Disusun dan dipublikasikan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, Desember 2012 Buku ini didesain dan dicetak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
ii
Daftar Isi 1. [Pendahuluan]
1
2. [Korupsi di Mata Masyarakat] Pengetahuan Korupsi
4
3
4 7 12
Memahami Keberadaan Korupsi Memahami Kategori Korupsi Memahami Dampak Korupsi Sikap Terhadap Korupsi Perilaku Terhadap Korupsi
13 16
3. [KPK di Mata Masyarakat] Pengetahuan terhadap Keberadaan KPK Kepercayaan terhadap KPK Dampak Keberadaan KPK
24 26
21 22
Harapan Masyarakat terhadap KPK: Fokus Sektor Pemberantasan Korupsi
28
4. [Sekilas tentang Survei Persepsi Masyarakat terhadap Korupsi dan KPK]
5. [Daftar Pustaka]
33
30
iii
B
iv
s a eb
i r da
r o K
i s up
[Kata Pengantar] Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa Buku Laporan Survei Persepsi Masyarakat 2008 2011 telah selesai disusun oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Komisi Pemberantasan Korupsi. Buku ini merupakan gabungan hasil Survei Persepsi Masyarakat yang dilakukan oleh KPK selama empat tahun berturut-turut (2008 - 2011) pada beberapa kota dan kabupaten yang mewakili seluruh wilayah Indonesia. Tujuan Survei Persepsi Masyarakat adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai korupsi dan KPK, menyangkut kesadaran, pengetahuan, sikap, dan perilaku dari masyarakat baik terhadap korupsi maupun KPK. Sedangkan kompilasi hasil survei dilakukan dalam rangka mengetahui tren persepsi masyarakat terhadap korupsi dan KPK sejak tahun 2008 hingga 2011 yang bertepatan juga dengan periode kepemimpinan yang kedua. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan maupun kontribusi dalam penyusunan studi ini. Karena keterbatasan waktu, kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, saran dan kritik sangat diharapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Jakarta, Desember 2012 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
v
1. [Pendahuluan] Pemberantasan korupsi memerlukan sinergi dan kesamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa, termasuk di dalamnya peran serta masyarakat. Pada kegiatan yang sifatnya represif, masyarakat dapat langsung menjadi pelapor dugaan tindak pidana korupsi, terutama yang terjadi pada birokrasi dan layanan publik. Sedangkan dari sisi preventif, tindakan dapat dimulai dari kesadaran diri untuk mematuhi hukum dan menjauhi tindakan koruptif. Masyarakat pada umumnya anti korupsi, namun pada realitanya seringkali melakukan tindakan koruptif atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadi lahan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga publik yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, sebagaimana dimaksud dalam UU no.30 Tahun 2002. Dalam melaksanakan tugasnya KPK diwajibkan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik. Selain pelaporan kepada DPR dan audit BPK, KPK juga perlu mengetahui persepsi dan harapan masyarakat terhadap kinerja dan capaian KPK sebagai salah satu wujud mekanisme pengawasan lembaga publik oleh masyarakat. Buku ini disajikan dalam rangka memberikan informasi mengenai perkembangan persepsi masyarakat terhadap
1
korupsi selama periode kepemimpinan KPK yang kedua (2008-2011). Persepsi masyarakat terhadap korupsi tersebut sedikit banyak dapat menggambarkan kinerja KPK selama periode tersebut. Penilaian kinerja masyarakat ini juga bisa dijadikan input bagi pimpinan KPK periode berikutnya dalam menentukan program kerja dan kegiatan pemberantasan korupsi sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Dengan mengambil sampel di beberapa kota besar ibukota provinsi, profesi responden yang beragam serta tingkat pendidikan yang minimal SLTA, diharapkan bisa memberikan gambaran yang cukup mengenai persepsi korupsi dan harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
2
2. [Korupsi di Mata Masyarakat]
Pengetahuan Korupsi
4 4
Memahami Keberadaan Korupsi
Memahami Kategori Korupsi
Memahami Dampak Korupsi
Sikap Terhadap Korupsi
13
Perilaku Terhadap Korupsi
16
7 12
3
Pengetahuan Korupsi Memahami Keberadaan Korupsi Kesadaran masyarakat terhadap keberadaan korupsi di Indonesia merupakan informasi pertama yang harus didapatkan dari masyarakat. Pertanyaan pertama disampaikan, apakah pernah mendengar atau mengetahui kasus korupsi dalam 1 tahun terakhir? Pada tahun 2010, sebanyak 98,7% masyarakat menjawab iya dan meningkat menjadi 99,1% pada tahun 2011. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kejadian korupsi sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia karena keberadaannya yang nyata di lingkungan mereka. Kasus-kasus korupsi terbaru tidak luput dari perhatian masyarakat. Jika pada tahun 2008, 3 kasus korupsi yang paling menarik perhatian masyarakat adalah kasus aliran dana Bank Indonesia, percobaan penyuapan kepada hakim Mahkamah Agung, dan pengadaan mobil pemadam kebakaran, maka pada tahun 2010 kasus yang menjadi pusat perhatian masyarakat bergeser ke kasus penyimpangan pajak Gayus Tambunan, kasus Bank Century dan kasus rekayasa oleh Anggodo. Pada tahun 2011, kasus Gayus Tambunan dan Bank Century masih menjadi pusat perhatian, namun terdapat kasus korupsi baru yang menarik perhatian masyarakat yaitu kasus wisma atlet yang melibatkan Nazaruddin yang selanjutnya memunculkan kasus-kasus korupsi lain yang lebih luas. Pada masa 2010-
4
2011, kasus-kasus lain yang juga menarik perhatian diantaranya adalah kasus penyuapan yang melibatkan Jaksa Urip dan Arthalyta Suryani, kasus-kasus penyimpangan APBD di daerah, kasus aliran dana BI yang sudah mulai muncul di 2008, dan kasus kriminalisasi yang melibatkan pimpinan KPK. Kondisi memprihatinkan ditunjukkan oleh jawaban masyarakat terhadap pertanyaan ‘apakah korupsi merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia?’. Sebanyak 94% masyarakat pada 2010 dan 92% masyarakat pada 2011 menyatakan bahwa korupsi merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia. Artinya, masyarakat memang menyadari bahwa korupsi banyak terjadi di lingkungan dan keseharian mereka. Hasil ini juga bisa dijadikan alat evaluasi bagi KPK secara tidak langsung dalam mengukur keberhasilan kegiatan pencegahan dan penindakan korupsi yang dilakukan KPK. Dari sisi pencegahan, hasil ini dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur apakah upaya yang telah dilakukan KPK dapat mengubah persepsi masyarakat mengenai kelaziman korupsi di Indonesia. Dari sisi penindakan, sebagai salah satu ukuran apakah penanganan kasus korupsi yang dilakukan selama ini telah memberikan efek jera kepada para pelakunya sehingga mengurangi kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
5
Persepsi tingkat kelaziman korupsi yang tinggi di Indonesia memiliki perbedaan signifikan bila dibandingkan dengan yang terjadi di Hong Kong. Dengan pertanyaan yang sama, pada tahun 2005 hanya 29,1% yang menyatakan bahwa korupsi merupakan hal yang lazim di Hong Kong. Walaupun penurunannya tidak konsisten, namun pada tahun 2011 tinggal 18,4% masyarakat Hong Kong yang menyatakan bahwa korupsi lazim terjadi di Hong Kong (ICAC, 2011). Kondisi tersebut menunjukkan keberhasilan upaya-upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh Lembaga Anti Korupsi di Hong Kong.
6
Memahami Kategori Korupsi Definisi korupsi menurut peraturan perundang-undangan dikelompokkan dalam 8 kategori, yaitu: (1) korupsi terkait kerugian keuangan negara; (2) korupsi terkait suap menyuap; (3) korupsi terkait penggelapan dalam jabatan; (4) korupsi terkait pemerasan; (5) korupsi terkait perbuatan curang; (6) korupsi terkait benturan kepentingan (dalam pengadaan); (7) korupsi terkait gratifikasi; dan (8) tindak pidana lain terkait korupsi. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap definisi-definisi korupsi tersebut diuji dengan menggunakan contoh yang dibuat sedekat mungkin dengan realitas korupsi yang umum terjadi dan mudah dipahami oleh masyarakat. Dari 8 definisi korupsi, pada tahun 2008 sampai 2011, pengetahuan masyarakat mengenai gratifikasi sebagai bagian dari korupsi masih relatif minim, demikian juga korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan (dalam pengadaan barang dan jasa), kerugian keuangan negara, pemerasan, dan suap-menyuap. Gratifikasi Rendahnya pemahaman gratifikasi terlihat dari jawaban masyarakat atas pertanyaan ‘apakah pemberian parcel/diskon khusus/voucher dari pengusaha kepada pejabat/PNS yang memiliki hubungan kerja dengan instansi pejabat/PNS tersebut merupakan korupsi, didapat jawaban dari tahun 2008-2011 lebih dari 30 persen yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan korupsi.
7
Masyarakat Yang Belum Sadar Gratifikasi (%)
52.3 40.5
2008
31.8
2009
2010
31.1
2011
Tahun 2008, sebanyak 40,5% masyarakat setuju bahwa pemberian parcel/hadiah/ voucher kepada pejabat oleh pengusaha bukanlah tindakan korupsi; tahun 2009, angkanya meningkat menjadi 52,3%. Namun, keadaannya membaik dalam 2 tahun berikutnya yaitu pada kisaran 31%. Walaupun terjadi penurunan, angka 31% masih relatif tinggi yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia permisif terhadap pemberian dan penerimaan gratifikasi. KPK akan terus berupaya mensosialisasikan gratifikasi terkait jabatan ini, terutama kepada stakeholders terkait. Benturan Kepentingan Perilaku koruptif lain yang masih kurang dipahami masyarakat adalah benturan kepentingan (conflict of interest). Pertanyaan terkait benturan kepentingan disampaikan ‘Apakah perbuatan yang dilakukan sebagai
8
panitia pengadaan barang dan jasa ikut terlibat langsung dalam pengadaan yang sedang diurus/diawasinya merupakan korupsi?’. Ternyata masih 36,7% masyarakat pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa hal tersebut bukan merupakan korupsi. Walaupun terjadi penurunan menjadi 32,2% pada tahun 2011, angka tersebut juga masih relatif tinggi. Terlebih 10,6% (tahun 2010) dan 15,3% (tahun 2011) masyarakat menyatakan tidak tahu apakah hal tersebut merupakan korupsi atau bukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kategori perbuatan korupsi yang berhubungan benturan/konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa merupakan kategori korupsi yang masih membutuhkan sosialisasi lebih lanjut. Masyarakat Belum Sadar Konflik Kepentingan (%) 36,7 32,2 15,3 10,6
2010 Bukan Korupsi
2011 Tidak Tahu
9
Kerugian Keuangan Negara Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara juga merupakan jenis korupsi yang masih kurang dipahami oleh masyarakat. Pertanyaan ‘Apakah perbuatan PNS sebagai Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang memenangkan tender kepada perusahaan kerabatnya meski dengan penawaran bukan yang paling baik dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi’ dijawab bukan tergolong korupsi oleh 20,9% dan tidak tahu oleh 6,58% masyarakat pada tahun 2010. Sedangkan tahun 2011, jumlah yang menjawab bukan korupsi menurun menjadi 16,7%, tetapi yang menjawab tidak tahu justru meningkat menjadi 11,2%. Dengan demikian, masyarakat masih perlu mendapatkan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman pada kategori korupsi terkait kerugian negara. Masyarakat Belum Sadar Kerugian Keuangan Negara (%) 20,9 16,7 11,2 6,58
2010 Bukan Korupsi
10
2011 Tidak Tahu
Pemerasan dan Suap Menyuap Dua kategori korupsi lain yaitu pemerasan dan suap menyuap juga perlu mendapatkan perhatian. Walaupun dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap korupsi kategori ini, namun pemahaman ini harus tetap dipertahankan mengingat kasus suap menyuap dan pemerasan merupakan kasus korupsi yang paling banyak ditemui di lingkungan birokrasi maupun masyarakat. Jawaban ‘tidak termasuk korupsi’ pada pertanyaan terkait pemerasan dan suap menyuap (%)
33,7 17,1
2008
21,9
17,8
2009
15,1
12
2010
15,2
12,1
2011
Apakah pejabat pemerintah yang meminta success fee/tips/fasilitas kepada pengusaha yang mengikuti tender di instansinya dikategorikan melakukan korupsi? (Pemerasan) Apakah pelanggar lalu lintas yang memberikan uang damai kepada polisi lalu lintas daripada ditilang dan menjalani persidangan dapat dikategorikan korupsi? (suap menyuap)
11
Memahami Dampak Korupsi Hal berikutnya yang perlu diketahui dari masyarakat adalah pemahaman mengenai dampak dari korupsi kepada masyarakat. Sebagian besar masyarakat (82% pada 2010 dan 75% pada 2011) menyatakan mereka merasakan dampak korupsi. Bagi yang menyatakan merasakan dampak korupsi, dampaknya dinyatakan langsung dirasakan oleh 45% masyarakat pada tahun 2010 dan 47% pada tahun 2011. Sekitar 55% dan 37% masyarakat di tahun 2010 dan 2011 menyatakan dampak korupsi dirasakan tidak secara langsung oleh mereka. Menariknya, terdapat 18% masyarakat di tahun 2011 yang menyatakan tidak tahu bahwa korupsi berdampak langsung ataupun tidak langsung terhadap mereka. Dampak Korupsi Secara Langsung (%) Tidak terjaminnya keamanan masyarakat Berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan Sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai Harga-harga barang menjadi mahal Meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur Sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai Semakin Sulitnya Mencari Pekerjaan Ketidakpercayaan pada Pemerintah Pusat dan Daerah Ketidakpercayaan pada DPR, DPRD dan DPD Ketidakpercayaan pada Peradilan Pengurangan Penerimaan Negara (Pajak, Bea, Cukai) Pemborosan Keuangan Negara
2011 2010
0
12
20
40
60
80
100
Elaborasi lebih lanjut menghasilkan informasi bahwa korupsi memberikan dampak yang luas pada masyarakat. Hasil survei 2010 dan 2011 menghasilkan 5 dampak utama korupsi yang dirasakan lebih dari 80% masyarakat yaitu pemborosan keuangan negara, pengurangan penerimaan negara, ketidakpercayaan pada peradilan, ketidakpercayaan pada legislatif, dan ketidakpercayaan pada pemerintah.
Sikap Terhadap Korupsi Definisi sederhana mengenai sikap adalah evaluasi terhadap konsep, produk ataupun perilaku. Evaluasi yang terbentuk mengarah pada penilaian baik atau buruk dan tinggi atau rendah. Sikap yang dinilai pada survei KPK ini adalah sikap masyarakat secara umum mengenai korupsi. Empat pernyataan yang diajukan mencakup apakah perbuatanperbuatan tersebut merupakan perbuatan buruk – baik (skala 1-4, di mana 1 cenderung ke arah buruk dan 4 cenderung ke arah baik). Pernyataan pertama ‘seseorang memberikan uang tambahan di luar ketentuan resmi untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor/dll wajar dilakukan sebagai ucapan terima kasih’ mendapatkan penilaian masyarakat cenderung ke arah buruk pada 2 tahun terakhir. Masyarakat sempat menilai cenderung baik perilaku koruptif ini pada tahun
13
2009 dengan nilai 2,2, namun pada tahun 2010 turun menjadi 1,7 dan tetap pada skor 1,7 di tahun 2011. Jika dilihat dari persentasenya, jumlah masyarakat yang menilai buruk pada 2 tahun terakhir sudah mencapai 75 persen. Pernyataan kedua ‘pegawai negeri menggunakan mobil dinas di luar jam kerja tanpa ada ijin yang sah’ juga dinilai cenderung buruk oleh masyarakat. Tahun 2008 nilai reratanya adalah 1,6, kemudian nilainya naik pada 2009 menjadi 2,1. Namun, terjadi penurunan kembali yang cukup signifikan di tahun 2010 dan 2011 menjadi 1,3 dan 1,2. Persentase masyarakat yang menilai buruk pada pernyataan kedua ini sudah mencapai 90 persen pada 2 tahun terakhir. Hal serupa juga terlihat pada pernyataan ketiga ‘seseorang tidak keberatan memberikan sesuatu kepada petugas layanan publik agar layanan lebih cepat’ dimana masyarakat bersikap cenderung ke penilaian buruk, dengan pengecualian pada tahun 2009 yang mendapatkan penilaian cenderung baik. Jumlah masyarakat yang memberikan penilaian buruk pada 2 tahun terakhir mulai lebih dari 80 persen. Yang terakhir, lebih dari 90 persen masyarakat dari tahun 2008-2011 secara konsisten menilai pernyataan ‘seseorang
14
bersedia membayar sejumlah uang asal diterima di sekolah favorit/diterima sebagai PNS’ adalah buruk. Nilai rerata selalu di bawah 1,5, kecuali di tahun 2009 yang mencapai 1,7. Namun pada tahun 2010 dan 2011 nilai reratanya sangat kecil mendekati 1 yang berarti masyarakat memberikan penilaian yang buruk terhadap pernyataan tersebut. Sikap Masyarakat yang menilai Buruk Perilaku Korupsi No
Situasi
1
2008
2009
2010
2011
Persentase
Skor
Persentase
Skor
Persentase
Skor
Persentase
Skor
Seseorang memberikan uang tambahan di luar ketentuan resmi untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor/dll wajar dilakukan sebagai ucapan terima kasih
69,2
1,9
72,9
2,2
75,8
1,7
75,4
1,7
2
Pegawai negeri menggunakan mobil dinas di luar jam kerja tanpa ada ijin yang sah
84,2
1,6
74,3
2,1
92,6
1,3
89,9
1,2
3
Seseorang tidak keberatan memberikan sesuatu kepada petugas layanan publik agar layanan lebih cepat
68,5
1,9
71,9
2,2
82,9
1,6
81,8
1,5
4
Seseorang bersedia membayar sejumlah uang asal diterima di sekolah favorit/diterima sebagai PNS
92,4
1,3
94,9
1,7
96
1,2
94,7
1,1
Sumber: data diolah dari SPM 2008, SPM 2009, SPM 2010, dan SPM 2011
Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki sikap anti-korupsi. Pemberian uang untuk masuk
15
sekolah favorit atau diterima sebagai PNS merupakan perilaku yang paling ditolak oleh masyarakat selama empat tahun pelaksanaan survei, dengan persentase masyarakat yang menilai buruk selalu diatas 90%. Sementara itu, pemberian uang sebagai ucapan terima kasih setelah pengurusan KTP/SIM/Paspor/dll merupakan perilaku koruptif yang paling dimaklumi dengan persentase masyarakat yang menilai buruk perilaku tersebut tidak pernah mencapai 80%.
Perilaku Terhadap Korupsi Dalam rangka mengukur perilaku korupsi, survei ini melihat kecenderungan perilaku yang akan dilakukan masyarakat (konatif) dari aspek perilaku positif (konstruktif). Perilaku yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat dalam survei dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jika mengetahui korupsi yang dilakukan oleh orang lain dan jika suasana koruptif mempengaruhi diri mereka sendiri. Perilaku positif yang diharapkan dari masyarakat terkait korupsi yang dilakukan oleh orang di sekitarnya adalah dengan melaporkan pada pihak yang berwenang. Dengan skala nilai 1-4, yang mana 1 berarti cenderung tidak melaporkan dan 4 cenderung melaporkan, nilai rerata yang diperoleh tahun 2010 adalah 2,94. Artinya, bila
16
menjumpai kasus korupsi, masyarakat cenderung akan melaporkan kasus korupsi tersebut kepada pihak yang berwenang. Hampir 70% masyarakat yang menyatakan akan melaporkan tindak pidana korupsi yang diketahuinya. Namun pada tahun 2011, nilai rerata tersebut turun menjadi 2,52, dengan jumlah masyarakat yang mengaku akan melaporkan jika menjumpai korupsi hanya 55%. Penurunan ini mengindikasikan bahwa keputusan untuk melaporkan tindak pidana korupsi nampaknya bukanlah keputusan yang mudah bagi masyarakat dengan mempertimbangkan banyak faktor. Interpretasi lebih jauh mengindikasikan adanya perhitungan antara manfaat dan resiko yang diakibatkan oleh tindakan melapor. Menurunnya keinginan untuk melapor, kemungkinan dikarenakan resiko yang timbul dari tindakan melapor lebih besar dari manfaat yang akan diterima oleh pelapor. Resiko yang ditanggung tidak hanya masalah keamanan (ancaman fisik) dan finansial (kehilangan bisnis, mata pencaharian,karir,dsb) tetapi juga mencakup resiko psikologis (beban pikiran) dan sosiologis (respon serta dampak dari dan bagi lingkungan, seperti rekan kerja, kerabat,keluarga). Belum lagi biaya, waktu, tenaga, pikiran yang ditimbulkan akibat menjalani proses pelaporan tersebut.
17
Keinginan Untuk Melapor (%) 69.5 55.45
29.15
25.5
15.4 4.9
Melapor
Tidak Tahu
Tidak Melapor 2010
2011
Apabila kecenderungan mau atau tidak mau melapor tersebut dihubungkan dengan profesi responden, pada tahun 2011 diketahui bahwa profesi wiraswasta/pengusaha (37,5%), profesional (35,7%) dan sektor informal (35,7%) merupakan 3 profesi teratas yang memiliki proporsi terbesar dari masyarakat yang tidak ingin melaporkan kejadian korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Bandingkan dengan data di tahun 2010, yang menunjukkan bahwa profesi pegawai negeri sipil (35,2%), pegawai swasta (30,4%), dan wiraswasta/pengusaha (28%) merupakan 3 profesi teratas yang yang enggan melaporkan korupsi yang terjadi di sekitarnya. Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat kegiatan koruptif lebih rentan terjadi di lingkungan kerja pada profesi ini. Hal ini penting untuk ditelaah lebih jauh oleh KPK terutama mengenai akibat dan antisipasi yang harus dilakukan di masa depan.
18
Kelompok Profesi yang Enggan Melaporkan Korupsi (%) Tahun 2011
2010
Profesi Wiraswasta/Pengusaha Profesional Sektor Informal Pegawai Negri Sipil Pegawai Swasta Wiraswasta/Pengusaha
Tidak Melapor 37.5 35.7 35.7 35.2 30.4 28.0
Sumber: data diolah dari SPM 2010 dan SPM 2011
Kecenderungan perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat jika mereka ditempatkan pada situasi yang berpotensi korupsi, mayoritas masih sesuai dengan yang diharapkan, yaitu melaporkan kondisi tersebut pada pihak yang berwenang. Ketika mereka berhadapan pada layanan yang lama dan berbelit padahal persyaratan sudah dilengkapi sesuai peraturan, pada tahun 2010, 63,6% masyarakat memilih melaporkan kondisi tersebut pada pihak yang berwenang, 16,6% lebih menyukai membiarkan kondisi tersebut dengan resiko waktu pengurusan menjadi lebih lama. Namun demikian terdapat 11,8% yang merespon situasi koruptif tersebut dengan berperilaku koruptif juga yaitu berusaha mempercepat layanan dengan memberikan biaya tambahan. Perkembangan pada survei 2011 menunjukkan terjadi penurunan perilaku melapor menjadi 59,8%, sedangkan membiarkan kondisi tersebut terjadi
19
persentasenya relatif sama pada nilai 16,3%. Selain itu, perilaku negatif sebagai respon atas suasana koruptif ditunjukkan oleh 11,3% masyarakat, juga tidak berbeda jauh dengan data di tahun 2010. Perilaku Masyarakat Ketika di Persulit dalam Menerima Pelayanan Publik (%) Respon
2010
Melaporkan kondisi tersebut pada pihak berwenang
59.8
63.6
Membiarkan kondisi tersebut, dengan resiko waktu lebih lama
16.3
16.6
Berusaha mempercepat layanan dengan membayar lebih
11.2
11.9
Lainnya
12.7
7.9
Sumber: data diolah dari SPM 2010 dan SPM 2011
20
2011
3. [KPK di Mata Masyarakat]
Pengetahuan Terhadap Keberadaan KPK
Kepercayaan Terhadap KPK
Dampak Keberadaan KPK
22
24 26
Harapan Masyarakat terhadap KPK: Fokus Sektor Pemberantasan Korupsi
28
21
Pengetahuan Terhadap Keberadaan KPK Persepsi masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki tugas melakukan pencegahan dan penindakan korupsi penting dalam rangka mengukur tingkat dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan anti korupsi dan KPK sebagai lembaga. Persepsi positif mengisyaratkan dukungan bagi KPK untuk melaksanakan program-program pemberantasan korupsi. Sebaliknya, persepsi negatif memberikan peringatan bahwa kemungkinan terdapat sesuatu yang salah atau dipersepsikan salah oleh masyarakat mengenai KPK, sehingga KPK perlu melakukan tindakan koreksi terhadap persepsi negatif tersebut. Sejak survei pertama dilakukan tahun 2008 hingga tahun 2011, hampir 100 persen masyarakat mengetahui keberadaan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Sumber informasi utama untuk mengetahui KPK adalah media televisi. Namun media lain seperti surat kabar, radio ,dan internet juga berperan dalam mensosialisasikan keberadaan KPK kepada masyarakat. Hasil survei tersebut selain menunjukkan media habit dari responden juga menunjukkan bahwa selama ini KPK dengan sengaja atau tidak sengaja mengandalkan publikasi sebagai bauran komunikasi utama dalam menjangkau masyarakat/publik. Cara ini memiliki kelebihan dalam hal efisiensi sumber daya yang digunakan, luas area yang dapat dijangkau,
22
dan banyaknya dampak yang diberikan. Namun demikian, cara ini memiliki kelemahan dalam fungsi pengendalian (kontrol). Oleh karena pemberitaan dilakukan oleh pihak ketiga, maka topik pemberitaan dikendalikan oleh mereka. Sebagai contoh, pemberitaan terhadap upaya-upaya maupun kegiatan KPK yang tidak memiliki nilai jual tinggi dalam hal berita, tidak dapat disampaikan secara optimal, padahal bisa jadi kegiatan tersebut memiliki dampak luas dan jangka panjang terkait masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, isi berita bisa saja menjadi tidak sesuai dengan tujuan komunikasi yang diharapkan oleh KPK karena kontrol terhadap pesan yang disampaikan maupun dampak yang dapat ditimbulkan tidak sepenuhnya berada ditangan KPK. Oleh karena itu, diperlukan upaya tambahan untuk mengoptimalkan bentuk komunikasi yang sesuai dengan harapan KPK. Terkait dengan tugas dan fungsi KPK, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan tugas dan fungsi yang paling populer di masyarakat dimana 80%-90% masyarakat mengetahui tugas dan fungsi ini. Tugas dan fungsi KPK selanjutnya yang juga diketahui oleh sebagian besar masyarakat adalah tugas dan fungsi penerimaan pengaduan masyarakat terkait dugaan tindak pidana korupsi, sosialisasi dan pendidikan anti korupsi, serta mendaftar dan memeriksa laporan harta kekayaan
23
penyelenggara negara (LHKPN) yakni mencapai 70%-80%. Sementara tugas KPK yang masih terbatas diketahui masyarakat (50%-70%), adalah mengkaji sistem administrasi pemerintahan serta menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi. Perkembangan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Tugas dan Fungsi KPK (%) No
Tugas
2008
2009
2010
2011
-
92.7
87.1
1
Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
2
Supervisi dan koordinasi
-
-
72.7
71.0
3
Sosialisasi dan pendidikan anti-korupsi
62.7
67.7
83.4
74.4
4
Menerima pengaduan dugaanTPK
72.9
86.9
80.1
78.0
5
Mendaftar dan memeriksa LHKPN
70.6
84.8
82.3
72.9
6
Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi
48.8
53.4
65.1
56.5
7
Mengkaji sistem administrasi
47.9
53.1
67.2
58.1
75.7
Sumber: data diolah dari SPM 2008, SPM 2009, SPM 2010 dan SPM 2011
Kepercayaan terhadap KPK Kepercayaan masyarakat terhadap KPK pada periode 4 tahun terakhir mengalami pasang surut. Pada tahun 2008 saat kepemimpinan KPK periode kedua dimulai, 69% masyarakat percaya bahwa KPK bisa dan mampu memberantas korupsi di Indonesia. Dengan kinerja yang ditunjukkan, pada tahun 2009 tingkat kepercayaan masyarakat meningkat menjadi 86%. Namun tingkat
24
kepercayaan tersebut menurun di tahun 2010 dan 2011, seiring dengan kasus pidana yang melibatkan Ketua KPK dan kriminalisasi pimpinan KPK periode kedua. Pesimisme masyarakat kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor yang semakin sistemik dan rumitnya modus korupsi baru yang muncul di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi KPK untuk meningkatkan kembali kepercayaan publik kepada KPK dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki dan menggunakan strategi yang tepat untuk memberantas korupsi.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap KPK (%)
85,43 68,87
69,3 47,1
2008
2009 2009
2010
2011
25
Dampak Keberadaan KPK Pengukuran keberhasilan dari suatu kegiatan dan upaya anti korupsi yang dilakukan oleh KPK tidaklah hanya diukur melalui output yang dihasilkan, namun diharapkan sampai kepada outcome atau dampak yang dihasilkan. Tanpa bermaksud mengecilkan kontribusi pihak lain, KPK menyampaikan pertanyaan terkait dengan dampak yang telah dirasakan masyarakat atas upaya KPK dalam kegiatan pemberantasan korupsi yang dilakukan selama berdiri. Hasil survei sepanjang tahun 2008-2011 memberikan informasi bahwa dampak yang lebih baik yang diharapkan dirasakan masyarakat belum sepenuhnya tercapai. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat harapan masyarakat kepada KPK yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dampak pertama yang diharapkan adalah di sektor penindakan yang mengakibatkan semakin banyak koruptor ditangkap dan diadili. Sepanjang 4 tahun pelaksanaan survei, dampak tersebut paling dirasakan masyarakat pada tahun 2009 karena lebih dari 90 persen masyarakat merasakan kondisi tersebut. Namun pada 2 tahun berikutnya dampak ini dirasakan menurun oleh masyarakat.
26
Dampak Keberadaan KPK di Mata Masyarakat (%) Dampak Perubahan
2008
2009
2010
2011
Semakin banyak koruptor ditangkap dan diadili
60.2
93.4
78.7
65.1
Semakin banyak uang Negara terselamatkan
34.1
-
71.4
52.4
Pemberian dan penerimaan gratifikasi (hadiah)
-
51.6
57.9
45.5
-
42.6
53.3
40.6
48.8
57.5
61.5
47.5
dan suap kepada/oleh pejabat negara berkurang Pungutan liar dalam pelayanan publik semakin berkurang Layanan publik semakin baik
Sumber: data diolah dari SPM 2008, SPM 2009, SPM 2010 dan SPM 2011
Dampak kedua di sektor penindakan dan sebagian sektor pencegahan yang mengakibatkan semakin banyak uang negara yang terselamatkan. Dalam 2 tahun terakhir, dampak tersebut sudah dirasakan oleh lebih dari 50 persen masyarakat. Hal yang penting untuk dicermati adalah penurunan yang signifikan dari masyarakat yang merasakan dampak tersebut dari 71 persen pada tahun 2010 menjadi hanya 52% pada tahun 2011. Kondisi ini tentu saja menjadi masukan penting bagi KPK untuk terus berupaya menyelamatkan sebanyak mungkin uang negara dari para koruptor. Berkurangnya pemberian dan penerimaan gratifikasi (hadiah) dan suap kepada penyelenggara negara adalah outcome lain yang diharapkan dapat dicapai. Jumlah masyarakat yang merasakan dampak tersebut dari tahun ke tahun di sekitar 40-50 persen. Namun dampak ini dirasakan berkurang oleh masyarakat pada tahun 2011 setelah mencapai hasil terbaiknya pada tahun 2010.
27
Layanan publik yang semakin baik adalah salah satu dampak di sektor pencegahan KPK yang bisa dirasakan masyarakat. Hasil dari tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan peningkatan yang menggembirakan hingga lebih dari 60 persen masyarakat merasakan dampak tersebut. Namun pada tahun 2011 dampak tersebut mengalami penurunan hingga lebih kecil dibanding tahun 2008. Secara umum, tren pendapat masyarakat mengenai dampak atas kegiatan KPK pada tahun 2011 mengalami penurunan pada semua aspek. Hal yang mungkin menjadi Faktor penurunan ini adalah ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi atas capaian pemberantasan korupsi di negeri ini. "Faktor lainnya kemungkinan karena adanya kasus kriminalisasi yang menerpa pimpinan KPK yang terjadi di akhir tahun 2010 yang sedikit banyak menyedot energi KPK.
Harapan Masyarakat terhadap KPK: Fokus Sektor Pemberantasan Korupsi Dalam survei tahun 2010 dan 2011, masyarakat menyampaikan harapan terkait sektor yang sebaiknya menjadi Fokus utama KPK dalam program pemberantasan korupsi. Dari 11 sektor yang ditetapkan, pada tahun 2010, tiga sektor utama yang sebaiknya menjadi prioritas KPK
28
menurut masyarakat adalah bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan (34,6%); bidang hukum, HAM dan keamanan (21.2%); serta bidang pemerintahan dalam negeri dan daerah, aparatur negara (14.8%). Harapan Masyarakat terhadap KPK: Fokus Sektor Pemberantasan Korupsi (%) pemerintahan dalam negeri dan daerah, aparatur negara
14,8 18,22 21,2
Hukum, HAM dan keamanan 15,53 34,6
keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan
23,5
2010
2011
Hasil yang tidak jauh berbeda didapatkan pada tahun 2011, sektor yang disarankan masyarakat menjadi fokus utama KPK masih tetap bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan (23,53%). Sedangkan bidang pemerintahan dalam negeri dan daerah, aparatur negara menjadi sektor prioritas kedua dengan persentase sebesar 18,22%, serta bidang hukum, HAM dan keamanan menjadi sektor prioritas ketiga dengan persentase 15,53%. Dari ketiga sektor tersebut terlihat telah adanya keselarasan antara aspirasi masyarakat dengan Rencana Strategis KPK.
29
4. [Sekilas Tentang Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi] Survei Persepsi Masyarakat terhadap Korupsi dan KPK merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengetahui persepsi masyarakat terhadap korupsi. Survei ini juga dilakukan untuk mendapatkan masukkan masyarakat terkait kinerja sekaligus harapan masyarakat terhadap KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kegiatan dilakukan tahun 2008-2011 oleh Direktorat Litbang KPK. Demi menjaga independensi survei, dalam melakukan kegiatan pengumpulan data primer (wawancara) dengan masyarakat, KPK dibantu oleh Perguruan Tinggi. Beberapa kriteria yang ditetapkan bagi responden di antaranya: usia minimal 20 tahun, lulusan SLTA, dan mewakili
kelompok
profesi
masyarakat
(mahasiswa,pegawai swasta, pegawai negeri/polisi/militer, wiraswasta,profesional, sektor informal, ibu rumahtangga, dan pensiunan). Dengan menggunakan confidence level 99% dan confidence interval 5% serta data populasi penduduk 20 tahun ke atas pada tahun berjalan, maka jumlah responden yang ditetapkan adalah 2000 - 2500 orang per tahun. Penetapan lokasi survei didasarkan pada alasan geografis, merepresentasikan sebagai kota besar, serta memiliki aktivitas ekonomi,politik, dan potensi pembangunan yang
30
relatif tinggi. Dengan kriteria tersebut, rata-rata jumlah kota yang disurvei dari tahun 2008-2011 adalah 6-13 kota. Kota-kota utama yang menjadi sasaran survei adalah Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar. Penyebaran jumlah responden pada tiap kota didasarkan pada rasio antara usia produktif, luas wilayah, kepadatan penduduk, PDRB, dan IPM.
31
32
B. Lampung 2011 = 118
Medan 2008 = 291 2010 = 205 2011 = 203
Bandung 2009 = 647 2011 = 247 Yogyakarta 2009 = 426
Jakarta 2008 = 781 2010 = 725 2011 = 506
Palembang 2009 = 315 2011 = 136
Surabaya 2008 = 234 2010 = 263 2011 = 260
Semarang 2008 = 166 2011 = 132
Banjarmasin 2008 = 172 2010 = 131
Denpasar 2009 = 212
Samarinda 2009 = 258 2011 = 125
Makassar 2008 = 246 2010 = 155 2011 = 162
Manado 2009 = 143 2011 = 111
Survei Lokasi dan Jumlah Responden
Ambon 2010 = 104
5. [Daftar Pustaka] 1. ICAC, 2012, Annual survei 2011 Executive Summary, Hong Kong 2. KPK, 2008, Survei Persepsi Masyarakat, Jakarta 3. KPK, 2009, Survei Persepsi Masyarakat, Jakarta 4. KPK, 2010, Survei Persepsi Masyarakat, Jakarta 5. KPK, 2011, Survei Persepsi Masyarakat, Jakarta
33