Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara infeksi Penularan askariasis yang terutama terjadi melalui tertelannya telur Ascaris lumbricoides yang terdapat pada makanan dan minuman yang terkontaminasi. Pada anak-anak biasanya terjadi akibat tertelannya telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu di udara. Dilaporkan adanya penularan secara transplasental dari ibu kepada janinnya. Morfologi dan Daur Hidup Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2 spikula. Cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior memiliki cincin kopulasi. Mulut terdiri atas 3 buah bibir. Stadium dewasa hidup dirongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang di buahi berukuran ±60 x 45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio. Telur yang tidak dibuahi berukuran ±90 x 40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan dan dalamnya bergranula.
Patologi dan Gejala Klinis Dalam lingkungan yang sesuai; telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan. Buku parasit UI Infeksi Ascaris lumbricoides disebut ascariasis atau infeksi ascaris. Gejala klinik tergantung dari beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita
mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja. Gejala klinik pada ascariasis, dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa ataupun oleh stadium larva. Cacing dewasa, tinggal di antara lipatan mukosa usus halus, dapat menimbulkan iritasi sehingga tidak enak di perut berupa mual serta sakit perut yang tidak jelas. Kadang-kadang cacing dewasa terbawa kearah mulut karena kontraksi usus (regurgitasi) dan dimuntahkan, keluar melalui mulut atau hidung. Kadang-kadang masuk ke tuba eustachii ataupun terhisap masuk bronchus. Jika terjadi invasi ke appendix, ductus choledochus ataupun ampulla Vateri dapat menimbulkan appendicitis, cholesistitis atau pancreatits hemorhagik. Dinding usus dapat ditembus oleh cacing dewasa, menimbulkan peritonitis. Jika dibiarkan, cacing keluar menembus dinding perut. Pada anak-anak biasanya menembus melalui umbilicus sedangkan pada orang dewasa melalui inguinal. Migrasi cacing dewasa ini disebut erratic migration yang disebabkan oleh beberapa factor, di antaranya karena adanya demam oleh penyakit lain ataupun karena berbagai obat tertentu yang merupakan ancaman bagi berlangsungnya cacing tersebut. Cacing dalam jumlah banyak dan berkelompok, akan dapat menyumbat lumen usus, mula-mula penyumbatan partial akhirnya penyumbatan total. Cacing dewasa yang masih hidup ataupun yang sudah mati dapat menghasilkan zat-zat yang bisa merupakan racun bagi tubuh hospes. Pada orang yang rentan, zat ini dapat menimbulkan manifestasi keracunan, seperti oedema muka, urtikaria disertai insomnia, menurunnya nafsu makan, penurunan berat badan. Stadium larva, dalam perjalanannya, ketika migrasi ke paru-paru, dapat menimbulkan peningkatan sel eosinofil, bagi yang sensitive menimbulkan manifestasi alergi berupa urtikaria, gejala infiltrasi paru-paru, serangan asma serta sembap pada bibir. Sindroma Loffler dan Tropical Eosinophilia sering kali disebabkan oleh larva A. lumbrocoides yang bermigrasi. Sindroma Loffler merupakan kumpulan tiga gejala, yaitu (ascaris) pneumonia dengan gejala batuk, eosinofil meninggi serta gambaran Rontgen paru-paru memperlihatkan bercak-bercak putih yang bersifat sementara. Larva cacing dapat pula bermigrasi ke tempat lain dan dapat menimbulkan endophthalmitis, meningitis, encephalitis. Kejadian-kejadian diatas terjadi akibat efek langsung, baik oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya. Efek tidak langsung dapat pula terjadi, waktu migrasi cacing dewasa, turut menempel juga mikroorganisme lain misalnya bakteri sehingga menimbulkan abses di tempat cacing dewasa atau larva tersebut berada.
Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein sehingga terutama pada anak-anak sering kali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu, rambut jarang berwarna merah serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah menderita undernutrisi. Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat menimbulkan keadaan anemi. Natadisastra D. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta: EGC; 2009. h. 73-8.
Prognosis Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan, penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan 70-99%. Namun, pada kasus dengan komplikasi obstruksi usus, angka kematian mencapai 5,7%. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di Negara – negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25°-30°C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif. Buku UI
Tatalaksana Sebagian besar kasus askaris diobati secara konvensional dengan obat-obatan antihelmintiasis, juga pada kasus obstruksi parsial usus dan bilier. Jika terjadi obstruksi, salah satu manifestasi klinisnya adalah konstipasi. Penatalaksanaan konstipasi adalah dengan evakuasi feses dengan gliserin dosis 1 cc/kgBB dan NaCl 0,9% separuh dosis gliserin. Pada beberapa kasus seperti obstruksi usus, total, volvulus, intususepsi, dan perforasi usus memerlukan tindakan pembedahan. Tujuan utama pengobatan askariasis adalah memberantas infeksi, mencegah komplikasi, dan mengurangi angka kesakitan. a. Medikamentosa Obat-obat yang digunakan adalah:
Pirantel pamoat Diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB per oral dalam dosis tunggal. Efek sampingnya berupa gangguan pencernaan, sakit kepala, rash, dan demam. Imobilitas dan kematian cacing berlangsung lambat dan pengeluaran cacing dari usus secara lengkap terjadi setelah 3 hari. Efikasi bervariasi sesuai dengan jumlah cacing, mempunyai keefektifan sekitar 90% dalam eradikasi ccacing dewasa. Cara kerja pirantel adalah dengan melumpuhkan cacing. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Pirantel pamoat dapat diminum dengan keadaan perut kosong, atau diminum bersama makanan, susu atau jus. Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum. Mebendazol Diberikan dengan dosis 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut atau 500 mg sebagai dosis tunggal. Efek samping meliputi gangguan pencernaan, sakit kepala, dan leucopenia. Efek samping lain yang perlu diperhatikan adalah iritasi terhadap cacing, sehingga cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat lain. Pengobatan dengan mebendazol selama 3 hari atau dosis tunggal mempunyai keefektifan sebesar 95%. Albendazol Albendazol merupakan antihelmintik yang merupakan efek membunuh cacing dewasa, menghancurkan telur cacing dan larva cacing. Albendazol bekerja dengan cara menghambat uptake glukosa oleh cacimg sehingga produsi ATP sebagai sumber energy untuk mempertahankan diri berkurang. Hal ini mengakibatkan kematian cacing. Diberikan pada anak diatas usia 2 tahun, dengan dosis 400 mg peroral sebagai dosis tunggal. Albendazol efektif hampir pada 100% kasus, walaupun serng terjadi reinfeksi. Efek samping albendazol sama dengan efek samping mebendazol. Piperazin sitrat Diberikan pada dosis 50-75 mg /kgBB dibagi dalam 4 dosis selama 2 hari. Levamisole Aman diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB dalam dosis tunggal. b. Non-medikamentosa Pembedahan Pembedahan usus dan bilier berupa reseksi, iliostomy, dan enterotomy, diperlukan pada kasus dengan komplikasi berupa obstruksi usus, volvulus, intususepsi, perdarahan dan gangrene usus dan juga perforasi usus.
http://www.scribd.com/doc/76919243/21/DIAGNOSIS
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks