2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Baterai Baterai merupakan sumber energi yang utama pada berbagai peralatan
elektronik portabel (Manthiram 2008). Baterai merupakan sebuah sarana yang mengubah energi kimia yang terkandung dalam bahan aktif secara langsung menjadi energi listrik melalui reaksi reduksi dan oksidasi elektrokimia (redoks), yang terjadi pada elektroda (Linden 2002). Baterai terdiri dari 3 komponen utama (Linden 2002), yaitu: 1) Anoda atau (elektroda
negatif), berperan untuk mengurangi atau lebih
dikenal sebagai sumber elektron dengan meninggalkan elektron yang dimilikinya ke sirkuit eksternal dan teroksidasi selama reaksi elektrokimia. 2) Katoda atau elektroda positif, berperan sebagai pengoksidasi (menerima elektron). 3) Elektrolit atau konduktor ionik yaitu sebagai penyedia sarana untuk mentransfer ion, terletak di dalam sel antara anoda dan katoda. Elektrolit ini biasanya berupa cairan ditambah dengan garam terlarut, asam atau basa untuk memberikan konduktivitas ionik. Beberapa baterai menggunakan elektrolit padat, yaitu konduktor ion pada suhu operasi sel. Dalam sistem praktis, anoda dipilih dengan sifat meliputi, coulomb tinggi (Ah/g), konduktivitas yang baik, oksidator yang baik, kemudahan fabrikasi dan biaya rendah. Katoda harus menjadi agen pengoksidasi yang efektif dan stabil ketika kontak dengan elektrolit (Linden 2002).
Bagian-bagian utama baterai
dapat dilihat pada Gambar 1. Anoda (seng) Katoda (batang grafit) Pasta dari MnO2, NH4Cl dan karbon
Gambar 1 Komponen utama baterai (Linden dan Reddy 2002)
6
Berdasarkan prinsip pengoperasiannya baterai diklasifikasikan menjadi baterai primer dan sekunder. Adapun perbedaan dari baterai tersebut adalah : 1). Baterai primer Baterai yang tidak dapat diisi kembali dan sebagai reaksi kimia yang terlibat bersifat irreversibel (Linden 2002). Baterai ini berisi senyawa dengan jumlah yang tetap dan bereaksi sekali habis. Jika reaktan sudah dipergunakan, maka sel tersebut tidak dapat digunakan kembali. Baterai ini memiliki densitas energi yang tinggi dan karakteristik penyimpanan energi yang baik. Contoh baterai primer adalah karbon-besi, alkalin-mangan (Nishio dan Furukawa 1999). 2). Baterai Sekunder Baterai ini dapat diisi ulang dan reaksi kimia yang terlibat reversibel (Linden 2002). Energi baterai yang sudah digunakan dapat terbentuk lagi dengan
terjadinya proses pembalikan elektrokimia. Reaktan kembali ada
dalam bentuk aslinya, dan penyimpanan elektrokimia energi dapat digunakan kembali. Namun jenis ini memiliki kelemahan, yaitu biaya pembuatannya yang tinggi. Secara pengoperasiannya, anoda (A) akan mengalami reaksi oksidasi dan katoda (X) mengalami reaksi reduksi serta elektrolit akan berperan sebagai media transfer ion antara anoda dan katoda dalam sel. Kinerja baterai dicirikan oleh berbagai faktor kinerja elektrokimia, yang ditentukan oleh sifat intrinsik dari anoda, katoda dan bahan elektrolit yang digunakan serta teknik yang terlibat dalam perancangan dan pembuatan baterai tersebut (Manthiram 2008). Secara prinsip, jika kedua elektroda dihubungkan dengan sebuah konduktor elektronik, aliran elektron dimulai dari elektroda negatif (dengan densitas elektron tinggi) ke elektroda positif. Elektron dilepaskan oleh anoda (teroksidasi) dan pada saat yang sama katoda menerima elektron. Setiap elektron yang mengalir dalam sirkuit luar dari negatif ke elektroda positif, sehingga listrik dapat terbentuk. Ion negatif dalam elektrolit berdifusi ke elektroda negatif dan ion positif berdifusi ke elektroda positif. Rangkaian listrik berhenti beroperasi jika tidak ada pergerakan ion kembali, sehingga tidak ada arus yang terbentuk lagi (Linden 2002). Prinsip kerja baterai pada Gambar 2.
7
Arus elektron
a n o d a
Arus ani on Arus kation
k a t o d a
Elektrolit
Gambar 2 Prinsip kerja baterai (Linden dan Reddy 2002)
Baterai primer digolongkan berdasarkan sistem elektrokimianya, dimana sistem elektrokimia yang telah distandardisasi menurut SNI 04-2051.1-2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sistem elektrokimia baterai primer yang telah distandarkan Huruf
Elektrode negatif
-
Seng
A
Seng
B
Litium
C
Litium
E
Litium
F
Litium
G
Litium
L
Seng
P
Seng
S
Seng
Elektrolit Amonium klorida, seng klorida Amonium klorida, seng klorida Elektrolit organik Elektrolit organik Non-aqueous anorganik Elektrolit organik Elektrolit organik Logam alkali hidroksida Logam alkali hidroksida Logam alkali hidroksida
Sumber: Badan standarisasi nasional (2004)
Mangan dioksida
1,5
Tegangan sirkit terbuka maksimum V 1,725
Oksigen
1,4
1,55
Karbon monofluorida Mangan dioksida Thionil dioksida (SOCl2) Besi disulfide (FeS2) Tembaga(II) oksida (CuO) Mangan dioksida Oksigen
3
3,7
3
3,7
3,6
3,9
1,5
1,83
1,5
2,3
1,5
1,65
1,4
1,68
1,55
1,63
Elektrode positif
Perak dioksida (Ag2O)
Tegangan nominal V
8
2.2
Elektrolit Polimer Material berbasis polimer memiliki beberapa keunggulan sebagai material
elektrolit. Keunggulan tersebut antara lain (Gray 1997): 1. Mempunyai hantaran listrik yang cocok untuk aplikasi sel elektrokimia 2. Mempunyai sifat mekanik yang baik 3. Mempunyai kestabilan kimia, elektrokimia dan fotokimia yang baik 4. Murah dalam pembuatannya Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh suatu polimer agar dapat berfungsi sebagai host dalam elektrolit polimer (Linden 2002), antara lain: 1. Memiliki atom atau beberapa atom yang cukup untuk mendonorkan elektron sehingga dapat membentuk ikatan yang berkoordinasi dengan kation. 2. Memiliki hambatan yang kecil terhadap pergerakan ikatan polimer sehingga memungkinkan pergerakan ion pada ikatan polimer. 3. Memiliki jarak yang sesuai antara pusat koordinat, hal ini penting dalam pembentukan beberapa ikatan ion secara intra polimer. 4. Memiliki suhu transisi gelas yang rendah sehingga memudahkan dalam pergerakan ion. Elektrolit harus memiliki konduktivitas ionik yang baik tetapi tidak menjadi konduktif secara elektrik, karena akan menyebabkan konsleting internal, tidak reaktif dengan bahan elektroda, sedikit perubahan pada sifat terhadap perubahan suhu, aman dan biaya rendah (Linden 2002). Adapun konduktivitas spesifik jenis-jenis elektrolit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai konduktivitas berbagai jenis elektrolit Sistem elektrolit Elektrolit cair Garam cair Elektrolit anorganik Elektrolit organik Elektrolit polimer Elektrolit anorganik padat Sumber: Linden (2002)
Konduktivitas spesifik (Ω-1cm-1) 1–5 x 10-1 ~10-1 2 x 10-2–10-1 10-3–10-2 10-7–10-3 10-8–10-5
9
Mekanisme perpindahan ion dalam elektrolit polimer sebagai berikut (Ricket 1973): i.
Mekanisme kekosongan yaitu pengisian ion ke dalam kisi tetangga yang kosong.
ii.
Mekanisme penyempitan yaitu perpindahan ion ke bagian yang sempit secara tidak langsung.
2.3
Chitosan sebagai Elektrolit Polimer Chitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000
monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatan β-(1,4) mengandung unit berulang 2-amino-2-deoksi- D-glukopiranosa, hasil dari proses deasetilasi chitin (Prashanth dan Tharanathan 2007). Bentuk struktur chitin dan chitosan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur kimia (a) chitin (b) chitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007) Chitosan
mengandung
gugus
polar
dan
nonpolar,
sehingga
reaktivitasannya tinggi dan dapat menyebabkan mengikatnya air dan minyak. Karakteristiknya yang memiliki gugus amin (NH) yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemampuannya membentuk gel, maka chitosan dapat berperan sebagai komponen reaktif, pengkelat, pengikat, pengabsorbsi, penstabil, pembentuk film, penjernihan, flokulan, dan koagulan (Shahidi et al. 1999).
10
Berdasarkan hal itu maka chitosan banyak digunakan pada berbagai bidang industri, selain sebagai bahan obat dan sistem penghantaran penyerapan obat dalam tubuh, serta bahan lainnya, seperti kulit buatan, kosmetika, makanan dan aditif zat gizi, serat dan film, baterai dan pengolah air bersih (Kumar 2000). Larutan chitosan bersifat polikationik, karena gugus amina pada chitosan dapat mendonorkan elektronnya (Yahya dan Arof 2002). Menurut Subban et al. (1996), chitosan merupakan bahan polimer yang memiliki nilai konduktivitas yang rendah. Atom hidrogen pada monomer chitosan memiliki ikatan yang sangat kuat dan tidak bisa diarahkan dalam lingkungan listrik. Chitosan dapat dijadikan konduktor proton, jika chitosan dilarutkan dalam asam asetat dan dicetak dalam bentuk lembaran. Ion H+ dan CH3COO- tersebar di dalam pelarut chitosan dan dapat dimobilisasi di bawah medan listrik. Jika ion H+ lebih banyak yang bergerak di dalam film maka akan menjadi konduktor proton (Mohamed et al. 1995). Gugus amino (NH2) pada chitosan telah diprotonisasi menjadi NH3+ dalam larutan asam asetat, dan gugus OH pada polivinil alkohol akan berkaitan dengan NH3+ membentuk ikatan hidrogen (Xu et al. 2004). Chitosan bila dilarutkan dalam asam mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH (Kumar 2000). Chitosan telah dikembangkan sebagai sensor dan biosensor elektrokimia (Pauliukaite et al. 2010). Penelitian mengenai penggunaan chitosan sebagai suatu bahan elektrolit telah banyak dilakukan. Film elektrolit polimer chitosan dengan penambahan 0,25 gram perak nitrat (AgNO3) menghasilkan konduktivitas ion sebesar 2,6 x 10-5 S cm-1 (Morni et al. 1997). Kajian Morni dan Arof (1999) mengenai elektrolit dengan bahan dasar chitosan menunjukkan nilai konduktivitas ion terhadap film chitosan sebesar 2,14×10−7 S cm−1, selanjutnya dengan adanya pemberian etilen karbon 0,4 gram dapat memberikan nilai konduktivitas ion yang semakin membesar, yaitu menjadi 1,03×10−5 S cm−1, bahkan lebih lanjut disampaikan bahwa dengan adanya penambahan lithium triflate (LiCF3SO3) nilai konduktivitas ion larutan chitosan dapat menjadi lebih besar lagi, yaitu menjadi 3,0×10-4 S cm1. Film elektrolit polimer chitosan dengan penambahan garam yang berbeda yaitu amonium nitrat (NH4NO3) 45 wt% dapat menghasilkan konduktivitas ion sebesar 2,53 x 10-5 S cm-1 (Majid dan Arof 2005).
11
Konduktivitas ion pada chitosan berasal dari pergerakan ion garam, keadaan
pergerakan
ini
dapat
diperbaiki
dengan
adanya
penambahan
plasticization (Osman et al. 2001). Beberapa plastisizer yang pernah digunakan dalam mentautsilangkan chitosan antara lain asam oleat (Yahya dan Arof 2003), asam fosfat (Majid dan Arof 2007), PEO (Polyethylene Oxide) (Dosono et al. 2007) dan PVA (Polyvinyl Alcohol) (Kumar et al. 2010). Konduktivitas ion dari elektrolit polimer yang terbuat dari chitosan dan 10 wt% asam oleat sebagai plastisizer serta penambahan 40 wt% garam litium asetat (LiOAc) dengan menghasilkan nilai konduktivitas 10-5 S cm-1 (Yahya dan Arof 2003). Kajian elektrolit polimer dengan 50 wt% chitosan dan 50 wt% polietilen dioksida (PEO) serta penambahan 45 wt% garam amonium ioda (NH4I) menghasilkan konduktivitas ion sebesar 4,32 x 10-6 S cm-1 (Mohamad
et al.
2007). Komposit polimer membran PVA/PAA yang dilakukan oleh Wu et al. (2006), menunjukkan sifat mekanik dan termal yang sangat baik, membran polimer tersebut memiliki kekuatan yang baik. Konduktivitas
elektrolit
polimer
dapat
ditingkatkan
dengan
mempergunakan dua jenis polimer yang berbeda serta modifikasi jenis polimer yang sesuai (Rajendran et al. 2001). Usaha untuk meningkatkan konduktivitas ion membran chitosan yaitu melalui crosslingking dengan polielektrolit atau elektrolit (Smith et al. 2006). Membran quaternized chitosan (2 amonium klorida hydroxypropyltrimethyl chitosan) yaitu produk dari hasil reaksi EPTMAC, (2,3-Epoxypropyl) trimethylammonium klorida dan quaternized poly vinil alkohol (PVA) dengan glutaraldehida sebagai penaut silang kedua bahan menghasilkan konduktivitas ion 10-3 sampai 10-2 S cm-1 (Xiong et al. 2008). Smitha et al. (2006) mempergunakan chitosan dan poly(vinyl pyrrolidone) sebagai campuran dalam pembuatan membran memiliki kapasitas pertukaran ion yang tinggi. Penambahan glutaraldehida dan asam sulfur menghasilkan konduktivitas ion yang lebih tinggi yaitu dari 0,019 S cm-1 menjadi 0,024 S cm-1. Glutaraldehida dalam hal ini bertindak sebagai penaut silang membentuk formasi ikatan intra dan antara jaringan (Wang et al. 2004). Pada film chitosan dan PVA terjadi interaksi ikatan hidrogen antara chitosan dan PVA membuat struktur kimia film yang dihasilkan sangat kokoh
12
(Chen et al. 2007). Polimer dengan campuran murni chitosan dan PVA menghasilkan konduktivitas ion sebesar 10−11 S cm−1 pada suhu kamar, sedangkan polimer dengan campuran chitosan 40% wt dan PVA 60 wt% (2:3) serta penambahan 40% NH4NO3 dan 70% etilen karbonat sebagai plastisizer mampu menghasilkan nilai konduktivitas ion yang paling tinggi, yaitu 60×10−3 S cm−1 serta memiliki sifat struktur kristalinitasnya yang lebih rendah (Kadir et al. 2010). Chitosan dapat digunakan sebagai bahan potensial dalam perangkat elektrokromik (Yahya dan Arof 2004), dry cell (Morni dan Arof (1999); Subban et al.(1996)). Karakteristik chitosan sebagai elektrolit polimer telah diaplikasikan Mohamed et al. (1995) sebagai baterai dengan mempergunakan film elektrolit polimer dari 1 gram chitosan dengan penambahan 0,8 gram garam litium nitrat yang menghasilkan konduktivitas ion sebesar 10-4 S cm-1 serta penggunaan perangkat tambahan berupa anoda (elektroda negatif) berisi seng dan seng sulfat dan karbon serta mangan dioksida (MnO2) sebagai katoda (elektroda positif) dengan konfigurasi Zn + ZnSO.7H2O/ LiCAC /I,+C dan Zn+ ZnSO.7H2O/ LiCAC/MnO2 + C telah menghasilkan tegangan baterai sebesar 1,113 V dan 0,765 V. Begitu pula dengan Subban et al. (1996) telah mengaplikasikan elektrolit polimer chitosan dalam pembuatan baterai, berupa penambahan 3,0 gram garam sodium perklorat (NaClO4) dengan menggunakan anoda berupa seng (Zn) dan seng sulfat (ZnSO4) serta katoda berupa PbO2 dan V2O5 menghasilkan 1,121 V.