Dogma Versus Halakha NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Oleh, Uskup Mar Nicholas H Toruan, CKC
Gereja Nasrani Indonesia (GNI) Keuskupan Nasrani Katolik Ortodoks Rasuli Kudus dan Satu
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
“Budaya mengikat pola pikir”
Ekspresi tindakan-tindakan (acts) selalu didasarkan opini atau pendapat yang dilatar belakangi dari pengetahuan hasil konsep budaya yang melahirkannya. Budaya selalu membentuk ranah berpikir suatu kelompok pelaku budaya di manapun itu di bumi ini karena pada hakikatnya seorang manusia selalu hidup dalam tatanan norma dan adat istiadat di lingkungannya; ini semua diejawantahkan melalui bahasa tutur kata yang bermuatan pemikiran, ideologi, konsep, dan keyakinan. Inilah fakta yang harus dilihat saat kita mencoba memahami suatu ideologi suatu kelompok masyarakat, entahkah itu politik, budaya, dan agama.
Berbicara perihal DOGMA dan DOKTRIN Kekristenan, maka kita juga harus menelisik kedalam Kekristenan itu sendiri yang terbentuk dalam BUDAYA tertentu. Agama Pewahyuan Kekristenan sesungguhnya adalah murni agama Wahyu dari Langit awal terbentuknya beberapa ribu tahun lalu. Pewahyuan-pewahyuan ini datang dan diberikan kepada kelompok etnis – suku bangsa Ibrani dari keturunan Shem anaknya Nuh. Selanjutnya diterus sampaikan kepada keturunan Terah, yakni Abraham – Ishak – Ya’akov yang mengawini anak pamannya Laban orang Aram yakni Leah dan Rachel sehingga budaya yang diserab Ya’akob adalah budaya Ibrani – Aramaik. Melalui keturunan Israel (Dua Belas Suku) ini Agama Pewahyuan berlanjut dalam sejarah di mana Alaha memilih Musa – Harun menjadi soko guru Agama Israel Kuno dengan mengikat Perjanjian di Gunung Sinai di hadapan ribuan keturunan Israel.
Page 2- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Kita tahu bahwa keturunan bangsa Israel ini adalah keturunan etnis Ibrani yang memiliki multi budaya yang mempengaruh mereka, yaitu sejak zaman Abraham budaya bangsa Akkadian di Ur Kasdim yang membentuk pola dan tatanan budaya pada diri Abraham, kemudian berinteraksi dengan bangsa-bangsa Kanaan. Dan selanjutnya Dua Belas Suku Israel hidup bersama dengan bangsa Mesir selama 400 tahun. Setelah bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir, mereka kemudian generasi Kaleb memasuki Tanah Kanaan yang dikuasai suku bangsa Filistin (Palestina) yang memiliki budaya sendiri. Setelah bangsa Israel menetap di Eretz Yisrael maka mereka secara kepribadian dibentuk dalam multi budaya (Ibrani, Aramaik, Kanaan, Mesir dan Palestina) yang merupakan karakter suku Israel yang menentukan cara mereka berpikir dan bertindak. Terlebih lagi semakin berkembang budaya dan adat istiadat Yahudi setelah Zaman Pembuangan ke Babilonia (sekitar tahun 587 S.M), semakin kaya interaksi dan adopsi budaya kaum Israel ini dengan masuknya budaya Fenisia, Persia dan Babilonia (Aramaik).
Dalam multi budaya inilah Agama Pewahyuan dari Mar-YAH Alaha diberikan dan merupakan rahim latar belakang budaya agama Israel yang kita sebut Yudaisme Alkitabiah. Pada saat zaman Maran Yeshua dan Para Rasul-Nya hidup abad pertama, mereka semua merupakan pelaku budaya Ibrani campuran dan Yeshua sendiri mengikuti budaya dan adat istiadat Yahudi sekalipun sebenarnya Dia tidak terikat kepada budaya ini, namun, Dia mewahyukan diri-Nya dalam masyarakat Yahudi maka Ia harus hidup dengan mengikuti tatanan adat istiadat Yahudi juga sebagai Anak Manusia yang dilahirkan oleh Miriam dalam keluarga Yosip ayah angkat-Nya (Yokhanan 1:10-11). Dalam persfektif keilahian-Nya Yeshua tidak terikat kepada tatanan budaya tertentu, Dia berada di atas semua budaya manusia.
Demikianlah pada pertama kali Agama Yahudi berkembang dalam budaya Ibrani campuran yang memiliki banyak sekte-sekte keagamaan Yahudi yang berbeda-beda dalam paradigma, tetapi mereka tetap bisa disatukan dalam satu kesatuan agama dipimpin oleh Majelis Agama Sanhedrin dan Bait Suci. Adanya Sekte-sekte Agama Yudaisme disebabkan adanya perbedaan paradigma, konsep, persfektif, defenisi, dan tafsir pada Kitab Suci yang sarat dipenuhi berbagai peristilahan Alkitabiah. Sekte-sekte berasal dari kata Yunani dan dalam pengertian Yudaisme adalah “Cabang Pemikiran” (Mazhab). Dari banyak sekte-sekte Yudaisme salah satunya adalah keagamaan yang diproklamirkan Yeshua sebagai penggenap dari Agama Yahudi. Namun, arus utama mazhab Yahudi dari para pengikut Rabbinik Babilonia dan Sadduki menolak Yeshua sebagai ha-Mashiakh karena tidak sesuai dengan konsep dan tafsir yang mereka telah format dalam ajaran-ajaran Rabbinik yang mengharapkan seorang ha-Mashiakh menjadi Raja Yahudi secara fisik dan duniawi Page 3- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
untuk mengalahkan Kekaisaran Romawi dan mengusir semua bangsa-bangsa lain yang mencoba menduduki Tanah Suci. Para Rabbi Farisi telah menafsirkan ha-Mashiakh itu Apa dan Bagaimana sehingga tafsir ini membentuk DOKTRIN keyakinan yang terus diindoktrinasikan yang akhirnya menjadi DOGMA mutlak yang tak bisa berubah dan berkarakter ilahiah.
Jika tidak cocok dengan doktrin yang dogmatis ini maka suatu pernyataan harus ditolak dan mutlak salah. Itulah sebabnya mayoritas kaum Yahudi menolak Yeshua sebagai haMashiakh (Mattai 27:24-25). Sebaliknya, sekelompok kecil Yahudi, yaitu Para Rasul dan Para Murid lainnya tidak menganut paham dogmatis yang defenitif, melainkan hanya mengikuti doktrin – doktrin yang diajarkan Yeshua saja. Itulah sebabnya mereka tidak serta merta menolak Yeshua, melainkan ada ruang terbuka dan celah menerima hal yang baru sebagai kebenaran yang lebih otentik. Berbeda dengan mayoritas Yahudi lainnya yang telah menutup pintu hati dan pikirannya yang dogmatis itu “jika bukan ini dan itu … pastilah bukan ini dan itu! Mereka sudah dilatih menjadi binatang yang hanya mengikuti perintah tuannya, dan hak bebas telah dibunuh mati sehingga tidak ada ruang untuk menerima sesuatu kebenaran lain yang otentik selain dari pada apa yang telah didogmakan.
Para Rasul dan Para Murid Yeshua menerima Kebenaran-kebenaran yang mereka saksikan dan terima langsung dari Yeshua bukanlah bersifat dogmatis (ajaran-ajaran mutlak) tetapi doktrinal (ajaran-ajaran), itulah sebabnya Para Rasul tidak mendefenisikan apapun tentang Kebenaran – kebenaran yang mereka terima dari Yeshua; mereka hanya MELAKSANAKAN apa yang diperintahkan oleh Maran Yeshua sebagai “Halakhik” atau disebut “Margam d’Mshikha.” (Perintah-perintah Mshikha, Injil Yokhanan 14:15)
Dogma: Ajaran paling Otoritatif Yeshua “mengajar dengan berwibawa” (Mattai 7:29), dan setelah bangkit Maran memberikan Para Rasul-Nya wibawa-Nya saat Ia mengamanahkan mereka untuk menjadikan murid-murid dari semua bangsa melalui pengajaran apa yang Ia telah perintahkan kepada mereka (Matthai 28:18–20). Gereja Rasuli percaya bahwa Mshikha telah membuat ketetapan bagi umat Mshikhanim untuk dipelihara melalui Ruakh haKodesh dalam kebenaran Injil (Yokhanan 14–16). Shliakh Mar Saul menugaskan Mar Timotheos mempertahankan harta karun Iman diantara guru-guru yang dilantik lainnya (1 dan 2 Timoteos). Sejak abad ke-2 M., Para Uskup dipandang sebagai para penjaga khusus ajaran rasuli; dan praktek ini memunculkan pertemuan-pertemuan para uskup dalam konsili pada berbagai tingkat geografis untuk menentukan ajaran sebagai yang dibutuhkan. Page 4- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Konsili gerejawi pertama kali, menurut tradisi, terjadi ketika, sebagaimana dituturkan dalam Kisah 15, para rasul dan para penatua bertemu di Yerusalem untuk menentukan syarat-syarat agar Bangsa-bangsa diterima masuk kedalam Gereja. Mereka menyimpulkan bahwa “adalah tampak baik bagi Ruakh ha-Kodesh dan bagi kita agar jangan membebankan atas mereka beban lebih besar dari pada yang diperlukan: agar mereka berhenti mempersembahkan korban kepada berhala-berhala dan dari darah dan dari binatang mati dicekik dan dari kekejian.” (Kisah 15:19-20). Sebab adalah keputusan Ruakh ha-Kodesh dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini. (Kisah 15:28). Keputusan-keputusan dari Konsili Yerusalem ini diterjemahkan dalam bahasa Yunani dogmata (Kisah 16:4).
Kata “Dogmata” tidaklah muncul dalam persidangan Konsili Yerusalem sebab mereka semua memakai bahasa Aramaik bukan bahasa Yunani, dan dituliskan oleh Mar Lukas dalam bahasa Aramaik dan nantinya diterjemahkan kedalam bahasa Yunani bagi yang berbahasa Yunani di wilayah Kekristenan Barat pada abad ke-2 M. Dalam Sidang Konsili Yerusalem; Para Rasul dan Para Penatua bertindak sebagai sidang Sanhedrin Nasrani Yahudi sebagaimana kebiasaan Sanhedrin Yahudi lakukan dalam mengambil suatu keputusan-keputusan Majelis disebut “Halakha” (the Path = jalan Hidup atau the way of walking = jalan yang dijalani) yang mengarahkan bagaimana bertingkah laku dalam setiap aspek hidup, pedoman, dan aturan keagamaan. Sementara kata Dogma: Latin dogma, dari Yunani dogma (= perihal yang orang pikir benar, pendapat, doktrin, dekrit), dari kata dokein (tampak, penampilan, berpikir, yakin), yang juga disebut doxa (pendapat, kemuliaan). Sementara dalam bahwa Ibrani disebut dugma דוגמה- "teladan, contoh" Iman. Kata Dogma dalam bahasa Yunani bersifat legalistis dalam administrasi dan undang-undang Hukum Sipil dan Dugma dalam bahasa Ibrani lebih difokuskan kepada “Teladan Kesalehan Iman”, yakni perilaku menjalankan perintah-perintah Agama. Dalam pemahaman Dogma secara YURIDIS (ilmu Hukum), yakni jika tidak dilakukan maka vonis dalam bentuk hukuman badan atau
Page 5- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
denda adalah anksi bagi pelanggar dan dogma wajib dilakukan setiap warga yang terikat dalam zona wilayah hukum yang dikuasai. Sebaliknya Dugma ( )דוגמהdalam pemahaman Yudaisme, tidak menyangkut legalitas yuridis, melainkan praktek jalan hidup kesalehan yang terkait pada Halakha keagamaan yang difatwakan baik dalam Tradisi Torah Tertulis dan Lisan yang disahkan oleh majelis Sanhedrin dan dianjurkan oleh Para Rabbi. Oleh sebab itu, dalam Kisah Parasul 16:4 kata, DOGMATA yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani Koine adalah tidak tepat pada konteks masyarakat Yahudi, terlebih lagi mereka yang bersidang itu adalah Orang-orang Yahudi yang tidak melihat “keputusankeputusan” (Halakha) secara yuridis hukum sipil seperti dalam peristilahan bahasa Yunani-Latin. Tepat seperti yang kita ulas di atas bahwa “suatu kata selalu memiliki latar belakang budaya”, konteks Kisah Rasul 16:4 budaya yang berlaku adalah budaya Yahudi dari Para Rasul dan Para Penatua orang Yahudi bukan orang-orang Kristen dari Bangsa-bangsa lain seperti Yunani, Latin atau lainnya.
Kembali kepada Tradisi Budaya Masyarakat, saat Injil masuk dalam budaya YunaniLatin maka Kekristenan itu disebut dengan istilah “Kekristenan Yunani-Latin” (GrecoRoman Christianity), sementara Kekeristenan Nasrani Yahudi (Kisah Rasul 24:5) disebut Kekristenan – Yahudi (Judeo-Christianity). Dalam perkembangan sejarah Kekristenan hanya ada dua corak Kekristenan, yakni Kekristenan Yunani-Latin dan KekristenanYahudi. Tradisi Kekristenan Yunani-Latin sarat dipengaruhi budaya Hellenisme & Latinisme yang banyak mempengaruhi Gereja-gereja Kristen Ortodoks Timur, Gereja Roma Katolik, Reformasi Protestantisme, dan juga sebagian Kekristenan Ortodoks Oriental.
Kekristenan Hellenisme – Latinisme kontras berbeda paradigmanya dengan akar budaya Kekristenan Yahudi, seperti yang dikatakan Uskup Roma, Sylvester I, tahun 318 M: “… istilah Barat dengan pikiran Barat pada model kekaisaran. Orang-orang Nasrani Yahudi tidak memiliki tempat dalam struktur gereja semacam itu. Martin Malachi –Kejatuhan Romawi. Apa artinya ini?
Gereja atau Kekristenan Greco-Roman cara berpikir dan cara pandangnya berdasarkan BUDAYA HELLENISME – LATINISME yang berkarakter LEGALISTIS yang administratif politis Kekaisaran Romawi. Semua tafsir dan pendapat Kekristenan ini selalu berorientasi pada legalisme konsensus rasional berdasarkan metode Filsafat Yunani yang selalu menekankan metode premis logika yang defenitif. Gaya pola pikir ini selalu melahirkan “Absolutisme” dalam penetapan suatu keputusan karena telah melalui tahapan logika berpikir dari tahap asumsi, persepsi, hipotetis dan akhirnya TEORI yang merupakan keputusan defenitif tak berubah lagi dan pasti. Pola pikir inilah yang Page 6- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
dikembangkan dalam Hermeneutika Alkitab saat menentukan Doktrin dan Moral Gereja. Berikutnya inilah cara pandang Gereja-gereja Greco-Roman
DOGMA: "Harta Karun Iman " (1 Tim. 6:20; 2 Tim. 1:14) disusun dari seluruh wahyu Yeshua Mshikha bagi Gereja dalam Doktrin dan Moral. Suatu dogma adalah kebenaran yang disingkapkan oleh Alaha, dan hal semacam itu diusulkan oleh Magisterium Gereja sebagai yang perlu bagi keyakinan. Orang yang tetap Katolik berpegang teguh hanya jika ia menerima seluruh kepenuhan penyingkapan Iman dalam integritasnya. Itulah sebabnya Dogma-dogma itu adalah penyingkapan ilahiah tak bisa berubah. (*Absolutisme Barat) Dogma-dogma adalah hal pokok bagi Iman. Dogma-dogma tak bisa berubah. Jika ada satu dogma disangkali oleh seorang individu atau kelompok dari individu-individu kebenaran tidaklah berkurang oleh penyangkalan mereka, namun, mereka mengeluarkan diri mereka sendiri dari Tubuh Mshikha, Gereja. Dengan sengaja menyangkali suatu dogma Iman disebut bidat. Para bidat adalah cabang-cabang yang Yeshua katakan ketika Ia berkata: "Aku adalah pohon anggur, engkau adalah cabang-cabang. Dia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia berbuah banyak, sebab diluar dari Aku kamu tidak bisa berbuat apapun. Jika ada orang yang tidak tinggal dalam Aku, ia dibuang keluar seperti cabang dan layu; dan cabang-cabang dikumpulkan, dicampakkan kedalam api dan dibakar." (John 15:5-6) *Catatan: Konteks Yokhanan 15:5-6 tidak ada kait mengait dengan peristilahan DOGMA, melainkan Ucapan-ucapan Yeshua kepada Para MuridNya agar tetap setia mengikuti-Nya karena sudah hampir tiba Yeshua akan mati disalibkan.
Dogma-dogma adalah kebenaran diwahyukan oleh Mshikha yang secara ekplisit didefenisikan oleh Gereja melalui otoritas ajarannya yang disebut Magisterium. Ini sungguh penting diingat bahwa dikarenakan kebenaran-kebenaran ini pokok bagi Iman dan diwahyukan oleh Mshikha sendiri dogma-dogma ini mendahului klarifikasi Gereja. Pernyataan dogmatis oleh Gereja adalah klarifikasi-klarifikasi sederhana dari kebenaran yang disingkapkan yang mana dalam suatu hal disangkali atau ditentang terhadap itu maka Gereja harus mengambil langkah maju ke depan melindungi harta karun iman dari kesalahan dan pelemahan. Contoh, dogma Keilahian Mshikha, menyebut Kesatuan Hakikat (Hypostatic Union), tidak didefenisikan oleh Konsili Ekumenis Umum Gereja hingga abad ke-4 M., Namun ini selalu perlu untuk orang Kristen, agar tetap menjadi Kristen, mempercayai bahwa Yeshua tidak hanya Mshikha tapi dahulu, pada kenyataannya, Alaha itu sendiri yang telah menjadi Manusia bagi Page 7- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
keselamatan umat manusia. Arti dari tiap kebenaran dogmatis tetap sama sepanjang abad dan tidak berubah. Kaum Modernis mengklaim dogma-dogma "memperkembangkan" dan sebenarnya mengubah artinya sebagai manusia diri-Nya sendiri berkembang dan memahami kebenaran-kebenaran ini dalam cara seutuhnya berbeda. Kaum Modernis tidak percaya pada fakta kebenaran itu adalah absolut dan kekal, bagi dia semua kebenaran adalah relatif dan berubah-ubah sesuai keadaan. Gereja Katolik sebaliknya mengakui ketidakberubahan abadi kebenaran sebab itu datangnya dari Alaha yang adalah tak terbatas sempurna dan yang tidak berubah. (http://www.freerepublic.com/focus/f-religion/2396160/posts) Catatan: Gereja melalui otoritas ajarannya yang disebut Magisterium. Gereja memang benar sebagai Magisterium karena didalamnya ada Uskup-uskup Para Pengganti Rasul sebagaimana ditegaskan Mar Ignatius dari Antiokia (tahun 110): "Dengan cara seperti itu biarlah semua orang menghormati Diakon seperti Yeshua Mshikha, bahkan sebagaimana mereka harus menghormati Uskup dan Para Penatua sebagai majelis dari Alaha dan sebagai lembaga Para Rasul. Terpisah dari hal ini bahkan tidak ada nama gereja. "- (Surat Ignatius kepada Jemaat Trallesian 3: 1). "Uskup memimpin seperti rupa Alaha dan para penatua seperti dewan Para Rasul, dengan para diakon juga yang paling saya sayangi, telah dipercayakan dengan penatalayanan dari Yeshua Mshikha." – (Surat Ignatius kepada Jemaat Magnesian 6: 1).
Jelas kita tidak setuju dengan istilah DOGMA yang ditetapkan dan dipikirkan Gerejagereja Greco Roman ini sebab Dogma dipandang sebagai “Absolut – Mutlak” yang tak berubah dan tak bisa salah. Kita tahu bahwa Gereja bisa salah, Rasul bisa salah, siapapun bisa salah dan tidak ada yang sempurna di dunia ini, kecuali Alaha sendiri. Segala formulasi keagamaan selalu harus dilihat relatif dan tidak bisa bersifat mutlak karena Kebenaran hanya Satu, yaitu Alaha sendiri, segala sesuatu di luar diri Alaha adalah relatif termasuk “Ajaran-ajaran dari Alaha” yang diberikan atau diwahyukan kepada manusia semua itu bersifat progresif tidak ada yang sempurna sebagai Shliakh Mar Saul katakan: ”Karena kita sekarang melihat dalam cermin suatu gambaran yang samarsamar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti akau akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” (1 Korintus 13:12)
Dengan tegas kita menolak segala Dogmatis Gereja apapun itu alasannya karena tidak sesuai alam berpikir Yudaisme Rasuli pada Abad Pertama, tradisi ini adalah hasil perkembangan Kekristenan yang sudah memutuskan akar Semitik-Yudaisme Page 8- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Alkitabiahnya diganti dengan budaya Hellenisme-Latinisme yang sangat kental dengan budaya berpikir paganisme. Dogma sebagai Ilahiah dan Iman Katolik Dogma dipandang menjadi ilahi dan iman Katolik, sebab keaslian keyakinannya dan Katolik sebab keyakinan dalam ajaran tak dapat salah mengikat semuanya. Sebaliknya pada abad ke-20, sekelompok pakar teologi menyebut diri mereka Modernis menyatakan bahwa dogma-dogma tidak jatuh dari langit tapi manifestasi-manifestasi sejarah pada suatu waktu dibuat. Dalam ensiklikal Pascendi dominici gregis, Paus Pius X mengutuk ajaran ini sebagai bida’ah pada tahun 1907. Posisi Katolik menegaskan isi dogma memiliki keaslian sebenarnya ilahiah. Ini dipandang suatu ekspresi kebenaran obyektif dan tak berubah. Kebenaran dari Alaha, diwahyukan oleh Alaha, tidak berubah, sebagaimana Alaha sendiri tak berubah; "Sorga dan bumi akan berlalu, tapi sabdasabda-Ku tidak berlalu." Catatan:
Dogma melalui rumusan Gereja Bisa Salah, hanya satu yang tak bisa salah yakni Alaha sendiri. Dan hanya satu Konsili Tak Bisa Salah, yaitu Konsili Yerusalem tahun 50 M., saat Para Rasul dan Para Uskup bersidang di Yerusalem dan hasil keputusan mereka adalah keputusan Ruakh ha-Kodesh dan Para Rasul – Para Penatua. “(Kisah 15:28). Setelah zaman Para Rasul tidak ada Konsili-konsili yang bisa dipandang tak bisa salah.
Selanjutnya dikatakan, namun, dogma-dogma baru bisa dinyatakan melalui tiap zaman. Contoh, pada abad ke-20 Masehi, menyaksikan pengenalan dogma Pengangkatan Maria oleh Paus Pius XII pada tahun 1950. Namun, keyakinan ini sudah dianut dalam suatu bentuk atau lainnya dalam Gereja sebelum penetapannya kepada tahap tingkat dogmatis. Suatu gerakan menyatakan dogma Marian ke-5 untuk Mediatrix (Penebus) dan Co-Redemptrix (Penebus Bersama) sedang berlangsung. Catatan:
Inilah bias Dogmata pada akhirnya memperkembangkan banyak kultus-kultus baru sepanjang zaman dengan dalih rasional yang melatar belakangi penetapannya. Pada Alkitab sudah tegas menyatakan, “…Iman SATU KALI disampaikan kepada orangorang kudus.” (Yudas 1:3). Apa arti IMAN SATU KALI?
Page 9- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Artinya, tidak ada rekonstruksi, tidak ada tambahan ataupun pengurangan dan tidak ada lagi Doktrin-doktrin baru ataupun Dogma-dogma baru seperti yang dilakukan Gereja-gereja Kristen Greco Roman.
Penyesatan yang sangat luar biasa dengan Dogma baru ini sangat fatal dengan meyakini bahwa “Maria Diangkat ke Surga”, ini hanyalah kultus dan keyakinan saja tidak ada peristiwa sejarah yang otentik dan saksi mata di tempat kejadian perkara, kecuali hanya suatu tradisi keyakinan yang dikembangkan bagi devosi Maria. Asumsi ini lahir dari persepsi jika Yeshua terangkat naik ke Surga maka Maria juga harus terangkat ke Surga sebab Tubuh kemanusiaan Yeshua berasal dari Maria. Ini adalah cara pandang logika filsafat.
Pada hal Tubuh Kemanusiaan Yeshua telah mengalami “De-materialisasi” (pelenyapan tubuh fisik) saat memasuki jagat Shamayim (tingkap-tingkap langit), yaitu Yeshua harus masuk kedalam alam-alam jagat rohaniah yang berlapis-lapis menuju Hadirat Ilahiah. Saat Dia berada dalam alam jagat astral (Sheol), maka wujudnya adalah wujud roh alam astral, saat berada dalam alam Firdaus (Spirit Plane) maka Ia berubah wujud dengan menyesuaikan wujud dalam alam Firdaus, saat dia naik lagi ke alam Malaikat Penjaga Tubuh-Nya berubah seperti wujud Malaikat Penjaga dan seterusnya. Nanti, pada akhir zaman Yeshua akan datang kembali ke bumi persis sama mengenakan Tubuh Kemanusiaan-Nya kembali dengan melakukan “Re-materialisasi.” (Kisah 1:911) Jika kita mengikuti cara pikir Dogma Maria Terangkat Ke Surga, maka akan menimbulkan pertanyaan: “Apakah Maria nanti akan juga turun ke bumi ke dua kalinya”? Dimana dasar Tradisi dan Ayat Kitab Suci dan Wahyu yang mengatakan bahwa Maria akan datang kembali kedua kalinya ke bumi?
Jika Dia naik ke surga karena Yeshua naik ke surga maka Maria juga akan turun ke bumi ke dua kalinya. Ini harus dijawab para teolog Gereja-gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur.
Sungguh dangkal cara berpikir teologi Kekristenan Yunani-Latin ini hanya sampai tahap duniawi saja, tidak bisa menembus Alam-alam Spiritual sebab AGAMA itu berbicara MISTERI bukan alam-alam Jagat Raya Logika Manusia seperti Sains.
Jelas ajaran dogma Maria Terangkat Ke Surga adalah ajaran bida’a. Gereja – gereja Katolik dan Ortodoks memfitnah kelompok lain sebagai Bidat-bidat karena tidak setuju dengan apa yang mereka tafsirkan yang sebenarnya gembong bidat itu adalah Gereja Roma Katolik itu sendiri dan begitu juga Gereja-gereja Kristen Ortodoks Timur lainnya. Page 10- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Menyatakan Dogma Maria Mediatrix (Maria Perantara), ini juga permainan logika yang terkait kepada Yeshua Anak biologis Maria. Tapi tegasnya Dogma Maria Mediatrix dan Dogma Maria Co-Redemtrix (Maria Penebus Bersama Yeshua) adalah sudah MENGKHIANATI Tradisi Rasuli, Wahyu, dan Kitab Suci. (1 Timotius 2:5; Roma 3:24; Efesus 1:7; Kolose 1: 14). Penggunaan Istilah zaman Awal Istilah Dogma Catholicum pertama kali digunakan oleh Vincentius dari Lérins (tahun 450), mengacu kepada "apa yang semua, dimana saja dan selalu diyakini." Pada tahun 565, Kaisar Justinian mendeklarasikan keputusan-keputusan konsili ekumenis pertama sebagai hukum sebab hasil konsili-konsili adalah dogmata benar dari Alaha. Pada Abad Pertengahan, istilah doctrina Catholica, (doktrin Katolik) digunakan iman Katolik. Keyakinan individu dilabelkan sebagai articulus fidei ( bagian dari Iman).
Isu dogma-dogma dari Konsili-konsili Ekumenis. Banyak Dogma-dogma – khususnya dari Gereja awal (Efesus, Kalsedon) hingga Konsili Trente – diformulasi menentang bida-ah - bida’ah khusus.(Roh Kudus hanya mengalir keluar dari Bapa dan bukan dari Bapa dan Putra) Kemudian dogma-dogma (Maria Terkandung Tanpa Noda dan Pengangkatan Maria) mengekspresikan kebesaran Alaha dalam kaitan bahasa. Pada permintaan khusus Paus Yohanes XXIII, Konsili Vatikan Ke-2 tidak memproklamasikan suatu dogma-dogma. Sebaliknya konsili menyajikan unsure – unsure dasar Iman Katolik dalam bentuk yang lebih dapat dipahami, bahasa pengembalaan, tanpa mengubah ajaran-ajaran Gereja. Dua Dogma terakhir dititahkan oleh, Paus Pius IX pada tahun 1854 dan Paus Pius XII pada tahun 1950 tentang Maria Terkandung Tanpa Noda dan Pengangkatan Maria Perawan Terberkati. Dogma-dogma ini adalah inti kultus Mariologi. Bagi sejumlah orang, ini memunculkan pertanyaan, mengapa dogma baru diformulasi hampir 2000 tahun setelah kebangkitan Mshikha.
Pada abad ke-5 M., Vincentius dari Lérins menuliskan, dalam Commonitory, bahwa harus ada kemajuan dalam Gereja, "pada kondisi itu haruslah kemajuan nyata, bukan perubahan Iman. Sebab kemajuan memerlukan subyek diperbesar dalam dirinya sendiri, sementara itu perubahan, itu merupakan mentransformasi kedalam bentuk lainnya. Kecerdasan, kemudian, pengetahuan dan hikmat, [...] dari individu-individu [...] dan juga [...] seluruh Gereja, semestinya, sepanjang abad dan dari zaman ke zaman, bertambah dan membuat banyak kemajuan besar; tapi hanya dalam perihal ini sendiri; yakni, dalam doktrin yang sama, dalam pengertian yang sama, dan dalam arti yang sama." (www.Wikipedia.org) Catatan:
Page 11- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Kita setuju Dogma Catholicum yang dipaparkan oleh Mar Vincentius dari Lérins (tahun 450), mengacu kepada "apa yang semua, dimana saja dan selalu diyakini." Persoalananya: Apakah SEMUA, DIMANA SAJA, dan SELALU DIYAKINI SAMA oleh orang percaya Mshikha di seluruh jagat ini terhadap Dogma-dogma Gereja Katolik Roma? Jelas, Tidak! Kalau begitu Gereja Roma Katolik kontradiktif terhadap pernyataan Mar Vincentius dari Lerin.
DOKTRIN: Kata doktrin berasal, melalui bahasa Latin “doctrina,” dari kata Yunani “doxa,” artinya keyakinan. Doktrin-doktrin Gereja, oleh karena itu, adalah ajaran-ajaran yang harus dipercayai oleh orang beriman. Ini termasuk 1) dogma-dogma, ajaran-ajaran yang mana Gereja defenisikan secara resmi disingkapkan oleh Alaha, dan, 2) ajaranajaran lain yang defenitif diusulkan oleh Gereja sebab ajaran-ajaran ini terkait terhadap ajaran-ajaran yang didefenisikan. Pertama (dogma-dogma) bisa disebut doktrin-doktrin Iman Ilahiah, kedua doktrin-doktrin iman katolik. Bersama ajaran-ajaran itu dikatakan menjadi "ilahiah dan iman katolik." Doktrin semacam ini memerlukan keyakinan iman. Keduanya adalah diajarkan tak bisa salah oleh Gereja. Dogma-dogma tak bisa salah sebab semua itu secara resmi diwahyukan oleh Alaha. Doktrin-doktrin defenitif diusulkan oleh Gereja perlu tak dapat salah, sebab tidak dapat salah (infallibility) Gereja dalam perihal iman dan moral adalah dirinya sendiri ilahiah diwahyukan. Catatan lain, doktrin berbagi akar sama sebagai ortodoks, artinya keyakinan benar. Mereka yang memegang doktrin-doktrin gereja dengan setia adalah disebut ortodoks. Dogma, oleh karena itu, adalah d oktrin-doktrin yang diajukan oleh Gereja sebagai pewahyuan resmi dalam Kitab Suci atau Tradisi. Ini bisa saja dilakukan oleh titah Paus, oleh suatu Konsili Umum, atau oleh Magisterium biasa dan sejagat.
Doktrin adalah usulan defenitif kurang pasti, meskipun doktrin-doktrin itu diajukan sebagai pewahyuan resmi oleh Alaha.
Tak Bisa Salah, semua yang Gereja ajarkan sebagai keberadaan "ilahiah dan iman katolik" diajarkan tak bisa salah. Tak Bisa Salah tidak dibatasi, oleh karena itu, terhadap aksi-aksi usulan dogma-dogma, entahkah oleh Paus atau Konsili. Itu dilihat untuk dipercayai hanya semacam pernyataan-pernyataan "tak dapat salah" yang menipu diri mereka sendiri. Tidak ada “Dogma” satupun yang diwahyukan Alaha langsung, semuanya hasil formulasi Gereja yang merumuskannya. Ini sama seperti mahasiswa menyusun skripsi, tesis Page 12- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
ataupun disertasi dalam formulasi penyusunan suatu Prinsip-prinsip Iman. Dunia Ilmiah lebih jujur dari pada dunia agama, berkata pada akhir kata kesimpulannya, “penelitian ini masih terbuka bagi penelitian selanjutnya untuk menemukan bukti-bukti yang lebih akurat dan tepat, dan penelitian ini belum sempurna seperti yang diharapkan. Semoga para peneliti lainnya akan menemukan yang lebih akurat lagi …”
Kasus terbesar yang mencoreng muka Gereja adalah kasus Galileo (1610) yang menyatakan “Matahari sebagai pusat sistem tata surya dan Bumi mengelilingi Matahari.” Ini dilawan Gereja yang telah mengajarkan bahwa bumi adalah pusat dunia. Pada akhir Gereja salah total! Sejak saat itu Gereja ditinggalkan para ilmuan karena kedunguannya menetapkan suatu dogma yang menjadi alat dan sarana supremasi diktator Gereja, yang sesungguhnya Alkitab, Tradisi dan Wahyu tidak pernah mendukung Gereja yang menyalahgunakan otoritas yang ada padanya. Kasus Galileo (Italian: Processo a Galileo Galilei) adalah peristiwa berurutan, awal sekitar tahun 1610, berkulminasi dengan pengadilan dan penghukuman Galileo Galilei oleh Inkuisis Gereja Roma Katolik tahun 1633 karena dukungannya terhadap teori heliosentrisme. Pada tahun 1610, Galileo mempublikasikan karyanya Sidereus Nuncius (Utusan Bintang-bintang), menggambarkan penelitian yang menakjubkan terhadap teleskop yang ia buat, yakni melihat fase-fase Venus dan bulan dari Jupiter. Dengan observasi ini ia mempromosikan teori Heliosentris yang digagas oleh Nicolaus Copernicus (dipublikasikan dalam De revolutionibus orbium coelestium pada tahun 1543). Penelitian Galileo tepat sama dan berlawanan dengan Gereja Katolik, dan pada tahun 1616 Lembaga Pengadilan Inquisisi menyatakan Heliosentrisme (berpusatkan matahari: bumi mengelilingi matahari) secara resmi dinyatakan bida’ah. Buku-buku Heliosentris dilarang dan diperintahkan tidak boleh dimiliki, diajarkan atau percaya pad aide – ide Heliosentris.
Galileo bersikukuh mempertahankan teori Heliosentrisme dan ternayat benar, tetapi ia dihukum mati oleh Pengadilan Gereja pada tahun 1642. Ini mengingatkan kita kembali untuk kritis terhadap Ajaran-ajaran Gereja yang sangat diyakini sebagai DOGMA yang ternyata hanyalah sekumpulan tafsir saja yang sangat subyektif dan khayalan teologis saja yang sengaja dipromosikan untuk meningkatkan supremasi otoritas Gereja mengikat umat yang dibodohi oleh Gereja. Tetapi dalam zaman modern, banyak pihak membuktikan kesalahan total ini, sementara Gereja Roma Katolik dan Gereja-gereja Ortodoks Timur mencoba membalikkan fakta justru mereka sebaliknya melakukan apa yang dituduhkan itu. Ketika Gereja-gereja besar ini menuduh mereka yang tak percaya Page 13- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
kepada dogma-dogma yang mereka konsep sebagai Bidat-bidat sesungguhnya justru mereka produsen bidat-bidat itu sendiri. Mengapa?
Semua itu hanya TAFSIR menurut Gereja Roma Katolik dan TAFSIR menurut gerejagereja Ortodoks Timur saja. Waktu dan Sains akan membuktikan kebohongankebohongan Gereja dan saat itu manusia akan meninggalkan mereka. Kasus Galileo adalah peringatan bagi Gereja untuk tidak bermain-main dengan berbagai macam DOGMA buatan rekayasa manusia berdasarkan tafsir Alkitab demi kepentingan kelompok dan individu. DOGMA kita tolak keras sebab Gereja Nasrani Katolik Ortodoks bertitik pijak pada budaya pemikiran Yudaisme Nasrani Abad Pertama. Konsep yang dilakukan dalam Prinsip-perinsip Iman (Emunah) adalah “Halakha” yaitu “Jalan Hidup” yang tidak dogmatis serta merupakan dorongan untuk menjalani jalan hidup sesuai Perintahperintah Mshikha tanpa mengikat diri dengan konsep-konsep Yuridis formal kelembagaan gerejawi. Dogma adalah “penjara jiwa” sedangkan “halakha” adalah pedoman atau kompas untuk menuntun kita berjalan menuju arah yang benar agar tida k tersesat di jalan gelap duniawi ini.
Dogma terkait kepada konsep TIDAK BISA SALAH (Infallible) yang sebenarnya hanya sifat Alaha saja tetapi dicuri oleh para penguasa Gereja demi kepentingan kekuasaan gerejawi terhadap umat dengan berbagai dalih rasional-teologis non-alkitabiah. Menurut teologi Gereja Katolik Roma, ada beberapa konsep penting untuk memahami ketidakmungkinan salah (inffalibility), wahyu ilahi: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Suci. Ajaran-ajaran tak bisa salah dari Paus (infallible of Pope) adalah bagian dari Magisterium Suci, yang juga terdiri dari Konsili-konsili Ekumenis dan "... magisterium biasa dan universal." Pengajaran di atas adalah metamorfosis "paganisme kuno Romawi, Yunani, Mesir, Cina dan Persia, dll" yang merangkak masuk kedalam Tubuh Gereja. Kita tahu sejak zaman kuno begitu banyak Kaisar atau Raja menganggap dirinya sebagai "dewa" atau yang merupakan "titisan" dewa sehingga mereka harus dipatungkan dan rakyat harus membakar dupa di depan patung Kaisar atau Raja. Frasa kata yang paling sering kita dengar “Titah Raja Tak Dapat Dibatalkan karena Bersifat Ilahi.” Dengan demikian, Page 14- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
titah raja salah atau benar adalah benar, inilah yang disebut sebagai “heterodox” (bida’a). Paus melihat dirinya sebagai ilahiah dan tentu saja apa saja yang ia putuskan adalah “titah raja – yang dianggap benar sekalipun salah.”
Teologi Gereja Katolik Roma memandang Kitab Suci tidak mungkin salah (infallible of Scripture), pada hal ada banyak kesalahan didalamnya, baik secara teks, susunan tata bahasa, proses terjemahan dan penyalinan. Alkitab tidak langsung disalin oleh tangan Alaha sendiri tetapi melalui tangan-tangan manusia yang meredaksi Wahyu-wahyu Ilahi yang disampaikan oleh Para Nabi, dan juga kisah naratif para tokoh Alkitab yang menerima Ilham-ilham Ilahi, Ucapan-ucapan Yeshua kepada Para Rasul dan Surat-surat Kiriman Rasul kepada Jemaat-jemaat yang merupakan bentuk pengajaran dan nasihat rasuli. Dalam proses redaksi, pengumpulan dan menyalin ini khususnya kitab Tanakh dan beberapa Tulisan lainnya terjadi selama 1500 tahun dan begitu juga Kitab-kitab yang disebut Kitab Perjanjian Baru (Brith Chadasha) berproses selama hampir seratusan tahun. Mungkinkah tidak ada sesuatu yang salah selama proses ini? Tentu saja ada. Tidak ada yang sempurna kecuali Alaha itu sendiri. Jika ada pekerjaan manusia yang sempurna di bumi ini, itu menunjukkan manusia telah menjadi Ilahi sama seperti kesempurnaan Alaha. Dengan demikian hasil pekerjaan manusia menjadi sesuatu yang “sempurna” jika demikian lepas dari kesalahan. Efeknya sesuatu yang sempurna ini sejajar dengan Alaha sehingga Alkitab menjadi “Alaha” sejajar dengan Alaha Pencipta Alam Semesta itu sendiri. Pada akhirnya kita jatuh dalam konsep Bibliolatria, yakni penyembahan Alkitab Tak Mungkin Salah. Dari sini lahirlah slogan “Sola” (hanya) yaitu “Sola Skriptura” (hanya Kitab Suci) patokan bagi Ajaran dan Moral Gereja bukan lagi berpusatkan kepada Alaha. Kesimpulan dari pemikiran semacam ini adalah perbuatan musyrik, yakni pemberhalaan Alkitab dan ini adalah dosa besar, sebab mensejajarkan Alkitab dengan Alaha. Dalam kitab Yesaya mengatakan: “Akulah YHWH dan tidak ada yang lain, kecuali Aku tidak ada Alaha.” (Yesaya 45:5). Gereja Nasrani Katolik Ortodoks berprinsip bahwa tidak ada orang ataupun sesuatu yang tercipta disebut “tak mungkin salah” (infallible), kecuali Alaha sendiri dan Alaha yang menjelma menjadi Anak Manusia yang bernama Yeshua bergelar "Mshikha" sebab Dialah yang menjadi Miltha Alaha atau Kalimat Alaha atau Sabda Alaha atau Akal atau Hikmat Alaha itu sendiri. Bukan Alkitab yang menjadi Hikmat Alaha tetapi Pribadi yang menjelma itu sendiri yang disebut “Firman Alaha’ sedangkan Alkitab merupakan "bukti Kesaksian-kesaksian" mengenai Firman Alaha itu sendiri. Alkitab adalah salah satu dari Saksi-saksi tentang Anak Alaha yang menjelma menjadi Manusia:
1. Alkitab adalah SAKSI BISU (Yokhanan 21:25), 2. dan Para Nabi - Para Rasul dan Orang percaya adalah Saksi-saksi Hidup perihal Firman Alaha (Kisah 1:8; 1 Korintus 15:1-10), 3. dan Ruakh ha-Kodesh adalah Saksi dari Alaha sendiri (Yokhanan 16:7-15), Page 15- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
4. dan Para Orang Kudus dan Para Malaikat adalah Saksi-saksi Spiritual tentang sang Firman Menjelma (Ibrani 1:14; 12:1; Yokhanan 20:11-14)
Dengan demikian tidak ada konsep TAK MUNGKIN SALAH (Infallibilitas), kecuali Alaha sendiri yang adalah benar dan sempurna.
Dalam kalangan Reformasi Protestan karakter infallibilatas Paus ini diadopsi juga dengan konsep "Innerancy Alkitab" (Alkitab Lepas dari Kesalahan) - pernyataan formal mengenai biblical inerrancy ini diterbitkan dalam the Journal of the Evangelical Theological Society tahun 1978. Pada umumnya Kekristenan Protestantisme mengadopsi dogma Ketidakmungkinan Paus salah yang diaplikasikan pada doktrin Kitab Suci dengan tesis sebagai berikut: “Kitab Suci adalah CUKUP artinya bahwa Alkitab adalah segalanya yang kita perlukan untuk memperlengkapi bagi hidup iman dan ibadah.” (The Sufficiency of Scripture). Tidak heran jika Alexis Komiakov, berkata bahwa Protestan itu sebenarnya adalah "Crypto-Papist" (Paus Terselubung). Tradisi Suci, baik itu Tradisi (T-besar) dan tradisi-tradisi (t-kecil) dikatakan “tak bisa salah” (infallible). Ini sungguh mengagetkan semua orang. Jika kita bahas satu persatu Tradisi-tradisi Gereja Roma Katolik maupun Gereja-gereja Ortodoks Timur ada banyak yang menyimpang. Itu artinya, semua itu mengandung kesalahan.
Magisterium Paus dalam Konsili-konsili lokal atau Universal tak dapat salah? Dan juga ada keyakinan yang sama dalam Gereja-gereja Ortodoks Timur, khususnya pengikut konsep Kalsedon beranggapan Konsili ke-1 hingga ke-7 (325 – 787) tidak salah. Dan umumnya Gereja-gereja Ortodoks Timur memiliki dua Dogma: Dogma Inkarnasi Kristus dan Dogma Tritunggal Kudus hasil rumusan Bapa-bapa Konsili, bukan Wahyu Alaha tetapi diklaim sebagai “Dogma” yang artinya tak bisa salah (infallible). Ini juga perbuatan musyrik karena telah mensejajarkan hasil formulasi manusia sejajar dengan Alaha. Salah satu dosa terbesar manusia adalah saat merasa dirinya "tidak salah" sehingga ia menyamakan dirinya dengan Alaha. Ini adalah penghujatan terbesar dalam Sejarah Gereja. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah bersifat FANA dan TAK SEMPURNA. Hanya satu yang Kekal, Sempurna dan Tak Dapat Salah, yakni Alaha sendiri. Jika ada pernyataan "Tak Dapat Salah terhadap sesuatu yang dikonsep manusia di bumi, itu identik melawan dan menghujat Alaha sendiri." Itulah sebabnya Keuskupan Agung Gereja Katolik Lama Utrecht – Belanda pada saat Konsili Vatikan I, hengkang dan mengebaskan debu kaki mereka dari Konsili Gereja Roma dan menyatakan diri lepas dari Kepausan Romanisme dibawah kepemimpinan Uskup Agung Ignaz von Döllinger yang kemudian menetapkan Deklarasi Utrecht, 24 September, 1889 … pada butir no.2 mengatakan: "Oleh sebab itu kami menolak hasil keputusan-keputusan dari Konsili Vatikan, yang diumumkan pada tanggal 18 Juli, 1870 mengenai tidak dapat salah (the Page 16- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
infallibility) dan Keuskupan Universal dari Uskup Roma, keputusan-keputusan itu bertentangan terhadap konstitusi Iman kanonis kuno dengan menghubungkan kepada Sri Paus melimpah ruah kuasa gerejawi atas semua Keuskupan dan atas semua orang beriman. Dengan menyangkali jurisdiksi utamanya, kami tidak mau menyangkali keunggulan sejarah yang mana beberapa Konsili Ekumenis dan Para Bapa Gereja kuno mengatribusikan Uskup Roma dengan mengakui dia sebagai Primus inter pares [Pertama diantara Sejajar]." http://thewildreed.blogspot.com/2008/04/declaration-of-utrecht.html
Gereja Perdana Yahudi (Nasrani) tidak membuat DOGMA apapun, kecuali ‘Halakhik” Rasuli yang tak bersifat tak bisa salah. Sebaliknya setelah abad ke-4 M., Gereja-gereja Kristen non-Yahudi mulai memakai akar budaya Hellenisme – Latinisme sehingga mulai lahir Dogma-dogma baru Gereja yang diklaim Gereja-gereja Ortodoks Timur melalui Hasil Formulasi Konsili-konsili sebanyak 7 Konsili sejak tahun 325 sampai 787 M., sedang Gereja Roma Katolik mengakui Konsili sejumlah 21 Konsili yang normative dan dogmatik. Gereja-gereja Ortodoks Timur memiliki Dua Dogma yang Tak Bisa Salah, yaitu Dogma Inkarnasi Kristus dan Dogma Tritunggal Kudus melalui Rumusan Konsili-konsili. Sebaliknya Gereja Roma Katolik menetapkan Dogma bukan saja berdasarkan hasil rumusan Konsili tetapi juga melalui Titah Paus yang dikenal sebagai istilah “Pausisme” yang Tak Bisa Salah dalam menetapkan Ajaran dan Moral Gereja ditegaskan sejak tahun 1870 pada Konsili Vatikan I yang menghebohkan itu dan berdampak keluarnya banyak Uskup dari gereja Roma Katolik dan paling terkenal adalah Keuskupan Agung Gereja Katolik Utrecht-Nederlands menjadi Keuskupan Mandiri sejak saat itu hingga sekarang. Karakter Dogma yang tak Dapat salah dikristalisasi pada diri “Paus” sehingga kelompok Reformasi Protestan melawannya dengan menggantikan posisi Konsili-konsili dan Paus dengan Motto atau Dogma “SOLA” (Hanya). Kata Sola seharusnya ‘satu’ saja tetapi ini sangat ganjil dan kebingungan besar sudah ada sla tapi masih ada sola lain lagi, sehingga kata SOLA tidak tepat digunakan sebab Ada Sola diatas Sola? Apakah Gereja Nasrani Katolik Ortodoks menolak peristilahan “SOLA”? Ya, tentu saja. Sebab kata Sola itu identik dengan Tak Dapat Salah yang merupakan metamorfosis dari DOGMA Gereja yang suka sekali “memutlakkan sesuatu.” Noda dosa Gereja-gereja Rasul Ortodoks Timur dan Katolik Romanisme tetap melekat dalam diri dan jiwa Reformasi Protestantisme sebab ibu yang melahirkan Protestantisme itu sendiri adalah Gereja Greco-Roman. Sola Scriptura tidak ada kait-mengait dengan ajaran para rasul. Ajaran itu berasal dari tokoh-tokoh Reformator Gereja atau Penafsir Kitab Suci mulai abad 16. Kami dengan tegas menolak beberapa slogan atau motto Protestantisme lainnya: Page 17- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Sola Scriptura (hanya melalui Kitab Suci):
1) Pengajaran Alkitab saja yang dibutuhkan (cecessity) bagi keselamatan: Dalam sejarah saat muncul Reformasi Protestan abad ke-16 di Jerman dan negeri lainnya di Eropa. Alkitab tertulis sudah tersedia sehingga mereka tidak mengalami bagaimana Jemaat Awal tanpa Alkitab, dan bagaimana Para Rasul tidak menggotong Perkamen Kitab Suci ke manapun mereka pergi.
2) Doktrin yang dibutuhkan datangnya hanya dari Alkitab saja sudah cukup (sufficiency): Ini jelas bertentangan dengan Alkitab itu sendiri yang mereka junjung tinggi. Alkitab katakan melalui pesan Shliakh Mar Saul, “Sebab itu berdirilah teguh dan berpegang pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara LISAN (Tradisi Lisan), maupun secara TERTULIS. (Ajaran Tertulis; berupa Kitab Tanakh, Apokrifa Perjanjian Lama, Naratif Injil dan Surat Kiriman Rasuli, dll). -- 2 Tesalonika 2:15.
3) Segala sesuatu yang diajarkan Alkitab adalah benar (inerrancy): Jika secara teks jelas akan mengalami salah salin, salah terjemah, rusak, dll. Alkitab adalah karya manusia sehingga tidak ada yang sempurna. Konsep Inerrancy (Tak Salah) merupakan bias dari konsep Dogma yang dikembangkan Gereja Roma Katolik dan Gereja – gereja Ortodoks Timur yang meyakini suatu Dogma bersifat Infallibilitas (Tak Dapat Salah). Protestantisme hanya mewarisi konsep infallibilitas ini dari budaya Kekristenan Gereja Greco-Roman, khususnya yang berkembang di Barat. Dari bias “Dogmatik” ini akhirnya Protestantisme mengembangkan Alkitab Tak Salah dan kemudian direspons oleh Gereja Roma Katolik pada tahun 1870, Paus Pius IX bahwa Pausisme tak dapat salah ketika menetapkan suatu ajaran dan moral Gereja. Gejala inipun dikembangkan pada Gereja-gereja Ortodoks Timur dengan melihat “Tujuh Konsili Ekumenis” sebagai Ajaran-ajaran Tak Dapat Salah. Jadi ketiga Gereja Greco-Roman ini pada hakikatnya berenang di sungai yang sama: Gereja-gereja Ortodoks Timur memfatwakan infallibilitasnya pada Konsilikonsili Ekumenis, Gereja Roma Katolik memfatwakan pada diri Pribadi Paus yang inffalibilitas, dan Gereja-gereja Protestan memfatwakan pada Alkitab sebagai yang infallibilitas dengan slogan “SOLA” (hanya). Ini sungguh mengherankan jika sudah menyebutkan kata “hanya” semestinya tidak ada lagi yang lain?! 4) Orang percaya melalui Roh Kudus bisa mendapatkan tuntunan langsung setelah membaca Alkitab sehingga mendapatkan pengajaran yang benar dalam gereja (clarity). Tidak ada catatan Kitab Suci bahwa Roh Kudus yang diterima Para Rasul dengan sendirinya dimiliki oleh kaum awam yang tak tertahbis. Semua penerimaan Roh Kudus melalui dan oleh Para Rasul sehingga Simon si Penyihir ingin membelinya. (Kisah 8:19-20) Page 18- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Catatan: Poin 1 s.d 4, tergantung siapa yang menafsirkan Alkitab, tiap orang akan menafsirkan berbeda dan terbukti ada ribuan sekte hingga sekarang. Itu membuktikan prinsip ini salah dan tak mungkin Roh Kudus yang memberikan ilham untuk itu. Sola Fide (hanya melalui Iman saja), menyatakan iman saja kepada Mshikha cukup untuk keselamatan kekal. Tapi ayat Alkitab lain katakan, “Iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yakobus 2:23) Solus Christus: Hanya Mshikha saja. Prinsip ini juga dalam rangka melawan ide Pausisme, “Paus sebagai Wakil Mshikha kepada Gereja di bumi.” Satu sisi ada kebenaran dari Paus Roma Katolik, bahwa dirinya adalah “Wakil Mshikha” di tengahtengah umat yang digembalakannya di bumi. Sebab Paus dalam jabatan keimamatan Melkisedek adalah seorang Imam dan Uskup.
Beberapa Naskah kuno dari Murid Rasul, Uskup Mar Ignatius dari Antiokia mengatakan: "Jelas karena itu kita harus menganggap USKUP sebagai Maran sendiri" – (Surat Ignatius kepada Jemaat Efesus 6: 1). "Oleh karena itu sebagaimana Maran tidak melakukan apa pun tanpa Bapa, [dipersatukan dengan-Nya], baik dengan sendiri atau oleh Rasul, sehingga juga kamu tidak melakukan apapun tanpa Uskup dan Penatua." – (Surat Ignatius kepada Jemaat Magnesian 7: 1). "Dengan cara seperti itu biarlah semua orang menghormati Diaken seperti Yeshua Mshikha, bahkan sebagaimana mereka harus menghormati Uskup dan Para Penatua sebagai dewan dari Alaha dan sebagai lembaga Para Rasul. Terpisah dari hal ini bahkan tidak ada nama gereja. "- (Surat Ignatius kepada Jemaat Trallesian 3: 1).
"Dia yang terhormat Uskup adalah dihormati Alaha, dia yang melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Uskup berbuat melayani si jahat" – (Surat Ignatius kepada Jemaat Smyrnan 9: 1). "Aku mendesak kamu agar menyesuaikan tindakanmu dengan pikiran Maran. Sebab Yeshua Mshikha …. adalah pikiran Alaha sang Bapa, sebagaimana para uskup, yang ditunjuk di seluruh dunia, mencerminkan pikiran Mshikha. – (Surat Mar Ignatius kepada jemaat di Efesus:3-5) Catatan: Inti persoalannya, memang dalam sejarah Gereja Roma Katolik mengembangkan POLITIK GEREJA dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai “Tuan Atas Semua Gereja-gereja Mshikha” dengan memanipulasi otoritas Shliakh Mar Shimon Keipha. Faktor pendukung dan arogansi Romanisme sebenarnya karena Page 19- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Keuskupan ini berada di pusat pemerintah Kekaisaran Romawi pada zaman itu. Itu sama saja seperti Presiden Amerika Serikat lebih bergengsi di mata dunia ketimbang Presiden Negara-negera miskin dan berkembang, tetapi bukan berarti Amerika Serikat menguasai seluruh dunia, jika itu dilakukan semua akan angkat senjata. Semua Negara otonom dan berdaulat sebagai yang independen. Demikian pula persisnya, semua Para Rasul di zaman kuno, tidak ada yang menjadi Tuan Atas Rasulrasul lainnya. Begitupun Keuskupan-keuskupan paskah Para Rasul adalah duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Akibat penekanan politis ini Gereja Roma Katolik menghadapi perlawanan dari dirinya sendiri, yakni Gereja Anglikan, Gereja Katolik Lama Utrecht, Reformasi Protestantisme merupakan buah hasil dari tindakan Gereja Roma sendiri. Bagi Gereja Roma kata “Katolik” memiliki arti politis menguasai dunia dibawah satu pimpinan seperti kaisar paganisme Romawi Kuno. Pada intinya, umat Protestanpun tetap tunduk terhadap pimpinan mereka, tunduk kepada tafsir tokoh pendiri sekte mereka yang dilihat sebagai sosok wakil Mshikha di komunitas mereka. Hanya mereka lebih mudah memecah diri seperti pepatah mengatakan “Jangan Kudeta agar tidak dikudeta.”
Sola Gratia: Hanya Anugerah saja: Jelas prinsip hanya anugerah ini bertentangan sekali dengan kenyataan hidup, ini hanya teologi khayal saja. Jika kita bicara anugerah sebenarnya semua apa yang kita nikmati dan alami adalah anugerah, termasuk keselamatan itu sendiri. Kita tak bisa diterima Alaha hanya duduk diam dengan mengharapkan anugerah jatuh dari langit dengan tiba-tiba; keselamatan itu terjadi dari Iman melalui proses perbuatan yang berkelanjutan. (Mattai 7:21).
Soli Deo: Kemuliaan bagi Alaha saja: Semua kemuliaan pantas bagi Alaha saja oleh karena keselamatan dikerjakan hanya melalui kehendak dan aksi-nya saja — tidak hanya karunia dari semua kecukupan penebusan Yeshua di Salib tapi juga karunia iman dalam pertobatan, diciptakan dalam hati orang percaya oleh Ruakh ha-Kodesh. Para Reformator meyakini bahwa umat manusia — bahkan santo dan santa yang sudah dikanonkan oleh Gereja Katolik, Paus, dan pejabat hierarki gerejawi sekalipun — tak berlayak mendapatkan kemuliaan ini. Namun, kita harus tahu bahwa Alaha saja tak bisa memaksa manusia untuk bertobat oleh karena pada diri manusia ada “kehendak bebas” atas pilihannya. Seharusnya ada “kerjasama” (sinergi antara kehendak bebas manusia dan kehendak Alaha dalam proses pertobatan dan keselamatan). Jelas siapapun tak ada yang bisa dan pantas menerima kemuliaan yang bisa memaksa orang untuk diselamatkan, kecuali ada kehendak bebas orang itu sendiri. Perihal kanonisasi Santo-santa bagi Gereja Nasrani Katolik Ortodoks adalah tidak sependapat dengan kanonisasi yang dilakukan oleh Gereja - gereja Roma dan Ortodoks Timur yang hanya berdasarkan observasi pengalaman hidup dan kesalehan yang dianggap mencitrakan dan pantas disebut “orang suci”, kami hanya menerima kanonisasi Santo atau Santa melalui Pilar Iman Page 20- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Ketiga (Wahyu/Mistik yang diwahyukan oleh Alaha), tidak berdasarkan konsensus rasional bersama. KESIMPULAN Dogma hanya diyakini Gereja-gereja Kristen akar budaya Hellenisme – Latinisme, dan Gereja-gereja inilah paling terbesar penganutnya di muka bumi ini dan sebagai mayoritas yang disebut “Kristen”, sementara, Kekristenan Yahudi Rasuli hampir punah dan mengalami tekanan serta dimarjinalkan dimanapun mereka berada. Gereja-gereja Ortodoks Timur dan sebagian Oriental, Gereja Roma Katolik, Gereja Anglikan, Gereja Katolik Lama, Gereja-gereja Katolik Ortodoks Independen, dan Gereja-gereja Reformasi Protestan tidak bisa lepas dari noda dosa Teologi Pengganti (Replacement of Theology) yang dikembangkan Bapa-bapa Gereja non-Yahudi yang anti-Semitisme yang banyak melahirkan Doktrin-doktrin dan Dogma non-Alkitabiah. Mereka pihak mayoritas sehingga logis pandangan mereka dianggap benar sekalipun itu salah. Gereja Nasrani Indonesia (Gereja Nasrani Katolik Ortodoks Indonesia) sesungguhnya lahir dari Gereja Katolik Ortodoks Independen (Orthodox Catholic Independent Church) yang melepaskan dirinya dari dominasi dan cengkeraman Kepausan Gereja Roma Katolik melalui Gereja Katolik Lama – Utrecht di Nederlands tahun 1870 melalui jalur suksesi Rasul Mar Petrus/Keipha, dan juga melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan hierarki Komunitas Gereja Ortodoks Syria-Antiokia melalui Gereja Nasrani Mar Thoma Malabar di Sri Lanka – India jalur suksesi Shliakh Mar Keipha, dan juga dari beberapa jalur suksesi rasuliah lainnya seperti Gereja Assyria Kuno Timur (SyroKaldea) dari suksesi Shliakh Mar Thoma, Mar Addai, dan Gereja Ortodoks Armenia dari silsilah Shliakh Bartholomeus/Tulmay. Gereja Nasrani Indonesia membersihkan dirinya dari noda-noda akar budaya Hellenisme-Latinisme dengan kembali kepada orientasi akar rasuliah Semitisme Alkitabiah dalam Tradisi Yudaisme. Sehingga “Gereja” atau “Edah” ini tak memiliki “DOGMA” kecuali hanya “HALAKHA” (Doktrin-doktrin) saja yang persfektif Yudaisme Nasrani Abad Pertama – Tiga. Gereja-gereja Ortodoks Timur dan Oriental punya Dua Dogma:
1. Dogma Inkarnasi Kristus (Maria Bunda Alaha – Theotokos, Konsili Efesus 431), 2. Dogma Alaha Tritunggal (Konsili Kalsedon 451).
Catatan: Bukan istilahnya kita persoalkan, tetapi rumusan dibalik istilah itu yang jadi masalah. Inkarnasi Kristus yang dibahas dalam sidang Konsili Ekumenis tidak pernah tuntas sampai sekarang dan rumusan banyak yang menentangnya, bagaimana ini bisa disebut dogma? Benar menurut pendukungnya tapi salah bagi yang menolaknya.
Page 21- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
Gereja Roma Katolik punya beberapa Dogma Utama yang terus bertambah:
1. Dogma Maria Bunda Alaha (Konsili Efesus, tahun 431 dan ditegaskan ulang tahun 1931), (catatan: Maria bukan Bunda Alaha sebab Bunda Alaha adalah Ruakh haKodesh) 2. Dogma Perawan Maria Perawan Kekal (649) (Catatan: Perawan bukan urusan gereja itu urusan Maria),
3. Dogma Maria Dikandung Tanpa Dosa (1834), (Catatan: Upah dosa adalah maut, Maria dalam tradisi mati beraryi berdosa) 4. Dogma Maria Naik Ke Surga (1950), (Catatan:Jika Maria Naik ke Surga seperti Tuhan maka ia akan turun juga ke bumi kedua kalinya? Tidak ada dasar keyakinan apapun perihal ini, kecuali dongeng Apokrifa saja.)
5. Dogma Maria Penebus Bersama Kristus (1918), (Catatan: Maria bukan penebus tapi Mshikha). 6. Dogma Paus Tak Bisa Salah (1870), (catatan: Paus Pius IX sudah mati berarti punya dosa dan bisa salah). 7. Dogma Selibasi (1079), (Catatan: Manusia diciptakan untuk menikah, ini melawan kodrat).
8. Dogma Transubstansiasi (1215), (Catatan: Transubstansiasi dari istilah benar tapi pemahaman Roma Katolik tidak Alkitabiah cenderung paganisme/keyakinan Dinamisme kuno), dll.
Gereja-gereja Reformasi Protestan punya Motto/Slogan atau Dogma: 1. Sola Scriptura 2. Sola Fide 3. Sola Gratia 4. Solus Kristus 5. Soli Deo.
Catatan: Motto Protestantisme tidak konsekuen sudah ada Sola tapi masih ada sola lain. Tidak heran ajaran-ajaran Protestan itu kacau balau.
Dogma adalah berbahaya bagi Spiritualitas dan Jiwa manusia yang percaya kepada Alaha dengan alasan: Mereka Bapa-bapa Konsili Gereja Helenisme – Latinisme telah Page 22- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015
NO:01/GNI/A/Pel.Umum/I/2015
mengkonsep, “Dogma jika dipercaya mendatangkan keselamatan, tapi jika tidak dipercayai tidak selamat”. Jika kita melihat rumusan-rumusan isi Dogma seperti di atas apakah keyakinan semacam itu menyelamatkan? Tidak, justru menjerumuskan manusia kepada lumpur dosa dan berhala. Contoh, kapan Para Rasul memerintahkan kita menyebut Maria sebagai Bunda Alaha? Kapan Alkitab memerintahkan kita percaya Dogma Inkarnasi Kristus dan Tritunggal Kudus yang dirumuskan Bapa-bapa Gereja diperintahkan oleh Yeshua, Para Rasul, Tradisi dan Wahyu? Tidak ada. Kapan kita diperintahkan untuk percaya bahwa Konsili-konsili dan Paus Tak dapat Salah? Tidak ada. Kapan Alkitab menyebutkan Dogma Maria? Tidak ada. Lalu? Mengapa kita wajib mempercayai rumusan gereja? Sudah cukup kasus Galileo bagi kita
UNTUK KALANGAN SENDIRI!!! Untuk memperbanyak MATERI PENGAJARAN GNI ini dipersilahkan untuk meminta izin tertulis:
[email protected] 0813.19190730 021.70403378 www.nasraniindonesia.org
Page 23- Copyright of GEREJA NASRANI INDONESIA 2015