BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas musiman ARLINDO, dimana nilai transpor rata-rata sebesar 11,6 Sv terjadi pada bulan Agustus dan nilai minimum sebesar 6,0 Sv terjadi pada bulan Januari. Sementara Gordon et al, (1999), melakukan pengukuran transvol Selat Makassar dengan mooring MAK-1 dan MAK-2 memperlihatkan bahwa aliran rata-rata transpor ARLINDO yang melewati Selat Makassar pada tahun 1997 adalah sebesar 9,3 ± 2,5 Sv. Selama bulan Desember 1996 hingga bulan Februari 1997 (fasa La Niña lemah), nilai transpor rata-rata adalah sebesar 12,5 Sv, dan kemudian pada bulan Desember 1997 hingga bulan Februari 1998 (fasa El Niño), nilai transpor rata-rata Selat Makassar adalah sebesar 5,1 Sv. Transpor volume di Selat Makassar maksimum (minimum) terjadi pada musim timur (barat), namun pada tahun kejadian El Niño (1997) transpor yang melewati Selat Makassar mengecil pada bulan September – Desember yang diikuti dengan membesarnya Anomali Suhu Permukaan Laut (A-SPL) di niño 3,4 (daerah Pasifik Tengah) dan menurunnya elevasi muka laut di Pasifik Barat. Hal ini berarti bahwa air hangat di Pasifik Barat bergerak ke timur yang mengakibatkan turunnya elevasi muka laut dan transpor ARLINDO di Selat Makassar (Mandang, dkk., 2002). Hasil model di Selat Makassar dengan motode Dekomposisi Fourier sederhana dengan menggunakan asumsi arus uniform yang melalui selat tersebut pada kedalaman tertentu, menghasilkan transpor maksimum pada bulan Juli 1997 (fasa El Niño) sebesar 24 Sv, dan minimum sebesar 3 Sv (fasa puncak El Niño) pada bulan Oktober 1997 (Wajsowicz, 2000 dalam Sudjono, 2004) Mihardja, dkk (2005) dalam penelitiannya dengan menggunakan model numerik memperoleh nilai transvol ARLINDO rerata di Selat Makassar hasil simulasi pada saat ketiga kejadian El Niño yang dikaji, yaitu tahun 1972/73, 1982/83, dan 1997/78, berkisar antara 4,88 - 12,25 Sv, pada kejadian La Niña tahun 1973/74 dan 1998 berkisar antara 10,19 - 17,10 Sv, dan saat bersamaan dengan tahun ENSO normal 1974, 1981, dan 1996 berkisar antara 6,34 - 13,49 Sv (seperti yang telah diperlihatkan dalam tabel I.1). Hasil penelitian ini menguatkan pendapat para peneliti sebelumnya (seperti Masumoto and Yamagata, 1996; Gordon et al, 1999; Gordon, 2001; Mihardja dkk, 2002;
Mandang dkk, 2002; Ningsih et al, 2003; Wajsowicz et al, 2003, dan Sudjono, 2004), yaitu ARLINDO di Selat Makassar melemah (menguat) pada saat El Niño (La Niña). II.2 Angin Monsun Menurut Khromov daerah monsun merupakan daerah dimana arah angin yang dominan berbalik arah sedikitnya 120o antara bulan Januari dan Juli. Pada bulan Januari terjadi maksimum musim dingin di belahan bumi utara (BBU) atau maksimum musim panas di belahan bumi Selatan (BBS), sementara pada bulan Juli terjadi maksimum musim panas di BBU atau maksimum musim dingin di BBS (Prawirowardono, 1996 dalam Hidayati, 2004). Ramage (1971) dalam Bannu (2003) memberikan definisi monsun dengan menambahkan kriteria kekuatan angin (wind strength) dan mengidentifikasikan daerah-daerah yang meliputi Afrika, Asia, dan Australia sebagai daerah yang memenuhi kriteria angin yang berbalik arah dan kriteria hujan monsun. Daerah monsun menurut defenisi tersebut terletak pada 25o LS – 35oLU dan 30oBB – 170oBT, dengan demikian Indonesia termasuk dalam daerah monsun. Sementara pada kondisi normal menurut McBride (1992) di dalam Ningsih (2000) wilayah Indonesia dipengaruhi oleh empat musim utama, yaitu (Hidayati, 2004): 1.
Monsun barat, yang terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari.
2.
Transisi dari monsun barat ke monsun timur yang terjadi pada bulan Maret, April, dan Mei.
3.
Monsun timur, yang terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.
4.
Transisi dari monsun timur ke barat, yang terjadi pada bulan September, Oktober, dan November.
Pada monsun barat, posisi matahari berada di atas bagian utara Australia dan wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan tekanan udara di daerah ini lebih rendah dibandingkan daratan Asia, sehingga angin bertiup dari daratan Asia ke Australia. Di Selat Makassar angin bertiup dari utara ke selatan. Begitu juga sebaliknya yang terjadi pada monsun timur, angin yang bergerak dari Australia ke daratan Asia sehingga di Selat Makassar angin bertiup dari Selatan ke utara seperti terlihat pada gambar II.1.
Gambar II.1.
Pola sirkulasi angin monsun di Selat Makassar (Mahie, 2005).
II.3 El Niño dan Osilasi Selatan Istilah El Niño pada awalnya digunakan oleh nelayan Peru. Fenomena ini ditandai oleh masuknya air hangat yang kaya akan nutrien dari Teluk Quayaquil ke Pelabuhan Paita di Peru. Influks ini biasanya terjadi pada bulan Desember yang bertepatan dengan hari Natal (Tomczak dan Godfrey, 1994; Philander, 1990 dalam Hidayati, 2004). Selanjutnya, para ilmuwan tertarik untuk melakukan penelitian di bidang dinamika lautnya, ternyata hasilnya menunjukkan ada keterkaitan antara El Niño dan Osilasi Selatan. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan di Samudera Pasifik dekat ekuator yang dikenal dengan angin pasat. Angin pasat ini membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di bagian barat Pasifik lebih tinggi dan suhu permukaan laut (SPL) di bagian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian timur Samudera Pasifik. Melemahnya angin pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur. Perubahan arah arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di bagian timur Samudera
Pasifik.
Semakin
besarnya
gradien
suhu
antara
timur-barat
membangkitkan angin baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Niño, lihat gambar II.2.
Gambar II.2.
Kondisi normal (atas) dan fenomena El Niño (bawah) (Sumber: Saji dan Yamagata, 2001 dalam Hidayati, 2004).
Melemahnya angin pasat diduga terletak di perairan Indonesia, karena pada kondisi normal, wilayah perairan Indonesia merupakan titik simpul antara sirkulasi Walker dan sirkulasi Hadley. Sirkulasi ini yang mengatur salah satu bagian sistem iklim global. Pada saat kejadian El Niño, titik simpul ini (pada gambar II.2 ditandai dengan warna putih) bergerak ke arah timur sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik sejalan dengan melemahnya angin pasat sehingga mempengaruhi perubahan iklim global. Kejadian El Niño berkaitan dengan meningkatnya SPL di pantai timur Pasifik sedangkan Osilasi Selatan berkaitan dengan tekanan udara Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang berada dibawah normal sedangkan wilayah Indonesia dan Australia utara tekanannya berada diatas normal. Gambaran keseluruhan dari kejadian ini dikenal dengan fenomena ENSO (El Niño - Southern Oscillation).
II.4 Dipole Mode
Saji, et.al (1999) melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di Samudera Hindia. Fenomenanya ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (90o – 110oBT, 10oLS – ekuator) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (50o – 70oBT, 10oLS – 10oLU). Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Dipole Mode (DM). Pada waktu normalnya, angin baratan yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika (Samudera Hindia bagian barat) ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur). Sedangkan pada saat terjadinya fenomena Dipole Mode, anomali SPL negatif (lebih rendah dari suhu normalnya) di pantai barat Sumatera yang mengakibatkan terjadinya tekanan tinggi di daerah ini, dan di pantai timur Afrika terdapat anomali SPL positif (suhu permukaan lautnya lebih tinggi dari kondisi normal) yang menimbulkan tekanan rendah di wilayah tersebut. Kondisi ini menimbulkan angin timuran yang kuat yang bertiup ke pantai timur Afrika, sehingga curah hujan di atas Afrika berada di atas normal sementara di Indonesia terjadi kekeringan, lihat gambar II.3.
Gambar II.3.
Kondisi pada saat terjadinya dipole mode (+) dan dipole mode (-) (Sumber: www. Jamstec.go.jp/frcgc research/dl/iod/)
Siklus dipole mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei – Juni (Gambar II.4a). Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif (Gambar II.4b). Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November (Gambar II.4c dan Gambar II.4d).
Gambar II.4.
Anomali suhu permukaan laut dan pola kecepatan angin pada kejadian dipole mode. (Sumber: Saji, et.al., 1999)
II.5 Interaksi ENSO, Monsun, dan Dipole Mode Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui ketiga interaksi ini: 1.
Kirtman dan Shukla (1998) dalam Setiawan (2002) menyatakan bahwa monsun yang lemah (kuat) akan memperkuat (memperlemah) besarnya El Niño yang terjadi 3 – 6 bulan setelah monsun berakhir. Hal serupa terjadi dimana monsun yang kuat (lemah) akan memperkuat (memperlemah) besarnya La Niña.
2.
Xie et.al. (1989) dalam Setiawan (2002) menyatakan bahwa variasi antar tahunan monsun di Laut Cina Selatan berhubungan erat dengan kejadian ENSO. Ini terlihat pada tahun dimana onset monsun Laut Cina Selatan tertahan/berkurang, sirkulasi Walker lemah dan anomali SPL di bagian barat Samudera Pasifik negatif.
3.
Setiawan (2002) menyatakan bahwa pada saat El Niño, terjadi penguatan monsun tenggara dan pada saat La Niña, terjadi penguatan monsun barat di Benua Maritim Indonesia (BMI). Hal ini diduga merupakan penyebab terjadinya keterlambatan musim hujan di BMI pada saat El Niño (dan sebaliknya terjadinya percepatan musim hujan di BMI pada saat La Niña).
4.
Webster et.al. (1999) dalam Setiawan (2002) mengemukakan bahwa anomali SPL Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian tengah dan timur secara umum sefasa dalam skala waktu antar tahunan. Ini mengindikasikan bahwa jika di Samudera Pasifik dalam kondisi hangat, maka demikian juga yang terjadi di Samudera Hindia. Ini menunjukan adanya keterkaitan antara ENSO dan DM.
5.
Saji et.al. (1999) menyatakan bahwa DM merupakan suatu fenomena sistem kopel atmosfer-laut yang mempunyai mekanisme fisis yang hampir sama dengan ENSO, tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO. Ketidakbergantungan ini ditunjukkan oleh adanya kejadian DM pada tahun 1961 dan 1967 yang tidak terkait dengan ENSO.
6.
Yu dan McWilliams (2001), melalui hasil perbandingan model dengan dan tanpa pengaruh Samudera Hindia, menyimpulkan bahwa magnitude dan frekuensi siklus ENSO dipengaruhi oleh interaksi atmosfer-laut Samudera Hindia. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa sistem monsun Samudera Hindia dapat mengubah amplitudo dan frekuensi ENSO serta menghasilkan variabilitas antar dekade pada ENSO. Selain itu mereka juga menemukan bahwa hubungan ENSO-monsun kurang khas dan lebih tidak reguler ketika peranan Samudera Hindia dipertimbangkan (Banu, 2003).
7.
Godfrey et.al. (2002) dalam Hidayati (2004) menyatakan bahwa korelasi antara DM dengan ENSO tergantung pada evolusi kejadiannya yang ditunjukkan dari musim ke musim dimana diperoleh korelasi yang kuat yang terjadi pada bulan September – Oktober.
8.
Susanto (2000) dalam Godfrey (2002) menyimpulkan bahwa terlihat anomali SPL negatif di Samudera Hindia bagian timur (pantai barat Sumatera) pada saat El Niño. Adanya anomali ini memungkinkan menguatnya angin timuran di daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan evolusi kejadian DM yang dikemukakan oleh Saji et.al. (1999). Pernyataan tersebut memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara ENSO dan DM, serta mengisyaratkan adanya hubungan yang kompleks antara keduanya (Hidayati, 2004).
9.
Hendon (2002) menyatakan bahwa variasi curah hujan di Indonesia selama musim kemarau berhubungan dengan peningkatan A-SPL arah timur-barat (zonal) di ekuator Samudera Hindia yang mempunyai hubungan yang kuat dengan ENSO. Sementara pada awal musim dingin, seluruh bagian Samudera Hindia mempunyai anomali SPL yang sama (positif selama El Niño dan negatif selama La Niña). Dikatakan juga bahwa, naik turunnya gradien A-SPL arah zonal di Samudera Hindia dipengaruhi oleh variasi musiman interaksi atmosfer-laut
di
Samudera
Hindia
bagian
timur
yang
kemudian
mempengaruhi kondisi ENSO di Pasifik.
II.6 Hubungan Transvol ARLINDO di Selat Makassar dengan fenomena ENSO, monsun, dan Dipole Mode II.6.1 Fasa El Niño Mihardja, dkk (2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa variabiltas ARLINDO pada periode El Niño 1972/73, 1982/83 dan 1997/98 adalah sebagai berikut: 1.
Besarnya transvol ARLINDO di Selat Makassar pada ketiga periode El Niño yang dianalisis sangat dipengaruhi oleh ENSO dibandingkan dengan monsun, sedangkan pengaruh angin monsun hanya mempengaruhi pelemahan ARLINDO jika angin bertiup ke utara dan sedikit memperkuat arus di permukaan jika angin bertiup keSelatan Selat.
2.
Berdasarkan nilai korelasi silang antara transvol ARLINDO dan A-SPL di niño 3.4, diperoleh gambaran bahwa El Niño 1972/73 mempunyai korelasi yang paling besar (r1 = 0,928 untuk data yang tidak difilter, r2 = 0,975 untuk data yang difilter 6 bulan, dan r3 = 0,982 untuk data yang difilter 12 bulan) terhadap variasi ARLINDO di Selat Makassar, diurutan kedua El Niño 1997/98 (dengan r1 = 0,637, r2 = 0,597 dan r3 = 0,610), dan paling kecil korelasinya adalah El Niño 1982/83 (dengan r1 = 0,381, r2 = 0,308, dan r3 = 0,309).
3.
El Niño pada 1972/1973 mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap pengurangan transvol ARLINDO dari pada El Niño 1982/83 dan yang paling lemah pengaruhnya adalah El Niño 1997/98. Hal ini terlihat dari nilai transvol ARLINDO di Selat Makassar yang paling kecil dari ketiga periode El Niño yang disimulasi terjadi pada El Niño 1972/73 dimana transvol maksimum sebesar 8,34 Sv, transvol minimumnya = 1,89 Sv, dan transvol reratanya 4,88 Sv. Sedangkan pada periode El Niño 1982/83 transvol maks, min, dan reratanya berturut-turut adalah 10,73; 3,78 dan 6,74 Sv, dan pada periode El Niño 1997/98 nilai transvol ARLINDO nya paling besar dari ketiga fasa ENSO positif yang dikaji, yaitu berturut-turut sebesar 16,44; 7,57 dan 12,25 Sv. Dari besar - kecilnya transvol ARLINDO tersebut ditentukan besar-kecilnya pengaruh El Niño terhadap sirkulasi arus di Selat Makassar. Dengan dasar pemikiran tersebut maka dari ketiga El Niño yang ditinjau, El Niño tahun 1972/73 merupakan El Niño yang paling kuat, diurutan kedua El Niño tahun 1982/83, dan El Niño yang paling lemah dari ketiganya adalah El Niño 1997/98. Sementara Sudjono (2004), dalam penelitiannya menunjukkan hasil sebagai berikut:
1.
Korelasi silang antara A-SPL di niño 3.4 dengan transpor volume di Selat Makassar pada fasa El Niño 1997/98, untuk data yang belum difilter diperoleh korelasi negatif yang cukup signifikan (|r| > 0,53) yaitu r = -0,66 untuk lag time = 0, sedangkan untuk data yang telah difilter 6 bulan diperoleh korelasi negatif yang cukup signifikan juga yaitu r = -0,62 untuk lag time = -1 bulan, dan r = -0,55 untuk lag time = 0. Selain itu diperoleh korelasi positif pada lag time = 4 bulan dengan r = 0,66. Korelasi silang untuk data yang telah difilter 12 bulan mendapatkan hasil korelasi negatif, yaitu r = -0,67 untuk lag time = -1 dan r = -0,62 untuk lag time = 0. Hasil ini memberi indikasi bahwa 1 bulan sebelum terjadi peningkatan A-SPL di niño 3.4 maka di Selat Makassar sudah terjadi penurunan nilai transpor volume.
2.
Korelasi silang antara data kecepatan angin komponen meridional dan transpor volume yang belum difilter memberikan hasil yang tidak
berkorelasi pada lag time = 0 (r = -0,02). Sebaliknya berkorelasi negatif cukup signifikan (|r| > 0,53) pada lag time = 3 bulan (r = -0,88). Korelasi silang hasil filter 6 bulan memberikan hasil tetap tidak berkorelasi pada lag time = 0 (r = -0,44) dan berkorelasi negatif cukup signifikan pada lag time = 4 ( r = -0,81). Sedangkan korelasi hasil filter 12 bulan memberikan hasil korelasi negatif, baik pada lag time = 0 (r = -0,69) dan lag time = 3 (r = 0,96). Hasil ini memberikan indikasi bahwa pada saat terjadi perlemahan (penguatan) kecepatan angin komponen meridional ke utara (ke selatan). 3.
Korelasi silang antara Dipole Mode Indeks (DMI) dengan traspor volume untuk data yang belum difilter menunjukkan adanya korelasi positif (|r| = 0,26) yaitu dengan nilai r = 0,38 untuk lag time = 0, dan r = 0,53 untuk lag time = 5 minggu, sedangkan korelasi silang pada hasil filter 6 bulan menunjukkan bahwa masih terdapat korelasi positif pada lag time = 0 (r = 0,65). Begitu pula dengan hasil filter 12 bulan, setelah dikorelasikan ternyata masih terdapat korelasi positif yaitu pada lag time = 0 (r = 0,34) dan lag time = -5 minggu ( r = 0,44). Hasil ini mengidikasikan bahwa 5 minggu sebelum dan sesudah adanya anomali positif di Samudera Hindia ekuator, diduga terjadi peningkatan transpor volume ke selatan di Selat Makassar.
II.6.2 Fasa La Niña Variabilitas transvol ARLINDO di Selat Makassar pada periode La Niña 1973/74 dan 1998 yang dihubungkan dengan fluktuasi A-SPL di niño 3.4 Pasifik dan angin monsun meridional seperti yang dikemukakan oleh Mihardja, dkk (2006) adalah sebagai berikut: 1.
Variabilitas transvol ARLINDO di Selat Makassar lebih mengikuti fluktuasi La Niña dari pada variasi angin monsun, karena nilai r ARLINDO dengan monsun jauh lebih kecil dari pada r ARLINDO dengan ENSO.
2.
Berdasarkan besaran transvol ARLINDO di Selat Makassar dapat dikatakan bahwa La Niña 1998 berpengaruh lebih besar terhadap arus di Selat tersebut dari pada La Niña 1973/74, karena debit arus di Selat Makassar dalam periode La Niña 1998 lebih besar dari pada La Niña 1973/74, yaitu sebesar 21,42 Sv (maks), dan 13,65 Sv (min) dengan nilai reratanya 17,1 Sv untuk
La Niña 1998, sementara untuk La Niña 1973/74 adalah hanya sebesar 14,12 Sv (maks), dan 6.38 Sv (min) yang nilai reratanya 10,19 Sv. 3.
Transvol ARLINDO paling kecil di Selat Makassar dari kedua periode La Niña yang di tinjau terjadi diawal munculnya La Niña di Pasifik, dimana pada tahun 1973/74 terjadi di bulan April 1973 dan pada tahun 1998 terjadi di bulan Juni 1998. Sedangkan nilai transvol maksimum tercapai pada bulan Desember 1973 dalam periode La Niña 1973/74 dan Oktober 1998 dalam periode La Niña 1998.
Sudjono (2004) memperlihatkan hasil sebagai berikut: 1.
Korelasi silang antara A-SPL di niño 3.4 dengan transpor volume di Selat Makassar pada fasa La Nina 1998/89, ternyata tidak diperoleh korelasi yang signifikan (r = 0,33 untuk lag time = 0, dan r = 0,44 untuk lag time = 2 bulan), sedangkan untuk data yang telah difilter 6 bulan diperoleh hasil adanya korelasi yang cukup signifikan (|r| > 0,44) yaitu pada lag time = 0 dan lag time = 1 bulan (r = 0,53 dan r = 0,47). Kemudian untuk data yang telah difilter 12 bulan juga diperoleh hasil adanya korelasi positif (r = 0,82 untuk lag time = 0). Hasil ini memberi indikasi bahwa jika terjadi penguatan A-SPL negatif (fasa La Niña) maka akan terjadi penguatan transpor volume ke selatan.
2.
Korelasi silang antara kecepatan angin komponen meridional dengan transpor volume di Selat Makassar untuk data yang belum difilter tidak memperoleh korelasi yang cukup signifikan pada lag time = 0 (r = 0,30). Sedangkan pada lag time = 8 bulan (r = -0,49) diperoleh korelasi negatif yang cukup signifikan (|r| > 0,44). Hasil korelasi silang untuk data yang sudah difilter 6 bulan tidak diperoleh korelasi yang cukup signifikan pada lag time = 0 (r = 0,36) dan diperoleh korelasi negatif pada lag time = 8 bulan (r = -0,56). Kebalikannya pada hasil korelasi data setelah filter 12 bulan memperlihatkan korelasi positif yang cukup signifikan pada lag time = 0 (r = 0,87), dan korelasi negatif yang cukup signifikan pada lag time = 9 bulan (r = -0.92). Hasil ini memberi indikasi bahwa pada fasa La Niña adanya
anomali positif kecepatan angin permukaan (penguatan angin ke utara) bersamaan dengan penguatan (pelemahan) transpor volume ke utara (selatan). Kemudian 8 dan 9 bulan setelah terjadi anomali negatif kecepatan angin permukaan (penguatan angin ke selatan) maka akan terjadi pengurangan (penguatan) nilai transpor volume ke utara (selatan). 3.
Korelasi silang transvol dengan DMI pada fasa La Niña untuk data yang belum difilter menunjukkan adanya korelasi negati cukup signifikan (|r| > 0,21) yaitu r = -0,40 dengan lag time = 8 minggu dan r = -0,25 dengan lag time = 0), untuk data difilter 6 bulan (r = -0,45 dengan lag time = 0 dan r = -0,49 untuk lag time 3 minggu), sedangkan untuk data difilter 12 bulan ( r = -0,48 untuk lag time = 4 minggu, dan r = -0,41 untuk lag time = 0). Hasil ini memberikan indikasi bahwa pada lag time 1 hingga 4 terdapat anomali negatif DMI di samudera Hindia ekuator yang menyebabkan elevasi muka laut rata-rata di lepas pantai Sumatera meningkat, sehingga diduga elevasi muka laut rata-rata disekitar Selat Makassar juga meningkat dan menahan transvol ke selatan, yang mengakibatkan pelemahan nilai transvol.
II.6.3 Fasa ENSO normal Variabilitas transport volume di Selat Makassar akibat interaksi ENSO dan monsun pada tahun normal menurut Mihardja, dkk (2006) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Nilai transvol ARLINDO pada tahun 1996 paling besar dari pada 1974 dan 1981, karena arah rerata angin meridional pada tahun 1996 yang bertiup ke selatan lebih besar dari pada tahun 1974 dan 1981.
2.
Transvol maksimum pada tahun 1974 dan 1981 terjadi di awal tahun dan minimumnya terjadi menjelang akhir tahun, sedangkan pada tahun 1996 transvol maksimum terjadi pada bulan Mei dan minimumnya Januari. Sehingga pola ARLINDO pada tahun 1996 agak lain dengan tahun kejadian 1974 dan 1981.
3.
Besar dan arah ARLINDO di selat Makasar lebih ditentukan oleh fasa ENSO dari pada oleh monsun.
Sementara hasil yang diperoleh Sudjono (2004) adalah sebagai berikut: 1.
Korelasi silang antara A-SPL di niño 3.4 dengan transpor volume di Selat Makassar pada fasa normal untuk data yang tidak difilter diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan (r = 0,32 dengan lag time = 0).
Untuk data yang difilter 6 bulan terdapat korelasi positif yang nilainya cukup signifikan (|r| > 0,55) dengan r = 0,79 untuk lag time = 5 bulan, dan berkorelasi negatif pada lag time = 0 dan r = -0,69. Data yang telah difilter 12 bulan ternyata tidak memperoleh nilai korelasi yang cukup signifikan yaitu dengan nilai r = 0,43 untuk lag time = 4 bulan dan r = -0,10 untuk lag time = 0. Hasil ini memberikan indikasi bahwa terdapat korelasi positif dan negatif pada data dengan variasi 6 bulan (semi annual). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan nilai A-SPL di niño 3.4 maka akan diikuti dengan terjadinya penurunan nilai transpor volume ke arah selatan di selat Makassar (r = 0, lag time = -0,69) dan lima (5) bulan setelah terjadi penurunan nilai A-SPL di niño 3.4, akan terjadi peningkatan nilai transpor ke arah selatan di Selat Makassar. Sedangkan untuk data dengan variasi 12 bulan (annual) tidak diperoleh korelasi, baik korelasi positif maupun negatif. Hasil ini memberikan indikasi bahwa jika variasi 6 bulan dihilangkan, maka tidak terdapat korelasi yang cukup signifikan antara nilai data A-SPL di niño 3.4 dengan transpor volume di Selat Makassar pada fase normal. 2.
Hasil korelasi silang kecepatan angin komponen meridional dengan transpor volume di Selat Makassar untuk data yang belum difilter tidak menunjukkan adanya korelasi yang cukup signifikan (r = -0,25 dengan lag time = 0 dan r = 0,49 dengan lag time = 5 bulan). Sedangkan hasil korelasi untuk data yang telah difilter 6 bulan memperlihatkan adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (|r| > 0,55) yaitu diperoleh r = -0,73 untuk lag time = 0 dan korelasi positif dengan r = 0,91 untuk lag time = 4 bulan. Hasil korelasi data yang telah difilter 12 bulan juga memperlihatkan adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r = -0,80 untuk lag time = 0) dan korelasi positif yang cukup signifikan (r = 0,95 untuk lag time = 6 bulan. Hasil ini memberikan indikasi bahwa jika terjadi penguatan kecepatan angin komponen meridional (ke utara) maka akan diikuti dengan pelemahan transpor volume (ke selatan).
3.
Hasil korelasi silang transvol dan DMI pada fase normal 1996 menunjukkan adanya korelasi positif. Untuk data yang belum difilter (r = 0,03 untuk lag time = 0, dan r = 0,41 untuk lag time = 11 minggu), difilter 6 bulan (r = 0,65 untuk lag time = 0, dan r = 0,87 untuk lag time = 5 minggu), serta difilter 12
bulan (r = 0,78 dengan lag time = 0, dan r = 0,76 dengan lag time = 2 minggu). Hasil ini memberikan indikasi adanya anomali positif di Samudera Hindia ekuator yang diikuti dengan peningkatan transvol di Selat Makassar 5 minggu kemudian. Dari studi pustaka yang telah dilakukan terlihat bahwa, variabilitas ARLINDO di Selat Makassar sangat dipengaruhi oleh ENSO, hal ini dikuatkan oleh hasil perhitungan yang dilakukan oleh Mihardja, dkk (2005) yang menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (r) yang cukup besar, walaupun demikian korelasinya tidak linier (nilai koefisien korelasi yang berbeda-beda dari tahun El Niño satu ke tahun lainnya, dan dari fasa El Niño ke fasa La Niña dan fasa normal). Diperoleh juga korelasi antara transvol ARLINDO dengan monsun maupun dengan DM dengan nilai korelasi yang lebih kecil. Variasi nilai koefisien korelasi diduga akibat adanya interaksi antara faktor-faktor yang secara serempak mempengaruhi transvol ARLINDO di selat tersebut. Interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas transvol ARLINDO tidak diperlihatkan secara jelas dalam penelitian sebelumnya karana analisa korelasi yang dilakukan hanya menggunakan analisa korelasi silang yang hanya diperuntukan untuk menganalisa korelasi antara dua variabel (ARLINDO dengan ENSO, ARLINDO dengan Monsun, maupun ARLINDO dengan IDM) secara sendiri-sendiri, padahal pada kenyataannya variabel yang mempengaruhi variabilitas transvol ARLINDO lebih dari dua variabel (multivariabel) yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, sehingga analisa yang dilakukan harus secara serentak yang melibatkan semua variabel yang berpengaruh pada variabilitas transvol ARLINDO. Kelemahan tersebut, dicoba untuk diatasi dalam penelitian ini dengan menerapkan suatu metoda analisa korelasi multivariabel yang fungsinya untuk melihat bagaimana bentuk dan arah hubungan serta seberapa besar korelasi antara ARLINDO dengan ENSO, monsun dan DM, sehingga diharapkan dapat menjelaskan pengaruh interaksi antara ketiga faktor di atas terhadap variabilitas ARLINDO di Selat Makassar serta pengaruh atau besarnya kontribusi dari masing-masing faktor terhadap variabilitas ARLINDO di selat tersebut.