penyedia sumber pakan alami bagi ikan di dalamnya. Saat itu yang diusahakannya adalah ikan mas, bandeng, udang dan kepiting. Pada perkembangan selanjutnya, Pak Ginting mulai menanami tanggul-tanggul empang dengan komonditas kelapa sawit. Selain itu di antara tegakan mangrove juga dibangun kandang ayam, sapi, kambing, dan kelinci. Sehingga Pak Ginting akhirnya bisa mengembangkan tidak hanya dua atau tiga bidang dalam pengelolaan agroforestrinya, namun empat bidang sekaligus dalam pengelolaannya. Dalam areal lahannya sekitar 5 ha tersebut, Pak Ginting menggabungkan hutan mangrove (kehutanan) yang dikombinasikan dengan kolam ikan (perikanan), peternakan ayam, kambing, sapi (peternakan), dan penanaman kelapa sawit (perkebunan). Meskipun pada akhirnya tegakan mangrove tidak lagi dominan
Penanaman Mangrove Setelah mengikuti pelatihan dan sering mendapatkan pembinaan dari BPHM II, selanjutnya Pak Ginting dipercaya untuk membuat sebanyak 60.000 batang bibit Rhizophora apiculata dari dana APBN tahun 2007 BPHM II Medan. Selanjutnya bibit tersebut ditanam oleh Pak Ginting bersama dengan kelompoknya untuk merehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan di wilayahnya.
25
Petarangan ayam kampung disiapkan di atas pohon kelapa sawit untuk meletakkan telurnya
26
seperti dalam sistem agroforestry yang sesungguhnya, namun upaya yang dilakukan Pak Ginting dapat menjadi contoh terkait pemanfaatan tumbuhan mangrove.
satunya diujikan pada virus penyebab penyakit tetelo. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bagian tumbuhan dari lima jenis tumbuhan mangrove family Rhizophoraceae memiliki aktivitas antivirus NDV. Jenis tersebut adalah Bruguiera cylindrical, Ceriops decandra, Rhizophora apiculata, R. lamarckii, dan R. mucronata. Khusus untuk jenis R. apiculata seperti yang ditanam Pak Ginting bagian yang paling aktif sebagai antivirus tetelo adalah hipokotil (bagian bawah dari buah yang nantinya tumbuh menjadi akar) dengan tingkat aktivitas sebesar 25-49%, kulit dan daun dengan tingkat aktivitasnya 1-24%. Berdasarkan pengalaman Pak Ginting tersebut ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah.
Antara Mangrove dan Penyakit Tetelo Banyak pengalaman yang sangat berharga selama Pak Ginting mengelola agroforestry mangrovenya. Salah satunya adalah terkait dengan peternakan ayamnya. Menurut Pak Ginting, ternyata ayam yang dipelihara di bawah tegakan mangrove mempunyai ketahanan terhadap berbagai penyakit ungas seperti tetelo. Hal tersebut dia ketahui manakala ayam tetangganya yang dipelihara tidak dibawah tegakan mangrove hampir semuanya mengalami tetelo, namun di saat yang bersamaan ayamnya yang dipelihara dibawah tegakan mangrove masih tetap sehat. Hal tersebut karena ayam memakan dedaunan mangrove dan mungkin itulah yang dapat meningkatkan daya tahan ayam dari berbagai penyakit.
Kesimpulan Peran serta masyarakat lokal dalam upaya konservasi dan memperbaiki kondisi hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan sangatlah penting. Keterlibatan mereka secara aktif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasinya. Tingkat keaktifan masyarakat perlu terus dipupuk dengan memberikan pembinaan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove bagi lingkungan. Selain itu perlu digali terus manfaat mangrove dan pengembangannya untuk mendorong perekonomian masyarakat lokal baik jangka pendek maupun jangka panjang. Banyak cara yang dapat ditempuh. Dua diantaranya adalah yang pertama teknik Agroforestri dengan menyesuaikan dengan kondisi tapak setempat dan mengembangkan ekowisata berbasis tanaman dan ekosistem mangrove.
Terkait hal tersebut, rasa penasaran penulis menuntut untuk melakukan penelusuran literature terkait hal tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa ekstrak daun mangrove mempunyai kandungan metabolit sekunder yang bisa mengendalikan bakteri dan virus. Penelitian Mulyani et al. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak daun Rhizophora sp. dan Avicennia sp. memiliki kandungan flavonoid dan saponin, dan pengujin lebih lanjut menunjukkan bahwa daun Avicennia sp. memiliki potensi yang sedang sebagai zat antibakteri. Penelitian lain juga menyatakan bahwa di dalam daun Rhizophora apiculata terdapat jamur endofit yang mempunyai efek antibakteri, yaitu mampu menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri Staphylococcus aureus (Santoso et al., 2015). Suciati et al. (2012) juga telah membuktikan bahwa ujung daun R. muncronata efektif untuk menghambat bakteri pathogen Vibrio harveyi.
Pustaka Mulyani, Y., E. Bachtiar, & M. Untung Kurnia A. 2013. Peranan senyawa metabolit sekunder tumbuhan mangrove terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Akuatika 4 (1): 1-9. Noor, Y.R., M. Khazali, & I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Terkait dengan pengalaman Pak Ginting terkait penyakit tetelo pada ayam yang dipeliharanya, adalah sebagai berikut. Penyakit tetelo atau di sebut Newcastel desease virus (NDV) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Paramyxo dengan beberapa tingkatan. Sayangnya penyakit tersebut belum ditemukan obatnya sampai sekarang. Sehingga yang bisa dilakukan hanyalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan kekebalan pada ayam.
Premanathan, M., K. Kathiresan, & H. Nakashima. 1999. Mangrove Halophytes: A source of antiviral substances. South Pacific Study 19(1-2):49-57. Santoso, V.P., J. Posangi, H. Awaloei, & R. Bara. 2015. Uji efek antibakteri daun mangrove Rhizophora apiculata terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Jurnal eBiomedik 3(1):399-405
Sejauh ini terdapat satu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Jepang dan India terkait bahan potensial antivirus beberapa penyakit dari materi tumbuhan mangrove (Premanathan et al., 1999). Sampel mangrove tersebut salah
27
Deny AP
Hutan Adat Bulian,
Situs Ulin
di Sumatera Selatan Suryanto1, Tubagus Angga A. Syabana2 , Edi Cahyono3, Ike Mediawati1, dan Teguh1 1,4 & 5
Deny AP
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. .Soekarno-Hatta Km 38 Samboja, Kalimantan Timur
[email protected] ,
[email protected] 2 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km.6,5 Punti Kayu, Palembang, Sumatera Selatan
[email protected] 3 KPHP Unit VI Lakitan Jl. Tri Tunggal, Kel. Talang Ubi Kec. Megangsakti, Musi Rawas, Sumatera Selatan
[email protected]
Pendahuluan
Ulin dan Ancaman Kepunahannya
Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binnead) adalah jenis pohon asli Indonesia. Habitat alami Ulin di antaranya terdapat di Sumatera bagian Timur dan Selatan, Bangka, Belitung dan Kalimantan. Habitat alami lainnya terdapat di Sarawak, Sabah, Brunei, Kepulauan Sulu dan Pulau Palawan di Filiphina.
Dalam komunitas masyarakat, Ulin mempunyai nilai sosial budaya dan ekonomi tinggi (Wahjono dan Imanuddin, 2011). Jenis ini menghasilkan kayu kelas I karena sangat kuat dan sangat awet. Kayu Ulin digunakan untuk berbagai kepentingan konstruksi di darat maupun di air, diantaranya untuk bangunan/rumah, jembatan, bantalan [rel], dan dermaga (Susanto, 2006). Permintaan pasar untuk kayu Ulin sangat tinggi (Pradjadinata, et. al. 2011). Sebagian di ekspor, yang menurut Anonim, 2005 dalam Wahyuni, (2006), nilai ekspor Ulin pada tahun 2005 mencapai nilai US$ 51 juta. Permintaan yang tinggi menyebabkan penebangan Ulin diwaktu lampau marak dilakukan, yang menurut Prajadinata et.al (2011), dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya. Effendi (2009) dalam Prajadinata (2011) menjelaskan bahwa lemahnya penegakan hukum untuk pelanggaran limit diameter tebangan bahkan menyebabkan banyak pohon-pohon Ulin berdiameter kecil ikut ditebang. Faktor-faktor negatif tersebut menghasilkan penurunan populasi Ulin di hutan alam. Asian Regional Workshop (1998) menyampaikan bahwa penurunannya bahkan telah dimulai sejak tahun 1955. Selain akibat eksploitasi yang berlebihan, ancaman utamanya lainnya datang dari aktifitas peladangan berpindah serta kebijakan ekspor Ulin di waktu lampau. Karena hal demikian, Asian Regional Workshop (1998) memasukkan Ulin dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature Resources readlist) dalam kategori rentan (vunerable) untuk punah.
Tumbuhan Ulin memiliki beberapa ciri spesifik. Menurut Sidiyasa (2011), sebaran Ulin di berbagai tempat di Kalimantan cenderung mengelompok dan seringkali jarak antar kelompok sangat berjauhan. Leksono (2000) dalam Susanto (2006) menyampaikan bahwa Ulin mempunyai permudaan alami yang terbatas. Ciri spesifik lainnya adalah potensi yang rendah dan pertumbuhan yang sangat lambat. Berdasarkan analisisnya di 245 plot PUP (Petak Ukur Permanen) di 37 IUPHHK yang ada di 4 propinsi Kalimantan, Wahjono dan Imanuddin (2011) menyampaikan bahwa rata-rata potensi Ulin di hutan bekas tebangan hanya 6,4 pohon per ha. Pertumbuhan pohon yang sangat lambat ditandai dengan riap diameter yang hanya 0,460,68 cm/tahun dan riap volume sebesar 0,146 – 0,523 m3/ha/tahun. Ciri spesifik tentang Ulin tersebut menemui anomali di Hutan Adat Bulian. Di hutan adat ini, pohon-pohon Ulin mendominasi tegakan. Keberadaan tegakan ini dilaporkan oleh Junaedah, et.al. (2006), yang mana disebutkan bahwa di tengah ancaman kepunahan habitat Ulin di Sumatera Bagian Selatan, Junaedah et.al.(2006) menemukan 6 lokasi sebagai habitat Ulin yang tersisa. Salah satunya di Hutan Adat Bulian, Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan. Cahyono (2011) menyampaikan bahwa populasi Ulin di Hutan Adat Bulian ini mencapai jumlah + 20.000 pohon dalam luasan 49 ha; atau ratarata potensi 400 pohon/ha.
Ulin adalah salah satu jenis tumbuhan spesial yang memiliki nilai estetikanya sendiri untuk hutan tropis Indonesia. Ancaman kepunahan Ulin dan regenerasinya yang lambat melahirkan kekuatiran para pihak. Menurut Wahyuni (2006), dibanding jenis tumbuhan tropis lainnya, Ulin relatif dipelajari dengan baik. Beberapa rekomendasi ilmiah telah mendorong diregulasikannya beberapa peraturan pusat dan daerah lainnya untuk Ulin (Prajadinata et. al. 2011). Namun demikian, Wahyuni (2006) memberi catatan bahwa lemahnya kapasitas hukum dan penegakannya menghasilkan pengaruh yang kecil untuk pelestarian Ulin. Catatan tersebut menemukan fakta bahwa eksploitasi Ulin masih berjalan. Beberapa di antaranya seperti yang dikumpulkan oleh Prajadinata, et.al (2011)sebagai berikut. Di Kalimantan Selatan pernah lahir istilah “pengojek Ulin”, suatu kondisi dimana sepeda motor digunakan sebagai sarana angkut Ulin dengan kapasitas angkut 0,5 ton kayu Ulin hasil tebangan dari Tanah Laut dan dipasarkan ke Banjar Baru dan Banjarmasin yang berjarak lebih dari 100km (Kompas, 2009 dalam Prajadinata, et.al., 2011). Di Kalimantan Timur, masyarakat Kutai Timur dan Kutai Barat menyampaikan petisi kepada polisi/pemerintah untuk penebangan dan pemanfaatan Ulin untuk pembangunan rumah dan jembatan di lingkungannya (Abduh, 2010 dalam Prajadinata, et.al., 2011). Di Kalimantan
Pada bulan Oktober 2015 tim peneliti dari Balitek KSDA, Balai Penelitian Kehutanan Palembang dan KPHP VI Lakitan melakukan aktifitas pengumpulan benih di Hutan Adat Bulian. Benih dikumpulkan untuk tujuan konservasi ex-situ Ulin yang akan dibangun di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur. Terlepas dari aktifitas tersebut, anomali tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian menggelitik empat pertanyaan riset, yaitu: Mengapa potensinya begitu tinggi? Apakah tegakan ini tumbuh secara alami atau berasal dari aktifitas penanaman? Mengapa tegakan ini dapat bertahan keberadaanya? Tindakan apa yang perlu dilakukan untuk upaya perlindungannya? Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menyampaikan informasi pendahuluan tentang ulin dan ancaman kepunahannya dan eksistensi keberadaan Ulin di Hutan Adat Bulian. Di harapkan informasi ini dapat mendorong dilakukannya aktifitas penelitian lanjutan dan advokasi untuk perlindungan Ulin di Hutan Adat Bulian.
29
Timur polisi melakukan penangkapan untuk beberapa kasus angkutan ulin yang tidak dilengkapai dokumen (Anonim, 2010 dan Banjarmasin Post, 2010 dalam Prajadinata, et.al., 2011). Kapasitas dan penegakan hukum yang lemah salah satunya disebabkan karena diterbitkannya Permenhut P.35/2009 tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Produk Kayu Ulin Olahan (Prokalino) hanya memberi penertiban ekspor Ulin. Permenhut P.35/2009 ini sejatinya mengabaikan peringatan CITES tentang kebijakan ekspor. Pasal 6 menjelaskan bahwa rekomendasi ekspor dapat diberikan untuk kayu ulin yang bahan bakunya berupa kayu bulat dan tunggak yang berasal dari IUPHHK HA (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam), IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri); IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), ILS (Izin Lainnya yang Sah) dan tanah milik. Hal ini mengandung tendensi bahwa Ulin sesungguhnya tanpa perlindungan. Faktanya, IPK dan ILS dari hasil pembangunan HTI dan pengalihan fungsi hutan alam untuk perkebunan, pertambangan dan deforestasi lainnya yang sah atau tidak sah justru banyak terjadi di Kalimantan dan Sumatera; sebagai habitat utama Ulin. Fakta lainnya adalah maraknya pencurian kayu Ulin dan illegal logging (penebangan secara tidak sah) di hutan alam, seperti yang disampaikan Prajadinata, et.al. (2011), bahwa penebangan secara tidak sah ini tidak hanya terjadi di konsesi hutan produksi, namun juga terjadi di kawasan hutan yang dilindungi dan di Taman Nasional. Sehingga, kombinasi antara deforestasi dan IPK, ILS, Illegal Loging ILS serta nilai ekonomi Ulin yang tinggi dan kecurangan oknum; adalah lingkaran setan yang mengisyaratkan bahwa tidak ada tapak yang menjamin Ulin dapat dilindungi, bahkan untuk sekedar tunggaknya. Dalam ilustrasi ancaman tersebut, tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian masih bertahan keberadaannya. Mengapa? Dan, sampai kapan ?
Hutan Adat Bulian Lokasi Secara administrasi, Hutan Adat Bulian berada di Desa Beliti Jaya 3E, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Luas keseluruhan adalah + 49 hektar dan dikelilingi oleh perkebunan milik masyarakat maupun perusahaan.Hutan adat ini berbatasan dengan areal PT. Juanda Sawit dan kebun karet milik warga. Akses menuju Hutan Adat dapat dtempuh melalui kota Lubuk Linggau dengan jarak ±80 km menggunakan kendaran darat dengan waktu tempuh selama ±1,5 - 2 jam.
30
Gambar 1. Deskripsi lokasi Hutan Adat Bulian di Sumatera Selatan Sejarah Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa Hutan Adat Bulian sebelumnya dikenal dengan nama Hutan Adat Mambang. Hutan adat ini saat sekarang dijaga oleh Ridwan sebagai juru kunci (Kuncen). Menurut penuturannya, Hutan Adat Bulian merupakan kebun peninggalan dari kerajaan Ria Lampor (Telapak Libo) yang masuk pada marga Bulang Tengah Suku Tengah (BTS Tengah) Mambang/Bingin Jungut. Di tuturkan bahwa pada masa sangat lampau tersebut, tegakan Ulin yang ada saat sekarang berasal dari benih Ulin yang dibawa dari Keraton Jogja, walaupun tidak dipastikan, pada masa kerajaan Singasari atau Majapahit atau lainnya. Penekanan istilah kebun dan sumber benih mengarahkan pada pemahaman bahwa tegakan berasal dari aktifitas penanaman. Dua justifikasi non ilmiah tentang hal ini adalah : a) tingginya potensi dan kerapatan pohon Ulin dalam tegakan (400 pohon/ha) dan b). Keberadaan pohon Ulin yang hanya terkonsentrasi dalam Hutan Adat Bulian (49 ha). Fakta yang menguatkan adalah tidak ditemukan pohon atau tegakan Ulin di luar Hutan Adat Bulian. Juga tidak ada informasi yang mendukung tentang keberadaan pohon Ulin pada waktu lampau saat hutan belum di konversi menjadi perkebunan. Peninggalan budaya Ulin juga tidak ditemukan dalam komunitas masyarakat. Tidak seperti dalam komunitas adat Dayak di Kalimantan, di komunitas masyarakat Mambang hampir tidak ditemukan adanya konstruksi bangunan atau artefak yang menggunakan kayu Ulin sebagai bahan baku. Salah satu informasi yang bisa diprediksikan adalah umur tegakan. Berdasarkan pengamatan di 30 pohon contoh, diketahui bahwa diameter pohon terbesar adalah berdiameter 185,9 cm. Hasil pengamatan terhadap pohon terbesar ini memberi fenomena lainnya. Pohon ini, dan beberapa pohon lainnya, berasal dari trubusan yang membesar dan menjadi
pohon baru. Hal ini ditandai dengan adanya jaringan kayu mati seperti tunggak yang terselubung di pangkal pohon. Tunggak terselubung ini diperkirakan sebesar 1/3 bagian diameter pohon hidupnya, diprediksikan berdiameter 80 cm. Keberadaan tunggak sedikit membantu dalam memprediksikan umur tegakan. Berdasarkan perhitungan sederhana dengan menggunakan data riap pertumbuhan diameter Ulin sebesar 0,46-0,68 cm/tahun, maka dapat diprediksikan umur tunggak ditambah umur pohon adalah antara 391 tahun hingga 578 tahun. ((185,9+80)cm : 0,86 cm/tahun) dan ((185,9+80)cm : 0,46 cm/tahun)). Sehingga demikian, informasi tentang tegakan Ulin yang diyakini telah berumur ratusan tahun dapat dibenarkan.
Penuturan berkenaan asal-usul tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian sampai sejauh ini belum dapat dibuktikan. Apakah benar tegakan berasal dari benih yang dibawa dari Keraton Jogja ? Keraton Jogja adalah berada di pulau Jawa, lalu “apakah Pulau Jawa pada masa lampau adalah juga memiliki habitat Ulin“. Literatur yang mendukung sejarah ini belum ditemukan, kecuali satu informasi yang disampaikan oleh Asian Regional Workshop (1998) yang menyatakan bahwa Jawa termasuk sebagai habitat Ulin masa lampau. Pada masa sekarang, habitat alami Ulin tidak ditemukan lagi di Pulau Jawa. Pembelajaran (lesson learn) yang sangat menarik dari fakta ini adalah kehilangan Ulin di Pulau Jawa menghasilkan pemahaman bahwa satu jenis tumbuhan tertentu dapat benar-benar menghilang.
b c
Gambar 2. a). Ilustrasi kerapatan tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian, b). Salah satu pphon Ulin yang membesar dari asal Trubusan, c). Pohon Ulin terbesar, diameter 185,99 cm
a
Pengelolaan dan Kearifan Lokal Hutan Adat Bulian telah berumur ratusan tahun, dan selama waktu itu telah berhasil dijaga dan kelola secara turun temurun oleh mayarakat adat. Adat dan kekeramatan menjadi sisi menarik yang mendorongkan eksistensi tegakan hingga masa sekarang. Kuncen ditunjuk sebagai “pemegang kunci”, yang mempunyai tanggung jawab pengelolaan, termasuk menjaga keberadaannya. Dari generasi ke generasi, penunjukan kuncen dilakukan berdasarkan ritual mimpi. Pelimpahan tanggung jawab untuk kuncen baru dilakukan setelah kuncen sebelumnya mendapat arahan melalui mimpinya. Pengakuan untuk ritual yang bernuansa mistis ini menjustifikasikan hutan adat yang dihormati oleh masyarakat di sekitarnya. Sisi kekeramatan Hutan Adat diperkuat dengan tuturan kisah-kisah mistis. Ada keyakinan bahwa Hutan Adat Bulian ini dijaga secara mistis oleh Telapak Libo, sang leluhur yang berdiam didalamnya. Mengganggu atau merusak hutan menjadi suatu pantangan. Restu Telapak Lido menjadi ijin atau juga sebagai larangan untuk memasuki hutan ini, termasuk untuk memanfaatkan biji atau benih atau hal lainnya yang bersumber dari dalam hutan. Di antaranya juga dituturkan bahwa benih Ulin yang di ambil dari Hutan Adat Bulian tidak akan dapat tumbuh di tempat lainnya. Berkenaan dengan hal ini, justifikasi non ilmiah sedikit mempengaruhi saat dilakukannya pengumpulan benih yang dilakukan pada Oktober 2015. Dari sekian banyaknya pohon induk yang diobservasidalam tegakan, biji-biji Ulin hanya ditemukan di 4 pohon saja, dan itu hanya terjadi di hari pertama. Hari-hari berikutnya, biji-biji Ulin sama sekali tidak ditemukan.
a
b
Gambar 3. a. Wawancara dengan penjaga hutan adat, b. Pembibitan yang dilakukan Juru Kunci Dalam perspektif keilmiahan, sisi-sisi mistis menjadi anti tesis untuk satu pembuktian ilmiah. Beberapa hal tentu dapat dijelaskan. Pada tahun 2009, peneliti-peneliti Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta berhasil mengembangkan perbenihan dari benih Ulin yang berasal dari Hutan Adat Bulian. Dalam perspektif kekinian, keberhasilan tersebut mematahkan mistis kekeramatan, namun demikian, dalam perspektif perlindungan, keyakinan akan kekeramatannya telah berdampak baik untuk eksistensi Hutan Adat Bulian. Nilai ekonomi kayu Ulin dalam tegakan ini adalah sangat tinggi, yang jika dihubungkan dengan fakta-fakta di tempat lainnya, keberadannya menjadi antitesisnya sendiri. Faktanya, ancaman kepunahan Ulin dan tekanan yang sangat hebat akibat permintaan Kayu Ulin yang tinggi, keyakinan atas kekeramatan satu situs hutan menjadi cara non ilmiah yang ampuh untuk melindungi sebuah site hutan dari kerusakan.
32
Kondisi Hutan Adat Bulian Kondisi biofisik lingkungan dapat dijadikan informasi awal bagaimana tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu informasi biofisik suatu tempat dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan jenis tertentu yang tumbuh di tempat tersebut jika akan dikembangkan atau ditanam didaerah lain. Hutan adat bulian termasuk hutan dataran rendah dengan topografi datar hingga berbukit. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2737 mm. Pada bulan terkering rata-rata curah hujan sebesar 127 mm dan pada puncak musim hujan rata-rata dapat mencapai 352 mm. Suhu udara rata-rata sebesar 26,80C (climate-data.org, 2015). Berdasarkan hasil pengukuran didalam kawasan, diketahui bahwa suhu udara berkisar antara 31 hingga 33,30C. Temperatur yang cukup tinggi pada saat pengukuran ini
dimungkinkan karena adanya pengaruh dari musim kemarau yang sedang terjadi di Sumatera Selatan yang dimulai sejak bulan Juli.
Hutan adat bulian memiliki tanah dengan kesuburan sedang (KTK 17,40 - 19,79 me/100g) dan pH yang sangat masam (4,06 – 4,09) (Nugroho, 2006). Berdasarkan hasil pengamatan, pada kedalam tanah 0 – 20 cm dapat diketahui bahwa tanah di site Hutan Adat Bulian memiliki kandungan bahan organik yang baik. Hal ini dicirikan dengan kondisi tanah berwarna gelap bercampur hasil dekomposisi bahan organik (seresah) serta remah.
Pengamatan tekstur tanah dilakukan dengan cara manual yaitu dengan membuat bola pada telapak tangan untuk merasakan kasar atau halusnya tanah dan juga mengecek keteguhan bola tanah tersebut. Sedangkan untuk pengamatan drainase lapisan atas tanah (0-20 cm), dilihat dari ada atau tidaknya bercak atau karatan besi dan alumunium serta warna gley pada sampel lapisan tanah. Hasil pengukuran dan pengamatan di lokasi disajikan dalam Tabel 1.
Tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian Terdapat dua jenis ulin di hutan adat, yaitu ulin dengan kulit batang merah dan ulin dengan kulit batang hitam. Hasil pengukuran di lokasi dengan metode acak (random sampling) diperoleh hasil bahwa tanaman ulin di hutan adat memiliki ketinggian hingga 30 m dan diameter batang hingga 185,99 cm. Hasil pengukuran tinggi dan diameter dari sebanyak 30 pohon sampel dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Kondisi fisik hutan adat bulian Karakteristik lahan Nilai / Kriteria Ketinggian tempat (mdpl) 36 – 59 Lereng permukaan Datar – Berbukit (0C) 31 – 33,3 Suhu udara* * (0C) 26,1 – 28,7 Suhu tanah Kelembaban tanah* (%) 61 – 67 Ketebalan serasah (cm) 3 – 15 Sedang – Baik Drainase (0-20 cm)** Tekstur tanah ** Agak kasar – Halus Keterangan : * : Waktu pengamatan antara pukul 10.45 – 14.25 WIB ** : Berdasarkan pengamatan langsung dilokasi
Berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa musim berbuah pohon ulin di hutan adat terjadi pada bulan Juli – Agustus. Pada saat survey, buah ulin yang didapatkan tidak terlalu banyak. Menurut penjaga hutan adat, biasanya buah Ulin yang sudah jatuh jumlahnya banyak, namun pada kenyataannya pada saat survey agak sukar untuk ditemui. Beberapa faktor dapat mempengaruhi keadaan tersebut, seperti musim berbuah jadi tak menentu atau buah yang jatuh dimakan hama ulin yaitu landak. Selain itu Juru Kunci meyakini bahwa koondisi ini dikarenakan oleh “kekeramatan” Hutan Adat Bulian.
Penutup (Perlunya Advokasi) Sampai sejauh ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Rawas Utara telah melakukan advokasi untuk upaya perlindungan Tegakan Ulin di Hutan Adat Bulian. Advokasi diawali pada 2001, yaitu dengan memberikan nama tegakan dengan nama Bulian oleh Pemerintah Daerah. Langkah ini dilakukan untuk lebih memopulerkan lokasi tersebut berdasarkan jenis pohon dominannya, yaitu Ulin. Selanjutnya, pada Tahun 2004 Pemerintah Daerah Musi Rawas menetapkan kawasan hutan adat bulian sebagai hutan adat yang dilindungi. Bentuk pengelolaan yang dipilih yaitu pengelolaan adat. Peran Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk pendampingan, di antaranya menerbitkan SK penunjukkan dua warga adat sebagai penjaga hutan.
Gambar 4. Pengamatan tanah di site Hutan Adat Bulian
33
Deny AP
Keberadaan tegakan Ulin yang anomali ditengah ancaman kepunahan Ulin di Sumatera menempatkan Hutan Adat Bulian mempunyai nilai yang sangat penting. Dapat dikatakan bahwa site hutan ini merupakan satu situs yang perlu dilestarikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu mengambil peran untuk membantu Pemerintah Daerah dalam upaya perlindungannya. Sinergi dengan pemerhati lingkungan yaitu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) perlu lebih diupayakan untuk mengadvokasi keberadaan Hutan Adat Bulian menjadi kawasan hutan yang dikhususkan, sebagai sebuah situs alam yang spesifik. Anomalianomali yang berlatar keyakinan kekeramatan dan fakta tentang kelestariannya yang terjaga dengan baik adalah objek pembelajaran yang sangat baik untuk para pihak. Lestarikan Hutan Adat Bulian sebagai situs alam penting untuk generasi mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Asian Regional Workshop (Conservation & Sustainable Management of Trees, Viet Nam, August 1996). 1998. Eusideroxylon zwageri. The IUCN Red List of Threatened Species1998:e.T31316A9624725. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.1998.RLTS.T31316A962472 5.en. Downloaded on 28 November 2015. Cahyono, E. 2011. Hutan Adat Bulian - Musi Rawas, Sumber Benih Ulin di Sumb ags e l. htt ps : // forclime. wordpress.com/2011/05/17/hutan-adat-bulian-musi-rawas/. Downloaded on 21 November 2015. Cahyono, E. 2014. Pengelolaan Hutan Adat Bulian di Kabupaten Musi Rawas. https://forclime.wordpress.com/ 2014/07/03/pengelolaan-hutan-adat-bulian-di-kabupatenmusi-rawas/.Downloaded on 21 November 2015. Climate-data.org. http://id.climate-data.org/location/587214/ . Downloaded on 21 November 2015. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P35/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Produk Kayu Ulin Olahan (Prokalino). Departemen Kehutanan. Jakarta.
34
Junaedah, Nugroho, A.W., Siahaan, H., dan Sofyan, A. 2006. Status Penelitian dan Pengembangan Ulin (Eusideroxylon zwageri T et. B) di Sumatera Selatan. Dalam Sutisna, M.., Widyatmoko, AYPBC., Siran, S.A dan Juliaty, N. (Tim Perumus-Editor). Prosiding Workshop Sehari : Peran Litbang dalam Pelestarian Ulin; Samarinda, 20 Desember 2006 (Hal. 18-26). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman bekerjasama dengan Tropenbos International Indonesia. Nugroho, A.W. 2006. Karakteristik Tanah Pada Sebaran Ulin Di Sumatera Dalam Mendukung Konservasi. Prosiding. Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Lokasi, tanggal, lembaga, halaman, editor? Prajadinata, S, Effendi, R and Muniarti. 2011. Review of Management and Conservation Status of Ulin (eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.), Ebony (Diospyros celebica Bakh.) and Cempaka (Michelia champaca Linn) in Indonesia. ITTO Project PD. 539/09 Rev. I (F) in Cooperation with Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development. Bogor. 2011. Sidiyasa, K. 2011. Sebaran, Potensi dan Pengelolaan Ulin di Indonesia. Dalam Bismark, M. dan Muniarti (Eds.), Prosiding Lokakarya Nasional : Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia); Bogor, 18 Januari 2011 (Hal. 20-35). ITTO bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Susanto, M. 2006. Status Litbang Ulin (Eusideroxylon zwageri T et. B) Pulitbang Hutan Tanaman. Dalam Sutisna, M., Widyatmoko, AYPBC., Siran, S.A dan Juliaty, N. (Tim Perumus-Editor), Prosiding Workshop Sehari : Peran Litbang dalam Pelestarian Ulin; Samarinda, 20 Desember 2006 (Hal. 1-10). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman bekerjasama dengan Tropenbos International Indonesia. Wahjono, D. dan Imanuddin, R. 2011. Sebaran, Potensi dan Pertumbuhan/Riap Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm &. Binn) di Hutan Alam Bekas Tebangan di Kalimantan. Dalam Bismark, M. dan Muniarti (Eds.), Prosiding Lokakarya Nasional : Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia); Bogor, 18 Januari 2011 (Hal. 5-19). ITTO bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Wahyuni, T. 2006. Lemahnya Kapasitas Peraturan Membatasi Kemampuan Ilmu Pengetahuan Mempengaruhi Pengelolaan Ulin. Dalam Sutisna, M.., Widyatmoko, AYPBC., Siran, S.A dan Juliaty, N. (Tim Perumus-Editor). Prosiding Workshop Sehari : Peran Litbang dalam Pelestarian Ulin; Samarinda, 20 Desember 2006 (Hal. 57-65). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman bekerjasama dengan Tropenbos International Indonesia.
Dipterocarpus gracilis Bl.: Spesies Terancam Punah di Kawasan Hutan Produksi
Denny dan Adi Susilo [Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor]
Pohon palahlar (Dipterocarpus gracilis Bl.) di RPH Cisujen
D
tiang dan gelagar (Heyne, 1987). Selain kayu, damar atau resin balsam diperoleh dari batang dapat digunakan sebagai campuran dalam pembuatan cat, pelapis waterproofing, bahan tinta, lak, pernis untuk kapal, dinding, pembungkus kaca dalam makanan dan furniture. Penyadapan damar dimulai ketika batang berdiameter sekitar 25 cm (kira-kira berumur 20 tahun), damar yang keluar dibiarkan kering di pohon sebelum dikumpulkan, penyadapan dapat terus dilakukan selama 30 tahun. Jenis ini juga dapat digunakan sebagai obat tradisional. Kulit batang pohon palahlar digunakan sebagai antiseptik untuk gonore dan penyakit kencing, penyembuh penyakit reumatik dan liver (Soerianegara et al., 1994).
ipterocarpus gracilis Bl. di Kalimantan biasa disebut keruing dan di Jawa Barat disebut palahlar, merupakan jenis terancam punah yang masuk kategori Critically Endangered A1cd+2cd ver 2.3 pada IUCN Red List of Threatened Species (Ashton, 1998). Di Indonesia persebarannya mulai dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di pulau Jawa sendiri di daerah persebarannya terdapat 4 jenis Dipterocarpus yaitu Dipterocarpus hasseltii Bl. (Palahlar), Dipterocarpus gracilis Bl. (Keladan atau Palahlar), Dipterocarpus retusus Bl. (Palahlar Gunung) dan Diplerocarpus littoralis Bl. (Lalar atau Kelahlar). Jenis ini populasinya sudah semakin sulit ditemukan di Jawa Barat. Menurut Kalima (2006), jenis Dipterocarpus gracilis dilaporkan terdapat di Jawa Barat (C.A. Leuweung Sancang) sebanyak 2 pohon dan Jawa Tengah (C.A.Ulolanang Kecubung) sebanyak 31 pohon.
Keberadaan Dipterocarpus gracilis di RPH Cisujen KPH Sukabumi
Jenis ini biasa digunakan sebagai bahan pembuatan kayu lapis. Kayunya digunakan untuk perahu dan konstruksi rumah, tetapi kayu ini tidak tahan lama ketika kontak dengan tanah dan terkena sinar matahari langsung. Biasanya kayu mengandung resin jadi kurang cocok untuk lantai dan hanya digunakan untuk
RPH Cisujen berada dalam kawasan KPH Sukabumi milik Perum Perhutani. KPH Sukabumi sebagai salah satu satuan kerja pada Badan Usaha Milik Negara yang diberi wewenang untuk mengelola hutan di Kabupaten Sukabumi (KPH Sukabumi, 2010).
36
Tim peneliti saat berada di pos pengamanan hutan RPH Cisujen
berbulu halus. Bunga majemuk, Calyx menempel pada bakal buah, buah berdiameter 2 cm, berwarna merah-hijau, dengan dua sayap yang panjangnya 12 cm.
Potensi sumber daya hutan di RPH Cisujen pada dasarnya belum tergali secara optimal dan selama ini masih tergantung pada kayu jati sebagai sumber utama pendapatan, karena wilayah tersebut merupakan hutan produksi yang tanaman pokoknya adalah jati. Walaupun kawasan tersebut merupakan hutan produksi, tetapi kawasan tersebut mempunyai wilayah perlindungan dengan luas ±10% dari total luas kawasan, salah satunya adalah kawasan hutan alam sekunder (HAS) yang berada di petak 13d dan 7b. Dikedua petak inilah tegakan pohon Dipterocarpus gracilis ditemukan. Pada petak 13d yang memiliki luas 20,16 Ha ditemukan sebanyak dua pohon dengan diameter masing-masing 66 cm dan 42 cm. Sedangkan di petak 7b dengan luasan 14,88 Ha ditemukan sebanyak dua pohon dengan diameter masing-masing 40 cm dan 53 cm.
Keadaan Lingkungan Tempat Tumbuh Semua pohon ditemukan di lokasi yang cukup curam sekitan 30-40% dekat dengan tepi sungai. Menurut sari dan dkk. (2011), secara umum spesies keruing tumbuh di daerah dengan kelerengan yang sangat curam. Hasil pengukuran suhu udara di lokasi tepatnya di bawah pohon berkisar antara 28-30°C dengan kelembaban udara sekitar 85%. Kelembaban di daerah ini cukup tinggi dikarenakan banyaknya vegetasi pada daerah tersebut dan lokasi yang dekat dengan sungai, serta cuaca mendung setelah hujan mengakibatkan kondisi tanah yang banyak mengandung air. Ketinggian lokasi tempat tumbuh sekitar 198 m dpl yang terdiri dari kawasan landai dan berbukit.
Palahlar berhabitus pohon besar lurus, berbanir dan tajuk bulat dengan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 m dan tinggi total mencapai 50 m serta diameter batang mencapai 180 cm. Batang berbentuk uncylindris, percabangan tinggi, tumbuh cabang tidak teratur, dan mengandung resin. Daun tunggal, duduk daun bertangga, berurat daun jelas, terdapat stipula dengan panjang 4 cm, permukaan bawah dan tangkai daun
Intensitas cahaya yang diperoleh pohon palahlar tersebut cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui karena tinggi pohon tersebut mendominasi dari pohon-pohon lain disekitarnya. Intensitas cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi
37
dan diameter pohon, pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka. Sebaliknya, pertumbuhan diameter lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaung.
Kemampuan Regenerasi Alami Anakan alami tidak ditemukan dilokasi tersebut, tetapi ditemukan buah yang sudah mengering disekitar pohon induknya. Banyak faktor yang mungkin berperan dalam kelangkaan regenerasi. Menurut Kalima (2008), penutupan permukaan tanah oleh serasah di lantai hutan merupakan faktor yang menentukan ada atau tidaknya anakan tumbuh. Adanya penutupan serasah menyebabkan biji tidak dapat mencapai media tumbuhnya sehingga mati. Selain itu juga keberadaan serangga dan satwa perusak atau pemangsa biji yang berada di lokasi dapat menghambat regenerasi alami pohon tersebut. Kerusakan biji akibat serangga Alcidodes sp. dan Nanophyes sp. terjadi baik pada waktu biji masih muda maupun biji sudah tua (Ngatiman dan Susilo 2009; Lyal and Curran 2000). Bahkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat 51 species serangga dari 11 famili yang menyerang biji dipterocarpaceae (Nakagawa et al.,2003). Sedangkan kerusakan biji akibat satwa liar sebagian besar terjadi pada biji yang sudah tua, baik yang berada di pohon maupun yang telah terpencar di lantai hutan. Tupai (Callotirus privostii), babi hutan (Sus barbatus) dan burung parkit (Psittacuula longicauda) adalah satwa pemangsa biji dipterocarpaceae (Ngatiman dan Susilo 2009; Curran and Leighton 2000).
Jenis ini pada umumnya hanya beregenerasi alami di bawah naungan hutan. Anakan dapat bertahan di bawah naungan hutan lebat selama bertahun-tahun. Pada 2 tahun pertama anakan tidak bisa tumbuh pada daerah terbuka, tapi setelah tinggi mencapai 120 cm membutuhkan daerah terbuka untuk mempercepat pertumbuhan. Selain itu keberadaan jamur mikoriza di dalam tanah yang berasosiasi dengan akarakar anakan palahlar dapat mempengaruhi pertumbuhan anakan tersebut.
Penutup Berdasarkan data diatas, telah ditemukan empat pohon Dipterocarpus gracilis Bl. yang terancam kepunahan di dua petak yang luasnya 35,04 Ha, tetapi tidak ditemukan anakannya sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian untuk mendukung regenerasinya. Mengingat lokasi pohon tersebut berada dalam kawasan hutan produksi jati milik Perum Perhutani, maka diperlukan ketegasan dari pihak pengelola untuk tetap mempertahankan lokasi tersebut sebagai kawasan perlindungan.
Daftar Pustaka Ashton, P. 1998. Dipterocarpus gracilis. The IUCN Red List of Threatened Species: e.T31315A9624557. Critically Endangered A1cd+2cd ver 2.3. Available online at http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.1998.RLTS.T31315A962455 7.en. Curran, L. M and Leighton, M. 2000. Vertebrate responses to spatiotemporal variation in seed production of mast-fruiting Dipterocarpaceae. Ecological Monograph. 70:101-128. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I-IV (terjemahan ). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Kalima, T. 2006. Pelalar (Dipterocarpus gracilis Blume): Kemungkinan Konservasi In-Situ di Cagar Alam Ulolanang Kecubung. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi VII. Kalima, T. 2008. Profil Keragaman dan Keberadaan Spesies dari Suku Dipterocarpaceae di Taman Nasional Meru Betiri, Jember. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 5(2): 175-191. KPH Sukabumi. 2010. Profil KPH Sukabumi. Tersedia online di http://perumperhutani.com/kph-sukabumi/.
Buah Palahlar yang sudah kering
Lyal, C.H.C., and Curran L.M. 2000. Seed-feeding beetles of the weevil tribe Mecysolobini (Insecta: Coleoptera, Curvulionidae) developing in the seeds of trees in the Dipterocarpaceae. Journal of Natrual History 34: 1743-1847. Nakagawa, M, Itioka, T., Momose, K., Yumoto,T., Komai, F., and Morimoto, K. 2003. Resource use of insect seed predators during general flowering and seeding events in a Bornean dipterocarp rain forest. Buletin of Entomological Research 93(5):455-66. Ngatiman, dan Susilo, A. 2009. Pemangsa Biji Dipterocarpaceae. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. 3(1): 51-62. Saridan, A., Kholik, A., dan Rostiwati T. 2011. Potensi dan Sebaran Spesies Pohon Penghasil Minyak Keruing di Hutan Penelitian Labanan, Kalimantan Rimur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. 5(1): 11-21.
Batang pohon dan kulit Palahlar
38
Pelatihan Identifikasi Tumbuhan Pegawai Kebun Raya Balikpapan di Balitek KSDA
D
alam rangka meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi tumbuhan serta peningkatan pemahaman teknik dasar pengambilan dan perlakuan spesimen herbarium, 5 pegawai Kebun Raya Balikpapan mengadakan pelatihan di Herbarium Wanariset, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam pada 30 November s.d. 4 Desember 2015. "Kami berharap alih teknologi ini dapat memberikan dasardasar pengenalan dan teknik identifikasi jenis tumbuhan dan teknik pengambilan dan perlakuan spesimen herbarium yang juga disertai dengan praktek langsung sehingga dapat memperkuat SDM Kebun Raya Balikpapan", terang Anytha Eva Maria, ST., MSi Kepala UPT Kebun Raya Balikpapan. Materi yang disampaikan adalah Pengenalan jenis-jenis penyusun hutan tropika Kalimantan Timur (Tri Amtoko, S.Hut., M.Si), Teknik Identifikasi Tumuhan (Arbainsyah, S.Pd, M.Sc), Teknik Pengembilan dan Perlakuan Spesimen Herbarium (Zainal Arifin/Priyono dan Praktek Lapangan (Zainal Arifin dan Priyono). Kebun Raya Balikpapan yang merupakan kawasan ex-situ terletak 20 Km dari Kota Balikpapan dengan luas sekitar 191 ha. Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Pulau Kalimantan menyimpan kekayaan berbagai jenis tumbuhan
39
penghasil kayu, terutama kayu-kayu dari hutan tropis, maka tema yang diambil untuk Kebun Raya Balikpapan adalah “Konservasi Tumbuhan Kayu Indonesia”. Sebanyak 1.200 spesies tanaman telah ditanam di kawasan ini sejak tahun 2007 silam, diantaranya kayu-kayu genus dipterocarpaceae, seperti meranti, kapur, ulin, keruing, bengkirai dan gaharu. Selain koleksi tumbuhan kayu, Kebun Raya Balikpapan juga menanam koleksi tanaman buah penting khas Kalimantan dan koleksi khusus atau tematik. Tri Atmoko, S.Hut., M.Si. menjelaskan bahwa pengenalan jenis merupakan salah satu dasar dalam pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Pengenalan jenis menjadi penting ketika suatu jenis memiliki manfaat dan kandungan yang unik atau spesifik dan tidak dapat ditemukan pada jenis lain. Dengan sistem taksonomi yang berkembang saat ini, pengenalan jenis melalui morfologi tumbuhan seperti bunga, buah dan kelengkapan tumbuhan lainnya menjadi semakin mudah. Kegiatan yang berlangsung selama 5 hari ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam peningkatan ketrampilan SDM, pengelolaan Kebun Raya Balikpapan dan peningkatan kerjasama dengan Balitek KSDA.***ADS
Outing Class SD Al-Azhar Syifa Budi Samarinda di Trek Wartono Kadri
D Al-Azhar Syifa Budi Samarinda kelas 5 dan 6 sebanyak 131 anak mengadakan kegiatan outing class di Wartono Kadri pada hari Sabtu, 9 April 2016. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang diadakan pertama kali oleh SD ini di Balitek KSDA. Selain anak-anak, kegiatan ini juga didampingi oleh guru sebanyak 45 orang dan beberapa orangtua murid yang antusias dengan kegiatan ini.
S
Rombongan tiba pukul 09.00 di Wartono Kadri dari perjalanan panjang Kota Samarinda ke Samboja menggunakan bus. Meskipun demikian, terlihat anak-anak tetap bersemangat untuk mulai tracking di Rintis Wartono Kadri. “Ayo kita foto tiap kelas di depan patung jamur ini!,” seru salah satu guru kelas 5 SD Al Ashar. Terlihat anak-anak sibuk mengambil posisi untuk foto tiap kelas di depan patung jamur yang menjadi maskot Rintis Wartono Kadri. Kegiatan ini dibagi menjadi 2 rute. Satu rute melawati pintu masuk dan tracking berakhir di pintu keluar Rintis Wartono Kadri. Kemudian kelompok satunya dengan rute sebaliknya. Anak-anak dibagi menjadi 10 kelompok. Tiap kelompok akan melewati tiap pos yang telah akan didampingi oleh tim dari Balitek KSDA. Pos-pos tersebut antara lain Siklus Ekosistem (Ike Mediawati, S.Si), Morfologi Tumbuhan (Bina Swasta Sitepu, S.Hut), Jenis-jenis Ekosistem (drh. Amir Ma’ruf, M.Hum) dan Suksesi Alam (Mukhlisi, S.Si, M.Si).
40
“Adakah yang tau tumbuhan dikotil dan monokotil?”, tanya Bina yang disertai dengan kerutan wajah anak-anak yang ada didepannya. “Tau, dikotil itu kacang tanah dan monokotil itu kelapa”, teriak salah satu anak. “Betul, itu adalah contoh tumbuhan dikotil dan monokotil”, jawab Bina sembari memberikan penjelasan perbedaan kedua tumbuhan ini. Terlihat anak-anak sangat menikmati perjalanan selama di dalam hutan Rintis Wartono Kadri. Ada yang menyakan jenisjenis pohon yang ada, burung, bunga, buah yang ada di Rintis Wartono Kadri sembari mereka berjalan. Setelah kegiatan tracking di Rintis Wartono Kadri, seluruh rombongan diajak ke Aula Balitek KSDA untuk kegiatan pembagian dorprize dari panitia. Beberapa dorprize yang disediakan panitia adalah T-shirt, buku agenda, mug, dan pin. Acara outing class kali ini berlangsung sangat meriah. Selain pesertanya yang sangat banyak, terlihat anak-anak, guru dan orangtua sangat antusias mengikuti seluruh acara sampai berakhirnya acara dengan penutup dan makan siang sebelum melanjutkan acara mereka selanjutnya di pantai Tanah Merah. Semoga acara seperti ini dapat lebih mendorong anak-anak untuk lebih mencintai alam dan lingkungannya. Selain itu diharapkan kedepan mereka dapat menjadi agen-agen konservasi yang handal.***ADS
Balitek KSDA Gandeng KSKWS untuk Pengelolaan Sampah
B
alitek KSDA Samboja akan melakukan kerjasama dengan Bank Sampah Komunitas Wirausaha Samarinda (BSKWS) untuk membantu dalam pengelolaan sampah komplek kantor dan pemukiman pegawai. Hal ini disepakati pada acara pelatihan pengelolaan sampah oleh BSKWS di ruang rapat Balitek KSDA pada hari Jumat, 17 Juni 2016. Pelatihan ini dihadiri oleh pegawai Balitek KSDA dan Tim BSKWS berjumlah 4 orang. BSKWS adalah komunitas yang beranggotakan anak-anak muda yang peduli sampah yang memiliki komitmen menjaga kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan. "Sampah yang merupakan permasalahan setiap orang merupakan potensi yang ingin diambil dan dimaksimalkan oleh BSKWS. Sampah yang bagi banyak orang merupakan sesuatu yang sangat mengganggu, namun memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa apabila dikelola dengan baik", papar Deddy Afriza Busamah direktur BSKWS. "Untuk itu diperlukan pengelolaan sampah yang terpadu dan sistematis. Langkah ini diharapkan dapat memberikan solusi lingkungan hidup dan memunculkan lapangan pekerjaan baru," imbuhnya. Kegiatan yang dilakukan oleh Bank Sampah KWS meliputi kegiatan edukasi, pengumpulan dan pengolahan sampah. Edukasi yang dilakukan Bank Sampah KWS menyasar kepada masyarakat umum dan sekolah-sekolah agar dapat merubah paradigma pengelolaan sampah yang konvensional yaitu bungkus, buang dan angkut, menjadi kenali, pilah, dan tabung.
Bila biasanya kita mengelola sampah dengan membungkus jadi satu, masukkan ke tong sampah lalu diangkut ke TPS/TPA, maka paradigma baru pengelolaan sampah adalah dengan terlebih dahulu mengenali jenis sampahnya, pilah sesuai jenis sampah, kemudian ditabung ke Bank Sampah. "Kita akan mulai dengan memilah sampah organik dan anorganik yang ada di kantor maupun di masing-masing rumah untuk kita kumpulkan dan akan kita salurkan ke bank sampah," kata Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si kepala Balitek KSDA yang menyambut baik kegiatan pelatihan ini. "Sampah organik dapat langsung kita timbun atau bisa diolah lebih lanjut menjadi kompos. Sedangkan sampah anorganik dapat kita pilah dan disalurkan ke bank sampah maupun pengepul yang akan dibantu oleh tim BKSWS untuk penunjukkannya. Akan kita cari yang terdekat yaitu kota Balikpapan", imbuh Gadang. Pemilahan sampah anorganik sebaiknya dibagi menjadi 4 bagian yaitu sampah plastik (botol plastik, plastik kresek, plastik bening, plastik bungkus snack, plastik bungkus makanan), sampah kertas (kertas hvs, koran, bungkus rokok, kardus, bungkus makanan kertas), sampah logam dan kaca (besi, tembaga, kabel, kaleng, botol kaca, pecahan gelas/seng), dan sampah hitam (kertas tissue, pembalut, pampers, dan lain-lain). Dengan ini dapat memudahkan kita pada saat menyalurkannya ke bank sampah yang telah ditunjuk.***ADS
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Samboja - Kalimantan Timur Phone. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 E-mail :
[email protected]
BS Sitepu
Join us Majalah Swara Samboja Group Majalah Swara Samboja
9 772089 742003