DISTRIBUSI DAN NERACA CO2 ANTROPOGENIK LAUT DI DAERAH ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO)
MAXI ELIAS TIMOTIUS PARENGKUAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Distribusi dan Neraca CO 2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012 Maxi E.T. Parengkuan NIM C561070101
ABSTRACT MAXI E.T. PARENGKUAN. Anthropogenic CO2 Contain in Indonesian Throughflow Region (ITF). Under direction of HARPASSIS S. SANUSI, TRI PRARTONO, and ALAN F. KOROPITAN. This research uses TrOCA method in order to investigate anthropogenic CO2 distribution in the Indonesian Throughflow (ITF) regime as well as its relationship with water mass transport from Pasific Ocean to Indian Ocean, based on four parameters; TCO2 (dissolved inorganic carbon), TA (total alkalinity), O2 (oxygen), and θ (potential temperature). The calculated anthropogenic CO2 is generaly distributed in upper layer of thermocline from both oceans, with concentration of 20–50 µmol.kg-1. In the North Equatorial Current (NEC) station section (section P10N) of Pacific Ocean, the anthropogenic CO2 is mainly stratified in upper layer with maximum concentration of 50 µmol.kg-1 and founded near surface. The anthropogenic CO2 content in NEC will be transported to Mindanao Current (MC) regime which is an inflow for ITF. Two stations in MC regime showed a similar stratification of anthropogenic CO2 in upper layer with maximum concentration of about 50 µmol.kg-1. In the outlet of ITF, particularly station section along eastern Indian Ocean (section H_I10), the stratification is still found in upper layer with maximum concentration of 50 µmol.kg-1. In section H_I10 on the eastern of Indian Ocean, concentration along latitude and longitude line are higher than the stations in western of Pasific Ocean. The estimation of anthropogenik CO2 budget in outlet ITF is 40.43–73.38 Tg C y-1, higher than those observed in inlet ITF is 13.88–33.72 Tg C y-1. It means that the ITF region is responsible for this different. In station of Banda and Ombai Strait, a high accumulation anthropogenic CO2 was found between 20-71 µmol.kg-1 in the depth ranging from 5 to 200 m. In Banda station, this accumulation was probably due to water mass transport from Java Sea, resident time and acccumulation of water, whereas in Ombai Strait station, it was because of water mass transport from Java Sea and Pacific Ocean, and terrestrial run off. Keywords: Anthropogenic CO2, Banda Sea, Indian Ocean, Indonesian Throughflow, Ombai Strait, Pacific Ocean, TrOCA.
RINGKASAN MAXI E.T. PARENGKUAN. Distribusi dan Neraca CO2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Dibimbing oleh HARPASSIS S. SANUSI, TRI PRARTONO, dan ALAN F. KOROPITAN. Era revolusi industri dimulai ketika manusia memulai kegiatan antropogeniknya yaitu memanfaatkan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara sebagai sumber energi. Kegiatan ini dimulai dari dataran Eropa pada tahun 1750an dan kemudian mulai berkembang ke seluruh dunia sampai sekarang. Hasilnya, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat tajam pada titik yang cukup untuk mengubah iklim bumi. Data terakhir yang dirilis global carbon project (GCP) menunjukkan, konsentrasi CO2 atmosfer hampir mencapai 390 ppm di akhir tahun 2010, bandingkan dengan awal era revolusi industri yang masih sekitar 280 ppm, selisihnya sekitar 110 ppm, yang kemudian disebut sebagai konsentrasi CO2 antropogenik. Dari semua CO2 yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik, hanya 50%-nya saja yang disetorkan ke level atmosfer, sementara sisanya harus diserap oleh tumbuhan daratan dan lautan (Sabine 2004). Laut memainkan peranan penting dalam mereduksi CO2 atmosfer melalui mekanisme kesetimbangan yang berlangsung didalamnya. Bila laut tidak berperan dalam hal ini, konsentrasi CO2 di atmosfer mungkin akan berada pada kisaran 1000 ppm. Disini terlihat betapa pentingnya peran laut dalam menjaga keseimbangan sistem bumi. CO2 penting dalam menjamin berlangsungnya kehidupan di dalam laut, namun sebaliknya, semakin banyak CO2 yang diserap, dikawatirkan justru akan berdampak pada kehidupan didalamnya. Dari tahun ke tahun konsentrasi CO2 antropogenik terus menunjukkan peningkatan dan peningkatan ini dikawatirkan akan mengubah fungsi laut sebagai penyerap, karena laut juga memiliki kemampuan terbatas dalam menampung CO2 terlarut di dalamnya. CO2 dipertukarkan di antara ketiga Samudera Dunia (Atlantik, Hindia, dan Pasifik), melalui sirkulasi termohalin massa air dunia (The Great Conveyor Belt). Penyerapan CO2 antropogenik oleh laut, dimulai pada saat air hangat bergerak ke Atlantik Utara dan menjadi dingin. Pada kondisi ini, tekanan parsial CO 2 (pCO2) laut menjadi lebih rendah dari atmosfer, sehingga CO2 atmosfer dengan mudah diserap oleh lautan. Penyerapan CO2 antropogenik oleh laut terjadi juga di Samudera Selatan yang memiliki suhu permukaan air yang rendah. Perjalanan CO2 antropogenik massa air Atlantik Utara di lapisan dalam, kemudian bergabung dengan massa air Samudera Selatan, selanjutnya CO2 antropogenik didistribusikan ke Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO), merupakan bagian penting dari sirkulasi massa air dua Samudera, yaitu sebagai jalur perpindahan massa air Pasifik menuju Hindia. Ini menunjukkan, bahwa CO2 antropogenik Pasifik juga ditransporkan ke Hindia melewati perairan Indonesia. Dalam perjalanannya, CO2 antropogenik massa air Pasifik, diduga mengalami penambahan konsentrasi akibat tingginya akifitas antropogenik di daerah ARLINDO, sebelum mencapai Hindia.
Dugaan ini diperkuat dengan data terakhir BPS (2012), dimana jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 241 juta jiwa. Penelitan ini menggunakan metode TrOCA (kombinasi dari tracer Oksigen, Karbon Anorganik dan Total Alkalinitas) yang dikembangkan oleh Touratier dan Goyet (2004a), untuk menghitung konsentrasi CO2 antropogenik di daerah sumber ARLINDO (Samudera Pasifik bagian barat), di outlet ARLINDO (Samudera Hindia bagian timur), dan di daerah ARLINDO sendiri (stasiun Laut Banda dan Selat Ombai). Di Samudera Pasifik dan Hindia, kami menggunakan data section WOCE (World Ocean Circulation Experiment) dan JGOFS (Join Global Ocean Flux Study), yang di unduh dari http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/. Sementara di ARLINDO, kami menggunakan data INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow), yang merupakan program kerja sama penelitian antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor dengan LEGOS & LOCEAN UMPC Paris 6, Perancis, yang menggunakan R/V Marion Dufresne, dari tanggal 10 – 20 Juli 2010. Untuk mengetahui distribusi dan neraca CO2 antropogenik di wilayah studi, terlebih dahulu diidentifikasikan karakteristik massa air. Di Pasifik bagian barat (section P10N dan P08S), teridentifikasi massa air North Pasific Subtropical Water (NPSW) yang dicirikan dengan salinitas maksimum pada = 24 di kisaran kedalaman 100-200 m, dan North Pasific Intermediate Water (NPIW) yang dicirikan dengan salinitas minimum pada = 26,50 di kisaran kedalaman 250-400 m. Di stasiun Laut Banda, teridentifikasi massa air NPIW pada = 26,50 di kisaran kedalaman 300-450 m yang diduga masuk dari Laut Maluku di lapisan bawah termoklin, sementara NPSW tidak teridentifikasi, diduga akibat adanya proses pengadukan (internal mixing) dan upwelling. Sebaliknya, di stasiun Selat Ombai, massa air NPSW terlihat pada = 24-25.50 di kisaran kedalaman 100-200 m dan NPIW pada = 26-26,70 di kisaran kedalaman 200350 m, sementara pada lapisan atas ditemukan massa air Laut Jawa dengan salinitas rendah (33,387-33,864 psu) pada = 21-22 (Suteja 2011). Di Samudera Hindia bagian timur, massa air Pasifik tidak teridentifikasikan lagi, karena diduga telah mengalami perubahan karakteristik selama perjalanannya melalui ARLINDO, sehingga ketika mencapai Hindia, massa air Pasfik berubah menjadi massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) yang digambarkan memiliki salinitas lebih rendah dari Hindia sendiri pada = 26-26,80 di kisaran kedalaman 300-400 m, dan massa air Intermediate Indonesian Water (IIW) pada = 2727,50 di kisaran kedalaman 500-1200 m. Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik bagian barat dan Hindia bagian timur pada umumnya terlihat menyebar di atas kedalaman 500 m pada kisaran 20-50 µmol.kg-1. Di stasiun Laut Banda, konsentrasi terlihat mengalami penetrasi yang cukup tinggi sampai di kedalaman 100 m, yaitu rata-rata sekitar 60 µmol.kg-1. Tingginya konsentrasi di wilayah ini, diduga berasal dari Laut Jawa dengan ditemukannya ciri-ciri massa air bersalinitas rendah pada wilayah ini. Selain itu diduga adanya masukan karbon organik dan anorganik dari limpasan (run off) daratan sekitar, demikian pula Laut Banda merupakan tempat bertemunya beberapa massa air dengan sumber asal yang berbeda, dan
mempunyai massa tinggal air yang cukup lama (10-22 tahun). Di stasiun Selat Ombai, pada lapisan permukaan ditemukan nilai konsentrasi paling tinggi yaitu 71,4 µmol.kg-1 pada kedalaman 50 m. Tingginya konsentrasi pada lapisan ini, disinyalir selain berasal dari limpasan daratan sekitar, juga berasal dari massa air Laut Jawa yang mengandung CO2 antropogenik yang tinggi. Dengan menggunakan diagram Temperatur – Salinitas – CO2 antropogenik (T-S-CAnt), kami kemudian memperediksi besaran konsentrasi CO2 antropogenik pada lapisan massa air yang teridentifikasi di masing-masing lokasi studi, sehingga dapat diprediksi besaran CO2 antropogenik yang terbawa dalam transpor massa air tersebut. Di Samudera Pasifik bagian timur (sumber ARLINDO), di section P10N, pada lapisan permukaan sekitar 10-50 m, konsentrasi CO2 antropogenik berkisar antara 32,57-49,72 µmol.kg-1. Pada kedalaman 150-200 m, terdapat massa air NPSW yang mengandung konsentrasi sebesar 61-55,40 µmol.kg-1, sementara NPIW yang terdeteksi pada kedalaman 300-400 m, membawa sekitar 3,42-7,77 µmol.kg-1. Di section P08S, massa air NPSW mengandung konsentrasi sekitar 41 µmol.kg-1 pada kedalaman 100 m, sementara pada kedalaman 250-350 terdeteksi massa air NPSW yang mengandung sekitar 2,74-7,19 µmol.kg-1, dan pada lapisan tercampur (10-50 m), konsentrasi berkisar antara 25,64-62 µmol.kg-1. Di stasiun Laut Banda, konsentrasi terakumulasi cukup tinggi pada lapisan permukaan (5-75 m), yaitu pada kisaran 59,72-62,54 µmol.kg-1. Pada kedalaman 300-450 m, terlacak massa air NPIW dengan kandungan antara 12,42-31 µmol.kg-1. Di Selat Ombai, konsentrasi berkisar antara 41,54-71,44 µmol.kg-1 pada lapisan permukaan di atas 50 m. Pada kedalaman massa air NPSW (100-200 m), konsentrasi berkisar antara 55,85-62,24 µmol.kg-1, sementara pada kedalaman NPIW (200-350 m), konsentrasi berada pada kisaran 24,14-18,48 µmol.kg-1. Di daerah outlet ARLINDO (Hindia bagian timur), ditemukan massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) pada kedalaman sekitar 300-400 m, yang mengandung konsentrasi sekitar 4,79-10,54 µmol.kg-1, sementara pada lapisan yang lebih dalam (500-1200 m), ditemukan massa air Intermediate Indonesian Water (IIW), yang mengandung besaran konsentrasi CO2 antropogenik sekitar 3,21-11,84 µmol.kg-1, dan pada lapisan permukaan konsentrasi sekitar 27,46-28,44 µmol.kg-1. Besaran kandungan CO2 antropogenik yang masuk dari wilayah sumber ARLINDO sebesar 13,88-33,72 TgC/tahun, dan yang ditransporkan ke Samudera Hindia bagian timur dari daerah ARLINDO sebesar 40,43–73,38 TgC/tahun. Ini menunjukkan bahwa budget yang keluar di outlet ARLINDO lebih besar dari yang masuk dari sumber ARLINDO. Perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi CO2 antropogenik telah mengalami penambahan di daerah ARLINDO sebelum mencapai Samudera Hindia bagian timur, dengan melihat tingginya konsentrasi yang ditemukan di stasiun Laut Banda dan Selat Ombai, demikian juga diduga adanya masukan karbon organik terlarut dari daratan melalui sungai. Kata Kunci: ARLINDO, CO2 Antropogenik, Laut Banda, Selat Ombai, Samudera Pasifik, Samudera Hindia, TrOCA.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DISTRIBUSI DAN NERACA CO2 ANTROPOGENIK LAUT DI DAERAH ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO)
MAXI ELIAS TIMOTIUS PARENGKUAN C561070101S
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Agus Supangat, M.Sc. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. (Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan Perikanan, FPIK IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr. (Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan Perikanan) Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS. (Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan Perikanan, FPIK IPB)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul: “Distribusi dan Neraca CO2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)” dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk melangkah pada tahap selanjutnya pada Program Doktor di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penyusunan karya ilmiah ini telah melibatkan banyak pihak terkait, dan tanpa bantuan mereka penyusunannya mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Harpassis Selamet Sanusi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing sekaligus “Bapak” yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir, sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan tentang oseanografi kimia yang sangat membantu dalam proses pembelajaran. 2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan Disertasi ini. 3. Dr. Arianne KOCH-LARROUY selaku chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 yang telah memberikan kesempatan dan arahan dalam penentuan dan pengambilan sampel. 4. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku co-chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 atas kerjasamanya selama pelayaran berlangsung dan sudah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian Disertasi ini. 5. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan koreksi penulisan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan Disertasi. 6. Dr. Ir. Agus Supangat, M.Sc dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang banyak memberikan saran dalam penyempurnaan hasil penelitian. 7. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr dan Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang telah memberikan masukan dan kritikan dalam penyempurnaan Disertasi ini. 8. Tim Pelayaran INDOMIX 2010 yang terdiri atas Peneliti Perancis dan Peneliti Indonesia atas kerjasamanya selama proses pengambilan data lapangan dan motivasinya selama pelayaran berlangsung. 9. Dr. Helene LEAU selaku Manager Operasional, Captain dan semua Crew R/V Marion Dufresne yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik selama pelayaran berlangsung. 10. Ayahanda Daniel Alexander yang tidak berhenti memberikan semangat dan motivasi serta mendoakan penulis untuk terus belajar dan berusaha. 11. Istri dan anak tercinta atas segala doa, dukungan dan kesabaran dalam menunggu selama proses penyelesaian Program Doktor ini. 12. Staf dosen dan teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan IPB Bogor. 13. Teman-teman di Laboratorium Pengolahan Data Oseanografi ITK IPB Bogor.
Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama terhadap penelitian karbon laut di Indonesia.
Bogor, Juli 2012 Maxi E. T. Parengkuan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 17 Maret 1976, dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Marthen Luther Parengkuan dan Julien Undap (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Perpignan Perancis, mention Environnements Mediterraneens et Developpement Durable, specialite Environnement et Developpement Durable. Dalam penyelesaian studi Magister Science, penulis menyusun karya ilmiah yang berjudul “Assessments of anthropogenic CO2 distribution in ocean: comparison two method estimates throughout 5 sections in Indian Ocean”. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah yang terkait dengan disertasi ini dengan judul: “Distribusi CO2 Antropogenik Laut di Samudera Pasifik bagian Barat dan Samudera Hindia bagian Timur”, akan diterbitkan pada Jurnal Segara – Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada bulan Desember 2012. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penulis menikah dengan Novita Susan Pingkan Dotulong pada tahun 2009 dan dikaruniai seorang anak: Valliant Garland Parengkuan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4
2
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 CO2 Antropogenik di Laut 2.2 Dampak Perairan Pesisir terhadap Siklus CO2 2.3 Oseanografi Wilayah Studi 2.3.1 ARLINDO 2.3.2 Laut Banda 2.3.3 Selat Ombai 2.4 Diagram Temperatur-Salinitas dan Suhu-Salinitas-CAnt
3
7 10 13 13 16 17 18
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Pengambilan Data 3.3.1 Tipe Data 3.3.1.1 Data Primer 3.3.1.2 Data Sekunder 3.3.2 Penentuan dan Disain Lokasi Pengamatan 3.3.3 Manajemen Sampel 3.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel Air 3.3.3.2 Teknik Penanganan Sampel (handling) 3.4 Analisa Laboratorium 3.4.1 Penentuan TCO2 / DIC 3.4.2 Penentuan Total Alkalinitas 3.4.3 Penentuan Oksigen Terlarut (DO) 3.5 Analisis dan Evaluasi Data 3.5.1 Analisis CO2 Antropogenik di Laut 3.5.2 Grafik Temperatur-Salinitas dan Temperatur-Salinitas-CAnt 3.6 Aplikasi Metode TrOCA
4
1 4 4 4
21 22 22 22 22 23 25 26 26 27 28 28 29 30 32 32 35 35
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) 4.1.1 Sebaran Temperatur
37 37
ii
4.1.2 Sebaran Salinitas 4.1.3 Sirkulasi Massa Air 4.2 Distribusi CO2 Antropogenik 4.2.1 Penampang melintang (Cross Section) 4.2.1.1 Samudera Pasifik Bagian Barat (Sumber ARLINDO) 4.2.1.2 Samudera Hindia Bagian Timur (Outlet ARLINDO) 4.2.1.3 Daerah ARLINDO 4.2.2 Diagram T-S-Cant 4.2.3 Neraca CO2 Antropogenik 4.2.4 Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan CO2 alamiah 5
48 60 75 75 75 79 82 87 92 96
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
101 101
DAFTAR PUSTAKA
103
LAMPIRAN
111
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Karakteristik massa air Samudera Pasifik dan transformasinya di Samudera Hindia (Wijffels et al. 2002 dan You 2003) 16
2
Karakteristik massa air di Pasifk Barat dan Hindia Timur dengan konsentrasi CO 2 antropogenik. 93
3
Neraca CO2 antropogenik di wilayah studi
4
Konsentrasi CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan CO2 alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO 97
5
Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (Cant) dan CO2 alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO 98
94
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir pemikiran penelitian.
5
2
Siklus karbon global. Panah, menunjukkan aliran (dalam petagram karbon per tahun) antara atmosfer dan kedua sinc karbon utama lainnya, yaitu lautan dan daratan. Aliran antropogenik digambarkan dengan garis warna merah dan warna hitam mewakili aliran karbon alamiah (Sabine et al. 2004).
9
Dampak dari sejumlah proses terhadap DIC dan TA (panah). Garis dan garis putus-putus mengindikasikan level konstan CO2 terlarut (dalam µmol kg-1) dan pH masing-masing, sebagai suatu fungsi dari DIC dan TA (Zeebe & WolfGladrow, 2001).
11
Proses-proses yang mempengaruhi siklus karbon di kolom perairan (Liu et al. 2001).
12
Jalur Arlindo (dimodifikasi dari Gordon 2005; Gordon et al. 2008 & Sprintall et al. 2009). Panah biru mewakili massa air utara Pasifik yang mengalir pada lapisan termoklin; panah oranye mewakili massa air dari selatan Pasifik masuk melalui Laut Halmahera di bawah termoklin; panah merah mewakili aliran massa air Pasifik yang melewati ambang (sill) pada kedalaman 2000 m di lintasan Lifamatola menuju lapisan dalam Laut Banda.
15
Wilayah pengambilan sampel (dimodifikasi dari Gordon 2005 dan Christian et al. 2004).
21
Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P10N. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/
23
Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P08S. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
24
Data outlet ARLINDO, Samudera Hindia bagian Timur, Data WOCE section I10. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
24
10 Jalur pelayaran program INDOMIX 2010. Pelayaran bermula dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 (Gambar dimodifikasi dari Suteja 2011).
26
11 Hubungan antara TrOCA dan temperatur potensial (θ) dari stasiun P10N, P08S_1, P08S_2, dan H_I10, stasiun Laut Banda dan Selat Ombai.
36
12 Profil vertikal temperatur section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
38
13 Profil vertikal temperatur section P10N yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
39
14 Profil vertikal temperatur stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat. (A) sampai tekanan 3000 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
40
15 Profil vertikal temperatur stasiun Laut Banda (A) sampai tekanan 3000 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
41
3
4 5
6 7 8 9
vi
16 Profil vertikal temperatur stasiun Selat Ombai. (A) sampai tekanan 1500 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
42
17 Profil vertikal temperatur Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja 2011).
43
18 Profil vertikal temperatur Samudera Hindia bagian timur. (A) section H_I10, (B) berdasarkan garis bujur, dan (C) Berdasarkan garis lintang.
45
19 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis bujur ) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
46
20 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
47
21 Profil vertikal salinitas Samudera Pasifik bagian barat, (A) section P10N, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) diperbesar sampai tekanan 500 dbar, dan (D) cross section P10N.
49
22 Profil vertikal salinitas stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat.
51
23 Profil vertikal salinitas stasiun Laut Banda Juli 2010.
52
24 Profil vertikal pengukuran salinitas sepanjang kolom air di Laut Banda yang mewakili 4 musim (Levitus & Boyer 1994).
52
25 Profil vertikal salinitas Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja 2011).
53
26 Salinitas diatas dan bawah lapisan termoklin Laut Banda berdasarkan model TIDES (Koch-Larrouy et al. 2007).
55
27 Profil vertikal salinitas Samudera Hindia bagian Timur, (A). section HI10 menurut garis bujur, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
56
28 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) sampai tekanan 1000 dbar.
57
29 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. (A) 11-15oLS, (B) 15-20 oLS, dan (C) 20-25 oLS.
58
30 Profil salinitas cross section H_I10 Samudera Hindia bagian timur.
59
31 Diagram T-S section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
61
32 Diagram T-S section P08S, Samudera Pasifik bagian barat.
62
33 Profil diagram T-S yang di hitung berdasarkan observasi. World Ocean Data Base 2001 (Levitus 1998 (warna hitam), TIDES-Gordon 2005 (warna oranye), NOTIDES (warna biru) dalam Koch Larroy et al. 2007).
63
34 Diagram T-S stasiun Laut Banda.
66
35 Diagram T-S dan DO (Dissolved Oxygen) di Halmahera, Banda and Ombai. Kotak di sebelah kanan adalah lokasi CTD, INDOMIX 2010 (Purba et al. In press).
66
36 Diagram T-S di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010. Tanda panah dan kotak merah menunjukkan jenis massa air yang terdeteksi (Suteja 2011).
68
vii
37 Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis bujur), Samudera Pasifik bagian barat.
70
38 Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis lintang). (A) 11-15oLS, (B) 15-20 o LS, dan (C) 20-25 oLS.
72
39 Tiga massa air termoklin di Samudera Pasifik bagian timur. North Indian Water (NIW), South Indian Subtropical Water (STW) and Indonesian Throughflow Water (ITW) (Wijffels et al. 2002).
73
40 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik bagian barat. Sebaran stasiun menurut garis lintang di section P10N dengan metode TrOCA
76
41 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik menggunakan metode ∆C* dengan data-data WOCE/JGOFS (Sabine et al. 2002).
76
42 Distribusi vertikal konsentrasi CO2 antropogenik di stasiun P08S_1 dan P08S_2 (WOCE/JGOFS section).
78
43 Section H_I10 Samudera Hindia bagian timur; menurut jalur longitud (garis bujur) dan menurut jalur latitud (garis lintang).
79
44 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun menurut jalur longitud di section H_I10.
80
45 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun, menurut jalur latitud di section H_I10.
81
46 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun Laut Banda.
83
47 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun stasiun Selat Ombai.
86
48 Diagram T-S-Cant section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
88
49 Diagram T-S-Cant section P08S, Samudera Pasifik bagian barat.
88
50 Diagram T-S-Cant, Stasiun Laut Banda.
89
51 Diagram T-S-Cant, stasiun Selat Ombai.
90
52 Diagram T-S-Cant, section H_I10 Samudera Hindia bagian timur. Skala warna menunjukkan CO2 antropogenik.
91
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Teknik sampling air untuk parameter-parameter dalam sistem karbon dioksida ( CO2 ) laut.
113
2
Penentuan total Dissolved Inorganic Carbon (DIC) dalam air laut
119
3
Total Karbon Dioksida (TCO2/DIC) pada stasiun pengamatan
135
4
Penentuan Total Alkalintas (TA) dalam air laut
138
5
Total Alkalinitas (TA) pada stasiun pengamatan
146
6
Oksigen Terlarut (DO) pada stasiun pengamatan
149
7
Singkatan yang digunakan (AKRONIM)
152
x
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sejak manusia mulai memasuki era revolusi industri pada tahun 1750an,
konsentrasi karbon dioksida (CO2) antropogenik di atmosfer mulai menunjukkan peningkatan (Sabine 2004). Peningkatan ini telah diikuti dengan meningkatnya karbon anorganik terlarut (TCO2/DIC) di lautan. Keseluruhan aktifitas manusia yang menghasilkan emisi CO2 adalah yang bertanggung-jawab terhadap fenomena ini. Sabine (2004) telah membandingkan data CO2 di atmosfer sejak era revolusi industri dengan data CO2 sebelum revolusi industri, hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 telah meningkat cukup signifikan di atmosfer.
Selisih nilai
antara total konsentrasi CO2 setelah dan sebelum revolusi industri diperoleh sekitar 110 Pg C (1 Peta gram – Pg =1015 g), yang kemudian disebut sebagai emisi antropogenik. Wilayah perairan Indonesia berada dalam jalur sirkulasi massa air dua Samudera Dunia yaitu Pasifik dan Hindia. Sirkulasi perpindahan massa air dari Pasifik ke Hindia melewati wilayah perairan ini, terjadi secara alamiah sebagai bagian dari sirkulasi termohalin massa air dunia (the great conveyor belt). Pergerakan massa air yang melewati wilayah Indonesia ini, kemudian dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO membawa bahang (heat) dan air tawar (freshwater) dari Pasifik menuju Hindia yang akan berpengaruh pada dinamika lautan dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya (Sprintall et al. 2001; Gordon 2001). Namun demikian, sirkulasi perpindahan massa air juga membawa sejumlah konsentrasi CO2 antropogenik yang terakumulasi di Samudera Pasifik (Touratier & Goyet 2004a; Sabine et al. 2004). Dengan kata lain, CO2 antropogenik ditransporkan ke Samudera Hindia oleh ARLINDO melewati wilayah perairan Indonesia. Berapa banyak CO2 yang terakumulasi di laut dikontrol oleh seberapa banyak konsentrasi CO2 di atmosfer (IPCC 2001). Peningkatan CO2 di atmosfer dari tahun ke tahun telah diikuti oleh meningkatnya DIC yang terakumulasi di lautan dalam beberapa dekade (Feely et al. 2004). Meningkatnya DIC di lautan telah menyebabkan penurunan pH dan mempengaruhi tekanan partial CO2 (pCO2)
2
di laut sebesar 2 kali lipat dibandingkan periode sebelum era revolusi industri. Para ahli percaya bahwa skenario ini akan berdampak serius bagi organisme laut, bila emisi antropogenik di atmosfer terus mengalami peningkatan (Prentice et al. 2001). Wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai perairan yang dinamis. Selain sebagai jalur ARLINDO, perairan ini juga dipengaruhi oleh sistem angin muson yang berubah arah 2 kali dalam setahun (Wyrtki 1961), sehingga transpor nutrien, material organik dan partikel karbon berlangsung secara dinamis dan mempengaruhi mekanisme siklus biogeokimia di perairan ini. Sementara itu, daerah ARLINDO diapit oleh pulau-pulau besar yang memungkinkan adanya tekanan dari aktifitas manusia secara tidak langsung. Dengan demikian, faktorfaktor tersebut mendeskripsikan proses-proses fisika dan biogeokimia yang berlangsung dalam suatu wilayah perairan, yang akan sangat mempengaruhi dinamika siklus CO2 di daerah ARLINDO. Sistem angin muson dan bentuk topografi, sangat mempengaruhi terjadinya fenomena upwelling/downwelling di perairan Indonesia. Upwelling/downwelling akan menentukan seberapa banyak karbon anorganik terlarut yang terangkat dan ditenggelamkan dalam suatu wilayah perairan (Wang et al. 2005). Sementara itu, besaran nutrien dari lapisan dalam akan menentukan kelimpahan biomassa produktivitas di permukaan perairan. Perairan Indonesia dikenal sebagai perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, dan juga memiliki produksi biologi yang tinggi sepanjang tahun (Spalding et al. 2001). Penelitan terakhir menunjukkan proses percampuran massa air ARLINDO dipengaruhi oleh masukan air tawar permukaan dari laut jawa selama periode muson barat laut (Atmadipoera et al. 2009) dan percampuran massa air akibat percampuran oleh pasang surut di ambang (sill) Dewakang di Selat Makassar (Hatayama 2004). Demikian juga, tingginya presipitasi akan meningkatkan debit air tawar yang masuk ke perairan, sementara tingginya evaporasi akibat periode pemanasan yang konstan sepanjang tahun, juga mempengaruhi kondisi pCO2 di permukaan laut. Daerah ARLINDO di kelilingi oleh pulau-pulau besar yang mentranspor sejumlah besar material organik dan anorganik melalui sungai. Berapa banyak material yang terangkut ke perairan pesisir dipengaruhi oleh sejumlah fenomena
3
yang berlangsung di daratan seperti, deforestasi, pertambangan, limbah pabrik, pemanfaatan lahan gambut, sampah domestik, sedimen dari gunung berapi, pembangunan bendungan, dan lainnya (Aldrian et al. 2008). Fenomena ini akan sangat memberi dampak pada sistem biogeokimia di perairan pesisir. Sementara itu, pertumbuhan penduduk yang tinggal di sepanjang garis pantai juga memberi dampak tersendiri bagi perairan pesisir. Bertambahnya populasi penduduk akan menentukan jumlah nutrien yang masuk ke kolom air. Data terakhir menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,5% per tahun, atau sekitar 241 juta tahun 2012 (BPS 2012). Ini menunjukkan bahwa siklus biogeokimia di perairan pesisir akan mendapat pengaruh yang cukup signifikan. Begitu
banyaknya
proses
yang
berlangsung
di
wilayah
pesisir,
menggambarkan semakin kompleksnya sistem yang berlangsung di dalamnya (Liu et al. 2000). Beberapa penelitian masih memperdebatkan siklus CO2 di perairan pesisir dalam konteks penyerap (sink) dan pelepas (source) bagi CO2 atmosfer. Sebelum adanya isu antropogenik, perairan pesisir bersifat sebagai source CO2 untuk atmosfer karena besarnya masukan dari sungai berupa bahan karbon organik dan anorganik (Wang et al. 2005).
Namun penelitian lain
menemukan bahwa perairan pesisir merupakan sink CO2 paling banyak untuk atmosfer (Frankignoulle & Borges 2001a).
Sementara, Wang et al. (2005)
menyimpulkan East China Sea, the North Atlantic European Shelves, dan the Mid-Atlantic Bight sebagai source atau sink bagi CO2 di atmosfer. Secara fakta menunjukkan bahwa perairan pesisir cukup rumit untuk menjelaskan siklus CO2 yang berlangsung di laut, dan tidak semua perairan pesisir memiliki siklus biogeokima yang sama, kaitannya dengan fluks siklus CO2. Selama ini belum ada kajian mengenai keberadaan CO2 antropogenik di daerah ARLINDO sebagai dampak dari transfer massa air diantara kedua Samudera.
Demikian pula pengaruh daratan yang mengelilingi daerah
ARLINDO, yang mempengaruhi besaran secara kuantitatif terhadap nilai konsentrasi CO2 antropogenik, baik di jalur lintasannya maupun di jalur keluarnya.
Bagaimana posisi perairan Indonesia terhadap siklus CO2 global
belum banyak di kaji, sehingga merupakah suatu subjek penelitian menarik yang masih perlu digali lebih jauh lagi ditengah isu dampak perubahan iklim saat ini.
4
Penelitan ini akan memberikan kontribusi terhadap perdebatan yang masih kontroversial, kondisi daerah ARLINDO terhadap isu ini, dan akan memperjelas posisi daerah ARLINDO terhadap siklus karbon global.
1.2 1.
Perumusan masalah Berapa kandungan CO2 antropogenik di daerah ARLINDO (Laut Banda dan Selat Ombai) ?
2.
Bagaimana pola besaran kandungan CO2 antropogenik massa air, yang bergerak dari Samudera Pasifik melewati Laut Banda dan Selat Ombai sampai ke Samudera Hindia (Neraca)?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta alasan yang dikemukakan dalam
pendahuluan di atas, maka penelitian yang dilakukan di stasiun Laut Banda dan Selat Ombai pada bulan Juli 2010 ini (periode muson tenggara), bertujuan untuk: 1.
Menentukan neraca kandungan CO2 antropogenik terlarut di ARLINDO.
2.
Menduga pengaruh gerakan ARLINDO terhadap kandungan konsentrasi CO2 antropogenik.
1.4 1.
Manfaat penelitian Memberikan informasi posisi perairan Indonesia khususnya sekitar stasiun Laut Banda dan Selat Ombai terhadap neraca kandungan CO2 antropogenik.
2.
Dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan terhadap isu-isu emisi karbon global di lautan, khususnya di Laut Banda dan Selat Ombai.
5
Gambar 1
Bagan alir pemikiran penelitian.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
CO2 Antropogenik di Laut Karbon organik tersimpan dalam sedimen dalam bentuk batu bara, gas alam
dan minyak bumi lebih dari seratus juta tahun dan telah dimanfaatkan oleh manusia, kemudian dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai karbon dioksida (CO2), dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini. Energi yang dihasilkan dari pemanfaatan bahan bakar fosil tersebut, telah dimanfaatkan oleh kita dalam bentuk energi listrik, energi panas, untuk transportasi, dan untuk menggerakkan sektor industri. Pembukaan hutan untuk lahan pertanian maupun penebangan pohon secara tidak terkendali, telah memberikan andil yang cukup besar terhadap penambahan konsentrasi CO2 di atmosfer. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa, keseluruhan aktifitas manusia yang menyebabkan bertambahnya konsentrasi CO2 diatmosfer disebut sebagai proses pelepasan emisi antropogenik (anthropogenic emissions) (Gruber & Sarmiento 2002). Era revolusi industri yang dimulai pada tahun 1750an ditandai dengan dimulainya pelepasan emisi antropogenik ke atmosfer (Sabine 2004). Selanjutnya pelepasan emisi ini telah memicu peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer lebih dari 30% dibandingkan sebelum masa revolusi industri (Barnola, 1999; Keeling & Whorf, 2000). Pendapat ini telah dibuktikan melalui pengukuran secara geokimia dengan melihat sedimen laut di waktu lampau yang menunjukkan level konsentrasi CO2 di atmosfer pada 20 juta tahun yang lalu tidak setinggi seperti sekarang ini (Houghton et al. 2001). Kenaikan CO2 di atmosfer sangat dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkanya, yaitu menangkap radiasi gelombang panjang yang diemisikan dari permukaan bumi membentuk gas rumah kaca (green house gasses), sebagai indikasi terjadinya perubahan iklim global (Gruber & Sarmiento 2002). Selain CO2, terdapat gas-gas lain sebagai pembentuk gas rumah kaca seperti methane, nitrous oxide, dan chlorofluorocarbon yang juga mengalami peningkatan penggunannya sejak era revolusi industri. Berdasarkan konsensus tingkat tinggi, para ilmuwan menegaskan bahwa gas-gas rumah kaca adalah sebagai pemicu
8
terjadinya pemanasan global, yang telah meningkatkan temperatur permukaan bumi rata-rata sekitar 0,6 ± 0,2 ºC (Houghton et al. 2001). Jauh sebelum masa revolusi industri dimulai, yaitu pada sekitar 420.000 tahun yang lampau, konsentrasi CO2 di atmosfer ada pada kisaran 180-280 ppm (Falkowski et al. 2000), dan pH air laut berada pada kisaran 8,3 ± 0,2 (Feely et al. 2004). Namun, sejak era revolusi industri pada beberapa dekade terakhir ini, sekitar 5,4 ± 0,3 Pg C/thn CO2 dilepaskan ke level atmosfer akibat emisi antropogenik (Gruber & Sarmiento 2002).
Jumlah tersebut terbilang cukup
signifikan dibandingkan dengan akibat yang dapat ditimbulkannya.
Namun,
karena alam memiliki mekanisme kesetimbanganya sendiri, maka tidak semua emisi itu dilepaskan ke level atmosfer. Sebanyak 1,9 ± 0,6 Pg C/thn diserap oleh lautan dan sekitar 0,2 ± 0,7 Pg C/thn diserap oleh biosfer daratan, sehingga total yang dilepaskan ke atmosfer sekitar 3,3 ± 0,1 Pg C/thn (Gruber dan Sarmiento 2002).
Sampai tahun 2000an, diperkirakan konsentrasi CO2 di atmosfer ada
sekitar 383 ppm (Whorf & Keeling 2005). Selama periode emisi antropogenik, laut melepaskan (source) sekitar 20 Pg C/thn dari permukaan lautan di seluruh dunia, sementara di bagian permukaan laut lainnya, terjadi penyerapan (sink) CO2 antropogenik dari atmosfer sebesar 21,9 Pg C/thn (Sabine et al. 2004). Sementara itu, akibat perusakan hutan di daerah tropis, daratan melepaskan CO2 sekitar 1,7 Pg C/thn ke atmosfer, namun proses tersebut diimbangi pula dengan proses penyerapan daratan terhadap CO2 antropogenik, diluar daerah yang disebabkan oleh perusakan hutan tadi, yaitu sekitar 1,9 Pg C/thn (Gruber & Sarmiento 2002). Di dalam air laut, DIC terakumulasi dalam jumlah ya C
C
C
C
C 1800 sampai 1994 (Sabine et al. 2004), dengan estimasi rata-rata CO2 yang masuk ke dalam lautan pertahunnya sekitar 2,2 Pg C, dimana 40% nya diekspor melalui kontinental margin, yang 1/3 masuk melalui sungai dan sisanya melalui proses pertukaran gas antara laut dan atmosfer (air-sea flux) (Liu et al. 2000).
9
Gambar 2
Siklus karbon global. Panah, menunjukkan aliran (dalam petagram karbon per tahun) antara atmosfer dan kedua sink karbon utama lainnya, yaitu lautan dan daratan. Aliran antropogenik digambarkan dengan garis warna merah dan warna hitam mewakili aliran karbon alamiah (Sabine et al. 2004).
CO2 antropogenik dipertukarkan diantara 3 samudera besar dunia dalam sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) (Gruber & Sarmiento 2002). Perairan laut lepas di wilayah lintang tinggi diprediksi berperan sebagai sink bagi CO2 antropogenik, karena dipengaruhi oleh kondisi temperatur yang rendah, aktifitas biologi yang tinggi, dan besarnya volume air. Menurut Moore et al. (2000) lautan bagian Selatan (southern ocean) adalah yang berperan sebagai sink terbesar untuk CO2, kemudian diikuti oleh Samudera Atlantik yaitu sekitar 47 ± 9 Pg C (Gruber 1998), Samudera Pasifik sebesar 45 ± 5 Pg C (Sabine et al. 2002), dan Samudera Hindia sebesar 20,3 ± 3 Pg C (Sabine et al. 1999). Arah pertukaran gas CO2 antara laut dan atmosfer di kontrol oleh tekanan parsial CO2 (pCO2). Semakin banyak karbon anorganik yang terlarut dipermukaan laut, akan diikuti oleh peningkatan pCO2 sehingga terjadi pelepasan gas CO2 ke atmosfer. Namun sebaliknya, CO2 atmosfer akan masuk ke dalam lautan pada
10
saat pCO2 permukaan laut lebih rendah dari atmosfer (Cicerone et al. 2004). Aliran perpindahan CO2 antara atmosfer dan lautan dapat juga terjadi melalui proses upwelling dan downwelling (Wang et al. 2005) . Pada perairan dengan temperatur rendah, akan meningkatkan kelarutan CO2 dan menurunkan pCO2 perairan, sehingga terjadi aliran penyerapan CO2 dari atmosfer ke laut.
Temperatur homogen (tidak terstratifikasi secara vertikal)
mengakibatkan CO2 di permukaan dapat tertransfer dan tersimpan ke lapisan dalam.
Sementara itu, pada perairan tropis, CO2 cenderung dilepaskan ke
atmosfer karena proses pemanasan berlangsung konstan sepanjang tahun (Koropitan & Ikeda 2008).
2.2
Dampak Perairan Pesisir terhadap Siklus CO2 CO2 yang terlarut di lautan, merupakan salah satu komponen yang
mempunyai siklus yang cukup kompleks. Siklus CO2 adalah siklus biogeokimia, dimana CO2 dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat penampungan (reservoir) CO2 utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran.
Penampungan tersebut adalah atmosfer,
biosfer daratan (termasuk sistem air tawar dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk DIC dan biota laut hayati dan nonhayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil).
Pertukaran CO2 antar
reservoir terjadi karena adanya proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi (Sabine et al. 2004). Selanjutnya, pertukaran gas karbon dioksida antara atmosfer dan lautan sangat berperan pada siklus karbon global dalam menentukan masa depan sistem bumi (Chen 2004). Dalam mekanisme sistem karbonat di laut, pCO2 dalam lapisan air yang tercampur merupakan penentu terhadap aliran gas CO2 antara laut dan udara. pCO2 sendiri secara garis besar dipengaruhi oleh temperatur, TCO2 atau DIC, pH dan total alkalinitas (TA). Sementara temperatur dipengaruhi oleh proses fisika dan DIC, pH dan TA yang di kontrol oleh proses-proses biogeokimia dan prosesproses biologi yang berasal dari fotosintesis dan respirasi. Pengukuruan dua variabel yaitu DIC dan TA (disamping temperatur dan salinitas) pada sistem karbonat, memungkinkan untuk mengambarkan sistem
11
karbonat yang berlangsung di lautan (DIC, TA, pH, dan pCO2). DIC dan TA merupakan parameter yang sering digunakan untuk menjelaskan sejumlah proses yang mempengaruhi siklus karbon (proses fisika, kimia dan biologi) (Feely et al. 2004). Gambar 3 menjelaskan keterkaitan sejumlah variabel dalam proses yang berlangsung. Sebagai contoh, pada saat pembentukan CaCO3, terjadi penurunan DIC dan TA namun dalam rasio 1:2. Proses fotosintesis akan mengurangi DIC, sementara TA mengalami sedikit penurunan karena nutrien (spt. fosfat, silikat) yang terserap. Masuknya CO2 antropogenik (penetrasi) mendorong meningkatnya DIC namun tidak mengubah posisi TA. Proses biologi mulai terpengaruh sejak pH mengalami penurunan. Meningkatnya CO2 di permukaan air laut sejak masa revolusi industri telah berdampak pada menurunnya pH permukaan air laut sekitar 0,12 unit. pH lautan akan terus mengalami penurunan bila konsentrasi CO2 di atmosfer terus mengalami peningkatan (Feely et al. 2004).
Gambar 3
Dampak dari sejumlah proses terhadap DIC dan TA (digambarkan dengan panah). Garis dan garis putus-putus mengindikasikan level konstan CO2 terlarut (dalam µmol kg-1) dan pH masing-masing, sebagai suatu fungsi dari DIC dan TA (Zeebe & Wolf-Gladrow 2001).
12
Perairan pesisir banyak menerima masukan karbon organik dan anorganik dari daratan melalui sungai seperti halnya total alkalinitas. Hal ini menyebabkan interaksi di perairan pesisir, kaitannya dengan sistem karbonat, menjadi semakin kompleks. Adanya fenomena upwelling/downwelling di perairan pesisir, juga mempengaruhi proses biologi karena adanya pertukaran nutrien diantara permukaan dan lapisan dalam. Demikian halnya dengan aktifitas manusia, akan mempengaruhi level CO2 di atmosfer, yang kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah perairan pesisir. Dengan demikian terlihat, bagaimana wilayah perairan pesisir memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon global (Gambar 4).
Gambar 4
Proses-proses yang mempengaruhi siklus karbon di kolom perairan (Liu et al. 2010).
Pengukuran secara kontinyu terhadap kandungan CO2 lautan di beberapa lokasi, telah dilakukan lebih dari satu dekade. Pada pengukuran tersebut telah menunjukkan peningkatan DIC seiring dengan meningkatnya konsentrasi karbon di atmosfer. Peningkatan DIC di lautan diikuti juga dengan penurunan pH. Para
13
ahli sepakat, bahwa penurunan pH lautan akan berdampak serius bagi organisme laut (Feely et al. 2004). Meningkatnya konsentrasi CO2 di permukaan laut akibat masuknya CO2 antropogenik dari atmosfer akan mempengaruhi dua hal, yaitu menurunnya ketersediaan konsentrasi ion karbonat di permukaan laut ( CO32 ) dan menurunya tingkat kejenuhan dari kalsium karbonat (Kleypas et al. 1999). Peristiwa ini akan mengancam
sejumlah
pelagik
laut
diantaranya
coccolithophorida
dan
foraminifera, dalam menghasilkan CaCO3 (Iglesias-Rodriguez et al. 2001). Perubahan terhadap sejumlah variabel lingkungan lainnya dalam suatu perairan akan berdampak terhadap perubahan pCO2 dan pH didalamnya. Meningkatnya pCO2 di permukaan laut dipengaruhi oleh meningkatnya temperatur permukaan laut, perubahan pada ketersediaan nutrien (yang dipengaruhi oleh perubahan pada proses percampuran, pola presipitasi, dan meningkatnya stratifikasi), penurunan CO2 dalam air yang hangat, perubahan salinitas yang disebabkan oleh energi panas dan efek presipitasi, perubahan pada percampuran di lautan, sirkulasi dan angin. Perubahan-perubahan interaksi ini yang akan mempengaruhi proses biogeokimia yang berlangsung di lautan (Feely et al. 2004).
2.3
Oseanografi Wilayah Studi
2.3.1 ARLINDO Arus Lintas Indonesia sangat mempengaruhi budget bahang dan air tawar dari kedua samudera yang mengapitnya dan diindikasikan sangat berhubungan dengan El NiÑo Southern Oscillation (ENSO) dan fenomena iklim muson (Webster et al. 1998). Sirkulasi ARLINDO terjadi karena adanya gradien paras laut Samudera Pasifik yang lebih tinggi dari pada Samudera Hindia (Gordon & Fine 1996). Menurut Gordon dan Fine (1996) ARLINDO berasal dari air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Gambar 4B). Air Pasifik Utara masuk lewat Selat Makassar digambarkan memiliki karakteristik salinitas maksimum pada lapisan termoklin
14
(North Pasific Subtropical Water, NPSW) di kedalaman sekitar 200 m, dan salinitas minimun di lapisan bawah termoklin (North Pasific Intermediate Water, NPIW) di kedalaman sekitar 300 m. Air Pasifik Selatan digambarkan memiliki komponen minor, dimana karekteristik ini muncul pada lapisan bawah termoklin (South Pasific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) sepanjang wilayah timur lewat Laut Halmahera dan Laut Maluku menuju Laut Seram, dan kemudian masuk ke Laut Banda (Ilahude & Gordon 1996). Sebagian massa air yang melintasi Selat Makassar langsung keluar menuju Samudera Hindia lewat Selat Lombok, namun sebagian besar menuju timur melintasi Laut Flores sampai ke Laut Banda. Selanjutnya massa air ini mengalami modifikasi oleh percampuran, upwelling dan pertukaran gas laut–udara, sebelum mengalir menuju Samudera Hindia lewat Selat Ombai dan Pintasan Timor (Ffield & Gordon 1992; Hautala et al. 1996). Transpor massa air ARLINDO dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia ada pada kisaran 2–24 Sv (1 Svedrup = 106 m3 s-1) (Godfrey 1996; Gordon 2005). Data terbaru transpor ARLINDO (Gordon et al. 2008; Sprintall et al. 2009), menunjukkan bahwa massa air Pasifik Utara yang masuk lewat Selat Makassar diperkirakan sebesar 11,6 Sv. Sekitar 20% massa air tersebut (2,6 Sv) langsung keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebesar 4,9 Sv dan sebesar 7,5 Sv keluar melalui Laut Timur (Gambar 5). Beberapa model penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi terhadap ratarata transpor massa air ARLINDO (perbedaannya sekitar ± 5 Sv) yang dikaitkan dengan fase ENSO. Ditunjukkan bahwa, transpor terbanyak selama periode La NiÑa dan transpor terendah selama periode El NiÑo (Gordon & Fine 1996). Gordon dan McClean (1999), menggunakan model POP dengan resolusi tinggi dan mendapatkan 12 Sv rata-rata tahunan selama La NiÑa dan 4 Sv rata-rata selama El NiÑo. Sementara itu, berdasarkan data mooring ARLINDO di Selat Makassar, pada periode El NiÑo tahun 1997/1998, ditemukan korelasi yang kuat (r = 0,73) antara transpor Makassar dengan ENSO.
Selama El NiÑo bulan
Desember 1997 sampai Februari 1998, tercatat rata-rata transpor sekitar 5,1 Sv,
15
sementara selama periode La NiÑa Desember 1996 sampai Februari 1997, rata-rata transpor 12,5 Sv (Gordon et al. 1999).
Gambar 5
Jalur ARLINDO (dimodifikasi dari Gordon 2005; Gordon et al. 2008 & Sprintall et al. 2009). Panah biru mewakili massa air utara Pasifik yang mengalir pada lapisan termoklin; panah oranye mewakili massa air dari selatan Pasifik masuk melalui Laut Halmahera di bawah termoklin; panah merah mewakili aliran massa air Pasifik yang melewati ambang (sill) pada kedalaman 2000 m di lintasan Lifamatola menuju lapisan dalam Laut Banda.
Menurut Gordon dan Fine (1996) & Ffield dan Gordon (1992), di perairan Indonesia bagian timur pada kedalaman di atas 300 meter diisi oleh massa air NPSW dan NPIW.
Sementara, massa air Samudera Pasifik bagian selatan
mengisi sebagian lapisan bawah termoklinnya, yaitu SPSLTW. Baik massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan, kemudian mengalami perubahan karakteristik selama bersirkulasi melalui ARLINDO, dan digantikan dengan karakteristik massa air yang baru ketika mencapai Samudera Hindia bagian timur (Tabel 1). ARLINDO secara garis besar dipengaruhi oleh dua angin muson yang berbeda (Wyrtki 1961): muson barat laut – NWM (Desember – Februari) dan muson tenggara – SEM (Juni – Agustus). Periode lain (bulan) merupakan bulan transisi untuk kedua periode yang berbeda. Penelitian terbaru oleh Susanto et al.
16
(2006) mengindikasikan bahwa periode transisi muson berlangsung singkat. NWM terjadi selama bulan November sampai Maret, sementara SEM terjadi selama bulan Mei, dan berlanjut sepanjang September, sehingga, bulan April dan Oktober merupakan bulan transisi.
Tabel 1
Karakteristik massa air Samudera Pasifik dan transformasinya di Samudera Hindia (Wijffels et al. 2002 dan You 2003)
Massa Air
NPSW
SPSW
NPIW AAIW
uCDW
Bertransformasi di Hindia dengan Asal dan Karakteristik yang baru
Karakteristik
Asal Daerah Pembentukan
S tinggi (34,65), T(15oC), O2(3,0 ml/l), rendah nutrien. Jalur: via Selat Makassar S tinggi (34,75), T(14 o C), O2 (2,6 ml/l), rendah nutrien. Jalur: via Laut Halmahera S minimum (34,4) Jalur: via Makassar dan Laut Maluku S minimum (34,56) Rendah nutrien Jalur: via Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Timor. S tinggi (32.62) Rendah nutrien. T(2,6oC) dan O2(2,6 ml/l)
Subtropis dangkal di Pasifik Utara
ITW S rendah (34,6 psu), T(14oC) Silikat tinggi (35 µmol.kg-1)
Subtropis dangkal di Pasifik Selatan
ITW S rendah (34,6 psu), T(14 oC) Silikat tinggi (35 µmol.kg-1)
Laut Okhotsk dan Teluk Alaska
ITW S rendah (34,6 psu), T(14 oC) Tinggi silikat (35 µmol.kg-1) IIW Silikat maksimum (80 µmol.kg-1)
Bagian tenggara Pasifik Selatan
Daerah cirkumpolar di Samudera Selatan
Tidak ada
2.3.2 Laut Banda Kepulauan Indonesia dikarakteristikkan memiliki curah hujan yang tinggi. Banyaknya presipitasi melebihi evaporasi di wilayah bagian barat mengakibatkan terjadinya percampuran air di dalam kolom air.
Fenomena ini ditemukan di
permukaan air pada kisaran 0–200 m, dengan adanya lapisan air tawar (S < 34.50) (Hautala et al. 1996; Atmadipoera et al. 2009). Massa air di Laut Banda juga mengkontaminasi wilayah sekitarnya, dan sangat dipengaruhi oleh sistem angin
17
muson. Selama periode NWM, temperatur permukaan laut (SST) adalah 29 oC, dan 26,8 oC selama periode SEM (Levitus & Boyer 1994). Di sepanjang lintasan arus lintas, lapisan termoklin terlihat menyesuaikan terhadap perubahan ketebalan salinitas yang rendah dilapisan permukaan, mengikuti regim kedua sistem muson (Wijffels et al. 1996). Bray et al. (1996) memperkirakan lapisan termoklin ada pada kedalaman ~110–120 m pada isoterm 21 oC di bagian timur pulau Timor. Sementara pengukuran yang dilakukan oleh van Iperen et al. (1993) menyimpulkan bahwa termoklin menyesuaikan dengan musim, ini jelas terlihat dimana termoklin mengalami pengangkatan selama SEM, dari 70 ke 90 m pada bulan Februari/Maret, dan 30 ke 40 m pada bulan Agustus. Sementara itu, selama periode SEM (Mei–September), arus bergerak menuju Laut B
/A
‘upwelling’
kaya akan nutrien dibagian timur Laut Banda (Wyrtki 1961). Wyrtki (1961) menunjukkan bahwa selama NWM (November – Maret), terdapat arus yang cukup kuat menuju timur yang bergerak dari Laut Jawa dan Laut Flores mengalir masuk ke Laut Banda. Namun demikian, kekuatan angin tidak cukup memungkinkan untuk mendorong air dari Laut Banda menuju Samudera Hindia. Akibatya terjadi akumulasi air dengan salinitas rendah di Laut Banda yang menekan lapisan termoklin. Demikan juga tekanan gradien dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia menjadi lemah, sehingga sirkulasi massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia berkurang selama periode NWM (Wyrtki 1961).
2.3.3 Selat Ombai Selat ombai terletak antara Pulau Alor dan Pulau Timor. Perairan Selat Ombai memiliki kedalaman maksimum sekitar 3250 m, dengan lebar 30 km. Pasang surut yang terjadi di Selat ini relatif kuat dan dapat mengubah arus permukaan (Molcard et al. 2001). Profil menegak salinitas di perairan Selat Ombai seperti yang dilaporkan Molcard et al. (2001) menunjukkan bahwa salinitas terendah (34,27–34,41 psu) terdapat pada kedalaman di atas 50 m yaitu di bagian timur selat.
Hal ini
18
disebabkan adanya pasokan air tawar dari sungai-sungai sekitar pulau dan pasokan air tawar permukaan dari Laut Jawa (Atmadipoera et al. 2009). Nilai salinitas maksimum 34,56 psu pada kedalaman 200 m pada pertengahan lapisan termoklin, dan salinitas minimum (34,51 psu) berada pada kisaran kedalaman 250–400 m, yang merupakan sisa massa air NPSW dan NPIW (Wyrtki 1961; Ilahude & Gordon 1996; Suteja 2011). Di bawah 1400 m, di sekitar kedalaman pada lintasan yang menuju Samudera Hindia massa airnya masih relatif homogen. Dari profil temperatur menunjukkan adanya lapisan termoklin yang cukup tajam antara permukaan (T = 29oC) dan kedalaman 300 m (T=10oC), tanpa lapisan tercampur (mixed layer). Pada beberapa kedalaman, temperatur perairan relatif homogen, seperti pada kedalaman 15–30 m (Gordon & Fine 1996). Lapisan homogen ini menunjukkan kuatnya proses percampuran (mixing). Massa air yang masuk ke Selat Ombai, didominasi oleh massa air yang berasal dari Pasifik Utara dibandingkan dari tenggara Laut Banda. Karakteristik massa air Selat Ombai memiliki kesamaan dengan massa air Laut Sawu dan Basin Wetar. Massa air dari timur masuk melalui Basin Wetar dan hanya sedikit yang langsung melalui Laut Flores dan barat daya Banda antara Alor dan pulau Wetar. Selat Ombai memiliki arus dalam lebih kuat dibagian timur. Arus ini terdapat pada kedalaman antara 500 dan 1500 m (Wyrti 1961).
2.4
Diagram Temperatur-Salinitas dan Temperatur-Salinitas-CAnt Jenis massa air dapat didefinisikan berdasarkan diagram temperatur-salinitas
(diagram T-S) yang terlihat. Beberapa masa air yang memiliki sifat yang berbeda pada perairan terbuka dapat bercampur menjadi satu tapi ada beberapa bagian tetap mempertahankan karakternya terutama untuk temperatur dan salinitas. Pond dan Pickard (1983) memperkenalkan diagram T-S untuk menggolongkan tipe-tipe massa air. Dalam suatu area, apabila temperatur dan salinitas di bawah lapisan permukaan diplotkan satu sama lain, maka umumnya akan membentuk kurva menurun, yang menggambarkan hubungan kedua parameter tersebut. Diagram TS dapat digunakan untuk mengetahui asal-usul, sebaran, dan pelapisan massa air serta proses percampuran dari dua massa air yang berbeda.
19
Menurut Pickard dan Emery (1990), diagram T-S adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara temperatur-salinitas yang digambarkan secara bersamaan.
Diagram T-S diplotkan berdasarkan diagram kartesian dimana
variabel salinitas dinyatakan dengan sumbu x dan variabel temperatur dinyatakan dengan sumbu y. Temperatur dan salinitas mencirikan tipe massa air dari suatu wilayah tertentu. Jika suatu massa air yang dicirikan oleh diagram T-S berada di suatu wilayah yang memiliki tipe massa air berbeda, maka dapat diketahui bahwa massa air tersebut bergerak dari sumbernya ke wilayah perairan itu. Pada penelitian ini akan mengaitkan diagram T-S dengan CO2 antropogenik (T-S-CAnt), yang dimaksudkan untuk melacak sinyal perjalanan CO2 antropogenik yang terbawa oleh sirkulasi massa air.
20
3 METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di daerah Arus Lintas Indonesia, yang
difokuskan pada 2 lokasi titik pengambilan sampel, yaitu stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai (Gambar 6).
Keterangan :
....
: Titik pengambilan data primer (stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai)
Gambar 6
Wilayah pengambilan sampel (dimodifikasi dari Gordon 2005 dan Christian et al. 2004).
: Data sekunder WOCE/JGOFS section (P10N, P08S_1, P08S_2, H_I10)
22
Pengambilan sampel pada kedua stasiun ini dilakukan pada tanggal 16 Juli 2010, yang meliputi batas-batas area dengan koordinat 6˚ 7’ L untuk stasium laut Banda, dan 8˚ 4’ L
˚
’ BT
˚ ’ BT
Ombai.
3.2
Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan adalah HCl (untuk membersihkan botol duran),
HgCl2 (untuk menghambat aktifitas biologis dalam sampel air), dan bahan untuk pengukuran DO dengan metode titrasi (Aquades, MnSO4, NaOH+Kl, Na-tiosulfat, Amylum, H2SO4). Sementara itu, peralatan yang dipergunakan adalah, botol borosilikat – duran 500 ml (untuk sampel DIC dan TA), mikropipet 100 µl, cool box, botol BOD 125 ml (untuk sampel DO), salinometer (untuk pengukuran salinitas) dan peralatan CTD (conductivity temperature depth) Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus (untuk pengukuran temperatur, tekanan, salinitas, dan oksigen).
Peralatan CTD sudah terinstal di atas kapal termasuk peralatan
pengukuran DO dan salinometer yang berada di laboratorium kapal.
3.3
Pengambilan Data
3.3.1 Tipe Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder untuk memprediksi perjalanan dan kandungan CO2 antropogenik di Samudera Pasifik bagian barat maupun di Samudera Hindia bagian timur yang terbawa oleh sirkulasi massa air melalui ARLINDO.
3.3.1.1 Data Primer Data primer dikumpulkan selama penelitian melalui program INDOMIX, di stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai (Gambar 10), yang meliputi data DIC atau TCO2, TA, DO, pH, dan data CTD (Temperatur, Salinitas, pH dan DO). Salinitas dan DO, selain berasal dari CTD, juga dilakukan pengukuran langsung di laboratorium kapal sebagai data pembanding dengan data yang diunduh dari CTD.
23
3.3.1.2 Data Sekunder 3.3.1.2.1 Di Laut Data sekunder diambil dari WOCE (World Ocean Circulation Experiment) /JGOFS (Join Global Ocean Flux Study) section, yang meliputi data DIC, TA, θ
DO,
http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Lokasi pertama: Pasifik Barat, P10N. Data di jalur ini hanya diseleksi pada lintang antara 8,833o LU – 20,493o LU, berdasarkan daerah pergerakan North Equatorial Current (NEC). Survei ini dilakukan dengan R/V Mirai pada tanggal 25 Mei 2005 – 2 Juli 2005 (Gambar 7) . Lokasi kedua: Pasifik Barat. P08S. Data ini diambil dengan R/V Kaiyo, tanggal 17 Juni 1996 – 2 Juli 1996, pad º
º
’ BT –
º
’ BT dan
4’ LU – 4 ’ LU (Gambar 8).
Lokasi ketiga: Samudera Hindia bagian Timur (Gambar 9). H_I10. Data ini diambil dengan R/V Knorr, 29 Agustus 1995 – 16 Oktober 1995. Data tersebut dianalisis di Laboratorium Pacific Marine Environmental oleh Chris Sabine dan Kenneth Johnson.
Section P10N
Gambar 7
Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P10N. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
24
Section P08S
Gambar 8
Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P08S. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Section HI10
Gambar 9
Data outlet ARLINDO, Samudera Hindia bagian Timur, WOCE section I10. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
25
Deskripsi pengukuran WOCE/JGOFS dan keakuratan data dilakukan seperti yang digambarkan dalam Johnson et al. (1998) untuk TCO2 dan Millero et al. (1998) untuk TA.
Sampel standar Certified Reference Material (CRM) dengan
nilai konsentrasi TCO2 dan TA yang telah diketahui (A. G. Dickson, kualitas kontrol
karbon
dioksida
di
laut
dapat
dilihat
dalam
http://www-
mpl.ucsd.edu/people/adickson/CO2_QC, 2000) digunakan setiap 12 jam untuk
mengkalibrasi sistem yang digunakan di atas kapal. Akurasi pengukuran TCO2 dan TA diprediksi masing-masing mencapai ± 2 dan ± 4 µmol.kg-1 (Johnson et al. 1998; Millero et al. 1998). Data hidrografi dari CTD (conductivity temperature depth)/Rosette dikumpulkan dan dianalisis mengikuti prosedur standar (Millard 1982). Sampel air untuk pengukuran salinitas, setiap botolnya diukur dengan menggunakan salinometer berdasarkan teknik standar (UNESCO, 1981). Sampel air untuk oksigen dianalisa dengan menggunakan sistem otomatis yang telah dimodifikasi dari metode Winkler (Culberson et al. 1991).
3.3.2 Penentuan dan Disain Lokasi Pengamatan Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari jalur pelayaran program ‘IN
MIX’ Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) pada
tanggal 9-22 Juli 2010 (Gambar 10), dengan menggunakan R/V Marion Dufresne, yang merupakan kegiatan kerjasama penelitian antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor dengan LEGOS & LOCEAN UMPC Paris 6, Perancis, sehingga penentuan dan disain lokasi pengamatan dalam penelitian ini mengikuti jalur pelayaran program INDOMIX, sebagaimana yang telah direncanakan sebelum pelayaran ini berlangsung. Pelayaran INDOMIX berlangsung dari tangal 9-22 Juli 2010 yang bertolak dari Sorong Papua, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Sumba, Selat Lombok dan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (Gambar 9).
Beberapa parameter yang diukur selama pelayaran
berlangsung diantaranya; parameter oseanografi fisika dengan menggunakan Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature Depth (xCTD), Lowered Acoustic Doppler Current Profiler (LADCP), Mooring bottom ADCP di Laut Halmahera dan Vertical Microstructure Profiler (VMP).
26
Gambar 10 Jalur pelayaran program INDOMIX 2010. Pelayaran bermula dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 (Gambar dimodifikasi dari Suteja 2011). Pengukuran transpor ARLINDO dilakukan dengan penurunan mooring ADCP di Laut Halmahera dan akan dilakukan pengangkatan kembali dalam dua tahun kemudian.
Pada program ini pula dilakukan perekaman data melalui
Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan sampel air untuk analisa nutrien, klorofil-a, dan tracer (radio isotop) di beberapa lapisan kedalaman, demikian pula pengamatan nekton, mamalia dan burung laut juga dilakukan selama pelayaran berlangsung.
3.3.3 Manajemen Sampel 3.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel Air Sampel air untuk pengukuran parameter DIC dan TA diambil dari botol rossette dengan menggunakan pipa tygon yang panjangnya sekitar 30 cm. Air ditampung dalam botol kaca duran 500 ml. Pipa diletakkan sampai ke dasar
27
botol, kemudian sampel air dimasukkan. Sampel air dibiarkan meluber sampai kira-kira 2/3 volume botol dengan menghindari gelembung menempel pada dinding botol (hal yang sama dilakukan untuk pengambilan sampel air dengan botol BOD untuk analisa DO). Selanjutnya air dalam botol duran dikeluarkan 10% nya untuk menyediakan ruang terhadap ekspansi air nantinya.
Setelah
ditambahkan 100 µl HgCl2, sampel air di tutup dan dikocok sampai terjadi percampuran sempurna kemudian disimpan dalam cool box pada temperatur ruang.
Teknik pengambilan sampel ini mengacuh pada SOP DOE Carbon
Dioxide System in Sea Water (DOE 1994) (Lampiran 1). Sampel air laut di stasiun Laut Banda diambil pada kisaran tekanan 5–4300 dbar sebanyak 15 sampel masing-masing pada tekanan 5, 50, 75, 100, 200, 300, 450, 750, 1250, 1500, 2000, 2500, 3000, 3500 dan 4300 dbar. Sedangkan di stasiun Selat Ombai, sampel diambil pada kisaran tekanan 5–1500 dbar sebanyak 22 sampel masing-masing pada tekanan 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800, 900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 dbar.
3.3.3.2 Teknik Penanganan Sampel (handling) Sampel air untuk penentuan nilai DIC dan TA, dianalisis di laboratorium Service National d’Analyse de Parametres Oceanique du CO2, IPSL – UPMC, Paris. Sebelum dikirimkan melalui kapal laut, sampel terlebih dahulu diatur dalam cool box yang ditambahkan steroform pada bagian dasar, samping dan atas botol, sehingga botol-botol sampel berada dalam posisi rapat antara satu dengan lainnya. Namun sebelumnya, sampel-sampel telah tandai berdasarkan layer dan stasiun asal untuk mempermudah proses analisis lebih lanjut. Penutup botol dipastikan tertutup rapat untuk menghindari terjadinya pertukaran gas dalam botol dan udara. Sampel-sampel kemudian diletakkan dalam ruangan yang dingin namun tidak sampai beku, untuk menghindari terlepasnya gas CO2 ke udara.
28
3.4
Analisa Laboratorium
3.4.1 Penentuan DIC / TCO2 Total dissolved inorganic carbon (DIC) yang terkandung dalam air laut dapat diekspresikan sebagai berikut : DIC CO2* HCO3 CO32
(1)
dimana, HCO3 dan CO32
= total
konsentrasi
yang
terlarut
dalam
larutan
-1
CO * 2
(µmol.kg ), = total konsentrasi
karbon
dioksida
yang
tidak
terionisasi, yaitu H 2CO3 dan CO2 (µmol.kg-1). Beberapa contoh air laut dimasukkan ke dalam suatu wadah dimana air laut tersebut diasamkan dan dihilangkan dengan gas-gas non reaktif. Endapan kalsium karbonat ( CaCO3 ) merupakan faktor pengganggu dalam metode ini. Banyaknya
CO2 dari aliran gas dapat ditentukan dengan mengabsorpsi CO2 yang terkandung dalam ethanolamine dan asam hydroxyethylcarbamic yang terbentuk dari hasil titrasi kolometrik. pH larutan dapat diketahui dengan mengukur absorbansi atau transmisinya menggunakan indikator thymolphthalein pada panjang gelombang 610 nm. Ion hidroksida dihasilkan dari aliran kolometer yang berfungsi untuk menjaga stabilisasi transmisi/absorbansi nilai konstanta larutan. Persamaan reaksi kimia yang terjadi dalam larutan dapat diekspresikan sebagai berikut :
CO2 HO CH 2 2 NH 2 HO CH 2 2 NHCOO H
(2)
dan H+ +OH- H2O
(1)
Ion hidroksida yang bereaksi dengan katoda dihasilkan dari ionisasi air, sebagaimana diekspresikan sebagai berikut, 1 H 2O+e- H 2 g +OH 2
(2)
29
sedangkan perak bereaksi dengan anoda, sebagaimana diekspresikan sebagai berikut :
Ags Ag + +e-
(3)
Efisiensi metode kolometrik ini kemudian dilakukan kalibrasi dengan kadar gas
CO2 baik dari aliran gas maupun dari larutan Na2CO3 . Prosedur penentuan total DIC dalam air laut dijelaskan dalam lampiran 2. Data hasil pengukuran TCO2 berdasarkan prosedur ini dipaparkan dalam lampiran 3.
3.4.2 Penentuan Total Alkalinitas (TA) Alkalinitas didefinisikan sebagai kemampuan kuantitatif air untuk menetralisir asam kuat ke pH yang dipilih. Sampel (air laut) diawetkan dengan menambahkan 100 µl larutan HgCl2 dan didinginkan pada temperatur 4oC. Setelah keruh, sampel diperbolehkan untuk diendapkan. Total alkalinitas didefinisikan sebagai jumlah mili ekuivalen H+, yang diperlukan untuk titrasi satu kilogram air laut ke titik ekivalen bikarbonat (~ pH 4.5) : TA = [HCO31¯] +2 [B (OH)41¯] [CO32¯] + + [OH1¯] - [H+]
(3)
Alkalinitas dinyatakan sebagai alkalinitas fenolftalein atau Total Alkalinitas. Keduanya dapat ditentukan secara titrasi dengan larutan asam sulfat standar ke titik akhir pH. Alkalinitas fenolftalein ditentukan dengan titrasi ke pH 8.3 (titik akhir fenolftalein) dan dinyatakan sebagai total hidroksida dan satu setengah karbonat. Total alkalinitas ditentukan dengan titrasi sampel sebanyak 50 ml dengan H2SO4 atau HCl 0,1 N ke titik akhir pH 4,5. Indikator metil ungu dapat digunakan untuk mempertajam titik akhir. Total alkalinitas meliputi semua karbonat, bikarbonat, dan hidroksida alkalinitas. Asam sulfat (asam klorida dapat digunakan) bereaksi dengan tiga bentuk alkalinitas, mengkonversi ketiganya ke air atau asam karbonat. Jika terdapat hidroksida, reaksi membentuk air: 2OH¯ + H2SO4 →
2O
+ SO42-
(4)
30
Konversi ini biasanya selesai pada pH sekitar 10. Fenolftalein alkalinitas ditentukan oleh titrasi ke titik akhir pH 8.3, yang sesuai dengan konversi karbonat untuk bikarbonat. 2CO32¯ + H2SO4 →
C
3
¯
+ SO42-
(5)
Jika hidroksida hadir, titrasi untuk pH 8,3 akan menunjukkan alkalinitas karena semua hidroksida ditambah satu-setengah dari karbonat. Titrasi dilanjutkan ke pH 4,5 untuk melengkapi konversi karbonat menjadi bikarbonat yang lain seperti asam karbonat. Nilai ini disebut Total Alkalinitas. 2HCO3¯ + H2SO4 →
2CO3 +
SO42-
(6)
Hasil pengukuran total alkalinitas dinyatakan dengan satuan mg/l CaCO3 dengan menggunakan rumus:
V (H2SO4// HCl) x N (H2SO4/ HCl) x BE (CaCO3) x 1000 TA mg/L = sebagai CaCO3
(4)
V (sampel)
V (H2SO4)
= Volume titran H2SO4 / HCl (mL)
N (H2SO4)
= Normalitas H2SO4 / HCl
BE (CaCO3)
= Berat Equivalen CaCO3 (= 50,04)
V (sampel)
= Volume sampel (mL)
Prosedur penentuan Total Alkalinitas dalam air laut selengkapnya dijelaskan dalam lampiran 4.
Data hasil pengukuran TA berdasarkan prosedur ini
dipaparkan dalam lampiran 5.
3.4.3 Penentuan Oksigen Terlarut (DO) Selain diambil dengan peralatan CTD, Oksigen terlarut juga diukur berdasarkan metode winkler di laboratorium kapal.
31
Penentuan kadar oksigen dalam air laut berdasarkan titrasi jodometri pertama kali diperkenalkan oleh Winkler pada tahun 1888 (Culberson et al. 1991), dengan Prinsip Metode sebagai berikut: 1.
Dalam larutan yang bersifat basa kuat, Mn2+ (MnCl2 atau MnSO4) bereaksi dengan OH- (NaOH atau KOH) membentuk endapan Mn(OH)2 yang berwarna putih. Mn2+ + 2OH-
(7)
Mn(OH)2 Putih
2.
Endapan Mn(OH)2 ini tidak stabil, sehingga segera di oksidasi oleh oksigen yang terdapat dalam larutan contoh menjadi Mn(OH)3. Reaksi oksidasi ini bersifat kuantitatif, yang berarti banyaknya Mn(OH)3 yang terbentuk adalah ekuivalen dengan banyaknya O2 yang terdapat dalam larutan contoh. 2Mn(OH)2 + ½ O2 + H2O
3.
2 Mn(OH)3
(8)
Dalam larutan yang bersifat asam kuat (pH = 1–2,5), endapan Mn(OH)3 larut kembali dan melepaskan ion Mn3+ yang besifat oksidator. Ion Mn3+ ini akan mengoksidasi ion jodida menjadi J2 bebas. Banyaknya J3- yang terbentuk ekuivalen dengan banyaknya endapan Mn(OH)3. 2 Mn(OH)3 + 2J- + 6H+
2 Mn3+ +J2 + 6H2O
J2 + J 4.
J3 -
(9)
(10)
Larutan yang mengandung J3- tersebut kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat, memakai indikator kanji. Titrasi dihentikan tepat pada saat warna larutan berubah dari biru menjadi tidak berwarna. Banyaknya J3- adalah ekuivalen dengan banyaknya S2O32-. Banyaknya S2O32- ekuivalen dengan banyaknya oksigen terlarut dalam contoh. J3- + 2 S2O32
3 J- + S4O62-
(11)
Data hasil pengukuran Oksigen berdasarkan prosedur ini dipaparkan dalam lampiran 6.
32
3.5
Analisis dan Evaluasi Data
3.5.1 Analisis CO2 Antropogenik di Laut Untuk menghitung distribusi CO2 antropogenik, digunakan pendekatan TrOCA. Metode ini dikembangkan oleh Touratier dan Goyet (2004a), dengan menggabungkan pelacak (tracer) ‘quasi-conservative’ TrOCA (kombinasi dari tracer Oksigen – O2, Karbon Anorganik Terlarut – TCO2 dan Alkalinitas Total – TA). Dasar dari metode ini adalah dengan memprediksi efek-efek biologi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Redfield et al. (1963) melalui persamaan: Respirasi, dekomposisi
106 CO2 + 16 HNO3 + H3PO4 +122 H2O + 17H+
(CH2O)106 (NH3) (H3PO4) + 138 O2
(12)
fotosintesis
Dari sini, akan memungkinkan untuk menentukan besaran nilai konsentrasi CO2 antropogenik melalui peran pompa biologi, dan proses-proses fisika dari pengukuran TCO2. Seiring dengan kedalaman, nilai TCO2 bervariasi menurut respirasi dan pelarutan kalsium karbonat. Beberapa proses ini sebelumnya telah diprediksi dengan menggunakan total alkalinitas (TA; Brewer 1978; Goyet dan Brewer 1993). Pada persamaan (5) terlihat nilai koefisien stoikiometri untuk O2 dan CO2 (masing-masing 165 dan 123) berbeda dengan di persamaan Redfield et al. (1963); yaitu masing-masing 138 dan 106 (persamaan 1). Koreksi terhadap koefisien perbandingan Redfield tersebut di estimasi oleh Körtzinger et al. (2001), berdasarkan data dari Atlantik Utara.
165 adalah nilai koefisien O2 yang
berhubungan erat dengan penelitian Takahasi et al. (1985) dan Anderson dan Sarmiento (1994b), sebaliknya nilai koefisien CO2 adalah 123, disebut sebagai nilai penyimpangan CO2 antropogenik (Körtzinger et al. 2001). Pengaruh nilai koefisien ini terhadap nilai TrOCA, selanjutnya dijelaskan oleh Touratier dan Goyet (2004a). TCO2 =
123 1 17 O2 + TA+ O2 165 2 165
dimana,
(5)
33
TCO2 O2 TA
= Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut (µmol.kg-1) = Oksigen terlarut (µmol.kg-1) = Total Alkalinitas (µmol.kg-1)
Persamaan (5) dikonstruksi kembali sama seperti yang pernah dilakukan oleh Broecker (1974) pada NO dan PO, yang kemudian menjelaskan definisi dari TrOCA (Tracer combaining Oxygen, inorganic Carbon, and total Alkalinity):
TrOCA O2
165 1 TCO2 TA 131,5 2
(6)
TrOCA O2 1, 2TCO2 0, 6TA
(7)
dimana, TrOCA = Kombinasi dari TCO2 , O2 dan TA dengan kontribusi antropogenik (µmol.kg-1) TCO2 = Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut (µmol.kg-1)
O2 TA
= Oksigen terlarut (µmol.kg-1) = Total Alkalinitas (µmol.kg-1) ‘
S
v
’ tracer TrOCA0 yang sama
dengan tracer TrOCA namun tanpa kontribusi antropogenik: TrOCA0 O20 1, 2TCO20 0,6TA0
(8)
dimana, TrOCA0 = Kombinasi dari TCO20 , O20 dan TA0 dengan kontribusi antropogenik (µmol.kg-1) TCO20 = Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut tanpa kontribusi antropogenik (µmol.kg-1) = Oksigen terlarut tanpa kontribusi antropogenik (µmol.kg-1) O20
TA0
= Total Alkalinitas tanpa kontribusi antropogenik (µmol.kg-1)
Sejak total alkalinitas tidak dipengaruhi oleh peningkatan CO2 di atmosfer (Goyet et al. 1999), dapat dikatakan bahwa TA0 TA .
Atas pertimbangan
spesifik terhadap nilai pertukaran rasio O2/CO2 sekitar 1,4 dari pemanfaatan bahan bakar fosil (Keeling & Shertz 1992) dan kontribusi relatif O2 dan CO2 di
34
atmosfer (masing-masing sekitar 21% dan 0,04%), ini cukup menjelaskan bahwa CO2 di atmosfir ~500 kali lebih sensitif terhadap tekanan antropogenik dibandingkan dengan O2.
Perkiraan pertama, diasumsikan bahwa distribusi
oksigen dalam skala luas di bagian dalam lautan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh aktifitas manusia, sehingga diterjemahkan sebagai O20 O2 . Untuk mengetahui konsentrasi CO2 antropogenik, nilai TrOCA0 harus di ketahui terlebih dahulu.
Touratier dan Goyet (2004) memperlihatkan adanya
hubungan antara TrOCA dan θ di Samudera Atlantik.
Peningkatan TrOCA
seiring dengan meningkatnya θ, secara garis besar dijelaskan melalui kontribusi TCO2 dalam persamaan (7) . Hubungan antara TrOCA dan θ diperlihatkan oleh Touratier dan Goyet (2004b), pada bentuk persamaan a.exp(-θ/b) dengan koefisien korelasi, r2 = 0,90. Bagian dalam Samudera Atlantik Selatan diprediksi sebagai lokasi bebas antropogenik (Chen 1993; Gruber 1998), sehingga semua data O2, TCO2 dan TA dan pada lintang 20oLS – 40oLS, yang dikarakterisasi oleh θ ≤
°C (di
kedalaman >3500 m), telah diseleksi untuk perhitungan nilai TrOCA0 (bebas CO2 w
antropogenik).
≥
telah digunakan untuk menghitung nilai TrOCA0. Berdasarkan bentuk exponensial pada persamaan dibawah ini, maka nilai TrOCA0 dapat dihitung:
TrOCA a a . e 0
b b
1505, 04 0, 46 . e
89,04 1,50
r 2 0,90
(9)
Perhitungan nilai TrOCA0 didasarkan pada kisaran θ yang mengacuh pada perhitungan nilai TrOCA. Dengan menggunakan persamaan (10) , maka total konsentrasi CO2 antropogenik (CAnt) di sepanjang kolom air dapat dihitung.
C Ant TCO2 TCO20
TrOCA TrOCA0 1, 2
(10)
35
3.5.2 Grafik Temperatur–Salinitas dan Temperatur–Salinitas–CAnt Untuk mengenali jenis-jenis massa air dan mengetahui keberadaannya, dianalisis melalui grafik sebaran temperatur-salinitas dan grafik sebaran temperatur–oksigen.
Demikan
juga,
untuk
mengenali
perjalanan
CO2
antropogenik, dianalisis dengan menggunakan grafik sebaran temperatur– salinitas–CAnt. Berdasarkan identifikasi massa air melalui gambar grafik T–S, suatu jenis massa air tertentu akan dapat diketahui keberadaannya. Pelacakan jenis massa air ini akan memperlihatkan perbedaan massa air di Samudera Pasifik bagian barat, di wilayah ARLINDO dan di Samudera Hindia bagian timur. Bila pada suatu wilayah tertentu identitas massa air sudah tidak terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa massa air tersebut telah mengalami percampuran dengan massa air lain. Diagram T–S dan T–S–CAnt, dianalisis dengan bentuk sebaran menegak menggunakan program ODV (Ocean Data View).
3.6
Aplikasi Metode TrOCA Metode
perhitungan
distribusi
CO2
antropogenik,
TrOCA,
yang
dikembangkan oleh Touratier dan Goyet (2004a) selanjutnya diaplikasikan berdasarkan data pada section WOCE/JGOFS (Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia bagian timur), dan di daerah ARLINDO (stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai) melalui program INDOMIX. Langkah pertama, adalah memulai perhitungan nilai tracer TrOCA dengan menggunakan data oksigen (O2), karbon anorganik terlarut (TCO2) dan total alkalinitas (TA) berdasarkan persamaan (7) .
Nilai tracer TrOCA0 diperoleh dari persamaan (9) dengan
koefisien a = 15,05 dan koefisien b = 89,04. Untuk selanjutnya, konsentrasi CO2 antropogenik dengan mudah di hitung menggunakan persamaan (10) . Touratier dan Goyet melaporkan bahwa adanya hubungan antara TrOCA dan θ di Samudera Atlantik. Nilai TrOCA diperoleh dari perhitungan semua data TCO2, TA dan O2 dari sampel air yang berasal dari garis lintang 20oLS – 40oLS. Nilai TrOCA0 diperoleh dari asumsi, bahwa air pada kedalaman >3500 m di
36
Samudera Atlantik tidak dipengaruhi oleh CO2 antropogenik (Chen 1982; Chen 1993; Gruber 1998), sehingga semua data O2, TCO2, dan TA pada garis lintang 20oLS – 40oLS, yang dikarakterisasi oleh θ ≤
°C
perhitungan nilai TrOCA0 (bebas CO2 antropogenik). Selanjutnya dari perhitungan ini, diperoleh bentuk kurva dengan persamaan y = a.exp(-x/b), dimana y mewakili tracer TrOCA0 dan x adalah temperatur potensial (θ) (persamaan 9). Penelitian ini juga menemukan suatu hubungan sederhana antara TrOCA dan θ untuk WOCE/JGOFS section dan stasiun Laut Banda dan Selat Ombai yang cukup menarik (Gambar 11), yang secara garis besar dijelaskan melalui konstribusi TCO2 dari perhitungan menggunakan persamaan (7) , dimana konsentrasi meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman atau penurunan temperatur.
Gambar 11
Hubungan antara TrOCA dan temperatur potensial (θ) dari stasiun P10N, P08S_1, P08S_2, H_I10, stasiun Laut Banda dan Selat Ombai.
37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) Untuk mengkaji distribusi CO2 antropogenik di perairan ARLINDO
tentunya tidak dapat dilepaskan dengan propertis oseanografi lainnya seperti temperatur, salinitas dan sirkulasi massa air, karena parameter tersebut juga berperan dalam mengontrol siklus dan sirkulasi CO2 di kolom perairan. ARLINDO yang merupakan bagian dari perpindahan massa air dua Samudera, tentunya akan sangat berperan terhadap neraca CO2 massa air yang di transporkan dari Pasifik menuju Hindia. Perairan ARLINDO yang dikenal sangat dinamis, diduga akan berkontribusi terhadap kondisi neraca CO2 massa air ketika mencapai Samudera Hindia.
4.1.1 Sebaran Temperatur Perairan Samudera Pasifik bagian barat (section P10N) merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur sampai dasar perairan dapat terlihat dengan jelas (Gambar 12). Berdasarkan profil temperatur secara menegak, perairan Pasifik bagian barat dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yakni lapisan homogen dibagian atas (lapisan tercampur), lapisan termoklin dan lapisan dingin di bagian dalam.
Kolom perairan dikategorikan sebagai lapisan permukaan
tercampur jika T < 0,1oC, sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat T ≥
o
C (Cisewski et al. 2005). Penentuan lapisan
dalam didasarkan pada pengamatan visual terhadap profil temperatur dimana pada lapisan ini temperatur tidak mengalamai penurunan secara tajam seiring dengan bertambahnya kedalaman.
38
Gambar 12 Profil vertikal temperatur section P10N, Samudera Pasifik bagian barat. Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan tercampur pada section P10N berkisar antara 9,9-51 dbar. Lapisan paling tebal terlihat pada stasiun 42-54 dibandingkan dengan stasiun 56-61 yang cenderung mendekati wilayah lintang tinggi (Gambar 13). Perbedaan ketebalan lapisan ini dikarenakan temperatur air cenderung berkurang semakin mendekati wilayah lintang tinggi sehingga gradien temperatur menjadi semakin kecil dan tidak terjadinya stratifikasi termoklin (Chierici et al. 2009). Hal ini ditunjukkan dari profil vertikal stasiun 56-61, dimana gradien temperatur berkurang secara konstan terhadap kedalaman, dibandingkan dengan stasiun yang semakin dekat dengan wilayah equator. Pada penelitian ini, lapisan tercampur terlihat lebih tipis dari permukaan yaitu sekitar 50 m, dikarenakan pengukuran dilakukan pada saat musim timur berlangsung. Ilahude dan Gordon (1996) menggariskan, lapisan homogen pada musim barat terbentuk dari permukaan sampai kedalaman 100 m dengan kisaran temperatur sekitar 27-28oC, sedangkan pada musim timur ketebalan lapisan lebih tipis sekitar
39
50 m dari permukaan pada kisaran temperatur 28-29oC. Hasil pengukuran CTD pada section ini menunjukkan kisaran lapisan tercampur ada pada kisaran 28,5029,12oC.
Gambar 13
Profil vertikal temperatur section P10N yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
Lapisan termoklin terletak di bawah lapisan tercampur dan merupakan lapisan dimana temperatur turun secara drastis terhadap kedalaman. termoklin di section P10N memiliki rata-
≥
Lapisan o
C per
satu meter. Pada wilayah ini lapisan termoklin berada pada tekanan berkisar antara 49,8-251,5 dbar. Lapisan dalam merupakan lapisan paling bawah yang memiliki temperatur paling rendah dan hampir homogen. Nilai temperatur di lapisan ini berkisar 12,66-1,6oC. Sementara gradien temperatur terlihat mulai mengecil pada stasiunstasiun searah bertambahnya wilayah lintang, yang menandakan temperatur cenderung mulai homogen sepanjang kolom perairan. Sementara itu stasiun P08S_1 dan P08S_2 memperlihatkan kondisi temperatur vetikal yang hampir sama dengan section P10N. Lapisan homogen
40
pada kedua stasiun ini memiliki ketebalan yang hampir sama, yaitu berada pada kisaran 10-50,2 dbar, demikian pula dengan temperatur kedua stasiun masingmasing berada pada kisaran pada 28,47-29,75oC dan 28,73-29,38oC (Gambar 14A). Stasiun P08S_1 dan P08S_2 terletak searah pada wilayah sirkulasi North Equatorial Current (NEC), sehingga ketebalan lapisan termoklin lebih dipengaruhi oleh pola arus. Pola arus yang terjadi di perairan Pasifik bagian barat dapat diperkirakan dengan melihat pola arus pada bulan Juni. Kedua stasiun ini terletak lebih ke barat dari section P10N, yaitu pada titik 130o BT yang merupakan wilayah sirkulasi NEC yang datang dari arah timur Pasifik menuju Filipina. Arus yang datang dari timur Pasifik pada sekitar garis lintang antara 10–12o LU terlihat berbelok ke selatan ketika mencapai Filipina, yang kemudian berlanjut dengan Mindanao Current (MC).
Gambar 14 Profil vertikal temperatur stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat. (A) sampai tekanan 3000 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
41
Pengukuran pada kedua stasiun ini dilakukan pada bulan Juni 1996, yang memperlihatkan lapisan termoklin berkisar antara 50,2 dbar sampai 250,9 dbar, dengan variasi temperatur antara 9,91-28oC (Gambar 14B).
Pada lapisan di
bawah termoklin terlihat temperatur menurun secara konstan yang bervariasi seiring bertambahnya kedalaman dari 9,99oC sampai 1,61oC. Sebaran rata-rata temperatur permukaan (terutama pada lapisan homogen) di section P10N, stasiun P08S_1 dan P08S_2, yaitu berada pada kisaran 28-29,75oC. Tingginya temperatur pada wilayah ini diduga berasal dari Samudera Pasifik bagian timur yang di bawah oleh NEC. Laut Banda dan Selat Ombai, dipilih sebagai stasiun pengambilan sampel yang mewakili studi ini terhadap distribusi CO2 antropogenik di perairan ARLINDO. Berdasarkan data CTD, terlihat temperatur permukaan Laut Banda sedikit lebih rendah dari temperatur permukaan Selat Ombai.
Gambar 15 Profil vertikal temperatur stasiun Laut Banda. (A) sampai tekanan 3000 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
42
Pada lapisan tercampur stasiun Laut Banda dan Selat Ombai, keduanya memperlihatkan kisaran temperatur masing-masing antara 27,95-28,05oC (Gambar 15A) dan 28,13-28,51oC (Gambar 16A). Kisaran temperatur ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapat oleh Ilahude dan Gordon (1996) pada saat musim timur (Agustus-September 1993) di Laut Flores, Laut Banda bagian barat, dan Laut Timor yang memiliki kisaran temperatur 26,10-27,50oC. Hal ini diduga karena terjadinya anomali iklim seperti El Nino Southern Oscilation (ENSO) yang akan mempengaruhi transfer bahang dan transpor ARLINDO dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia (Sprintall et al. 2003; Gordon 2005). Pada tahun 1993 terjadi fase El Nino yang kuat (Gordon 2005), sehingga jumlah bahang yang ditransfer dari Samudera Pasifik juga melemah dan temperatur lapisan tercampur menjadi lebih rendah dibandingkan periode tidak terjadinya El Nino. Anomali iklim pada tahun 2010 adalah tahun ENSO yaitu fase hangat (La Nina), sehingga suhu lebih tinggi dari tahun normal.
Gambar 16 Profil vertikal temperatur stasiun Selat Ombai. (A) sampai tekanan 1500 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
43
Ketebalan lapisan homogen Laut Banda sekitar 75 dbar (Gambar 15B) sedikit lebih tinggi dari Selat Ombai yang berada pada kisaran 20-71 dbar (Gambar 17) (Suteja 2011). Ketebalan lapisan homogen ini erat kaitannya dengan peran arus. Pengukuran di stasiun Laut Banda dilakukan pada saat periode musim timur berlangsung. Pada periode ini, diduga terjadi penimbunan air hangat yang berasal dari arus Pasifik Selatan. Penimbunan massa air tersebut akan menyebabkan lapisan homogen menjadi lebih dalam dan menekan lapisan termoklin ke bawah yang dicirikan oleh gradien temperatur termoklin bertambah tajam.
Menurut Rochford (1969), faktor yang menyebabkan pendalaman
(deepening) lapisan homogen adalah penimbunana massa air hangat karena arus.
Gambar 17 Profil vertikal temperatur Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja 2011).
44
Sementara itu, lapisan termoklin di stasiun Laut Banda berada di bawah lapisan tercampur dengan tekanan berkisar antara 75-250 dbar, lebih tebal dari lapisan termoklin di stasiun Selat Ombai, 50-200 dbar. Pada penelitian Suteja (2011), lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki tekanan yang hampir sama (berhimpitan) dengan tekanan lapisan pycnocline, dengan tekanan berkisar antara 22–254 dbar, sementara tekanan lapisan atas termoklin memiliki variasi antara 22–72 dbar. Selanjutnya pada lapisan dingin dibawahnya, kedua stasiun memperlihatkan penurunan temperatur rata-rata dari 12oC menjadi 3oC.
Penurunan ini tidak
setajam seperti pada lapisan termoklin. Seiring dengan kedalaman temperatur hampir menunjukkan homogen. Sebaran temperatur di Samudera Hindia bagian timur, menggunakan data WOCE section I10 bulan November 1995. Stasiun-stasiun yang tersebar diantara garis lintang sekitar 12o LS – 24o LS, dikelompokkan dalam dua bagian, satu berdasarkan jalur garis bujur (105o BT – 111,664o BT) memanjang selatan Jawa, dan lainnya berdasarkan jalur garis lintang (11,834o LS – 24,379o LS), yang ditarik dari selatan Jawa sampai mendekati perairan Australia (Gambar 18A). Sebaran temperatur permukan baik pada jalur garis bujur maupun jalur garis lintang, keduanya memperlihatkan gradien temperatur yang berbeda terutama pada lapisan permukaan (Gambar 18B & C). Temperatur pada stasiun-stasiun sepanjang selatan Jawa dari timur ke barat pada umumnya berada pada kisaran 27,73-29,14oC, dengan ketebalan lapisan homogen sekitar 50 dbar. Variasi temperatur lapisan homogen ini berkisar antara 28,10oC sampai 29,14oC (Gambar 19). Lapisan termoklin pada jalur ini ditandai dengan turunnya temperatur secara drastis terhadap kedalaman pada tekanan antara 68 sampai 259 dbar, dengan variasi temperatur antara 11,5oC sampai 27oC.
45
Gambar 18 Profil vertikal temperatur Samudera Hindia bagian timur. (A) section H_I10, (B) berdasarkan garis bujur, dan (C) berdasarkan garis lintang.
46
Gambar 19 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis bujur ) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
Sementara itu, temperatur permukaan pada stasiun-stasiun menurut jalur garis lintang, mengalami penurunan secara konstan sampai mendekati perairan Australia yang mencapai nilai terendah 21,26oC pada titik 24o LS. Sebaliknya temperatur pada stasiun-stasiun yang mendekati Selatan Jawa meningkat sampai pada titik 28,48oC (Gambar 20). Temperatur stasiun-stasiun di Selatan Jawa pada umumnya ditemukan cukup hangat. Hal ini dipengaruhi oleh masukan air yang bertemperatur tinggi dari perairan Indonesia karena section H_I10 terletak lebih dekat dengan jalur keluar ARLINDO. Sprintall et al. (2003) menggariskan bahwa di Selat Ombai, Lintasan Timor, Selat Sawu dan Selat Sumba ditemukan siknal dominan rata-rata temperatur harian tahunan yang tinggi selama musim barat, dan juga bersamaan dengan berlangsungnya musim panas di bagian selatan dari bulan Januari sampai Maret. Hal ini diperkuat dalam penelitian Schneider (1998) yang menemukan
47
temperatur permukaan laut yang cukup tinggi di Hindia bagian timur yang ditransporkan dari Samudera Pasifik atas peran ARLINDO. Lapisan homogen pada stasiun-stasiun yang dekat dengan garis katulistiwa berada pada tekanan antara 3.7-57 dbar, dengan kisaran temperatur antara 2828,43oC. Lapisan termoklin berada pada kisaran tekanan antara 71-298 dbar. Sebaliknya pada stasiun-stasiun yang mendekati wilayah subtropis, gradien temperatur secara vetikal mulai terlihat menipis terutama di atas 500 dbar (Gambar 20).
Hal ini menunjukkan berkurangnya stratifikasi yang ditandai
dengan penurunan temperatur secara konstan seiring kedalaman, yaitu sekitar 1oC tiap meternya.
Lapisan dingin dibawahnya, temperatur turun dari 15,15oC
mencapai 1,46oC.
Gambar 20 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis lintang) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
48
4.1.2 Sebaran Salinitas ARLINDO mentranspor air dengan salinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Hindia.
Salinitas merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
karakteristik massa air dalam suatu perairan. Kondisi salinitas di Samudera Pasifik bagian barat terlihat lebih rendah dibandingkan dengan nilai temperatur yang ditemukan cukup hangat di wilayah ini, sebagaimana yang dibahas dalam sub bab sebelumnya. Pada section P10N, terlihat ada dua kelompok salinitas berdasarkan garis lintang (Gambar 21). Untuk stasiun-stasiun yang mendekati wilayah subtropis (stasiun 56-61) ditemukan salinitas di lapisan tercampur lebih tinggi pada kisaran 34,81-35,06 psu. Sebaliknya pada stasiun-stasiun yang mendekati wilayah tropis (stasiun 54-42) ditemukan kisaran salinitas lebih rendah pada lapisan tercampur, yaitu pada kisaran 33,90-34,53 psu.
Perbedaan nilai salinitas ini diduga karena adanya
sumber origin massa air dengan kisaran salintas yang berbeda. Salinitas yang tinggi diduga berasal dari wilayah subtropis Pasifik Timur yang di bawah oleh SEC, sementara massa air dengan salinitas rendah di bawah oleh NPSW yang berasal dari wilayah lintang tinggi Pasifik Utara (You 2003). Salinitas perairan di wilayah lintang tinggi cenderung lebih rendah akibat tingginya intervensi air tawar, baik dari limpasan daratan maupun dari proses pencairan es akibat dampak dari perubahan iklim global. Sementara itu, air dengan salinitas yang lebih tinggi lebih dipengaruhi oleh proses evaporasi yang lebih tinggi dari presipitasi pada wilayah dekat subtropis Pasifik Utara. Salinitas pada lapisan termoklin menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur, dimana pada lapisan ini salinitas perairan meningkat dengan tajam terhadap tekanan (Gambar 21C).
Kisaran salinitas di lapisan
termoklin pada stasiun 54-42 adalah 34,37-35,14 psu, sementara untuk stasiun yang mendekati wilayah subtropis adalah 34-75-35,15 psu. Dari perbedaan nilai ini, diduga adanya percampuran dua massa air yang berbeda origin pada lapisan termoklin. Sementara itu, pada lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat mulai mengalami penurunan terhadap kedalaman (Gambar 21B). Namun pada tekanan sekitar 500 dbar, salinitas dari stasiun 54-42 terlihat sedikit mengalami peningkatan dari kisaran 34,51 psu menjadi 34,55 psu, dan selanjutnya terus
49
meningkat perlahan seiring bertambahnya kedalaman mencapai 34,67 psu pada tekanan 2999,6 dbar dbar. Sebaliknya pada stasiun 56-61, salinitas terlihat turun di titik minimum dari 34,12 psu ke 34,15 psu pada tekanan sekitar 601 dbar, kemudian terlihat meningkat kembali terhadap kedalaman sampai mencapai 34,65 psu pada tekanan 2999,6 dbar. Secara garis besar terlihat salinitas lebih rendah pada wilayah lintang rendah (Gambar 21D).
50
Gambar 21
Profil vertikal salinitas Samudera Pasifik bagian barat, (A) section P10N, (B) sampai tekanan 3000 dbar, (C) diperbesar sampai tekanan 500 dbar, dan (D) cross section P10N.
Profil vertikal salinitas pada kedua stasiun di section P08S pada dasarnya terlihat hampir sama (Gambar 22), namun pada lapisan tercampur, nilai salinitas di stasiun P08S_1 sedikit lebih rendah dari P08S_2.
Kisaran pada lapisan
tercampur kedua stasiun masing-masing adalah 33,77-34,37 psu dan 33,57-34,23 psu. Selanjutnya pada lapisan termoklin, kedua stasiun memperlihatkan nilai salinitas yang cenderung hampir sama, yaitu masing-masing berada pada kisaran 34,37-34,50 psu dan 34,23-34,43 psu. Pada tekanan sekitar 96 dbar, kedua stasiun terlihat sedikit mengalami peningkatan, masing-masing 34,75 psu dan 34,85 psu. Demikian halnya pada lapisan dalam, salinitas pada stasiun P08S_1 dan P08S_2 terlihat juga meningkat dari 34,5 psu pada tekanan 250,9 dbar dan mencapai 34,66 psu di tekanan 3000,3 dbar. Profil vertikal salinitas kedua stasiun pada section P08S, terlihat mirip dengan profil vertikal salinitas pada stasiun 54-42 di section P10N. Ini menunjukkan bahwa karakteristik massa air di section P08S sama dengan di section P10N, khususnya di stasiun-stasiun yang mendekati wilayah tropis.
51
Secara garis besar, telihat nilai salinitas di kedua stasiun ini mencirikan kondisi salinitas pada umumnya yang ada di perairan Samudera Pasifik bagian barat, yang digambarkan memiliki salinitas yang lebih rendah dengan temperatur yang tinggi, dibandingkan dengan massa air dari Pasifik Selatan yang memiliki salinitas tinggi dan temperatur yang rendah (Ilahude & Gordon 1996; Wijffels et al. 1992).
Gambar 22
Profil vertikal salinitas stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat.
Di Laut Banda, salinitas pada lapisan tercampur, ditemukan rata-rata 33,98 psu (Gambar 23). Profil vertikal salinitas di Laut Banda mirip dengan yang ditemukan Levitus dan Boyer (1994) (Gambar 24).
Salinitas di lapisan
permukaan Laut Banda terlihat lebih rendah pada musim panas (summer monsoon) yaitu berkisar antara 33,79-34,15 psu, dibandingkan dengan periode musim dingin (winter monsoon), yang berkisar antara 34,24-34,49 psu. Disini terlihat bahwa nilai salinitas permukaan stasiun Laut Banda berdasarkan data CTD bulan Juli 2010, masuk dalam kisaran 33,79-34,15 psu (Levitus & Boyer 1994). Rendahnya nilai salinitas yang ditemukan di Laut Banda pada musim timur
52
Gambar 23
Gambar 24
Profil vertikal salinitas stasiun Laut Banda Juli 2010.
Profil vertikal pengukuran salinitas sepanjang kolom air di Laut Banda yang mewakili 4 musim (Levitus & Boyer 1994).
53
diduga masih dipengaruhi oleh sisa-sisa massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah (Atmadipoera 2009). Sementara itu di Selat Ombai, Suteja (2011) menemukan salinitas pada lapisan homogen mempunyai kisaran yang sangat berdekatan, yaitu antara 33,3933,48 psu (Gambar 25). Rendahnya salinitas di lapisan ini kemudian disimpulkan akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. (2009) menemukan bahwa selama periode transisi muson (April-Juni), air laut Jawa dengan salinitas rendah (31,00-32,00 psu) masuk sampai ke lapisan termoklin di Selat Ombai. Namun demikian, sisa-sisa air Laut Jawa diduga masih mempengaruhi permukaan Selat Ombai pada bulan Juli ketika data CTD ini diambil.
Gambar 25 Profil vertikal salinitas Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja 2011).
Salinitas Laut Banda pada lapisan termoklin, menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur, yaitu salinitas meningkat seiring bertambahnya tekanan. Salinitas lapisan termoklin di laut Banda terlihat berada
54
pada kisaran 33,98-34,56 psu, sementara di Selat Ombai terlihat pada kisaran 33,40-34,55 psu (Suteja 2011). Perbandingan nilai salinitas pada kedua stasiun ini setidaknya sedikit menunjukkan kemiripan pada lapisan termoklin. Kemiripan ini dapat mengindikasikan, bahwa massa air termoklin di kedua stasiun adalah sama. Nilai salinitas termoklin pada kedua stasiun, terlihat lebih rendah dengan salinitas massa air Pasifik Utara yang ditemukan di Selat Makassar sekitar 34,70 psu, namun hampir sama dengan nilai salinitas yang ditemukan di Laut Flores yaitu sekitar 34,50 psu (Ilahude & Gordon 1996). Perbedaan ini, diduga karena telah terjadinya pengadukan di bagian dalam kolom air akibat bentuk topografi perairan ARLINDO, yang bertanggung jawab terhadap perubahan karakter nilai ini (Hatayama 2004). Pada lapisan dalam dimana temperatur hampir homogen, terlihat kisaran salinitas di Laut Banda berkisar antara 34,56-34,62 psu (Gambar 23), demikian halnya di Selat Ombai berkisar antara 34,61-34,49 psu (Gambar 25). Nilai ini hampir sama dengan yang di dapat oleh Koch-Larrouy et al. (2007) yang memperlihatkan invasi salinitas Pasifik Selatan dengan menggunakan model TIDES. Terlihat massa air bersalinitas tinggi dari Pasik Selatan pada lapisan bawah termoklin di Laut Banda (Gambar 26). Pergerakan salinitas ini dapat menunjukkan bahwa penyebaran CO2 antropogenik massa air Pasifik Selatan juga dapat mencapai wilayah Laut Banda. Pada section H_I10, salinitas dikelompokkan menurut jalur garis bujur (longitud) dan jalur garis lintang (latitud).
Stasiun-stasiun menurut longitud
terletak di selatan Jawa, dimana salinitas permukaan terlihat meningkat dari barat ke timur, dari 33,14 sampai 34,63 psu.
Sementara menurut latitud, salinitas
mengalami peningkatan ketika mendekati perairan Australia dari stasiun-stasiun yang ditarik dari selatan Jawa (34,50 sampai 35,66 psu). Profil vertikal salinitas permukaan kedua jalur terlihat berbeda (Gambar 27B & 28), akibat sirkulasi arus yang membawa salinitas dari sumber origin yang berbeda.
55
Gambar 26 Salinitas di atas dan bawah lapisan termoklin Laut Banda berdasarkan model TIDES (Koch-Larrouy et al. 2007). Salinitas pada lapisan tercampur di jalur longitud terlihat bervariasi dari 33,14-34,59 psu (Gambar 27C). Pada lapisan termoklin, terlihat salinitas meningkat terhadap tekanan yaitu dari 34,56 menjadi 34,69 psu. Demikian pula dengan lapisan dingin dibawahnya, terlihat salinitas berangsur-angsur meningkat tipis terhadap tekanan, dari 34,52-34,71 psu. Salinitas di bagian barat lapisan termoklin terlihat lebih rendah, hal ini disebabkan karena massa air tersebut telah mengalami pengenceran akibat masukan air tawar dari muara-muara sungai di daerah barat Sumatera dan massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah melalui Selat Sunda. Data ini sekaligus memperkuat penelitian Natih (1998), yang menemukan variasi salinitas tahunan dekat Selat Sunda sekitar 33,3-33,5 psu.
Tingginya
presipitasi di wilayah Indonesia bagian barat, cukup berdampak pada salinitas massa air yang ditransporkan Laut Jawa ke Samudera Hindia melalui Selat Sunda. Sebaliknya salinitas rendah yang ditemukan pada stasiun-stasiun dekat Selat Lombok, berasal dari arus ITF yang bergerak dari timur.
56
Gambar 27 Profil vertikal salinitas Samudera Hindia bagian Timur, (A) section HI10 menurut garis bujur, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) di perbesar sampai tekanan 500 dbar.
Pada jalur latitud, terlihat salinitas mengalami peningkatan tajam pada kedalaman termoklin dan sangat berbeda dengan profil temperatur pada kedalaman termoklin yang sama.
Pada lapisan ini mengindikasikan adanya
percampuran beberapa massa air yang berbeda origin dan karakteristiknya. Wijffels et al. (2002), mengelompokkan setidaknya ada 3 jenis massa air yang mendominasi wilayah Hindia bagian timur yaitu, North Indian Water (NIW),
57
Indonesian Throughflow Water (ITW), dan South Indian Subtropical Water (STW). Ciri dan karakteristik dari massa air ini, akan di bahas pada sub bab berikutnya.
Gambar 28 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) sampai tekanan 1000 dbar. Pada jalur latitud, kurang lebih terdapat sekitar 28 data CTD yang menyebar dari utara ke selatan, yang menampilkan profil sebaran salinitas yang sedikit berbeda.
Untuk melihat sebaran salinitas pada lapisan homogen, lapisan
termoklin dan di lapisan dalam, maka jalur ini dibagi dalam tiga bagian yaitu, (A) 11–15o LS, (B) 15–20o LS, dan (C) 20–25o LS (Gambar 29). Salinitas pada lapisan homogen antara garis lintang 11–15o LS, terlihat bervariasi antara 34,50-34,65 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas berada pada kisaran 34,81-35,44 psu. Nilai salinitas tertinggi pada lapisan ini terlihat pada tekanan 248,3 dbar yaitu 35,44 psu. Selanjutnya salinitas terlihat menurun di bawah termoklin mencapai 34,89 psu pada tekanan 558,2 dbar, dan kemudian sedikit meningkat terhadap tekanan mencapai 34,72 psu di lapisan dalam.
58
Gambar 29 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. (A) 11–15o LS, (B) 15–20o LS, dan (C) 20–25o LS.
59
Pada latitud 15–20o LS (Gambar 29B), salinitas di lapisan homogen ada pada kisaran 34,68-35,36 psu, sementara di lapisan termoklin nilai salinitas berfluktuasi dari 34,61 psu sampai 35,89 psu, dan nilai tertinggi pada lapisan ini dicapai pada tekanan 245,10 dbar. Pada lapisan dalam, salinitas minimum terlihat pada tekanan 558,2 pada titik 34,59 dbar, kemudian terlihat meningkat secara konstan seiring bertambahnya tekanan mencapai 34,71 psu, pada tekanan sekitar 2997,2 dbar.
Gambar 30
Profil salinitas cross section H_I10 Samudera Hindia bagian timur.
60
Salinitas maksimum dan salinitas minimum ekstrim, terlihat sepanjang garis lintang 20–25o LS (Gambar 29C), masing-masing berada pada tekanan 230,7 dbar sebesar 35,99 psu, dan pada tekanan 619 dbar sebesar 34,48 psu. Sementara itu, salinitas pada lapisan tercampur bervariasi antara 35,08 psu sampai 35,66 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas terlihat pada kisaran 35,21-35,99 psu. Pada lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat menanjak naik terhadap tekanan sampai 35,71 psu pada kedalaman maksimum, setelah sebelumnya mencapai nilai minimum di tekanan 619 dbar . Secara umum, sebaran salinitas dari selatan Jawa sampai dekat pantai Australia, terlihat meningkat dari 34,50 psu sampai 35,66 psu (Gambar 30). Pada lapisan termoklin jalur ini, ditemukan kisaran salinitas yang cukup tinggi, yaitu antara 34,61-35,99 psu. Salinitas yang tinggi ini, dipengaruhi oleh massa air South Indian Subtropical Water (STW) yang berasal dari selatan Hindia menuju utara, digambarkan dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin (Wijffels et al. 2002).
4.1.3 Sirkulasi Massa Air Massa air teridentifikasi berdasarkan T-S diagram.
Sirkulasi massa air
secara tidak langsung memperlihatkan perjalanan CO2 antropogenik dalam suatu wilayah perairan. Berapa banyak massa air yang berhasil ditransporkan atau dipindahkan,
dapat
juga
menggambarkan
banyaknya
konsentrasi
CO2
antropogenik yang ditransporkan (Touratier & Goyet 2004b). Semua air yang berada di perairan Indonesia, pada umumnya berasal dari wilayah subtropis dan lintang tinggi Samudera Pasifik (You 2003). Massa air yang bersumber dari utara maupun selatan Pasfik, keduanya dapat dibedakan dari nilai salinitasnya. Air yang bersumber dari Pasifik Utara digambarkan memiliki salinitas yang rendah dengan temperatur yang tinggi, sebaliknya massa air yang bersumber dari Pasifik Selatan dicirikan memiliki salinitas yang tinggi dengan temperatur rendah (Gordon & Fine 1996; You 2003). Di Pasifik, sebagian massa air North Equatorial Current (NEC) berbelok ke selatan ketika mencapai perairan Filipina kemudian dilanjutkan dengan Mindanao
61
Current (MC). MC membawa massa air Pasifik Utara, North Pasific Subtropical Water (NPSW) yang digambarkan berada pada lapisan termoklin dengan salinitas tinggi (~34,65) di kedalaman sekitar 220 m atau = 24,5, dan North Pasific Intermediate Water (NPIW) yang digambarkan memiliki salinitas minimum (<34,4) pada kedalaman 300 m, atau = 26,5 (Tabel 1). Sebagian massa air MC yang masuk ke Laut Sulawesi kembali ke Samudera Pasifik sebagai North Equatorial Counter Current (NECC) dan sebagiannyanya lagi menuju Selat Makassar dan menjadi ARLINDO. Pada section P10N ditemukan massa air dengan salinitas pada kisaran 34,93-35,15 psu, pada = 24 (Gambar 31). Massa air ini diduga merupakan massa air NPSW yang berasal dari Pasifik Utara. Batas atas salinitas massa air ini (35,15 psu), terlihat cukup tinggi dibandingkan dengan salinitas massa air NPSW dalam You (2003), yaitu ~34,65 psu. Hal ini diduga karena adanya masukan air bersalinitas tinggi yang datang dari arah timur menuju bagian barat Pasifik, seiring dengan sirkulasi NEC.
Gambar 31 Diagram T-S section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
62
Pada lapisan bawah termoklin, ditemukan massa air dengan = 26,50 dan salinitas 34,12-34,58 psu, yang diduga adalah massa air NPIW.
Nilai ini,
memiliki kesamaan dengan massa air NPIW dalam You (2003), dengan salinitas minimum sekitar 34,42 psu pada = 26,50.
Atmadipoera et al. (2009)
menemukan NPIW memiliki salinitas maksimal (34,90 psu) pada saat memasuki ARLINDO, sementara hasil observasi di Selat Makassar NPIW memiliki salinitas 34,40 psu (Ilahude & Gordon 1996).
Gambar 32
Diagram T-S section P08S, Samudera Pasifik bagian barat.
Massa air NPSW dan NPIW terlacak juga pada section P08S di Pasifik bagian barat dekat perairan Filipina, yaitu pada jalur masuk ARLINDO (Gambar 32). NPSW ditemukan pada kisaran salinitas termoklin 34,76-34,85 psu, pada
antara 24,50-25-50. Sementara NPIW berada di bawah lapisan termoklin pada kisaran salinitas 34,43-34,45 psu, pada = 26,50. Karakteristik massa air di
63
section P08S, terlihat sama dengan yang ditemukan di section P10N. Hal ini menunjukkan, bahwa massa air pada kedua section memiliki asal-usul yang sama, yaitu berasal dari wilayah Pasifik Utara (Wyritki 1961; Ilahude & Gordon 1996;You 2003). Berdasarkan profil diagram T-S, massa air NPSW dan NPIW di section P08S, menunjukkan kemiripan dengan profil diagram T-S dalam Koch Larrouy et al. (2007) dan Gordon (2005) (Gambar 33).
Gambar 33
Profil diagram T-S yang di hitung berdasarkan observasi. World Ocean Data Base 2001 (Levitus 1998 (warna hitam), TIDESGordon 2005 (warna oranye), NOTIDES (warna biru) dalam Koch Larroy et al. 2007).
MC yang membawa massa air NPSW dan NPIW selanjutnya bersirkulasi menyusuri perairan Filipina bergerak ke selatan, kemudian masuk ke perairan Indonesia setelah mencapai Laut Sulawesi. Namun demikian tidak semua massa air tersebut ditransporkan ke perairan Indonesia, karena ada juga yang diteruskan lebih ke selatan (Christian 2004). Dalam perjalanannya, karakteristik massa air Pasifik Utara masih jelas terlacak di Selat Makassar bagian utara, yaitu sekitar Labani Channel (Gordon 2005 dengan menggunakan model TIDES dan Koch-
64
Larrouy et al. 2007 menggunakan model NOTIDES) (Gambar 33), di wilayah sumber ARLINDO. Dari Selat Makassar, air Pasifik Utara melanjutkan perjalanannya dengan ARLINDO melewati perairan Indonesia yang dikenal dinamis dengan bentuk topografi perairan yang unik, sebelum keluar mencapai Hindia. Namun demikian, massa air Pasifik yang dicirikan dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin dan salinitas minimum di bawah termoklin, mengalami modifikasi ketika mencapai Laut Flores, dengan ditemukan salinitas minimum 34,400 psu (Ilahude & Gordon, 1996). Kepulauan Indonesia terdiri dari sejumlah selat dangkal dan dalam, dan menyerupai mangkuk besar di bagian dalam (interior basins). Contohnya Laut Sulawesi dan Laut Banda, sebagai yang terbesar dan terdalam di perairan Indonesia.
Dengan bentuk ini, di Laut Banda memungkinkan terjadinya
pengadukan massa air Samudera Pasifik, akibat kuatnya gaya pasang surut yang dapat mengubah karakter air (Gordon et al. 2006; Gordon 2005). Di Laut Banda, ditemukan pada lapisan termoklin bersalinitas sekitar 34,45 psu pada = 24 (Gambar 34) dan selanjunya disimpulkan bahwa massa air ini tidak menggambarkan karakteristik massa air NPSW yang memiliki salinitas maksimum sekitar 34,65 psu pada = 24, seperti yang digambarkan dalam You (2003), Koch Larrouy et al. 2007, dan Gordon (2005). Hal ini diduga dalam perjalanannya melewati jalur barat, massa air Pasifik telah mengalami modifikasi akibat adanya Ambang Dewakang di Selat Makassar, menyebabkan terjadinya percampuran vertikal (Hatayama 2004).
Demikian pula, intervensi air tawar
dengan salinitas rendah dari Laut Jawa yang bergerak ke arah timur menuju Laut Flores dan masuk ke Laut Banda selama musim peralihan (Maret-Mei) (Atmadipoera 2009), juga berpengaruh. Pada lapisan bawah termoklin stasiun Laut Banda, terlihat salinitas 34,56 psu pada = 26,5. Ini diduga merupakan massa air Pasifik Utara yang bergerak pada lapisan bawah termoklin. Bila dibandingkan dengan section P10N pada lapisan yang sama, nilai ini masuk dalam kisaran massa air NPIW (34,12-34,58 psu pada =26,5).
Dalam Suteja (2011), di Selat Ombai ditemukan massa air
65
NPIW dengan salinitas 34,50-34,56 psu pada = 26-26,70. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa massa air pada lapisan bawah termoklin Laut Banda dari penelitian ini, adalah massa air NPIW. Sementara itu, tidak terdeteksinya massa air NPSW di stasiun Laut Banda pada penelitian ini, dijelaskan oleh Hautala et al. (1996) yang menyimpulkan, bahwa massa air Pasifik dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin, terlihat menghilang ketika mencapai Laut Banda, membentuk karakteristik massa air dengan salinitas yang homogen sekitar 34,58 psu di bawah 20oC. Terhadap fenomena ini Gordon (2005) menyimpulkan, bahwa Laut Banda memainkan peranan penting terhadap proses pengadukan massa air dalam membentuk lapisan homogen.
Demikian pada beberapa penelitian lainnya disimpulkan, adanya
gelombang internal yang menyebabkan terjadinya transformsi karakteristik massa air sebelum mencapai Laut Banda (Schiller 2004; Hatayama 2004, Koch-Larrouy et al. 2007). Sebaliknya, keberadaan massa air NPIW di Laut Banda, dijelaskan oleh Gordon dan Fine (1996), yang menyimpulkan konsentrasi CFC di lapisan dalam Laut Maluku yang berasal dari Pasifik Utara, sangat berhubungan dengan konsentrasi CFC di kedalaman Laut Banda. Dari bentuk topografi perairan, Laut Banda merupakan mangkuk raksasa tempat
bertemunya
massa
air
dengan
sumber
origin
yang
berbeda
karakteristiknya. Wilayah ini dipengaruhi oleh angin muson yang berubah arah 2 kali setahun (Wyrtki 1961). Sementara itu, air di Laut Banda sendiri memiliki waktu tinggal yang cukup lama, yaitu rata-rata minimum 10 tahun (Koch Larrouy et al. 2007) dan paling lama 13-22 tahun (Gordon & Fine 1996). Disini jelas menunjukkan, bahwa perairan Laut Banda merupakan perairan yang sangat dinamis dan memungkinkan terjadinya proses perubahan karakteristik massa air. Dengan data CTD terbaru dari pelayaran INDOMIX, Purba et al. (in press), menyimpulkan bahwa karakteristik massa air Subtropical Lower Termoklin (SPSLTW) yang berasal dari Pasifik Selatan, juga tidak terdeteksi di Laut Banda. Hal ini disebabkan karena adanya gelombang internal di Laut Halmahera dan Laut Seram, yang memodifikasi karakter massa air ini sebelum masuk ke Laut Banda (Gambar 35). Fenomena ini telah ditegaskan sebelumnya oleh Koch Larrouy et
66
Gambar 34 Diagram T-S stasiun Laut Banda.
Gambar 35
Diagram T-S dan DO (Dissolved Oxygen) di Halmahera, Banda and Ombai. Kotak di sebelah kanan adalah lokasi CTD, INDOMIX 2010 (Purba et al. in press).
67
al. (2007), bahwa perubahan salinitas maksimum massa air Pasifik Selatan tidak mucul di Halmahera dan Laut Seram, akibat adanya percampuran. Percampuran vertikal yang terjadi di wilayah ini menyebabkan karakteristik beberapa origin massa air sulit teramati.
Pengaruh angin muson, juga turut
mempengaruhi dinamika oseanografi di wilayah ini, terutama di lapisan permukaan (Zijlstra et al. 1990; Ilahude et al. 1990). Selama muson tenggara, (Juni – Agustus), arus permukaan bergerak dari Laut Banda menuju Laut Flores, Laut Jawa sampai Laut Cina Selatan. Sebaliknya selama periode muson barat laut (Desember – Februari), arus permukaan Laut Jawa dan Selat Makassar bergerak melintasi Laut Flores kemudian masuk ke Laut Banda (Gordon 2005). Selama muson tenggara, arus yang mengalir ke arah barat, menyebabkan terjadinya upwelling di bagian timur Laut Banda, sehingga temperatur permukaan menjadi lebih rendah dan perairan kaya akan nutrien (Wyrtki 1961; Troelstra & Kroon 1989). Selama periode upwelling, dari April ke Desember, rata-rata kecepatan Ekman upwelling adalah 1,27 Sv (Gordon & Susanto 2001). Selama periode transisi dari muson tenggara ke muson barat laut, arus permukaan berubah arah menurut arah angin. Pada lapisan atas, arus mengalir menuju timur sebesar 6,3 Sv. Sebaliknya pada tekanan antara 300 sampai 1000 dbar, arus bergerak ke barat sebesar 3,9 Sv. Pada kedalaman ini terjadi transfer salinitas yang tinggi ke Laut Flores.
Pergerakan arus ini mencapai Selat
Makassar, dan membentur Ambang (sill) Dewakang yang memiliki ketinggian sekitar 650 m (Gordon et al. 1994). Di Selat Ombai, Suteja (2011) menemukan massa air Pasifik Utara pada bulan Juli 2010 terlihat pada lapisan termoklin dan di lapisan bawah termoklin (Gambar 36). Massa air NPSW teridentifiksi pada = 24,00-22,00 dengan kisaran salinitas 34,38-34,54 psu. Sementara itu, massa air NPIW menempati kisaran densitas antara 26-26,70 pada salinitas 34,50-34,56 psu. Sementara, pada lapisan pemukaan, lebih didominasi oleh massa air Laut Jawa dengan salinitas yang rendah sekitar 33,38-33,86 psu pada = 21-22.
68
Gambar 36 Diagram T-S di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010. Tanda panah dan kotak merah menunjukkan jenis massa air yang terdeteksi (Suteja 2011).
Namun demikian, dari data CTD ini menunjukkan bahwa massa air Laut Jawa yang terlacak di kedalaman termoklin Selat Ombai pada saat periode transisi Maret-Mei (Atmadipoera et al. 2009), tidak terlihat pada penelitan ini. Hal ini di duga, karena kurangnya volume massa air Laut Jawa yang mencapai perairan Selat Ombai setelah mencapai puncak tertinggi di bulan Maret. Air Laut Jawa sendiri digambarkan memiliki karakter yang dingin dan tawar, dengan salinitas berada pada kisaran antara 31,00-32,00 psu (Wyrtki, 1961; Admadipora et al. 2009). Perjalanan air Samudera Pasifik menuju Hindia mengalami sejumlah modifikasi di perairan Indonesia, ini ditandai dengan hilangnya sejumlah karakteristik massa air ketika mencapai Hindia bagian timur. Hal ini ditandai
69
dengan tidak terlihatnya massa air bawah termoklin Pasifik Selatan (SPSLTW) di Selat Ombai pada Juli 2010. SPSLTW digambarkan memiliki salinitas 34,20 psu pada antara 26 dan 27 (Atmadipoera et al. 2009). Tidak terdeteksinya massa air ini, didugadisebabkan oleh adanya variasi musiman massa air Samudera Pasifik selatan yang masuk ke jalur ARLINDO (Suteja 2011). Seperti yang kita ketahui, bahwa massa air dari Pasifik Utara dan Selatan dapat ditentukan berdasarkan salinitas dan temperaturnya.
Massa air Pasifik
Utara dengan temperatur tinggi salinitas rendah, sebaliknya air Pasifik Selatan dengan salinitas tinggi temperatur rendah. Massa air Pasifik tersebut, selanjutnya mengalami sejumlah proses modifikasi di Perairan Indonesia sebelum keluar menuju Hindia.
Di Laut Banda dan Timor, massa air Pasifik mengalami
pengadukan vertikal sampai massa air mencapai campuran homogen secara vertikal (You 2003). Gordon 2005 menunjukkan, bahwa massa air NPIW pada kedalaman 300 m ( =26,5), hanya sekilas saja terlihat di Laut Timor, setelah mengalami proses pengadukan. Demikian halnya massa air Antartic Intermediate Water (AAIW) yang masuk dari jalur sebelah timur, kira-kira pada kedalaman 600-1000 m (atau = 27,1-27,2), juga tidak teridentifikasi di Laut Banda (Gordon 2005). Taley dan Sprintall (2005) menyebutkan, AAIW bertransformasi menjadi Intermediate Indonesian Water (IIW) pada kedalaman 1000 m (atau = 31,96) ketika mencapai Hindia bagian timur, yang kemudian bergabung bersama SEC. Dalam You (2003) disebutkan, IIW memiliki kandungan silikat maksimum sekitar 80 µmol.kg-1. Tingginya proses modifikasi yang menghilangkan sejumlah karakteristik massa air Pasifik di ARLINDO, membuat para peneliti menggunakan tracer (pelacak) nutrien dan kimia lainnya, untuk mengidentifikasikan massa air setelah diagram T-S dianggap kurang pasti. Gordon dan Fine (1996), menggunakan chlorofluorocarbons (CFC-11 dan CFC-12) untuk memisahkan stratifikasi massa air.
Mereka menemukan konsentrasi CFC di lapisan dalam Laut Banda,
berkesuaian dengan di Selat Makassar dan Laut Maluku pada lapisan yang sama. Sementara Hautala et al. (1996), menggunakan oksigen untuk melihat sirkulasi massa air pada lapisan atas dan bawah termoklin. Demikian juga silikat yang
70
banyak terdapat di Laut Banda, dianggap dapat mewakili identifikasi perubahan karakter massa air Indonesia di Samudera Hindia (You 2003). Karena tingginya kandungan silikat, tracer ini digunakan oleh Coatanoan et al. (1999) untuk melacak massa air ARLINDO di Hindia, dengan menggunakan data JADE section 1989, dari pelayaran R/V Marion Dufresne.
Dia berpendapat bahwa silikat
merupakan salah satu pelacak penting dalam menganalisis massa air pada satu wilayah perairan. Untuk melihat distribusi CO2 antropogenik di Hindia bagian timur, adalah penting terlebih dahulu mengetahui karakteristik massa air di wilayah ini. Kaitannya dengan hal itu, data CTD section H_I10 yang telah tersedia di website WOCE/JGOFS, di pilih untuk perhitungan konsentrasi CO2 antropogenik dan perkiraan sirkulasi massa air ARLINDO di wilayah outlet.
Adalah satu
keberuntungan, dimana Wijffels et al. (2002) dengan menggunakan data yang sama, telah mengidentifikasi terlebih dahulu sejumlah massa air dengan sumber origin yang berbeda pada wilayah ini.
Gambar 37 Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis bujur), Samudera Pasifik bagian barat.
71
Section H_I10 dibagi menurut garis bujur (langitud) dan garis lintang (latitud). Berdasarkan longitud, terlihat salinitas berkurang dari timur ke barat, dari 34,63 psu menjadi 33,14 psu yaitu dekat perairan Selat Sunda (Gambar 37). Sementara itu, menurut latitud, salinitas terlihat meningkat ke selatan, mencapai 35,66 psu di dekat perairan Australia, dari 34,50 psu di stasiun dekat Selat Lombok (Gambar 38). Menurut Wijffels et al. (2002), setidaknya terdapat 3 jenis massa air lapisan termoklin ( = 24,5) di Samudera Hindia bagian timur (Gambar 39). Pertama adalah massa air South Indian Subtropical Water (STW), yang digambarkan memiliki salinitas maksimum di bagian atas termoklin, berasal dari wilayah subtropis selatan Samudera Hindia yang bersalinitas tinggi akibat tingginya evaporasi. Kedua, North Indian Water (NIW) yang digambarkan memiliki kadar oksigen yang rendah. Yang ketiga adalah Indonesian Throughflow Water (ITW), digambarkan memiliki salinitas lebih rendah dari air Hindia sendiri. Dari jalur keluar ARLINDO, terlihat ITW menuju ke Hindia dan bergabung dengan South Equatorial Current (SEC), mengalir ke bagian barat di sepanjang garis lintang 12o LS. Diantara ujung Sumatera dan Jawa, ditemukan massa air permukaan bersalinitas rendah dengan temperatur yang cukup tinggi. Massa air ini berada di atas NIW di bagian selatan kepulauan Indonesia. Kelompok air ini diindikasikan berasal dari bagian barat Sumatera yang memiliki intensitas curah hujan yang tinggi, melalui proses adveksi dengan salinitas rendah, bergerak ke arah barat dari perairan dangkal Laut Jawa. STW yang relatif memiliki salinitas tinggi yaitu sekitar 35 psu, terletak pada kedalaman 220 m antara pantai Australia dan garis lintang 15o LS. ITW yang lebih tawar ditemukan pada lapisan termoklin agak ke utara dari STW antara lapisan permukaan dan kedalaman 300-400 m (antara 14o LS dan 10o LS). Massa air ini, kemudian menjadi lebih asin ketika mengalir ke barat dari jalur keluar ARLINDO. Berdasarkan data CTD JADE dan WOCE section, pada jalur keluar, ITW memiliki salinitas <34,6 (Wijffels et al. 2002), Pada ujung Selat Sunda, NIW menempati kedalaman dangkal 100-150 m, dan berada di bawah kelompok massa air tawar yang keluar dari antara Sumatera dan Jawa tadi. Di Selat Lombok
72
Gambar 38
Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis lintang). (A) 11–15o LS, (B) 15–20o LS, dan (C) 20–25o LS.
73
sepanjang JADE section, ditemukan massa air yang lebih tawar, dimana NIW berada di bawah sekitar 300 m dari massa air ini. Pada pelayaran bulan April dan November 1995, kelompok air tawar permukaan dari Selat Lombok dan NIW, terlihat meluas ke selatan sampai pada latitud 10o LS, namun sementara selama September, kedua massa air ini terlihat berada pada latitud sekitar 8o LS.
Gambar 39 Tiga massa air termoklin di Samudera Hindia bagian timur. North Indian Water (NIW), South Indian Subtropical Water (STW) and Indonesian Throughflow Water (ITW) (Wijffels et al. 2002).
South Java Current (SJC), ditemukan dekat Selat Sunda dan terlihat bergerak ke arah selatan dari pantai pulau Jawa. Pada bulan September SJC melemah, tetapi pada November terlihat menguat lagi dan begerak ke timur pada lapisan permukaan (Wijffels et al. 2002). Penurunan properti ekstrim terjadi dekat muara pada sejumlah massa air, yang diakibatkan oleh intevensi air tawar, terutama pada stasiun-stasiun dekat selat. ITW mengalami peningkatan salinitas ke arah barat, sementara NIW dan STW mengalami penurunan salinitas ke timur. Perubahan ini diakibatkan oleh
74
pengadukan dan resirkulasi air yang berasal dari Hindia menuju bagian barat bersama SEC, yang juga membawa massa air ARLINDO. Wijffels et al. (2002), membagi lapisan intermediate Pasifik bagian timur pada kisaran antara 300-800 m. Berdasarkan data WOCE section H_I10, terdapat tiga massa air pada wilayah ini yaitu, (1) Antartic Intemediate Water (AAIW), digambarkan memiliki salinitas minimum dekat 6-7oC, relatif tinggi oksigen dan rendah konsentrasi silikat. (2) Intermediate Indonesian Water (IIW), memiliki konsentrasi silikat yang tinggi dan rendah oksigen.
Rochford (1961) dalam
Wijffels et al. (2002) menyebut massa air ini sebagai Banda Sea Intermediate Water, dan (3) massa air North Indian Intermediate Water (NIIW), memiliki kandungan oksigen yang sangat rendah, yang terbentuk di bagian utara garis katulistiwa setelah mengalami pengadukan di perairan marginal dan pada saat melintasi perairan intermediate katulistiwa. AAIW mengalir ke utara menyusuri sepanjang perairan Australia yang dibawa oleh Western Australian Current dan Leeuwin Undercurrents (Thompson 1984; Smith et al. 1991). Pada garis lintang 20o LS, massa air ini kemudian mengalir ke barat bersama dengan SEC. Massa air IIW yang pada umumnya berada di bagian dalam ARLINDO, keluar melewati outlet (Ombai dan Timor), kemudian mengalir ke arah barat menyusuri jalur SEC antara 10 o LS dan 14o LS. Sementara itu, NIIW ditemukan sepanjang wilayah katulistiwa Samudera Hindia sampai ke bagian timur dan terlihat melebar sampai ke selatan sepanjang kepulauan Indonesia. Sepanjang section H_I10, AAIW (S<34,5 psu) berada di kedalaman perairan Australia sekitar 600 m.
Sementara massa air IIW (S<34,62 psu),
ditemukan pada kedalaman 800-1000 m. IIW yang bersalinitas rendah terlihat di JADE section dekat dengan jalur keluar ARLINDO, yang disinyalir telah mengalami proses pengadukan. Massa air ini kemudian bergerak ke barat seiring dengan NEC (You 2003). IIW meninggalkan kedalaman Laut Banda menuju Hindia melewati Laut Timor di atas kedalaman ambang (1950 m). Di Hindia, pada kedalaman antara 1250 m dan 1700 m, IIW bercampur dengan North Indian Deep Water (NIDW), yang memiliki salinitas maksimum >34,73 psu pada kedalaman 2200 m di latitud
75
10o LS. Pada kedalaman antara 500 dan 1200 m, salinitas minimum IIW menempati wilayah antara 14o LU dan 10o LU. Ditemukan juga percampuran IIW dan NIIW yang bergerak ke timur Hindia. Distribusi massa air yang digambarkan di atas, menyiratkan bahwa SEC yang berada di bagian timur Hindia selain mengandung massa air ARLINDO, juga menerima massa air melalui resirkulasi dari SJC dari bagian timur dan Leewin Undercurrent yang bergerak ke barat antara latitud 16o LS–20o LS.
4.2
Distribusi CO2 Antropogenik
4.2.1 Penampang melintang (Cross Section) Cross section adalah untuk melihat sebaran CO2 antropogenik baik secara horisontal maupun secara vertikal, pada stasiun-stasiun pengamatan di daerah sumber dan outlet ARLINDO dan di wilayah ARLINDO sendiri (stasiun Laut Banda dan Selat Ombai). 4.2.1.1 Samudera Pasifik Bagian Barat (Sumber ARLINDO) Konsentrasi CO2 antropogenik pada section P10N, terlihat menyebar di permukaan sepanjang 10o LU–24o LU, umumnya menyebar di atas 500 m pada kisaran 10-50 µmol.kg-1 (Gambar 40). Pada lapisan permukaan, terlihat konsentrasi berkisar antara 40-50 µmol.kg-1, dimana nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan CO2 antropogenik Sabine et al. (2002) pada kisaran garis lintang yang sama, yaitu sekitar 30-40 µmol.kg-1 (Gambar 41). Sabine et al.
∆C*
dikembangkan oleh Gruber et al. (1996), untuk menghitung CO2 antropogenik di Pasifik (termasuk Laut Cina Selatan, Laut Kuning, Laut bagian timur/Jepang, dan Laut Okhostk), dimana metode yang sama telah digunakan juga untuk menginventarisasi konsentrasi di Samudera Atlantik (Gruber 1998). Sementara itu pada lapisan termoklin, konsentrasi diperkirakan berada pada kisaran 30-40 µmol.kg-1. Tingginya nilai konsentrasi pada jalur P10N (10o LU–24o LU), diduga berasal dari wilayah Pasifik Utara melalui massa air NPSW dan NPIW.
76
Gambar 40 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik bagian barat. Sebaran stasiun menurut garis lintang di section P10N dengan metode TrOCA.
Gambar 41 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik menggunakan metode ∆C* dengan data WOCE/JGOFS (Sabine et al. 2002).
77
Pasifik Barat merupakan wilayah sirkulasi North Equatorial Current (NEC) yang datang dari Pasifik Timur dan North Equatorial Countercurrent (NECC) yang berbalik arah ke timur. NEC bergerak menuju Filipina pada garis lintang sekitar 10–20o LU, dan ketika mendekati Filipina arus terbagi menjadi dua, yaitu Curoshio Current (KC) yang menuju ke arah utara, sementara lainnya berbelok ke selatan pada garis lintang sekitar 10o LU dan menjadi Mindanao Current (MC) (Wrytki 1961). MC membawa sejumlah massa air NPSW dari utara katulistiwa dan NPIW yang berasal Laut Okhostk (You 2003). Transpor CO2 antropogenik ke dalam lapisan termoklin sangat berkaitan dengan pembentukan massa air intermediate di Laut Okhotsk (Warner et al. 1996).
MC dikenal dengan
ARLINDO ketika memasuki perairan Indonesia. Seiring dengan perjalanan NEC menuju perairan Filipina, seleksi section P08S untuk melihat distribusi CO2 antropogenik kaitannya dengan transpor massa air Pasifik bagian barat ke ARLINDO. Section P08S terdiri dari 27 stasiun, namun hanya dua stasiun saja yang memungkinkan dalam perhitungan konsentrasi CO2 antropogenik, yaitu stasiun P08S_1 dan P08S_2 (Gambar 42),
dikarenakan stasiun-stasiun lainnya tidak
memiliki parameter total alkalinitas (TA), sebagaimana pengukurannya tidak dilakukan pada saat penelitian berlangsung. Kedua stasiun ini masing-masing terletak pada 9,996o LU dan 8,787o LU, yang merupakan daerah lintasan sirkulasi NEC yang kemudian berganti menjadi MC ketika berbelok ke selatan. Sebaran konsentrasi CO2 antropogenik kedua stasiun di lapisan permukaan terlihat lebih menipis pada kisaran 25,6-36,8 µmol.kg-1, dan seiring dengan kedalaman, konsentrasi kedua stasiun terlihat mencapai nilai maksimum pada kedalaman 50 m, yaitu masing-masing 42,23 µmol.kg-1 (P08S_1) dan 34,62 µmol.kg-1 (P08S_2). Pada kedalaman 200 m, konsentrasi turun drastis menjadi 5,45 µmol.kg-1 pada stasiun P08S_1 dan 7,18 pada stasiun P08S_2 µmol.kg-1. Pada lapisan termoklin, konsentrasi kedua stasiun berada pada kisaran 5-40 µmol.kg-1. Pada lapisan dibawahnya, konsentrasi kedua stasiun terlihat turun secara konstan sampai mencapai nilai terendah antara 1-3 µmol.kg-1.
78
Gambar 42 Distribusi vertikal konsentrasi CO2 antropogenik Pasifik Barat, di stasiun P08S_1 dan P08S_2.
Berdasarkan identifikasi massa air pada sub bab sebelumnya, terlihat bahwa karakteristik massa air pada kedua stasiun P08S adalah sama dengan yang ditemukan di section P10N, yakni berasal dari Pasifik Utara. Dalam perjalanannya, massa air ini ditransporkan MC ke perairan Indonesia menjadi ARLINDO. Massa air Pasifik Utara bergerak pada lapisan termoklin (220 m) dan bawah termoklin (300 m) di Selat Makassar pada kisaran sekitar 11,6±3,3 Sv (1Sv = 106 m3.s-1). Sekitar 20% massa air tersebut (±2,6 Sv) langsung keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok (di atas ambang 350 m), sedangkan sebagian besar lainnya berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai (4,9 Sv) dan Laut Timur (7,5 Sv) (Gordon et al. 2008; Sprintall et al. 2009). Lintasan timur merupakan lintasan sekunder lewat Lifamatola dengan membawa massa air sekitar 2,5 Sv
79
yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam, melalui Laut Maluku menuju Laut Banda (Gordon 2005). Perjalanan massa air ini, secara tidak langsung menggambarkan distribusi CO2 antropogenik di daerah ARLINDO baik di bagian barat maupun di bagian timur. Namun demikian, penelitian ini lebih ditekankan pada sebaran CO2 antropogenik Pasifik Utara, dikarenakan jalur timur hanya mentranspor massa air minor komponen.
4.2.1.2 Samudera Hindia Bagian Timur (Outlet ARLINDO) Untuk melihat distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur, section H_I10 dibagi menjadi dua jalur, yaitu menurut jalur longitud (garis bujur) dan jalur latitud (garis lintang) (Gambar 43).
Gambar 43
Section H_I10 Samudera Hindia bagian timur; menurut jalur longitud (garis bujur) dan menurut jalur latitud (garis lintang).
Pada jalur membujur, distribusi CO2 antropogenik terlihat menyebar sepanjang garis bujur 106o BT – 112o BT, dan nilai konsentrasi tertinggi adalah sekitar 50 µmol.kg-1 (Gambar 44). Sebaran konsentrasi terlihat lebih tipis pada lapisan permukaan pada kisaran 40–50 µmol.kg-1, yang pada umumnya menyebar sepanjang garis bujur 107,5o BT – 111,5o BT. Seperti halnya di Pasifik bagian
80
barat, profil sebaran vertikal konsentrasi CO2 antropogenik Hindia bagian timur, rata-rata tersebar di atas 500 m, yaitu pada kisaran 5-50 µmol.kg-1. Pada lapisan termoklin, konsentrasi berada pada kisaran 20-35 µmol.kg-1.
Gambar 44
Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun menurut jalur longitud di section H_I10.
Akumulasi konsentrasi CO2 antropogenik pada jalur ini, diduga mendapat pengaruh dari tingginya aktifitas antropogenik penduduk di Pulau Jawa. Jalur menurut longitud ini terletak tepat berada di selatan Pulau Jawa, lebih dekat dengan Selat Sunda (di bagian barat), dan Selat Lombok (di bagian timur). Air yang berasal dari kedua selat diduga membawa sejumlah karbon organik dan anorganik yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Laut Jawa dan Selat Makassar. Data terbaru pengukuran pCO2 dan DIC yang diukur di Barat Sumatera dan sekitar Selat Sunda, menunjukkan nilai yang cukup tinggi di Selat Sunda, yang memungkinkan
wilayah
ini
sebagai
pelepas
karbon
(Wahyono
2011).
Disimpulkan, bahwa tingginya aktifitas dan kapal-kapal penyeberangan memungkinkan mempengaruhi tingginya nilai pCO2 dan DIC. Demikian halnya
81
Selat Lombok, selain mendapat pengaruh dari Laut Jawa, juga merupakan jalur keluar pertama ARLINDO yang memungkinkan membawa sejumlah massa air CO2 antropogenik dari Pasifik Utara. Pada jalur ini, terlihat CO2 antropogenik mengalami penetrasi sampai kedalaman di bawah 2500 m, memanjang dari 106o BT – 112o BT, sekitar 5 µmol.kg-1. Sementara itu pada garis bujur antara 111o BT – 112o BT, telihat konsentrasi di sepanjang kolom air dari kedalaman 1000 m sampai 3000 m sekitar 5 µmol.kg-1. Ini diduga adalah massa air Intermediate Indonesian Water (IIW), yang bergerak menuju ke arah barat untuk bergabung dengan South Equatorial Current (SEC), baik yang keluar dari Selat Lombok maupun yang berasal dari Selat Ombai dan Timor. Sementara itu, pada stasiun-stasiun yang ditarik searah jalur latitud, konsentrasi CO2 antropogenik banyak terakumulasi di atas kedalaman 500 m, dari perairan Indonesia sampai perairan Australia (Gambar 45).
Gambar 45
Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun menurut jalur latitud di section H_I10.
Distribusi konsentrasi pada lapisan permukaan sepanjang jalur latitud berada pada kisaran 40–45 µmol.kg-1. Seperti halnya pada jalur longitud, stasiun-stasiun yang
82
terletak dekat outlet ARLINDO di jalur latitud, juga memperlihatkan penyebaran konsentrasi secara vertikal rata-rata di atas 500 m. Posisi stasiun yang lebih dekat dengan Pulau Jawa, memungkinkan adanya limpasan daratan yang membawa karbon organik dan anorganik melalui sungai, juga lebih dekat dengan jalur keluar ARLINDO melalui Selat Lombok. Penetrasi CO2 antropogenik selanjutnya terlihat lebih dalam pada stasiunstasiun yang mendekati perairan Australia, yaitu mencapai di atas 1000 m. Hal ini disinyalir berasal dari massa air Antartic Intermendiate Water (AAIW) yang dibawa oleh Western Australian Current dan Leeuwin Undercurrent dari selatan, yang menyusuri sepanjang perairan Australia bergerak mendekati perairan Indonesia di lapisan dalam (Thompson 1984; Smith et al. 1991). Pada lapisan termoklin dan intermediate, wilayah ini merupakan pertemuan massa air dari utara dan selatan Hindia, demikian juga dari timur adalah massa air ARLINDO dari perairan Indonesia, yang memiliki karakterisitik yang berbeda satu dengan yang lainnya (Wijffels et al. 2002). Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa konsentrasi CO2 antropogenik pada wilayah ini dipengaruhi oleh massa air dengan karakteristik dan asal yang berbeda pada wilayah ini. Dengan membandingkan sebaran konsentrasi CO2 antropogenik antara dua Samudera, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi dari Pasifik bagian barat juga ditransporkan ke Hindia seiring dengan sirkulasi massa air dan diasumsikan mendapat penambahan konsentrasi akibat tingginya aktifitas manusia dan limpasan daratan dari pulau-pulau besar sekitar daerah ARLINDO. Untuk menjawab dugaan ini, yaitu dengan menghitung sebaran konsentrasi CO2 antropogenik di daerah ARLINDO pada stasiun Laut Banda dan Selat Ombai, dan memperkirakan konsentrasi yang keluar dari outlet ARLINDO berdasarkan sirkulasi massa air ARLINDO menuju Pasifik bagian barat.
4.2.1.3 Daerah ARLINDO Konsentrasi CO2 antropogenik di Laut Banda terakumulasi cukup tinggi mulai pada lapisan permukaan sampai di kedalaman 100 m yang mencapai sekitar 62,54 µmol.kg-1 (Gambar 46). Sebelumnya salinitas pada lapisan tercampur, ditemukan cukup rendah yaitu sekitar 33,98 psu. Tingginya konsentrasi CO2
83
antropogenik dengan rendahnya salinitas sejalan dengan yang didapatkan oleh Frankigenoule et al. (1996) yang melakukan penelitian sistem CO2 perairan di Belgia.
Gambar 46 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun Laut Banda.
Pada lapisan termoklin, konsentrasi ada pada kisaran yang cukup tinggi, yaitu 42,45-62,54 µmol.kg-1 pada kedalaman antara 75-250 m.
Pada lapisan
-1
dibawahnya, konsentrasi terlihat turun mencapai 30,99 µmol.kg pada kedalaman 300 m, selanjutnya penurunan berlangsung bertahap mencapai 1 µmol.kg-1 pada kedalaman 4300 m, yang sebelumnya konsentrasi sempat mencapai 6 µmol.kg-1 di kedalaman 1500 m. Tingginya konsentrasi CO2 antropogenik di lapisan permukaan dapat dipengaruhi oleh proses upwelling, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa upwelling tidak hanya membawa nutrien ke lapisan atas, tetapi membawa juga DIC. Gordon dan Fine (1996) menyatakan, bahwa pada bulan April sampai
84
Desember merupakan periode upwelling di Laut Banda, dan penelitian di stasiun ini dilakukan pada bulan Juli.
Namun demikian, tingginya konsentrasi CO2
antropogenik di stasiun Laut Banda diduga berasal dari Laut Jawa dengan ditemukannya sisa-sisa massa air Laut Jawa yang masih mendominasi wilayah ini (Atmadipoera 2009). Dilain pihak, proses upwelling yeng terjadi di wilayah ini menyebabkan berubahnya karakteristik massa air di lapisan termoklin, sehingga pada penelitian ini massa air NPSW tidak terdeteksi lagi di stasiun Laut Banda. Dari bentuk topografi perairan, Laut Banda berbentuk seperti mangkuk raksasa tempat bertemunya massa air dengan asal yang berbeda karakteristiknya. Demikian juga wilayah ini dipengaruhi oleh angin muson yang berubah arah dua kali setahun, sehingga pertukaranan arus permukaan berlangsung dinamis (Wyrtki 1961).
Faktor-faktor ini secara tidak langsung akan berdampak pada proses
pompa biologis dimana CO2 dimanfaatkan, diresirkulasikan, dan ditenggelamkan ke bagian dalam perairan. Nutrien yang terangkat ke permukaan dengan serta merta akan menyuburkan wilayah perairan, sehingga memicu kelimpahan fitoplankton. Pada zona euphotik, fitoplankton juga memanfaatkan karbon anorganik terlarut (DIC) atas bantuan cahaya, sehingga produktifitas primer merupakan laju fitoplankton dalam memanfaatkan DIC. Beberapa bahan organik yang dihasilkan diedarkan melalui jaring-jaring makanan di laut bagian atas (upper ocean) dan beberapa bagian lainnya tenggelam ke dasar laut.
Beberapa bagian dari karbon ini
kemudian dimineralisasikan kembali (demineralisasi) menjadi CO2, sementara itu sebagian kecil lainnya terkubur dalam sedimen di dasar samudera.
Karbon
dioksida yang dimanfaatkan oleh makroplankton dan makrozooplankton, akan menghasilkan ekspor karbon yang besar ke lapisan dalam, sebaliknya CO2 yang diambil oleh mikroplankton dan dimakan oleh mikrozooplankton sebagian besar akan disirkulasikan kembali ke permukaan laut sehingga ekspor ke kedalaman menjadi minimal. Temperatur permukaan akibat upwelling dari lapisan dalam memang cukup dingin, yang dapat menyebabkan bertambah tembalnya lapisan homogen. Namun demikian, di daerah tropis temperatur permukaan dipengaruhi oleh pemanasan akibat ekspos matahari yang terjadi sepanjang tahun. Di daerah tropis, air dengan
85
temperatur dingin yang naik dari lapisan dalam melalui upwelling, perlahan-lahan akan menjadi hangat ketika mencapai permukaan. Hal ini ini dapat menyebabkan DIC dari lapisan dalam dapat terlepas ke udara karena sifat gas DIC yang lebih mudah terlepas pada air yang panas melalui mekanisme pelepasgasan (outgassing). Namun demikian, sebelum DIC terlepas kembali ke udara, proses biologi dengan cepat akan menyerap DIC yang dimanfaatkan kembali bersama nutrien melalui proses fotosintesis. Tingginya akumulasi konsentrasi CO2 antropogenik di Laut Banda, diduga juga akibat masa tinggal air yang cukup lama, yaitu rata-rata minimum 10 tahun dan paling lama 13-22 tahun (Gordon dan Fine 1996; Koch Larrouy et al. 2007), merupakan akumulasi dari Laut Flores, Laut Maluku dan Halmahera. Laut Banda sendiri sangat dipengaruhi oleh tingginya aktifitas manusia yang menghasilkan sejumlah besar bahan organik dan anorganik yang ditransporkan melalui sungaisungai, yang tidak hanya berasal dari pulau-pulau besar sekitar seperti Pulau Sulawesi dan Pulau Irian Jaya, tapi juga Pulau Jawa. Menurut Purba et al. (in press), sinyal massa air Pasifik Selatan tidak terlihat di Laut Banda pada bulan Juli 2010, dikarenakan massa air telah mengalami proses pengadukan secara vertikal akibat gelombang dalam (internal wave) dari Laut Halmahera dan Seram. Demikian pula pada penelitian ini, tidak ditemukan massa air NPSW pada lapisan termoklin Laut Banda. Pada lapisan dalam, massa air di Laut Banda diduga berasal dari Pasifik Utara (NPIW) yang masuk dari Laut Maluku di lapisan dalam. Gordon dan Fine (1996) menggunakan pelacak CFC untuk melacak perjalanan massa air Pasifik Utara di Laut Banda, dan menunjukkan korelasi yang kuat antara konsentrsi CFC di Laut Maluku dan Laut Banda. Dari beberapa penelitan sebelumnya, CFC digunakan untuk mengetahui distribusi CO2 antropogenik di beberapa Samudera Dunia (Gruber 1998, Sabine et al. 1999; Sabine et al. 2002; Touratier & Goyet 2004). Dengan ini kuat menegaskan, bahwa konsentrasi CO2 antropogenik massa air Pasifik Utara juga berkontribusi di lapisan dalam Laut Banda. Di Selat Ombai, sebaran konsentrasi CO2 antropogenik terlihat cukup padat di atas kedalaman 200 m (Gambar 47). Pada lapisan permukaan di kedalaman 5 sampai 25 m, konsentrasi berada pada kisaran 41-43 µmol.kg-1. Namun pada
86
kedalaman 50 m, terjadi peningkatan konsentrasi secara tajam sampai mencapai 71,4 µmol.kg-1, dan diindikasikan konsentrasi ini berasal dari Laut Jawa. Pada kedalaman 75 m, konsentrasi turun menjadi sekitar 67,8 µmol.kg-1 dan tetap stabil pada titik 60 µmol.kg-1 sampai di kedalaman 150 m. Kedalaman antara 100-200 m merupakan wilayah cakupan NPSW. Di bawah lapisan termoklin, konsentrasi terus turun sampai pada kedalaman 300 m, namun terlihat kembali meningkat pada kedalaman 350 m di titik 18 µmol.kg-1.
Pada kedalaman 450-900 m,
konsentrasi terlihat sedikit meningkat dalam kisaran 8-14 µmol.kg-1 dan pada kedalaman 1000 m konsentrasi terlihat naik mencapai 16,6 µmol.kg-1 dari 8 µmol.kg-1 sebelumnya di kedalaman 900 m. Selanjutnya, konsentrasi terlihat turun di titik 2 µmol.kg-1 pada kedalaman 1100 m, kemudian sedikit meningkat dan stabil sampai kedalaman 1500 m di titik 4,5 µmol.kg-1.
Gambar 47 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun stasiun Selat Ombai.
Berdasarkan data nutrien pada bulan Juli 2010, di Selat Ombai tidak terjadi pengadukan massa air secara vertikal (Suteja 2011), sehingga sinyal massa air
87
Pasifik Utara dan Laut Jawa dapat terdeteksi di wilayah ini.
Pada lapisan
permukaan, menunjukkan adanya massa air di lapisan tercampur yang masuk di Selat Ombai. Massa air ini diduga adalah sisa-sisa massa air Laut Jawa yang bercampur dengan massa air salinitas tinggi dari Selat Makassar. Pergerakan massa air Laut Jawa menuju Selat Ombai mencapai puncak pada bulan Maret dan sisa-sisa massa air rendah di permukaan masih terlihat di bulan Juni-Juli meskipun sudah mulai melemah (Atmadipoera et al. 2009). Dengan terdeteksinya massa air Laut Jawa di lapisan permukaan Selat Ombai, maka diduga bahwa konsentrasi CO2 praindustrial di lapisan permukaan Selat Ombai didugaberasal dari Laut Jawa. Sementara itu, massa air Pasifik Utara menempati lapisan termoklin dan bawah termoklin.
4.2.2 Diagram T-S-Cant (Diagram Temperatur-Salinitas-Cant,) dimaksudkan untuk memprediksi kisaran konsentrasi CO2 antropogenik yang terakumulasi pada wilayah sirkulasi massa air yang terlacak. Di Samudera Pasifik bagian barat, sebelumnya telah terlacak dua massa air Pasifik Utara yang bergerak pada lapisan termoklin (NPSW) dan bawah termoklin (NPIW). Dengan merekonstruksi kembali diagram T-S bersama konsentrasi CO2 antropogenik, pada sub bab berikut ini selanjutnya untuk memprediksi kisaran konsentrasi CO2 yang terakumulasi pada setiap kedalaman massa air. Di section P10N, pada lapisan permukaan sekitar 10-50 m, terdapat salinitas dengan kisaran 33,90-35,06 psu dan kandungan konsentrasi CO2 antropogenik berkisar antara 32,57-49,72 µmol.kg-1 pada = 21-22 (Gambar 48). Di lapisan termoklin yang merupakan wilayah sirkulasi NPSW pada kedalaman 150-200 m, terdapat konsetrasi antropogenik berkisar 61-55,40 µmol.kg-1 dengan salinitas antara 34,93-35,15 psu, pada = 24. Pada lapisan bawah termoklin dengan kedalaman sekitar 300-400 m, yang diprediksi merupakan jalur sirkulasi massa air NPIW, terdapat salinitas berkisar antara 34,58-34,11 psu pada = 26,5. Pada kedalaman ini, CO2 antropogenik mencapai kisaran penetrasi antara 3,42-7,77 µmol.kg-1.
88
Gambar 48
Diagram T-S-Cant section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
Gambar 49
Diagram T-S-Cant section P08S, Samudera Pasifik bagian barat.
89
Sementara itu pada section P08S (stasiun P08S_1 & P08S_2) (Gambar 49), pada =21-22, terdapat salinitas bekisar antara 33,57-34,37 psu, dengan konsentrasi CO2 antropogenik 25,64-62 µmol.kg-1, pada kedalaman 10-50 m. Pada lapisan dibawahnya, telihat NPSW ada pada =24, yaitu pada kedalaman sekitar 100 m, dengan salinitas 34,85 psu dan konsentrasi sebesar 41 µmol.kg-1. Sementara itu, pada kedalaman antara 250-350 m, diprediksi merupakan jalur sirkulasi NPIW yang terlacak pada =26,5. Pada kedalaman ini terdapat kisaran salintas antara 34,43-34,50 psu dan CO2 antropogenik terakumulasi antara 7,19-2,74 µmol.kg-1.
Gambar 50 Diagram T-S-Cant, stasiun Laut Banda.
Di laut Banda, konsentrasi CO2 praindustrial terakumulasi cukup tinggi di lapisan permukaan pada kisaran 59,72-62,54 µmol.kg-1, di kedalaman 5-75 m, dengan salinitas berkisar antara 33,98-33,96 psu (Gambar 50). Sementara itu, massa air Pasifik Utara dan Selatan pada lapisan bawah termoklin tidak terdeteksi
90
pada wilayah ini, sebagaimana sudah dibahas pada sub bab sebelumnya. Sebaliknya, pada kedalaman sekitar 300-450 m, terlacak massa air NPIW pada
=26,5. Salinitas pada lapisan ini berkisar antara 34,55-34,58 psu dengan kandungan CO2 terpenetrasi pada kisaran yang masih cukup tinggi antara 12,4231 µmol.kg-1.
Gambar 51 Diagram T-S-Cant, stasiun Selat Ombai.
Seperti halnya di Laut Banda, konsentrasi CO2 antropogenik terlihat juga tinggi di Selat Ombai, yaitu pada kisaran 41,54-71,44 µmol.kg-1 pada lapisan permukaan di atas 50 m, dengan salinitas berkisar antara 33,47-33,50 psu (Gambar 51). Tingginya konsentrasi pada lapisan ini di prediksi berasal dari sirkulasi massa air Laut Jawa yang terlacak pada =21-22.
Pada lapisan
termoklin, merupakan wilayah sirkulasi massa air Pasifik Utara (NPSW) yang terlacak pada =24-25,50 di tekanan 118-198 dbar (Suteja 2011). Salinitas pada lapisan ini berkisar antara 34,44-34,53 psu, sementara CO2 praindustri terakumulasi masih cukup tinggi, yaitu berkisar antara 55,85-62,24 µmol.kg-1.
91
Pada lapisan dingin dibawahnya, NPIW terlacak pada =26-26,70 di kisaran tekanan 217-346 dbar. Salintas pada lapisan ini sekitar 34,51-34,54 dan penetrasi CO2 antropogenik berkisar antara 24,14-18,48 µmol.kg-1.
Gambar 52 Diagram T-S-Cant, section H_I10 Samudera Hindia bagian timur. Skala warna menunjukkan CO2 antropogenik.
Menurut Wijffels et al. (2002), karakteristik massa air Samudera Pasifik tidak terlihat lagi di Samudera Hindia bagian timur karena telah mengalami modifikasi selama perjalanannya bersama ARLINDO. Dari beberapa massa air yang telah teridentifikasikan di Samudera Hindia bagian timur, penelitian ini hanya memfokuskan pada massa air yang berasal dari jalur keluar ARLINDO saja. Pada kedalaman 300-400 m di sekitar garis lintang 10oLS-14oLS, ditemukan massa air Indonesian Throughflow Water (ITW), yang digambarkan memiliki
92
salinitas lebih rendah dari air Hindia sendiri. Dari diagram T-S-Cant, ditemukan massa air ITW yang memiliki kisaran salinitas antara 34,62-34,64 psu pada
=26,50-26,90 (Gambar 52). CO2 yang terakumulasi pada wilayah ini, di perkirakan berada pada kisaran 4,79-10,54 µmol.kg-1. Sementara itu pada lapisan yang lebih dalam lagi, Intermediate Indonesian Water (IIW) keluar dari outlet ARLINDO dan menempati wilayah yang sama dengan ITW (10o LS – 14o LS) tapi pada kedalaman 500-1200 m. Dari diagram T-S-Cant, terlacak IIW pada kisaran salinitas rendah yang berkisar antara 34,60-34,61 psu (sesuai dengan cirinya S<34,62) pada =27-27,50, dengan kisaran CO2 antropogenik yang terakumulasi berkisar antara 3,21-11,84 µmol.kg-1. Sebaliknya pada =21-22, ditemukan massa air bersalinitas rendah pada kisaran 33,14-33,74 psu dengan konsentrasi CO2 praindustrial berkisar antara 27,46-28,44 µmol.kg-1.
Diduga
massa air bersalinitas rendah ini adalah massa air Laut Jawa. Karakteristik massa air Samudera Pasifik Utara dan Hindia bagian Timur beserta kisaran konsentrasi CO2 antropogeniknya terangkum dalam Tabel 2.
4.2.3 Neraca CO2 Antropogenik Selanjutnya hasil perhitungan yang tertuang dalam Tabel 2 menunjukkan penghitungan
besaran
CO2
antropogenik
(neraca)
yang
kemungkinan
ditransporkan melalui sirkulasi massa air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Perhitungan ini didasarkan pada karakteristik massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) yang ditemukan di Hindia bagian timur (outlet ARLINDO), pada kedalaman 300-400 m yang diperkirakan mengandung konsentrasi CO2 antropogenik sebesar 8,97–16,28 µmol.kg-1 (Tabel 2).
Berdasarkan kisaran
kedalaman ini, kemudian diprediksi besaran CO2 antropogenik yang masuk ke daerah ARLINDO dari Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO), dalam hal ini adalah kedalaman sirkulasi massa air North Pasific Intermediate Water (NPIW), seperti yang disajikan dalam Tabel 3. Perhitungan ini didasarkan pada data transpor ARLINDO terbaru (Gordon et al. 2008; Sprintall et al. 2009), dimana massa air Pasifik Utara yang masuk lewat Selat Makassar diperkirakan sebesar 11,6 Sv (1Sv = 106 m3.s-1). Sekitar 20% massa air tersebut (2,6 Sv) langsung keluar ke Samudera Hindia melalui Se-
Tabel 2
STASIUN
P10N P08S St. Banda St. Ombai
STASIUN
H_I10
Karakteristik massa air di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO dengan konsentrasi CO2 antropogenik (CAnt) Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
10 – 50 10 – 50 5 – 75 1 – 50
26,58 – 29,21 28,47 – 29,38 27,95 – 28,05 28,00 – 28,15
33,90 – 35,06 33,57 – 34,37 33,98 – 33,96 33,47 – 33,50
NPSW ( = 24) (kg.m-3) CAnt -1
(µmol.kg ) 32,57 – 49,72 25,64 – 42,23 59,72 – 62,54 41,54 – 71,44
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
150 – 200 100 100 – 200
22,85 – 23,15 20,62 17,22 – 22,69
34,93 – 35,15 34,85 34,44 – 34,53
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3)
NPIW ( = 26,5) (kg.m-3) (µmol.kg )
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
61,00 – 55,40 41 62,24 – 55,85
300 – 400 250 – 350 300 – 450 200 – 350
7,07 – 10,16 9,91 – 11,24 8,79 – 11,81 9,38 – 11,70
34,11 – 34,54 34,43 – 34,50 34,55 – 34,58 34,51 – 34,54
3,42 – 7,77 2,74 – 7,19 12,42 – 31,00 18,48 – 24,14
CAnt -1
ITW ( = 26-26,80) (kg.m-3)
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
10 – 50
28,32 – 28,52
33,14 – 33,74
37,74 – 53,89
CAnt
CAnt
IIW ( = 27-27,50) (kg.m-3)
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
DEPTH (m)
300 – 400
24,46 – 28,48
34,62 – 34,64
8,97 – 16,28
500 - 1200
CAnt
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
4,93 – 7,86
34,60 – 34,62
3,21 – 6,84
CAnt
94
lat Lombok, sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai (4,9 Sv) dan Laut Timur (7,5 Sv).
Tabel 3 Neraca CO2 antropogenik di wilayah studi STASIUN
Neraca CO2 Antropogenik (1 Tg = 1012 g)
Pasifik (sumberARLINDO)
13,88 – 33,72 Tg C/tahun
Hindia (outlet ARLINDO)
40,43 – 73,38 Tg C/tahun
Selat Ombai
35,16 – 45,95 Tg C/tahun
Tabel 3 memperlihatkan, besaran kandungan CO2 antropogenik yang ditransporkan dari daerah ARLINDO ke Hindia bagian timur pada kedalaman ITW, diperkirakan sebesar 40,43 – 73,38 Tg C/tahun.
Nilai ini lebih besar
dibandingkan dengan yang masuk dari Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO) yaitu pada kisaran 13,88 – 33,72 Tg C/tahun. Perbedaan nilai ini menunjukkan adanya tambahan konsentrasi dari daerah ARLINDO, dimana hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya nilai konsentrasi yang terdeteksi di stasiun Laut Banda maupun di stasiun Selat Ombai. Konsentrasi CO2 antropogenik di stasiun Laut Banda diduga berasal dari Laut Jawa berdasarkan salinitas rendah yang ditemukan pada stasiun ini, yaitu rata-rata 33,98 psu. Atmadipoera (2009) menyatakan bahwa sisa-sisa massa air Laut Jawa dengan karakteristik salinitas rendah masih mempengaruhi wilayah stasiun Laut Banda pada bulan Juli. Sementara itu masa tinggal air yang cukup lama di Laut Banda sekitar 10-22 tahun (Gordon & Fine 1996; Koch Larrouy et al. 2007), juga akan mempengaruhi proses biologi dalam menghasilkan karbon anorganik terlarut yang terakumulasi di lapisan dalam. Konsentrasi yang tinggi pada wilayah ini diduga juga berasal dari limpasan (run off) daratan sekitar sebagaimana daerah studi dikelilingi oleh pulau-pulau besar seperti Pulau Sulawesi dan Irian Jaya dan secara tidak langsung mendapat pengaruh dari Pulau
95
Jawa. Namun demikian, konsentrasi CO2 antropogenik di Laut Banda diduga akan semakin tinggi pada saat musim barat berlangsung karena membawa massa air yang lebih banyak yang berasal dari barat Laut Banda. Tingginya konsentrasi CO2 antropogenik di Selat Ombai diduga berasal dari karbon organik dan anorganik dari Laut Jawa sebagaimana ditemukannya massa air Laut Jawa di wilayah ini (Suteja 2011). Sementara itu, konsentrasi CO2 antropogenik dari Samudera Pasifik bagian barat berkontribusi pada lapisan termoklin dan bawah termoklin dengan ditemukannya massa air NPSW dan NPIW di Selat Ombai. Penduduk Indonesia yang cukup besar tentunya akan sangat mempengaruhi besaran konsentrasi karbon organik dan anorganik yang ditransporkan ke dalam perairan ARLINDO melalui sungai. Secara global, sungai berkontribusi mentranspor karbon dari daratan ke perairan sekitar 1,1 Pg C/tahun (Sabine et al. 2004). Baum et al. (2007) menunjukkan, bahwa secara keseluruhan sungai di Indonesia mengekspor karbon organik terlarut (DOC) sekitar 21 Tg C/tahun atau mewakili sekitar 5% transpor DOC melalui sungai secara global.
Penelitian
terakhir melaporkan bahwa sungai Brantas yang berada pada urutan ke 17 dari 20 sungai yang berasal dari elevasi di atas 3000 m, adalah sebagai pengekspor DOC ke laut yaitu sebesar 0,2 Tg C/tahun atau total sekitar 0,5 Tg C/tahun yang meliputi keseluruhan material karbon (DOC, DIC, dan POC – Karbon Organik Partikulat) (Aldrian et al. 2008). Sementara itu, Koropitan dan Ikeda (2008) menunjukkan, bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 – 0,003 mol C/m2/tahun. Nilai ini terbilang kecil (<0,1%), jika dibandingkan dengan wilayah upwelling ekuator di Samudera Pasifik, sebagai karbon source terbesar. Pada
musim
peralihan
(Maret-Mei),
Atmadipoera
et
al.
(2009)
menunjukkan bahwa massa air Laut Jawa yang dicirikan dengan salinitas rendah, ditemukan di lapisan dalam Selat Ombai. Hal ini dapat mengindikasikan, bahwa konsentrasi CO2 antropogenik dari Laut Jawa dapat juga ditemukan di lapisan dalam Selat Ombai pada musim peralihan. Namun demikian pada penelitian ini, konsentrasi CO2 antropogenik yang disinyalir berasal dari Laut Jawa hanya ditemukan di atas lapisan termoklin Selat Ombai.
96
4.2.4 Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (Cant) dan CO2 alamiah CO2 kontemporer merupakan gabungan dari komponen CO2 alamiah yang telah berada di lautan sebelum era revolusi industri yang diasumsikan hanya mengalami sedikit perubahan, dan komponen CO2 antropogenik yang lebih dipengaruhi oleh kegiatan antropogenik sejak era revolusi industri (Gruber et al. 2009).
Baik CO2 antropogenik dan CO2 alamiah, keduanya diprediksi akan
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer dari tahun ke tahun (Gruber et al. 2004). Sabine et al. (2004) memperediksi ada sekitar 38.000 Pg CO2 alamiah yang telah terakumulasi di lautan terhitung sejak periode sebelum revolusi industri sampai tahun 1994 dan dalam kurun waktu hampir 200 tahun sejak era revolusi industri, nilai tersebut telah mengalami penambahan sekitar 110 Pg C, yang diasumsikan bahwa lautan menyerap sekitar 1,9 Pg C per tahunnya. Namun demikian, data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan bahwa lautan menyerap CO2 antropogenik dari atmosfer meningkat menjadi 2,4 Pg C/tahun (GCP 2012). Hal ini menggariskan bahwa konsentrasi CO2 kontemporer juga mengalami peningkatan pada interior lautan secara global. Selain memperkirakan neraca CO2 antropogenik, penelitian ini juga menghitung neraca CO2 kontemporer dan CO2 alamiah di Samudera Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO), Samudera Hindia bagian timur
(outlet
ARLINDO dan di Selat Ombai. Perhitungan konsentrasi CO2 kontemporer dan CO2 alamiah didasarkan pada karakteristik massa air massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) yang ditemukan di Hindia bagian timur (outlet ARLINDO) pada kedalaman 300-400 m dengan mengacu dari perhitungan CO2 antropogenik melalui diagram T-S-CAnt. Di samudera Hindia bagian timur, diperkirakan pada kedalaman ITW mengandung konsentrasi CO2 kontemporer dan CO2 alamiah masing-masing sebesar 2183,7–2213,4 µmol.kg-1 dan 2174,73–2197,12 µmol.kg-1 (Tabel 4).
Tabel 4
STASIUN
P10N P08S St. Banda St. Ombai
STASIUN
H_I10
Konsentrasi CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan CO2 alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
10 – 50 10 – 50 5 – 75 1 – 50
1884,7 – 1957,9 1870 – 1933,4 1932,3 – 1942,3 1896,7 – 1964,8
(µmol.kg-1)
(µmol.kg )
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
32,57 – 49,72 25,64 – 42,23 59,72 – 62,54 41,54 – 71,44
1852,13 – 1908,18 1844,36 – 1891,17 1872,58 – 1879,76 1855,16 – 1893,36
CAnt -1
NPSW ( = 24) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
150 – 200 100 100 – 200
2027,2 – 2037 2044,9 2051,1 – 2126,1
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
10 – 50
1996,9 – 1928,4
(µmol.kg-1)
(µmol.kg )
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
37,74 – 53,89
1959,16 – 1874,51
CAnt -1
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 55,40 – 61,00 41 55,85 – 62,24
NPIW ( = 26,5) (kg.m-3) CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
1981,6 – 1966,2 2003,9 1995,25 – 2063,86
DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
300 – 400 250 – 350 300 – 450 200 – 350
2216,6 – 2229 2154,9 – 2200,6 2202,5 – 2232,3 2163,1 – 2230,6
ITW ( = 26-26,80) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
300 – 400
2183,7 – 2213,4
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 8,97 – 16,28
CO2 Alamiah (µmol.kg-1) 2174,73 – 2197,12
(µmol.kg-1)
(µmol.kg-1)
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
3,42 – 7,77 2,74 – 7,19 12,42 – 31,00 18,48 – 24,14
2213,18 – 2221,23 2152,16 – 2193,41 2190,08 – 2201,30 2144,62 – 2206,46
CAnt
IIW ( = 27-27,50) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
500 - 1200
2232,4 – 2297,5
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 3,21 – 6,84
CO2 Alamiah (µmol.kg-1) 2229,19 – 2290,66
98
Berdasarkan Tabel 4, selanjutnya dilakukan penghitungan besaran CO2 antropogenik (neraca) untuk memprediksi besaran konsentrasi yang ditransporkan melalui sirkulasi massa air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia pada kedalaman yang sama.
Tabel 5
Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (Cant) dan CO2 alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO CO2 Kontemporer (Pg C/tahun) (1 Pg = 1015 g)
CO2 Alamiah (Pg C/tahun)
CO2 Antropogenik (Tg C/tahun) (1 Tg = 1012 g)
Samudera Pasifik Barat (sumber ARLINDO)
9,85 -9,98
9,84 – 9,95
13,88 – 33,72
Samudera Hindia Timur (outlet ARLINDO)
9,84 – 9,98
9,80 – 9,90
40,43 – 73,38
Selat Ombai
4,12 – 4,25
4,08 – 4,20
35,16 – 45,95
STASIUN
Secara general dapat diprediksi total CO2 kontemporer yang ditransporkan dari Samudera Pasifik melewati perairan Indonesia sebesar 9,85–9,98 Pg C/tahun (Tabel 5). Dibandingkan dengan outlet ARLINDO, konsentrasi CO2 kontemporer terlihat hanya sedikit mengalami perubahan ketika mencapai Samudera Hindia bagian timur yaitu pada kisaran 9,84–9,98 Pg C/tahun.
Samudera Pasifik
memiliki umur air yang lebih tua dibandingkan ke dua Samudera lainnya (Hindia dan Atlantik), sehingga akumulasi CO2 di Samudera Pasifik telah berlangsung cukup lama. Konsentrasi CO2 alamiah umumnya ditemukan lebih rendah pada lapisan permukaan dibandingkan di lapisan dalam karena tingginya proses fotosintesis yang terjadi di permukaan. Sebaliknya konsentrasi CO2 antropogenik lebih tinggi di permukaan dan rendah di lapisan dalam. Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa besaran CO2 alamiah yang masuk ke perairan ARLINDO dari Samudera Pasifik bagian barat hampir sama besarnya
99
ketika ditransporkan menuju Samudera Hindia bagian timur. Sebaliknya, konsentrasi CO2 antropogenik menunjukkan perbedaan yang cukup siknifikan di daerah outlet ARLINDO dibandingkan di daerah sumber ARLINDO. Perbedaan ini cukup menegaskan bahwa daerah ARLINDO sangat berperan terhadap penambahan nilai konsentrasi tersebut.
100
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Sebagai hasil dari proses penelitian, tujuan yang ditetapkan dapat dicapai
untuk menyediakan jawaban atas masalah yang dirumuskan berkenaan dengan distribusi dan neraca CO2 antropogenik laut di daerah arus lintas Indonesia. Lewat serangkaian analisis dan penafsiran terhadap data hasil pengamatan, kesimpulan dan saran dikemukaan sebagai berikut: 1.
Konsentrasi di Hindia bagian timur (outlet ARLINDO) terlihat lebih tinggi dari konsentrasi di Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO), khususnya pada kedalaman 400 m. Besarnya konsentrasi di Samudera Hindia bagian timur ini, mengindikasikan adanya tambahan CO2 antropogenik dari perairan Indonesia, khususnya pada pengamatan di stasiun Laut Banda dan Selat Ombai.
2.
CO2 antropogenik di stasiun Laut Banda terakumulasi lebih tinggi dari pada di selat Ombai terutama di lapisan permukaan. Konsentrasi CO2 antropogenik pada kedua stasiun ini diduga berasal dari Laut Jawa berdasarkan salinitas rendah yang ditemukan pada lapisan permukaan di kedua stasiun tersebut.
3.
Konsentrasi yang terakumulasi di lapisan termoklin dan bawah termoklin Selat Ombai, merupakan kontribusi dari massa air NPSW dan NPIW, sebaliknya massa air termoklin di stasiun Laut Banda tidak terlihat akibat adanya proses pengadukan massa air.
4.
Neraca kandungan CO2 antropogenik di daerah outlet ARLINDO, lebih besar dari yang masuk dari daerah sumber ARLINDO.
5.2 1.
Saran Hasil pengamatan ini belum bisa menunjukkan neraca kandungan CO2 antropogenik tahunan di perairan Indonesia sebagaimana penelitian dilakukan
102
pada periode muson tenggara. Untuk mendapatkan kepastian neraca tahunan, diperlukan pengamatan yang diperluas (pada periode muson barat laut). 2.
Penentuan neraca kandungan CO2 antropogenik ini sangat penting ditentukan oleh metodologi yang tepat untuk mendapatkan hasil akurasi data yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Chen C-TA, Adi S, Prihartanto, Sudiana N, Nugroho SP. 2008. Spatial and seasonal dynamics of riverine carbon fluxes of the Brantas catchment in East Java. J Geophys Res, 113:1-13, G03029, doi:10.1029/2007JG000626. Anderson LA, Sarmiento JL. 1994. Redfield ratios of remineralization determined by nutrient data analysis. Glob Biogeochem Cycles 8:65-80. Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall, J, Koch-Larrouy A, Jaya I, Supangat A. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep Sea Res I 56:1942-1954. Badan Pusat Statistik. 2012. [Terhubung berkala]. http://www.bps.go.id/tnmn_pg.php.html[17 Maret 2012]. Barnola JM. 1999. Status of the atmospheric CO2 reconstruction from ice core analyses. Tellus 51B:151-155. Baum A, Rixen T, Samiaji J. 2007. Relevance of peat draining rivers in central Sumbatra for the riverine input of dissolved organic carbon into the ocean. Estuar Coast Shelf Sci 73:563-570. Bray NA, Hautala S, Chong J, Pariwono J. 1996. Large-scale sea level, thermocline, and wind variations in the Indonesian Throughflow region. J Geophys Res 101:12239– 12254. B
W 74 “N ” Lett 23:100-107.
v
v w
E
Sci
Brewer PG. 1978. Direct observation of the oceanic CO2 increase, Geophys Res Lett 5:997-1000. Carbon Dioxide Information Analysis Center. 2012. Available at: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/. Accessed 17 Maret 2011. Chen C-TA. 2004. Exchanges of Carbon in the Coastal Seas. In The Global Carbon Cycle: Integrating Humans, Climate, and the Natural World. ed. by Field CB and Raupach MR. SCOPE62. Island Press. Washington DC. Chen C-TA, Wang SL. 1999. Carbon, alkalinity and nutrient budget on the East China Sea continental shelf. J Geophys Res 104:20675-20686. Chen C-TA. 1993. The oceanic anthropogenic CO2 sink. Chemosphere 27: 1041-1064. Chen C-TA. 1982. On the distribution of anthropogenic CO2 in the Atlantic and Southern Oceans. Deep Sea Res 29:563-580. Chierici M, Olsen A, Johannessen T, Trinanes J, Wanninkof R. 2009. Algorithms to estimate the Carbon Dioxide uptake in the Northern North Atlantic using shipboard observations, satellite and ocean analysis data. Deep Sea Res II 56:630-639.
104
Christian JR, Murtugudde R, Poy JB, Mc Clain CR. 2004. A Ribbon of dark Water: Phytoplankton Blooms in the Meanders of Pacific North Equatorial Countercurrent. Deep Sea Res II 51:209-228. Cicerone R et al. 2004. The Ocean in a High CO2 World. EOS, Transactions of the American Geophysical Union 85:351-353. Coatanoan C, Metzel N, Fieux M, Coste B. 1999. Seasonal water mass distribution in the Indonesian throughflow entering the Indian Ocean. J Geophys Res 104:20801–20826. Cisewski B, Strass VH, Prandke H. 2005. Upper-ocean vertical mixing in the Antarctic polar front zone. Deep-Sea Res II 52:1087-1108. Culberson CH et al. 1991. A comparison of methods for the determination of dissolved oxygen in seawater, WHPO Rep. 91-2. World Ocean Cir. Exp. Hydrogr. Programme Off., Woods Hole, Massachusetts. DOE. 1994. Handbook of methods for the analysis of the various parameters of the carbon dioxide system in sea water. Dickson AG, Goyet C, editor. Ed ke-2. ORNL/CDIAC-71. Falkowski P et al. 2000. The global carbon cycle: a test of our knowledge of earth as a system. Science 290:291-296. Feely RA et al. 2004. Impact of anthropogenic CO2 on the CaCO3 system in the oceans. Science 305:362-366. Ffield A, Gordon AL. 1992. Vertical mixing in the Indonesian thermocline. J Phys Oceanogr 22:184–195. Frankigenoule M, Borges AV. 2001a. European continentalshelf as a significant sink for atmospheric carbon dioxide. Glob Biogeochem Cyc 15:569–576. Frankigenoule M, Bourge I, Wollast R. 1996. Atmospheric CO2 fluxes in a highly polluted estuary (the Scheldt). Limnol Oceanogr 41:365-369. Ganachaud A, Wunsch C. 2000. Improved estimates of global ocean circulation, heat transport and mixing from hydrographic data. Nature 408:453–457. Global Carbon Project. 2012. Carbon Budget 2010. Available at: http://www. globalcarbonproject.org/carbonbudget/index.htm. Accessed 8 April 2011. Godfrey JS. 1996. The effect of the Indonesian throughflow on ocean circulation and heat exchange with the atmosphere: A review. J Geophys Res 101:12217–12238. Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophys Res Lett 35:1-5. Gordon AL et al. 2006. The first 1.5 years of INSTANT data reveal the complexities of the Indonesian Throughflow. CLIVAR Exch 11:10-11. Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. Oceanography 18: 14-27.
105
Gordon AL, Susanto RD. 2001. Banda Sea surface-layer divergence. Ocean Dyn 52:2-10. Gordon AL, McClean JL. 1999. Thermocline stratification of the Indonesian Seas models and observations. J Phys Oceanogr 29:198–216. Gordon AL, Susanto RD, Ffield A. 1999. Throughflow within Makassar Strait. Geophys Res Let 26:3325–3328. Gordon AL, Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian Oceans in the Indonesian Seas. Nature 379:146–149. Gordon AL, Ffield A, Ilahude GA. 1994. Thermocline of the Flores and Banda Seas. J Geophys Res 99:18,235-18,242. Goyet C et al. 1999. Spatial variation of total CO2 and total alkalinity in the northern Indian Ocean: A novel approach for the quantification of anthropogenic CO2 in the seawater. J Mar Res 57:135-163. Goyet C, Brewer PG. 1993. Biochemical properties of the oceanic carbon cycle. Di dalam: Willebrand J, Andersen DLT, editor. Modelling Oceanic Climate Interaction. Ed ke-11. Berlin: Springer-Verlag. hlm 271-297. Gruber N et al. 2009. Oceanic source, sinks, and transport of atmospheric CO2. Glob Biogeochem Cyc 23:1-21. Gruber N et al. 2004. The vulnerability of the carbon cycle in the 21st century: An assessement of carbon-climate-human interactions, in The Global Carbon Cycle: Integrating Human, Climate, and the Natural World. ed. by Field CB and Raupach MR. Island Press, Washington DC. Gruber N, Sarmiento JL. 2002. In The Sea. Robinson AR, McCarthy JJ, Rothschild BJ, editor. New York: John Wiley & Sons, Inc; hlm 337-339. Gruber N. 1998. Anthropogenic CO2 in the Atlantic Ocean. Glob Biogeochem Cyc 12:165-191. Gruber N, Sarmiento JL, Stocker TF. 1996. An improved method for detecting anthropogenic CO2 in the oceans. Glob Biogeochem Cyc 10:809– 837. Hansel DA, Carlson CA. 2001. Marine dissolved organic matter and the carbon cycle. Oceanography 14:41-49. Hatayama T. 2004. Transformation of the Indonesia throughflow water by vertical mixing and its relation to tidally generated internal waves. J Oceanogr 60:569-585. Hautala S, Reid JL, Bray NA. 1996. The distribution and mixing of Pacific water masses in the Indonesian Seas. J Geophys Res 101:12,375-12,390. Hougton JT. et al. 2001. Climate Change: The Scientific Basis. Cambridge U. Press, New York. http://www.ipcc.ch. Iglesias-Rodriguez D, Armstrong R, Feely R, Hood R, Kleypas J. 2001. SMP workshop assesses role of calcification in ocean carbon cycle. U.S. JGOFS News 11:9-10.
106
Ilahude AG, Gordon AL. 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J Geophy Res 101:12401-12409. Ilahude AG, Komar, Mardanis. 1990. On the hydrology and productivity of the northern Arafura Sea. Neth J Sea Res 25:573-582. IPCC, Climate change: the scientific basic. 2001. Contribution of Working Group 1 to the third assessment rapport of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, USA. Johnson K et al. 1998. Coulometric total carbon dioxide analysis for marine studies: Assessment of the quality of inorganic carbon measurements made during the US Indian Ocean CO2 survey 1994 – 1996. Mar Chem 63:3127. Kelling CD, Whorf TP. 2000. In A Compendium of Data on Global Change (Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Departement of Energy, Oak Ridge, Tenn., U.S.A). Kelling CD, Shertz SR. 1992. Seasonal and interannual variation in atmospheric oxygen and implications for the global carbon cycle. Nature 358:723-727. Kleypas JA et al. 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs science. Mar Chem 284:118-120. Koropitan AF, Ikeda M. 2008. Three-dimensional modeling of tidal circulation and mixing over the Java Sea. J Oceanogr 64:61-80. Koch-Larrouy A, Madec G, Bouruet PA, Gerkema T. 2007. On the transformation of Pacific Water into Indonesian Throughflow Water by internal tidal mixing. Geophys Res Lett 34:1-6. Körtzinger A, Hedges JI, Quay PD. 2001. Redfield ration revisited: removing the biasing effect of anthropogenic CO2. Limnol Oceanogr 46:964-970. Levitus S, Boyer TP. 1994. World Ocean Atlas (WOA), Temperature, volume 4. NOAA Atlas and CD, U.S. Department of Commerce, Washington, DC. National Oceanographic Data Center, Silver Spring, Maryland. Liu KK, Atkinson L, Quinones R, Talaue-McManus L. 2010. Nutrient Flux in Continental Margin. Berlin: Springer.
Carbon and
Liu KK et al. 2000. Exploring continental margin carbon fluxes on a global scale. Transactions 81:641– 644. Millero FJ et al. 1998. Assessment of the quality of the shipboard measurements of the total alkalinity on the WOCE hudrographic program Indian Ocean CO2 survey cruises 1994-1996. Mar Chem 63:9-20. Millard RC. 1982. CTD calibration and data processing techniques at WHOI using the practical salinity scale. Paper presented at International STD Conference and Workshop, Mar Tech Soc. La Jolla, Calif. Molcard R, Fieux M, Syamsudin F. 2001. The throughflow within Ombai Strait. Deep-Sea Res I 48:1237–1253.
107
Molcard R, Fieux M, Ilahude AG. 1996. The Indo-Pacificthroughflow in the Timor Passage. J Geophys Res 101:12411–12420. Moore JK, Abbottt MR, Richman JG, Nelson DM. 2000. The Southern Ocean at the Last Glacial Maximum: A Strong Sink for Atmospheric Carbon Dioxide. Glob Biogeochem Cyc 14:455-475. Murray CN, Riley JP, T RS. 1968. The solubility of oxygen in Winkler reagents used for the determination of dissolved oxygen. Deep Sea Res 15:237– 238. Naulita Y. 1998. Karakteristik massa air pada perairan lintasan ARLINDO [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Natih NMN. 1998. Fenomena dan angkutan massa air di perairan barat Sumatera pada bulan Juli 1990 dan Maret 1991 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pickard GL, Emery WJ. 1990. Descriptive Dynamical Oceanography. Pergamon Press. Oxford. Pond S, Pickard GL. 1983. Introductory Dynamical Oceanography. Pergamon Press. Oxford. Prentice C et al. 2001. The carbon cycle and atmospheric carbon dioxide. Di dalam: Houghton J et al. 2001. Climate Change: The Scientific Basis (Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change). Cambrige: Cambridge University Press :183-237. Purba M, Atmadipoera A, Jaya I, Koch-Larrouy A. 2011. Water masses stratification and mixing in the thermocline layer of Halmahera, Banda and Ombai during INDOMIX cruise. J Geophys Res, in press. Redfield AC, Ketchum BH, Richards FA. 1963. The influence of organisme on the composition of seawater. The Composisition of Seawater Ed ke-2. Wiley, New York. Rochford DJ. 1969. Seasonal variation in the Indian Ocean along 110 o E. The Austr J Mar Fresh Res 30:155-170 Rochford DJ. 1961. Hydrology of the Indian Ocean. Part I: The water masses in the intermediate depths of the south-east Indian Ocean. Austr J Mar Freshwater Res 12:129–149. Sabine CL et al. 2004. The Oceanic Sink for Anthropogenic CO2. 305:367–371.
Science
Sabine CL et al. 2002. Distribution of anthropogenic CO2 in the Pacific Ocean. Glob Biogeochem Cyc 16:1083, doi:10.1029/2001GB001639. Sabine CL et al. 1999. Anthropogenic carbon CO2 inventory of the Indian Ocean. Glob Biogeochem Cyc 13:179-198.
108
Schiller A. 2004. Effects of explicit tidal forcing in an OGCM on the water-mass structure and circulation in the Indonesian throughflow region. Ocean Modelling 6:31-49 Schlitzer R. 2000. Electronic atlas of WOCE hydrographic and tracer data now available. EOS, Transact American Geophys Union 81:45. Schneider N. 1998. The Indonesian Throughflow and the global climate system. J Climate 11:676-689. Siefert R, Plattner GK. 2004. The Role of Coastal Zones in Global Biogeochemical Cycles. Transact American Geophysic Union 85:469525.ater Smith RL, Huyer A, Godfrey JS, Church JA. 1991. The Leeuwin Current of Western Australia, 1986–1987. J Phys Oceanogr 21:323–345. Spalding MD, Ravilious C, Green EP. 2001. World atlas of coral reefs. Univ Calif Press. Berkeley. Sprintall J, Wijffels SE, Molcard R, Jaya I. 2009. Direct estimation of the Indonesian throughflow entering the Indian ocean: 2004-2009. J Geophys Res 114:1-19. Sprintall J, Potemra JT, Hautala SL, Bray NA. 2003. Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian through-flow. Deep Sea Res II 50:2183–2204. Sprintall J, Wijffels S, Chereskin T, Bray N. 2001. The JADE and WOCE I10/IR6 Throughflow Sections in the Southeast Indian Ocean. Part 2: Velocity and Transports. Deep-sea Res II 49:1363–1389.Susanto RD, Moore TS, Marra J. 2006. Ocean color variability in the Indonesian Seas during the SeaWiFS era. Geochem Geophys Geosyst 7: Q05021, doi:10.1029/ 2005GC001009. Susanto RD, Gordon AL. 2005. Velocity and transport of the Makassar Strait Throughflow. J Geophyl Res 110: Jan C01005, doi: 10.1029/ 2004JC002425. Suteja Y. 2011. Percampuran turbulen akibat pasang surut internal dan implikasinya terhadap nutrien di selat Ombai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syamsudin F. 2004. On intraseasonal kelvin wave resonance in the Sulawesi Sea basin. Science and Technology Policy. Istecs Journal 4:15-21. Takahashi T, Broecker WS, Langer S. 1985. Redfield ratios based on chemical data from isopycnal surface. J Geophys Res 90:6907-6924. Talley LD, Sprintall J. 2005. Deep expression of the Indonesian throughflow: Indonesian Intermediate Water in the South Equatorial Current. J Geophys Res 110: doi:10.1029/2004JC002826. Thompson RO, RY. 1984. Observations of the Leeuwin Current off Western Australia. J Phys Oceanogr 14:623–628.
109
Touratier F, Goyet C. 2004a. Definition, properties, and Atlantic Ocean w ‘T CA’ J Mar Syst 46:169-179. Touratier F, Goyet C. 2004b. Applying the new TrOCA approach to assess the distribution of anthropogenic CO2 in the Atlantic Ocean. J Mar Syst 46:181-197. Troelstra SR, Kroon D. 1989. Note on extant planktonic foraminifera from the Banda Sea, Indonesia (Snellius-II Expedition, cruise G5). Neth J Sea Res 24:459– 463. UNESCO. 1981. Background papers and supporting data on the Practical Salinity Scale, 1978 UNESCO Tech. Pap. Mar Sci 37. Van Bennekom AJ. 1988. Deep water transit times in the eastern Indonesian basins calculated from dissolved silica in deep and interstitial waters. Neth J Sea Res 22:315–340. Van Iperen JM, van Bennekom AJ, van Weering TCE. 1993. Diatoms in surface sediments of the Indonesian Archipelago and their relation to hydrography. Hydrobiologia 269/270:113– 128. Wahyono IB. 2011. Kajian biogeokimia perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida (CO2) antara laut dan udara [tesis]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Wang ZA, Cai WJ, Wang Y, Ji H. 2005. The southeastern continental shelf of the United States as an atmospheric CO2 source and an exporter of inorganic carbon to the ocean. Continent Shelf Res 25:1917-1941. Warner MJ, Bullister JL, Wisegarver DP, Gammon RH, Weiss RF. 1996. Basinwide distributions of chlorofluorocarbons CFC-11 and CFC-12 in the North Pacific: 1985 – 1989. J Geophys Res 101:20,525–20,542. Waworuntu JM, Garzoli SL, Olson DB. 2001. Dynamics of the Makassar Strait. J Marine Res 59:313-325. Webster P et al. 1998. Monsoons: Processes, predictability, and the prospects for prediction. J Geophys Res 103:14451–14510. Whorf TP, Keeling CD. 2005. "Atmospheric CO2 records from sites in the SIO air sampling network". Period of record: 1958-2004. Wijffels S, Sprintall J, Fieux M, Bray N. 2002. The JADE and WOCE I10/IR6 Throughflow sections in the southeast Indian Ocean. Part 1: water mass distribution and variability. Deep-Sea Res II 49:1341–1362. Wijffels SE, Bray N, Hautala S, Meyers G, Morawitz WML. 1996. The WOCE Indonesian Throughflow repeat hydrology sections: 110 and IR6. International WOCE Newsletter 24:25–28. Wijffels SE, Schmitt RW, Bryden HL, Stigebrandt A. 1992. freshwater by the oceans. J Phys Oceanogr 22:155–162.
Transport of
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asia Waters. NAGA Report Ed ke-2. California: University of California.
110
You Y. 2003. The pathway and circulation of North Pacific Intermediate Water. Geophys Res Lett, 30. Doi:10.1029/2003GL018561. Zeebe RE, Wolf-Gladrow. 2001. CO2 in seawater: equilibrium, kinetics, isotopes. Elsevier Oceanography Series. Zijlstra JJ et al. 1990. Monsoonal effects on the hydrography of the upper waters (<300 m) of the eastern Banda Sea and northern Arafura Sea, with special reference to vertical transport processes. Neth J Sea Res 25:431-447.
LAMPIRAN
112
113
Lampiran 1
1.
Teknik sampling air untuk parameter dalam sistem karbon dioksida ( CO2 ) laut
Ruang lingkup Bagian ini menjelaskan bagaimana teknik pengambilan dan penyimpanan
contoh air laut, contohnya pengambilan contoh air laut menggunakan botol niskin atau menggunakan water sampler lainnya yang sesuai untuk analisis parameter dalam sistem karbon dioksida laut, meliputi : total dissolved inorganic carbon (DIC), total alkalinitas, pH, dan kesetimbangan karbon dioksida ( CO2 ) dalam contoh air laut.
2.
Prinsip Penyimpanan contoh air laut menggunakan botol borosilikat (sebelumnya
sudah dilakukan pembersihan). Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi gas (pertukaran gas CO2 antara atmosfer dengan CO2 dalam contoh air laut tidak mempengaruhi pengukuran alkalinitas).
Kemudian pemberian larutan
merkuri klorida ke dalam contoh air laut. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh aktifitas biologi dan meminimalisasi laju pertukaran gas CO2 atau volatilisasi gas dalam contoh air dengan atmosfer.
3.
Alat
3.1. Selang fleksibel berbahan plastik (Note 1), alat ini berfungsi untuk menyalurkan air dari water sampler ke dalam botol sampel. 3.2. Botol sampel berbahan gelas (Note 2). 3.3. Pipet tetes untuk memasukkan larutan merkuri klorida kedalam contoh air laut. 3.4. Buku catatan (log book) untuk mencatat informasi mengenai hasil sampling. Note 1: Selang Tigon@ umumnya yang digunakan, namun untuk pengukuran dissolved organic carbon (DOC) umumnya yang digunakan adalah selang berbahan silikon. Sebelum pemakaian, selang tersebut terlebih dahulu dilakukan perlakuan khusus (treatment) dengan cara merendam kedalam contoh air laut selama satu hari (24 jam). Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh gelembung udara dalam selang ketika contoh air laut dimasukkan ke dalam botol sampel.
114
4.
Larutan Kimia (reagen)
4.1. Larutan merkuri klorida (Note 3) 4.2. Minyak gemuk Apiezon@ (jika menggunakan penutup yang berbahan gelas) (Note 4).
5.
Prosedur
5.1. Pendahuluan Pemindahan contoh air laut kedalam botol sampel perlu dilakukan dengan segera ketika penutup sampler (botol niskin) dibuka dan pastikan sampler dalam keadaan kering sebelum pengambilan contoh air laut. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi udara (pertukaran gas CO2 antara atmosfer dan gas CO2 dalam contoh air laut pada sampler) yang dapat menyebabkan kesalahan negatif (berkurangnya kadar CO2 dalam contoh air laut sebelum pengukuran). Parameter sampel spesiasi gas CO2 bukan merupakan prioritas utama dalam WOCE Hydrographic Program. Hal ini dikarenakan sampel tersebut dianalisis untuk gas-gas yang memiliki daya sensitifas yang tinggi terhadap kontaminasi akibat proses difusi udara (pertukaran gas).
5.2. Prosedur pengisian Pembilasan botol sampel : bila botol belum bersih, maka bilas sebanyak dua kali dengan 30 – 50 ml contoh air laut. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh seston dari contoh air sebelumnya. Note 2 : Jenis botol untuk kualitas botol yang baik, gunakan botol borosilikat yang berbahan gelas seperti Schott Duran.
Preparasi botol. Sebelum digunakan, sebaiknya botol dibersihkan dengan cermat. Metode yang digunakan adalah ashing. Selain itu bisa juga menggunakan detergen. Botol sampel yang digunakan untuk penyimpanan contoh air laut sementara (sebelum dilakukan pengukuran) dapat digunakan kembali setelah botol tersebut dibilas dengan air laut yang baru.
Note 3: Note 4:
larutan merkuri klorida umumnya digunakan dalam keadaan jenuh. penggunaan minyak gemuk berfungsi untuk menghambat proses difusi udara.
115
Pengisian botol sampel. Isi botol sampel hingga penuh dengan contoh air laut (dari sampler) menggunakan selang (Note 5) . Pastikan selang tersebut menyentuh bagian dasar botol. Pengaturan bagian kepala botol. Pada bagian kepala botol, beri ruang sekitar 1% dari volume botol untuk memberikan ruang pemuaian contoh air laut dalam botol, misalnya 2.5 ml untuk volume botol berukuran 250 ml. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi contoh air laut dalam botol menggunakan pipet + bulb. Penambahan larutan merkuri klorida. Penambahan larutan merkuri klorida untuk meracuni biota dalam contoh air laut. Penambahan larutan ini minimal sekitar 0.02% dari volume contoh air laut dalam botol, misalnya volume contoh dalam botol sekitar 250 ml maka larutan merkuri klorida yang dimasukkan kedalam botol sekitar 0.05 ml (50 L). Penutupan botol. Penutupan dan penyegelan botol perlu dilakukan dengan cermat untuk meminimalisir proses difusi udara.
Apabila menggunakan
minyak gemuk pada penutup botol berbahan gelas, pertama lap tumpahan contoh di bagian leher botol, kemudian masukkan tutup botol sambil diputar dengan perlahan dan pastikan tidak ada udara yang terperangkap dalam botol. Selanjutnya kocok botol sampel agar larutan merkuri klorida terdispersi secara merata.
5.3. Penyimpanan sampel Sebaiknya sampel disimpan di tempat yang dingin (bukan freezer) dan gelap sebelum digunakan untuk analisis.
5.4. Dokumentasi sampel Informasi-informasi yang perlu dicatat dalam log book, diantaranya :
Waktu pengambilan sampel
Nama lengkap seseorang yang mengambil sampel
Lokasi sampling : stasiun pengamatan, jarak antar stasiun, jumlah botol yang tersedia tiap stasiun.
116
Keterangan : informasi tambahan, seperti kondisi lapangan saat sampling, permasalahan yang ditemukan saat sampling, dll.
Note 5 : banyaknya air contoh yang tumpah dapat diestimasi dengan cara mengukur berapa waktu yang dibutuhkan contoh air hingga botol sampel terisi penuh.
6. Quality assurance Pengulangan sampling perlu dilakukan, baik menggunakan sampler yang sama atau bila memungkinkan, menggunakan dua jenis sampler yang berbeda, kemudian digunakan secara bersamaan serta diturunkan ke air laut pada kedalaman yang sama saat pengambilan sampel. Hal ini dilakukan untuk menguji kualitas prosedur sampling.
Berapa banyak volume contoh air laut dalam botol sampel yang harus dikurangi pada bagian kepala botol ? Pengurangan volume contoh air laut dalam botol sampel pada bagian kepala botol berguna untuk memberikan ruang pemuaian saat terjadi pemanasan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir proses difusi udara dalam botol antara ruang pada kepala botol dengan contoh air laut dalam botol sampel. Sistem tersebut mampu menyeimbangkan gradien tekanan akibat pemuaian. Besarnya perubahan yang signifikan dari volume contoh air laut dapat dihitung dari besarnya perubahan densitas contoh air laut dan perubahan densitas botol akibat pemuaian. Total perubahannnya bila di atas kisaran temperatur 0 – 40 oC sekitar 1% (bila menggunakan botol borosilikat berbahan gelas maka pengaruhnya hanya sekitar 0.04%). Pemanasan awal pada air laut terjadi pada kisaran temperatur 0 – 20 oC, kemudian pada kisaran temperatur 20 – 40 oC. Tekanan yang timbul akibat pemanasan (perubahan temperatur dari t1 ke t2) pada kepala botol dalam botol sampel dapat diestimasi dengan menentukan, yaitu:
Pemuaian contoh air laut dalam botol sampel.
Perubahan kelarutan gas seperti nitrogen ( N 2 ), oksigen ( O2 ), argon ( Ar ), dll.
Temperatur pemuaian pada fasa gas
Perubahan tekanan uap air ( H 2O ) dalam air laut
117
Dengan menentukan rasio awal volume ruang pemuaian pada kepala botol (headspace) terhadap volume air laut,
r
V (head space) V ( seawater )
maka, dapat dikalkulasikan besarnya tekanan dalam ruang pemuaian pada kepala botol (head-space) dimana tekanan tersebut merupakan fungsi dari temperatur. Apabila temperatur contoh air laut berkisar <10 oC mengalami pemanasan pada temperatur di atas 30 oC, maka akan sangat berisiko (mengalami kebocoran) jika rasionya ( r ) kurang dari 1%. Terdapat faktor lain yang juga diperhitungkan ketika menentukan ukuran optimal ruang pemuaian pada kepala botol dalam botol sampel yaitu proses pertukaran gas.
Perubahan total dissolved inorganic carbon (DIC) yang
merupakan hasil dari proses pertukaran gas, dapat diturunkan dari kesetimbangan massa sebagaimana diekspresikan sebagai berikut : p CO2 V p CO2 V T T initial final CT R.m sampel
dimana, pCO2 adalah tekanan parsial CO2 pada ruang pemuaian di bagian kepala botol sampel, V
adalah volume ruang pemuaian (head-space), T adalah
temperatur berdasarkan temperatur awal (ketika botol tertutup) dan temperatur akhir (ketika botol dibuka untuk dianalisis), R adalah konstanta gas, m adalah massa contoh air laut. Pada prosesnya, volume ruang pemuaian (head-space) pada kepala botol dalam botol sampel akan berkurang akibat pemanasan (disebabkan oleh pemuaian contoh air laut dalam botol), selain itu pemanasan juga mengurangi daya kelarutan gas. Dengan demikian, CO2 yang hilang secara signifikan akan terjadi apabila contoh air laut memiliki tekanan parsial CO2 yang tinggi, namun kondisi tersebut tidak mempengaruhi pemanasan secara signifikan dalam botol sampel. Selain itu,
118
bila rasio head-space (r) yang didapat kurang dari 0.01 maka hasil CT yang diperoleh adalah kurang dari 0.05 mol kg-1. Penambahan dan pengurangan gas CO2 tidak akan terjadi secara signifikan pada saat pengukuran alkalinitas dengan menggunakan sampel yang berbeda. Namun demikian, apabila pCO2 diperhitungkan dalam sistem yang notabene sebagai faktor penyangga dan hasil resultan erorr pCO2 yang diperoleh mendekati 10 kali CT , sebagai contoh perubahan CT sekitar -0.5 molkg-1 maka perubahan
pCO2 adalah sekitar -0.25%. Hal ini akan merubah pH sekitar +0.001. Dengan demikian, teknik sampling CO2 salah satunya dengan memberikan ruang pemuaian (head-space) pada kepala botol dalam botol sampel sekitar 1% akan berjalan optimal selama temperaturnya stabil (perubahan temperatur tidak melebihi 30 oC). Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi maka perlu adanya perbaikan dan bisa dilakukan dengan memperbesar ruang pemuaian (head-space) pada kepala botol dalam botol sampel tersebut.
119
Lampiran 2
1.
Penentuan total Dissolved Inorganic Carbon (DIC) dalam air laut
Ruang Lingkup Prosedur ini menjelaskan metode yang digunakan untuk menenetukan total
DIC di dalam air laut yang diekspresikan dalam bentuk satuan mol karbon per kilogram (mol C kg-1) air laut. Metode ini mampu menganalisis kisaran total dissolved inorganic carbon (DIC) di laut (1800 – 2300 mol kg-1) dan bahkan kisaran yang lebih tinggi sebagaimana yang telah ditemukan di Laut Hitam (3800 – 4300 mol kg-1).
2.
Alat (Note 1)
2.1
Sistem dispensing air laut Sistem ini bekerja dengan cara memberikan sejumlah air laut secara teliti
dari botol sampel ke dalam sistem ekstraksi tanpa menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap proses pertukaran gas CO2 dengan atmosfer (Note 2). Apabila volume kontrol air di dispensasi, maka suhunya dapat ditaksir sekitar 0.40 C. 2.2. Sistem ekstraksi CO2 Air laut direaksikan dengan asam phosphoric dalam botol borosilikat berbahan gelas yang dilengkapi saluran air sebagai outlet sampel.
Larutan
tersebut diambil CO2 nya dengan membuat gelembung udara sehingga terbentuk aliran gas dalam sampel tersebut. Gas-gas yang mengalir keluar dari wadah menuju sel kolometer perlu diberikan perlakuan khusus untuk menjaga kestabilan asam (Note 3).
Note 1 : Perangkat operasi komputer sistem SOMMA, tersedia secara komersil dari University of Rhode Island, Graduate School of Oceanography, Equipment Development Laboratory, P. O. Box 60, Narragansett, RI 02882-1197, U.S.A. (telefax 1-401-834-6755). Note 2 : Terdapat dua prinsip yaitu, a) menggunakan modifikasi syringe. Prinsipnya adalah mengalirkan volume kontrol melalui port septum kedalam wadah ekstraksi (banyaknya air yang di despensasi dapat ditentukan dengan menimbang berat syringe sebelum dan sesudah di dispensasi dengan sampel); b) menggunakan pipet kalibrasi yang memiliki katup. Pendekatan ini yang diterapkan oleh sistem SOMMA.
120
2.3. Sistem Kolometer 2.3.1 Kolometer model 5011 CO2 (UIC Inc., P.O. Box 863, Joliet, IL 60434) 2.3.2 Sel kolometer (Note 4) 2.3.3 Elektroda : katoda platinum spiral dan anoda perak rod 2.4. Sistem kalibrasi aliran gas (Note 5) 2.4.1 Katup kromatografi delapan port pada suhu kontrol (Note 6, Note 7) 2.4.2 Dua buah tabung berbahan stainless steel yang volumenya sudah diketahui ( 0.02% , Note 8) 2.4.3 Termometer dengan ketelitian 0.050 C 2.4.4 Barometer dengan ketelitian 20 Pa ( 0.2 mbar) 2.5. Komputer kontrol Walaupun komputer kontrol tidak terlalu penting dalam prosedur ini, namun perangkat ini mempermudah operasi sehingga hasil eksprerimennya dapat diperoleh dengan cepat untuk keperluan evaluasi.
Apabila menggunakan
komputer, sebaiknya di interface (diinstal software tertentu) agar terintegrasi dengan kolometer sehingga data dari kolometer terbaca di komputer. Selain itu fungsi lainnya, yaitu sistem dispensasi dan stripping sampel dapat dilakukan secara otomatis, mengoperasikan sistem kalibrasi aliran gas secara otomatis, untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan suhu dan tekanan.
Note 3 : SOMMA menggunakan kondenser water-jacketed, tabung dari bahan kering, dan rangkaian perangkap dari bahan silika gel, beberapa investigator lebih memilih untuk menghilangkan aerosol dari aliran gas dengan pyrex wool dan teflon filter, daripada menghilangkan aerosol dengan reaksi kimia. Note 4 : berfungsi untuk mengontrol suhu sel dalam kisaran 0.2 0C. pK sebagai indikator pH larutan merupakan suhu yang sangat sensitif; perubahan temperatur awal dan akhir secara substansi saat analisis dapat menimbulkan erorr. Besarnya error tersebut sekitar 200 counts per derajat celcius per 100 ml dalam larutan katoda. Meskipun pengaruhnya tidak signifikan terhadap contoh air laut, namun dapat mengurangi akurasi pengukuran laju titrasi. Note 5 : Hal ini tidak terlalu penting untuk mengoperasikan kolometer, karena instrumeninstrumen tersebut dapat dikalibrasikan secara baik menggunakan sodium karbonat. Note 6 : SOMMA mempunyai the loops dan the associated valve di sekelilingnya dimana pertukaran udara berjalan dengan baik. Note 7 : diagram plumbing untuk Valco 8 port valve (tipe W) disajikan dalam Annexe A. Note 8 : the loops dapat dikalibrasi dengan menggunakan air atau menggunakan merkuri.
121
3.
Larutan Kimia (Reagents)
3.1. Gas 3.1.1 Gas CO2 bebas : nitrogen murni >99.995% atau CO2 free air 3.1.2 Kalibrasi gas : karbon dioksida >99.99% (hanya diperlukan jika menggunakan kalibrasi aliran gas).
3.2. Penghilangan/pemindahan gas CO2 dari carrier gas (bila diperlukan) 3.2.1 Bisa menggunakan Ascarite (II)@ atau Malcosorb@.
3.3. Pengasaman sampel 3.3.1 Asam fosforik diencerkan dengan air dengan perbandingan 10:1 (8.5%)
3.4. Pemurnian aliran gas sampel (lihat Note 3) 3.4.1 Penghilangan uap air : Dehydrite@ (magnesium perklorat) 3.4.2 Penghilangan unsur-unsur asam lain dan gas-gas reaktif : perangkap berbahan silika gel, ORBO-53@ dari Supelco, Inc. 3.4.3 Untuk sampel yang mengandung H 2 S menggunakan : larutan Ag2 SO4 dalam 5% asam sulfuric, dengan menambahkan 3 – 4 tetes 10% H 2O2 . 3.5. Larutan-larutan sel kolometer (Note 9) 3.5.1 Larutan katoda (dari UIC, Inc.) Campuran yang mengandung air, ethanolamine, tetra-ethyl-ammonium bromide, dan larutan thymolphthalein dalam dimethyl sulfoxide (DMSO).
Note 9 : DMSO dan ethanolamine merupakan larutan kimia berbahaya dan sebaiknya ditangani dengan baik dan penggunaannya perlu dilakukan dengan segera. Uap air yang dihasilkan dari sel Kolometer banyak mengandung DMSO dan ethanolamine; larutan kimia berbahaya tersebut dapat dihilangkan dari aliran gas menggunakan charcoal trap (arang kayu); perlu diperhatikan agar aliran tidak terhambat melalui charcoal trap.
3.5.2 Larutan Anoda (dari UIC, Inc.) Air yang di dalamnya terkandung larutan potassium iodida jenuh (kristal) dan DMSO
122
3.5.3 Potasium iodida kristal, ditambahkan ke larutan anoda di dalam sel untuk menjaga larutan potasium iodida tetap dalam kedaan jenuh.
4.
Sampling Perlu diperhatikan bahwa sampel yang akan dianalisis harus dikumpulkan,
diracunkan (penambahan merkuri klorida), dan disimpan berdasarkan prosedur yang telah dijelaskan pada SOP 1. Perlu juga diperhatikan saat sampling dan kegiatan lain, untuk meminimalisir pertukaran CO2 dengan atmosfer.
5.
Prosedur
5.1. Pendahuluan Proses analisis diawali dengan larutan fresh dalam kolometer (Note 10), urutan kegiatannya ditampilkan pada Tabel 1. Tiap tahapan pada prosedur ini, yaitu membandingkan hasil yang diperoleh dengan sistem yang telah digunakan sebelumnya, untuk menunjukkan bahwa metode yang digunakan sesuai dengan spesifikasi yang telah dibuat. Bila uji awal telah selesai, maka sampel air dapat dianalisis.
Faktor kalibrasi diveifikasi, saat analisis dan sebelum larutan sel
dikeluarkan/dibuang (Note 11).
5.2. Pemeriksaan kalibrasi sistem dispensing air laut Pengaliran air yang terionisasi ke dalam a pre-weight serum bottle menggunakan sistem dispensing.
Segel botol dan simpan dengan baik.
Perbandingan hasil dari analisis tiruan yang menggunakan alternate dispencers, bisa mendeteksi perbedaan-perbedaan di dalam kapal. Analisis material juga akan terdeteksi jika terdapat masalah.
Note 10 : Umumnya, kolometer sebaiknya dibiarkan menyala agar tidak terjadi masalah dengan aliran dan stabilitas suhu elektronik. Untuk stabilitas optimal, arus maksimum sekitar 50 mA. Note 11 : Larutan sel sebaiknya diisi kembali, baik 12 jam setelah penggunaan, setelah total kumulatif dari 2 mmol
CO2
telah dititrasi, atau setelah perubahan faktor kalibrasi sudah berlebih.
Larutan sel sebaiknya diatur dengan cermat.
123
Tabel 1. Tahapan kegiatan analisis yang direkomendasikan
Kegiatan
Pemeriksaan kalibrasi sistem dispensing air laut Pengisian sel dengan larutan anoda dan katoda ‘ ’ Penentuan background level Kalibrasi Analisis materi air laut Analisis sampel Konfirmasi/verifikasi kalibrasi Analisis sampel lanjutan Konfirmasi/verifikasi kalibrasi Pengeluaran/pembuangan larutan sel Pembersihan sel dan elektroda
Tahapan 7.2 7.5 7.3 7.4 7.5 7.5 7.4 7.5 7.4 Note 11 7.6
5.3. Penentuan background level Alirkan gas CO2 bebas melalui sistem ekstraksi dan masukkan ke dalam sel kolometer. Apabila laju titrasi sudah stabil, tentukan background level dengan menjumlahkannya setiap 10 menit. Jika background level sudah sesuai, catat nilainya dan lakukan analisis berikutnya.
5.4. Penentuan faktor kalibrasi untuk kolometer Kalibrasi elektrik kolometer tidak sepenuhnya akurat/teliti dan efisiensi proses electrode yang terjadi dalam sel kolometer bervariasi dari 100% ; sehingga sebaiknya mengkalibrasi kolometer untuk tiap sampel (misal tiap larutan sel) dan mengkonfirmasi kalibrasi secara rutin dan teratur (setiap 10 sampai 12 smpel air atau setiap 4 jam). Terdapat dua pendekatan untuk mencapai kondisi tersebut, yaitu menggunakan gas CO2 murni yang terdispensi dari dari aliran gas terkalibrasi pada tekanan dan suhu yang sudah diketahui atau menggunakan larutan sodium karbonat aqueous yang diberi perlakuan khusus seperti perlakuan khusus pada sampel. Kedua pendekatan tersebut dideskripsikan sebagai berikut (Note 12).
124
Kalibrasi menggunakan aliran gas: aliran dimasukkan ke dalam katup kromatografi dimana proses ini dapat dikontrol dengan komputer. Isi gas CO2 murni. Ukur suhu dan tekanan, kemudian putar katup agar gas bisa mengalir cepat ke dalam sel kolometer. Rekam hasil akhir kolometer ketika laju titrasi kolometer kembali ke background level. Faktor kalibrasi rata-rata: diperoleh dari serangkaian aliran CO2 yang terdapat dalam sampel, yang digunakan untuk kalibrasi.
Nilai faktor kalibrasi dapat
dikonfirmasi/diverifikasi dengan aliran tunggal (single loop). Bandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh sebelumnya, untuk menunjukkan sistem tersebut bekerja dengan stabil (lihat 9). Kalibrasi menggunakan larutan sodium karbonat: larutan sodium karbonat (lihat Annexe B) diberi perlakuan khusus seperti perlakuan pada sampel (lihat 7.5). Gunakan larutan tersebut untuk mengukur faktor kalibrasi meskipun larutan tunggal dapat digunakan untuk mengkonfirmasi/memverifikasi kestabilan faktor kalibrasi ketika proses berjalan. Bandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh sebelumnya, untuk menunjukkan sistem bekerja dengan stabil.
5.5. Analisis sampel air laut Apabila background level dan faktor kalibrasi telah ditentukan dengan benar, gunakan sistem untuk menganalisis sampel air laut. Tangani sampel air dengan baik untuk meminimalisir proses pertukaran gas CO2 antara sampel air dan ruang pemuaian. Masukkan sampel (sekitar 30 ml) ke dalam wadah dan asamkan dengan asam fosforik (sekitar 1.5 ml). Pastikan sistem alir sampel dibilas dengan sampel bersih. Pastikan apakah larutan asam fosforik terkandung
CO2 bebas (Note 14) atau asam blank koreksi. Rekam hasil akhir kolometer ketika laju titrasi kolometer kembali ke background level. Suhu ( 0.40C) dan salinitas ( 0.10C) sampel perlu diketahui untuk menghitung densitas sampel.
5.6. Pembersihan alat Bersihkan sistem dispensing dan stripping air laut dengan membilasnya menggunakan air terionisasi secara menyeluruh. Bersihkan sel kolometer dengan
125
membilasnya, pertama menggunakan aseton kemudian menggunakan air terionisasi. Hal ini dilakukan agar larutan terdorong melalui the frit. Apabila the frit sangat kotor, maka sel kolometer dibersihkan menggunakan aqua regia kemudian dibilas dengan air terionisasi secara menyeluruh.
Keringkan sel
sebelum digunakan (Note 15). Katoda berbahan platina sebaiknya dibilas menggunakan asam nitrit untuk menghilangkan endapan perak, sedangkan anoda berbahan perak sebaiknya digosok dengan wool berbahan gelas untuk menghilangkan endapan perak iodida.
Note 12 : keunggulan dari kedua pendekatan ini masih dalam perdebatan. Pendekatan aliran gas sangat sulit dalam kalibrasi awal (lihat Wilke et al., 1993 atau SOP 11) dan memerlukan ketelitian dalam pengukuran suhu dan tekanan (4.4), namun pendekatan ini hanya cocok untuk kalibrasi coulometer response. Pendekatan kalibrasi menggunakan larutan sodium karbonat paling umum digunakan dan pendekatan ini menggunakan serangkaian alat pada tiap kalibrasi. Namun demikian alat yang diperlukan tidak mahal dan pendekatan ini mengkalibrasi seluruh system response meliputi : delivery volume, efisiensi ekstraksi, coulometer response. Note 13 : karena permasalahan dalam eksperimen tidak bisa terpisahkan dari weighing dan transferring Na2CO3 Kristal dan karena
CO2
terdapat dalam air terionisasi, hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk membuat larutan tunggal (single solution) dengan taksiran lebih kecil dari 1 mol kg-1. Dengan menggunakan larutan ini, resultan error dalam faktor kalibrasi dapat diminimalisir. Note 14 : Apabila asam ditambahkan ke dalam stripping sel dimana sebelumnya sudah ditambahkan air laut, maka hal ini dapat menghilangkan
CO2
in situ.
Note 15 : Apabila penutup karet berwarna hitam- disuplai dari UIC- digunakan untuk penutup elektroda, maka juga sebaiknya dibersihkan dengan membilasnya dengan air terionisasi kemudian panaskan di dalam oven pada suhu 500C selama 12 jam.
6.
Teknik dan contoh perhitungan
6.1. Perhitungan laju titrasi background Perhitungan laju titrasi background diekspresikan dalam bentuk satuan counts min-1 (Note 16) : b
Nb 10
dimana,
N b = nilai dari kolometer yang terekam setiap 10 menit (counts). Note 16 : unit counts (mode 0) merupakan mode kolometer yang paling sensitif. Hasil yang diperoleh dari penggunaan mode lain, seperti gC (misal, mode 2) dapat juga diinterpretasikan sebagai unit dalam persamaan ini.
126
6.2. Perhitungan faktor kalibrasi 6.2.1 Berdasarkan aliran tunggal (single loop) Perhitungan faktor kalibrasi diekspresikan dalam bentuk satuan counts mol-1 yang terekam pada kolometer, untuk analisis mol n CO2 dari CO2 yang terdispensi dari aliran gas yang sudah diketahui volume, suhu, dan tekanannya :
c
N c b.t n CO2
dimana,
N c = nilai rekaman kolometer untuk sampel gas (counts)
b = sistem background level (counts min-1) t = waktu yang dibutuhkan untuk mengukur sampel
n CO2 = banyaknya CO2 yang terdispensi dari aliran gas (mol) n CO2
V T V CO2
dimana, V T adalah volume aliran pada suhu kalibrasi T (lihat SOP 11, 6.3) ;
V CO2 adalah volume molar CO2 murni pada suhu kalibrasi T dan tekanan kalibrasi p , yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: V CO2
RT B CO2 , T 1 p V CO2
Nilai B CO2 , T dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: B CO2 , T T T 1636.75 12.0408 3.27957 x105 3 1 cm .mol K K
3
T dimana, 265 < < 320. K Apabila faktor kalibrasi dari kedua aliran mendapatkan hasil yang baik, kemudian sebaiknya dirata-ratakan untuk mendapatkan faktor kalibrasi rata-rata yang dapat digunakan untuk komputasi/perhitungan berikutnya.
127
8.2.2 Berdasarkan larutan sodium karbonat
N s b.t a c.dw c.M Vs dimana,
N s = hasil rekaman kolometer dari sampel sodium karbonat (counts), a
= blank asam (counts) (Note 17),
b
= sistem level background (counts min-1), = waktu yang dibutuhkan untuk mengukur sampel sodium karbonat
t
(menit),
Vs = volume sampel sodium karbonat (liter atau dm3) (Note 18),
dw = level background CO2 dalam air terionisasi yang digunakan untuk preparasi sampel (mol l-1),
M
= konsentrasi sampel sodium karbonat (mol l-1) yang dihitung dari massa sodium karbonat yang digunakan (lihat Annexe B).
Faktor kalibrasi c diperhitungkan sebagai garis miring/slope liniear; berkaitan dengan standar error pada slope (lihat SOP 23). The intercept memberikan air “
” : dw .
Nilai dw yang didapat sebelumnya tidak dapat
digunakan untuk menentukan faktor kalibrasi; nilai adalah rata-rata seluruh larutan standar (termasuk larutan dimana M = 0 mol dm-3).
8.3. Perhitungan sampel air laut Perhitungan total DIC dalam sampel air laut, yaitu :
CT '
N s b.t a 1 x c Vs .
Note 17 : Apabila sistem SOMMA digunakan, asam ditambahkan ke sel ekstraksi kemudian
CO2 di strip sebelum analisis, misal a
= 0 counts.
Note 18 : Perbandingan antara persamaan (11) dengan persamaan (12) menunjukkan bahwa jika
Vs
diasumsikan sama dalam kedua persamaan tersebut, maka kesalahan/error kalibrasi dari pipet
volume dapat diminimalisir. Perlu diperhatikan, asumsi ini menunjukkan bahwa larutan sodium karbonat dan air laut berada pada suhu yang sama.
128
Keterangan :
CT ' = total DIC dalam sampel (mol kg-1)
N s = hasil kolometer untuk sampel air laut (counts) a
= blank asam (counts) (Note 17)
b
= sistem background level (counts min-1)
c
= faktor kalibrasi kolometer (counts mol-1)
t
= waktu yang dibutuhkan untuk mengukur sampel (min)
Vs = volume sampel air laut pada suhu yang ditetapkan (dm3) (SOP 12). Apabila larutan sodium karbonat yang digunakan untuk kalibrasi, lihat Note 18).
= densitas sampel air laut (g cm-3) (lihat bab 5 pada buku ini).
Untuk hasil yang lebih akurat, ada koreksi lain yang bisa dilakukan untuk menghitung total DIC dalam sampel air laut murni: untuk pengenceran dengan merkuri klorida ketika sampel sudah terkumpul (Note 19) dan untuk pertukaran gas CO2 dengan ruang pemuaian dalam botol sampel (Note 20) : CT 1.0002 x CT ' CT
dimana, CT adalah perubahan CT akibat proses pertukaran gas dengan ruang pemuaian (head-space) dalam botol sampel. Selama r lebih kecil dari 1%, maka koreksi ini akan selalu lebih kecil dari 0.5 mol kg-1.
Note 19 : 1.0002 mengasumsikan bahwa merkuri klorida yang digunakan dalam keadaan jenuh (0.02% dari volume – lihat SOP 1). Apabila kenejuhan larutan mencapai 50% dalam mengawetkan sampel, maka pendekatan faktor kalibrasi yang digunakan adalah 1.0004. Note 20 : lihat Annexe SOP 1, persamaan (A.2) :
CT dimana,
p CO V 2
initial
p CO2 final
R.m( sampel )
p CO2
adalah tekanan parsial
CO2
pada ruang pemuaian di bagian kepala botol
sampel, V adalah volume ruang pemuaian (head-space), T adalah suhu berdasarkan suhu awal (ketika botol tertutup) dan suhu akhir (ketika botol dibuka untuk dianalisis), R adalah konstanta gas, m adalah massa contoh air laut.
129
6.4. Contoh perhitungan (Note 21) 6.4.1 Perhitungan blank
N b = 100 counts dalam 10 menit
b
= 100 / 10 = 10 counts min-1
6.4.2 Perhitungan faktor kalibrasi untuk aliran tunggal (single loop) :
T
= 298.15 K ;
p
= 101.325 kPa ;
V (298.15 K) = 1.5000 cm3 mol-1 ; B (CO2, 298. 15K) = -123.2 cm3.mol-1;
N c = 294033 counts dalam 15 menit ; maka,
V CO2 = 24341.7 cm3 mol-1 dan,
n CO2 1.5/ 24341.7 mol = 61.6226 mol. sehingga, c
294033 10 x15 4.76908 counts mol-1 6 61.6226 x10
6.4.3 Perhitungan faktor kalibrasi menggunakan 6 larutan sodium karbonat
b 10 counts min-1 ;
a 40 counts ; Vs 27.0000 cm3 ;
M1 0.0 mol dm-3 ;
N s 1892 counts dalam 15 menit
M 2 498.8 mol dm-3 ;
N s 66537 counts dalam 15 menit
M 3 1001.9 mol dm-3 ; N s 130818 counts dalam 15 menit M 4 1500.8 mol dm-3 ; N s 195216 counts dalam 15 menit
M 5 2002.5 mol dm-3 ; N s 260068 counts dalam 15 menit M 6 2497.1 mol dm-3 ; N s 323456 counts dalam 15 menit Regresi liniear (SOP 23) nya adalah : Slope = 4.76908 x 109 counts mol-1 Intercept = 67695.1 counts dm3
130
maka,
c = 4.76908 x 109 counts mol-1 sehingga,
dw 14.195 mol dm-3 Note 21 : nilai-nilai yang besar diberikan, untuk memeriksa perhitungan komputer dari contoh perhitungan.
6.4.4 Perhitungan sampel air laut
S
= 35.00 ; t 25.0 0C ; S , t 1.02334 g cm3 ;
Vs = 27.0000 cm3 ; a
= 40 counts ; b 10 counts min-1 ;
N s = 289874 counts dalam 15 menit. maka,
CT '
289874 10 x15 40 103 x 2198.40 4.76908 x109 27 x1.02334
Koreksi untuk penambahan merkuri klorida (0.02% dari kejenuhan larutan),
CT 2198.84 mol kg-1
7.
Quality assurance
7.1. Prinsip umum pengontrolan kualitas analisis dapat dilihat di Bab 3 7.2. Aplikasi spesifik pengontrolan kualitas analisis Pengontrolan analisis diperlukan untuk menjamin ketelitian dan ketepatan data yang memadai untuk tujuan survei CO2 skala global. Target yang dicapai, yaitu : nilai maksimum ketepatan hasil lapangan (standar deviasi = 1) adalah 1.5 mol kg-1 dan keseluruhan kisaran bias antara hasil lapangan dengan laboratorium lebih kecil dari 4 mol kg-1.
131
7.2.1 Kestabilan dan nilai background level Background level sebaiknya lebih kecil dari 25 counts min-1 (0.05 g C min-1) dan stabil pada 10 counts min-1.
Plot nilai diperoleh untuk
background level dapat dilihat pada grafik kontrol (SOP 22). 7.2.2 Persesuaian antara dua aliran gas dengan ukuran yang berbeda Dua aliran (loop) seharusnya memberikan faktor kalibrasi yang sama dalam kisaran 0.05%. 7.2.3 Kualitas kalibrasi sodium karbonat Perhitungan standar error relatif dari slope sebaiknya kurang dari atau sama dengan 0.05% 7.2.4 Kestabilan faktor kalibrasi Nilai rata-rata dari dua aliran (loops) atau garis slope ketika menggunakan sodium karbonat akan stabil pada kisaran 0.1%. Plot hasilnya dapat dilihat pada grafik kontrol (SOP 22) 7.2.5 Analisis materi air laut Reference material (Note 22) sebaiknya dianalisis dengan teratur dan sesering mungkin (setiap mengisi larutan kolometer). Plot hasilnya dapat dilihat pada grafik kontrol (SOP 22). 7.2.6 Analisis ulangan Analisis ulangan sebaiknya dilakukan setiap 10 sampel. Plot perbedaan tiap pasang dari analisis tersebut dapat dilihat pada grafik kontrol (SOP 22).
Note 22 : tersedia di Marine Physical Laboratory, Scripps Institution of Oceanography, University of California, San Diego, 9500 Gilman Drive, La Jolla, CA 92093-0902, U.S.A. (telefax 1-619456-9079).
132
Prosedur preparasi larutan sodium karbonat untuk kalibrasi pada pengukuran kolometrik CT 1.
Ruang lingkup Prosedur ini menjelaskan preparasi larutan sodium karbonat aqueous yang
digunakan untuk kalibrasi penentuan total DIC dengan ekstraksi/kolometer. Larutan ini memberikan alternatif penggunaan aliran gas (gas loops) untuk kalibrasi alat. 2.
Prinsip 6 larutan standar yang di preparasi berbeda, di antaranya mengandung
sodium karbonat murni, seperti konsentrasi yang sekitar 500 mol dm-3 dari kisaran 0 – 2500 mol dm-3.
Perhatikan dengan cermat ketika melakukan
preparasi dan penggunaan larutan ini adalah untuk meminimalisir kontaminasi dengan gas CO2 atmosfer. 3.
Alat
3.1. 6 x 1 dm3 labu takar volumetric yang terkalibrasi (SOP13) 3.2. Balance capable of weighing sodium karbonat adalah 1 g 4.
Larutan kimia (reagents)
4.1. Sodium karbonat murni, > 99.95% (apabila kamu dapat melakukan preparasi sendiri, ikuti prosedur IUPAC, 1969) 4.2. Air terionisasi (jika ingin, karbon dioksida dapat dihilangkan dengan menguapkan dan dinginkan dengan aliran gas nitrogen) 4.2. Silinder gas nitrogen.
5.
Prosedur
5.1. Preparasi larutan Keringkan sodium karbonat, agar berat tetap stabil, dalam oven 280 0C selama >2 jam, simpan ke dalam desikator (dibawahnya diisi fosfor pentoksida) sampai sodium karbonat digunakan.
133
Prosedur di bawah ini dilakukan untuk tiap preparasi larutan : 5.1.1 Timbang banyaknya garam dalam container, seperti plastic vial, yang telah di beri perlakuan khusus, untuk mengurangi charge statik (dengan strip antistatik). 5.1.2 Alirkan labu takar dengan nitrogen selama 5 menit. 5.1.3 Isi labu takar ¾ dengan air terionisasi menggunakan selang tabung 5.1.4 Gunakan corong, masukkan sodium karbonat dari botol ke labu takar. Bilas botol dan labu takar hingga ke dalam labu takar, untuk memastikan sodium karbonat masuk ke dalam labu takar. 5.1.5 Atur volume larutan dalam labu takar untuk tanda kalibrasi. 5.1.6 Pastikan ruang pemuaian (head-space) terisi dengan gas nitrogen, kemudian tutup labu takar dengan a lightly greased stopper. Setelah labu tertutup, kocok dengan kuat agar sodium karbonat larut sempurna dan agar larutan tercampur sempurna. Larutan-larutan ini akan bertahan selama 1 minggu, selama ruang pemuaian tetap terisi dengan nitrogen dan labu takar di segel kembali setelah tiap selesai penggunaan.
5.2. Perhitungan konsentrasi larutan Pertama, koreksi berat sodium klorida untuk pengaruh dari buoyancy udara (SOP 21): 1 udara / berat m Na2CO3 w Na2CO3 1 udara / Na2CO3
Kemudian kombinasikan informasi pada volume labu takar terkalibrasi V (labu takar) dan pada sodium karbonat murni (jika diketahui) : c Na2CO3 m Na2CO3 / g 1 x xNa2CO3murni 3 mol.dm 105.988 V labu
134
5.3. Perhitungan sampel w Na2CO3 0.21230 g V (labu ) 1.0001dm3
berat 8.0 g.cm 3 Na2CO3 2.532 g .cm 3 Na2CO3murni 99.95%
maka,
1 0.0012 / 8.0 w Na2CO3 0.21230 0.21237 g 1 0.0012 / 2.532 dan, c Na2CO3
6.
0.21237 1 x x0.9995 2002.5 mol dm-3 105.988 1.0001
Quality assurance 6 standar kalibrasi digunakan dalam regresi linier, untuk menkalibrasi
ekstraksi/system kolometer pada pengukuran total DIC. Apabila standar error relatif slope yang diperoleh terlalu tinggi (> 0.15%), data sebaiknya di periksa agar diketahui sumber errornya.
Jika memungkinkan, penambahan
larutan standar perlu dilakukan. Selain itu, apabila nilai background level karbon dioksida dalam air terionisasi terlalu tinggi (>15 mol dm-3 ), larutan sebaiknya dibuang dan dibuat lagi yang baru dengan air terionasasi baru.
135
Lampiran 3
1.
Total Karbon Dioksida (TCO2/DIC) pada stasiun pengamatan
Samudera Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO). a. Section P10N
b. Section P08S
136
2.
Daerah ARLINDO. a. Stasiun Laut Banda
b. Stasiun Selat Ombai
137
3.
Samudera Hindia bagian timur (outlet ARLINDO) a. Menurut garis bujur (Longitud)
b. Menurut garis lintang (Latitud)
138
Lampiran 4
1.
Penentuan Total Alkalintas (TA) dalam air laut
Ruang Lingkup Bab ini menjelaskan prosedur titrasi potensiometrik, sel tertutup automatis,
yang digunakan untuk menentukan total alkalinitas dalam air laut.
Total
alkalinitas diekspresikan dalam bentuk mol per kilogram air laut. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur total alkalinitas air laut dalam kisaran 2000 – 2500 mol kg-1 dan dapat juga mengukur dalam kisaran 3200 – 4600 mol kg-1 .
2.
Definisi Total alkalinitas sampel air laut didefinisikan sebagai banyaknya mol ion
hidrogen ekuivalen dengan banyaknya akseptor/penerima proton (basa yang terbentuk dari asam lemah dengan konstanta disosiasi K 104.5 pada suhu 25 0C dan ikatan ionik yang lemah) yang melebihi donor/pemberi proton (asam dengan K 104.5 ) dalam satu kilogram sampel : AT HCO3 2 CO32 B OH 4 OH HPO42
2 PO43 SiO OH 3 NH 3 HS
H HSO4 HF H 3 PO4 ... F
adalah total konsentrasi dalam larutan, H adalah konsentrasi ion F
hydrogen bebas (lihat Bab 2). Konsentrasi NH 3 dan HS yang kecil di perairan laut lepas dapat diabaikan, namun dapat meningkat secara signifikan pada kondisi anoksik (oksigen rendah bahkan nol).
3.
Prinsip Air laut sampel di tempatkan dalam sel tertutup kemudian dititrasi dengan
dengan larutan asam hidroklorit. Larutan asam ini dibuat dalam sodium klorida background untuk membuat ikatan ionik pada air laut sampel; Hal ini dilakukan agar koefisien tetap stabil saat titrasi. Penggunaan sel tertutup ini berasumsi
139
bahwa total DIC dengan titrasi tetap stabil, tidak terpengaruh dengan adanya pengenceran. Proses titrasi dikontrol menggunakan elektroda berbahan gelas/elektroda pH. Total alkalinitas dihitung dari volume titran dan e.m.f. menggunakan data dari metode least-square berdasarkan pendekatan kurva non-linear (lihat Annexe) atau modifikasi pendekatan Gran (Note 1). Total alkalinitas dan total DIC dihitung dari data hasil titrasi; meskipun demikian metode ekstraksi/kolometer secara detail dijelaskan dalam SOP 2 yang secara spesifik menjelaskan penentuan total DIC (Note 2).
4.
Alat
4.1. Sel-sel titrasi Sel titrasi (tertutup dengan pengukur suhu otomatis) dengan volume internal 100 cm3 atau lebih sudah cukup memadai. (sel tersebut dapat dikonstruksi dari Lucite@ yang dilapisi an outer water jacket-lihat gambar 1). Terdapat hubungan yang optimal antara ukuran sel titrasi, ukuran piston buret, dan larutan asam yang digunakan :
V (buret ) .C ( HCL) 3,5 x103 mol.kg 1 V ( sel ) Persamaan ini berdasarkan pada asumsi yaitu larutan dengan total alkalinitas 2.5 x 10-3 dititrasi menggunakan buret hingga mencapai pH 3, misalnya H 1.0 x103 mol kg-1.
Note 1 : untuk modifikasi pendekatan Grain secara lebih detail bisa dilihat pada Hansson & Jagner (1973) atau Bradshaw et al. (1981). Note2 :
CT
yang tidak terukur dengan titrasi titrasi potentiometrik (karena pengabaian/
penghilangan spesies asam-basa seperti fosfat (lihat Bradshaw et al. (1981) atau karena faktor Nernst selama penggunaan sepasang elektroda) lebih kecil dari nilai teoritis yang digunakan (lihat Millero et al., 1993).
Sel tersebut memiliki kombinasi gelas/elektroda pH (Note 3), thermometer, saluran kapiler yang menyuplai asam dari buret dan plunger yang bebas bergerak untuk mengatur volume sel saat penambahan asam dan agar titrasi bisa dilakukan tanpa ruang pemuaian (a head-space). (ukuran plunger harus disesuaikan dengan
140
ukuran buret yang digunakan).
Penggerak magnetik digunakan untuk
menggerakkan larutan saat titrasi.
Note 3 : Menggunakan elektroda gelas yang berbeda/ sepasang elektoda yang sama seringkali dapat meningkatkan stabilitas.
4.2. pH meter pH meter atau voltmeter digital dengan input tegangan tinggi (Note 4) – bisa membaca input 0.1 mV – dihubungkan ke sel pH dan terintegrasi dengan komputer yang mengontrol proses titrasi.
4.3. Piston buret Motor- penggerak piston buret- mampu mengalirkan 0.001 ml volume – terintegrasi dengan komputer yang mengontrol proses titrasi.
Ukuran buret
tergantung pada ukuran sel dan konsentrasi asam yang digunakan, lihat persamaan diatas.
4.4. Termostat Termostat mampu menjaga stabilitas sel pada suhu tertentu dalam kisaran 0.05 0C. hal ini dapat dipastikan bahwa sel pH, E o , dan faktor Nernst tidak
berubah signifikan saat proses titrasi.
5.
Larutan Kimia (reagents)
5.1. Larutan asam hidroklorida 5.2. Larutan sodium klorida 5.3. Larutan standar sodium karbonat, dikeringkan pada suhu 2800C selama >2 jam dan didinginkan dalam desikator selama satu hari (Note 5) 5.4. Air terionisasi.
6.
Sampling Sampel sebaiknya dikumpulkan, diracunkan (penambahan merkuri klorida),
dan disimpan berdasarkan prosedur yang dijelaskan dalam SOP 1.
141
7.
Prosedur
7.1. Preparasi larutan 7.1.1 Titran : larutan asam hipoklorida mengandung cukup sodium klorida untuk mengatur total ikatan ionik (0.7 mol kg-1). (konsentrasi HCL digunakan untuk menyesuaikan ukuran buret dan ukuran sel, lihat persamaan diatas).
Note 4 : aliran listrik eksternal berdasarkan penggunaan amplifier input bertegangan tinggi (contohnya: amplifier electrometer FET). Note 5 : metode untuk preparasi sodium karbonat, secara detail dapat dilihat dalam IUPAC (1969).
7.1.2 Media background : larutan sodium klorida (0.7 mol kg-1). 7.1.3 Larutan kalibrasi (Note 6) : tiga larutan sodium karbonat (Note 7) dalam media background (sekitar 0.5, 1.0, dan 1.25 mmol kg-1) dibuat secara cermat dalam satuan berat; misal total alkalinitas sekitar 1000, 2000, dan 2500 mol kg-1. 7.2. Prosedur titrasi 7.2.1 Ambil larutan untuk dititrasi pada suhu tertentu karena titrasi akan dilakukan sebelum pengisian sel.
Pada waktu tersebut cocok untuk
menempatkan botol sampel ke dalam thermostat. 7.2.2 Bilas sel titrasi dengan air laut secara menyeluruh (Note 8) kemudian dianalisis dengan larutan (media background atau larutan kalibrasi). Isi sel dengan larutan untuk dianalisis, hingga tumpah sekitar 1 ml; terakhir, tutup sel dan pastikan bahwa piston berada di bawah dan tidak ada gelembung udara. 7.2.3 Tambahkan larutan asam sekitar 0.1 – 0.2 ml ke dalam sel dari buret (Note 9). Setelah penambahan asam, tulis total volume asam yang ditambahkan dan the e.m.f. sel pH – menggunakan konputer untuk memeriksa kestabilan sel pH – (Note 10).
Note 6 : an alternate solid lebih baik dilengkapi dengan standar asidimetrik (2-amino-2-hydroxy1,3-propanediol). Standar ini disediakan oleh US National Institute for Standards & Technology (NIST). Standar ini lebih baik dibandingkan dengan sodium karbonat: standar ini mempunyai satuan berat lebih besar yaitu per mol alkalinitas dan lebih mudah untuk diukur/ditimbang. Meskipun demikian, perbedaan dalam pendekatan diperlukan untuk mengevaluasi hasil data.
142
Note 7 : larutan kalibrasi tunggal (sekitar 1.25 mmol kg-1) dapat digunakan. Meskipun demikian, menggunakan sejumlah larutan akan meningk ‘ ’ C / HCl background dan estimasi . Note 8 : hal ini dilakukan untuk menghilangkan/mengeluarkan asam. Note 9 : beberapa investigator lebih memilih untuk menambahkan asam, hal ini dilakukan untuk mentaksir perubahan antar titik titrasi Note 10 : hidrasi
CO2
yang terbentuk di sekitar ujung buret membutuhkan waktu beberapa saat
untuk terhidrasi kembali.
7.2.4 Apabila asam telah cukup ditambahkan ke dalam sampel untuk mencapai pH sekitar 3, Titrasi dihentikan dan hasil data yang diperoleh digunakan untuk menghitung total alkalinitas dalam sampel
8.
Perhitungan
8.1. Pendahuluan Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi total alkalinitas dan total DIC dari data hasil titrasi : menggunakan pendekatan leastsquare non-linear (lihat Annexe) atau menggunakan modifikasi fungsi Gran (dimana persamaan nya diubah menjadi bentuk linear kemudian disesuaikan dengan metode least-square).
Kedua pendekatan tersebut berdasarkan pada
kesetimbangan massa dan equilibrium relationships; keduanya hanya berbeda dalam bagaimana data eksperimen are weighted in the least-square fitting.
8.2. Unsur turunan persamaan dasar Pendefinisian persamaan untuk total alkalinitas (1) digunakan untuk mendefinisikan kondisi proton yang sesuai dengan the equivalence point : H HSO4 HF H3 PO4 HCO3 2 CO32 B OH 4 OH HPO42 F
2 PO43 SiO OH 3 NH 3 HS
(perlu dicatat bahwa keberadaan spesies minor yang tidak teridentifikasi diabaikan dalam persamaan ini) Dalam proses titrasi, total konsentrasi ion hidrogen diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut :
143
CH H HSO4 HF H 3 PO4 HCO3 2 CO32 B OH 4 OH F HPO42 2 PO43 SiO OH 3 NH 3 HS ………………………
Konsentrasi ion hidrogen awal dalam larutan adalah negative dari total alkalinitas. Dalam proses titrasi, setelah m g , konsentrasi asam ( C ),ditambahkan ke sampel
m0 g (Note 11), CH
mC m0 AT m0 m
Kemudian persamaan diatas dapat disubstitusikan ke dalam persamaan 1 :
mC m0 AT H HSO4 HF H 3 PO4 HCO3 2 CO32 B OH 4 OH F m0 m HPO42 2 PO43 SiO OH 3 NH 3 HS
Persamaan ini adalah dasar dari semua perhitungan dalam prosedur ini, meskipun untuk titrasi dalam media natrium klorida seringkali menghasilkan nilai 0. Persamaan tersebut kemudian digunakan bersama dengan persamaan Nernst (Note 12) : E E o RT / F ln H ,
Hubunganya misal, sel pH dengan konsentrasi ion hydrogen (termasuk efek dari ion sulfat), spesies konsentrasi terhadap total konsentrasi, dan konstanta equilibrium (lihat Annexe, tabel 1). Program komputer untuk menghitung total alkalinitas air laut sampel- atau sampel yang hanya mengandung sodium karbonat dalam sodium klorida background – dari data hasil titrasi ditunjukkan dalam Annexe pada prosedur ini. Program ini menggunakan pendekatan least-square non-linear dan secara detail menunjukkan bagaimana perhitungan pada persamaan dapat diimplementasikan.
Note 11 : hanya massa tambahan yang dijelaskan disini, meskipun demikian, agar hasilnya baik, volume dapat digunakan dalam persamaan selama keduanya digunakan bersama dengan konstanta equilibrium yang tertera pada volumetric basis. Note 12 : kebanyakan para investigator menggunakan kurva titrasi dari penentuan blank (lihat 8.3) untuk memastikan bahwa sepasang elektroda memiliki respon Nernst ( RT / F ). Meskipun demikian, nilai slope dan nilai
E o diperoleh dengan menyesuaikan hasil eksperimen yang
144
memiliki korelasi erat. Biasanya lebih baik melakukan verifikasi respon sepasang elektoda yang digunakan dengan buffer yang sesuai (SOP 6). Apabila tidak ada respond, maka sebaiknya elektroda tersebut diganti.
“
8.3. “B
”
”
-murni dalam larutan
sodium klorida yang digunakan untuk mengawetkan standar sodium karbonat. Data hasil titrasi, total konsentrasi sulfat, flourida, fosfat, borate, silikat dll di buat nol dan diasumsikan bahwa blank alkalinitas hanya disebabkan oleh spesies karbonat (Note 13). Hal ini penting untuk menggunakan konstanta equilibrium dan densitas yang sesuai dengan background media sodium klorida. Data dari titrasi media background itu sendiri (misal sodium klorida tanpa sodium karbonat) dapat digunakan untuk menghitung total alkalinitas media background. Meskipun demikian, lebih baik menggabungkan hasil dari titrasi ini dengan hasil titrasi lain yang berbeda level pada sodium karbonat nya dalam media background. (lihat penjelasan berikutnya).
8.4. Kalibrasi pada titran asam (Note 14) Total alkalinitas pada tiap titrasi kalibrasi larutan (termasuk larutan background tanpa penambahan sodium karbonat) diberikan dengan penjumlahan :
AT AT (blank ) dimana,
2m( Na2CO3 ) 1 x ………… 105.988 m Na2CO3 so ln
AT (blank ) adalah total alkalinitas dari larutan sodium klorida,
m( Na2CO3 ) adalah massa sodium karbonat yang digunakan untuk preparasi larutan, dan
Na2CO3 so ln
adalah total massa larutan yang dipreparasi
(terdapat 2 mol alkalinitas per mol sodium karbonat) Nilai pengukuran AT
(perhitungannya dengan mengasumsikan nilai yang
mendekati konsentrasi asam, C) sebaiknya, fungsi linear dari komponen alkalinitas dikontribusikan dengan sodium karbonat- bagian kedua dalam persamaan 8. This line disesuaikan dengan metode least-square (SOP 23). Slope sebaiknya menyatu/ tidak terpisah; the intercept/pemotong, alkalinitas media
145
sodium klorida background.
Apabila slope tidak sama dengan 1, maka
konsentrasi asam sebaiknya dikoreksi :
Ci 1 Ci / a dan keseluruhan perhitungan diulang hingga a 1 .
Note 13 : Hal ini tidak benar karena alkalinitas residu tidak dapat dihilangkan secara sempurna dengan pengasaman dan stripping menggunakan gas CO2 . Akan tetapi, error yang dihasilkan sangat kecil pada penerapan asumsi ini. Note 14 : hal ini penting untuk tidak memasukkan data pengukuran pada pHs lebih besar dari 8 karena untuk meminimalisir error yang diakibatkan oleh ion sodium pada elekroda gelas.
146
Lampiran 5
1.
Total Alkalinitas (TA) pada stasiun pengamatan
Samudera Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO). a. Section P10N
b. Section P08S
147
2.
Daerah ARLINDO. a. Stasiun Laut Banda
b. Stasiun Selat Ombai
148
3.
Samudera Hindia bagian timur (outlet ARLINDO) a. Menurut garis bujur (Longitud)
b. Menurut garis lintang (Latitud)
149
Lampiran 6
1.
Oksigen Terlarut (DO) pada stasiun pengamatan
Samudera Pasifik bagian barat (sumber ARLINDO). a. Section P10N
b. Section P08S
150
2.
Daerah ARLINDO. a. Stasiun Laut Banda
b. Stasiun Selat Ombai
151
3.
Samudera Hindia bagian timur (outlet ARLINDO) a. Menurut garis bujur (Longitud)
b. Menurut garis lintang (Latitud)
152
Lampiran 7 Singkatan AAMW AAIW AC ADCP ARLINDO CSIRO
Singkatan yang digunakan (AKRONIM) Bahasa Inggris
CTD
Australasian Mediterranean Water Antarctic Intermediate Water Agulhas Current Acoustic Doppler Current Profiler Indonesian Throughflow Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization Conductivity-Temperature-Depth
CFC DIC DOC ENSO GPS HE ICW IGBP
Chlorofluorocarbon Dissolved Inorganic Carbon Dissolved Organic Carbon El Niño - Southern Oscillation Global Positioning System Halmahera Eddy Indian Central Water International Global Change Programme
IIW INSTANT
Indonesian Intermediate Water International Nusantara Stratification and Transport Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow Intertropical Convergence Zone Indonesian Throughflow Intergouvernmental Panel of Climate Change Java Australia Dynamic Experiment Join Global Ocean Flux Study
INDOMIX ITCZ ITF IPCC JADE JGOFS KS LC LOICZ MC ME NEC NECC NGCUC NIW NICW NIIW NOAA NPCW NPIW NPSW OGCM OIW PGW SeaWiFS SEC SISW
Kuroshio Leeuwin Current Land Ocean Interaction in the Coastal Zone Mindanao Current Mindanao Eddy North Equatorial Current North Equatorial Couter Current New Guinea Coastal Undercurrent North Indian Water North Indian Central Water North Indian Intermediate Water National Oceanic and Atmospheric Administration North Pacific Central Water North Pacific Intermediate Water North Pacific Subtropical Water Ocean General Circulation Model Okhotsk Intermediate Water Persian Gulf Water Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor South Equatorial Current South Indian Subtropical Water
Bahasa Indonesia Air Mediterane Australia Air Ugahari Antartika Arus Agulhas Akustik Doppler Arus Profiler Arus Lintas Indonesia Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan Australia Conduktifitas-TemperaturKedalaman Klorofluorokarbon Karbon Anorganik Terlarut Karbon Organik Terlarut El Niño – Osilasi Selatan Sistem Posisi Global Pusaran Halmahera Air Hindia Pusat Program Internasional Perubahan Global Air Ugahari Indonesia Internasional Nusantara Stratifikasi dan Transpor Gelombang dalam dan Pengadukan di ARLINDO Konvergensi Zona Intertropikal ARLINDO Program Internasional Perubahan Iklim Percobaan Dinamis Jawa Australia Program Internasional Fluks Lautan Global Arus Kuroshio Arus Leeuwin Program Penelitan Interaksi Darat Laut di Wilayah Pesisir Arus Mindanao Pusaran Eddy Arus Utara Katulistiwa Arus balik Utara Katulistiwa Arus bawah Pantai New Guinea Air Hindia Utara Air Hindia Pusat Utara Air Ugahari Hindia Utara Lembaga Kelautan dan Atmosfer Amerika Air Pusat Pasifik Utara Air Ugahari Pasifik Utara Air Subtropis Pasifik Utara Model Sirkulasi Lautan Umum Air Ugahari Okhotsk Air Gulf Persia Satelit Multi Sensor Arus Katulistiwa Selatan Air Subtropis Hindia Selatan
153
S-JC STW SPCW SPSW SPSLTW TA TrOCA
Sumatra-Java Current South Indian Subtropical Water South Pacific Central Water South Pacific Subtropical Water South Pasific Subtropical Lower Thermocline Water Alkalinity Total Tracer combaining Oxygen, Inorganic Carbon, and total Alkalinity
WOCE
World Ocean Circulation Experiment
uCDW
upper Circumpolar Deep Water
Arus Jawa Sumatera Air Tropis Hindia Selatan Air Pusat Pasifik Selatan Air Subtropis Pasifik Selatan Air bawah Termoklin Subtropis Pasifik Selatan Total Alkalinitas Kombinasi Pelacak Oksigen, Karbon Anorganik, dan Total Alkalinitas Eksperimen Sirkulasi Samudera Dunia Air Dalam Sirkumpolar di Bagian Selatan
154
Tabel 2
STASIUN
P10N P08S St. Banda St. Ombai
STASIUN
H_I10
Karakteristik massa air di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO dengan konsentrasi CO2 antropogenik (CAnt) Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
10 – 50 10 – 50 5 – 75 1 – 50
26,58 – 29,21 28,47 – 29,38 27,95 – 28,05 28,00 – 28,15
33,90 – 35,06 33,57 – 34,37 33,98 – 33,96 33,47 – 33,50
NPSW ( = 24) (kg.m-3) CAnt -1
(µmol.kg ) 32,57 – 49,72 25,64 – 42,23 59,72 – 62,54 41,54 – 71,44
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
150 – 200 100 100 – 200
22,85 – 23,15 20,62 17,22 – 22,69
34,93 – 35,15 34,85 34,44 – 34,53
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3)
NPIW ( = 26,5) (kg.m-3) (µmol.kg )
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
61,00 – 55,40 41 62,24 – 55,85
300 – 400 250 – 350 300 – 450 200 – 350
7,07 – 10,16 9,91 – 11,24 8,79 – 11,81 9,38 – 11,70
34,11 – 34,54 34,43 – 34,50 34,55 – 34,58 34,51 – 34,54
3,42 – 7,77 2,74 – 7,19 12,42 – 31,00 18,48 – 24,14
CAnt -1
ITW ( = 26-26,80) (kg.m-3)
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
10 – 50
28,32 – 28,52
33,14 – 33,74
37,74 – 53,89
CAnt
CAnt
IIW ( = 27-27,50) (kg.m-3)
DEPTH (m)
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
DEPTH (m)
300 – 400
24,46 – 28,48
34,62 – 34,64
8,97 – 16,28
500 - 1200
CAnt
Temp o ( C)
SALINITAS (psu)
(µmol.kg-1)
4,93 – 7,86
34,60 – 34,62
3,21 – 6,84
CAnt
Tabel 4
STASIUN
P10N P08S St. Banda St. Ombai
STASIUN
H_I10
Konsentrasi CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan CO2 alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
10 – 50 10 – 50 5 – 75 1 – 50
1884,7 – 1957,9 1870 – 1933,4 1932,3 – 1942,3 1896,7 – 1964,8
(µmol.kg-1)
(µmol.kg )
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
32,57 – 49,72 25,64 – 42,23 59,72 – 62,54 41,54 – 71,44
1852,13 – 1908,18 1844,36 – 1891,17 1872,58 – 1879,76 1855,16 – 1893,36
CAnt -1
NPSW ( = 24) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
150 – 200 100 100 – 200
2027,2 – 2037 2044,9 2051,1 – 2126,1
Permukaan ( = 21-22) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
10 – 50
1996,9 – 1928,4
(µmol.kg-1)
(µmol.kg )
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
37,74 – 53,89
1959,16 – 1874,51
CAnt -1
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 55,40 – 61,00 41 55,85 – 62,24
NPIW ( = 26,5) (kg.m-3) CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
1981,6 – 1966,2 2003,9 1995,25 – 2063,86
DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
300 – 400 250 – 350 300 – 450 200 – 350
2216,6 – 2229 2154,9 – 2200,6 2202,5 – 2232,3 2163,1 – 2230,6
ITW ( = 26-26,80) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
300 – 400
2183,7 – 2213,4
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 8,97 – 16,28
CO2 Alamiah (µmol.kg-1) 2174,73 – 2197,12
(µmol.kg-1)
(µmol.kg-1)
CO2 Alamiah (µmol.kg-1)
3,42 – 7,77 2,74 – 7,19 12,42 – 31,00 18,48 – 24,14
2213,18 – 2221,23 2152,16 – 2193,41 2190,08 – 2201,30 2144,62 – 2206,46
CAnt
IIW ( = 27-27,50) (kg.m-3) DEPTH (m)
CO2 Kontemporer
500 - 1200
2232,4 – 2297,5
(µmol.kg-1)
CAnt -1
(µmol.kg ) 3,21 – 6,84
CO2 Alamiah (µmol.kg-1) 2229,19 – 2290,66