RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 68/PUU-XIII/2015 Implikasi Interpretasi Frasa “Anjuran” Mediator dan Konsiliator pada Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial
I. PEMOHON 1. Muhammad Hafidz (Pemohon I); 2. Wahidin (Pemohon II); 3. Solihin (Pemohon III); 4. Herwan (Pemohon IV); 5. Yayat Sugara (Pemohon V). Semuanya secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usa negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
1
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian UndangUndang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang masih terdaftar sebagai pekerja, yang merasa dirugikan secara konstitusional 2
dengan berlakunya Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU 2/2004 terutama frasa “anjuran” pada pasal a quo . V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 2/2004: 1. Pasal 13 ayat (2) huruf a: “Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.” 2. Pasal 23 ayat (2) huruf a: “Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis .” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Dalam UU 2/2004, jika terjadi perselisihan hubungan industrial, maka para Pemohon harus menyelesaikan perselisihannya melalui musyawarah bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. 2. Pengadilan Hubungan Industrial dapat diselenggarakan apabila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi sebagaimana ketentuan Pasal 83 ayat (1) a quo. Namun dalam ketentuan a quo mediator atau konsiliator hanya diberikan kewenangan untuk membuat anjuran sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a. 3. Bahwa tidak diaturnya kewenangan menerbitkan risalah oleh mediator atau konsiliator membuat waktu penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi lebih lama dari waktu yang telah ditentukan yaitu melewati 30 (tiga 3
puluh) hari kerja sejak penerimaan permintaan penyelesaian perselisihan. Hal menurut pemohon merupakan pelanggaran konstitusional dalam jaminan perlindungan
hukum
disebabkan
prinsip
penyelesaian
perseliosihan
hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah tidak terakomodir. 4. Bahwa Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU 2/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pasal a quo justru mengatur pemberian kewenangan penerbitan anjuran yang bukan termasuk syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga hal ini tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi para Pemohon untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon; 2. Menyatakan: frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan
industrial
melalui
mediasi,
maka
mediator
mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”; frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
4
hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”; frasa “anjuran” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”; frasa “anjuran” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
5