p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat Di Kabupaten Seluma Identification of the Origin of the Red Jungle Fowl Reared by Community in Seluma District. J. Setianto1,2,, Sutriyono1, H. Prakoso1 , dan B. Zain1 1
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371. Tel./Fax. +62-736-21290, email:
[email protected] 2 Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371. Tel./Fax. +62-73621290
ABSTRACT Red jungle fowl is one of the important species that has the function of ecology, economy and aesthetics. Community in Seluma District have reared the red jungle fowl. Until now, not much studied about the origins of the red jungle fowl being raised by the community. This study aimed to identify informations about the origin of the red jungle fowl breed, the origin of purchase of breeds, the tools used for hunting and the breeds purity. Respondents selection was conducted by using a snowball sampling method. The data were obtained from the breeders selected as respondents by using a combination of in-depth interviews, questionnaires and a direct observation. The results showed that respondents obtained the breeds as much as 51.11% from buying, 17.78% provision, 11.1% hunting, as well as 9% hunting and buying. Respondents who bought the breeds, 81.24% respondents bought the red jungle fowl from the breeders, 12.5% bought from hunters, 3.13% bought from hunters and breeders and 3.13% bought from traditional markets. Hunting activities were undertaken by 31.11% respondents, while 68.89% did not practice hunting activities. Respondents who did hunting activities, 7.14% used a net, 7.14% racit tools and 85.72% a combination of net and racit. Breeds were purchased by the respondent is hens of 6.25%, cocks 56.25%, chick 6.25% and hens/cocks 31.25%. Breeds obtained by respondents, 17.78% the red jungle fowl, 66.67% offsprings and 15.56% the red jungle fowl and offsprings .The origins of the red jungle fowl obtained from nature by hunting and from the community by buying and giving. The red jungle fowl gained the most dominant obtained from the community as much as 74.07%. The remaining 25.93% is obtained from nature. Key words: red jungle fowl, the origin, breeds, hunting
ABSTRAK Ayam hutan merah merupakan salah satu satwa penting yang mempunyai fungsi ekologi, ekonomi dan estetika. Masyarakat di Kabupaten Seluma telah memelihara ayam hutan merah. Sampai saat ini, belum banyak dikaji asal-usul ayam hutan merah yang dipelihara oleh masyarakat. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi asalusul ayam hutan merah, asal pembelian bibit, alat yang digunakan untuk berburu, dan kemurnian bibit. Pemilihan responden dilakukan dengan metode snowball sampling. Data diperoleh dari peternak yang dipilih sebagai responden dengan menggunakan kombinasi wawancara secara mendalam, daftar pertanyaan, dan pengamatan langsung. Hasil studi menunjukkan asal ayam hutan merah responden dari membeli sebanyak 51,11%, pemberian sebesar 17,78, berburu sebanyak 11,11%, serta berburu dan membeli sebanyak 9%. Dari responden yang membeli, 81,24 % responden membeli ayam hutan merah dari peternak, 12,5% dari pemburu, 3,13% dari pemburu dan peternak dan 3,13% dari pasar. Sebanyak 31,11% responden melakukan perburuan dan 68,89% tidak melakukan perburuan. Dari responden yang berburu, 7,14% menggunakan alat jaring, 7,14% alat racit, dan 85,72% kombinasi jaring dan racit. Bibit yang dibeli responden induk 6,25%, pejantan 56,25%, anak 6,25% serta induk dan pejantan 31,25%. Bibit yang diperoleh responden sebanyak 17,78% ayam hutan merah, 66,67% keturunan ayam hutan merah dan 15,56 ayam hutan merah dan keturunannya. Asal-usul ayam hutan merah diperoleh dari alam dengan cara berburu dan dari masyarakat dengan cara membeli maupun pemberian. Perolehan ayam hutan merah paling dominan diperoleh dari masyarakat sebesar 74,07%. Sisanya sebesar 25,93% diperoleh dari alam. Kata kunci: Ayam hutan merah, asal-usul, bibit, berburu
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 141
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
PENDAHULUAN Ayam hutan merah merupakan salah satu satwa penting yang mempunyai fungsi ekologi, ekonomi dan estetika. Fungsi ekologis ayam hutan merah adalah sebagai mangsa predator, fungsi ekonomi ayam hutan merah adalah sebagai hewan buru dan sumber genetik bagi hewan piaraan, sedangkan fungsi estetika dari ayam hutan merah adalah sebagai hewan hias. Fernades et al (2009) mengemukakan bahwa ayam hutan merah selain sebagai nenek moyang ayam peliharaan, juga merupakan salah satu spesies paling penting bagi umat manusia karena mempunyai nilai ekonomi dan sosial budaya. Sebagai fungsi genetik, ayam hutan merah merupakan nenek moyang (ancestor) ayam lokal yang dipelihara masyarakat pada saat ini (Sulandari dan Zein, 2009), sehingga mempunyai peran penting dalam menghasilkan spesies unggas baru untuk mendukung ketahanan pangan asal hewani. Adanya kerusakan habitat, perburuan yang tidak terkendali dan dimangsa predator diperkirakan sebagai penyebab penurunan populasi ayam hutan merah yang mengarah pada kepunahan. Senada dikemukakan Handiwirawan (2004) bahwa perusakan hutan yang merupakan habitat ayam hutan yang sangat cepat berpotensi menyebabkan punahnya ayam hutan. Disisi lain perburuan terhadap ayam hutan merah terus berlangsung dengan berbagai macam dari cara tradisional sampai penggunaan peralatan modern. Akrim et al. (2015) melaporkan bahwa aktivitas berburu
berkontribusi sebesar 16,4% dan penangkapan sebanyak 9,6% dalam ancaman terhadap populasi ayam hutan merahHasil buruan berupa ayam hutan merah hidup dan mati. Kedua hal tersebut bisa berakibat pada punahnya ayam hutan merah. Punahnya ayam hutan merah akan berakibat pada punahnya ayam burgo. Ayam hutan merah merupakan tetua ayam burgo (ayam lokal Bengkulu) yang saat ini banyak dipelihara masyarakat Bengkulu (Setianto, 2009a; Setianto, 2009b ; Setianto, 2010; Setianto 2012; Setianto, 2013; Setianto dan Warnoto, 2010; Setianto, et al, 2009:; Setianto et al; 2013; dan Warnoto dan Setianto, 2009). Hal tersebut menjadikan ayam hutan merah menjadi aset yang vital bagi masyarakat (Setianto et al; 2014). Berdasarkan status konservasi yang dikeluarkan IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam IUCN Red List, status ayam hutan merah termasuk pada status LC (Least Concern) atau beresiko rendah (Bird Life International, 2014). Sampai saat ini penelitian-penelitian ayam hutan merah yang dilakukan lebih banyak menyangkut hubungan kekerabatan ayam hutan merah sebagai nenek moyang (ancestor) dari ayam-ayam yang dipelihara saat ini dan karakteristik genetik (Azmi, et al., 2000; Dorji, et al., 2012; Moiseyeva, et al., 2003; Sulandari, et al., 2008; Zein dan Sulandari, 2009 ), populasi, tingkah laku dan habitat (Arshad and Zakaria, 2009; Javed and Rahmani, 2000; Subhani, et al., 2010). Di sisi lain, informasi dasar tentang domestikasi ayam hutan merah berbasis
142 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
masyarakat masih sangat kurang, terutama informasi mengenai cara masyarakat mendapatkan ayam hutan merah a peliharaannya (Setianto et al. 2015 ). Domestikasi sebagai salah satu bentuk konservasi telah dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kabupaten Seluma. Ayam hutan merah dipelihara sebagai kesenangan ataupun sebagai penghasil daging dan telur untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual. Selain itu, ayam hutan merah juga dipelihara untuk mendapatkan keturunan baru dengan cara melakukan kawin silang dengan ayam lokal. Sampai saat ini belum banyak kajian tentang domestikasi ayam hutan merah yang dilakukan masyarakat, sehingga belum banyak informasi tentang domestikasi ayam hutan merah yang dilakukan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan kajian-kajian terhadap domestikasi ayam hutan merah yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Informasi ini dapat digunakan untuk memaksimalkan upaya pelestarian ayam hutan merah melalui perlindungan proses ekologi sebagai pendukung kehidupan, pengawetan keragaman genetik, dan pemanfaatan ayam hutan merah secara lestari. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi domestikasi ayam hutan merah berbasis masyarakat di Kabupaten Seluma. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi asal-usul ayam hutan merah yang dipelihara, asal pembelian bibit, alat yang digunakan untuk berburu, dan kemurnian bibit yang diperoleh.
METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - Agustus 2016 di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Lokasi penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Seluma merupakan salah satu habitat ayam hutan merah dan terdapat masyarakat yang memelihara ayam hutan merah. Kabupaten Seluma secara administratif termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu. Kabupaten Seluma mempunyai luas sekitar 2.400,44 km2. Pada gambar 1 di bawah ini menunjukkan lokasi penelitian.
Gambar 1. Peta Kabupaten Seluma sebagai lokasi penelitian Sumber : https://www.scribd.com/doc/270296155/01 -Peta-Orientasi Responden yang dijadikan sampel adalah peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling (sampel bola salju). Metode ini dilakukan karena keberadaan peternak
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 143
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
yang mendomestikasikan ayam hutan merah belum diketahui secara jelas. Pada tahap pertama, pengambilan sampel dilakukan dengan mencari seorang peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah. Tahap pengambilan sampel berikutnya dilakukan secara berantai, mulai dari responden pertama, kemudian responden tersebut diminta untuk memberikan informasi tentang responden lain yang juga memelihara ayam hutan merah dan dianggap otoritatif untuk memberikan informasi. Tahap selanjutnya dilakukan melalui proses yang sama, sehingga jumlah responden semakin banyak. Pada penelitian ini diperoleh 45 responden pemelihara ayam hutan merah dan keturunannya.
merah atau diperoleh dari berbagai literatur atau pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi asal bibit (membeli, berburu, dan pemberian), asal pembelian bibit, alat berburu (jaring, racit), dan kemurnian bibit yang diperoleh. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif serta disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Data yang diambil dan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari pemelihara ayam hutan merah yang dipilih sebagai sampel dengan menggunakan kombinasi wawancara secara mendalam (dept-interview) dan mengajukan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (kuesioner). Di samping itu, data primer juga diperoleh melalui pengamatan serta pengukuran langsung di lapangan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari hasil kajian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Data tersebut diperoleh dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang berkaitan erat dengan penelitian mengenai ayam hutan
responden. Bila dilihat karakteristik pekerjaaan yang dimiliki responden, pekerjaan respoden didominasi oleh pekerjaan bertani (64.44%) dan swasta (22.22%). Sedangkan pekerjaan yang lain persentasenya relatif lebih kecil. Pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI hanya sejumlah 8,90% dan pekerjaan buruh paling sedikit jumlahnya yaitu sebesar 4,44%. Lingkungan ikut berpengaruh terhadap minat seseorang untuk memelihara ayam hutan merah. Lingkungan pedesaan dengan pekerjaan petani dominan memelihara ayam hutan merah. Memelihara ayam hutan merah dan keturunannya merupakan hobi dan sampingan untuk memanfaatkan waktu dan sumber daya lokal.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Pada Tabel 1. dapat dilihat berbagai informasi mengenai pekerjaan dan pendidikan responden. Pada tabel yang sama dapat dilihat juga tujuan pemeliharaan ayam hutan merah oleh
144 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Tabel 1. Pekerjaan, pendidikan, dan tujuan pemeliharaan responden No.
1
2
3
Variabel
Responden Orang Persentase (%)
PEKERJAAN PNS/TNI/POLRI/ Swasta Buruh Tani Jumlah PENDIDIKAN Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Jumlah TUJUAN MEMELIHARA Hobi Hobi, pengembangan, bisnis Jumlah
4 10 2 29 45
8,90 22,22 4,44 64,44 100
1 17 11 12 4 45
2,22 37,78 24,44 26,67 8,89 100
29 16 45
64,44 35,56 100
Pada tabel 1 juga dapat dilihat tingkat pendidikan responden. Pendidikan responden sangat bervariasi mulai dari
sebesar 35.56. Ini berbeda dengan apa yang ditemukan Sutriyono et al (2016b) di lokasi penelitian yang berbeda. Dalam
tidak sekolah sampai pendidikan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden di dominasi pendidikan menengah ke bawah. Persentase pendidikan tingkat SD mempunyai nilai yang paling tinggi (37,78%), kemudian disusul tingkat SMA (26,67%) dan tingkat SMP (24,44%). Sementara itu pendidikan tingkat perguruan tinggi sebesar 8,89% dan paling rendah tidak tamat SD sebesar 2,22%. Menarik untuk dikemukakan tujuan pemeliharaan ayam hutan merah oleh responden. Tujuan pemeliharaan ayam hutan merah dan keturunan ayam hutan merah masih merupakan kesenangan (hobi) sebesar 64.44%, sementara itu tujuan untuk pengembangan atau bisnis
laporannya, Sutriyono et al (2016b) mengemukakan bahwa tujuan pemeliharaan ayam hutan merah yang dipelihara responden untuk pengembangan dan bisnis (15,21%), hobi dan hias (19,57%), berburu (56,52%), dan kombinasi dari ketiga jenis tersebut (8,7%). Asal-usul Ayam Peliharaan.
Hutan
Merah
Hasil identifikasi asal-usul ayam hutan merah yang dipelihara masyarakat Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 145
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Tabel 2. Asal-usul ayam hutan merah yang dipelihara oleh responden No. 1
2
3
4
5
Variabel SUMBER BIBIT Berburu Membeli Membeli dan berburu Pemberian Jumlah BIBIT DIBELI DARI Pemburu Peternak Pemburu dan Peternak Pasar Jumlah ALAT BERBURU Jaring Racit Jaring dan racit Jumlah BIBIT YANG DIBELI Induk Pejatan Anak Induk dan pejantan Jumlah BIBIT ASLI/KETURUNAN Asli Keturunan Asli dan Keturunan Jumlah
Responden orang Persentase 5 23 9 8 45
11,11 51,11 20,00 17,78 100
4 26 1 1 24
12,50 81,24 3,13 3,13 100
1 1 12 14
7,14 7,14 85,72 100
2 18 2 10 32
6,25 56,25 6,25 31,25 100
8 30 7 45
17,78 66,67 15,56 100
Ayam hutan merah yang dipelihara oleh responden berasal dari berburu, membeli, membeli dan berburu serta pemberian. Pada tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa asal-usul ayam hutan merah dan keturunannya diperoleh responden dari
responden memperoleh bibit dari hasil berburu dan membeli, 6% responden memperoleh bibit dari membeli dan pemberian dari orang lain, dan 14% responden memperoleh bibit dari pemberian. Ayam hutan merah yang
membeli sebanyak 51,11%, membeli dan berburu sebanyak 20,00%, pemberian sebanyak 17,78% dan berburu sebanyak 11,11%. Dari data ini dapat dilihat bahwa perolehan lebih banyak dari aktifitas membeli. Dalam penelitian yang lain, Setianto et al (2016a) mengatakan bahwa pengadaan bibit ayam hutan merah 38% responden memperoleh bibit ayam hutan merah dari hasil berburu, 40% responden memperoleh bibit dengan membeli, 2%
diperoleh dari berburu merupakan ayam hutan asli. Sedangkan ayam hutan yang diperoleh dengan cara membeli dan pemberian merupakan keturunan ayam hutan merah hasil persilangan. Kalau kita tambahkan responden pada penelitian ini yang memperoleh ayamnya dari berburu (11,11%) dan responden yang membeli dan berburu (20%), maka dari seluruh responden yang melakukan perburuan sebanyak 31.11%.
146 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Setianto et al (2015a). Dalam kajiannya Setianto et al (2015a) melaporkan bahwa dari 46 responden sebagian besar responden melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam (65,22%), sedangkan sisanya sebanyak 34,78% responden tidak melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Di lokasi penelitian yang berbeda, Setianto et al., (2016a) juga melaporkan bahwa bahwa dari 50 responden, terdapat 20 responden (40%) yang melakukan kegiatan berburu ayam hutan merah di alam, sedangkan 30 responden (60%) lainnya tidak melakukan kegiatan berburu ayam hutan merah. Responden yang tidak melakukan penangkapan ayam hutan
hanya 12,50%. Sebanyak 3,13% responden membeli dari pasar dan sebanyak 3,13% membeli dari peternak/pemburu (tabel 2). Ini berbeda dengan apa yang dikemukakan Setianto et al (2016a) bahwa di lokasi penelitian yang berbeda persentase responden yang membeli bibit dari pemburu sangat besar mencapai 91,6%, sementara yang membeli dari pasar 4,2% dan dari peternak 4,2%. Ayam hutan merah yang dibeli dari pemburu merupakan ayam hutan merah hasil memikat atau berburu, dengan menggunakan peralatan berupa ayam pikat, jaring, racit dan kombinasi kedua alat tersebut. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa alat yang digunakan oleh responden untuk berburu ayam hutan merah adalah dengan
merah di alam, beberapa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan maupun keahlian untuk melakukan penangkapan ayam hutan merah. Ayam hutan merah yang baru ditangkap sangat liar. Oleh karena itu tidak banyak yang memelihara hasil tangkapannya. Sifat liar ayam hutan merah ini juga ditemukan pada keturunan ayam hutan merah, walaupun telah dipelihara dengan baik sejak ditetaskan (Brisbin and Peterson 2007). Menarik untuk ditelusuri dari mana responden membeli ayam hutan merah peliharaannya. Ini mengingat besarnya persentase responden memperoleh ayam hutan merah yang dipeliharanya dengan cara membeli. Dari hasil identifikasi terlihat bahwa mayoritas responden (81,24%) membeli ayam hutan merahnya dari para peternak ayam hutan merah. Sementara itu yang membeli dari pemburu
menggunakan jaring (7,14%), racit (7,14%) dan yang menggunakan jaring serta racit sebanyak 85,72%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dilaporkan Setianto et al. (2015a). Selanjutnya dilaporkan Setianto et al. (2015a) dari 30 orang responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam, sebanyak 56,67% menggunakan ayam pemikat dan jaring, sebanyak 26,67% menggunakan ayam pemikat dan racit, sebanyak 13,33% menggunakan keduanya (ayam pemikat dengan jaring dan racit) dan sisanya 3,33% menggunakan peralatan lainnya (tungkup). Hasil ini berbeda dengan hasil yang ditemukan Aiyadurai (2012) bahwa perburuan dilakukan dengan menggunakan perangkap (bilah bambu, kanopi, batu, perangkap segi tiga), ketapel, dan senapan. Sementara itu, Liang et al. (2013) mengatakan bahwa perburuan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 147
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
dilakukan menggunakan senapan, senapan angin, dan perangkap. Perbedaan cara-cara tersebut disebabkan perbedaan lokasi penelitian. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa responden yang membeli bibit berupa induk adalah 6,25%, membeli pejantan 56,25%, membeli anak 6,25%, dan responden yang membeli bibit berupa induk dan pejantan adalah 31,25%. Bibit yang dibeli oleh responden adalah induk, pejantan, dan anak atau kombinasi dari ke tiga tersebut. Bibit yang dibeli oleh responden adalah asli ayam hutan merah dan keturunan. Responden yang memelihara ayam hutan merah asli adalah 17,78%, yang memelihara keturunan ayam hutan merah adalah 66,67% dan responden yang memelihara asli dan keturunan ayam hutan merah adalah 15,56%. Responden yang memelihara keturunan ayam hutan merah lebih banyak dibandingkan dengan ayam hutan merah asli. Keturunan ayam hutan merah merupakan hasil persilangan antara ayam hutan merah jantan dengan ayam kampung betina. Hasil keturunan tersebut disebut sebagai ayam burgo. Widodo, et al. (2014) melaporkan bahwa daya tahan hidup ayam burgo dalam lingkungan terkontrol tanpa diasuh induknya sebesar 82,62% ± 5,9% serta daya tahan hidup ayam burgo dalam lingkungan terkontrol diasuh induknya sebesar 94,06 % ± 5,97%. Ayam burgo telah mengalami perkawinan dengan sesamanya atau dengan ayam kampung sehingga menghasilkan gen yang makin lama makin jauh. Ayam hutan merah merupakan tetua ayam burgo (ayam lokal
Bengkulu) yang saat ini banyak dipelihara masyarakat Bengkulu (Setianto, 2009a; Setianto, 2009b ; Setianto, 2010; Setianto 2012, Setianto, 2013; Setianto dan Warnoto, 2010; Setianto et al., 2009 ; Setianto et al; 2013; Setianto et al, 2015b; Setianto et al, 2016b; Sutriyono et al, 2016a ; Warnoto dan Setianto, 2009). KESIMPULAN Berdasarkan kajian di lapangan selama penelitian, ayam hutan merah sudah sulit ditemukan di alam. Ayam hutan merah dan keturunannya telah lama dipelihara oleh masyarakat di Seluma. Asal-usul ayam hutan merah diperoleh dari alam dengan cara berburu dan dari masyarakat dengan cara membeli maupun pemberian. Perolehan ayam hutan merah paling dominan diperoleh dari masyarakat sebesar 74,07%. Sisanya sebesar 25,93% diperoleh dari alam. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian skema Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang didanai dari DIPA Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Untuk itu, tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Penelitian dilaksanakan dengan Surat Perjanjian Nomor: 889/UN30.15/LT/2016. Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Bengkulu
148 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Aiyadurai, A. 2012. Bird hunting in Mishmi Hills of Arunachal Pradesh, North-Eastern India. Indian Birds. 7(5): 134-137. Akrim, F, Awan MS, Mahmood T et al. 2015. Threats to red jungle fowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, District Bhimber, Azad Jammu and Kashmir, Pakistan. Annu Res Rev Biol 6(1): 59-65. Arshad, M.I. dan M. Zakaria. 2009. Roosting Habits of Red Junglefowl in Orchard Area. Pak. j. life soc. sci, 7(1) :86-89. Azmi, M. A.S. Ali and W.K. Kheng. 2000.
chicken lines (Gallus gallus domesticus). Genetics and Molecular Biology, 35(3) 603609. Fernandes M., Mukesh, S. Sathyakumar, R. Kaul, R. S. Kalsi and D. Sharma4. 2009. Conservation of red jungle fowl Gallus gallus in India. International Journal of Galliformes Conservation. 1: 94– 101. Handiwirawan, E. 2004. Pelestarian Ayam Hutan Melalui Pembentukan Ayam Bekisar Untuk Ternak Kesayangan. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang. Hlm : 87-95.
DNA Fingerprinting of Red Junle Fowl, Village Chicken and Broilers. Aian-Aus. J. Anim. Sci. 13(8):1040-1043. Bird Life International (2014). IUCN Red List for birds. Downloaded from http://www.birdlife.org on 8/03/2014. Brisbin, I. L. and A. T. Peterson. 2007. Playing chicken with red junglefowl: identifying phenotypic markers of genetic purity in Gallus gallus. Animal Conservation, 10 (4) 429-435. Dorji, N., M. Duangjinda and Y. Phasuk. 2012.Genetic characterization of Bhutanese native chickens based on an analysis of Red Junglefowl (Gallus gallus gallus and Gallus gallus spadecieus), domestic Southeast Asian and commercial
Javed, S. and A. R. Rahmani. 2000. Flocking and habitat use pattern of the Red Junglefowl Gallus gallus in Dudwa National Park, India. Tropical Ecology 41(1): 1116 Liang W, Cai Y, Yang CC. 2013. Extreme levels of hunting of birds in aremote village of Hainan Island, China. Bird Conserv Int 23: 4552. Moiseyeva, I.G., M. N. Romanov., A.A. Nikiforov, A.A. Sevastyanova and S.K. Semyenova. 2003. Evolutionary relationships of Red Jungle Fowl and chicken breeds. Genet. Sel. Evol. 35 (2003) 403– 423. Setianto, J., 2009a. Ayam Burgo : Ayam Buras Bengkulu. PT Penerbit IPB Press, Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 149
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Setianto, J., 2009b. Increasing the egg weight of burgo chicken offspring through cross-mating between burgo chicken with native chicken. Proceeding The 1st International Seminar on Animal Industri ”Sustainable Animal Production for Food Security and Safety”. IPB Bogor. I : 262 -264. Setianto, J. 2010. Sumber Daya Hayati Ayam Burgo Bengkulu : Karakteristik Fenotipe, Populasi, Performa Reproduksi, Performa Produksi dan Potensi Pengembangannya. Makalah Disampaikan Pada Pemaparan Kenaikan Jabatan Ke Guru Besar di Rapat Senat Universitas
Setianto, J., Warnoto and Nurmeiliasari. 2009. The characteristic of egg production and reproduction of crossmating offspring between burgo chicken with native chicken. Proceeding International Seminar ”The Role and Application of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products” Bukittinggi, West Sumatra, I : 16 – 23. Setianto, J., H. Prakoso dan Sutriyono. 2013. Dinamika Populasi Ayam Burgo dan Strategi Pengembangannya di Bengkulu. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Setianto, J., H. Prakoso, Sutriyono. 2014.
Bengkulu. Setianto, J. 2012. Peran Ayam Lokal dan Potensi Ayam Burgo Dalam Menyediakan Bahan Pangan Ptotein Hewani. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Bengkulu. Setianto J. 2013. Potensi dan strategi pengembangan ayam burgo. Prosiding Seminar Nasional Peternakan: Potensi Sumber Daya Ternak Lokal untuk Membangun Kemandirian Pangan Hewani dan Kesejahteraan Masyarakat. Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang. 20 November 2013. I : 15 – 20. Setianto, J. dan Warnoto. 2010. Performa Reproduksi dan Produksi Ayam Burgo Betina. Penerbit UNIB PRESS, Bengkulu.
Kajian domestikasi ayam hutan merah berbasis masyarakat serta strategi pengembangannya di Bengkulu. Laporan Penelitian Tahun 2014. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Setianto, J., H. Prakoso, Sutriyono. 2015a. Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat di Bengkulu Utara. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia 1(2): 207212. Setianto, J., H. Prakoso, Sutriyono. 2015b. Performa produksi dan reproduksi ayam burgo pada peternakan rakyat di Kota Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Unggas Lokal V: "Peran Unggas Lokal dalam Menunjang Industri
150 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
Perunggasan di Indonesia". Masyarakat Perunggasan Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. Semarang. 18 - 19 November 2015. I : 192 : 201. Setianto, J., Zain, B, Prakoso H, Sutriyono. 2016a. Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus pengadaan bibit oleh masyarakat di Bengkulu Tengah. Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia.Bogor 17 September 2016. Setianto, J., Sutriyono, Prakoso H, Zain, B. 2016b. Red jungle fowl development scenarios for poultry
Domestikasi Ayam di Indonesia. Media Peternakan, 32(1): 31-39. Sulandari, S., M.S.A. Zein dan T. Sartika. 2008. Molecular Characterization of Indonesian Indigenous Chickens based on Mitochondrial DNA Displacement (D)-loop Sequences HAYATI Journal of Biosciences,15(4):145-154. Sutriyono, J. Setianto, H. Prakoso. 2016a. Produksi dan populasi ayam hutan merah domestikasi di Kabupaten Bengkulu Utara dan skenario pengembangannya. Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Bogor 17 September 2016. Sutriyono, J. Setianto, H. Prakoso, B. Zain.
farmers in Bengkulu coastal communities. International Seminar and Expo : Sustainable Utilization of Coastal Resources in Tropical Zone. University of Bengkulu. Bengkulu 19-20 October 2016. Subhani, A., M.S. Awan, M. Anwar, U. Ali, N.I. Dar. 2010 Population Status and Distribution Pattern of Red Jungle Fowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, Azad Jammu & Kashmir, Pakistan: A Pioneer Study . Pakistan J. Zool., vol. 42(6): 701706. Sulandari, S. dan M.S.A. Zein. 2009. Analisis D-loop DNA Mitokondria untuk Memposisikan Ayam Hutan Merah dalam
2016b. Conservation and utilization of red jungle fowl in the coastal areas of North Bengkulu International Seminar and Expo : Sustainable Utilization of Coastal Resources in Tropical Zone. University of Bengkulu. Bengkulu 19-20 October 2016. Warnoto and J. Setianto. 2009. The Characteristic of Egg Production and Reproduction of Cross-mating offspring between Burgo Chicken. Proceeding International Seminar “ The Role and Aplication of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products” , Bukittinggi, West Sumatra. I:2430. Warnoto and J. Setianto. 2009. The Characteristic of Egg Production and Reproduction of Crossmating
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2016 | 151
p-ISSN 1978 - 3000 e-ISSN 2528 - 7109
offspring between Burgo Chicken. Proceeding International Seminar “ The Role and Aplication of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products” , Bukittinggi, West Sumatra. I:2430. Widodo, J. Setianto dan Sutriyono, 2014. Performa Produksi dan Reproduksi Ayam Burgo di
Lingkungan Terkontrol dalam Upaya Mendukung Pelestarian Biodiversitas . Naturalis. 3 (1): 90-98. Zein, M.S.A. dan S. Sulandari. 2009. Investigasi Asal Usul Ayam Indonesia Menggunakan Sekuens Hypervariable-1 D-loop DNA Mitokondria. Jurnal Veteriner, 10(1):41-49.
152 | Identifikasi Asal-usul Ayam Hutan Merah yang Dipelihara Masyarakat (Setianto et al, 2016)