DISTRIBUSI DAN POPULASI
Elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus DI SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGAH
Pupung F Nurwatha
Zaini Rahman
Wahyu Raharjaningtrah
Pro Natura Fund Y P A L l
l
l
KREDIT KOORDINATOR PENELITIAN Wahyu Raharjaningtrah TIM SURVEI Pupung F Nurwatha, Zaini Rakhman, Wahyu Raharjaningtrah TIM PEMBUAT LAPORAN Penulis : Pupung F.Nurwatha, Zaini Rakhman Tata letak : Pupung F. Nurwatha, Zaini Rakhman Illustrasi : Dwija Putra Photo : Zaini Rakhman, Pupung F Nurwatha EDITOR Idah Faridah, Titis E. Widuri, Muchammad Muchtar, Iwan Setiawan. SPONSOR Pro Natura Fund @ Yayasan pribumi Alam Lestari, 2000 ISBN 979-9319-05-6X
KUTIPAN Nurwatha, P.F., Z. Rakhman, and Wahyu Raharjaningtrah. 2000. Distribusi dan Populasi Elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah Yayasan Pribumi Alam Lestari, Bandung.
Publikasi Laporan ini didukung oleh THE GIBBON FOUNDATION P.O. Box. 7610 JKP Jakarta 10076 Indonesia
i
KATA PENGANTAR Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) tengah menjalankan program penelitian jenis-jenis burung pemangsa (raptor) yang ada di Indonesia. Fokus penelitian dilakukan terhadap genus Spizaetus, terutama yang endemik Indonesia. Setelah tahun lalu melakukan studi mengenai Elang Jawa, maka fokus studi saat ini diarahkan pada pemahaman mengenai status, distribusi dan populasi Elang Sulawesi. Wilayah Sulawesi sendiri tengah mengalami
deforestasi, oleh karena itu program ini tidak
sekedar melakukan studi raptor namun diupayakan untuk memahami kondisi hutan-hutan Sulawesi sebagai habitat sebagian besar jenis-jenis raptor dan "jiwa" Sulawesi. Sehubungan dengan hal tersebut dan juga untuk lebih memudahkan mengingat nama (eye-catcher), program ini kami beri nama Soul of Sulawesi (SoS). Laporan ini menyajikan penyebaran Elang Sulawesi beserta catatan lokasi pertemuannya di Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah dan kajian mengenai penyebaran berdasarkan ketinggian tempat, perkiraan populasi, habitat yang dibutuhkan burung tersebut dan aspekaspek konservasinya. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi para pembuat keputusan sebagai bahan masukan bagi upaya-upaya penyelamatan kekayaan keanekaragaman hayati Sulawesi, lebih jauhnya pada pengelolaan hutan Sulawesi sebagai "jiwa" pulau ini.
Bandung, November 2000
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) mengucapkan terima kasih kepada Pro Natura-NAC-J atas dukungan dana untuk program ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Yuko INUI dari MNS-BirdLife Asia yang sangat membantu kami sehingga program ini terwujud. Tak lupa diucapkan terima kasih kepada Dr. Siti Nuramaliati P dari Puslibang Zoologi LIPI yang telah membantu perijinan, dan kepada Kepala Dirjen PKA yang telah memberi kami ijin penelitian di kawasan konservasi, kepada Iwan Setiawan (ketika masih di BirdLife International-IP) atas penyediaan peta-peta, Dr. Jean Marc Thiollay yang telah menemani kami selama survey di seluruh Sulawesi Tengah dan atas masukan-masukannya yang sangat berharga. Atas dukungan, fasilitas dan kerjasama yang baik dalam proses penelitian, kami haturkan banyak terima kasih kepada Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Kanwil Kehutanan Sulawesi Tengah; Bapak Kepala Unit KSDA I Sulsel; Bapak Hudiyono Kepala BKSDA Sulawesi Tengah beserta staff; Bapak Edy Purwanto Kepala Unit KSDA II Susel; Pak Lahuddin, Pak Safruddin, Pak Tajuddin (CA Bulusaraung); Pak Benyamin (TWA Pattunuang); Pak Jamaluddin (CA Bantimurung), Pak Yohanes Tato, Pak Yusrif, Pak Ardi, Pak Sudarto (SM Mampie-Lampoko); Pak Burhanudin, Pak Samuel, Pak Luther (Nanggala III); Pak Mustafa, Pak Yahya, Pak Sahril, Pak Suwardin, Pak Andarias, Pak Jupri, Pak Edi, Pak Muslim, Pak Hartono, Pak Safril (CA Kalaena & Faruhumpenai); Pak Safarudin, Pak Mustamin (TWA Towuti); Pak Iskandar dan Pak Iqbal (yang menyertai kami ke Danau Tempe); Bapak Samuel (TWA Wera), Bapak Esra, Bapak Luther (Balumpewa), Bpk Zakarias (Simoro) Sub. Seksi Kulawi TN Lore-Lindu, Bpk Masri (Sidaunta) Sub Seksi Kamarora TN Nasional Lore-Lindu, dan seluruh staf Sub Seksi KSDA Tolitoli. Selama survey lapangan kami mendapat dukungan baik moril maupun materil dari warga Sulawesi, terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami haturkan kapada Bapak dan Ibu Wahid Hasyim sekeluarga atas ketulusan, pengertian dan keramah-tamahannya menerima kami di Ujung Pandang, juga untuk Bapak dan Ibu Luqman Hakim dan Taufik Hidayat (Palopo), Bapak dan Mama Bandaso (WALDA-Rantepao), seluruh staff Yayasan Sahabat Morowali, Keluarga Bapak Kantu R (Reatoa), Bapak Sakka (Bontosiri), Bapak Syukur (Mampie), Bapak Hasan (Nanggla), Bapak Kadus Matano (Matano), Bapak. Masnudin Larie Kepala Desa Pakuli, juga semua orang yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu di sini, sekali lagi terima kasih.
ii
RINGKASAN Laporan penelitian ini berhasil menyajikan informasi penting yaitu: C
Diketahui terdapat 36 tempat dimana Elang Sulawesi pasti berada, 11 tempat di Sulawesi Selatan dan 25 tempat di Sulawesi Tengah. Bantimurung diketahui sebagai daerah sebarannya paling selatan di daratan Sulawesi.
C
Elang Sulawesi banyak terdapat pada ketinggian antara 0-800m, wilayah dimana terdapat hutan dataran rendah dan hutan perbukitan. Jenis ini nampaknya cenderung untuk menempati ketinggian antara 600-800m sebagai konsekuensi dari semakin berkurangnya hutan dataran rendah.
C
Jumlah populasi di seluruh lokasi survey dipertimbangkan berkisar antara 254-306 pasang, sebanyak 60-71 pasang di Propinsi Sulawesi Selatan dan 194-235 pasang di Sulawesi Tengah. Jumlah perkiraan populasi ini hanya terbatas pada wilayah yang disurvey, belum mencakup kawasan berhutan lainnya yang diprediksi terdapat populasi Elang Sulawesi.
C
Elang Sulawesi diketahui menempati hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan batu kapur dan hutan monsun dan tidak terdapat di hutan mangrove, savana, terna rawa (marshes), hutan mono-kultur dan lahan pertanian. Hutan dataran rendah adalah wilayah dimana jenis burung ini paling sering dijumpai dibandingkan dengan tipe hutan lainnya.
C
Ancaman bagi keberlangsungan populasi elang Sulawesi terdapat di hampir seluruh lokasi yang dikunjungi dengan intensitas ancaman yang berbeda.
C
Perluasan kebun yang lebih cenderung sebagai bentuk deforestasi saat ini tercatat di bagian utara Sulawesi Selatan dan di daerah Toli-toli Sulawesi Tengah. Ancaman dari perusakan (degradasi) kawasan hutan meliputi perburuan liar, penebangan liar, pengambilan rotan dan perambahan lahan lebih sering terjadi di Sulawesi Tengah.
C
Masyarakat setempat menganggap semua jenis elang merugikan karena memangsa ayam yang mereka pelihara, namun biasanya mereka tidak terlalu peduli. Mereka juga tidak terlalu tertarik dengan penangkapan elang untuk dijual. Tidak ada informasi mengenai penjualan elang baik di masyarakat maupun di pasar burung (pasar Todopuli, Makassar dan Palu).
C
Upaya-upaya peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian elang, khususnya elang Sulawesi telah dilakukan melalui penyebaran poster pelestarian elang Sulawesi di seluruh wilayah Sulawesi.
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
UCAPAN TERIMA KASIH ...............................................................................
ii
RINGKASAN ...............................................................................................
iii
I
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1
Elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus ...............................................
2
1.2
Sekilas Pulau Sulawesi ...................................................................
2
II
METODA .............................................................................................
4
2.1
Seleksi dan lokasi survey ...............................................................
4
2.2
Pengumpulan data ........................................................................
5
HASIL DAN DISKUSI ............................................................................
7
3.1
Situasi umum ...............................................................................
7
3.2
Disribusi Elang Sulawesi .................................................................
8
3.3
Distribusi Altitudinal ......................................................................
11
3.4
Perkiraan Populasi dan Status..........................................................
11
3.5
Habitat ........................................................................................
14
3.6
Ancaman ......................................................................................
15
3.7
Konservasi ....................................................................................
16
KESIMPULAN ........................................................................................
18
Rencana Studi Selanjutnya ....................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
20
III
IV
Lampiran I
Lokasi observasi dan catatan perjumpaan dengan Elang Sulawesi
Lampiran II
Tipe vegetasi di setiap titik pengamatan
Lampiran III
Spesies burung pemangsa yang dijumpai selama survey
Lampiran IV
Daftar spesies burung yang tercatat selama survey
1
I PENDAHULUAN Sulawesi adalah sebuah pulau dengan segala keunikan, baik bentuk pulau itu sendiri yang mirip huruf K, masyarakatnya dan terutama faunanya yang kaya akan jenis-jenis endemik, mungkin paling kaya diantara semua pulau di dunia. Pulau ini terletak di wilayah Wallacea yang secara biogeografis merupakan wilayah perpaduan antara fauna benua Asia dengan Australia. Kekayaan endemisitas avifauna pulau ini masih belum banyak diketahui dengan baik (Holmes & Phillips, 1989 & Coates dkk, 1997), sehingga telah menjadi impian para ornithologiwan untuk terus mempelajarinya. Keunikan avifauna Sulawesi dapat tergambar dari pengalaman Derek Holmes (1989), seorang ornithologiwan yang secara simbolik menggambarkan perbedaan nyata antara fauna yang ada di pulau Kalimantan tetangga terdekatnya. Kalimantan yang mewakili fauna wilayah Oriental memiliki banyak jenis burung penyanyi sehingga suasana hutan seperti sedang berada dalam sebuah orkestra alam. Sulawesi adalah kebalikannya karena sebagian besar burung penyanyi tersebut tidak sampai di pulau ini, sehingga kalau secara tiba-tiba seorang pengamat burung berpidah dari Kalimanatan ke Sulawesi akan merasa seperti telah melompat ke benua baru yang sama sekali berbeda. Lebih jauh Holmes merasakan hilangnya suara nyanyian keceriaan burung yang dia dengar di Kalimantan berganti dengan suasana duka dan gelisah dari suara burung di Sulawesi. Barangkali ilustrasi ini sedikit berlebihan, namun melihat keadaan Sulawesi saat ini dimana hutannya terus berkurang secara drastis, suara melankolis burung-burung Sulawesi telah menjadi kenyataan. Ciri khas Avifauna Sulawesi adalah ketergantungannya yang kuat terhadap hutan (Holmes & Phillipps, 1989; Coates dkk. 1997). Saat ini diketahui bahwa hutan dataran rendah Sulawesi telah habis (Kompas, 2000), lebih cepat dari Sumatra dan Kalimantan. Avifauna yang hidupnya mulai terdesak dengan semakin berkurangnya luas hutan diantaranya adalah spesies-spesies burung pemangsa endemik Sulawesi. Di pulau ini terdapat 30 jenis burung pemangsa diurnal, enam jenis di antaranya endemik (Andrew, 1992). Salah satu burung pemangsa endemik yang terdesak hidupnya adalah Elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus). Nasib Elang Sulawesi akan seperti kerabat dekatnya yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) bila upaya-upaya penyelamatannya tidak dilakukan sejak sekarang. Elang Jawa endemik untuk pulau Jawa yang menyandang status 'rentan' dan tercantum dalam appendix II CITES (Andrew, 1992; Shannaz, dkk., 1995), populasinya yang sangat kecil tersisa di kawasan hutan Jawa yang sangat terbatas (van Balen, 1991; Sozer & Nijman 1995, Sozer dkk., 1998, Setiady, 2000 inprep), sementara status Elang Sulawesi 'mendekati terancam punah' dan termasuk appendix II CITES (Shannaz, dkk., 1995; WCMC, 1998). Upaya pelestarian Elang Sulawesi perlu segera dilakukan sebelum benar-benar berada diambang kepunahan. Promosi pelestarian jenis ini dapat dijadikan sebagai sebuah jalan masuk (entry point) terhadap upaya penyelamatan hutan sebagai tempat hidupnya. Menyelamatkan hutan Sulawesi sangat berarti bagi kelangsungan hidup keragaman hayati khas Sulawesi dan berarti juga untuk seluruh masyarakatnya. Informasi mengenai elang Sulawesi sampai saat ini masih sangat terbatas dan sedikit diketahui. Dengan demikian penelitian dasar dan kajian status Elang Sulawesi menjadi sangat penting terutama burung ini merupakan salah satu
2 burung endemik yang dianggap lebih rentan terhadap kepunahan, karena ketergantungannya yang sangat tinggi terhadap hutan
1.1
Elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus
Deskripsi singkat: Elang-alap berukuran sedang, 56-64 cm, tanpa bulu jambul yang mencuat. Bulu dewasa: sayap dan bagian belakang/punggung coklat gelap, sisi atas bulu ekor coklat gelap dengan empat palang hitam, sisi bawah abu-abu coklat dengan tiga palang hitam dan abu-abu coklat di ujung bulu ekor; kepala dan tengkuk coklat gelap; garis moustachial dan mesial coklat gelap sampai kehitaman pada tenggorokan abu-abu kecoklatan. Dada merah karat sampai coklat berangan dengan bintik-bintik hitam yang sangat kecil, perut dan bagian bawahnya coklat karat dengan berpalang putih; cakar cukup panjang dengan garis-garis halus coklat kotor dengan bulu penutup bawah kaki yang kuning terang (Brown & Amadon, 1968). Warna paruh dan kuku tidak diketahui, namun tampaknya sama dengan spesies lain. Panjang sayap 335-402 mm, indeks ekor/sayap 69-74%, rata-rata indeks tarsus/sayap 23% (Sozer & Nijman, 1995). Suara: Sampai umur satu tahun pertama mengeluarkan suara berulang-ulang dengan cepat "kee-kee-kee" (42-50 kali per 10-11 detik: Van Balen, 1991). Wilayah sebaran (range): Sulawesi (Indonesia) dan pulau-pulau di sekitarnya yaitu Muna, Butung, Banggai dan Sula (del Hoyo dkk,. 1994; Coates dkk., 1997) Distribusi dan status: Hutan dataran rendah dan pegunungan dari 250m sampai lebih dari 1500m (White & Bruce, 1968); menghuni hutan primer dan hutan pamah sekunder yang tinggi, hutan perbukitan dan hutan pegunungan, kadang hingga pedesaan yang terbuka. Sedikit terpencar tapi tersebar luas mulai dari permukaan laut sampai 2300 m dpl (Coates dkk., 1997), Meyburg dan Van Balen (1994) menyatakan sebagai jenis yang tidak jarang. Kebiasaan: Elang Sulawesi cenderung untuk berburu dari tajuk hutan sebaik di daerah terbuka dalam hutan. Tercatat bersarang pada bulan Agustus di pohon besar pada ketinggian 1600m (Burton, 1989). Catatan penelitian: Penelitian mendasar seperti keberadaan, distribusi dan populasi elang Sulawesi belum banyak dilakukan, catatan yang ada lebih banyak diperoleh dari catatan anekdotal para pengamat burung. Watling (1992) menduga Elang Sulawesi sebagai spesies burung pemangsa yang jarang. Catatan lain di peroleh dari Baltzer (1998) sebagai hasil monitoring avifauna Pulau Buton dari tahun 1995 - Mei 1997 menunjukkan bahwa di pulau tersebut jenis ini tersebar luas namun tidak sering dijumpai. Meyburg dan van Balen (1994) telah melakukan penelitian lebih luas pada pengaruh perusakan hutan dan kepadatan penduduk terhadap populasi jenis-jenis burung pemangsa diurnal di Sulawesi, dan mereka menyebutkan bahwa Elang Sulawesi termasuk jenis yang tidak jarang.
1.2
Sekilas Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi memiliki fauna yang unik sebagai akibat dari posisi dan evolusi di dalam zona geologi yang kompleks, yang menghubungkan anak Benua Sunda dan Sahul (Australo- Papua).
3 Zona peralihan ini oleh para biologiwan dikenal sebagai kawasan Wallacea. Nama kawasan zona peralihan ini diambil dari nama seorang biologiwan Inggris, Alfred Russel Wallace. Kawasan Wallacea terdiri dari ribuan pulau yang terletak di kawasan Oriental dan Australia. Pulau-pulau ini dikelompokkan menjadi tiga: (i) Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya, termasuk kepulauan Banggai dan Sula; (ii) Kepulauan Maluku, dan (iii) Kepulauan Nusa Tenggara. Batas sebelah barat wilayah ini dibatasi oleh garis imajiner yang disebut garis Wallacea mulai dari Timur Laut ke Barat Daya, mengikuti dangkalan Sunda di sepanjang bagian timur pulau Kalimantan dan Bali. Garis ini menandai peralihan antara fauna dan flora Oriental di bagian barat dengan di kawasan Wallacea di sebelah timurnya. Batas timur kawasan Wallacea adalah garis imajiner kedua yang dikenal dengan garis Lydekker. Garis ini mengikuti kontur sisi barat Dangkalan Sahul, sehingga memisahkan fauna dan flora kawasan Austro-Papua di sebelah timur dengan kawasan Wallacea di sebelah barat. Sebelah utara kawasan Wallacea adalah Filippina dan selatannya adalah Samudra Indonesia. Sebagai pulau yang berada di antara dua kawasan benua, pulau Sulawesi merupakan bagian dari kawasan Wallacea yang telah menjadi rumah bagi elemen fauna campuran Oriental dan Australia yang mengagumkan dan menjadi arena evolusi jenis burung endemik yang luar biasa banyaknya (Coates dkk, 1997). Sebagian kawasan Sulawesi berbukit-bukit sampai pegunungan dan sebagian besar daratannya berada pada ketinggian 500m dan sekitar 20% dari daratannya di atas ketinggian 2000m. Daratan Sulawesi menaik dengan cepat dari pesisir menyusuri bukit-bukit sempit dan kemudian sampai ke kawasan berbukit atau bergunung. Sungai-sungainya curam dan pendek. Tinggi gunungnya biasanya 2000m atau lebih di setiap lengan; blok dataran tertinggi terletak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan bagian utara dan mencapai ketinggian maksimum 3.440m di Gn. Rantemario (Sulawesi Tengah) (Coates, dkk. 1997). Komunitas vegetasi Sulawesi yang paling kaya dan paling beragam secara biologis adalah hutan-hutannya. Keragaman tumbuhan tertinggi berkembang di dataran rendah dan perbukitan bawah, baik di atas tanah yang drainasenya baik maupun tanah vulkanis basah. Hutan-hutan ini mengandung jumlah jenis pohon terbanyak di antara semua tipe hutan di pulau ini (Coates, dkk., 1997). Dalam satu penelitian tercatat 408 jenis pohon berukuran sedang sampai besar dalam petak seluas satu hektar (Whitten dkk. 1987). Avifauna sub-kawasan Sulawesi terdiri dari 380 jenis, 96 jenis diantaranya endemik subkawasan ini, yang merupakan 25% dari total avifauna, sedang 115 jenis di antaranya termasuk endemik Indonesia (Holmes & Phillipps, 1989). Lebih dari 56 jenis hanya terbatas di Sulawesi dan/atau pulau-pulau satelitnya termasuk Talaud, Sangihe, Banggai dan kepulauan Sula. Subkawasan Sulawesi mendukung avifauna terkaya, jenis endemiknya paling tinggi dan paling beragam di kawasan Wallacea (Coates, dkk., 1996). Di daratan utama Sulawesi terdapat avifauna penetap sekitar 224 jenis burung darat dan air tawar, 41 jenis diantaranya adalah endemik. Sebagian besar jenis-jenis endemik ini terutama berada di pegunungan. Pulau-pulau pegunungan yang penting seperti Lampobattang, pegunungan di semenanjung selatan mendukung jenis endemiknya sendiri, yaitu burung Sikatan Lampobattang (Ficedula bonthania) dan sejumlah subjenis lainnya yang khas (Coates, dkk., 1997). Wilayah Sulawesi juga mendukung sekitar 30 jenis burung pemangsa diurnal, enam jenis di antaranya endemik wilayah ini dan enam jenis termasuk burung pengembara (Andrew, 1992).
4
II METODA Metoda yang biasa digunakan untuk observasi burung pemangsa hutan tropis adalah didasarkan pada kesempatan perjumpaan dengan burung tersebut. Melakukan survey pada areal yang luas dengan waktu yang relatif terbatas untuk kelompok burung 'pemalu' menghendaki adanya pemusatan perhatian khusus di kawasan yang lebih kecil yang menjamin bahwa pencarian berlangsung efektif (Bibby, dkk., 2000). Berdasarkan pengalaman melakukan observasi terhadap jenis elang satu marga dengan elang Sulawesi yaitu Elang Jawa, kami menerapkan cara observasi dengan menfokuskan penelitian terhadap kawasan berhutan. Namun demikian diketahui bahwa elang Sulawesi tersebar mulai dari tepi pantai sampai ketinggian 3000m (Coates, dkk., 1996), maka kami juga mengunjungi daerah yang memliki variasi habitat dan ketinggian tempat untuk mendapatkan gambaran habitat yang lebih spesifik bagi burung ini.
2.1
Seleksi dan lokasi survey
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa Elang Sulawesi bukan termasuk jenis burung yang jarang, namun pada kenyataanya terutama untuk wilayah Sulawesi Selatan, informasi lokasi keberadaan burung ini masih sangat terbatas. Keterbatasan informasi mengenai daerah Sulawesi,
terutama
Sulawesi
Selatan
dan
untuk
efesiensi
waktu
membuat
kami
mempertimbangkan beberapa kawasan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman nasional sebagai daerah terseleksi. Kunjungan ke daerah konservasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut masih menyisakan hutan dan merupakan kawasan yang dilindungi. Studi lapangan dilakukan di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Tengah. Survey di Sulawesi Selatan berlangsung pada awal Februari sampai pertengahan April 2000. Tujuh kawasan konservasi terpilih yaitu Suaka Margasatwa (SM) Bonto Bahari, SM MampieLampoko, Cagar Alam (CA) Kalaena, CA Bulusaraung, Taman Wisata Alam (TWA) Danau Towuti (termasuk kawasan hutan Danau Mahalona dan Danau Matano) dan CA Paruhumpenai. Kawasan terakhir disebut adalah kawasan perbukitan sampai pegunungan dan sisanya berada di dataran rendah. Beberapa lokasi tambahan yang dikunjungi berdasarkan informasi dan pertimbangan lapangan adalah kawasan hutan batu kapur CA/TWA Bantimurung-Pattunuang, kawasan pegunungan HL (Hutan Lindung) Malino, Mambuliling dan Nanggala. Observasi di wilayah Sulawesi Tengah dilakukan pada bulan Maret dan Agustus - September 2000 dengan lima kawasan konservasi terpilih yang dikunjungi yaitu TWA Air Terjun Wera, CA Morowali dan SM Tanjung Matop sebagai kawasan yang mewakili dataran rendah, dan Taman Nasional (TN) Lore-Lindu mewakili hutan berbukit sampai bergunung. Satu lokasi terpilih yang tidak sempat dikunjungi karena alasan keamanan adalah kawasan dataran rendah CA Tanjung Api. Beberapa kawasan tambahan yang dikunjungi adalah CA Gunung Tinombala, HL Pegunungan Ogoamas yang mewakili kawasan perbukitan dan pergunungan, dan beberapa tempat di dataran rendah sepanjang jalan antara Toboli-Kaweili, Tambu-Kasimbar dan Kolonedale-Morowali.
5 2.2
Pengumpulan data
Observasi dengan teknik 'pengamatan ke bawah' (look-down method) yaitu pengamatan dari atas bukit yang bisa memonitor bagian atas tajuk pohon atau dari tempat yang menguntungkan di pinggir luar atau celah hutan yang terbuka adalah cara-cara yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan burung pemangsa (Thiollay, 1996). Umumnya hari pertama pengamatan di setiap lokasi adalah mencari dan menentukan titik pengamatan yang menguntungkan (tempat terbuka, celah hutan atau puncak bukit), kemudian lokasi yang telah diamati tersebut dipantau sepanjang hari pada keesokan harinya. Lokasi yang tinggi yang memungkinkan dapat memandang luas ke seluruh area sehingga dapat mengamati burung pemangsa (raptor) dengan baik menjadi pilihan utama sebagai titik pengamatan. Pencatatan perjumpaan dengan Elang Sulawesi didasarkan pada penglihatan langsung, suara dan seri suara (terutama anak) atau perpaduan dari semua itu. Dalam identifikasi lapangan, Elang Sulawesi memiliki kemiripan yang sangat dekat dengan Sikep-madu Sulawesi (Pernis celebensis) dibandingkan dengan jenis burung pemangsa lainnya yang ada di Sulawesi. Pada dasarnya kedua jenis ini di lapangan dapat dibedakan dengan baik antara lain pada posisi bertengger, mudah dikenali melalui 'tarsus' (ruas kaki sebelum jari kaki) Sikep-madu Sulawesi tanpa bulu, kebalikannya dari Elang Sulawesi. Pada waktu terbang Sikep-madu Sulawesi telihat lebih ramping dan memiliki kepakan yang dalam (berat) serta 'palang' ekor yang tidak teratur dibandingkan dengan Elang Sulawesi. Burung pemangsa hutan tropis terkenal sebagai jenis yang sulit diobservasi, oleh karena itu identifikasi melalui suara sangat esensial. Pengenalan keberadan Elang Sulawesi melalui suaranya kami lakukan berdasarkan pada suara anak yang sangat khas dan mudah dikenali. Dalam satu hari observasi selama sekitar 6 jam di Bontosiri, kami melihat anak Elang Sulawesi bersuara dan suaranya itu kemudian dijadikan acuan untuk mendeteksi keberadaan jenis ini di lokasi lain. Suara anak ini keras dan terkesan rewel menciptakan satu seri suara "kwik - kwik kwik …" (mirip suara anak bebek, tapi jauh lebih nyaring dan melengking) yang panjang dan monoton dari awal hingga berhenti. Walaupun suara anak elang sudah dikenali, namun ketika suara anak terdengar bisanya dilakukan pengecekan ulang terhadap asal suara tersebut atau memastikan perjumpaan dengan sang induk. Untuk setiap Elang Sulawesi yang di jumpai dicatat: waktu dan lamanya observasi, nama lokasi, tipe habitat, keadaan cuaca, ketinggian pengamat dan perkiraan ketinggian burung, perkiraan jarak pengamat pada burung, tipe aktivitas (seperti 'thermal soaring', meluncur, bertengger dan macam perilaku lain), pertimbangan umur burung (anak, remaja dan dewasa), dan catatan tambahan lainnya. Untuk mengamati burung, digunakan binokuler dan sewaktu-waktu monokuler, ketinggian lokasi dicatat dengan menggunakan altimeter jam tangan Casio tipe DPX-410. Survey sepanjang jalan dengan menggunakan kendaraan (roadside survey) telah umum dilakukan ketika mempelajari jenis-jenis burung pemangsa. Cara ini dimungkinkan bila menggunakan mobil bak terbuka atau speda motor dengan kecepatan rendah. Kami melakukan survey dengan cara seperti ini di sepanjang jalan Faruhumpenai antara Salanoa dan perbatasan Sulawesi Tengah, sepanjang jalan antara Toboli-Kaweili, Tambu-Kasimbar dan KolonedaleMorowali.
6 Elang Sulawesi diketahui tersebar luas, namun belum diketahui habitat dan tipe vegetasi yang bagaimana yang cenderung disukai oleh burung ini. Kami mencatat penampakan habitat untuk seluruh lokasi yang di kunjungi, dan lokasi perjumpaan dengan Elang Sulawesi dideskripsikan lebih rinci. Tipe vegetasi di lokasi pengamatan dibagi menjadi 12 kriteria yaitu: mangrove (MF), hutan pantai (CF), hutan dataran rendah 0-700m (LF), hutan pegunungan bawah 700-1200m (LM), hutan pegunungan atas 1200-2100m (UM) (mengacu pada Whitemore, 1984), hutan batu kapur (LS), hutan monsun (MO), savana (SV), terna rawa (marshes) (MH), padang rumput (GL), hutan monokultur (MF), lahan pertanian (CV). Vegetasi hutan dikelompokkan lagi berdasarkan persentase penutupan lahan oleh pepohonan hutan alami (05 25% = F1, 26 50% = F2, 51 75% = F3, 76 100% = F4). Persentase penutupan ini didapat dari kawasan yang diamati seluas jarak pandang yang dapat dijangkau oleh pengamat sekitar 1 km dengan arah sudut pandang 180o. Untuk melihat kecenderungan keberadaan Elang Sulawesi di setiap habitat tertentu, maka kami menggunakan perhitungan mengenai tingkat pertemuan (encounter rate/ET) (Bibby dkk., 2000), untuk itu lama pengamatan efektif untuk setiap lokasi direduksi menjadi 4 jam. Perhitungan tingkat pertemuan ini dilakukan untuk tipe vegetasi dan penutupan hutan guna mengetahui secara kualitatif tingkat kecenderungan habitat yang disukai oleh Elang Sulawesi. Catatan tambahan dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur terhadap masyarakat di sekitar lokasi survey. Wawancara ini terutama dilakukan dengan penekanan pada pengumpulan informasi mengenai keberadaan jenis elang itu sendiri dan pengumpulan informasi mengenai pemahaman orang terhadap kelestarian Elang Sulawesi dan pengaruh manusia terhadap habitat burung.
7
III HASIL DAN DISKUSI 3.1 Situasi umum Propinsi Sulawesi Selatan adalah wilayah yang paling berkembang dibandingkan dengan propinsi lainnya di Pulau Sulawesi. Provinsi ini terbagi dalam 24 kabupaten dan populasinya terus yang betambah. Sebagian besar penduduknya adalah petani baik padi maupun tanaman komoditas industri lainnya seperti coklat, kopi dan rempah-rempah. Meningkatnya harga kopi pada beberapa tahun terakhir mengakibatkan penanaman kopi dilakukan secara ekstensif dengan membuka hutan untuk lahan baru. Sepanjang penelusuran menuju lokasi penelitian terlihat bahwa di bagian selatan wilayah ini mulai dari Kabupaten Takalar sampai Tanjung Bira banyak dijumpai lokasi kering dan berbatu karang. Di daerah kering pemandangan umum yang terlihat adalah savana yang digunakan penduduk untuk menggembalakan ternak sapi dan kuda. Sepanjang jalur pantai barat dari Ujung Pandang sampai Polewali merupakan daerah pengembangan pertanian dan tambak intensif. Jalur Bantimurung ke Malawa masih terlihat adanya hutan di atas tanah batu kapur. Hutan hujan yang bisa terlihat dari pinggir jalan banyak dijumpai di daerah utara, seperti pada jalur antara Polewali ke arah Mamasa, sebelah selatan-timur Enrekang, hutan Nanggala di perbatasan Rantepao dan Palopo, serta di daerah Luwu Utara. Sementara itu daerah Wotu dan Mangku Tana merupakan lokasi transmigrasi, dimana terdapat hamparan kebun kelapa sawit yang dikelola oleh PTP XIV Sulawesi Selatan, di samping blok-blok kebun coklat milik penduduk. Rute survey di Sulawesi Tengah dimulai dari Palu ke arah tenggara melewati Taman Nasional (TN) Lore Lindu sampai Kolonedale dan Morowali, dan ke arah barat melalui Kaweli-Tobuli, Tumbu-Kasimbar, Pegunungan Ogoamas dan Tinombala sampai Tanjung Matop. Daerah sekitar kota Palu pada umumnya agak kering sehingga banyak areal terbuka dan perbukitan yang ditumbuhi rumput atau belukar terutama di arah selatan dan tenggara kota. Terbentuknya daerah kering di sekitar kota Palu ini berkaitan dengan posisi kota ini yang berada pada daerah bayangan hujan akibat terhalangnya angin monsun barat pembawa hujan oleh pulau Kalimantan. Daerah savana lain yang cukup luas terdapat di Bora, Lembah Napu dan Besoa TN Lore-Lindu dan di beberapa tempat sepanjang jalan menuju Kabupaten Morowali. Sulawesi Tengah memiliki hutan hujan pegunungan atas yang lebat dan hutan hujan dataran rendah yang masih baik. Hamparan hutan ini terdapat di jajaran Pegunungan Tokalekaju dan Pegunungan Ogoamas. Hutan hujan perbukitan dan pegunungan yang masih bagus menyelimuti sebagian besar kawasan TN Lore Lindu. Contoh tipe vegetasi yang lengkap mulai dari hutan mangrove sampai hutan lumut di ketinggian 2200m masih dapat dilihat di kawasan Cagar Alam Morowali. Sektor perkebunan dan hasil hutan merupakan primadona bagi pendapatan asli daerah (PAD) Propinsi Sulawesi Tengah. Sudah barang tentu upaya meningkatkan PAD dari sektor ini mendorong adanya pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan/pertanian baik dalam skala kecil maupun besar. Lahan pertanian banyak terdapat di sekitar aliran sungai dan kaki pegunungan, seperti di daearah Kecamatan Sigi Biromaru, Napu dan Kulawi sisi barat kawasan TN Lore Lindu. Di sekitar Danau Lindu, sekitar 18 km dari Sidaunta, terdapat daerah rawa yang dikeringkan untuk pesawahan dan ladang oleh penduduk. Pengeringan rawa juga terjadi di
8 sekitar Danau Poso. Kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini di Kabupaten Poso membuat sebagian besar penduduknya mengungsi ke daerah-daerah yang aman di antaranya ke daerah Kolonedale dan Lembah Napu di dekat TN Lore Lindu. Kehadiran pengungsi ini cukup menyulitkan Pemda setempat dalam memenuhi kebutuhan pangannya, dan satu-satunya alternatif yang dapat mereka pikirkan adalah masuk hutan untuk mengekstraksi hasil hutan seperti kayu dan rotan. Di beberapa tempat terjadi penebangan kayu dilakukan oleh sebagian pengungsi yang memerlukan kayu untuk rumah, tapi sebagian dari mereka dimanfaatkan menjadi buruh untuk menebang pohon dan mencari rotan. Penebangan pohon tersebut telah mengakibatkan terbentuknya celah-celah lebar di hutan dalam areal yang cukup luas terutama sekali hutan yang mempunyai pohon Leda alyptus deglupta) yang banyak dicari orang seperti terjadi di daerah Wuasa. Perburuan satwa secara intensif terjadi di beberapa tempat di Lore Lindu Utara seperti daerah Pakuli, Lambara dan Sibalaya, juga di lembah Napu, Katu dan Besoa. Perburuan satwa ini biasanya dilakukan sekaligus sambil mengambil rotan sehingga satwa-satwa tertentu terutama satwa besar mulai hilang dari daerah tersebut. Masyarakat berburu dengan bantuan tombak, sumpit dan senapan dan mereka memburu satwa apa saja yang dapat mereka temukan.
3.2
Distribusi Elang Sulawesi
Elang Sulawesi dijumpai pada 36 tempat (site) observasi dari 55 titik observasi di seluruh lokasi survey. Di Sulawesi Selatan terdapat 29 titik observasi pada 13 lokasi, dan di 11 titik observasi di antaranya dijumpai Elang Sulawesi yaitu: di CA Bulusaraung (di 2 titik obsevasi), TWA/CA Bantimurung (1), HL Gn Mambuliling (1), HL Nanggala (2), CA Faruhumpenai (4), dan di TWA Towuti (1). Di Sulawesi Tengah jumlah lokasi pertemuan dengan Elang Sulawesi lebih banyak lagi, dari 26 titik observasi pada tujuh lokasi dijumpai pada 25 titik observasi. Lokasi-lokasi perjumpaan dengan Elang Sulawesi di Sulawesi Tengah adalah di TWA Air terjun Wera (1), TN Lore Lindu (14), CA Morowali (3), HL Kawaeli (2), HL antara Tambu-Kasimbar (2), SM Tanjung Matop (2), dan di CA Gn Sojol (1) (lihat Tabel 1, dan catatan pertemuan lengkap lihat di lampiran 1). Bantimurung sampai saat ini dicatat sebagai daerah penyebaran paling selatan di Sulawesi daratan, karena dari lokasi tersebut sampai ke ujung semenanjung selatan belum pernah ada yang mencatat kehadiran jenis ini. Batas selatan penyebaran ini bukan berarti mutlak dan cenderung lebih menunjukkan kurangnya informasi, karena ada beberapa lokasi sebelah selatan Bantimurung yang belum disurvey dan diduga menjadi daerah sebaran jenis ini juga yaitu wilayah Gn. Lampobatang dan Gn Bawakaraeng (Gambar 1).
9 Gambar 1. Peta Lokasi survey dan lokasi pertemuan dengan Elang Sulawesi
PILIPHINA MALAYSIA SERAWAK/SABAH
SINGAPURA KALIMANTAN
SUMATRA
SULAWESI IRIAN JAYA
JAVA
20N
Manado SM.Tanjung Matop
Peg. Ogoamas
Gn. Tinombala
SULAWESI UTARA
Tambu-Kasimbar
0
0
Kawaeli-Tobuli
Palu Pakuli
Kamarora Puncak Wuasa
Puroo
Poso
Kulawi T.N. Lore-Lindu
SULAWESI TENGAH Morowali
20S
Kolonedale Sampuraga - Feruhumpenai
Matano
Kelenenya
Mahalona
SULAWESI SELATAN Mamasa
Lenkobale - Towuti
Nanggala
Mampie & Lampoko
SULAWESI TENGGARA Danau Tempe
0
4S
Kendari
Bulusaraung
Bantimurung
Makassar Bonto Bahari
Malino
60 S
Ket. Lokasi survey: Ada elang Sulawesi Tidak ada elang Sulawesi
0
1200E
1210E
25
50 Km
1220E
10 Tabel 1. Lokasi perjumpaan dengan Elang Sulawesi
Lokasi
Status
Op
Jumlah Komposisi
Ketinggian Tipe vegetasi (m dpl)
Bulusaraung CA Reatoa atas 1 1a 900 LM Bulusaraung CA/HL Bontosiri 2 1 a, 1 d 600 LM Bantimurung CA/TWA Airterjun gua batu 1 1d 180 LS Gn Mambuliling HL Pebadongan 2 1 a, 1 d 1510 UM Nanggala I HL Kebun kopi Tarcojaya 2 2d 1085 LM Nanggala I HL Wayrede 1 1d 1230 UM Fahumpenai CA Sampuraga 1 1d 1265 UM Fahumpenai CA Salonoa 3 1 a, 2 d 535 LF Fahumpenai CA Laroeha 1 1d 400 LF Danau Towuti TWA Lengkobale 1 1d 300 LF Air terjun Wera TWA Balumpewa 2 2d 150 LF Lore Lindu TN Tongoa 1 1d 745 LM Lore Lindu TN Kamarora 1 1d 800 LM Lore Lindu TN Lambara 1 1d 420 MO Lore Lindu TN Wuasa 2 1 a, 1 d 1200 UM Lore Lindu TN Dodolo 1 1d 1400 UM Lore Lindu TN Tomado, Danau Lindu 2 1 a, 1 d 900 LM Lore Lindu TN DusunIII Pakuli 2 2d 140 LF Lore Lindu TN Dusun II Pakuli 1 1d 400 LF Lore Lindu TN Simoro 2 2d 315 LF Lore Lindu TN Kulawi 2 1 a, 1 d 625 LF Lore Lindu TN Sidaunta 1 1d 1020 LM Lore Lindu TN Puroo 1 1d 990 LM Lore Lindu TN Puncak-Batu Salome 2 2d 1080 UM Lore Lindu TN Sedoa 2 2d 1120 UM Morowali CA Morowali 1 1d 50 CF Morowali CA Kayupoli 1 1d 90 LF Morowali CA Kolonedale 3 2 d, 1a 40 LF Kawaeli HL Kawaeli-Tobuli 3 2 d, 1a 450 LF Kawaeli HL Kawaeli-Tobuli b 2 2d 720 LF Tambu- Kasimbar HL Tambu 2 2d 210 LF Tambu- Kasimbar HL Ranang 1 1d 75 LF Tjg Matop SM Pinjan 4 4d 200 CF Tjg Matop SM Binontoa 2 2d 420 CF Gn. Sojol CA CA Gn. Sojol 1 1d 350 LF Ket: a = anak; d = dewasa;.op=titik pengamatan CF = Hutan pantai; LF = Hutan dataran rendah 0 - 700m; LM = Hutan pegunungan bawah 700 – 1200m; UM = Hutan pegunungan atas 1200 – 2100m; LS = Hutan batu kapur; MO = Hutan monsun.
Elang Sulawesi sedikit dijumpai di wilayah dataran rendah Sulawesi Selatan, terutama karena habitat di dataran rendah di wilayah ini sebagian besar sudah berubah menjadi lahan pertanian dan tambak. Semakin kearah utara, jenis ini semakin banyak dijumpai, terutama mulai dari wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Polewali-Mamasa, ke Luwu Utara dan Mamuju sampai memasuki wilayah Sulawesi Tengah. Di wilayah Sulawesi Tengah burung ini tersebar luas dan hampir terdapat di setiap lokasi berhutan, dan kelihatannya sebagai jenis yang umum seperti yang dikatakan oleh Meyburg dan van Balen (1994). Sebaran jenis ini tidak terbatas hanya di daratan Sulawesi tetapi juga dijumpai di pulau-pulau satelitnya. Informasi terbaru, di Pulau Buton jenis ini dilaporkan tersebar luas di seluruh pulau walaupun hanya kadang-kadang terlihat (Baltzer, 1998), dijumpai di pulau Banggai (Indrawan dkk, 1997), kadang-kadang dijumpai pula di hutan pulau Togean (Indrawan, pers. comm.), dan tidak tercatat di Kepulauan Sangihe Talaud (Stones, dkk. 1997).
11 3.3
Distribusi Altitudinal
Elang Sulawesi diketahui hidup pada rentang ketinggian antara 0-3000 m (Coates dkk, 1996), namun belum banyak diketahui ketinggian tempat yang paling disukai oleh elang Sulawesi. Kami melakukan survey dari tepi pantai sampai ketinggian 1800m di Gn Mambuliling dan Elang Sulawesi ditemukan pada rentang ketinggian tersebut. Lokasi pertemuan paling rendah terjadi di Morowali (50m dpl) sementara yang paling tingi dijumpai di Pebandongan Mambuliling (1510m). Dari sejumlah pertemuan yang tercatat berdasarkan ketinggian terlihat bahwa jenis ini banyak terdapat pada ketinggian antara 600- 800m, wilayah dimana terdapat hutan dataran rendah dan hutan perbukitan (Gbr. 2). Observasi tidak dilakukan dengan durasi yang sama pada setiap lokasi (rentang sampel antara 5-14 jam), namun dari hasil tersebut tergambar bahwa Elang Sulawesi nampaknya lebih tergantung pada keberadaan hutan. Ketika banyak hutan dataran rendah yang hilang maka Elang Sulawesi akan naik ke hutan perbukitan yang relatif masih luas. Bila dilihat dari tingkat pertemuan pada setiap rentang ketinggian, Elang Sulawesi paling sering dijumpai pada ketinggian 0-200m (ET=0,59), kemudian pada ketinggian 600-800m (ET=0,50), sementara pada rentang ketinggian 1000-1800 meter semakin jarang (ET= 0,32-0,14). Hal ini akan menggambarkan bahwa burung ini, pada kondisi hutan yang bagus lebih menyukai hutan dataran rendah.
n 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0-200
200-400
400-600
600-800
800-1000
1000-1200
1200-1400
1400-1600
Altitudinal (m dpl)
Gambar 2. Distribusi Elang Sulawesi menurut jumlah individu (n=62) yang di jumpai pada berbagai ketinggian tempat. Satu individu bisa tercatat di beberapa katagori ketinggian.
3.4
Perkiraan Populasi dan Status
Populasi Elang Sulawesi belum diketahui, dan belum ada perkiraan akurat mengenai populasinya, baik di satu lokasi tertentu maupun untuk keseluruhan wilayah penyebaran jenis ini. Selain karena kesukaran mendeteksi jenis ini sebagai burung pemangsa yang suka bersembunyi di kedalaman hutan tropis yang lebat, perkiraan populasi juga bergantung pada data-data luas jelajah (home range) dan informasi luas hutan yang masih ada, yang keduanya
12 belum diketahu dengan baik sampai saat ini. Dari waktu kewaktu luas hutan dan kualitas hutan di daratan Sulawesi terus berubah dan cenderung berkurang, yang pada akhirnya perubahan luas hutan tersebut akan mempengaruhi tingkat kepadatan populasi burung pemangsa. Tidak diketahuinya luas daerah jelajah Elang Sulawesi sebagai bahan acuan untuk melihat kepadatan jenis ini, memerlukan adanya pendekatan luas daerah jelajah jenis burung lain. Beberapa jenis burung pemangsa dari Genus Spizaetus telah diketahui luas jelajahnya. Pasangan berbiak S. nipalensis di Gn. Suzuka Jepang bagian tengah memiliki teritori antara 22.8-28,8 km2 (Yamazaki, 1990) dan daerah jelajah di wilayah selatannya diperkirakan sekitar 13.65 km2 (Morimoto dan Iida, 1992). Pasangan berbiak S. bartelsi di Jawa diperkirakan memiliki luas daerah jelajah minimal 12 km2/pasang (Sozer dan Nijman, 1995), sementara Thiollay & Meyburg (1988) memperkirakan luas home range pasangan berbiak Elang Jawa sekitar 20-30 km2. Spizaetus ornatus di Amerika Selatan diperkirakan memiliki luas jelajah sekitar 12-21 km2 untuk jantan dan sekitar 8 km2 untuk betina (Madrid dkk., 1991) (lihat tabel 2). Ukuran luas daerah jelajah ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan atau daya dukung habitatnya, dan cenderung berbanding lurus dengan ukuran tubuh burung, sehingga semakin besar ukuran tubuh burung maka semakin luas daerah jelajahnya (Olsen, 1995). Dilihat dari ukuran tubuhnya, Elang Sulawesi relatif kecil dan mendekati ukuran tubuh S. Ornatus, sementara tipe topografi daerah sebarannya mirip habitat Elang Jawa.
Spizaetus bartelsi
dikenal sebagai jenis yang tergantung pada lembah (slope specialis), dan Thiollay (1985) menyatakan bahwa S. bartelsi adalah jenis yang cenderung menempati hutan pegunungan. Topografi Pulau Sulawesi sebagian besar adalah berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dan memiliki banyak lembah, ada kemiripan dengan sisa hutan Jawa. Tidak semua kawasan hutan yang disurvey kondisinya cukup bagus sebagai habitat Elang Sulawesi karena pada beberapa tempat terjadi penyusutan kualitas (degradasi) hutan akibat adanya perambahan hutan. Kepadatan populasi Elang Sulawesi jelas tidak selalu sama di seluruh area, tetapi tergantung pada variasi antar lokasi. Meskipun belum diperoleh peta yang akurat, untuk mengukur densitas/populasi yang dapat diandalkan, tetapi beberapa pendekatan dilakukan berdasarkan keadaan lapangan sehingga kepadatannya dapat diperkirakan. Di Kawaeli dalam rentang 10 km tercatat tiga pasang, di Kamarora pada jarak 7-8 km ada tiga pasang, di Binjan-Binontoan ada tiga pasang dalam rentang 10 km dan di Bulusaraung terdapat dua pasang dalam rentang 8 km. Semua lokasi tersebut berada di dataran rendah. Pada tiga lokasi di hutan wilayah hutan pegunungan atas tercatat ada dua pasang dalam rentang jarak 12 km di Faruhumpenai dan dua pasang dalam jarak 10 km di Puncak Batusalome. Jika semua data tersebut diambil rata-ratanya maka dalam jarak sekitar 10 km terdapat 2,7 pasang. Sebagai perbandingan, di Gn Halimun Jawa Barat, dalam rentang 10 km terdapat 5 pasang Elang Jawa (Rov, 1997), dan dalam luas sekitar 2,8 km2 hutan Pegunungan Burangrang yang relatif terisolasi terdapat 2-3 pasang Elang Jawa (Setiadi dkk., in prep.). Kepadatan Elang Sulawesi bila dilihat dari perbandingan di atas dapat dianggap lebih rendah dari Elang Jawa, namun hal ini masih harus dipelajari lebih lanjut. Nampaknya Elang Jawa lebih beradaptasi pada petak kecil hutan, sementara hutan di Sulawesi masih jauh lebih luas dari pada hutan Pulau Jawa. Bila diambil pada pendekatan 2,7 pasang per 10 km, maka pertimbangan luas jelajahnya adalah sekitar 16 km2/pasang, dan dari rentang terpanjang
13 Tabel 2. Luas daerah jelajah beberapa jenis burung pemangsa dari Genus Spizaetus
spesies
Region
Ukuran tubuh (cm)
S. nipalensis S. baretelsi S. ornatus S. lanceolatus
Asia Asia (Jawa) Amerika Selatan Asia (Sulawesi)
67 – 86 60 – 70 58 – 67 56 – 64
Home range (Km2/pasang) 22.8-28.8; 13.65 12; 20-30 12-21/jantan, 8/betina -
Mengacu pada Sozer & Nijman (1995)
didapat perkiraan luas maksimal per-pasang adalah sekitar 25 km2. Untuk menghitung jumlah populasi, perkiraan konservatif luas habitat yang dibutuhkan oleh pasangan berbiak Elang Sulawesi di pertimbangkan antara 15-25 km2. Perhitungan kami dengan asumsi luas kawasan adalah utuh, menunjukkan bahwa jumlah pasangan Elang Sulawesi di seluruh lokasi yang disurvey adalah antara 254-306 pasang (Tabel 3). Sebanyak 60-71 pasangan dipertimbangkan menempati wilayah survey di Propinsi Sulawesi Selatan, dan sebanyak 194-235 pasangan berada di wilayah survey Sulawesi Tengah. Thiollay (pers. comm.) berdasarkan perhitungannya memperkirakan ada sekitar 200 pasang berada pada wilayah survey Sulawesi Tengah. Beberapa lokasi diketahui memiliki luas yang cukup kecil dibandingkan dengan luas minimal yang dipertimbangkan untuk sepasang Elang Sulawesi. Misalnya di TWA Air terjun Wera dengan luas 2,5 km2 dijumpai dua individu yang berbeda dan diperkirakan berasal dari dua pasangan, juga di SM Tanjung Matop dengan luas 16,12 km2 di jumpai empat individu dari empat pasangan yang berbeda. Jumlah perkiraan populasi di atas hanya terbatas pada wilayah yang disurvey, belum mencakup kawasan berhutan lainnya yang diprediksi terdapat Elang Sulawesi. Di wilayah Sulawesi Selatan belum mencakup kawasan hutan antara lain yang terdapat di Pegunungan Latimojong dan di sebagian besar wilayah Kabupaten Mamuju, sementara di Sulawesi Tengah belum mencakup kawasan Poso dan Tanjung Api di semenanjung timur. Untuk mengetahui populasi Elang Sulawesi yang lebih akurat diperlukan kajian dan analisa lebih lanjut. Tabel 3. Dugaan jumlah pasangan di setiap lokasi survey
Lokasi
Status
Bulusaraung Bantimurung Gn Mambuliling Nanggala Feruhumpenai Danau Towuti Air terjun Wera Lore Lindu Morowali Kawaeli Tambu- Kasimbar Tjg Matop Gn. Sojol
CA CA/TWA HL HL CA TWA TWA TN CA HL HL SM CA
Luas (km2) 80 10 50 50 900 45 2,5 2290 2250 60 50 16.12 50
Ketinggian 500 – 1800m 100 – 750 m 700 – 200 m 600 – 1800 m 250 – 1678 m 295 – 600 m 150 – 800 m 140 – 2610 m 0 – 2630 m 400 – 750 m 75 – 350 m 0 – 420 m 100 – 450 m Total
Ket: CA = cagar alam; TN = taman nasional; TWA = taman wisata alam; SM = suaka margasatwa HL = hutan lindung;
Dugaan jumlah pasangan 4–6 1–2 4–5 4–5 45 – 50 2–3 1–2 92 – 110 90 – 105 3–5 2–4 3–5 3–4 254 – 306
14 3.5
Habitat
Pemahaman hubungan antara habitat dan jenis burung sangat mendasar bila ingin mengetahui status konservasinya. Pendekatan penelaahan habitat ini antara lain berguna untuk mendapatkan pemahaman mengenai sifat hubungan antara burung dan habitatnya dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan akibat perubahan tata guna lahan dimasa yang akan datang. Seperti telah disebutkan diatas, kami telah mencatat 12 tipe vegetasi di seluruh lokasi yang dikunjungi. Berdasarkan pertimbangan waktu yang terbatas dan studi yang kami lakukan lebih menekankan pada satu jenis maka kami lebih banyak mengunjungi wilayah berhutan daripada habitat lainnya. Elang Sulawesi dijumpai di hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan batu kapur dan hutan monsun dan tidak dijumpai di hutan mangrove, savana, terna rawa (marshes), hutan monokultur dan lahan pertanian (lihat lampiran 2). Berdasarkan tingkat pertemuan pada berbagai tipe vegetasi hutan, jenis burung ini paling sering
Tabel 4 Tingkat pertemuan Elang sulawesi menurut katagori tipe vegetasi Jumlah Individu Jml indiv/ Kelas atau TIPE VEGETASI 220 jam Kelimpahan relatif Sulsel Sulteng 0 7 0,032 Biasa Hutan pantai (CF) Hutan dataran rendah (LF) 4 21 0,114 Sering Hutan pegunungan bawah (LM) 6 6 0.055 Biasa Hutan pegunungan atas (UM) 4 7 0,050 Biasa Hutan batu kapur (LS) 1 0 0,005 Jarang Hutan monsun (MO) 0 1 0,005 Jarang Katagori nilai:
0,001 – 0,009 = jarang; 0,01 – 0,099 = biasa; > 0,1 = sering
dijumpai di hutan dataran rendah (ET=0,114) dan jarang dijumpai di hutan batu kapur dan hutan monsun (ET=0,005) (Tabel 4). Pada empat kriteria persentase penutupan hutan, Elang Sulawesi paling sering dijumpai di hutan dengan persentase penutupan 25-50% (F2; ET= 0,101) sementara paling jarang di hutan terbuka dengan penutupan 5-25% (F1; ET=0,016), dan tingkat pertemuan di F3 (50-75% penutupan) sama dengan dan F4 (75-100%) (lihat Tabel 5). Tingginya tingkat pertemuan di F2 nampaknya karena pemantauan di areal ini lebih luas dengan penutupan hutan hanya 25-50% sehingga kesempatan menemukan Elang Sulawesi menjadi lebih
Tabel 5 Tingkat pertemuan berdasarkan stratifikasi penutupan
Kriteria % Penutupan hutan F1 (05-25%) F2 (25-50%) F3 (50-75%) F4 (75-100%)
TIPE VEGETASI CF Lf Lm Um Ls Mo 3 12 5 2 7 3 5 1 1 7 2 4 4
Keterangan tipe vegetasi lihat tabel 4.; Katagori nilai:
Jml. Individu/ 188 jam 0,016 0,101 0,090 0,090
Kelas atau Kelimpahan relatif Jarang Sering Biasa Biasa
0,01 – 0,05 = jarang; 0,06 – 0,09 = biasa; > 0,1 = sering
15 banyak daripada di F4 (penutupan 75-100%) dan F3 (50-75%). Thiollay & Rakhman (2000, inprep) menyatakan bahwa Elang Sulawesi sangat tergantung pada hutan primer yang masih utuh, tetapi karena sifatnya yang pemalu menyebabkan tidak mudah terdeteksi dalam kerapatan vegetasi yang tinggi.
3.6
Ancaman
Thiollay (1994) menyebutkan bahwa saat ini gangguan yang paling mengancam jenis-jenis burung pemangsa adalah hilang atau rusaknya habitat. Ancaman lainnya yaitu perburuan, perdagangan atau racun pestisida biasanya bersifat lokal dan sering tidak signifikan. Terdapat tiga macam bentuk rusaknya habitat yaitu deforestasi, gangguan dan fragmentasi habitat. Deforestasi adalah konversi hutan menjadi daerah terbuka termasuk didalamnya perkebunan monokultur. Gangguan hutan adalah merubah hutan primer menjadi hutan sekunder yang menghasilkan perubahan sangat berarti pada struktur vegetasi dan dalam pemiskinan komunitas tumbuhan dan hewan. Fragmentasi habitat yaitu pemecahan hutan menjadi petak-petak kecil dan lahan terbuka. Walaupun hampir semua lokasi yang dikunjungi merupakan kawasan konservasi (CA, TWA, SM, TN) tetapi pengelolaan dan penerapan hukum untuk melindungi kawasan tersebut masih sangat lemah, dan bukti pelanggaran yang terjadi sangat banyak. Kami melihat adanya ancaman bagi keberlangsungan hidup elang Sulawesi pada hampir seluruh lokasi yang dikunjungi dengan ragam ancaman yang berbeda di setiap lokasi. Rata-rata kami melihat lebih dari satu ancaman untuk setiap lokasi dengan intensitas yang berbeda. Perluasan kebun yang lebih cenderung sebagai bentuk deforestasi lebih banyak tercatat di Sulawesi Selatan, sementara gangguan hutan meliputi perburuan liar, penebangan liar, pengambilan rotan dan perambahan lahan lebih sering terjadi di Sulawesi Tengah (Tabel 6). Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar terjadi di batas luar sebelah barat laut CA Feruhumpenai yang dikelola oleh PTP XIV. Di batas luar sebelah barat kawasan Feruhumpenai juga terjadi pembukaan hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian. Toli-toli merupakan daerah penghasil cengkeh terbesar di Sulawesi Tengah, dan di Gn Dako dekat Pegunungan Ogoamas salah satu tempat di wilayah Toli-toli, terjadi pembukaan hutan untuk perkebunan cengkeh. Selain konversi hutan untuk perkebunan dan pemukiman, juga ada yang di ubah untuk pertambangan seperti hutan di sekitar Danau Matano yang telah dikonsesi perusahaan tambang Nikel PT Inco. Saat ini perubahan hutan menjadi kebun (terutama coklat, kopi dan cengkeh) yang dikelola penduduk adalah kejadian yang paling sering ditemukan, dan hampir terjadi di setiap lokasi hutan yang dikunjungi. Perluasan jalan yang dapat merubah penampakan hutan menjadi sesuatu yang terbuka, hanya terjadi dibeberapa tempat. Pembukaan lahan hutan untuk jalan biasanya cenderung memperbesar akses bagi terjadinya penjarahan kekayaan hutan serta membuka peluang masuknya jenis-jenis eksotik yang bisa bersifat ekspansif. Penebangan kayu hutan lebih banyak dilakukan di hutan non kawasan konservasi, namun di beberapa lokasi justru terjadi di kawasan konservasi seperti yang tercatat di TWA Towuti dan TN Lore Lindu. Para penebang kayu di sekitar Danau Towuti sudah tidak bisa lagi mengambil kayu dari sekitar danau karena pohon yang ada tinggal pohon kecil. Saat ini untuk memasok sekitar 30 unit penggergajian kayu (saw mill) yang ada di Desa Timampu mereka mendatangkan kayu gelondongan dari wilayah hutan Sulawesi Tenggara. Penebangan kayu di wilayah Sulawesi Tengah
16 Tabel 6. Bentuk-bentuk ancaman terhadap kelestarian elang Sulawesi
Jenis ancaman Perluasan kebun
Jumlah kasus* Sulsel Sulteng
8 1 Perluasan area pertambangan Perburuan satwa liar 3 Penebangan liar 10 Pengambilan rotan 0 Perambahan lahan 2 Perluasan jalan 0 Kebakaran 2 Ket: * = setiap lokasi bisa mendapat lebih dari satu macam ancaman.
4 0 21 12 13 12 1 0
Total 12 1 24 22 13 14 1 2
tercatat di 12 lokasi yang umumnya bukan penebangan dalam skala besar oleh perusahan besar, tetapi lebih banyak dilakukan oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Selatan. Pengambilan hasil hutan non kayu seperti rotan banyak terjadi di wilayah Sulawesi Tengah. Meningkatnya intensitas pengambilan hasil hutan dipicu oleh bentrokan antar penduduk yang menyebabkan terjadinya pengungsian massa dalam jumlah besar ke wilayah hutan. Untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek dalam masa pengungsian maka alternatif tercepatnya adalah masuk hutan dan mengambil apa yang bisa diambil. Selain rotan, penjarahan kayu hutan juga banyak dipicu oleh terjadinya pengungsian penduduk. Hal yang sama terjadi pula dalam perburuan satwa liar yang intensitasnya lebih sering terjadi di Sulawesi Tengah daripada Sulawesi Selatan.
3.7
Konservasi
Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi memiliki pengetahuan yang khas dengan jenis-jenis burung pemangsa. Mereka umumnya memiliki beberapa nama burung dan kadang ada satu nama berlaku untuk beberapa atau semua jenis. Misalnya orang Bugis menyebut elang dengan kata 'terru" dan itu hampir berlaku untuk semua jenis burung pemangsa. Kebanyakan dari mereka mengenal empat macam elang yaitu Elang Kepala-putih dengan warna tubuh merah/coklat, Elang Hitam, Elang Burik dan Elang Kecil (alap-alap). Sebagian besar masyarakat menggolongkan burung hantu (owl) termasuk jenis elang. Semua jenis elang dianggap merugikan karena memangsa ayam yang mereka pelihara, namun biasanya mereka tidak terlalu peduli. Mereka juga tidak terlalu tertarik dengan penangkapan elang untuk dijual. Tidak ada informasi mengenai penjualan elang baik di masyarakat maupun di pasar burung (Todopuli, Makassar) (Nurwatha & Rahman, 2000). Di Kampung Reatoa pernah terjadi penembakan elang dengan tujuan untuk dimakan. Walaupun relatif jarang diburu, masyarakat selalu menyebutkan bahwa sekarang elang sudah jarang dijumpai daripada sepuluh tahun yang lalu. Berbeda halnya dengan Elang Jawa di Jawa, pada tahun-tahun terakhir ini penangkapan Elang Jawa untuk di pelihara atau dijual telah menjadi salah satu ancaman penting disamping kerusakan habitat. Penangkapan elang di Jawa berkaitan dengan kebiasaan yang buruk dari sebagian masyarakat Pulau Jawa untuk memelihara satwa, khususnya burung. Dalam skala luas, penangkapan jenis-jenis burung di Jawa dipacu oleh adanya kontes burung berkicau. Hal yang
17 dikhawatirkan adalah kontes burung dan budaya memelihara burung
mulai merambah ke
Sulawesi, kalau ini terjadi akan berdampak pada pelestarian Elang Sulawesi. Pada dasarnya masyarakat Sulawesi bukan masyarakat yang memiliki kebiasaan memelihara burung. Untuk itu masyarakat Sulawesi nampaknya perlu mendapat penguatan terhadap kecintaan mereka akan keragaman hayati yang dimiliki pulau dimana mereka tinggal secara benar. Di Sulawesi, masalah utama yang mengancam populasi elang Sulawesi adalah hilangnya habitat dan degradasi habitat bukan perburuan, namun pencegahan akan berdampak baik untuk masa depan. Di wilayah Sulawesi Tengah, sepertinya Elang Sulawesi memiliki populasi yang cukup sehat untuk daerah yang luas (secara umum) dan masih sanggup bertahan pada tingkat deforestasi dan fragmentasi habitat tertentu. Tetapi tentunya elang ini tidak akan bertahan hidup dengan gangguan total. Proses hilangnya habitat di dataran rendah seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan menyebabkan burung ini terusir ke arah yang lebih tinggi yaitu hutan perbukitan dan pegunungan (lihat gambar 3), sehingga untuk waktu yang akan datang hutanhutan di pegunungan akan menjadi benteng terakhir bagi perlindungan jenis ini. Pulau Jawa adalah sebuah contoh yang dapat menjelaskan bahwa hilangnya habitat di dataran rendah telah menjadikan elang Jawa sebagai jenis tersisih (Meyburg, 1986) dan terusir dari habitatnya dan banyak terkonsentrasi di hutan pegunungan. Burung pemangsa seringkali merupakan bio-indikator yang sensitif atas perubahan lingkungan atau kualitas habitat, sayangnya manfaat dari peran burung pemangsa tersebut khususnya di Sulawesi belum banyak dipelajari, bahkan sering terabaikan. Namun nampaknya akan semakin hilang kesempatan mempelajarinya ketika sebagian besar dari jenis pemangsa, terutama jenis endemik
punah.
Untuk
pencapaian
strategi
konservasi
dalam
skala
global
dengan
mempertimbangkan peran elang, pada tahap awalnya adalah melestarikan keberadaan elang tersebut. Thiollay (1994) mengatakan bahwa burung pemangsa, sebagaimana satwa pemangsa lainnya, dalam beberapa hal menjadi penting bagi strategi konservasi secara umum. Pertama, mereka memainkan peran sebagai "spesies payung" karena daerah jelajah mereka besar. Kedua, burung pemangsa merupakan "flag-ship spesies" (jenis simbol yang dimanfaatkan untuk pengelolaan konservasi) yang meningkatkan keingintahuan publik dan menyokong program konservasi yang lebih luas. Ketiga burung pemangsa seringkali merupakan bio-indikator yang sensitif atas perubahan lingkungan atau kualitas habitat, jauh sebelum diketahuinya sensitivitas burung pemangsa terhadap kontaminasi rantai makanan yang kronis. Terakhir, peranan biologis satwa pemangsa sebagai kunci di hutan hujan primer mulai diperhatikan.
18
IV KESIMPULAN !
Elang Sulawesi dijumpai pada 36 tempat, 11 tempat di Sulawesi Selatan yaitu di kawasan Bulusaraung, Bantimurung, Mambuliling, Nanggala, Faruhumpenai dan TWA Towuti, dan 25 tempat di Sulawesi Tengah di kawasan Air terjun Wera, Lore Lindu, Morowali, Kawaeli, antara Tambu-Kasimbar, Tanjung Matop, dan Gn Sojol
!
Bantimurung sampai saat ini tercatat sebagai daerah penyebaran paling selatan di Sulawesi daratan, dan semakin ke arah utara semakin banyak dijumpai, terutama mulai dari wilayah Kabupaten Tana Toraja kemudian dan Polewali-Mamasa Utara, ke Luwu Utara dan Mamuju sampai memasuki wilayah Sulawesi Tengah.
!
Di wilayah Sulawesi Tengah burung ini tersebar luas dan hampir terdapat di setiap lokasi berhutan, dan menjadi salah satu jenis burung pemangsa yang tidak jarang
!
Elang Sulawesi tercatat pada rentang ketinggian antara 0-1800m dengan lokasi pertemuan paling rendah terjadi di Morowali (50m dpl) dan yang paling tingi dijumpai di Pebandongan Mamboliling (1510m), dan tercatat paling banyak terdapat pada ketinggian antara 600-800m wilayah dimana terdapat hutan dataran rendah dan perbukitan
!
Tingkat pertemuan pada setiap rentang ketinggian paling sering terjadi pada ketinggian 0200m kemudian pada ketinggian 600-800m, sementara pada rentang ketinggian 1000-1800 meter semakin jarang
!
Populasi Elang Sulawesi di seluruh lokasi yang disurvey adalah antara 254-306 pasang, sebanyak 60-71 pasangan dipertimbangkan menempati wilayah survey di Propinsi Sulawesi Selatan dan sebanyak 194-235 pasangan berada di wilayah survey Sulawesi Tengah.
!
Elang Sulawesi dijumpai di hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan batu kapur dan hutan monsun dan tidak di jumpai di hutan mangrove, savana, terna rawa (marshes), hutan monokultur dan lahan pertanian.
!
Berdasarkan tingkat pertemuan pada berbagai tipe vegetasi hutan, Elang Sulawesi paling sering dijumpai di hutan dataran rendah dan jarang dijumpai di hutan batu kapur dan hutan monsun
!
Berdasarkan persentase penutupan hutan, elang Sulawesi paling sering dijumpai di hutan dataran rendah dengan penutupan hutan F2 (25-50%), sementara paling jarang di F1 (0-25%) dan hampir merata F3 (50-75%) dan F4 (50-100%)
!
Perluasan kebun yang lebih cenderung sebagai bentuk deforestasi tercatat di bagian utara Sulawesi Selatan dan daerah Toli-toli Sulawesi Utara, sementara gangguan hutan meliputi perburuan liar, penebangan liar, pengambilan rotan dan perambahan lahan lebih sering terjadi di Sulawesi Tengah
!
Masyarakat menganggap semua jenis elang merugikan karena memangsa ayam yang mereka pelihara, namun biasanya mereka tidak terlalu peduli dan tidak tidak terlalu tertarik untuk menangkap elang untuk dijual.
19 Rencana Studi Selanjutnya Program penelitian ini rencananya dilakukan di seluruh region Sulawesi, termasuk pulau-pulau satelitnya. Wilayah Sulawesi daratan yang belum disurvey adalah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utra, juga semenanjung timur Sulawesi Tengah (daerah Morowali), sedangkan pulau satelitnya yang masih sedikit diketahui keberadaan elang Sulawesi adalah Muna. Wilayah-wilayah yang belum di survey penting untuk dikunjungi untuk lebih mengetahui secara menyeluruh keadaan populasi jenis ini. Beberapa studi yang juga cukup penting adalah mengunjungi daerah Sulawesi Selatan antara Bantimurung-Bulusaraung dan Tana Toraja.
20
DAFTAR PUSTAKA Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia: a checklist (Peter's sequence). Jakarta. Indonesian Ornithological Society. Baltzer, M.C. 1998. Ornithological Surveys and Conservation Priorities in Buton Island, Southeast Sulawesi. Indonesia. Bibby, C. Jones, M. dan Marsden S. 2000. Teknik-teknik Ekspedisi Lapangan Survey Burung (Terjemahan). BirdLife International Indonesia Programme, Bogor. Brown, L. & Amadon, D. 1968. Eagle, Hawk and Falcon of the World, 2 Vols. Country Life Books, Feltham. Brown, L. 1976. Eagles of the World. Newton Abbot: David & Charles. Burton, P. 1989. Bird of prey, Baleru Books, New York. Coates, B. J., Bishop, K.D., Gardner D. 1997, A Guide To The Bird of Walacea, Dove Publications Pty, Australia. Coates, B. J., Bishop, K.D., Gardner, D. 2000, Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Walacea (terjemahan), BirdLife International Indonesia Programme & Dove Publications Pty. Ltd. Bogor Holmes D. & Phillipps, K. 1996, The Bird of Sulawesi, Oxford University Press Holmes D. & Phillips, K. 1999, Burung-burung di Sulawesi (terjemahan), Puslitbang Biologi LIPI, Bogor Hoyo, J. del, Elliot, A., & Sargatal, J. 1994. Handbook of the bird of the World. Vol 2 New World Vulture to Guineafowl, Lynx Edition, Barcelona. Indrawan, M., Y. Masala and L. Pesik. 1997. Recend Bird Observations from Banggai Island. Kukila 9: 61-70. Kompas, 2000, Hutan Dataran Rendah Sulawesi Habis, Kamis, 5 Okt. Madrid, J.A., Madrid, H.D., Funes, S.H., Lopez, J., Botzoc, R. & Ramos, A. 1991. Reproductive Biology and Behavior of the Ornate Hawk-eagle In Tikal National Park. Pp. 93-113 in D.F. Whutacre, W.A. Burnham & J.P. Jenny (eds) Progress Report 2, 1991, Maya Project. The Peregrine Fund, Boiso, Idaho. Mayburg, B.U., & B. Van Balen. 1994, Raptor on Sulawesi (Indonesia): The influence of rain forest destruction and human density on their populations. On Meyburg, B. U & D Chencellor eds, 1994 Raptor Conservation Today WWGBP/ The Pica Press. Meyburg, B.-U. 1986. Threatened and near-threatened diurnal birds of prey of the world. Birds of Prey Bull. 3: 1-12. Morimoto, S &Iida, T. 1992 (Ecology and Preservation of Hodgson's Hawk-eagle.) Strix 11:5990. (berbahasa Jepang dengan abstrak Inggris). Nurwatha, P.F & Rahman, Z. 2000. Distribusi Elang Sulawesi di Provinsi Sulawesi Selatan. Yayasan Pribumi Alam Lestari, Bandung (unpublished). Olsen, P. 1995. Australian birds of prey. Sydney: University of New South Wales Press. Rilay, J. 1997. The Bird of Sangihe and Talaud, North Sulawesi. Kukila 9:3-36.
21 Rov, N., Gjershaug, J. O., Prawiradilaga, D.M., Hapsoro and Supriatna, A. 1997. Conservation Biology of Javan Hawk-eagle. Progress Report prepared for The Indonesian Institut of Science (LIPI) and Ministry of State for Environment (LH) Setiady, A.P., Nurwatha, P.F, Muchtar M. Rahman, Z. Dan Raharjaningtrah, W. 2000. Status, Distribusi, Populasi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi di Jawa Barat bagian Selatan. Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL), Bandung. (inpre) Shannaz, J., P. Jepson dan Rudyanto. 1995. Burung-burung terancam Punah di Indonesia. PHPA/BirdLife International IP. Bogor. Sozer R & V. Nijman. 1995. Behavioural Ecology, Distribution and Conservation of The Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi, 1924, (thesis). Institute of Systematic and Population Biology. University of Amsterdam. Netherlands Sozer R, Nijman V., Setiawan I., van Balen S., Prawiradilaga, D.M. and Subijanto, J. 1998. Javan Hawk-eagle Recovery Plan. KLMNH/PHPA/LIPI/BirdLife International Indonesia Program. Bogor Thiollay, J.-M. 1994. A World Review of Tropical Forest Raptors Curren trends, Research Objectives and Conservation Strategy. Pp. 231-240. On Meyburg, B. U & D Chencellor eds, 1994 Raptor Conservation Today WWGBP/ The Pica Press. Thiollay, J.-M. & Mayburg, B.-U. 1988. Forest Fragmentation and the Conservation of Forest Raptor: A Survey on the Islang of Java. Biol. Conserv. 44:229-250. Thiollay, J.-M. & Rachman, Z. 2000. Distribution and Conservation of Raptor Communities in Central Sulawesi, in prep. Thiollay, J.-M. 1985. Falconiforms in tropical Rain Forest: A Review. Pp. 155-165. In I. Newton & R.D. Chancellor (eds) Conservation Studies in raptor. ICBP Technical Publication No. 5. International Council for Bird Preservation, Cambridge. Thiollay, M.J. 1996 Rain Forest Raptor Communities in Sumatra, The Conservation Value of Tradisional Agroforest. Raptor in Human Landscape. Academic Press Ltd. 246-260. van Balen, 1991. The Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi : WWGBP Project Report No. 1, March 1990. Bird of Prey Bull. 4: 33-40 Watling, D. 1982. Ornithological Notes from Sulawesi. Emu 83: 274-261 WCMC. 1998. Checklist of CITES spesies: A reference to the appendices to the Convention on International Trade in Endangered spesies of Wild Fauna and Flora. White, C. M. N. & Bruce, M.D. 1968. The Bird of Wallacea. BOU Check list No. 7. British Ornithology Union, London. Whitemore, T.C. (1984) Tropical Rain Forest of the Far East. 2nd ed. Claredon Oxford Whitten, A.J., Mustafa, M. and Henderson, G.S. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada Univ. Press, Yogyakarta. Yamazaki, T. 1990. The Ecology of Japanese Mountain Hawk Eagle. RRF draft
Lampiran I halaman i LOKASI OBSERVASI DAN CATATAN PERJUMPAAN DENGAN ELANG SULAWESI
1. Bulusaraung Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Salah satu habitat pegunungan di CA Bulusaraung (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Cagar Alam : Maros, Barru, Bone, Pangkep : 80150 ha (hasil akhir tata batas) : 500-1800 m dpl.
CA Bulusaraung terletak di bagian tengah pulau dan termasuk wilayah empat kabupaten, dengan akses masuk paling mudah ditempuh melalui Maros (Kec. Mallawa) dan dari Bone. Kawasan ini masih berupa hutan alami dengan topografi yang berbukit dan gunung. Kami melakukan observasi di dua tempat sebagai lokasi pengamatan yaitu Reatoa dan Bontosiri. Reatoa adalah nama kampung di dekat pinggir hutan kawasan cagar alam, sebagian besar penduduknya bertani padi dan palawija selain mengembangkan tanaman coklat dan kemiri. Pohon kemiri milik penduduk Reatoa rata-rata sudah berumur lebih dari 30 tahunan dan umumnya di tanam berbatasan dengan cagar alam. Sisi kawasan hutan cagar alam di Reatoa hanya sebagian kecil berbatasan dengan kebun penduduk sebagian besar berbatasan dengan hutan lindung. Bontosiri adalah nama kampung di Desa Samaendre sekitar 8 km tenggara Reatoa, penduduknya bekerja sebagai petani. Di Bontosiri, pengalihan lahan hutan lindung menjadi perkebunan penduduk cukup terlihat jelas. Sisa hutan lindung yang berbatasan dengan kawasan cagar alam tersisa di bantaran Sungai Makaju Nyenyeng yang terjal. Reatoa Pada tanggal 13 Februari 2000 pukul 13.35 di kawasan hutan cagar alam, 5 km sebelah utara dusun Reatoa, terdengar suara anak elang dan terlihat bertengger beberapa menit di atas pohon sekitar 50 m dari tempat pengamatan dan masuk hutan. Suara anak elang tersebut terdengar sekitar dua menit sebelum terbang ke arah barat dan tidak terdengar lagi. Bontosiri Pada tanggal 14 Februari 2000 pukul 16.00 sore di blok kawasan hutan di atas Sungai Makaju Nyenyeng, terlihat anak elang bertengger beberapa menit di atas pohon kering tak bercabang sambil terus bersuara. Jarak dari pengamat sekitar 300 m dari pohon tersebut terhalang oleh lembah sungai yang curam. Lokasi ini berada di luar cagar alam dan termasuk dalam wilayah hutan lindung. Sampai hari mulai gelap, anak elang ini hanya berpindah-pindah tempat tidak jauh dari lokasi pertama ditemukan dan sang induk tidak kelihatan datang. Hari berikutnya diamati sepanjang hari dari pagi hingga sore hari dan pada pukul 16.30 baru terlihat ada seekor Elang Sulawesi dewasa (induknya) terbang ke arah anak dan bertengger sekitar 30 m dari tenggeran anaknya. 2. Bantimurung-Pattunuang Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Kasikebo, TWA Bantimurung, lokasi pertemuan dengan Elang Sulawesi (Foto: YPAL/Z. Rahman)
: Taman Wisata Alam/Cagar Alam : Maros : 2500 ha : 100-750 m dpl.
Kawasan ini terletak di Kecamatan Bantimurung sekitar 15-18 km arah timur kota Kabupaten Maros. Ciri khas kawasan adalah memiliki hutan dataran rendah di atas batuan limestone yang membentuk bukit-bukit kecil bersusun dengan ketinggian bukit yang hampir rata. Keadaan alamnya yang indah dengan aliran sungai yang membentuk air terjun dan gua batu kapurnya, maka sudah sejak lama sebagian kawasan CA Bantimurung dijadikan daerah
Lampiran I halaman ii tujuan wisata, seperti halnya Pattunuang yang dikelola sebagai taman wisata alam. Di Bantimurung seorang naturalis dunia Alfred Russel Walllacea telah banyak menghabiskan waktunya dalam kunjungan kedua ke Sulawesi tahun 1857. Fauna yang lebih dulu terkenal dari kawasan ini adalah keragaman kupu-kupu dan kera (Macaca maura). Aktifitas wisatawan yang kurang bertanggung jawab dan perambahan lahan penduduk menjadi kendala dalam pelestarian kawasan. Elang Sulawesi ditemukan di Kasikebo dekat Gua Batu, TWA/CA Bantimurung. Di lokasi ini pada 18 Februari 2000 pukul 10.41 WITA, terlihat elang dewasa bertengger di bagian tengah kanopi pohon di pinggir Sungai Bantimurung. Jarak pengamat dengan burung hanya sekitar 50 m dan burung itu merasa terganggu sehingga terbang ke arah pohon kecil di tebing curam batu kapur sekitar 100 m dari tempat asal ditemukan, dan terus bertengger sampai pukul 14.30.
Kawasan CA Bulusaraung dilihat dari Bontosiri, Samaendre (Foto: YPAL/Z. Rahman)
3. Malino Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Hutan Lindung : Gowa :: 1100-1550 m dpl
Malino adalah kota kecil di Kecamatan Tinggi Moncong, terletak 70 km arah Timur Makassar (Ujung Pandang) berada pada ketinggian 1000-1600 m dpl. Di Malino terdapat kawasan wisata alam berupa hutan pinus dan dengan kesejukan udaranya telah menjadi tempat rekreasi dan peristirahatan bagi masyarakat Makassar. Malino juga dikenal sebagai areal pertanian sayuran intensif sehingga pemandangan yang ada berupa lahan luas terbuka. Areal hutan yang ada berupa hutan pinus, sedangkan hutan alam yang tersisa hanya pada blok-blok kecil di tebing sungai. Jauh di sebelah tenggara Malino berdiri Gn. Bawakaraeng bersambungan dengan Gn. Lampobatang. Di Malino tidak dijumpai Elang Sulawesi, dan tercatat empat jenis burung pemangsa lainnya yaitu Elang Bondol,Alap-alap Sapi, Elang-ikan Kecil dan Elang-rawa Tutul. Lahan pertanian di Malino (Foto: YPAL/Z. Rahman)
4. Bonto Bahari Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Suaka Margasatwa : Bulukumba : 3000 ha (perkiraan) : 0 - 100 m dpl.
Suaka Margasatwa Bontobahari terletak di ujung Tenggara semenanjung Sulawesi Selatan 30 km sebelah timur Kota Bulukumba. Kawasan ini terhampar di daerah kering bebatuan karang membentuk savana dengan pepohonan pendek yang percabangannya melebar. Hampir dapat dikatakan tak ada pohon yang tingginya lebih dari 10 m. Vegetasi penyusunnya sebagian besar terdiri dari semak seperti Lantana camara serta banyak ditemukan tumbuhan tahan kering semacam kaktus. Di kawasan ini sulit sekali untuk menemukan sumber air. SM Bontobahari diperuntukkan untuk suaka Rusa Sambar dan kera akan tetapi selama waktu survey dilakukan tidak pernah terlihat adanya rusa. Sekeliling kawasan adalah pemukiman penduduk yang memanfaatkan tepi kawasan untuk menggembalakan sapi yang sering terlihat memasuki kawasan. Selama tiga hari pengamatan tidak dijumpai adanya Elang Sulawesi, dan masih tercatat beberapa jenis burung pemangsa yaitu Elang Tiram, Elang Tikus dan Elang-rawa Tutul
Savana di kawasan SM Bonto Bahari (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lampiran I halaman iii 5. Mampie Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Tunggul pohon-pohon bakau di dalam kawasan SM Mampie (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Suaka Margasatwa : Polmas : 1000 ha : 0-15 m dpl.
SM Mampie adalah kawasan konservasi yang unik, karena sebagian besar kawasan berupa tambak yang dikelola secara intensif. Sisa hutan mangrove yang masih ada tinggal sekitar 10% dari luas kawasan. Tekanan berat yang dialami kawasan ini adalah penebangan pohon mangrove, pembukaan lahan untuk tambak, dan perburuan hewan. Kami melihat ada empat ekor Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang ditangkap penduduk. Selain tekanan yang timbul karena aktifitas manusia, kawasan ini juga terus berkurang oleh adanya abrasi pantai. Kawasan konservasi ini diperuntukkan bagi pelestarian jenis-jenis burung air yang jarang antara lain Wilwo dan Ibis Hitam Di kawasan ini juga terdapat koloni kelelawar dan pada satu bulan terakhir telah berpindah tempat menduduki wilayah sisa hutan bakau yang biasa ditempati oleh jenis-jenis burung air. Akibat sementara yang nampak adalah koloni kelelawar telah menggeser burung-burung air dari tempat bertenggernya di pohon-pohon mangrove. Selama tiga hari pengamatan tidak terlihat adanya Elang Sulawesi maupun jenis burung pemangsa lainnya. 6. Lampoko Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Kawasan SM Lampoko berupa padang rumput yang sering digunakan untuk penggembalaan ternak oleh masyarakat (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Suaka Margasatwa : Polmas : 1000 ha : 10 - 15 m dpl.
SM Lampoko berada di sebelah barat berdampingan dengan SM Mampie (kedua kawasan ini ditunjuk dengan SK yang sama) dan keduanya masih tergolong sebagai lahan basah. Lampoko adalah subuah danau yang tengah mengalami proses pendangkalan (eutrofikasi). Sepanjang tepi danau banyak ditumbuhi oleh semak dan beberapa pohon kecil. Semakin ke arah luar terdapat penggembalaan sapi dan kuda serta sawah. Di beberapa tempat, penggembalaan dan sawah ini telah masuk ke dalam kawasan suaka. Tak ada Elang Sulawesi di lokasi ini, hanya di jumpai Elang-laut Perut putih dan Elang Bondol. 7. Pebadongan Mamasa Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Cara berladang dengan sistem tebang bakar terdapat di sekitar kawasan hutan Mambuliling (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Hutan Lindung : Polmas : 5000 ha (perkiraan) : 870 -1700 m dpl.
Mamasa terletak di sebuah lembah yang dikelilingi hutan bukit dan pegunungan berjarak sekitar 90 km dari Polewali. Di sebelah utara Mamasa membentang Pegunungan Mambuliling dan jauh di sebelah selatan terdapat Pegunungan Marudinding. Tekanan kuat terhadap kawasan hutan di wilayah ini adalah pembukaan hutan untuk tanaman keras terutama kopi. Sistem tebang bakar dalam membuka hutan merupakan pemandangan yang biasa terlihat di wilayah ini. Pengamatan dilakukan sepanjang rute dari Mamasa sampai di hutan di kaki Gn. Pebadongan, sebelah timur Gn. Mambuliling atau sekitar 5 km sebelah timur Mamasa. Dua individu (anak dan induk) Elang Sulawesi di jumpai di Pebadongan. Gn. Pebandongan Pukul 09.30, 29 Pebruari pada ketinggian 1475 m dpl terdengar seri suara
Lampiran I halaman iv anak Elang Sulawesi. Suara itu bersumber dari balik bukit dimana terdapat aliran sungai Sungai Tetean di kaki Gn. Pebandongan. Pukul 10.08 di tepi hutan pada ketinggian 1510 m dpl terlihat satu individu Elang Sulawesi dewasa terbang memutar di dekat asal suara anak, kemudian terbang ke arah barat dan menghilang. Elang dewasa tersebut terlihat jelas band di ekornya, tubuh bagian dada coklat gelap, dan bagian luar sayapnya terlihat agak terang dengan garis melintang terlihat jelas. Burung ini kelihatannya masih induk dari anak elang yang suaranya terdengar sebelumnya. 8. Hutan Nanggala Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: HL, TWA : Tator : 8000 ha (perkiraan) : 800-1300 m dpl.
Berladang dengan sistem tebang bakar di Mambuliling Mamasa (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Hutan Nanggala adalah wilayah hutan pegunungan yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Tana Toraja dengan Luwu dibelah oleh jalan poros antara Rantepao-Palopo. Sekitar 500 ha dari kawasan hutan lindung ini ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam (TWA) yang dikenal dengan Nanggala III. TWA ini mencakup kawasan hutan alami dan sebagian berupa kebun cengkeh milik penduduk. Nanggala I terletak di sekitar sebelah selatan TWA dan kedua lokasi ini disambungkan dengan hutan alam. Sebagian hutan di Nanggala I sudah dikonversi menjadi kebun kopi yang dikelola oleh PT Tarco Jaya, dan juga terdapat tanaman coklat penduduk yang dikelola dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Pengamatan di wilayah ini dilakukan di sepanjang jalan poros Nanggala III, Kebun Tarco Jaya dengan titik pengamatan di Toperaukan dan jalur antara Dusun Rura melintasi hutan sampai di Dusun Sa'bang. Elang Sulawesi dijumpai pada dua lokasi yaitu Toperaukan dan di blok hutan Wayrede, namun mengingat jarak kedua tempat tersebut relatif dekat maka diperkirakan masih individu yang sama. Toperaukan Tanggal 12 Maret, pukul 11.28, sepasang Elang Sulawesi dewasa terlihat terbang rendah soaring bersama sambil sesekali bersuara di pinggir hutan yang berbatasan dengan kebun kopi Tarco Jaya. Suaranya terdengar seperti siulan pendek berawal dari suara lembut dan berakhir nyaring melengking. Satu individu agak kelihatan lebih gelap dibanding dengan yang lainnya dan pada keduanya terlihat tiga palang putih di ekor berjarak sama. Tanggal 13 Maret, satu individu dewasa terlihat terbang memutar di atas blok hutan Wayrede sambil mengeluarkan suara. Jarak antara Toperaukan dan Wayrede sekitar 1,5 km dan nampaknya individu ini sama dengan yang terlihat sebelumnya.
Pemandangan di Puncak, Nanggala (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
9. Kalaena Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: CagarAlam : Luwu Utara : 125 ha : 100 - 150 m dpl.
CA Kalaena merupakan kawasan hutan sekunder dataran rendah dengan topografi cenderung landai sedikit berbukit-bukit. Kawasan ini dikelilingi oleh kebun kelapa sawit yang memisahkannya dengan hutan luas. Blok hutan terdekat adalah CA Ponda-ponda (sekitar 80 ha) terletak sekitar 100? di sebelah utara CA Kalaena. Kedua petak hutan ini terpisah sekitar 30 km dari CA Faruhumpenai. Selama tiga hari pengamatan di kawasan ini tidak dijumpai Elang Sulawesi, namun tercatat tiga jenis elang lain yaitu Sikepmadu Sulawesi, Elang Tikus dan Elang-alap Kepala kelabu
CA Kalaena berada di tengah-tengah kebun kelapa sawit (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lampiran I halaman v 10. Pegunungan Faruhumpenai Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Hamparan hutan di kawasan CA Faruhumpenai (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: CagarAlam : Luwu Utara : 90.000 ha : 250-1.768 m dpl.
Faruhumpenai adalah kawasan konservasi yang paling luas di wilayah daratan Sulawesi Selatan. Kawasan ini bertofografi berbukit-bukit, terbentang pada ketinggian antara 250-1750 m dpl dan hampir selalu diselimuti oleh kabut serta sering turun hujan. CA Faruhumpenai belum memiliki tapal batas yang jelas di lapangan. Sebelah barat kawasan sepanjang sekitar 40 km dibatasi oleh jalan poros antar Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Di seberang jalan poros tersebut terletak kawasan hutan lindung yang tengah dibuka untuk perkebunan (kopi) dan perkampungan. Sebelah utara kawasan dibatasi oleh batas administratif Provinsi Sulawesi Tengah, dan masih berupa kawasan hutan lindung. Sebelah selatan berbatasan dengan lahan hak guna usaha (HGU) PT Sindoka yang ditanami kelapa sawit, namun belum sepenuhnya beroperasi. Semakin ke arah Timur, berbatasan dengan hutan lindung dan lahan yang dikelola penduduk. Di beberapa lokasi, kawasan ini mendapat tekanan yang cukup kuat dengan adanya perambahan lahan untuk ekstensifikasi kebun coklat. Perambahan yang terdeteksi terjadi di Porowoi - Laroeha tidak kurang dari 100 ha lahan hutan berubah menjadi kebun kopi, di Dandawasu sejak tahun 1994 (Sahril, pers. comm) sekitar 400 ha hutan kawasan telah dikonversi menjadi kebun coklat. Di Rawa Bengkok dijumpai adanya eksploitasi kura-kura yang cukup intensif dan para pengambil kura-kura tersebut membuat sekitar 15 pondok pemukiman dalam kawasan yang dibuat pada musim hujan dan akan bertambah sampai 50 pondok pada musim kering.
Kabut sering menyelimuti hutan bukit di kawasan CA Faruhumpenai (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lokasi pengamatan di kawasan ini adalah sepanjang jalan poros antar provinsi yang melewati kawasan Faruhumpenai dengan titik pengamatan dipilih di sekitar tugu batas provinsi, Sampuraga, Menara Telkom dan Salanoa. Daerah bagian selatan dan timur kawasan yang dikunjungi adalah Kelenenya, Laroeha, Rawa Bengkok dan Kandang-Landange. Elang Sulawesi terlihat di empat lokasi yaitu di Sampuraga, Salanoa, Kelenenya dan Laroeha. Sampuraga Pada tanggal 20 Maret 2000, pukul 10.14 seekor elang dewasa terbang melintas dari arah barat ke selatan di kawasan hutan sekitar Sampuraga (1270 m dpl). Elang tersebut terpantau selama 43 detik sebelum menghilang masuk ke dalam kanopi hutan. Ciri khas palang ekor jelas terlihat, namun bagian dada terlihat gelap. Jenis elang lain yang terlihat yaitu Elang-ular Sulawesi dan Sikep-madu Sulawesi. Salanoa Pada tanggal 21 Maret 2000, pukul 13.05 pada waktu cuaca mendung di pinggir jalan dekat air terjun Salanoa (630 m dpl), terdengar suara anak Elang Sulawesi. Anak elang ini terlihat terbang rendah dan kemudian bertengger di pohon besar (sejenis ficus) sambil terus ribut bersuara. Anak elang ini diperkirakan baru berumur 5-6 bulan dan nampaknya seusia dengan yang ditemukan di Bontosiri. Pukul 13.35 terlihat sepasang elang dewasa terbang memutar di atas kawasan tersebut dan kemudian hinggap di kanopi pohon tebing sebelah utara. Pengamatan segera berhenti karena hujan mulai turun dan anak elang sudah tidak ribut bersuara lagi. Jenis elang lain yang terlihat yaitu Elang-ular Sulawesi, Sikep-madu Sulawesi dan Elang Bondol.
Kebun kopi dan coklat di dalam kawasan CA Feruhumpenai (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Kelenenya Tanggal 23 Maret 2000, pukul 09.34 satu individu dewasa terbang meluncur (gliding) di tepi hutan yang berbatasan dengan kebun coklat. Lokasi
Lampiran I halaman vi pertemuan ini berada di tengah hutan pada ketinggian 640 m dpl dan dapat ditempuh dalam waktu dua jam jalan dari Unit 5 Desa Taripa, Kec. Malili. Jenis elang lain yang terlihat yaitu Elang-ular Sulawesi, Sikep-madu Sulawesi, Elang Ikan Kepala-abu, dan Elang Perut-karat Laroeha Pada tanggal 25 Maret 2000, pukul 21.21 di atas perkampungan Laroeha (350 m dpl) terlihat satu individu terbang memutar (soaring) kemudian meluncur (gliding) ke arah hutan di sebelah utara. Individu ini terlihat dewasa dengan bulu kiri sayap terlihat tanggal. Jenis burung pemangsa lainnya yang terlihat di Laroeha dan sekitarnya adalah Elang ikan Kepala-abu, Elang Bondol dan Elang Ular Sulawesi.
Danau Towuti. (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
11. Danau Towuti-Mahalona Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Taman WisataAlam, Hutan Lindung : Luwu Utara : 65.000 ha (perkiraan) : 295 - 600 m dpl.
Kawasan Taman Wisata Danau Towuti didalamnya tercakup juga kawasan Danau Mahalona, dan kedua danau tersebut disambungkan oleh Sungai Mahalona sejauh sekitar 7 km. TWA Danau Towuti menyajikan wisata air tawar dengan pemandangan mempesona karena adanya hutan yang mengelilingi danau tersebut. Kawasan hutan yang termasuk dalam wilayah TWA ini sejauh 500 meter dari tepi danau. Secara umum keadaan hutan taman wisata ini terlihat dari tengah danau masih bagus, namun di beberapa lokasi seperti di Lengko Bale dan Mia dijumpai banyak bekas penebangan dan gelondongan kayu yang siap dirakit ke Timampu. Timampu yang terletak di tepi barat-daya Danau Towuti adalah perkampungan besar dengan lebih dari 30 perusahaan penggergajian kayu (sawmill). Menurut petugas jagawana TWA, saat ini kayu-kayu yang masuk sawmill Timampu kebanyakan didatangkan dari wilayah Sulawesi Tenggara. Elang Sulawesi hanya dijumpai di Lengko Bale. Lengko Bale Pada tanggal 29 Maret 2000 satu individu Elang Sulawesi dewasa terlihat soaring di kawasan hutan Lengko Bale (300 m dpl), sisi timur Danau Towuti. Kemudian elang tersebut meluncur ke arah tenggara sambil sesekali mengeluarkan suara. perbatasan sekitar 2-4 km arah tenggara tepi Danau Towuti. Elang tersebut sesekali mengeluarkan suara dan terlihat soaring di atas hutan.
Kayu gelondongan di tepi danau Towuti. (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
12. Danau Matano Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: TWA : Luwu Utara : 30.000 ha (perkiraan) : 400 - 600 m dpl.
Status kawasan Danau Matano adalah TWA termasuk dalam satu wilayah kerja dengan Danau Towuti-Mahalona. Ketiga danau ini dihubungkan oleh sungai yang terus mengalir ke Malili. Di tepi danau ini terdapat lima desa yaitu Desa Soroako, Soroako Baru, Nikel, Nuha dan Matano. Di sisi danau terdapat tanah terbuka yang hanya ditumbuhi rumput, sawah dan kebun kopi dan coklat milik penduduk. Hutan yang masih ada di tepi danau terlihat sudah jarang memiliki pohon kayu besar. Sebagian lahan di sekitar danau juga telah menjadi konsesi Tambang Nikel PT INCO. Tekanan yang dihadapi kawasan ini adalah pembukaan lahan di sekitar danau untuk pemukiman dan petanian selain dari pertambangan nikel itu sendiri.
Danau Matano (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lampiran I halaman vii 13. Danau Tempe Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Padang rumput di tepi Danau Tempe (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Bukan kawasan konservasi : Wajo, Soppeng, Sidrap, : 35.300 ha (perkiraan) : 30-60 m dpl.
Kawasan ini terletak arah timur kota Pare-pare atau arah selatan kota Pangkajene, di sekitar kawasan ini (Kab. Sidrap dan Sengkang) terdapat tiga danau yang terletak berdekatan yaitu Danau Tempe (13.000 ha), Buaya (300 ha) dan Sidenreng (3.000 ha). Kawasan ini pernah diusulkan sebagai kawasan konservasi dengan status Suaka Margasatwa (Silvius dkk. 1986). Danau Tempe merupakan danau yang terbesar di antara ketiga danau tersebut, dikelilingi oleh pemukiman penduduk dengan hampir sebagian besar hutannya sudah hilang. Salah satu pemukiman penduduk yang sebenarnya terletak di pinggiran Danau Tempe adalah Desa Nitue, pemukiman ini dihuni oleh penduduk yang bekerja sebagai nelayan. 14. Air Terjun Wera Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Taman WisataAlam : Donggala : ± 250 ha : 150-800 m dpl.
Taman Wisata Alam Air terjun Wera berada di wilayah Kecamatan Dolo, sekitar 19 km arah selatan Kota Palu. Daerah konservasi ini terletak pada ketinggian 150-800 m dpl dan kondisi topografi pada umumnya berlereng sampai terjal dengan kemiringan 60-90 % terutama di sekitar air terjun. Aliran Sungai Wera membentuk lembah sempit yang diapit bukit-bukit hutan dan padang rumput. Kawasan hutan taman wisata ini sebagian besar berbatasan dengan lahan garapan penduduk terutama di lahan datar sekitar Desa Balumpewa. Elang Sulawesi dijumpai di wilayah Desa Balumpewa.
Petak hutan dan padang rumput di sekitar kawasan TWA Air terjun Wera (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Balumpewa Tanggal 11 Agustus 2000, satu individu dewasa terlihat pukul 10.30 sedang soaring sambil bersuara di kawasan hutan sekitar air terjun, 1 km sebelah barat Desa Balumpewa. Elang ini terlihat terbang di atas hutan yang berbatasan dengan perkebunan penduduk dan kemudian hilang dibalik pegunungan dekat air terjun. Keesokan harinya (12 Agustus) pada pukul 09.53 satu individu dewasa terbang memutar sambil bersuara dan beberapa saat kemudian individu lainnya terlihat terbang dan kemudian terbang bersama di atas hutanAir Terjun Wera 15. Lore-Lindu Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Taman Nasional : Donggala, Poso : 229.000 ha : 140-2610 m dpl.
Secara administratif, kawasan Taman Nasional (TN) Lore-lindu termasuk dalam wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso. Taman nasional ini memiliki luas sekitar 231.000 ha, oleh karena itu telah menjadi taman nasional daratan terluas di Sulawesi. Sebagian besar mamalia endemik dan 83% avifauna endemik telah tercatat atau sangat erat kaitannya dengan keberadaan taman nasional. TN Lore-Lindu dicatat sebagai sebuah cagar biosfer. Kawasan TN Lore Lindu (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Bagian terbesar dari TN Lore-Lindu terbentang pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl, dengan Gn. Nokilalaki (2.356 m) sebagai gunung tertinggi. Vegetasi hutan pegunungan pada ketinggian tersebut disusun oleh tiga
Lampiran I halaman viii macam tumbuhan utama yaitu dari jenis-jenis gelam (oaks), Euphorbiaceae (chestnut) dan Lauraceae. Pada daerah yang lebih rendah, dengan perbandingan sekitar 10% dari luas taman nasional, hutan dataran rendah berada dan pada ketinggian di atas 2000 m dpl terdapat flora sub-alpin. Daerah savana terdapat di Bora di bagian utara kawasan, Besoa (bagian barat) dan di Bada (bagian Selatan). Selain itu banyak terdapat sungai dan danau kecil yang membentuk rawa-rawa terutama di daerah Danau Lindu yang luas rawanya mencapai lebih dari 2000 ha. Lambara Tanggal 15 Agustus 2000, satu individu elang dewasa terlihat selama tiga menit terbang mencari mangsa di atas hutan Monsun, pada pukul 11.00 selama 3 menit, kemudian hilang di balik bukit arah ke selatan.
Simoro, TN Lore Lindu (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Dusun III Pakuli Tanggal 12 Agustus 2000, pukul 16.00 sepasang Elang Sulawesi terlihat terbang bersama di sekitar hutan Taman Nasional Lore-lindu. Dusun II Pakuli Pada tanggal 13 Agustus 2000, dari pinggiran hutan yang berdekatan dengan ladang penduduk terlihat satu individu dewasa terbang dari balik bukit di arah timur dan terbang memutar di sekitar sungai sebelum kembali menghilang dibalik bukit tersebut. Simoro Tanggal 14 Agustus 2000, pukul 10.44 satu individu dewasa terbang sambil bersuara dan beberapa saat kemudian individu lainnya terbang di atas perbukitan, dan pada pukul 12.08 terlihat satu individu dewasa lainnya terbang pada jarak sekitar 1,5-2 km dari individu pertama dilihat. Kulawi Pada tangal 15 Agustus 2000, pukul 09.30 seekor individu muda terbang di sekitar hutan dekat aliran sungai dan beberapa saat kemudian pada pukul 10.38 satu individu dewasa terlihat bertengger di atas pohon sekitar aliran sungai sebelum keduanya terbang ke balik bukit Sidaunta Tanggal 16 Agustus 2000, pukul 12.24 terdengar suara elang pada ketinggian 950 m dpl dan beberapa saat kemudian pada pukul 12.53 telihat satu individu dewasa terbang melintas menuju lembah dari ketinggian 1020 m dpl. Puroo Tanggal 17 Agustus 2000, pukul 11.53 terlihat seekor Haliastur indus terbang memutar sekitar sarangnya (900 m) dan kemudian terbang menuju arah barat (sekitar 1 km) dan beberapa kali melakukan penyerangan terhadap seekor Elang Sulawesi dewasa yang sedang bertengger. Pukul 12.14 Elang Sulawesi tersebut terbang menuju arah barat dan masuk ke dalam hutan. Tomado Tanggal 3 Juli 2000, pukul 13.40 terlihat dua individu (induk dan anaknya) terbang dari arah selatan dan hinggap di pohon Ficus sp besar di kebun kopi, di belakang ‘guest house’kehutanan. Terlihat induk tersebut sedang mengajar berburu pada anaknya. Setelah sekitar tiga menit hinggap, sang induk terbang ke arah hutan dan dua menit kemudian induk terbang kembali sambil membawa tikus. Anak bersuara beberapa kali untuk mencari perhatian induk tapi kemudian induk terbang dan pindah ke pohon lain (Erythrina sp.) dekat hutan dan diikuti oleh anak. Induk memakan mangsanya di pohon tersebut, setelah habis lalu keduanya terbang kembali ke balik bukit di arah barat. Kamarora Di Kamarora terdapat ‘guest house’ taman nasional yang terdapat di dalam kawasan. Di lokasi ini terdapat daerah agak terbuka sehingga dapat melihat secara luas sebagian kawasan berhutan dan pegunungan taman nasional. Di
Bagian interior kawasan hutan di Sidaunta, TN Lore lindu (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lampiran I halaman ix lokasi ini terjadi beberapa kali kontak perjumpaan (3 Maret - 19 Agustus 2000) dengan Elang Sulawesi terutama pada jam 09.00-11.00 di beberapa lokasi yang berbeda dengan perkiraan terdapat tiga individu dari pasangan yang berbeda. Tongoa Tongoa berada pada pertigaan jalan menuju ke arah Dongi-dongi dan Kamarora. Di lokasi ini pada tanggal 9 April 2000, pukul 11.05 terlihat satu individu dewasa sedang 'soaring', setelah teramati selama dua menit lalu terbang menghilang di balik bukit di sebelah barat ke arah Kamarora. Hutan di Sedoa, TN Lore Lindu (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Batu Salome, Puncak, Napu Tanggal 20 Agustus 2000, pukul 11.38 satu individu dewasa terlihat bertengger di atas pohon (1170 m dpl.) dan beberapa saat kemudian terbang ke dalam hutan. Pukul 11.58 di atas jembatan Dongi-dongi (1010 m dpl) terlihat? satu individu lain terlihat terbang tinggi menuju arah barat. Sedoa Tanggal 22 Agustus 200, pukul 11.12 satu individu terlihat terbang sambil bersuara dan bertengger di pohon besar. Beberapa saat kemudian terlihat individu lainnya terbang dari balik bukit dan bertengger di pohon yang sama tidak jauh dari tempat tenggeran individu pertama, setelah itu keduanya terbang bersama menuju hutan di balik bukit. Wuasa Tanggal 16 September, pukul 10.12 terlihat dua individu (dewasa dan muda) terbang bersama dari arah barat dan hinggap di pohon Leda (Eucalyptus sp), setelah lima menit kemudian keduanya terbang lagi ke arah barat daya. Dodolo Tanggal 19 September 2000, satu individu dewasa terlihat terbang melintas jalan di Dodolo pada jam 10.30, kontak hanya sekitar 30 detik. 16. Morowali
Kebakaran padang rumput di Tn Lore Lindu (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Danau ranu di CA Morowali (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: CagarAlam : Morowali : 225.000 ha : 0 2630 m dpl.
Kawasan ini termasuk wilayah Kabupaten Morowali. Dengan aksesibilitas terdekat melalui Kolonedale dengan menggunakan perahu atau motor boat. Dari Kolonedale akan terlihat bagian barat kawasan. CA Morowali yang memiliki topografi mulai dari dataran rendah sampai dengan pegunungan. Keadaan hutan daratan rendah di sini relatif baik walaupun dijumpai pengalihan fungsi hutan menjadi ladang di beberapa lokasi yang dilakukan oleh penduduk, terutama di pinggiran Sungai Morowali dan Sungai Ranu serta sekitar Danau Ranu. Di dalam kawasan terdapat perkampungan dan ladang masyarakat Suku Wana, yaitu suku asli yang tinggal di kawasan ini. Rute survey dimulai dari muara Sungai Morowali, Danau Ranu sampai di muara Sungai Ranu. Elang Sulawesi dijumpai di Kayupoli dan di hutan sekitar perkampungan Kolonedale. Kayupoli Tanggal 25 Agustus 2000, pukul 10.48 satu inidividu dewasa terlihat terbang tinggi, kemudian individu lainnya mengikuti sebelum keduanya terbang menuju kawasan hutan pinggiran Sungai Morowali (15 m dpl). Pada pukul 13.00 terdengar suara panggilan elang muda ketika satu individu dewasa Elang Hitam terbang disekitar kawasan itu. Lokasi pertemuan ini tidak terlalu jauh dari padang rumput dimana dua individu elang dewasa terbang tinggi melintas diatasnya. Tanggal 26 Agustus, antara jalan yang menghubungkan Kayupoli dengan Danau Ranu (90 m dpl), pada pukul 10.26 terlihat satu individu lainnya terbang memutar di atas hutan seberang Danau Ranu.
Lampiran I halaman x Kolonedale Tanggal 27 Agustus 2000, pukul 11.00 terdengar beberapa kali suara panggilan individu muda tetapi belum diketahui lokasinya, beberapa saat kemudian terlihat dua individu dewasa terbang di sekitar kawasan tersebut. Pada pukul 12.49 terlihat individu muda tersebut bertengger sambil terus memanggil induknya yang masih terbang di sekitar kawasan tersebut. 17. Tanjung Matop Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Suaka Margasatwa : Toli-toli : 1.612,5 ha : 0 420 m dpl.
Tanjung Matop terletak 95 km arah utara kota Toli-toli termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Toli-toli. Kawasan dibelah oleh jalan raya sepanjang 22 km yang menghubungkan Desa Pinjan di sebelah Selatan dan Desa Binontoan sebelah Utara. Kawasan ini memiliki dua tipe hutan yaitu hutan dataran rendah dan hutan pantai. Hutan di kawasan tersebut relatif baik terutama di sebelah kiri jalan, tetapi sebelah kanan jalan yang masih dekat dengan Desa Pinjan sudah banyak dijadikan lahan perkebunan cengkeh oleh penduduk. Di kawasan ini terutama terdapat Maleo (Macrocephalon maleo) dengan populasi yang masih terbilang banyak. Pada musim bertelur puluhan pasang Maleo turun dari hutan menuju pantai untuk bertelur. Sayangnya pantai tempat mereka bertelur terus berkurang oleh adanya abrasi. Terjadinya abrasi ini menjadi salah satu alasan petugas kehutanan membuat penangkaran dan penetasan telur Maleo di Desa Pinjan, tetapi penangkaran ini kurang terkelola dengan baik.
Ujung Semenanjung Tanjung Matop (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Pinjan - Binontoan Survey di sepanjang 8 km jalan antara Desa Pinjan - Binontoan telah berhasil mencatat setidaknya tiga pasang Elang Sulawesi. Tanggal 1 September 2000, pada pukul 10.00-11.00 terjadi beberapa kali perjumpaan dengan Elang Sulawesi dari empat individu berbeda. Sepasang elang terlihat melakukan display di atas hutan pada pukul 14.30. 18. Tobuli-Kawaeli Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
: Hutan Lindung : Donggala : 6000 ha (perkiraan) : 400 750 m dpl.
Kawasan berhutan yang dilalui oleh jalan yang menghubungkan antara Kota Palu dengan daerah di utara, jalan ini sepanjang kurang lebih 26-30 km. Pada tanggal 28 Agustus 2000, pukul 14.45 sepasang Elang Sulawesi terbang memutar di atas hutan pada km 67 dari Palu, dan beberapa saat kemudian menghilang di balik bukit, pukul 14.56 satu individu dewasa lainnya terbang dan bertengger tidak terlalu jauh dari jalan raya pada km 59.
Bukaan hutan untuk jalan di sekitar kawasan Tobuli-Kawaeli (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
Lampiran I halaman xi 19. Tambu - Kasimbar Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Kawasan hutan yang relatif utuh di sekitar Tambu-Kasimbar (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Hutan Lindung : Donggala : 5000 ha (perkiraan) : 75 250m dpl.
Tambu adalah sebuah desa di Kecamatan Balaesang dan Kasimbar adalah desa di Kecamatan Ampibabo. Kedua desa tersebut dihubungkan oleh jalan beraspal sepanjang kurang lebih 30-40 km yang memotong pegunungan dan hutan lindung mulai dari pantai barat sampai pantai timur. Hutan di sepanjang jalan tersebut sebagian besar agak terganggu oleh pembukaan lahan perkebunan, terutama di dekat pemukiman penduduk. Pada tanggal 29 Agustus, satu individu dewasa terlihat terbang memutar di kawasan hutan dekat Desa Tambu pada pukul 09.48. Beberapa saat kemudian pada pukul 11.15 dua individu dewasa terbang hampir bersamaan dengan jarak tidak terlalu jauh sebelum keduanya terbang secara bersamaan sambil bersuara dari salah satunya. Pukul 13.49 satu individu dewasa lain terbang memutar sekitar hutan dekat perkebunan kopi penduduk Dusun Ranang Desa Kasimbar. 20. Pegunungan Ogoamas Status Kabupaten Luas Rentang ketinggian
Pemandangan kearah kawasan Pegunungan Ogoamas (Foto: YPAL/Zaini Rahman)
: Hutan Lindung : Donggala : 5000 ha (perkiraan) : 50 500 m dpl.
Pegunungan Ogoamas adalah salah satu pegunungan yang cukup besar di kawasan Sulawesi Tengah bagian Utara. Status hutan di sekitar kawasan pegunungan ini adalah hutan lindung dengan keadaan relatif masih baik kecuali di dekat perkampungan penduduk. Hutan yang dekat dengan perkampungan sebagian besar sudah menjadi perkebunan cengkeh dan kelapa. Beberapa daerah di kawasan pegunungan ini yang diajukan untuk kawasan konservasi adalah Gn. Sojol, Gn. Tinombala dan Gn. Dako. Satu individu elang dewasa terlihat terbang di atas hutan sekitar kawasan Bambapun dekat Gn. Sojol pada tanggal 2 September 2000 pukul 10.10.
Lampiran II Tipe vegetasi di setiap titik pengamatan
Lokasi Titik Pengamatan Tipe Vegetasi Reatoa Bontosiri Pattunuang Airterjun gua batu Pesanggrahan Lambana Pasirputih Menara Mampie lampoko Pebadongan Nanggala III Kebun kopi Tarcojaya Wayrede Margolembo Sampuraga Salonoa Kalenenya Laroeha Landange Rawa bengkok Tinampu Mia Lengkobale Kp. Mahalona Batu apa Pasir hitam Nitue Balumpewa Tongoa Kamarora Lambara Wuasa Dodolo Tomado, Danau Lindu DusunIII Pakuli Dusun II Pakuli Simoro Kulawi Sidaunta Puroo Puncak-Batu Salome Sedoa Morowali Kayupoli Kolonedale Kawaeli-Tobuli Kawaeli-Tobuli b Tambu Ranang Pinjan Binontoa CA Gn. Sojol Tinombala
Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan bawah Hutan batu kapur Hutan batu kapur Hutan mono kultur Lahan pertanian Savana Savana Mangrove Marshes Hutan pegunungan atas Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan atas Hutan dataran rendah Hutan pegunungan atas Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Lahan pertanian Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Marshes Hutan dataran rendah Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan bawah Hutan Monsun Hutan pegunungan atas Hutan pegunungan atas Hutan pegunungan bawah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan atas Hutan pegunungan atas Hutan pantai Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pantai Hutan pantai Hutan dataran rendah Hutan pegunungan bawah
% Penutupan
Keberadaan
F4 F2 F3 F3 F2 F4 F2 F3 F1 F4 F3 F4 F2 F2 F1 F2 F2 F3 F2 F2 F1 F3 F3 F3 F3 F4 F4 F2 F3 F3 F3 F4 F3 F4 F3 F4 F4 F2 F2 F2 F2 F1 F4 F4 F3 F4
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
Ket: Katagori hutan (alami) berdasarkan penutupan hutan: 05 - 25% = F1; 25 - 50% = F2; 51 - 75% = F3; 76 - 100% = F4
Pandion haliaetus Aviceda jerdoni Pernis celebensis Macheiramphus alcinus Elanus caeruleus Milvus migrans Haliastur indus Haliaeetus leucogaster Ichthyophaga humilis Ichthyophaga ichthyaetus Spilornis rufipectus Circus assimilis Accipiter griseiceps Accipiter trinotatus Accipiter nanus Accipiter rhodogaster Butastur liventer Ictinaetus malayensis Hieraaetus kienerii Spizaetus lanceolatus Falco moluccensis Falco severus Falco peregrinus
Elang Tiram Baza Jerdon Sikep-madu Sulawesi Elang Kelelawar Elang Tikus Elang Paria Elang Bondol Elang-laut Perut-putih Elang-ikan Kecil Elang-ikan Kepala-kelabu Elang-ular Sulawesi Elang-rawa Tutul Elang-alap Kepala-kelabu Elang-alap ekor-totol Elang-alap Kecil Elang-alap dada-merah Elang Sayap-coklat Elang Hitam Elang Perut-karat Elang Sulawesi Alap-alap Sapi Alap-alap Macan Alap-alap Kawah
Ket: + = keberadaan
spesies
NAMA INDONESIA Wera
Pakuli
+
Kulawi
Simoro
Sedoa
Bosoa
+ +
Kamarora
Sidaunta
+ +
+ +
+
+ + + + + + + +
+
+ +
Kamarora
Puncak
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + + +
+
Tongoa
+ + + + + + + + +
Kolonedale
Morowali
Tomado
+ +
+ +
Tjg Matop
Tinombala Tambu
Kawaeli
+ + + + + + + + +
Ogoamas
Dodolo
+
+ + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
Lambara
LOKASI
Wuasa
Spesies burung pemangsa (raptor) yang dijumpai selama survey
Lampiran III
Lampiran IV Daftar spesies burung yang tercatat selama survey, urutan sistematika dan nama burung mengacu pada Andrew (1992) LesserFrigatebird Fregataariel
Whimbrel Numeniusphaeopus
PacificSwallow Hirundotahitica
LittlePiedCormorant Phalacrocoraxmelanoleucos
Bar-tailedGodwit Limosalapponica
YellowWagtail Motacillaflava
OrientalDarter Anhingamelanogaster
CommonRedshank Tringatotanus
GreyWagtail Motacillacinerea
PurpleHeron Ardeapurpurea
MarshSandpiper Tringastagnatilis
Richard'sPipit Anthusnovaeseelandiae
GreatEgret Casmerodiusalbus
CommonGreenshank Tringanebularia
PechoraPipit Anthusgustavi
PiedHeron Egrettapicata
WoodSandpiper Tringaglareola
CaeruleanCuckoo-shrike Coracinatemminckii
IntermediateEgret Egrettaintermedia
CommonSandpiper Actitishypoleucos
White-rumpedCuckoo-shrike Coracinaleucopygia
LittleEgret Egrettagarzetta
Long-toedStint Calidrissubminuta
CommonCicadabird Coracinatenuirostris
ReefEgret Egrettasacra
Stilt Himantopushimantopus
SulawesiCicadabird Coracinamorio
CattleEgret Bubulcusibis
WhiskeredTern Chlidoniashybridus
SulawesiTriller Lalageleucopygialis
JavanPond-heron Ardeolaspeciosa
CommonTern Sternahirundo
White-shoulderedTriller Lalagesueurii
StriatedHeron Butoridesstriatus
LittleTern Sternaalbifrons
Sooty-headedBulbul Pycnonotusaurigaster
Black-crownedNight-heron Nycticoraxnycticorax
Grey-cheekedGreenPigeon Trerongriseicauda
PiedBush-chat Saxicolacaprata
RufousNight-heron Nycticoraxcaledonicus
Pink-neckedGreenPigeon Treronvernans
SulawesiBabbler Trichastomacelebense
YellowBittern Ixobrychussinensis
SuperbFruit-dove Ptilinopussuperbus
ClamorousReed-warbler Acrocephalusstentoreus
CinnamonBittern Ixobrychuscinnamomeus
Maroon-chinnedFruit-dove Ptilinopussubgularis
ZittingCisticola Cisticolajuncidis
BlackBittern Ixobrychusflavicollis
White-belliedImperialPigeon Duculaforsteni
Golden-headed CisticolaCisticolaexilis
MilkyStork Mycteriacinerea
GreenImperialPigeon Duculaaenea
MountainTailorbird Orthotomuscuculatus
Woolly-neckedStork Ciconiaepiscopus
PiedImperialPigeon Duculabicolor
SulawesiLeaf-warbler Phylloscopussarasinorum
GlossyIbis Plegadisfalcinellus
SombrePigeon Cryptophapspoecilorrhoa
Grey-streakedFlycatcher Muscicapagriseisticta
Osprey Pandionhaliaetus
SulawesiBlackPigeon Turacoenamanadensis
IslandFlycatcher Eumyiaspanayensis
Jerdon'sBaza Avicedajerdoni
Slender-billedCuckoo-dove Macropygiaamboinensis
LittlePiedFlycatcher Ficedulawestermanni
BarredHoney-buzzard Perniscelebensis
SpottedDove Streptopeliachinensis
Rofousthroatfllycatcher Ficedularufigula
Black-wingedKite Elanuscaeruleus
EmeraldDove Chalcophapsindica
MangroveBlueFlycatcher Cyornisrufigastra
BlackKite Milvusmigrans
SulawesiGround-dove Gallicolumbatristigmata
Flyeater Gerygonesulphurea
BrahminyKite Haliasturindus
OrnateLorikeet Trichoglossusornatus
Black-napedMonarch Hypothymisazurea
White-belliedSea-eagle Haliaeetusleucogaster
Yellow-and-greenLorikeet Trichoglossusflavoviridis
Rusty-belliedFantail Rhipidurateysmanni
LesserFish-eagle Ichthyophagahumilis
Golden-mantledRacquet-tail Prioniturusplaturus
Sulphur-belliedWhistler Pachycephalasulfuriventer
Grey-headedFish-eagle Ichthyophagaichthyaetus
Blue-backedParrot Tanygnathussumatranus
Yellow-sidedFlowerpecker Dicaeumaureolimbatum
SulawesiSerpent-eagle Spilornisrufipectus
SulawesiHanging-parrot Loriculusstigmatus
Crimson-crownedFlowerpecker Dicaeumnehrkorni
SpottedHarrier Circusassimilis
Red-billedHanging-parrot Loriculusexilis
Grey-sidedFlowerpecker Dicaeumcelebicum
SulawesiGoshawk Accipitergriseiceps
Rusty-breastedCuckoo Cacomantissepulcralis
LasserSulawesiHoneyeater Myzacelebensis
Spot-tailedGoshawk Accipitertrinotatus
Gould'sBronzeCuckoo Chrysococcyxrussatus
Brown-throatedSunbird Anthreptesmalacensis
SmallSparrow-hawk Accipiternanus
Black-billedKoel Eudynamysmelanorhyncha
BlackSunbird Nectariniaaspasia
Vinous-breastedSparrow-hawk Accipiterrhodogaster
Yellow-billedMalkoha Rhamphococcyxcalyorhynchus
Olive-backedSunbird Nectariniajugularis
Rufous-wingedBuzzard Butasturliventer
LesserCoucal Centropusbengalensis
CrimsonSunbird Aethopygasiparaja
BlackEagle Ictinaetusmalayensis
BayCoucal Centropuscelebensis
MountainWhite-eye Zosteropsmontanus
Rufous-belliedEagle Hieraaetuskienerii
Owl Tyto sp
Lemon-belliedWhite-eye Zosteropschloris
SulawesiHawk-eagle Spizaetuslanceolatus
BrownBoobook Ninoxscutulata
Pale-belliedWhite-eye Zosteropsconsobrinorum
BatHawk Macheirhamphusalcinus
GreatEaredNightjar Eurostopodusmacrotis
Lemon-throatedWhite-eye Zosteropsanomalus
OrientalHobby Falcoseverus
SavannaNightjar Caprimulgusaffinis
Black-frontedWhite-eye Zosteropsatrifrons
SpottedKestrel Falcomoluccensis
UniformSwiftlet Aerodramusvanikorensis
Black-facedMunia Lonchuramolucca
SpottedWhistling-duck Dendrocygnaguttata
MoluccanSwiftlet Aerodramusinfuscatus
Scaly-breastedMunia Lonchurapunctulata
WanderingWhistling-duck Dendrocygnaarcuata
GlossySwiftlet Collocaliaesculenta
ChestnutMunia Lonchuramalacca
SundaTeal Anasgibberifrons
Fork-tailedSwift Apuspacificus
Pale-headedMunia Lonchurapallida
PacificBlackDuck Anassuperciliosa
LittleSwift Apusaffinis
JavaSparrow Paddaoryzivora
Garganey Anasquerquedula
AsianPalm-swift Cypsiurusbalasiensis
TreeSparrow Passermontanus
PhilippineScrubfowl Megapodiuscumingii
Grey-rumpedTree-swift Hemiprocnelongipennis
Short-tailedStarling Aplonisminor
Maleo Macrocephalonmaleo
CommonKingfisher Alcedoatthis
White-ventedMyna Acridotheresjavanicus
RedJunglefowl Gallusgallus
Blue-earedKingfisher Alcedomeninting
Short-crestedMyna Basilorniscelebensis
Red-backedButton-quail Turnixmaculosa
SacredKingfisher Halcyonsancta
White-neckedMyna Streptocittaalbicollis
BarredButton-quail Turnixsuscitator
CollaredKingfisher Halcyonchloris
Fiery-browedMyna Enodeserythrophris
BarredRail Gallirallustorquatus
Blue-tailedBee-eater Meropsphilippinus
Finch-billedMyna Scissirostrumdubium
IsabellineBush-hen Amaurornisisabellina
BlueeardBee-eater Meropogonforsteni
Black-napedOriole Orioluschinensis
White-breastedWaterhen Amaurornisphoenicurus
Purplewingroller Corasiatemminckii
Hair-crestedDrongo Dicrurushottentottus
DuskyMoorhen Gallinulatenebrosa
CommonDollarbird Eurystomusorientalis
White-breastedWood-swallow Artamusleucorynchus
CommonMoorhen Gallinulachloropus
SulawesiHornbill Penelopidesexarhatus
Ivory-backedWood-swallow Artamusmonachus
PurpleSwamphen Porphyrioporphyrio
KnobbedHornbill Rhyticeroscassidix
Slender-billedCrow Corvusenca
Comb-crestedJacana Irediparragallinacea
AshyWoodpecker Mulleripicusfulvus
PipingCrow Corvustypicus
PacificGoldenPlover Pluvialisfulva
SulawesiWoodpecker Dendrocopostemminckii
LittleCurlew Numeniusminutus
BarnSwallow Hirundorustica
Y
P
A
L
(Indigenous Nature Conservation Society) is a local NGO committed to preserve and sustainable utilization of nature resource in Indonesia. YPAL goals are 1). to improve human resources quality on environmental and conservation, and 2). to maximize the preservation and sustainable use of natural resources based on bird and other wildlife c o n s e r v a t i o n
ISBN 979-9319-05-6