ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA
S
alah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Arlindo adalah aliran atau transpor massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia
melalui selat-selat di perairan Nusantara. Istilah padanannya dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Through Flow (ITF) . Namun instilah “Arlindo” itu sendiri (diintroduksi oleh Dr. Abdul Gani Ilahude, dari LIPI) sudah dikenal dan digunakan juga dalam literatur-literatur internasional. Arlindo merupakan massa air yang mengalir terutama pada lapisan termoklin (thermocline). Lapisan termoklin adalah lapisan dimana suhu pada kolom air turun cepat terhadap kedalaman. Lapisan ini terdapat pada kedalaman sekitar 75-200 m, tetapi dapat bervariasi pada lokasi dan musim yang berbeda.
Gambar 1. Arus hangat dan arus dingin dalam sistem Sabuk Penghantar Samudra Raya (The Great Ocean Conveyor Belt)
1
Ada beberapa alasan mengapa Arlindo mendapat perhatian dunia. Alasan pertama, perairan laut di Indonesia merupakan satu-satunya jalur yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia di lintang rendah atau di daerah tropis. Arus yang melewati selat-selat di Indonesia berarti harus melewati koridor sempit dan karenanya merupakan titik-titik hambat (choke points) yang sangat menentukan dan mempengaruhi sirkulasi samudra raya yang dikenal sebagai Sabuk Penghantar Samudra Raya (the Great Ocean Conveyor Belt) (Gambar 1). Sistem sirkulasi global ini dapat digambarkan bagaikan sabuk berjalan (conveyor belt) yang menghantarkan bahang (heat) yang mengalirkan air hangat di permukaan yang berlanjut dengan aliran air dingin di lapisan dalam di samudra raya bumi ini dalam satu sistem yang berterusan (continuous). Sistem sirkulasi yang sangat besar ini akan sangat menentukan iklim global. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, massa air hangat di permukaan yang mengalir ke Samudra Atlantik Utara akan menjadi berat karena penguapan dan pendinginan yang kuat hingga massa air itu tenggelam ke lapisan dalam pada kedalaman sekitar 1.000-2.000 m. Air dingin di lapisan dalam ini kemudian mengalir dan menyebar ke timur, sebagian masuk ke Samudra Hindia bagian selatan dan sebagian lagi terus ke timur memasuki bagian selatan Samudra Pasifik. Dari sini massa air dingin ini akan melanjutkan penyebarannya ke seluruh Samudra Pasifik. Lewat proses penaikan air, arus ini kemudian mengalir naik ke atas kemudian mengalami penghangatan. Dalam perjalanannya air hangat ini kemudian melalui jalur sempit di selat-selat Indonesia sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) yang selanjutnya ke Samudra Hindia sampai ke bagian timur Afrika, dan dari situ lalu kembali lagi ke Samudra Atlantik. Demikianlah sirkulasi global itu berjalan. Jadi jelaslah terlihat bahwa selat-selat di Indonesia merupakan koridor yang sangat menentukan atau sangat berpengaruh dalam berfungsinya sistem sirkulasi global itu. Oleh karenanya pemahaman akan proses-proses yang terjadi di koridor sempit itu sebagai Arlindo menjadi sangat penting artinya dalam kajian oseanografi global. Alasan kedua, Arlindo mempunyai karaterisktik yang sangat terkait dengan fenomena besar alami yang terjadi di bumi ini seperti El Nino dan La Nina (Gambar 2). Kedua fenomena besar itu merupakan gabungan (coupling) proses-proses dinamika atmosfer dan samudra yang dipicu oleh terjadinya perubahan atau anomali iklim di Samudra Pasifik. Apabila El Nino terjadi maka Indonesia akan dilanda kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan yang meluas dan kegagalan panen yang akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Namun pada saat yang sama perairan di selatan Jawa dan Sumatra baik untuk nelayan, sementara di utara Papua ikan tuna berpindah ke Samudra Pasifik. Sebaliknya La Nina akan 2
menyebabkan hujan yang berlebihan yang mengakibatkan bencana banjir, longsor, dan berbagai kerusakan lingkungan. Namun di perairan Maluku-Halmahera dan utara Papua ikan tuna akan melimpah. Oleh sebab itu para ilmuwan tertantang untuk memahami bagaimana jalinan segala keterkaitan itu dengan harapan akan dapat membantu dalam peramalan atau prakiraan datangnya El Nino atau La Nina untuk antisipasi mitigasi bencana dan di lain pihak memetik manfaat yang potensial dalam perikanan.
Gambar 2. Rerata bulanan suhu permukaan laut (oC) pada saat terjadinya La Nina (atas) , keadaan normal (tengah) dan El Nino (bawah). (www.pmel.noaa.gov) Alasan ketiga, Arlindo dengan segala variasinya akan mempengaruhi ekosistem perairan laut Indonesia yang pada gilirannya sangat menentukan potensi sumberdaya hayati termasuk perikanan. Oleh karena itu pemahaman akan dinamika Arlindo diharapkan akan dapat membantu upaya pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan ini. Masalah dinamika Arlindo ini sebenarnya mulai terdeteksi dari hasil Ekspedisi Snellius I (1929-1930) di kawasan timur Indonesia yang antara lain telah memberikan gambaran bahwa lubuk-lubuk (basin) dan palung-palung (trench) di kawasan ini lebih terbuka ke arah Samudra 3
Pasifik dari pada ke Samudra Hindia. Oleh karenanya cekungan-cekungan laut-dalam itu mendapatkan penyegaran atau ventilasi dari sumber air yang berasal dari Samudra Pasifik yang alirannya dibatasi oleh kedalaman ambang (sill depth), yakni kedalaman terdangkal yang menuju ke suatu lubuk atau palung. Namun barulah Wyrtki (Direktur Lembaga Penelitian Laut, Pasar Ikan, Jakarta, 1954-1957) dalam publikasi monumentalnya Naga Report (1961), yang menganalisis data-data oseanografi perairan Asia Tenggara, sampai pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan tinggi muka laut antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Tingginya muka laut di Samudra Pasifik tak lepas dari fenomena interaksi samudra dan atmosfer di samudra ini.
Gambar 3. Beberapa kapal dari berbagai negara terlibat dalam kajian Arlindo antara lain: Baruna Jaya IV (BPPT, Indonesia). Baruna Jaya VIII (LIPI, Indonesia), Marion Dufresne (Perancis), Franklin (Australia). Muka laut di pantai Indonesia yang berbatasan dengan Samudra Pasifik seperti di Kepulauan Talaud, Halmahera dan utara Papua ternyata lebih tinggi dari pada muka laut yang berbatasan dengan Samudra Hindia seperti di pesisir selatan Jawa, Bali, Lombok hingga Sumbawa. Perbedaan tinggi muka laut inilah yang menjadi pendorong utama terjadinya Arlindo yakni mengalirnya air dari permukaan yang lebih tinggi (Samudra Pasifik) ke yang lebih rendah (Samudra Hndia). Tetapi aliran itu harus melalui selat-selat dan lubuk-lubuk di Indonesia yang topografinya sangat kompleks. Ada selat yang sangat sempit dan dalam, ada pula lubuk yang 4
melebar. Semua ini
mempengaruhi bahkan menentukan selat atau jalur mana yang harus
ditempuh dan besarnya transpor air yang dapat disalurkan menuju ke Samudra Hindia. Ternyata Arlindo bukanlah hal yang sederhana seperti diperkirakan semula. Masalah Arlindo ini baru mendapatkan perhatian besar sejak pertengahan tahun 1980-an seiring dengan perkembangan iptek dan lingkungan. Berbagai negara mengulurkan kerjasama dengan Indonesia untuk mengkaji masalah yang bisa berdampak global ini. Banyak ekspedisi oseanografi yang telah dilaksanakan, baik yang terkait langsung maupun yang tak langsung dengan Arlindo. Penelitian Arlindo dilaksanakan antara lain dengan kapal-kapal riset modern, baik yang dikelola oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) seperti kapal Baruna Jaya I sampai dengan Baruna Jaya IV, maupun kapal-kapal LIPI (Lembaga Ilmu Pengeahuan Indonesia) seperti Baruna Jaya VII dan Baruna Jaya VIII. Selain itu Perancis juga mengerahkan kapal riset terbesarnya Marion Dufresne, Australia dengan kapal riset Franklin yang bekerja di perairan sekitar Australia yang diperkirakan akan menerima dampak dari Arlindo. Amerika sendiri tidak membawa kapal risetnya, tetapi ikut mendanai operasi kapal-kapal riset Indonesia dan melibatkan tenaga-tenaga ahlinya. Kerjasama di kawasan ASEAN juga berkembang. Pada dasarnya kajian Arlindo menjadi kegiatan kerjasama oseanografi internasional. Selain dengan pengerahan kapal-kapal riset, dilakukan pula perekaman data oseanografi dengan menggunakan tambatan laut-dalam (deep-sea mooring) yakni seuntai alat ukur yang ditambatkan ke jangkar di dasar laut (Gambar 4), yang diposisikan di selat-selat yang dianggap strategis. Alat ini dapat merekam
data
oseanografi
secara
berterusan
(continuous) hingga setahun atau lebih sesuai yang diprogramkan. Pada akhir program, alat ini dapat ditarik kembali, dan data oseanografi yang telah direkam dapat diolah lebih lanjut. Di samping itu digunakan pula teknologi satelit untuk mengkaji sebaran suhu permukaan dan topografi muka laut. Banyak hasil-hasil kajian Arlindo yang telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah, atau disampaikan dalam berbagai seminar dan simposium terkait. Dari banyak kajian itu dapat diperoleh
5
Gambar 4. Sistem tambatan lautdalam (deep-sea mooring) untuk merekam data di bawah permukaan laut secara berterusan (continuous)
gambaran umum bahwa massa air dari Samudra Pasifik yang masuk ke perairan Indonesia ada yang bersumber dari Pasifik Utara dan ada pula dari Pasifik Selatan. Sebagian besar massa air Pasifik itu masuk melalui Selat Makassar yang kemudian menuju Selat Lombok dan selanjutnya ke Samudra Hindia. Sebagian lainnya berbelok ke timur masuk ke Laut Banda, yang kemudian berputar ke selatan dan keluar ke Samudra Hindia lewat Selat Ombai dan Celah Timor (Gambar 5).
Gambar 5. Jalur dan transpor air Arlindo dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia lewat selatselat di Indonesia. Total transpor air diperkirakan sekitar 10 Sv (1 Sv/ Sverdrup = 1 juta m3/detik), yang terbesar adalah yang lewat Selat Makassar, sekitar 8 Sv. (Gordon, 2005) Jalur lain dari Samudra Pasifik ada pula yang lewat Laut Maluku yang kemudian melalui selat yang sangat sempit, Selat Lifamatola, yang terletak antara Pula Obi dan Pulau Mangole, di sebelah barat-laut Pulau Seram. Oleh karenanya selat ini merupakan salah satu titik hambat yang sangat genting dalam pengaliran massa air dari Samudra Pasifik. Jalur koneksi dengan Samudra Pasifik lewat Selat Torres di selatan Papua ternyata tidak efektif karena selat ini sangat dangkal.
6
Di lapisan permukaan Arlindo ini bisa terselubung oleh adanya Arus Musim (Monsun) yang arahnya bergantung musim. Pada musim barat misalnya arus permukaan di Laut Jawa mengalir ke timur, ke arah Laut Flores, sebaliknya pada musim timur air permukaan dari Laut Flores mengalir ke Laut Jawa (Gambar 5). Besarnya aliran Arlindo ini tidaklah tetap, tetapi mengalami variasi, baik variasi musiman maupun variasi tahunan. Terjadinya El Nino dan La Nina di Samudra Pasifik akan memberikan pengaruh yang nyata pula pada intensitas aliran Arlindo. Pada saat terjadinya El Nino, intensitas aliran Arlindo melemah, dan sebaliknya terjadi pada saat La Nina. Kajian Gordon (2005) memberikan indikasi umum bahwa Arlindo ini mengalirkan massa air ke Samudra Hindia dengan total sekitar 10 Sv (1 Sv dibaca: 1 Sverdrup = 1 juta m3/detik), dengan kisaran antara 8-14 Sv (Gambar 5). Ternyata pula sekitar 70-80 % dari seluruh Arlindo itu lewat Selat Makassar, yakni sekitar 8 Sv. Selanjutnya yang lewat Selat Lombok sekitar 1,7 Sv, Selat Ombai 4,5 Sv dan Celah Timor 4,3 Sv. Sementara itu aliran yang lewat Selat Lifamatola berkisar sekitar 1,5 Sv. Arlindo yang telah masuk ke Samudra Hindia akan mempengaruhi pula Arus Katulistiwa Selatan yang mengalir di selatan Jawa bahkan juga Arus Leeuwin yang membasuh pantai barat-laut Australia. Kajian Arlindo masih menyisakan berbagai masalah. Masih banyak detail proses dan keterkaitannya dengan berbagai bidang belum terungkap secara tuntas. Berbagai studi pemodelan dikembangkan yang diharapkan dapat membantu dalam prakiraan perubahan iklim. Menanggapi kompleksitas masalah Arlindo, maka pada tahun 2003 dikembangkan program INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) yang melibatkan Indonesia (BPPT), Australia (CSIRO), Amerika Serikat (Scripps Institute of Oceanography, Lamont Doherty Earth Observatory of Columbia University), Perancis (University of Pierre and Marie Curie) dan Belanda (Netherlands Institute of Sea Research). Kerjasama ini antara lain bertujuan untuk menelusuri lebih lanjut variasi-variasi musiman dan tahunan Arlindo dan bagaimana sistem monitoring jangka panjangnya yang cost-effective yang diharapkan dapat memberi masukan dalam peramalan perubahan iklim ke depan.
PUSTAKA
Debra, T. 2011. Physical oceanography of the present day Indonesian Throughflow. Geological Society, London, Special Publication, 355: 267-281. Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow. Oceanography 18 (4): 14-27. 7
Gordon, A. L., R. D. Susanto & K. Vranes. 2003. Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted surface layer flow. Nature, 425: 824-828. Gordon, A.L., C. F. Giulivi & A. G. Ilahude. 2003. Deep topographic barriers within the Indonesian seas. Deep-Sea Research II. 50: 2205-2228. Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters. NAGA Report vol. 2. The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, Clifornia: 195 pp. Wyrtki, K. 2005. Discovering the Indonesia Through Flow. Oceanography, 18 (4): 28-29.
----Anugerah Nontji 22/07/2017
8