2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Komitmen
Pemerintah
Indonesia
terhadap
lingkungan
khususnya
lingkungan perairan laut, diindikasikan dengan terbitnya berbagai aturan dan kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya tkan khususnya mandate pasat 1 ayat 1 bahwa konservasi sumberdaya ikan mempakan upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memeliara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Sehingga pernerintah sudah mewajibkan bagi seluruh stakeholders untuk melakukan upayaupaya pemanfaatan yang berkelanjutan baik untuk pemanfaatan ekosistem seperti pengelolaan kawasan konservasi maupun pemanfaatan jenislgenetik seperti penangkaran dan lain sebagainya. Dalam PP No 60 Tahun 2007 juga dinyatakan bahwa sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan, sedangkan potensi jenis ikan yang dimaksud PP tersebut adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki peran sangat penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan instrinsik yang tidak terhingga seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia saat kini maupun saat mendatang. Sementara Dermawan (2007) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut m e ~ p a k a n wilayah yang terpilih sebagai penvakilan berbagai tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai penyeimbang ekosistem dengan kata lain terjaminnya proses-proses ekologis sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kehidupan manusia. Kontribusi dan manfaat keberadaan kawasan k o n s e ~ a s ilaut antara lain dapat menunjang kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan dan penelitian, biologi dan jaminan masa depan (Dermawan 2007).
Defrnisi kawasan konsewasi laut (Marine Pmtected Area-MF'A) yang dihasilkan kongres dunia tentang kawasan lindung ke-4 (World Wilderness
Congress) dan diadopsi oleh IUCN pada tahun 1988, adalah : daerah intertidal atau subtidal termasuk flora dan fauna, sejarah dan keragaman budaya yang dilindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perundangan (Gubbay 1995 yang diacu dalam PT Norma Widya Karsa 2003). Definisi MPA menurut
fiecutive Order 13158 dalam laporan-PT Norma Widya Karsa tahun 2003, bahwa MPA adalah "any area of the marine environment that has been reserved by federal, state, territorial, tribal or local laws or regulations to provide lasting protection for part or all of the natural and cultural resources therein" Berbagai bentuk, ukuran dan kamkteristik serta pengelolaan sebuah kawasan k o n s e ~ a s laut i (MPA), ha1 ini sangat tergantung dari tujuannya, seperti halnya di Amerika telah dikembangkan berbagai jenis MPA, seperti : national marine
sanctuaries, fishery management zones, national seashores, national park national moments, critical habitats, national wildlge refuges, national estuarine research reserves, state conservation areas, state reserves, ha1 ini untuk kepentingan tujuan konsewasi seperti konsewasi kawasan (Marine Managed
Area-MMA), konsewasi jenis antara lain konsewasi migratory species. MPA seluas 18.850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir pertama kali diperkenalkan pa& tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National
Monument di Florida, dan menjadi perhatian khusus pada The World Congress on National Park tahun 1962 karena konsep konsewasi yang memadukan wilayah laut, pesisir dan perairan tawar didaratan. Dukungan Internasional semakin berkembang dalam mempromosikan MF'A, ha1 ini munculnya dukungan berbagai LSM seperti WWF Internasional menyatakan bahwa pengelolaan konsewasi laut menjadi sarana penting karena mampu menjamin pemulihan kesehatan ekosistem laut yang berimplikasi terhadap kesuburan wilayah perikanan. Konsep pengembangan MPA menjadi popular karena di lokasi MPA dilakukan konsewasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati
laut secara
berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim global
(global climate change), terutama sebagai kontrol pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Empat program pengembangan MPA (Dermawan 2007), yaitu : (1) Conservution of biodiversify
-
MPAs dapat melindungi dan memperbaiki
keanekaragaman hayati lalut melalui implementasi perencanaan pengelolaan berbasis ekologi, yakni melalui prioritas daerah untuk konservasi laut, k o n s e ~ a s i habitat dan konsewasi jenis serta penyusunan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan (2) Sustainable Fisheries - MPAs menunjukan cara yang efektif &lam upaya
perlindungan terhadap collaps-nya perikanan, salah satunya dengan peningkatan rekruihnenl restocking ikan di wilayah kritis. Penerapan ini sangat sesuai di Asia Tenggara k a n a kondisi perikanannya yang multispecies dan multi-gem
( 3 ) Sustainable Tourism - MPAs dapat memajukan tourism melalui pelibatan
seluruh stakeholders dalam pengelolaan MPA untuk melindungi, memelihara dm memperbaiki ekosistem laut karena fenomenanya menjadi asset andalan
pariwisata bahari. (4) Integrated Coastal Management
- MPAs dapat
memberikan percontohan
pengelolaan pesisir terpadu yang melibatkan berbagai stakeholders secara partisiptic sehingga terhindar dari "buildingblocks" Keseriusan Pemerintah Indonesia &lam penanganan konsewasi perairan, terutama perairan laut, diindikasikan dengan keluamya aturan-aturan diantaranya Undang-undang No 3 1 tahun 2004 tentang Perikanan, yang memandatkan bahwa konservasi sumberdaya ikan perlu diterapkan sebagai upaya perlindungan, pelestaria, dun pemanfmtan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dun genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, t,n kesinambungan dengan tetap memeliharadan meningkatkan kunlitas nilai dun keanekaragaman sumberwa ikan ( p a d 1 angka 8 UU No 31 Tahun 2004), dan petunjuk
operasional yang lebih detail dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang didalamnya memandatkan (pasal I angka 8) bahwa Kawasan Konsewasi Perairan yang termasuk Kawasan konservasi laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi,
diielola dengan sitem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan Pendelegasian kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut ke daerah juga diperbesar peluangnya, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, temtama pada pasal 18 dijelaskan salah satu kewenangan ~i daerah di wilayah laut Bdalah eksplorasi, eksploitasi dan k o n s e ~ a sumberdaya alam di wilayahnya, sehingga sekarang dikenal dengan Kawasan k o n s e ~ a s laut i Daerah yang mencirikan bahwa inisiasi pengelolaan diawali dari daerah, namun pengaturan pengelolaan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang ada. Pengelolaan kawasan konservasi juga diatur di Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana regim pengelolaannya meliputi pesisir pantai sampai kearah laut dan pulau-pulau kecil, sementara pengaturan detail perencanaan pengelolaannya telah diatur di PERMEN KP No PER. 16/MEN/2008. Zona di kawasan konsewasi laut sebagaimana pasal 17 ayat 4 PP No 60 Tahun 2007, terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan serta Zona Lainnya Zona di Kawasan konservasi laut mempakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui pendekatan fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona inti diperuntukkan bagi: (1) Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan;
(2) Penelitian; dan (3) Pendidikan.
Zona perikanan berkelanjutan dipemntukkan bagi : (1) Perlindungan habitat dan populasi ikan;
(2) Penangkapan ikan dengan alat dan cam yang ramah lingkungan; (3) Budidaya ramah lingkungan; (4) Pariwisata dan rekreasi; (5) Penelitian dan pengembangan; dan
(6) Pendidikan.
Zona Pemanfaatan dipemtukkan bagi:
(1) Perlindungan habitat dan populasi ikm, (2) Pariwisata dan rekreasi; (3) Penelitian dan pengembangan; dan (4) Pendidikan.
Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona perlindungan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi. Di zona perikanan berkelanjutan diutamakan peruntukannya untuk kegiatan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Penentuan wilayah perikanan budidaya maupun daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan pendekatan analisa citra dan survey secara terpadu. 2 3 Kawasan Konservasi Laut Berau
Kabupaten Berau yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur m e ~ p a k a n salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah pesisir dan laut Kabupaten ini terdapat terumbu k
g yang luas dengan kondisi cukup baik. Keragaman
terumbu karang Berau tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat Papua dan yang ketiga di dunia Hutan mangrove di Kabupaten Berau banyak ditemukan di Delta Berau dan di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti p e n s paus, lumba-lumba, duyung dan beberapa spesies laimya. Keanekaragaman yang tinggi di Kabupaten Berau ini, menjadikan hampir seluruh wilayah Berau dijadikan Kawasan Konservasi Laut Berau melalui Peraturan Bupati berau No 3 1 tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa jenis-jenis biota perairan yang dilindungi pemerintah adalah :
Reptilia ( 1 ) Penyu tempayan (Caretta caretta) (2) Penyu hijau (Chelonia mydas) (3) Penyu belimbing (Dermochelyscoriacea) (4) Penyu sisik (Eretmochelysimbricata)
(5) Penyu ridel (Lepidochelysolivaceae)
(6) Penyu pipih (Natator depresa) Mamalia ( 1 ) Paus biru (Balaenoptera musculus) (2) Paus bersirip ( B a ~ a e m p t e r a p ~ s a l w ) (3) Paus bongkok (Megaptera novaeangliae) (4) Paus lemak (Cetacea/semuajenis familia cetacea)
(5) Lumba-lumba air laut (Dolphinidae/semuajenis famila Dolphinidae)
(6) Duyung (Dugong dugon) (7) Lumba-lumba air laut (Ziphiidael semua jenis familia Ziphiidae)
Pisces Coelacanth (Latimeria chalumnae) Anthozoa Akar bahar, koral hitam (Anthiparesspp/genus Anfhipates) Molusca (1) Kima raksasa (Tridocnagigas) (2) Kima kecil (Tridacna mmima) (3) Kima sisiWseruling (Tridacnasquamosa) (4) Kima selatan (Tridacna derata) (5) Kima kuniaubang (Tridocna crocea) (6) Kima pasir (Hippopus hippopus)
(7) Kima cina (Hippopusporcellamus) (8) Kepala kambing (Cussis cornuta)
(9) Triton terompet (Charoniafritonis) (10) Nautilus berongga (Nautiluspompillus)
( I 1) Troka, susu bundar (Trochus niloticus)
(12) Batu laga/siput hijau (Turbo Marmoratus)
Crustacea 1. Ketam kelapa (Birgus lafro) 2. Ketam tapak kuda (Tachipleus gigas) Peraimn Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia, juga fenomena alam bawah aimya juga berpeluang dijadikannya pariwisata bahari yang bertaraf intemasional. Pennasalahan di kawasan pesisir dan laut merupakan
ancaman bagi
kelangsungan KKL Berau. Pennasalahan-pennasalahan tersebut antara lain perusakan t e m b u karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya (Wiryawan el at. 2005). Kabupaten Berau terdiri dari I3 Kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung Tabw, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar, Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih d m Biduk-Biduk. Dari 13 Kecamatan tersebut, delapan kecamatan merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan, Biatan-Lempake, Tabalar, Maratua, Derawan dan Sambaliung. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan Lempake merupakan Kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005. Di satu sisi Berau mempunyai potensi keanekaragaman hayati pesisir dan laut, namun di sisi lain permasalahan degradasi pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil di perairan Berau semakin mengkhawatirkan, oleh karenanya pengelolaan kawasan konse~asilaut Berau perlu segera diprioritaskan untuk ditangani secara serius sehingga sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah benvenang untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri, Pemerintah Pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mendorong Pemerintah Daerah untuk mengembangkan KKL di Berau. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Berau terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir d m laut diwujudkan dengan penunjukan Kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau) melalui Perahlran Bupati Berau tahun 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang diukw dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar dalam wilayah Kabupaten Berau. Luas KKL Berau sebesar 1.222.988. ha. Secara umum tujuan pembentukan KKL Berau adalah untuk melindungi keanekaragaman laut,
serta menjamin pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata bahari berkelanjutan di Kabupaten Berau (Wiryawan et al. 2005). Pembentukan KKL Berau diharapkan dapat menjadi model dalam mendesain pokok-pokok pengelolaan konsewasi laut yang berskala daerah, dan atau regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi otonomi. Untuk menghindari berbagai pernasalahan yang berkembang dalam pengelolaan KKL, baik konflik vertikal (tumpang tindih pemndang-undangan) maupun horizontal (masalah pemanfaatan dan pengel~laansumberdaya), maka dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan yang telah berjalan, perencanan dan desain pengelolan yang baik, kelembagaan yang &pat bejalan sesuai dengan kebutuhan, serta sistem pendanaan yang mandiri. Menurut Wiryawan et al. (2005) untuk memudahkan pengelolaan, KKL Berau diusulkan menjadi 3 kawasan pengelolaan, yaitu bagian utara, tengah dan selatan. Kawasan pengelolaan bagian utara meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Kawasan pengelolaan bagian tengah meliputi wilayah laut dan hutan mangrove Kecamatan Tabalar, Biatan Lempake dan Talisayan. Kawasan pengelolaan bagian selatan meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih dan Bidukbiduk.
2.3 Usaha Perikanan Taogkap Usaha perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut,
menyimpan,
mendinginkan,
mengolah,
dan
mengawetkan
(Alhidayat 2002). Kesteven (1973) mengklasifikasikan usaha perikanan tangkap ke dalam tiga kelompok, yaitu perikanan subsisten, artisanal dan industri. Perikanan tangkap jenis artisanal dan industri termasuk jenis perikanan yang bersifat komersil. Pengklasifikasian ini didasarkan pada teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan serta kuantitas dan pemasam hasil tangkapan.
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha pembahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan
dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebii baik. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap:
(1) Meningkatkan kesejahteraan nelayan; (2) Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani; (3) Mendapatkanjenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor;
(4) Menciptakan lapangan keja;
(5) Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan. Usaha pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan iptek, akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga hams mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991). 2.4 Perikanan TangkPp Berkelanjutan
Pengelolaan berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yakni dengan cam menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung sumberdaya alam. Perairan laut bersifat milik bersama, sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumberdaya hayati yang ada didalamnya.
Perikanan tangkap mempakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan m e ~ p a k a nsuatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Hamdan 2007). Menurut Charles (1994), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan yaitu (1) Sistem alami (ikan ekosistem, dan lingkungan biofisik); (2) Sistem manusia (nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosiaUekonomi/budaya); dan (3) Sistem manajemen perikanan (perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan). Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak
langsung
terhadap
keberlanjutan
ketersediaan
sumberdaya,
mempercepat proses kemsakan sumberdaya ikan dan menurunnya permmbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan. Kegiatan perikanan tangkap di kawasan konse~asidipengamhi beberapa aspek, yakni, (1) aspek biologi, yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis ikan, (2) aspek teknis, yang berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di atas kapal, fasilitas pendaratan, fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, yang berhubungan dengan kelembagaan, ketenagaan keja serta dampak usaha terhadap nelayan, (4) aspek ekonomi, yang berkaitan dengan hasil produksi clan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001 yang diacu dalam Hamdan 2007) Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources), dimana sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, namun pengelolaan yang kurang baik akan mengarah kepada eksploitasi yang tidak terkontrol dan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu
upaya yang harus dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang seimbang dengan konservasi sehingga kelestarian dapat terus tejaga (sustainable). Hal ini sejalan dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa "states and users of aquatic ecosystems should minimize waste, catch of non-target species, both fish and nonfish species, and impacts on associated or dependent species" Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries diiana pengelolaan harus melalui
kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah dimaksud, adalah :
( 1 ) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya (2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab (3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil
(4) Melindungi dan mengkonservasi keanekaragaman hayati yang terancam
punah (5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang
(6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia
(7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besarnya hasil tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, efisien dan ramah lingkungan. Penangkapan ikan yang berlebihan di suatu daemh penangkapan ikan akan mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan, menurut Azis et al. (1998) yang diacu dalam Hamdan (2007), wilayah penangkapan ikan di laut Jawa diindikasikan telah mengalami ove$shing pada berbagai jenis stok sumberdaya ikan seperti udang, ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, Beberapa ha1 yang mempengamhi tejadinya overfishing, yaitu jumpah nelayan, jumlah armada penangkapan, serta jumlah jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan menggunakan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya overfishing karena kegiatan penangkapan yang semakin tidak selektif dan
terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metoda penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap akan menyebabkan ovetf7shingjika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumberdaya dalam melakukan pemulihan (DKP2003 yang diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Gulland (1983), indiitor tejadinya overJshing ditunjukan dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya catch per unit e#oH (CPUE). Berkurang jumlah dan komposisi species ikan me~pikkansalah satu indikator penangkapan ikan yang berlebihan atau juga akibat tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya. Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya ikan yang terbatas kelimpahannya sesuai daya dukung habitatnya milik bersama dan terkenal karena milik bersama sehingga rawan terhadap over$shing (Monintja dan Yusfiandayani 2001 yang diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Boer dan Azis (1995) yang diacu dalam Hamdan (2007), Salah satu tugas pengelola sumberdaya perikanan adalah menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total AIlowable Catch (TAC). Menurut Hamdan (2007) bahwa pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan langsung seperti : (1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears), kebijakan ini semata-mata untuk melindungi sumbedaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak (desmtive) (2) Penutupan musim (closed season), kebijakan ini m e ~ p a k a n pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan yang didasari pada sumberdaya ikan yang tergantung kepada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species saja &lam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Menurut Nikijuluw (2002) yang diacu dalam Hamdan (2007), penutupan musim ada 2 macam, yakni : 1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, sehingga
memberi peluang ikan untuk melakukan pemijahan dan berkembang biak
2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan, karena sumberdaya ikan telah
mengalami degradasi yang diindikasikan hasil tangkapan ikan yang semakin sedikit, sehingga dengan penutupan ini memberikan peluangpada ikan untuk memperbaiki populasinya. (3) Penutupan area (closed area), Kebijakan ini memberikan pengertian penutupan kegiatan di daerah penangkapan ikan yang dapat bersifat permanen atau pada kurun waktu tertentu
(4) Kuota penangkapan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka pemberian hak kepada industry atau pelusahan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Kuota adalah alokasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada (5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, bentuk kebijakan ini ditujukan
untuk mempertahankan strukhrr umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut tertangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yangtertangkap Pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi sumberdaya ikan dalam periode tertentu. Oleh karena itu laju pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
boleh
melebihi
dari
ambang
pulih
(potensi
lestari). Tingkat
pemanfaatanlpenangkapan ikan di suatu daerah penangkapan ikan tidak boleh melebihi 80 % dari nilai potensi hasil tangkapan maksimum yang lestari (nuurimum sustainable yield-MSY). Menurut DKP (2003 b), konsep dasar program sistem intensif CCRF, adalah:
(1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan
(2) Pengembangan organisasi, manajemen dan kelembagaan
(3) Pengembangan teknologi alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan (4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan
lingkungan
(5) Peningkatan mutu hasil perikanan
(6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktivitas penangkapan ikan (7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir
Menurut Arimoto (1999) yang diacu dalam Hamdan (2007) bahwa teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa kemsakan dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, kontribusi terhadap polusi, menurunnya keanekaragaman hayati (biodiversity), tertangkapnya ikan-ikan muda, melimpahnya hasil tangkapan sampingan (by-catch). Monintja (2000) menjelaskan bahwa w
a teknis alat
tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi criteria : (1) mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a habitat k temmbu karang, (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operatorlnelayan,
(5) rendahnya hasil tangkapan sampinganlby-catch, (6) dampak terhadap biodiversity kecil, (7) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, (8) hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan/ total allowable catchTAC, (9) alat tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara
hukum alat tangkap tersebut legal, (I I) jumlah investasi kecil, (12) hasil produksi baik dengan harga yang kompetitif Sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya bahwa di kawasan konservasi laut selain menyediakan wilayah untuk zona inti, juga menyediakan wilayah untuk perikanan tangkap berkelanjutan. Daerah penangkapan ikan @hing ground) adalah suatu wilayah dimana ikan-ikan biasa berkumpul dan m e ~ p a k a ntarget para nelayan untuk menangkap ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan serta jumlah ikan target yang akan ditangkap dianggap masih menguntungkan secara ekonomi. Keberadaan fishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, salinitas, upwelling dan s Selain itu jenis substrat dari adanya pertemuan arus panas dengan a ~ dingin.
dasar perairan akan mempengamhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi antara lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu.
Suhu adalah suatu besaran fsika yang menyatakan banyaknya aliran panas yang terkandung &lam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan, sangat tergantung pada jumlah panas yang diterima dari sinar matahari. Dengan demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah khatulistiwa (Hutagalung 1988). Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan laimya (Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005). Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005 selanjutnya menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan
mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan;
penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan;
masa inkubasi dan
penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Lapisan perairan di permukaan laut tropis umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia umumnya mempunyai kisaran suhu sekitar 28 - 3 1 OC pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu dimana sering terjadi up welling, keadaan suhunya dapat menjadi lebih rendah (sekitar 25 OC) yang
disebabkan oleh massa air dingin dari bawah yang berasal dari bagian yang lebih dalam terangkat ke atas (Wyrtki 1961 yang diacu &lam Syahdan 2005). Cakalang m e ~ p & a n salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji 1993; Mam and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan 2005). Informasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh secara in silu. atau melalui citra satelit. Gunarso (1985) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa pada suatu daerah penangkapan cakalang suhu permukaan yang disukai oleh jenis ikan tersebut biasanya berkisar 16-26 OC, walaupun untuk Indonesia suhu optimum itu adalah 28-29 OC. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya pada waktu makan (Tampubolon 1990 yang diacu dalam Syahdan 2005).
Nontji (1993) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa up welling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; ha1 ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh.
2.5 Pemanfaatan Tekoologi Penginderaan Jaub dan Sistem Informasi
Geografis 2.5.1
Penginderaan jaub (INDRAJA) satelit National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) mempakan program
penginderaanjauh satelit untuk lingkaran kelautan yang dimulai sejak tahun 1960an oleh negara Amerika Serikat yang pads awalnya bernama program television infared obseravtion satelitre (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan V i a satelit dengan seri NOAA-12,14, 15,16 dan 17. Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833
km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan wama laut (ocean color).
Untuk
pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran panjang gelombang 3-14 pm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenornena laut seperti upwelling, &nt
dan pola arus
permukaan yang mempakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur ham atau subur. Perairan subur mempakan tempat kecenderungan dari migrasi sumber daya ikan, yang dapat juga dikatakan sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kana1 i n h merah jauh, sebagai contoh SP diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun MODIS-AQUA (Kushardono 2003)
Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola massa air yang berbeda dan bewariasi antara musim yang satu dengan yang lainnya.
Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat seperti: Selat Makassar, Selat Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebatiknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna sulai m a s s air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat, perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan tejadiiya pembahan terhadap kondisi perairan atau tingkat konsenhasi klorofil-a. Sebaran klorofil-a didalam kolom perairan sangat bergantung dengan konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan dengan kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 pm untuk warna sensor laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut, sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan citra satelit MODIS-AQUA. 2.5.2 Sitem informasi geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) digolongkan kedalam sistem spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dengan pengetahuan yang diiiliki oleh ilmuwan perikanan untuk kegiatan pengolahan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall 2006). Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu analisis informasi dan pengelolaan data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran informasi yang berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes 2006). Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan dipemntukkkan pada tiga bidang, yaitu: (1) Kegiatan penangkapan, (2) Budidaya
perairan dan (3) Kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand) sebagai dasar data masukan (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006). Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang baik sehingga retautmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan membimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelajutan dapat diwujukan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis-jenis sumber daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006). Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu: (1) Data raster dan (2) Data vektor.
Data raster menampilkan,
menempatkan dan menyimpan data spasial dengan S t ~ k t u matriks r atau pikselpiksel yang membentuk grid.
Data vektor menampilkan, menempatkan dan
menyimpan data-data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kuwa atau poligon dan atribut-atrihutnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Rahasta 2002). Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau persepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) Analisis keruangan (spatial analysis) dan (2) Pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi kebetadaan sumber daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Prahasta 2002). Informasi tersaji &lam bentuk tema (thematic layer) dengan cakupan (coverage) dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) disajikan ke
dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta 2004).
2.6 Proses Hirarki AnalitikmH.4 (Analytical Hierarchy ProcesdAHP) Marguire dan Carver (1991) yang diacu dalam Subandar (2002) telah mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung pengambilan keputusan (Birkin et a/ 1996; Maguire, 1995 Subandar 2002). Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Decision Making) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hierarchy Process/AHP) mempakan salah satu metode MCDM yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1991). dan sangat populer digunakan &lam perencanaan lahan, temtama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana [Saaty 1991). Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hiermchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Beberapa keuntungan rnenggunakan PHA sebagai alat analisis adalah (Saaty 1991): (1) PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur. (2) PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3) PHA dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. (4) PHA mencenninkan kecenderungan alami p i k i i untuk memilah-milah
elemenelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. ( 5 ) PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-ha1 yang tidak tenvujud
untuk mendapatkan prioritas.
(6) PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7) PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. (8) PHA mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. (9) PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda-beda. (I0)PHA memungkinkan orang memperhalus detinisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Proses Hirarki Analitik (PHA) pada dasamya didisain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan pennasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model pennasalahan yang tidak mempunyai sbuktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masatah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-rnasalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada
situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty 1991).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponemya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty 1991). Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hirarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki. Model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-ttjuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.