Dokumentasi Pembelajaran Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan/Taman Wisata Perairan Gili Matra, Lombok Utara
©Andie Wibianto/MPAG
IDG Warmadewa Tasrif Kartawijaya Irfan Yulianto Kiagus Muhamad Hasbi
Abstrak Pengelolaan dengan model kolaboratif adalah sebuah proses learning by doing (Berkes, 2009; Borrini et al., 2007). Namun umumnya peraturan dan kebijakan nasional yang ada biasanya tidak memuat secara spesifik fungsi pengelolaan kolaboratif sebagai jaminan keamanan kepemilikan dan hak atas sumberdaya oleh lokal, partisipasi masyarakat, serta pengakuan dan adopsi sistem manajamen tradisional/informal (Jentoft and McCay, 1995) Proses menuju pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra adalah tahapan yang terencana, terstruktur dan terarah. Tahapan dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra adalah : identifikasi keterwakilan yang efektif, pelembagaan pengelolaan kolaboratif yang bersifat fleksibel (Pomeroy and Berkes, 1997). penyusunan dokumen perencanaan kolaboratif serta tahap implementasi dan keberlanjutan kolaboratif. Peran external agent adalah hal yang penting (McConney et al., 2003; Pomeroy et al., 2001). Salah satu peran pentingnya adalah sebagai pendamping/penyuluh (outreach). Peran outreach sendiri semestinya bersifat berkesinambungan pula dalam implementasi kolaboratif dan akan berkurang atau berubah penekanan seiring dengan meningkatnya kemapanan pengelolaan kolaboratif. Terdapat dua (2) hal yang belum terlaksana dalam implementasi pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra yang mapan dan mandiri. Dua hal tersebut adalah mensinkronkan pengelolaan kolaboratif dengan pola pendanaan melalui pemanfaatan kawasan untuk efektifitas pengelolaan serta evolusi pengelolaan kolaboratif hingga mencapai tingkat mapan dalam bentuk pengeloaan adaptif kolaboratif.
Bab 1 Pendahuluan 1.1.
Latar belakang dan rasionalisasi
Secara geografis Wilayah KKPN Gili Matra mencakup wilayah satu desa yaitu Desa Gili Indah. Desa Gili Indah merupakan bagian dari wilayah administratif Pemerintahan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Desa Gili Indah berbentuk kepulauan yang terdiri dari tiga pulau kecil yang disebut dengan gili, yaitu Air, Meno dan Trawangan. Beragam usaha pengelolaan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan di Gili Matra telah pernah dilakukan sebelumnya (Bachtiar, 2013). Pengelolaan tradisional dilakukan melalui penerapan aturan adat/awig-awig. Teridentifikasi terdapat 3 (tiga) jenis awig-awig pengelolaan sumberdaya perairan yang diterapkan di Gili Matra. Awig-awig tersebut adalah Awig-Awig yang mencakup nelayan Lombok Utara oleh LMNLU (Lembaga Masyarakat Nelayan Lombok Utara), Awig-awig Desa Gili Indah tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dalam bentuk Perdes No. 12/Pem.1.1/2001 dan Awig–Awig tentang Pengoperasian Alat Tangkap Muroamai yang masih hingga kini dipatuhi. Terkait aturan pengelolaan sumberdaya dengan peraturan adat/awig-awig lainnya ada teridentifikasi namun tidak seluruhnya berbentuk dokumen, masih berupa kesepakatan dan norma adat. Selain usaha pengelolaan tradisional melalui peraturan adat, secara pemerintahan kawasan Gili Matra berdasarkan SK Menhut No. 85/Kpts-II/1993 dan Keputusan Menhut No. 99/Kpts-II/2001 ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan sebelum pada akhirnya Berdasarkan Berita Acara Serah dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 – BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009. Demikian pula status administratif Gili Matra sebelumnya termasuk kedalam Kabupaten Lombok Barat, kini berada di dalam wilayah kabupaten baru Kabupaten Lomok Utara. Sehingga secara pengelolaan oleh pemerintah, Gili Matra mengalami dinamika yang tinggi. Tingginya dinamika pengelolaan sumberdaya alam perairan Gili Matra tentu memberikan pengalaman lebih kepada masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perairannya. Pada sisi lain sinkronisasi kelembagaan dan kegiatan sering kali susah dilakukan. Pengelolaan pola kolaboratif (co-management/CM) adalah sebuah pendekatan untuk membangun pola pengelolaan yang sinergis dan efektif bagi semua pihak yang berkepentingan. Sementara dalam perkembangan pengelolaan kolaboratif terdapat beragam pola implementasi pengelolaan kolaboratif. Sebuah catatan implementasi pengelolaan kolaboratif adalah pentingnya penetapan hukum yang mendukung dan memberikan kerangka kerja yang jelas pada otoritas terkait penanganan isu-isu dasar, pelimpahan kewenangan dan kebijakan pemerintah (Jentoft and McCay, 1995; McCay and Jentoft, 1995; Sen and Raakjaer-Nielsen, 1996; Pemeroy and Berkes, 1997; Jentoft, 1985). Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan pada pasal 18 menyatakan bahwa; Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan
masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumberdaya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007). Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama antar pemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya ikan. Melihat kebijakan acuan implementasi pengelolaan kolaboratif terkait dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan masihlah belum cukup lengkap dan detail untuk dijadikan acuan implementasi. Pengelolaan dengan model kolaboratif adalah sebuah proses learning by doing (Berkes, 2009; Borrini et al., 2007). Namun umumnya peraturan dan kebijakan nasional yang ada biasanya tidak memuat secara spesifik fungsi pengelolaan kolaboratif sebagai jaminan keamanan kepemilikan dan hak atas sumberdaya oleh lokal, partisipasi masyarakat, serta pengakuan dan adopsi sistem manajamen tradisional/ informal (Jentoft and McCay, 1995). Sehingga diperlukan masukkan dalam penyusunan legalitas kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan hingga tingkat teknis. 1.2.
Tujuan
Pembelajaran proses implementasi pengelolaan dengan pola kemitraan/ kolaboratif (co-management) di KKPN/TWP Gili Matra bertujuan sebagai salah satu referensi untuk replikasi dan adopsi pengelolaan kolaboratif dalam bentuk praktis ataupun konteks.
Bab 2 Tinjauan Pengelolaan Kolaboratif Istilah pengelolaan kolaboratif relatif baru digunakan. Sebuah penelitian menemukan awal penggunaan istilah pengelolaan kolaborati adalah sekitar akhir tahun 1970-an terkait pengelolaan ikan salmon (Pinkerton, 2003). Dari sekian banyak pemahan terkait pengelolaan kolaborasi secara sederhana pengelolaan kolaboratif pada prinsipnya diartikan sebagai satu tingkatan kelas dari arahan kemitraan yang relatif sederhana, dimana terdapat jaminan keamanan kepemilikan dan hak atas sumberdaya oleh lokal, partisipasi masyarakat, serta pengakuan dan adopsi sistem manajamen tradisional/ informal (Jentoft and McCay, 1995). Pengelolaan kolaboratif dalam sebuah referensi diartikan sebagai sharing pengambilan keputusan antara pemerintah (Nasional atau lokal) dan pemangku kepentingan lain (termasuk semua pengguna sumber daya, masyrakat lokal, LSM)(Bown N.K, et al., 2012). Ide dasar pengelolaan kolaboratif adalah dimana suatu lembaga dengan legalitas pada suatu ‘wilayah’ (umumnya lembaga pemerintah) membangun kerjasama dengan pemangku kepentingan lain (secara mendasar termasuk penduduk lokal dan pengguna sumberdaya) secara spesifik dengan tetap menjamin fungsi, hak dan tanggung jawab terkait ‘wilayah’ tersebut (BorriniFeyerabend, 1996: 8). Pengelolaan kolaboratif menciptakan suatu kondisi dimana dua atau lebih aktor sosial menegosiasikan, menentukan dan menjamin pembagian yang adil dari fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab pada suatu wilayah, area kelola tertentu, atau seperangkat sumberdaya tertentu (Borrini-Feyerabend et al., 2000). Melalui kajian literatur, definisi pengelolaan kolaboratif yang sesuai dengan pengelolaan kolaboratif dalam sebuah Kawasan Konservasi Perairan yang dikelola negara (KKPN) adalah seperti yang disebutkan oleh Borrini-Feyerabend (1996) dimana, pengelolaan kolaboratif, diartikan sebagai kondisi pengelolaan dimana lembaga yang memiliki legalitas pengelolaan pada suatu kawasan membangun kerjasama dengan pemangku kepentingan lain secara spesifik dan tetap menjamin fungsi, hak dan tanggung jawab terkait kawasan tersebut. Secara praktis, dari literatur, pengelolaan kolaboratif dapat dijelaskan sebagai usaha untuk menjawab dilema antara lemahnya pengelolaan berbasiskan ‘bawah’ (berbasis masyarakat) dalam legalitasnya dengan kelemahan pengelolaan dari ‘atas’ (pemerintah) dalam adopsi aspirasi, dukungan dan partisifasi masyarakat. Secara lebih jelas disajikan pada Gambar 2.1. sebagai hasil kajian referensi. Dari gambar tersebut disajikan juga perkembangan evolusi pengelolaan kolaboratif yang berkelanjutan. Pengelolaan kolaboratif, yang terlahir sebagai jawaban atas kesadaran bahwa masyarakat yang kehidupannya terkena dampak dari pola pengelolaan memiliki ‘suara’ dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan kolaboratif tidak hanya terkait kondisi sumberdaya, namun lebih kepada pengelolaan hubungan. Sehingga juga memberi kelebihan pada legalitas dan kepatuhan, keadilan dan pemerataan (Natcher et al., 2005). Dalam proses pematangan, pengelolaan kolaboratif perlu menjawab permasalahan ketidakpastian dan kompleksitas sumberdaya alam yang dikelola. Terdapat 7 (tujuh) sumber ketidakpastian dan kompleksitas sumberdaya alam yang dikelola yaitu: negara, masyarakat, alam yang dinamis dan berulang, kondisi pendukung sistem, kolaboratif sebagai tata kelola, proses pembelajaran dan
penyelesaian masalah, serta ekosistem sebagai penyedia sumberdaya (Berkes, F., 2005). Sebagai jawabannya pengelolaan kolaboratif mengalami penyesuaian pola pengelolaan menuju kepada pengelolaan adaptif. Kombinasi pengelolaan kolaboratif dengan pengelolaan adaptif pada tahap akhir menghadapi permasalahan sinkronisasi kebutuhan sumberdaya alam dan pemangku kepentingan yang ada. Sinkronisasi yang dimaksud adalah suatu proses dimana kebijakan semua pihak dan kondisi ekologi diujicobakan dan disesuaikan secara dinamis, berkelanjutan serta diorganisasikan sebagai sebuah proses pembelajaran berkelanjutan (Armitage et al, 2007: 328). pengelolaan kolaboratif pada tingkat ini disebut sebagai pengelolaan adaptif kolaboratif TOP DOWN
COLABORATIVE
ADAPTIF COLABORATIVE
BOTTOM UP Gambar 2.1 Pengelolaan Kolaboratif : Sebuah jalan tengah pengelolaan Pemaparan dalam tinjauan ini menjadi arahan implementasi pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra secara substantif dengan tetap mengacu juga kepada kebijakan pemerintah terkait pengelolaan KKPN yang ada.
Bab 3 Inisiasi : Kajian awal mewujudkan Pengelolaan Kolaboratif di Gili Matra Tahap inisiasi adalah sebagai upaya awal untuk mengefektifkan proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif selanjutnya. Berbagai kendala dalam proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif menjadi pertimbangan penting dalam tahap ini. Kendala tersebut, yang juga telah disebutkan dalam berbagai referensi aplikasi pengelolaan kolaboratif, salah satu diantaranya adalah keterwakilan pihak-pihak berkepentingan tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut terjadi karena identifikasi keterwakilan dilakukan bukan mengacu kepada peran, tugas dan fungsi ataupun kepentingan terkait pengelolaan namun lebih mengacu kepada struktur formalitas saja (Carlsson and Berkes, 2005). Kendala lainnya diantaranya adalah lemahnya legalitas proses dan hasil implementasi pengelolaan kolaboratif (Jentoft, 2000; Mikalsen et al.,2007), lemahnya penguatan masyarakat umum dalam implementasi pengelolaan kolaboratif (Bene and Neiland, 2004; Berkes, 2009), kurangnya saling kepercayaan dan modal sosial antar pihak (Singleton,1998; Eamer,2006; Pretty and Ward, 2001; Plummer and FitzGibbon,2007; Kruse et al.,1998), jarangnya pengalaman institusiinstitusi lokal bermitra dengan pihak pemerintah dan ketidaksiapan pihak pemerintah dalam hal tersebut (Jentoft and McCay, 1995). Meskipun demikian tidak seluruh kendala yang ada bisa ditangani sepenuhnya pada proses awal ini seperti salah satunya adalah lemahnya legalitas bagi implementasi pengelolaan kolaboratif, namun melalui kesadaran akan kendala-kendala yang ada pada awal implementasi diharapkan pengelolan kolaboratif dapat berjalan efektif dalam proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif ataupun keberlanjutannya. 3.1 Kajian Awal : Peran analisa pemangku kepentingan dalam implementasi pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra Penyusunan pendekatan dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif diawali melalui kajian pemangku kepentingan (analysis stakeholder). Kajian pemangku kepentingan bersifat dinamis dan dilakukan bersamaan dengan proses pendampingan/penyuluhan (outreach). Proses outreach pada awalnya berperan sebagai jaminan adanya saluran informasi bagi semua pihak pemangku kepentingan secara berkesinambungan serta menjadi pelengkap data dan informasi dalam proses identifikasi keterwakilan pemangku kepentingan. Namun pada tahapan proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif selanjutnya pendampingan/penyuluhan menjadi komponen penting dalam keberhasilan. Peran penting dari kajian pemangku kepentingan dalam implementasi pengelolaan kolaboratif diantaranya adalah untuk mencegah terlalu banyak kepentingan personal dalam proses selanjutnya. Peran penting berikutnya adalah dengan semakin mendalamnya kajian ini, gambaran pihak-pihak yang akan terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam pengelolaan kolaboratif akan semakin jelas. Sedangkan dalam proses teknis implementasi pengelolaan kolaboratif, peran kajian ini adalah, dalam hal menentukan pola-pola pendekatan yang berbeda pada pemangku kepentingan yang ada sehingga potensi konflik terkelola dengan baik.
Untuk memberikan hasil kajian seperti yang diharapkan, kajian pemangku kepentingan dilakukan melalui; identifikasi pemangku kepentingan serta persepsinya. Analisa pengaruh, pemahaman, dan keterlibatan pemangku kepentingan. Serta pengelompokkan pemangku kepentingan. Metode yang digunakan dalam kajian pemangku kepentingan adalah melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus (facus group discussion/FGD), diskusi terarah, informal meeting serta diperkaya melalui pendampingan/penyuluhan (outreach) yang intensif. Keluaran dari kajian pemangku kepentingan adalah laporan Analisa Stakeholder dalam Mendukung Proses Pengelolaan Kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra (Lampiran 1.). Output tersebut menjadi bahan penting dalam tahap-tahap selanjutnya, sebagai arahan strategis (alur, model dan skema) ataupun arahan teknis (pendekatan, pengelolaan konflik, pembagian peran dan tanggung jawab) mewujudkan pengelolaan kolaboratif. Output tersebut bukanlah sebuah hasil kajian yang statis, melainkan sebuah keluaran yag bersifat dinamis seiring proses sosial yang terbangun antara pengelola dan pemangku kepentingan lainnya (Radyati, 2012). Catatan pembelajaran dalam analisis pemangku kepentingan yang bisa dijadikan pembelajaran adalah sebagai berikut; Analisis pemangku kepentingan adalah kajian umum pra implementasi suatu kebijakan dalam bentuk aplikasi di lapangan yang telah diketahui dan dipahami secara umum (Schmerr, 1998; Crosby and Benjamin, 1992). Namun karena dianggap mengambil waktu yang relatif panjang serta sumberdaya relatif besar seringkali kajian ini diabaikan. Dari proses implementasi pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra hasil kajian ini memiliki peran penting pada seluruh tahap implementasi baik secara startegis ataupun teknis/praktis. Kesenjangan kelompok-kelompok dalam sosial ekonomi menjadi hambatan terbesar dalam membangun prinsip-prinsip kolaboratif (Berkes, 2009; Reid et al.,2006; Moller et al., 2004) di Gili Matra sendiri terdapat perbedaan persepsi, pengetahuan, pengaruh, keterlibatan serta cara komunikasi antara masyarakat masing-masing gili. Dimana masyarakat Gili Trawangan memiliki keterbukaan lebih dalam menerima konsep kolaboratif dibandingkan dua (2) gili yang lain. Hal ini terjadi karena masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih mapan akibat pariwisata lebih terkonsentrasi di Gili Trawangan. Masyarakat dengan aktifitas ekonomi utamanya adalah memanfaatkan jasa lingkungan, dalam hal ini pariwisata, cenderung lebih mudah menerima pola pengelolaan yang lebih lestari (konservasi) (Santosa, 2008)). Kelemahannya, pariwisata mendorong masyarakat lebih materialistik dan melemahkan hubungan sosial sehingga relatif susah untuk melepaskan kepentingan ekonomi dari pemangku kepentingan serta agak susah dilibatkan dalam kegiatan teknis karena keterbatasan waktu untuk bersosialisasi. Hal yang perlu diwaspadai adalah lembaga-lembaga dalam masyarakat dikendalikan lebih dominan oleh kepentingan ekonomi. 3.2 Pola Pendekatan Mewujudkan Pengelolaan Kolaboratif di TWP Gili Matra Mewujudkan pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan dapat terjadi secara alamiah akibat kondisi tertentu seperti kelangkaan sumberdaya (Pomeroy, 2003) ataupun adanya niat dari tokoh-tokoh atau pelaku-pelaku lokal (Pomeroy et al., 2001;
McConney et al., 2003). Hal tersebut bukan berarti sebuah aplikasi tata kelola kolaboratif tidak dapat diaplikasikan dalam proses yang terstruktur dan terencana. Sehingga oleh inisiator/fasilitator (Satker TWP Gili Matra, Bappeda KLU, Dinas PPKKP KLU, Pemerintah Desa, WCS) pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra, dilakukan penyusunan pola pendekatan pengembangan pengelolaan kolaboratif. Pola pendekatan tersebut merupakan hasil sintesa analisis pemangku kepentingan dengan konsep-konsep kolaborasi sehingga cukup jelas dan mewadahi kondisi yang ada. Pada sisi lain pola pendekatan tersebut dibangun dengan mempertahankan sifat adaptif, terbuka terhadap situasi dan kondisi terkini, mengingat dinamika sosial, ekonomi dan politik yang mungkin terjadi dan belum teridentifikasi. Dengan demikian peran pola pendekatan adalah sebagai arahan umum bagi inisiator/fasilitator serta media komunikasi yang konstruktif bagi semua pihak dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif dapat berjalan efektif. Proses penyusunan pola pendekatan dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra yang dilakukan oleh fasilitator/inisiator diawali dengan pengumpulan input data primer dari analisa pemangku kepentingan, data sosial ekonomi (Kartawijaya et. al, 2012) serta data sekunder dari berbagai sumber terkait dinamika pengelolaan Gili Matra. Kemudian dilakukan diskusi pakar membahas kondisi dari data dan informasi yang ada serta merumuskan opsi-opsi pendekatan mewujudkan pengelolaan kolaboratif di KKPN TWP Gili Matra dan implikasinya. Inisiator/Fasilitator melakukan pertemuan untuk memilih pola pendekatan yang disajikan dalam alur dalam mewujudkan Program Pengelolaan Kolaboratif Gili Matra (Gambar 3.1) dan menyusun jadwal waktu pelaksanaannya. Alur tersebut di modifikasi dari Borrini-Feyerabend (2000).
Gambar 3.1. Pendekatan program mewujudkan pengelolaan kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra
Terdapat 3 (tiga) tahap penting dalam alur pendekatan mewujudkan kolaboratif management TWP Gili Matra yang direncanakan. Tahap tersebut adalah; Tahap Identifikasi Keterwakilan; Tahap Pelembagaan; dan Tahap Perumusan Pengelolaan Bersama. Tahap pertama, identifikasi keterwakilan pada dasarnya lebih kepada menguatkan hasil proses inisiasi yang telah berjalan. Hal khusus pada pola pendekatan yang dilakukan adalah posisi pengelola, dalam hal ini Satker BKKPN, berada pada posisi khusus (dalam tahap perumusan pengelolaan bersama). Hal tersebut dilakukan untuk menjamin dan memastikan arah kolaboratif adalah untuk menunjang efektifitas pengelolaan kawasan konservasi seperti yang dimandatkan. Dalam tahapan penyusunan pola pendekatan dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif selain menghasilkan pola alur program mewujudkan pengelolaan kolaboratif juga menghasilkan inisiator/fasilitator yang definitif. Inisiator/fasilitator tersebut adalah Satker BKKPN KKPN/TWP Gili Matra, Bappeda KLU, DPKKP KLU, Pemerintah Desa serta WCS. Inisiator/fasilitator definitif terbentuk seiring proses penyusunan alur pendekatan yang dilakukan dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif dan adanya kesamaan tingkat pemahaman akan pentingnya pengelolaan kolaboratif pada pihakpihak tersebut serta, selain WCS, memiliki posisi sebagai pemangku kepentingan yang setara dalam pengelolaan kawasan. Hadirnya komponen pengelola dan pemerintah dalam hal ini juga berperan sebagai jaminan adanya komitmen/niat dari pengambil kebijakan (Pomeroy and Rivera, 2006) dalam tahap awal ataupun selanjutnya (Plummer and Fennel, 2007). WCS dalam hal ini berperan sebagai katalisator dari luar (external agent) (McConney et al., 2003; Pomeroy et al., 2001) sebagai pengarah menuju pengelolaan kolaboratif. Komponen masyarakat dan pelaku usaha di dalam kawasan dalam tahap penyusunan pola pendekatan mewujudkan pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra direpresentasikan oleh pemerintah desanya. Tidak hadirnya pelaku usaha dan masyarakat secara luas sebagai fasilitator/katalisator mengingat hasil pendampingan/penyuluhan menunjukkan belum samanya persepsi dan pemahaman terhadap pengelolaan kolaboratif yang akan diwujudkan, masyarakat luas selama ini telah menyalurkan aspirasi pengelolaannya dengan baik melalui pemerintah desa (Kartawijaya, 2013) dan tahap ini sendiri masih dalam tahap awal sehingga akan memperlambat proses jika dibuka dalam forum yang luas. Catatan pembelajaran dari tahap penyusunan alur pendekatan mewujudkan pengelolaan kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra diantaranya adalah; Perlu adanya data dan informasi terkait peta sosial ekonomi dan politik, kondisi pengelolaan sebelumnya hingga saat ini, serta modal sosial yang ada (Singleton,1998; Eamer,2006; Pretty and Ward, 2001; Plummer and FitzGibbon, 2007; Kruse et al.,1998) dalam penyusunan alur pendekatan mewujudkan pengelolaan kolaboratif. Hal ini akan menjamin dukungan pihak pemangku kepentingan yang akan dilibatkan selanjutnya. Identifikasi dan pelibatan secara definitif inisiator/fasilitator dilakukan dengan memperhatikan kunci keberhasilan mewujudkan pengelolaan kolaboratif dan hal-hal yang menghambat. Dalam hal ini diantaranya adanya komitmen/niat dari pengambil kebijakan (Pomeroy and Rivera, 2006) dalam tahap awal ataupun selanjutnya (Plummer and Fennel, 2007), adanya peran sebagai katalisator dari luar (external agent) (McConney et al., 2003; Pomeroy et al., 2001).
Hadirnya lembaga pemerintahan sebagai inisiator/fasilitator juga akan memberi dorongan dan kepastian pada staf-staf didalamnya untuk berperan proaktif (Philipson, 2002; Pameroy, 2004). Pengelola, dalam hal ini Satker BKKPN, semestinya mengambil peran utama dalam semua tahap mewujudkan pengelolaan kolaboratif KKPN TWP Gili matra untuk menjamin pengelolaan kawasan sesuai dengan yang dimandatkan khususnya mandat konservasi. Bagi inisiator/fasilitator pola pendekatan dalam bentuk alur dan tata waktu pelaksanaannya adalah sebagai acuan dan jaminan proses selanjutnya dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif tetap mengacu arahan konsep-konsep kolaboratif dan disisi lain juga merupakan jaminan adanya ruang pelibatan pihak pemangku kepentingan yang seharusnya dilibatkan, tetap terbuka (adaptif). Kendala yang terjadi dalam tahap penyusunan pola pendekatan program mewujudkan pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra antara lain; Lemahnya pemahaman para pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah khususnya Kawasan Konservasi Perairan. Sehingga peran mewacanakan pengelolaan kolaboratif menjadi penting dilakukan melalui intensifikasi pendampingan/penyuluhan (outreach) pada pemangku kepentingan. Belum jelasnya acuan pengelolaan TWP Gili Matra (rencana pengelolaan dan zonasi belum ditetapkan), saat itu, sehingga pola pendekatannya tidak terlalu menunjukkan pola pendekatan pengelolaan kolaboratif untuk mengelola sebuah KKPN secara spesifik. Pengelola, Satker BKKPN, belum memiliki posisi kuat dihadapan para pemangku kepentingan karena masih lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola, meskipun secara legal formal telah diakui.
BAB IV. Pelembagaan Pengelolaan kolaboratif dapat dipandang sebagai bentuk berkesinambungan dari pertukaran informasi hingga kemitraan secara formal (Pomeroy and Berkes, 1997). Sehingga dalam proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra pada awalnya tidak membatasi bentuk pelembagaan yang akan mewadahinya. Sebagai penekanan, usaha pelembagaan dalam pengelolaan kolaboratif adalah aspek penting untuk efektifnya pengelolaan kolaboratif (Berkes, 2009). Berkes juga menyatakan pentingnya pelembagaan (institutional building process) meskipun lembaga lokal tidak kuat, diakui bahwa proses pelembagaan adalah proses yang lama dan mahal namun tetap harus dilakukan. 4.1 Keterwakilan dalam Pengelolaan Kolaboratif Seperti telah disebutkan dalam pola pendekatan yang disepakati oleh inisiator/fasilitator, tahap identifikasi keterwakilan seluruh pemangku kepentingan bersifat dinamis dan telah berjalan sebelumnya. Pada awalnya proses Identifikasi keterwakilan pemangku kepentingan dilakukan melalui kajian analisa pemangku kepentingan dan kajian sosial ekonomi pengguna sumber daya di TWP Gili Matra, serta konsultasi dan konfirmasi pada patron-patron komunitas, pengelola dan para pemangku kepentingan lainnya. Pelibatan setiap individu dalam masyarakat secara langsung dan pribadi adalah suatu hal yang tidak efektif dan tidak efisien (Carlsson and Berkes, 2005). Karena itu diperlukan mekanisme pelibatan yang memberikan jaminan, arahan dan kejelasan dalam pelibatan masyarakat secara efektif dan efisien. Untuk efektifitas dan efisiensi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan, pola keterwakilan perlu dibangun sebagai bagian penting dalam mekanisme pelibatan masyarakat. Kelompok-kelompok minat dan kesamaan antar individu yang ada dalam sebuah masyarakat (pemangku kepentingan) adalah sebuah simpul penting pelibatan masyarakat Secara proses, dasar analisa dan pendekatan hasil kajian awal berupa analisa pemangku kepentingan dan alur implementasi pengelolaan kolaboratif di sinkronkan dengan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat saat itu. Kemudian diikuti dengan pengelompokkan pemangku kepentingan dalam otoritas dan kesamaannya terkait pengelolaan kawasan untuk mengefektifkan tahap pelembagaan. Batasan keterwakilan dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal terkait pengelolaan yang adaptif, kemajemukan, manajemen konflik, tata kelola dan komunikasi sosial (Bakary, 2006) dan bersifat mewakili masyarakat secara menyeluruh, luas, berkeadilan dan mufakat (representatif) sehingga menunjang dasar kemitraan yaitu kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (penjelasan Pasal 8 Ayat (1) PP 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan). Keluaran dari proses keterwakilan dalam kolaboratif adalah berupa daftar kelompok-kelompok, lembaga-lembaga serta instansi-instansi sebagai perwakilan masyarakat melalui pemangku kepentingan terkait pengelolaan kolaboratif. Hal penting pada keluaran adalah seberapa dalam daftar tersebut dalam menjadi pendorong terwujudnya pengelolaan kolaboratif (Nadasdy, 2003; Borrini-Feyerabend et al., 2004).
Efektifitas proses membangun keterwakilan akan memberikan ikutan positif pada tahaptahap selanjutnya jika memiliki keluaran yang baik. Beberapa hal yang menjadi catatan pembelajaran dalam perumusan keterwakilan pemangku kepentingan adalah sebagai berikut; Proses membangun keterwakilan yang dihasilkan agar efektif (Nadasdy, 2003; Borrini-Feyerabend et al., 2004; Carlsson and Berkes, 2005; Berkes, 2009; Pomeroy and Berkes, 1997) masih bersifat normatif. Sehingga dituntut kapasitas dan pengalaman inisiator/fasilitator baik dari dalam pemangku kepentingan atau dari luar (external agent) Sangat penting bagi otoritas pengelola untuk memastikan adanya petugas khusus penyuluhannya/pendamping masyarakat (outreach) yang aktif dan efektif, bersama inisiator/fasilitator implementasi pengelolaan kolaboratif, melakukan kegiatan-kegiatan yang menjamin proses implementasi pengelolaan kolaboratif terkomunikasikan pada seluruh komponen pemangku kepentingan. Disisi lain pengelola harus menyesuaikan proses implementasi secara dinamis dengan kondisi masyarakat sehingga terbangun kepercayaan diantara pemangku kepentingan, hubungan yang ada terkelola dengan baik dan proses pembelajaran sosial juga berjalan (Natcher et al., 2005; Olsson et al., 2004(a),(b); Armitage et al., 2008; Arnold et al., 2007). 4.2 Pembentukan Lembaga Pengelolaan Kolaboratif KKPN/TWP Gili Matra Secara tersirat pola hubungan antar lembaga dalam pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra dapat dilihat dari Gambar 4.1. Gambar 4.1 terlihat bahwa dalam hal pelibatan kelompok/lembaga/pemangku kepentingan dari masyarakat dan pengusaha dalam pengelolaan kolaboratif lebih strategis jika diwadahi di dalam desa. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan melalui Pemerintah Desa didukung oleh data penelitian Kartawijaya et.al, 2012 dimana tingkat partisifasi aktif masyarakat melalui kelembagaan masyarakat/ormas berada pada tingkat keterlibatan tinggi, hal ini menunjukkan masyarakat telah terbiasa menyalurkan aspirasinya melalui saluran kelembagaan yang ada. Hal lain yang mendukung adalah pola pengambilan keputusan dalam daerah administratif desa telah sangat demokratis dimana pemilihan Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa dilakukan langsung oleh warga. Justru akan melemahkan pola yang ada jika Pemerintah Desa dalam pengelolaan kolaboratif harus duduk sama rata dengan lembaga lain yang berbasis desa juga. Sehingga kelompok inti pertama dalam pengelolaan kolaboratif Gili Matra adalah Pemerintah Desa. Sementara untuk Pemkab KLU serta jajaran dinas terkait didalamnya adalah kelompok kedua yang diharapkan duduk dalam pengelolaan kolaboratif. Seperti dihasilkan dalam analisa pemangku kepentingan bahwa pengaruh, pemahaman dan keterlibataan, Pemkab KLU dalam hal ini dinas-dinas terkait belum memiliki tingkat yang sama dan mengambil peran optimal dalam mendukung pengelolaan kolaboratif kawasan. Sisi lain dari persepsi masyarakat perbedaan dinas sektoral dalam Pemkab tidak dipahami, masyarakat masih menyamakan semua pihak dinas dari kabupaten sebagai Pemerintah Kabupaten. Satker BKKPN dalam hal ini mengambil posisi sebagai kelompok lembaga berikutnya dalam pengelompokkan pengelolaan kolaboratif. Dimana
otoritas pengelolaan legal berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BKKPN Kupang, yang diwakilkan oleh Satker Gili Matra. Bentuk pelembagaan pada awalnya adalah sebuah wacana pilihan pada rentang opsi lebar. Pelembagaan dalam hal ini berada pada rentang hanya kesepakatan semua pihak untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi rutin hingga pada pembentukkan sebuah wadah formal dan legal terkait pengelolaan kolaboratif (Pomeroy and Berkes, 1997). Batasan pelembagaan kolaboratif di TWP Gili Matra adalah bahwa KKPN TWP Gili Matra sebagai sebuah kawasan konservasi perairan yang otoritas pengelolaannya berada dibawah BKKPN Kupang melalui Satkernya. Hal ini menjadi penting untuk menghindari pelembagaan kolaboratif berkesan dan mengarah sebagai otoritas ganda dalam pengelolaan kawasan. Seperti yang disebutkan bahwa pelembagaan kolaboratif bersifat fleksibel dan sangat penting (Pomeroy and Berkes, 1997), namun memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk mewujudkannya (Berkes, 2009). Untuk itu proses pendampingan dan pelibatan (penyuluhan/outreach) masyarakat dalam pengelolaan KKP, khususnya proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif menjadi penting sebagai usaha menguatkan wacana, meningkatkan dukungan dan mempercepat proses serta disisi lain sebagai bagian verifikasi proses yang dilakukan sesuai situasi kondisi dan terbuka pada kondisi terakhir dalam kawasan. Media penyuluhan yang digunakan seperti pertemuan informal, pemasangan papan informasi, diskusi group terfokus dan lain sebagainya, bahkan penyuluh/pendamping turut dalam berbagai aktifitas rutin kelompok masyarakat terkait. Seiring dengan proses outreach, proses kearah formalisasi lembaga pengelolaan kolaboratif mulai berjalan. Proses pelembagaan merupakan tahap nyata mewujudkan pengelolaan kolaboratif, karena pada tahap ini para pemangku kepentingan dilibatkan dalam berbagai pertemuan formal dan berkomitmen. Bentuk komitmen awal adalah dimana setiap pertemuan formal selanjutnya disepakati oleh fasilitator/inisiator dilakukan dan difasilitasi oleh Bappeda KLU sebagai bagian dari pemangku kepentingan. Melalui proses identifikasi keterwakilan, lembaga kunci implementasi pengelolaan kolaboratif secara spesifik di KKPN/TWP Gili Matra mengerucut mengambil peran sebagai inisiator/fasilitator dan makin menguat pada tahap pelembagaan. Dalam proses identifikasi keterwakilan, inisiator/fasilitator tesebut adalah lembaga Pemerintahan Desa sebagai payung berbagai pemangku kepentingan di Gili Indah, Bappeda Kabupaten Lombok Utara sebagai bagian strategis jajaran pemerintahan Kabupaten Lombok Utara, Satker BKKPN TWP Gili Matra sebagai otoritas pengelola KKP Gili Matra secara teknis, Serta DPPKKP Lombok Utara sebagai instansi sektoral terkait di Pemkab KLU. Inisiator/fasilitator dalam kelanjutan proses mewujudkani pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra harus menjamin prinsip pengelolaan kepentingan /managemen konflik, capacity building/peningkatan kapasitas, keputusan berdasarkan kesepakan dan keterbukaan informasi. Atas inisiatif inisiator/fasilitor dilakukan pertemuan-pertemuan dalam format diskusi group terfokus dengan kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan tertentu berdasarkan analisa pemangku kepentingan untuk menggali dan membangun bentuk kelembagaan kolaboratif TWP Gili Matra. Pertemuan yang dilakukan diantaranya dengan kelompok-kelompok pelaku wisata, kelompokkelompok nelayan, serta kelompok-kelompok pemuda dengan minat khusus.
Hasil berbagai pertemuan parsial dibawa ke sebuah lokakarya pelembagaan pengelolaan kolaboratif yang dihadiri oleh seluruh pemangku kepentingan dengan hasil disepakatinya terbentuknya FKKP yang kemudian disahkan melalui SK Bupati (Lampiran 2.) serta draft rencana aksi yang akan dimatangkan lebih lanjut. Hal penting yang menjadi catatan pembelajaran dari proses pembentukkan lembaga pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra adalah sebagai berikut; Fasilitasi dan koordinasi membuka ruang pengelolaan kolaboratif melalui berbagai pertemuan antar pemangku kepentingan merupakan tugas otoritas pengelola. Hal tersebut akan menjamin setidaknya ada satu hubungan vertikal antara pemerintah dan pengguna sumberdaya, dalam menjaga niat pembagian kekuasaan dan tanggung jawab dalam kolaboratif (Pinkerton, 1989; Berkes, 2009; Borrini-Feyerabend et al., 2004). Namun untuk tahap awal pengelolaan kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra satker BKKPN, otoritas pengelola, memiliki alur birokrasi yang panjang dalam pelibatan stakeholder. Sehingga menjadi catatan kedepan pentingnya pengembangan kapsitas pengelola dalam pelibatan pemangku kepentingan. Dalam kondisi keterbatasan pengelola, peran sebagai fasilitator dan koordinator dilakukan oleh pemkab KLU melalui Bappedanya. FKKP merupakan lembaga/wadah pengelola (Management Body) definitif. Catatan khusus dalam hal ini adalah bahwa FKKP bukan pengelola Kawasan Konservasi Perairan, melainkan wadah bersama bagi berbagai pihak dalam berkolaborasi mengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Keluaran draft rencana aksi dalam tahap pelembagaan, merupakan wacana awal bagi semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan kolaboratif akan arti penting adanya dokumen perencanaan. Sehingga tahap pelembagaan tidak terputus, melainkan dilanjutkan dengan penyusunan dan penetapan dokumen perencanaan yang merupakan bagian proses implementasi pengelolaan kolaboratif. Tahap pelembagaan dalam implementasi pengelolaan kolaboratif melewati beberapa hal penting yang jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menjadi penghambat implementasi. Hal tersebut seperti; Dalam berbagai pertemuan wacana sering kali melebar pada isu-isu praktis pengelolaan seperti wacana penanganan sampah, permasalahan pengunjung dan pelaku wisata, fasilitasi sarana umum dan lain sebagainya. Adanya wacana-wacana kebingungan dalam memahami peran masing-masing pihak dalam menghadapi isu-isu pengelolaan dalam kawasan. Tidak adanya acuan teknis yang jelas (kebijakankebijakan dan turunannya hingga petunjuk pelaksanaan tenis) dalam implementasi pengelolaan kolaboratif menimbulkan berbagai pertanyaan dan kegamangan. Keraguan bahwa lembaga/wadah pengelola (management body) memiliki tingkat keterwakilan, pengakuan dan legalitas yang cukup. Serta kebutuhan akan kesekretariatan sebagai “rumah” bagi seluruh pemangku kepentingan. Kendala-kendala tersebut merupakan bagian penting yang harus dikelola dan diarahkan sehingga tersalurkan pada waktu dan tempatnya sehingga tidak menjadi penghambat. Sebuah catatan investasi kesinambungan implementasi pengelolaan kolaboratif nantinya yang dilakukan dalam tahap pelembagaan adalah penyusunan pola hubungan antar pemangku kepentingan (Gambar 4.1). Arti penting dari pola hubungan tersebut adalah respon untuk mengefektifkan proses penguatan kelompok-kelompok dalam sosial ekonomi untuk membangun prinsip-prinsip kolaboratif (Berkes, 2009; Reid et
al.,2006; Moller et al., 2004), mengacu kepada peran, tugas dan fungsi ataupun kepentingan terkait pengelolaan dan bukan sekedar struktur formalitas saja (Carlsson and Berkes, 2005), memudahkan penguatan masyarakat umum dalam implementasi pengelolaan kolaboratif (Bene and Neiland, 2004; Berkes, 2009), menyelesaikan permasalahan jarangnya pengalaman institusi-institusi lokal bermitra dengan pihak pemerintah dan ketidaksiapan pihak pemerintah dalam hal tersebut (Jentoft and McCay, 1995). Pola hubungan disusun mengacu pada pola interaksi pemangku kepentingan dalam kaitannya dengan sistem sosio-ekologi kawasan serta kapasitas dan otoritas yang dimilikinya. Meskipun pola hubungan dan pengelompokkan pemangku kepentingan yang jelas adalah hal penting untuk dilakukan, namun seiring dengan mapannya pola pengelolaan kolaboratif dalam menegakkan prinsip-prinsip (keterbukaan, kesetaraan dan saling menguntungkan), pola hubungan tersebut harus semakin cair hingga pola hubungan hanya mengacu kepada peran, tugas dan fungsi serta kepentingan terkait pengelolaan.
PEMANGKU KEPENTINGAN LAINNYA (AKADEMISI, NGO, PROV) PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA
DESA Private Sector Community
PENGELOLA KKPN TWP GILI MATRA
Gambar 4.1 Pola Hubungan Antar Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Kolaboratif di KKPN/TWP Gili Matra 4.3 Penyusunan Dokumen Perencanaan Pengeloaan Kolaboratif Dokumen perencanaan berfungsi sebagai acuan, arahan, serta kontrol. Dokumen perencanaan, sebagai perangkat lunak kelembagaan kolaboratif, merupakan sebuah dokumen pegangan aplikatif formal dalam menjamin, menyelaraskan mengarahkan, memonitoring dan mengevaluasi semua pihak dalam berkolaborasi secara teknis dan terstruktur dalam rentang waktu yang jelas. Secara sederhana dokumen perencanaan
berperan sebagai bentuk nyata dan jaminan komitmen pihak-pihak pemangku kepentingan yang telibat. Umumnya secara vertikal bentuk dokumen perencanaan dapat berupa rencana induk (master plan), rencana pengelolaan (management plan) serta rencana aksi (action plan). Dokumen perencanaan kolaboratif TWP Gili Matra tidak dibuat dalam bentuk rencana induk ataupun rencana pengelolaan, namun lebih ke arah bentuk rencana aksi. Pertimbangan bentuk dokumen perencanaan tidak dalam bentuk rencana induk yang memuat kebijakan strategis umum, karena masing-masing pihak yang terlibat khususnya kelompok pemerintah daerah, pemerintah desa, serta pengelola telah menetapkan rencana induknya dalam nomenklatur kebijakan rencana induknya sendiri-sendiri. Seperti RPJP/RPJM baik desa ataupun kabupaten, Rencana Zonasi dan Rencana Pengelolaan milik pengelola dan rencana induk lainnya yang juga ada dari pemerintah pusat ataupun provinsi terkait ruang ataupun non ruang. Adapun pertimbangan dokumen perencanaan tidak mengambil bentuk sebagai rencana pengelolaan yang memuat alokasi dan pemanfaatan sumberdaya, karena dengan pertimbangkan otoritas kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada selama ini telah tersebar pada masing-masing pemangku kepentingan. Seperti anggaran pemerintah baik daerah dan pusat berada pada instansi terkait dan dimanfaatkan dengan acuan teknis tersendiri. Demikian pula sumber daya yang bersifat swadaya masyarakat/pengusaha (non-pemerintah) telah memiliki pola pengelolaan tersendiri. Sehingga dalam kasus dokumen perencaaan kolaboratif TWP Gili Matra bentuk yang sesuai adalah mengambil bentuk dokumen rencana aksi. Dokumen rencana aksi kolaboratif TWP Gili Matra memuat hasil proses koordinasi, konsultasi, fasilitasi dan mediasi semua kegiatan pemangku kepentingan dalam payung strategi pengelolaan KKPN. Agar dokumen perencanaan kolaboratif berbentuk dokumen rencana aksi, maka dokumen tersebut disusun setelah proses perencanaan-perencanaan lain dan sektoral (RPJM, Musrembang, Rencana Pengelolaan kawasan) bahkan renja masing-masing sektor ataupun pihak telah berproses terlebih dahulu. Berbeda dengan penyusunan dokumen perencanaan yang lebih besar (Master Plan) yang prosesnya diawali dengan identifikasi isu dan/atau identifikasi usulan/gagasan. Peran dokumen perencanaan kolaboratif TWP Gili Matra, dalam hal ini rencana aksi, untuk bersinergi dengan dokumen perencanaan pihak pemangku kepentingan lainnya di tahap awal ini tentu tidak optimal. Pada tahap awal ini penyusunan dokumen lebih mendekati sebuah proses identifikasi dan sinkronisasi rencana aksi pihak-pihak yang ada. Untuk siklus kolaborasi berikutnya perencaanan diarahkan agar rencana aksi kolaboratif memberi warna dan lebih sinergis kepada proses perencaan lainya melalui skema kolaborasi yang dibahas dibawah. Sinergisitas tersebut diharapkan akan terjadi setelah adanya input perencanaan berupa kondisi, aspirasi dan isu terkait kolaboratif dan kawasan dari pelaksanaan perencaan kolaboratif sebelumnya. Demikian pula sebaliknya dokumen perencanaan lainnya pada para pemangku kepentingan yang terkait dengan kolaboratif, secara berkesinambungan disusun dengan mempertimbangkan hasil evaluasi rencana aksi dari pengelolaan kolaboratif sebelumnya. Melalui proses sinergisitas tersebut diharapkan pengelolaan kolaboratif akan berevolusi menjadi pengelolaan kolaboratif adaptif (Colaborative Management -
Adaptive Colaborative Management (CM-ACM)) (Olsson et al., 2004 (a); (b); Armitage et al., 2008). Secara proses dokumen rencana aksi diawali dengan inisiasi penyusunan dokumen rencana aksi forum FKKP oleh pengelola TWP GiliMatra, Pemerintah Desa Gili Indah, Bappeda KLU serta DPPKKP KLU sebagai lembaga inti Forum dibantu WCS sebagai lembaga pendamping dari luar (External Agent). Proses dilakukan dalam pertemuan-pertemuan series pihak-pihak tersebut. Output dari proses ini adalah outline dokumen rencana aksi yang bisa menjadi wadah bagi semua pihak. Outline tersebut ditekankan pada bentuk umum yang mampu mewadahi seluruh kegiatan pihak lain terkait kolaborasi pengelolaan kawasan. Hal-hal yang membatasi dan bersifat sensitif diusahakan dihindari dengan menggunakan bahasa dan istilah yang dipahami oleh semua pihak atau bahkan tidak dimuat. Proses selanjutnya adalah memperkaya muatan rencana aksi dari seluruh pemangku kepentingan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan pada tahun berjalan serta rencana kegiatan tahun berikutnya yang mungkin dikolaborasikan dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan kolaboratif. Proses tersebut diikuti dengan kompilasi dan konsultasi pada pihak-pihak terkait secara parsial dalam sekala yang semakin luas untuk konfirmasi dan revisi. Setelah penyusunan draft rencana aksi dilaksanakan, dilakukan finalisasi. Finalisasi dilakukan melalui sebuah lokakarya Forum KKP yang menghasilkan kesepakatan dokumen rencana aksi (Lampiran 3.). Dokumen yang telah disepakati disahkan oleh Bupati Kab. Lombok Utara. Berikut disajikan beberapa hal yang menjadi catatan dalam pembelajaran implementasi pengelolaan kolaboratif pada tahap penyusunan dokumen perencanaannya; Terdapat berbagai bentuk tingkat, peran dan fungsi kolaborasi dalam pengelolaan sesuai dengan rancangan pembagian kekuasan dan tanggung jawab di dalamnya (Pinkerton, 1989; Berkes, 2002; Borrini-Feyerabend et al., 2004 ) menentukan jenis dan tingkat dokumen perencanaannya. Untuk TWP Gili Matra dokumen perencanaannya berbentuk dokumen rencana aksi dengan pertimbangan seperti disebutkan sebelumnya. Proses penyusunan dokumen rencana aksi menuntut fasilitator/inisiator memahami prinsip-prinsip dan arah spesifik dari pengelolaan kolaboratif yang di bentuk. Tanpa pemahaman tersebut dokumen akan melebar pada isu-isu pengeloaan yang lebih luas dan tidak terkait dengan tujuan kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi perairan. Meskipun lembaga kolaboratif (FKKP) telah terbentuk, penting untuk menguatkan komponen fasilitator/inisiator. Dalam hal ini berfungsi dalam menyiapkan draft dokumen perencanaan dan kemudian dikonsultasikan sebelum di wacanakan dan disepakati dalam forum yang lebih luas (FKKP). Pentinganya tahap persiapan draft dilakukan untuk memperkaya konteks, menyamakan persepsi dan mengelola potensi konflik dalam komunikasi antar pihak. Seperti proses-proses sebelumnya, peran fasilitator/inisiator, dibantu juga oleh proses penyuluhan/pendampingan (outreach). Pihak yang melegalkan atau mengesahkan, di Gili oleh bupati KLU, perlu dikaji lebih dalam lagi sesuai dengan posisi strategis dokumen rencana aksi itu sendiri serta kebijakan yang menaungi pengelolaan kolaboratif.
Dokumen perencanaan, dalam hal ini dokumen rencana aksi, disamping berperan seperti disebutkan diatas secara konseptual, juga menjadi modal proses selanjutnya yaitu sebagai acuan arahan implementasi pengelolaan kolaboratif.
BAB V Implementasi dan Keberlanjutan 5.1 Implementasi Pengelolaan Kolaboratif Kelompok dinamika yang teridentifikasi berperan mempengaruhi arah dalam penerapan pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra yaitu kelompok dinamika sosial ekonomi politik dan kelompok dinamika kondisi biofisik. Adanya dinamika tersebut memerlukan peningkatan kapasitas kelembagaan secara berkesinambungan, jelas dan terarah sehingga mampu dipahami oleh semua pihak baik dalam arti pentingnya dan implementasinya. Pemahaman semua pihak akan peningkatan kapasitas kelembagaan kolaboratif secara berkesinambungan akan menjadi jaminan lembaga kolaboratif mampu mengelola dan beradaptasi terhadap dinamika yang terjadi. Karena pada intinya implementasi pengelolaan kolaboratif bukan hanya terkait kondisi sumberdaya semata namun lebih kepada mengelola hubungan antara pemangku kepentingan yang ada (Natcher et al., 2005) dan bersifat adaptif terhadap dinamika yang ada ((Olsson et al., 2004 (a); (b); Armitage et al., 2008) Untuk memberi ruang peningkatan kapasitas kelembagan secara berkesinambungan, jelas dan terarah perlu disepakati cakupan implementasi pengelolaan kolaboratif. Dalam tahapan proses sebelumnya, khususnya pelembagaan dan penyusunan dokumen rencana aksi kolaborasi, telah tersirat kolaborasi mencakup tiga (3) hal yang merupakan pengejawantahan tiga (3) strategi pengelolan Kawasan Konservasi Perairan sesuai Permen 30/2010. Tiga (3) implementasi kolaboratif adalah : Kelembagaan, Sosial Ekonomi dan Sumberdaya lingkungan. Hingga dokumen ini disusun, implementasi pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra baru dilaksanakan pada tingkat awal. WCS dalam hal ini sebagai katalisator mencoba menginisiasi kegiatan-kegiatan yang merepresentasikan tiga (3) cakupan implementasi kolaboratif, disamping turut mengawal pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang tertuang dalam rencana aksi FKKP. Wujud implementasi kolaborasi di TWP Gili Matra dalam cakupan kelembagaan pada tahap awal adalah melalui pelaksanaan studi banding ke TNL Karimun Jawa untuk anggota FKKP dari pihak pengelola, desa, kabupaten, dan masyarakat . Tema studi banding tersebut terkait wacana pengelolaan yang adaptif terhadap dinamika sosial ekonomi dan biofisik. Implemetasi kolaboratif dalam cakupan sosial ekonomi dilakukan melalui komitmen program WCS pada wacana koperasi yang sedang berkembang dan mendorong FKKP untuk turut mendukung wacana koperasi sebagai media implementasi sosial ekonomi. Implementasi kolaboratif terkait cakupan sumberdaya lingkungan dilakukan melalui program pengelolaan sampah secara berkelanjutan diawali dengan pelatihan pengelolaan sampah organik, pembentukan dan penguatan kelompok masyarakat peduli lingkungan, dan kegiatan rutin jumat bersih yang sejauh ini di lakukan dibawah koordinasi Pemerintah Desa Gili Indah. Kegiatan lainnya yang terkait sumberdaya lingkungan adalah pengawasan dan pembinaan dalam meningkatkan kepatuhan pada zonasi. 5.2 Keberlanjutan Pengelolaan Kolaboratif : sebuah pembelajaran implementasi
Pengelolaan kolaboratif meskipun adalah wacana yang belum mapan dalam pengelolaan, bukanlah hal baru dalam persepektif dinamika sosial jika dilihat dari pengelolaan hubungan antara pihak yang berkepentingan dalam membagi dan menegaskan peran untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan sosial antar pemangku kepentingan merupakan investasi awal dari keberlanjutan kolaborasi (Natcher et al., 2005; Olsson et al., 2004(a),(b); Armitage et al., 2008; Arnold et al., 2007.). Modal berikutnya adalah keterwakilan pemangku kepentingan dalam berkolaborasi dilakukan dengan mempertimbangkan batasan keterwakilan seperti dalam Bakary (2006) (pengeloaan yang adaptif, kemajemukan, manajemen konflik, tata kelola dan komunikasi sosial). Sifat dan dasar kolaborasi yang menjamin keberlanjutan kolaborasi mengacu pasal 8 Ayat (1) PP 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan haruslah bersifat menyeluruh, luas, berkeadilan dan mufakat (representatif), berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (Penjelasan Pasal 8 Ayat (1) PP 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan). Secara formal dalam tahapan proses yang dipaparkan diatas modal keberlanjutan diwujudkan dengan adanya pelembagaan kolaborasi dan dokumen rencana lembaga kolaboratif. Dalam usaha menjamin keberlanjutan pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra secara substantif dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut; Menjadikan skema kolaborasi TWP Gili Matra (Gambar 5.1) sebagai budaya dalam pengelolaan. Skema yang disajikan adalah sebuah hasil sintesa dan penyederhanaan proses sehingga memudahkan dalam adopsi dan implementasi oleh para pemangku kepentingan. Inti dari skema kolaborasi adalah adanya sinkronisasi program/kegiatan dan evaluasi program/kegiatan dalam setiap tahun berjalan. Cakupan dari sinkronisasi adalah program tahun berjalan, kompilasi program dalam rencana aksi dan koordinasi, komunikasi, fasilitasi dan mediasi program tahun berjalan. Sedangkan Evaluasi program/kegiatan mencakup pemaparan capaian rencana aksi, identifikasiaspirasi dan usulan program, adopsi aspirasi dalam rencana aksi tahun berikutnya. Kedua hal tersebut, Sinkronisasi dan Evaluasi Program bersifat siklus yang berkesinambungan dan menjadi budaya kolaborasi untuk menjamin keberlanjutannya.
Gambar 5.1 Skema Kolaborasi TWP Gili Matra Selalu ada ruang pelibatan bagi para pemangku kepentingan. Gambar 3.1 adalah usaha awal agar ruang pelibatan tersebut selalu tersedia. Pengelolaan kepentingan, keterbukaan informasi, peningkatan kapasitas dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan adalah prinsip yang menjamin ruang pelibatan. Pada saat pengelolaan kolaborasi telah terwujud, selanjutnya adalah penting untuk memastikan peran koordinasi dan fasilitasi yang menegakkan prinsip tersebut menjadi tanggung jawab lembaga/pemangku kepentingan tertentu yang telah dipastikan. Peran sebagai koordinator dan fasilitator tersebut haruslah memiliki otoritas, kapasitas serta arahan teknis untuk mengambil perannya. Dalam pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra peran koordinasi mengerucut kepada Bappeda KLU. Adapun otoritas dan kapasitas Bappeda untuk mengambil peran koordinator disamping dari perannya selama ini dalam pemerintahan KLU juga dari SK Bupati terkait pembentukkan FKKP. Sementara untuk arahan teknis berupa dokumen rencana aksi FKKP. Adapun peran fasilitasi berada pada Satker/BKKPN TWP Gili Matra yang memiliki otoritas dan kapasitas dalam pengelolaan kawasan. Adapun arahan pelaksanaan teknis dalam perannya sebagai fasilitator adalah adanya item kegiatan pertemuan sinkronisasi konsultasi dengan pemangku kepentingan dalam anggaran tahun berjalan dilengkapi dengan SOP pelibatan (lampiran 4.) sebagai petunjuk pelaksanaan pelibatan pemangku kepentingan. Pendampingan/penyuluhan (outreach) dalam melalui beberapa siklus hingga seluruh kelompok pemangku kepentingan mencapai tingkat kesetaraan dan keterbukaan yang mapan atau merasakan keuntungan dari berkolaborasi. Tingkat kesetaraan dan keterbukaan kelompok pemangku kepentingan pada awal proses mewujudkan kolaboratif managemen berjalan tidaklah dalam kondisi yang mendukung. Sebagai satu contoh pemangku kepentingan dari kelompok desa, baik pelaku usaha, masyarakat umum hingga pemerintah desa, pada awal proses masih dalam posisi
sebagai objek pengelolaan. Peran outreach menjadi penting dalam meningkatkan kesetaraan pemangku kepentingan dari kelompok desa sehingga setara dan terbuka di hadapan kelompok pemangku kepentingan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat. Secara teknis menyadarkan, menguatkan dan menyatukan peran swadaya yang telah dilakukan dalam mengelola di dalam kawasan sebelumnya menjadi tugas dan fungsi outreach hingga timbul kesetaraan dan keterbukaan dihadapan ataupun diantara pemangku kepentingan lainnya. Demikian pula terkait kesetaraan dan keterbukaan dari kelompok pemangku kepentingan lain, hingga semua pemangku kepentingan memiliki kesetaraan dan keterbukaan yang optimal untuk mendukung aktif pengelolaan kolaboratif. Dukungan kebijakan dan kehadiran pemerintah dalam pengelolaan dalam pengelolaan kolaboratif (Jentoft and McCay, 1995) adalah hal berikutnya yang menjamin pengelolaan kolaboratif. Hingga saat tulisan ini disusun peraturan turunan yang mengatur secara teknis terkait pengelolaan kolaboratif dalam mengelola kawasan konservasi perairan belum ada. Kolaboratif managemen menuju adaptif kolaboratif managemen (Berkes, 2009) adalah sebuah evolusi yang menjamin keberlanjutan pengelolaan kolaboratif. Mengelola jasa ekosistem dan kesejahteraan masyarakat membutuhkan pengetahuan terkait kompleksitas dan ketidakpastian sistem sosio-ekologis untuk melakukan monitoring status daya dukung, mengambil keputusan terkait alokasi dan respon balik pengelolaan terhadap ekosistem dalam berbagai skala (Berkes et al., 2003) karena kompleksitas dan ketidakpastian tersebut sangat sulit untuk satu pengelola untuk memiliki kemampuan mengelola secara penuh. Karena itu diperlukan pola pengelolaan yang adaptif dalam merespon dinamika kondisi sosio-ekologis tersebut. Karena itu adalah sebuah keharusan bagi kolaboratif managemen untuk berevolusi menuju adaptif kolaboratif managemen.
BAB VI Diskusi Mengacu kepada proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif yang telah dipaparkan diatas dari tahap identifikasi pemangku kepentingan, pelembagaan hingga penyusunan dokumen dan implementasi pengelolaan kolaboratif, proses menuju pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra adalah tahapan yang terencana, terstruktur dan terarah. Secara formal proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif dijaga untuk tetap dalam kerangka menuju kepada efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan. Secara substansi hal-hal terkait kendala dan kelemahan kolaboratif menjadi pertimbangan dalam proses mewujudkan pengelolaan kolaboratif. Sementara kelebihan dan kekuatan pengelolaan kolaboratif secara konsisten diterapkan dan ditekankan dengan selalu memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya. Dalam pelaksanaannya sendiri terjadi penyesuaian-penyesuaian bentuk capaian berdasarkan situasi dan kondisi spesifik di Gili Matra namun tidak terlepas dari batasan prinsip dan dasar yang ada. Proses identifikasi keterwakilan yang baik adalah sebuah jawaban mengefektifkan proses dan pelibatan namun tetap memperhatikan dan mewaspadai kelemahan pengelolaan kolaboratif yang mungkin muncul seperti yang disebutkan dari beberapa referensi. Kelemahan tersebut diantaranya tidak efektifnya keterwakilan(Carlsson and Berkes, 2005), lemahnya legalitas proses dan hasil implementasi pengelolaan kolaboratif (Jentoft, 2000; Mikalsen et al.,2007), lemahnya penguatan masyarakat umum dalam implementasi pengelolaan kolaboratif (Bene and Neiland, 2004; Berkes, 2009), kurangnya saling kepercayaan dan modal sosial antar pihak (Singleton,1998; Eamer,2006; Pretty and Ward, 2001; Plummer and FitzGibbon,2007; Kruse et al.,1998), jarangnya pengalaman institusi-institusi lokal bermitra dengan pihak pemerintah dan ketidaksiapan pihak pemerintah dalam hal tersebut (Jentoft and McCay, 1995), serta Kesenjangan kelompok-kelompok dalam sosial ekonomi menjadi hambatan terbesar dalam membangun prinsip-prinsip kolaboratif (Berkes, 2009; Reid et al.,2006; Moller et al., 2004). Pelembagaan pengelolaan kolaboratif bersifat fleksibel dan sangat penting (Pomeroy and Berkes, 1997). Sehingga dalam prosesnya tidak bisa dibatasi dalam satu bentuk tertentu. Pertemuan-pertemuan antar pemangku kepentingan dalam membagi peran, tugas dan fungsinya dalam pengelolaan juga termasuk dalam pelembagaan kolaboratif yang efektif. Pemangku kepentingan TWP Gili Matra membentuk sebuah Forum adalah atas dorongan kondisi para pemangku kepentingan itu sendiri. Sementara arahan program dalam mewujudkan pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra tidaklah membatasi bentuk pelembagaan yang akan terjadi. Hal yang sma juga terkait dokumen perencanaan kolaboratif. Hasil kajian terhadap dokumen perencanaan yang ada pada para pemangku kepentingan menentukan bentuk dokumen perencanaan pengelolaan kolaboratif. Dokumen perencanaan kolaboratif bukanlah payung bagi dokumen perencanaan lainnya, melainkan wadah komunikasi, koordinasi, sinkronisasi serta fasilitasi bagi seluruh pemangku kepentingan terkait perencanaan dalam kawasan. Dokumen tersebut juga sebuah jaminan komitmen dan kontrol antar pemangku kepentingan. Meskipun demikian seiring dengan menguatnya pengelolaan kolaboratif, dokumen perencanaan kolaboratif, dalam siklus-siklus selanjutnya, akan memberi warna pada dokumen perencanaan lainnya melalui adopsi isu, strategi, program/kegiatan. Terkait peran dokumen perencanaan pengelolaan kolaboratif dalam
mempertahankan tujuan pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra dilakukan dengan menetapkan cakupan dokumen perencanaan kolaboratif yang mengacu kepada tujuan pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi perairan itu sendiri. Dalam implementasi dan keberlanjutan kolaboratif Gili Matra belum memiliki data dan informasi yang cukup karena terbatasnya waktu dalam implementasinya. Namun usaha untuk membangun arah kolaboratif menuju adaptif kolaboratif telah dimulai dengan melakukan penguatan wacana pengelolaan adaptif kolaboratif. Demikian pula dalam hal penegasan peran katalisator dan fasilitator dalam siklus implementasi, jaminan pelibatan secara berkesinambungan, serta skema (Gambar 5.1) dan arahan teknis (SOP pelibatan) dalam tahap implementasi di siklus-siklus pengelolaan kolaboratif selanjutnya. Peran external agent adalah hal yang penting (McConney et al., 2003; Pomeroy et al., 2001). Salah satu peran pentingnya adalah sebagai pendamping/penyuluh (outreach). Peran outreach sendiri semestinya bersifat berkesinambungan pula dalam implementasi kolaboratif dan akan berkurang atau berubah penekanan seiring dengan meningkatnya kemapanan pengelolaan kolaboratif. Namun kondisi TWP Gili Matra belum mampu menunjukkan pemangku kepentingan yang bisa mengambil peran tersebut. Sehingga pendampingan dari luar (external agent) akan tetap diperlukan hingga interaksi yang terjadi antar pemangku kepentingan mencapai titik kemapanan dan kemandirian tertentu. Terdapat dua (2) hal yang belum terlaksana dalam implementasi pengelolaan kolaboratif di TWP Gili Matra. Dua hal tersebut adalah mensinkronkan pengelolaan kolaboratif dengan pola pendanaan melalui pemanfaatan kawasan untuk efektifitas pengelolaan serta evolusi pengelolaan kolaboratif hingga mencapai tingkat mapan dan mandiri dalam bentuk pengeloaan adaptif kolaboratif seperti pada Gambar 2.1.
Ucapan Terima Kasih Penyusunan dokumentasi pembelajaran implementasi pengelolaan kolaboratif TWP Gili Matra tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu diucapkan terimakasih kepada instansi-instansi serta pribadi-pribadi pada Bappeda KLU, Dinas DPKKP KLU, Pemerintah Desa Gili Indah, Satker BKKPN TWP Gili Matra, BKKPN Kupang, Masyarakat Desa Gili Indah yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Pada team WCS Lombok, serta team WCS Marine diucapkan terimakasih atas dukungan diskusi ilmiah yang membuat semuanya menjadi terstruktur dalam rangkaian pembelajaran. Khusus kepada Mas Arie/TNC diucapkan terimakasih telah membuka kesempatan bagi proses implementasi pengelolaan Kolaboratif TWP Gili Matra terkomunikasikan tidak hanya dalam TWP Gili Matra saja. Tulisan ini memiliki banyak kelemahan dan kekurangan sehingga besar harapan adanya masukkan untuk penyempurnaan lebih lanjut dari semua pihak. Atas masukkan yang telah dan mungkin akan diberikan diucapkan terimakasih. Puji Syukur kepada Tuhan atas segala rahmatNya sehingga tulisan ini terwujud.
Salam Tim Penulis
Kepustakaan Jentoft, S and McCay, B.J. 1995. User Paricipation in Fisheries Management. Lesson drown from international experiences. Marine Policy, 19,1995, 227-246. McCay, B.J. and Jetoft, S. 1995. From the bottom up :Participatory issues in fisheries management. Society and Natural Resources, 1996, 9(3), 237-250. Sen, S. And raakjaer-Nielsen, J. 1996. Fisheries Co-Mangement: a comparative analysis. Marine policy, 20(5), 1996, 405-416 Jentoft, S. 1985. Model of fishery development. 1985. The cooperative approach. Marine policy, 9, 1985, 322-331. Pemeroy, R.S., and Berkes, F. 1997. Two to tango: The role of goverment in fisheries co-management. Marine Policy, 21(5), 1997, 465-480 Berkes, F. 2009. (Review) Evolution of co-management: Role of knowledge generation, bridging organizations and social learning. Environmental Management, 90, 2009, 1692-1702. Berkes, F., Colding, J., Folke, F. (Eds.), 2003. Navigating Social–ecological Systems:Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. & Ndangang, V. 2007. A.: Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg (Germany). Reprint 2007 [first publication in 2000]. Santosa, A. (Ed). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. POKJA Kebijakan Konservasi. Jakarta. Reid, W.V., Berkes, F., Wilbanks, T., Capistrano, D. (Eds.). 2006. Bridging Scales and Knowledge Systems: Linking Global Science and Local Knowledge in Assessments. Millennium Ecosystem Assessment and Island Press, Washington DC. Moller, H., Berkes, F., Lyver, P.O., Kislalioglu, M. 2004. Combining science and traditional ecological knowledge: monitoring populations for co-management. Ecology and Society 9 (3), 2. Available from: http://www.ecologyandsociety.org/ vol9/iss3/art2. Schmeer, K. 1998. “Process for Developing an Interest Map in Ecuador,” Tech- nical Report no. 23. PHR Project. Bethesda, MD: Abt Associates Inc. Crosby, Benjamin L. 1992. "Stakeholder Analysis: A Vital Tool for Strategic Managers." Technical Notes, no. 2. Washington, DC: Implementing Policy Change Project for the US Agency for International Development (USAID). Pomeroy RS. 2003. The government as a partner in co-management. In: Wilson DC, Raakjær Nielsen J, Degnbol P, editors. The fisheries co-management experience. Dordrecht: Kluwer. McConney P, Pomeroy R, Mahon R. 2003. Guidelines for coastal resource comanagement in the Caribbean: communicating the concepts and conditions that favour
success. Barbados: Caribbean Conservation Association, Uni- versity of the West Indies, Cave Hill. Pomeroy RS, Katon BM, Harkes I. 2001. Conditions affecting the success of fisheries co- management: lessons from Asia. Mar Policy 2001;25(3):197–208. Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. & Ndangang, V. 2000. A.: Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg (Germany). Reprint 2007. Plummer R, Fennell D. 2007. Exploring co-management theory: prospects for ociobiology and reciprocal altruism. J Environ Manage 2007;85(4):944–55 Pomeroy RS, McConney P, Mahon R. 2004. Comparative analysis of coastal resource co-management in the Caribbean. Ocean Coast Manage . 2004;47(9-10):429–47. Pomeroy RS, Rivera-Guieb R. 2006. Fishery co-management: a practical handbook. Wallingford: CABI Publishing. Bakary B. 2006. Co-Management of Marine Protected Areas (MPAs): A Framework for Integrated Coastal Zone Management in the Gambia. Institute of Estuarine & Castal (IECS), The University of Hull. UK Nadasdy, P. 2003. Reevaluating the co-management success story. Arctic 56, 367– 380. Borrini-Feyerabend, G., Pimbert, M., Farvar, M.T., Kothari, A., Renard, Y. 2004. In: Sharing Power. Learning-by-doing in Co-management of Natural Resources throughout the World. IIED and IUCN/CEESP, and Cenesta, Tehran. Natcher, D.C., Davis, S., Hickey, C.G. 2005. Co-management: managing relationships, not resources. Human Organization 64, 240–250. Olsson, P., Folke, C., Hahn, T. 2004(a). Social-ecological transformation for ecosystem management: the development of adaptive co-management of a wetland landscape in southern Sweden. Ecology and Society 9 (4), 2. Available from: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss4/art2/. Olsson, O., Folke, C., Berkes, F. 2004(b). Adaptive co-management for building resilience in social–ecological systems. Environmental Management 34, 75–90. Armitage, D., Marschke, M., Plummer, R. 2008. Adaptive co-management and the paradox of learning. Global Environmental Change 18, 86–98. Arnold, J.S., Fernandez-Gimenez, M. 2007. Building social capital through participatory research: an analysis of collaboration on Tohono O’odham tribal ran- gelands in Arizona. Society and Natural Resources 20, 481–495. Pinkerton, E. (Ed.), 1989. Co-operative Management of Local Fisheries. University of British Columbia Press, Vancouver. Berkes, F. 2002. Cross-scale institutional linkages: perspectives from the bottom up. In: Ostrom, E., Dietz, T., Dolsak, N., Stern, P.C., Stonich, S., Weber, E.U. (Eds.), The Drama of the Commons. National Academy Press, Washington DC, pp. 293–321. Radyati, Maria R. N. 2012. Manfaat Pemetaan Pemangku Kepentingan. Published on Universitas Trisakti. MMCSR & MMCE (http://www.mmcsrusakti.org)
Kartawijaya, T, I. Yulianto, R. Prasetia, R. Anggreaeni, K.M. Hasbi, H. Hazmi, H. Fain. 2012. Laporan Monitoring Aspek Sosial Ekonomi DalamPengelolaan Taman Wisata Perairan Gili Anyer, Meno, Dan Trawangan 2012. Wildlife Conservation – Indonesia Program. Bogor, Indonesia. Bachtiar, I. 2013. Sejarah Pengelolaan Taman Wisata Perairan Gili Matra. Makalah Lokakarya Forum Koordinasi dan Kolaborasi Pengelolaan TWP Gili Matra, Jayakarta Hotel, Senggigi- Lombok, 2 Juli 2013. Pinkerton, E., 2003. Toward specificity in complexity: understanding co- management from a social science perspective. In: Wilson, D.C., Nielson, J.R., Degnbol, P. (Eds.), The Fisheries Co-management Experience. Kluwer, Dordrecht, pp. 61–77.
LAMPIRAN
Laporan Analisis Stakeholder Dalam Mendukung Proses Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan Nasional/Taman Wisata Perairan Gili Matra oleh I D G Warmadewa 1.
Gambaran Umum Implementasi Pengelolaan Kolaboratif KKPN Gili Matra
Secara geografis Wilayah KKPN Gili Matra mencakup wilayah satu desa yaitu Desa Gili Indah. Desa Gili Indah merupakan bagian dari wilayah administratif Pemerintahan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Desa Gili Indah berbentuk kepulauan yang terdiri dari tiga pulau kecil yang disebut dengan gili. Yaitu Air, Meno dan Trawangan. KKPN/TWP Gili Matra dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagai KKPN (Kawasan Konservasi Perairan Nasional) yang dekelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusat) perlu pendekatan yang berbeda dalam membangun pola pengelolaan kolaboratif. Perbedaan pendekatan tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sinkronisasi keterjaminan otoritas, tujuan substantif dan legal pengelolaan oleh pemerintah serta keterjaminan kesetaraan pihak lain yang terlibat dalam pengelolaan kolaboratif. Pemaparan analisis stakeholder dibawah ini mengacu kepada pendekatan tersebut. Beragam usaha pengelolaan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan di Gili Matra telah pernah dilakukan sebelumnya. Pengelolaan tradisional dilakukan melalui penerapan aturan adat/awig-awig. Teridentifikasi terdapat 3 jenis awig-awig pengelolaan sumberdaya perairan yang diterapkan di Gili Matra. Awig-awig tersebut adalah Awig-awig yang mencakup nelayan Lombok Utara oleh LMNLU (Lembaga Masyarakat Nelayan Lombok Utara), Awig-awig Desa Gili Indah tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dalam bentuk Perdes No. 12/Pem.1.1/2001 dan Awig–Awig tentang pengoperasian alat tangkap muroamai yang masih hingga kini dipatuhi. Terkait pengelolaan sumberdaya dengan peraturan adat/awig-awig lainnya ada teridentifikasi namun tidak seluruhnya berbentuk dokumen, masih berupa kesepakatan dan norma adat. Selain usaha pengelolaan tradisional melalui peraturan adat, secara pemerintahan kawasan Gili Matra berdasarkan SK Menhut No. 85/Kpts-II/1993 dan Keputusan Menhut No. 99/Kpts-II/2001 ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan sebelum pada akhirnya Berdasarkan Berita Acara Serah dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 – BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009. Demikian pula status administratif Gili Matra sebelumnya termasuk kedalam Kabupaten Lombok Barat, kini berada di dalam wilayah kabupaten baru Kabupaten Lomok Utara. Sehingga secara pengelolaan oleh pemerintah Gili Matra mengalami dinamika yang tinggi. Tingginya dinamika pengelolaan sumberdaya alam perairan Gili Matra tentu memberikan pengalaman lebih kepada masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perairannya. Pada sisi lain sinkronisasi kelembagaan dan kegiatan sering kali susah dilakukan. Pengelolaan kolaboratif adalah sebuah pendekatan untuk membangun pola pengelolaan yang sinergis dan efektif bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.
Identifkasi Stakeholder dalam pengelolaan KKPN Gili Matra
Desa Gili Indah memiliki beberapa kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan (lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya) yakni Komunitas Cinta Lingkungan, Gili Ecotrust, Satgas Gili, Front Masyarakat Peduli Lingkungan, Security Island, Asosiasi Pengusaha Gili, Asosiasi Nelayan, PKK, Karang Taruna, Asosiasi Jaring mourami, Asosiasi Kelompok Cidomo, Yayasan Pemerhati Penyu, POKDARWIS Gili Meno, Asosiasi Dive Shop, Persatuan Konter Penjual Tiket dan Transportasi, Kelompok Buruh, Koperasi Karya Bahari dan BUMIDES. Dalam analisis stakeholder ini tidak semua lembaga dikaji, mempertimbangkan atribut pengaruh dan otoritas lembaga terkait dalam implementasi pengelolaan kolaboratif. Dalam kajian ini stakeholder dikelompokkan dalam 3 sektor : Desa, Daerah dan Pusat. Masing– masing sektor terdiri dari stakeholder-stakeholder dalam sub Sektornya. Tabel dibawah menyajikan identifikasi stakeholder dalam usaha implementasi pengelolaan kolboratif di kawasan Gili Matra.
Pengelompokkan Internal/Eksternal dari tabel diatas berdasarkan otoritas pengelolaan dan atau pemanfaatan wilayah di kawasan Gili Matra yang berjalan sejauh ini. Sektor Pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak dikaji secara mendalam, kajian ini lebih terfokus pada sektor daerah khususnya kabupaten dan Desa. Dangkalnya kajian pada sektor pusat karena hal tersebut terkait dengan kajian yang lebih luas.
3.
Analisis Stakeholder
a.
Persepsi Umum Berdasarkan hasil kajian oleh Kartawijaya et.al, 2012 kendala pengelolaan dari persepsi nelayan dan pelaku wisata menunjukkan ketidakjelasan wewenang adalah yang utama dan solusi terbanyak dari kendala yang ada adalah melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Kendala dalam ketidak jelasan wewenang tersebut terjadi dalam pengelolaan daratan dan laut Gili Matra. Dari data ini menunjukkan masyarakat baik nelayan maupun pelaku wisata mengharapkan adanya pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. Penelitian yang sama juga menunjukkan 77 % lebih responden nelayan dan pelaku wisata mengetahui peraturan di TWP gili matra dan seluruhnya responden mendukung status kawasan. Sehingga dari data ini menunjukkan masyarakat baik nelayan maupun pelaku wisata mengharapkan adanya pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. b.
Analisis Pengaruh, Pemahaman dan Keterlibatan Stakeholder dalam Pengelolaan Kolaboratif Seluruh daftar stakeholder dalam tabel dibawah memiliki pengaruh besar dalam implementasi pengelolaan kolaboratif, namun memiliki pendekatan berbeda, formal dan informal karena bentuk kelembagaan yang dimiliki. Pemahaman dan keterlibatan diukur dari pengamatan dalam keterlibatannya pada kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam yang pernah dilakukan di Gili Matra.
c.
Pengelompokkan Stakeholder dalam Pengelolaan Kolaboratif Dalam hal pelibatan kelompok dari masyarakat dan pengusaha lebih strategis jika diwadahi di dalam desa. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan melalui Pemerintah Desa didukung oleh data penelitian Kartawijaya et.al, 2012 dimana tingkat partisifasi aktif masyarakat melalui kelembagaan masyarakat/ormas tinggi, hal ini menunjukkan masyarakat telah terbiasa menyalurkan aspirasinya melalui saluran kelembagaan yang ada. Hal lain yang mendukung adalah pola pengambilan keputusan dalam daerah administratif desa telah sangat demokratis dimana pemilihan Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa dilakukan langsung oleh warga. Justru akan melemahkan pola yang ada jika Pemerintah Desa dalam pengelolaan kolaboratif harus duduk sama rata dengan lembaga lain uyang berbasis desa juga. Sehingga kelompok pertama dalam pengelolaan kolaboratif Gili Matra adalah Pemerintah Desa. Pemkab KLU serta jajaran dinas terkait didalamnya adalah kelompok kedua yang diharapkan duduk dalam pengelolaan kolaboratif. Seperti disajikan dalam tabel pengaruh, pemahaman dan keterlibataan, Pemkab KLU dalam hal ini dinas-dinas terkait belum memiliki tingkat yang sama dalam mendukung pengelolaan kolaboratif kawasan. Sisi lain dari persepsi masyarakat perbedaan dinas sektoral dalam dinas tidak bisa dipahami, masyarakat masih menyamakan semua pihak dinas dari kabupaten sebagai Pemerintah Kabupaten. Satker BKKPN dalam hal ini ambil posisi sebagai lembaga berikutnya dalam pengelompokkan pengelolaan kolaboratif. Dimana otoritas pengelolaan legal berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BKKPN Kupang, yang diwakilkan oleh Satker Gili Matra. Terdapat Tiga pihak yang berkepentingan dan memiliki otoritas dalam pengelolaan Gili Matra yaitu : Pemerintah Desa, Pemkab KLU dan Satker BKKPN. Mengacu kepada Tiga pihak dalam pengelolaan kolaboratif, perlu dilakukan peningkatan kapasitas pada Pemerintah Desa, Pemkab KLU dan Satker BKKPN dalam hal pengelolaan kolaboratif melalui pendekatan program parsial di masing-masing pihak sesuai dinamika situasi dan kondisi di masing-masing pihak. Peningkatan kapasitas tersebut bertujuan untuk membangun kesetaraan semua pihak sesuai asas-asas pengelolaan kolboratif. 4.
Strategi dalam Implementasi Pengelolaan Kolaboratif
a. Alur Implementasi Pengelolaan Kolaboratif GiliMatra.
b. Strategi Pendekatan 1. Pelembagaan Pengelolaan Kolaboratif Stakholder Kunci : Pemerintah Desa, Pemkab KLU, Satker BKKPN Opsi bentuk pelembagaan : Kesepakatan (MOU), Koordinasi Rutin Teragenda, Forum pengelola, Kelompok Kerja kolaboratif dengan SK, Inisiatif Satker (Pengelola) dalam penyusunan kegiatan kolaboratif. 2. Identifikasi Program dalam Pengeloalaan Kolaboratif -Kepatuhan (mencakup kegiatan penyadaran, pengawasan, penegakkan dan penindakkan terkait tata kelola kawasan) -Sosial ekonomi (terkait peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam kawasan) -Monev (mencakup pengukuran efektifitas tata kelola secara sosial, ekonomi dan ekologis) c. Tahapan Proses Implementasi Pengelolaan Kolaboratif 1.Prakondisi •Inventarisasi dan identifikasi stakeholder dan kepentingan terkait pengelolaan kawasan. •Penyamaan persepsi melalui koordinasi dan konsultasi. •Kesepakatan pihak-pihak berkepentingan 2.Implementasi •Formalisasi kelembagaan/pelembagaan •Perencanaan Kegiatan kolaboratif 3.Monev efektifitas tata kelola secara ekologis, sosial, ekonomi.
RENCANA AKSI FORUM KOORDINASI DAN KOLABORASI PENGELOLAAN TAMAN WISATA PERAIRAN GILI MATRA
Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang 2013
RE ENCAN NA AKSI FK KKP TW WP GILI MATRA A TAHU UN ANG GGARAN N 2013/2 2014
Kementterian Kelauttan dan Perik kanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pe esisir, dan Pu ulau-pulau Ke ecil awasan Konse ervasi Perairran Nasional Kupang Balai Ka Wilayah h Kerja Kabupaten Lombo ok Utara, Propinsii Nusa Tengg gara Barat 2013
RENCANA AKSI FKKP TWP GILI MATRA TAHUN ANGGARAN 2013/2014 © Kementerian Kelautan dan Perikanan - Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil - Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang 2013 Editor : Evi Winarni, M. Wahyu, Sinar Wugiyarno, M. Taufik, Suburuddin, Hotmariyah, Zulkarnain Lubis, Abdus Sabil, Kiagus M. Hasbi, IDG Warmadewa, Tasrif Kartawijaya Bekerjasama dengan : Wildlife Conservation Society-Indonesia Program Didukung oleh :
Komposisi dan Layout : Sukmaraharja A. Tarigan Peta
: Agus Hermansyah
Photo
: Kiagus M. Hasbi
Penyusun
: Tim Pokja ii
Sambutan Bupati Lombok Utara Dokumen rencana aksi Forum koordinasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional Taman Wisata Perairan Gili Matra (FKKP TWP Gili Matra) Tahun Anggaran 2013/2014 disusun melalui pendekatan partisipatif dan bottom up. Pendekatan
partisipatif
dengan
melibatkan
semua
pemangku
kepentingan
(stakeholders), memepertimbangkan tingkat relevansi, kesetaraan dan keterwakilan pemangku kepentingan pada setuap tahapan, sehingga terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan, seperti perumusan strategi, kebijakan dan prioritas program. Pendekatan bottom up, bahwasanya penyusunan rencana aksi ini juga telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, rencana pengelolaan dan zonasi TWP Gili Matra dan rencana kerja tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta menyelaraskan dengan Kebijakan Nasional dan Kebijakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian tujuan, sasaran, strategi, kebijakan umum dan program yang ditetapkan dalam dokumen rencana aksi ini merupakan hasil sinkronisasi dengan perencanaan vertikal dan horizontal. Agar pelaksanaan rencana aksi ini lebih efektif dan terarah, maka pelaksanaan strategi utama dan program telah diaturprioritas berdasarkan waktu pelaksanaan strategi utama dan program telah diatur prioritas berdasarkan waktu pelaksanaanya. Demikian pula target pencapaian kegiatan dari masing-masing kelompok kerja penguatan kelembagaan, kelompok kerja penguatan pengelolaan sumberdaya alam, dan kelompok kerja penguatan sosial ekonomi juga telah ditentukan. Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan, semoga dokumen ini dapat dijadikan acuan bersama untuk mendukung efektivitas pengelolaan TWP Gili Matra. Semoga melalui forum ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam membangun pola kemitraan pemerintah pusat dan daerah dala pemanfaatan ekonomi yang berbasis konservasi dan pariwisata berkelanjutan demi kesejahtraan umat manusia kini dan mendatang.
iii
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dokumen rencana aksi FKKP TWP Gili Matra Tahun Anggaran 2013/2014 dapat diselesaikan.
Tidak lupa kami juga
mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah berkontribusi mengenai data dan informasi serta membantu terselesaikannya dokumen rencana aksi ini antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Kepala BAPPEDA Kabupaten Lombok Utara Kepala Balai KKPN Kupang Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lombok Utara Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Utara Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Utara Sekretaris Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Utara Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Fisik dan Prasarana pada BAPPEDA Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Ekonomi pada BAPPEDA Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas PPKAD Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Utara Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Setda Kabupaten Lombok Utara Kepala Bagian Ekonomi Setda Kabupaten Lombok Utara Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Lombok Utara TNI Angkatan Laut Kepala Desa Gili Indah Gili Eco Trust Front Pemuda Satgas Gili Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Asosiasi Pengusaha Gili Koperasi Karya Bahari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kelompok Nelayan P3L Universitas Mataram Wildlife Conservation Society (WCS) iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan perkenan-Nya, “Penyusunan Rencana Aksi Bersama Taman Wisata Perairan Gili Matra“ dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. TWP Gili Matra merupakan satu dari delapan kawasan konservasi yang kewenangan pengelolaannya dilimpahkan dari Kementerian Kahutanan kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Setelah serah terima kawasan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan perlu segera menindaklanjuti pengelolaan kawasan ini dengan dimulai dengan penataan batas, sosialisasi, sampai dengan penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan. Rencana aksi bersama pengelolaan kawasan konservasi perairan ini merupakan salah satu bentuk komitmen seluruh anggota forum koordinasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional (FKKP) TWP Gili Matra dalam mengelola kawasan konservasi perairang yang lebih efektif. Besar harapan kami, dokumen rencana aksi ini dapat dijadikan acuan bersama dalam penetapan kebijakan pembangunan di TWP Gili Matra. Kritik dan saran membangun atas buku rencana aksi ini sangat kami harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Tanjung, Juni 2013 Tim Penyusun
v
DAFTAR ISI
Halaman Sambutan Bupati Lombok Utara ................................................................................................. iiii Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................................... ivi Kata Pengantar .................................................................................................................................. v Daftar Isi ............................................................................................................................................ vi Daftar Gambar ............................................................................................................................... viii Daftar Tabel ................................................................................................................................... viiii 1
2
3
4
5
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang................................................................................................................... 1
1.2
Tujuan dan Sasaran .......................................................................................................... 2
1.3
Dasar Pemikiran ............................................................................................................... 3
PROFIL FKKP TWP GILI MATRA ...................................................................................... 4 2.1
Tugas dan Fungsi Forum ................................................................................................. 4
2.2
Susunan Anggota Forum................................................................................................. 5
2.3
Tahapan Sinkronisasi Program ...................................................................................... 6
KEBIJAKAN PENGELOLAAN ............................................................................................. 7 3.1
Landasan Hukum .............................................................................................................. 7
3.2
Kebijakan Nasional .......................................................................................................... 9
3.3
Kebijakan Provinsi......................................................................................................... 10
3.4
Kebijakan Kabupaten.................................................................................................... 13
RENCANA AKSI .................................................................................................................. 15 4.1
Kelompok Kerja Penguatan Kelembagaan ............................................................... 15
4.2
Kelompok Kerja Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Alam ............................... 15
4.3
Kelompok Kerja Penguatan Sosial, Ekonomi, dan Budaya ................................... 16
PENUTUP .............................................................................................................................. 20
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Peta Taman Wisata Perairan Gili Matra ................................................................. 3
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Matriks strategi, program, kegiatan, indikator, pelaksana, sumber dana, dan indikasi besaran. ........................................................................................... 17
viii
1
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan atau
biasa disebut TWP Gili Matra atau TWP Gili Indah merupakan salah satu Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang sebelumnya ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 85/Kpts-II/1993 dan pada tahun 2001 ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan berdasarkan Keputusan Menhut No. 99/Kpts-II/2001. Berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 – BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009, kawasan Gili Air, Meno dan Trawangan selanjutnya dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Nomenklatur kawasan berubah menjadi Taman Wisata Perairan Gili Air, Meno dan Trawangan. Kawasan ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Keberadaan sebuah kawasan konservasi ditujukan untuk (1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; kawasan lindung dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan prosesproses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan hasil perikanan; Kawasan lindung dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. (3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; Kawasan lindung dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang berniiai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir. (4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; kawasan lindung dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil; menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi 1
pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati. (5) Memberikan manfaat sosialekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan lindung dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Bentuk pengelolaan sebuah kawasan konservasi telah mengalami beberapa fase perkembangan. Berawal dari kegiatan yang sentralistik dengan pemerintah pusat sebagai motor utama yang berevolusi ke pola desentralistik yang melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat sebagai motor utama. Salah satu nilai merah yang sering ditemui dalam pengelolaan kawasan berbasis masyarakat adalah dana yang kurang memadai untuk melaksanakan program yang direncanakan. Sehingga keberadaan kalangan swasta muncul sebagai mitra potensial dalam pola pengelolaan bersama. Pengelolaan bersama ini sering disebut pengelolaan kolaboratif (co-management), dimana setiap pemangku kepentingan memegang peran dan berkontribusi dalam pengelolaan kawasan ini. Kesalahan yang jamak ditemukan dalam perencanaan kawasan konservasi perairan (KKP) adalah rendahnya keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah perwakilan para pemangku kepentingan yang kurang representatif atau disebabkan juga keterlambatan pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan. Tingkat keterlibatan pemangku kepentingan yang rendah akan meningkatkan resiko penolakan keberadaan KKP di suatu wilayah tertentu. Penolakan terhadap suatu KKP dapat berujung kepada beban pengawasan yang tinggi dan kegiatan-kegiatan melawan hukum sehingga pengelolaan kawasan konservasi menjadi tidak efektif dan tidak efisien. 1.2
Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penyusunan rencana aksi bersama forum koordinasi kolabosari
pengelolaan TWP Gili Matra adalah untuk dijadikan acuan semua anggota forum dan pihak terkait dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan di TWP Gili Matra. Adapun sasaran dari rencana aksi ini adalah pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam mendukung efektivitas pengelolaan TWP Gili Matra.
2
1.3
Dasar Pemikiran Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 pasal 18 menyatakan
bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumberdaya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007) Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama antar pemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya ikan. Dengan demikian diperlukan suatu pengelolaan KKP dengan pendekatan kolaboratif agar efektif dan efisien. Untuk itu, pengelolaan TWP Gili Matra diarahkan pada pola pendekatan pengelolaan kolaboratif. Melalui surat keputusan (SK) Bupati Lombok Utara Nomor : 114/35.F/BAPPEDA/2013
tentang
Pembentukan
Forum
Koordinasi
Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Nasional TWP Gili Matra (FKKP TWP Gili Matra) secara resmi wadah pengelolaan kolaborasi tersebut didirikan.
Gambar 1. Peta Taman Wisata Perairan Gili Matra 3
2.
2.1
PROFIL FKKP TWP GILI MATRA
Tugas dan Fungsi Forum Berdasarkan
surat
keputusan
Bupati
Lombok
Utara
nomor
114/35.F/Bappeda/2013 tentang pembentukan forum koordinasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra (FKKP TWP Gili Matra) memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1. Melakukan koordinasi, konsultasi, fasilitas dan mediasi bagi pemangku kepentingan di TWP Gili Matra. 2. Menfasilitasi perencanaan program dan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra secara terpadu oleh anggota forum. 3. Meningkatkan keaktifan dan sinergitas peran dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra. 4. Membangun harmonisasi serta sinkronisasi program dan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra. 5. Melakukan advokasi kebijakan lingkungan untuk mendukung efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra 6. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, forum koordinasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra bertanggung jawab kepada Bupati Lombok Utara.
4
2.2
Susunan Anggota Forum Susunan anggota forum koordinasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi
perairan nasional TWP Gili Matra adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Bupati Lombok Utara Wakil Bupati Lombok Utara Sekretaris Daerah Kab. Lombok Utara Kepala BAPPEDA Kab. Lombok Utara Kepala Balai KKPN Kupang Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lombok Utara Pokja Penguatan Kelembagaan Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Utara Kepala Bidang Fisik dan Prasarana pada BAPPEDA Kab. Lombok Utara Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Setda Kabupaten Lombok Utara Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lombok Utara Kepala Desa Gili Indah Wildlife Conservation Society (WCS) Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Lombok Utara TNI Angkatan Laut Pokja Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekretaris Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Utara Kepala kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Utara Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Utara Gili Eco Trust / Front Pemuda Satgas Gili P3L Universitas Mataram Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Pokja Penguatan Sosial Ekonomi Kepala Bagian Ekonomi Setda Kab. Lombok Utara Kepala Bidang Ekonomi pada BAPPEDA Kab. Lombok Utara
: : : : : :
Penasehat Pengarah
:
Koordinator
:
Anggota
:
Anggota
:
Anggota
: : : : : :
Anggota Anggota Anggota Anggota
: :
Anggota Anggota
: : :
Anggota Anggota Anggota
: :
Koordinator Anggota
Penanggung jawab Ketua Wakil Ketua Sekretaris
Koordinator
23.
Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Perhubungan, : Anggota Pariwisata, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lombok Utara
24.
Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas PPKAD Kabupaten : Lombok Utara Asosiasi Pengusaha Gili : Koperasi Karya Bahari : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia : Kelompok Nelayan :
25. 26. 27. 28.
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
5
2.3
Tahapan Sinkronisasi Program Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam sinkronisasi program dan kegiatan
FKKP TWP Gili Matra pada tahun 2013-2014 adalah sebagai berikut: 1.
Melakukan inventarisasi program atau kegiatan yang dianggarkan oleh seluruh pihak terkait dalam pengelolaan kawasan TWP Gili Matra pada tahun berjalan (2013) dan rencana/usulan tahun berikutnya (2014).
2.
Penyusunan darft dokumen sinkronisasi rencana program atau kegiatan FKKP TWP Gili Matra Tahun 2013-2014
3.
Sosialisasi dokumen sinkronisasi rencana program atau kegiatan FKKP TWP Gili Matra Tahun 2013-2014
4.
Pengajuan pengesahan dokumen sinkronisasi rencana program atau kegiatan FKKP TWP Gili Matra Tahun 2013-2014 kepada Bupati Lombok Utara sebagai bentuk pertanggungjawaban FKKP TWP Gili Matra sesuai tugas pokok dan fungsi yang telah diberikan.
5.
Pengesahan dokumen sinkronisasi rencana program atau kegiatan FKKP TWP Gili Matra Tahun 2013-2014 oleh Bupati Lombok Utara.
6
3.
3.1
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
Landasan Hukum Dasar hukum yang menjadi landasan pengelolaan bersama Kawasan Konservasi
Perairan Nasional Taman Wisata Perairan Gili Matra adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
6.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4872);
7
7.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
8.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4779);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3838); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833); 14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008; 15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2008; 16. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58/M Tahun 2008; 17. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana
8
diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2009; 18. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 19. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan; 20. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. 21. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 10 Tahun 2010 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2010 (Lembaran daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2010 Nomor 10, tambahan Lembaran Daerah Kabu[paten Lombok Utara Nomor 10); 22. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2025 (Lembaran daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2010 Nomor 12); 23. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 13 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2015 (Lembaran daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2010 Nomor 13); 24. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2031 (Lembaran daerah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011 Nomor 9); 25. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP.44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). 3.2
Kebijakan Nasional Kebijakan nasional dalam bidang kawasan konservasi perairan di Indonesia sangat
terkait dengan komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional tentang konservasi kawasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil pada tahun 2006, menyatakan pencanangan 10 juta ha 2010 kawasan konservasi laut dan 20 juta hektar pada tahun 2020 dan pada pertemuan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative
9
(CTI) di Manado tahun 2009, dalam pidatonya menyampaikan komitmen pencapaian luasan kawasan konservasi perairan sebesar 20 juta hektar pada masyarakat dunia. Dalam rangka mendukung komitmen tersebut Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan - Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, terus bekerja mengawal penambahan luas kawasan konservasi perairan.
Luasan
kawasan konservasi perairan telah mencapai 15,78 juta hektar pada pertengahan tahun 2012, dengan rincian kawasan konservasi yang diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan sebesar 4,69 juta hektar dan inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah sebesar 11,09 juta hektar. Pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan bagian dari amanat UU No. 31 tahun 2004 (UU No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 2004) tentang perikanan, lebih difokuskan pada pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Kategori kawasan konservasi perairan terdiri dari Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan. Selain itu, pemerintah juga menetapkan UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang ini mengadopsi istilah kawasan konservasi. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur melalui peraturan menteri kelautan dan perikanan No. PER.17/MEN/2008. Kategori kawasan konservasi terdiri dari Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Sempadan Pantai.
Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K)
terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. Berdasarkan amanat UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang-Undang ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut, namun kewenangan ini telah dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi perairan dengan sebutan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). 3.3
Kebijakan Provinsi Mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 3 tahun 2010
tentang Rencan Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029 bahwa kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah provinsi dilakukan dalam 10
pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah agar tujuan penataan ruang wilayah provinsi tercapai. Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang meliputi: a.
Kebijakan dan strategi pemantapan kawasan lindung
b.
Kebijakan dan strategi pemanfaatan kawasan budidaya
c.
Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis provinsi Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kebijakan pemantapan kawasan lindung meliputi: a.
Mempertahankan luas kawasan lindung
b.
Mencegah alih fungsi lahan dalam kawasan lindung
c.
Minimalisasi kerusakan kawasan lindung akibat aktivitas manusia dan alam
d.
Rehabilitasi dan konservasi kawasan lindung
e.
Mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana alam. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kebijakan pemanfaatan kawasan budidaya meliputi: a.
Pengembangan kegiatan budidaya berbasis potensi sumberdaya dan daya dukung lingkungan hidup
b.
Pemanfaatan sumberdaya alam berbasis pada pengembangan agrobisnis dan pariwisata
c.
Pemantauan dan pengendalian kegiatan budidaya yang berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan Kawasan strategis provinsi (KSP) adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
Kebijakan pengembangan
kawasan strategis provinsi meliputi meliputi: a.
Penetapan kawasan strategis provinsi
b.
Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan strategis secara produktif, efisien, dan berdaya saing sesuai potensi lokal dan daya dukung lingkungan
c.
Pengembangan sarana dan prasarana kawasan strategis provinsi
d.
Optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk pengembangan kawasan strategis secara berkelanjutan
11
e.
Pengembangan kawasan strategis provinsi untuk percepatan pembangunan kawasan tertinggal. Kawasan Strategis Provinsi meliputi kawasan strategis dari kepentingan
pertumbuhan ekonomi dan kawasan strategis dari fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis dari kepentingan pertumbuhan ekonomi meliputi: a.
Mataram Metro meliputi Kota Mataram, Kecamatan Batulayar, Kecamatan Gunungsari, Kecamatan Lingsar, Kecamatan Narmada, Kecamatan Labuapi dan Kecamaan Kediri dengan sektor unggulan perdagangan-jasa, industri dan pariwisata
b.
Senggigi-Tiga Gili (Air, Meno, dan Trawangan) dan sekitarnya di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara dengan sektor unggulan pariwisata, industri dan perikanan
c.
Agropolitan Rasimas di Kabupaten Lombok Timur dengan sektor unggulan pertanian, industri, dan pariwisata
d.
Kute dan sekitarnya di Kabupaten Lombok Tengah, sebagian wilayah Kabupaten Lombok Barat dan sebagian wilayah Kabupaten Lombok Timur dengan sektor unggulan pariwisata, industri dan perikanan
e.
Agroindustri Pototano berada di Kabupaten Sumbawa Barat dengan sektor unggulan pertanian dan industri
f.
Agropolitan Alas Utan berada di Kabupaten Sumbawa dengan sektor unggulan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata
g.
Lingkar Tambang Batu Hijau dan Dodo Rinti berada di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa dengan sektor unggulan pertambangan, pertanian dan pariwisata
h.
Teluk Saleh dan sekitarnya berada di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Dompu masing-masing beserta wilayah perairannya dengan sektor unggulan perikanan, pariwisata, pertanian, peternakan, dan industri
i.
Agropolitan Manggalewa berada di Kabupaten Dompu dengan sektor unggulan pertanian, perkebunan dan industri
j.
Hu’u dan sekitarnya berada di Kabupaten Dompu dengan sektor unggulan pariwisata, industri, pertanian, dan perikanan
k.
Teluk Bima dan sekitarnya berada di Kabupaten Bima dan Kota Bima dengan sektor unggulan perikanan, pariwisata dan industri
12
l.
Waworada-Sape dan sekitarnya berada di Kabupaten Bima dengan sektor unggulan perikanan, pariwisata dan industri. Berdasarkan pembagian kawasan strategis propinsi tersebut, maka kawasan
konservasi perairan nasional Taman Wisata Perairan Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan termasuk dalam sektor unggulan pariwisata, industri dan perikanan. Selain itu, berdasarkan sebaran dan fungsi kawasan budidaya yang meliputi kawasan peruntukan perikanan, kelautan dan pulau kecil maka kawasan konservasi perairan nasional Taman Wisata Perairan Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan berfungsi sebagai kawasan wisata bahari, konservasi, budidaya perikanan. 3.4
Kebijakan Kabupaten Mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara No. 9 tahun 2011
tentang Rencan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2031 bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah aman, nyaman, produktif yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka pengembangan pariwisata, perkebunan dan agro industri. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten terdiri atas : a.
Peningkatan pertumbuhan dan pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pariwisata, dan perkebunan
b.
Peningkatan pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep agroindustri;
c.
Pengendalian pemanfaatan lahan pertanian
d.
Penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan dan menunjang sistem pemasaran pariwisata, dan produksi perkebunan
e.
Pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung pemasaran pariwisata, produksi perkebunan dan produksi agroindustri
f.
Pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi
g.
Pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup. Rencana pola ruang wilayah menggambarkan rencana sebaran meliputi kawasan
lindung sebesar 30,87% (seluas kurang lebih 24.992 Ha) dan kawasan budidaya sebesar 69,13% (seluas kurang lebih 55.961 Ha). Kawasan lindung meliputi kawasan hutan lindung termasuk didalamnya hutan adat, kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya, kawasan 13
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam, kawasan lindung geologi, dan kawasan lindung lainnya. Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya meliputi: a.
Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani seluas kurang lebih 10.210 Ha;
b.
Kawasan Taman Wisata Alam Laut Tiga Gili seluas kurang lebih 2.954Ha;
c.
Kawasan cagar budaya meliputi Masjid Kuno Bayan Beleq, Masjid Kuno Gumantar dan Masjid Kuno Sesait
d.
Perkampungan Tradisional Senaru dan Segenter Kawasan budidaya meliputi kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan
peruntukan
pertanian,
kawasan
peruntukan
perikanan,
kawasan
peruntukan
pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan peruntukan permukiman,
kawasan peruntukan pemerintahan, kawasan peruntukan
perdagangan dan jasa, dan kawasan peruntukan lainnya.
Kawasan peruntukan
pariwisata terdiri dari wisata alam, wisata budaya dan wisata buatan. Wisata alam meliputi Goa Jepang, Teluk Pusuk, air terjun Tiu Pupus, air terjun Kerta Raharja, air terjun Sesait, air terjun Sendang Gile, air terjun Torean, air terjun Tiu Kelep. Wisata alam bahari meliputi Malimbu, Kawasan Tiga Gili, Pantai Sire, Pantai Kerakas dan Pantai Lempenge. Wisata budaya meliputi Dusun Selelos, Masjid Kuno Sesait, desa tradisional Segenter, desa tradisional Senaru, Masjid Kuno Bayan Beleq. Wisata buatan meliputi arung jeram Tengak Pekatan, Taman Nasional Gunung Rinjani. Berdasarkan rencana pola ruang wilayah, maka kawasan konservasi perairan nasional Taman Wisata Perairan Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan sebagai kawasan taman wisata alam laut dan kawasan peruntukan pariwisata alam bahari.
14
4.
RENCANA AKSI
Berdasarkan hasil identifikasi rencana kegiatan dari setiap anggota forum, maka dapat diketahui aksi-aksi atau kegiatan yang akan dilakukan pada tahun 2013/2014. Tahapan kegiatan forum mencakup tiga strategi utama dengan beberapa program dan kegiatan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: 4.1
Kelompok Kerja Penguatan Kelembagaan Strategi penguatan kelembagaan mencakup program pengembangan kemitraan
atau kolaborasi pengelolaan yang dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain: a.
Pembuatan Peta Zonasi TWP Gili Matra
b.
Pembuatan Papan Informasi RPRZ TWP Gili Matra
c.
Demplot Penangkaran Penyu di TWP TWP Gili Ayer, Meno, dan Trawangan (1 tahun)
4.2
d.
Penguatan lembaga peduli lingkungan
e.
Studi banding pengelolaan adaptif kawasan konservasi perairan
Kelompok Kerja Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Strategi penguatan pengelolaan sumberdaya alam mencakup 3 program yang
dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain: 1) Pengawasan dan pengendalian, dengan kegiatan: a.
Fasilitasi Pengawasan di Kawasan Konservasi /Patroli Gabungan (4 Kali)
b.
Bantuan Pengawasan
2) Pengembangan Kinerja Pengolahan Persampahan, dengan kegiatan : a. Penyediaan sarana prasarana pengolahan persampahan 3) Rehabilitasi habitat dan populasi ikan, dengan kegiatan: a.
Transplantasi terumbu karang
4) Penelitian dan pengembangan, dengan kegiatan: a.
Monitoring ekosistem terumbu karang
b.
Monitoring ekosistem padang lamun
c.
Monitoring ekosistem mangrove
d.
Monitoring satwa penting 15
4.3
Kelompok Kerja Penguatan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Strategi penguatan sosial, ekonomi, dan budaya mencakup 2 program yang
dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain: 1) Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, dengan kegiatan: a.
Peningkatan prasarana dan sarana penunjang pariwisata pd kampung pesisir(Rambu-rambu laut)
b.
Pembangunan jalan lingkar tiga gili
c.
Kandang kolektif kuda di Gili Trawangan
2) Program Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif Usaha Kecil dan Menengah, dengan kegiatan: a.
Pelatihan Pariwisata
3) Program Peningkatan Kualitas kelembagaan Koperasi, dengan kegiatan: a. Pembangunan Sistem Informasi Perencanaan Pengembangan Perkoperasian
4) Program Peningkatan Efisiensi Perdagangan Dalam Negeri, dengan kegiatan: a. Pembangunan Pasar Desa b. Pengadaan perahu pengangkut sampah ke luar gili 5) Lingkungan Hidup a. Penataan lingkunga danau Meno menjadi aset wisata b. Rehabilitasi lahan produksi garam c. Pembangunan Jetty di Gili Trawangan d. Pembangunan shelter wisata disetiap gili 6) Ekonomi a. Pelatihan kewirausahaan dan perhotelan Secara detail, strategi, program dan kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam rencana aksi ini disajikan pada Tabel 1.
16
Tabel 1. Matriks strategi, program, kegiatan, indikator, pelaksana, sumber dana, dan indikasi besaran.
No 1
2
Strategi POKJA Penguatan Kelembagaan
POKJA Penguatan Pengelolaan SDA
Program Pengembangan kemitraan atau kolaborasi pengelolaan
Pengawasan dan pengendalian
Program pengembangan kinerja pengolahan persampahan
Kegiatan
Indikator
Pelaksana dan Mitra
Sumber Dana
Indikasi besaran (juta rupiah)
TA 2013
Pembuatan Peta Zonasi
Tersedianya peta zonasi
BKKPN
APBN
8
x
Pembuatan Papan Informasi RPRZ TWP Gili Matra
Tersedianya papan informasi
BKKPN, WCS
APBN
5
x
Demplot Penangkaran Penyu di TWP TWP Gili Ayer, Meno, dan Trawangan (1 tahun) Penguatan lembaga peduli lingkungan
Meningkatnya populasi penyu
BKKPN, BPSPL wilker NTB
APBN
54,2
x
Adanya pelatihan dan pertemuan rutin
RKP Desa Gili Indah
Swadaya
15
x
Studi banding pengelolaan adaptif kawasan konservasi perairan Fasilitasi Pengawasan di Kawasan Konservasi /Patroli Gabungan (4 Kali) Bantuan Pengawasan
Meningkatnya pengetahuan tentang pengelolaan adaptif Menurunnya tingkat pelanggaran
FKKP, WCS
Mitra
50
x
BKKPN
APBN
28
x
Adanya bantuan pengawasan untuk mendukung kegiatan patroli Tersedianya sarana/prasarana persampahan
Satgas, DPPKKP
APBD
1,2
x
KLH
DAK
300
x
Penyedianan sarana prasarana pengolahan persampahan
17
TA 2014
No
Strategi
3 POKJA Penguatan Sosial Ekonomi dan Budaya
Program
Kegiatan
Swadaya
Indikasi besaran (juta rupiah) 90
x
BKKPN
APBN
157
x
Pelaksana dan Mitra
Sumber Dana
Meningkatnya persen penutupan karang keras Adanya data dan informasi ekosistem penting
RKP Desa Gili Indah
Indikator
TA 2013
TA 2014
Rehabilitasi habitat dan populasi ikan
Transplantasi terumbu karang
Penelitian dan pengembangan
Monitoring ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan satwa penting Peningkatan prasarana dan sarana penunjang pariwisata pd kampung pesisir(Ramburambu laut) Pembangunan Jalan lingkar tiga gili
Tersedianya SAPRAS penunjang pariwisata pada kampung pesisir
DPPKKP
APBD
200
x
Tersedianya jalan lingkar di Tiga Gili
PU
APBD
5000
x
Kandang kolektif kuda di Gili Trawangan
Tersedianya kandang kuda
PU
APBD
200
x
Program Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif Usaha Kecil dan Menengah
Pelatihan Pariwisata
Terwujudnya Pelatihan Kewirausahaan Bagi KUKM
KOPINDA G
10
x
Program Peningkatan Kualitas kelembagaan Koperasi
Pembangunan Sistem Informasi Perencanaan Pengembangan Perkoperasian
Adanya sistem informasi perencanaan pengembangan perkoperasian
KOPINDA G
35
x
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
18
No
Strategi
Program Program Peningkatan Efisiensi Perdagangan Dalam Negeri
Lingkungan Hidup
Pelaksana dan Mitra
Sumber Dana
KOPINDA G
DAU/DA K
Pengadaan perahu pengangkut sampah ke luar gili Penataan lingkunga danau Meno menjadi aset wisata
Terlaksananya pembangunan Pasar Desa Berkurangnya tumpukan sampah di TPS Tertatanya danau di Gili Meno
Rehabilitasi lahan produksi garam
Adanya peningkatan produksi garam
DISPERIN DAG
Pembangunan jetty di Gili Trawangan
Peningkatan keamanan dan keselamatan penumpang Adanya shelter wisata
Dirjen APBN perhubungan laut DISHUBPA RKOMINF O RKP Desa ADD Gili Indah
Kegiatan Pembangunan Pasar Desa
Pembangunan Shelter wisata disetiap gili Ekonomi
Pelatihan kewirausahaan dan perhotelan
Indikator
Meningkatnya kemampaun peseta
Indikasi besaran (juta rupiah) 42
TA 2013
TA 2014 x
DISHUBPA RKOMINF O
x x APBD
15
x
1000
x
300
x
5
x
19
5.
PENUTUP
Rencana aksi FKKP TWP Gili Matra, Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat ini disusun secara partisipatif oleh anggota forum. Proses penyusunan rencana aksi ini merupakan kontribusi semua pihak yang bertujuan untuk dapat menyediakan informasi kegiatan pengelolaan kawasan konservasi, sekaligus sebagai arahan bagi para pihak. Hadirnya dokumen rencana aksi bersama ini merupakan sebuah tahapan awal saja dalam sebuah pengelolaan bersama kawasan konservasi perairan nasional TWP Gili Matra. Kedepannya masih dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak yang berkepentingan, terkait dengan tahapan perencanaan lebih lanjut. Akhir kata kami berharap bahwa buku ini dapat berguna dan dimanfaatkan sebaikbaiknya dalam mendukung kegiatan konservasi perairan di TWP Gili Matra khususnya, di Nusa Tenggara Barat pada umumnya.
20
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) : PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (KKP) TAWAN WISATA PERAIRAN (TWP) GILI MATRA
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang KKPN Gili Matra merupakan salah satu kawasan konservasi perairan di wilayah Kabupaten Lombok Utara yang pengelolaannya di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional di Kupang. Secara geografis Wilayah KKPN Gili Matra mencakup wilayah satu desa yaitu Desa Gili Indah. Desa Gili Indah merupakan bagian dari wilayah administratif Pemerintahan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Desa Gili Indah berbentuk kepulauan yang terdiri dari tiga pulau kecil yang disebut dengan gili. Yaitu Air, Meno dan Trawangan. Beragam usaha pengelolaan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan di Gili Matra telah pernah dilakukan sebelumnya. Pengelolaan tradisional dilakukan melalui penerapan aturan adat/awig-awig. Teridentifikasi terdapat 3 jenis awig-awig pengelolaan sumberdaya perairan yang diterapkan di Gili Matra. Awig-awig tersebut adalah Awig-awig yang mencakup nelayan Lombok Utara oleh LMNLU (Lembaga Masyarakat Nelayan Lombok Utara), Awig-awig Desa Gili Indah tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dalam bentuk Perdes No. 12/Pem.1.1/2001 dan Awig–Awig tentang pengoperasian alat tangkap muroami yang masih hingga kini dipatuhi. Terkait pengelolaan sumberdaya dengan peraturan adat/awig-awig lainnya ada teridentifikasi namun tidak seluruhnya berbentuk dokumen, masih berupa kesepakatan dan norma adat. Selain usaha pengelolaan tradisional melalui peraturan adat, pemerintah menetapkan kawasan Gili Matra ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan berdasarkan SK Menhut No. 85/Kpts-II/1993 dan Keputusan Menhut No. 99/Kpts-II/2001. Kemudian berdasarkan Berita Acara Serah Terima dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 – BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009 maka Taman Wisata Alam (TWA) Gili Matra diserahkan pengelolaannya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan kemudian Kementrian Kelautan dan Perikanan merubah status TWA Gili Matra menjadi Kawasn Konservasi Perairan (KKP) dengan nama Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.
Demikian pula status administratif Gili Matra sebelumnya termasuk kedalam Kabupaten Lombok Barat, kini berada di dalam wilayah kabupaten baru Kabupaten Lomok Utara. Sehingga secara pengelolaan oleh pemerintah Gili Matra mengalami dinamika yang tinggi. Tingginya dinamika pengelolaan sumberdaya alam perairan Gili Matra tentu memberikan pengalaman lebih kepada masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perairannya. Dalam perjalanan pengelolaan tersebut dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan adalah hal penting dalam mencapai tata kelola yang efektif. Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan menurut Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Perikanan pada pasal 18 menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat. Dalam kebijakan yang lebih luas pelibatan masyarakat dalam pengelolaan juga disebutkan dalam UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dimana partisipasi masyarakat menjadi tujuan yang harus dioptimalkan. Sesuai mandat kebijakan dan tujuan pengelolaan KKP diperlukan adanya SOP Keterlibatan Masyarakat sebagai acuan pengelola dan masyarakat dalam kawasan untukmeningkatkan efektifitas pengelolaan KKP. Berdasarkan hal tersebut, maka Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional (BKKPN) Kupang melalui Satkernya di KKPN TWP Gili Matra sebagai otoritas pegelola menyusun SOP Pelibatan Masyarakat dalam pengelolaan TWP Gili Matra. Penyusunan SOP Pelibatan masyarakat ini mengacu kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.47/KEP/2009 Pedoman Penyusunan Prosedur Operasional Standar (POS) di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. 1.2 Maksud dan Tujuan Tujuan dari penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Keterlibatan Masyarakat adalah : • Sebagai pedoman pelibatan masyarakat yang merupakan bagian dari proses pengelolaan KKP yang efektif. • Pendorong penguatan peranan masyarakat dalam pengelolaan KKP. • Untuk memberikan jaminan, arahan dan kejelasan bagi semua pihak, baik pengelola ataupun masyarakat dalam KKP, untuk terlibat secara efektif mengelola KKP-TWP Gili Matra. Adapun sasaran dari SOP Keterlibatan Masyarakat ini adalah Satker BKKPN selaku pengelola KKP, dalam hal memberi ruang keterlibatan masyarakat melalui fasilitasinya. Sasaran lain adalah seluruh masyarakat dalam KKP, dalam memanfaatkan saluran partisipasi yang disediakan.
Yang bertanggung jawab pada seluruh SOP ini adalah pegelola KKPN TWP Gili Matra sebagai instansi yang dilimpahkan otoritas dalam melakukan pengelolaan kawasan Gili Matra yaitu Satuan Kerja (Satker) TWP GILI MATRA. 1.3 Ruang Lingkup 1.3.1 Kawasan Konservasi Perairan Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine Protected Area (MPA) adalah wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut Kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan terdiri dari taman nasional perairan, suaka alam perairan, taman wisata perairan, dan suaka perikanan. Taman wisata perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 1.3.2 Masyarakat dalam KKP Masyarakat dalam KKP sendiri adalah sekelompok orang yang berada dalam kawasan konservasi perairan yang sebagian besar interaksi dan aktifitasnya baik sosial ataupun ekonomi terjadi dalam kawasan. Sehingga kebijakan pengelolaan adalah bagian aturan yang mengikat dalam aktifitasnya. Kesamaan aspek tertentu antar individu dalam suatu masyarakat mendorong terwujudnya kelompok-kelompok berbasiskan kesamaan tersebut didalamnya. Kelompok-kelompokt serta lembaga-lembaga terkait termasuk instansi pemerintah yang terkait dalam pengelolaan adalah pemangku kepentingan (Stakeholder). Para pemangku kepentingan menjadi sasaran spesifik pelibatan masyarakat dalam pengelolaan yang lebih efektif dan efisien. 1.3.3 Pelibatan Masyarakat Pelibatan masyarakat dapat dikelompokkan dalam pelibatan pasif dan pelibatan aktif. Pelibatan pasif adalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan oleh pemerintah, yang biasanya dijalan melalui komunikasi satu arah, misalnya pelibatan melalui pemberian informasi, masukan atau jawaban. Pelibatan aktif adalah pelibatan masyarakat secara aktif bersama Satker BKKPN selaku pengelola dalam merancang atau melaksanakan kebijakan, program atau proyek, termasuk dalam hal sumber daya, yang biasanya dilakukan melalui komunikasi dua arah.
Melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan KKP membuka ruang masyarakat menjadi subyek pengelolaan bukan hanya sebagai obyek, sehingga ada jaminan kepemilikan sumberdaya oleh pribadi-pribadi dalam masyarakat serta pengakuan dan adopsi sistem managemen tradisional namun tetap mendukung peran KKP yang efektif.
BAB II. MEKANISME PELIBATAN MASYARAKAT 2.1 Ruang dan Bentuk Keterlibatan Pelibatan setiap individu dalam masyarakat secara langsung dan pribadi adalah suatu hal yang tidak efektif dan tidak efisien. Karena itu diperlukan mekanisme keterlibatan yang memberikan jaminan, arahan dan kejelasan dalam pelibatan masyarakat secara efektif dan efisien. Untuk efektifitas dan efisiensi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan, pola keterwakilan perlu dibangun sebagai bagian penting dalam mekanisme pelibatan masyarakat. Kelompok-kelompok minat dan kesamaan antar individu yang ada dalam sebuah masyarakat (pemangku kepentingan) adalah sebuah simpul penting pelibatan masyarakat. Mempertimbangkan tujuan utama dari pelibatan masyarakat adalah untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan (EKKP3K), maka pelibatan masyarakat mengacu kepada strategi pengelolaan KKP sesuai Permen Kelautan Perikanan Per.30/Men/2010 yaitu penguatan kelembagaan pengelolaan, penguatan pengelolaan sumber daya alam, penguatan sosial ekonomi dan budaya. Berikut adalah ruang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan KKP melalui kelompok-kelompok masyarakat yang ada ; 2.1.1 Pelibatan masyarakat dalam perencanaan Pada tahap awal aspek perencanaan mencakup indentifikasi isu-isu penting, penyusunan prioritas, penyusunan strategi pendekatan dan perancangan program/kegiatan. Pada tahap selanjutnya aspek perencanaan lebih kepada adopsi kondisi dan aspirasi (terkait proses monitoring evaluasi/adaptif managemen) ke dalam perencanaan pengelolaan selanjutnya. Bentuk-bentuk pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan adalah : • Identifikasi isu-isu pengelolaan yang pada tahap lanjutan berkembang menjadi adopsi hasil pegukuran monitoring dan evaluasi kondisi pengelolaan. • Penggalian gagasan program/kegiatan berdasarkan isu dan kondisi pengelolaan. • Penyurusunan isu dan program/kegiatan prioritas. • Penyusunan dokumen rencana kerja (Renja) secara partisipatif • Sinkronisasi dan hormonisasi rencana kerja pengelolaan KKP dengan program/kegiatan sektor lain dalam kawasan. Media yang bisa digunakan dalam pelaksanaannya berupa konsultasi publik, semiloka/lokakarya secara berjenjang dari struktur lembaga/kelompok terbawah masyarakat. Diskusi pada kelompok terfokus (FGD), layanan aspirasi langsung masyarakat, wawancara, curah pendapat.
2.1.2 Pelibatan masyarakat dalam implementasi kegiatan pengeloaan Aspek implementasi dalam pelibatan masyarakat mencakup pengorganisasian sumberdaya yang ada dimana pelaksaan program/kegiatan menjadi tanggung jawab pengelola KKP beserta seluruh komponen kelompok-kelompok masyarakat dalam kawasan. Bentuk pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengelolaan diantaranya: • Kelompok kegiatan terkait penguatan kelembagaan pengelola seperti; Lembaga kolaboratif pengelolaan KKP dan pembentukkan, pembinaan dan penguatan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau kelompok /lembaga lainyya yang tekait dengan pengelolaan. • Kelompok kegiatan terkait penguatan pengelolaan sumberdaya alam; Pengawasan dan patroli bersama, adopsi tatakelola kawasan oleh lembaga-lembaga masyarakat dalam kawasan. • Kelompok kegiatan terkait penguatan sosial ekonomi dan budaya mecakup; Pemanfaatan kawasan untuk kesejahteraan masyarakat dalam kawasan dengan memperhatikan prinsip fungsi kawasan. Indikator dari keterlibatan masyarakat dalam implementasi pola pengelolaannya adalah adanya komponen lembaga/kelompok yang terlibat langsung dalam setiap program/kegiatan dalam rencana dan terekam dalam catatan dokumentasi pelaksanaan program/kegiatan. 2.1.3 Pelibatan masyarakat dalam monitoring dan evaluasi Aspek Monitoring dan evaluasi (Monev) bukan hanya terkait pengukuran capaian aspek teknis (input dan proses), namun juga aspek strategis (outcome dan dampak) dimana terjadi adopsi kondisi yang diukur dalam monitoring dan evaluasi ke dalam pola pengelolaan selanjutnya sehingga tata kelola menjadi lebih baik, lebih dalam dan lebih luas (adaptif managemen). Pengelola disatu sisi menjamin pelibatan masyarakat melalui pemberian ruang pelibatan masyarakat, disisi lain pengelola harus mampu memantau, mengarahkan dan memastikan diinamika yang terjadi tetap sesuai dengan prinsip ditetapkannya KKP. Satker BKKPN dalam hal ini dituntut semakin kuat dalam memastikan arah tata kelola yang berkembang tersebut tetap sesuai dengan prinsip KKP. Pada dasarnya, peran serta masyarakat dalam monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, terutama yang memiliki kegiatan di bidang dan wilayah yang sama dengan program/kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Satker BKKPN Kupang di Gili Matra. Disamping itu, pemantauan dapat dilakukan masyarakat secara kolektif melalui koalisi / konsorsium / asosiasi / kelompok yang sudah ada ataupun dibentuk berdasarkan kebutuhan tertentu terkait pengelolaan dan pemanfaatan kawasan.
2.2 Bentuk Fasilitasi Satker BKKPN untuk Membuka dan Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat. BKKPN melalui Satkernya di KKPN TWP Gili Matra sebagai otoritas pegelola KKP, memiliki kewajiban memafasilitasi tersedianya ruang-ruang pelibatan masyarakat serta menjamin terlaksananya bentuk-bentuk pelibatan masyarakat. Melalui fasilitasi tersebut pengelola akan dimudahkan dalam mengefektifkan tata kelola kawasan yang diterapkan dengan semakin menguatnya dukungan, keterlibatan/partipasi dan rasa memiliki dari masyarakat. SOP ini adalah salah satu bentuk fasilitasi keterlibatan masyarakat. Bentuk-bentuk dan metode fasilitasi Satker BKKPN untuk membuka dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam beberapa kelompok fasilitasi antara lain; 1. Failitasi identifikasi, inisiasi, pendampingan, pembinaan, penguatan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam bidang dan wilayah yang terkait dengan strategi-strategi pengelolaan Satker BKKPN di Gili Matra. 2. Fasilitasi pelembagaan instansi-instansi, kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga dalam masyarakat yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap strategi pengelolaan dalam suatu wadah pengelolaan berbasis kemitraan (kolaboratif/kemitraan) 3. Fasilitasi sarana prasarana saluran informasi bersama secara dua arah antara pengelola, mitra dan masyarakat umum (Unit informasi dan pengaduan). 4. Pelibatan langsung dalam kegiatan spesifik terkait pengelolaan kawasan Dalam implementasinya empat (4) kelompok fasilitasi tersebut dapat dibagi menjadi program rutin dan non-rutin, secara spesifik disajikan dalam Tabel 1. 2.3 Alur Pelibatan Masyarakat Diagram alur dibawah (Gambar 1.)menyajikan alur fasilitasi Satker BKKPN dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat melalui berbagai program/kegiatannya. Terdapat keluaran langsung (direct output) berupa daftar hadir dan dokumentasi sebagai tolak ukur partisipasi masyarakat dalam program/kegiatan. Keluaran tambahan (optional output) berupa salah satu atau lebih dari dokumen berita acara, kesepakatan dan atau notulensi sebagai bahan tindak lanjut yang mengikat semua pihak.
PENGELOLA KKPN TWP GILI MATRA
UNDANGAN
LEMBAGA-‐LEMBAGA DALAM MASYARAKAT DAN MITRA LAINNYA (Stakeholder)
PROGRAM/KEGIATAN FASILITASI PELIBATAN MASYARAKAT
DAFTAR HADIR
DOKUMENTASI
BERITA ACARA KESEPAKATAN NOTULENSI
GAMBAR 1. Alur Pelibatan Masyarakat
2.4 Prosedur Pelibatan Masyarakat Daftar berurutan berikut disajikan sebagai acuan umum dan wajib dalam setiap program/kegiatan fasilitasi pelibatan masyarakat di KKPN TWP Gili Matra. Daftar disusun berdasarkan alur diatas. Penyesuaian dalam hal menambahkan bisa dilakukan sesuai situasi dan kondisi saat program/kegiatan terkait dilaksanakan. • Satker BKKPN membuat dan mengirim undangan kepada lembaga-lembaga/kelompok-kelompok masyarakat ataupun instansi-instansi pemerintah terkait • Undangan inti dalam pelibatan masyarakat di KKPN TWP Gili Matra yaitu : Pemerintah Dusun hingga Desa, instansi pemerintah terkait pada Pemerintah Kabubaten Lombok Utara, lembaga/instansi mitra di tingkat provinsi termasuk kalangan akademisi dan kelompok/lembaga yang ada di dalam kawasan. • Undangan diterima langsung oleh pihak yang diundang dengan bukti tanda terima, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelasanaan program/kegiatan. • Saat pelaksanaan Satker BKKPN atau panitia pelaksana wajib menyiapkan daftar hadir dan melakukan dokumentasi kegiatan • Hasil akhir selain poin sebelumnya disajikan dalam bentuk berita acara dan atau kesepakatan dan atau notulensi tergantung dari program/kegiatan yang dilakukan. • Semua pihak terikat dari hasil program/kegiatan, namun Satker BKKPN memiliki kewajiban untuk memfasilitasi tindak lanjut dari hasil tersebut dengan dukungan semuapihak.
2.5 Form Kalender Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan KKP Berikut ditampilkan Form Kalender Pelibatan Masyarakat untuk Sateker BKKPN sebagai alat monitoring. Isi detail kegiatan dibawah adalah acuan referensi. Dalam setiap tahun anggaran Satker BKKPN menyusun dan mengisi kalender pelibatan masyarakat sebagai arahan dalam memfasilitasi keterlibatan masyarakat. Kalender pelibatan juga berperan sebagi pertanggungjawaban, jaminan, keterbukaan serta kesetaraan informasi dengan masyarakat. TABEL 1. KALENDER FASILITASI PELIBATAN MASYARAKAT Sifat BULAN Ruang dan Kegiatan Bentuk (rutin/nonPelibatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 rutin)
No.
Program/Kegiatan
1
Fasilitasi identifikasi, inisiasi, pendampingan, pembinaan, penguatan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam bidang dan wilayah yang terkait dengan strategistrategi pengelolaan Satker BKKPN.
Ket
1.a
Identifikasi instansi/lembaga/kelompok terkait pengelolaan KKP (mitra)
Inisiasi pelibatan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev pola pengeloaan
Non-Rutin
Setiap Revisi Rencana Pengelolaan dan Zonasi
1.b
Pembentukkan/inisiasi lembaga/kelompok terkait tata kelola (mitra)
Inisiasi pelibatan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev pola pengeloaan
Non-Rutin
Setiap adanya inisiatif pembentukkan lembaga/kelompok Baru
1.c
Pendampingan, pembinaan dan penguatan (capacity building) kelompok/lembaga mitra
Inisiasi pelibatan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev pola pengeloaan
Rutin (Setiap Bulan)
2
Fasilitasi pelembagaan instansi-instansi, kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga dalam masyarakat yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap strategi pengelolaan dalam suatu wadah pengelolaan berbasis kemitraan (kolaboratif/kemitraan)
2.a
Pembentukkan FKKP
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan
Non-Rutin
2.b
Sinkronisasi program Pengelolaan FKKP
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan
Rutin (Setiap Tahun anggaran)
2.c
Evaluasi Program Pengelolaan FKKP
Pelibatan masyarakat dalam monitoring dan evaluasi
Rutin (Setiap Tahun anggaran)
Awal Penyusunan rencana pengelolaan dan Zonasi
3
Fasilitasi sarana prasarana saluran informasi bersama secara dua arah antara Satker BKKPN, mitra dan masyarakat umum (Unit informasi dan pengaduan).
3.a
Sekretariat FKKP
Pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengeloaan
Non-Rutin
3.b
Sign board/Papan informasi
Pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengeloaan
Rutin (Setiap Tahun anggaran
3.c
Pos Informasi Kawasan
4 4.a
Rutin
Pelibatan Langsung Pengawasan gabungan
Pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengeloaan
Rutin
4.b
Rehabilitasi SDI
Pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengeloaan
Rutin
4.c
Pendidikan Lingkungan
Pelibatan masyarakat dalam implementasi pola pengeloaan
Rutin
2.6 Form Standar Keluaran Prgram/Kegiatan Fasilitasi Pelibatan Masyarakat a. Standar Dokumentasi Dokumentasi berbentuk data digital, baik foto, video ataupun rekaman suara disimpan dalam direktori per kegiatan yang didalamnya terdapat subdirektori sesuai jenis file (foto dalam sub direktori foto, video dalam sub direktori video, suara dalam satu sub direktori suara) Penamaan file: tanggalbulantahun_namakegiatan_fileke(010114_patroligabungan_001 artinya 1 Januari 2014, kegiatan patroli gabungan, file pertama) b. Standar daftar hadir Daftar hadir yang telah lengkap discan dalam file *.jpg. Softcopy tersebut disimpan langsung dalam direktori yang sama dengan diatas tanpa membuat sub direktori, dengan format penamaan file : tanggalbulantahun_namakegiatan_daftarhadirhalamanke(010114_patroligabungan_daftarhadir001 artinya 1 Januari 2014, kegiatan patroli gabungan, daftar hadir halaman pertama) Hardcopy disimpan oleh penanggung jawab administrasi sesuai standar penyimpanan dokumen yang berlaku dalam sistem arsip Satker BKKPN. Contoh form Daftar Hadir terdapat pada lampiran 1. c. Standar berita acara Berita Acara yang telah lengkap discan dalam file *.jpg. Softcopy tersebut disimpan langsung dalam direktori yang sama dengan diatas tanpa membuat sub direktori, dengan format penamaan file : tanggalbulantahun_namakegiatan_beritaacarahalamanke(010114_patroligabungan_beritaacara001 artinya 1 Januari 2014, kegiatan patroli gabungan, berita acara halaman pertama) Hardcopy disimpan oleh penanggung jawab administrasi sesuai standar penyimpanan dokumen yang berlaku dalam sistem arsip Satker BKKPN. Contoh format Berita Acara terdapat pada lampiran 2. d. Standar kesepakatan Dokumen kesepakatan yang telah lengkap discan dalam file *.jpg. Softcopy tersebut disimpan langsung dalam direktori yang sama dengan diatas tanpa membuat sub direktori dengan format penamaan file : tanggalbulantahun_namakegiatan_kesepakatanhalamanke-
(010114_lokakaryapengawasanterpadu_kesepakatan001 artinya 1 Januari 2014, kegiatan lokakarya pengawasan terpadu, kesepakatan halaman pertama) Hardcopy disimpan oleh penanggung jawab administrasi sesuai standar penyimpanan dokumen yang berlaku dalam sistem arsip Satker BKKPN. Contoh format kesepakatan terdapat pada lampiran 3. e. Standar notulensi Notulensi yang telah lengkap discan dalam file *.jpg. Softcopy tersebut disimpan langsung dalam direktori yang sama dengan diatas tanpa membuat sub direktori dengan format penamaan file : tanggalbulantahun_namakegiatan_notulensihalamanke(010114_rakorpengelolaansampah_notulensi001 artinya 1 Januari 2014, kegiatan rapat koordinasi pengelolaan sampah, notulensi halaman pertama) Hardcopy disimpan oleh penanggung jawab administrasi sesuai standar penyimpanan dokumen yang berlaku dalam sistem arsip Satker BKKPN. Contoh format notulensi terdapat pada lampiran 4.
BAB III. PENUTUP Penyusunan SOP Pelibatan Masyarakat ini adalah untuk mewujudkan tata kelola yang lebih berkualitas, memuaskan, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja tujuan akhirnya adalah mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan. Tanpa terlepas dari dan tetap mengacu pada asas-asas pembakuan, pertanggungjawaban, kepastian, keterkaitan, kecepatan dan kelancaran, keamananan serta keterbukaan penyusunan SOP ini perlu disempurnakan. Seiring dengan proses perbaikan yang berjalan besar harapan SOP pelibatan masyarakat di KKPN TWP Gili Matra menemukan bentuk idealnya.
Lampiran 1. Form Daftar Hadir PROGRAM/KEGIATAN "______________________" tempat, tanggal bulan tahun Daftar hadir No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama
Instansi
Alamat
Email
Telepon/HP
Tanda tangan
Lampiran 2. Form Berita Acara PROGRAM/KEGIATAN "__________________" tempat, tanggal bulan tahun Berita Acara Kami, sesuai daftar hadir, menyatakan bahwa telah melaksanakan program/kegiatan "________________" . Dalam pelaksanaannya ____________________ (pemaparan umum)
Secara khusus tercatat _______________________ (pemaparan khusus)
Saran dan Rekomendasi : ……….(optional, dibuat dalam daftar list) • • •
-------------------------------------------------------------------------------------Tanda tangan (-------------------------) Penanggung jawab
Lampiran 3. Form Kesepakatan PROGRAM/KEGIATAN "_________________________" tempat, tanggal bulan tahun Kesepakatan Kami, sesuai daftar hadir, menyatakan bahwa telah melaksanakan program/kegiatan "______________________" . Melalui musyawarah dan mufakat menyepakati hal-hal sebagai berikut : 1. ________ ________________ _________________ 2. ---------------------------------------------------------------------3. --------------------------------------------------------------------4. ---------------------------------------------------------------------5. -----------------------------------------------------------------------6. --------------------- ----------------- ----------------------------7. ---------------------- -------------------- ---------------------------Atas Nama Hadirin Tanda tangan (-------------------------) ------jabatan--------
Lampiran 4. Form Notulensi PROGRAM/KEGIATAN "____________________________" tempat, tanggal bulan tahun Notulensi Pukul : --------- :---------Sesi : ------------- ------- --------Catatan proses:
---------------
Pukul : --------- :---------Sesi : ------------- ------- --------Catatan proses:
---------------