STRATEGI PENGELOLAAN PKBM (Studi Kasus: Keterterapan Metode Penggabungan Pengelolaan Unit Usaha dengan Program PLS di PKBM Gajah Mada Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto Jatim)
DONO WISTORO A B S T R A C T. Center Learning of Community’s (CLC) is established in order to acknowledge to the community about its program, where the program is conducted, and how the program is conducted. The phenomenon of black grant booming of CLC has established CLC at several areas. There were six CLC in Mojokerto. However, there are only two CLC which still exist hitherto including Gajah Mada CLC. Certain interesting managements in keeping CLC exist are having specific strategies and the commitment of conducting ACE program independently.The problems in this study are (1) why CLC is able to conduct ACE program independently hitherto; and (2) how are specific strategies related to the applicability of a compound method of business unit management and ACE program. This study employs a qualitative approach with a study case design. Data is collected through interview, observation, and a documentation study. Data is analyzed through a repeated interpretation toward several events and phenomena in the process of CLC block grant program management in order to answer the problems of study.Findings show that the pioneering of CLC was started from the borrowing of places for program activities which did not fulfill the standard up to renting a strategic and representative building. Findings also show that there are specific strategies which are done by management in managing the CLC block grant program which has certain characterized-model and –pattern. Findings are arranged systematically by the management components, namely 6 M + 1 T including Man, Money, Material, Method, Machine, Market + Trust Kata Kunci : Pendidikan Luar Sekolah, Pusat Kegiataan Belajar Masyarakat (PKBM)
Fenomena dari adanya booming dana block grant PKBM membuat bermunculan PKBM di beberapa daerah. Di Kabupaten Mojokerto terdapat enam lembaga PKBM, hingga sekarang yang masih eksis hanya dua PKBM termasuk PKBM Gajah Mada. Yang sangat menarik dalam mengelola PKBM tersebut, ada strategi yang dilakukan sehingga keberadaannya hingga kini masih tetap eksis dan adanya komitmen ke depan tanpa didukung dana proyek mampu menyelenggarakan program PLS secara swadana sebagai upaya menuju kemandirian. Berdasarkan fenomena diatas maka penelitian ini difokuskan pada : 1) mengapa
PKBM tetap dapat menyelenggarakan program PLS secara mandiri sampai sekarang, 2) bagaimana strategi pengelolaan yang terkait keterterapan metode penggabungan unit usaha dengan program PLS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi-strategi yang dilakukan dalam mengelola lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat program PLS di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto sehingga menunjukan keberhasilan sampai saat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1) secara teoritis membuktikan peran teori manajemen, teori pemberdayaan masyarakat dan teori kritis, 2) secara praktis hasil penelitian ini dapat di jadikan dasar pijakan untuk pemerintah Pusat dalam kaitannya memberdayakan dan mengembangkan program PKBM yang lebih baik, , pemerintah Propinsi dan Kabupaten yang terkait program PKBM dan secara umum program PLS selaku penyelenggara PLS (provider/stakehorder) dalam mengelola PKBM.
METODE Penelitian ini dirancang dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan disain studi kasus. Penelitian dilakukan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Gajah Mada, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Informan utama dalam penelitian ini adalah pengelola meliputi ketua, sekretaris, bendahara, penanggung jawab program, Nara Sumber Teknis (NST) dan tutor dan Informan penunjang meliputi : pengelola PKBM yang sejenis dan birokrat ; seperti Penilik PLS yang memiliki program PKBM, Kacabdin Pendidikan
Kecamatan, Kasubdin, Kasi PLS dan warga belajar
serta
masyarakat umum. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Prosedur penelitian meliputi empat tahapan pokok, yakni 1). penggalian data pada bulan April 2005, 2) review data hasil temuan dilakukan pada bulan Oktober 2005,
3) pengecekan keabsahan, dan 4) Penyusunan laporan. pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, angket, dokumen, dan observasi. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan empat kreteria, yaitu: (1) derajat kepercayaan (credibility), dilakukan dengan masa observasi yang lama, ketekunan obsevasi, dan triangulasi, (2) keteralihan (transferability), (3) kebergantungan (dependability), dan (4) kepastian (confirmability) HASIL A. Penerapan Fungsi Manajemen dalam Pengelolaan PKBM pada Program Dana Block grant. PKBM adalah pusat kegiatan belajar masyarakat yang merupakan suatu program pendidikan luar sekolah sekaligus merupakan sebuah organisasi (wadah atau tempat) untuk menyelenggarakan program-program pendidikan luar sekolah. Dalam mengelola program-program tersebut tentunya
dikelola sesuai
dengan fungsi
manajemen sehingga akan memudahkan untuk mencapai tujuan. Yang perlu dicermati pula adalah bahwa manajemen dan organisasi bukan tujuan tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dalam
pengelolaan
di
PKBM
Gajah
Mada,
ada
kecenderungan
kepengurusannya banyak berasal dari kalangan guru. Dan yang paling banyak dari guru-guru SD. Hal ini dikarenakan guru SD yang selama ini dikenal entengan (ringan tangan), disamping itu juga guru SD berada dalam lingkup cabang dinas pendidikan kecamatan yang sama. Guru yang terlibat dalam kepengurusan dalam pengelolaan PKBM telah mempunyai pekerjaan utama. Hal ini merupakan motivasi ia mau melibatkan diri menjadi pengurus yang dilakukan dengan pengabdian. Dilakukan dengan pengabdian karena insentif yang diterima jumlahnya relatif kecil. Jadi pengurus PKBM dalam melaksanakan pekerjaan, melakukannya dengan pengabdian. Artinya tidak dibayar, toh kalau dibayar jumlahnya tidak besar. Jadi
motivasi ini timbul karena (l) Untuk perwujudan diri atau harga diri dan pengakuan. Pengalaman menarik ini pernah dialami peneliti, ketika didatangi seorang ibu diantar suaminya dengan mengendarai mobil baru menginginkan setengah memaksa untuk diikutkan lagi menjadi tutor paket C. Menurut pengamatan peneliti sebenarnya dilihat dari keadaan rumah dan pekerjaan suaminya kalau segi finanasial dibilang sangat cukup bahkan lebih. (2) kegiatan dilakukan merupakan kebutuhan untuk tetap bergerak karena merupakan suatu kegiatan sosial dan amal. (3) Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sekaligus mencari pengalaman bagi pengurus yang belum memiliki pekerjaan utama. Melihat komposisi pengurus PKBM Gajah Mada terdiri dari unsur guru, bentuk PKBM ini merupakan patrimonial management, yaitu diselenggarakan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga. Hubungan keluarga di sini memiliki arti yang luas termasuk hubungan pertemanan atau bisa disebut paternalistik. ada dimensi budaya Indonesia yang mempengaruhi manajemen, yaitu dimensi individu versus kolektivitas. PKBM ini juga berbasis lembaga, artinya banyak dikelola dari orang-orang dari unsur guru, seperti pada penelitian Edison (2003) dan sesuai dengan Pendapat Sujiarto (1997 : 12) Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak dan penyelenggaraan pendidikannya terdiri dari pemerintah, badan, kelompok atau perorangan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan jenis pendidikan yang diselenggarakan. Bentuk lembaga ini ada kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya adalah adanya kemudahan mengadakan kerjasama dan koordinasi serta tidak adanya tuntutan untuk minta gaji karena semua tugas yang dilaksanakan didasarkan pada pengabdian atau sukarela.
Kekurangannya adalah
karena peran masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan PKBM, masyarakat cenderung kurang partisipatif, apatis dan cuek terhadap keberlangsungan PKBM, hal ini tidak mendukung terhadap pemberdayaan masyarakat.
PKBM ini juga berbentuk
Professional Management karena dikelola dari orang yang memiliki latar belakang pendidik atau dapat digolongkan dikelola orang yang berprofesi, hal ini sangat mutlak diperlukan karena PKBM dibentuk dengan misi utama sebagai tempat pembelajaran. Strategi ini ditempuh karena kwantitas pelatihan yang dilakukan sangat minim, dengan bekal ketrampilan yang sudah dimiliki diharapkan bisa melakukan tugasnya secara maksimal. Kelembagaan ini merupakan lembaga non profit yang bergerak dalam bidang sosial kependidikan. Sejalan dengan pendapat Apps dalam Marriem Sharan B.(1989), bahwa lembaga provider pendidikan orang dewasa diselenggarakan oleh agen atau lembaga non profit, seperti lembaga keagamaan. Kelembagaan ini terbiasa melakukan kegiatan dengan sukarela atau pengabdian tanpa mengharapakan nilai uang
yang
banyak. Mereka mau melakukan karena adanya keyakinan akan mendapatkan pahala dari yang Maha Kuasa atau adanya keyakinan akan dilimpahkan rejeki dari kegiatan yang lain. Kepengurusan yang telah dibentuk sebagai pengelola PKBM, diketahui memiliki pola
rangkap jabatan. Misalnya diantaranya sekretaris PKBM merangkap menjadi
koordinator tutor paket B, menjadi Tutor dan menjadi pengelola prakoperasi. Cara ini di lakukan karena
untuk
memberdayakan tenaga
yang
sudah
ada
dan
untuk
mengefektifkan dan mengefisienkan anggaran yang tersedia disesuaikan dengan kemampuan. Menurut Ruky (2003 : 36) ada pakem atau prinsip yang harus dipegang teguh dalam merancang organisasi satuan kerja sumber daya manusia. Diantaranya : (1) Tepat, rancangan organisasi harus merefleksi misi atau tanggung jawab pokok dan tugas-tugas kepada unit kerja ini. (2) Efisien, SDM dituntut teladan dan contoh dalam hal efisien termasuk struktur organisasinya. (3) Efektif, artinya efektif dalam produktifitas kerja . Strategi yang telah ditempuh pengelola PKBM ini sangat sesuai dengan tujuan manajemen.
Penerapan strategi pola
rangkap jabatan
yang telah dilakukan pengelola
PKBM Gajah Mada dan sebuah PKBM di Kabupaten Jombang sangat kontras dengan hasil survey yang dilakukan sembilan PKBM binaan BPKB Jaya Giri, Jawa Barat yang menyatakan : “Untuk operasional program perlu ada pengelola yang secara khusus menanganinya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa pengelola program tidaklah tepat jika sepenuhnya dibebankan pada tenaga tutor. Karena tutor sudah banyak pekerjaan dengan mengurusi berbagai persiapan dalam mendukung terjadinya proses belajar mengajar” Adalah sangat sulit membebani tugas tanpa memberikan upah. Lain halnya kalau pembebanan tugas ini dilakukan organisasi profit. Sinyalemen PKBM Jaya Giri sulit diterapkan pada organisasi yang bergerak dalam kegiatan pengabdian atau sukarela, seperti yang terjadi di PKBM Gajah Mada. Strategi perencanaan yang dilakukan PKBM yang lain adalah Pola “gendong indit” yang dilakukan dalam kedaan darurat. Kebijakan ini dilakukan setelah program swadana yang dikelola tidak cukup untuk mendanai sendiri, sehingga perlu ditopang dari unit usaha yang lain, dan bila tidak cukup terpaksa pinjam dari program proyek yang belum terpakai. Menurut Nawawi (2003 ) ada asas penting dalam berorganisasi antara lain : Principle o continuity (asas keseimbangan). Jadi langkah Pola rangkap jabatan dan pola gendong indit di atas merupakan langkah strategi dan kebijakan yang harus ditempuh agar kelangsungan kegiatan dapat berjalan (eksis) dan kebijakan ini ditempuh sesuai dengan kemampuan yang dimiliki PKBM Gajah Mada dan pelaksanaan program dilakukan dengan mengarahkan pada menciptakan dan mengembangkan kegiatan yang efektif, efisien dan saling menunjang/mendukung agar eksistensinya memberi manfaat. Untuk mengadakan koordinasi dilakukan pertemuan rutin l bulan sekali antara pengurus dan penilik. Dengan model sharing diharapkan hasil bermakna. Setiap
rapat tersebut juga dilaporkan
rapat akan lebih
keadaan keuangan secara
transparan. Dengan adanya pola pengelolaan keuangan yang transparan ini, sebagai modal dasar atau factor kunci kegiatan koordinasi dan kerjasama dapat dilakukan sehingga kegiatan bias eksis. Hal ini sangat berbeda kalau pola pengelolaan keuangan dilakukan secara tertutup yang akan menimbulkan sikap apatis dan pasip dari pengurus. Pemenuhan kepuasan kepada warga belajar sesuai dengan misi PKBM telah dicoba meningkatkan kualitas pembelajaran, menyelenggarakan program PLS yang dibutuhkan masyarakat serta berusaha memberikan layanan informasi yang disesuaikan dengan kemampuan PKBM. Modal dasar ini harus dijaga agar kepercayaan yang diberikan masyarakat dan pemerintah akan tetap terjaga. Hal ini merupakan bentuk strategi agar kelangsungan PKBM bisa terjaga. Berangkat dengan sarana dan prasarana tidak ada menjadi ada, dari pinjam menjadi bisa beli sendiri, dari kualitas jelek menjadi lebih baik, itulah filosofi yang harus diikuti. seperti yang dikatakan Sallies, adanya perbaikan yang harus dilakukan terus menerus dan Arcaro adanya perbaikan yang berkelanjutan. Dalam usaha pemenuhan kepuasan ini masih terkendala dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Diantaranya dalam proses belajar mengajar komputer masih belum tersedianya internet. Adanya tehnologi pembelajaran dengan E- learning yang sangat cocok dengan karakteriktik warga belajar yang tidak memiliki waktu dan kegiatan menjahit selama ini masih dikerjakan secara manual belum dilengkapi dengan mesin yang bisa dioperasikan dengan komputer. Narasumber yang tersedia dalam hal pengusaan ketrampilan masih terbatas seperti dikatakan nara sumber menjahit : “ Dalam mengoperasikan komputer, pengetahuan dan teknik yang digunakan terus berkembang seperti sekarang ini. Saya sebenarnya kepingin sekali belajar lagi untuk mengoperasikan dan mengakses internet serta bisa mencetak foto digital. Saya pernah mengusulkan agar dipasang telepon dan modem untuk kelengkapan internet, tapi pihak pengelola masih enggan untuk merealisasikan” (W/PGM.7/7/2005)
Hal ini jelas merupakan persoalan tantangan yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan.
Menurut
Durbin
(dalam
Hasibuan,
2003),
kemampuan
pengintergrasian pendayagunaan sumber daya yang dimiliki organisasi melalui proses pelaksanaan fungsi-fungsi secara berkualitas.
Menurut
Sallies
(1994
:
14),
manajemen mutu terpadu menekankan pada dua konsep utama. Pertama, sebagai filosofi dari perbaikan secara terus menerus dan kedua, sebagai berhubungan dengan alat-alat dan tekhnik seperti brain storming dan force field analysis (analasis kekuatan lapangan). Menurut Arcaro (1995) seperti yang dikutip Jalal dan Supriadi (2005) Aplikasi manajemen mutu terpadu ada 5 pilar yaitu : (a) Fokus kepada pelanggan yang baik (b) Adanya keterlibatan total (c) Adanya ukuran baku mutu lulusan sekolah (d) Adanya komitmen dan (e) adanya perbaikan yang berkelanjutan. Oliver (1996), berpendapat bahwa tak dapat dihindarkan semua perubahan pendidikan memerlukan partisipasi lingkungan. Para guru ( setara tutor) harus bekerja sama antara satu dengan yang lain, bahkan dengan para pelajar (warga belajar) agar terjadi perubahan kinerja. Seseorang tidak bisa mengisolasi diri untuk problema yang terus meningkat. Seseorang manajer harus berfungsi sebagai bagian kerja sama kelembagaan agar dapat menjamin keberhasilan perubahan dalam suatu lingkungan. Dalam masa sepuluh tahun terakhir, sejalan dengan hasil survey
oleh Universitas
Columbia dan Korn Ferry International dalam Ruky (2003 : 10), menyebutkan : mereka menyadari bahwa nasib perusahaan
(organisasi) bukanlah ditentukan oleh modal
finalsial, mesin, tehnologi dan modal tetap tetapi sebenarnya memang berada di tangan modal capital intangible yang tak lain adalah sumber daya manusia. Menurut Becker, Huselid & Ulrich (2001) contoh pertama adalah Sears & Roebuck & Co., perusahaan ritel amerika yang hampir bangkrut pada awal tahun 1990 yang kemudian bangkit kembali melalui perubahan visi atau falsafah. Bila sebelumnya
mereka selalu menonjolkan kepentingan penanaman modal sebagai nomor satu dalam focus, maka falsafah baru mereka berbunyi : “Untuk menjadikan Sears sebagai perusahaan yang menarik untuk investasi, maka Sears harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk berbelanja. Dan untuk menjadikan Sears sebagai tempat yang menyenangkan untuk berbelanja, maka Sears harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk bekerja”. Menurut Becker, Huselid, dan Ulrich
seperti
ditulis oleh McLean (1995)
mengatakan : “Dalam semua industri sekarang ini, adalah hal yang sangat mungkin/mudah untuk membeli mesin dan peralatan seperti yang digunakan oleh perusahaanperusahaan besar di dunia. Akses pada mesin-mesin dan peralatan canggih bukan lagi menjadi factor keunggulan, tetapi kemampuan (kompetensi) untuk menggunakan secara efektiflah yang merupakan keunggulan. Sebuah perusahaan yang kehilangan semua peralatannya tetapi tetap memiliki semua keahlian dan pengetahuan yang dimiliki karyawannya dapat kembali ke bisnisnya setiap saat. Tetapi sebuah perusahaan yang kehilangan semua orangnya walaupun tetap memiliki semua peralatannya tidak pernah dapat kembali”. Jadi pada prinsipnya pengadaan dan pengembangan mesin sangat diperlukan namun harus dibarengi (balanzing) dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Fungsi pengendalian atau pengawasan pelaksanaan program block grant PKBM, (1) Terkait perencanaan dan pelaksanaan pembentukan unit usaha yang produktif, dengan arti mengusahakan dalam waktu singkat dan cepat unit usaha
dapat
menghasilkan uang. Pertimbangan ini merupakan bentuk konsekwensi dana yang harus diganti untuk pelaksanaan program yang telah ditetapkan untuk penyelenggaraan program PLS seperti pada rencana program PKBM blockgrant. (2). Disetujui adanya dana sharing dari partisipasi
pengurus sebagai dana tambahan untuk pembelian
sebuah unit usaha yang produktif, segera dapat
menghasilkan uang, tanpa harus
dibebani oleh kerusakan atau pemeliharaan. Adanya indikasi dana yang diterima langsung (RP. 50.000.000,-) ditambah dana sharing dari pengurus (Rp.7.000.000,-)
direlisasikan untuk pembelian sebuah unit
usaha transportasi senilai RP 57.000.000,- Dengan asumsi untuk realisasi program lain yang diusulkan dilaksanakan setelah mendapat hasil dari unit usaha ini. Dalam pelaksanaannya pada dasarnya bisa direalisasi sesuai dengan rencana dan jadwal bahkan sampai sekarang dapat dikembangkan program-program swadaya yaitu : (1) Perintisan kelompok bermain, Paket B di ponpes pakis, (3) Paket C serta (4) kursus komputer dan menjahit, sekarang berkembang sebagai unit usaha diversifikasi. Untuk kursus menjahit, program ini dikebangkan setelah menyelenggarakan ketrampilan menjahit program blockgrant. Dalam realisasi pelaksanaan program blockgrant PKBM ditemukan penundaan program-program yang salah satunya adalah ternak itik. Dengan alasan karena adanya isu virus flu burung dan kegiatan rentan tidak dapat mendapatkan hasil yang memuaskan karena kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan kebutuhan warga belajar. Kedua, program servis sepeda motor, berdasarkan pengalaman pelatihan rutin yang diselenggarakan dinas provinsi setiap tahun keberhasilan programnya tidak bisa dikembangkan di masyarakat
karena tidak sesuai dengan ketrampilan dasar yang
dimiliki dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Menurut Knowles (1970), dalam salah satu asumsi belajar pembelajaran orang dewasa mengatakan bahwa, “orang dewasa mau bersikap dan siap untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan belajar, apabila bidang-bidang yang dipelajari berkaitan langsung dengan masalah yang mereka hadapi”. Dalam konteks ini mengandung pengertian bahwa orang dewasa mau belajar mana kala sesuatu hal yang mereka akan dipelajari bersentuhan langsung dengan masalah yang mereka hadapi dan mereka rasakan dalam hidup pekerjaannya. Selanjutnya Rogers (1992), menjelaskan bahwa pembelajaran orang dewasa akan bermanfaat bilamana dapat melakukan beberapa hal berikut : (1). Tidak mengancam kelompok partisipan jika mereka mengabaikan suatu topik yang dibahas.
(2). Memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru yang disesuaikan dengan minatnya. (3). Memperhatikan secara cermat dalam pengembangan & pemahaman, karena proses pembelajaran orang dewasa berbeda dengan anak-anak. (4). Melibatkan warga belajar untuk mendiskusikan dan merancang tujuan belajarnya, dan (5). Warga belajar lebih menyukai belajar pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman yang berkaitan dengan tugasnya yang bersifat praktis dan eksprensial daripada yang bersifat teoritis. Sedangkan menurut Morgan dkk (1976) kegiatan belajar orang dewasa haruslah menekankan pada aktivitas, bukan pada materi belajar seperti yang digunakan pada pembelajaran
tradisional.
Untuk
dapat
meningkatkan
aktivitas
tersebut
harus
diperhatikan 5 prinsip dasar belajar orang dewasa, yaitu : (1). Orang dewasa akan belajar efektif bila ada keinginan untuk belajar, (2). Orang dewasa akan belajar baik, apabila ia memahami tujuan belajarnya, (3). Kegiatan belajar akan efektif dengan adanya kegiatan latihan dan praktek, (4). Orang dewasa akan belajar dengan baik apabila ada lingkungan belajar yang menyenangkan, kegiatan yang menarik dan keyakinan untuk memperoleh kemauan belajar, dan (5). Kegiatan akan memberikan hasil yang permanen apabila terdapat keterikatan antara satu ide atau fakta dengan yang lainnya. Prinsipnya bahwa penyelenggaraan ketrampilan harus disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar. Hal ini sejalan dengan kursus yang telah disediakan PKBM, yaitu kursus komputer dan menjahit. Warga belajar sengaja mengikuti kegiatan karena merupakan keinginannya. Peluang memiliki ketrampilan tersebut sangat diperlukan saat ini karena adanya kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Adanya kebijakan yang ditempuh pengurus dengan diterimakan dana block grant jumlah seluruhnya langsung digunakan bagi pembelian unit usaha tranfortasi. Hal ini jelas bertentangan dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan. Yang jelas
Aturan adalah norma hukum yang harus ditaati dan dipatuhi karena menyangkut aturan pelaksanaan dan norma hukum mutlak sangat diperlukan. Namun
aturan jangan
sampai menjadi penghalang suatu kebebasan yang akan mematikan kreativitas, jangan ada lagi budaya vertical yaitu pola top down seperti yang terjadi pada orde baru. Menurut Kuntjaraningrat (1997), ada aspek budaya Indonesia yang dapat menghambat kemajuan bila Indonesia ingin menjadi negara modern.
Aspek
penghambat tersebut adalah : 1). Kurang orientasi terhadap pencapaian prestasi kerja. Yang diberi nilai tinggi oleh bangsa Indonesia adalah hubungan yang baik, 2). Orientasi yang berlebihan kepada kejayaan masa lalu. Hal ini tercermin banyaknya mitos, ornament, dan patung yang mengagungkan sejarah sehingga melemahkan motivasi untuk mempunyai visi, merencanakan masa depan dan meningkatkan efisiensi, 3). Lebih mengandalkan firasat dan keberuntungan. Mentalitas ini terlihat dari sangat banyaknya orang yang lebih suka meminta petunjuk dari “orang pintar” daripada mengandalkan pada kekuatan analisis dan perhitungan serta perencanaan yang matang, 4). Ketergantungan pada kelompok. Keinginan untuk mempertahankan keharmonisan kelompok masih sangat berlebihan sehingga berhasil secara perorangan harus
lebih
ditekan,
5).
Berorientasi
vertikal.
Cirinya
adalah
terlalu
banyak
mengandalkan petunjuk dan pengarahan atasan dalam mengambil keputusan kecil sekalipun. Kebiasaan ini dapat melelahkan bagai para manajer modern yang menganut aliran “pelimpahan” wewenang sebesar-besernya dan dapat menimbulkan konflik karena bawahan menganggap atasannya tidak kompeten, 6). Kurang peduli dengan mutu dan kepuasan. Banyak bukti bagaimana pelanggan dan konsumen diperlakukan dengan tidak wajar dan cenderung ditipu 7). Senang mencari jalan pintas dan suka merabas. Orang lebih suka mendapat hasil dengan secepat mungkin dan dengan cara apa saja termasuk yang disebut “menyerempet koridor hukum ”, 8). Kurang percaya pada diri sendiri dan mengompensasikan rasa rendah untuk diri.
Menurut Durkheim (dalam Muhni, 1994 :39-4l), bahwa kesusilaan memiliki 3 unsur yang menentukan, yaitu (1) Disipin, semua sikap dan tindakan susila adalah penyesuaian dengan aturan-aturan yang ada. Bersiap dan bertindak susila adalah sama dengan mengikuti dan tunduk patuh pada aturan. (2). Isi moral, yaitu
sifat
keterikatan pada kelompok. Disiplin saja tidak cukup. Agar disiplin dapat mempunyai arti ia harus mempunyai tujuan akhir. Tindakan yang memiliki tujuan pada keuntungan pribadi, tidaklah memilikin nilai moral.. Hanya tindakan tidak memililiki tujuan pribadi serta berada di atas tujuan individu, itulah yang bersifat moral. (3) Otonomi kehendak manusia, mencakup pengertian moral dan sangat penting artinya sebagai hasil proses sekularisasi dan kemajuan rasionalisme. Menuntut penghargaan bagi pribadi manusia meskipun merupakan produk kehidupan namun tidak menjadi budaknya. Kesadaran moral biasanya menolak
ketergantungan ini dan menuntut adanya kebebasanyang
lebih mantap bagi otonomi individu.
2. Makna strategi pengelolaan terkait keterterapan metode penggabungan unit usaha dengan program PLS. Berdasarkan temuan data yang peneliti peroleh di lapangan ditemukan hal hal sebagai berikut : a. Penerimaan dana block grant, agar nilai nominalnya tidak berkurang, dimaknai pengurus PKBM Gajah Mada harus diwujudkan dahulu untuk
unit usaha
produktif dengan alokasi dana sejumlah total dana yang diterimakan. Setelah terwujud unit usaha produktif sebagai sumber penghasilan. Nilai investasinya tidak berkurang dan diharapkan bisa bertambah nilai nominalnya investasinya, b. Unit usaha produktif yang dimiliki, segera dapat beroperasi dan dapat menghasilkan uang. Ilustrasinya seperti unit usaha foto copy, unit usaha PKBM yang telah diteliti oleh Edison, (2003). Karena ada unit usaha produktif yang tidak langsung menghasilkan uang, seperti usaha pertanian ( panen setelah 3 bulan, 6 bulan, bahkan 1 tahun sekali).
Kecepatan suatu
unit usaha prokduksi diperlukan karena disamping untuk keperluan operasional rumah tangga lembaga, juga tersedianya dana untuk pengembangan program, c. Dengan terwujudnya unit usaha produktif akan terbentuk unit usaha yang lain sebagai bentuk diversifikasi
usaha,
d.
Dalam
menentukan
unit
usaha
yang
dipilih
harus
mempertimbangkan faktor resiko, seperti apa yang disampaikan pakar ekonomi. Kerusakan mesin, kecelakaan, bencana alam, hama dan penyakit merupakan contoh bentuk resiko karena hal ini akan mempengaruhi kelancaran dalam berproduksi/ menghasilkan uang, e. Dalam melaksanakan program PLS harus mempriyoritaskan program yang dibutuhkan masyarakat dan dikelola secara swadaya. Selama ini banyak program program yang dilaksanakan tidak mengacu pada kebutuhan warga belajar sehingga tidak memberikan manfaat bagi warga belajar, karena sditidak diaplikasikan dalam dsunia pekerjaan, f. Program PLS yang ditawarkan memiliki daya jual yang bisa diakses dalam dunia pekerjaan dan terbentuknya sebuah kemitraan.
PEMBAHASAN l. Penerapan Fungsi Manajemen dalam Pengelolaan PKBM pada Program Dana Block grant. PKBM adalah pusat kegiatan belajar masyarakat yang merupakan suatu program pendidikan luar sekolah sekaligus merupakan sebuah organisasi (wadah atau tempat) untuk menyelenggarakan program-program pendidikan luar sekolah. Dalam mengelola program-program tersebut tentunya
dikelola sesuai
dengan fungsi
manajemen sehingga akan memudahkan untuk mencapai tujuan. Yang perlu dicermati pula adalah bahwa manajemen dan organisasi bukan tujuan tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Tempat kegiatan program PLS cenderung menempati tempat yang tidak permanen, ada kecenderungan berpindah pindah dari tempat satu ke tempat lain,
menempati gedung sekolah, balai desa atau rumah penduduk. Hal ini merupakan ciri khas dari penyelenggaraan program PLS. Tempat pembelajaran cenderung ditempatkan pada sasaran program. Menurut Faisal (1981 : 48), Pendidikan nonformal jangka waktu pendidikannya relatif singkat, program pendidikan cepat dirasakan oleh anak didik, persyaratan fleksibel. Perintisan PKBM Gajah Mada mengalami hal serupa, dalam perjalanannya pernah menempati ruang gedung SD, gedung SMP menempati rumah
yang diperoleh dengan menyewa. Menurut
dan terakhir
Sallies (1994 : 14),
manajemen mutu terpadu menekankan pada dua konsep utama, yang pertama, sebagai filosofi dari usaha perbaikan secara terus menerus dan Arcaro (1995), adanya perbaikan yang berkelanjutan. Pengalaman berharga telah dicontohkan oleh Bill Gates pemilik Microsoft adalah orang yang paling berhasil di pentas bisnis software dunia. Ia memulai usahanya hanya dari sebuah garasi di bawah rumahnya. Hingga sekarang jaringan bisnis Gates telah berkembang ke seluruh manca negara. Gedung PKBM yang ditempati sekarang
merupakan hasil perencanaan dari
kebijakan yang harus ditempuh oleh ketua pengelola dan telah dimusyawarahkan oleh pengurus lain. Kebijakan ini ditempuh dengan pendekatan situasional karena di daerah tersebut tidak ditemukan SD yang kosong yang berada di tengah warga belajar. Sebenarnya ada SD kosong yang tidak ditempati, tetapi tempatnya tidak berada ditengah-tengah warga belajar dan berada di tempat yang kurang strategis, sehingga kebijakan ini diputuskan untuk menyewa sebuah bangunan rumah yang cukup strategis dan representative.
Pemilihan tempat strategis di sini sesuai dengan himbauan
kebijakan Ditjen Diklusepora agar mudah dijangkau oleh warga belajar. Representatif berarti tepat dan sesuai dengan fungsi. Dalam hal ini fungsi sebagai tempat pembelajaran. Sebenarnya pemilihan gedung PKBM tidak harus yang mewah, tetapi walau sederhana namun jika didisain atau ditata dengan artistik, rapi, dan besih akan memiliki nilai plus tersendiri. Keadaan ini tentu akan
memberikan nuansa seperti
dengan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Menurut Hasibuan (2001), Kebijakan adalah jenis rencana yang memberikan bimbingan berfikir dan arah dalam pengambilan keputusan. Dengan kebijakan ini rencana akan semakin baik. Dengan menempati tempat ini ada keuntungan yang didapat, diantaranya : suasana pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan enjoy. Dalam pengelolaan dapat lebih bebas tanpa terbentur waktu atau lainya. Peran pengorganisasian lebih mudah, penginventarisasi barang lebih baik. Pelayanan program dapat dilayani 12 jam sehari bahkan bisa lebih, karena salah satu pengurus bidang kursus komputer ini bertempat tinggal di PKBM.
Keberadaan
program akan lebih nampak, dapat dilihat dan bonafit serta statusnya bisa disetarakan dengan mini SKB. Dalam
pengelolaan
di
PKBM
Gajah
Mada,
ada
kecenderungan
kepengurusannya banyak berasal dari kalangan guru. Dan yang paling banyak dari guru-guru SD. Hal ini dikarenakan guru SD yang selama ini dikenal entengan (ringan tangan), disamping itu juga guru SD berada dalam lingkup cabang dinas pendidikan kecamatan yang sama. Guru yang terlibat dalam kepengurusan dalam pengelolaan PKBM telah mempunyai pekerjaan utama. Hal ini merupakan motivasi ia mau melibatkan diri menjadi pengurus yang dilakukan dengan pengabdian. Dilakukan dengan pengabdaian karena insentif yang diterima jumlahnya relatif kecil. Menurut Maslow (1970), menjelaskan teori yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Bahwa kebutuhan manusia yang paling mendasar harus dipenuhi dulu, sebelum ia mampu menggapai kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika kebutuhan dasar sandang, pangan panan, belum terpenuhi, sukar orang-orang diajak merasakan kebutuhan yang lebih tinggi. Pendidikan bagi orang dewasa yang menyangkut harga diri tidak akan berarti apabila sesuap nasi untuk mempertahankan hidupnya belum terpenuhi. Masalahnya, apabila untuk memperoleh sekedar sesuap nasi tidak akan diperhatikan, apabila orang dewasa telah mempunyai cukup untuk isi
perutnya. Pakaian dan rumah yang mengamankan segala miliknya serta
dirinya,
bahkan telah mencapai tingkat pengakuan sebagai anggota masyarakat yang berguna. Pada tingkatan ini dibutuhkan pengetahuan yang cukup luas dan sikap yang lebih mantap untuk meningkatkan harga diri di dalam pergaulan yang luas. Jadi Pengurus PKBM dalam melaksanakan pekerjaan, melakukannya dengan pengabdian. Artinya tidak dibayar, toh kalau dibayar jumlahnya tidak besar. Jadi motivasi ini timbul karena (l) Untuk perwujudan diri atau harga diri dan pengakuan. Pengalaman menarik ini pernah dialami peneliti, ketika didatangi seorang ibu diantar suaminya dengan mengendarai mobil baru menginginkan setengah memaksa untuk diikutkan lagi menjadi tutor paket C. Menurut pengamatan peneliti sebenarnya dilihat dari keadaan rumah dan pekerjaan suaminya kalau segi finanasial dibilang sangat cukup bahkan lebih. (2) kegiatan dilakukan merupakan kebutuhan untuk tetap bergerak karena merupakan suatu kegiatan sosial dan amal. (3) Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sekaligus mencari pengalaman bagi pengurus yang belum memiliki pekerjaan utama. Menurut Harbison, (1999) tipe-tipe manajemen dapat dibagi ; (1) Patrimonial Management, organisasi dimiliki dan dipimpin serta kedudukan-kedudukan yang penting dipegang oleh anggota-anggota keluarga sendiri. Tujuan organisasi adalah untuk kepentingan dan aspirasi keluarga. Tipe manajemen seperti ini
banyak terdapat di
Indonesia. (b) Political Management, kedudukan-kedudukan yang amat penting di dalam organisasi diduduki oleh orang-orang yang mempunyai hubungan politik dan didasari kepada kesetiaan mereka terhadap partai politik atau golongan tertentu. (c) Professional Management, kedudukan penting di dalam organisasi diserahkan kepada para ahli, mereka yang benar-benar membuktikan kecakapannya. Jadi tidak didasarkan pada golongan atau hubungan tertentu, tetapi semata-mata didasarkan pada kemampuan dan prestasi.
Melihat komposisi pengurus PKBM Gajah Mada terdiri dari unsur guru, bentuk PKBM ini merupakan : (1) patrimonial management, yaitu diselenggarakan oleh orangorang yang mempunyai hubungan keluarga. Hubungan keluarga di sini memiliki arti yang luas termasuk hubungan pertemanan atau bisa disebut paternalistik. ada dimensi budaya Indonesia yang mempengaruhi manajemen, yaitu dimensi individu versus kolektivitas. Menurut Hofstede dalam Ruky (2003 : 304) secara bersama-sama orang Indonesia memilki sikap kolektifitas yang dapat diartikan : (a)
Hubungan antara bawahan dan atasan lebih didasarkan pada moral daripada perhitungan untung rugi
(b)
Pegawai di Indonesia memiliki hubungan yang didasarkan pada kewajiban kepada anggota keluarga dan sanak saudara.
(c)
Dalam lingkungan bisnis, hubungan interpersonal lebih penting daripada hubungan yang bersifat tugas semata
(d)
Ada kebutuhan yang kuat untuk mempertahnkan suasana harmonis dan untuk menyelamatkan muka
(e)
Pendapat seseorang ditentukan atau dipengaruhi oleh kelompok
(f)
Tugas-tugas tertentu dianggap sebagai tugas bersama/masyarakat (kerja bakti dan gotong royong) PKBM ini juga berbasis lembaga, artinya banyak dikelola dari orang-orang dari unsur guru, seperti pada penelitian Edison (2003) dan sesuai dengan Pendapat Sujiarto (1997 : 12) Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak dan penyelenggaraan pendidikannya terdiri dari pemerintah, badan, kelompok atau perorangan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan jenis pendidikan yang diselenggarakan. Bentuk lembaga ini ada kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya adalah adanya kemudahan mengadakan kerjasama dan koordinasi serta tidak adanya tuntutan untuk minta gaji karena semua tugas yang
dilaksanakan didasarkan pada pengabdian atau sukarela.
Kekurangannya adalah
karena peran masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan PKBM, masyarakat cenderung kurang partisipatif, apatis dan cuek terhadap keberlangsungan PKBM, hal ini tidak mendukung terhadap pemberdayaan masyarakat. (3) PKBM ini juga berbentuk Professional Management karena dikelola dari orang yang memiliki latar belakang pendidik atau dapat digolongkan dikelola orang yang berprofesi, hal ini sangat mutlak diperlukan karena PKBM dibentuk dengan misi utama sebagai tempat pembelajaran. Strategi ini ditempuh karena kwantitas pelatihan yang dilakukan sangat minim, dengan bekal ketrampilan yang sudah dimiliki diharapkan bisa melakukan tugasnya secara maksimal. (4) Kelembagaan ini merupakan lembaga non profit yang bergerak dalam bidang sosial kependidikan. Sejalan dengan pendapat Apps dalam Marriem Sharan B.(1989), bahwa lembaga provider pendidikan orang dewasa diselenggarakan oleh agen atau lembaga non profit, seperti lembaga keagamaan. Kelembagaan ini terbiasa melakukan kegiatan dengan sukarela atau pengabdian tanpa mengharapakan nilai uang yang banyak. Mereka mau melakukan karena adanya keyakinan akan mendapatkan pahala dari yang Maha Kuasa atau adanya keyakinan akan dilimpahkan rejeki dari kegiatan yang lain. Kepengurusan yang telah dibentuk sebagai pengelola PKBM, diketahui memiliki pola
rangkap jabatan. Misalnya diantaranya sekretaris PKBM merangkap menjadi
koordinator tutor paket B, menjadi Tutor dan menjadi pengelola prakoperasi. Cara ini di lakukan karena
untuk
memberdayakan tenaga
yang
sudah
ada
dan
untuk
mengefektifkan dan mengefisienkan anggaran yang tersedia disesuaikan dengan kemampuan. Menurut Ruky (2003 : 36) ada pakem atau prinsip yang harus dipegang teguh dalam merancang organisasi satuan kerja sumber daya manusia. Diantaranya : (1) Tepat, rancangan organisasi harus merefleksi misi atau tanggung jawab pokok dan tugas-tugas kepada unit kerja ini. (2) Efisien, SDM dituntut teladan dan contoh dalam hal
efisien termasuk struktur organisasinya. (3) Efektif, artinya efektif dalam produktifitas kerja . Strategi yang telah ditempuh pengelola PKBM ini sangat sesuai dengan tujuan manajemen. Pola rangkap jabatan dan pola gendong indit di atas
merupakan langkah
strategi dan kebijakan yang harus ditempuh agar kelangsungan kegiatan dapat berjalan (eksis) dan kebijakan ini ditempuh sesuai dengan kemampuan yang dimiliki PKBM Gajah Mada dan pelaksanaan program dilakukan dengan mengarahkan menciptakan dan mengembangkan
pada
kegiatan yang efektif, efisien dan saling
menunjang/mendukung agar eksistensinya memberi manfaat.
2. Makna strategi pengelolaan terkait keterterapan metode penggabungan unit usaha dengan program PLS. Berdasarkan temuan data yang peneliti peroleh di lapangan ditemukan hal hal sebagai berikut : a. Penerimaan dana block grant, agar nilai nominalnya tidak berkurang, dimaknai pengurus PKBM Gajah Mada harus diwujudkan dahulu untuk
unit usaha
produktif dengan alokasi dana sejumlah total dana yang diterimakan. Setelah terwujud unit usaha produktif sebagai sumber penghasilan. Nilai investasinya tidak berkurang dan diharapkan bisa bertambah nilai nominalnya investasinya. b. Unit usaha produktif yang dimiliki, segera dapat beroperasi dan dapat menghasilkan uang. Ilustrasinya seperti unit usaha foto copy, unit usaha PKBM yang telah diteliti oleh Edison, (2003). Karena ada unit usaha produktif yang tidak langsung menghasilkan uang, seperti usaha pertanian ( panen setelah 3 bulan, 6 bulan, bahkan 1 tahun sekali).
Kecepatan suatu unit usaha prokduksi
diperlukan karena disamping untuk keperluan operasional rumah tangga lembaga, juga tersedianya dana untuk pengembangan program.
c. Dengan terwujudnya unit usaha produktif akan terbentuk unit usaha yang lain sebagai bentuk diversifikasi usaha. d. Dalam menentukan unit
usaha yang dipilih harus mempertimbangkan faktor
resiko, seperti apa yang disampaikan pakar ekonomi. Kerusakan mesin, kecelakaan, bencana alam, hama dan penyakit merupakan contoh bentuk resiko karena hal ini akan mempengaruhi kelancaran dalam berproduksi/ menghasilkan uang. e. Dalam melaksanakan program PLS harus mempriyoritaskan program yang dibutuhkan
masyarakat dan dikelola secara swadaya.
Selama ini banyak
program program yang dilaksanakan tidak mengacu pada kebutuhan warga belajar sehingga tidak memberikan manfaat bagi warga belajar, karena sditidak diaplikasikan dalam dsunia pekerjaan. f. Program PLS yang ditawarkan memiliki daya jual yang bisa diakses dalam dunia pekerjaan dan terbentuknya sebuah kemitraan.
KESIMPULAN Berdasarkan paparan diatas dapat ditarik kesimpulan:
pertama penerapan
fungsi manajemen dalam pengelolaan PKBM pada program block grant. Dalam pengelolaan PKBM Gajah Mada telah diterapkan fungsi manajemen dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/pelaksanaan, dan pengendalian atau pengawasan. Timbulnya strategi ini, karena adanya
karateristik pengelolaan PKBM
yang dipengaruhi situasi dan potensi daerah yang berbeda-beda. Strategi yang telah ditempuh antara lain: 1.
letaknya gedung PKBM yang merupakan sentral kegiatan belajar memiliki tempat yang cukup
strategis dan representative. Hal ini
sangat diperlukan dalam
pengelolaan PKBM. Strategi Pemilihan tempat PKBM yang strategis dan representatif diperlukan agar (a) memudahkan dijangkau oleh warga belajar. (b) menimbulkan pembelajaran yang menyenangkan dan memotivasi
minat
pembelajaran. (c) memudahkan dalam melaksanakan kegiatan administrasi, termasuk di dalamnya penginventarisasian barang-barang yang dimiliki sebagai pengamanan asset PKBM. Dengan administrasi yang baik akan menimbulkan kepercayaan baik masyarakat maupun pemerintah sekaligus menyangkut tingkat kredibilitas lembaga PKBM. Keadaan seperti ini memberikan nuasa bahwa lembaga PKBM ini setara dengan Mini SKB. 2.
Pola pelembagaan
PKBM dibentuk dari unsur pegawai negeri (patrimonial
manajemen) dan kepengurusan banyak dari guru SD yang cenderung paternalistik akan
memudahkan dalam pengelolaan PKBM, karena dasarnya kolektivitas
dalam menjalankan tugas secara bersama-sama dan bekerja dengan dasar pengabdian atau sukarela. Dalam melaksanaka misi PKBM dipilih guru-guru (professional manajemen) karena telah dimiliki kemampuan dalam pembelajaran sehingga peningkatan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan ditambah dari pelatihan-pelatihan. Susunan pengurus banyak berasal dari guru karena kebutuhannya utama dipandang telah terpenuhi dengan alasan mereka sudah memiliki
pekerjaan utama, entengan dan mudah diajak kerjasama. Sehingga
asumsinya dengan kebutuhan pokok telah terpenuhi mau melakukan kegiatan yang lain. 3.
Pola rangkap jabatan bagi dalam kepengurusan PKBM ini dilakukan karena untuk menghemat pengeluaran rutin sebagai efisensi pendanaan dan disesuaikan pada kemampuan PKBM.
4.
Pola gendong indit dalam pendanaan apabila dalam situasi yang darurat, hal ini dilakukan pola ini dilakukan sebagai pendekatan situasi dan kondisi, dengan tujuan agar kegiatan tetap dapat berjalan.
5.
Pola pengadminstrasian terbuka khususnya transparansi
pelaporan keuangan
merupakan modal dasar dan kunci pengurus mau menjalankan tugas sebagai bentuk tanggung jawab, peran koordinasi dan kerjasama dengan baik sehingga perannya tidak pasip dan apatis. Pelaporan sebagai bentuk kegiatan administrasi dilaporkan secara rutin dalam kegiatan rapat bulanan dengan mengundang penilik sebagai supervisor. 6.
Pola kebersamaan dan saling membantu atau tolong menolong.adalah dasar mereka melaksanakan tugas pekerjaan. Motivasi pengabdian atau bekerja sukarela dalam lembaga non profit seperti PKBM akan menciptakan eksisitas.
7.
Pola kepemimpinan menejerial fleksibel tidak
dari
ketua pengelola yang dilakukan dengan
otoriter, menganggap pengurus bukan bawahan, tidak main
perintah dan mau
menghargai manusia sebagai orang dewasa. Pola
kepeminpinan ini sangat diperlukan dalam pengelolaan PKBM. Sehingga figur seorang pemimpin atau manajer yang mau mengorbankan waktu, tenaga dan fikiran sangat diperlukan sekaligus mau mengemban amanat yang tidak sematamata hanya berorientasi pada proyek. 8.
Pola belajar dengan fasiltas seadaanya dan belajar kontektual yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan potensi yang dimiliki, merupakan karakteristikan proses kegiatan PLS yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan pembentukan program PLS yang disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar menjadi dasar pengembangan program.
9.
Pola pengutamaan kepuasan kepada para pelanggan/warga belajar sangat diperlukan sebagai bentuk kepercayaan yang telah diberika masyarakat dan pemerintah. Kedua,
makna
stategi
pengelolaan
terkait
keterterapan
metode
penggabungan unit usaha dengan progam PLS 1.
Penerimaan dana block grant PKBM, dimaknai pengurus PKBM Gajah Mada harus diwujudkan dahulu untuk sebuah unit usaha yang produktif dengan alokasi dana sejumlah total dana yang diterimakan.
Setelah terwujud unit usaha produktif
sebagai sumber penghasilan, diharapkan nilai investasinya tidak berkurang dan diharapkan bisa bertambah. Pola pikir
(mindset) dilakukan sebagai bentuk
kreativitas dalam upaya menciptakan kemandirian PKBM. 2.
Unit usaha produktif yang dimiliki dan dibentuk agar bisa cepat beroperasi sehingga dapat menghasilkan uang adalah bentuk konsekuensi keputusan pengurus.
Kecepatan suatu unit usaha produksi diperlukan karena disamping
untuk keperluan operasional rumah tangga lembaga, juga tersedianya dana untuk pengembangan program. 3.
Dengan terwujudnya unit usaha produktif akan terbentuk unit usaha yang lain sebagai bentuk diversifikasi usaha.
4.
Dalam menentukan unit
usaha yang dipilih harus mempertimbangkan faktor
resiko. Kerusakan mesin, kecelakaan, bencana alam, hama dan penyakit merupakan contoh bentuk resiko yang perlu diantisipasi karena hal ini akan mempengaruhi kelancaran dalam berproduksi/ menghasilkan uang. 5.
Dalam membentuk
program PLS harus mempriyoritaskan program yang
dibutuhkan masyarakat dan pengembangan program dikelola secara swadaya sebagai upaya untuk memandirikan PKBM.
6.
Program PLS yang ditawarkan memiliki daya jual yang bisa diakses dalam dunia pekerjaan dan perlunya dibentuknya sebuah jaringan dan kemitraan kerja.
B. Saran-saran 1. Strategi Pemilihan tempat yang strategis dan representatif diperlukan untuk mendukung perubahan terhadap paradigma lama bahwa tempat penyelenggaraan program PLS yang cenderung menempati tempat seadaanya seperti gedung SD atau bangunan kosong
Paradigma baru
mendukung adanya perubahan dan
perbaikan yang terus menerus dan berkelanjutan. Jadi menempati gedung PKBM tidak sekedar menempati tempat yang kosong atau tidak terpakai tetapi harus dengan bepertimbangan yang akan meningkatkan kualitas dan kuantitas. Pemilihan gedung tidak harus mewah, walaupun sederhana bila didisain dan ditata yang artistik, rapi dan bersih nilainya tak kalah dengan yang mewah. 2. Pola pelembagaan PKBM yang kepengurusannya
berasal dari guru SD atau
pegawai negeri, dikelola dengan patrimonial management dan
cenderung
paternalistik yang memiliki kelemahan tidak mengembangkan pemberdayaan masyarakat dan kolektivitas yang dapat mengekang sikap mandiri, keinginan untuk menonjol diri dalam prestasi pribadi dan mengambilan inisiatif. Diharapkan dengan adanya kelembagaan PKBM dapat memberdayakan masyarakat, dan PKBM dapat dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat, sesuai dengan Moto PKBM. Karena masyarakat merupakan sumber kekuatan apabila difasilitasi oleh fasilitator 3. Dalam menuju kemandirian PKBM, walau PKBM merupakan organisasi nonprofit, apakah tetap diperlukan kepengurusan khusus yang tidak merangkap jabatan lain termasuk menjadi tutor, tergantung pada keadaan lembaga tersebut. Hal ini dikandung maksud agar pengelolaan akan lebih profesional.
4. Memberikan kebebasan kepada pengelola untuk dapat mengembangkan kreatifitas pada pengelolaan dari penerimaan dana block grant PKBM yang disesuaikan dengan potensi daerah tersebut. Yang penting substansi tujuan dalam
petunjuk
pelaksanaan program block grant PKBM.dapat dicapai. Jadi petunjuk pelaksanaan program block grant PKBM yang sifatnya kaku dan tidak fleksibel, tidak akan mengembangkan model atau pola pengembangan PKBM. 5. Diperlukan kreativitas dalam memilihan kegiatan unit usaha sebagai tulang pulung sumber pengelolaan PKBM. 6. Keberadaan program block grant PKBM sangat baik dalam memberdayakan masyarakat sehingga program ini perlu terus dikembangkan. Tentunya penerima program dana block grant diberikan kredibilitas dan pengalaman
kepada lembaga kelompok
yang memiliki
dalam mengembangkan program pemberdayaan
masyarakat. 7. Pola tehnologi pembelajaran perlu dikembangkan secara bertahap agar tercipta pola pembelajaran yang efektif dan efisiensi, sekaligus untuk mengembangkan jaringan informasi serta mengenalkan tehnologi pendidikan dan untuk menghindarkan ketertinggalan pada tehnologi.
1
PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SEBAGAI PROVIDER PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (Studi Kasus : Pengelolaan Lembaga Pondok Pesantren Pendidikan dan Perguruan Agama Islam Ketapang Kepanjen Malang) Drs. SAMELI
A B S T R A C T. Islamic boarding school education and collage (PPAI) in Ketapang Kepanjen Malang, as non formal provider stresses on religious in activities. For more than a half of a century, PPAI Ketapang , Kepanjen Malang has retaineds. Salafiyah type for all activities. On the other hand, most of Islamic boarding schools Phenomenon that it continuous developing and the sentries increase in member year after year. This research is aimed to: 1) to know the strategies applied by PPAI in managing and developing Salafiyah systems, 2) to know the reason why the management still retains salafiyah type in PPAI. This research uses qualitative method by collecting data technique. It is done by unstructured interview, open interview and observation . to get accure data, it uses detail interview. Observation is not a participative one. The true data is done by examining credibility’s, transportability’s, conformabilities and reliabilities. Data analysis include: 1) reducing data, 2) presenting data and 3) drawing conclusion. Kata kunci : pondok pesantren salafiyah, provider pendidikan luar sekolah, pengelolaan
Lembaga pendidikan pesantren memiliki sejarah yang sama tua dengan cikal bakal pendidikan nasional. Keduanya memiliki ciri khas sistem pendidikan dan metode pengajaranya yang berbeda. Bila pendidikan nasional (umum) sejak awal sudah menerapkan metode klasifikasi kelas yang mengadopsi dari Eropa (Belanda), pesantren memulainya dengan tipe salafiyah serta menggunakan metode tradisional. Pondok pesantren Pendidikan dan Perguruan Agama Islam (PPAI) Ketapang Kepanjen Malang sebagai provider pendidikan luar sekolah yang, menitik beratkan pada kegiatan belajar ilmu-ilmu keagamaan. Selama setengah abad lebih, PPAI Ketapang Kepanjen Malang tetap mempertahankan tipe salafiyah-nya. Sementara banyak pondok pesantren yang telah berubah dari tipe salafiyah menjadi tipe khalafiyah.
1
2
Fokus penelitian ini adalah 1) bagaimana strategi pengelola pondok pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang dalam usaha mempertahankan tipe salafiyah-nya ? dan 2) mengapa tipe salafiyah tetap dipertahankan di pondok pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang ? Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan strategi-strategi yang dilakukan oleh pengelola pondok pesantren PPAI dalam menyelenggarakan dan mengembangkan sistem salafiyah dan mendiskripsikan alasan-alasan pengelola dalam mempertahankan tipe salafiyah di PPAI Ketapang Kepanjen Malang. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu secara teoritis hasil temuan penelitian ini akan mengoreksi atau menguatkan teori andragogi yang ada dan secara praktis, dapat dipergunakan sebagai alternatif untuk mengembangkan di lembaga-lembaga pondok pesantren salafiyah yang lain.
METODE Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus, yaitu untuk memahami dan mendeskripsikan fenomena suatu latar, suatu objek, atau suatu peristiwa tertentu secara rinci dan mendalam (Bogdan dan Biklen, 1998). Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yaitu kualitatif maka kehadiran peneliti di lapangan adalah sangat penting dan menentukan, oleh karena peneliti bertindak sebagai instrumen utama (kunci) sekaligus sebagai pengumpul data penelitian (Moleong, 1990:121). Peneliti bersikap dengan sangat hati-hati dalam berusaha menggali informasi, sehingga tidak merugikan pengelola Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren PPAI Ketapang Sukoraharjo Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Dipilih Pondok Pesantren PPAI Ketapang sebagai tempat penelitian oleh karena Pondok Pesantren PPAI
2
3
Ketapang mempunyai kelebihan di samping Pondok Pesantren yang lain dalam hal pengelolaan tipe salafiyah. Prosedur pengumpulan meliputi tiga tahapan pokok, yakni (1) tahap pra lapangan (orientasi) yang dilaksanakan bulan Agustus 2007, (2) tahap kegiatan di lapangan (eksplorasi) dilaksanakan pad bulan Desember 2007, dan (3) tahap analisis data dilaksanakan bulan januari sampai dengan bulan Juni 2008. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, angket, dokumen, dan observasi. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan empat kreteria, yaitu: (1) derajat kepercayaan (credibility), dilakukan dengan masa observasi yang lama, ketekunan obsevasi, dan triangulasi, (2) keteralihan (transferability),
(3)
kebergantungan
(dependability),
dan
(4)
kepastian
(confirmability
HASIL A. Pengelolaan Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang. Pengelolaan Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang dilaksanakan secara terpadu antara pengasuh, ustadz dan ustadzah serta alumni dan santri. Hasil wawancara dan dokumen yang diperoleh dari pengelola diketahui bahwa : 1) jenis pendidikan yang diselenggarakan untuk para santri meliputi pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Salafiah, Madrasah Tsanawiyah Salafiyah, Madrasah Aliyah Salafiah, pembinaan kader da’wah dan kegiatankegiatan lain yang sifatnya temporer. Sedangkan untuk masyarakat sekitar dilakukan pembelajaran atau pengajian rutin tiap hari Ahad dan kegiatan pengajian khusus bagi masyarakat lanjut usia (lansia), 2) perkembangan bidang sarana fisik, sejak pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1949 sarana penerangan masih menggunakan bahan minyak tanah oblek dan tahun 1961 ditingkatkan menjadi listrik dari desel walaupun sistem nyalanya diatur bergiliran
3
4
guna penghematan bahan bakar yang berkapasitas 5.000 watt, tahun 1984 pondok pesantren mendapatkan bantuan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dapat menerangi seluruh lingkungan pondok pesantren, perumahan, halaman dan jalan umum, serta tidak memerlukan giliran lagi, 3) pembangunan di bidang pengadaan air, Pada awalnya Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang dalam memenuhi kebutuhan air mengambil langsung dari sungai molek, baik untuk minum, mandi, mencuci, memasak dan lain sebagainya. Tetapi sejak tahun 1971, berkat ide dan bantuan CV. Amnan dan Sons beralih mengambil air bersih dari air yang terletak disebelah timur sungai Brantas dan sungai Molek ditarik dan dinaikkan ke pondok dan perumahan. Pada tahun 1985 pondok pesantren mendapatkan persetujuan penyambungan air minum dari PAM, sehingga kebutuhan air di lingkungan pondok pesantren dapat terpenuhi, bahkan dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar pondok pesantren.” (WW/I-1/15-11-2007), 4) pembangunan di bidang keindahan dan kebersihan, setiap santri diwajibkan membersihkan ruangannya masing-masing dengan jadwal bergilir, serta digalakkan penanaman holtikultura dan pembuatan taman di setiap komplek asrama santri sehingga tercipta lingkungan yang bersih. 6) di bidang keamanan, sejak awal berdiri telah ada undang-undang pondok pesantren yang dibuat langsung oleh KH. Moh. Sa’id selaku pendiri pondok pesantren serta peraturan pondok pesantren yang dibuat oleh pengasuh pondok pesantren saat ini bagi santri yang melanggar akan dikenakan sanksi, 7) di bidang keuangan, Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang dalam memenuhi kebutuhan rutinnya, seperti pembayaran rekening listrik, air dan operasional pondok
tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap. Di
samping itu pengasuh, dan ustad ustadzah tidak mendapatkan honor, untuk biaya operasional pondok pesantren bersumber dari syahriyah bulanan santri sebesar Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah) dengan rincian : Rp. 10.000,- untuk
4
5
biaya asrama, air dan listrik, Rp.
1.500,- untuk kesehatan, Rp.
3.500,- untuk
SPP madrasah diniyah. Sedangkan biaya pembangunan sarana fisik yang ada di pondok pesantren diperoleh dari sumbangan para wali santri dan para dermawan serta pelaksanaan pembangunan dikerjakan oleh para santri agar tidak memakan biaya atau anggaran yang besar. b. Upaya mempertahankan salafiah PPAI Ketapang Kabupaten Malang 1) Otoritas kyai dalam kehidupan pondok pesantren. Kyai
Pondok
Pesantren
Ketapang
Kabupaten
Malang
sangat
mendominasi terhadap kehidupan pondok pesantren ini. Dengan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh kyai tersebut yang antara lain kekuatan-kekuatan berupa karomah dan barokah, moralitas, pengetahuan keagamaan serta ilmu-ilmu lain yang secara logika kurang dapat dijelaskan dapat mempengaruhi dan mengendalikan kegiatan-kegiatan yang ada di pondok pesantren ini. Sehingga identitas kyai merupakan identitas pondok itu sendiri. 2) Pola rekrutmen ustadz-ustadzah sebagai pengasuh pondok pesantren. Sebagai langkah lain untuk tetap mempertahankan kemurnian ajaranajaran dalam bentuk kesalafiahan dilakukan melalui rekrutmen pengasuh atau pengajar dari kalangan keluarga sendiri. Selain ustadz dan ustadzah atau para pengasuh tersebut dapat membentuk identitas kolektif juga memberikan dasardasar untuk sebuah usaha dalam memasyarakatkan dan mempertahankan ajaran yang dilakukan dengan model salafiah. 3) Keterlibatan alumni dalam kegiatan-kegiatan pesantren Alumni merupakan aset yang cukup berharga untuk ikut terlibat dalam mengembangkan dan mempertahankan tipe salafiyah di pondok pesantren. Hal ini dimanfaatkan oleh pengelola Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang untuk mempertahankan tipe salafiyah. Langkah-langkah yang dilakukan antara
5
6
lain menghadirkan alumni dalam pengajian rutin, istighosah, ikut menjadi pengasuh atau kegiatan lain yang tetap memiliki ikatan emosional antara alumni terhadap sang kyai dan pondok pesantrennya. 4) Kurikulum Kurikulum yang diterapkan di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang memegang teguh pola tradisional yakni salafiah. Hal ini terlihat materi yang disajikan dalam pembelajarannya antara lain berkisar dalam ilmu keagamaan yakni Nahwu, Fiqh, tafsir, Hadist, Ushul Fiqh, Idzoh, tarekh/Tasyri’, tauhid, Faro’idl, mantiq, Tashowwuf, Balaghoh, Aswaja, Shorof, Khoth, Risalah, Akhlaq, I’anah, Tajwid dan Hisab/’Arudl. Pengetahuan-pengetahuan umum tidak nampak pada sajian materi dari kurikulum di pondok ini. Hal ini juga sebagai upaya untuk tetap melestarikan kesalafiahan pondok. c. Alasan-alasan Pondok Pesantren PPAI Mempertahankan Salafiyah 1. Ta’at, ta’dzim pada wasiat Kyai H Moch Said merupakan figur sentral di lingkungan Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang. Identitas pondok adalah identitas kyai itu sendiri. Seluruh warga pondok selalu mengikuti tentang apa yang diperintahkan atau disarankan oleh kyai sepuhnya. Mereka selalu mengingat akan petuah dan sekaligus berupaya untuk melaksanakannya. Walaupun situasi dan keadaan sudah berubah dibandingkan dengan masa pendiri pondok namun generasi penerus tetap berupaya untuk melestarikan ajaran-ajaran yang turunkan dari para kyai pendahulu atau pendirinya yang merupakan manifestasi dari sikap kepatuhan dari para pengasuh ataupun pengurus Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang. 2. Mempertahankan nilai dan budaya leluhur. Pengasuh atau para pengurus Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang menerima warisan dalam bentuk pondok pesantren sekaligus dengan
6
7
nilai-nilai yang diajarkan oleh kyai sebelumnya. Mereka berusaha untuk melestarikan pola pembelajaran maupun nilai-nilai yang ada dan dilaksanakan sesuai dengan pesan-pesan yang telah diterima oleh kyainya. Apa yang dilakukan oleh kyai juga merupakan pesan yang tidak tertulis untuk para pengasuh selanjutnya, sehingga jika hal itu ditauladani mereka berkeyakinan akan tetap menerima restu yang pada gilirannya akan mendapatkan berkah atas ijin Allah.
PEMBAHASAN a. Upaya mempertahankan salafiah PPAI Ketapang Kabupaten Malang. 1. Otoritas kyai dalam kehidupan pondok pesantren. Kyai merupakan unsur yang paling esensial dari suatu pesantren. (kyai) seringkali bahkan merupakan pendiri pesantren itu sendiri.
Ia
Karenanya
wajar bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Kyai antara lain merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri. Secara empiris, kyai adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi tokoh sentral, pusat perhatian dan teladan serta sumber pengetahuan tentang makna hidup serta cara-cara hidup menurut tuntunan ajaran Islam. Dalam pengertian luas, di Indonesia sebutan kyai dimaksudkan untuk para pendiri atau pemimpin sebuah pesantren muslim yang telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan (Poerwadarminta, 1976; Geertz, 1981; Koentjaraningrat, 1984; Ziemek, 1986; Imran, 1992). Para kyai berkeyakinan bahwa mereka adalah pewaris dan penerus risalah Nabi, sehingga mereka tidak hanya mengajar pengetahuan agama, tetapi
7
8
juga hukum dan praktek keagamaan, sejak dari hal yang bersifat ritus sampai prilaku sehari-hari. Misi utama dari kyai adalah sebagai pengajar dakwah Islam (preacher) dengan baik.
Keberadaan kyai-kyai akan lebih sempurna apabila
memiliki masjid atau surau, pondok, santri dan ia ahli mengajarkan kitab-kitab Islam klasik yang biasa disebut kitab kuning (Prasodjo, 1974; Madjid, 1985). Para santri di lingkungan Pondok Pesantran Katapang Kabupaten Malang “mengkiblatkan diri” kepada kyainya. Segala kegiatan yang dilakukan di pondok ini atas restu atau arahan dari kyai. Meraka tidak berani merubah atau membuat aturan sendiri dalam kehidupan pesantren. Kyai mengendalikan pesantren dengan segala kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya dan para santri atau masyarakat umumnya mengakui kemampuan tersebut. Kemampuan itu antara lain kekuatan kyai yang berupa karomah, berkah, moralitas
dan
pengetahuan-pengetahuan keagamaan bahkan ilmu-ilmu lain yang secara logika kurang dapat dijelaskan. Identitas pesantren juga merupakan identitas kyai pengasuhnya sehingga dapat dipahami bahwa salah satu strategi yang dilakukan oleh Pondok Pesantran Katapang Kabupaten Malang dalam mempertahankan kesalafiahan adalah melalui otoritas kyai yang mewarnai dalam segala bentuk dan pola kehidupan pondok pesantren. 2. Pola rekrutmen ustadz-ustadzah sebagai pengasuh pondok pesantren. Terkait dengan pola yang digunakan oleh pengurus atau lembaga untuk mencari pengajar atau pengasuh di lingkungan Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang dilakukan rekrutmen yakni mendapatkan sejumlah calon tenaga kerja yang kualifaid untuk pekerjaan mendidik para santri. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Stoner (1995) The recrutment is the development of a pool of job candidates in accordance with a human resource plan. Di lingkungan Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang rekrutmen ini dilakukan melalui sistem kekarabatan. Dalam pengertian bahwa ustadz dan ustadzah direkrut
8
9
melalui hubungan famili yang kebetulan juga merupakan alumni dari pondok tersebut. Ustadz maupun ustadzah yang ikut membina pondok sebagian besar merupakan famili atau memiliki hubungan keluarga dari para pengasuh seniornya. Selain di rekrut dari anak-anak pengasuh senior juga dari para menantu yang dipandang sudah memiliki kemampuan untuk mengajar. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan prinsip dari pola manajemen modern yang mengisyaratkan bahwa dalam melakukan rekrutmen pagawai atau karyawan dan jika dalam suatu organisasi yang melakukan aktivitas pendidikan adalah guru atau ustadz melalui seleksi seperti yang dikemukakan oleh Koontz&Weihrich (1990) yang menyebutkan “selection is the process of choosing from among candidates, from within the organization or from the outside, the most suitable person for the current position or for the future positions” . Jika dilihat dari langkah yang diambil oleh pengurus dalam rekrutmen pendidik atau pengasuh di Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang dengan mengambil santri-santri yang masih memiliki hubungan keluarga dari pengasuh merupakan kebijakan yang diambil untuk melestarikan ajaran salafiah yang telah dipakai sejak berdirinya pondok tersebut walaupun hal itu kurang sesuai dengan pola rekrutmen tenaga kerja pada organisasi modern. Langkah rekrutmen yang dilakukan dibenarkan oleh para pengurus dan kyai sepuh yang memiliki hak otoritas terhadap pondok walaupun jika dicermati cukup syarat dengan nepotisme. 3. Keterlibatan alumni dalam kegiatan-kegiatan pesantren Alumni Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang tersebar di berbagai daerah baik di wilayah Malang Raya yakni Kabupaten Malang, kota Malang dan Kota Batu serta daerah-daerah lain bahkan sampai di luar pulau Jawa. Umumnya mereka sangat komitmen dengan ilmu-ilmu atau ajaran yang diterimanya di saat mondok di Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang.
9
10
Keadaan memegang komitmen dan patuh terhadap kyainya tersebut selanjutnya di sebut sebagai sikap taqdim. Sebagai upaya mendukung program dan kegiatan di pondok, para alumni tersebut juga sering kali dilibatkan baik dalam kategori pengasuh maupun peserta pengajian rutin yang sedang diselenggarakan pondok. Hal ini sebagai langkah untuk tetap melestarikan nilai-nilai yang telah tertanam di saat mereka mondok sehingga menambah keyakinan akan ajaran yang diterimanya saat itu dan dapat melindungi keyakinannya dari pengaruh-pengaruh luar. Maksud lain dari kegiatan yang dilakukan dan merupakan hal terpenting bagi lembaga Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang adalah tetap menanamkan dan melestarikan
nilai
dan
budaya
yang
memiliki
karakteristik
salafiahnya.
Keberadaan alumni dipandang sebagai perpanjangan tangan dari lembaga pondok dalam menyampaikan pesan-pesan moral keagamaan dan penanaman nilai kepada masyarakat dimana alumni bertempat tinggal di samping ilmu tersebut bermanfaat bagi kehidupan seorang alumni secara pribadi dan keluarga. Dengan berbekal ketaqdiman dan kepatuhan para alumni inilah lembaga pondok pesantren ketapang Kabupaten Malang melalui pengurusnya memanfaatkan untuk ikut melestarikan ajaran-ajaran yang diperoleh dari “kiblatnya” yakni sang kyai sebagai pengasuh Pondok Pesantren ketapang Kabupaten Malang tersebut. 4. Kurikulum Pada awalnya kurikulum kebanyakan menggunakan konsep lama, yaitu kurikulum dipandang hanya sebatas kumpulan isi mata pelajaran atau daftar materi pokok yang ditawarkan kepada peserta didik dalam menyelesaikan suatu program
belajar
dalam
satuan
pendidikan
tertentu.
Namun
dalam
perkembangannya seiring dengan bergulirnya otonomi pendidikan dan sejalan dengan tuntutan perubahan, perkembangan iptek, serta tuntutan kemampuan
10
11
daya saing dalam kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak hanya dipandang sebatas deretan mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik, tetapi memiliki makna atau pengertian yang lebih luas, yakni apa saja yang dialami peserta didik atau segala upaya yang diprogramkan sekolah dalam membantu mengembangkan potensi-potensi peserta didik melalui pengalaman belajar yang potensial untuk mencapai visi, misi, tujuan dan hasil yang diinginkan oleh satuan pendidikan baik dilaksanakan di dalam maupun di luar lingkungan sekolah (Saylor dan Alexander, 1979 dalam Muhaimin dkk, 2008.: 6). Dari aspek kurikulum satuan pendidikan termasuk Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang, kurikulum pondok harus dikembangkan oleh pengurus dengan berpedoman pada standar isi (SI), standar kompetensi kelulusan (SKL) dan standar kompetensi penilaian (SKP) yang dikeluarkan oleh lembaga pondok sendiri dengan berlandasakan pada prinsip-prinsip: berpusat pada potensi, pertumbuhan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu agama Islam, serta beberapa aspek secara menyeluruh dan berkesinambungan. Diantara materi ajar yang disajikan antara lain Nahwu, Fiqh, tafsir, Hadist, Ushul Fiqh, Idzoh, tarekh/Tasyri’, tauhid, Faro’idl, mantiq, Tashowwuf, Balaghoh, Aswaja, Shorof, Khoth, Risalah, Akhlaq, I’anah, Tajwid dan Hisab/’Arudl. Berangkat dari uraian diatas, maka tugas masing-masing satuan pendidikan
adalah
mengembangkan
kurikulum
tersebut
sesuai
dengan
karakteristik satuan pendidikan pondok salafiah yang diinginkan, berdasarkan pada standar isi, standar kompetensi kelulusan dan standar penilaian yang ada. Kurikulum
yang
dimaksud adalah proses perencanaan kurikulum agar
menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum merupakan suatu proses perencanaan yang kompleks mulai dari penilaian kebutuhan, identifikasi hasil-hasil belajar yang diharapkan,
11
12
serta persiapan pembelajaran untuk mencapai tujuan dan pemenuhan kebutuhan budaya, sosial dan personal (Hamalik, 2007). Kurikulum yang ada di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang seperti tersebut di atas menggambarkan konsistensi terhadap nuansa salafiahnya. Agar pengembangan kurikulum dapat terwujud secara tepat, maka pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan penggunaan strategistrategi yang memungkinkan kegiatan-kegiatan pengembangan kurikulum dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Menurut Mulyasa (2006:87), pelaksanaan kurikulum dapat dilakukan secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan pembelajaran, dana pondok yang cukup untuk menggaji staf sesuai dengan fungsinya,
sarana prasarana yang memadai untuk mendukung proses
pembelajaran, serta dukungan yang tinggi dari masyarakat (orangtua). Untuk mewujudkan pengembangan kurikulum tersebut sedikitnya perlu diperhatikan 3 (tiga) faktor utama dalam pengembangannya yaitu: (1) Pengelompokan sekolah, (2) Pentahapan yang tepat, dan (3) Pengembangan perangkat pendukung. Upaya
pengembangan
kurikulum
dalam
prakteknya
memerlukan
keterlibatan dari beberapa pihak karena keberhasilan suatu sistem, merupakan tanggung jawab bersama pada semua tahapan kurikulum, yaitu perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan kurikulum. Menurut Hamalik (2007:228) pengembangan kurikulum memerlukan keterlibatan beberapa unsur-unsur SDM yang meliputi: pakar ilmu pendidikan, administrator pendidikan, guru, ilmuwan, orangtua, siswa dan tokoh masyarakat. Demikian halnya pengembangan kurikulum yang dilakukan di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang juga memerlukan keterlibatan unsur ulama dalam hal ini adalah kyai sepuh, para pengurus pondok, pengasuh atau ustadz dan ustadzah, wali santri, dan ulama-ulama salafiah lainnya. Keterlibatan unsur-unsur
12
13
tersebut
sebagai
upaya
memperkokoh
dalam
pelestarian
karakteristik
kesalafiahan Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang. b. Alasan-alasan Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang Mempertahankan Salafiyah 1. Ta’at, Ta’dzim pada Wasiat Sikap paternalistik pada intinya berarti membatasi atas kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk melindungi dan mempromosikan kebaikan atau keunggulan mereka sendiri ( Belmont, 1971). Definisi ini merujuk pada tiga unsur paternalisme, masing-masing menjadi problematis yakni fokus batasan, bentuk dan tujuannya. Pembatasan tentang kebebasan mungkin saja mengambil bentuk tidak hanya pemaksaan fisik atau hukum, melainkan juga rintangan yang lebih halus dan canggih yang muncul dari kekuasaan yang tidak setara dalam beberapa jenis relasi. Satu pemahaman tentang yang baik dengan membatasi, lewat suatu cara-cara bertindak yang ingin dilaksanakan seseorang. Seorang kyai dalam lingkungan pondok pesantren memiliki pengaruh yang luar biasa. Dalam pengertian seakan-akan dapat mengendalikan “hidup dan kehidupan” para santrinya. Apa yang diucapkan oleh kyai menjadi hukum bagi keberlangsungan kehidupan pondok sehingga para santri menjadi sangat patuh kepadanya. Di lingkungan Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang, pengaruh kyai sepuh yang juga menjadi pendiri pondok sangat tinggi yang
mengakibatkan
seluruh
santri-santri
sangat
taqdim
terhadapnya.
Kepatuhan para santri dan generasi penerus dari pengelola pondok selalu mengikuti jejak dari kyai pendiri pondok tersebut. Sehingga para generasi penerus selalu berusaha untuk melestarikan kemurnian ajaran dan kegiatan yang telah dilaksanakan yakni kegiatan yang bercirikan kesalafiahannya. Kyai dipercaya memiliki barokah sehingga mereka mempunyai kekuatan supranatural, magis atau yang lainnya (Moertono, 1968; Mas’ud, tanpa tahun).
13
14
Barokah dimiliki oleh kyai sebab mereka dipandang sebagai pewaris Nabi. Seperti dikatakan oleh Dhofier (1980) bahwa kebanyakan kyai membantu timbulnya kesan public bahwa beberapa kyai adalah orang-orang yang luar biasa yang memiliki gelar supranatural karomah (dicintai oleh Allah) dan menjadikan sumber barokah (berkah Allah) bagi pengikut-pengikut mereka. Kyai memiliki standard moralitas yang lebih tinggi, jika mereka sungguh mempunyai ilmu yang lebih banyak dan hubungan khusus dengan Tuhan, mereka sebenarnya lebih moralis sehingga yang demikian akan menjadi tokoh panutan dan rujukan dalam hal falsafah kehidupan beragama. KH. Moch. Said di lingkungan Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang merupakan figur yang menjadi rujukan dari semua sikap dan merupakan sebuah model seluruh pola pikir bagi santri-santrinya. Seakan-akan restu kyai merupakan sesuatu yang utama bagi pembenaran sikap dan tindakan yang dilakukan oleh santri. Hal ini merupakan sesuatu norma yang tidak tertulis tetapi menjadi pegangan utama bagi santri dan jika tidak mengindahkan hal tersebut berarti sebuah sikap durhaka kepada sang guru atau kyai dan berakibat kurang atau tidak membawa berkah dari ilmu yang telah ditempuhnya. Dengan pemahaman santri atau generasi penerus di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang yang diejawantahkan dalam bentuk sikap kepatuhan tersebut di atas yang sebenarnya merupakan sikap pembatasan diri atas kebebasanya dalam mengambil langkah memajukan pondok merupakan perwujudan sikap paternalistik dari seorang santri kepada kyainya. 2. Menjaga kemurnian nilai leluhur Sesuatu yang diwariskan oleh pendahulu terhadap generasi penerus merupakan hal yang perlu dilestarikan baik itu benda, nilai-nilai bahkan suatu ajaran. Nilai atau ajaran yang sudah diyakini akan kebaikan maupun manfaat akan selalu dilaksanakan oleh seseorang dan dia akan cenderung akan menolak
14
15
suatu pembaharuan jika pembaharuan tersebut disangka atau dinilai akan merubah keyakinan mereka. Hal demikian oleh A Roggers (1992) dikatakan sebagai laggard dimana seseorang tidak akan menerima suatu inovasi jika hal tersebut dinilai akan bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Pengasuh atau para pengurus Pondok Pesantren Katapang Kabupaten Malang menerima warisan dalam bentuk pondok pesantren sekaligus dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh kyai sebelumnya. Mereka berusaha untuk melestarikan pola pembelajaran maupun nilai-nilai yang ada dan dilaksanakan sesuai dengan pesan-pesan yang telah diterima oleh kyainya. Hal ini juga terlihat dari masih difungsikannya peraturan dan tata tertib pondok yang dibuat oleh kyai terdahulu sampai saat ini. Sebenarnya jika melihat kondisi lingkungan maupun sarana dan prasarana saat ini sangat berbeda dengan situasi dan kondisi saat peraturan dan tata tertib tersebut di buat yakni pada tanggal 1 Januari 1956. Tetapi dalam kenyataanya sampai saat ini peraturan tersebut masih dipakai dan pengasuh atau pengurus selanjutnya tidak berani untuk merubah atau membuat peraturan baru. Bahkan untuk hal lain seperti diungkapkan dalam paparan data bahwa pada beberapa bulan yang lalu pondok ini mendapatkan sumbangan dari pemerintah berupa beberapa unit komputer dengan maksud untuk difungsikan sebagai sarana belajar santri sehingga akan membuka cakrawala pengetahuan serta memberikan ketrampilan yang kelak dapat bermanfaat bagi kehidupannya setelah lulus dari pondok. Tetapi hal tersebut tidak dimanfaatkan oleh pengurus atau pengasuh bahkan melarang para santri untuk bersentuhan dengan perangkat tersebut. Mereka memberikan alasan bahwa jika para santri dikenalkan dengan perangkat komputer dikhawatirkan akan teracuni oleh pengaruh-pengaruh dari luar dan berpengaruh terhadap ajaran-ajaran yang diberikan oleh pondok.
15
16
Pengaruh kyai yang lebih luas dan pola kepemimpinanya di samping lingkup pondok pesantren adadalah lintas desa yang memungkinkan terus berhubungan dengan pihak-pihak pemerintah maupun swasta. Posisi kyai yang terhormat merupakan suatu yang melekat, karena dalam pandangan santri berikut masyarakat pengetahuan kehidupan beragama adalah penting. Kyai memenuhi sumber kebutuhan tersebut dari pengetahuan keagamaannya. Ini membuktikan bahwa peran kritis kyai lahir dari posisinya, baik sebagai pemimpin maupun pengajar agama yang seringkali disertai dengan kepemimpinan yang kharismatik (Endang. T, 2004). Di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang, KH. Moch. Said sebagai pendiri tentunya sebelum beliau mendirikan pondok tersebut juga telah berguru atau mengaji paling tidak kepada salah satu kyai
menimba ilmu dengan krakteristik kesalafiahan, selanjutnya diterapkan
kembali disaat beliau mendirikan sebuah pondok di desa Ketapang tersebut. Dengan segala kemampuan ilmu keagamaannya sang kyai telah memberikan pondasi pengetahuan dan tatacara berpikir dan pola kehidupan keagamaan bagi santri maupun masyarakat sekitarnya. Dasar pemikiran dan pengetahuan yang diberikan para pendahulu selalu dipergunakan dalam melaksanakan segala kegiatan yang ada di lingkungan pondok. Dengan melaksanakan ketentuanketentuan para kyai pendahulu tanpa merubah walaupun keadaan situasi dan kondisi telah berubah dan berkembang sesuai perkembangan zaman merupakan upaya untuk tetap menjaga kemurnian ajaran kyai pendahulu tersebut.
KESIMPULAN Pada bagian penutup ini diuraikan bagian terakhir dari laporan kegiatan penelitian yang dilakukan dengan memberikan kesimpulan berdasarkan data dan pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya serta dari kesimpulan penelitian tersebut diberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak
16
17
yang terkait. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat peneliti kemukakan adalah sebagai berikut : 1. Dengan segala potensi yang dimiliki oleh kyai, berupa pengetahuan dan pemahaman keagamaan, karomah dan barokah, moralitas, serta ilmu-ilmu lain yang secara logika kurang dapat dijelaskan sehingga kyai mempunyai otoritas yang tinggi dalam mengendalikan pondok pesantren. 2. Dalam rangka untuk mempertahankan kemurnian ajaran-ajaran dalam bentuk kesalafiyahan maka pola rekrutmen pengajar atau ustadz-ustadzah sebagian besar diambil dari kalangan keluarga pengasuh. 3. Alumni
merupakan
aset
yang cukup besar bagi pesantren. Untuk
mempertahankan tipe salafiyah dengan dibentuknya Ikatan Keluarga Santri (IKS) Pondok Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang sehingga antara alumni dan pondok pesantren serta kyai terjalin hubungan yang kokoh dan harmonis. 4.
Kurikulum yang diterapkan di Pondok Pesantren Ketapang Kabupaten Malang memegang teguh pola tradisional yakni salafiah. Hal ini terlihat materi yang disajikan dalam pembelajarannya antara lain berkisar dalam ilmu keagamaan
yakni
Nahwu,
Fiqh,
tafsir,
Hadist,
Ushul
Fiqh,
Idzoh,
tarekh/Tasyri’, tauhid, Faro’idl, mantiq, Tashowwuf, Balaghoh, Aswaja, Shorof, Khoth, Risalah, Akhlaq, I’anah, Tajwid dan Hisab/’Arudl. 5. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan dari fenomena yang ada bahwa yang menjadi alasan-alasan pengelola pondok pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang dalam mempertahankan tipe salafiyah adalah (1) Budaya paternalistik di mana KH. Moch Said sebagai pendiri pondok pesantren merupakan figur sentral yang menjadi identitas pondok itu sendiri sehingga seluruh warga pondok pesantren selalu berupaya untuk patuh dan melaksanakan
fatwa
yang
diberikan
oleh
KH.
Moch.
Said.
(2)
17
18
Mempertahankan nilai dan budaya yang diajarkan oleh KH. Moch. Said serta melaksanakan wasiat pendiri. SARAN Terkait dengan hasil penelitian disarankan sebagai berikut : 1. Bagi
pengelola
pondok
pesantren
tipe
salafiyah
hendaknya
perlu
dipertahankan dan dikembangkan. 2. Pola rekrutmen pengajar atau ustadz-ustadzah tetap dipertahankan namun perlu ditambah rekrutmen ustadz-ustadzah yang memiliki ketrampilan khusus antara lain : tata boga, tata busana, pertukangan, elektro dan lain-lain agar santri setelah tamat dari pondok pesantren memiliki ketrampilan yang dapat dikembangkan di masyarakat dan bisa mandiri. 3. Kegiatan Ikatan Keluarga Santri (IKS) atau alumni tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kegiatan ubudiyah namun juga perlu dikembangkan kegiatan yang berhubungan dengan dunia usaha antara lain : mendirikan koperasi, Lembaga Bimbingan Belajar Keagamaan (LBBK), Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan lain-lain. 4. Bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan luar sekolah sebaiknya perlu mengadopsi pola pengelolaan dan sistem di pondok pesantren salafiyah. 5. Bagi
pemerintah
hendaknya
tamatan
pondok
pesantren
salafiyah
mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang sama dengan tamatan pendidikan formal dan non formal.
18
19
DAFTAR PUSTAKA Ali Mukti, H.A. 1981. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta : Rawali Pers. Bogdan, R.C. and Biklen ,S.K 1982. Qualitative Research for Education an Introduction to Theory and Methods. London : Aslly and Bacon. Inc. Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Garafindo Persada. Depag RI. 2002. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Dhofier, Zamaksyari. 1980. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta : LP3ES. Faisal, Sanapiah.1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi. YA3 : Malang. Junus, Mahmud (1993). Al-Qur’an Al-Karim (Terjemahan). Bandung : PT. AlMa’arif. La Belle 1976. Nonformal Education and Social Change in Latin America Los Angeles, UCLA. Latin American Center Publications Uniersity of California. Mahmud H. 2002. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Surabaya : Departemen Agama RI Propinsi Jawa Timur. Manfred Ziemak, 1978. Watak dan Fungsi Pesantren dalam Dinamika Pesantren : Jakarta, P3 M. Mas’udi, M. 1988. Direktori Pesantren. Jakarta : P3M. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Moleong, Lexy. J. 1996. Metodologi Pendidikan Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Jaya. Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nurdjana Putra, Suryati Sri RAY. 1995. Peranan PLS dalam Mensukseskan Pendidikan Dasar 9 Tahun, Makalah Seminar. Rahardjo, Dawam M. ed. 1988. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta : LP3ES. Soedomo, H.M. 1989. Pendidikan Luar Sekolah Kearah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat. Jakarta : PPLPTK-Depdikbud. Soedomo, H.M. 1990. Peluang dan Diagonis Masalah Pendidikan; Kumpulan Pemikiran Awal. Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang.
19
20
Soedomo, H.M. 1990. Peluang dan Tantangan : Keluarga Lembaga Pendidikan di Tahun 2000, Jawa Pos, 24 February. Soedomo, H.M. 1992. Antisipasi Ketenangan Pendidikan Luar Sekolah: Makalah Seminar dan Temu Kelogial Nasional V PLS : Yogyakarta, 16-19 January . Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Perss. Sunyoto, A. 1990. Ajaran Tasawuf dan Pembinaan Sikap Hidup Santri Pesantren Nurul Hag Surabaya : Studio Kasus. Tesis Tidak Dipublikasikan. Malang : FPS. Syarif, M. 1983. Administrasi Pesantren. Jakarta : Payu Barkah. Syis, Z.A. et. Al. 1984. Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren. Jakarta : Dirjen Bimbingan Islam Departemen Agama Republik Indonesia. Tacub, H.M. 1985. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung : Angkasa. Tholkhah, I. 1987. Profil Lembaga Pendidikan Penyiapan Ulama, Pesantren 2 (4), 68—79. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional, Jakarta. Untari Ratna dkk, 2002. Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah. Jakarta : Departemen Agama RI. Wahid, A. 1984. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta : Dharma. Zubaidi, Mahmud. 1999. Peranan Pesantren dalam Meningkatkan SDM, Makalah Seminar Pondok Pesantren se-Kab Malang. Malang 19 Desember 1999.
20
1
POLA PEMBELAJARAN DAN PENYEBARAN BENGKEL KETOG MAGIC (Sebuah Studi kasus Perkembangan Bengkel Ketog Magic dari Desa Bangsri Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar) Miranu Triantoro Abstract: The existence of “Ketog Magic” Workshop as a business focusing on giving service develop in many areas in Indonesia and even abroad. It proves that in “Ketog Magic” Whorkshop, there is transfer of knowledge and skill that will yield skillful man power. Their capability is acquired through apprentinceship system, the instructional model is not hierarchical through there are stages in acquiring the skills: (1) early appentincer or tool coolie (2) colleaque apprentincer, (3) advanced apprentincer or coolie worker. It shosus that transfer of knowledge can open one’s opportunity to improve the quality of life by opening new jobs.
Kata Kunci : pembelajaran non formal, pendidikan luar sekolah, bengkel ketog magic “Bengkel ketog magic” merupakan salah satu jenis kegiatan sektor informal yang berkembang di masyarakat yang lebih mengedepankan pada pelayanan jasa, oleh karena itu secara riel keberadaannya dapat memberikan kontribusi yang sangat berarti, baik dalam peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, wadah untuk menampung tenaga kerja potensi yang berada di sekitar tempat usaha maupun dalam rangka mengembangkan pengetahuan dan teknologi diseputar ketrampilan “ketog magic”. Dalam rangka memberikan jaminan terhadap eksistensinya sebagai pelayan jasa dalam perbaikan body kendaraan bermotor yang telah menyebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan di luar negeri (misalnya: Philipina, Malasyia dan Singapura), sangat diperlukan orang-orang atau para pekerja yang memiliki beberapa ketrampilan dasar dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya, baik mengenai tata cara ataupun teknik yang dipergunakan untuk memperbaiki hingga pengelolaan sebuah bengkel. Namun demikian disisi yang lain dalam realitas kehidupan masyarakat, tidak pernah kita ketemukan sebuah lembagapun (setingkat kursus) yang menyiapkan tenaga trampil untuk bengkel ketog magic, walaupun ini bukan monopoli bengkel ketog magic saja. Kenyataan sebagaimana tersebut diatas memberi gambaran kepada kita bahwa dalam lingkungan bengkel kenteng teter atau ketog magic, tidak terlepas dari adanya
2 proses “transfer of knowledge” yang dilakukan terhadap para pekerja yang ada di dalamnya, terutama bagi orang-orang yang baru saja masuk dalam dunia perbengkelan “Ketog Magic”. Hal inilah yang mendorong untuk melakukan pengkajian secara seksama terhadap pola pembelajaran yang dilakukan
dalam meneruskan dan mewariskan
pengetahuan dan ketrampilan ketog magic pada generasi muda, sehingga secara factual akan diketahui pentingnya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan di bengkel tersebut, sekaligus proses penyebarannya di berbagai daerah, sebagai salah satu konsekuensi logis dari adanya pembelajaran yang dilakukan di dalamnya. Memperhatikan fenomena yang ada di balik bengkel kenteng teter atau ketog magic, maka focus dari penelitian ini adalah bagaimana pola pembelajaran dan penyebaran bengkel kenteng teter atau “ketog magic” yang berasal dari desa Bangsri Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar terjadi. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pola pembelajaran dan pentingnya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan di bengkel kenteng teter sekaligus pola penyebarannya, sehingga memiliki kemampuan untuk eksis di berbagai wilayah. Menurut temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ketut Pujaman (1997) tedapat
dua
pola
pembelajaran
yang
dilakukan
sebagai
konsekuensi
dari
pengelompokkan terhadap warga belajar, yaitu pola pembelajaran berjenjang dan tidak berjenjang. Sedangkan Anwar (1996) dalam sebuah penelitiannya menemukan adanya tingkatan-tingkatan dalam penguasaan sebuah ketrampilan dalam sebuah industri kecil pandai besi, yang disebut dengan format pembelajaran yaitu (1) ngawiti (2) nyambi (3) nerusno dan (4) ngangsu kawruh. yang masing-masing memiliki kharakteristik sendiri. Berbagai hasil temuan penelitian inilah yang menjadi salah satu acuan dalam mengungkapkan pola pembelajaran yang dilakukan di sebuah bengkel ketog magic atau kenteng teter, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam mengembangkan tingkat efisiensi dan efektifitas pembelajaran.
METODE Penelitian ini dirancang dengan mempergunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, yang berusaha untuk mengungkapkan fenomena-fenomena yang terjadi secara utuh tentang pola pembelajaran dan pentingnya sebuah “transfer of
3 knowledge” serta penyebaran/ pengembangan dari bengkel ketog magic, sesuai dengan kondisi dan konteks yang ada. sehingga kehadiran peneliti sangat penting dalam memperoleh data yang lengkap dan akurat, untuk itu mulai tahap awal perencanaan, pelaksanaan maupun tindak lanjut telah dijalin hubungan
kerjasama yang baik dan
harmonis dengan informan kunci yang terkait dengan penelitian, sehingga dengan demikian dapat menimbulkan saling pengertian, keakraban dan kepercayaan. Diantara informan yang dimaksud adalah para pemilik bengkel, kuli atau pekerja bengkel, masyarakat disekitar bengkel dan pengguna jasa bengkel. Adapun dalam proses pengumpulan data dipergunakan tiga teknik, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, yaitu wawancara mendalam (in dept interviu), observasi maupun dokumentasi. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan terutama di desa Bangsri, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar yang merupakan cikal bakal dari bengkel kenteng teter (Bapak Turut) dan beberapa bengkel kenteng teter/ketog magic, sebagai manifestasi dari perkembangan/penyebarannya. Untuk kepentingan
analisis data dipergunakan model interaktif Miles dan
Habermas, yang diawali dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan kesimpulan, yang dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Sedangkan untuk mengecek keabsahan data dan hasil penelitian senantiasa dilakukan dengan mempergunakan (1) uji kredibilitas, baik melalui pengamatan secara terus menerus, meningkatkan kecermatan , trianggulasi data, menganalisa kasus negative maupun dengan melakukan member check; (2) Uji transferabilitas; (3) Uji dependabilitas dan (4) Uji Confirmabilitas.
HASIL Pola pembelajaran yang dilakukan di bengkel kenteng teter/ketog magic, tidaklah dilakukan secara berjenjang sebagaimana pembelajaran-pembelajaran di lembagalembaga formal. Hal ini terkait dengan warga belajar dalam bengkel kenteng teter sendiri yang terdiri dari berbagai usia dan latar belakang pengalaman yang berbeda. Walaupun demikian bukan berarti dalam proses pelaksanaan pembelajaran tidak mengenal pentahapan-pentahapan dalam rangka penguasaan berbagai jenis ketrampilan hingga
4 seseorang dikatakan mahir atau memiliki ketrampilan sebagai tukang teter di sebuah bengkel kenteng teter atau ketog magic. Berdasarkan hasil temuan data dapat di kemukakan, bahwa dalam proses pembelajaran di kenteng teter terdapat 3 (tiga) pentahapan, sehingga seseorang dapat benar-benar memiliki ketrampilan kenteng teter, yaitu (1) tahapan sebagai kuli pesuruh/kuli alat; (2) tahapan sebagai kuli pendamping/penglamak, dan (3) tahapan sebagai kuli tukang. Secara lebih jelas pola pembelajaran yang dilakukan dalam tiga pentahapan tersebut dapat dikemukakan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1 : Pola pembelajaran di bengkel kenteng teter/ketog Magic Tahap
Nama
Komponen
Uraian
Pembelajaran I
Kuli Alat/
Tujuan
a.
melatih mental pemagang dalam
Pesuruh/
menekuni dan belajar di bengkel
Pemagang
kenteng teter. b. mengenalkan
Awal
berbagai
alat
kenteng teter/ketog magic dan fungsinya c.
melatih
pemagang
menguasai
ketrampilan dalam membongkar dan memasang kendaraan yang akan diperbaiki Bahan
a. contoh dan teknik memberikan motivasi b. berbagai peralatan kenteng teter dan fungsinya
Metode
a. Pemberian tugas b. Tanya jawab c. Observasi
Alat/media
a. Alat bongkar pasang kendaraan
5 b. Peralatan kenteng teter Evaluasi
Bersifat
praktek
(bisa
mengambil
peralatan dengan benar dan melakukan bongkar pasang kendaraan) Jangka Waktu
Relatif, tergantung dari beberapa factor: a. motivasi b. kecermatan dan kecerdasan pemagang
II
Kuli
Tujuan
a.
melatih tata cara membersihkan plinkut pada kendaraan bermo-tor.
Pendamping /
b. melatih tata cara menyukit
Penglamak
c. melatih tata cara memperguna-kan peralatan kenteng teter d.
melatih
tata
cara
melakukan
penekanan dari dalam Bahan
a. tata cara membersihkan plinkut b. tata cara melakukan penyukitan c. tatacara mempergunakan pera-latan kenteng teter d. tata cara melakukan penekanan
Metode
a.
pemberian tugas
b. Tanya jawab c. Observasi d. Latihan/drill Alat/Media
a. seluruh peralatan kenteng teter b.
kendaraan
bermotor
(sepeda
motor/mobil) yang rusak. Evaluasi
Praktek (sudah mampu mengikuti abaaba atau perintah dari pekerja teter)
Jangka waktu
Relatif,
sangat
tergantung
pada
6 beberapa factor, yaitu: a. motivasi pekerja b. kecermatan pekerja c. kepekaan pekerja. III
Kuli Pekerja
Tujuan
a. memiliki
ketrampilan
melakukan
dalam
pemukulan
luar/peneteran
dari
bagian
body
kendaraan bermotor. b.
Dapat
mengerjakan
pengembalian
body
perbaikan kendaraan
bermotor dengan baik. Bahan
a. tata cara melakukan peneteran b. tatacara mengerjakan perbaikan body kendaraan bermotor
Metode
a. Observasi b. Latihan/drill c. Eksperimen
Alat/Media
a. berbagai peralatan kenteng teter b. body kendaraan (sepeda dan mobil) yang
rusak
akibat
kecelakaan/tubrukan. Evaluasi
Dinilai dari kemampuannya dalam memperbaiki body kendaraan yang rusak.
Jangka waktu
Sangat relative, tergantung pada beberapa factor: a.
motivasi pekerja
b.
kepekaan pemagang
perasaan
pekerja
/
7 Berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang ada di bengkel kenteng teter atau ketog magic, perlu dan penting sekali untuk disampaikan kepada generasi muda sebagai penerusnya, karena disamping dengan ketrampilan tersebut seseorang telah memiliki bekal untuk mengembangkan diri dan berwiraswasta, sekaligus dapat dipergunakan untuk membuka peluang kerja dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang menjadi peran sosialnya, baik terkait dengan upaya untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi jumlah pengangguran maupun memberi kesempatan kepada seseorang yang tidak bisa tertampung melalui pendidikan formal, karena alasan ekonomi, putus sekolah maupun yang lainnya. Sedangkan pola penyebaran bengkel kenteng teter/ketog magic yang akhirnya berkembang diberbagai wilayah Indonesia bahkan di Luar Negeri (misalnya: Philipina, Malasyia, dan Singapura) dilakukan secara berantai, yaitu diawali dengan melalui system magang, dimana seseorang yang belum memiliki ketrampilan sama sekali, belajar dan bekerja pada sebuah bengkel hingga akhirnya memiliki keahlian yang cukup untuk mendirikan bengkel; kenteng teter tersendiri.
PEMBAHASAN Pola pembelajaran di bengkel kenteng teter atau “ketog magic” yang dilakukan secara tidak berjenjang merupakan sebuah cerminan dari kharakteristik yang dimiliki oleh
Pendidikan Luar sekolah, diantaranya adalah (1) Berlangsung di luar sistem
persekolahan; (2) Usia warga belajar tidak sama, karena dalam penerimaan pekerja di bengkel kenteng teter tidak ada persyaratan mengenai usia. (3) Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi seorang warga belajar. (4) Tidak terbagi atas jenjang, walaupun dalam realitasnya di bengkel kenteng teter/ketog magic ada pentahapan dalam penguasaan ketrampilan. (5) Muatan ajar/materi pembelajaran disamping disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar juga bersifat praktis, artinya berupa ketrampilanketrampilan yang secara langsung dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup; (6) Tidak ada pengaturan waktu pembelajaran yang ketat, artinya dalam bengkel kenteng teter dapat dikatakan pembelajaran akan terjadi manakala ada praktek untuk memperbaiki kendaraan; sehingga tiada teori tanpa praktek atau sebaliknya melalui praktek tersebut akan diperoleh teori-teori; (7) Menerapkan konsepsi
8 belajar “learning by doing” belajar sambil berbuat; (8) Proses pentransferan pengetahuan dan ketrampilan kenteng teter dilakukan oleh pemilik bengkel dan/atau anggota kelompok yang sudah senior, sehingga konsepsi pengajar tidak hanya terbatas pada guru sebagai seorang pendidik dalam artian formal, akan tetapi siapa saja yang sudah menguasai dan memiliki ketrampilan teknis dalam bengkel kenteng teter dapat menyampaikan dan memberikan pengalaman yang berarti bagi warga belajar yang lainnya. (9) Diselenggarakan oleh masyarakat. Disamping itu pola pembelajarannyapun bersifat fleksibel/luwes, artinya bahwa dalam pelaksanaananya disesuaikan dengan kharakteristik atau ciri-ciri belajar orang dewasa. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sudomo (1989, 34 ) sebagai berikut: (1) memungkinkan timbulnya pertukaran pendapat, tuntutan dan nilai-nilai, (2) memungkinkan terjadi komunikasi timbal balik (3) suasana belajar yang diharapkan adalah suasana yang menyenangkan dan menantang (4) mengutamakan peran peserta didik, (5) orang dewasa akan belajar jika pendapatnya dihormati, (6) belajar orang dewasa bersifat unik, (7) perlu adanya saling percaya antara pembimbing dan peserta didik, (8) orang dewasa umumnya mempunyai pendapat yang berbeda, (9) orang dewasa mempunyai kecerdasan yang beragam, (10) kemungkinan terjadinya berbagai cara belajar, (11) orang dewasa belajar ingin mengetahui kelebihan dan kekurangannya, (12) orientasi belajar orang dewasa terpusat pada kehidupan nyata, dan (13) motivasi berasal dari drinya sendiri. Berdasarkan hasil temuan penelitian, disamping melalui proses pengalihan pengetahuan dan ketrampilan kenteng teter tersebut dapat diwariskan dan diteruskan untuk dilestarikan, juga sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan eksistensi diri sebagai seorang pribadi yang bertanggung jawab dalam menjalankan peran sosialnya. Kenyataan ini sejalan dengan tujuan pembelajaran orang dewasa yang telah dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2008, 60-61) yaitu (1) membangkitkan semangat percaya diri dan optimisme, (2) memberikan kemampuan dan ketrrampilan untuk berbuat sesuatu, dan (3) memberi kemampuan untuk dapat menerima atau menolak sesuatu atas dasar standar peraturan, nilai-nilai, atau etik masyarakat yang dianutnya. Hal ini juga senada dengan pendapat Oong Komar (2006, 243-244) yang mengemukakan bahwa melalui pendidikan Nonformal ada lima terobosan yang dapat
9 dimainkan guna memecahkan masalah yang mendesak yang dihadapi manusia, yaitu (1) pengentasan kemiskinan, dengan cara memberikan pendidikan alternative yang diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku produktif atau sikap wiraswasta, (2) memecahkan masalah pengangguran, baik yang disebabkan akibat perubahan struktur industri, ketidakcocokan ketrampilan, ketidakcocokan geografis, pergeseran demografis, kekakuan institusi, tidak bias bekerja dan retrukturisasi capital, (3) memecahkan masalah penduduk usia sekolah, , karena pendidikan formal belum mampu menampung seluruh usia sekolah, (4) siswa yang putus sekolah, baik yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, budaya ataupun yang lainnya, dan (5) pelang untuk mengembangkan pribadi, yaitu dalam rangka mengisi waktu luang , baik dalam rangka meningkatkan ketrampilan dan penyaluran hobi maupun memperindah citra diri dan kepribadian. Pola penyebaran dan pengembangan bengkel kentengteter / ketog magic dari desa Bangsri diawali dengan melalui system magang , artinya bahwa untuk meneruskan dan mewariskan kecakapan hidup berbagai ketrampilan dalam bengkel kenteng teter kepada seseorang dilakukan dengan melalui pengalaman langsung bekerja pada pekerjaan memperbaiki body kendaraan bermotor yang mengalami kerusakan. Selanjutnya setelah yang bersangkutan memiliki keahlian yang cukup memadai berusaha untuk mendirikan bengkel kenteng teter atau ketog magic sendiri. Adapun jika ditinjau dari proses pendirian bengkel baru “Kenteng Teter” atau “Ketog Magic” dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (1) atas inisiatif pemilik bengkel, artinya pemilik bengkel melihat dan memperhatikan kemampuan para kuli pekerja, jika berdasarkan pengamatan dan penilaiannya yang bersangkutan sudah dapat dipercaya untuk mendirikan bengkel maka pemilik bengkel akan berusaha untuk memberitahu dan/atau mengijinkan yang bersangkutan mandiri. (2) atas inisiatif pekerja bengkel, dalam hal ini ada dua kecenderungan yang dapat terjadi diantaranya adalah (a) yang bersangkutan merasa bahwa kemampuannya sudah cukup memadai untuk mendirikan, dan (b) yang bersangkutan merasa bahwa pembagian atas upah kerja yang diterima terasa tidak adil. Disamping alternative-alternatif tersebut di atas, pendirian sebuah bengkel kenteng teter atau ketog magic, dapat terjadi dengan system kerjasama antara pemilik modal dengan pekerja teter. Artinya seseorang yang memiliki modal dapat memberikan
10 modal usaha kepada seorang yang memiliki ketrampilan kenteng teter dengan system pembagian hasil yang sudah disepakati bersama. Sesuai dengan temuan data di atas, dapat dikemukakan bahwa pola penyebaran dan pengembangan bengkel kenteng teter atau ketog magic sangat dipengaruhi oleh tiga unsur pemeran utama yang ada di dalamnya, baik pemilik bengkel dan/atau guru/pembelajar ahli teter; para pekerja dan juga pemagang sendiri. Hal ini selaras dengan konsepsi Robert L. Craig (2008, 1-4) yang membedakan keanggotaan suatu sarikat sekerja menjadi tiga, yaitu (1) pemilik pekerja (guru), yaitu yang memiliki bahan baku dan peralatan serta mengarahkan pekerjaan; (2) murid/cantrik, yang pada umumnya berusaha menyesuaikan diri dengan seorang pemilik atau guru
dan yang pada
kenyataannya tidak menerima upah kecuali pelatihan dan pemeliharaan; dan (3) Journeymen, yaitu seseorang yang telah melewati masa magang tetapi masih belum berkualitas seperti pemilik atau para guru, namun mereka telah menerima gaji yang ditetapkan dan menjadi tenaga kerja.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pola pembelajaran yang dilakukan di “bengkel ketog magic” atau “Kentengteter” tidak mengenal adanya jenjang sebagaimana pada lembaga pendidikan formal, akan tetapi terdapat pentahapan dalam menguasai ketrampilan kenteng teter/ketog magic hingga seseorang dikatakan mahir/memiliki keahlian. Diantara tahap-tahap itu adalah tahap kuli alat/pesuruh/pemagang awal; tahap kuli pendamping/ penglamak dan tahap kuli pekerja/peneter. Pada tahapan kuli alat/pesuruh/pemagang, seorang yang berada di bengkel kenteng teter/ketog magic hanya diperkenankan untuk mengambilkan alat-alat kenteng teter yang dibutuhkan oleh seniornya untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan memperbaiki kendaraan dan membantu proses bongkar pasang kendaraan yang akan diperbaiki. Pada tahapan kuli pendamping, seorang yang berada di bengkel kenteng teter sudah diperbolehkan untuk memegang dan mempergunakan alat-alat kenteng teter, akan tetapi hanya bertugas sebagai penglamak atau penekan dari dalam, belum diijinkan untuk memukul atau melakukan peneteran pada bagian-bagian kendaraan yang akan diperbaiki.
11 Sedangkan pada tahapan kuli pekerja seseorang yang berada di bengkel kenteng teter sudah diijinkan untuk melakukan peneteran/pemukulan terhadap bagian-bagian tertentu dari kendaraan bermotor yang akan diperbaiki. Dan bahkan apabila pemilik bengkel/ahlinya sudah merasakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menguasai teknik peneteran, akan diberikan kesempatan untuk mengerjakan perbaikan kerusakan pada kendaraan bermotor, sehingga sang pemilik/ahlinya tinggal memantau pekerjaan yang dilakukannya. Relevan dengan tahapan-tahapan yang ada dalam bengkel kenteng teter atau “ketog magic”, maka komponen-komponen pembelajarannya secara praktis juga disesuaikan dengan tingkatan/pentahapan yang dimaksud, baik mengenai tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, metode pembelajaran, alat atau media yang digunakan dalam pembelajaran, termasuk evaluasi/alat ukur yang dipergunakan untuk menilai apakah seseorang sudah dapat melewati tahap kuli alat, kuli pendamping maupun sudah dapat dikatakan memiliki kemampuan dalam melakukan peneteran. Adapun waktu yang diperlukan untuk menguasai berbagai macam ketrampilan di
masing-masing
tahapan bengkel kenteng teter atau ketog magic, adalah sangat relative, tergantung berbagai factor yang ada pada diri subyek pemagang, diantaranya adalah motivasi, kecermatan dan kepekaan perasaan pekerja dalam sebuah proses pembelajaran, karena semua jenis ketrampilan yang ada di bengkel kenteng teter atau ketog magic, proses pentransferannya cenderung dilakukan dengan system “learning by doing”, bekerja sambil berbuat. Dengan kata lain ada teori kalau ada praktek dan tidak ada teori kalau tidak ada praktek.. Walaupun pada awalnya bengkel kenteng teter atau ketog magic merupakan bengkel keluarga akan tetapi proses pengalihan pengetahuan dan ketrampilan perbengkelan dirasakan perlu untuk disampaikan kepada orang lain, karena disamping dengan ketrampilan tersebut seseorang telah memiliki bekal untuk mengembangkan diri dan berwiraswasta, sekaligus dapat dipergunakan untuk membuka peluang kerja dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang menjadi peran sosialnya, baik terkait dengan upaya untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi jumlah pengangguran maupun memberi kesempatan kepada seseorang yang tidak bisa
12 tertampung melalui pendidikan formal, karena alasan ekonomi, putus sekolah maupun yang lainnya. Adapun proses berkembangnya bengkel kenteng teter/”ketog magic” yang menyebar di berbagai daerah terjadi secara berantai, artinya ssorang yang pada awalnya tidak memiliki keahlian, selanjutnya mengikuti program magang di bengkel dan setelah merasa memiliki keahlian yang cukup memadai akhirnya mendirikan bengkel tersendiri, memiliki anak buah dan terus berulang kembali proses sebagaimana tersebut. Saran Penelitian ini telah menghasilkan temuan berupa pola pembelajaran yang dilakukan di bengkel kenteng teter atau ketog magic yang pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan, yang masing-masing tahap secara jelas telah tersajikan tujuan, bahan.materi, metode, alat/media, evaluasi dan factor yang berpengaruh terhadap kemampuan untuk menguasai berbagai ketrampilan di dalamnya. Oleh karena itu ke depan, pelaksanaan system magang yang terjadi di bengkel kenteng teter diharapkan dapat lebih diintensifkan dan terprogram, sehingga lebih banyak menghasilkan tenaga-tenaga kerja baru yang terampil dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Dan bagi lembaga-lembaga atau dinas terkait hendaknya memberikan pembinaan-pembinaan yang berarti, terutama dalam mengembangkan usaha dan kemitraan.
Daftar Rujukan Anwar, 1996, Penelitian tentang format pembelajaran ketrampilan dalam industri kecil pandai besi di desa Gedog Wetan . Thesis tidak diterbitkan, Malang : Program Pasca Sarjana IKIP Malang. Craig, Robert L. (ed), tanpa tahun, Training and Development Handbook, A Guide to Human Resource Development, Second Edition, New York, Mc Graw- Hill Book Company. Faisal, Sanapiah, 2006, Analisa Data Dalam Penelitian Kualitatif, Makalah Disampaikan pada Pelatihan Penguatan Penelitian Bagi Dosen Universitas Widya Gama Malang, LPPM Universitas Widya Gama Malang, Malang, 3 Oktober 2006. Komar, Oong, 2006, Filsafat Pendidikan Nonformal, Bandung, CV Pustaka Setia
13 Mudyahardjo, Redja, 2002, Filsafat ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya. Pujaman, Ketut, 1997, Pola Pembelajaran Perajin (Studi Etnografi pada Perajin Seni Ukir Kayu di desa Kedisan, Kecamatan Tegalang, Kabupaten Gianyar, Daerah Tingkat I Bali), Thesis tidak diterbitkan, Malang : Program Pasca Sarjana IKIP Malang. Sagala, Syaiful, 2006, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta. Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media. Soedomo, M., 1989, Pendidikan Luar Sekolah Ke Arah Pengembangan Sistem Belajar masyarakat, Jakarta, Depdikbu Dirjendikti P2LPTK. Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta. Suprijanto, 2007, Pendidikan Orang Dewasa, Dari Teori Hingga Aplikasi, Jakarta, Bumi Aksara. Universitas Negeri Malang, 2000, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Malang, Universitas Negeri Malang. Uno, Hamzah B., 2008, Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif, Jakarta, Bumi Aksara. Yin, Robert K., 2006, Studi Kasus: Desain dan Metode, Terjemahan oleh M. Djauzi Moedzakir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
ARTIKEL
Abdullah, 2008, Makna Ketidakaktifan Warga Belajar (Studi Kasus Pada Kelompok Berlatih Olahraga KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang Malang. Tesis Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Pembimbing (I) Dr. Sanapiah S (II) Dr. Djauzi Moedzakir, MA Abstrak. Terjadinya ketidakaktifan warga belajar KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang pada kegiatan latihan rutin melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mendeskripsikan makna ketidakaktifan warga belajar. Usaha mendapatkan informasi dalam penelitian ini menggunakan tehnik bola salju (snow ball sampling). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan alasan-alasan yang menjadi penyebab ketidakaktifan warga belajar adalah dari sisi pelatih dan sarana serta prasarana. Makna yang dapat dikonstruksikan dari alasan-alasan tersebut adalah ketidakpuasaan dan keterbatasan. Kata Kunci : Ketidakaktifan, KBO
LATAR BELAKANG Pendidikan dilaksanakan dalam berbagai jalur, yaitu jalur pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal diselenggarakan lewat sekolah, pendidikan non formal lewat balai-balai latihan kerja, lembaga-lembaga keterampilan dan sejenisnya, sedangkan pendidikan informal berlangsung di dalam lingkungan keluarga. Sebagaimana pada jalur pendidikan formal, pada jalur pendidikan non formal juga dikenal dan diterapkan pendidikan kecakapan hidup (life skills) yang pada dasarnya merupakan suatu upaya pendidikan untuk meningkatkan kecakapan hidup setiap wartga negara. Pengertian kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problem hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa
merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi empat jenis, yaitu: 1. Kecakapan Personal (Personal Skill) 2. Kecakapan Sosial (Social Skill) 3. Kecakapan Akademik (Academic Skill) 4. Kecakapan Vokasional (Vocational Skill) (Pedoman Life Skills PLS, 2003) Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup pada satuan dan program pendidikan luar sekolah, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran, lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang bisa memberikan penghasilan (learning and earning). Dengan kata lain, kunci dari program PLS adalah penguasaan keterampilan. Batasan keterampilan bukan hanya yang berwujud terampil dalam menghasilkan karya tertentu, tetapi juga terampil dalam melakukan segala sesuatu, sehingga keterampilan tersebut dapat memberi manfaat dalam kehidupan manusia. Direktur Jenderal PLS telah menetapkan pendekatan pendidikan berbasis luas BBE (Broad Based Education) dalam penerapan konsep life skills dengan maksud untuk pemberdayaan masyarakat yang ditandai oleh: 1. Kemampuan membaca dan menulis secara fungsional baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing (Inggris, Arab, Mandarin, dan sebagainya). 2. Kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses lewat pembelajaran berpikir ilmiah; penelitian, penemuan, dan penciptaan.
3. Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi guna mendukung kedua kemampuan tersebut di atas. 4. Kemampuan memanfaatkan beraneka ragam teknologi di berbagai lapangan kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan kerumah-tanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, manufaktur dan industri, perdagangan, kesenian, pertunjukkan. 5. Kemampuan mengelola sumberdaya alam, sosial, budaya dan lingkungan. 6. Kemampuan bekerja dalam tim baik dalam sektor informal maupun formal. 7. Kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. 8. Kemampuan berusaha terus-menerus menjadi manusia pembelajar. 9. Kemampuan mengintegrasikan pendidikan dan pembelajaran dengan etika sosio-religius bangsa berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mencermati kesembilan kemampuan dalam penerapan konsel life skills di atas, tampak bahwa kemampuan olahraga merupakan salah satu komponen yang dapat mendorong pemberdayaan masyarakat. Pembinaan cabang olahraga sepak bola merupakan bentuk pendidikan nonformal yang dilaksanakan di luar sistem pendidikan formal (sekolah). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (UU RI Sisdiknas, No. 20 tahun 2003). Kelompok Berlatih Olahraga (KBO) Sepak Bola Karang Taruna, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang dimulai sekitar tahun 2001 hingga tahun 2006. KBO ini bermula dari beberapa orang remaja yang mempunyai kegemaran berolahraga sepak bola, mereka berkumpul dan bermain di lapangan
sepakbola di daerah Tumpang, kemudian membentuk sebuah kelompok berlatih olahraga sepak bola yang terdiri dari pelatih dan peserta. Berangkat dari uraian tersebut di atas kelompok berlatih olah raga (KBO) dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari PLS karena merupakan suatu kelompok belajar yang difokuskan pada peningkatan keterampilan tertentu yang diselenggarakan di luar jalur sekolah. Dalam perkembangannya KBO Karang Taruna Sepak Bola ini dari tahun ke satu hingga tahun ke empat (tahun 2001 sampai dengan tahun 2005), partisipasi peserta sangat aktif dalam mengikuti kegiatan di KBO. Hal ini terbukti dari prosentase kehadiran peserta yang mencapai 100% setiap minggunya. Namun pada tahun ke lima (2006) KBO Karang Taruna Sepak Bola ini mengalami penurunan yang sangat besar dengan prosentase kehadiran peserta yang hanya mencapai 30% setiap minggunya. Hal ini merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Menurut teori andragogi suatu kegiatan yang diselenggarakan berdasarkan kebutuhan warga belajar (peserta KBO Sepak Bola) semestinya sangat diminati oleh warga belajar dan akan memberikan partisipasi yang tinggi dalam proses pembelajaran. Pertanyaannya adalah mengapa partisipasi peserta KBO sepak bola ini menurun pada hal kegiatan latihan di KBO ini sangat mereka butuhkan?
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mendiskripsikan makna ketidakaktifan warga belajar pada kegiatan kelompok berlatih olahraga (KBO) Sepak Bola Karang Taruna. Creswell (2008:4)
menyatakan penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan format penelitian yang memiliki karakteristik tersendiri dan berfokus pada makna menurut perspektif partisipan. Pada dasarnya makna adalah seuatu yang esensial dari sebuah fenomena. Untuk memperoleh informasi utama yaitu peserta KBO sepakbola yang tidak aktif dalam mengikuti program latihan, peneliti menanyakan secara langsung kepada pelalih KBO Sepak Bola tersebut. Dari sini diperoleh informaninforman yang lain yang mendukung kelancaran penelitian. Selain melakukan wawancara mendalam terhadap informan, penelitian juga melakukan observasi terhadap kegiatan Kelompok Berlatih Olahraga Sepak Bola Karang Taruna Tumpang. Penelitian ini dilakukan di Kelompok Berlatih Olahraga (KBO) Sepak Bola yang terletak di stadion Tumpang Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Lokasi penelitian ini terletak di sebelah Timur dua puluh kilometer dari jantung kota Malang. Sumber data utama penelitian ini adalah sejumlah peserta KBO Sepak Bola Karang taruna yang pernah ikut program latihan dan sudah tidak aktif dalam mengikuti program latihan di KBO Karang Taruna Sepak Bola ini. Mereka dapat memberikan informasi yang tepat tentang hal-hal yang sangat penulis butuhkan dalam penelitian ini. Jumlah informasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 orang. Usaha mendapatkan informasi dalan penelitian ini menggunakan cara bola salju (snow ball sampling). Teknik ini digunakan untuk menetapkan informan yang dianggap paling mengetahui masalah yang dikaji dan mampu memberikan informasi kepada peneliti. Dengan cara ini diharapkan informasi yang berkaitan dengan penelitian dapat terungkap secara lengkap.
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Terlaksananya suatu program kegiatan, melibatkan paling tidak dua hal utama yaitu faktor pendukung lokasi dan faktor pendukung dari peserta program. Berkaitan dengan lokasi di sekitar stadion Tumpang, banyak pemuda yang memiliki waktu luang di sore hari. Mereka biasa mengisi waktu luang tersebut dengan sekedar menyalurkan hobi mereka dengan melakukan olahraga. Pada awalnya mereka berlatih sepak bola seperti biasa. Kebiasaan ini mereka lakukan hampir setiap sore dan berlangsung cukup lama. Banyak pemuda yang tertarik untuk mengikuti dalam berlatih sepak bola tersebut. Semakin lama jumlah mereka semakin banyak, karena mereka merasa memiliki kegemaran dan kebutuhan yang sama dalam berlatih sepak bola, sehingga mereka membentuk sebuah kelompok berlatih sepak bola. KBO Sepak Bola Karang Taruna di Desa Tumpang ini didirikan sekitar tahun 2001. Pelatih diambil dari seorang warga yang mempunyai keahlian bermain sepak bola dan mempunyai latar belakang sebagai guru olahraga. Faktor internal berasal dari peserta program yaitu alasan-alasan yang memotivasi peserta mengikuti program. Dari hasil wawancara di lapangan, motivasi dasar peserta dalam mengikuti program latihan dalam KBO Sepak Bola Karang Taruna dikarenakan adanya manfaat yang besar bagi dirinya dengan harapan ingin menjadi pemain sepak bola yang baik dan terkenal yang dapat menjanjikan masa depan yang lebih baik. Komponen lain yang turut mendukung pelaksanaan program adalah materi, jadual latihan dan evaluasi. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan maka proses pembelajaran di KBO Sepak Bola Karang taruna ini dilakukan di alam terbuka atau lapangan sepak bola yaitu di stadion Tumpang. Persiapan-persiapan
pembelajaran disesuaikan dengan materi pembelajaran. Lamanya pembelajaran/ pelatihan sudah ditetapkan selama dua hari dalam satu minggu. Setiap latihan waktunya 120 menit, dimulai pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Pada masa perkembangannya KBO Sepak Bola Karang Taruna di Desa Tumpang ini mengalami empat masa perkembangan dalam kurun waktu lima tahun antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 yaitu: (1) penyelenggaraan awal, pada tahun 2000 jumlah peserta 14 orang peserta, (2) pada tahun 2001 jumlah peserta meningkat menjadi 20 orang peserta, (3) pada tahun 2002 s/d 2004 kejayaan KBO sepak bola Tumpang, baik jumlah peserta maupun perolehan menurun mencapai 30% atau hanya 8 orang peserta. Dari data paparan di atas menunjukkan bahwa KBO Sepak Bola Karang Taruna di Desa Tumpang ini terancam bubar karena sudah tidak memenuhi standar sebuah kelompok/ team sepak bola yang berjumlah 11 orang.
ALASAN KETIDAKAKTIFAN WARGA BELAJAR PADA KBO Berdasarkan paparan temuan peneliti terungkap bahwa penyebab penurunan motivasi berlatih adalah dikarenakan tidak hadirnya pelatih yang mereka senangi pada jadwal latihan yang sudah disepakati bersama. Menurunnya motivasi berlatih yang disebabkan bahwa kendala sarana dan prasarana yang dimiliki. Makna Ketidakaktifan Warga Belajar pada KBO 1. Ketidakpuasan Berdasarkan temuan di lapangan dengan berhalangannya pelatih yang lama maka diganti dengan pelatih yang baru. Tetapi ternyata kehadiran pelatih yang baru ini tidak dapat diterima secara lebih baik oleh para peserta KBO.
Hal lain yang menjadi alasan menurunnya motivasi peserta KBO untuk berlatih adalah setiap pelatih yang dianggap kurang adil dalam memberi atau dipilih hanya anak-anak tertentu saja meskipun secara kualitas rata-rata sama. Kondisi ini juga menyebabkan hubungan antara peserta KBO menjadi terganggu karena adanya kekurangterbukaan komunikasi baik dari pelatih ke peserta atau antara peserta sendiri. 2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Sebagaimana kegiatan yang lain ketersediaan sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk dapat mendukung keberhasilan program sekaligus juga sebagai motivator bagi warga belajar. Pada KBO Karang Taruna Sepak Bola di Tumpang, sekitar empat tahun berdiri dan tidak adanya peningkatan sarana dan prasarana yang menyebabkan motivasi warga belajar menurun.
PEMBAHASAN Pentingnya interaksi edukatif, dalam hal ini adalah antara pelatih dan pemain atau warga belajar, mutlak harus dilakukan di KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang karena melihat dari sejarah berdirinya KBO yang hanya berasal dari sekelompok pemuda yang memiliki kegemaran yang sama pada suatu lokasi sehingga diperlukan kerangka yang lebih jelas agar program dapat berjalan. Dari hasil observasi di lapangan, metode penyampaian materi melalui penjelasan dan peragaan langsung oleh Pelatih serta diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan memang diberlakukan pada latihan rutin di KBO Sepak Bola Karang Taruna di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Brokkfield (dalam Soedomo, 1989) mengemukakakan beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar kegiatan belajar agar kegiatan belajar orang dewasa tersebut adalah: (1) bahwa keikutsertaan warga belajar dalam kegiatan belajar hendaknya berdasarkan sukarela sewa berdasarkan pada kebutuhan dari warga belajar, (2) kegiatan belajar tersebut hendaknya didasari atas respek terhadap semua peserta belajar dan fasilitator dalam perasaan saling menghargai, (3) kegiatan belajar tersebut harus didasari semangat kerjasama antara pamong efektif untuk orang dewasa bukanlah pengajaran teoritik dan praktek, antara reaksi dan refleksi, antara belajar dan bekerja, (5) kegiatan belajar hendaknya dapat meningkat rasa kepekaan dan sikap kritis warga belajar, sehingga timbul rasa ingin tahu, mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan mencari alternatif-alternatif baru, (6) kegiatan belajar harus selalu dapat mendorong dan membangkitkan keinginan untuk selalu belajar dan selalu mengubah atau meningkatkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang telah dimilikinya. Untuk mendukung kegiatan pembelajaran orang dewasa, Abdulhak (2003:13) menguraikan sejumlah asumsi yang berkaitan dengan motivasi untuk membantu orang dewasa belajar yaitu diantaranya para warga belajar yang sering bertukar pikiran lewat diskusi jika instrukturnya memberikan motivasi untuk itu. Mereka berdiskusi untuk memecahkan permasalahan. Asumsi ini memberikan contoh yang baik kepada kita di mana adanya kerjasama yang baik antar warga belajar sehingga akan menimbulkan interaksi timbal balik dengan lingkungannya.
ALASAN-ALASAN
KETIDAKAKTIFAN
WARGA
BELAJAR
KBO
SEPAK BOLA KARANG TARUNA KECAMATAN TUMPANG Berkaitan dengan menurunnya motivasi karena faktor pelatih Abdulhak (2001:13) menyampaikan asumsi yang berkaitan dengan motivasi untuk membantu orang dewasa belajar yaitu orang dewasa mempunyai motivasi belajar yang sebelumnya kurang termotivasi, tetapi dalam diri mereka sudah ada kesadaran untuk belajar. Orang dewasa melakukan hubungan komunikasi dengan sesama warga belajar dan terus berkembang. Mereka sering mengemukakakan ide-ide dan gagasan baru dengan lingkungan belajarnya karena mereka kurang memperoleh informasi dari isntruktur sebagai motivator mereka. Jika para instruktur kurang aktif dalam membahasa permasalahan terutama masalah yang akan datang mungkin akibat sulitnya penyampaian terutama masalah yang akan datang mungkin akibat sulitnya penyampaian materi kepada mereka. Hal ini dapat mengakibatkan warga belajar kurang termotivasi dalam belajarnya sehingga mereka sulit untuk belajar dan salah menempatkan pribadi dengan pelajar. Temuan lain di lapangan berdasarkan hasil observasi dan wawancara, adalah menurunnya motivasi warga belajar untuk berlatih di KBO Sepak Bola Karang Taruna di Kecamatan Tumpang adalah ketersediaan sarana-prasarana yang kurang memadai dan dukungan pemerintah setempat yang dirasa kurang. Inventaris timbulnya minat seseorang tergantung kepada obyek apa yang menjadi fokus perhatiannya, sehingga seorang yang mempunyai minat pada suatu obyek tertentu bisa saja pada suatu saat tertentu berubah minat oleh karena adanya pengaruh baik dari diri individu maupun dari luar individu itu sendiri. Menurut Depdiknas (1999) hal yang mempengaruhi minat terdiri atas dua yaitu : (1) faktor internal yang muncul dengan tidak dipengaruhi oleh faktor lain
baik kebutuhan maupun lingkungan, (2) faktor eksternal karena adanya pengaruh kebutuhan dan pengaruh lingkungan.
MAKNA KETIDAKAKTIFAN WARGA BELAJAR KBO SEPAK BOLA KARANG TARUNA KECAMATAN TUMPANG Berdasarkan temuan di lapangan, makna yang dapat dikonstruksikan dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh waga belajar melalui wawancara dengan peneliti adalah: 1. Ketidakpuasan Menurunnya motivasi warga belajar dalam mengikuti kegiatan latihan pada KBO Sepak Bola Karang Taruna di Kecamatan Tumpang terjadi menginjak tahun kelima penyelenggaraan program. Hal ini dimulai semenjak Pelatih menikah dan mulai tidak aktif melatih. Banyak warga belajar yang merasa tidak cocok dengan karakter maupun cara melatih diri pelatih yang baru. Thompson (1991:177), mengemukakan bahwa melatih menuntut suatu profesionalisme yang sangat tinggi. Pelatih tidak hanya memiliki standard profesional dan pribadi yang tinggi, tetapi juga harus hidup dengannya. Hubungan antara pelatih dan atlet bukan hanya dalam masalah menyiapkan pencapaian prestasi di arena lomba atau stadion, tetapi juga mencakup masalah pembentukan sikap dan pendirian dalam masalah yang lebih luas. Hubungan yang kurang harmonis antara pelatih apalagi pelatih pengganti dengan warga belajar, memberikan dampak yang nyata. Sepakat apapun tidak, kehadiran pelatih baru menggantikan pelatih lama adalah
memberikan beban bagi pelatih yang baru, karena warga belajar cenderung membanding-bandingkan untuk dapat dapat diterima oleh warga belajar KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang, mengingat pelatih lama telah merintis berdirinya KBO bersama-sama dengan warga belajar sehingga memiliki kedekatan yang erat. Kemampuan
menciptakan
situasi
yang
menyenangkan
untuk
pelaksanaannnya proses latihan adalah merupakan hal yang mutlak dimiliki orang seorang pelatih. Arif (1990:85), dalam kaitan tugas seorang Pelatih maka pengetahuan dan ketrampilan amat dibutuhkan oleh pelatih. Sebagai tenaga pendidik, dia perlu memiliki pengetahuan umum tentang filsafat pendidikan agar dia mampu memberikan kemudahan bagi orang lain, maka dia harus mempunyai pengertian tentang bagaimana menciptakan situasi dan lingkungan belajar agar setiap orang terangsang untuk memperoleh sesuatu. 2. Keterbatasan Makna kedua yang dapat dikonstruksikan dari hal temuan di lapangan berkaitan dengan menurunnya motivasi warga belajar KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang adalah keterbatasan. Makna keterbatasan kurangnya dukungan dari pemerintah setempat untuk mengembangkan keberadaan KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang. Knox (1976:98-116) mengatakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas pembelajaran pada pendidikan orang dewasa ada tiga sumber program yaitu: (1) program lingkungan pendidikan seperti fasilitator fisik, (2) program bahan harus disesuaikan dengan tujuan, isi, penggunaan teknis dan biaya, (3) program kerjasama dengan kelembagaan lain untuk berkolaborasi dan saling membantu.
Berdasar pada kedua pendapat berikut, apabila dikaitkan dengan temuan di lapangan maka kualitas penyelenggaraan program tidak dapat maksimal karena tidak terpenuhinya faktor-faktor penting yang seharusnya ada dalam proses pendidikan.
PENUTUP Kesimpulan Memasuki tahun kelima terjadi penurunan motivasi warga belajar dalam mengikuti latihan, yang disebabkan karena faktor dari sisi pelatih, sarana-prasana dan dukungan pemerintah setempat. Makna yang dapat dikonstruksikan, dari alasan-alasan ketidakaktifan warga belajar mengikuti kegiatan adalah ketidakpuasan dan keterbatasan. Saran Berdasarkan dari hasil pembahasan dan beberapa kesimpulan, maka berikut akan dikemukakan saran-saran sebagai implikasid ari hasil penelitian ini. 1. Untuk dapat mengangkat kembali keberadaan KBO Sepak Bola Karang Taruna Kecamatan Tumpang, hendaknya pelatih lama dapat bertindak sebagai mediator antara warga belajar dan pelatih baru sehingga dapat terjalin suatu kesepakatan baru. 2. Meningkatkan kerjasama dengan kelembagaan setempat, baik tingkatan RT, RW sampai pada pihak kecamatan sehingga dapat membangkitkan motivasi warga belajar.
DAFTAR RUJUKAN
Arif, Zainudin. 1990. Andragogy. Bandung: Angkasa. Creswll, John W. 2007. 5 Macam Tradisi Penelitian Kualitatif Disertai Model dan Desan Masing-Masing. Malang: Belum Diterbitkan. Depdikbud, 1999. Visi Nomor 06/TH/V. Jakarta: Dirjen Dikluspora. Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Soedomo, M. 1989. Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direkatorat Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Surabaya: Karina.
MAKNA PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN BAGI WARGA BELAJAR KEAKSARAAN DI DESA NGRENDENG KECAMATAN SELOREJO KABUPATEN BLITAR Budi Setyono Abstrsact : Non-formal education programs that have continuously been implemented by the Government of Indonesia to liberate the citizen from uneducated and destitution are essentially adult basic education. Literacy program has been prioritized for the Education for All’s mission in eradicating illiterate people significantly. This thesis paper investigates on: (1) the pattern of implementation of literacy program, (2) supervision of literacy program, and (3) the meaning of literacy program for the learners in Ngrendeng village, Selorejo sub-district, Blitar district by using qualitative approach. Data collection methods were observation, in-depth interview, and documentation study. Data analysis was conducted simultaneously through the process as follow: managing, sequencing, grouping, coding, and categorizing. Then, data validity in this research had been checked through four elements: credibility, transferability, dependability, and confirmability. This research found that: first, implementation model of functional literacy program organized by the Terang Community Learning Center in Ngrendeng village, Selorejo subdistrict, Blitar district, was utilized participative approach in planning, deciding the learning content, and context by implementing andragogical principles. Second, supervisions of literacy program were conducted by village leaders and the Selorejo subdistrict of educational council. The Selorejo sub-district of educational council, moreover, have been giving her supervision to the Terang community learning center as organizer of literacy program, to the tutors which are engaging actively with the learners, as well to the learners for spirit and motivation. Third, mostly the learners were adult that have selfconcept and learning orientation, therefore, they will participate fully when it match. Lastly, the meaning of literacy program could be constituted that the learners have plenty of leisure time after work; hence, literacy program would be interesting for the learners when it mixed with vocational skill. Untuk menekan angka putus sekolah serta meningkatkan mutu pendidikan nasional dalam rangka pembangunan Sumber Daya Manusia, pemerintah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun). Sesuai dengan amanat rakyat, pemerintah harus memperhatikan serta memberi peluang sebesar–besarnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan dalam rangka bersaing dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun), layanan Pendidikan Luar Sekolah yang hingga saat ini masih terus dikembangkan pemerintah dalam rangka memerangi ketidakberdayaan masyarakat sebagai akibat dari kebodohan dan kemiskinanan adalah memberikan pelayanan pendidikan dasar bagi orang dewasa (adult basic education). Program Pendidikan Keaksaraan melalui kegiatan pemberantasan buta aksara menjadi salah satu prioritas sasaran Pendidikan Untuk Semua (PUS) yang menargetkan penurunan jumlah buta aksara seminimal mungkin. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono
menargetkan penurunan sisa 5% pada tahun 2009, artinya dalam kurun waktu 5 tahun ditargetkan untuk mengentaskan sekitar 2,5 juta penduduk buta aksara atau 500.000 per tahun. Berdasarkan data BPS tahun 2004, tercatat jumlah penduduk buta aksara usia 15-44 tahun sekitar 5,4 juta orang (Ditdikmas,2005) Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009 meliputi peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh sistem pendidikan sehingga kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan. Perubahan kebijakan itu juga didasarkan pada Undang–Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yaitu: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Selanjutnya pada pasal 28 c ayat (1) UUD Negara RI yang diamandemen lebih jauh dijelaskan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya , berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia “. Propinsi Jawa Timur menargetkan tuntasnya buta aksara pada tahun 2008. Jumlah penduduk Jawa Timur sebesar 30.286.575 jiwa, dengan jumlah penduduk berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf 4.523.881 orang, dan jumlah buta aksara usia 15 – 44 tahun 362.000 orang. (Sumber: Data Sub Din. PLS Prop. Jatim). Sebagai tindak lanjut dari target pemerintah propinsi Jawa Timur tentang penuntasan buta aksara dan upaya perluasan akses pendidikan kepada masyarakat, Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar Tahun Anggaran 2007 menyelenggarakan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional dengan jumlah sasaran usia 13-44 tahun sebanyak 150 orang. Masyarakat yang menjadi sasaran program pemberantasan buta aksara terkonsentrasi di desa Ngrendeng sejumlah 100, dan desa Ampelgading sejumlah 50 orang. Program pemberantasan buta aksara diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kecamatan Selorejo dengan melibatkan instansi lintas sektoral yaitu, PKK Kecamatan Selorejo, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Terang, dengan didukung dana APBD. Dengan mengacu pada uraian latar belakang masalah, maka yang dijadikan fokus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola penyelenggaraan Program keaksaraan fungsional di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar? 2. Bagaimana Pembinaan program pendidikan keaksaraan fungsional di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar? 3. Makna program keaksaraan fungsional bagi warga belajar keaksaraan fungsional di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar.
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif fenomenologis yang bersifat deskriptif, yaitu pendekatan kualitatif untuk memahami dan mendeskripsikan makna yang terkandung dari implementasi Program Keaksaraan Fungsional di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar. Dalam proses pengumpulan data, peneliti berupaya mengumpulkan informasi secara lengkap sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1992) bahwa : (1) penelitian kualitatif mempunyai latar yang alami sebagai sumber data dan peneliti dipandang sebagai instrumen kunci, (2) penelitian ini bersifat deskriptif, (3) penelitian kualitatif lebih memperhatikan proses dari pada hasil atau produk semata, (4) penelitian kualitatif cenderung menganalisanya secara induktif, (5) makna merupakan soal esensial dalam rancangan penelitian kualitatif. Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka peneliti melakukan serangkaian kegiatan di lokasi penelitian dimulai dari penjajagan atau studi pendahuluan, studi orientasi, dilanjutkan dengan mengadakan studi terfokus. Dalam pembahasan ini terdiri dari tiga pokok pembahasan, yaitu: (1) Pola Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional di desa ngrendeng, (2) Pembinaan program keaksaraan fungsional (3) Makna program keaksaraan fungsional bagi warga belajar. HASIL PENELITIAN A. Pola Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional di Desa Ngrendeng Pembelajaran keaksaraan bagi masyarakat penyandang buta Aksara dilakukan melalui program keaksaraan fungsional, dengan menggunakan pendekatan pembelajaran patisipatif. Temuan penelitian penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Berlajar Masyarakat (PKBM) TERANG ditunjukkan dengan ciri-ciri antara lain: (1) penentuan materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar, (2) materi atau isi pembelajaran disesuaikan dengan isyu yang sedang berkembang dilingkungan warga belajar, (3) perencanaan pembelajaran disusun bersama dengan warga belajar, (4) sebagai awal kegiatan untuk mengetahui tingkat kemampuan keaksaraan, dilakukan tes awal kemampuan belajar, (5) agar warga belajar memiliki komitmen untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, dilakukan kontrak belajar, (6) kegiatan pembelajaran dilakukan secara luwes, (7) Peran tutor adalah memfasilitasi kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan belajar warga belajar, (8) Ketika Menghadapi perbedaan kemampuan belajar, tutor mengelompokkannya sesuai dengan kemampuan keaksaraan warga belajar serta dengan melibatkan sesama warga belajar yang memiliki kemampuan lebih untuk menjadi tutor sebaya. Konteks pembelajaran seperti ini sesuai dengan karakteristik belajar orang dewasa yang dirumuskan Marry Johnston dalam Sukartawi (1986: 66) bahwa karakteristik warga belajar orang dewasa : 1) Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda (2) orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri, (3) orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui, (4) orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya, (5) orang 53 57 dewasa lebih suka dihargai dari pada dibei 58 hukuman atau disalahkan, (6) orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecenderungan untuk menilai lebih rendah terhadap kemampuan belajarnya,
(7) apa yang dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya, (8) orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama, (9) orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan itikad yang baik, adil dan masuk akal, (10) orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin, (11) orang dewasa menyukai hal-hal yang bersifat praktis, (12) orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalin hubungan dekat dengan teman baru. Lebih lanjut Marry Johnston (1986: 65) mengemukakan prinsip-prinsip belajar orang dewasa adalah : 1. Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan- kegiatan, artinya orang dewasa sepenuhnya mengatur dirinya, ia memiliki konsep diri yang kuat. Dalam kegiatan belajarnya orang dewasa akan lebih bermakna jika ia dilibatkan secara aktif. Sebagai contoh sederhana dalam menentukan jadwal, bahan ajar warga belajar dilibatkannya, mereka merasa dihargai. 2. Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupan sehari-hari, 3. Orang dewasa belajar dengan baik apabila yang ia pelajari bermanfaat dan praktis, 4. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik, 5.Orang dewasa belajar dengan baik apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya, dan keterampilannya dalam waktu yang cukup, 6. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu, dan daya pikir dari warga belajar, 7. Saling pengertian yang baik yang sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar. Prinsip belajar orang dewasa ini akan berimplikasi kepada pendidik orang dewasa, dalam program keaksaraan fngsional yang mayoritas warga belajarnya orang dewasa, tentunya peran pendidik tidak sekedar mentransfer pengetahuan saja tetapi lebih kearah bagaimana menciptakan situasi belajar yang kondusif, nyaman, menarik warga belajar sehingga warga belajar tetap memiliki motivasi belajar. Pendidik orang dewasa menurut Mary Johnston (1986) haruslah : 1. Mampu menciptakan iklim untuk belajar, 2. mempunyai tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme, 3. peka dan mengerti perasaan orang lain 4. mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang, 5. selalu optimis dan mempunyai itikad baik terhadap orang, 6. menyadari bahwa perannya bukan mengjar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar.
Lebih jauh Faisal (26-2007) Bila disimak secara sungguh – sungguh program Pendidikan Luar Sekolah tertuju ke arah dua muara, yaitu (1) untuk pembelajaran kaum tertinggal. Maksudnya terkait dengan kenyataan sosial dimana terdapat sejumlah orang atau kelompok dalam masyarakat yang memang tertinggal dalam pengetahuan, wawasan, nilai, sikap prilakunya. Penyandang buta aksara misalnya termasuk kaum tertinggal yang patut dibebaskan dari ketidaktahuan, (2) untuk pembelajaran kaum tersingkir sehingga terbebas dari keterpinggiran atau ketidakberdayaan. Kaum tersingkir atau terpinggirkan juga tersebar didalam masyarakat. Mereka tergolong kaum lemah dan tak berdaya. Program keaksaraan tak lagi dipandang sekedar pemberian keterampilan teknikal atau kompetensi fungsional melainkan suatu praktek sosial bersifat melekat sesuai dengan tuntutan kehidupan disuatu konteks. Mereka yang tergolong kaum terabaikan, lazimnya terlantar ekonominya, terbengkalai pendidikannya, dan status kesehatannya menyedihkan. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berkesudahan. Mereka menderita kekurangan modal, karena kurang modal mereka rendah, produktivitas mereka menjadi rendah. Karena pendapatan rendah maka kemampuan menabung juga kecil. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan seperti dalam gambar berikut :
Modal Kurang
Kapasitas Menabung
Produktivitas Rendah
Rendah
Pendapatan Rendah
Dengan lingkaran setan itu tentu saja membuat terbengkalai pendidikan dan kesehatan mereka. Bagaimanakah kaum terabaikan yang terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan tersebu dientaskan melalui program pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah ? Hal tersebut dijawab oleh Pendidikan Luar Sekolah dengan mengedepankan program “Pendidikan Dasar” (basic education) ala Pendidikan Luar Sekolah. Yaitu suatu program Pendidikan Dasar (melalui pemberantasan buta aksara) yang bersifat membebaskan kaum terabaikan dari kebutaan pengetahuan dasar. Di sini, seseorang tidak
saja dibantu belajar biar melek aksara, tetapi sekaligus melek “membaca dunia” dimana ia hidup. Tidak berhenti di situ saja. Seseorang juga harus dibantu belajar menciptakan ”jalan hidup” dirinya (producer of theirlife) yang bisa menjanjikan masa depan yang lebih sejahtera. Menguasai kecakapan hidup dalam arti sebenarnya menjadi sangat penting; yakni mengenal potensi diri sendiri, mengenal peran-peran sosial yang harus dimainkan selaku pekerja maupun anggota keluarga dan anggota masyarakat, mengenal sumbersumber beserta kendala-kendala pada diri sendiri maupun lingkungannya dalam rangka memaksimalkan peran-peran sosialnya serta mampu secara cerdas mengambil pilihan dan tindakan untuk membebaskan dirinya dari ketertinggalan atau keterpinggiran. Gagasan demikian itu kental tercermin dalam paradigma baru program pendidikan keaksaraan (literacy program) di dunia Pendidikan Luar Sekolah. Suatu paradigma yang secara radikal mengubah cara pandang dalam melaksanakan keaksaraan, keaksaraan tak lagi dipandang sebagai keterampilan teknikal yang otomatis bermanfaat dan bisa dialihkan penggunaannya dimanapun (autonomous view of literacy), melainkan suatu praktek sosial yang terikat konteks beserta nilai. Ia dikenal dengan berbagai nama, diantaranya keaksaraan beranekaragam (multiple literacy), keaksaraan kontekstual (contextual literacy), keaksaraan kritis (critical literacy), dan keaksaraan sebagi praktek (literacy as social practise). Di sini, keaksaraan tak lagi dipandang sebagai keterampilan teknikal atau kompetensi fungsional, melainkan suatu praktek sosial yang melekat pada suatu konteks. Oleh karena itu, keaksaraan dipandang tidak tunggal ; melainkan beraneka ragam, sesuai keanekaragaman konteks sosial yang ada. Dan, pembelajaran keaksaraan menjadi bukan sekedar untuk belajar “membaca kata-kata”, tetapi juga ”membaca dunia” yang berada di balik “kata-kata “ yang dibaca. B. Pembinaan Program Keaksaraan Fungsional Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan bagi peranannya dimasa datang. Peranan peserta didik dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Untuk merealisasikannya, tanggung jawab pendidikan tidak hanya terletak dipundak pemerintah, namun masyarakat dan orang tua juga memiliki tanggung jawab dalam mewujudkannya. Pemerintah pusat melalui kebijakan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan diberbagai jalur dan jenjang pendidikan. Implementasi dari kebijakan ini instansi pemerintah melalui Dinas Pendidikan menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional yang diberikan kepada masyarakat yang termarginalkan oleh sistem pendidikan sekolah. Strategi pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidkan meliputi tiga arti, yaitu: (1) persamaan kesempatan (equality of opportunity), (2) aksesibilitas, (3) keadilan atau kewajaran, akan tetapi dalam kenyataan sesuai dengan temuan lapangan , kemampuan belajar setiap orang berbeda sesuai prinsip “ perbedaan individu” , sehingga meskipun terdapat peluang yang sama selalu ada perbedaan. Depdikbud (dalam Onny S:1996-75). B. Makna Program Keaksaraan Fungsional Bagi Warga Belajar Warga belajar program pendidikan keaksaaraan fungsional mayoritas adalah orang dewasa. Orang dewasa bersedia mengikuti pembelajaran apabila apa yang akan dipelajari atau materi pembelajaran yang akan diterima warga belajar
orang dewasa akan bermakna apabila sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Hasil penelitian Lindeman tentang pembelajaran orang dewasa yang dirumuskan Knowles (1990-31) disebutkan bahwa : 1) Adults are motivated to learn as they experience needs and interests that learning will satisfy, therefore, these are the appropriate starting points for organizing adult learning activities; 2) Adult orientation to learning is life centered; therefore, the appropriate units for organizing adult learning are life situations, not subject; 3) Experience is the sichest resource for adult learning: therefore, the core methodology of adult education is the analysis of experience; 4) Adults have a deep need to be self-directing: therefore, the role of the teacher is to engage a process of mutual inquiry with them rather than to transmit his or her knowledge to them evaluate their conformity to it; 5) Individual differences among people increase with age: therefore, adult education must make optimal provision for differences in style, time, place, and pace of learning. Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran orang dewasa yaitu 1. Warga belajar akan termotivasi untuk belajar jika sesuai dengan pengalaman, minat dan kebutuhan mereka. Oleh karena itu pengalaman, minat dan kebutuhan merupakan titik awal dalam pengorganisasian aktivitas pembelajaran di kelompok belajar; 2. Orientasi belajar berhubungan erat dengan kehidupannya. Oleh karena itu unit yang tepat untuk pembelajaran keaksaraan fungsional adalah situasi kehidupan bukan mata pelajaran 3. Pengalaman adalah sumber yang paling kaya yang harus diakui keberadaannya bagi pembelajaran keaksaraan fungsional. Oleh karena itu metode utama dalam pembelajaran adalah menganalisis pengalaman belajar. 4. Setiap warga belajar mempunyai kebutuhan untuk mengarahkan diri. Oleh karena itu peranan Tutor adalah meningkatkan proses saling memberi dan menerima, kemudian mengevaluasi seberapa jauh mereka menguasai pengetahuan yang diberikan. 5. Perbedaan individual diantara warga belajar meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga pola pembelajaran harus menghargai secara penuh adanya perbedaan gaya, waktu, tempat dan bentuk penyampaian. Wiltshire (dalam Tight.2004:61) menyatakan : This interpretation of adult education has also been termed the 'great tradition'. the five distinguishing characteristics of wich have been identified as being: (1).It is committed to a particular curriculum, to the humane or liberal studies.(2) within this curriculum particular concern is shown for the social studies .... its interest is in learning...as a means of understanding the great issues of life.(3)it demands from...students a particular attitude- the non-vocational attitude..and therefore examinations and awards....are deplored. (4)It combines democratic notions about equality of educational opportunity with ...assumptions about the educability of normal adults.....(5)it....has found in small
tutorial groups meeting for guided discussion over a fairly long period its most effective educational techique. Dari kutipan di atas memberi kejelasan bahwa. ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran orang dewasa yaitu : 1. Menginginkan kebebasan belajar tanpa harus terikat dengan kurikulum tertentu , 2. Perhatian tertentu ditunjukkan untuk ilmu kemasyarakatan. Lebih tertarik pada pemahaman terhadap masalah- masalah kehidupannya 3. Minat nya di dalam belajar lebih bermakna pada pemahaman isu hidup yang menuntut sikap tertentu - bukan kejuruan oleh karena itu tidak perlu adanya ujian dan nilai. 4. Berkombinasi demokratis tentang persamaan tentang kesempatan bidang pendidikan dengan ... asumsi tentang kewajaran pendidikan orang dewasa. 5. Pertemuan dalam kelompok pengajaran kecil untuk diskusi yang dipandu secara wajar merupakan techique yang paling efektif dalam pendidikan. David Kolb (dalam Mathias Finger 2004:49) belajar adalah proses pengalaman, sebagai pengetahuan yang maju hanya melalui pengalaman yang berkelanjutan. Akumulasi dari pengalaman akan menjadikan referensi proses belajar. Termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk mencari pengalaman yang akan menjadi khasanah yang akan dipelajarinya. Pengalaman baru diperoleh dari adanya interaksi. Selanjutnya David Kolb ( dalam Rogers 2007:26) Essentially, the concept is that for learning to successful, you need to through a cycle of learning,maksudnya adalah Yang sangat utama, konsep untuk belajar sukses, harus melalui suatu siklus belajar. seperti dalam gambar berikut :
Activity
Reflection Pragmatism
Theory Siklus belajar yang dikonsepkan David Kolb dapat kita implmentasikan dalam proses belajar orang dewasa dalam mengikuti program keaksaraan fungsional. Pada tahap aktifitas, warga belajar yang latar belakang pendidikannya rendah melakukan sesuatu yang sifatnya seperti kebiasaaan. Pada tahap reflection mereka mulai
merenung akan kebiasaaannya, yang sedikit membawa manfaat dalam hidup. Selanjutnya pada tahap theory mereka mulai terbuka cakrawalanya, sebagai dampak dari mengikuti pembelajaran di keaksaraan fungsional. Selanjutnya pada tahap pragmatism warga belajar menerapkan theori-teori yang diperoleh selama mengikuti kegiatan belajar serta pengalaman-pengalaman belajarnya dalam upaya peningkatan kualitas hidup. Tahapan-tahapan tersebut akan menjadi siklus yang terus berputar yang pada akhirnya warga belajar menjadi lebih berdaya, Ketika program keaksaraan fungsional dimaknai sebagai media kumpulkumpul, timbul suatu pemahaman bahwa program keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan kepada masyarakat yang termarginalkan, masyarakat terpinggirkan oleh sistem pendidikan sekolah. Secara geografis rata-rata warga belajar bertempat tinggal di desa bahkan di pelosok jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Masyarakat desa selalu dikonotasikan dengan ciri tradisional, kuatnya ikatan dengan alam, eratnya ikatan kelompok, guyub rukun dan gotong royong. Secara sederhana Faisal (dalam Sapari Imam 1993:130) menjelaskan bahwa masyarakat desa merupakan masyarakat paguyuban memiliki ciri: (a) saling mengenal dengan baik di antara yang satu dengan yang lainnya; (b) memiliki keintiman yang tinggi di kalangan warganya; (c) memiliki rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi; (d) memiliki jalinan emosional yang kuat di kalangan warganya, dan (e) saling bantu membantu, tolong menolong atas dasar kekeluargaan. Berkaitan dengan ciri masyarakat desa di atas , sering nampak oleh kita “budaya ngrumpi” sekedar cari kutu. Budaya semacam ini tidak bisa dihilangkan manakala masyarakat desa, khususnya perempuan tidak memiliki kegiatan positif, bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup. Dalam penelitian ini, kumpulkumpul dimaknai sebagai media bertemunya sesama warga belajar untuk saling membelajarkan. Kelompok belajar dalam program keaksaraan fungsional merupakan salah satu media terjadinya interaksi sesama warga belajar dan warga belajar dengan tutor. Sesungguhnya dalam proses interaksi terdapat proses saling pengaruh mempangaruhi antara individu yang satu dengan yang lain; termasuk juga didalamnya saling pengaruh mempengaruhi dalam hal tingkah laku, pandangan hidup dan yang paling relevan adalah saling memberi dan menerima pengetahuan dari orang lain baik secara sengaja maupun tidak. Dalam suatu interaksi, tidak menutup kemungkinan adanya adopsi terhadap tingkah laku yang tentunya menurut adopter sesuai. Paparan temuan penelitian terungkap bahwa warga belajar merasakan bahwa bisa membaca menjadi kebutuhan dalam mengikuti program. Keunikan program pendidikan luar sekolah adalah manakala kebutuhan belajar warga masyarakat yang menjadi sasaran program dapat dilayani dalam berbagai situasi. kegiatan membaca, menulis dan berhitung merupakan kebutuhan ideal warga belajar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan belajar tersebut tidak terpenuhi maka potensi warga belajar putus program sangat dimungkinkan. Studi yang dilakukan Kusnadi (2002) berkaitan dengan keterampilan keaksaraan menunjukkan bahwa ternyata warga belajar, yang diberi kesempatan dapat memberdayakan dirinya, hal itu dapat dilihat dari dua sisi (1) semua topik atau
materi belajar berasal dari ide/gagasan, pengalaman, perasaan, informasi yang dimiliki, dan masalah yang dihadapi warga belajar, (2) semua bahan belajar atau bahan bacaan yang dimanfaatkan warga belajar dalam proses diskusi di kelompok belajar. Dalam pandangan teori belajar orang dewasa bahwa materi pembelajaran pada orang dewasa haruslah berkaitan langsung dengan apa yang menjadi kebutuhan yang dirasakan sehingga permasalahan yang dihadapi atau dialami dalam hidup sehari-hari dapat dipecahkan. Pendidikan Orang Dewasa sangat erat dengan ekonomisasi. Maksudnya adalah pembelajaran pada orang dewasa dilihat dalam perspektif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi dan peluang seseorang untuk berpartisipasi dalam dunia kerja, atau lebih umumnya kemampuan seseorang untuk bertahan hidup dengan ditopang ekonomi yang stabil. Mereka minimal dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.(Mathias, 2004; 181).
PENUTUP Kesimpulan Kegiatan penelitian dengan mengambil latar penelitian kelompok belajar Keaksaraan Fungsional yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Terang Desa Ngrendeng Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar, dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui model penyelenggaraan Program keaksaraan di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar, Pembinaan program pendidikan keaksaraan di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar dan makna program keaksaraan bagi warga belajar keaksaraan di desa Ngrendeng kecamatan Selorejo kabupaten Blitar. Berdasarkan data dan temuan lapangan, setelah dilakukan analisa substantif dengan mengacu pada kajian teori dan pendapat ahli, dapat ditarik kesimpulan Penyelenggaraan program Keaksaraan Fungsional yang diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TERANG Desa Ngrendeng Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar menggunakan pendekatan partisipatif mulai perencanaan, menetapkan konten berangkat dari kebutuhan belajar serta konteks lingkungan dimana warga belajar berada dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip serta karakteristik pendidikan orang dewasa. Demikian halnya Pembinaan program pendidikan keaksaraan di desa Ngrendeng yang dilakukan oleh perangkat desa dan Dinas Pendidikan Kecamatan Selorejo. Implementasi dari kebijakan pemerintah yang memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan diberbagai jalur dan jenjang 71 77
pendidikan Dinas Pendidikan melaksanaan pembinaan yang kontinyu kepada pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai pengelola dalam menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional, kepada tutor yang bersentuhan langsung dengan warga belajar, serta pemberian motivasi kepada warga belajar untuk tetap mengikuti kegiatan pembelajaran yang telah dijadwalkan. Sedangkan strategi pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dikembangkan meliputi tiga arti, yaitu: 1) persamaan kesempatan (equality of opportunity), 2) aksesibilitas, 3) keadilan atau kewajaran. Warga belajar program pendidikan keaksaaraan fungsional mayoritas adalah orang dewasa. Orang dewasa bersedia mengikuti pembelajaran apabila apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga karakteristik orang dewasa bahwa orang dewasa telah memiliki konsep diri yang kuat, belajar pada orang dewasa berdasar pada kebutuhan, tentunya akan berpengaruh pada pemaknaan warga belajar dalam mengikuti program Keaksaraan Fungsional. Sesuai dengan hasil penelitian tentang Makna Program Pendidikan Keaksaraan Bagi Warga Belajar di Desa Ngrendeng Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar dapat kontruksikan sebagai berikut : Warga belajar memiliki banyak waktu luang setelah bekerja dan tidak memiliki kegiatan lain sehingga mengikuti kegiatan keaksaraan yang dipadukan dengan keterampilan akan membuat warga belajar tertarik untuk mengikuti program. Dampak program terhadap warga belajar adalah adanya peningkatan kualitas hidup dengan meningkatnya ekonomi. Hal ini ditandai dengan keterampilan yang dipelajari dapat menjadi sumber penghasilan keluarga. RUJUKAN Asy’ari, Sapari.1990 Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional Creswell, John C.1998 Qualitative Inquiry And Research Design, California: Penerbit SAGE Publications, Inc Faisal. S. 2004 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Keaksaraan, Kenyataan, Harapan dan Inovasi, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Program Pendidikan Keaksaraan, Jakarta: Direktorat Dikmas Ditjen PLSP Finger, Mathias.2004 Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa,Yogyakarta: Penerbit Pustaka Kendi Jalal, F & Sukarso, E. (Eds). 2003. Keaksaraan Fungsional di Indonesia. Jakarta: Penerbit Mustika Aksara. James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, 1994, Social Psychology Fifth Edition,, McGraw-Hill, Inc. Knowles, Malcolm 1984 The Adult Learner. Gulf Publoishing Company Book Division Houston, London, Paris, Tokyo Kusnadi, 2003. Andragogi Sebagai Konsep Daar Pembelajaran Keaksaraan Fungsional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas
Rogers, Jenny 2007. Adult Learning Fifth Edition Open University Press, USA Santosa, M. 2006. Motivasi Belajar Warga belajar Pada Pembelajaran Keaksaraan. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Setyono, dkk 2006. Kajian Pemanfaatan Kemampuan Keaksaraan Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup. BPPLSP Reg.IV Tidak diterbitkan Tight.2004 Key Concepts in Adult Education an Training Second Edition.Penerbit :RoutledgeFalmer London
Keberhasilan Warga Belajar Program Life Skill (Studi Kasus Program Life Skill Pastry dan Bakery) Endang Koesmiyati Abstrak: Berdasarkan latar belakang masalah penelitian ini di konstruksikan: (1) bagaimana penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery di Sanggar Kegiatan Belajar Kota Malang. (2) bagaimana kisah sukses keberhasilan program life skill pastry dan bakery. Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini dirumuskan: (1) Mendeskripsikan penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang. (2) Mendeskripsikan kisah sukses keberhasilan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang. Kata Kunci : Pendidikan Luar sekolah, Life Skill.
The Learning Citizen Success of Life Skill Program (A Case Study at Life Skill program and Bakery) Endang Koesmiyati, Abstract: Based on the background, the research can be constructed as follow (1) how the implementation of life skill pastry and bakery program at the SKB of Malang City, (2) how the success stories of life skill pastry and bakery program. Based on the problem substance above, then the research is formulated as follow (1) describing the implementation of life skill pastry and bakery program at SKB of Malang City (2) describing the success stories of life skill pastry and bakery program at SKB of Malang City. Keyword: Non School Education, Life Skill.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah ujung tombak yang menentukan nasib dan masa depan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, komitmen reformasi yang digulirkan serentak pada tahun 1997 diorientasikan pada ranah politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum tidak akan berhasil dengan baik tanpa diimbangi dengan komitmen mereformasi sistem pendidikan nasional.
1
2
Krisis multi dimensi yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini, tidak hanya disebabkan oleh kerapuhan ekonomi, sosial, politik dan hukum tetapi juga dilatari oleh kerapuhan sistem pendidikan nasional, yang didesain secara top down intervention sehingga tidak mampu mendorong pemberdayaan masyarakat,
mangabaikan
prinsip
pastisipatori
‘aspirasi’
dan
potensi
masyarakat untuk bergerak kearah masyarakat swadaya. Era globalisasi saat ini, membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, yakni sumber daya manusia dengan kemampuan berkompetensi secara lokal, nasional dan juga global, disertai dengan kemampuan berpikir, berbuat secara kritis, kreatif, inovatif, konsisten dan tangguh serta mampu mangaplikasikan kompetensinya baik secara kerjasama (team work) maupun individual. Untuk memperoleh sumber daya manusia dengan kompetensi tersebut, perlu diberikan pendidikan yang berkualitas, khususnya pendidikan vocacional, ketrampilan misalnya, di bidang otomotif roda dua, otomotif roda empat, elektro ‘radio dan televisi’, komputer, Kriya Kayu, Tata Busana, dan Tata Boga. Melalui program pendidikan vocacional, ketrampilan tersebut, diharapkan dunia pendidikan semakin mampu untuk beradaptasi dan merespon berbagai kebutuhan masyarakat sebagai bekal bagi warga belajar untuk hidup dalam masyarakat, bekerja secara profesional dan optimal serta diharapkan mampu mendorong usaha penciptaan lapangan kerja baru. Life Skill Pastry dan Bakery di SKB Kota Malang sebagai SKB unggulan yang tergolong berhasil dalam penciptaan dan penyediaan tenaga
3
terampil dan profesional, diwujudkan dalam bentuk usaha Pastry dan Bakery yang tetap eksis, makin berkembang pesat sehingga membutuhkan tenaga kerja ‘karyawan’ baru untuk menjalankan usaha Pastry dan Bakery. Atas dasar temuan awal tersebut, telah mendorong penulis untuk melakukan pengakajian melalui penelitian secara mendalam dengan judul: Keberhasilan Warga Belajar Program Life Skill (Studi Kasus pada Program Life Skill Pastry dan Bakery di SKB Kota Malang). Dengan penelitian tersebut, diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru terkait dengan usaha-usaha (tips) sukses, berhasil dalam program life skill, yang memungkinkan untuk diaplikasikan pada SKB yang lain sehingga dapat semakin efektif membantu usaha pemerintah ‘pusat dan daerah’ dalam penciptaan masyarakat swadaya. Fokus Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka penelitian ini di fokuskan pada factor-faktor yang menjadi pendorong keberhasilan warga belajar program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang, yang ditunjukkan dengan perkembangan usaha pastry dan bakery sampai saat ini, sehingga dapat mencukupi berbagai kebutuhan rumah tangga. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan fokus penelitian diatas, maka penelitian ini didesain dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam faktor-faktor yang menjadi pendorong keberhasilan warga belajar program life skill pastry dan bakery di SKB, Kota Malang. Berdasar pada
4
tujuan tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dapat dikonstruksikan sebagai berikut: 1. Bagaimana penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang? 2. Bagaimanakah kisah sukses keberhasilan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang? Tujuan Penelitian Berdasarkan substansi permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang. 2. Mendeskripsikan kisah sukses keberhasilan program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang.
METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Agar dapat memahami secara mendalam fenomena warga belajar di SKB Kota Malang, maka dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan
kualitatif,
terutama
yang
menyangkut
masalah
penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery, serta faktor-faktor pendukung keberhasilan warga belajar dalam mengembangkan keterampilan. Guna menemukan data yang memiliki akurasi tinggi mengenai fenomena tersebut, dipandang perlu untuk mengadakan penelitian secara mendalam dengan metode observasi (pengamatan), wawancara, dokumentasi terhadap subjek penelitian maupun kepada informan.
5
Subyek Penelitian dan Informan Seperti yang peneliti kemukakan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah peserta program life skill, panitia penyelenggara dan Nara Sumber Teknis. Peneliti pertama kali melakukan observasi, wawancara dengan subyek penelitian disusul dengan pengelola program selanjutnya peneliti melakukan cross cek dengan subyek penelitian yang lain dan juga dengan pengelola program untuk membuktikan kebenaran atas data yang telah peneliti peroleh. Peneliti nantinya juga akan menentukan informan yang merupakan sumber pendukung yang mengetahui betul masalah yang akan dikaji, juga cara memilih harus bersifat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam pengumpulan data. Cara yang dikenal dengan Snow Ball Sampling. Peneliti menggunakan dengan mempertimbangkan: 1) Mereka benar-benar mengetahui kegiatan dari awal program sampai saat ini. 2) Mereka sebagai anggota/peserta program life skills pastry dan bakery. 3) Berdasarkan informasi dari teman-temannya mereka terlibat aktif dalam mengikuti program kegiatan. Sumber Data Data penelitian bersumber dari para peserta pelatihan, pengurus, peristiwa-peristiwa, dan situasi yang ada pada latar penelitian. Sumber data tidak ditentukan jumlahnya melainkan berdasar pada snowball sampling.
6
Pemilihan sumber data atau subyek-subyek penelitian akan berlangsung secara bergulir sesuai kebutuhan hingga mencapai kejenuhan. Jumlah subyek penelitian berjumlah 6 warga belajar 4 diantaranya berhasil, namun proses bergulirnya data penelitian ini berkisar pada subyeksubyek yang berada pada warga masyarakat usia produktif (17-35 tahun) yang lolos seleksi. Pengelolaan dan Analisis Data Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang berkaitan dengan pelaksanaan program life skill di SKB Kota Malang. Kemudian dilakukan pengodean dari setiap data untuk memudahkan pemaparannya, penyajian data dalam bentuk laporan hasil penelitian berupa narasi, namun tidak menutup kemungkinan penyajian data juga dilakukan dalam bentuk matrik, gambar atau bagan, dan pada akhirnya menyusun kesimpulan berdasarkan analisis data dari hasil penelitian. Pengecekan Keabsahan Data Guna menjamin data-data yang telah didapatkan di lapangan maka peneliti melakukan uji validasi atau pengecekan terhadap keabsahan data pada waktu penggalian data di lapangan, penyusunan laporan tesis sementara maupun sesudah selesai penulisan dengan cara melakukan cheking kembali data yang diperoleh dari informan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. 1.
Dengan cara kredibilitas, terdiri dari:
7
a.
Trianggulasi
b.
Pengecekan anggota
c.
Diskusi Teman Sejawat
d.
Pengecekan Kecukupan Referensi
2. Dengan cara dependabilitas, Hal ini dilakukan dengan cara: a.
Konsultasi dengan para pembimbing,
b.
Audit trial
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Penyelenggaraan Program Life Skills Pastry dan Bakery di Sanggar Kegiatan Belajar Kota Malang Program life skills pastry dan bakery di SKB Kota Malang merupakan program life skill kedua yang dilaksanakan setelah penyelenggaraan life skill pembesaran lele dumbo. Pelaksanaan program tersebut, didanai negara dengan APBN melalui Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Regional IV Surabaya. Untuk menunjang keberhasilan program, dalam pelaksanaannya ditetapkan komponen-komponen program pembelajaran sebagai berikut: (1) Penyelenggara, (2) Warga Belajar, (3) Tujuan Pembelajaran, (4) Nara Sumber Teknis (NST), (5) Sarana dan Bahan Belajar, (6) Kurikulum, (7) Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran. Kisah Sukses (Success Story) 4 Warga Belajar Program Life Skill
8
Hasil dari studi wawancara serta sedokumentasi, dapat diketahui bahwa dari 4 kegiatan life skill yang telah dilaksanakan selama 4 tahun berturut-turut mulai dari tahun 2003, program life skills pastry dan bakery adalah program life skill yang paling berhasil. Warga belajar yang dibina dalam program life skills pastry dan bakery berjumlah 6 orang. Dari 6 orang warga belajar, 4 orang diantaranya telah sukses menjalankan usaha mandiri, baik dalam bentuk membuka usaha sendiri atau bekerja pada orang lain dan memperoleh penghasilan yang layak. Sebelum mengikuti prorgam life skills pastry dan bakery, keempat warga belajar memiliki latar belakang yang beragam baik ekonomi, sosial maupun pendidikan. Warga belajar ini bergabung dalam SKB, sepenuhnya dimotivasi untuk memiliki kompetensi/ketrampilan yang mencukupi untuk mencari kerja atau berwirausaha. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, akhirnya dapat diketahui bahwa faktor yang mendorong mereka sukses dalam menjalankan pekerjaannya
/usahanya, adalah sebagai berikut: (1) Kompetensi yang
dimiliki, (2) Dorongan atau Motivasi NST, (3) Penghargaan.
PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN Pembahasan temuan penelitian yang diuraikan dalam bab ini, meliputi dua bagian, yaitu: (1) gambaran umum penyelenggaraan program Life Skills Pastry dan Bakery di SKB Kota Malang, (2) faktor-faktor pendorong keberhasilan program Life Skills Pastry dan Bakery.
9
Penyelenggaraan Program Life Skills Pastry dan Bakery di SKB Kota Malang Bertolak dari kekurang-berhasilan program life skills pada tahun sebelumnya, dalam penyelenggaraan program life skills pastry dan bakery, SKB Kota Malang berupaya untuk menyelenggarakan program life skills pastry dan bakery dengan semaksimal mungkin menciptakan berbagai kondisi yang dapat mendukung pencapaian tujuan perubahan perilaku warga belajar dalam beberapa sisi. Berdasarkan hasil temuan di lapangan melalui metode observasi dan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa penyeleggaraan program life skill didukung oleh 7 (tujuh) komponen. Bila dibandingkan dengan yang terjadi di lapangan, maka memang tujuan pembelajaran pada program life skills pastry dan bakery tidak terjabar menjadi tujuan umum dan tujuan khusus tetapi tujuan pembelajaran tetap diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Tujuan pembelajaran secara lebih khusus merupakan kesepakatan bersama antara NST dan warga belajar. Hal ini merupakan ciri-ciri pembelajaran partisipatif, memiliki prinsip-prinsip: (1)
Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs Based), (2)
Berorientasi pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals and Objectives Oriented), (3) Centered), (4) Berangkat
Berpusat pada Warga belajar (Participant dari
Pengalaman
Belajar
(Experiential
Learning). Berangkat dari paparan prinsip-prinsip pembelajaran partisipatif, maka tercapainya tujuan pembelajaran juga berhubungan dengan kurikulum yang
10
digunakan dan proses kegiatan pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, penyusunan kurikulum disusun oleh 3 (tiga) orang NST dengan mengacu kepada kebutuhan pasar dan kondisi warga belajar. Kisah Sukses Keberhasilan Program Life Skills Pastry dan Bakery di SKB Kota Malang Dari hasil wawancara dengan 4 orang alumnus program yang telah berhasil, terdapat faktor-faktor yang mendukung keberhasilan program yang kesemuanya berkaitan erat dengan komponen-komponen penyelenggaraan program. 1. Kompetensi Lima ketrampilan pokok yang diharapkan ada dalam diri calon pekerja yang selama ini tidak ditransfer melalui pendidikan formal, antara lain: (1)
Mengidentifikasikan,
mengorganisasikan,
merencanakan
dan
mengalokasikan sumber daya, (2)Bekerjasama dengan orang lain, (3) Memperoleh dan memanfaatkan informasi, (4) Memahami hubungan timbal balik yang kompleks, (5) Bekerja dengan berbagai teknologi. 2. Motivasi Mempunyai pengetahuan yang cukup dan keterampilan yang memadai saja, tidak dapat menjamin seseorang sukses dalam hidupnya. Diperlukan motivasi yang kuat baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan di luar dirinya. 3. Penghargaan
11
Kebutuhan-kebutuhan itu dirumuskan secara hierarkis, mulai dari kebutuhan dasar (fisiologis). Kebutuhan rasa aman (safety need), kebutuhan sosial (social need), kebutuhan penghargaan (esteem need), sampai kepada kebutuhan aktualisasi diri (self actualization need). Kondisi di lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan alumnus warga belajar, menunjukkan bahwa keberhasilan program life skills pastry dan bakery, sehingga sampai sekarang produknya tetap menjadi andalan SKB Kota Malang adalah tetap melibatkan alumnus program pada berbagai event kegiatan sehingga merupakan suatu hubungan “simbiosis mutualisme” atau saling menguntungkan. Peneliti menguraikan bahwa kompetensi harus dimiliki oleh warga belajar. dengan karakteristik, sebagai berikut: a. Berkenaan dengan kebutuhan dan kepentingan pembelajar, bukan orang lain atau pihak lain: kebutuhan dan kepentingan bekerja, mendapatkan pekerjaan, melanjutkan studi (pendidikan) dan belajar sepanjang hayat. b. Berkenaan dengan bahan atau pokok persoalan yang relevan dan kontekstual bagi pembelajar, bukan pokok persoalan yang asing dan tak diperlukan oleh pembelajar, relevan, dan kontekstual pada takaran lokal, nasional, regional, dan global. c. Menyajikan model mental atau psikologis yang mantap dan kaya bagi pembelajar, model mental yang mampu melayani kecenderungan kecerdasan pembelajar, gaya belajar pembelajar.
12
d. Dinamis dan berkembang yang berarti selalu dapat berubah (bertambah, berkurang pembelajar, tuntutan sosial-budaya-ekonomi, dan tantangan yang ada, kebutuhan pembelajar, tuntutan sosialbudaya-ekonomi dan tantangan sosial-ekonomi-budaya. e. Berisi deskripsi sejumlah pengetahuan, kinerja, dan keterampilan yang dibutuhkan oleh pembelajar untuk melakukan dan mengerjakan sesuatu, pengetahuan intelektual atau profesional. f. Ditandai oleh kata-kata kunci: mampu, dapat, bisa, menggunakan, menilai , melakukan, dan sebagainya. Dengan adanya penekanan pada kompetensi, maka pelaksanaan program life skills pastry dan bakery benar-benar terarah dan warga belajar pada akhirnya dapat memiliki kompetensi tersebut.
PENUTUP Kesimpulan Bedasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka, penelitian ini di fokuskan pada faktor-faktor yang menjadi pendorong kesuksesan warga belajar program life skill pastry dan bakery di SKB Kota Malang. Dengan diwujudkan perkembangan usaha pastry dan bakery sampai saat ini dan kerjasama alumni dengan sanggar kegiatan belajar untuk membentuk tanggung jawab terhadap profesinya. Pada bagian ini disajikan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian berdasarkan paparan data dan hasil pembahasan, yaitu sebagai berikut:
13
Berdasarkan data yang ada di sanggar kegiatan belajar program life skills pastry dan bakery dinilai lebih berhasil terbukti meskipun pelaksanaan program sudah selesai dilaksanakan tetapi ada kegiatan yang tetap berlangsung karena kesuksesan alumnusnya dalam bekerja. Hal ini antara lain: 1. Adanya penyelenggaraan program life skill pastry dan bakery di Sanggar Kegiatan Balajar Kota Malang, program diselenggarakan dari tiga orang warga belajar yang masing-masing menjabat sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara program. Pemilihan panitia tersebut, atas dasar kompetensi yang dimiliki, dan hasil rapat dengan mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki. Warga belajar program life skill pastry dan bakery yaitu mereka yang belum siap memasuki dunia kerja yang pada umumnya kualitas hidupnya belum memadai. Perekrutan warga belajar dilakukan melalui proses seleksi. Tujuan pembelajaran
berdasarkan kebutuhan
warga belajar dan nara sumber teknis dalam rangka terlaksananya pembelajaran, format ini berlangsung secara alami melalui proses bekerja. Sarana dan bahan belajar dalam hal ini adalah semua jenis alat yang dapat mengantarkan informasi dari NST kepada warga belajar, meliputi peralatan dan ruang tata boga yang digunakan, bahan belajar adalah bahan mentah yang dipergunakan dalam proses pembuatan pastry dan bakery. Kurikulum mengacu kepada prospek pasar, kegiatan pembelajaran adanya interaksi antara pendidik dengan warga belajar dan sarana belajar lainnya. 2. Adanya kisah sukses keberhasilan life skill pastry dan bakery di sanggar kegiatan belajar Kota Malang adalah warga belajar, yang terdiri dari enam
14
orang, empat diantaranya berhasil dan memiliki kompetensi yang tinggi, adanya motivasi dari nara sumber, penghargaan yang dimaksud adalah apabila di sanggar kegiatan belajar ada kegiatan maka alumni diajak untuk membantu program yang diselenggarakan oleh SKB. Berdasarkan wawancara dari warga belajar yang paling mendasar adanya sikap ulet, pantang menyerah, ketekunan, bakat dan minat yang dimiliki oleh warga belajar dan tidak lepas dari dukungan berupa moral maupun dana dari SKB. Hasil dari kerja keras, dan keuletannya dan adanya strategi untuk memasarkan pastry dan bakery-nya, sehingga memiliki kualitas yang berbeda dengan yang lain. Nilai-nilai positif yang dapat ditarik dari kisah sukses alumnus warga belajar SKB Kota Malang tersebut, sejalan dengan prinsip teori pendidikan bagi orang dewasa ‘andragogi’, bahwa tujuan orang dewasa belajar selalu berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari baik yang menyangkut pekerjaan lingkungan, maupun interaksi sosialnya. Orang dewasa akan lebih mudah diajak belajar, jika materi yang ditawarkan adalah materi yang memiliki kegunaan praktis yang tinggi sehingga, kesuksesan diterapkan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah konsep pengetahuan dan pengalaman baru yang berarti. Saran Berdasarkan dari hasil pembahasan dan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini, maka berikut akan dikemukakan saran sebagai implikasi dari hasil penelitian ini.
15
1. Hendaknya program sejalan dengan prinsip teori pendidikan bagi orang dewasa ‘andragogi’, karena tujuan dari orang dewasa belajar selalu berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari baik yang menyangkut pekerjaan lingkungan, maupun interaksi sosialnya. Materi yang diberikan adalah materi yang memiliki kegunaan praktis yang tinggi sehingga, kesuksesan diterapkan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah konsep pengetahuan dan pengalaman baru yang berarti. 2. Diharapkan bagi Pembina Pihak Sanggar Kegiatan Belajar, secara terus menerus melakukan pembinaan berdasarkan bakat dan minat yang dimiliki oleh warga belajar dan program pembelajaran Life skill harus membangun motivasi agar mereka mampu bekerja keras dan ulet setelah mereka menjadi alumnus, berkomunikasi dibina agar bisa dihandalkan, menjadi percontohan dari program-program yang lain agar pengukuran kisah sukses keberhasilan program life skill pastry dan bakery di SKB kota Malang bisa dideskripsikan
dengan
jelas.
Hendaknya,
memperhatikan
strategi
pemasaran dan kualitas pastry dan bakery-nya mengikuti perkembangan pasar. Bagi peneliti selanjutnya, dapat lebih mengkaji mengenai kompetensi pada program sejenis yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
16
DAFTAR RUJUKAN
Abdulhak, I. 2000.
Strategi Membangun Motivasi dalam Pembelajaran Orang
Dewasa. Bandung: CV. Andira. Anwar. 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung: CV. Alfabeta. Ahmad. 2005. Pemberdayaan Pemuda Melalui Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan Pertukangan Kayu. Malang: PPS UM. Arief, Z. 1986. Andragogi. Bandung: Angkasa. Asnawi, S. 2002.Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studio Press. BPKB Jayagiri. 1981. Planning Better Program. New York: Mc Grow-Hill Books Company. Burzi, F. 2005.
Andragogi.
Artikel
(Online),
Vol.
2,
No.
3,
(http://www.pts.com.my/modules/ph?name=New&file=article&sid=343 , diakses 23 Februari 2007. Dama. 2006. Aplikasi Andragogi dalam Pembelajaran Pendidikan Non Formal. Jurnal
(Online),
Vol.
1,
No.
2,
(http://jugaguru.com/
article/all/tahun/2006/bulan/10/id/184, diakses 2 Maret 2007). Ditjen. PLSP. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang. ............. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Faisal, S.1981. Profesi dan Bidang Studi Pendidikan Luar Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Hamalik, O. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Huda, N. 2003. Pelatihan Bersifat Andragogi Lebih Disukai. Malang: PPS. UMN. Jalal, A. 2001. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP). Jakarta: Depdiknas.
17
Knowles, S. M. 2004. The Modern Practice of Advit Education. New York: Associaton Press. Miles, B. M. & Huberman, M. A. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh: Tjetjep Rohendi Rohidi.Jakarta:UI-Pres. Mikkelsen, Britha.
2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan, terjemahan oleh Mateos Nale........ Jakarta: YOI. Moleong, L.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Mukijat. 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung; Mandar Maju. Nasution, S.
2001 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
1991
tentang
Pendidikan Luar Sekolah........... Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Raharjo, S. 2001. Modul 9 Metode dan Teknik Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat. Roeswoto, H. I. 2001. Pengembangan Kurikulum Metode dan Evaluasi Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Yayasan Insani. Srinivasan, L. 1977. Beberapa Pandangan Mengenai Pendidikan Non Formal Bagi Orang Dewasa, terjemahan oleh Ilya Mulyono, dkk........LembangBandung: BPKB Jayagiri. Sudjana, D. S. 2000. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production. Suharsimi, A. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bineka Cipta. Tim Broad-Based Education. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui Pendekatan Broad-Based Education (BBE). Jakarta: Depdiknas. LPPM Unair. 2006.
Materi
Pelatihan
Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Surabaya: LPPM Unair. Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang.
18
Undang- Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekjen Depdiknas. Zainuddin. 2001. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.