12
PENGAMBILAN HUMUS HUTAN OLEH MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo) FOREST HUMUS HARVESTING BY THE PEOPLE (Case Study in Kuta Gugung Village, Simpang Empat Sub‐District, Karo Regency) Bobby Nopandry1, Zainal Abidin Pian2, dan Rahmawaty3 1
2
BKSDA Unit 2 Prop. Papua, Unit Manajemen Leuser, 3 Jur. Kehutanan FP USU Abstract
The objectives of this study were to describe and identify type of activities and actors who involved in the process of forest humus harvesting by people, begin with harvesting from inside the forest, transportation until the distribution and marketing. This case study also tried to find out the motivation of people in doing those activities. This is a case study in Kuta Gugung Village, Simpang Empat Sub‐ District, Karo Regency. There are five main activities: humus harvesting, packing, transportation, and distribution to consumer. Those activities can be classified into three stages on characteristic and time schedule of activities. The actors who were involved along the process are: consumer (farmer), capital owner, and humus harvester. As reason of harvesting, it was found that there are two groups of motivation of forest harvesting by people: general and special motivation. General motivation of humus harvesting is a motivation influencing many types of forest destruction in Indonesia: population growth and declining of agricultural land so the farmer try to have profit as much as possible from smaller land, including using forest humus as an intensification effort; less employment has caused forest humus harvesting become an interesting work; and less people’s awareness on important meaning of forest. Based on observation and data analysis, special motivation of forest humus harvesting are: economics motivation, stock in field and people perception on the necessity to use forest humus in agricultural land. Keywords: farmer, forest humus, motivation, agricultural land, humus harvester. Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi bentuk kegiatan dan pelaku yang terlibat dalam proses pengambilan humus hutan oleh masyarakat, mulai dari pengerukan di dalam hutan, pengangkutan, sampai distribusi dan pemasaran. Studi kasus ini juga bertujuan menemukan motivasi yang mendorong masyarakat mengambil humus. Studi kasus ini dilaksanakan di Desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat, Kab. Karo. Sebagai hasil diketahui terdapat lima kegiatan dalam pengambilan humus hutan oleh masyarakat, yaitu pengerukan humus, pengepakan, penyaradan, pengangkutan, dan distribusi kepada pemakai. Kelima kegiatan ini dikelompokkan ke dalam tiga tahapan (stages) berdasarkan karakteristik kerja dan waktu kegiatan. Pelakunya: petani pemakai, pemilik modal (tauke), dan pengambil humus. Motivasi terbagi dua, motivasi umum dan khusus. Motivasi umum pengambilan humus dikaji berdasarkan alasan umum kerusakan hutan di Indonesia, yaitu: pertumbuhan penduduk dan menyempitnya lahan pertanian yang menyebabkan petani berusaha memperoleh hasil sebesar‐besarnya dari lahan yang sempit, termasuk menggunakan humus hutan sebagai upaya intensifikasi; kurangnya lapangan kerja yang menyebabkan pengambilan humus hutan menjadi salah satu pekerjaan yang dianggap menjanjikan; dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti penting hutan. Berdasarkan pengamatan dan analisis data, motivasi khusus meliputi: motivasi ekonomi, ketersediaan bahan di lapangan, dan pandangan masyarakat tentang keharusan penggunaan humus di lahan pertanian. Kata kunci: petani, humus hutan, motivasi, lahan pertanian, pengambil humus.
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat... 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sasaran konservasi yang berkaitan erat dengan berhasilnya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga) (Hardjasoemantri, 1993). Mempertahankan fungsi hutan sebagai bagian dari sistem biogeofisik tentu saja adalah dengan mempertahankan fungsi setiap komponen hutan untuk dapat berjalan sebagaimana mestinya. Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara tanah. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat yang telah terjadi beberapa tahun belakangan ini di Kawasan Ekosistem Leuser di Kab. Karo, Kab. Dairi, dan Kab. Deli Serdang adalah sebuah fenomena unik dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kendati bukan berupa kegiatan pembukaan wilayah hutan, pengambilan humus hutan dapat memberikan dampak ekologis yang cukup berarti dalam proses alam. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat merupakan gangguan terhadap kestabilan fungsi hutan. Berbagai dampak kelak di kemudian hari akan timbul bila permasalahan ini tidak pernah diselesaikan dengan pendekatan dan tinjauan yang ilmiah. Tinjauan ilmiah permasalahan ini mencakup hampir semua bidang kehutanan, meliputi aspek sosial budaya, ekonomi, ekologis (dalam hal studi pengaruh pengambilan humus terhadap ekosistem), perencanaan, sampai pada aspek kebijakan. Untuk itulah diperlukan kajian yang ilmiah mengenai deskripsi yang jelas untuk menerangkan pola kerja kegiatan pengambilan humus oleh masyarakat tersebut. Penelitian ini adalah upaya untuk mengetengahkan deskripsi teknis pengambilan humus hutan oleh masyarakat di Desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat, Kab. Tanah Karo. Menurut Unit Manejemen Leuser/UML (1997) untuk setiap harinya tidak kurang dari 12 ton humus diangkut dari hutan yang diambil secara liar di desa ini. Diharapkan, pada penelitian ini akan dapat diketahui pola teknis pengambilan sampai pada pemasaran humus
hutan sehingga akan dapat dikaji cara penanganan masalah ini pada masa‐masa yang akan datang. Tujuan 1. Mendeskripsikan dan menginventarisasi bentuk‐bentuk kegiatan dan pelaku yang terlibat dalam proses pengambilan humus oleh masyarakat setempat di hutan oleh masyarakat Desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat, Kab. Karo, dimulai dari teknis pengambilan dari dalam hutan, pengangkutan, sampai pada distribusi dan pemasarannya. 2. Mengetahui motivasi masyarakat Desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat, Kab. Karo melakukan pengambilan humus dari dalam hutan. BAHAN DAN METODE Keadaan Umum Lokasi Desa Kuta Gugung yang merupakan lokasi penelitian secara geografis berada pada koordinat 03o11’ ‐ 03o12’ bujur timur 98o22’ ‐ 98o24’ lintang utara (UML, 1997). Desa ini secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kec. Simpang Empat, Kab. Karo, Prop. Sumut. Berada sekitar 17 km dari ibu kota kecamatan dan 27 km dari ibu kota kabupaten (Kabanjahe). Letak desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Wisata Deleng Lancuk yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sehingga desa ini dapat dikatakan sebagai daerah penyangga TNGL (Buffer Zone). Keberadaan Danau Lau Kawar dalam wilayah administratif desa yang berada di daerah lembah menjadikan daerah ini sebagai area tangkapan air (catchment area), sebagai sumber air minum (melalui mata air yang dialirkan dengan menggunakan pipa) dan keperluan perikanan dan pertanian untuk 4 desa (Kutagugung, Sigarang‐garang, Sukanalu, dan Naman) yang berada dalam wilayah Kec. Simpang Empat (UML, 1997). Terdapat 3 suku yang mendiami desa ini, yaitu suku Karo, Jawa, dan Nias. Keseluruhan jumlah penduduk sekitar 530 jiwa terbagi dalam 153 kepala keluarga (KK). Suku mayoritas adalah suku Karo, sehingga bahasa pengantar sehari‐hari yang umum dipakai adalah bahasa Karo. Selain penduduk asli, di desa ini juga terdapat pendatang yang mencari penghidupan baru sebagai buruh tani atau pemilik lahan pertanian dengan membuka lahan atau membeli lahan dari penduduk setempat, khususnya di dusun Lau Kawar. Sejak tahun 1991 banyak pendatang
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
14
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
dari Nias bermukim dan mencari penghidupan di Kuta Gugung sebagai buruh tani (UML, 1997). Sebagaimana umumnya desa‐desa di Kab. Karo, di Desa Kuta Gugung perekonomian utama ditopang oleh pertanian. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani (300 jiwa), sedangkan yang lainnya sebagai PNS (3 jiwa), dan berdagang (7 jiwa). Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di sekitar lokasi Danau Lau Kawar di wilayah Desa Kuta Gugung dan wilayah hutan di sekitarnya; Hutan Wisata Deleng Lancuk dan Hutan Lindung Gunung Sinabung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2003 sampai dengan bulan November 2003, yang meliputi penyusunan usulan penelitian, survai dan pengumpulan data, hingga pengolahan data secara kuantitatif dan kualitatif. Populasi dan Sampel Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Metode Studi Kasus (Case Study). Pemilihan metode ini didasarkan pada kasus penelitian (pengambilan humus) yang terfokus pada sifat tertentu yang tidak berlaku umum. Pemilihan sampel dalam mendeskripsikan kegiatan dan pola pengambilan humus hutan oleh masyarakat sampai pemasaran dilaksanakan dengan metode purposive atau disengaja. Jumlah contoh yang diambil dan teknik pengambilannya adalah subjektif, yaitu menurut keperluan dan sesuai dengan data yang diinginkan, sedangkan untuk mengamati motivasi pengambilan humus oleh masyarakat diambil sampel sebesar 50 KK penduduk desa yang dibagi ke dalam tiga dusun. Untuk menyebarkan pengambilan sampel digunakan pembobotan berdasarkan jumlah KK di setiap dusun. Pengambilan Data Untuk mendapatkan data mengenai deskripsi kegiatan dan pola pengambilan humus oleh masyarakat sampai pada pemasarannya digunakan pendekatan melalui wawancara mendalam (depth interview) dan pengamatan lapangan (observasi). Pengamatan terhadap motivasi yang mendorong masyarakat melakukan pengambilan humus dari dalam hutan dan data‐ data penggunaan humus hutan di lahan pertanian penduduk dilakukan dengan penyebaran kuisioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Pengambilan Humus Hutan di Sekitar Desa Kegiatan dalam Proses Pengambilan Humus Pada proses pengambilan humus hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa Kuta Gugung maupun oleh masyarakat dari luar desa terdapat 5 kegiatan utama, yaitu: 1. Pengerukan Pengerukan dilaksanakan oleh pengambil humus secara manual menggunakan cangkul. Bagian yang dikeruk adalah lapisan paling atas tanah hutan yang berwarna gelap termasuk serasah yang belum terdekomposisi tetapi sudah mulai membusuk. Pada proses ini pemilahan dilakukan untuk memisahkan bahan‐bahan kayu yang tercampur dan serasah baru yang belum membusuk. Batas tanah yang dikeruk apabila sudah sampai pada bagian yang keras dan berbulir. Berdasarkan pembagian ordo tanah, bagian yang diambil sebagai pupuk organik dan dianggap sebagai ‘humus’ hutan oleh masyarakat adalah lapisan tanah ordo O (Oi dan Oa) dan ordo A. 2. Pengepakan Pengepakan atau pengemasan humus hutan yang diambil umumnya menggunakan karung plastik bekas kemasan beras atau pupuk berukuran 20 kg. Para petani dan pengambil humus biasanya menyebut satuan pengemasan ini sebagai ‘goni’. Setiap goni dapat menampung volume humus hutan sekitar 0,024 m3. Dengan perhitungan tersebut maka dibutuhkan sekitar 27 goni untuk tiap m2 lahan dikeruk atau 41,6 goni untuk tiap m3 humus yang diambil. 3. Penyaradan dan pengangkutan keluar hutan Penyaradan dan pengangkutan keluar hutan adalah kegiatan pemindahan humus hutan yang telah dikemas dengan goni dari lokasi pengerukan ke tepian hutan. Proses ini dilaksanakan secara manual dengan tenaga manusia. Pemindahan dilakukan dengan cara dipanggul untuk medan menanjak. Untuk lokasi menurun dan berlereng curam humus dipindahkan dengan cara menjatuhkan dan atau disarad seperti yang umum terjadi di lokasi pengerukan sekitar Danau Lau Kawar. Berdasarkan pengamatan lapangan, di sekeliling Danau Lau Kawar saat ini sedikitnya terdapat 3 (tiga) jalur sarad humus yang masih digunakan sampai akhir masa pengamatan (bulan November 2003). 4. Pengangkutan Pengangkutan merupakan proses pemindahan humus hutan yang sudah dikemas dari tepi hutan
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
15
menuju tempat penimbunan. Di lokasi penelitian, langsung menggunakan humus di lahan berdasarkan pengamatan, pengangkutan dapat pertaniannya. Adapun pengangkutan ke rumah berjalan dalam satu tahap atau beberapa tahap. pemilik terjadi apabila pemilik humus berkeinginan Pada beberapa kejadian, humus dapat melewati menyimpan humus untuk digunakan di lain waktu lebih dari satu tahap pengangkutan. Hal ini terjadi atau terjadi karena si pemilik sekaligus merupakan disebabkan kondisi lapangan yang berpengaruh tauke humus yang ingin mendistribusikan kepada kepada jenis angkutan dan jauh ‐ dekatnya lokasi petani lain yang membutuhkan. akhir tempat penimbunan pemilik humus. 5. Distribusi kepada pemakai Pada pengambilan humus di sekitar danau Lau Distribusi kepada pemakai merupakan fase Kawar, pengangkutan pertama kali dilakukan kegiatan proses pengambilan humus yang dengan menggunakan rakit bambu menyeberangi melibatkan pemodal ataupun pengambil danau dari tepian hutan menuju tepi jalan yang perorangan yang bersifat komersial. Pada kegiatan dapat dilalui mobil. Setelah itu, ini biasanya tidak pernah melibatkan mata rantai kerbau atau mobil ‘pick up’ menuju lokasi distribusi ketiga. Sudah umum terjadi mata rantai penimbunan. Lokasi penimbunan yang umum distribusi hanya tauke (atau pengambil humus adalah di ladang pemilik atau rumah pemilik yang sekaligus pemilik humus) dan petani pemakai humus. saja. Artinya proses distribusi berjalan langsung Untuk pengambilan humus di hutan yang bukan di antara penjual kepada pembeli. Dalam hal ini sekeliling danau, pengangkutan langsung pembeli merupakan pemakai. dilaksanakan dengan memakai kereta kerbau atau Dari jenis‐jenis kegiatan tersebut, apabila dibagi ke mobil pengangkut. Tujuan pengangkutan biasanya dalam klasifikasi pentahapan kegiatan berdasarkan juga adalah lokasi penimbunan seperti; ladang karakteristiknya maka secara umum langkah‐ pemilik, dan rumah pemilik (termasuk jika si langkah pengambilan humus hutan yang terjadi di pengambil humus sekaligus merupakan pemilik hutan sekitar desa Kuta Gugung dapat humus). digambarkan oleh skema pada Gambar 1. Pengangkutan langsung ke ladang pemilik biasanya dilakukan dengan alasan pemiliknya ingin Arah arus fisik Lahan Penumpuk Pertani Huta Penyimpan Pengerukan Penyaradan Distribusi dan dan humus pengepaka pengangkuta sampai ke n humus n humus lahan Produktivitas pertanian Menggunaka 25 –30 goni Termasuk n rakit, /orang/hari kegiatan gerobak Menggunak penjualan kerbau, mobil k l dari tauke Dari dalam Stage I Stage II Stage III Gambar 1. Tahapan kegiatan pengambilan humus hutan di desa Kuta Gugung Keterangan: 1. Tahap/Stage I : Kegiatan pengerukan dan pengepakan. 2. Tahap/Stage II: Kegiatan penyaradan dan pengangkutan ke luar hutan dan ke penimbunan. 3. Tahap/Stage III: Kegiatan distribusi kepada pemakai. (Untuk pengambilan oleh petani yang dipergunakan sendiri/ nonkomersial, tahap III dilewati) Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
16
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
Pelaku Pengambilan dan Pemanfaatan Humus Hutan Pelaku yang berperan dalam pengambilan dan pemanfaatan humus hutan di desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat, Kab. Karo adalah: 1. Petani Petani merupakan pemakai utama dalam pemanfaatan humus hutan. Kelompok petani yang dimaksud adalah masyarakat desa Kuta Gugung sendiri maupun petani yang berasal dari desa lainnya. Biasanya, petani yang berada di desa Kuta Gugung melakukan pengambilan humus dengan sistem pemesanan kepada pengambil humus atau mengambil sendiri secara perorangan maupun kelompok. Adapun petani dari luar desa memperoleh humus hutan dari hutan sekitar desa Kuta Gugung dengan cara membeli kepada pengambil humus perorangan atau tauke pemodal. 2. Pengambil Humus Kelompok ini pelaku yang melakukan pengerukan di dalam hutan baik secara perorangan maupun berkelompok. Pengambil humus juga sebutan untuk petugas sarad dan pengangkut dengan rakit karena masih merupakan bagian dari kelompok pekerja pengambil humus secara keseluruhan. Pengambil humus dapat dibagi menjadi dua: (1) pengambil humus perorangan yang bekerja berdasarkan kebutuhan sendiri (merangkap petani) atau melakukan pengambilan untuk dijual dan (2) pengambil humus yang bekerja untuk orang lain (pemodal/ tauke) yang bekerja dengan sistem upahan. Kelompok kedua pengambil humus, tersebut biasanya terdiri dari satu tim dengan pembagian tugas di lapangan yaitu: pengeruk humus (sekaligus bertugas mengemas/mengepak ke dalam goni), penyarad, dan pengangkut. 3. Tauke/ Pemodal Tauke atau pemodal merupakan tokoh yang membiayai pengambilan humus hutan dalam jumlah besar untuk keperluan dijual kembali dan/atau untuk digunakan di lahan miliknya sendiri dengan sistem mengupah pekerja. Biasanya, pemodal ini merupakan orang yang berasal dari luar desa Kuta Gugung, karena masyarakat Kuta Gugung memiliki suatu konsensus yang melarang masyarakatnya menjual humus kepada orang lain di luar desanya. Pemasaran dan Pola Pemakaian Sebagian besar (80%) responden mengakui pernah memakai humus hutan pada
lahan pertanian masing‐masing. Dari jumlah responden yang memanfaatkan humus tersebut, 40% mengaku menggunakan humus satu kali setiap tahun, 20% dua kali setahun, 25% tiga kali setahun, dan 15% lebih dari tiga kali setahun. Perbedaan durasi pemakaian ini didasarkan kepada pengetahuan penduduk akan perbedaan kebutuhan dan perbedaan masa tanam setiap komoditas yang ditanam. Sebagai contoh, untuk tanaman kentang biasanya petani akan menggunakan sebanyak 50 – 100 goni per hektar setiap penanaman. Adapun untuk tanaman tomat dan cabai dibutuhkan sekitar 100 goni per hektar dengan durasi waktu 3 – 4 kali setiap tahun. Untuk tanaman sekali panen seperti kentang, kol, sawi, jagung, dan daun bawang, humus diberikan setiap awal masa tanam. Artinya untuk jenis tanaman semusim masyarakat membutuhkan humus dengan frekuensi 2 – 3 kali setahun. Untuk tanaman tahunan seperti kopi, jeruk, dan sun kis humus diberikan dalam jangka waktu tertentu, bervariasi menurut kemampuan ekonomi dan keinginan petani. Demikian juga untuk tanaman‐ tanaman semusim berusia panjang seperti cabai dan tomat yang dipanen beberapa kali dalam setahun. Variasi jangka waktu pemberiannya antara 1 bulan sekali sampai 4 bulan sekali. Harga jual yang umum untuk satu goni (ukuran karung beras 20 kg) adalah berkisar Rp 3000 – Rp 4000 bergantung pada jauh dekatnya lokasi pengambilan. Menurut sebagian besar masyarakat pekerjaan pengambilan humus tidak mengenal kerugian, karena berapa pun humus yang berhasil diperoleh tidak pernah tidak laku. Apabila pada suatu saat humus yang telah diambil tidak langsung dipergunakan, persediaan tersebut dapat disimpan sampai waktu yang tidak terbatas untuk kemudian dapat dipergunakan lagi. Motivasi Pemanfaatan Humus Hutan Oleh Masyarakat Motivasi Umum Kerusakan Hutan Motivasi umum terjadinya fenomena pengambilan dan penggunaan humus hutan oleh masyarakat di desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat Kab. Karo dapat dibahas dari sudut pandang kenyataan, bahwa kejadian ini juga merupakan salah satu bentuk perusakan hutan. Sebelumnya, sudah banyak kajian mengenai penyebab‐penyebab terjadinya perusakan yang menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Adapun motivasi khusus terjadinya pengambilan humus hutan di
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
lokasi penelitian kami bahas dalam bagian lain pada bab ini. Menurut Salim (1997) ada lima faktor penyebab kerusakan hutan: 1. Bertambahnya penduduk yang sangat pesat; 2. Berkurangnya tanah pertanian, disertai keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan; 3. Perladangan berpindah‐pindah; 4. Sempitnya lapangan pekerjaan; 5. Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya fungsi hutan. Dalam kajian kasus pencurian humus yang menjadi objek penelitian, dari kelima faktor tersebut, terdapat beberapa faktor yang berkaitan langsung dengan kegiatan ini. 1. Pertambahan penduduk yang sangat pesat juga terjadi di wilayah pedesaan, dengan demikian yang terjadi selanjutnya adalah kebutuhan lahan pertanian yang semakin bertambah. Pada keadaan ini, masyarakat yang pada saat ini sudah memiliki pengetahuan dasar mengenai beberapa kawasan konservasi yang tidak boleh dikelola akibat pembatasan pemerintah lebih menekankan upaya intensifikasi lahan pertanian, dengan lahan yang sempit berupaya memperoleh hasil yang maksimal dengan berbagai upaya. Salah satu upaya adalah introduksi sebanyak‐banyaknya bahan yang dianggap akan membantu kesuburan lahan, termasuk memanfaatkan humus hutan. 2. Pengambilan humus sebagaimana telah dijelaskan merupakan kegiatan yang tidak mengenal kerugian akibat ‘komoditi’ ini memiliki jaminan laku terjual. Berkurangnya lahan pertanian tentunya akan mengakibatkan kurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa. Oleh karena itu peluang mendapatkan penghasilan melalui jasa penjualan dan pengambilan humus hutan juga menjadi tawaran yang menarik bagi beberapa (bahkan banyak) angkatan kerja produktif di desa‐desa, baik sebagai mata pencaharian utama maupun sambilan. 3. Keadaan kemudian didukung oleh kurangnya kesadaran masyarakat memperhatikan arti penting fungsi hutan. Mengenai sah atau tidaknya pengambilan humus, berdasarkan kuesioner, 62% responden (di mana 80% dari sampel yang sama menggunakan humus di lahan pertanian mereka) menyatakan mengetahui bila pengambilan humus hutan merupakan tindakan yang ilegal. Namun demikian, pengambilan humus tetap terjadi
17
juga. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat cenderung mengabaikan arti penting fungsi hutan. Motivasi Khusus Motivasi khusus pengambilan dan pemanfaatan humus hutan di lokasi penelitian merupakan alasan‐alasan khusus berkaitan dengan persepsi masyarakat dan berbagai faktor pendukung lainnya yang menyebabkan masyarakat memanfaatkan humus hutan di lahan pertanian. Motivasi Ekonomi Masyarakat desa Kuta Gugung diduga telah mengenal penggunaan humus hutan sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Menurut beberapa responden, pemakaian humus hutan telah dilakukan oleh petani pada tahun 1970‐an. Namun, sebagian responden lain mengatakan bahwa maraknya penggunaan humus bermula sejak kenaikan harga pupuk yang beredar di pasaran sejak bergulirnya reformasi. Perubahan harga barang, termasuk pupuk, sangat mempengaruhi keadaan ekonomi petani. Meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok menjadikan petani merekayasa pengelolaan lahan pertanian dengan bahan baku yang relatif lebih murah. Dalam keadaan ini, pemanfaatan humus hutan dipandang sebagai alternatif terbaik menggantikan pupuk komersial yang biasa digunakan. Karena selain dapat diperoleh dengan harga yang jauh lebih murah, humus hutan yang telah dikenal masyarakat sejak beberapa waktu lalu dianggap memiliki beberapa keunggulan. Di antara keunggulan yang dipercaya oleh masyarakat dimiliki humus hutan adalah: 1. Humus hutan dianggap sebagai bagian dari tanah sehingga introduksi ke dalam lahan pertanian dipercaya tidak akan meracuni tanah kendati diberikan dalam dosis tinggi; 2. Masyarakat meyakini bahwa pemanfaatan humus hutan dapat menyegarkan kembali kondisi lahan pertanian yang telah diperas dalam penggunaannya selama ini; 3. Masyarakat meyakini pengambilan humus dari sekitar desa untuk kebutuhan lahan pertanian mereka yang relatif memiliki jarak yang berdekatan tidak akan memberi dampak merugikan yang signifikan karena humus yang dipindahkan masih berada pada radius areal yang sama. Mengenai motivasi perekonomian, menurut Rifai (1986), adakalanya problema perusakan lingkungan terjadi akibat langsung
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
18
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
akumulasi kekayaan, tetapi adakalanya pula ia merupakan akibat dari kurang berkembangnya ekonomi, atau dari kegagalan untuk menyelenggarakan reform yang memungkinkan hubungan yang lebih baik antara manusia dan lingkungannya. Sudah lama dipahami bahwa masalah lingkungan hidup yang dihadapi negara berkembang banyak ditimbulkan oleh kemiskinan yang memaksa rakyat merusak lingkungan alam. Pilihan lain sebagai sumber pendapatan yang lebih baik (dengan tidak merusak lingkungan) kurang tersedia bagi rakyat kecil yang tidak memiliki pendidikan atau keterampilan (Salim, 1995). Guncangan ekonomi yang terjadi di awal masa reformasi yang melambungkan harga, termasuk pupuk, dipertemukan dengan keadaan ketersediaan humus hutan di hutan sekitar desa, maka, yang terjadi adalah peralihan orientasi umum masyarakat tentang penggunaan pupuk di lahan pertanian. Kedua situasi tersebut ditambah lagi kenyataan pengetahuan penggunaan humus di lahan pertanian sebelumnya, menjadikan pemanfaatan humus sebagai solusi terbaik menyambung hidup bagi sebagian besar masyarakat. Namun demikian, setelah masyarakat terbiasa memanfaatkan humus hutan, pendapatan yang mereka peroleh sama sekali tidak mempengaruhi durasi pemakaian. Ketersediaan Bahan Sebenarnya, dari hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat tidak hanya mengenal humus hutan atau tanah kerangen sebagai satu‐ satunya pupuk organik. Menurut mereka bahan‐ bahan yang juga dapat dipergunakan sebagai pupuk organik meliputi kotoran hewan (pupuk kandang) dan kompos buatan. Namun kedua bahan tersebut lebih sulit didapat dan memiliki harga lebih mahal. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa 84% responden berpendapat humus hutan dapat digantikan dengan bahan lain seperti pupuk kandang dan sampah‐sampah organik. Selain itu, 64% responden juga mengaku menguasai teknik pembuatan kompos dari sampah organik dan 36% mengaku tidak tahu. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa ketersediaan dan kemudahan memperoleh humus hutan juga merupakan salah satu faktor yang memotivasi masyarakat memanfaatkan humus. Pembuatan kompos 1. dipandang membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih besar daripada sumberdaya dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh humus. Adapun
mengenai pupuk kandang, tidak semua petani dapat memperolehnya disebabkan kepemilikan ternak. Dari kuisioner juga diketahui 66% responden berpendapat ketersediaan humus hutan di sekitar desa mencukupi, bahkan sampai 5 tahun ke depan dan hanya 34% yang berpendapat tidak cukup. Hal ini menguatkan motivasi ketersediaan barang dalam pemanfaatan humus hutan oleh masyarakat desa Kuta Gugung. Persepsi Masyarakat Mengenai Keharusan Penggunaan Humus Hutan di Lahan Pertanian Motivasi lain pengambilan humus hutan di desa Kuta Gugung adalah pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat berkenaan dengan masalah teknis pupuk dan pemupukan. Sebagian besar responden (74%) berpendapat bahwa pemupukan lahan dengan menggunakan pupuk komersil (kimia) tidak mencukupi, sedangkan 24% menganggap penggunaan pupuk kimia saja sudah mencukupi, dan 2% responden berpendapat tidak tahu. Selain itu, sebanyak 80% responden berpendapat apabila humus tidak dipergunakan di lahan pertanian maka hasil yang akan diperoleh akan menurun dan hanya 16% yang berpendapat humus tidak memberi pengaruh pada hasil yang diperoleh. Adapun sisanya, 4% berpendapat tidak tahu. Humus diyakini oleh masyarakat sebagai bahan organik terbaik yang dapat mengembalikan kualitas tanah yang selama ini telah ditanami. Bahkan, dilihat dari data yang tersedia, persepsi yang kemudian berkembang secara luas di dalam masyarakat adalah suatu keharusan mutlak untuk mempergunakan humus hutan pada lahan pertanian. Sehingga yang terjadi adalah suatu perilaku kolektif masyarakat yang melibatkan semua unsur dan tingkatan sosial untuk menyediakan komoditi ini di pasaran. Keadaan ini kemudian dipertemukan dengan motivasi‐motivasi umum dan khusus lainnya (yang sudah dibahas di atas), menjadikan fenomena pengambilan dan pemanfaatan humus hutan menjadi suatu sistem yang cukup kompleks di mana faktor‐faktor pendukung dan utamanya saling terkait satu sama lain. KESIMPULAN Proses kegiatan pengambilan humus di desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, terdiri dari lima (5) kegiatan utama, yaitu: pengerukan humus, pengepakan, penyaradan,
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343
Pengambilan Humus Hutan Oleh Masyarakat...
2.
3.
4.
pengangkutan, dan distribusi kepada pemakai. Kegiatan‐kegiatan ini dibagi dalam tiga tahapan (stage) kerja. Pencurian humus dan pemanfaatannya pada lahan pertanian melibatkan beberapa pemain di antaranya: petani sebagai pemakai utama, pengambil humus yang bisa merangkap sebagai petani, dan pemodal atau tauke yang biasanya berasal dari desa lain. Dalam hal teknis pengambilan humus hutan, terdapat dua kategori pengambilan untuk mengelompokkan karakteristik pengambil an, yaitu pengambilan humus untuk pemakaian sendiri dan pengambilan humus untuk orang lain (alasan komersial). Motivasi masyarakat melakukan pengambilan dan pemanfaatan humus hutan di lahan pertanian terbagi ke dalam 2 kelompok motivasi: motivasi umum dan motivasi khusus. Motivasi umum pengambilan humus digeneralisasikan dengan kejadian‐kejadian perusakan hutan di Indonesia yaitu: Pertama, pertambahan penduduk yang pesat dan mengakibatkan intensifikasi pertanian termasuk penggunaan humus hutan untuk memaksimalkan hasil pada lahan yang minim. Kedua, sempitnya lapangan pekerjaan yang mengakibatkan kegiatan pengambilan humus menjadi profesi pilihan yang menarik. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat memperhatikan arti penting fungsi hutan. Adapun motivasi khusus pengambilan humus adalah: motivasi ekonomi, ketersediaan barang, dan persepsi masyarakat mengenai keharusan penggunaan humus di lahan pertanian.
19
DAFTAR PUSTAKA Hardjosoemantri, Koesnadi. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Edisi Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rifai, H. Tb. Bachtiar. 1986. Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi. PT Gramedia. Jakarta. Salim, Emil. 1995. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Ke‐10. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Salim, H. S., S. H., M. S. 1997. Dasar‐dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika. Jakarta. UML. 1997. Studi Potensi Ekowisata Lau Kawar, Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo. Unit Manajemen Leuser. Medan.
Peronema Forestry Science Journal Vol.1, No.1, April 2005, ISSN 1829 6343