http://iadb-jakarta.com/majalah-rancak-no-53/ Rancak No. 53/2013 Dr. Lie Agustinus Dharmawan (Lie Tek Bie) Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV. (Alumni DB 1964)
Penggagas, Pendiri dan Pemilik Rumah Sakit Apung Swasta Pertama Atas saran seorang pastor, agar ibu yang anak perempuannya (9 tahun) menderita usus terjepit dibawa untuk operasi ke Pulau Kei, Maluku Utara. Untuk itu ibu dari Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat harus menumpang kapal untuk menuju ke Pulau Kei. Kebetulan di sana ada Dr. Lie Agustinus Dharmawan (Lie Tek Bie) Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV sedang melakukan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Operasi terhadap anak perempuan tersebut berhasil, tetapi Lie Tek Bie (Dr.Lie) tidak memungut bayaran alias gratis. Dari kasus yang terjadi sekitar tahun 2008 lalu, menginspirasi dokter spesialis bedah itu untuk menciptakan rumah sakit di atas kapal (rumah sakit apung). “Waktu itu belum ada rumah sakit apung untuk bisa melakukan operasi. Kami bukan mencari orang kaya, tetapi orang yang tidak mampu”, ujar Dr.Lie ditemui bagian bedah Rumah Sakit Husada, Jl. Raya Mangga Besar, Jakarta Pusat, Senin 8 April 2013. Ia mengaku kisah dari pulau Kei ini sebagai cikal bakal gagasan menciptakan rumah sakit apung (floating hospital) yang didirikan melalui Yayasan Dokter Peduli atau doctorSHARE (sharing accessible health and care), dibentuk 2008, sekali gus menjabat sebagai ketua. Namun 25 tahun 1
sebelumnya, alumni SMA Don Bosco Padang 1964 ini, sudah melakukan berbagai kerja sosial/pelayanan kesehatan, terutama di daerah terpencil. “Saya bersyukur niat kerja sosial ini mendapat dukungan dari keluarga. Namun kerja sosial ini tidak membawa nama rumah sakit tempat saya bekerja”, ujar Dr.Lie kepada koresponden RancakJakarta dan teman seangkatannya Liza Tedjasaputri (The Pek Bie). Menurut cerita Pek Bie, kebetulan paginya, ia ditelepon Tek Bie yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Maklumlah dokter spesialis bedah itu sangat super sibuk. Pagi itu juga koresponden Rancak Jakarta dihubungi Pek Bie yang akhirnya bisa bertemu siangnya, namun harus menunggu lagi beberapa jam, karena Dr. Lie sedang melakukan operasi. Masih dalam pakaian operasi, kami diterima depan ruang kantornya untuk berbincang-bincang dekat meja panjang. Dr. Lie bercerita setelah selama 4 tahun berjuang, akhirnya mimpinya bisa terwujud membuat rumah sakit di atas kapal atau rumah sakit apung swasta pertama yang diluncurkan sekali gus menandai pelayaran perdana pada tanggal 16-17 Maret 2013 menuju Pulau Ketapang, Kepulauan Seribu, provinsi DKI. Kepala Bagian Bedah Rumah Sakit Husada itu menjelaskan, kapal untuk rumah sakit dibeli dari kapal nelayan, kemudian dimodifikasi sebagai rumah sakit apung berukuran panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot mati 114 ton. Kapal itu dilengkapi dengan peralatan medis, ruang beda, ruang periksa dan sebagainya yang bisa melayani 8 pasien sekali gus. Jual rumah, beli kapal bekas Biaya pembelian kapal bekas termasuk isinya sekitar Rp.3 milyar. Dana untuk membeli kapal tersebut dan segala isinya, dr.Lie rela menjual rumah pribadi demi mewujudkan cita-cita luhurnya untuk kemanusiaan. Menjawab pertanyaan Pek Bie, Dr. Lie mengatakan ada rencana kunjungan ke daerah Sumatera. “Ada orang Nias dan orang Mentawai sudah bertanya,” tambah dr.Lie. Saat diwawancara, Dr.Lie mengatakan empat hari lagi Jumat, 23 April 2013 subuh, ia akan berangkat menuju Ketapang, Kalimantan Barat untuk memberi pelayanan, menyusul kapal yang akan tiba disana dari Belitung Timur (2-4 April 2013). Dr.Lie juga sempat melakukan operasi di Belitung Timur. Ada rencana sepulang dari Kalimantan Barat, kapal rumah sakit apung itu akan naik dok, antara lain mengganti kemudi yang bermasalah dan juga mesin kapal yang diperkirakan harganya mencapai sekitar Rp.135 juta, di antaranya mesin kapal Rp.100 juta. Kalau dulu kerja sendiri, tetapi sekarang sudah ada yang mendekat : ”Sebenarnya kami tidak mencari kepeng, tetapi keluar kepeng,” ujar Dr. Lie yang mengaku selama ini ia hanya on man show. Sebelum mendarat ke tempat tujuan, ada tim pendahulu mendata 2
pasien yang ingin operasi. Di kapal rumah sakit apung disediakan obat-obat generik, tetapi generik berlogo yang termasuk mahal juga, tetapi diberikan gratis. Yang real sekarang ini, lanjut Dr.Lie, kita mencari patner untuk mendukung program rutin, karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sekali operasional bisa menghabiskan dana sebanyak Rp. 40 juta. Yang paling berat adalah adalah harga solar. Dijelaskan Dr.Lie, program doctorSHARE bukan hanya rumah sakit apung saja, tetapi juga melayani pasien antara lain di daerah terpencil seperti di MalukuUtara. Audit internasional “Kalau dulu siapa yang mau percaya proyekini. Kami ingin transparan, sehingga perlu diaudit. Itupun memakai auditor internasional. Ada kawan dari Eropah mau membantu agar nantinya akan dicari dokter tetap, sekarang ini masih uji coba,” papar Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) Pusat bidang kesehatan . Untuk sekali berlayar ada satu tim, semua sukarelawan, nanti kalau sudah berkembang, tentu dokter-dokter diberi honor. Anggota doctorSHARE ada sebanyak 200 orang, antara lain terdiri dari dokter spesialis, sebagian masih dalam pendidikan spesialis, dokter umum dan perawat. Berbicara masalah kendala boleh dikatakan cukup banyak, demikian juga suka dukanya banyak sekali, namun yang paling banyak dukanya ketika proyek ini belum terwujud. Dibalik kendala dan duka itu, Dr.Lie merasa puas setelah ada hasilnya. Awalnya banyak orang, termasuk sesama kolega tidak yakin bahwa proyek ini akan berjalan, mereka tidak percaya, karena tidak mungkin operasi di atas kapal. “Kalau ngak sendiri, siapa yang mau percaya operasi di atas kapal, tetapi malahan melakukan operasi besar. Kalau kita tidak yakin, proyek ini tidak bakal terjadi. Adaself confidence (percaya diri) ,” ujar kakek dari 2 cucu dan ayah dari 3 anak itu Dr. Lie bercerita, dulu ketika dalam proses persiapan proyek rumah sakit apung, hampir setiap hari Dr. Lie dicemooh orang. “Ada lagi yang ceritakan jo bininyo, ondeh si Tek Bie itu ala gilo. Dia kerja pagi, siang, malam, tetapi kepeng dibuang untuk kapal apung. Setelah jadi, banyak yang bilang kan kawan sekolah gua tuh,”kenang Dr. Lie seraya tersenyum. Sebagai langkah ke depan, saran Dr.Lie perlu menbentuk sebuah wadah, entah apa namanya untuk mencari dana, karena banyak program real untuk mencari patner yang peduli. “Kita semua mencoba, kita bikin semacam organisasi. Ada satu grup bekas anak Universitas Res Publika (Ureka) yang bermukim di Eropah, “ ujar Dr.Lie kepada Pek Bie. Walau cuma beberapa hari kuliah, lanjut Dr.Lie, mereka tetap merasa bekas mahasiswa Universitas Res Publika (Ureka) 3
Jakarta yang kini banyak bermukim di negara Eropa seperti Belgia, Jerman, Belanda, bahkan sampai Hongkong. Dari Hongkong kirim email minta proposal. Dr.Lie berprinsip, kalau kita hidup harus mempunyai arti. Mengapa kita hidup, kalau kita bisa membahagiakan orang, itulah arti kita hidup, kalau tidak kosong. Tukang catut di Asam Reges Sejak usia 9 tahun, Lie Tek Bie anak ke-4 dari 7 bersaudara sudah menjadi anak yatim, karena ayahnya meninggal. Setamat SMA Don Bosco Padang 1964, Lie Tek Bie melanjutkan studi di Universitas Res Publika (Ureka) Jakarta, namun hanya sempat kuliah beberapa hari, karena perguruan tinggi itu ditutup pasca-peristiwa G30S (Gerakan 30 September) PKI 1965, karena ada tudingan underbouw Partai Komunis Indonesia. Lie Tek Bie mengaku waktu itu belum lunas membayar uang kuliah, karena boleh dicicil. Dalam keadaan menganggur, Lie Tek Bie bekerja sebagai tukang catut atau kerja serabutan di bilangan Asam Reges, Jakarta Pusat. Setelah beberapa tahun bekerja tidak menentu, dibantu kakak perempuan dan kakak lelaki, akhirnya Tek Bie berangkat ke Berlin Barat, Jerman untuk kuliah. Namun sebelumnya harus menjalani testing masuk perguruan tinggi. Ia memilih jurusan kedokteran sebagaimana cita-citanya waktu kecil. Sambil kuliah di Berlin, Tek Bie juga bekerja, sehingga ia bisa menyelesaikan sampai ke jenjang S-3, mengambil spesialis bedah. Tek Bie sempat tinggal di Jerman selama lebih kurang 20 tahun, kemudian kembali ke Indonesia. Awalnya ia bekerja di Rumah Sakit Rajawali di Bandung, tetapi hanya beberapa tahun. Setelah itu pindah di Rumah Sakit Husada hingga sekarang. “Saya masih ingat pasien pertama yang dioperasi adalah pembantu rumah tangga, karena pasien tersebut tidak mampu, sehingga biayanya gratis,” kenang Pendiri Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin (1971). Angkat batu prasasti Aula 1962 Dalam kesempatan itu, Dr.Lie Tek Bie juga bernostalgia ketika masih di SMA Don Bosco yang pernah diungkapkan dalam buku “Dalam Kenangan Frater Servaas de Beer, CMM” yang diedit/ditulis koresponden Rancak Jakarta. Dr. Lie Tek Bie terkesan tentang kepribadian Frater Servaas sebagai seorang pendidik yang tidak otoriter. Beliau mendidik dengan kewibawaan yang benar-benar pemimpim. Ia bercerita suatu hari, mereka sekelas malas mengerjakan PR ilmu ukur melukis yang diajarkan Frater Servaas. Beliau hanya mengatakan dalam dialek khas Belanda : ”Ala Anak, kalau begini bagaimana bisa lulus.” Semuanya diam, kelas jadi tenang. “Kami merasa menyesal, membuat sakit hati orang tua. Memang kami merasa bersalah.” Frater Servaas juga memperhatikan kesenangan anak-anak.
4
Sebagai contoh, setelah Tek Bie dan kawan-kawan bergotong royong mengangkut batu dari kali ke sekolah yang tentunya pasti lapar. Frater Servaas mengundang murid-murid makan siang di rumah makan ”Pagi Sore”, di bilangan Pondok. Mereka merasa senang. Namun hari itu puasa dan pantang bagi umat Katolik menyambut pra paskah 1962. Tetapi Frater Servaas berkata : ”Hari ini dispensasi!” Waktu itu angkatan Tek Bie yang terakhir mengambil batu di kali. Kalau tak salah, menurut Tek Bie, ia dan kawan-kawan ramai-ramai mengangkat batu besar yang akan dijadikan prasasti aula Don Bosco (Aula SMA Don Bosco Gotong Rojong 1962-red). Kami bergotong royong mengambil batu kali itu dengan suka cita dan gembira untuk pembangunan aula dan bukan karena terpaksa. ”Kita merasa membangun sesuatu untuk kebersamaan”, kenang Tek Bie. Menurut Tek Bie, Frater Servaas seorang pemimpin sejati. Beliau bukan penguasa. Seorang pemimpin diikuti, karena kepribadiannya. Bukan terpaksa melakukan, karena takut akan tekanan. Dan itu terpancar dari kepribadian Farter Servaas, yang menyebabkan kita tidak merasa ada paksaan untuk melakukan pekerjaan yang tidak kita senangi. Juga kalau prestasi murid bagus diberikan hadiah buku tulis. Murid-murid senang sekali. Kalau tak salah, Tek Bie pernah mendapat hadiah buku tulis. Frater Servaas pernah marah, tetapi nadanya baik. Seperti pada hari Senin berbaris untuk upacara bendera. Frater Servaas membunyikan lonceng. Kalau ada anak-anak tidak mau berbaris teratur, Frater Servaas membunyikan lonceng sekeras-kerasnya teng…teng. Semua berbaris dengan rapi, lalu diam. Susianna (Oei Wie Shian), alumni 1966 Biodata Dr. Lie A. Dharmawan Nama : Dr. Lie Agustinus Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV Nama lahir : Lie Tek Bie Tempat/ tgl lahir : Padang, 16 April 1946 Orang tua : Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiau (Julita Diana) Isteri : Tan Lie Tjhoen (Listijani Gunawan) Anak : – Lie Mei Phing (29 April 1978) – Lie Ching Ming (9 November 1980) – Lie Mei Sing (16 September 1992) Pendidikan : – SD Ying Shi, Padang – SMP Pius, Padang – SMA Don Bosco, Padang (1964) – S1 Free University, Jerman 5
– S2 University Hospital, Cologne – S3 Free University Berlin, Jerman Pekerjaan/kiprah organisasi – Pendiri Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin (1971) – Pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman (1981-1984) – Aktivis gereja Katolik, Jakarta (1985-sekarang) – Kepala bagian bedah RS Husada, Jakarta (2000-sekarang) – Kepala Serikat Karyawan RS Husada (2000-2006) – Kepala Komite Medik RS Husada (2006-2009) – Wakil Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta (2000- sekarang) – Ketua INTI Pusat bidang kesehatan (2005-sekarang) – Pendiri Yayasan Dokter Peduli atau doctorSHARE – 2008-sekarang) pendiri/penggagas dan pemilik Rumah Sakit Apung (floating hospital) swasta yang pertama di Indonesia. Dr Lie di ruang praktek RS Husada,14 Juli 2010,foto Shian (juga untuk cover)
Dr Lie (kiri) ketika acara silaturahmi dirumah Agung Laksono 4 Februari 2012,Foto Shian
6
Kapal Rumah Sakit Apung milik Dr Lie (istimewa)
7