HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI INFEKSI ACANTHAMOEBA DENGAN KARAKTERISTIK MAHASISWA FKUI Haloho AS1, Wahdini S2 1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Acanthamoeba dikenal sebagai organisme penginfeksi baru yang mulai banyak mendapatkan perhatian dalam dunia kedokteran. Organisme ini merupakan sejenis parasit yang diketahui cukup sering menginfeksi pengguna lensa kontak dan bermanifestasi di mata sebagai Acanthamoeba Keratitis (AK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi yang dapat ditimbulkan oleh Acanthamoeba. Responden adalah mahasiswa kedokteran FKUI tingkat I, II, dan III yang menggunakan lensa kontak. Tingkat pengetahuan responden dinilai berdasarkan jawaban mereka terhadap kuesioner penelitian yang sebelumnya telah dilakukan uji validitas dan realibilitas. Hasil penelitian menunjukkan 18,6% responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 41,2% cukup, dan 40,2% kurang. Analisis data menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden (chi square, p=0,902; p>0,05), namun tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan (chi square, p=0,000; p<0,05). Faktor yang mempengaruhi hasil ini adalah tidak ditemukannya diskriminasi gender pada responden dan sistem kurikulum yang membuat responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik.
Abstract Acanthamoeba is known as the new infectious agent which begin to get much more attention in medicine. This organism is a kind of parasite which is known to infect the contact lens user frequently and has manifestation in the eyes as Acanthamoeba Keratitis (AK). The aim of this research is to get the information about the medicine students’ level of knowledge about the etiology and pathophysiology of Acanthamoeba Infection. Respondents is the students in first, second, and third degree in FMUI who use the contact lens. The level of knowledge is measured based on the the answers of the respondents to the questionnaire which has been done validation and realibility testing. The results show 18,6% respondents have the good level of knowledge, 41,2% fair, and 40,2% poor. After these data have been analyzed, we got the conclusion that the gender has no differences to the level of knowledge (chi-square, p=0,902; p>0,05), but the level of education is proven to influence the level of knowledge (chi square, p=0,000; p<0,05). These results are caused by no gender discrimination between respondents and the curriculum which makes the higher degree respondents have the better level of knowledge. Keywords: Acanthamoeba infection, etiology and pathophysiology, FMUI students’ characteristic, level of knowledge
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Pendahuluan Dalam kurun 30 tahun terakhir, organisme penyebab infeksi selain bakteri dan virus mulai mendapatkan perhatian serius dalam dunia kedokteran, salah satunya adalah free living amoeba (FLA). Seperti namanya, organisme ini hidup bebas di alam. Keberadaannya dapat ditemukan di tanah, debu, udara, air keran, air kolam, hingga air minum yang dikonsumsi sehari-hari. FLA merupakan anggota dari kingdom protista yang terdiri dari banyak spesies. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Acanthamoeba sp merupakan spesies yang paling banyak berperan dalam menyebabkan sejumlah permasalahan kesehatan pada manusia.1 Organisme ini merupakan musuh utama bagi para pengguna lensa kontak karena kerap kali menyebabkan infeksi pada kornea.2 Namun belakangan, Acanthamoeba sp juga diketahui dapat menyebabkan infeksi pada petani dan pekerja yang rentan mengalami iritasi pada mata.3 Lebih lanjut, beberapa penelitian menyebutkan bahwa infeksi Acanthamoeba juga terbukti dapat menyebabkan meningoensefalitis, suatu peradangan pada selaput otak, walaupun kasusnya masih terhitung jarang.4 Prevalensi keratitis akibat infeksi Acanthamoeba meningkat sejak kasus pertama yang dilaporkan pada pertengahan tahun 1970-an. Namun, Acanthamoeba Keratitis (AK) menjadi kurang populer di masyarakat disebabkan oleh kasusnya yang masih jarang. Namun belakangan ditemukan suatu fakta yang menarik. Suatu penelitian di Kroasia melaporkan bahwa AK sering salah didiagnosis sebagai herpes simplek keratitis. Gejalanya sama persis, yaitu terdapat lesi epitelial dan infiltrasi stroma5. Perbedaannya, keratitis yang disebabkan oleh Acanthamoeba memiliki ciri khas berupa nyeri yang berkepanjangan dan visus yang menurun.6 Hal inilah yang kemudian menyebabkan penelitian AK mengalami peningkatan dan mengakibatkan FLA serta Acanthamoeba khususnya menjadi primadona baru dalam banyak penelitian ilmiah beberapa tahun belakangan ini. Seiring dengan meningkatnya penggunaan lensa kontak, kasus ini mengalami peningkatan signifikan. Insiden acanthamoeba keratitis (AK) dilaporkan sebesar 1 berbanding 30 000 pengguna lensa kontak setiap tahunnya.5 Pada tahun 1997 di Chennai, kota yang dahulu dikenal sebagai Madras di India, dilakukan penelitian untuk menemukan prevalensi AK di wilayah tersebut. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa AK yang berhasil diidentifikasi sebesar 27,3%.3 Malaysia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang melaporkan AK. Kasus ini dilaporkan pada tahun 1995 dan ditemukan pada seorang wanita pengguna lensa
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
kontak. Pada tahun 2001, sedikitnya terdapat 10 kasus yang diidentifikasi sebagai AK di Rumah Sakit Universitas Kebangsaan Malaysia.6 Sementara itu, di Amerika Serikat, insidensi AK mencapai angka 1-2 juta kasus setiap tahunnya pada pengguna lensa kontak. Penelitian tersebut akhirnya menyimpulkan bahwa pengguna lensa kontak memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk terinfeksi Achantamoeba.7 Meskipun pemakaian lensa kontak menjadi faktor risiko utama, 10% kasus yang ditemukan pada AK juga terjadi akibat trauma okular dan paparan terhadap debu, tanah atau air yang terkontaminasi oleh Acanthamoeba.6 Penelitian panjang selama 6 tahun (1997-2003) di India Selatan membuktikan bahwa prevalensi AK meningkat sebesar 6% pada pasien yang tidak menggunakan lensa kontak.8 Meningkatnya prevalensi AK pada pasien yang tidak menggunakan lensa kontak dapat dikaitkan dengan keberadaan Acanthamoeba sp yang semakin melimpah di alam. Suatu penelitian pada tahun 1992-1993 di salah satu negara bagian di Amerika Serikat, Ohio, melaporkan bahwa Acanthamoeba yang berhasil diidentifikasi pada air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga mencapai 51%. Dari jumlah tersebut, air shower (52%) dan cairan pembersih dapur (50%) merupakan habitat utama dari Acanthamoeba.9 Lima belas tahun setelah itu, penelitian terbaru di Florida, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa pada tahun 2006-2008, Acanthamoeba sp yang diidentifikasi dari air keran sebesar 2,8%. Hasil ini berkurang signifikan dari angka 51% yang diteliti 15 tahun sebelumnya. Namun, jumlah FLA sendiri masih tergolong tinggi, yakni sebesar 19,4%.2 Di Santos, Brazil, penelitian dilakukan di dua kampus dengan kriteria kebersihan serta kesehatan yang sudah distandardisasi baik. FLA yang ditemukan pada kampus pertama sebesar 39%, sedangkan pada kampus kedua sebesar 17%. Dari hasil penelitian di kedua kampus tersebut, Acanthamoeba sp merupakan populasi terbesar dari semua jenis FLA yang ditemukan. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman baru bahwa Acanthamoeba juga dapat ditemukan dalam lingkungan dengan tingkat sanitasi yang baik.4 Hasil-hasil penelitian tersebut semakin diperkuat oleh penelitian yang diadakan di Pakistan yang menunjukkan bahwa antibodi terhadap Acanthamoeba sp teridentifikasi sebesar 78,8% dan 73,8% pada pria dan wanita sehat.10 Namun, penelitian di Brazil tersebut juga menegaskan bahwa risiko infeksi dari Acanthamoeba sp meningkat sebesar 2,99 kali pada lingkungan dengan tingkat sanitasi rendah.4
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh organisme ini serta semakin meningkatnya kasus yang ditemukan, maka peneliti ingin mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba. Mahasiswa FKUI adalah calon tenaga kesehatan di masa depan yang kemungkinan akan berhadapan dengan masalah ini.
Tinjauan Teoritis 1. Acanthamoeba sp. Acanthamoeba merupakan protista dari golongan amoeba yang hidup bebas dan melimpah keberadaannya di alam. Organisme ini pertama kali ditemukan pada tahun 1930 sebagai kontaminan pada kultur suatu spesies jamur/ragi, yaitu Cryptococcus pararoseus.11 Taksonomi Achantamoeba sp dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Taksonomi Achantamoeba sp11,12 2. Morfologi Terminologi Acanthamoeba dikutip dari istilah dalam bahasa Yunani, acanth yang berarti “duri” yang ditambahkan ke dalam kata amoeba yang berarti suatu amoeba yang memiliki struktur berupa duri-duri pada permukaannya. Organisme ini diperlengkapi dengan sejumlah
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
vakuola kontraktil yang dapat ditemukan di dalam struktur intraselulernya yang berfungsi sebagai osmoregulator untuk mengekskresikan cairan dari dalam tubuhnya. Selain vakuola kontraktil, terdapat berbagai bentuk vakuola lain di dalam tubuhnya, seperti lisosom, vakuola digestif, dan suatu jenis vakuola yang mengandung sejumlah besar glikogen. Membran plasma dari sel penyusun organisme ini terdiri dari protein (33%), fosfolipid (25%), sterol (13%), dan lipofosfonoglikan (29%). Fosfolipid utama yang terdapat pada amoeba ini terdiri dari fosfatidilkolin (45%), fosfatidiletanolamin (33%), fosfatidilserin (10%), fosfoinositid (6%), dan difosfatidilgliserol (4%). Sementara asam lemak utama pada Acanthamoeba tersusun atas asam oleat (40-50%) dan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid/PUFA) sebesar 20-30%. Acanthamoeba hanya mengandung sedikit glikolipid dimana glukosa menjadi penyusun terbesar senyawa ini dengan level 60% dari total glikolipid. Sterol yang terdapat pada Acanthamoeba mengandung sejumlah fraksi yang tidak dapat mengalami reaksi penyabunan (saponifisasi) berupa ergosterol dan 7dehidrostigmasterol. Di samping itu, organisme ini juga diketahui dapat memproduksi prostaglandin. Acanthamoeba sudah sejak lama diteliti sebagai model dari sel eukariotik yang memiliki kemampuan spesial berdasarkan kemampuannya berpindah/bergerak karena memiliki perangkat berupa sitoskeleton aktin. Mikrofilamen aktin ini paling banyak terkonsentrasi di bawah membran plasma, dan bertanggung jawab dalam menghasilkan tensi/tekanan yang kemudian membentuk protrusi sitoplasma, yakni tonjolan-tonjolan sitoplasma yang dapat terlihat ketika organisme ini bergerak. Acanthamoeba dapat berpindah/bergerak relatif lebih cepat bila dibandingkan jenis sel-sel lain, dengan kecepatan rata-rata mencapai 0,8 mm/detik. Perpindahan/pergerakan ini melibatkan pembentukan dari pseudpodia hialin. Cara Acanthamoeba untuk berpindah/bergerak relatif sama baik pada medium solid maupun pada medium air dan udara. Ada suatu tekanan adhesi yang tercipta di antara Acanthamoeba dengan medium-medium itu yang lebih besar dari tekanan gravitasi sekalipun. Hal ini membuktikan bahwa Acanthamoeba dapat melekat bebas di mana saja tanpa terpengaruh akan gaya gravitasi, termasuk di air ataupun udara tanpa terpengaruh permukaan air atau udara itu sendiri.11 3. Siklus Hidup Acanthamoeba melewati dua fase dalam dalam hidupnya, fase vegetatif sebagai trofozoit serta fase dormansi sebagai kista. Pada fase vegetatif, organisme ini layaknya materi hidup lainnya
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
yang ada di alam mencerna makanan berupa partikel organik untuk memenuhi kebutuhan energi dan metabolismenya. Sebagai trofozoit, organisme ini berkembang optimal pada suplai makanan yang adekuat, pH netral, suhu sekitar 30oC, dan nilai osmolaritas larutan sebesar 5080 mOsm. Adanya gangguan pada kondisi optimal ini memaksa Acanthamoeba
berdiferensiasi
membentuk kista. Kista dari Acanthamoeba memiliki 2 lapis dinding, lapisan yang terluar tersusun atas protein dan polisakarida, sementara lapisan yang di dalam tersusun atas selulosa. Karbohidrat yang terdapat pada lapisan luar dinding sel parasit ini kebanyakan mengandung galaktosa dan glukosa serta sebagian kecil sisanya berupa mannosa dan xylosa. Kedua lapisan dinding kista ini sebenarnya dipisahkan oleh suatu rongga, namun pada suatu titik rongga ini menyatu membentuk suatu operculum yang dapat ditemukan pada pusat ostiole. Perangkat ini nantinya akan dipergunakan dalam proses excystivication, suatu proses dimana kista berubah kembali membentuk trofozoit karena kondisi optimal untuk tumbuh-kembang organisme ini sudah tercapai kembali. Kista dari Acanthamoeba castellanii, salah satu spesies dari organisme ini, telah dibuktikan mengandung protein sebesar 33% pada dinding selnya, sisanya disusun oleh lipid (4-6%), karbohidrat (umumnya selulosa), abu (8%), dan 20% sisanya berupa materi-materi lain yang belum dapat diidentifikasi.11 4. Klasifikasi Hingga saat ini Acanthamoeba dibagi berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Pussard dan Pons pada tahun 1977. Klasifikasi ini berdasarkan dua karakteristik utama dari Acanthamoeba, yakni ukuran kista dan jumlah lengan di dalam suatu kista tunggal. Berdasarkan hal ini, Pussard dan Pons membagi Acanthamoeba ke dalam tiga grup. Grup 1: Empat spesies diklasifikasikan ke dalam grup ini, termasuk A astronyxis, A comandoni, A echinulata, A tubiashi. Spesies-spesies ini mempunyai trofozoit yang berukuran besar, sementara pada kista membentuk ektokista dan endokista yang terpisah jauh serta memiliki karakteristik-karakteristik berikut ini: •
Jumlah lengan < 6; diameter kista ≥ 18 mm - A astronyxis
•
Jumlah lengan 6-10; diameter kista ≥ 25,6 mm - A comandoni
•
Jumlah lengan 12-14; diameter kista ≥ 25 mm - A echinulata
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
•
Diameter kista ≥ 22,6 mm - A tubiashi
Grup 2: grup ini merupakan grup terbesar yang terdiri atas 11 spesies sejauh ini. Ektokista dan endokista bisa saja terpisah dalam jarak yang dekat maupun jarak yang jauh. Ektokista ada yang berdinding tebal, ada juga yang berdinding tipis. Sementara endokista ada yang poligonal, triangular, atau bulat dengan diameter rata-rata kurang dari 18 mm. Spesies Acanthamoeba yang termasuk ke dalam grup ini: A mauritaniensis, A castellanii, A polyphaga, A quina, A divionensis, A triangularis, A lugdunensis, A griffini, A rhysodes, A paradivionensis, A hatchetti. Grup 3: Lima spesies tergolong ke dalam grup ini: A palestinensis, A culbertsoni, A royreba, A lenticulata, A pustulosa. Ektokista dari grup ini berdinding tipis dan endokista memiliki 5 sudut yang rapuh dari dindingnya dengan diameter rata-rata kurang dari 18mm.13 5. Distribusi Acanthamoeba Acanthamoeba diketahui hidup bebas dan melimpah di alam. Organisme ini dapat ditemukan di mana saja, termasuk di air, tanah, dan udara. Mereka dapat hidup di air laut, air tawar, bahkan pada mata air murni sekalipun, baik mata air segar (fresh water) yang biasa diolah untuk menghasilkan air mineral yang layak diminum maupun mata air panas (hot spring). Acanthamoeba juga dapat diisolasi dari air saringan (distilled water), limbah pabrik, pendingin serta pemanas listrik, ventilasi udara, alat pengatur kelembaban udara (humidifier), AC, shower head, pembersih dapur, gunting, kompos, sayur-sayuran, alat-alat bedah, lensa kontak, kotoran merpati, ikan segar, hingga bangkai hewan. Organisme ini menyebar luas di ruang publik seperti rumah sakit, pusat kesehatan mata dan kolam renang. Acanthamoeba juga dapat ditemukan keberadaanya pada alat cuci darah (dialyzer), rongga hidung, swab tenggorok, jaringan paru, lesi di kulit, feses, biopsi kornea, sinus maxilaris, pencangkokan mandibula, urin, serta cairan cerebrospinal. Oleh karena jumlahnya yang demikian melimpah, organisme ini sudah hampir pasti berinteraksi dengan kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini terlihat dari penelitian mengenai antibodi terhadap Acanthamoeba yang mencapai angka 80% di London. Di Selandia Baru, hampir semua orang yang ada di negara itu pernah atau sedang terinfeksi oleh Acanthamoeba karena angka penelitian terhadap anti-acanthamoeba mendekati angka 100%.11 6. Peran dalam Ekosistem Acanthamoeba berperan sebagai dekomposer sekunder, yakni organisme yang memangsa dekomposer primer dalam rantai makanan. Oleh karena perannya ini, Acanthamoeba secara
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
langsung turut terlibat dalam rantai makanan itu sendiri dan secara khusus meregulasi jumlah dari populasi dekomposer primer, khususnya bakteri, di dalam ekosistem. Penelitian menunjukkan bahwa tanah yang mengandung bakteri dan Acanthamoeba mengandung jumlah mineral yang lebih banyak dibandingkan tanah yang hanya mengandung bakteri saja. Penelitian ini mengindikasikan peran Acanthamoeba untuk menghasilkan mineral dari penguraian bakteri yang lebih dahulu menguraikan materi organik.11 7. Infeksi Acanthamoeba pada Manusia Infeksi organisme ini pada manusia pertama kali diidentifikasi pada tahun 1960-an sebagai Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis (AGE), kemudian disusul pada tahun 1970-an sebagai AK yang dewasa ini menjadi perhatian oleh dunia kedokteran khususnya pada bagian opthalmologi.11 Organisme ini juga diketahui menyebabkan infeksi pada jaringan subkutan, kulit, hati, paru-paru, ginjal, kelenjar adrenal, pankreas, prostat, nodus limfa, dan sumsum tulang.13 8. Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis Infeksi Acanthamoeba dalam bentuk kontak langsung antara penderita dengan lingkungan (host and environment) paling sering bermanifestasi pada keadaan yang disebut Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis (AGE). Kasus ini terbilang jarang namun menimbulkan risiko yang fatal. Acanthamoeba yang hidup bebas di alam dapat menyerang manusia melalui inhalasi ataupun melalui lesi pada kulit. AGE biasanya terjadi akibat penyebaran Acanthamoeba secara hematogen melalui infeksi saluran napas bawah ataupun langsung melalui kulit yang tidak intak menuju sistem saraf pusat. Infeksi baik pada paru maupun pada kulit ini biasanya dapat menimbulkan risiko serius dalam hitungan bulan hingga tahun, namun infeksi pada sistem saraf pusat yang bermanifestasi pada AGE dapat menyebabkan risiko serius pada keadaan akut dalam hitungan hari hingga minggu.13 Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat menyerupai infeksi virus, bakteri, atau meningitis tuberculosis yaitu sakit kepala, demam, perubahan tingkah laku, hemiparesis, letargi, kaku kuduk, aphasia, ataxia, mual dan muntah, cranial nerve palsy, peningkatan tekanan intrakranial, kejang-kejang, hingga kematian. Semua gejala ini berhubungan dengan nekrosis haemoragik yang mengakibatkan iritasi selaput otak dan ensefalitis. Namun hingga saat ini belum diketahui apakah nekrosis ini disebabkan oleh trofozoit dari Acanthamoeba tersebut atau disebabkan oleh rekasi imun yang merangsang pelepasan mediator-mediator inflamasi
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
seperti sitokin. AGE biasanya terjadi pada ganglia basal, otak tengah (midbrain), batang otak, cerebral hemiparesis, mengakibatkan lesi pada parenkimal sistem saraf pusat yang berujung pada AGE. AGE lebih rentan terjadi pada pasien-pasien immunocompromised.13 9. Acanthamoeba Keratitis Acanthamoeba keratitis (AK) banyak terjadi pada pengguna lensa kontak. Hal ini biasanya diakibatkan oleh beberapa hal, seperti pemakaian lensa kontak yang terlalu lama, kebiasaan mencuci lensa kontak sembarangan, tidak melepas lensa kontak saat mandi atau berenang, higienitas yang rendah, serta pembentukan biofilm pada lensa kontak. Penelitian menunjukkan bahwa dalam 30 menit pemakaian, pada permukaan lensa kontak dapat ditemukan sakarida seperti mannosa, glukosa, galaktosa, fukosa, N-asetil-D-glukosamin, Nasetil-D-galaktosamin, Asam N-asetil neuraminat (asam sialat), dan juga protein, glikoprotein, lipid, mucin, polisakarida, kalsium, besi, silika, magnesium, natrium, laktoferin, lisozim, serta molekul imunoglobulin. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan Acanthamoeba untuk menetap di lensa kontak karena semua molekul itu berperan layaknya suatu reseptor bagi organisme ini. Keberadaan mannosa menjadi reseptor tersendiri bagi Acanthamoeba karena mengekspresikan suatu protein pengikat mannosa yang disebut mannose-binding protein (MBP). Selain itu, kecenderungan pembentukan biofilm pada lensa kontak dapat meningkatkan kemampuan Acanthamoeba untuk menetap. Biofilm ini bahkan dapat melindungi Acanthamoeba agar tidak terlepas dari lensa kontak saat dibersihkan. Lensa kontak yang terkontaminasi apabila kemudian digunakan akan memudahkan invasi langsung parasit ini menuju kornea dan menyebabkan infeksi.13 Keratitis yang disebabkan oleh Acanthamoeba tidak selalu menginfeksi pengguna lensa kontak, melainkan juga orang-orang yang tidak menggunakannya sama sekali. Penyebaran organisme ini melimpah di alam dan setiap orang berisiko untuk terinfeksi. Kebersihan serta kesehatan mata mutlak dijaga karena penelitian menunjukkan kecenderungan Acanthamoeba untuk menginfeksi kornea yang teriritasi 1,8 kali lebih besar dibandingkan kornea yang sehat.13 Infeksi Acanthamoeba hanya berlangsung ketika berada dalam fase vegetatif/trofozoit. Tidak ada bukti yang menunjukkan kista dapat menempel pada kornea mata. Gejala awal dari penyakit ini dapat terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah infeksi, bergantung kepada ukuran inokulum dari Acanthamoeba dan juga luas dari trauma kornea. Kebanyakan kasus Acanthamoeba keratitis menampilkan gejala klinis berupa produksi air mata berlebih,
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
defek epitel, fotofobia, tenda-tanda inflamasi seperti mata kemerahan, infiltrasi stroma, edema, serta nyeri yang ekstrim dan tidak tertahankan yang disebabkan oleh neuritis radial, degradasi epitel dan abses stromal dengan konsekuensi terburuk berupa hilangnya kemampuan penglihatan. Gejala-gejala lainnya dapat berupa uveitis anterior, perforasi stroma, serta inflamasi pada sklera.13 Bakteri dapat menyebabkan infeksi sekunder yang membuat kasus ini menjadi lebih rumit. Glaukoma merupakan tanda umum yang dilaporkan, sementara yang lain dapat berupa edema saraf, atrofi optik, serta pelepasan retina. Pada kasus Acanthamoeba keratitis yang tidak ditangani, kebutaan menjadi hasil akhir akibat nekrosis yang meluas hingga ke bagian lebih dalam dari jaringan mata.13 10. Respon Imun Infeksi Acanthamoeba Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberadaan Acanthamoeba yang melimpah di alam tidak serta-merta menjadi faktor penentu keberhasilannya menginfeksi manusia. Ada 3 hal yang harus senantiasa diperhatikan dalam proses terjadinya penyakit, yakni: host-agentenvironment. Faktor host berkaitan dengan kekebalan tubuh/sistem imun penderita, faktor agen berhubungan dengan virulensi dari Acanthamoeba, sementara lingkungan merupakan higienitas
dan
kecenderunga
kontak
dengan
organisme
penginfeksi.
Pada
kasus
Acanthamoeba granulomatosa ensefalitis, misalnya, lebih rentan menyerang pasien-pasien yang berada dalam status imun yang kurang baik/immunocompromised. Berbeda dengan Acanthamoeba keratitis yang bahkan dapat menyerang orang dengan status imun yang baik sekalipun. Hal ini mengindikasikan pentingnya peran respon imun dalam infeksi Acanthamoeba.13 Pada Acanthamoeba keratitis, sekret kelenjar lakrimal (air mata) serta gerakan kelopak mata memiliki peranan penting. Kornea merupakan jaringan yang tidak mengalami vaskularisasi sehingga Acanthamoeba cenderung lebih tertarik menempel di situ daripada di konjungtiva yang kaya akan pembuluh darah. Hal ini untuk menghindari respon imun melalui infiltrasi leukosit. Namun, tidak ada bagian dari dalam tubuh kita yang tidak terproteksi. Pada kornea, peran air mata sangatlah penting. Ketika terjadi adhesi Acanthamoeba pada kornea, kelenjar lakrimal akan segera merespon dengan mensekresikan sejumlah besar air mata untuk membersihkan kornea. Selain itu, pada air mata juga dapat ditemukan sejumlah besar antibodi non-spesifik, seperti lisozim, laktoferin, lisin-b, sIgA, prostaglandin, dan banyak perangkat
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
anti mikroba lainnya. sIgA diketahui berperan dalam mencegah adhesi antara Acanthamoeba dengan kornea. Mekanismenya belum diketahui dengan pasti, namun diduga sIgA dapat menggangu proses pembentukan suatu protein berupa adhesin yang dihasilkan oleh Acanthamoeba. Bagaimana mekanisme spesifik mengenai sekresi air mata ini belum diketahui secara pasti. Gerakan kelopak mata berperan untuk menyapu dan mengeluarkan parasit ini dari mata. Namun, apabila usaha ini tidak berhasil, maka kelopak mata akan mendorong organisme ini menuju konjungtiva, yang nantinya akan dieliminasi melalui respon imun humoral atau seluler.13 Hasil penelitian AGE pada hewan coba menunjukkan bahwa aktivasi komplemen merupakan sistem pertahan pertama yang muncul akibat infeksi Acanthamoeba pada sistem saraf pusat. Aktivasi komplemen ini meliputi tiga cara: claasical pathway yaitu pengaktifan oleh suatu jenis antibodi yang terdapat pada permukaan tubuh Acanthamoeba, alternative pathway yang diaktifkan melalui opsonisasi, dan mannose-binding lectin pathway pengaktifan oleh suatu komponen yang terdapat pada permukaan tubuh patogen. Efeknya berupa deposisi dari protein komplemen. opsonisasi kemudian dilanjutkan dengan fagositosis amoeba atau melalui pembentukan membrane attack complex (MAC) yang berakibat kepada kematian sel target.13
Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan subyek penelitian adalah mahasiswa S1 FKUI. Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan bulan Mei hingga Juni 2013. Desain penelitian cross-sectional digunakan dalam penelitian ini karena peneliti hendak melakukan observasi atau pengukuran variabel hanya pada satu saat tertentu. Populasi target dari penelitian ini adalah mahasiswa FKUI yang menggunakan lensa kontak. Sementara, populasi yang terjangkau adalah mahasiswa FKUI tingkat I, II dan III yang menggunakan lensa kontak. Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yang dipilih melalui consecutive sampling. Besar sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 107 orang dengan kriteria inklusi yaitu mahasiswa tingkat I,II, dan III Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang menggunakan lensa kontak dan bersedia mengisi kuesioner. Pengumpulan data dilakukan
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
dengan bantuan menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa aktif yang sedang menempuh pendidikan di FKUI tingkat I, II, dan III pada tahun ajaran 2012/2013. Setelah dikumpulkan, data diverifikasi, diedit, dan dikoding. Kemudian data dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program SPSS untuk Windows versi 11,5. Kemudian, data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik disertai dengan penjelasan yang bersifat analitik. Untuk melihat ada-tidaknya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen, digunakan analisis dan uji statistik menggunakan uji statistik chi-square; dengan alternatif uji Fisher jika distribusi data tidak normal, yaitu saat nilai expected count less than 5 lebih dari 20%. Uji ini digunakan karena kedua variabel yang diteliti adalah data berjenis kategorik. Terakhir, dicari nilai kemaknaan (p). Tingkat pengetahuan responden diukur berdasarkan skala likert. Lima soal yang diujikan pada kuesioner apabila dijawab sempuna akan menghasilkan skor maksimal 10. Setiap jawaban yang benar diberi skor 2 dan yang salah diberi skor 0. Tingkat pengetahuan baik, sedang, dan buruk diinterpretasikan berdasarkan total skor yang diperoleh responden dimana skor 0-3 dikategorikan “kurang”; total skor 4-7 dikategorikan “cukup”; dan total skor 8-10 dikategorikan “baik”.
Hasil Penelitian Jumlah responden yang mengisi kuesioner adalah 107 orang, dimana terdapat 10 orang yang di-drop-out, sehingga total sampel menjadi 97 orang. Tabel 1 memaparkan persebaran karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Tabel 1. Persebaran Karakteristik Responden Karakteristik Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Kategori Variabel
N
%
Laki-‐laki
23
23,7
Perempuan
74
76,3
Tingkat I
36
37,1
Tingkat II
19
19,6
Tingkat III
42
43,3
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Jumlah responden perempuan yang mengisi kuesioner lebih banyak 3,2 kali dibandingkan responden laki-laki. Sementara itu, mahasiswa tingkat III menjadi responden yang paling banyak mengisi kuesioner (43,3%), disusul oleh mahasiswa tingkat I (37,1%), dan terakhir tingkat II (19,6%). Grafik 1 memperlihatkan persebaran jenis kelamin terhadap tingkat pendidikan responden. 80 70 60 Jumlah
50 40 30 20 10 0
Laki-‐Laki
Perempuan
Tingkat I
13
23
Tingkat II
2
17
Tingkat III
8
34
Total
23
74
Grafik 1. Persebaran Jenis Kelamin terhadap Tingkat Pendidikan Jumlah responden laki-laki didominasi oleh mahasiswa tingkat I (13 orang), disusul oleh mahasiswa tingkat III (8 orang), dan mahasiswa tingkat II (2 orang). Sementara itu, jumlah responden perempuan didominasi oleh mahasiswi tingkat III (34 orang), disusul oleh mahasiswi tingkat I (23 orang), dan mahasiswa tingkat II (17 orang). Grafik 2 memperlihatkan tingkat pengetahuan responden terhadap etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba.
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Tingkat Pengetahuan 50
Persentase
40 30 20 10 0 Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
18.6
41.2
40.2
Grafik 2. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai Etiologi & Patofisiologi Infeksi Acanthamoeba Tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba umumnya berada dalam rentang kurang hingga cukup. Hanya 18,6 % mahasiswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Tabel 2 memaparkan hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Tabel 2. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Karakteristik Responden Karakteristik Responden
Kategori
Tingkat Pengetahuan Baik
Sedang
Buruk
Laki-‐laki
5
9
9
Perempuan
13
31
30
Tingkat I
2
9
25
Tingkat II
1
5
13
Tingkat III
15
26
1
Jenis Kelamin
0,902
Tingkat Pendidikan
Nilai Kemaknaan (P)
0,000
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Uji
Chi-‐ square Chi-‐ square
Analisis data dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap jenis kelamin responden (p=0,902; p>0,05), tetapi terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap tingkat pendidikan mahasiswa (p=0,000; p<0,05).
Pembahasan 1. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Etiologi dan Patofisiologi Infeksi Acanthamoeba Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan antara sedang hingga buruk. Hanya 18,6% responden yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba. Secara umum, hal ini cukup mengkhawatirkan dimana mahasiwa yang menjadi responden seluruhnya menggunakan lensa kontak yang merupakan faktor risiko utama dari infeksi yang dapat ditimbulkan oleh Acanthamoeba pada mata. Penyebab utama dari permasalahan ini adalah kurangnya sosialisasi mengenai permasalahan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat infeksi Acanthamoeba. Kurangnya sosialisasi sendiri disebabkan oleh prevalensi AK yang masih sedikit. Selain itu, manifestasi klinis dari AK yang tidak khas kerap kali salah didiagnosis sebagai infeksi virus, khususnya infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) sehingga menyebabkan kasus ini tidak populer di masyarakat.5
2. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan statistik perempuan yang terdaftar sebagai responden lebih banyak sekitar 3 kali lipat dibandingkan laki-laki. Jumlah tersebut menggambarkan kenyataan di masyarakat bahwa pengguna lensa kontak didominasi oleh kaum wanita. Kosmetika mungkin menjadi alasan utama di balik pernyataan ini. Fakta ini menjadi risiko tersendiri bahwa wanita lebih rentan terinfeksi dibandingkan pria. WHO memberikan pendapat yang berbeda. Konferensi WHO tahun 2010 di Jenewa, Swiss, yang terangkum dalam A Conceptual Framework for Action on the Social Determinants of Health menyatakan bahwa kaum perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan kaum pria, khususnya pada negara berkembang. Hal ini diakibatkan oleh sistem
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
paternalistik yang mendiskriminasi kaum wanita sehingga sulit mendapatkan layanan pendidikan, termasuk pendidikan kesehatan.14 Penelitian serupa pada bagian mata yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ramesh Ve Sathyamangalam dkk (2009) mengenai faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap kewaspadaan dan tingkat pengetahuan mengenai glaukoma pada kawasan urban di Chennai, India. Salah satu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kaum pria memiliki tingkat pengetahuan dan kewaspadaan yang lebih rendah dibandingkan kaum wanita mengenai bahaya glaukoma. Hal ini disebabkan oleh pembagian tanggung jawab dimana urusan rumah tangga, termasuk kesehatan, menjadi tanggung jawab kaum wanita.15 Namun, analisis data pada hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan responden mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba dengan jenis kelamin justru membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut. Jika melihat alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka logis jika hasilnya demikian. Responden tidak ada yang mengalami masalah diskriminasi sama sekali sehingga tidak ada alasan untuk menyatakan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan jenis kelamin. Pernyataan berikutnya yang mengungkapkan bahwa pembagian tanggung jawab antara kaum perempuan dan laki-laki berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan juga tidak dapat menjadi alasan karena semua responden masih berusia muda dan belum ada yang menikah.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Responden dengan Tingkat Pendidikan WHO (2010) menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh besar terhadap tingkat pengetahuan seseorang akan kesehatan. Alasan tersebut dijelaskan ke dalam 3 hal: pematangan fungsi kognitif, reseptibilitas terhadap pesan-pesan kesehatan, dan komunikasi yang efektif untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan.14 Paula Braveman (2011) juga mengungkapkan hal yang senada. Pendidikan berpengaruh terhadap status sosioekonomi dan status kesehatan seorang individu. Selain itu, status pendidikan juga berbanding lurus dengan pengetahuan terhadap penyakit infeksi, baik penularan, pencegahan, maupun tatalaksananya.16 Hasil penelitian ini juga membuktikan hal yang serupa bahwa tingkat pendidikan responden berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mereka mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
Acanthamoeba. Tingkat III secara signifikan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat I dan II. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem kurikulum di kampus FKUI dimana tingkat III sendiri sudah melalui beberapa modul yang terkait dengan penelitian ini, seperti penginderaan dan infeksi-imun.
Kesimpulan 1. Berdasarkan tingkat pengetahuan responden terbagi menjadi responden dengan pengetahuan kurang sebanyak 39 orang (40,2%), pengetahuan cukup sebanyak 40 orang (41,2%), dan pengetahuan baik sebanyak 18 orang (18,6%). 2. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba dengan jenis kelamin responden. 3. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba dengan tingkat pendidikan responden.
Saran Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada mahasiswa pengguna lensa kontak mengenai Acanthamoeba Keratitis.
Daftar Pustaka 1. Mergeryan H. The Prevalence of Acanthamoeba in the Human Environment. Reviews of Infectious Diseases. 1991; 13:390-1 2. Shoff ME, Rogerson A, Kessler K, Scahtz S, Seal DV. Prevalence of Acanthamoeba and other naked amoebae in South Florida domestic water. Journal of Water and Health. 2008; 6(1): 99-105 3. Davamani F, Gananaselvan J, Anandakannank, Sridhar N, Sundararaj T. Studies of the Prevalence of Acanthamoeba Keratitis in and Around Chennai. Indian Journal of Medical Microbiology. 1998: 16(4): 152-3
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014
4. Teixeira LH, Rocha S, Pinto RMF, Caseiro M, Da Costa SOP. Prevalence of Potentially Pathogenic Free-Living Amoebae from Acanthamoeba and Naegleria Genera in NonHospital, Public, Internal Environments from the City of Santos, Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 2009; 13(6):395-7 5. Kovacevic D, Misljenovic T, Misljenovic N, Mikulicic M, Dabeska-Novkovski D. Acanthamoeba Keratitis-Importance of The Early Diagnosis. Collegium Antropologicum. 2008; 32(2): 221-4 6. Kamel AGM., Faridah H, Yusof S, Norazah A, Nakisah MA. A case of trauma related Acanthamoeba keratitis. Trop Biomed. 2004; 21(2): 135-8 7. Zhang S, Ahearn DG, Stulting RD, Crow SA. Survival and Distribution of Fusarium and Acanthamoeba in drying MPS. Presentation at 2008 ARVO meeting. Florida 8. Manikandan P, Bhaskar M, Revathy R, John RK, Narendran V, Pannerselvam K. Acanthamoeba Keratitis – A Six Year Epidemiological Preview from A Tertiary Care Eye Hospital in South India. Indian Journal of Medical Microbiology. 2004; 22(4):226-30 9. Stockman LJ, Wright CJ, Visvesvara GS, Fields BS, Beach MJ. Prevalence of Acanthamoeba spp. and other free-living amoebae in household water, Ohio, USA, 19901992. Parasitology Research. 2011; 108(3): 621-7 10. Matin A, Ismail M, Mehmood K. Acanthamoeba castellanii. antibody prevalence among diverse tribal Pakistani population. Retrovirology. 2012; 9(1): 47 11. Siddiqui R, Khan NA. Biology and Pathogenesis of Acanthamoeba. Parasites and Vectors. 2012; 5(6): 1-13 12. Cabral FM, Cabral G. Acanthamoeba spp. as Agents of disease in human. Clin.Microbiol.Rev. 2003; 16(2): 273 13. Khan NA. Acanthamoeba: biology and increasing importance in human health. FEMS Microbiol.Rev. 2006; 30: 564-95 14. World Health Organization. A Conceptual Framework for Action on the Social Determinants
of
Health.
[cited
2013
Aug
15].
Available
from
URL:
www.who.int/entity/ConceptualframeworkforactiononSDH_eng.pdf 15. Sathyamangalam RV, Paul PG, George R, et al. Determinants of glaucoma awareness and knowledge in urban Chennai. Indian J Opthalmology. 2009; 57(5): 355-60 16. Braveman, Paula. Accumulating Knowledge on the Social Determinants of Health and Infectious Disease. 2011; 126(3): 28-30
Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014