3
Pasta dimasukkan ke ujung tabung hingga penuh dan padat. Permukaan elektrode dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas minyak hingga licin dan berkilau (Gambar 2).
Gambar 2 Skema Pembuatan elektrode pasta karbon. Pembuatan EPK Termodifikasi Nanomagnetit Nanomagnetit, serbuk grafit, dan parafin cair dicampur hingga membentuk pasta homogen. Sebuah tabung gelas dengan diameter 2.5 mm digunakan sebagai badan elektrode. Kawat tembaga sebagai penghubung elektrode ke sumber listrik dimasukkan ke dalam tabung hingga tersisa ruang kosong sekitar 5 mm pada ujung tabung. Pasta dimasukkan ke ujung tabung hingga padat. Permukaan elektrode dihaluskan menggunakan ampelas halus lalu kertas minyak hingga menghasilkan permukaan yang licin dan berkilau. Pembuatan Elektrode Ag/AgCl Elektrode Ag/AgCl terbuat dari kawat Ag yang dihubungkan dengan tembaga. Kawat Ag terlebih dahulu dielektrolisis dengan larutan KCl 0.1 M pada potensial 3 V hingga terlapisi dengan Cl-. Tabung gelas disiapkan dan diberi membran pada salah satu ujungnya. Kawat Ag yang telah dielektrolisis dimasukkan ke dalam tabung gelas berisi larutan KCl 3 M, kemudian dicirikan dengan voltammetri siklik menggunakan larutan K3Fe(CN)6 1 mM. Pengaruh Komposisi Nanomagnetit Modifikasi elektrode pasta karbon dilakukan dengan mencampurkan nanomagnetit dengan komposisi 5% (M5), 10% (M10), dan 15% (M15) pada pasta karbon dengan komposisi grafit dan parafin yang tetap. Percobaan voltammetri siklik dilakukan dalam elektrolit KCl 0.1 M yang mengandung 1 mM KI. Respon arus diamati pada selang potensial 0–1.2 V dengan kecepatan payaran 100 mV/s.
Pengaruh Kecepatan Payaran Hubungan kecepatan payaran dengan Ip diamati untuk mengetahui jenis mekanisme reaksi pada permukaan elektrode. Respon arus larutan KI 1 mM dalam KCl 0.1 M diamati pada selang potensial 0 – 1.2 V. Kecepatan payaran yang digunakan berkisar antara 10 mV/s sampai 160 mV/s. Pengaruh Konsentrasi iodida Kurva kalibrasi dibuat dengan memplotkan konsentrasi iodida (0–1 mM) dengan Ip. Pengujian voltammetri siklik dilakukan menggunakan EPK termodifikasi nanomagnetit dengan kecepatan payaran 100 mV/s. Linearitas kurva ditentukan sebagai parameter analisis kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Nanomagnetit Sintesis nanomagnetit dilakukan melalui proses hidrotermal dari larutan FeCl3·6H2O, natrium sitrat, dan urea. Hasil sintesis berupa sebuk hitam (0.15 g) yang dapat ditarik dengan batang magnet (Gambar 3). Hasil analisis AAS terhadap kandungan Fe dalam produk samping sintesis menunjukkan bahwa sebanyak 99.99% Fe berubah menjadi produk (Lampiran 1).
(a) Gambar 3
(b) (c) Koloid hasil sintesis (a), produk tertarik oleh magnet (b), dan serbuk hitam hasil sintesis (c).
Keberhasilan sintesis dapat dilihat dari hasil pencirian menggunakan teknik difraksi sinar-X (Gambar 4). Pola difraksi sinar-X menunjukkan puncak-puncak pada sudut yang sesuai dengan standar magnetit (JCPDS No. 19-0629) (Lampiran 2). Difraktogram juga menunjukkan puncak-puncak yang memiliki susunan intensitas yang sesuai dengan standar. Hal ini menandakan bahwa hanya terdapat Fe3O4 dalam hasil sintesis tanpa adanya kristal lain.
4
(a)
Gambar 4 Difraktogram hasil sintesis (a) dan standar JCPDS No.19-0629 (b). Tabel 1 Pola nilai hkl magnetit 2θ
hkl
h2 + k2 + l2
18.3780 30.1688 35.5415 43.1687 53.5942 57.0564 62.6597
111 220 311 400 422 511 440
3 8 11 16 24 27 32
Penentuan pola nilai h2 + k2 + l2 ditunjukkan dalam Lampiran 3. Berdasarkan pola nilai h2 + k2 + l2 pada Tabel 1, hasil sintesis adalah kristal kubus terpusat muka (Guan et al. 2009). Ukuran kristal rata-rata adalah 46.66 nm. Ukuran ini ditentukan dari setengah lebar garis difraksi menggunakan persamaan Scherrer (Lampiran 4). Citraan SEM memperlihatkan morfologi permukaan partikel magnetit. Pada perbesaran 50 000 kali, terlihat bahwa partikel-partikel magnetit berkumpul membentuk bulatan (Gambar 5a). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya gaya magnet yang membuat partikelpartikel tersebut saling tarik-menarik dan bersatu membentuk bulatan (Zhao dan Asuha 2010). Pada perbesaran 30 000 kali, terlihat partikel magnetit berukuran rata-rata 68 nm (Gambar 5b).
(b) Gambar 5 Citraan SEM nanomagnetit hasil sintesis perbesaran 30 000 kali (a) dan 50 000 kali (b). Analisis EDS menunjukkan bahwa partikel yang dihasilkan mengandung besi dan oksigen sebagai penyusun utama magnetit dengan komposisi sebesar 29.45% dan 53.07%. Unsur lain yang terdapat pada partikel berasal dari reagen yang digunakan. Unsur-unsur tersebut diantaranya karbon (14.86%) yang berasal dari sitrat dan urea, dan natrium (2.62%) yang berasal dari natrium sitrat. Berdasarkan hasil pencirian menggunakan teknik AAS, XRD, dan SEM-EDS, nanomagnetit berhasil disintesis. Selain itu, magnetit merupakan kristal utama yang dihasilkan tanpa adanya kristal lain. Keberhasilan pembentukkan nanomagnetit diduga mengikuti mekanisme sebagai berikut: FeCl3 Æ Fe3+ + 3Cl- .................................. (1) Fe3+ + e- Natrium sitrat Fe2+ .......................... (2) CO(NH2)2 + H2O Æ 2NH3 + CO2 ............. (3) NH3 + H2O Æ NH4+ + OH- ....................... (4) Fe3+ + 3OH- Æ Fe(OH)3 ........................... (5) Fe2+ + 2OH- Æ Fe(OH)2 ........................... (6) Fe(OH)2 + 2Fe(OH)3 Æ Fe3O4 + 4H2O...... (7)
5
Kompleks FeCl3·6H2O berperan sebagai sumber besi yang hanya menyediakan besi dalam bentuk Fe3+, sedangkan magnetit tersusun atas Fe3+ dan Fe2+. Oleh karena itu ditambahkan sitrat sebagai pereduksi untuk membentuk Fe2+. Sitrat berperan penting dalam pembentukkan kristal Fe3O4. Tanpa adanya sitrat, hanya akan dihasilkan α-Fe2O3 (Cheng et al. 2010). Menurut Gutteridge (1991), sitrat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ diawali dengan mengionnya natrium sitrat menjadi ion sitrat. Kemudian, ion sitrat dan Fe3+ membentuk kompleks Fe(III)-sitrat. Adanya ion H+ dalam larutan mengakibatkan terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sedangkan sitrat teroksidasi. Pada saat pemanasan, urea terdekomposisi menjadi NH3 (reaksi 3) yang membuat suasana basa dalam sistem reaksi. Suasana basa ini memicu pembentukkan Fe(OH)3 dan Fe(OH)2 (reaksi 6 dan 7) yang akan berubah menjadi Fe3O4 setelah proses dehidrasi (Cheng et al. 2010) (reaksi 8).
dapat disebabkan oleh adanya arus kapasitif. Arus ini muncul akibat pergerakan ion-ion negatif menuju ke elektrode kerja, tapi tidak terlibat dalam reaksi redoks. Adanya logam pada M10 meningkatkan arus kapasitif. Hal ini terjadi karena ion-ion negatif teradsorpsi pada permukaan logam dan membentuk lapisan listrik ganda yang dapat meningkatkan arus kapasitif (Scholz 2010). Walaupun demikian, voltammogram blanko M10 tetap tidak menunjukkan adanya puncak redoks. Oleh karena itu, larutan KCl 0.1 M merupakan elektrolit blanko yang baik untuk pengukuran KI menggunakan EPK dan M10.
Pengujian Elektrode Termodifikasi Nanomagnetit Pengaruh Pemberian Nanomagnetit Larutan KCl 0.1 M digunakan sebagai elektrolit dalam pengukuran KI. Pada saat pemayaran dari potensial 0.0 V hingga 1.2 V, larutan KCl tidak memberikan respon arus puncak, baik pada EPK maupun pada EPK termodifikasi nanomagnetit 10% (M10) (Gambar 6). Hal ini berarti KCl tidak mengalami reaksi reduksi-oksidasi (redoks) pada selang potensial tersebut, karena potensial reaksi redoks Cl- ada pada 1.36 V, sedangkan K+ 2.92 V (Scholz 2010).
(a)
80
Arus ( μ A)
60
EPK M10
40 20 0 -20 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Potensial (V) Gambar 6 Arus elektrolit KCl. M10 menunjukkan arus blanko yang lebih tinggi daripada EPK tanpa modifikasi. Hal ini
(b) Gambar 7 Analisis voltammetri siklik elektrolit KCl 0.1 M menggunakan EPK ( ) dan M10 ( ), serta larutan KI 1 mM dalam KCl 0.1 M dengan EPK ( ) dan M10 ( ) (a), perbesaran voltammogram EPK (b).
6
Tabel 2 Potensial puncak redoks (V) Potensial
EPK
M10
Epa1 Epc1
0.463 0.409 0.054 0.690 -
0.447 0.404 0.043 0.850 0.549 0.301
ΔE1 Epa2 Epc2 ΔE2
Menurut Scholz (2010), berdasarkan persamaan energi bebas Gibbs, jika beda potensial antara puncak oksidasi dan reduksi lebih kecil sama dengan 54 mV, maka reaksi redoks tersebut termasuk reaksi reversibel. Dengan demikian, pasangan reaksi redoks pertama baik pada EPK maupun M10 adalah reaksi reversibel. Sementara itu, pasangan puncak kedua pada EPK adalah reaksi quasi reversibel karena puncak yang ditunjukkan landai dan jarak antara puncak reduksi dan oksidasi lebih besar dari 54 mV (Scholz 2010). Dua pasang puncak pada voltammogram muncul karena ada dua buah reaksi redoks. Diduga, pada EPK, reaksi redoks yang terjadi adalah sebagai berikut: Awal : KI Æ K+ + I- .................. (8) : 2I- Æ I2 + 2e- .................. (9) Epa1 KI berlebih : I- + I2 Æ I3- .................... (10) : 2I3- Æ 3I2 + 2e- .............. (11) Epa2 : 3I2 + 2e- Æ 2I3- ............. (12) Epc2 : I2 + 2e- Æ 2I- .................... (13) Epc1 Pada potensial awal, anion iodida (I-) dalam larutan teradsorpsi pada permukaan elektrode kerja. Selama pemberian potensial positif, I- teroksidasi menjadi iodin (I2) menghasilkan Epa1 (reaksi 10). Konsentrasi KI yang besar menyebabkan adanya I- berlebih dalam larutan. Menurut Harris (2007), I2 dalam larutan tidak stabil, sehingga
membentuk kompleks dengan I- menjadi triiodida (I3-) (reaksi 11). Ion I3- teroksidasi kembali menjadi I2 menghasilkan Epa2 (reaksi 12). Bentuk puncak oksidasi 2 yang landai diduga terjadi akibat reaksi oksidasi dilakukan bertahap karena diawali oleh pembentukkan triiodida. Selama pemberian potensial negatif, I2 tereduksi menjadi I3- menghasilkan Epc2 (reaksi 13), lalu iodida tereduksi kembali menjadi I- menghasilkan Epc1 (reaksi 14). Pada permukaan EPK termodifikasi nanomagnetit, proses pada permukaan elektrode diduga mengikuti reaksi redoks yang sama dengan EPK (reaksi 9–14). Namun, karena terdapat logam besi dengan sistem Fe2+ dan Fe3+, maka diduga terjadi reaksi tambahan karena proses elektrokatalisis sebagai berikut: Epa1 : 2I- + 2Fe3+ Æ I2 + 2Fe2+ .......... (14) Epa2 : 2I3- + 2Fe3+ Æ 3I2 + 2Fe2+ ....... (15) Epc1 : I2 + 2Fe2+ Æ 2I- + 2Fe3+ .......... (16) Epc2 : 3I2 + 2Fe2+ Æ 2I3- + 2Fe3+ ....... (17) Menurut Scholz (2010), pada permukaan elektrode logam, dapat terjadi proses elektrokatalisis. Pada proses ini, logam yang terkandung dalam elektrode bersifat sebagai katalis sehingga meningkatkan kecepatan reaksi. Menurut Fernandas (2007), proses elektrokatalisis melibatkan transfer elektron oleh logam. Elektron yang mengalir dalam proses transfer elektron dapat terlibat dalam reaksi redoks analat pada permukaan elektrode. Dengan demikian, reaksi redoks semakin termediasi, sehingga nanomagnetit mampu meningkatkan intensitas arus puncak. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak komposisi nanomagnetit, semakin tinggi arus puncak yang dihasilkan (Gambar 8). Pasta karbon (PK) PK + magnetit 5% PK + magnetit 10% PK + magnetit 15%
120 80
Arus (μA)
Penambahan KI 1 mM dalam larutan KCl 0.1 M memunculkan dua pasang puncak oksidasi atau anodik (Epa) dan reduksi atau katodik (Epc) (Gambar 7). Potensial puncak ditunjukkan pada Tabel 2. Pada EPK, puncak oksidasi 2 tidak jelas terlihat, karena puncak arus yang ditunjukkan terlalu kecil (Gambar 7b). Beda potensial pasangan puncak redoks 1 pada EPK adalah sebesar 54 mV, sedangkan pada M10 lebih kecil, yaitu 43 mV. Pasangan puncak redoks kedua pada M10 memiliki beda potensial yang lebih tinggi yaitu 301 mV.
40 0 -40 -80 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Potensial (V)
(a) Gambar 8 Voltammogram siklik KI 1 mM dalam KCl 0.1 M pada berbagai komposisi nanomagnetit.
7
Puncak yang lancip pada reaksi redoks 1 lebih sesuai untuk digunakan sebagai sinyal pengukuran, karena puncak arus dapat dilihat dengan lebih jelas. Di samping itu, elektrode M10 menunjukkan pola voltammogram paling baik. Oleh karena itu, pengamatan pengaruh parameter penentuan iodida lainnya dilakukan pada pasangan redoks 1 menggunakan elektrode M10.
Arus Puncak (μA)
30
Oksidasi Reduksi
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
Komposisi Magnetit (%)
Gambar 9 Hubungan intensitas arus puncak dengan komposisi nanomagnetit. Hubungan antara Ip redoks 1 dengan komposisi nanomagnetit adalah linear (Gambar 9), mengikuti persamaan: Ipa = 2×106 m + 3.10-6 Ipc = 2×106 m + 5.10-6
R2 = 0.969 R² = 0.981
dengan Ipa (A) adalah intensitas puncak anodik atau oksidasi, Ipc (A) adalah intensitas puncak katodik atau reduksi, dan m (%) adalah komposisi nanomagnetit. Di sisi lain, pasangan puncak redoks 2 menunjukkan hubungan yang tidak linear antara intensitas arus puncak dan komposisi nanomagnetit (Gambar 8). Intensitas arus puncak meningkat dari komposisi nanomagnetit 0, 5, hingga 10%, lalu menurun pada komposisi 15%. Hal ini diduga terjadi karena pada komposisi 5%, molekul I2 yang terbentuk pada oksidasi 1 masih sedikit, sehingga molekul I3- yang terbentuk dari proses pengkompleksan juga sedikit, maka tidak banyak I3- yang teroksidasi. Ketika komposisi nanomagnetit meningkat menjadi 10%, proses elektrokatalisis dan luas permukaan semakin meningkat, sehingga semakin banyak I2 yang terbentuk dari proses oksidasi 1. Hal ini menyebabkan pembentukkan I3- semakin banyak dan reaksi oksidasi I3- menjadi I2 semakin meningkat. Penurunan intensitas terjadi pada komposisi nanomagnetit 15%. Hal ini diduga karena I2 yang terbentuk pada oksidasi 1 lebih banyak dibandingkan dengan I- yang tersisa, sehingga pembentukkan I3- sedikit. Hal ini menyebabkan hanya sedikit I3- yang teroksidasi menjadi I2 pada oksidasi 2. Berdasarkan data ini, komposisi nanomagnetit 10% menunjukkan pola voltammogram yang paling baik.
Pengaruh Kecepatan Payaran Kecepatan payaran dapat mempengaruhi tinggi arus puncak yang dihasilkan, baik puncak oksidasi maupun reduksi (Gambar 10). Hubungan antara kecepatan payaran dan tinggi arus puncak adalah linear mengikuti persamaan: Ipa = 2.891v1/2 + 0.509 Ipc = 1.114v1/2 + 11.87
(R² = 0.987) (R² = 0.970)
dengan Ipa (μA) adalah anodik atau oksidasi, intensitas puncak katodik v1/2 (mV/s)1/2 adalah akar payaran.
intensitas puncak Ipc (μA) adalah atau reduksi, dan kuadrat kecepatan
200 150
A rus ( μ A )
35
100 10 mV/s 20 mV/s 40 mV/s 50 mV/s 80 mV/s 100 mV/s 125 mV/s 160 mV/s
50 0 -50 -100 -150 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Potensial (V)
(a)
Ip (μA) 40
Oksidasi Reduksi
35 30 25 20 15 10 5 2
4
6
8
v1/2
10
12
14
(b) Gambar 10 Voltammogram KI 1 mM dalam KCl 0.1 mM pada beberapa kecepatan payaran (v) (a), dan kurva hubungan v1/2 dengan arus puncak reaksi redoks (b).