334
Arief Suryantoro / Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El Niño/La Niña, PDO dan Arlindo
Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El-Niño/La-Niña, PDO dan ARLINDO Arief Suryantoro
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) - LAPAN Jalan Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173 e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak – Fokus utama pembahasan dalam makalah ini adalah upaya untuk mengetahui karakteristik curah hujan di Makassar dan Ambon terkait dengan perilaku suhu permukaan laut di Benua Maritim Indonesia, di Samudera Hindia dan Pasifik, yang diwakili oleh ARLINDO, IOD, El Niño / La Niña, dan PDO. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, curah hujan di Makassar menunjukkan pola monsunal. Puncak curah hujan terjadi di bulan Januari (668 mm), terendah pada bulan Agustus (8 mm). Sedang curah hujan di Ambon menunjukkan pola lokal, dengan puncak curah hujan terjadi di bulan Juni (568 mm) dan terendah pada bulan Nopember (78 mm). Korelasi terbaik antara curah hujan di Makassar: dengan IOD terjadi pada tahun 1994 ( r = -0,83), dengan El Niño / La Niña terjadi pada tahun 2008 (r = 0,89), dan dengan PDO terjadi pada tahun 2008 ( r = -0,89). Kata kunci: karakteristik hujan, IOD, PDO, ARLINDO.
Abstract – The main focus of the discussion in this paper is to investigate the characteristics of rainfall in Makassar and Ambon related to the behavior of sea surface temperature in Indonesian Maritime Continent, in the Indian Ocean and the Pacific, which is represented by Arlindo, IOD, the El Niño / La Niña, and PDO. The obtained results show that rainfall in Makassar indicates a monsoonal pattern, with the peak rainfall occurs in January (668 mm) and the lowest is in August (8 mm). While moderate rainfall in Ambon shows a local pattern, with peak rainfall occurs in June (619 mm) and the lowest is in November (78 mm). The best correlation between rainfall in Makassar: with IOD was occurred in 1994 (r = -0.83), with El Niño / La Niña was occurred in 2008 (r = -0.89), and with PDO was occurred in 2008 (r = -0.89). Keywords: rain characteristic, IOD, PDO, ARLINDO. I. PENDAHULUAN Hujan merupakan salah satu variabel yang paling penting, yang menjadi ciri iklim suatu wilayah, termasuk juga di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) pada umumnya, dan wilayah Bandara Hasanudin Makassar serta Bandara Patimura Ambon, pada khususnya. Terdapat tiga pola utama curah hujan di wilayah BMI ini, yang dikenal sebagai pola monsunal (daerah A), pola equatorial (daerah B) dan pola lokal (daerah C), [1]. Pola monsunal (daerah A di BMI) ini meliputi sebagian Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang berada di selatan garis khatulistiwa, serta seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara Timur. Pola equatorial (daerah B di BMI) ini meliputi sebagian Sumatera dan Kalimantan, yang berada di utara garis khatulistiwa, serta sebagian wilayah lautan di sebelah utara Sulawesi ke timur sampai wilayah lautan di utara Papua. Sedang pola lokal (daerah C di BMI) ini meliputi sebagian Sulawesi utara dan sebagian Maluku. Dalam penelitian ini dipilih dua daerah, yaitu Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dan Bandara Patimura Ambon (03,42 °LS; 128,05 °BT) sebagai wakil daerah di BMI yang masing-masing memiliki pola utama curah hujan monsunal (Makassar) dan pola utama curah hujan lokal (Ambon), dengan alasan ke dua pola utama curah hujan ini secara temporal (waktu terjadinya puncak hujan maksimum maupun
lembah hujan minimum dalam setiap tahunnya) hampir selalu berkebalikan. Bagaimana perilaku curah hujan di BMI pada umumnya, dan di wilayah Bandara Hasanudin Makassar dan Bandara Patimura Ambon sebagai wakil daerah di BMI yang masing-masing memiliki pola utama curah hujan monsunal (Makassar) dan pola utama curah hujan lokal (Ambon) pada khususnya terkait dengan perilaku suhu muka laut di BMI, Samudera Hindia dan Pasifik Tropis merupakan pertanyaan penelitian yang ingin diketahui dan ingin dicari jawabannya. Sebagaimana diketahui, fenomena yang mempengaruhi iklim di Indonesia adalah (a). El Niño dan La Niña, (b). Dipole Mode, (c). Sirkulasi Monsun Asia – Australia, (d). Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone / ITCZ), (e). Suhu Permukaan Laut di Wilayah Indonesia, [2]. Dalam penelitian ini, identifikasi keterkaitan perilaku suhu muka laut di BMI, Samudera Hindia dan Pasifik Tropis dengan perilaku curah hujan di Makassar dan Ambon ini dibatasi pada empat fenomena fisis (oseanografis-meteorologis) yang terdiri dari bagian arus laut dari Samudera Hindia menuju Samudera Hindia yang melintasi wilayah BMI, yang dikenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia), fenomena penjalaran kolam hangat di Samudera Hindia Tropis di sebelah timur Afrika dan barat Sumatera secara periodik dikenal sebagai Indian Ocean Dipole (diwakili oleh data IOD),
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Arief Suryantoro / Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El Niño/La Niña, PDO dan Arlindo
II. METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan curah hujan daerah Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dan daerah Bandara Patimura, Ambon (03,70°LS, 128,08°BT) perioda pengamatan 30 tahun ( Januari 1981 – Desember 2010). Sumber data di atas adalah BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Jakarta. Data berikutnya adalah data suhu muka laut bulanan daerah Samudera Hindia (sebelah timur Afrika dan sebelah barat Sumatera) yang dinyatakan dalam bentuk indeks IOD, data suhu muka laut bulanan daerah Samudera Pasifik yang dinyatakan dalam bentuk indeks ONI, dan data suhu muka laut bulanan daerah Samudera Pasifik yang dinyatakan dalam bentuk indeks PDO, semuanya pada perioda pengamatan Januari 1981–Desember 2010. Sumber data IOD adalah http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod. Akses 31 Maret 2014 [3]. Sumber data indeks ONI adalah http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitor ing/ensostuff. Akses 4 April 2014 [4]. Sumber data indeks PDO adalah http://jisao.washington.edu/pdo. Akses 24 Maret 2014 [5]. Dari deret waktu data curah hujan dan indeks IOD, ONI dan PDO ini dikorelasikan, baik secara simultan maupun secara waktu tunda (lag time) sehingga diperoleh gambaran keterkaitan antara variabilitas curah hujan di Makassar dan Ambon dengan suhu muka laut di Samudera Hindia dan Pasifik Tropis yang merupakan salah satu wilayah yang dominan dalam mempengaruhi variabilitas ikim di Indonesia. Sedang sebagian hasil kajian dalam pustaka [1] yang membahas keterkaitan antara variabilitas curah hujan di Makassar dan Ambon
dengan Arlindo dan sebagian hasil kajian dalam pustaka [6] yang membahas karakteristik massa dan arus air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia mengalir terutama melalui Selat Makassar dengan sebagian kecil mengalir melalui Laut Maluku juga digunakan sebagai acuan untuk konteks yang sama dalam penelitian ini. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pola rata-rata bulanan curah hujan (mm) dalam rentang pengamatan Januari 1981–Desember 2010 untuk wilayah Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dan Bandara Patimura Ambon (03,42 °LS; 128,05 °BT) masing-masing disajikan dalam Gambar 1 dan Gambar 2. Pola Rata-rata Bulanan Curah Hujan Makassar (05,04 LS; 119,33 BT) 1981-2000 y = -0.0151x6 + 0.589x5 - 8.6994x4 + 61.413x3 - 200.58x2 + 123.09x + 692.68
800
668
700 600
562
Akumulasi hujan (mm)
511
500 400
325
300
311
249
200
126
100 0
jan
feb
mar
apr
mei
66
36
jun
jul
Waktu (bulan)
8
ags
14 sep
97 okt
nop
des
Gambar 1. Curah hujan bulanan (mm) Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dalam rentang 1981-2010. Pola rata-rata bulanan curah hujan (mm) Bandara Patimura Ambon (03,42 LS; 128,05 BT) 1981-2010 y = -0.0627x6 + 2.4678x5 - 36.528x4 + 250.88x3 - 804.78x2 + 1127.9x - 384.98 568
600
496
500
Akumulasi Hujan (bulanan)
fenomena penjalaran kolam hangat di Samudera Pasifik Tropis (dari bagian timur ke tengah, sampai ke barat) secara periodik dikenal sebagai El-Niño dan La-Niña (diwakili oleh data ONI) dan fenomena di samudera Pasifik yang bersama-sama dengan El Niño-Southern Oscillation (ENSO) memodulasi keadaan rata-rata suhu permukaan laut dan sirkulasi atmosfer tropis pada skala waktu dari 20 tahun dan lebih lama, yang dikenal sebagai fenomena Pacific Decadal Oscillation (diwakili oleh data PDO). Dari hal-hal tersebut di atas, maka analisis variabilitas curah hujan Benua Maritim Indonesia (BMI) pada umumnya, dan wilayah Makassar dan Ambon pada khusunya serta identifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhinya merupakan hal yang menarik untuk dilakukan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik curah hujan di BMI pada umumnya dan menelusuri faktor utama penyebab terjadinya variabilitas curah hujan yang tinggi, baik secara spasial maupun temporal. Adapun sasaran (tujuan jangka pendek) yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diketahuinya keterkaitan antara fenomena Arlindo, IOD, ENSO dan PDO yang diduga sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya ragam variabilitas curah hujan dengan perilaku curah hujan di daerah Makassar dan Ambon tersebut.
335
390
400
387
300 200
154
150
100 0
jan
feb
205
191
135
mar
119
apr
mei
jun
jul
Waktu (bulan)
ags
sep
okt
150 78
nop
des
Gambar 2. Curah hujan bulanan (mm) Bandara Patimura Ambon (03,42 °LS; 128,05 °BT) dalam rentang 1981-2010.
Anomali hujan tahunan (mm) untuk daerah yang sama (Bandara Hasanudin Makassar dan Bandara Patimura Ambon) dan korelasinya dengan beberapa fenomena penting di Samudera Hindia dan Pasifik Tropis yang mempengaruhi perilaku curah hujan ke dua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini (Makassar dan Ambon) yang terdiri dari fenomena Indian Ocean Dipole (IOD), ElNiño/La-Niña, serta Pacific Decadal Oscillation (PDO). Secara lebih rinci dapat diungkapkan bahwa IOD adalah penjalaran kolam hangat di Samudera Hindia Tropis di sebelah timur Afrika dan barat Sumatera secara periodik (Indian Ocean Dipole, diwakili oleh data IOD), fenomena penjalaran kolam hangat di Samudera Pasifik Tropis (dari bagian timur ke tengah, sampai ke barat) secara periodik (El-Niño dan La-Niña, diwakili oleh data ONI) dan fenomena di samudera Pasifik, yang bersamasama dengan El Niño-Southern Oscillation (ENSO) memodulasi keadaan rata-rata suhu permukaan laut dan sirkulasi atmosfer tropis pada skala waktu dari 20 tahun dan lebih lama yang dikenal sebagai fenomena Pacific Decadal Oscillation (diwakili oleh data PDO). Ke tiga fenomena oseanografis ini (IOD, El-Niño / La-Niña, dan PDO) disajikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Arief Suryantoro / Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El Niño/La Niña, PDO dan Arlindo
336
Anomali Hujan Tahunan (mm) Makassar (05,04 LS; 119,33 BT) dan Korelasinya dengan IOD, Nino 3.4 serta PDO dalam rentang pengamatan 1981-2010 koef-korel-hujan-iod
1.00
Koef Korelasi hujan dengan IOD, Nino 3.4 dan PDO (kiri) Anomali Hujan Tahunan (mm); (kanan)
0.80
koef-korel-hujan-nino
koef-korel-hujan-pdo
0.73
0.60
0.54
0.40 0.33 0.20 0.00
0.42
-0.31 -0.40 -0.31 -0.37 -0.38 -0.39 -0.37 -0.38 -1172 -0.50 -1269 -0.60 -0.56-0.56 -0.60-0.60 -0.60 -1624 -1868 -0.80 -1.00
0.40 0.40 0.34
0.32
0.27
286
165
-0.03 -0.03 -40
-0.07 -495
4000 3000
0.57 0.42
1546
-0.20
anomali hujan tahunan
3175
-370
-0.26 -0.26 -543 -0.34
-0.32 -0.32 -0.47
-0.49 -0.49 -0.55
-0.66 -0.66
-0.56-0.56
-0.84 -0.84
340
-607
-0. 47
-0.19 -0.39 -0.40 -0.40 -0.40
-0.59-0.59
-0.83
0.13
563
-546
-0.86 -0.86
-0.39
-0.52
-0.64 -0.64
-701
-250
-0.32 -0.32
-0.59 -0.59
-0.72 -0.72
1000
259
-0.06
-0. 80 -0.80
2000
0.34 0.34
0.27
1326
0.00
-16 -537
2094
1879
0.32 0.32 1304
-595 -0.17 -0.22 -0.22
0
-468 -0.29 -660
-1000
-1186 -0.69 -0.69
-0.73-0.75 -0.75
-0.64
-2000
-0.87 -0.87 -0.89 -0.89
-3000
Gambar 3. Anomali hujan tahunan (mm) Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dan korelasinya dengan IOD, Nino 3.4 dan PDO dalam rentang 1981-2010. Waktu (tahun)
Anomali Hujan Tahunan (mm) Bandara Patimura Ambon (03,42 LS; 128,05 BT) dan Korelasinya dengan IOD, Nino 3.4 serta PDOdalam rentang pengamatan 1981-2010
Koef Korelasi hujan dengan IOD, Nino 3.4 dan PDO (kiri) Anomali Hujan Tahunan (mm); (kanan)
koef-korel-hujan-iod
0.80
0.20 0.00 -0.20 -0.40 -0.60 -0.80
2154
0.70 0.62
0.60 0.40
koef-korel-hujan-nino
koef-korel-hujan-pdo
1.00
0.44
0.34 0.130.12 0.16 307 86 -0.25
-0.20 -0.43 -787
890
-0.20
0.58
0.37
0.45
0.24 673
-0.07 -0.04 -0.07 -0.14 -388 -0.16 -0.21 -0.18 -0.29
-0.53
-0.41 -0.47-706
57
-0.59
0.75
0.63 0.58
0.39
81
-0.54
anomali hujan tahunan 0.84
0.70
0.69
0.51 0.41 0.390.38 1084
0.240.26
-98
-0.04 -274-0.11
885
0.06 0.05 -0.05
-723
-0.05
-0.18 -0.20 -0.26
-616
-0.17-0.20 -0.20 -0.24 -0.33 -607 -0.47
-0.19
-904
-631
-0.54 -0.60 -1131 -0.66
2000
0.64 0.55
0.51 0.53 0.43 0.37 0.35 0.27 0.24
0.42
2500
2286
0.76
0.69
1629
259
114
1091
0.11 0.05
-0.05
-0.30
-717
-0.62
1000 500
-0.08 -0.14 -0.21
-309
1500
-0.38
0 -500 -1000 -1500
Gambar 4. Anomali hujan tahunan (mm) Bandara Patimura Ambon (03,42 °LS; 128,05 °BT) dan korelasinya dengan IOD, Nino 3.4 dan PDO dalam rentang 1981-2010. Waktu (tahun)
Fenomena oseanografis lain yang berupa Indonesian Throughflow (ITF) atau Arus Laut Indonesia (Arlindo) dan sirkulasi thermohalin, yang menghubungkan karakteristik massa dan arus air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia mengalir terutama melalui Selat Makassar dengan sebagian kecil mengalir melalui Laut Maluku, yang terdapat dalam pustaka [6] yang diacu dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 5 dan Gambar 6 berikut.
Gambar 5. Sirkulasi Arlindo (arus lintas Indonesia) atau ITF (Indonesia Through Flow), [6].
Gambar 6. Sirkulasi Thermohaline, [6].
B.
Pembahasan Dari Gambar 1 dan Gambar 2 di atas secara umum dapat diungkapkan bahwa curah hujan di daerah Bandara Hasanudin Makassar (05,04 °LS; 119,33 °BT) dalam rentang pengamatan 30 tahun (Januari 1981 sampai Desember 2010) memang memiliki satu puncak dan satu lembah akumulasi hujan dalam setiap tahunnya, masingmasing terjadi pada bulan Januari dengan puncak akumulasi 668 mm dan pada bulan Agustus dengan lembah akumulasi hujan sebesar 8 mm, (Gambar 1). Pola hujan seperti Gambar 1 ini dikenal sebagai pola monsunal. Fenomena monsun Asia yang membawa banyak uap air saat melintasi wilayah BMI, yang terjadi pada perioda DJF (Desember, Januari, Februari) diduga sebagai fenomena yang paling kuat pengaruhnya dalam pola hujan di Makassar ini. Di sisi lain, untuk wilayah Bandara Patimura Ambon (03,42 °LS; 128,05 °BT) dalam rentang pengamatan 30 tahun (Januari 1981 sampai Desember 2010) juga memiliki satu puncak akumulasi hujan dan lembah akumulasi hujan dalam setiap tahunnya, masing-masing terjadi pada bulan Juni dengan akumulasi 568 mm dan pada bulan Nopember dengan akumulasi lembah hujan 78 mm (Gambar 2). Pola hujan seperti Gambar 2 ini dikenal sebagai pola lokal. Pola curah hujan monsunal adalah salah satu pola curah hujan yang terdapat di Indonesia yang memiliki puncak intensitas curah hujan bulanan satu kali dalam satu tahun (uni moda) yang terjadi pada bulan-bulan Desember, Januari atau Februari. Pada pola monsunal ini intensitas curah hujan bulanan minimum juga terjadi satu kali dalam satu tahun yang terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli atau Agustus. Sedang pola curah hujan lokal adalah salah satu pola curah hujan yang memiliki puncak intensitas curah hujan bulanan juga satu kali dalam satu tahun (uni moda) tetapi terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli atau Agustus, dan intensitas curah hujan bulanan minimum juga terjadi satu kali dalam satu tahun, yaitu terjadi pada bulan Desember, Januari atau Februari, [7]. Dari Gambar 3 di atas terlihat bahwa secara umum curah hujan di daerah Bandara Hasanudin Makassar dengan fenomena oseanografis IOD, El Niño – La Niña, dan PDO memiliki korelasi negatif sepanjang perioda Januari – Desember 2010. Korelasi terbaik (r = - 0,83) antara curah hujan di Makassar dan fenomena oseanografis IOD terjadi pada tahun 1994, sedang korelasi terbaik (r = - 0,89) antara curah hujan di Makassar dan fenomena oseanografis El Niño – La Niña, dan PDO terjadi pada tahun 2008. Sedang dari Gambar 4 di atas terlihat bahwa secara umum curah hujan di daerah Bandara Pattimura Ambon dengan fenomena oseanografis IOD, El Niño – La Niña, dan PDO memiliki korelasi negatif dan korelasi postif yang seimbang (hampir sama jumlah kejadiannya) sepanjang perioda Januari – Desember 2010. Korelasi terbaik antara curah hujan di Ambon dan fenomena oseanografis IOD terjadi pada tahun 1983 (r = 0,70), sedang korelasi terbaik antara curah hujan di Makassar dan fenomena oseanografis El Niño – La Niña terjadi pada tahun 1993 (r = 0,84); dan korelasi terbaik antara curah hujan di
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Arief Suryantoro / Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El Niño/La Niña, PDO dan Arlindo
Makassar dan fenomena oseanografis PDO terjadi pada tahun 1990 (r = 0,75). Variabilitas iklim skala waktu dekadal (≈ 10 tahun) yang didorong oleh anomali suhu muka laut di Pasifik utara disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO). PDO dibedakan oleh fase hangat dan dingin, yaitu, periode skala dekadal ketika suhu muka laut di Pasifik utara dekat pantai Amerika Utara lebih hangat daripada rata-rata (fase hangat) atau lebih dingin dari rata-rata (fase dingin). Untuk abad kedua puluh fase PDO didefinisikan sebagai berikut : tahun-tahun sebelum 1925 sebagai fase dingin; antara tahun 1925 = 1946 sebagai fase hangat; antara tahun 1947 = 1976 sebagai fase dingin (kembali); dan tahun-tahun sesudah 1977 sebagai tahap pemanasan, [8, 9]. Pengaruh PDO terhadap perilaku curah hujan juga dialami di berbagai wilayah yang berada di sekitar Samudera Pasifik, di luar wilayah Benua Maritim Indonesia. Misalnya, sebagaimana diungkapkan dalam pustaka [10], bahwa Pacific Decadal Oscillation (PDO), juga dikenal sebagai Inter-Decadal Pacific Oscillation atau IPO) merupakan fenomena di samudera Pasifik, yang bersama-sama dengan El Niño-Southern Oscillation (ENSO) memodulasi keadaan rata-rata suhu permukaan laut dan sirkulasi atmosfer tropis pada skala waktu dari 20 tahun dan lebih lama. Pergeseran iklim di 1976-1977 terkait dengan evolusi perubahan di El Niño, menunjukkan adannya kecenderungan lebih lama dan lebih kuat El Niño, [11] dari [10]. Sebagaimana diketahui, ENSO memiliki dampak global pada sirkulasi atmosfer, curah hujan dan temperatur, [12] dari [10]. ENSO juga berkaitan dengan pergeseran timur-barat curah hujan Pasifik tropis, dan dengan modulasi zona konvergensi tropis utama. Selain itu, ENSO juga berhubungan dengan gangguan seperti gelombang ke sirkulasi atmosfer di luar daerah tropis, yang mempengaruhi pembentukan pola iklim utama di Amerika Pasifik Utara (PNA: Pacific–North American) maupun Amerika Pasifik Selatan (PSA: Pacific–South American). Mengapa pola curah hujan lokal memiliki bentuk seperti terdapat pada Gambar 2 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. SST (Sea Surface Temperature) di wilayah Maluku ditentukan terutama oleh kondisi di atas kolam hangat. Selama musim hujan (perioda NDJFM: Nopember, Desember, Januari, Februari, Maret) posisi matahari di belahan bumi selatan. ITF (Indonesian Through Flow, Gambar 5) membawa air dingin dari kolam hangat ke Laut Maluku, [13] dan [14] dari [1]. SST dingin ini menghambat pembentukan zona konvektif. Di sisi lain, selama musim kemarau (perioda MJJAS: Mei, Juni, Juli, Agustus, September), SST hangat meningkatkan zona konvektif. Oleh karena itu, kita memperoleh puncak hujan pada bulan Mei-Juli dan palung hujan pada bulan Oktober-Januari. Selain adanya ITF, fenomena oseanografis di wilayah lautan di sekitar wilayah Maluku yang diduga memberikan pengaruh kuat terhadap pola curah hujan utama lokal (memiliki satu puncak di Juni-Juli dan satu palung di NovemberFebruari) adalah adanya sirkulasi termohalin (Gambar 6), yang melintasi wilayah lautan di sekitar wilayah Maluku.
337
Wilayah C, atau Maluku, merupakan wilayah jalur timur Indonesia Throughflow (ITF, sebuah bagian air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui laut Indonesia). ITF mengalir terutama melalui Selat Makassar dengan sebagian kecil mengalir melalui Laut Maluku. ITF di Maluku membawa arus permukaan laut dari area kolam hangat, yang terletak sebelah timur laut dari Pulau Papua (New Guinea). Hal analog, dalam kaitan antara Arlindo dengan dengan El Niño dan El Niño maupun ENSO secara umum dapat diungkapkan bahwa rata-rata tahunan dari variabilitas transpor Arlindo meningkat pada periode La Niña sebesar -0,18 Sv dan menurun selama periode El Niño, sebesar 0,13 Sv. Nilai negatif (-) ini berarti aliran menuju ke Samudra Hindia. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena ENSO mempengaruhi transpor yang melewati ekuatorial Pasifik barat-timur, [15]. Secara rinci dari pustaka [15] ini diungkapkan bahwa selama musim timur (perioda JJA: Juni, Juli, Agustus) diperoleh nilai rata-rata temperatur di Laut Timor sebesar 26,84 °C, salinitas sebesar 34,35 psu, dan transpor Arlindo sebesar -0,34 Sv. Sedangkan selama musim barat (perioda DJF: Desember, Januari, Februari) diperoleh rata-rata nilai temperatur di Laut Timor sebesar 29,6 °C, salinitas sebesar 34,22 psu, dan transpor Arlindo sebesar -0,27 Sv. IV. KESIMPULAN Curah hujan bulanan di Bandara Hasanudin Makassar menunjukkan pola monsunal, dalam pengertian memiliki satu puncak dan satu lembah akumulasi curah hujan. Puncak akumulasi curah hujan bulanan dalam rentang tersebut terjadi di bulan Januari dengan nilai 668 mm, sedang nilai terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 8 mm. Sedang curah hujan bulanan di Bandara Patimura Ambon menunjukkan pola lokal, dalam arti juga memiliki satu puncak dan satu lembah akumulasi curah hujan, tetapi puncak akumulasi curah hujan bulanan dalam rentang tersebut terjadi di bulan Juni dengan nilai 568 mm, sedang nilai terendah terjadi pada bulan Nopember sebesar 78 mm. Korelasi terbaik antara curah hujan di Makassar dengan IOD terjadi pada tahun 1994 dengan nilai r = 0,83 (Ambon di tahun 1983 dengan r = 0,70). Korelasi terbaik antara curah hujan di Makassar dengan El Niño / La Niña terjadi pada tahun 2008 dengan nilai r = -0,89 (Ambon pada tahun 1993 dengan r = 0,84). Korelasi terbaik antara curah hujan di Makassar dengan PDO terjadi pada tahun 2008 dengan r = -0,89 (Ambon pada tahun 1990 dengan r = 0,75). Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku curah hujan bulanan di daerah Bandara Hasanudin Makassar dan Bandara Patimura Ambon memiliki kaitan erat dengan fenomena fisis (oseanografis-meteorologis), terutama IOD, El- Niño dan La-Niña, PDO di wilayah Samudera Hindia dan Pasifik. UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terimakasih kepada Ir. Halimurrahman, M.T. (selaku Integrator I) dan Dr. Didi Satiadi (selaku Integrator II) atas masukan, saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini bagian dari
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Arief Suryantoro / Analisis Keterkaitan Perilaku Curah Hujan di Makassar dan Ambon dengan Fenomena IOD, El Niño/La Niña, PDO dan Arlindo
338
Program Pengembangan Teknologi Penerbangan dan Antariksa di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA)–Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Tahun Anggaran 2015; Grant Number SP.DIPA.082.01.1.430397/2015.
TANYA JAWAB
PUSTAKA
Arief Suryantoro, LAPAN √ Koefisien regresi yang digunakan dari paket software MS Excel, yang banyak dan mudah diperoleh.
[1] [2] [3] [4] [5] [6]
[7] [8] [9]
[10] [11] [12] [13] [14] [15]
Aldrian, E. and R.D. Susanto. “Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature”. Int. Jour. of Clim., vol. 23, (2003): 1435-1452. BMKG. “Prakiraan Musim”. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/-Prakiraan_Musim.bmkg, 2014. Akses 29 Januari 2014. Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology– Frontier Research Center for Global Change (JAMSTECFRCGC), IOD, 2014, http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod. Akses 31 Maret 2014 Climate Prediction Center, National Weather Service, NOAA, Monitoring & Data, 2014, http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitori ng/ensostuff, Akses 17 Maret 2014. JISAO (Joint Institut for the Study of the Atmosphere and Ocean) University of Washington, Pacific Decadal Oscillation (PDO), 2014, http://jisao.washington.edu/pdo. Akses 24 Maret 2014. [Chong, J.C., J. Sprintall, S. Hautalla, W.L. Morawitz, N.A. Bray and W. Pandoe. “Shallow through flow variability in the outflow straits of Indonesia”, http://my.opera.com/Nerangel/blog/kutipan-jurnal-ilmiahberjudul-shallow-throughflow-variability-in-the-outflows, 2010. Akses 22 Juni 2012. Tjasyono, B.H.K. “Unsur Cuaca dan Iklim” dari Klimatologi. Penerbit ITB Bandung, 2004: 11-38. Mantua, N. J., S. R. Hare, Y. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis, A Pacific interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production, Bull. Am. Meteorol. Soc., 78, (1997): 1069–1079. Kurtzman, D., and B. R. Scanlon. “El Niño–Southern Oscillation and Pacific Decadal Oscillation Impacts on Precipitation in the Southern and Central United States: Evaluation of Spatial Distribution and Predictions”. Water Resources Research, vol. 43, w10427, 2007. doi:10.1029/2007WR005863, 2007. Bates, B.C., Z.W. Kundzewicz, S. Wu and J.P. Palutikof, Eds. Climate Change and Water. Technical Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC Secretariat, Geneva. 2008. Trenberth, K.E. and D.P. Stepaniak, Indices of El Niño evolution. J. Clim., 14, (2001): 1697–1701. Trenberth, K.E. and J.M. Caron, The Southern Oscillation revisited: sea level pressures, surface temperatures and precipitation. J. Clim., 13, (2000): 4358–4365. Godfrey JS. The effect of the Indonesian through flow on circulation and heat exchange with the atmosphere: a review. Journal of Geophysical Research 101. (1996): 12 217–12 337. Morey SL, Shriver JF, O’Brien JJ. The effects of Halmahera on the Indonesian throughflow. Journal of Geophysical Research. 104. (1999): 23 281– 296. Safitri, M., S.Y.Cahyarini dan M.R.Putri. ”Variasi Arus ARLINDO dan Parameter Oseanografi Di Laut Timor Sebagai Indikasi Kejadian ENSO”. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, (2012): 369377.
Sismanto, UGM Koefisien regresi yang diperoleh linier/polinomial? Persamaannya?
untuk
fungsi
M Souisa, ITB Klarifikasi: Data curah hujan yang terekam hanya 1 stasiun di pulau Ambon (yaitu Bandara Pattimura) sehingga data perlu didukung dengan data pada stasiunstasiun lain di Pulau Ambon. Arief Suryantoro, LAPAN Jika ingin mendapatkan pola spasial curah hujan dari observasi permukaan (insitu) memang diperlukan banyak titik pengamatan. Sayang sekali, justru kerapatan titiktitik pengamatan yang dimiliki Indonesia masih relatif tidak rapat. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan data observasi satelit. Eddy Hermawan, LAPAN Apa perbedaan antara IOD dengan TBO, jika kedua fenomena di atas sama sama berosilasi 2-3 tahun? Apalagi kedua fenomena tersebut sama-sama di lautan Hindia? Bagaimana mungkin membandingkan data CH selama 1 tahun dengan IOD, mengapa tidak ada logtimenya? Arief Suryantoro, LAPAN Terdapat perbedaan yang nyata lokasi kajian IOD dan TBO. IOD hamya membatasi amnomali SST di samudra Hindia sebelah timur Afrika dan sebelah barat Sumatera. Sedang TBO juga melibatkan anomali SST di samudra Pasifik tropis (bukan hanya di samudra Hindia) dan juga wilayah monsun Asia dan monsun Australia. Data IOD dan CH yang dikaji adalah dalam periode 30 tahun (Januari 1981-Des 2010). Afif Rakhman, UGM Apakah variasi curah hujan akan memiliki kecenderungan berulang tiap tahun berdasarkan data pengamatan cuaca yang ada? Arief Suryantoro, LAPAN
Ada kecenderungan tetapi tidak dapat diperkirakan secara persis karena faktor-faktor penyebabnya bermacammacam dan periode masing-masing faktor tersebut berbeda-beda.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823