PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 207-212
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010207
Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat di Bengkulu Utara Domestication of red jungle fowl: A case study of red jungle fowl poaching by communities in North Bengkulu
1
JOHAN SETIANTO1,2,♥, HARDI PRAKOSO1, SUTRIYONO1
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21290, email:
[email protected], 2 Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21290. Manuskrip diterima: 17 November 2014. Revisi disetujui: 18 Januari 2015.
Abstrak. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2015. Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat di Bengkulu Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 207-212. Ayam hutan merah merupakan plasma nutfah yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat. Penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat terus meningkat. Ayam hutan merah dipelihara sebagai kesenangan ataupun dijadikan bibit untuk menghasilkan ayam persilangan. Penangkapan yang tidak terkendali dapat menyebabkan kepunahan ayam hutan merah. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai teknik penangkapan ayam hutan merah berbasis masyarakat di Bengkulu Utara. Pemilihan responden dilakukan dengan metode snow ball sampling. Metode ini dilakukan karena keberadaan peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah belum diketahui secara jelas. Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari peternak yang dipilih sebagai responden dengan menggunakan kombinasi dari wawancara mendalam dan daftar pertanyaan. Hasil penelitian menunjukkan 65,22% responden melakukan penangkapan, 34,78% tidak melakukan penangkapan. Teknik penangkapan menggunakan ayam pemikat dan jaring 56,67%, ayam pemikat dan racik 26,67%, ayam pemikat dan jaring/racik 13,33% dan lainnya 3,33%. Hasil tangkapan dengan menggunakan ayam pemikat dan jaring 1,44 ekor/memikat/orang, menggunakan ayam pemikat dan racik 1,25 ekor/memikat/orang. Hasil tangkapan dipelihara 26,67% dan tidak dipelihara 73,33%. Penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi perkebunan dan blending zone dengan menggunakan alat ayam pemikat dan jaring, ayam pemikat dan racik, serta tungkup. Hasil tangkapan dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. Kata kunci: Ayam hutan merah, domestikasi, teknik penangkapan. Abstract. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2015. Domestication of red jungle fowl: A case study of red junglefowl poaching by communities in North Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 207-212. The red jungle fowl is a economically important species, that growing frequency of its poaching could lead to extiction. This study aims to gather information about capturing techniques used by the local communities in North Bengkulu. The data was optained from in-depth interviews and questionnaires to selected respondents. Respondents were chosen by using snow ball sampling method because little is known about domestication of the birds. The results showed that 65.22% of respondents captured the wild birds from the forests, while the other 34.78% did not. Several techniques were used to capture the birds. These techniques include the use of decoys with net traps (56.67%), decoys with line traps (26.67%), decoys with combination of net and line traps (13.33%) and compartment traps (3.33%). The average number of wild fowls captured using a decoy and a trap was 1.44 individual per poacher and 1.25 individual per hunter using a decoy and a line trap. About 26.67% of captured wild fowls were domesticated and about 73.33% were for other purposes, including for food or being sold. In summary, the local communities living in plantation areas and forest buffer zones in North Bengkulu used a decoy and traps (net, line and compartment) to capture red junglefowls. The captured fowls were then domesticated, bred, traded or eaten. Keywords: red jungle fowl, domestication, capturing techniques
PENDAHULUAN Ayam hutan merah merupakan aset yang terkandung di dalam hutan tropis, khususnya Bengkulu. Sebagai plasma nutfah, ayam hutan merah mempunyai peran fungsi yang sangat penting baik fungsi ekonomis maupun ekologis. Fungsi ekonomis ayam hutan merah adalah sebagai hewan
buru bagi masyarakat yang mendatangkan nilai ekonomi dan sebagai sumber genetik untuk mendapatkan spesies unggas baru seperti ayam burgo (Setianto et al. 2013) dan fungsi ekologis ayam hutan merah merupakan mangsa bagi karnivora untuk kelangsungan hidup. Ayam hutan merah merupakan tetua ayam burgo (Setianto 2009a). Ayam burgo relatif banyak dipelihara
208
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
masyarakat Bengkulu (Setianto et al. 2009). Hal tersebut menjadikan ayam hutan merah menjadi aset yang vital untuk mendapatkan spesies baru, oleh karena itu penangkapan ayam hutan merah terus dilakukan. Penangkapan yang tak terkendali yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan kepunahan. Untuk itu upaya pelestarian perlu dilakukan. Penelitian tentang ayam hutan merah yang dilakukan sampai saat ini lebih banyak pada hubungan kekerabatan ayam hutan merah sebagai nenek moyang (ancestor) dari ayam-ayam yang dipelihara saat ini dan karakteristik genetik (Azmi et al. 2000; Moiseyeva et al. 2003; Sulandari et al. 2008; Sulandari dan Zein 2009; Zein dan Sulandari 2009; Dorji et al. 2012), populasi, tingkah laku dan habitat (Javed and Rahmani 2000; Arshad and Zakaria 2009; Subhani et al. 2010). Informasi dasar tentang ayam hutan merah sangat jarang, terutama informasi bagaimana cara masyarakat mendapatkan ayam hutan merah peliharaannya. Padahal masyarakat telah melakukan penangkapan ayam hutan merah untuk dipelihara sebagai kesenangan ataupun dijadikan bibit untuk menghasilkan spesies baru sebagai
ayam silangan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian guna mempelajari penangkapan ayam hutan merah yang selama ini dilakukan masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai penangkapan dan penanganan hasil tangkapan ayam hutan merah berbasis masyarakat di Bengkulu Utara. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, di Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu habitat terbesar ayam hutan merah. Ayam hutan merah terkonsentrasi pada daerah-daerah perkebunan, sehingga wilayah tersebut menjadi tempat perburuan ayam hutan merah bagi masyarakat. Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Utara adalah 4.424,60 km2. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian.
Gambar 1. Peta Kabupaten Bengkulu Utara. Tanda anak panah menunjukkan lokasi penelitian.
SETIANTO et al. – Domestikasi ayam hutan merah
Responden yang dijadikan sampel adalah peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah. Pemilihan responden dilakukan dengan metode Snow ball sampling (sampel bola salju). Metode ini dilakukan karena keberadaan peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah belum diketahui secara jelas. Tahap pertama pengambilan responden adalah mencari seorang peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah, kemudian dilakukan wawancara untuk mendapatkan informasi responden lainnya. Tahap berikutnya dilakukan pendataan responden untuk kemudian dilakukan koordinasi dan kesepakatan waktunya untuk dijadikan responden berikutnya. Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari responden yang dipilih sebagai sampel dengan menggunakan kombinasi dari wawancara mendalam (depth interview) dan mengajukan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (kuisioner). Disamping itu data juga diperoleh melalui pengamatan di lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi penangkapan ayam hutan merah, teknik penangkapan, hasil dan penanganan tangkapan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program yang telah tersedia dan dibahas secara deskritif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penangkapan ayam hutan merah Pada Tabel 1 dapat dilihat seberapa besar jumlah responden yang melakukan penangkapan (berburu) ayam hutan merah di alam. Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa dari 46 responden sebagian besar responden melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam (65,22%), sedangkan sisanya sebanyak 34,78% responden tidak melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Responden yang tidak melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam, beberapa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan maupun keahlian untuk melakukan penangkapan ayam hutan merah. Teknik penangkapan ayam hutan merah dari alam Dari uraian di atas, diketahui ada 65,22% responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Penangkapan ayam hutan merah di alam dikenal masyarakat dengan istilah memikat. Dalam melakukan penangkapan ayam hutan merah, responden menggunakan alat yang bervariasi. Untuk menangkap ayam hutan merah di alam digunakan keturunan ayam hutan merah (F1, F2) sebagai ayam pemikat, dilengkapi alat tambahan berupa jaring atau racik ataupun dengan menggunakan peralatan lainnya. Pada Gambar 2 ini dapat dilihat gambar ayam pemikat dan peralatan lain yang di pakai dalam menangkap ayam hutan merah. Gambar 2 memperlihatkan variasi dari alat yang digunakan responden untuk menangkap ayam hutan merah. Peralatan tersebut dipakai dengan mengkombinasikan ayam pemikat dengan peralatan yang lain. Kombinasi ayam pemikat dan peralatannya yang digunakan responden untuk menangkap ayam hutan merah, disajikan pada Tabel 2.
209
Pada Tabel 2 dapat dilihat dari 30 orang responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam, sebanyak 56,67% menggunakan ayam pemikat dan jaring, sebanyak 26,67% menggunakan ayam pemikat dan racik, sebanyak 13,33% menggunakan keduanya (ayam pemikat dengan jaring dan racik) dan sisanya 3,33% menggunakan peralatan lainnya (tungkup). Penangkapan dilakukan pada daerah-daerah perkebunan kelapa sawit dan karet serta daerah-daerah blending zone (peralihan antara hutan dengan lahan yang diolah masyarakat untuk pertanian dan perkebunan). Hasil tangkapan dan penanganan hasil tangkapan Teknik penangkapan akan menentukan hasil tangkapan ayam hutan merah di alam. Keberhasilan memperoleh hasil tangkapan bervariasi antara satu responden dengan responden yang lain. Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil tangkapan ayam hutan merah oleh responden. Rata-rata hasil tangkapan relatif lebih banyak diperoleh dengan menggunakan ayam pemikat dan jaring yaitu sebesar 1,44 ekor/orang/memikat atau 5,76 ekor/orang/bulan. Sedangkan penangkapan dengan menggunakan ayam pemikat dan racik diperoleh hasil 1,25 ekor/orang/mikat atau 5 ekor/orang/bulan. Ini diduga karena pada penggunaan jaring bisa menangkap lebih banyak ayam hutan merah yang terperangkap dalam jaring. Sedangkan pada penggunaan racik, hanya ayam hutan merah jantan yang bertarung dengan ayam pemikat yang bisa terperangkap dalam racik. Belum ada referensi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan. Namun demikian beberapa faktor yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan dalam menangkap ayam hutan merah sangat ditentukan oleh ayam pemikat, faktor lingkungan, keahlian peternak (pemikat), sarana yang dimiliki, waktu dan lokasi memikat. Hasil tangkapan ayam hutan merah dibawa dari hutan ke lokasi karantina atau kandang responden dengan menggunakan tas khusus, sehingga ayam hutan merah tersebut terlindungi dengan baik. Selain tas khusus untuk ayam hutan merah hasil tangkapan, untuk membawa ayam pemikat juga dipakai tas pemikat. Perbedaan keduanya adalah pada tas ayam pemikat hanya kaki yang keluar, sementara tas untuk ayam hutan merah kepala dan kaki keluar. Gambar 3 memberikan ilustrasi tas yang digunakan untuk membawa ayam pemikat dan ayam hutan merah hasil tangkapan. Hasil tangkapan ayam hutan merah tidak seluruhnya dipelihara, tetapi dijual atau dipotong. Pada Tabel 4 dapat dilihat penanganan hasil tangkapan ayam hutan merah. Menarik kita perhatikan pada Tabel 4, ternyata hanya 26,67% responden yang menangkap ayam hutan merah memelihara hasil tangkapannya. Sebagian besar (73,33%) tidak memelihara hasil tangkapannya tetapi menjual, memotong atau memberikan pada orang lain. Sedikitnya responden yang memelihara ayam hutan merah tangkapannya disebabkan tidak mudah untuk memelihara ayam hutan merah yang baru ditangkap dari alam. Ayam hutan merah yang baru ditangkap dari alam sangat liar dan sangat sulit untuk dijinakkan. Menjinakkan ayam hutan
210
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
merah liar dari alam membutuhkan perhatian ekstra, ketekunan, kesabaran dan waktu yang relatif lama. Tidak jarang ayam hutan merah yang baru ditangkap yang dipelihara dalam kandang akan berusaha keluar dengan menabrak dinding kandang. Akibatnya banyak ayam hutan
merah yang baru ditangkap mati karena kepalanya membentur dinding kandang. Ayam hutan merah yang baru ditangkap juga mudah mengalami stres, yang berujung pada menurunnya nafsu makan. Ini mengakibatkan ayam hutan merah mudah terserang penyakit.
Gambar 2. Ayam pemikat, jaring, racik dan tungkup (gambar kiri) dan suling untuk menirukan suara ayam betina (gambar kanan).
Gambar 3. Tas untuk membawa ayam pemikat (kiri) dan tas untuk membawa ayam hutan merah tangkapan (kanan)
Tabel 1. Jumlah responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Kegiatan penangkapan ayam hutan merah di alam Melakukan penangkapan Tidak melakukan penangkapan Jumlah
Responden (orang) 30 16 46
Persentase (%) 65,22 34,78 100
Keterangan Dilakukan di perkebunan dan blending zone Hanya memelihara
Tabel 2. Teknik penangkapan ayam hutan merah Teknik menangkap ayam hutan merah Ayam pemikat dan jaring Ayam pemikat dan racik Ayam pemikat, jaring dan racik Lainnya Jumlah
Responden (orang) 17 8 4 1 30
Persentase (%) 56,67 26,67 13,33 3,33 100
Keterangan Dilakukan di perkebunan dan blending zone Dilakukan di perkebunan dan blending zone Dilakukan di perkebunan dan blending zone Di daerah perkebunan
SETIANTO et al. – Domestikasi ayam hutan merah
211
Tabel 3. Rata-rata hasil tangkapan ayam hutan merah Cara penangkapan Ayam pemikat dan jaring Ayam pemikat dan racik Rata-rata Keterangan: 1) = observasi, 2) = perhitungan
Rata-rata tangkapan (ekor/memikat/orang) 1) 1,44 1,25 1,35
Rata-rata tangkapan (ekor/orang/bulan) 2) 5,76 5,00 5,38
Tabel 4. Penanganan ayam hutan merah hasil tangkapan Penangananan ayam hutan merah hasil tangkapan Dipelihara Tidak dipelihara Jumlah
Responden (orang) 8 22 30
Persentase (%) 26,67 73,33 100
Pembahasan Tidak banyak informasi ilmiah mengenai penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan 65,22% dari 46 responden melakukan penangkapan (perburuan). Tidak berbeda jauh apa yang dilaporkan Liang et al. (2013) yang melakukan penelitian perburuan terhadap jenis burung, termasuk ayam hutan merah. Dari 86 rumah tangga, 90,6% nya terlihat mempunyai hasil buruan atau memiliki setidak-tidaknya satu alat berburu. Sedangkan yang melakukan perburuan sebanyak 43%. Perburuan yang dilakukan dapat mengancam keberadaan ayam hutan merah. Akrim et al. ( 2015) mengemukakan bahwa ancaman utama terhadap ayam hutan merah adalah pengambilan telur dan perburuan. Pada penelitian ini, diketahui bahwa lokasi penangkapan oleh masyarakat dilakukan di daerah perkebunan dan blending zone. Daerah tersebut, merupakan daerah dimana terdapat banyak ayam hutan merah. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan Subhani et al. (2010) bahwa habitat ayam hutan merah terdapat di hutan dan semak belukar. Lebih lanjut Javed and Rahmani (2000) mengemukakan bahwa ayam hutan merah lebih banyak didapatkan pada hutan campuran. Arshad and Zakaria (2009) mengemukakan bahwa ayam hutan merah senang bertengger pada cabang-cabang pohon. Pada malam hari mereka naik ke cabang pohon untuk bertengger. Penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat menggunakan ayam pemikat dengan kombinasi jaring, racik ataupun tungkup. Penggunaan alat tersebut menjadi kebiasaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Ini berbeda dengan penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat lain. Aiyadurai (2012) mengemukakan perburuan dilakukan dengan perangkap (perangkap bilah bambu, perangkap kanopi, perangkap batu, perangkap segi tiga), ketapel dan senapan. Hal sama dikemukakan Liang et al. (2013) yang mengatakan perburuan menggunakan senapan, senapan angin dan perangkap. Cara yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian menghasilkan ayam hutan merah yang masih hidup, sehingga ada peluang untuk dikembangkan dan dilakukan konservasi.
Keterangan Untuk dikawinsilangkan Dijual, dipotong, diberikan pada orang lain
Jumlah ayam hutan merah yang ditangkap bervariasi. Tidak banyak informasi hasil penelitian tentang jumlah tangkapan ayam hutan merah. Liang et al. (2013) dalam penelitian tentang perburuan menemukan 11 ayam hutan merah hasil perburuan. Ayam hutan merah yang baru ditangkap sangat liar. Oleh karena itu tidak banyak yang memelihara hasil tangkapannya. Sifat liar ayam hutan merah ini juga ditemukan pada keturunan ayam hutan merah, walaupun telah dipelihara dengan baik sejak ditetaskan (Brisbin and Peterson 2007). Ayam hutan merah yang dipelihara oleh masyarakat untuk dikawinsilangkan guna memperoleh keturunan baru yang relatif tidak liar dan bisa dimanfaatkan secara ekonomi (Setianto 2013). Keturunan ayam hutan merah di Bengkulu disebut ayam burgo (Setianto 2010). Keturunan ayam hutan merah yang jantan (ayam burgo jantan) dikembangkan menjadi ayam hias (Setianto 2012) dan ayam pemikat (Setianto et al. 2014). Sedangkan ayam burgo betina sebagai ayam petelur (Setianto dan Warnoto 2010). Ini mengingat jumlah produksi telurnya yang relatif banyak dibanding ayam kampung (Setianto 2009b; Warnoto dan Setianto 2009). Hasil perburuan ayam hutan merah dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. Sementara itu Liang et al. (2013) mengatakan hasil perburuan dijual dan dikembangkan. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi perkebunan dan blending zone dengan menggunakan alat ayam pemikat dan jaring, ayam pemikat dan racik, serta tungkup. Hasil tangkapan dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. UCAPAN TERIMA KASIH Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai melalui skema Hibah Unggulan Universitas Bengkulu. Untuk itu tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada Universitas Bengkulu.
212
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
DAFTAR PUSTAKA Aiyadurai A. 2012. Bird hunting in Mishmi Hills of Arunachal Pradesh, north-eastern India. Indian BIRDS. 7 (5) : 134-137. Akrim F, Awan MS, Mahmood T, Anjum M Z, Qasim S, Khalid J, Shahwar D, Andleeb S. 2015. Threats to Red Junglefowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, District Bhimber, Azad Jammu and Kashmir, Pakistan. Ann Res Rev Biol 6 (1): 59-65 Arshad MI, Zakaria M. 2009. Roosting habits of Red Junglefowl in Orchard Area. Pak J Life Soc Sci 7 (1):86-89. Azmi M, Ali AS, Kheng WK. 2000. DNA fingerprinting of red jungle fowl, village chicken and broilers. Asian-Aus J Anim Sci 13 (8):10401043. Brisbin IL, Peterson AT. 2007. Playing chicken with red junglefowl: identifying phenotypic markers of genetic purity in Gallus gallus. Anim Conserv 10 (4): 429-435. Dorji N, M Duangjinda, Y Phasuk. 2012.Genetic characterization of Bhutanese native chickens based on an analysis of Red Junglefowl (Gallus gallus gallus and Gallus gallus spadecieus), domestic Southeast Asian and commercial chicken lines (Gallus gallus domesticus). Genetics and Molecular Biology 35 (3) 603-609. Javed S, A R Rahmani. 2000. Flocking and habitat use pattern of the Red Junglefowl Gallus gallus in Dudwa National Park, India. Tropical Ecology 41 (1): 11-16 Liang W, Y Cai, CC Yang. 2013. Extreme levels of hunting of birds in a remote village of Hainan Island, China. Bird Conserv Intl. 23: 45-52 Moiseyeva IG, M N Romanov, AA Nikiforov, AA Sevastyanova, SK Semyenova. 2003. Evolutionary relationships of Red Jungle Fowl and chicken breeds. Genet Sel Evol 35: 403–423. Setianto J, 2009a. Ayam Burgo : Ayam Buras Bengkulu. PT Penerbit IPB Press, Bogor. Setianto J, 2009b. Increasing the egg weight of burgo chicken offspring through cross-mating between burgo chicken with native chicken. Proceeding The 1st International Seminar on Animal Industri 2009 ”Sustainable Animal Production for Food Security and Safety. IPB Bogor. I : 262 -264. Setianto J. 2010. Sumber Daya Hayati Ayam Burgo Bengkulu : Karakteristik Fenotipe, Populasi, Performa Reproduksi, Performa Produksi dan Potensi Pengembangannya. Makalah Kenaikan Jabatan ke Guru Besar di Rapat Senat Universitas Bengkulu.
Setianto J. 2012. Peran Ayam Lokal dan Potensi Ayam Burgo Dalam Menyediakan Bahan Pangan Protein Hewani. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Bengkulu. Setianto J. 2013. Potensi dan Strategi Pengembangan Ayam Burgo. Prosiding Seminar Nasional Peternakan : Potensi Sumber Daya Ternak Lokal Untuk Membangun Kemandirian Pangann Hewani dan Kesejahteraan Masyarakat. Padang. I : 15 – 20. Setianto J, Warnoto. 2010. Performa Reproduksi dan Produksi Ayam Burgo Betina. Penerbit UNIB PRESS, Bengkulu. Setianto J, Warnoto, Nurmeiliasari. 2009. The phenotype characteristic, population and the environment of Bengkulu’s burgo chicken. Proceeding International Seminar ”The Role and Application of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products” Bukittinggi, West Sumatra, I : 16 – 23. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2013. Dinamika Populasi Ayam Burgo dan Strategi Pengembangannya di Bengkulu. [Laporan Penelitian]. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2014. Kajian Domestikasi Ayam Hutan Merah Berbasis Masyarakat Serta Strategi Pengembangannya di Bengkulu. [Laporan Penelitian]. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Subhani A, Awan MS, Anwar M, Ali U, Dar NI. 2010 Population status and distribution pattern of red jungle fowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, Azad Jammu & Kashmir, Pakistan: A pioneer study. Pakistan J Zool 42 (6): 701-706. Sulandari S, MSA Zein. 2009. Analisis D-loop DNA mitokondria untuk memposisikan ayam hutan merah dalam domestikasi ayam di Indonesia. Media Peternakan 32 (1): 31-39. Sulandari S, Zein MSA, Sartika T. 2008. Molecular characterization of Indonesian indigenous chickens based on mitochondrial DNA displacement (D)-loop sequences. HAYATI J Biosci 15 (4):145-154. Warnoto, Setianto J. 2009. The characteristic of egg production and reproduction of crossmating offspring between burgo chicken with native chicken. Proceeding International Seminar “ The Role and Aplication of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products”, Bukittinggi, West Sumatra. I:24-30. Zein MSA, Sulandari S. 2009. Investigasi asal usul ayam Indonesia menggunakan sekuens hypervariable-1 D-loop DNA mitokondria. Jurnal Veteriner 10 (1):41-49.