DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH: Sebuah Pemikiran Konstruktif Bagi Kemajuan PDII‐LIPI Artikel ini merupakan gagasan dan pemikiran dari para mantan Kepala PDII‐LIPI, yang dikumpulkan dalam rangka kegiatan pengelolaan pengetahuan untuk menggali informasi sejelas mungkin dalam hal perumusan kebijakan dan pengelolaan sistem dokumentasi dan informasi ilmiah (dokinfo) yang hendak dilaksanakan oleh PDII. Pandangan mereka sangat dibutuhkan untuk mendapatkan saran dan masukan konstruktif, khususnya bagi perbaikan kinerja organisasi dan umumnya mendapatkan bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengelolaan sistem dokinfo ilmiah nasional. Permasalahan tersebut disampaikan dengan penuh harapan agar di masa mendatang PDII lebih baik dan maju dari pada sekarang. Informan: Putut Irwan Pudjiono [1], Blasius Sudarsono [2], dan Djusni Jatin [3]. Memaknai Dokumentasi [2] Secara maknawi, dokumentasi berarti catat mencatat, rekam merekam, dari analog ke digital. Kegiatan dokumentasi diawali dengan menulis dan mendistribusikan agar dapat terbaca secara eksplisit. Dokumentasi, sudah saya tulis sejak tahun 1992, pada awal mula kehendak manusia apa yang diekspresikan dan dipikirkan, kalau tempat dan waktu sama itu langsung bisa didiskusikan dengan orang di depanya, tetapi kalau berbeda (jauh), harus menggunakan media telekomunikasi dan disimpan sementara. Konsep yang saya pakai dengan matematika, dari nol sampai tak terhingga atau disebut abadi, sifatnya sementara itu diabadikan, dengan rekam, foto, catat. Kegiatan dokumentasi dapat berjalan apabila kita bisa mendefinisikan “working definition” dalam kegiatan dokumentasi. Dengan perencanaan dan orientasi kerja yang tepat, dokumentasi dapat menjadi program besar organisasi. Masalah dokumentasi sudah saya tulis dalam “Satu Dasawarsa Menjelang Kelahiran PDIN (1996)” dan “Menyongsong Fajar Baru Masa Depan PDII (2007)”, tetapi tidak pernah dibahas oleh Kepala PDII sampai sekarang. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1959, Lembaga Administrasi Negara (LAN) ditugaskan pemerintah untuk membuat peraturan perpustakaan‐kearsipan, kemudian panitia itu dipecah menjadi dua yaitu panitia perpustakaan dan arsip, serta panitia dokumentasi. Tahun 1961, Perpres No.20 Tahun 1961, mengatur tugas dan kewajiban dari perpustakaan dan dokumentasi di kantor pemerintah, sampai saat ini belum dicabut. Peraturan tentang arsip tercantum pada UU Pokok kearsipan tahun 1971. Di dalam peraturan tersebut, dokumentasi diartikan sebagai dokumentasi pustaka, bukan dokumentasi Koorporil (badan), seperti artefak dan sepesiman. Sebenarnya perpustakaan, arsip, dan museum, itu konsep satu dari makna dokumentasi. Jika dokumentasinya pustaka, menjadi perpustakaan, jika dokumentasinya arsip menjadi kearsipan, jika dokumentasinya artefak menjadi museum. PDII harus memahami makna dokumentasi atas dasar kesepakatan bersama. Dengan uraian pekerjaan dokumentasi yang jelas pada pengelolaan dokumentasi bahan pustaka. [3] Prinsip dokumentasi bahwa: 1) konten informasi dan layanan harus difokuskan, tidak semua orang dilayani, tetapi harus dilayani; 2) Kederisasi SDM harus lebih diperhatikan (penting). Orang dari bidang mana saja kita ajak, hasilnya bagus atau tidak, bisa dilihat hasilnya. Melaksanakan Tugas Dokumentasi [2] Sejak tahun 1965, di PDIN sudah terjadi deviasi sejak tecantum konsep dokumentasi yang berbunyi bahwa: “tugas majelis adalah mendaftar kepustakaan dan benda‐benda lain yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia”. Dari dasar tersebut, tugas PDIN menjadi menyediakan bahan bacaan untuk keperluan lembaga‐lembaga riset di Indonesia. Jika seperti itu, bagaimana dengan benda‐benda seperti artefak dan specimen, siapa yang akan
mengurusi benda tersebut? Saya baru sadar tentang dokumentasi, ketika PDII ditugasi untuk mengelola Biodiversity. Kalau masalah komputer, PDII “jago”, tapi kalau tentang biologi kurang memahami. Dari pengalaman tersebut, tugas PDII tidak hanya mengelola dokumentasi pustaka sedangkan dokumentasi non‐pustaka tidak bisa dilaksanakan. Sampai saat ini, PDII tidak memiliki spesialisasi bidang tertentu, karena pendidikan perpustakaan di Indonesia hanya dapat mencetak “tukang” sehingga pegawai PDII juga seperti itu. Pada waktu mendapat tugas dari Pak Khaerudin, tugas saya sebagai Kepala PDII, yaitu: 1) mengubah gaya kepemimpinan Ibu Luwarsih; dan 2) menyatukan administrasi keuangan. Waktu itu, untuk mengubah gaya kepemimpinan tidak berhasil dilaksanakan karena menganut sistem komando (top down), pegawai/staf mau bekerja, kalau ada perintah dari atasan dan sebaliknya. Ibu Luwarsih pernah mengatakan kepada saya tentang masalah yang urgent, saya jawab: urgent bisa saja urgent, tetapi penting ga? Kita harus lihat Johary Window, urgent dan penting itu yang utama, tetapi penting dan medesak itu harus lebih diprioritakan, sedangkan penting tapi tidak mendesak, pasti dieliminasi. Di Indonesia belum memiliki perpustakaan riset (research library), tetapi perpustakaan khusus. Perpustakaan PDII itu bukan perpustakaan riset, tetapi pusat dokumentasi. PDII jangan memfokuskan kegiatannya pada kegiatan jasa perpustakaan karena hanya berpikir tentang pengadaan, pengolahan, dan layanan koleksi ke pengunjung perpustakaan. Kalau kita mengatakan perpustakaan berarti harus kelola perpustakaan dengan baik; kalau berbicara laboratorium berarti harus fokus pada kegiatan penelitian bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi; kalau berbicara dokumentasi, berarti terkait dengan Chemical Abstract, Anginering Index, Agricultur Abstract, Index Medicus, dan sebagainya. Semangat membangun PDII harus ditingkatkan, dengan cara: rekonsiliasi (rukun), kepedulian, dan profesionalisme. [3] Kegiatan dokumentasi yang dilaksanakan PDII hendaknya memberikan dampak bagi LIPI dan Nasional. Dampak ke LIPI, segala hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan baru bagi para karyawan LIPI. Dampak Nasional, melalui “maping” penyebaran karya ilmiah, perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia dapat diketahui manfaatnya bagi masyarakat. Mewujudkan Repositori Nasional [1] Perlunya suatu gagasan dari seseorang yang berkomitmen untuk merapikan sistem pendokumentasian informasi ilmiah. Sistem pendokumentasian informasi dimulai dari hal yang kecil dan secara aktif terus dibenahi dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan kerjasama dokumentasi dengan Pusat Inovasi. Dalam wujud pendokumentasian draft paten dari setiap karya penelitian LIPI yang dihasilkan oleh Pusinov. Hal tersebut merupakan langkah awal bagi PDII untuk menuju pusat Repositori Nasional. PDII jangan hanya mengumpulkan koleksi, tetapi lebih memikirkan pada pendokumentian informasi hasil riset yang ada di Indonesia. Upaya yang dilakukan adalah dengan merumuskan suatu kebijakan tentang sistem pengelolaan dokumentasi nasional, dengan mengacu pada tujuan awal dibentuknya lembaga PDII. Peluang tersebut dapat dilakukan dengan cara dengan menyusun suatu “sekenario besar” dalam wujud membentuk tim yang solid, misalnya Tim Riset Indonesian Knowledge Research Group (IKRG), yang anggota melibatkan semua tenaga fungsional di PDII. Selain itu, gaya kepemimpinan dari setiap struktural harus memotivasi karyawan untuk berpikir tentang kemajuan organisasi. Meningkatkan Kerjasama [1] Dengan mengikuti aturan birokrasi, program kegiatan dokumentasi dan informasi harus terintegrasi satu sama lain, dan menjadi program besar (unggulan) PDII. Diharapkan adanya kerjasama antar‐bidang di PDII. Sejak awal tahun 2010, kegiatan dokumentasi sudah kita laksanakan, baik skala nasional maupun internasional. Kegiatan nasional, kita bangun database
ISJD (dengan tembusan surat ke Menteri Pendidikan Nasional) dan LARAS (dengan tembusan surat ke Menteri Riset dan Teknologi), kemudian kita sosialisasikan agar kedua database tersebut dapat diketahui masyarakat. Kegiatan dokumentasi di PDII secara formal banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Pada saat kerjasama dengan Ristek mengelola Portal Pustaka Ristek (http://pustaka.ristek.go.id), PDII fokus hanya pada pengelolaan konten informasinya sedangkan Ristek mengatur regulasi atau peraturan aksesnya. [2] Kalau berbicara tafsir kebijaksanaan dokumentasi, PDII harus memiliki strategi yang tepat dalam menghadapi orang‐orang Perpusnas dan Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Caranya dengan bergaul dan menjalin kerjasama dengan pihak luar. [3] Dokumentasi dapat dilakukan dengan memilah mana yang bisa dikembangkan dan mana yang tidak? Pengelolaan kemasan informasi berbasis teknologi harus tetap dikerjakaan, baik dikerjakan PDII sendiri maupun bekerjasama dengan orang luar. Karya peneliti asing, dapat kita ambil melalui google scholar dan majalah‐majalah yang kita langgan, seperti kerjasama yang sudah dilakukan PDII dengan dengan Ristek (Jurnal Ijens). Untuk dokumentasi sebenarnya PDII tidak harus memiliki koleksi, tetapi cukup berlangganan dan menyediakan database ilmiah yang dapat diakses oleh semua orang, baik langganan database majalah/jurnal ilmiah maupun literatur kelabu. Pengelolaan Local Content LIPI [1] Kewajiban serah simpan terhadap terbitan LIPI atau local content ke PDII merupakan satu hal yang perlu diprioritaskan. Alasannya bahwa masyarakat yang mencari publikasi dan karya ilmiah LIPI mereka datang ke PDII. “harus ada satu perpustakaan di LIPI, tapi banyak”, itulah tugas PDII sebagai pusat pengelola dokumentasi nasional. Dalam pengelolaan koleksi local content, PDII hanya perlu menyediakan database terintegrasi (integrated library), kemudian database tersebut di‐link‐kan ke setiap satker‐satker di LIPI agar ada pertukaran data. Harapannya bahwa ketersediaan informasi local content di database dapat diakses oleh semua peneliti di lingkungan LIPI dan menjadi visible bagi siapapun. PDII tidak perlu meminta semua publikasi yang diterbitkan oleh setiap satker di LIPI, tetapi cukup harvesting data melalui sistem integrated library. [2] Terkait dengan pengelolaan local content terbitan LIPI sebaiknya: 1) harus dibicarakan dengan kepala LIPI; 2) dikembalikan kepada masing‐masing unit kerja yang ada di LIPI; dan 3) setiap satker memiliki unit dokinfo. [3] Koleksi Local content terbitan LIPI secara otomatis dapat dikumpulkan PDII. Selain dapat ilmunya, kita dapat mengetahui perkembangannya. Waktu menjabat sebagai Kepala PDII, saya berpesan bahwa kegiatan penelitian itu ada tiga yaitu: 1) mengkaji dokumentasi dan informasi yang ada di PDII dan LIPI (dengan mengoptimalkan yang sudah ada); 2) mengembangkan ilmu‐ilmu baru, 3) Penelitian untuk jasa informasi baru (tidak harus penelitian). Pengembangan Sistem Integrated Library [1] Pengembangan sistem integrated library muncul setelah adanya isu pengembangan perpustakaan digital (digital library), dari situ PDII mulai menerapkannya. Sistem Integrated library arahnya pada ke sistem repositori nasional. Dalam implementasinya, PDII harus memiliki komitmen bersama dalam pengaturan akses informasi, apakah akan dibuka full text atau ditutup? maka perlu dibuat mekanisme dan kebijakan yang jelas dan tegas, agar tidak terjadi komplain di masyarakat. Kebijakan akses informasi dirumuskan dengan argumen yang kuat, agar dalam pengajuannya ke kepala LIPI atau Menristek dapat diterima (disetujui). Dalam pengembangan digital library, PDII juga tetap mempertahankan Traditional Library (koleksi cetak tetap tersedia di ruang perpustakaan dan masih menjalin kerjasama interlibrary loan dengan perpustakaan lain). Kedepannya, PDII dapat menjadi “pioner” dalam pengembangan digital library di Indonesia. Untuk itu, PDII perlu mengkoordinasikan kembali dengan satker‐
sakter di LIPI untuk meningkatkan komunikasi ilmiah melalui pembangunan sistem integrated library. Memperhatikan Hak Cipta [1] Dalam pengembangan jaringan digital library terintegrasi, PDII harus mewaspadai isu‐isu perkembangan HAKI (hak cipta) yang melekat pada pengolahan koleksi digital di lembaga dokumentasi dan informasi. PDII harus menentukan: apakah hanya menerima born digital atau keduanya (cetak dan digital). Tujuannya agar tidak melanggar peraturan hak cipta. Apabila kita belum memahami hak cipta, PDII perlu kerjasama dan mendatangkan konsultan HAKI, misalnya konsultan dari Pusinov. Pengaturan akses dari setiap koleksi yang dilayankan ke masyarakat harus memiliki peraturan yang jelas, ada form pernyataan tertulis yang mengikat keduanya (pengakses dan penyedia jasa). Cara tersebut merupakan melegalisasi akses informasi dari setiap publikasi yang dilayankan PDII. Kita dapat meminta surat keputusan (SK) Kepala PDII yang isinya menjelaskan bahwa: 1) adanya perkembangan perpustakaan digital, maka perlu menyerahkan softcopy ke PDII; atau 2) apakah masih diperlukan hardcopy ke PDII jika sudah ada sistem integrated library? Mulai dari pemilihan file, upload file, dan publikasi artikel ke database harus dibuat aturannya. Tujuan digitalisasi koleksi adalah menghemat tempat dan pekerjaan tanpa melanggar aturan hukum yang berlaku. Membangun Laboratorium Riset [1] Laboratorium riset ini merupakan state of the art dari lembaga dokumentasi yang mengurusi hasil penelitian. PDII diharapkan bisa menyediakan sebuah ruangan untuk sharing bagi para peneliti dan akademisi untuk berbagi pengetahuan dalam bidang dokinfo. Penerapannya dapat menggunakan konsep Triple Hellicks yang melibatkan tiga institusi ABG (Akademisi, Bisnis, dan Government/pemerintah). PDII harus bisa memperdayakan SDM yang ada, misalnya: Bu Farah yang telah belajar tentang strategi bisnis di lembaga litbang; Pak Hendro telah ahli dalam semantic web untuk membangun database, keduanya dikolaborasikan untuk mengkonsep desain pengembangan loboratorium riset di PDII. Sedangkan, pimpinan PDII menyiapkan media dan strategi bisnisnya. Dengan demikian, PDII akan mendapatkan added value, khususnya bagi peningkatan kinerja organisasi. [2] Secepatnya PDII membangun laboratorium untuk mengkaji hasil‐hasil riset dokumentasi dan kepustakawanan dengan melibatkan empat pilar tersebut. Diharapkan dapat terjadi sharing knowledge dan ada sistem pengkaderan berbasis Corporate Knowledge untuk mewujudkan PDII sebagai teaching library. Dengan ada laboratorium riset, PDII memiliki peluang untuk menyelenggarakan pelatihan atau kursus bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi. Membentuk Tim Knowledge Management [1] Untuk memajukan laboratorium riset, perlu menyiapkan tim pengelolanya yaitu tim Knowledge Management (KM). Tim KM diharapkan dapat berkomunikasi dengan Industri, pemerintah, atau akademisi. Upaya awal yang sudah dilakukan PDII adalah dengan menghimbau kepada para profesor riset atau ahli peneliti utama yang sudah pensiun untuk menyerahkan koleksi dan karya‐karyanya kepada PDII. Tujuannya agar hasil penelitian dan pemikiran mereka dapat dibaca dan dipelajari oleh masyarakat (pengunjung perpustakaan PDII). [2] Hal yang perlu diingat bahwa aset utama PDII adalah pengetahuan, dan pengetahuan harus dikelola melalui kegiatan Knowledge Management (KM). Pada dasarnya, KM adalah We Know What We Know, yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan dokumentasi. Dokumentasi itu dasar dari KM, yang merupakan mata rantai proses penemuan ilmu. Dengan model lingkaran untuk menjadi ahli, kita harus belajar, setelah belajar, kita melaksanaakan apa yang sudah dipelajari, setelah itu dikembangkan, berikutnya apa yang sudah dikembangkan itu diajarkan
lagi. Lingkaran ini dapat berjalan apabila diputar oleh roda lain, termasuk perencanaan dan administrasi dokumentasi. Pengembangan Karir SDM [1] Kegiatan diklat bagi pegawai PDII sangat penting dan harus diprioritaskan. Pegawai adalah mesin organisasi, agar kinerjanya bagus maka harus dilatih. Setiap pegawai harus mengetahui tentang sistem administrasi organisasi yang baik (sistem kepegawaian atau keuangan), serta dapat membuat paket‐paket informasi/pengetahuan yang menarik untuk pelatihan dokinfo. Pimpinan harus mencari informasi sebanyak‐sebanyaknya terkait dengan jadwal pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, kemudian menentukan “siapa orangnya” yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dengan mengikuti diklat, pegawai yang “tidak bisa menjadi bisa”, bisa melayani dan bisa mengalisis kebutuhan pengguna. Setelah pegawai mengikuti pelatihan diharapkan dapat meningkatkan skill dan kompetensinya. Kompetensi yang dimaksud adalah dapat “menularkan” ilmunya kepada orang lain di luar institusi, misalnya dengan mengajar materi pelatihan yang sudah diprogramkan PDII, seperti pelatihan pelayanan referensi, kemasan informasi, pengelolaan database (LARAS dan ISJD), manejemen jurnal sistem OJS, dan paket‐paket pelatihan dokinfo lainnya. Melalui pelatihan, pegawai tersebut secara otomatis membawa nama baik lembaga. Apabila melalui kerjasama (MoU), pelatihan tersebut harus memberikan keuntungan bagi PDII, baik ilmu, moral, maupun materiil. Selain diklat, rotasi kerja pegawai di internal organisasi juga perlu dilakukan agar ada “regerenasi” dan mampu melaksanakan tugas‐tugas dokinfo yang lainnya. Namun, sistem rotasi kerja ini tidak bisa dipaksakan, tergantung pada niat dan komitmen bersama untuk memajukan organisasi. Hal yang lebih penting adalah membangunan “pasukan bisnis” untuk menjalin kerjasama dengan pihak luar. [3] Kegiatan KM juga harus dilanjutkan untuk pengembangkan SDM, misalnya kegiatan seminar dan pertemuan‐pertemuan dengan ristek. Bisnis Informasi Ilmiah [1] Proses bisnis dapat berkembang di PDII apabila ada SDM yang memiliki jiwa marketing. Caranya melalui tim riset dan bisnis (tenaga fungsional) untuk memikirkan proses bisnisnya, mulai dari pengemasan informasi, promosi, dan penjualan produk/jasa ke pihak luar. Hal yang perlu diperhatikan adalah “setiap ada perubahan selalu ada permasalahan, tetapi jangan dibesar‐besarkan permasalahan itu”. Kita harus selesaikan masalah secara bersama dengan pola koordinasi formal atau non‐formal, misalnya dengan rapat bulanan, rapat pimpinan, dan diskusi di luar rapat. PDII itu adalah “mall‐nya” LIPI, orang ingin mencari informasi ilmiah dan mengetahui hasil penelitian LIPI harus datang ke PDII. Harapannya semua hasil riset LIPI dan pusat‐pusat penelitian dapat tersimpan di PDII. PDII harus bisa mengatur strategi pemasaran informasi yang tepat dan bernegoisasi dengan pemangku kepentingan agar dapat menembus level nasional. Cara kerjanya berbasis “kewenangan dan kemitraan” tanpa adanya persaingan dengan instansi lain. “Apa yang diminta masyarakat, kita sediakan, dan kita sosialisasikan”. Strategi bisnis dapat kita peroleh pada saat kita melakukan kerjasama dengan Thomson, Scopus, dan ASFA ke Proquest. Mereka saja dapat menjual informasi ke lembaga‐lembaga penelitian, kenapa PDII tidak? Dengan pemikiran seperti itu, PDII dapat mengembangkan database seperti yang dimiliki oleh penyedia database ilmiah internasional. Agar fokus pada jasa dokumentasi dan informasi ilmiah, PDII harus mampu membedakan antara pelayanan sebagai pelayan dengan bisnis layanan. Misalnya Singapura, negara tersebut sebagian besar pendapatannya berasal dari sektor bisnis dan pelayanan, baik bisnis pariwisata, travelling, maupun keuangan, tetapi tidak menjadi pelayan di negaranya sendiri. PDII harus memiliki visi dan karakter bisnis yang kuat seperti di Singapura dengan fokus pada produktivitas kegiatan
dokumentasi dan informasi ilmiah. Stretegi bisnis di PDII harus ada karena untuk meningkatkan jaringan kerjasama dokinfo dengan pihak luar. Membuat Kemasan Informasi [1] Hal penting lainnya adalah kreatif dalam membuat kemasan informasi berupa paket‐paket pengetahuan yang menarik. [3] Untuk mendiseminasikan hasil kemasan informasi, PDII harus mencari pasar, tidak harus banyak user‐nya, tapi jelas sasarannya. Selain itu, Jasa‐jasa unggulan PDII juga dikomunikasikan dengan Kepala LIPI sebagai tindak lanjut koordinasi bersama. Kepala LIPI harus dikejar karena punya kekuasaan untuk mengurus hal tersebut. Promosi Jasa PDII [3] Kegiatan promosi ini penting bagi diseminasi jasa‐jasa informasi ilmiah yang dikelola PDII. Tujuannya untuk mendapatkan pengguna baru kita harus cari pengguna potensial. Misalnya kita konfirmasi dengan Pak Indroyono (dari Mensos) tentang info UKM, penelitian tentang Laut dari ASFA, itu sangat membantu UKM. Untuk UKM lebih mudah, misalnya kita buat abstrak hasil penelitian bidang pangan, selanjutnya kita tawarkan pada mereka. Cara lain adalah dengan berbagi dan mencari data dari berbagai instansi/perusahaan yang butuh dengan jasa PDII. Bentuknya tidak hanya kemasan informasi tetapi juga publikasi ilmiah lainnya. Intinya kemasan informasi yang diterbitkan PDII harus mengarah pada knowledge services dan dapat mengajak banyak orang untuk berkomunikasi. Mencari Investor [3] PDII harus aktif cari investor untuk membiayai informasi dan databasenya. Kita tawarkan keuntungan dari jasa yang diinvestasikan. Misalnya untuk abstrak, dalam bahasa inggris/jepang, pengerjaannya kita serahkan ke mahasiswa (mungkin lebih rajin membaca), PDII menyediakan fasilitasnya, sedangkan dananya dari investor. Intinya kita harus belajar dengan orang lain. Selain menambah relasi kerja, PDII mendapat modal tambahan untuk mengembangkan paket‐ paket kemasan informasi sesuai dengan kebutuhan pasar. Rebranding PDII [2] Untuk melalukan rebranding organisasi, PDII harus mulai berpikir “Why To Do” selain “How To Do”. Maksudnya bahwa sebelum melaksanakan program kerja/kegiatan, PDII harus menganalisis dan mengevaluasi alasan (why) melaksanakan program tersebut, dasarnya kuat, programnya jelas, dan sesuai kebutuhan organisasi. Rebranding PDII berisi empat pilar, yaitu sarjana, sivitas, alumni, mahasiswa, dan intersection‐nya Kappa Sigma Kappa (KSK). Ke empat pilar tersebut harus saling berkomunikasi dan mampu mengembangkan ilmu kepustakawanan yang lebih scientific. Mengevaluasi Diri untuk Masa Depan [2] Pertanyaannya: Pada koordinat mana, PDII meletakkan dokumentasi pada bidang keilmuan dan pekerjaannya? Kita harus mengakui bersama bahwa “kesalahan Kepala PDII yang ditunjuk adalah Kepala PDII yang amatir (kurang paham tentang konsep dokumentasi), sehingga di PDII terjadi dis‐orientasi, tidak hanya masalah informasi dan pengetahuan yang tercerai berai, tetapi juga kekompakkan staf juga tercerai berai. Apabila PDII akan membangun research library tentunya harus memikirkan tentang kompetensi, karir, kesejahteraan karyawan, dan sistem administrasi yang baik. Terkait kebijakan akses dokumentasi dan publikasi ilmiah perlu dirumuskan dan ditetapkan peraturannya, antara dokumen yang dapat di‐publish dengan ditutup (closed access)? Bagi pegawai senior diharapkan dapat “legowo”, dan memberikan kesempatan pegawai muda untuk berkreasi dan merencanakan masa depan PDII‐LIPI.
Referensi: [1] Wawancara dengan Putut Irwan Pudjiono, tanggal 21 Nopember 2012, Kegiatan “Capture Knowledge” Pengelolaan Pengetahuan di PDII‐LIPI. [2] Wawancara dengan Blasius Sudarsono, tanggal 28 Nopember 2012, Kegiatan “Capture Knowledge” Pengelolaan Pengetahuan di PDII‐LIPI. [3] Wawancara dengan Djusni Djatin, tanggal 5 Desember 2012, Kegiatan “Capture Knowledge” Pengelolaan Pengetahuan di PDII‐LIPI.