3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chaetoceros gracilis Chaetoceros sp. merupakan diatom planktonik yang hidup melayang pada perairan pelagis, yaitu wilayah perairan yang terkena sinar matahari. Diatom ini memiliki dinding sel yang terbuat dari silika. Selain itu, Chaetoceros sp. memiliki alat berupa setae yang membantunya menempel pada benda dalam suatu perairan, sehingga dapat bertahan dari arus perairan (Anonim a 2007). Chaetoceros sp. termasuk diatom yang disebut golden-brown algae karena kandungan pigmen kuningnya lebih banyak daripada pigmen hijau. Genus Chaetoceros sp. adalah genus terbesar dari kelas Bacillariophyceae yang hidup diperairan dingin sampai perairan panas. Chaetoceros sp. termasuk plankton neritik yang mempunyai setae dan digunakan untuk membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee 1989). Diatom sentrik dan penat sering dijumpai di perairan Indonesia, khususnya di Laut Jawa ditemukan sedikitnya 127 jenis diatom, yang terdiri dari 91 jenis diatom sentrik dan 36 jenis diatom penat. Diatom dapat hidup sebagai individu sel tunggal yang soliter, atau terhubung dengan sel lainnya membentuk koloni seperti rantai, dengan rangkaian antar selnya bervariasi menurut jenis. Dua sel yang berdampingan pada Chaetoceros sp. berhubungan hanya pada salah satu ujungnya (Nontji 2006). Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu 40 °C, organisme ini masih dapat bertahan hidup akan tetapi tidak berkembang. Chaetoceros sp. akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 25 °C sampai 30 °C, dengan toleransi terhadap kisaran salinitas adalah 6 -50 permil. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 17 -25 permil. Chaetoceros sp. berbentuk bulat dengan diameter 4 -6 mikron dan ada yang berbentuk segiempat dengan ukuran 8 -12 x 7-18 mikron. Karotenoid dan diatomin merupakan pigmen yang dominan (Is nansetyo & Kurniastuty 1995). Genus Chaetoceros sp. memiliki beberapa jenis diantaranya Chaetoceros gracilis.
4
Chaetoceros gracilis termasuk kedalam mikroalga jenis diatom. Klasifikasi Chaetoceros gracilis (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chrysophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Ordo
: Centricae
Subordo
: Biddulphioideae
Famili
: Chaetoceraceae
Genus
: Chaetoceros
Spesies
: Chaetoceros gracilis
Chaetoceros gracilis merupakan spesies Chaetoceros yang berbentuk sel tunggal, tidak berantai, dan bercangka ng cembung. Setae mula-mula muncul pada sudut-sudutnya, membentuk kurva, dan kemudian menjadi paralel berikutnya . Chaetoceros gracilis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Chaetoceros gracilis (Anonimc 2010) Chaetoceros gracilis termasuk spesies sentrik dari diatom yang nonmotil, bercangkang simetris, dan memproduksi hanya satu auksospora. Sitoplasmanya memiliki sejumlah kecil kromatofora (Schuett 1985 diacu dalam Pribadi 1998). Laju pertumbuhan mikroalga jenis Chaetoceros gracilis naik pada intensitas penyinaran 500-10.000 lux (Isnansetyo & Kurniastuty 1995).
5
2.2 Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan adalah bertambah besarnya ukuran atau bertambah banyak jumlah sel. Perkembangan sel dalam kultur mikroalga terdir i atas lima fase, yaitu fase lag (adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase penurunan laju pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975). Lamanya setiap fase pertumbuhan pada mikroalga, khususnya
jenis
Chaetoceros sp. berbeda-beda. Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan : 1. Fase lag (adaptasi) 2. Fase eksponensial (logaritmik) 3. Fase deklinasi 4. Fase stasioner 5. Fase Kematian
Gambar 2 Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur dan volume medium terbatas (Fogg 1975). Pertumbuhan Chaetoceros sp. mengalami berbagai fase seperti pertumbuhan mikroalga pada umumnya. Fase pertama adalah fase lag , yaitu fase adaptasi. Pada fase ini populasi yang baru mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum yang tidak merata dan terjadi proses a daptasi terhadap medium kultur. Fase kedua adalah fase eksponensial (logaritmik) , yaitu percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi ko mponen biokimia menjadi konstan. Fase ini ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan. Laju pertumbuhannya meningkat cepat dan selnya aktif berkembang biak (Fogg 1975). Fase berikutnya adalah fase deklinasi yang ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi (Nitrogen dan Phospat),
6
menurunnya konsentrasi CO 2 atau O2 dan kenaikan pH medium (Richmond 1986 diacu dalam Diharmi 2001). Fase stasioner merupakan fase akhir dari produksi biomasa yang menjadi konstan. Laju reproduksi sama dengan laju kematian, penambahan dan pengurangan jumlah mikroalga relatif seimbang, sehingga kepadatannya tetap. Pada fase ini konsentrasi maksimum biomasa tercapai, sedangkan konsentrasi parameter lain menjadi menurun atau meningkat. Fase kematian di tandai dengan terjadinya penurunan produksi biomasa karena kematian dan sel lisis (Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001).
2.3 Reproduksi Mikroalga Jenis Diatom Reproduksi diatom dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual (vegetatif) adalah cara reproduksi yang paling umum. Reproduksi aseksual terjadi dengan pembelahan sitoplasma dalam frustul dimana epiteka induk akan menghasilkan hipoteka yang baru, sedangkan hipoteka yang lama akan menjadi epiteka yang menghasilkan hipoteka yang baru pula pada anakannya dan begitu seterusnya. Suksesi reproduksi aseksual ini akan menghasilkan ukuran sel yang semakin kecil. Apabila ukurannya mencapai minimum yang selanjtunya akan dikompensasi dengan tumbuhnya auksospora berukuran besar yang ak an membelah dan menghasilkan sel baru yang kembali berukuran besar (Nontji 2006).
2.4 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga dalam suatu kultur d ipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor fisik dan faktor kimia, diantaranya kandungan unsur hara, intensitas cahaya, suhu, pH, dan salinitas. 2.4.1 Unsur hara Mikroalga membutuhkan berbagai unsur pertumbuhannya, baik unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro ( macro nutrient) diperlukan mikroalga dalam jumlah besar, diantaranya nitrogen (N), fosf or (P), silikon (Si), karbon (C), hidrogen (H), kalium (K), magnesium (Mg), dan sulfur (S) (Nontji 2006). Unsur N, P, dan S berfungsi untuk pembentukan protein. Nitrogen yang
7
dibutuhkan untuk media kultur dapat d iperoleh dari substansi berikut : KNO 3, NaNO3, NH4Cl, (NH2)2CO (urea), dan lain-lain (BBLL 2002). Unsur fosfor sangat dibutuhkan dalam p roses protoplasma dan inti sel. Fosfor merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Fosfor juga dibutuhkan untuk pembentukan pospolipida dan nukleoprotien. Fosfor untuk media kultur dapat diperoleh dari KH2PO4, NaHPO4, Ca3PO4 (TSP). Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan sebagai kofaktor untuk beberapa koenzim. Pembentukan klorofil dan seb agai komponen esensialnya dipengaruhi oleh unsur besi (Fe), magnesium (Mg), dan nitrogen (N). Unsur Si dan Ca adalah bahan untuk pembentukan dinding sel atau cangkang. Silika merupakan salah satu unsur nutrien yang sangat penting, khususnya untuk alga jenis diatom. Dinding sel diatom yang melindungi unit-unit struktural di dalam sel tersusun atas polimer -polimer silika (Reynolds 1984). Unsur kalsium juga berperan dalam penyelarasan dan pengaturan aktivitas protoplasma dan kandungan pH di dalam sel. Vitamin B12 digunakan untuk memacu pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo & Kurniastuty 1995). Unsur hara mikro (micro nutrient) adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah sedikit, akan tetapi peranannya sangat penting dalam pertumbuhan kultur mikroalga. Beberapa unsur hara mikro yang digunakan dalam kultur mikroalga adalah trace element, besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), boron (B), molibdenum (Mo), vanadium (V), dan kobalt (Co) . Mn dan Zn diperlukan untuk fotosintesis, unsur Mo, Bo, dan Co untuk metabolisme nutrien, serta unsur Mn, B, Cu untuk fungsi metabolik lainnya (Nontji 2006). Trace element memiliki peranan dalam kultur mikroalga diantaranya mempengaruhi
pertumbuhan,
memiliki pengaruh positif terhadap total pertumbuhan, se rta tidak dapat digantikan oleh bahan-bahan yang lain (Becker 1994). 2.4.2 Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat dibutu hkan dalam kultur mikroalga. Cahaya merupakan faktor penting untuk pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam pros es fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan mikroalga dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten (Myers 1962 diacu dalam Fatullah 1999).
8
Cahaya matahari yang dapat ditangkap oleh klorofil fitoplankton di laut hanya radiasi dalam spektrum dengan p anjang gelombang antara 400 -720 nm, yang disebut PAR (photosynthetically active radiation ). Energi sinar matahari untuk proses fotosintesis bergantung kepada panjang gelombang, intensitas, dan waktu. Pengaruh cahaya terhadap fotosintesa juga dipengaruhi ol eh lananya penyinaran. Makin tinggi intensitas cahaya, maka pengaruh dari lamanya waktu penyinaran akan semakin besar (Heddy 1990). Spektrum sinar matahari yang memberikan hasil fotosintesis tertinggi adalah antara sinar nila dan merah dengan panjang gelombang 430-760 nm (Dwidjoseputro 1980), sedangkan pada kebanyakan alga kecepatan fotosintesa yang maksimum terdapat pada daerah sinar hijau (Heddy 1990). Lebar spektrum cahaya tampak ( visible light) hampir sama dengan panjang gelombang antara 390 -760 nm (Nontji 2006). Komposisi spektrum cahaya dapat mempengaruhi perubahan fisiologi dan biokimia suatu tanaman, dan komposisi mikroalga dapat dimodifikasi dengan menggunakan sumber cahaya yang berbeda (Dubinsky et al. 1995 diacu dalam Saavedra & Votolina 2005). Intensitas optimum untuk kultur mikroalga yaitu kisaran 2000-8000 lux. Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis naik pada intensitas penyinaran 500-10.000 lux. 2.4.3 Suhu Suhu berperan dalam menentukan laju pertumbuhan mikroalga dalam hal proses fotosintesis dan pengaruhnya juga bervariasi terhadap kondisi adaptasi fisiologis populasi alga (Soeder & Stengel 1994 diacu dalam Fatullah 1999). Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis yang berlangsung dalam suatu kultur mikroalga. Kenaikan suhu medium 10 °C dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat. Akan tetapi, suhu tinggi yang melebihi batas maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Peningkatan suhu tidak hanya meningkatkan aktivitas metabolisme, tetapi juga dapat menurunkan CO 2 terlarut. Oleh karena itu, CO2 concentrating mechanism (CCM) lebih efektif pada suhu rendah (Beardall et al. 1998). 2.4.4 Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kultur mikroalga. Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dari
9
dalam air, yang menyebabkan penurunan kandungan CO 2 terlarut di air. Penurunan ini akan meni ngkatkan pH berkaitan dengan kesetimbangan CO 2 terlarut, bikarbonat, dan ion karbonat dalam air. Peningkatan pH akan mengurangi CO2 yang dapat digunakan (Beardall et al. 1998). Derajat keasaman optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah 8 -8,5.
2.5 Bakteri Bakteri merupakan sel prokariot yang bersifat uniseluler. Se cara umum bakteri memiliki ukuran antara 0,5 -1,0 x 2,0-5,0 µm. Bakteri ada yang berbentuk elips, bola, batang (slindris), atau spiral (heliks). Struktur -struktur utama diluar dinding sel terdiri atas flagelum, pilus, dan kapsul (Pelczar & Chan 2006). Bahanbahan sitoplasma tertutup oleh dinding sel yang kaku dan membran se l. Molekul nutrien dan ion ditransfer dari lingkungan melalui membran (Ray 2004). Berdasarkan perbedaan komposisi dan struktur dinding selnya, bakteri terdiri atas bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Struktur dinding sel bakteri Gram positif memiliki tebal 15-80 nm dan berlapis tunggal. Bakteri Gram positif memiliki kandungan li pid yang relatif rendah yaitu 1-4 %, peptidoglikannya berlapis tunggal, komponen utamanya merupakan lebih dari 50 % berat kering pada beberapa sel bakteri. Bakteri Gram positif memiliki sifat lebih rentan terhadap penisilin dan lebih resisten terhadap gangguan fisik (Pelzcar & Chan 2006). Dinding sel bakteri Gram positif terdiri atas beberapa lapisan yang mengandung mucopeptide dan teichoic acids. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis 10 -15 nm, berlapis tiga, dan kandungan lipidnya tinggi (11 -22 %). Peptidoglikan ada di dalam lapisan kaku sebelah dalam, jumlahnya sedikit, merupakan sekitar 10 % berat kering. Bakteri Gram negatif kurang rentan terhadap penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan gangguan fisik (Pelczar & Chan 2006). Sel bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang kompleks yang memiliki dua lapisan membran, yaitu membran luar dan membran tengah . Membran luar terdiri atas lipopolisakarida, lipoprotein, dan fosfolipid. Molekul fosfolipid tersusun membentuk bilayer dengan bagian hidrofobik (asam lemak) mengarah kedalam sel dan bagian hidrofilik (gliserol dan fosfat) mengarah keluar.
10
Membran luar berfungsi sebagai batas trans por dan barrier antara sel dan lingkungan. Bakteri Gram negatif resisten terhadap terhadap beberapa enzim (lysozim), molekul hidrofobik , dan antibiotik (penisilin). Hal ini berkaitan dengan sifat membran luar yang salah satu fungsinya sebagai pelindung sel (Ray 2004). 2.5.1 Bacillus cereus Genus Bacillus termasuk kedalam kelompok bakteri mesofilik yang tumbuh optimal pada suhu 30 °C sampai 45 °C. Kelompok Bacillus termasuk kedalam jenis bakteri Gram positif yang membentuk spora -spora silindris atau elips. Bacillus terdiri atas beberapa spesies diantaranya Bacillus cereus, Bacillus anthracis, dan Bacillus mycoides. Kelompok Bacillus dikelompokkan kedalam grup 1A dan 1B. Bacillus cereus termasuk golongan 1A dengan ketebalan sel > 0,9 µm yang biasanya saprofit pada tanah, air, dan dapat diisolasi dari berbagai jenis makanan khususnya yang berasal dari tanaman, akan tetapi terdapat pula pada daging, ikan, dan produk susu (Lund et al. 2000). Organisme ini menyebar luas di alam dan biasanya ditemukan di bahan-bahan makanan khusunya berupa sereal seperti beras (Greenwood et al. 1995). Bacillus cereus termasuk bakteri yang menghasilkan spora yang tahan panas dan sebagian besar menghasilkan toksin. Bacillus cereus dapat tumbuh pada suhu 4 °C sampai 6 °C (Lund et al. 2000). Bacillus cereus dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Bacillus cereus (Anonim d 2010) Bacillus cereus menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Bakteri ini menghasilkan toksin jenis emetik yang menimbulkan gejala muntah-muntah. Bacillus cereus juga menghasilkan enterotoksin yang labil terhadap panas dan terbentuk di usus. Enterotoksin ini dapat menyebabkan diare
11
sama seperti radang usus yang disebabkan oleh bakteri E.coli dan Salmonella spp. (Greenwood et al. 1995). Bacillus cereus termasuk jenis bakteri yang bersifat patogen, meskipun sebagian besar jenis ini non patogen. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi dan intoksikasi. Jenis toksin yang dihasilkan digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin diargenik. Jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah diare dan meningitis (Lund et al. 2000). Bakteri ini peka terhadap antibiotik streptomisin, penisilin G, sedangkan beberapa anti biotik lain lebih resisten. 2.5.2 Vibrio harveyi Vibrio termasuk jenis bakteri mesofilik yang hidup pada kisaran suhu 15 °C sampai 40 °C. Vibrio dapat ditemukan baik di perairan air tawar maupun laut. (Lund et al. 2000). Beberapa spesies bakteri ini memer lukan NaCl untuk pertumbuhannya. Beberapa jenis bakteri ini bersifat patogen dan dapat menyebabkan kerusakan pada makanan (Ray 2004). Bakteri Vibrio terdiri atas beberapa spesies diantaranya Vibrio cholerae, Vibrio mimicus, Vibrio fluvialis, dan Vibrio harveyi. Vibrio harveyi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Vibrio harveyi (Showalter 1990) Vibrio harveyi termasuk jenis bakteri patogen dengan virulensinya menggunakan protein ekstraseluler dan bersifat fermentatif. Selnya berbentuk batang pendek, bersel tunggal, dengan ukuran panjang 1,4 sampai 5,0 µ m dan lebar 0,3 sampai 1,3 µm, bersifat motil, dan mempunyai flagella untuk bergerak. . Bakteri ini termasuk bakteri patogen non obligat, yaitu dapat hidup dan berkembang biak di dalam inang maupun be bas di luar inang. Vibrio harveyi termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel terdiri atas dua membran. Membran luar terbuat dari lipopolisakarida dan bagian dalam terbuat dari sitoplasmik. Diantara keduanya terdapat ruang kosong yang disebut peptidoglikan layer. Vibrio harveyi termasuk anaerob fakultatif.
12
Bakteri Vibrio harveyi dapat tumbuh baik pada medium dengan kadar garam 0,5% NaCl. Bakteri ini mempunyai enzim lusiferase yang dapat mengkatalisis reaksi yang memancarkan cahaya dengan menggun akan substrat senyawa aldehid yang disebut lusiferin. Vibrio harveyi dapat tumbuh dan berpendar pada medium Thiosulphate-Citrate-Bile-Salt (TCBS) (Greenwood et al. 1995).
2.6 Senyawa Antibakteri Antimikroba
adalah
senyawa
kimia
yang
dapat
membunuh
atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock & Madigan 2003). Antimikroba untuk kesehatan publik sebagai sanitizer, disinfektan, dan sterilizer dapat dibedakan berdasarkan e fektivitas zat-zat ini dalam membasmi mikroorganisme. Bakteriostat mencegah pertumbuhan bakteri dalam lingkungan. Sanitizer adalah senyawa -senyawa yang dapat membunuh sekian persen mikroorganisme dalam jangka waktu tertentu. Desinfektan membasmi atau menginaktifkan semua mikroorganisme, pertumbuhan sporanya.
namun tidak dapat menghambat
Sterilizer membasmi semua
bakteri, fungi, dan
d
mikroorganisme lain beserta sporanya (Anonim 2007). Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang bersifat bakterisida (membunuh bakteri) seperti penisilin, basitrasin, neomisin, dan senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) seperti tetrasiklin, kloramfenikol, novobiosin (Pelczar & Chan 2006). Senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : konsentrasi zat antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat mikroba (jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier & Westhoff 1988). Senyawa antibakteri yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tanaman diketahui dapat menghambat bakteri patogen maupun perusak pangan. Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman, sebagian besar merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama golongan fenolik dan terpe n dalam minyak atsiri dan alkaloid. Sebagian besar metabolit sekunder dihasilkan dari metabolit primer seperti dari asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara
13
(Herbert 1995). Beberapa senyawa antibakteri alami yang berasal dari tana man diantaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik, dan beberapa kelompok pigmen atau senyawa sejenis. Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria antara lain tidak bersifat racun, ekonomis, tid ak merubah rasa, dan aroma makanan jika digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami penurunan aktivitas selama proses dan penyimpanan, tidak menyebabkan galur resisten dan sebaiknya membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier & Westhoff 1988).
2.7 Ekstraksi Senyawa Antibakteri Ekstraksi merupakan metode pemisahan komponen-komponen tertentu antara dua atau lebih fase cairan ( Keulemans & Walraven 1965). Ekstraksi adalah proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dgn cara p emisahan satu atau lebih komponen dari bahan tersebut. Faktor -faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Pemilihan pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar 2003). Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat laru t dalam pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut terjadi secara difusi. Proses difusi merupakan perubahan secara spontan dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju konsentrasi lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini akan terus berlangsung sela ma komponen bahan padat yang dipisahkan menyebar diantara kedua fase. Proses difusi akan berakhir jika kedua fase berada dalam kesetimbangan, yaitu apabila seluruh zat sudah terlarut di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode enzimatis, metode bead milling, metode sonikasi, dan metode cell bomb. Metode sonikasi merupakan metode yang menggunakan alat sonikator dengan bunyi frekuensi tinggi ( 20 – 50 KHz). Prinsip sonikasi yaitu frekuensi tinggi dan
14
getaran yang dihasilkan akan di transfer ke sampel menimbulkan tekanan tinggi sehingga sel saling bertubrukan dan akhirnya sel akan terpecah (Anonim 2009). Metode ekstraksi tergantung polaritas senyawa yang ak an diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda -beda pada pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka pelarut tersebut semakin polar. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1 . Tabel 1 Pelarut organik dan sifat fisiknya Jenis Pelarut Heksana Dietil eter Kloroform Etil asetat Aseton Etanol Metanol
Titik didih (°C) 68 35 61 77 56 78 65 100
Titik beku (°C) -94 -116 -64 -84 -95 -117 -98 0
Konstanta dielektrik 1,8 4,3 4,8 6,0 20,7 24,3 32,6 80,2
Sumber : Nur dan Adijuwana (1989).
2.8 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba berbeda-beda, dibagi menjadi beberapa cara yaitu (Brannen & Davidson 1993): merusak dinding sel, perubahan permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat, dan menghambat enzim-enzim metabolik. a) Kerusakan dinding sel Dinding sel bakteri mengandung pep tidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin, asam N-asetilmuramat, dan suatu peptida yang terdiri atas asam amino yaitu L -alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin (Ray 2004). Bakteri Gram positif memiliki 40 lapisan peptidoglikan yang merupakan 50% dari bahan dinding sel, sedangkan bakteri Gram negatif hanya memiliki satu sampai dua lapisan peptidoglikan dan merupakan 10% dari bahan dinding sel (Pelczar & Chan 2006). Antimikroba menghambat sintesa dinding sel mikroba yaitu mengham bat pembentukan peptidoglikan yang merupakan kompon en penting dinding sel mikroba. Kerusakan dinding sel juga disebabkan oleh adanya akumulasi
15
komponen lipofilik pada dinding atau membran sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. b) Perubahan permeabilitas sel Membran sitoplasma berperan pada keutuhan sel untuk mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel, serta mengatur aliran keluar masuknya bahan bahan lain. Kerusakan membran dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan kebocoran sel dengan keluarnya materi intraseluler (Pelczar & Chan 2006). c) Penghambatan sintesis protein dan asam nukleat Sintesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam -asam amino melalui ikatan peptida. Senyawa antimikroba mampu mengh ambat sintesis protein bakteri yaitu bereaksi dengan komponen sel ribosom 50 S yang menyebabkan terjadinya sintesis protein dan terbentuknya pasangan yang tidak tepat dan mengganggu pembentukan protein. Senyawa antimikroba juga dapat menghambat sintesa asam nukleat (DNA dan RNA) dengan cara menghambat DNA girase yang berfungsi dalam penataan kromosom sel mikroba. d) Menghambat enzim-enzim metabolik Komponen antibakteri dapat menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme dan pertumbuhan sel mikroba, sehing ga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara inaktivasi enzim -enzim metaboliknya.
2.9 Fusarium oxysporum Fungi adalah mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa atau s el tunggal, bersifat eukariot, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Tubuh fungi terdiri atas benang -benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala yaitu miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang menyerap nutrien dari lingkungan dan miselium fertil untuk reproduksi (Gandjar et al. 1999). Kurva pertumbuhan fungi terdiri atas (1) fase lag, fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan enzim -enzim untuk mengurai sub strat; (2) fase akselerasi, yaitu sel-sel mulai membelah ; (3) fase eksponensial merupak an fase perbanyakan jumlah sel; (4) fase deselerasi yaitu fase saat sel -sel kurang aktif
16
membelah. (5) fase stasioner pada saat jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel mati relatif seimbang. (6) fase kematian yaitu jumlah sel yang mati atau yang tidak berkembang lebih banyak dibandingkan sel yang masih hidup (Gandjar et al. 2006). Fusarium merupakan salah satu anggota famili Tuberculariaceae ordo Moniliales yang berpote nsi menghasilkan mikotoksin pada bahan pakan maupun pangan. Fusarium bersifat saprofit namun ada juga yang bersifat parasit (Makfoeld 1993). Fusarium oxysporum merupakan salah satu jenis fungi yang menyebabkan penyakit layu pada tanaman. Fungi ini mengguna kan enzim selulase untuk menembus jaringan vaskular tumbuhan dan menyebabkan geja la layu pada tumbuhan (Zabel & Morrell 1992 diacu dalam Gandjar et al. 2006 ). Koloni Fusarium oxysporum pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mencapai diameter 3,5 - 5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium. Konidiofor dapat bercabang atau tidak dan membawa monofialid (Gan djar et al. 1999). Bagian tubuh Fusarium oxysporum terdiri atas mikrokonidia, ma krokonidia, dan khlamidospora. Mikrokonidia tidak bersepta dan ada yang memiliki septa hingga 2, terbentuk lateral pada fialid sederhana atau terdapat pada konidiofor bercabang pendek, jumlahnya banyak sekali terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk ovoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok dan berukuran (5,0-12,0) x (2,2-3,5) µm. Makrokonidia bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata. Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semibulat dengan diameter 5,0 -15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Gandjar et al. 1999).