PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Kajian Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut dan Udara di Perairan Indonesia dan Sekitarnya Armi Susandi1, Ahmad Subki2, dan Ivonne M. Radjawane2 1
Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Institut Teknologi Bandung 2 Kelompok Keahlian Oseanografi, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesa No. 10 Bandung 40132 Indonesia Phone. +62–22 – 2500494 Fax. +62–22–2534139, Email:
[email protected]
ABSTRAK Tantangan penting dalam bidang sains iklim adalah bagaimana mengembangkan secara kuantitatif dan prediksi dari penyerapan karbon dioksida (CO2) di atmosfer oleh lautan. Pengukuran penyerapan (uptake) karbon oleh laut dapat dihitung langsung pada transfer lokal gas antara udara-laut. Dalam studi ini akan dikaji perbedaan fluks CO2 antara udara-laut dengan menghitung perbedaan tekanan parsial CO2 antara kedua permukaan tersebut (udara dan laut). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kemampuan laut dalam menyerap gas CO2 khususnya di perairan Indonesia dan sekitarnya. Pengukuran kemampuan laut dalam menyerap CO2 akan sangat dipengaruhi oleh emisi karbon yang dihasilkan dari aktifitas manusia, dalam penelitan ini emisi karbon berasal dari sektor energi Indonesia. Untuk memprediksi kemampuan laut Indonesia dalam menyerap CO2 hingga tahun 2100, dalam studi ini diaplikasikan dua skenario, yaitu skenario dasar dan skenario mitigasi. Pada skenario dasar, hasil prediksi menunjukkan pada tahun 2050 perairan Indonesia mampu menyerap secara optimum hingga 15 mol CO2 m-2 per tahun. Setelah tahun 2050 diperkirakan daya serap laut mulai menurun kembali karena konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan menurun hingga tahun 2100. Sedangkan pada skenario mitigasi (skenario berdasarkan Protokol Kyoto), kecenderungan laut Indonesia menyerap CO2 lebih rendah dibandingkan dengan skenario dasar. Kata Kunci: Emisi karbon, Fluks CO2, Prediksi penyerapan CO2 oleh laut, Skenario dasar dan mitigasi.
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
I. PENDAHULUAN Aktifitas manusia telah menimbulkan dampak terhadap perubahan iklim bumi. Perubahan iklim global di akibatkan efek emisi gas-gas seperti CO2, CH4, N2O, CF4, C2F6. Gas ini yang menyebabkan terjadinya suhu udara seperti di rumah kaca di atmosfer yang kemudian dikenal sebagai Gas Rumah Kaca (GRK). GRK ini telah menyebabkan bumi kian menjadi panas karena tersekap oleh kondisi yang dimunculkan oleh emisi gas yang diproduksi oleh kegiatan industri, transportasi dan aktivitas manusia yang lainnya yang mempergunakan sumber energi fosil (batubara, minyak bumi, gas) serta berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap CO2 akibat deforestasi. Dampak perubahan iklim global tersebut akan terus meningkat sampai mencapai puncaknya pada tahun 2060 apabila ada usaha-usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti yang disepakati dalam Protokol Kyoto (Susandi, 2004). Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pada kurun waktu 1997-1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan kerusakan terumbu karang yang cukup parah karena berubahnya karakteristik El Nino akibat pemanasan global. Oleh karena itu Indonesia sangat konsen terhadap perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat peningkatan gas rumah kaca yang akan berimplikasi pada perubahan cuaca ekstrim dan peristiwa meteorologis lainnya di Indonesia. Indonesia mempunyai hutan tropis yang terbesar ketiga di dunia, tetapi Indonesia pun masih menghadapi masalah yang serius tentang penggundulan hutan. Selama 1990-2000 sekitar 2 juta ha hutan telah hilang (Panjiwibowo, 2003). Padahal hutan itu sendiri adalah salah satu media penyerap CO2 terbesar. Disamping hutan, lautan adalah salah satu penyerap utama CO2 di dunia, dalam penelitian ini, akan dikuatifikasi daya serap lautan terhadap gas CO2 yang diemisikan ke atmosfer bumi, khususnya daya serap di perairan Indonesia dan sekitarnya. Luas laut Indonesia adalah 3.288.680 km2 atau sekitar 63% dari total wilayah Indonesia. Pengkajian potensi laut dalam menyerap dan menyimpan CO2 akan sangat penting bagi Indonesia dan dalam upaya meningkatkan negosiasi Indonesia dalam perundingan internasional tentang kebijakan iklim global. 2.
PERANAN LAUT SEBAGAI PENYERAP CO2
Meskipun dalam skala global, pertukaran CO2 antara lautan dan atmosfer mendekati keseimbangan, ketidakseimbangan yang besar dapat muncul secara lokal. Aliran pertukaran bersih (net exchange flux) di suatu lokasi tergantung kepada tingkat kejenuhan CO2 di permukaan air, dan dapat dirumuskan dalam persamaan (1): Fnet = k s (pCO2sea - pCO2atm)
(1)
Dimana pCO2atm menunjukkan tekanan parsial CO2 di udara dan pCO2sea menunjukkan tekanan parsial CO2 di permukaan laut, k adalah koefisien pertukaran meningkat sebanding dengan pertambahan kecepatan angin di pertemuan antarmuka udara-laut, dan s adalah kelarutan (solubility) CO2 dalam air laut. (Berdasarkan persamaan di atas, aliran bersih (net flux) diasumsikan positif ketika aliran tersebut bergerak dari laut ke atmosfer.) pCO2sea akan berbedabeda tergantung kepada beberapa faktor seperti suhu dan akitvitas biologi lautan.
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Terdapat banyak hubungan empiris untuk menentukan nilai k, diantaranya ada tiga formula k yang paling sering digunakan sebagai fungsi dari angin yaitu hubungan linier (Liss dan Merlivat, 1986), hubungan kuadratik (Wanninkhof, 1992), dan hubungan kubik (Wanninkhof dan McGills, 1999). Pada studi ini, formulasi angin yang digunakan adalah fungsi kuadratik oleh Wanninkhof (1992) (W92) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data long-term averaged winds. kW 92 = 0.39u102
(2)
dimana k dalam satuan cm hr-1 u10 adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m (m s-1) dari permukaan laut. Solubilitas atau kelarutan CO2 di dalam air laut bergantung kepada dua variable utama yaitu suhu permukaan laut (SST) dan salinitas permukaan laut (SSS). Dalam studi ini, diasumsikan perairan Indonesia memiliki salinitas permukaan rata-rata sebesar 32.493 ‰, sehingga nilai solubilitas hanya bergantung kepada suhu permukaan laut, dimana semakin tinggi suhu permukaan laut maka solubilitasnya akan semakin rendah. Solubilitas gas CO2 dalam air laut didasarkan pada Murray dan Rilley (1971). Dalam studi ini, distribusi konsentrasi CO2 di permukaan air laut ditentukan oleh distribusi suhu permukaannya berdasarkan studi yang dilakukan oleh Weidong et al. (2003) mengenai Distribution of pCO2 and CO2 Air-sea Fluxes on the South China Sea, maka untuk perairan tropis distribusi pCO2sea dinyatakan dalam persamaan berikut: pCO2sea = 371µ atm.e 0.0423( SST − 28)
(3)
Sedangkan data konsentrasi CO2 berdasarkan studi yang dilakukan oleh Susandi (2004). 3. PENYERAPAN KARBON OLEH LAUTAN INDONESIA Secara umum, pola flux CO2 di Indonesia akan mengikuti pola musim monsun yang terjadi di Indonesia. Menurut Khromov dalam Prawirowardoyo (1996), Januari adalah maksimum musim dingin di belahan bumi utara (BBU) atau maksimum panas di belahan bumi selatan (BBS). Juli adalah maksimum musim panas di BBU atau maksimum musim dingin di BBS, serta musim transisinya pada bulan April dan Juli. Penyerapan maksimum di sekitar Laut Cina Selatan terjadi pada tahun 2002 (Gambar 1.c), dengan suhu permukaan laut yang berkisar antara 25,5-27,5 oC (Gambar 1.a) membuat tekanan parsial CO2 dipermukaan berkisar antara 300-360 µatm, dibandingkan dengan pCO2atm diatasnya yang besarnya 372 µatm, sehingga menggerakkan CO2 dari udara menuju laut cukup besar, kemudian dengan besarnya rata-rata kecepatan angin di daerah ini yang berkisar antara 7-9 ms-1 menyebabkan intensitas transfer gas CO2 ini meningkat (19-32 cm hr-1), lihat Gambar 1.b.
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Gambar 1.a Suhu rata-rata permukaan laut (oC) pada bulan Januari 2002
Gambar 1.b Kecepatan angin rata-rata di atas permukaan laut (ms-1) pada bulan Januari 2002
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Gambar 1.c Aliran (flux) rata-rata CO2 (mol CO2 m-2 tahun-1 ) pada bulan Januari 2002 Kemudian pada bagian belahan bumi selatan, pengaruh musim panas sangat terlihat di bagian tenggara perairan Indonesia (sekitar Laut Arafura) yang suhu permukaan lautnya berkisar antara 29-31oC, sehingga perairan ini memiliki pCO2sea berkisar antara 380-420 µatm, sedangkan pCO2atm diatasnya berkisar antara 350-380 µatm yang meyebabkan daerah ini sebagai tempat pelepasan CO2 sepanjang Januari setiap tahunnya. Meskipun rata-rata kecepatan transfer gasnya lebih kecil daripada di kecepatan transfer gas di BBU, namun perbedaan tekanan parsial CO2 antara permukaan laut dan atmosfernya yang cukup besar membuat aliran CO2 juga menjadi besar dari laut menuju atmosfer. Kecepatan angin pada daerah ini berkisar antara 3-7 ms-1 sehingga kecepatan transfer gasnya adalah 3-19 cm hr-1. Pada bulan April tahun 1998 (Gambar 2), rata-rata aliran di belahan bumi utara sebesar 2,641 moles CO2 m-2 yr-1 sedangkan di selatan besarnya 3,780 moles CO2 m-2 yr-1, karena di sekitar Laut Arafura (9-11o LS dan 137-141 o BT) aliran CO2 mencapai 16-20 moles CO2 m-2 yr-1 hal ini disebabkan pada daerah itu angin yang berhembus cukup kencang berkisar antara 6-8 ms-1.
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Gambar 2. Aliran (flux) rata-rata CO2 (mol CO2 m-2 tahun-1 ) pada bulan April 1998
Gambar 3. Aliran (flux) rata-rata CO2 (mol CO2 m-2 tahun-1 ) pada bulan Juli 1999
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
Seperti pada bulan Juli tahun 1999 (Gambar 3) di sekitar Laut Cina Selatan suhu permukaan lautnya mencapai sekitar 30 oC sehingga tekanan parsial dipermukaan lautnya pun besar dengan kecepatan angin yang mencapai 5-7 ms-1 menjadikan tempat ini sumber pelepasan CO2. Berdasarkan Gambar 4, di belahan utara Indonesia berperan sebagai tempat pelepasan CO2 dimana rata-rata aliran sebesar 2,635 moles CO2 m-2 yr-1. Pada bagian selatan Jawa, terdapat daerah penyerapan CO2 hingga mencapai 8 moles CO2 m-2 yr-1 karena pada daerah tersebut suhu permukaan lautnya rendah membuat tekanan parsial CO2 diatmosfernya lebih tinggi kemudian ditambah dengan kecepatan angin permukaan yang besar pada daerah tersebut yang berkisar antara 7-9 ms-1 membuat kecepatan transfer gasnya menjadi lebih besar pula.
Gambar 4. Aliran (flux) rata-rata CO2 (mol CO2 m-2 tahun-1 ) pada bulan Oktober 1995 5. PREDIKSI FLUX CO2 Hasil prediksi menunjukkan (Gambar 5) pada dua skenario terjadi peningkatan penyerapan CO2 hingga tahun 2050. Penyerapan CO2 dalam skenario dasar mencapai -18 moles CO2 m-2yr-1, sedangkan dalam skenario mitigasi mencapai -13 moles CO2 m-2yr-1. Kemudian kedua skenario mengalami penurunan kemampuan penyerapannya dari tahun 2060 hingga tahun 2100. Hal ini terjadi karena ketika konsentrasi CO2 di atmosfer mulai menurun pada tahun 2060 yang berarti tekanan parsialnya pun ikut menurun, namun tekanan parsial CO2 dipermukaan laut tetap bertambah karena tekanan parsial CO2 di permukaan laut adalah fungsi dari suhu permukaan lautnya yang terus bertambah hingga 2100.
PROCEEDINGS CONVENTION SEMARANG 2006 - HAGI The 31st Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI
10
5
0
Flux
2010
2020
2030
2040
2050
2060
2070
2080
2090
2100
-5
-10
-15
-20 Dasar
Protokol Kyoto
Gambar 5. Prediksi aliran CO2 (mol CO2 m-2 tahun-1) di perairan Indonesia dan sekitarnya. Sehingga kemampuan menyerap laut CO2 semakin lama semakin menurun hingga pada tahun 2100 untuk skenario dasar laut Indonesia hanya mampu menyerap sebesar -3,73 moles CO2 m2 yr , menurut IPCC dalam Gruber et al. (2001) kemampuan menyerap laut global hingga 2100 adalah sebesar -8 moles CO2 m-2yr-1, hal ini berarti laut Indonesia dan sekitarnya berperan sebesar 46,6% dalam penyerapan CO2 di laut. Sedangkan dalam skenario mitigasi (Protokol Kyoto), pada tahun 2100 perairan Indonesia dan sekitarnya memiliki flux sebesar 6,894 moles CO2 m-2yr-1 yang berarti laut ini mengalami pelepasan sejumlah CO2 ke atmosfernya. TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Agus Supangat atas kerjasamanya dalam inisialisasi pengembangan penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, melalui Hibah Bersaing dengan nomor Perjanjian: 322/SP3/PP/DP2M/II/2006. DAFTAR PUSTAKA [1] Panjiwibowo, C., Soejachmoen, M.H., Tanujaya, O., Rusmantoro, W., 2003: Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, Pelangi, Jakarta. [2] Prawirowardoyo, S., 1996: Meteorologi, Penerbit ITB. [3] Susandi, A., 2004: The Impact of International Greenhouse Gas Emissions Reductions on Indonesia, Max Planck Institute for Meteorologi, Hamburg. [4] Wanninkhof, R., 1992: Relationship between wind-speed and gas exchange over the ocean, Journal of Geophysical Research-Oceans, 97, 7373-7382. [5] Wanninkhof R., and M.R. McGillis, 1999: A cubic relationship between air-sea CO2 exchange and wind-speed, Geophysical Research Letters, 26, 1889-1892. [6] www.cdc.noaa.gov