PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh :
KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT This research examines knowledge and factors affecting the access of migrants population in squatter dwellings to free or subsidized health services from the government. Most migrants live in this squatter dwellings came from villages around Java Island. Their migrants status will be an interesting topic related to their legal community status. There is a significant relation between the community legal status and their access to free or subsidized health services from the governmnet. The ownnership of a local ID Card or KTP (Kartu Tanda Penduduk) is very important for accessing the free or subsidized health services. Only minor of the respondents own DKI Jakarta ID Card, the majority of them still hold their origin village ID Card. Some respondents hold free or subsidized health services cards from their origin villages and only can use them in their origin villages. Keywords: health services, squatter settlements, community status
RINGKASAN KHOERINI RIFKI SAPUTRI. PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI. Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI).
Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai tersebut sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap. Tetapi pekerjaan di sektor informal dengan upah rendah yang dijalani oleh migran akan mempersulit mereka memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (2) menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi, (3) menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009. Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin dalam bidang kesehatan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung. Permukiman liar yang ada di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan berada di antara bantaran rel kereta
api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri di atas tanah milik pribadi dan tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Seluruh penghuninya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal diwilayah tersebut semuanya bergerak di sektor informal seperti pengumpul barang rongsokan. Sebanyak sembilan orang responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Akan tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 21 orang responden. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga dianggap tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan. Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan. Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Tingkat pendidikan responden tidak menunjukkan bahwa adanya hubungan dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu dapat dengan mudah memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Faktor ekonomi merupakan faktor dasar yang menyebabkan responden tidak mampu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Selain itu status kependudukan juga menjadi syarat mutlak dalam memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tidak mungkin memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tetapi memiliki kartu pelayanan kesehatan, biasanya kartu tersebut terdaftar di daerah asal responden.
PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES MASYARAKAT MIGRAN DI PERMUKIMAN LIAR DI JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Oleh : KHOERINI RIFKI SAPUTRI I34051807
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Judul
: Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Nama Mahasiswa
: Khoerini Rifki Saputri
Nomor Mahasiswa
: I34051807
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGETAHUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES
MASYARAKAT
MIGRAN
DI
PERMUKIMAN
LIAR
DI
JAKARTA TERHADAP FASILITAS KESEHATAN GRATIS ATAU BERSUBSIDI (KASUS: KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
September 2009
Khoerini Rifki Saputri I34051807
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Khoerini Rifki Saputri yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan suami isteri H. Sakimo dan Hj. Ulfah Mundiastri. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Borobudur pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Negeri 03 Jagakarsa Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan SMA 49 Jakarta pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati satu tahun di TPB (Tingkat Persiapan Bersama) penulia berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Theater FPIK ”Jaring” pada tahun 2006-2007 dan UKM Photography Faperta ”Lensa” pada tahun 2007-2008, peserta Workshop Jurnalistik TV bersama AnTeve dengan Tema ”Topik Citizen Journalistik” pada tahun 2008, anggota kepanitiaan Event besar di IPB Communication and Comunity Development Expo (COMMNEX) 2008
serta tergabung sebagai
anggota Divisi Photography and Cinematography, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 20072008. Prestasi lain yang pernah diraih antara lain, Juara 1 Kompetisi Geografi antar SMU se-DKI Jakarta dan Juara 1 Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) dalam acara COMMNEX 2008.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat Migran di Permukiman Liar di Jakarta Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi (Kasus: Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menjelaskan mengenai pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah yang dimiliki migran di permukiman liar. Selain itu juga mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi akses migran tersebut dalam memanfaatkan bantuan pemerintah tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Ir. Said Rusli, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi selaku penguji dari Departemen Sains KPM yang telah bersedia mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA selaku pembimbing akademik atas masukan dan nasihatnya selama ini. 5. Bapak H. Sakimo dan Ibu Hj. Ulfah, Mas Tiar, Mbak Vivin dan Zahra tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya. 6. Seluruh responden, atas kerjasamanya yang baik selama penelitian. 7. Bapak Haidin dan keluarga, Ibu Dokter Dewi dan Bapak Mustofa yang telah membantu dalam proses penelitian di Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, terima kasih atas bantuannya. 8. Sahabatku, Ema, Puty, Nits, Taye, Hesti, Lusi, Indah, Egi, Rofian, Nchie, Tami, Riska, Achie, Yoe, Ufa, Ira, Novi, Merlin, Selvi, Sinta, Adilla, Corry, Ria, Nia, Ani, Hendri dan Edo yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doanya. 9. Teman-teman KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya. 10. Mas Gunawan, atas perhatian, semangat dan motivasinya. 11. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi selanjutnya, khususnya yang menyangkut topik serupa. Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6 1.4. Kegunaan Penelitian.................................................................................. 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ............................................................ 8 2.1. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 8 2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi Di Indonesia ..................................................................... 8 2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi Di Indonesia ....................................................................................... 11 2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya Di Daerah Perkotaan ....................................................................................... 14 2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin ........................................................... 18 2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin ............................... 20 2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ........................ 20 2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin) .............................................. 23 2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) .............................. 26 2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia....................................... 27 2.1.6.1. Registrasi Vital ........................................................................ 27 2.1.6.2. Registrasi Penduduk ................................................................ 28 2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional ................................................ 29 2.2. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 29 2.3. Hipotesis.................................................................................................... 31
ii
Halaman 2.4. Definisi Konseptual ................................................................................... 32 2.5. Definisi Operasional.................................................................................. 33
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 36 3.1. Metode Penelitian...................................................................................... 36 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 37 3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan ............................................. 38 3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 39 3.5. Teknik Analisis Data ................................................................................. 40
BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN .......................................... 43 4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah.................................................................... 43 4.2. Fasilitas Umum ......................................................................................... 45
BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN............................................. 49 5.1. Pembahasan Gambaran Umum Responden .............................................. 49 5.2. Pendidikan Terakhir Responden ............................................................... 51 5.3. Daerah Asal Responden ............................................................................ 52 5.4. Keberadaan Keluarga Responden ............................................................. 54 5.5. Pekerjaan Responden ................................................................................ 55 5.6. Pendapatan Responden.............................................................................. 56 5.7. Akses Migran Di Permukiman Liar Terhadap Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi ............................................................................... 59 5.8. Ikhtisar ...................................................................................................... 60
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 62 6.1. Pengetahuan Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Mengenai Adanya Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi .............................. 62 6.2. Keterkaitan Antara Pengetahuan Responden dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi................................ 65
iii
Halaman 6.3. Kendala Dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi Serta Keterkaitannya dengan Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi .................................. 69 6.3.1. Tingkat Pendidikan Responden ....................................................... 69 6.3.2. Pendapatan Responden .................................................................... 71 6.3.3. Faktor-faktor Lainnya ...................................................................... 74 6.4. Status Kependudukan Responden ............................................................. 78 6.5. Ikhtisar ...................................................................................................... 84
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 86 7.1. Kesimpulan ............................................................................................... 86 7.2. Saran .......................................................................................................... 88
Daftar Pustaka ................................................................................................ 89 Lampiran ........................................................................................................ 93
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006 ..................................................... 3 Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 .......... 52 Tabel 3. Jumlah Responden Menurut Daerah Asalnya, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ............................ 53 Tabel 4. Jumlah Responden Menurut Tempat Tinggal Keluraga, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 .......... 55 Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Pekerjaan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 .......................................... 55 Tabel 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ............................ 57 Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Informasi Mengenai Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ....................................................... 63 Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pengetahuan dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ...... 66 Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ........................................................................................... 70 Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan Individu Per bulan dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 .......................................................................... 73
v
Halaman Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Pengetahuan Cara Memperoleh Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ............................ 75 Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Kepemilikan KTP dan Masa Berlaku KTP, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 ........................................................................................... 78 Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Dimana KTP Terdaftar Terhadap Kepemilikan Kartu Pelayanan Kesehatan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 .......................................... 82
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Dokumentasi ................................................................................. 93 Lampiran 2 Hasil Analisis chi-square (x2) ...................................................... 94 Lampiran 3 Hasil Analisis rank spearman ...................................................... 95
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep pembangunan yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi dan konsep pembangunan yang bertujuan untuk membangun kualitas sumberdaya manusia (Sugianto, 2007). Pembangunan di Indonesia terlihat lebih mengarah pada pembangunan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan hasil pembangunan yang diharapkan dapat dirasakan oleh semua pihak tidak dapat diwujudkan. Hasil pembangunan hanya tersentralisasi pada penduduk yang berada dekat dengan pusat pemerintahan dan kota-kota besar saja. Ketimpangan pendistribusian hasil pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan merupakan salah satu bentuk permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan pembangunan (Sugianto, 2007). Menurut Sugianto (2007) hal tersebut menimbulkan kesenjangan sosial tersendiri antara penduduk yang tinggal di desa dengan penduduk yang tinggal di kota. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di desa memutuskan untuk pindah ke kota (migrasi) dengan harapan dapat menikmati hasil pembangunan sehingga kesejahteraan hidup mereka juga dapat meningkat. Setiap tahunnya jumlah penduduk yang melakukan migrasi ke DKI Jakarta mengalami peningkatan sehingga terjadi kepadatan penduduk di wilayah DKI Jakarta. Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2006 penduduk DKI Jakarta sebanyak 8,96 juta
2
jiwa dengan luas wilayahnya adalah 661,52 kilometer persegi (BPS, 2007). Berdasarkan estimasi SUSENAS tersebut berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,5 ribu per kilometer persegi. Jika dilihat dari jumlah dan laju pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil SUSENAS pada tahun 1990, 2000 dan 2006 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1990 diketahui jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 8.259.266 jiwa, tahun 2000 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 8.385.639 jiwa, tahun 2006 jumlah penduduk DKI Jakarta menjadi 8.961.680 jiwa (BPS, 2007). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan laju pertumbuhan penduduk antara tahun 1990-2000 (0,16%) dan tahun 2000-2006 (1,11%). Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk kota di negara berkembang, termasuk DKI Jakarta, telah menimbulkan banyak masalah. Gejala paling nyata dalam masalah ini adalah pertumbuhan yang tidak terkendali dari permukiman migran dan juga semakin banyaknya daerah miskin di banyak kota. Menurut Suyono (2003) saat ini tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Salah satu negara berkembang adalah Indonesia dimana jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia berjumlah 76,4 juta jiwa (Depkes, 2008). Menurut Rusli (1995) keputusan melakukan migrasi ke kota yang dilakukan oleh penduduk desa dipengaruhi oleh faktor pendorong yang berasal dari daerah asal para migran (desa) dan faktor penarik yang berasal dari tempat tujuan migrasi (kota). Faktor pendorong penduduk desa melakukan migrasi antara lain adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang terdapat di desa serta rendahnya upah yang diperoleh dianggap kurang dapat menopang biaya hidup yang semakin
3
mahal. Faktor penarik penduduk desa melakukan migrasi adalah beragamnya jenis pekerjaan yang tersedia di kota Terkadang kedatangan para migran ke kota tidak diimbangi dengan keterampilan yang mendukung dan tidak sedikit diantara mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut menjadi kendala bagi migran dalam memperoleh pekerjaan. Selain itu persaingan dalam memperoleh pekerjaan di kota juga dapat dilihat dari perbandingan jumlah penduduk pencari kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS dapat diketahui bahwa di DKI Jakarta telah terjadi ketimpangan antara jumlah pencari kerja dengan lapangan pekerjaan yang masih tersedia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Pencari Kerja dan Kesempatan Kerja Yang Terdaftar Menurut Provinsi DKI Jakarta, 2002-2006 Tahun Pencari Kerja Lapangan
Pekerjaan
2002
2003
2004
2005
2006
135.257
354.087
20.618
48.803
65.687
8.049
44.524
7.782
15.711
18.768
yang Masih Tersedia
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.
Data di atas menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang masih tersedia yang ada di DKI Jakarta belum mampu menampung jumlah pencari kerja. Oleh karena itu, banyak penduduk yang lebih memilih pekerjaan disektor informal, tidak terkecuali para migran. Para migran dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah tidak mampu bersaing dengan pencari kerja lainnya yang memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan yang lebih tinggi. Pada
4
akhirnya mereka lebih memilih menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada sektor informal dengan upah yang rendah. Meningkatnya jumlah penduduk di kota menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman juga mengalami peningkatan sedangkan jumlah lahan yang ada jumlahnya tetap (Rindarjono, 2007). Harga lahan di kota semakin hari semakin mengalami peningkatan. Tetapi dengan keadaan ekonomi yang dialami oleh migran dengan upah rendah maka akan sulit memiliki lahan untuk dijadikan permukiman. Pada akhirnya mereka memilih mendirikan gubuk dengan triplek dan seng bekas di lahan kosong yang belum terpakai seperti di bantaran kali, pinggir rel kereta api, tempat pembuangan sampah akhir bahkan di pemakaman cina atau yang biasa dikenal dengan istilah permukiman liar. Keberadaan tempat tinggal mereka di tempat tersebut tentu saja bersifat ilegal. Hal tersebut berpengaruh terhadap status kependudukan yang dimiliki oleh migran. Keberadaan mereka yang ilegal menyebabkan mereka sulit memperoleh KTP kelurahan setempat. Melihat status kependudukan yang mereka miliki, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta, maka para migran tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses fasilitas dan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang kesehatan. Manusia sebagai makhluk biologis pada saat tertentu pasti mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga kuman penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan orang yang bersangkutan menderita sakit. Jika seseorang mengalami sakit sudah selayaknya orang tersebut memeriksakan diri ke dokter
5
untuk mengetahui penyakit apa yang diderita dan apa penyebabnya. Akan tetapi, saat ini untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk yang berada di permukiman liar mengingat keadaan ekonomi mereka yang serba kurang. Pemerintah sebenarnya telah menyediakan beberapa pelayanan kesehatan bagi masyarakat menengah kebawah. Salah satunya cara yang dilakukan pemerintah antara lain menerbitkan kartu yang dapat digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis atau subsidi bagi masyarakat miskin yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Surat Keluarga Miskin (GAKIN) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Namun apakah semua masyarakat miskin yang menjadi sasaran program tersebut sudah dapat memanfaatkannya dengan baik?. Kemungkinan terlewatinya masyarakat migran di permukiman liar untuk dapat menikmati fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah menjadi lebih besar karena mereka tidak mempunyai catatan tempat tinggal yang pasti. Selain itu, masih menjadi pertanyaan sejauhmana pengetahuan masyarakat yang menjadi target program tersebut mengerti apa dan bagaiamana cara menggunakan fasilitas kesehatan tersebut. Maka dalam penelitian ini akan dicoba untuk dapat menjawab pertanyaanpertanyaan yang menjadi perumusan masalah penelitian.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa masalah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini yaitu:
6
1. Sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi? 2. Apa kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi? 3. Apakah status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman liar di Jakarta mempengaruhi akses mereka dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta mengenai adanya fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 2. Menganalisis kesulitan yang dialami masyarakat migran di permukiman liar di Jakarta dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 3. Menganalisis pengaruh status kependudukan yang dimiliki migran di permukiman
liar di Jakarta terhadap akses mereka dalam memanfaatkan
fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan yang terjadi antara keberadaan tempat tinggal migran yang bersifat ilegal dengan kemampuan mengakses pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah, khususnya bagi warga miskin. Dari segi akademis, penelitian ini
7
diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca maupun peminat studi yang dijadikan topik penulisan untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan bagi penulisan ilmiah terkait. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih memperhatikan pola pendistribusian fasilitas kesehatan yang diperuntuhkan untuk masyarakat miskin. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan kesadaraan mengenai pentingnya melakukan registrasi penduduk serta dapat meningkatkan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk fasilitas kesehatan bagi masyarakat miskin.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi di Indonesia Migrasi merupakan salah satu istilah yang biasa dipakai dalam menyatakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unitunit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari daerah asal ke tempat tujuan (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komutasi. Zelinsky (1971) dalam Rusli (1995) menyatakan bahwa, istilah circulator secara umum bermakna berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dimana punya kesamaan dalam hal tak nampak niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal yang permanen. Menurut Rusli (1995) sirkulasi merupakan gerak berselang antara tempat tinggal dengan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain pada periode waktu tertentu dimana para sirkulator menginap ditempat tujuan sedangkan komutasi adalah gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dengan tempat tujuan atau dengan kata lain komuter pada dasarnya tidak punya rencana untuk menginap didaerah tujuan.
9
Menurut Rusli (1995) secara umum terdapat dua jenis migrasi yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internasional adalah migrasi yang terjadi antar negara dan seorang dikatakan melakukan emigrasi jika migrasi internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim. Sementara imigrasi bilamana migrasi tersebut dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Migrasi internal adalah migrasi yang terjadi dalam batas-batas wilayah suatu negara. Menurut Kartini (1995) dalam Pardede (2008) yang mengutip pendapat Safa dan Du Toit (1975), menyatakan bahwa migrasi tidak semata-mata sebagai proses perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, tetapi proses migrasi mencakup bagaimana penyesuaian warga yang melakukan migrasi terhadap lingkungan sosial yang baru. Proses migrasi pada umumnya terjadi karena adanya faktor pendorong dari desa asal (push factor) dan faktor penarik dari kota tujuan (pull factor). Selain itu, Lee (1969) berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara.1 Faktor pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah asal yang menjadi pertimbangan migran dalam melakukan migrasi. Melihat alasan-alasan yang dikemukakan responden maka dapat diketahui bahwa faktor pendorong yang melatarbelakangi migran keluar dari daerah asal terutama didorong oleh alasan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pendapatan yang lebih baik. Faktor penarik dalam penelitian ini adalah daya tarik kota bagi migran. Migran merasa tidak dapat berkembang jika tetap tinggal di kampung karena 1
Lee (1969) dalam Rusli, Said.1995.Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7(revisi).Jakarta:PT Pusaka LP3ES.
10
terbatasnya lapangan pekerjaan. Bayangan mengenai kota yang menawarkan lebih banyak kesempatan dalam memperoleh pekerjaan serta jenis pekerjaan yang lebih banyak telah menarik migran untuk bermigrasi ke kota. Jika dibandingkan antara faktor penarik dengan faktor pendorong, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa migran yang bermigrasi sebagian besar memiliki alasan untuk mencari pekerjaan. Penyebab utama perpindahan penduduk yang kebanyakan bersifat ekonomi juga didukung pula oleh pendapat Keyfitz dan Nitisastro (1955). Sebagian besar penduduk di desa menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian. Padahal, penduduk desa dari tahun ke tahun akan terus bertambah sehingga jumlah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan pertanian juga akan terus meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah lahan pertanian yang tersedia. Dengan demikian penduduk desa akan semakin sulit memperoleh pekerjaan dan kalaupun ada pekerjaan biasanya upah yang didapat sangat rendah. Hal tersebut juga didukung oleh Tangnga (1988) dimana hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa faktor dominan yang mendorong meningkatnya arus migrasi di Kotamadya Ujung Pandang antara lain kecilnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan di daerah asal dan kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh pendatang di daerah asal. Pendatang yang berasal dari desa juga mengemukakan alasan lain yang melatarbelakangi keputusan mereka untuk melakukan migrasi yaitu banyaknya pekerjaan di kota dibandingkan di desa. Selain itu adanya anggapan bahwa di kota lebih mudah mendapatkan pekerjaan juga menarik minat para pendatang untuk datang ke kota.
11
2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi di Indonesia Saat ini masih banyak orang memiliki persepsi yang salah mengenai konsep urbanisasi. Banyak orang mengetahui bahwa urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Menurut Rusli (1995) urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan yang disebabkan migrasi desa-kota, pertambahan alami penduduk perkotaan sendiri, dan adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pertambahan alami penduduk adalah pertambahan penduduk yang disebabkan oleh selisih antara kelahiran dengan kematian dari suatu penduduk dalam jangka waktu tertentu. Watts (1992) dalam Nasution (2002) menyebut urbanisasi sebagai “worldwide phenomenon” merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Bahkan dalam
batas
tertentu,
urbanisasi
memberikan
insentif
bagi
kemajuan
perekonomian kota, dalam wujud supply tenaga kerja yang dibutuhkan bagi berbagai sektor ekonomi yang ada (Nasution, 2002). Urbanisasi berperan penting dalam meningkatkan angka pengangguran terbuka di perkotaan, yaitu 5,8 persen pada tahun 1992, meningkat menjadi 10,5 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000). Hal ini selaras dengan temuan McGee (1971) dalam Nasution (2002) yang mengungkapkan bahwa dikebanyakan kota-kota negara dunia ketiga, yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Akibatnya selain memicu peningkatan pengangguran, luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten (Nasution, 2002).
12
Setiap tahunnya penduduk di daerah perkotaan selalu mengalami peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alami dan sebagian besar karena meningkatnya migrasi dari desa ke kota. Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa 30,9 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah perkotaan dimana angka ini terus mengalami peningkatan dari 14,8 persen pada tahun 1961, 17,4 persen pada tahun 1971, dan 22,3 persen pada tahun 1980 (Rusli, 1995). Sensus Penduduk 1980 memperlihatkan angka urbanisasi di Indonesia sebesar 22,3 persen. Angka ini meningkat menjadi 30,9 persen di tahun 1990 (Chotib, 2000). Berdasarkan sensus penduduk yang telah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) diperoleh data tingkat urbanisasi penduduk Indonesia pada tahun 1990 sebesar 30,9 persen dan meningkat menjadi 42,0 persen pada tahun 2000 (BPS, 2007). Selama kurun waktu sepuluh tahun ini angka pertumbuhan penduduk perkotaan diketahui sebesar 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 1,97 persen per tahun (Chotib, 2000). Hal tersebut tidak berlangsung secara merata disetiap kota di Indonesia. Sebagai contoh adalah Kota Depok dimana pada tahun 1982 jumlah penduduk kota ini sebanyak 240.000 jiwa, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.313.495 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 5.818 jiwa per kilometer persegi dan pertumbuhan penduduk 3,70 persen per tahun (Astuti, 2006). Berdasarkan hasil perhitungan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS di Kota Jakarta pada tahun 1961, 1971 dan 1980, penduduk DKI Jakarta pada waktu yang sama berkembang berturut-turut dari 2,97 juta, 4,58 juta dan kemudian menjadi 6,5 juta
13
jiwa. Dengan perkataan lain, penduduk Jakarta telah meningkat sebesar 4,46 persen dimana peningkatan setiap tahunnya sebesar 3,93 persen. Hasil sensus penduduk pada tahun 2000 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah migran yang datang ke wilayah DKI Jakarta berjumlah 8.347.083 jiwa atau sebesar (42,43%). Tahun 2001 pertambahan penduduk DKI Jakarta sebanyak 135.186 jiwa, tahun 2002 sebanyak 231.528 jiwa, tahun 2003 sebanyak 204.830, tahun 2004 sebanyak 190.356 jiwa dan pada tahun 2005 sebanyak 180.767 jiwa (Setiawan, 2006). Menurut Nafi (2006) laju penambahan penduduk DKI Jakarta selama lima tahun terakhir rata-rata 188 ribu orang yang datang. Saat ini secara definitif jumlah penduduk DKI Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun hasil sensus pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta jiwa pada saat malam hari. Pada siang hari jumlah penduduk DKI Jakarta ada sekitar 12 juta jiwa (Nafi, 2006). Perbedaan jumlah penduduk yang ditunjukkan tersebut lantaran banyak yang bekerja dari luar Jakarta. Salah satu penyebab meningkatnya proporsi penduduk perkotaan adalah adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami hal tersebut. Pada tahun 1906 kota ini dengan cepat mengalami perkembangan yang sangat pesat (Basundoro, 2004). Dalam beberapa segi terutama dalam sektor industri Surabaya telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Masa-masa rekonstruksi setelah kotakota dilanda peperangan hebat telah menjadikan kota-kota besar di Indonesia berkembang menjadi tempat tujuan bagi masyarakat desa yang ingin mengadu nasib di kota. Proses urbanisasi merupakan salah satu akibat dari kemajuan-
14
kemajuan pesat di kota, dimana bagi kaum pendatang tersedia lapangan kerja yang luas.
2.1.3. Definisi
Permukiman
Liar
dan
Pertumbuhannya
di
Daerah
Perkotaan Distribusi penduduk berhubungan atau terkait dengan pola permukiman dan persebaran penduduk di suatu negara atau daerah-daerah lain seperti kota dan pedesaan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memiliki kriteria yang dapat menentukan suatu daerah termasuk kota atau bukan yang pada umumnya dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, kepadatan penduduk, dan persentasi angkatan kerja yang bekerja dibidang non pertanian. Proporsi atau persentase penduduk yang bermukim di daerah perkotaan suatu wilayah atau negara merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat urbanisasi (Rusli, 1995). Pesatnya pertumbuhan kota cenderung menimbulkan permasalahan perumahan baru di kawasan sekitarnya seperti munculnya permukiman liar. Mengingat bahwa perumahan merupakan bagian dari kebutuhan dasar (basic need), yang harus dipenuhi oleh setiap orang untuk mempertahankan eksistensinya. Menurut Basundoro (2004) permukiman liar adalah suatu tempat atau wilayah tertentu yang dijadikan tempat hunian oleh sekelompok orang secara ilegal. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup (Suyogo, 2009). Permukiman liar berbeda dengan permukiman kumuh. Permukiman kumuh belum tentu permukiman liar karena
15
ada di beberapa daerah dimana permukiman kumuh yang ada di wilayah tersebut berdiri secara legal. Menurut Suyogo (2009), terdapat tiga karakteristik yang bisa membantu kita memahami permukiman liar 1. Physical ( Phisik ) Kurangnya pemaksimaksimalan fasilitas dan infrastruktur. Seperti halnya rumah yang didirikan semipermanen atau hanya sekedar gubuk, kurang layak atau tidak memiliki fasilitas kamar kecil, tidak memiliki RT dan RW yang jelas. 2. Social ( Sosial ) Kebanyakan penghuni liar mempunyai pendapatan tergolong lebih rendah, diantaranya bekerja sebagai tenaga kerja upah atau dalam perusahaan sektor informal. Kebanyakan mendapat gaji atau upah minimum atau dapat juga pendapatan tinggi karena bekerja sambilan. Penghuni liar sebagian besar orang pindah. Tetapi banyak juga penghuni liar dari generasi ke generasi secara turun temurun. 3. Legal ( undang – undang) Penghuni liar adalah ketiadaan kepemilikan lahan padahal diatasnya mereka sudah membangun rumah. Ini bisa jadi merupakan tanah pemerintah lowong atau daratan publik, parcels tanah pinggiran seperti pinggiran rel kereta api atau tanah kesultanan (sultan ground). Permukiman liar di perkotaan menjadi masalah tersendiri bagi kota atau wilayah yang bersangkutan. Keberadaan permukiman liar dianggap mengganggu pemandangan kota yang berisi gedung-gedung megah. Keberadaan permukiman liar juga memberikan masalah tersendiri terhadap proses registrasi penduduk di
16
wilayah tempat permukiman liar tersebut berada. Keberadaan mereka secara ilegal diwilayah tempat tinggal mereka menyulitkan mereka untuk memperoleh KTP yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses regristrasi penduduk diwilayah setempat. Registrasi penduduk adalah proses yang pelaporan dan pencatatan kelahiran, kematian, dan migrasi (Rusli, 2005). Kepadatan penduduk di desa-desa yang terus mengalami peningkatan dapat menyebabkan banyak penduduk desa-desa yang bersangkutan mencari nafkah ke kota. Hal tersebut lebih dikarenakan semakin besarnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan di desa dimana jumlah pekerjaan yang tersedia di desa sangat terbatas. Dengan demikian banyak penduduk desa memutuskan melakukan migrasi ke kota dimana pekerjaan yang tersedia lebih banyak. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh pendatang yang sebagian besar hanyalah lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Pada akhirnya para pendatang hanya mampu bekerja pada sektor-sektor informal seperti buruh, tukang becak, pemulung. Dengan pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh para pendatang tentunya upah yang diperoleh tidak sebanding dengan mereka yang bekerja disektor formal. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sandyatma (2004) dimana penulis melakukan penelitian terhadap tiga keluarga pendatang yang tinggal di permukiman liar sekitar tempat pembuangan sampah di Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan disektor formal karena mereka terganjal dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat bersaing dengan pendatang lain yang memiliki
17
pendidikan lebih baik dari mereka. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pemulung disekitar tempat mereka tinggal. Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh pendatang adalah tempat untuk mereka tinggal selama di kota. Di kota besar seperti Jakarta semakin hari semakin sulit untuk memperoleh tempat tinggal. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya lahan-lahan permukiman penduduk serta semakin banyaknya penduduk kota yang tentunya juga membutuhkan semakin banyak lahan untuk bermukim. Kalaupun masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal, harga yang ditawarkan untuk mendapatkan lahan tersebut sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh mereka yang bekerja pada sektor informal dengan upah rendah. Permasalahan harga lahan
yang terus meningkat tersebut tidak
menyurutkan niat para pendatang untuk tetap tinggal dan mengadu nasib di kota. Tentunya mereka masih tetap membutuhkan tempat tinggal yang dapat mereka gunakan sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Oleh karena itu dengan kemampuan terbatas yang mereka miliki maka mereka memutuskan untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang masih tersisa di kota tidak jarang lahan tersebut adalah lahan milik negara. Mereka mulai menempati lahan-lahan tersebut dan menjadikannya permukiman. Ada yang menyewa rumah semipermanen dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah dengan menggunakan peralatan seadanya seperti triplek dan seng bekas yang mereka temukan. Semakin banyak pendatang yang bernasib sama dengan mereka dan memiliki inisiatif untuk melakukan hal serupa maka dapat kita lihat sekarang ini semakin banyak permukiman liar yang ada di kota-kota besar di Indonesia.
18
2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin Menurut KBI Gemari (2003) penduduk miskin DKI Jakarta secara absolut jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk miskin karena adanya berbagai faktor seperti krisis ekonomi dan urbanisasi. Dari hasil survey BPS DKI Jakarta menyatakan bahwa jumlah rumah tangga miskin ada 101.674 rumah tangga atau sebanyak 340.687 anggota rumah tangga (KBI Gemari, 2003). Apabila dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang berjumlah 2.025.699 rumah tangga berarti rumah tangga miskin DKI Jakarta ada 5,02 persen atau dengan perkataan lain bila dibandingkan dengan jumlah penduduk ada 16,82 persen penduduk DKI Jakarta yang tergolong miskin (KBI Gemari, 2003). Tempat tinggal rumah tangga miskin pada umumnya bermasalah dan tidak layak huni. Mereka tinggal di bantaran aliran sungai, pinggiran jalan kereta api serta daerah kumuh lainnya. Pada umumnya mereka berada di lima wilayah kota dari 43 kecamatan, walaupun tidak seluruh dari 265 kelurahan dihuni oleh rumah tangga miskin (KBI Gemari, 2003). Menurut BPS (2007), ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga miskin. Rumah tangga yang memenuhi minimal sembilan variabel, maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Kriteria rumah tangga miskin yang dimaksud yaitu: 1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
19
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00 per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
20
2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin 2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik dalam hal pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan, maupun lingkungan strategis kesehatan, termasuk pengaruh globalisasi. Salah satu kebijakan penting yang perlu menjadi acuan adalah Jamkesmas. Menurut Hambuako (2009) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang diselenggarakan secara nasional, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pelaksanaan kebijakan Jamkesmas
dituangkan
dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Hambuako, 2009). Penamaan program Jamkesmas mengalami berbagai bentuk perubahan (Hambuako, 2009). Awalnya, sebelum program ini menjadi regulasi yang diamanatkan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan program Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM). Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi sebagai regulator. Program DUKM secara operasional dijabarkan dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
21
Penjaminan akses untuk penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1998 saat melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Bermula dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) Tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS–BBM) Tahun 2002–2004. Tahun 2005 pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang dikenal dengan nama program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Program ini merupakan bantuan sosial yang diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh PT Askes (Persero). Setelah dilakukan evaluasi dan dalam rangka efisiensi dan efektivitas, maka pada tahun 2008 dilakukan perubahan dalam sistem penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut adalah dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang didukung dengan penempatan tenaga verifikator disetiap rumah sakit. Nama program tersebut juga berubah menjadi Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Kegiatan verifikasi yang dilakukan pada pelaksanaan Jamkesmas meliputi verifikasi pelayanan, keuangan dan administrasi akan dilakukan oleh verifikator independen yang direkrut oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan di daerah (Ariane, 2007). Dalam hal pendanaan, dana untuk program ini disalurkan langsung dari kas negara ke rekening rumah sakit melalui bank yang ditunjuk
22
pemerintah. Sehingga benar-benar dana yang ada diharapkan akan langsung diterima oleh penyelenggara pelayanan kesehatan. Tujuan
umum
diselenggarakannya
program
Jamkesmas
menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Tujuan khusus program Jamkesmas, antara lain: a. Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit b. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa (Hambuako, 2009). Jumlah tersebut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran Nasional tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan Bupati/Walikota. Administrasi kepesertaan Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitan dan pendistribusian kartu kepada peserta (Hambuako, 2009). Untuk administrasi
23
kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes (Persero), dengan kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry oleh PT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan di Kabupaten/Kota. b. Entry data setiap peserta. c. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan dan didistribusikan kepada peserta. d. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang berhak, mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima yang ditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta. e. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat. Kartu Jamkesmas dapat digunakan di puskesmas, rumah sakit pemerintah atau swasta yang sesuai kontrak di seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut merupakan kelebihan yang dimiliki kartu Jamkesmas dibandingkan kartu Gakin yang hanya dapat digunakan di wilayah DKI Jakarta.
2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin) Selain kartu Jamkesmas pemerintah kota DKI Jakarta juga mengeluarkan kartu Gakin dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Akan tetapi kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota DKI Jakarta, membuat sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui cara membuat kartu Gakin (keluarga miskin). Padahal, kartu Gakin sangat vital bagi keluarga
24
miskin untuk keperluan berobat gratis baik ke Puskesmas maupun rumah sakit (Bian, 2008). Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengerti tetap dikenai biaya rumah sakit meski mereka tergolong tidak mampu. Program Gakin adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga miskin yang merupakan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta (Badan Informasi Daerah, 2007). Masyarakat yang berhak menerima kartu Gakin adalah yang memenuhi kriteria seperti tingkat ekonominya rendah, keadaan rumahnya buruk, dan belum memiliki penghasilan tetap (Bian, 2008). Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang mengaku miskin dan mendaftar sebagai keluarga miskin sehingga kartu gakin menyebar tak merata ke masyarakat. Peserta program Gakin adalah masyarakat DKI Jakarta yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta dan memenuhi kriteria miskin menurut kriteria miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008): 1. Luas huni < 8 M2 per kapita 2. Jenis lantai rumah terluas tanah atau papan 3. Tidak memiliki sumber air minum 4. Tidak memiliki fasilitas jamban 5. Tidak mampu mengkonsumsi makanan berprotein atau bervariasi 6. Tidak mampu membeli pakaian satu stel setahun sekali untuk setiap anggota rumah 7. Tidak punya asset rumah tangga, seperti : tanah, motor, warung, bengkel, perhiasan berharga dan lain-lain
25
Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan dua macam kategori miskin yaitu pasien miskin (gakin) dan pasien kurang mampu (SKTM) (Ariane, 2007). Apabila pasien dinyatakan miskin dan mempunyai kartu gakin atau surat pembebasan biaya dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pembebasan biaya. Bagi pasien yang dikategorikan kurang mampu, maka yang bersangkutan akan dikenakan iur biaya (cost sharing) yang besarannya ditentukan oleh Dinas Kesehatan DKI. Masyarakat sebagai peserta Gakin sebelum mendapatkan kartu Gakin maka harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pengurusan kartu Gakin, antara lain (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008): 1. Peserta Gakin memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta. 2. Peserta Gakin mengajukan Surat Keterangan Miskin (SKM) pada RT / RW. 3. Peserta Gakin ke Kelurahan dan Kecamatan dengan membawa SKM untuk dilegalisir. 4. Peserta Gakin datang ke Puskesmas setempat dengan membawa SKM yang telah dilegalisir. Pihak Puskesmas akan memverifikasi dengan melakukan survey ke rumah pasien. Setelah survey dilakukan, akan ditentukan apabila pasien berhak untuk mendapatkan surat Gakin. 5. Setelah mendapat Hasil Laporan Verifikasi yang menyatakan pasien berhak mendapatkan surat Gakin, selanjutnya semua berkas diserahkan ke Koordinator Gakin untuk dibuatkan Surat Keterangan. 6. Pasien datang ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta (Jl. Kesehatan No. 10 Jakarta Pusat) dengan membawa seluruh berkas (KTP, KK, SKM, SKTM Lurah/Camat,
Rujukan
Puskesmas,
Laporan
Hasil
Verfikasi,
Surat
26
Keterangan), untuk memperoleh Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan serta tindakan lainnya (SJP). 7. Pasien menyerahkan Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan serta tindakan lainnya (SJP) ke Koordinator JPK Gakin rumah sakit bersangkutan. 8. Untuk selanjutnya pasien diharuskan memperpanjang SJP tersebut setiap bulannya dengan mengurus sendiri ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta dengan di lengkapi
seluruh
berkas
(KTP,KK,SKM,RT/RW,SKTM
Lurah/Camat,
Rujukan Puskesmas, Laporan Hasil Verifikasi).
2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) adalah surat yang dikeluarkan oleh pihak Kelurahan bagi Keluarga Miskin (Gakin) (Admin, 2007). SKTM ini berguna bagi Gakin untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan gratis di rumah sakit yang ada. SKTM digunakan untuk meringankan biaya rumah sakit. Surat keterangan itu bisa menggantikan asuransi kesehatan bagi warga miskin (Askeskin) (Baskoro, 2007). Masyarakat miskin atau tidak mampu yang belum mempunyai Kartu Jamkesmas atau kartu Askeskin dan telah terdaftar sebagai penduduk miskin di kelurahan setempat, dapat menggunakan SKTM pada saat sakit (hanya berlaku sekali pada saat sakit) (Admin, 2007). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Depok Muhammad Ridwan dalam Baskoro (2007), menegaskan bahwa pengurusan SKTM ini tidak dipungut biaya alias gratis. Cara memperoleh SKTM:
27
a. Minta surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, disahkan oleh Kelurahan dan Kecamatan. b. Setelah lengkap dibawa ke Dinkesos dengan dilampiri foto copy Kartu C1.
2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia Sistem pencatatan atau sistem registrasi di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu registrasi vital (catatan peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, kematian dan perkawinan); registrasi penduduk dan statistik migrasi internasional (Lucas et al. 1984). 2.1.6.1. Registrasi Vital Statistik vital merupakan sumber utama untuk mengetahui perubahan penduduk karena statistik ini dikumpulkan secara kontinu dalam berbagai buku registrasi yang biasanya meliputi kematian, kelahiran dan perkawinan (Lucas et al. 1984). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi kejadian-kejadian vital bertalian dengan registrasi seperti kelahiran, kematian, kematian janin, abortus, perkawinan dan perceraian. Negara yang memelihara sistem registrasi kejadian-kejadian vital biasanya mewajibkan para warganya untuk segera atau dalam jangka waktu tertentu melaporkan kejadian-kejadian vital seperti kelahiran dan kematian (Rusli, 1995). Akan tetapi, banyak negara berkembang tidak dapat menyelenggarakan suatu sistem registrasi dengan baik dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan sangat besar (Lucas et al. 1984).
28
Menurut Rusli (1995) secara resmi telah dikeluarkan sertifikat yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan dengan dilengkapi bukti-bukti seperti umur, status perkawinan, dan sebagainya. Informasi didaftar isian formulir registrasi kelahiran antaranya berkisar pada nama dan jenis kelamin anak, tempat dan tanggal lahir, lahir hidup atau lahir mati; berbagai karakteristik orang tua seperti nama, umur, tempat lahir dan pekerjaan orang tua, dan nama-nama dan umurumur dari anak-anak yang dilahirkan sebelumnya oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Daftar isian registrasi kematian biasanya mencatat informasi dari yang mengalami kematian meliputi: umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tanggal dan tempat lahir, dan sebab kematian.
2.1.6.2. Registrasi Penduduk Sistem registrasi kejadian-kejadian vital dibedakan dari sistem registrasi penduduk (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi penduduk merupakan suatu sistem registrasi yang dipelihara penguasa setempat dimana biasanya dicatat setiap kelahiran, kematian, adopsi, perkawinan, perceraian, perubahan pekerjaan, perubahan nama dan perubahan tempat tinggal. Menurut PBB dalam Lucas. et al (1984), catatan penduduk yang baik seharusnya dilakukan secara kontinu mencatat ciri-ciri setiap individu maupun keterangan tentang semua peristiwa penting yang dialaminya. Menurut Rusli (1995), di Indonesia sejarah registrasi penduduk dapat dikatakan mulai dalam masa “pemerintahan antara” Raffles yang memerintahkan di tiap desa harus diadakan suatu registrasi. Sayang rencana Raffles tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Bahkan setelah pemerintahan kolonial Belanda
29
berkuasa kembali, sistem registrasi tersebut semakin lama semakin tidak dapat dipercaya. Sampai kini, di Indonesia seperti halnya dikebanyakan negara-negara berkembang lain, di samping sistem registrasi penduduk belum dilaksanakan secara menyeluruh, data dari registrasi penduduk (jumlah kelahiran, kematian dan migrasi) sering tidak lengkap dan kurang dapat dipercaya (Rusli, 1995).
2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional Menurut Lucas. et al (1984), statistik ini bersumber pada catatan tentang para pendatang di perbatasan internasional. Seorang pendatang yang melewati perbatasan biasanya harus menunjukkan paspor, dan mengisi berbagai formulir pada waktu datang maupun pergi. Namun demikian, tidak semua perpindahan internasional dapat dicatat.
2.2.Kerangka Pemikiran Pemerintah
memberikan
perhatian
lebih
pada
penyelenggaraan
pembangunan kesehatan pada beberapa tahun terakhir. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan dengan memberikan atau menyediakan fasilitas kesehatan bersubsidi atau bahkan gratis. Program-program kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan pemerintah antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Keluarga Miskin (Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Penelitian ini ingin melihat sampai sejauh mana program tersebut berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Selain itu ingin dilihat pula pendistribusian fasilitas tersebut, yang ditujukan bagi masyarakat miskin, sudah merata atau belum
30
termasuk bagi masyarakat migran yang tinggal di permukiman liar. Untuk mengetahui semua itu maka peneliti akan melihat pula akses para migran di permukiman liar tersebut terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang telah disediakan oleh pemerintah. Jika ingin mengetahui akses migran di permukiman liar terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi maka perlu diketahui juga pengetahuan yang dimiliki oleh individu mengenai fasilitas kesehatan itu sendiri. Dengan demikian akan diketahui apakah terdapat keterkaitan antara pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dimiliki masyarakat migran di permukiman liar terhadap aksesnya pada fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah tersebut. Pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dilakukan oleh masyarakat migran di permukiman liar dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi dan kependudukan. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan status kependudukan yang dimiliki migran tersebut di wilayah DKI Jakarta. Selain faktor sosial ekonomi dan kependudukan, akses masyarakat migran di permukiman liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya antara lain kurangnya informasi yang dimiliki responden mengenai bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan. Kurangnya informasi yang dimiliki responden karena tidak adanya sosialisasi mengenai bantuan kesehatan tersebut. Selain informasi yang kurang, responden juga merasa belum membutuhkan kartu pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas, Gakin atau SKTM. Saat responden merasa membutuhkan bantuan biaya untuk pengobatan maka saat itu juga responden merasa membutuhkan kartu pelayanan kesehatan.
31
Pengetahuan
Faktor-faktor Sosial Ekonomi dan Kependudukan • • •
Pendidikan Pendapatan Status Kependudukan
Akses Masyarakat Migran di Permukiman Liar Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi • • •
Jamkesmas Gakin SKTM
Faktor-faktor Lainnya Keterangan:
•
: Mempengaruhi •
Kurangnya Sosialisasi Mengenai Kartu Kesehatan Kebutuhan Terhadap Kartu Kesehatan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3. Hipotesis 1. Kurangnya pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 2. Tingkat pendidikan diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
32
3. Pendapatan diduga akan menjadi faktor penghambat utama migran di permukiman liar dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 4. Status kependudukan diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 5. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada migran di permukiman liar mengenai kartu kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. 6. Belum adanya rasa membutuhkan terhadap kartu kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.
2.4. Definisi Konseptual 1. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup. 2. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh responden mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi antara lain mengenai keberadaan, kegunaan dan cara memperoleh fasilitas kesehatan tersebut.
33
3. Fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi adalah bantuan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat menengah kebawah dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
2.5. Definisi Operasional 1. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden yang berasal dari pekerjaan pokok dan sampingan yang digunakan untuk membiayai konsumsi sehari-hari biasanya dihitung per bulan. Harta yang dimiliki responden di daerah asal tidak diikutsertakan dalam penilaian pendapatan responden. Penilaian terhadap pendapatan digolongkan menjadi tiga. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan pendapatan rata-rata responden yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik). (1) Rendah jika pendapatan per bulan ≤ Rp 1.000.000,00 = skor 1 (2) Sedang jika pendapatan per bulan Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00 = skor 2 (3) Tinggi jika pendapatan per bulan ≥ Rp 2.500.000,00 = skor 3 2. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti oleh responden. Pendidikan digolongkan menjadi lima, yaitu: (1) Tidak Sekolah = skor 1, (2) Tidak Tamat SD/Sederajat = skor 2, (3) Tamat SD/sederajat = skor 3, (4) Tamat SMP/sederajat = skor 4, (5) Tamat SMA/sederajat = skor 5.
34
3. Status kependudukan adalah kondisi kependudukan responden di wilayah DKI Jakarta, yang akan dibedakan menjadi: (1) Penduduk resmi adalah responden yang memiliki KTP DKI Jakarta (2) Penduduk tidak resmi adalah responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta atau tidak memiliki KTP daerah manapun 4. Akses terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi adalah suatu keadaan dimana responden mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah yang dibedakan menjadi: (1) lemah jika responden tidak memiliki ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi = skor 1, (2) sedang jika responden memiliki 1 atau 2 kartu kesehatan gratis atau bersubsidi = skor 2, dan (3) kuat jika responden memiliki ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi = skor 3. 5. Kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi adalah kartu yang dapat digunakan untuk membantu meringankan beban biaya masyarakat miskin. Kartu tersebut dikelompokkan menjadi (1) Jamkesmas, (2) Gakin dan (3) SKTM. 6. Tingkat pengetahuan adalah informasi yang dimiliki oleh responden mengenai kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah. (1) Responden dikatakan memiliki pengetahuan yang baik jika responden dapat dengan tepat menjelaskan konsep dan prosedur mendapatkan ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.
35
(2) Responden dikatakan memiliki pengetahuan yang kurang baik jika responden tidak dapat dengan tepat menjelaskan konsep dan prosedur mendapatkan ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Berdasarkan pendekatan yang digunakan maka data utama yang dihasilkan dari penelitian ini berupa data kuantitatif dengan didukung oleh data kualitatif. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden, keadaan kesehatan responden dan keluarga, serta bagaimana akses responden terhadap pelayanan kesehatan yang ada disekitar wilayah tempat tinggal mereka. Pendekatan kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode
survei,
yaitu
dengan
menggunakan
pertanyaan
terstruktur/sistematis (kuesioner), untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah dan dianalisis (Prasetyo dan Jannah, 2006). Data kualitatif digunakan untuk menggali informasi lebih dalam dimana data tersebut akan digunakan untuk menunjang dalam melakukan interpretasi data kuantitatif. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif. Peneliti ingin memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena kependudukan. Pada penelitian ini peneliti ingin menganalisis sejauhmana pengetahuan responden mengenai bantuan kesehatan yang diberikan pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut.
37
Penelitian ini masih belum dapat menjelaskan alasan pemerintah belum melakukan perbaikan terhadap syarat-syarat yang harus dilengkapi bagi masyarakat yang ingin memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Syarat yang telah ada dianggap memberatkan karena hampir semua masyarakat di perkotaan khususnya tidak memenuhi persyaratan tersebut. Akan tetapi masih banyak masyarakatnya yang memerlukan bantuan tersebut.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (Purposive) yaitu dua tempat permukiman liar di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Selain itu lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan kemudahan akses penelitian, keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu peneliti (Singarimbun, 1982). Lahan yang digunakan sebagai permukiman oleh para migran tersebut dianggap berada di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Walaupun lahan tersebut berada di wilayah RT 016 tetapi penduduk di permukiman tersebut tidak terdaftar sebagai warga RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Lahan permukiman liar yang pertama merupakan lahan milik pribadi. Akan tetapi pemilik lahan tersebut tidak tinggal di wilayah yang sama. Permukiman liar yang kedua letaknya tidak jauh dari permukiman liar yang pertama. Lahan yang digunakan pada permukiman liar yang pertama merupakan lahan milik PJKAI dan Dinas Perairan DKI Jakarta, bagian depan sampai tengah rumah mereka adalah tanah milik PJKAI dan setengah
38
kebelakangnya adalah milik Dinas Perairan. Letak permukiman liar tersebut memang diantara rel kereta api dan kali ciliwung. Selain itu, ketidakjelasan wilayah juga menjadi masalah dalam permukiman tersebut. Awalnya wilayah tersebut masuk ke wilayah RT 013 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Kemudian menurut keputusan kelurahan wilayah tersebut masuk wilayah RT 016. Akan tetapi sampai saat ini Ketua RT 016 belum memperoleh surat keputusan secara tertulis dari Kelurahan. Lokasi tersebut dipilih karena penghuni permukiman tersebut seluruhnya merupakan pendatang (migran) dan letak rumah antara penghuni yang satu dengan lainnya saling berdekatan. Mereka hidup bersama dalam suatu batas wilayah dan membentuk satu perkampungan khusus. Lokasi permukiman liar lain yang ditemukan letak rumahnya saling berpencar (tidak berkumpul di satu tempat). Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2009.
3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis yang diteliti karakteristik dan cirinya (Wahyuni dan Muljono, 2007). Unit pengamatan dari responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah rumah tangga dimana salah satu dari pasangan suami dan istri yang terdapat dalam setiap unit pengamatan merupakan responden. Alasan pemilihan unit pengamatan penelitian adalah rumah tangga karena tidak semua bantuan kesehatan dari pemerintah diberikan secara individu. Terdapat juga bantuan yang diberikan melalui keluarga seperti Gakin. Suami atau istri dipilih sebagai responden karena dianggap sebagai individu yang paling mengerti
39
dan mengetahui keadaan anggota keluarga lainnya. Suami atau istri tersebut merupakan satuan individu. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan data yang lengkap mengenai bantuan kesehatan dari pemerintah baik yang diberikan secara perorangan maupun bersama, dalam hal ini keluarga. Besarnya sampel suatu penelitian bergantung pada 1) keragaman karakteritik populasi, 2) tingkat presisi yang dikehendaki, 3) rencana analisis, 4) tenaga, biaya, dan waktu. Jumlah sampel dalam penelitian adalah 30 responden. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental (accidental sampling), biasa disebut sebagai teknik pengambilan sampel “asal ambil atau asal pilih” (Faisal, 2005). Responden yang dipilih adalah suami atau istri yang sedang melakukan aktivitas, baik yang sedang bekerja ataupun sekedar duduk sambil mengobrol disekitar wilayah permukiman liar tersebut dan tinggal di tempat tersebut. Informan dipilih secara sengaja (purposive) karena dianggap mengetahui keadaan lingkungan dan masyarakatnya. Informan yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang terdiri dari aparatur desa seperti ketua RT dan petugas kelurahan setempat serta kepala puskesmas di wilayah penelitian.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan serta melakukan pengamatan (observasi) lapang. Data sekunder diperoleh dari data profil desa, serta data dari puskesmas di sekitar tempat tinggal responden dan bahan pustaka yang mendukung penelitian ini.
40
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan responden dimana responden dipandu oleh peneliti dalam mengisi kuesioner. Teknik pengambilan data wawancara mendalam merupakan teknik pengambilan data dengan melakukan interaksi dua arah dengan prinsip kesetaraan antara peneliti dengan subyek dalam suasana yang akrab dan informal. Melakukan wawancara mendalam dimaksudkan ada “temu muka” antara peneliti dan responden dalam rangka memahami pandangan responden tentang hidupnya, pengalaman atas situasi sosial yang diungkapkan dengan bahasanya sendiri. Data yang diperoleh melalui kuesioner adalah karakteristik responden, keadaan kesehatan responden dan keluarga, akses mereka terhadap pelayanan kesehatan, serta keadaan lingkungan sekitar mereka. Pengamatan dilapangan dilakukan untuk melihat secara langsung keadaan masyarakat setempat, merasakan dan melihat beragam peristiwa yang diharapkan dapat menarik pemaknaan yang sama antara peneliti dan yang diteliti. Fokus pengamatan yang dilakukan adalah cara responden memperoleh kartu pengobatan gratis atau bersubsidi yang dapat digunakan oleh responden dalam memperoleh pengobatan secara gratis atau memperoleh keringanan biaya selama proses pengobatan.
3.5. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan (data processing). Pengolahan data mencakup kegiatan mengedit (editing) data dan mengkode (coding) data (Faisal, 2005). Mengedit data ialah kegiatan memeriksa data yang terkumpul sedangkan mengkodekan data berarti memberikan kode-kode
41
tertentu kepada masing-masing kategori atau nilai dari setiap variabel yang terkumpul datanya (Faisal, 2005). Setelah pengolahan data, berikutnya tinggal menganalisis dan menginterpretasikan data. Data kuantitatif yang diperoleh diolah dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabulasi silang yang diinterpretasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian. Tabulasi silang digunakan untuk menelaah kecenderungan hubungan yang terjadi antar variabel. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam disajikan secara deskriptif dengan mengutip hasil pembicaraan yang telah dilakukan. Data kualitatif yang diperoleh diintegrasikan dengan hasil kuesioner yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Data dari hasil kuesioner diolah dengan menggunakan program Statistical Program for Social Sciences ( SPSS version 16.0 ), kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi. Data yang diperoleh bersifat nominal dan ordinal, sehingga untuk menganalisis hubungan yang terjadi antara dat tersebut digunakan Korelasi Rank Spearman dan Chi-Square (X2). Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antar variabel yang menggunakan skala pengukuran ordinal. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji tingkat pendidikan dan pendapatan responden dengan akses responden terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah. rs = 1- 6∑d2 n (n2-1)
Keterangan: rs = Korelasi Spearman n = Banyaknya pasangan data d = Jumlah selisih antara peringkat bagi x dan y
42
Uji Chi-Square digunakan untuk menguji antara variabel pengetahuan responden terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang merupakan data nominal. Hasil uji Chi-Square kemudian dilanjutkan dengan melihat keeratan hubungan antara dua variabel dengan rumus koefisien kontingensi (C). X2= ∑ (fo.fh)2 fh Keterangan: X2 = Chi Kwadrad fo = Data frekuensi yang diperoleh dari sampel (hasil observasi/kuesioner) fh = Frekuensi yang diperoleh/diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi
X2
C=
N + X2
C = Koefisien kontingensi X2 = Nilai Chi Kwadrad N = Banyaknya sampel
Guilford dalam Rakhmat, 1997 mengartikan koefisien korelasi sebagai berikut: Kurang dari 0,20
: Hubungan rendah sekali, lemas sekali
0,20-0,40
: Hubungan rendah tetapi pasti
0,40-0,70
: Hubungan yang cukup berarti
0,70-0,90
: Hubungan yang tinggi, kuat
Lebih dari 0,90
: Hubungan sangat tinggi, kuat sekali, dapat diandalkan
BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN
4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah Kelurahan Lenteng Agung merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kelurahan Lenteng Agung memiliki luas wilayah sekitar kurang lebih 227,74 Ha yang terdiri dari tanah milik adat seluas 227,34 Ha dan tanah garapan seluas 0,40 Ha. Kelurahan Lenteng Agung terdiri dari 114 RT dan 10 RW. Kelurahan Lenteng Agung secara geografis memiliki batas wilayah antara lain: sebelah Utara berbatasan langsung dengan Jalan TB Simatupang Kelurahan Pasar Minggu, sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kali Ciliwung, sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Gardu Kelurahan Srengseng Sawah, dan sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Joe Kelurahan Kebagusan-Kelurahan Jagakarsa. Jika dilihat dari letaknya, jarak Kelurahan Lenteng Agung ke Kecamatan adalah tiga kilometer, sedangkan jarak dari Kelurahan Lenteng Agung ke Pusat Pemerintahan Kotamadya/Kabupaten Administrasi Jakarta Selatan adalah 10 kilometer dan jarak dari Kelurahan Lenteng Agung ke Pusat Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta adalah 15 kilometer. Alat transportasi yang dapat digunakan untuk mencapai kantor kecamatan adalah angkutan umum (angkot) atau bis umum yang masih harus disambung dengan ojeg. Alat transportasi yang dapat digunakan untuk ke pusat pemerintahan baik kotamadya ataupun provinsi adalah angkot ataupun bis umum. Selain itu dapat juga menggunakan transportasi Kereta Api
44
Listrik (KRL) Jabotabek, karena diwilayah tersebut juga terdapat stasiun kereta api, yang masih harus disambung dengan angkot atau bis kota. Permukiman liar yang ada di wilayah Kelurahan Lenteng Agung berada di antara bantaran rel kereta api dan aliran sungai ciliwung. Seluruh penghuninya merupakan pendatang yang berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden, Karawang merupakan daerah asal yang memiliki jumlah migran terbanyak. Alasan responden memilih permukiman liar untuk dijadikan tempat tinggal adalah faktor ekonomi. Responden merasa tidak mampu jika harus mengontrak rumah. Terlebih lagi harga kontrakan yang tinggi. Hal tersebut amat memberatkan responden. Akan tetapi tentu saja responden masih mengharapkan hidup yang layak. Pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden beragam. Akan tetapi jumlah responden yang hanya tamat sekolah dasar menunjukkan nilai yang paling besar. Sebagian besar penghuninya bekerja sebagai pengumpul barang rongsokan yang nantinya akan dijual lagi untuk didaur ulang. Pekerjaan lainnya yang dijalankan oleh responden adalah bekerja sebagai penjual makanan seperti penjual buah keliling, tukang nasi goreng atau membuka usaha warung makanan di sekitar tempat tinggal mereka. Sebanyak 90 persen responden menyatakan bahwa menyisihkan sebagian penghasilan untuk konsumsi kesehatan sangatlah perlu. Akan tetapi pada kenyataannya hanya tujuh orang responden atau sebesar 23,3 persen saja yang menyisihkan sebagian pendapatannya untuk konsumsi kesehatan. Responden mengetahui pentingnya menyisihkan uang untuk konsumsi kesehatan. Menurut responden jika telah memiliki uang simpanan untuk kesehatan maka jika suatu
45
saat salah satu anggota keluarga mengalami sakit uang tersebut dapat digunakan untuk berobat ke dokter atau sekedar untuk membeli obat warung dan jamu. Dengan demikian responden tidak perlu repot mencari pinjaman uang untuk berobat. Sebanyak
83,3
persen
responden
menghabiskan
sebagian
besar
pendapatannya untuk membeli makanan. Responden mengatakan bahwa untuk membeli keperluan sehari-hari saja masih kurang sehingga responden tidak dapat menyisihkan uangnya untuk konsumsi kesehatan walaupun responden mengetahui pentingnya investasi kesehatan.
4.2. Fasilitas Umum Fasilitas umum yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung berupa sarana keagamaan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana kebersihan, sarana olah raga, sarana keamanan, sekretariat parpol, sarana ekonomi, sarana sosial, sarana budaya,
pariwisata,
hiburan
dan
rekreasi,
sarana perdaGangan,
sarana
perhubungan, sarana angkutan, sarana komunikasi, sarana penanggulangan bencana kebakaran dan bencana alam dan sarana pengairan. Tempat peribadatan yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung hanya masjid sebanyak 22 buah, mushollah sebanyak 36 buah dan gereja satu buah. Dalam kegiatan keagamaan, penduduk di Kelurahan Lenteng Agung cukup banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya perkumpulan keagamaan yang terdiri dari 66 perkumpulan majelis taklim dan 229 orang remaja masjid.
46
Jumlah sarana pendidikan di Kelurahan Lenteng Agung cukup banyak dimana terdapat sekolah yang terdiri dari sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung antara lain SD berjumlah empat buah, SLTP berjumlah dua buah, SLTA sebanyak dua buah dan madrasah Aliyah sebanyak satu buah. Sekolah swasta yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung antara lain taman bermain/playgroup sebanyak dua buah, Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah sembilan buah, SD berjumlah tujuh buah, SLTP berjumlah enam buah, SLTA sebanyak dua buah, universitas sebanyak dua buah dan madrasah ibtidaiyah sebanyak tujuh buah. Fasilitas kesehatan yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung berupa dua buah puskesmas, dua buah poliklinik, dua buah balai pengobatan, tiga buah tempat praktek dokter umum, satu buah tempat praktek dokter gigi, tujuh buah tempat praktek bidan, satu apotik, dua buah klinik keluarga berencana, satu unit laboratorium dan 29 posyandu. Responden lebih memilih puskesmas sebagai tempat berobat dengan alasan biaya yang lebih murah jika dibandingkan ke klinik dokter. Puskesmas yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung berada di Gang Haji Ali dan Gang Lontar. Sebagian besar responden lebih sering berobat ke puskesmas yang berada di Gang Lontar. Letaknya yang berdekatan dengan permukiman menjadi pertimbangan lain yang dikemukakan oleh responden. Gang Lontar berada diseberang permukiman responden tetapi untuk menjangkaunya responden harus berjalan kaki cukup jauh sekitar 500 meter dari mulut Gang. Selain itu, tidak tersedianya ojeg di sekitar puskesmas juga menjadi hambatan untuk mencapai puskesmas tersebut. Puskesmas yang berada di Gang Haji Ali letaknya cukup jauh dari permukiman responden sehingga untuk
47
menjangkaunya responden harus naik angkot. Jika harus mengeluarkan ongkos responden lebih memilih memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas
kelurahan
Jatipadang
karena
puskesmas
tersebut
memiliki
perlengkapan yang lebih lengkap. Puskesmas Jatipadang tidak hanya melayani penyakit umum tetapi juga ada pelayanan penyakit spesialis. Puskesmas bukan satu-satunya fasilitas kesehatan dengan biaya murah yang biasa dimanfaatkan responden. Letak permukiman liar yang tidak terlalu jauh dengan kantor sekertariat salah satu parpol besar di Indonesia dimanfaatkan pula oleh responden untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang disediakan oleh parpol tersebut. Responden hanya mengeluarkan biaya untuk naik angkot ke kantor sekertariat parpol tersebut karena pengobatan dan obat diberikan secara gratis. Sarana kebersihan yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung antara lain tiga buah dipo sampah (TPS), dua unit truk sampah, 37 unit gerobak sampah dan satu orang petugas kebersihan. Kelurahan Lenteng Agung memiliki satu lapangan sepak bola dan enam buah lapangan bulu tangkis, enam buah lapangan volly dan 12 buah lapangan basket. Terdapat pula satu lapangan tenis dan 10 buah perlengkapan tenis meja. Selain itu Kelurahan Lenteng Agung juga memiliki sarana keamanan antara lain satu pos polisi, 45 pos hansip dan 91 orang anggota hansip. Di Kelurahan Lenteng Agung juga terdapat sekretariat parpol yang terdiri dari dua buah kantor cabang parpol dan tiga buah kantor ranting parpol. Sarana ekonomi yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung adalah satu buah bank milik pemerintah dan satu buah bank milik swasta. Sarana ekonomi lainnya antara lain satu buah koperasi serba usaha, satu buah waserda dan empat
48
buah SPBU. Sarana perdaGangan dan industri yang ada adalah pertokoan sebanyak 74 buah, showroom sebanyak empat buah, toko sebanyak 23 buah, kios sebanyak 12 buah, warung sebanyak 46 buah, restoran sebanyak satu buah dan industri kecil sebanyak satu buah. Kelurahan Lenteng Agung memiliki sarana perhubungan berupa satu buah stasiun kereta api, jalan protokol kurang lebih sekitar 15 kilometer, jalan lingkungan kurang lebih sekitar 40 kilometer dan Gang/jalan setapak sekitar 30 kilometer. Sarana angkutan yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung antara lain bis kota, truk, metromini, mikrolet, taksi, ojek motor dan kereta api. Fasilitas komunikasi yang ada adalah satu buah kantor pos/pos pembantu dan tujuh buah wartel. Fasilitas penanggulangan bencana kebakaran dan bencana alam terdiri dari dua buah pos pengendali banjir, dua buah alat pemadam kebakaran dan satu buah hidran. Sarana pengairan yang ada antara lain satu buah sungai dan 115 buah sumur resapan.
BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN
5.1. Pembahasan Gambaran Umum Responden Gambaran umum responden dimaksudkan untuk lebih memperjelas informasi yang diperoleh oleh peneliti. Karakteristik responden yang akan dibahas antara lain latar belakang pendidikan, asal daerah, keberadaan keluarga responden, pekerjaan yang dijalani oleh responden dan tingkat pendapatan. Diharapkan dengan mengetahui karakteristik responden yang diteliti maka akan diketahui juga mengenai kehidupan kesehariannya. Secara umum permukiman liar yang berada diantara bantaran rel kereta api dan sungai Ciliwung di wilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri diatas tanah milik pribadi atas nama Bapak Haji Tlb dimana pemilik tanah tersebut tidak tinggal di wilayah tersebut. Akan tetapi kepemilikan tanah tersebut masih diragukan. Seperti yang dikatakan oleh seorang responden:
“sebenarnya tanah itu adalah tanah milik PJKAI. Dulu PJKAI memberi ijin kepada penduduk sekitar untuk menggarap tanah dipinggiran rel untuk sawah dan ladang. Tapi karena sudah terlalu lama digarap oleh warga sehingga warga tersebut menganggap bahwa tanah itu adalah tanah mereka. Padahal mah belum tentu mereka punya sertifikatnya” (Ibu Van,30 tahun).
Tanah pada permukiman liar yang kedua merupakan tanah milik PJKAI dan Dinas Perairan DKI Jakarta. Bagian depan hingga tengah rumah mereka
50
berdiri diatas tanah milik PJKAI dan bagian tengah hingga belakang rumah tersebut berdiri diatas tanah milik Dinas Perairan DKI Jakarta. Tidak jauh berbeda dengan tanah dipermukiman liar pertama, tanah pada permukiman liar kedua juga memiliki permasalahan. Pendatang yang tinggal di wilayah tersebut menganggap bahwa tanah tersebut adalah tanah mereka. Penghuni di wilayah tersebut mengaku bahwa mereka telah membeli tanah tersebut dari pihak PJKAI. Akan tetapi sampai saat ini mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang sah yang dapat menunjukkan bahwa tanah itu adalah milik mereka. Seperti yang dikatakan Bapak Hdn selaku ketua RT 016:
“malah ada juga penduduk disitu yang bilang sudah membelinya dari PJKAI. Berhubung tidak ada keterangan secara resmi dari PJKAI maka pihak kelurahan tidak mau menandatangani permohonan sertifikat yang diajukan oleh mereka. Jadi sampai sekarang mereka belum ada yang punya sertifikat tanah yang mereka akui.” (Bapak Hdn, 50 tahun).
Permukiman liar yang pertama ini dihuni oleh beberapa orang yang terbagi menjadi tiga kelompok. Penghuni dipermukiman liar ini bekerja sebagai pengumpul bagang-barang bekas atau barang rongsokan. Pembagian kelompok tersebut dilihat berdasarkan barang rongsokan yang diperoleh. Kelompok pertama hanya mengumpulkan barang-barang bekas yang terbuat dari plastik. Kelompok kedua hanya mengumpulkan kertas, koran dan kardus bekas. Kelompok ketiga mengumpulkan berbagai macam barang-barang bekas mulai dari plastik, kardus, besi bahkan barang bekas seperti monitor komputer. Pada kelompok pertama dan kedua bekerja berdasarkan sistem kekeluargaan sedangkan pada kelompok ketiga bekerja berdasarkan sistem atasan dan bawahan dimana Pak Erw dan Ibu Van yang merupakan pasangan suami istri berperan sebagai bos.
51
Permukiman liar yang kedua sebagian besar penghuninya bekerja sebagai pedagang makanan. Dagangan yang mereka jual juga bermacam-macam, ada yang berjualan nasi goreng, rujak buah keliling, otak-otak, es buah, tukang es balok bahkan ada juga yang membuka warung makan seperti warteg di sekitar permukiman tersebut. Pada permukiman liar yang kedua semuanya bekerja secara individu dimana mereka bekerja untuk diri mereka masing-masing.
5.2. Pendidikan Terakhir Responden Berdasarkan data yang terkumpul dengan menggunakan kuesioner dapat diketahui bahwa pendatang yang tinggal di permukiman liar di wilayah penelitian memiliki tingkat pendidikan yang beragam. Hanya sebanyak (6,7%) atau dua orang yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan (20,0%) atau enam orang hanya menyelesaikan pendidikan mereka sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Paling banyak (46,7%) atau sebanyak 14 orang telah menyelesaikan pendidikan mereka di tingkat sekolah dasar (SD), kemudian sebanyak (23,3%) atau sebanyak tujuh orang tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka di SD. Bahkan ada yang sama sekali tidak menikmati bangku sekolah, sebanyak (3,3%) atau satu orang. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 2: Faktor ekonomi keluarga yang rendah merupakan kendala yang rensponden alami sehingga tidak dapat meneruskan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi lagi. Keadaan ekonomi yang serba kekurangan memaksa sebagian besar dari mereka berhenti dari sekolah dan tidak melanjutkan sekolah. Akhirnya mereka membantu perekonomian keluarga dengan cara ikut bekerja mencari
52
nafkah. Awalnya mereka hanya bekerja di kampung membantu orang tua. Akan tetapi penghasilan yang mereka peroleh di kampung tidak juga mencukupi kemudian mereka memutuskan mencari pekerjaan di Jakarta dengan harapan dapat membantu meningkatkan ekonomi keluarga.
Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Pendidikan
Jumlah
Persen
Tidak Sekolah
1
3,3
Tidak Tamat SD/Sederajat
7
23,3
Tamat SD/Sederajat
14
46,7
Tamat SMP/Sederajat
6
20,0
Tamat SMA/Sederajat
2
6,7
Total
30
100,0
5.3. Daerah Asal Responden Pendatang yang tinggal di permukiman liar di wilayah Kelurahan Lenteng Agung berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang terkumpul, sebagian besar pendatang berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa. Paling banyak (16,7%) atau lima orang responden berasal dari Karawang, kemudian berasal dari Pati dan Tegal masing-masing berjumlah empat orang (13,3%). Responden yang berasal dari Cikarang berjumlah tiga orang (10,0%). Jumlah responden yang sama ditunjukkan pula oleh responden yang berasal dari Rangkas, Bogor dan Banten dengan jumlah dua orang responden (6,7%). Responden yang berasal dari Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura memiliki jumlah yang sama dimana masing-masing terdiri dari satu orang responden (3,3%).
53
Tabel 3. Jumlah Responden Menurut Daerah Asalnya, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Daerah Asal
Jumlah
Persen
Cikarang
3
10,0
Karawang
5
16,7
Pati
4
13,3
Ponorogo
1
3,3
Aceh
1
3,3
Ngawi
1
3,3
Rangkas
2
6,7
Tegal
4
13,3
Riau
1
3,3
Ciledug
1
3,3
Bogor
2
6,7
Bekasi
1
3,3
Surabaya
1
3,3
Banten
2
6,7
Madura
1
3,3
Total
30
100,0
Alasan mereka tinggal dipermukiman ini sebagian besar dikarenakan faktor ekonomi. Pekerjaan responden yang tergolong dalam sektor informal dimana penghasilan yang diperoleh masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memaksa responden memilih tinggal dipermukiman liar. Responden merasa berat jika setiap bulannya harus membayar kontrakan rumah yang mahal. Berdasarkan data yang diperoleh alasan lain responden tinggal dipermukiman liar tersebut karena ajakan dari saudara-saudara mereka yang telah lebih dulu tinggal ditempat tersebut. Responden yang mengikuti ajakan saudaranya untuk tinggal dipermukiman liar adalah responden yang baru datang
54
dari daerah dan tidak memiliki kenalan lain di kota Jakarta. Pendatang baru tersebut mencoba mencari pekerjaan di Jakarta. Akan tetapi sebelum mendapatkan pekerjaan biasanya mereka ikut membantu pekerjaan saudaranya. Biasanya tempat tinggal mereka berdekatan antara saudara yang satu dengan saudara yang lain akan tetapi setiap keluarga tinggal dalam satu bedeng. Tentunya responden masih memiliki harapan untuk dapat hidup di tempat yang lebih layak. Hal tersebut dapat terwujud jika responden sudah memiliki penghasilan yang cukup.
5.4. Keberadaan Keluarga Responden Keluarga responden ada yang ikut serta tinggal bersama responden dan ada juga yang tinggal terpisah dengan responden. Biasanya keluarga responden yang tidak tinggal bersama dengan responden berada atau menetap dikampung halaman. Alasan ekonomi kembali menjadi kendala dimana biaya hidup di Jakarta yang sangat besar menjadi dasar. Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi responden untuk memutuskan hidup secara terpisah dengan anak dan isterinya. Seperti dikatakan oleh salah satu responden:
“keluarga saya tinggal dikampung. Kalau semua keluarga ikut perlu biaya yang lebih besar lagi untuk makan, rumah dan kebutuhan lainnya. Kalau saya sendirian kan seperti ini saja sudah cukup. Saya bisa tidur dimana saja. Kalau ada anak dan istri, saya mana tega membiarkan mereka tinggal di gubuk begini. Seenggaknya harus ngontrak rumah yang lebih baik. Kalau dikampungkan enak. Mereka bisa tinggal dirumah orang tua” (Bapak Anw, 28 tahun).
Berdasarkan data yang terkumpul maka dapat dilihat bahwa jumlahnya tidak menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Sebanyak 18 orang responden (60,0%) mengajak keluarganya untuk tinggal bersama sedangkan sebanyak 12
55
orang responden (40,0%) lebih memilih meninggalkan keluarganya di kampung. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Responden Menurut Tempat Tinggal Keluraga, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Keluarga Responden
Jumlah
Persen
Tinggal bersama responden
18
60,0
Tinggal di daerah asal
12
40,0
Total
30
100,0
5.5. Pekerjaan Responden Pekerjaan yang dilakukan oleh responden berbeda-beda. Melalui pekerjaan-pekerjaan tersebut responden menggantungkan hidupnya. Responden mendapatkan uang yang dapat digunakan untuk membiayai hidupnya dan keluarga melalui pekerjaan-pekerjaan tersebut. Akan tetapi pekerjaan tersebut semuanya bergerak disektor informal. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5:
Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Pekerjaan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Pekerjaan
Jumlah
Persen
Pengumpul barang rongsokan
10
33,3
Berdagang makanan
5
16,7
Serabutan
5
16,7
Tukang es balok
1
3,3
Kernet bis
1
3,3
Tukang sampah
3
10,0
Penjual pulsa
1
3.3
Ibu rumah tangga
3
10,0
Pengangguran
1
3,3
Total
30
100,0
56
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa sebanyak 10 orang responden (33,3%) bekerja sebagai pengumpul barang rongsokan yang mereka cari dengan cara berkeliling. Hasilnya kemudian dikumpulkan untuk kemudian akan disetorkan kembali kepada perusahaan daur ulang atau kepada individu yang ingin membeli barang-barang tersebut. Responden yang bekerja sebagai pedagang makanan dan bekerja serabutan memiliki jumlah yang sama yaitu lima orang responden (16,7%). Jumlah yang sama juga ditunjukkan oleh responden yang bekerja sebagai tukang sampah dan ibu rumah tangga yaitu sebanyak tiga orang responden (10,0%). Jumlah yang sama juga ditunjukkan oleh responden yang bekerja sebagai tukang es balok, kernet bis, penjual pulsa dan pengangguran dimana jumlahnya masing-masing adalah satu orang (3,3%). Responden yang menganggur adalah Tnt ( 27 tahun). Pada awalnya Tnt bekerja sebagai pegawai kontrak disalah satu kantor swasta sebagai office girl, akan tetapi saat ini kontraknya habis dan tidak diperpanjang lagi. Saat ini beliau belum menemukan pekerjaan baru sehingga pendapatan rumah tangga hanya diperoleh dari suami.
5.6. Pendapatan Responden Pendapatan responden dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Responden dikatakan memiliki pendapatan rendah jika pendapatan responden per bulan < Rp 1.000.000,00; sedang dengan pendapatan per bulan Rp 1.000.000,00-Rp 2.500.000,00 dan tinggi jika pendapatan per bulannya > Rp 2.500.000,00. Pengelompokkan tersebut dibuat setelah penelitian
57
selesai dilakukan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya menentukan pengelompokkan terhadap pendapatan sebelum mengetahui berapa rata-rata pendapatan responden. Tentunya penggolongan pendapatan tersebut berdasarkan hasil temuan di lapangan (emik) yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat diketahui penghasilan individu maupun rumah tangga responden di permukiman liar setiap bulannya. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Tingkat Pendapatan Responden
Pendapatan Individu
Pendapatan Rumah Tangga
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Rendah
21
70,0
10
33,3
Sedang
9
30,0
16
53,3
Tinggi
0
0
4
13,3
Total
30
100,0
30
100,0
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau sebanyak 21 orang responden (70,0%) memiliki pendapatan individu dengan jumlah kurang dari Rp 1.000.000,00. Bahkan empat orang responden atau sekitar 19 persen dari jumlah responden yang berpendapatan kurang dari Rp 1.000.000,00 tidak memiliki pendapatan. Keempatnya sama sekali tidak memiliki pendapatan setiap bulannya untuk menunjang kehidupan mereka kedepannya. Empat orang tersebut terdiri dari tiga orang ibu rumah tangga dan satu orang perempuan yang menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan yang baru setelah dipecat dari tempat keja sebelumnya. Untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, mereka hanya mengandalkan pendapatan dari suami mereka saja.
58
Pendapatan rumah tangga yang dimiliki responden sebagian besar berada antara Rp 1.000.000,00-Rp 2.500.000,00 yaitu sebanyak 16 keluarga (53,3%). Tetapi masih ada juga rumah tangga dengan pendapatan perbulan kurang dari Rp 1.000.000,00 yaitu sebanyak 10 keluarga (33,3%). Untuk tingkat pendapatan lebih besar dari Rp 2.500.000,00 terdiri dari empat keluarga (13,3%). Hanya ada satu keluarga yang memiliki tingkat pendapatan lebih besar dari Rp 5.000.000,00. Keluarga tersebut adalah keluarga Bapak Erw dan Ibu Van yang menjadi bos barang rongsokan dengan penghasilan bersih rata-rata per bulan Rp.8.000.000,00. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden sebanyak 25 orang responden (83,3%) mengatakan bahwa sebagian penghasilan mereka lebih dititikberatkan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Dengan demikian banyak responden yang tidak memiliki uang simpanan untuk konsumsi kesehatan. Responden akan mengeluarkan uang untuk kesehatan hanya pada saat responden sakit. Tidak sedikit dari responden terkadang mengalami kesulitan ekonomi pada saat dirinya atau keluarga mereka ada yang sakit. Berdasarkan data yang terkumpul hanya terdapat tujuh orang responden (23,3%) saja yang menyisihkan pendapatan mereka untuk konsumsi kesehatan. Responden merasa tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga mereka tidak memerlukan suplemen atau vitamin untuk menjaga kondisi tubuh. Oleh karena itu responden lebih mementingkan menjaga konsumsi makanan dibandingkan konsumsi untuk kesehatan seperti membeli vitamin, suplemen dan lainnya.
59
5.7. Akses Migran di Permukiman Liar Terhadap Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Berdasarkan data yang diperoleh maka diketahui bahwa akses migran dipermukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan. Keempat orang yang memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut memiliki kartu pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Dua orang memiliki kartu Jamkesmas yang diperoleh dari kelurahan tempat mereka berasal. Satu orang memiliki SKTM yang diurus sendiri oleh responden dan satu orang lainnya memiliki kartu Jamsostek dari tempat istrinya bekerja. Migran yang ada dipermukiman liar lebih memilih untuk mengkonsumsi obat-obatan yang dijual bebas di warung-warung atau minum jamu tradisional saat mereka sakit. Responden merasa berat jika harus pergi ke dokter dan mengeluarkan biaya besar. Pendapatan yang serba kurang menjadi pertimbangan utama responden untuk pergi ke dokter jika sakit. Kalaupun responden harus memeriksakan kesehatannya, Puskesmas menjadi pilihan pertama mereka karena biayanya yang masih terjangkau.
60
5.8. Ikhtisar Permukiman liar yang ada diwilayah RT 016 RW 05 Kelurahan Lenteng Agung Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan berada di antara bantaran rel kereta api dan sungai Ciliwung. Permukiman liar tersebut terbagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah permukiman liar yang berdiri diatas tanah milik pribadi dan kelompok yang kedua adalah permukiman liar yang berdiri diatas tanah milik PJKAI serta Dinas Perairan DKI Jakarta. Sebagian besar pendatang berasal dari beberapa wilayah di pulau jawa seperti Karawang, Pati, Tegal, Cikarang, Rangkas, Bogor, Banten, Ponorogo, Aceh, Ngawi, Riau, Ciledug, Bekasi, Surabaya dan Madura. Pekerjaan yang dilakukan oleh responden semuanya bergerak disektor informal. Pekerjaan yang banyak digeluti oleh migran di permukiman liar adalah sebagai pengumpul barang rongsokan. Sebagian besar responden memiliki pendapatan per bulan antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00 tetapi masih ada juga responden yang berpenghasilan dibawah Rp 1.000.000,00. Hanya sedikit responden yang memiliki pendapatan diatas Rp 2.500.000,00. Pendapatan yang dimiliki oleh responden sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi makanan sehari-hari. Responden akan mengeluarkan uang untuk kesehatan hanya pada saat responden sakit. Responden merasa tidak perlu mengeluarkan uang untuk investasi kesehatan. Responden merasa bahwa cukup dengan makan saja tubuh mereka sudah sehat sehingga mereka tidak memerlukan suplemen atau vitamin untuk menjaga kondisi tubuh. Akses migran di permukiman liar terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi masih sangat kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari kepemilikan
61
responden terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari 30 orang responden hanya terdapat empat orang atau sebesar 13,33 persen yang mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan yang dapat meringankan responden saat responden memerlukan bantuan kesehatan.
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Informasi yang Dimiliki Masyarakat Migran Di Permukiman Liar Mengenai Adanya Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi Salah
satu
program
pemerintah
untuk
menunjang
kesehatan
masyarakatnya adalah dengan memberikan subsidi dibidang kesehatan. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin termasuk dalam bidang kesehatan. Akan tetapi besarnya bantuan yang akan diterima oleh masyarakat pemilik kartu tersebut berbeda antara pemilik kartu yang satu dengan yang lainnya. Untuk pemilik kartu Jaskesmas dan SKTM pemilik hanya akan mendapat keringanan biaya sebesar tertentu sedangkan untuk pemilik kartu Gakin pemilik akan bebas dari biaya. Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dalam bentuk kartu kesehatan tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung. Di lokasi penelitian sebagian besar penghuninya tidak mengetahui mengenai bantuan penyediaan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk kartu yang dapat digunakan saat melakukan pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 19 orang responden atau sebesar 63,3 persen dari jumlah responden yang tidak tahu atau belum pernah mendengar mengenai
63
adanya program bantuan penyediaan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi seperti Jamkesmas, Gakin dan SKTM. Banyak responden yang kurang mengetahui mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah. Biasanya responden hanya sekedar tahu atau pernah mendengar mengenai program bantuan penyediaan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Dengan demikian responden belum sampai pada tahap mengetahui dengan apa yang dimaskudkan oleh masing-masing program atau proses memperoleh kartu tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7:
Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Informasi Mengenai Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Mengetahui atau pernah Jumlah Persen mendengar Ya 11 36,7 Tidak 19 63,3 Total 30 100,0
Kurangnya informasi responden mengenai adanya bantuan dari pemerintah tersebut dikarenakan tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Responden merasa bahwa mereka dikucilkan dari lingkungan sekitar. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak pernah mengetahui atau mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah salah satunya adalah dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sedang hangat dibicarakan. Ketidaktahuan mereka bahkan membuat persepsi tersendiri terhadap munculnya penyelewengan yang dilakukan oleh pihak atas. Hal tersebut seperti yang dikutip dari salah seorang responden:
64
“kita mah orang kecil jadi mana pernah kita tahu mengenai bantuan-bantuan begitu. Biasanya yang dapet bantuan-bantuan kaya gitu cuma orang-orang yang deket sama RT. Contohnya BLT kemaren. Kita disini mana ada yang dapat. Yang dapat ya saudara-saudara RT sama orang-orang yang dekat dengan RT” (Bapak Swn, 40 tahun).
Persepsi warga tersebut tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Hdn selaku Ketua RT 016, warganya memang tidak ada yang mendapatkan bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah. Walaupun sudah mengajukan data warganya yang kurang mampu tetapi menurut pihak yang berwenang bahwa warga di RT tersebut tidak ada yang berhak menerima bantuan tersebut karena tidak memenuhi syarat. Menurut Pak Hdn, beliau akan memproses sesuai dengan prosedur yang berlaku jika warganya ingin membuat kartu pelayanan kesehatan tersebut. Tentu saja warganya yang ingin membuat kartu pelayanan kesehatan tersebut harus menyiapkan persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dimana salah satunya adalah kepemilikan kartu identitas atau KTP di kelurahan tempat mereka tinggal yaitu Kelurahan Lenteng Agung. Akan tetapi seperti yang diketahui bahwa sebagian besar migran yang ada di permukiman liar hanya memiliki KTP daerah asal mereka dan tidak memiliki KTP DKI Jakarta. Berdasarkan hasil temuan di lapangan juga ditemukan perbedaan prosedur memperoleh kartu kesehatan gratis atau bersubsidi antara DKI Jakarta dengan daerah lain di wilayah Indonesia. Responden yang memiliki kartu Jamkesmas dari daerah asalnya mengungkapkan bahwa semua prosedur diurus oleh aparatur desa setempat sehingga responden tersebut hanya tinggal menerima kartu Jamkesmas tersebut. Responden yang ingin membuat kartu kesehatan di wilayah DKI Jakarta
65
harus mengurus prosedur pembuatan sendiri. Banyak responden yang tidak mengetahui hal tersebut sehingga responden tersebut hanya menunggu mendapatkan bantuan kesehatan tersebut tanpa melakukan usaha membuat kartu kesehatan.
6.2. Keterkaitan Antara Pengetahuan Responden dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Pengetahuan mengenai adanya bantuan terhadap penyediaan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dimiliki responden tidak sebanding dengan kepemilikian kartu pelayanan kesehatan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat diketahui bahwa tidak semua responden yang mengetahui mengenai adanya bantuan kesehatan tersebut memiliki kartu pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas, Gakin atau SKTM. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa akses responden terhadap akses fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi berbeda-beda antara responden yang satu dengan yang lainnya. Merujuk pada definisi operasional pada bab sebelumnya maka akses responden terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi digolongkan menjadi lemah, sedang dan kuat. Responden dikatakan memiliki akses yang lemah jika responden sama sekali tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Akses sedang jika responden memiliki satu atau dua buah kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Akses yang dikatakan kuat jika responden memiliki ketiga kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi dalam hal ini adalah Jamkesmas, Gakin dan SKTM. Kurangnya informasi yang dimiliki responden mengenai bantuan kesehatan berupa kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi dari
66
pemerintah, responden dipermukiman liar juga banyak yang tidak mengerti mengenai kartu dan manfaat dari kartu pelayanan kesehatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pengetahuan dan Askesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Pengetahuan Responden
Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Total
Persen
Lemah
Persen
Sedang
Persen
Kuat
Persen
Baik
2
40,00
3
60,00
0
0
5
100,00
Kurang Baik
24
96,00
1
4,00
0
0
25
100,00
Total
26
86,67
4
13,33
0
0
30
100,00
Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki akses yang lemah terhadap kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden yang memiliki akses lemah terdiri dari 26 orang responden (86,67%). Responden yang memiliki akses sedang hanya terdiri dari empat orang dimana masing-masing hanya memiliki satu kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Pada penelitian ini tidak ditemukan responden yang memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi sebanyak tiga kartu atau lebih. Dengan demikian tidak ada responden yang memiliki akses yang kuat dalam memanfaatkan bantuan kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah. Kurangnya akses yang dimiliki oleh responden dikarenakan responden kurang mengetahui membuatnya.
betul
mengenai
kartu
pelayanan
kesehatan
termasuk
cara
67
Tabel 8 juga menunjukkan bahwa dari lima orang responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi dimana dua orang diantaranya tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan, dua orang memiliki kartu Jamkesmas dan satu orang memiliki SKTM. Dua orang yang memiliki kartu Jamkesmas adalah pasangan ibu dan anak dimana anaknya telah memiliki rumah tangga sendiri. Pasangan ibu dan anak tersebut adalah Ibu Srw (41 tahun) dan Tnt (27 tahun). Mereka mendapatkan kartu Jamkesmas dari kecamatan tempat mereka berasal yaitu didaerah Tegal. Untuk mendapatkannya pun mereka tidak harus repot-repot karena menurut Ibu Srw mereka hanya tinggal menerima kartu tersebut dari kecamatan yang telah melakukan pendataan berdasarkan Kartu Keluarga (KK) yang ada di kecamatan tersebut. Ibu Srw sudah pernah menggunakan kartu tersebut di kampung halamannya sedangkan di Jakarta belum pernah digunakan karena tidak tahu kartu tersebut dapat digunakan juga di Jakarta atau tidak. Pada saat Ibu Srw sakit beliau selalu pulang ke kampung halamannya. Berbeda dengan ibunya, Tnt lebih memilih berobat di Jakarta tanpa harus mengandalkan kartu Jamkesmas tersebut. Jika Tnt sakit ia lebih memilih berobat ke dokter dengan menggunakan uangnya sendiri. Penghuni permukiman liar yang memiliki SKTM adalah Ibu Yni (25 tahun). Beliau membuat surat keterangan tersebut saat anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Untuk memperoleh keringanan biaya Ibu Yni berusaha membuat SKTM untuk membantunya meringankan biaya pengobatan. Akan tetapi, selama proses pembuatan SKTM tersebut Ibu Yni merasa mengalami kendala terutama saat harus berurusan dengan pihak puskesmas. Setelah semua persyaratan seperti surat keterangan dari RT dan RW sudah lengkap Ibu Yni harus
68
menyerahkan semua persyaratan ke Dinkesos disertai dengan foto copy Kartu C1 yang diperoleh dari puskesmas. Akan tetapi ketika Ibu Yni membuat Kartu C1 beliau mengalami kendala yaitu proses yang lama dan terkesan diacuhkan juga dirasakan oleh Ibu Yni. Beliau merasa tidak dilayani dengan baik. Bahkan sampai saat ini beliau belum juga memperoleh kartu tersebut. Ibu Yni akhirnya memutuskan untuk berusaha membayar seluruh biaya pengobatan anaknya walaupun ia harus meminjam kepada tetangga atau kerabat karena ia merasa sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tabel 8 menjelaskan bahwa dari 25 orang jumlah responden yang kurang memiliki pengetahuan mengenai bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah, terdapat satu orang responden yang memiliki jaminan kesehatan berupa Jamsostek. Pak Erw (25 tahun) mendapatkan Jamsostek tersebut dari tempat istrinya bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Sisanya, 24 orang responden tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas, Gakin dan SKTM. Selain itu responden tersebut juga sama sekali tidak mengetahui mengenai kartu pelayanan kesehatan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Responden tersebut tidak hanya tidak mengetahui mengenai kartu pelayanan kesehatan tersebut tetapi responden bahkan tidak mengetahui bahwa pemerintah telah menyediakan bantuan kesehatan untuk warga miskin. Tabel 8 juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi (p<0,05). Besarnya nilai p adalah 0,001 sedangkan nilai koefisien kontingensi yang diperoleh 0,523. Artinya ada hubungan yang cukup berarti antara pengetahuan
69
yang dimiliki responden dengan akses mereka terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Sosialisasi yang kurang dilakukan oleh aparat desa juga menjadi salah satu penyebab ketidaktahuan warganya mengenai adanya bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah. Diharapkan agar aparat desa mau turun langsung ke lapang guna memberitahukan bahwa pemerintah telah memberikan bantuan untuk membantu warga miskin dalam bidang kesehatan.
6.3. Kendala Dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Gratis Atau Bersubsidi Serta Keterkaitannya dengan Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Selain kurangnya pengetahuan responden terhadap adanya bantuan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi terdapat faktor lain yang mempengaruhi responden dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Dalam hal ini penelitian ditujukan juga untuk melihat pengaruh tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki oleh responden dengan aksesnya terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. 6.3.1. Tingkat Pendidikan Responden Kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Paling banyak ditunjukkan oleh responden yang hanya tamat SD/Sederajat sebanyak 14 orang responden. Kedua adalah responden yang tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat SD/Sederajat dengan jumlah
70
tujuh orang responden kemudian responden yang tamat SMP/Sederajat dengan jumlah lima orang responden.
Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Pendidikan
Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan
Terakhir
Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Responden
Total
Persen
Lemah
Persen
Sedang
Persen
Kuat
Persen
Tidak Sekolah
0
0
1
100,00
0
0
1
100,00
Tidak
7
100,00
0
0
0
0
7
100,00
14
100,00
0
0
0
0
14
100,00
5
83,33
1
16,67
0
0
6
100,00
0
0
2
100,00
0
0
2
100,00
26
86,67
4
13,33
0
0
30
100,00
Tamat
SD/Sederajat Tamat SD/Sederajat Tamat SMP/Sederajat Tamat SMA/Sederajat Total
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat antara pendidikan terakhir yang dimiliki responden dengan kepemilikan terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Seluruh responden yang menyelesaikan sekolah sampai SMA memiliki kartu kesehatan. Enam orang responden yang menyelesaikan pendidikan SMP hanya satu orang yang memiliki kartu kesehatan. Ada juga responden yang tidak mengenyam bangku sekolah tetapi responden tersebut memiliki kartu Jamkesmas.
71
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil uji rank spearman yang telah dilakukan dimana nilai P sebesar 0,128 (P>0,05) dengan nilai koefisien korelasi 0,284. Akan tetapi dalam pengolahan data tersebut terjadi missing cells dimana terdapat kolom yang kosong di dalam tabel dimana seharusnya hal tersebut tidak ada. Salah satu responden yang dapat dijadikan bukti bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap akses responden terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi adalah Ibu Srw (41 tahun) dimana beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Akan tetapi beliau memiliki Jamkesmas. Pengaruh yang berlawanan ditunjukkan oleh responden yang tamat SMA/Sederajat dimana kedua responden yang telah tamat SMA/Sederajat tersebut memiliki Jamkesmas dan SKTM.
6.3.2. Pendapatan Responden Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan responden tidak mampu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden yang tidak memiliki KTP setempat harus mengurusnya terlebih dahulu. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa untuk mengurus KTP baru seorang responden harus mengeluarkan uang sebesar Rp 350.000,00 sampai Rp 600.000,00. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Bapak Swn (40 tahun), tarif tersebut merupakan tarif resmi yang diberikan oleh pihak kecamatan. Menurut petugas kelurahan penetapan tarif tersebut
72
tergantung dengan surat keterangan daerah asal yang dibawa oleh responden. Pembayaran tersebut juga dilakukan di kecamatan dan bukan di kelurahan. Tentu saja hal tersebut cukup memberatkan responden yang sebagian besar penghasilannya di bawah Rp 1.000.000,00 dimana uang tersebut masih harus dibagi-bagi untuk berbagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Biaya yang harus dikeluarkan selama memproses kartu tersebut merupakan kendala lain dari seseorang untuk dapat memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Biaya administrasi yang harus dikeluarkan selama proses pembuatan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tidak terlalu besar. Akan tetapi ongkos transportasi yang harus dikeluarkan selama proses berlangsung yang menjadi beban berat untuk responden. Seperti yang dikatakan oleh informan:
“banyak orang yang malas ngurusnya. Jangankan mereka, bapak aja suka malas kalau harus pergi ke kecamatan. Harus naik angkot dulu. Udah gitu angkotnya ngga nyampe kecamatan jadi masih harus disambung dengan ojeg. Jadi biaya transportasinya jadi mahal. Gimana kalau harus ngurus-ngurus Jamkesmas atau Gakin yang harus ke Sudin Kesehatan juga” (Bapak Hdn, 50 tahun).
Berdasarkan data pada Tabel 10 dibawah ini menunjukkan bahwa memang sebagian besar responden memiliki pendapatan per bulan di bawah Rp 1.000.000,00. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa responden dengan pendapatan perbulan di bawah Rp 1.000.000,00 terdiri dari 21 orang responden dan terdapat sembilan orang responden dengan pendapatan perbulan sebesar Rp 1.000.000,00-Rp 2.500.000,00. Tentu saja dengan penghasilan tersebut responden merasa berat jika harus mengeluarkan biaya lagi untuk mengurus kartu-
73
kartu tersebut. Responden tentunya lebih memilih untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari terlebih dahulu.
Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendapatan Individu Per bulan dan Aksesnya Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Pendapatan Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Total Persen Responden
Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Per Bulan
Lemah Persen Sedang Persen Kuat Persen
Rendah
18
85,71
3
14,29
0
0
21
100,00
Sedang
8
88,89
1
11,11
0
0
9
100,00
Tinggi
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
26
86,67
4
13,33
0
0
30
100,00
Berdasarkan Tabel 10 maka dapat diketahui bahwa pendapatan yang dimiliki responden cukup berpengaruh dengan akses responden terhadap kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah responden dengan pendapatan rendah dimana sebagian besar atau sebanyak 18 orang responden (85,71%) memiliki akses yang lemah terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Dengan demikian semakin rendah pendapatan yang dimiliki responden maka semakin lemah aksesnya terhadap fasilitas pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Jika dilakukan uji menggunakan rank spearman maka dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi (p>0,05). Nilai p adalah 0,822 dengan nilai koefisien korelasinya adalah 0,043. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyak diantara responden dan keluarganya yang tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis
74
atau bersubsidi. Jumlah yang sama di tunjukkan oleh responden yang tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi jika dilihat dari pendapatan perbulan responden yaitu sebanyak 26 orang responden atau sebesar 86,67 persen. Hasil uji rank spearman yang telah dilakukan memang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan yang diperoleh responden dengan aksesnya terhadap kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada responden tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi menjadi alasan mendasar responden tidak membuat kartu pelayanan kesehatan tersebut.
6.3.3. Faktor-faktor Lainnya Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas terdapat faktor lainnya yang juga mempengaruhi responden dalam mengakses fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang telah disediakan oleh pemerintah. Faktor tersebut antara lain adalah pengetahuan responden mengenai cara memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Kurangnya informasi yang dimiliki oleh responden mengenai cara memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi membuat responden kurang dapat mengaksesnya. Beberapa responden yang diwawancarai mengakui jika ia mengetahui cara membuatnya maka ia ingin membuat kartu pelayanan kesehatan tersebut. Bahkan responden tersebut tidak canggung untuk bertanya mengenai pembuatan kartu pelayanan kesehatan tersebut.
75
Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Pengetahuan Cara Memperoleh Kartu Pelayanan Kesehatan Gratis atau Bersubsidi, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Mengetahui Cara
Jumlah
Persen
Ya
4
13,3
Tidak
26
86,7
Total
30
100,0
Memperoleh Kartu
Berdasarkan Tabel 11 maka diketahui bahwa hanya terdapat empat orang responden (13,3%) yang mengetahui cara memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Jumlah responden yang tidak mengetahui bagaimana cara memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi lebih besar yaitu sebanyak 26 orang (86,7%). Responden yang tidak mengetahui cara memperoleh kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi selalu menganggap bahwa bantuan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah tersebut dapat diperoleh secara langsung. Maksudnya adalah bahwa responden hanya tinggal menerima bantuan tersebut tanpa adanya usaha untuk memperolehnya. Responden tersebut tidak mengetahui bahwa sebenarnya individu terkait harus mengurusnya secara langsung ke Sudin Kesehatan Jakarta Selatan. Akan lebih baik jika terdapat pihak dari kelurahan setempat yang turun langsung ke lapang dan menyatu dengan masyarakat untuk mensosialisasikan adanya bantuan kartu pelayanan kesehatan secara gratis atau bersubsidi. Berdasarkan data yang diperoleh menggunakan kuesioner yang dilakukan terhadap 30 orang responden diketahui bahwa sebanyak 100,0 persen mengatakan bahwa tidak pernah ada petugas yang datang untuk menjelaskan mengenai
76
bantuan kartu pelayanan kesehatan secara gratis atau bersubsidi. Dengan demikian tidak adanya sosialisasi mengenai bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi sangat berpengaruh besar terhadap pengetahuan responden mengenai bantuan tersebut. Sebanyak setengah responden atau sebesar 15 orang (50%) mengetahui mengenai bantuan tersebut dari desas desus yang ada disekeliling responden antara lain adalah tetangga. Jumlah yang cukup banyak juga ditunjukkan oleh sembilan orang responden (30,0%) yang baru mengetahui mengenai Jamkesmas, Gakin dan SKTM dari peneliti. Responden yang mengetahuinya dari keluarga dan teman memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak tiga orang responden yaitu tiga orang (10,0%).
“petugas kelurahan ngga pernah ada yang datang buat ngasih tahu. Saya mah pernah denger-denger aja dari tetangga” (Bapak Adm, 30 tahun)
Faktor lain yang menjadi kendala dalam membuat kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi adalah kebutuhan responden. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden diperoleh jawaban bahwa responden belum merasa perlu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Responden merasa penyakit yang biasanya dialami masih tidak terlalu berat dan masih bisa disembuhkan dengan menggunakan obat-obatan warung atau dibiarkan. Dengan demikian responden merasa tidak perlu sampai pergi ke dokter di puskesmas atau rumah sakit. Responden yang memutuskan menggunakan jasa dokter di puskesmas atau rumah sakit, biasanya responden menggunakan uang miliknya sendiri untuk berobat. Pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh setiap responden untuk berobat
77
berbeda satu sama lainnya. Contohnya adalah Ibu Ttn (32 tahun), beliau harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500.000,00 saat beliau harus dirawat di rumah sakit saat mengalami dehidrasi yang dapat membahayakan kandungannya. Berbeda lagi dengan Bapak Hdy (50 tahun) yang harus mengeluarkan uang sekitar Rp 200.000,00 sampai Rp 300.000,00 setiap kali beliau harus memeriksa matanya yang sakit akibat bakteri ke rumah sakit. Biaya tersebut belum termasuk biaya obat tetes mata yang harus dibelinya setiap obat tersebut habis dimana harga obat tetes mata tersebut sekitar Rp 85.000,00. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh responden yang memanfaatkan layanan puskesmas berbeda dengan responden yang memanfaatkan pelayanan di rumah sakit. Walaupun tidak sedikit responden yang mengatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter di puskesmas masih kurang. Menurut Ibu Its (36 tahun), kadang-kadang saat beliau ke puskesmas beliau tidak diperiksa oleh dokter yang sedang bertugas. Ibu Its hanya ditanya mengenai gejala yang dirasakan kemudian dokter mendiagnosa penyakit yang dialami dan memberikan resep obat. Saat datang ke puskesmas yang bersangkutan peneliti mencoba melihat proses pemeriksaan yang dilakukan dokter. Dokter hanya melakukan pemeriksaan menggunakan alat stetoscope. Pasien yang berobat pun hanya berada beberapa detik atau tidak lebih dari dua menit di dalam ruangan. Alasan responden lebih memilih pelayanan di puskesmas karena biayanya lebih murah dengan biaya pendaftaran hanya sebesar Rp 2.000,00 dan biaya obat yang hanya sekitar Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00.
78
6.4. Status Kependudukan Responden Terkait dengan status tanah yang responden tempati di mana tanah tersebut bersifat ilegal maka dibahas pula mengenai status kependudukan yang dimiliki oleh responden selaku penghuni di wilayah tersebut. Selain itu, status kependudukan responden juga dikaitkan dengan akses responden dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah. Pada penelitian kali ini peneliti ingin melihat mengenai keterkaitan kedua variabel tersebut. Tabel 12 adalah tabel yang membahas mengenai kepemilikan serta masa berlakunya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dimiliki oleh responden, baik KTP DKI Jakarta maupun KTP daerah asal migran.
Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Kepemilikan KTP dan Masa Berlaku KTP, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Memiliki KTP
Ya
Jumlah
Persen
26
86,7
Masih berlaku
23
88,5
Tidak Berlaku
3
11,5
Tidak
4
13,3
Total
30
100,0
Berdasarkan Tabel 12 maka bapat diketahui bahwa dari 30 orang responden terdapat 26 orang responden (86,7 persen) dan 23 orang responden (88,5 persen) dari responden yang memiliki KTP tersebut KTP masih berlaku. Tiga orang responden (11,5 persen) yang memiliki KTP tetapi masa berlakunya telah habis. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan maka diketahui alasan responden yang tidak memilih untuk tidak membuat KTP DKI Jakarta
79
adalah dikarenakan prosedur yang berbelit-belit. Prosedur berbelit-belit yang dimaksudkan adalah banyaknya kelengkapan yang harus dipenuhi oleh responden sebagai syarat pembuatan KTP. Responden malas mengurus surat-surat keterangan yang akan digunakan untuk permohonan pembuatan KTP baru. Jika responden hendak mengurus permohonan pembuatan KTP responden harus mempersiapkan surat keterangan dari kelurahan tempat responden berasal. Migran yang datang ke Jakarta sebagian besar tidak membuat surat keterangan pindah. Hal tersebut dikarenakan migran tidak berniat untuk pindah ke Jakarta. Biasanya responden hanya berniat pindah sementara untuk bekerja dan akan pulang jika uang yang dimiliki dirasa sudah cukup. Selain membuat surat keterangan dari kelurahan tempat responden berasal, responden juga harus membuat surat keterangan kelakuan baik dari polisi. Setelah itu responden harus membuat surat keterangan pelapor pendatang baru dan surat keputusan calon penduduk dari luar Jakarta. Selain harus mengurus surat-surat ditempat yang berbeda-beda, dalam proses pembuatan surat-surat tersebut responden juga setidaknya harus mengeluarkan uang jasa yang dianggap cukup memberatkan responden. Prosedur tersebut dianggap cukup merepotkan responden dimana responden menganggap lebih baik waktu tersebut dapat dimanfaatkan untuk bekerja. KTP yang banyak dimiliki merupakan KTP daerah responden masingmasing berasal. Terkadang responden tidak sempat pulang ke daerah asalnya terlalu lama terlebih lagi hanya untuk mengurus KTP. Responden berfikir jika terlalu lama meninggalkan pekerjaannya di Jakarta maka ia tidak dapat mencari
80
uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Alasan responden memilih untuk tidak membuat KTP DKI Jakarta adalah proses pembuatan KTP dan ekonomi. Selain seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa responden malas untuk mengurus surat-surat dari daerah asal yang diperlukan untuk membuat KTP DKI Jakarta selain itu responden juga merasa berat dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat KTP. Bapak Hdy (50 tahun) yang merasa tidak terlalu perlu memperpanjang KTP yang dimilikinya. Selain karena alasan yang telah disebutkan diatas beliau juga menganggap bahwa KTP yang ia miliki tidak akan bermasalah. Jika ia mendapat masalah akibat KTP tersebut ia dapat dengan mudah memprosesnya karena banyak sanak saudaranya yang tinggal dikampung memiliki jabatan yang penting di kelurahan setempat. Kekuasaan yang dimiliki oleh sanak saudara Pak Hdy tersebut dimanfaatkan oleh Pak Hdy jika beliau mendapatkan masalah yang berkaitan dengan status Pak Hdy yang tidak jelas. Menurut Pak Hdy jika nantinya ia mendapat masalah karena KTP yang dimilikinya sudah tidak berlaku, beliau bisa meminta tolong kepada kerabatnya tersebut untuk membuat surat keterangan atau apa pun untuk membantunya terlepas dari masalah. Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat empat orang responden (13,3 persen) tidak memiliki KTP. Akan tetapi alasan yang dikemukakan oleh responden yang tidak memiliki KTP bukan karena mereka menganggap KTP tidak penting. Melainkan karena biaya besar yang harus dikeluarkan serta proses pembuatan KTP yang lama sehingga responden malas mengurusnya apalagi kalau sampai harus menyita waktu kerja mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang responden:
81
“bikin KTP baru ngga cukup uang sedikit. KTP baru bikinnya mahal. Sengganya uang Rp 350.000,00 sampai Rp 600.000,00 pasti keluar. Kalau buat saya mah sayang uang segitu cuma buat bikin KTP mending juga buat makan. Belum lagi bikinnya lama.” (Ibu Ttn, 32 tahun)
Penelitian ini hendak dilihat pula keterkaitan antara warga yang tinggal di permukiman liar yang memiliki KTP DKI Jakarta dan yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta dengan aksesnya terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Guna melihat hubungan yang terjadi tersebut maka dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 maka dapat diketahui bahwa sebanyak 17 orang responden (56,7 persen) masih memiliki KTP daerah asal, enam orang responden (20,0 persen) sudah memiliki KTP di tempat tinggalnya sekarang, dua orang responden (6,7 persen) memiliki KTP dari tempat tinggal responden yang dulu sebelum responden tersebut memutuskan untuk tinggal di permukiman liar. Sebagian besar dari responden yang telah memiliki KTP di tempat tinggal sebelumnya lebih memilih untuk memperpanjang KTPnya terus walaupun sudah tidak tinggal di wilayah tersebut. Hal tersebut dikarenakan proses memperpanjang KTP yang tidak memerlukan waktu lama dan dengan biaya yang masih dapat dijangkau jika dibandingkan harus membuat KTP baru. Biasanya tempat tinggal awal responden tidak jauh dengan tempat tinggalnya sekarang.
82
Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Dimana KTP Terdaftar Terhadap Kepemilikan Kartu Pelayanan Kesehatan, di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Juli 2009 Akses Responden Terhadap Kartu Pelayanan Kesehatan KTP
Gratis atau Bersubsidi
Terdaftar
Total
Persen
Lemah
Persen
Sedang
Persen
Kuat
Persen
Daerah Asal
14
82,35
3
17,65
0
0
17
100,00
DKI Jakarta
5
83,33
1
16,67
0
0
6
100,00
2
100,00
0
0
0
0
2
100,00
1
100,00
0
0
0
0
1
100,00
4
100,00
0
0
0
0
4
100,00
26
86,67
4
13,33
0
0
30
100,00
Tempat Tinggal Sebelumnya Daerah
Asal
dan
DKI
Jakarta Tidak Memiliki KTP
Total
Warga yang memiliki status resmi adalah mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta. Berdasarkan data pada Tabel 13 maka dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara status kependudukan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Akan tetapi tidak semua responden yang memiliki KTP DKI Jakarta memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Hanya satu orang (16,67%) yang memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau
83
bersubsidi. Lima orang lainnya atau sebesar 83,33 persen tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Tabel 13 juga menjelaskan bahwa sebanyak tiga orang responden yang memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis tidak memiliki KTP DKI Jakarta dan hanya memiliki KTP daerah asalnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa ketiga responden tersebut memiliki kartu pelayanan kesehatan tersebut dari kecamatan daerah asal mereka. Kartu tersebut terdaftar di wilayah asal responden dan bukan di wilayah DKI Jakarta. Dengan kata lain tidak ada responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta mendapatkan kartu pelayanan kesehatannya di DKI Jakarta. KTP merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki responden jika ingin memiliki
kartu
pelayanan
kesehatan.
Tentunya
responden
tidak
dapat
sembarangan mendaftarkan kartu pelayanan kesehatan yang dimilikinya. Responden tidak dapat mengajukan persyaratan pembuatan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi di wilayah DKI Jakarta jika KTP yang dimiliki responden terdaftar di daerah asal. Hanya masyarakat yang memiliki KTP DKI Jakarta yang dapat membuat surat pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi di wilayah DKI Jakarta. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh pemilik kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi dengan masa berlaku KTP yang masih aktif. Responden dengan masa berlaku KTP yang sudah tidak aktif lagi tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepemilikan dan masa aktif KTP berpengaruh terhadap kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.
84
6.5. Ikhtisar Pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakatnya. Program tersebut memiliki berbagai macam nama antara lain adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang dulunya lebih dikenal dengan Askes, Gakin (Kartu Keluarga Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Ketiganya memiliki fungsi untuk membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga miskin termasuk dalam bidang kesehatan. Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dalam bentuk kartu kesehatan tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin kebanyakan, termasuk di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung. Kurangnya pengetahuan penghuni di permukiman liar mengenai adanya bantuan dari pemerintah menjadi salah satu faktor rendahnya akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Disebabkan antara lain tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa baik dari pihak kelurahan atau kecamatan dan dari RT atau RW. Berdasarkan hasil uji dapat diketahui bahwa ada hubungan yang cukup berarti antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi (p<0,05). Nilai koefisien kontingensi yang diperoleh 0,523. Hasil uji juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai (P>0,05) dengan nilai koefisien korelasi 0,284. Faktor ekonomi merupakan faktor dasar yang menyebabkan responden tidak mampu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Selain itu status kependudukan juga menjadi syarat mutlak dalam memperoleh kartu
85
pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tidak mungkin memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta. Responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tetapi memiliki kartu pelayanan kesehatan, biasanya kartu tersebut terdaftar di daerah asal responden.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Program pemerintah yang bertujuan untuk menunjang kesehatan masyarakat miskin yang diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi, seperti Jamkesmas, Gakin dan SKTM dianggap kurang mencapai sasarannya. Masih banyak masyarakat miskin, termasuk masyarakat miskin di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung, yang belum dapat menikmati fasilitas kesehatan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Pada penelitian ini tidak ditemukan responden yang memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi sebanyak tiga kartu atau lebih. Diketahui juga bahwa ada hubungan yang cukup berarti antara pengetahuan yang dimiliki responden dengan akses mereka terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi dimana nilai p-value p<0,05 dengan nilai koefisien kontingensi yang diperoleh 0,523. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden. Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi ditunjukkan dengan hasil uji rank spearman yang telah dilakukan dimana nilai (P>0,05) dengan nilai koefisien korelasi 0,284.
87
Ekonomi merupakan faktor penghambat utama migran di permukiman liar dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh responden selama membuat kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi dianggap membebani responden. Semakin rendah pendapatan yang dimiliki responden maka semakin lemah aksesnya terhadap fasilitas pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. Responden belum merasa perlu memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi tersebut karena responden merasa kondisi tubuhnya cukup baik. Informasi mengenai adanya bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi yang dimiliki responden mempengaruhi akses responden terhadap kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. KTP merupakan bukti identitas yang dimiliki oleh setiap orang. Migran yang ada di permukiman liar di Kelurahan Lenteng Agung banyak yang memiliki KTP berdasarkan daerah responden masing-masing berasal. Pada penelitian ini hendak dilihat pula keterkaitan antara warga yang tinggal di permukiman liar yang memiliki KTP DKI Jakarta dan yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta dengan aksesnya terhadap kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. KTP merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki responden jika ingin memiliki kartu pelayanan kesehatan. Responden tidak dapat mengajukan persyaratan pembuatan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi di wilayah DKI Jakarta jika KTP yang dimiliki responden terdaftar di daerah asal. Hanya masyarakat yang memiliki KTP DKI Jakarta yang dapat membuat surat pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi di wilayah DKI Jakarta.
88
7.2. Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi mengenai adanya bantuan kesehatan gratis atau bersubsidi dari pemerintah harus lebih ditingkatkan agar seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat lapisan bawah mengetahuinya. 2. Sosialisasi mengenai prosedur pembuatan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi juga harus dilakukan. 3. Pengawasan terhadap aparatur desa agar tidak ada lagi pungutan liar yang sangan memberatkan masyarakat miskin selama proses pembuatan kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi. 4. Perbaharuan terhadap kriteria penerima Gakin harus segera dilakukan. Hal tersebut karena syarat penerima Gakin yang ditetapkan oleh pemerintah sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan yang ada saat ini. 5. Diharapkan pada penelitian yang akan datang agar pembahasan mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah lebih diperdalam lagi.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Biro Pusat Statistik. 2000. Proyeksi Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 2000-2025. Jakarta: BPS DKI Jakarta.
_____. 2007. Jakarta Dalam Angka (Penduduk, Migrasi dan Ketenagakerja). Jakarta: BPS DKI Jakarta.
Faisal, Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Keyfitz, Nathan dan Widjojo Nitisastro. 1955. Soal Penduduk Dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Pembangunan.
Lucas, David et al. 1984. Pengantar Kependudukan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif: teori dan aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7(revisi). Jakarta: Pusaka LP3ES.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1982. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Suyono, Haryono. 2003. Visi Kependudukan Berwawasan Kemanusiaan. Jakarta: Damandiri.
90
Jurnal Ilmiah Basundoro, Purnawan. 2004. Pembangunan Kota dan Perebutan Ruang: Studi Tentang Permukiman Liar Di Kota Surabaya. The 1st International Conference On Urban History, Surabaya, August 23rd-25th 2004. Diakses tanggal 20 November 2008.
Chotib. 2000. Desentralisasi Dalam Konteks Urbanisasi. Visi Nomor 07/Th.VI/2000. Diakses tanggal 4 September 2009.
Rindarjono, M.G.2007.Residential Mobility Di Pinggiran Kota Semarang Jawa Tengah, Forum Geografi Vol.21 Desember 2007:135-146. Diakses tanggal 1 November 2008.
Laporan Tidak Diterbitkan Astuti, Ruri.2006. Permukiman Liar Di Kawasan Lindung, Situ Rawa Besar, Depok. Skripsi. Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Jakarta.
Nasution, Demi Hasfinul. 2002. Dampak Sosial dan Ekonomi Kebijakan Relokasi dan Penataan Permukiman Liar di Wilayah Perkotaan (Studi Kasus Kota Batam). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pardede, Ilham Akbar. 2008. Pengaruh Migrasi Internasional Terhadap Daerah Asal (Kasus: TKI di Desa Kertamukti, Kecamatan Haur Wangi, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sandyatma, Yudhi Harsatriadi. 2004. Strategi Adaptasi Pendatang di Perkotaan Studi Kasus Tiga Keluarga Pendatang Di Tempat Penampungan Sampah Kel. Depok, Kec. Pancoran Mas, Kota Depok.
Skripsi. Antropologi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Jakarta.
91
Sugianto, Ujang Firman. 2007. Derajat Kesehatan Keluarga Nelayan di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tangnga, Muh Idrus. 1988. Urbanisasi dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Permukiman di Kotamadya Ujung Pandang Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. KPK IPB UNHAS. Ujung Pandang.
Wahyuni, Ekawati S dan Pudji Muljono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Internet Admin. 2007. Prosedur Untuk Mendapatkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu).
http://pks-cimanggis.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=21.
Diakses tanggal 22 Mei 2009.
Ariane, Zely. 2007. Sering Dipersulit, Pelayanan Kesehatan Bagi Orang Miskin. http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/7/22/Potret.html.
Diakses
tanggal 22 Mei 2009.
Badan Informasi Daerah. 2007. Masyarakat Miskin Kota Yogyakarta Peroleh Jaminan
Kesehatan.
http://mediainfokota.jogjakota.go.id/detail.php?berita_id=44.
Diakses
tanggal 22 Mei 2009.
Baskoro,
Sandy.
2007.
3185
Warga
Depok
Urus
Surat
Miskin.
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2007/07/12/brk,20070712103591,id.html. Diakses tanggal 23 Mei 2009.
92
Bian. 2008. Sosialisasi Gakin Tak Optimal, Masyarakat Tetap Dipungut Biaya. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Sosialisasi+Gakin+ Tak+Optimal%2C+Masyarakat+Tetap+Dipungut+Biaya&dn=200803102 02601. Diakses tanggal 14 Mei 2009.
Departemen Kesehatan. 2007. Tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat. http://www.jpkmonline.net/index.php?option=com_content&task=view&i d=53&Itemid=89. Diakses tanggal 22 Mei 2009.
Hambuako, Ihm. 2009. Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Jamkesmas 2008. http://dinkesbanggai.wordpress.com/2009/04/23/tinjauan-yuridispenyelenggaraan-jamkesmas-2008/. Diakses tanggal 14 Mei 2009.
KBI
Gemari.
2003.
Dilema
Kemiskinan
di
DKI
Diakses
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=248.
Jakarta. tanggal
4
September 2009.
Nafi,
Muchamad.
2006.
Pemerintah
DKI
Jakarta
Tekan
Urbanisasi.
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/01/17/brk,2006011772424,id.html. Diakses tanggal 4 September 2009.
Setiawan,
Yudha.
2006.
Urbanisasi
ke
Jakarta
Menurun.
http://www.tempointeractive.com/hg/jakarta/2006/10/31/brk,2006103186811,id.html. Diakses tanggal 4 September 2009.
Suyogo.
2009.
Slum
and
Squatter
Area.
http://suyogo.students.uii.ac.id/2009/03/08/hello-world/. Diakses tanggal 23 Mei 2009.
Yayasan
Ginjal
Diatrans
Indonesia.
2008.
Program
JPK
http://www.ygdi.org/patient-info/info-gakin-jamkesmas/prosedurpengurusan.html. Diakses tanggal 22 Mei 2009.
Gakin.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 DOKUMENTASI
Bedeng tempat tinggal migran
Pekerjaan yang dilakukan migran di halaman bedeng
Letak bedeng yang berdekatan dengan rel kereta api
Kartu Jamkesmas
Aliran sungai anak ciliwung yang ada di belakang bangunan bedeng
Ibu Srw, salah satu pemilik kartu Jamkesmas
LAMPIRAN 2 HASIL ANALISIS CHI-SQUARE (X2) Hubungan Pengetahuan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Crosstab Count Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi lemah
sedang
Pengetahuan Responden baik kurang baik Total
Total
2
3
5
24 26
1 4
25 30
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square b Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df a
11.308 6.981 8.433
1 1 1
Exact Sig. (1sided)
.001 .008 .004 .009
10.931
1
.001
30
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .67. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures Value Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases
.523 30
Approx. Sig. .001
Hipotesis : H0 : tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi H1 : ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Keputusan : p-value = 0,001 < α = 0,05 sehingga Tolak H0, artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Nilai Koefisien kontingensi = 0,523
.009
LAMPIRAN 3 HASIL ANALISIS RANK SPEARMAN Hasil Analisis Rank Spearman Antara Tingkat Pendidikan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Correlations Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi
Pendidikan Terakhir Responden Spearman's rho Pendidikan Terakhir Responden
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Akses Terhadap Fasilitas Correlation Coefficient Kesehatan Gratis atau Sig. (2-tailed) Bersubsidi N
1.000
.284
.
.128
30
30
.284
1.000
.128
.
30
30
Hipotesis : H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Keputusan : p-value = 0,128 > α = 0,05 sehingga Terima H0, artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Koefisien Korelasi sebesar 0,284
96
Hasil Analisis Rank Spearman Antara Pendapatan dengan Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau Bersubsidi Correlations Akses Terhadap Fasilitas
Spearman's rho
Pendapatan Responden Perbulan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Kesehatan
Responden
Gratis atau
Perbulan
Bersubsidi
1.000
-.043
.
.822
30
30
-.043
1.000
.822
.
30
30
Bersubsidi N
Hipotesis : H0 : tidak ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi H1 : ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Keputusan : p-value = 0,822 > α = 0,05 sehingga Terima H0, artinya tidak ada hubungan antara pendapatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi Koefisien Korelasi sebesar 0,043